Buku Pemikiran Kritis Guru Besar Bidang
Transcription
Buku Pemikiran Kritis Guru Besar Bidang
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 i Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah). ii PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK VOLUME 1 CETAKAN KE-2 UDAYANA UNIVERSITY PRESS dan BADAN PENJAMIN MUTU UNIVERSITAS UDAYANA (BPMU) 2009 BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 iii PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA Tim Editor BPMU: Prof. Dr. Wayan Windia Ir. I Nengah Sujaya, M.Agr.Sc., Ph.D Prof. Dr. I Ketut Sudibia, SU Dr. Drs. I Wayan Budiarsa Suyasa, M.Si Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes Dr. Ir. I Made Alit Karyawan Salain, DEA Prof. Ir. W. Sayang Yupardi, M.Agr Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, MP., Ph.D. Prof. Dr. Made Subawa, SH., MS Dr. Made Suyana Utama, SE., MS Dr. Wayan Simpen Dr. Dwi Putra Darmawan Dr. drh. Hapsari Mahatmi, MP I Wayan Suardana, SSp. Par., M.Par Prof. Ir. I Nyoman Norken, SU., Ph.D. Dr. I Nyoman Semadi, Sp.B., Sp.BTKW Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS. Desain & Lay Out: Putu Mertadana Diterbitkan oleh: UDAYANA UNIVERSITY PRESS Kampus Unud Sudirman Gedung Pascasarjana Lt.1 R.1.1 Jl. P.B. Sudirman, Denpasar - Bali, Telp. 081 337 491 413 [email protected] http://penerbit.unud.ac.id Bekerjasama dengan : BADAN PENJAMIN MUTU UNIVERSITAS UDAYANA (BPMU) Volume 1, Cetakan Ke-2: 2009, xi + 272 hlm, 14 x 21 cm ISBN: Hak Cipta pada Penulis. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang : Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. iv PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK KATA PENGANTAR Edisi Ke-2 Sebagai insan yang beragama, dan percaya pada keagungan Tuhan YME, maka pertama-tama adalah sebuah kewajiban untuk menyampaikan persembahan syukur kehadapanNYA, karena tugas menerbitkan ulang berbagai pemikiran kritis para Guru Besar Unud akhirnya dapat juga diwujudkan. Kami meyakini bahwa tanpa perkenannya tidak ada sesuatu pun yang bisa terwujud dalam alam yang fana ini. Dalam pelaksanaan tugasnya, Tim Editor harus melakukan koordinasi dengan para Guru Besar yang pemikirannya terekam disini, antara lain untuk mohon klarifikasi substansial, meminta kesediaannya untuk menulis daftar riwayat hidup, dll. Mungkin karena kesibukannya, maka hingga waktu yang telah ditetapkan, masih ada para Guru Besar yang belum dapat memenuhi permohonan Tim Editor. Khususnya permohonan untuk mengirimkan daftar riwayat hidupnya (baik melalui fax, e mail, dll).Oleh karenanya, Tim Editor harus berusaha menemukan serba sedikit keterangan pribadi tentang Guru Besar yang bersangkutan di tempat lain, data di Bagian Kepegawaian, atau pada beberapa penerbitan ilmiah yang pernah diterbitkan. Tim Editor juga BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 v melakukan berbagai editing teknis, tanpa mengubah makna dan substansi kajiannya. Akhirnya, Tim Editor menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor Unud yang telah memberikan kepercayaan kepada Tim Editor dari BPMU untuk melakukan editing ulang terhadap berbagai pemikiran kritis para Guru Besar Unud. Kumpulan Pemikiran Guru Besar ini kemudian diterbitkan oleh Udayana University Press dengan format yang agak berbeda dengan Edisi 1. Berbagai pemikiran itu, bersumber dari orasi ilmiah Guru Besar yang bersangkutan, pada saat pengukuhan. Terima kasih pula kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berkenan membantu penerbitan ini. Sementara itu, tak lupa kami menyampaikan permohonan maaf, bila ada berbagai hal yang tidak berkenan. Kritik dan saran tentu saja akan kami terima dengan terbuka, untuk perbaikan di kemudian hari. TIM EDITOR BPMU vi PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA Edisi ke-2 Saat ini, para Guru Besar telah mendapatkan perhatian yang besar dari pemerintah. Perhatian itu, di antaranya diwujudkan dalam berbagai bentuk tunjangan finansial. Fenomena ini harus direspon seluruh insan Guru Besar dengan peningkatan tanggungjawab akademik. Di antaranya adalah dengan menyampaikan berbagai pemikiran kritis kepada publik, guna menjawab berbagai problematika sosial. Penerbitan buku ini adalah untuk mengumpulkan berbagai pemikiran kritis tersebut, dan diharapkan dapat dijadikan referensi bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai problema di masyarakat. Kalau harapan ini dapat terwujud, maka hal itulah yang menjadi kepuasan yang utama bagi seorang akademikus. Rasa puas itu tentu saja akan ikut kami rasakan, dalam kapasitas selaku pimpinan dan Rektor Universitas Udayana. Oleh karenanya, kami menyambut baik berbagai usaha dari pihak BPMU yang ingin menerbitkan kembali berbagai pemikiran para Guru Besar Unud dari berbagai bidang ilmu. Sebelumnya, buku yang menghimpun pemikiran Guru Besar ini dibagi dalam tiga volume. Namun dalam penerbitan edisi ke-2, judulnya telah BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 vii dirumuskan dalam bentuk berbagai subjek kajian. Dengan demikian diharapkan sidang pembaca akan lebih dipermudah untuk menemukan subjek referensinya. Akhirnya kita berharap, kiranya penerbitan ini akan merupakan bagian dari sumbangsih sivitas akademika Unud bagi masyarakat, dan bagian dari persembahannya kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Semoga buku ini bermanfaat. Bukit Jimbaran, September 2009, Rektor Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM). viii PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................................................ v Sambutan Rektor Universitas Udayana ............................................ vii POTENSI LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PERTANIAN SERTA PEMANFAATANNYA UNTUK MAKANAN TERNAK I Made Mastika ............................................................................... 1 ARTI PENTING BIOTEKNOLOGI BIDANG PETERNAKAN: TINJAUAN KHUSUS MENGENAI INSEMINASI BUATAN DAN TRANSFER EMBRIO D. K. Harya Putra ........................................................................... 26 PERANAN BAKTERI ASAM LAKTAT DALAM INDUSTRI PENGOLAHAN BAHAN PANGAN I Wayan Redi Aryanta ................................................................. 40 PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN MASUKAN RENDAH Netera Subadiyasa........................................................................ 56 BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 ix PERANAN TEKNOLOGI PASCAPANEN DALAM MEMPERTAHANKAN MUTU DAN MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN BUAH SALAK SEGAR Ketut Suter ...................................................................................... 72 MENINGKATKAN SKALA USAHA PETANI GUREM SEBAGAI UPAYA MENUJU PERTANIAN TANGGUH DI INDONESIA I Wayan Arga.................................................................................... 91 SUPEROVULASI DAN PEMACUAN SEBAGAI SALAH SATU CARA UNTUK MENIGKATKAN PRODUKTIVITAS INDUK-INDUK BABI YANG ANGKA KELAHIRANNYA RENDAH I Putu Suyadnya ............................................................................. 102 PENANGANAN PASCAPANEN DAN PENGARUHNYA TERHADAP HASIL DAN MUTU DAGING PADA SAPI BALI I Ketut Saka ...................................................................................... 112 REAKSI FISIOLOGI TERNAK SAPI TERHADAP LINGKUGAN PANAS Wayan Sayang Yupardi .............................................................. 142 FENOMENA PENYAKIT CACING PITA DAGING BABI DI BALI DAN PERAN LABORATORIUM KLINK DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS Nyoman Sadra Dharmawan .................................................... 152 SANITASI DAN HIGIENE: PERANANNYA DALAM PENGEMBANGAN DAN KEAMANAN MAKANAN TRADISIONAL MASA DEPAN Made Badra Arihantana............................................................ 165 TEKNOLOGI REMOTE SENSING DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN BERKELANJUTAN Indayanti Lanya ............................................................................. 178 PERANAN PENYULUHAN DALAM PENGETAHUAN USAHA DAN SISTEM AGRIBISNIS UNTUK MENOPANG EKONOMI KERAKYATAN Nyoman Supartha ......................................................................... 219 x PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK PENDEKATAN METABOLISME KUANTITATIF DALAM ILMU NUTRISI TERNAK I Gede Mahardika ......................................................................... 243 PEMANFAATAN TEKNOLOGI IRIGASI TETES (DRIP IRRIGATION) DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING I Nyoman Merit .............................................................................. 252 RIWAYAT HIDUP PARA KONTRIBUTOR ........................................... 267 BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 xi xii PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK POTENSI LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PERTANIAN SERTA PEMANFAATANNYA UNTUK MAKANAN TERNAK Made Mastika Pendahuluan Bila ditinjau di rencana pembangunan di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia (GBHN, 1988) maka jelaslah bahwasanya titik berat pembangunan jangka penjang bidang ekonomi ialah untuk mencapai struktur ekonomi yang seimbang dimana kemampuan dan kekuatan industri yang maju didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh. Hal ini dipertegas lagi bahwa pada akhir Pelita V sudah harus tercipta landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk dapat memasuki proses tinggal landas pada Pelita VI nanti. Jadi, dalam Pelita V peranan sektor pertanian masih besar yang diarahkan untuk menuju pertanian yang maju, efisien, dan tangguh (Soehadji, 1990). Sub sektor peternakan yang merupakan bagian integral dari sektor pertanian, dalam Pelita V diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi melalui 1). Pembinaan daerah-daerah produksi yang sudah ada, 2). Pembangunan daerah-daerah baru, 3). Penyuluhan, 4). Pembinaan serta penyediaan sarana dan prasarana, dan 5). Pemanfaatan limbah pertanian untuk makanan ternak. Dalam makalah ini uraian akan difokuskan pada bagian yang terakhir yaitu Pemanfaatan limbah pertanian dan industri pertanian untuk makanan ternak. Dewasa ini penanganan limbah hasil pertanian dalam arti luas belum mendapatkan perhatian yang selayaknya. Bila tidak ditangani secara cermat dan terencana, maka limbah ini akan menimbulkan pencemaran lingkungan yang cukup serius. Sebagian besar bio massa yang telah diproduksi alam baik melalui proses pertanian, perkebunan, peternakan, maupun perikanan, setelah BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 1 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak dimanfaatkan hasil utamanya, terpaksa harus dibuang dalam bentuk limbah yang tidak termanfaatkan dengan baik. Meskipun sebagian besar limbah pertanian biasanya dikembalikan ke lahan untuk memenuhi proses daur ulang ekologi secara alamiah, masih banyak limbah-limbah hasil pertanian yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan dan ditingkatkan nilainya melalui teknologi sederhana dan tradisional melalui bioteknologi, baik menjadi bahan makanan manusia, ternak, maupun untuk memenuhi kebutuhan industri. Masalah utama yang sangat penting juga dihadapi oleh petani peternak adalah meningkatnya harga bahan-bahan makanan ternak, baik lokal maupun import menyebabkan peningkatan tajam harga makanan ternak pabrik. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya ongkos produksi, sehingga mengurangi keuntungan usaha peternakan. Karena itu usaha untuk mencari bahan-bahan sumber pengganti lain untuk menekan biaya makanan tanpa mempengaruhi penampilan ternak itu sendiri dengan harga yang murah, mudah didapat dan tidak berkompetisi dengan manusia yaitu inconventional-agro-industry by product adalah mutlak perlu dipertimbangkan untuk dapat meningkatkan pendapatan petani peternak. Adanya kenyataan bahwa bahan-bahan sumber energi yang biasa dipergunakan untuk makanan ternak di Indonesia adalah jagung serta kedelai dan ikan sebagai sumber protein merupakan bahan-bahan yang masih terbatas jumlahnya dan masih merupakan kebutuhan utama penduduk di beberapa wilayah Indonesia sehingga akan mengakibatkan adanya kompetisi langsung antara manusia dan ternak. Oleh karena itu, pemikiran harus dialihkan pada suatu proses produksi pertanian yang produk utamanya untuk memenuhi kebutuhan manusia dan hasil sampingannya (limbahnya) untuk memenuhi kebutuhan ternak. Dengan demikian, pembangunan pertanian dalam arti luas yang berwawasan lingkungan akan dapat ditumbuh kembangkan secara nyata di Indonesia umumnya dan Bali khususnya. Pengertian Limbah Bila ditinjau dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1988) pengertian limbah secara harfiah didefinisikan sebagai 2 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana sisa produksi, air buangan pabrik. Pengertian sisa di sini harus diartikan bahan sampingan yang tersisa setelah proses produksi utama selesai. Dalam bidang pertanian, industri perkebunan, peternakan, dan perikanan, pengertian limbah akan lebih luas lagi yaitu termasuk bahan sampingan (by-products), bahan-bahan terbuang dan tidak terpakai (waste products) dan bahan sisa. Winarno (1985) memberikan definisi khusus untuk limbah hasil pertanian adalah bahan yang merupakan buangan dari proses perlakuan atau pengolahan untuk memperoleh hasil utama dan hasil sampingan. Selanjutnya ditambahkan bahwa pengertian limbah juga termasuk hasil sampingan. Hal ini disebabkan sulitnya garis pemisah yang jelas antara bahan buangan atau limbah dengan hasil sampingan. Sedangkan Devendra (1983) mendefinisikan limbah industri pertanian (Agro-industrial by-product) adalah semua bahan makanan ternak yang biasa digunakan dalam ransum dan mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dalam makanan ternak misalnya dedak padi, bungkil kelapa. Beberapa ahli lain memberikan pengertian yang sama antara Agro-industrial by-product dan Agro-industrial waste (Rihabasted, 1983; Ngiam, 1983; Rahim Bidin et al. 1983). Penulis sendiri sependapat bahwa pengertian Agro-industrial by-product harus dibedakan dengan pengertian Agro-industrial wasteproduct. Agro-industrial by-product sama dengan hasil sampingan dari suatu proses produksi pertanian dimana hasil sampingan yang sudah ada bisa dimanfaatkan lagi untuk makanan manusia maupun ternak. Misalnya dedak padi dari proses penggilingan padi sedangkan Agro-industrial waste adalah bahan buangan dari proses produksi tadi yang belum/ tidak dimanfaatkan untuk manusia/ ternak meliputi hasil sampingan (by product) yang belum dimanfaatkan untuk ternak misalnya sekam dimana bahan ini dibakar/ untuk rabuk dikembalikan ke tanah karena belum tersedia teknologi untuk pengolahan menjadi bahan makan ternak. Jadi dalam bidang nutrisi dan makanan ternak penulis menggolongkan pengertian limbah industri pertanian menjadi tiga yaitu : 1. Bahan sampingan dari suatu proses produksi pertanian/ industri yang sudah biasa dipergunakan untuk menyusun ransum ternak misalnya dedak padi, bungkil kelapa, bungkil BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 3 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak 2. 3. kedelai, tepung ikan. Bahan-bahan yang termasuk golongan ini biasanya jumlah yang tersedia cukup banyak (potensi tinggi) telah diteliti nilai hayati (biologisnya) untuk berbagai ternak dan telah dianalisa komposisi kimia secara lengkap, informasinya cukup banyak dan yang terakhir telah terdaftar dalam Tabel Komposisi Kimia dalam International Network of Feed Information Centres (INFIC). Bahan ini dimasukkan dalam golongan conventional Agro-Industrial by-product. Bahan sampingan dari suatu proses produksi pertanian/ industri yang sudah dianalisa komposisi kimianya tapi masih dalam proses penelitian tentang nilai biologis (hayatinya). Biasanya bahan ini termasuk bahan yang berpotensi tinggi dalam arti jumlahnya. Informasi hasil penelitian biasanya terbatas dan masih ada silang pendapat (controversial) misalnya lemak telo (beef tallow), isi rumen, tepung darah, tepung daun, tepung bulu, kotoran ayam, kotoran sapi. Biasanya sudah dipergunakan dalam ransum ternak dalam jumlah yang relatif kecil (antara 2 – 10 %). Bahan sampingan dari suatu proses produksi pertanian atau industri yang belum bisa dimanfaatkan untuk makanan ternak karena terbatasnya/ belum diketemukannya teknologi yang dapat mengolah bahan tersebut misalnya sekam padi, serbuk gergaji, Komposisi kimia sudah/ belum ada dan informasinya sedikit sekali. Bahan ini dimasukkan dalam golongan waste by-product bahan-bahan yang terbuang. Kendala dan Usaha Mengatasi Limbah untuk Makanan Ternak Rendahnya availabilitas zat-zat makanan yang terkandung di dalam limbah merupakan kendala utama dalam usaha memanfaatkan limbah untuk bahan makanan ternak. Keadaan tersebut di atas merupakan sifat umum dari limbah. Apabila dirinci kendala-kendala tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Limbah pada umumnya mempunyai sifat bulky (volumeneous = amba) yang disebabkan karena tingginya kandungan serat kasar (crude fibre) di dalam limbah tersebut. Misalnya limbah yang berasal dari proses penggilingan seperti dedak padi misalnya mempunyai density yang bervariasi antara 0,24 – 0,30 g/cm3 4 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana (BoGohl, 1975). Limbah yang berasal dari extraksi minyak seperti bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, bungkil kacang tanah mempunyai angka density antara 0,45 – 0,64. Adanya sifat bulky ini menyebabkan konsumsi makanan akan terbatas terutama pada ternak unggas. Hal ini dapat diatasi dengan jalan pemeletan bahan makanan yang mempergunakan limbah tersebut. Ampas (bungkil) kelapa mempunyai sifat yang mudah mengembang (swelling) bila kena air yaitu 2,5 kali volume awal dalam waktu 3,5 menit (Nitis, 1973). Apabila dipellet maka kecepatan mengembangnya dapat diturunkan menjadi 96 menit. Adanya sifat-sifat tersebut pada beberapa jenis limbah maka pemakaian limbah jumlahnya menjadi terbatas. Walaupun ada beberapa jenis limbah yang kandungan zatzat makanannya sangat tinggi bila dianalisis secara kimia misalnya tepung darah dengan kandungan protein kasar (crude protein) 82 % dan energi metabolis (methabolizable energy) 2843 kcal ME, namun pemakaian bahan ini di dalam ransum ayam sangat terbatas yaitu pada tingkat 1 – 2 % dari total ransum. Ini disebabkan karena availabilitas asam-asam amino yang terkandung di dalamnya sangat rendah (Scott et al. 1982). Di samping itu, kandungan asam amino leucine pada tepung darah sangat tinggi yang menyebabkan adanya leicine : isoleucine imbalance bila pemakaiaanya di atas 10 % (Austic, 1983), walaupun hal ini dapat diatasi dengan suplementasi asam amino leucine sintetik tetapi ransum tidak akan ekonomis lagi karena harga asam amino leucine sangat mahal (Austic, 1983). Contoh lain adanya asam amino antagonisme antara arginine dan lysine yang terdapat pada ransum yang mengandung bungkil kelapa apabila pemakaiannya sampai 40 % (Nitis, 1973). Bila ditinjau dari kandungan asam aminonya maka ransum tadi akan mengandung arginine/lysine ratio 3 : 1 sedangkan standar yang disarankan oleh Scott et al.(1982) adalah 1 : 1. Adanya antagonisme tadi dapat dicegah dengan suplementasi lysine sintetis (L-Lysine-HCl) yang sudah dapat diproduksi dengan harga yang cukup murah dan tersedia di pasaran bebas. Tingginya kandungan lemak (14 – 18 %) pada dedak padi misalnya mengakibatkan bahan tersebut mudah tengik (rancid) yang disebabkan oleh adanya enzym lipolitic di dalam dedak padi tersebut (BoGohl, 1975). Enzym tersebut akan menjadi aktif BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 5 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak pada saat dedak padi dipisahkan dari beras yang menyebabkan kandungan asam lemak dedak padi meningkat dengan cepat sehingga mempercepat terjadinya proses oxidative rancidity atau hydrolysis rancidity terutama pada kelembaban tinggi. Ketengikan ini dapat diatasi dengan extraksi minyak dedak padi atau dengan proses pengeringan sampai dedak tadi mengandung air 4 %. Penambahan vitamin E atau antioxidant lain dapat membantu untuk mencegah ketengikan. Adanya zat penekan pertumbuhan pada dedak padi dilaporkan oleh beberapa peneliti (Kratzer et al. 1974; Kratzer and Payne, 1977; Mayun and Payne, 1977), terutama apabila dedak padi dipakai dalam jumlah yang tinggi yaitu 60 % dari total ransum. Selanjutnya dilaporkan dengan pemanasan 1200 C selama 20 menit masalah tersebut dapat diatasi. Ditemukannya asam phytate pada dedak padi menyebabkan mineral posfor sulit terlepas dari ikatannya sehingga tidak bisa diserap oleh ternak non ruminansia. Adanya zat-zat yang dapat meracun (toxic substance) pada beberapa jenis limbah perlu mendapat perhatian khusus. Kulit umbi ketela pohon misalnya mengandung linamarinn yang mempunyai sifat seperti enzym pelepas asam prussic (HCN) yang dapat meracun pada ternak besar dan unggas (BoGohl, 1975). Kadar HCN ini dapat dikurangi dengan merendam bahan tersebut dan selanjutnya mengeringkannya di bawah sinar matahari. Tepung biji kapas mengandung gossipol yang meracun pada ternak monogastric dan ruminansia muda. Pengaruh racun tersebut dapat dikurangi dengan mencampur bahan tersebut dengan bahan ferum sulfat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam usaha pemanfaatan limbah untuk makanan ternak kendala-kendala di atas dan usaha/cara mengatasinya perlu diperhatikan sehingga pemakaian pada tingkat yang optimal tanpa mengurangi performans ternak dapat dicapai. Adanya keengganan pabrik makanan ternak yang besar untuk memanfaatkan limbah industri pertanian disebabkan karena adanya kendala-kendala lain yang juga perlu mendapat pertimbangan antara lain : mutu limbah yang bervariasi, persediaan limbah yang tidak berkesinambungan (musiman) dan tersebar di beberapa tempat sehingga menyulitkan pengumpulan, 6 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana komposisi kimia yang sangat bervariasi, dan relatif tidak tahan lama bila disimpan. Namun demikian, dengan perkembangan teknologi dewasa ini memungkinkan limbah industri pertanian dapat diusahakan oleh peternakan rakyat kecil melalui usaha perkoperasian. Pemakaian limbah pertanian dalam ransum ternak akan dapat membantu menuju peternakan yang efisien karena harga ransum akan dapat ditekan dan pendapatan petani dapat ditingkatkan. Klasifikasi Limbah Bila dikaitkan dengan konsep pertanian yang tangguh, maka dari segi pasca panen dapat ditafsirkan bahwa pertanian yang tangguh adalah sistem pertanian yang mampu mendayagunakan seluruh hasil pasca panen termasuk limbahnya seefisien mungkin untuk memperoleh hasil guna yang maksimal. Jadi jelaslah di sini bahwasannya pemanfaatan limbah pertanian untuk makanan ternak termasuk usaha yang akan dapat meningkatkan efisiensi usaha pertanian dalam arti luas. Karena demikian beragamnya jenis limbah yang ada maka ada baiknya kalau limbah tersebut diklasifikasikan menjadi beberapa jenis : a. Ditinjau dari asal atau sumber limbah itu maka limbah dapat dibagi menjadi beberapa jenis : 1. Limbah pertanian (Agricultural by/waste product), seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacangkacangan, batang pisang, daun singkong, pucuk tebu, gulma. 2. Limbah industri pertanian (Agro-industrial by-product) seperti dedak padi, dedak jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai, bungkil kacang tanah, sedangkan sekam padi adalah salah satu contoh Agro-industrial wasteproduct. 3. Limbah peternakan seperti kotoran ayam, limbah rumah potong seperti isi rumen, bulu ayam, lemak telo (beef tallow), tulang, darah. 4. Limbah perikanan meliputi beberapa jenis ikan yang merupakan hasil sampingan pada penangkapan udang dan limbah pada unit pembekuan dan pengolahan/ pengalengan ikan seperti bagian kepala, sirip, ekor, BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 7 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak isi perut (Tambunan, et al. 1985). Untuk daerah Bali dimana sepanjang pantai dari Gilimanuk sampai Benoa merupakan sumber ikan lemuru yang hasilnya banyak sekali tetapi tidak semua dapat dikonsumsi manusia maka hasil tangkapan lemuru yang berlebihan itu merupakan sumber tepung ikan untuk makanan ternak yang potensial. 5. Limbah kehutanan yaitu limbah pemungutan pembalakan yaitu kayu-kayu rusak yang tak terpakai dan limbah pengolahan/industri misalnya serbuk gergaji, kulit kayu (Silitonga, 1985) yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan serat kasar tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber campuran makanan ternak untuk menurunkan kadar kolesterol pada darah dan telur ayam (Mc.Naughton, 1978). 6. Limbah perkebunan yaitu meliputi semua hasil ikutan dalam pengusahaan tanaman perkebunan tertentu yang menghasilkan produk utama yang menjadi tujuan pengusaha (Budiman, 1985). Selanjutnya limbah perkebunan dibagi menjadi limbah lapangan seperti pucuk dan daun tebu, gulma hasil penyiangan; limbah tempat pengolahan seperti tetes tebu (molasis), ampas kelapa sawit, ampas tebu (bagas) onggok dan bagian sampah seperti kulit kopi, kulit coklat, air buangan sawit, gas amoniak dan gas buangan karbon dioksida yang merupakan hasil fermentasi tetes tebu untuk pembuatan alkohol dengan produksi 21,6 ton CO2 dalam 60 kilo liter tetes. 7. Limbah tata boga dan lain-lain yang meliputi limbah hotel, restaurant, rumah tangga, pasar. Limbah ini merupakan sisa-sisa dapur, sisa-sisa hotel/ restaurant, sisa-sisa sayuran di pasar yang merupakan limbah pasar yang cukup banyak serta dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak babi dan ruminansia. Menurut kandungan gizinya maka limbah dapat dibagi menjadi : 1. Limbah sumber protein – tepung limbah ikan, tepung darah, daging, tepung bulu ayam, tepung bungkil kelapa, b. 8 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana c. d. e. bungkil kacang tanah dengan kandungan protein antara 22 – 82 %. 2. Limbah sumber energi - yaitu molasis (tetes tebu) , tepung kulit nenas, onggok ketela pohon, kulit ketela pohon, menir, lemak telo (beef tallow), katul, dedak jagung dengan kandungan energi antara 2.400 – 7.010 kcal ME/kg. 3. Limbah sumber mineral – misalnya tepung tulang, kulit kerang, kulit bekicot yang merupakan sumber kalsium dan posfor yang sangat baik untuk ternak unggas yang sedang bertelur. 4. Limbah sumber vitamin dan unidentified growth factor (UGF) seperti cairan limbah pembuatan tepung ikan, ampas peragian pembuatan berem Bali, tepung daundaunan dan lain-lain. Dilihat dari keadaan fisik limbah tersebut maka limbah digolongkan ke dalam limbah padat seperti bungkil kelapa, dedak padi; limbah cair seperti misalnya molasis, limbah hotel/restaurant, dan limbah gas seperti gas karbon dioksida pada fermentasi pembuatan alkohol dari molasis dan methane dari kotoran ternak. Bila ditinjau dari bahan asalnya (parrent material) maka limbah dibedakan menjadi limbah asal nabati seperti tepung bungkil kedelai, bungkil kelapa, dan lain-lain. Serta limbah asal hewani seperti tepung limbah ikan, tepung tulang dan sebagainya. Menurut penggunaannya – limbah dibedakan menjadi limbah konvensional (conventional by-product) yaitu limbah yang sudah biasa dipergunakan dan dalam jumlah yang cukup banyak untuk campuran makanan ternak (primary by-product) seperti dedak padi, tepung ikan, tepung bungkil kedelai, dan lain-lain. Sedangkan limbah inkonvensional (inconventional by-product) yaitu limbah yang penggunaannya dalam jumlah relatif sedikit dan penggunaannya belum meluas sehingga bahan ini sering disebut dengan secondary by-product (Devendra, 1983). Bagian yang terakhir adalah limbah yang terbuang (waste/unused by-product) dimana biasanya limbah ini dibakar (dibuang/dikembalikan ke tanah karena belum BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 9 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak ada teknologi yang efisien untuk mengolah bahan tersebut untuk dijadikan bahan makanan ternak. Misalnya sekam padi dan jerami padi kering, serbuk gergaji, ampas sawit dan lainlain. Dari uraian di atas maka jelaslah banyak sekali jenis limbah yang ada yang masih bisa didaur ulang untuk dijadikan bahan campuran makanan ternak sehingga biaya produksi usaha peternakan dapat ditekan. Bila limbah tersebut dapat dimanfaatkan secara baik maka pendapatan petani dapat ditingkatkan, membantu menanggulangi polusi dan kebersihan lingkungan, walaupun demikian seperti diuraikan di depan bahwa masih banyak kendalakendala yang harus dihadapi dan banyak penelitian yang harus dilakukan untuk dapat memanfaatkan limbah ini secara optimal sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak. Limbah untuk Makanan Ternak Di Indonesia pada umumnya dan Bali khususnya pemanfaatan beberapa jenis limbah pertanian untuk makanan ternak bukanlah merupakan hal yang baru misalnya pemanfaatan jerami kedelai, jerami kacang tanah dan batang jagung. Namun demikian, pemanfaatan beberapa jenis limbah secara tradisional ini terbatas pada usaha tani rakyat yang memelihara ternak sapi 1 – 2 ekor saja sebagai suatu usaha sambilan. Dalam usaha meningkatkan kesejahteraan petani peternak seperti apa yang digariskan dalam pola kebijaksanaan Pelita V maka usaha pengembangan peternakan harus ditingkatkan baik jumlah ternaknya maupun manajemen pemeliharaannya. Bila demikian halnya maka kendala utama yang akan dihadapi para peternak adalah penyediaan hijauan makanan ternak yang disebabkan semakin sempitnya lahan pertanian terutama di daerah Bali. Alternatif lain yaitu pemanfaatan limbah pertanian merupakan pilihan yang sangat penting di dalam usaha pengembangan peternakan pada lahan sempit seperti di Bali misalnya. Adanya beberapa jenis limbah pertanian di Bali yang belum dimanfaatkan secara optimal seperti jerami padi, limbah rumah potong seperti isi rumen, lemak telo, tepung darah, limbah industri pengalengan ikan, dan lain-lain merupakan hal yang cukup serius. Hal ini disebabkan antara lain 10 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana oleh adanya kebiasaan peternak untuk memanfaatkan bahanbahan yang sudah biasa mereka pergunakan secara turuntemurun dari nenek moyangnya. Karena kebiasaan-kebiasaan tersebut, ditambah lagi pengetahuan beternak yang terbatas maka tingkat kehidupan petani peternak relatif tetap rendah dari waktu ke waktu. Dengan kemajuan teknologi yang sekarang ini maka beberapa jenis limbah sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk makanan ternak sehingga jumlah pemilikan ternak yang dulunya terbatas dapat ditingkatkan dengan tersedianya limbah untuk makanan ternak. Seperti yang diuraikan di bagian terdahulu, di samping sifat limbah yang rendah nilai gizinya, beberapa limbah memerlukan penanganan khusus dan sekaligus merupakan tantangan para ahli di bidang nutrisi dan makanan ternak untuk memecahkan permasalahan pemanfaatan limbah pertanian untuk dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Sebagai contoh, limbah jerami padi yang potensinya luar biasa tingginya tetapi belum dimanfaatkan untuk makanan ternak. Di Bali misalnya produksi jerami padi kurang lebih 1,3 juta ton per tahun (Statistik Bali, 1989). Hampir semua biomassa tersebut belum dimanfaatkan untuk makanan sapi. Hal ini antara lain disebabkan oleh kebiasaan para peternak yang hanya memberikan makanan sapinya berupa rumput-rumputan serta jenis tanaman segar lainnya, disamping pengetahuan mereka yang masih terbatas. Dari hasil penelitianpenelitian yang sudah ada, nilai gizi (nutritive value) jerami padi dapat ditingkatkan dengan berbagai perlakuan. Prinsip dasar peningkatan mutu jerami padi ini adalah penghancuran dinding sel, lignin dan selulose yang ada pada jerami tersebut. Misalnya dengan memberi perlakuan zat-zat kimia (seperti NaOH); Pearce (1981); Doyle (1982) melaporkan digestibility (nilai cerna) jerami dapat ditingkatkan sebanyak 40 – 70% walaupun kandungan karbohidrat, mineral, vitamin jerami tersebut hilang sebanyak 20 – 25%. Cara lain yang juga bisa dipergunakan untuk meningkatkan nilai cerna jerami adalah dengan perubahan fisik jerami tersebut yaitu dengan pemotongan, penggilingan, pemeletan, pengukusan (Menson, 1963; Pickard et al, 1969; Bender et al, 1970). Secara biologis yaitu dengan mempergunakan jenis jamur, bakteri dan enzym tertentu yang dapat menhancurkan lignin dan selulose sehingga nilai cerna jerami padi dapat ditingkatkan (Kirk and More, BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 11 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak 1972; Ibrahim and Pearce, 1980). Di Universitas of New England – Australia peningkatan efisensi pemakaian jerami sebagai makanan ternak ruminansia dapat dilakukan dengan membunuh protozoa yang ada dalam rumen sapi dengan berbagai jenis antibiotika tertentu (Leng, 1976; Bird and Leng, 1978). Perkembangan selanjutnya dari usaha peningkatan nilai cerna jerami padi dapat dilakukan dengan memanfaatkan jenis jamur yang ada di dalam rumen sapi yang dapat menghancurkan serat kasar yang ada pada jerami. Jenis jamur ini Neocallimastic frontalis (unaerobic fungi) dapat meningkatkan penghancuran serat kasar jerami padi dari 41 – 75% (Orpin and Letcher, 1979; Bauchop, 1981). Cara lain yang biasa diterapkan dalam pemanfaatan jerami padi sebagai makanan ternak sapi adalah dengan metode suplementasi baik dengan sumber protein (by-pass protein – Kempton et al, 1977); Non Protein Nitrogen (Kempton and Leng, 1979); sumber energi seperti dedak padi, molasis (deif et al, 1970; Elliot et al, 1978) dan dengan urae molasses block (Butler, 1981). Dari laporan peneliti-peneliti tersebut dapat disimpulkan bahwa jerami dapat ditingkatkan nilai gizinya dan dapat dipergunakan untuk makanan ternak ruminansia. Contoh tersebut di atas adalah salah satu contoh teknologi yang telah dikembangkan dan bisa diterapkan untuk penanganan jerami padi sebagai salah satu limbah pertanian untuk makanan ernak yang mempunyai potensi sangat tinggi. Walaupun di Universitas Udayana telah berhasil dkembangkan cara penyediaan hijauan makanan ternak pada lahan kritis dengan Sistem Tiga Strata (Nitis, 1986), usaha pemanfaatan jerami padi ini perlu dikembangkan di daerah-daerah lahan basah yang pada musim-musim kering mengalami kesulitan akan penyediaan makanan ternak seperti Bali bagian Utara dan Timur karena ternak sapi di daerah tersebut telah beradaptasi dengan baik untuk memanfaatkan bahan-bahan yang telah kering. Hal ini untuk menghindari adanya stress pada ternak dari kebiasaannya memanfaatkan hijauan makanan ternak segar (green fresh forage) pada ternak yang biasa di daerah-daerah subur seperti daerah Tabanan dan Badung. 12 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana Pemanfaatan Beberapa Limbah Industri Pertanian Inkonvensional (Inconventional Agro-Industrial By-Products) di Bali A. Limbah Peternakan Ayam Walaupun ternak unggas termasuk jenis ternak yang sangat efisien mempergunakan makanan, baik untuk produksi daging maupun telur, namun tidak semua bahan makanan yang dikonsumsi bisa dimanfaatkan oleh ternak itu sendiri. Sebagai contoh dari sejumlah protein yang dikonsumsi oleh ayam petelur maka sebanyak 45 % akan terbuang melalui kotorannya. Pada ayam pedaging (broiler) yang lebih efisien mempergunakan makanan, maka pada faecesnya masih terdapat sekitar 35 % dari total protein yang dikonsumsi (Scott, et al, 1976). Ini berarti faeces ayam masih mempunyai gizi yang tinggi yang belum sempat terserap di dalam saluran pencernaannya dan masih mungkin dimanfaatkan untuk makanan ternak (recycle). Walaupun kebiasaan dewasa ini pemanfaatan kotoran ayam adalah untuk rabuk, mengingat kandungan zat-zat makanan yang masih cukup tinggi (Tabel 3), maka sebenarnya lebih bijaksana kalau bahan tersebut didaur ulang untuk makanan ternak. Disamping itu untuk usaha peternakan ayam yang lokasinya dekat kota serta usahanya termasuk peternakan skala besar, produksi kotoran ayam akan sangat banyak bahkan bisa menimbulkan masalah polusi apabila penanganannya tidak baik. Keadaan ini bisa mengakibatkan pencemaran lingkungan yang kurang baik karena bau dan kotoran ayam merupakan tempat berkembang biaknya lalat pembawa penyakit. Sebagai gambaran dengan jumlah ayam ras yang ada di Bali, maka produksi kotoran ayam kurang lebih 673,2 ton/tahun (Statistik Bali, 1989). Ini berarti jumlah yang cukup potensial sebagai salah satu bahan campuran konsentrat untuk makanan ternak. Penelitian-penelitian tentang pemanfaatan kotoran ayam untuk makanan ternak telah banyak diteliti di luar negeri. ElBousky et al, (1978) melaporkan bahwa penggunaan kotoran ayam petelur pada level 5 – 15 % (dengan kenaikan 2,5 unit) memberikan pertumbuhan yang sama pada ayam pedaging umur 6 minggu asalkan ransum yang disusun iso nitrogenous BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 13 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak dan iso kalori. Selanjutnya Cunningham dan Lillich (1975) mempergunakan kotoran ayam pedaging sampai 38 % untuk mempelajari pertumbuhan dan efeknya terhadap kualitas dan aroma daging ayam tersebut. Dari segi pertumbuhan, penggunaan kotoran ayam pada level 38 % menyebabkan pertumbuhan ayam tertekan, akan tetapi panelis tidak dapat membedakan baik dari segi aroma dan rasa antara ayam yang diberi ransum kontrol dan yang mengandung 38 % kotoran ayam. Selanjutnya dilaporkan kandungan protein, lemak, kalsium, posfor daging tidak berbeda antara kontrol dan yang mendapat ransum yang mengandung kotoran ayam. Penggunaan kotoran ayam pedaging untuk ayam pedaging diteliti oleh Bharjava dan O’Neil (1975). Dilaporkan bahwa apabila ransum disusun iso nitrogenous dan iso kalori maka pemakaian kotoran ayam sampai 20 % tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kualitas karkas ayam pedaging. Penelitian yang hampir sama dilaksanakan oleh Mastika et al. (1983) dengan menggunakan kotoran ayam broiler pada level 0 – 20 % (dengan kenaikan 5 unit) pada ransum broiler. Pada tingkat pemakaian 15 dan 20 % berat badan ayam pada umur 8 minggu masing-masing 6 dan 7 % lebih rendah dari kontrol. Selanjutnya dilaporkan berat karkas di bagian tubuh tidak dipengaruhi oleh tingkat pemakaian kotoran ayam. Selanjutnya disimpulkan bahwa pemakaian kotoran ayam sampai pada level 10 % tidak berpengaruh pada pertumbuhan ayam. Mastika et al. (1983) mempergunakan kotoran ayam petelur dengan level yang sama untuk ransum ayam pedaging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian pada level 10 % sudah mulai mempengaruhi pertumbuhan ayam, walaupun persentase karkas tidak dipengaruhi tetapi ada kecenderungan terjadi peningkatan berat bulu dan lemak dengan semakin meningkatnya level pemakaian kotoran ayam. Pemanfaatan kotoran ayam untuk makanan babi juga dilaporkan oleh peneliti Jepang, Kato et al. (1971) dengan mempergunakan 20 % kotoran ayam untuk babi yang digemukkan. Dilaporkan pemakaian kotoran ayam tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan babi, meningkatkan kualitas daging serta menghemat biaya pemeliharaan. Di Universitas Udayana, Mastika et al. (1983) menggunakan teknik tumpang sari ayam-babi untuk memanfaatkan kotoran ayam segar sebagai makanan babi 14 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana crossing Bali x Saddle Back. Penempatan 20 ekor ayam petelur di atas kandang 2 ekor babi yang diberi ransum tradisional (dedak + batang pisang) dapat meningkatkan berat badan babi 27 % di atas berat badan babi yang diberi ransum tradisional saja. Penelitian yang sejenis dilaksanakan di Dati II Tabanan kerja sama antara Universitas Udayana dengan Bappeda Dati II Tabanan (Mastika et al. 1983). Dilaporkan bahwa babi yang dipelihara di bawah kandang ayam, berat badannya 35 % lebih tinggi dibandingkan dengan babi yang dipelihara tanpa ayam di atasnya. Produksi telur ayam yang dipelihara di atas kandang babi sama dengan produksi telur ayam yang dipelihara tanpa babi di bawahnya. Tes uji rasa menunjukkan bahwa panelis tidak dapat membedakan antara daging babi yang mendapat dan tidak mendapat kotoran ayam. Hasil penelitian tersebut diperkuat lagi dengan penelitian yang dilaporkan oleh Nitis (1986) dimana babi yang dipelihara di bawah kandang ayam yang langsung mendapat kotoran saja atau kotoran dan sisa ransum ayam tumbuh lebih baik dari yang tidak mendapat kotoran ayam. B. Lemak Telo (Beef Tallow) Limbah Rumah Potong Hewan Lemak sapi yang biasa disebut dengan lemak telo (beef tallow) merupakan lemak internal sapi yang tidak dikonsumsi oleh manusia dan biasanya merupakan hasil sampingan (Agro-industrial by-produsct) industri rumah potong/pengalengan daging. Seekor sapi Bali dengan berat potong 325 – 375 kg mengandung lemak internal antara 4 – 5 dari berat hidup (Nitis, 1981; Budiartha, 1987). Ini berarti dari seekor sapi Bali akan didapat 14,6 – 16,9 kg lemak telo mentah dan bila dimasak akan menghasilkan 9,6 – 11,2 kg lemak matang (Mastika, 1990). Bila dikaitkan dengan jumlah sapi yang dipotong di seluruh Bali yaitu 168 ekor per hari (Statistik Bali, 1989) maka jumlah lemak telo yang tersedia setiap harinya berkisar antara 1,6 – 1,9 ton, suatu jumlah yang sangat tinggi. Dewasa ini sumber energi utama ransum ayam di Indonesia adalah jagung kuning dan meliputi jumlah antara 50 – 60 % dari total ransum. Di lain pihak jagung masih merupakan bahan makanan utama manusia sehingga terjadi kompetisi antara manusia dan ternak akan jagung yang pada akhirnya mengakibatkan harga jagung berfluktuasi dan cenderung meningkat dus harga ransum BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 15 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak meningkat sehingga pendapatan peternak semakin rendah bahkan cenderung merugi. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita untuk melihat dan mencari alternatif bahan yang mungkin dapat dipergunakan untuk mengganti jagung, tidak dikonsumsi manusia dan murah harganya serta mempunyai nilai hayati yang tinggi. Oleh karena itu pemanfaatan lemak telo sebagai sumber energi merupakan pilihan salah satu bahan penyusun ransum ternak. Hal ini didukung oleh suatu kenyataan ilmiah dimana secara umum lemak telo mengandung energi yang sangat tinggi yaitu 2,25 kali energi karbohidrat dengan kandungan ME 7700 kcal/kg (Scott et al. 1982). Nilai tersebut akan meningkat menjadi 10165 kcal/kg yaitu meningkat sebanyak 32 % bila dikonsumsi oleh ayam (Sell and Thompson, 1965). Di samping adanya extra calory effect tersebut lemak telo mempunyai sifat yang dapat meningkatkan pallatabilitas ransum serta dapat mengurangi stress udara panas karena lemak telo merupakan bahan yang mempunyai sifat spesific dynamic effect yang rendah bila dikonsumsi oleh ayam (Fuller and Mora, 1973). Di Universitas Udayana sendiri penelitian ke arah ini telah dilaksanakan baik pada ternak ayam, babi, dan sapi. Arka (1984) meneliti tentang pemanfaatan lemak telo untuk penggemukan sapi Bali dengan level 0,5 dan 10 % dari total ransumnya. Dilaporkan pertambahan berat badan sapi tersebut masing-masing 197,388 dan 253 g/hari serta angka kepualamannya (marbling score) berturut-turut 0; 1,12 dan 1,46. Jadi jelas di sini pemanfaatan lemak telo pada sapi di samping meningkatkan pertambahan berat badan juga memperbaiki kualitas daging sapi tersebut. Pemanfaatan lemak telo sebagai pengganti sebagian energi jagung juga diteliti pada ayam pedaging (Mastika dan Wijana, 1989, in press) dan ayam yang sedang tumbuh (Mastika dan Mariani, 1989). Dari hasil penelitian tersebut dilaporkan bahwa penggantian energi jagung dengan energi lemak telo sampai tingkat 50 % tidak berpengaruh terhadap berat badan broiler dan ayam petelur yang sedang tumbuh. Hasil yang sama pada ayam pedaging dilaporkan oleh Mahardika dan Mastika (1990 in press). Yang menarik dalam penelitian ini pemakaian lemak telo ternyata menyebabkan rate of passage dari ransum yang dikonsusmsi 16 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana semakin lambat dengan meningkatnya pemakaian lemak telo. Hal yang sebaliknya terjadi bila lemak telo diganti dengan minyak kelapa (Mastika dan Budiasa, 1991 in press). Kenyataan ini akan dapat menjelaskan bahwa penyerapan zat-zat makanan untuk ransum yang mengandung lemak telo menjadi lebih sempurna. Hal yang dapat diambil manfaatnya dari penelitian ini adalah adanya perbedaan respon antara ayam petelur White Leghorn (WL) dan ayam broiler. C. Pemanfaatan Isi Rumen Sapi sebagai Salah Satu Limbah Rumah Potong untuk Makanan Ternak Salah satu limbah rumah potong yang tidak dimanfaatkan sampai sat ini dan perlu didaur ulang adalah isi rumen sapi. Biasanya isi perut sapi yang akan dipotong jumlahnya berkisar antara 9 – 11 % dari berat hidup (Hutagalung, 1977). Dengan perhitungan setiap hari jumlah sapi yang dipotong 168 ekor (Statistik Bali, 1989) maka produksi limbah ini 5,8 ton/hari atau 2116 ton/ tahun. Limbah ini biasanya mengeluarkan bau yang kurang sedap dan bila tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan pencemaran lingkungan yang serius. Pada dasarnya isi rumen sapi adalah bahan-bahan makanan yang tercerna yang belum sempat diserap oleh usus dan masih tercampur dengan getah lambung, enzym-enzym pencernaan, dan mikroba rumen. Komposisi kimia atau kandungan zat-zat makanan yang terdapat di dalamnya dapat dilihat pada Tabel 3. Yang paling penting serta mendasar untuk diketahui adalah kandungan serat kasarnya agak tinggi serta merupakan sumber UGF (unidentified growth factor), vitamin B12 dan xhanthophyl yang cukup potensial. Di luar negeri penelitian tentang penggunaan isi rumen untuk makanan ternak unggas telah dilaporkan oleh El Deek et al. (1975) dan Emmanuel (1978). Walaupun informasi pemanfaatan isi rumen masih terbatas, namun di Universitas Udayana kemungkinan pemakaian bahan tersebut untuk makanan ayam telah dilaporkan oleh Nitis et al. (1987). Dari laporanlaporan tugas akhir mahasiswa Fakultas Peternakan, Sarimanis (1988) mempergunakan campuran 37,25 % isi rumen dan 62,75 % limbah ikan sebagai protein konsentrat untuk makanan ayam. Pemakaian 15 – 35 % bahan tersebut untuk makanan ayam petelur BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 17 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak menyebabkan produksi telur menurun sebanyak 10 – 12 %. Hasil yang serupa juga dilaporkan oleh Rusmariasih (1988) pada ayam petelur White Leghorn dan Super Harco. Tampaknya dari laporan tersebut kandungan serat kasar yang cukup tinggi merupakan faktor pembatas di dalam usaha pemanfaatan isi rumen untuk bahan makanan ternak ayam. Oleh karena itu penggunaan dalam jumlah yang lebih rendah perlu diteliti lebih lanjut. Di samping itu penelitian sejenis untuk ternak babi perlu dilakukan pada masa mendatang mengingat babi mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayam dalam mempergunakan bahan makanan yang berserat kasar tinggi. Beberapa contoh di atas memberikan gambaran potensi suatu limbah dan manfaat beberapa jenis limbah industri pertanian inkonvensional (Inconventional Agro-Indystrial by-products) untuk makanan ternak. Banyak lagi jenis-jenis limbah sejenis di Bali yang tersedia seperti tepung darah, tepung tulang dan daging, tepung limbah ikan yang perlu penanganan, sebelum dapat dipergunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak. Simpulan dan Saran Dari uraian tersebut di atas beberapa usaha yang perlu dipikirkan untuk memanfaatkan limbah pertanian dan industri pertanian untuk makanan ternak dalam usaha pengembangan peternakan yang berwawasan lingkungan adalah sebagai berikut : 1. Adanya beberapa jenis limbah dan industri pertanian yang mempunyai potensi dan nilai gizi yang cukup tinggi membuka peluang untuk mendaur ulang bahan tersebut melalui ternak untuk mendapatkan nilai tambah dalam usaha pengembangan peternakan rakyat yang berwawasan lingkungan. 2. Pemilikan lahan pertanian di Bali pada umumnya sangat sempit (0,30 Ha) sehingga petani tidak mampu meningkatkan jumlah ternaknya karena akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makanan ternak yang dihasilkan dari lahan olahannya sendiri dan ini hanya mungkin bisa diatasi dengan pemanfaatan limbah pertanian atau industri pertanian untuk makanan ternak sehingga pemilikan ternak dapat dikembangkan dan kesejahteraan petani ternak dapat ditingkatkan. 18 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana 3. Beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam usaha memanfaatkan limbah pertanian atau industri pertanian untuk makanan ternak adalah jumlah limbah yang tersedia (potensinya), distribusi limbah dan infrastruktur yang ada kaitannya dengan masalah penanganan limbah (handling), tingkat teknologi pengolahan limbah yang tersedia, ketersediaan limbah sepanjang tahun, kualitas limbah tersebut, ada/ tidaknya zat-zat yang meracun pada limbah, penggunaan limbah pada keperluan lain, biaya pengolahan untuk memproduksi limbah menjadi bahan makanan ternak serta keadaan sosio budaya masyarakat pemakai limbah tersebut. Di dalam proses pengadaan dan pengolahan limbah untuk makanan ternak perlu diusahakan oleh badan swasta atau koperasi sehingga ketersediaan bahan tersebut dapat berlanjut sepanjang tahun. Untuk membantu pembangunan dan pengembangan pariwisata di Bali dan dalam usaha mengurangi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah usaha pertanian atau peternakan dan dalam usaha mencari alternatif dalam makanan ternak, perlu diadakan penelitian yang berkelanjutan tentang pemanfaatan limbah pertanian atau industri pertanian untuk makanan ternak, sehingga ragam limbah yang dapat dipergunakan jumlahnya meningkat. Untuk ini strategi pendanaan penelitian oleh Pemerintah Daerah Tk. I Bali perlu dipikirkan. Daftar Pustaka Arka, I.B. (1989). Pengaruh penggemukan terhadap kualitas daging da karkas pada sapi Bali. Disertasi Doktor, Universitas Negeri Pajajaran Bandung. Austic, R.E. (1983). Nutritional interaction of amino acids. In : proc Recent Advances in Animal Nutrition in Australia. Ed. Farrell D.J. and Vohra P. University of New England, Australia. Bauchap, T. (1979). The aerobic fungi in rumen fibre digestion. Agric. Environm, 6 : 339. Bhargava, K.K and O’Neil, J.B. (1975). Evaluation of dehydrated poultry waste from cage reared broilers as feed ingredient for broilers, Poult. Sci. 54 : 1506. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 19 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak Bender, F., Heaney, D.P., and Bowden, A. (1970). Potential of steamed wood as a feed for ruminants. For. Prod. J. 20 : 30. Birds, S.H. and Leng, R.A. (1978). The effects of defaunation of the rumen on the growth of cattle on low protein high energy diets. Br. J. Nurt. : 40 : 163. Birds, S.H. and Leng, R.A. (1983). The influence of the absence of rumen ptotozoa on ruminant production. In Recent Advences in Animal Nutrition in Australia. Eds. D.J. Farell and P. Vohra. University of New England, Armidale, Australia. Bolton, W. (1976). Feeding poultry waste ruminant. 5th European Poultry Vol.I, p. 533. BoGohl (1975). Ropical feeds. FAO : Rome Budiartha, I.G.K. (1987). Bobot komposisi tubuh sapi Bali sebagai ternak potong (studi kasus). Majalah Ilmiah Populer Widyasrama, Universitas Dwijendra, Denpasar. Buther, L.G. (1981). Supplementary feeding of Merino wethers grazing weed-free stuble pastures. Aust. J. Exp. Anim. Husb. 21 : 272. Budiman. A.F.S. (1985). Potensi limbah dan pemanfaatannya dari hasil perkebunan. Dalam monografi pertama Limbah Hasil Pertanian. Ed. : Winarno, F.G. et al. (1985). Kantor Menteri Muda urusan Peningkatan Produksi Pangan. Cunningham, F.E. and Lillich, G.A. (1975). Influence of feeding dehydrate poultry waste on broiler growth and meat flavour and composition. Polut. Sci. 54 : 860. Devendra, C. (1983). Development strategies concerning the efisien utilization of the feed resources and feeding system for animal in the Asian region. Proc. Of the 2nd Workshop and Technology of animal Feed Production Utilizing Food Waste Materials, Singapore. Dief. H.I., Abun-Akhada, A.R. and El-Shazly, K. (1970). A note on the utilization of urea nitrogen by sheep. J. Anim. Prod. 12 : 339. Doyle, P.T. (1982). Review of treatment of fibrous roughages in South East Asia. Proc. 3rd Annual Seminar on Maximum Livestock Production from Minimum Land, 15 – 18 Feb. 1982. Bangladesh Agric. Research Institute, Dacca. El Deek, A.K.; Abun Akada, A.R.; Khalil, A.A. and El-Zhally, K. (1985). The use of dried rumen contents in Poultry Nutrition. 20 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana Alexandrie, J. of Agric. Research, 23 : 53 – 58. El Boushy, A.R.; Vink. F.W.A. (1978). The value of poultry waste as feed stuffs in broiler diets. Feedstuffs 49 : 24. Ellion, R., Ferrciro, N.M., Priego, A. and Preston. T.R. (1978). Rice polishing as a supplement in sugar cane diets : the quantities of starch (1-linked glucose polymers) entering the proximal duodenum : Trop.. Anim. Prod. 3 : 30. Emmanuel, B. (1978). Effects of rumen contents and fractions there of on performance of broilers. Br.Poult.Sci. 19 : 13 – 16. Garis-garis Besar Haluan Negara (1988). TAP MPR Republik Indonesia No. II/MPR/1988. Hutagalung, R.I. (1977). In : Feeding stuffs for livestock in South East Asia. (Devendra and Hutagalung Eds.), Malaysian Society of Animal Production. Ibrahim, M.N.M. and Pearce G.R. (1980). Effect of white rot fungi on the composition and in vitro digestibility of crop by-product. Agric. Waste, 2 : 199. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988). Dept. Pendidikan dan kebudayaan R.I. Perum Penerbitan Balai Pustaka. Kato, Z., Tanabe, Y., Shegino, K., Kato, Y. and Tanabe, H. (1977). Utilization of dried poultry waste (DPW as feed stuff ) for domestic animals. Japan Poult.Sci., 14 : 244. Kempton, T.J., Nolan, J.V. and Leng, R.A. (1977). Principles of the use of non protein nitrogen and by pass protein in diet of ruminants. Wld. Anim. Rev. 22 : 2. Kempton, T.J. and Leng, R.A. (1979). Responses in growth and rumen function of a low-protein cellulosic diet with either urea, casein or formadehydetreated casein in protein nutrition of growing lambs. Br. J. Nutr. 42 : 289. Kirk, T.K. and Moore, W.E. (1972). Removing lignin from wool within white-rot fungi and the digestibility of the resulting wood. Wood and Fibre 4 : 72. Kratzer, F.H., Earl, L. and Chiaravanont, C. (1974). Factors influencing the feeding value of rice bran for chickens. Proc. Sci. 53 : 1975 – 1800. Lamm, D., Jones, L.E., Clanton, D.C. and Ward, J.K. (1975). Poultry as a nitrogen source for cattle. J. of Animal Science 41 : 409. Leng, R.A. (1976). Factors influencing nett protein production BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 21 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak by the rumen microbia. In : Reviews in Rural Science No. 2 from plant to animal protein. Ed. T.M. Sutherland et al. The University of New England. Armidale Australia. Mayun, G.K. and Payne, C.G. (1977). Autoclaved rice bran in layers diets. Br. Poult. Sci. 18 : 201 – 203. Mastika, I.M. (1981). Choice feeding of growing chickens. M.Sc. thesis. The University of New England, Australia. Mastika, I.M., Guntoro, S., Nitis, I.M. dan Karosi, A.T. (1983). Pengaruh tingkat pemakaian kotoran ayam terhadap komposisi tubuh dan karkas serta bagian dalam ayam pedaging. Proc. Seminar pemanfaatan limbah pangan dan limbah pertanian untuk makanan ternak. Yogyakarta, 11 Januari 1983. LKN, LIPI. Mastika. I.M., Karosi, A.T., Nitis, I.M., Artha, I.W. and Brandhi, I.W. (1983). Inclusion of broiler manure into ration for broilers. Proc. The second workshop on Technology of Animal Feed production utilizing food waste material. The Asean working group waste materials, Singapore. Mastika, I.M., Mastra, I.G., dan Suwandi, I.G.P (1983). Pemanfaatan kotoran ayam segar untuk makanan babi dengan sistem tumpang sari. Laporan hasil penelitian Fapet-Unud. Mastika, I.M. (1983). The integration of pigs kept under laying birds fed free choice. Final report, IFS 1983, Udayana University, Denpasar, Bali, Indonesia. Mastika, I.M. (1987). Some basic principles underlaying free choice feeding of growing chickens. PhD. Thesis the University of New England Australia. Mastika, I.M., Mariani, N.P. (1989). Pengaruh penggantian energi jagung dengan lemak sapi terhadap penampilan ayam petelur fase starter. Bull. Fak. Kedokteran Hewan dan Peternakan Unud, No. 117 : I 1 – 13. Mastika, I.M. dan Suasta, I.M. (1990). Pengaruh penggantian energi jagung dengan energi lemak sapi terhadap penampilan ayam petelur. Majalah Ilmiah Universitas Udayana Th. XVII, 25 : 123 – 137. Mastika, I.M. (1990). Lemak sapi sebagai sumber energi yang murah untuk pakan ayam. Bull. ISPI Vol. 1. Mastika, I.M. (1990). Pemanfaatan lemak sapi sebagai sumber energi alternatif pada ransum ayam. Proc. Seminar Nasional 22 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana Sapi Bali, 20 – 22 September, Fapet Unud. Mastika, I.M. (1991). Sapi Bali Aset Nasional dengan Segala Keunikannya. Bull. ISPI No. 2 Th. II. Minson, D.J. (1983). The effect of pelleting and watering on the feeding value of roughage. A review. J. Br. Grassed, Soc. 18 : 39. Nitis, I.M. (1973). Nutritional evaluation of copra meal and rice pollard for growing chick, PhD. Thesis. The University of New England, Australia. Nitis, I.M. (1981). Raw materials for concentrate. Proc. Asean Workshop on the technology of Animal Feed production utilizing Food waste materials, 26 – 28 August, 281, Bandung, Indonesia. Nitis, I.M. (1983). Effects of replacing 30 % of green roughage with concentrate on the performance of Bali steer. IDRC report, Udayana University, Denpasar, Bali. Nitis, I.M. (1986). Effect of poultry excrete on the performance of growingbarrow raised in the poultry-pig integrated system. Workshop on swine and poultry husbandry, IFS – Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Nitis, I.M., Suharto, I.G.N., Sutji, N., Kismurtono, M. dan Suryani, N. (1987). Konsentrat protein dari limbah rumah potong sapi dan limbah pengalengan ikan untuk makanan ayam petelur. Laporan penelitian kerjasama Fapet Unud dan LIPI, Bandung. Ngiam, T.T. (1983). Technology of animal feed production utilizing food waste materials. Proc. Of the 2nd Workshop on Technology of animal feed production utilizing food waste materials, Singapore. Oluyemi, J.A., Longe, B. and Esubi, R. (1979). Replacing corn with sun dried manure of laying pellets, mature pig, sheep and cow. Poult. Sci; 58 : 852. Orpin, C.G. and Letcher, A.J. (1979). Utilization of cellulose, starch, nylon and others hemicelluloses for growth by the rumen phycomycete neocallimastic fotalis. Current microbiology 3 : 121. Pearce, G.R. (1981). Principles of chemical treatment of stubble. In : procc. of a Seminar on the potential for chemical treatments BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 23 Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak of stubble in Western Australia. Ed. : I.N. Southey, Bewerly, Western – Australia. Pickard, D.W., Swan, H. and Lamming, G.E (1969). Studies on the nutritionof ruminants. The use of ground straw of different particle size for cattle from twelve weeks of age Anim. Prod. 11 : 543. Rahim-Bidin, Shahab, N. and Devendra, N. (1983). Development of research programme for animal feed production utilizing food waste materials. Proc. Of the 2nd Waorkshop on Technology of Animal Feed Production Utilizing Food waste Materials, Singapore. Rusmariasih, N. (1988). Pengaruh penggunaan konsentrat protein berupa campuran isi rumen dan limbah ikan terhadap produksi telur dari dua galur ayam. Skripsi, Fakultas Peternakan Unud. Srimanis, K.K. (1988). Pengaruh penggunaan konsentrat protein dari campuran isi rumen sapi dan limbah ikan terhadap produksi telur ayam. Skripsi Fakultas Peternakan ,Unud. Scott, M.L., Nesheim, M.C. and Young, R.J. (1976). Nutrition of the chicken. M.L. Scott and Assoc. Ithaca, New York. Scott, M.L., Nesheim, M.C. and Young, R.J. (1982). Nutrition of the chicken. M.L. Scott and Assoc. Ithaca, New York. Sell, J.L. and Thompson, O.J. (1965). The effect of ration pelleting and fat level on the efficiency of nutrient utilization by the chicken. Br. Poult. Sci. 6 : 345 – 354. Siregar, A.P. (1987). The prospect of poultry manure as feed for livestock and poultry production in Indonesia. Procc. the 1st Asean Production Utilizing food waste materials, LIPI – Bandung. Silitonga, T. (1985). Potensi dan pemanfaatan limbah hasil kehutanan. Dalam monografi pertama Limbah Hasil Pertanian, Ed. Winarno, F.G et al. (1985). Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Soehadji (1990). Kebijaksanaan pemuliaan ternak (Breeding Policy), khususnya sapi Bali, dalam Pembangunan Peternakan. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali, 20 – 22 September 1990. Ed. Haryana et al (1990). Penerbit Unud. Soewandi, B. (1985). Limbah pertanian sebagai makanan ternak. Dalam monografi pertama Limbah hasil Pertanian Ed. 24 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana Winarno, F.G et al. (1985). Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Statistik Bali (1989). Kantor Statistik Propinsi Bali, Jalan raya Puputan Renon, Denpasar. Tambunan, T.M., Patadungan, Y., Djoyosutono, S., Turniati, S., dan Ismanadji, I. (1985). Pemanfaatan limbah perikanan dan masalahnya. Dalam monografi pertama Limbah Hasil Pertanian. Ed. Winarno, F.G et al. (1985). Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Winarno, F.G. (1985). Penggunaan limbah tanaman pangan. Dalam monografi pertama Limbah Hasil Pertanian. Ed. Winarno, F.G et al. (1985). Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 25 ARTI PENTING BIOTEKNOLOGI BIDANG PETERNAKAN: TINJAUAN KHUSUS MENGENAI INSEMINASI BUATAN DAN TRANSFER EMBRIO D.K. HARYA PUTRA Pendahuluan Topik ini kami pilih karena bioteknologi di bidang peternakan, khususnya inseminasi buatan dan transfer embrio telah banyak kami manfaatkan sebagai sarana/alat dalam melakukan berbagai penelitian di bidang fisiologi pada waktu kami menempuh program S2 (master) dan S3 (doktor). Di samping itu, juga karena kami menyadari bahwa bioteknologi mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk upaya manusia memajukan bidang peternakannya. Karena itulah, sebagai ilmuwan di perguruan tinggi, kita seyogianya terus berusaha memanfaatkan atau setidaknya mengikuti perkembangan bioteknologi agar dapat memperluas wawasan kita di bidang itu. Sementara sasaran akhirnya adalah penerapan bioteknologi dalam kehidupan manusia, kita di perguruan tinggi setidaknya harus mampu memanfaatkan bioteknologi dalam melaksanakan butir kedua dari tri dharma perguruan tinggi kita, yaitu penelitian. Dengan kata lain, kita harus mampu memanfaatkan bioteknologi itu sebagai sarana/alat percobaan (“experimental tool”) dalam melakukan kegiatan penelitian. Kami berharap semoga apa yang kami sajikan ini nantinya dapat lebih membuka wawasan hadirin tentang arti penting bioteknologi di bidang peternakan. Salah satu masalah yang dihadapi oleh manusia di dunia ini, termasuk juga di Indonesia, adalah upaya mengatasi kebutuhan akan bahan pangan yang meningkat pesat, tidak seimbang dengan produksinya. Dari berbagai laporan media massa, kita dapat mengetahui bagaimana masalah kekurangan pangan atau kelaparan melanda saudara kita di belahan bumi yang 26 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana lain. Memang, ada banyak faktor yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan yang demikian itu. Apa pun itu, pada akhimya kita akan dihadapkan kepada masalah rendahnya produktivitas sektor penghasil bahan pangan. Dari berbagai bahan pangan yang dibutuhkan, salah satunya adalah bahan pangan hewani seperti daging, susu, dani kan. Di samping sebagai sumber protein hewani yang sangat penting artinya bagi pertumbuhan dan kesehatan tubuh, bahan itu juga mengandung berbagai asam amino esensial, vitamin, dan mineral. Untuk kita di Indonesia, kebutuhan akan daging, susu dan produk olahannya biasanya diperoleh dari sapi, babi, kambing, domba, kerbau, dan unggas. Pada umumnya, produktivitas ternak di Indonesia dapat dikatakan masih rendah, perlu ditingkatkan. Kinerja (performans) ternak dipengaruhi oleh dua faktor, faktor dalam (internal) yang menyangkut mutu genetik ternak itu sendiri, dan faktor luar (ekstemal) yang menyangkut berbagai faktor lingkungan, termasuk tata laksana pemeliharaan ternak. Yang belakangan itu dapat diatasi dengan meningkatkan mutu pakan ternak serta perbaikan tata laksana peternakan lainnya, dan itu tidak akan dibahas dalam kesempatan ini. Sementara itu, perbaikan mutu genetik ternak, khususnya ternak besar, melalui pendekatan konvensional seperti seleksi dan kastrasi, atau teknik pemuliabiakan lainnya biasanya memerlukan waktu yang relatif lama sebelum hasilnya bisa diamati. Di sinilah penerapan bioteknologi di bidang peternakan akan berperan nyata karena bioteknologi menawarkan berbagai kemungkinan cara pemecahan masalah secara lebih baik, antara lain dapat mempercepat pencapaian hasil/sasaran dari upaya meningkatkan kualitas ternak. Sebagaimana yang telah kami sampaikan pada awal uraian ini, pembicaraan kami tentang bioteknologi di bidang peternakan akan dibatasi pada masalah teknologi inseminasi buatan dan transfer embrio, dengan sebanyak mungkin mengacu kepada hewan yang umum menjadi sasaran penerapannya dan situasi yang relevan bagi penerapannya. Insemininasi buatan dan transfer embrio keduanya merupakan teknik reproduksi yang cukup andal untuk meningkatkan produktivitas peternakan, dan mempunyai aspek penerapan yang cukup berpotensi. Dewasa ini, teknik reproduksi itu, terutama inseminasi buatan telah banyak dipraktekkan di BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 27 Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan: Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio kalangan peternak atau pada usaha peternakan skala besar di Indonesia. Penerapan teknik transfer embrio masih terbatas pada ternak sapi yang dipelihara di peternakan besar, seperti di Peternakan Tri S di Tapos, Bogor, karena menyangkut biaya pelaksanaan yang cukup besar. Sesuai dengan derajat kerumpilan pelaksanaannya dan peluang penerapannya, inseminasi buatan tampaknya berada di atas transfer embrio. Karena itu, marilah kita bahas inseminasi buatan terlebih dahulu. Inseminasi Buatan Inseminasi buatan (Inggris: artificial insemination) lebih dikenal di kalangan peternak kita dengan istilah kawin suntik. Pada prinsipnya, inseminasi buatan adalah upaya manusia untuk membuat ternaknya menjadi bunting dengan jalan memasukkan, dengan menggunakan gawai, air mani (semen) hewan jantan ke dalam saluran reproduksi hewan betina. Dengan demikian, inseminasi buatan melibatkan dua kegiatan pokok, yaitu menampung (kemudian mengolah/mengawetkan) semen dari hewan jantan dan memasukkan semen itu ke dalam saluran reproduksi hewan betina. Kebuntingan biasanya terjadi bila inseminasi buatan itu dilakukan pada waktu hewan betina sedang dalam keadaan birahi. Pelaksanaan dari inseminasi buatan pada hakekatnya meniru cara perkawinan alami hewan bersangkutan. Teknik reproduksi ini sebenarnya bukanlah merupakan metode baru dalam bidang reproduksi, karena inseminasi buatan (IB) pada hewan peliharaan telah dilakukan dari sejak dahulu; pada tahun 1780, Lazzaro Spallanzani dari Italia telah berhasil melakukan IB pada anjing. Dewasa ini, teknik reproduksi ini telah begitu populer penerapannya pada sapi dan telah dilaksanakan secara berhasil di berbagai negara, termasuk Indonesia. Inseminasi buatan pada sapi pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 1960-an. Atas usaha Direktorat Bina Produksi, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, IB pada sapi telah diperkenalkan di berbagai propinsi, termasuk Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan (Toelihere, 1981). Di Bali, Dinas Peternakan telah membangun 28 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana sejumlah “stasiun kawin suntik”, tersebar di berbagai desa yang dipandang cocok untuk itu. Jadi, inseminasi buatan pada sapi kini telah mulai dikenal oleh peternak di Bali dan telah dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas ternak mereka. Penerapan yang lebih bermakna dari inseminasi buatan pada sapi barangkali dapat diamati pada peternak sapi perah, khususnya yang ada di Pulau Jawa. Berbeda dengan inseminasi buatan pada sapi, IB pada babi pertama kali diterapkan secara praktis oleh bangsa Jepang pada tahun 1948. Namun, teknik itu baru populer di berbagai negara pada awal tahun 1960-an. Penerapan IB pada babi itu tampaknya berkaitan erat dengan kualitas babi yang dipelihara. Di Australia, misalnya, walaupun IB telah diperkenalkan di kalangan peternak sudah lebih dari 20 tahun, penerapannya tidak pemah berhasil dengan baik. Barulah setelah peternak di negara itu mendatangkan pejantan unggul dari Kanada dan Irlandia Utara pada tahun 1981, IB menjadi populer (Mclntosh, 1988). Di samping terkenal dengan ternak sapinya (sapi Bali), daerah Bali juga merupakan salah satu penghasil utama ternak babi di Indonesia. Seperti yang telah kami singgung sebelumnya, ternak babi yang umum dipelihara di Bali (babi Bali) mempunyai kinerja yang rendah, baik dalam hal produksi (laju pertumbuhan, bobot badan, dll.) ataupun reproduksi (jumlah anak lahir seperindukan, dll.). Namun, belakangan ini usaha pemeliharaan babi di daerah ini berkembang dengan pesat, terutama sejak dimasukkannya jenis babi unggul “Landrace” dan “Large White” dari Australia atau “babi Banpres” dari Pulau Bulan. Tampaknya di sinilah IB itu akan mampu berperan mempercepat laju perkembangan peternakan di daerah ini, karena teknik reproduksi ternak ini mudah dilakukan (lihat Putra, 1992a,b), murah biayanya, dan mempunyai berbagai keuntungan sebagai berikut (Salisbury dkk., 1978; Mclntosh, 1989): (1). Inseminasi buatan dapat mempercepat pelipat gandaan keturunan dari pejantan yang mempunyai sifat genetik unggul. Melalui penambahan bahan pengencer (pengenceran semen), semen yang ditampung dari seekor pejantan dapat dipakai untuk menginseminasi (sehingga menjadi bunting) sejumlah besar hewan betina. Ditinjau dari segi ekonomis, manfaat ini BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 29 Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan: Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio jauh lebih penting artinya pada ternak sapi dibandingkan dengan ternak lainnya, misalnya babi. Konsekuensi logis dari hal itu, IB dapat mempercepat penyebarluasan jenis ternak unggul yang dimasukkan ke suatu daerah. Contohnya yang nyata adalah menyebaruya dengan cepat jenis babi “Landrace” atau silangannya di kalangan peternak kecil di Bali. Kami percaya bahwa pengalaman kegagalan meningkatkan mutu (“up-grading”) babi Bali dengan menyebarkan babi Saddleback di tahun 1950-an, kini tidak akan terulang kembali bila penyebaran babi unggul (Landrace dan/atau “Banpres”) juga disertai dengan penerapan IB di kalangan petanipeternak. Upaya menyebarluaskan teknik inseminasi buatan pada babi di kalangan peternak di Bali telah kami rintis sejak tahun 1991, dengan menyelenggarakan kursus dan pelatihan inseminasi buatan pada babi bagi petugas Dinas Peternakan dan peternak babi itu sendiri, dimulai dari Kabupaten Karangasem, Gianyar, Badung, Tabanan, dan Buleleng (lihat Lampiran: Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat). (2), Inseminasi buatan dapat menekan biaya operasional peternakan bila kita ingin meningkatkan atau mempertahankan mutu ternak di suatu daerah atau di suatu peternakan. Kita tidak harus mendatangkan pejantan dari luar (misalnya dari luar negeri), tetapi cukup mengimpor semennya saja untuk kemudian kita inseminasikan pada ternak yang sudah ada. Impor semen tentu lebih murah biayanya ketimbang pemasukan hewan hidup. (3). Risiko penularan penyakit yang mungkin timbul selama pemasukan hewan hidup dari luar itu dapat ditekan dengan memasukkan semen disertai dengan penerapan IB. Namun, itu tidak berarti bahwa semen benar-benar aman ditinjau dari segi penularan penyakit. Yang hampir sepenuhnya aman adalah pemasukan embrio yang diperoleh melalui kegiatan transfer embrio. (4). Inseminasi buatan dapat membantu memecahkan masalah persilangan (perkawinan) antara pejantan dan betina yang mempunyai ukuran tubuh sangat berbeda. Masalah ini sering dihadapi bila kita ingin mengawinkan ternak yang umurnya berbeda atau selama perkawinan dua bangsa ternak yang 30 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana berbeda (misalnya persilangan ternak lokal dengan ternak impor). (5). Inseminasi buatan dapat membantu memecahkan masalah kekurangan pejantan di suatu peternakan atau di masyarakat bila karena sesuatu hal terjadi kematian pejantan, pejantan menderita sakit atau tidak mampu mengawini betina. (6). Aspek keselamatan peternak yang mungkin terancam pada waktu melangsungkan perkawinan hewan, akibat keberingasan pejantan, dapat terjamin dengan menerapkan inseminasi buatan, Bila setiap perkawinan hewan dilakukan dengan IB, kita mungkin tidak akan pemah membaca berita di koran tentang peternak yang mati “dicaplok kaung” atau diseruduk pejantan sapi. Tentu saja tidak ada sesuatu di dunia ini yang betulbetul sempurna. Teknik inseminasi buatan itu juga mempunyai kelemahan, terutama bila pelaksanaannya tidak memadai, misalnya karena kurang terampilnya si pelaksana (inseminator). Biar bagaimana pun juga, perkawinan yang berlangsung secara alami, antara hewan jantan dan betina sejenisnya, akan memberikan hasil yang lebih baik ketimbang bila perkawinan dilangsungkan secara buatan, dengan melibatkan campur tangan manusia. Kendala yang biasanya dihadapi oleh peternak adalah menentukan saat berahi puncak ketika insenminasi semen itu harus dilakukan. Akibatnya, kekurangan yang mungkin dapat diamati selama pelaksanaan program inseminasi buatan adalah lebih rendahnya persentase kelahiran anak (“farrowing rate”) dan jumlah anak lahir seperindukan (“litter size”) bila dibandingkan dengan perkawinan alami. Itu akan terjadi terutama bila IB itu dilaksanakan dengan menggunakan semen yang sudah menurun kualitasnya (misalnya terlalu lama disimpan) atau pelaksanaan inseminasi kurang baik. Akhirnya, agar sasaran penerapan IB seperti yang disebutkan di atas itu dapat tercapai, kita harus mempunyai pejantan “superior” (unggul), baik dari segi genotipe atau fenotipe, dan pejantan yang demikian itu kadang-kadang tidak mudah diperoleh. Itu memang demikian halnya karena hakekat dari penerapan teknologi inseminasi buatan itu adalah pemanfaatan semaksimal mungkin potensi yang dimiliki oleh hewan jantan. Untuk kita di Bali, BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 31 Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan: Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio masalah pejantan superior ini mungkin perlu dipikirkan dengan serius bila kita ingin meningkatkan mutu sapi Bali yang diduga menurun akibat pengaruh penangkaran sanak (“inbreeding”), melalui penerapan bioteknologi inseminasi buatan atau pun transfer embrio. Pemanfaatan IB di Bali mungkin tidak terbatas hanya dalam pengembangan peternakan sapi dan babi serta ternak kecil lainnya, tetapi juga dapat berperan dalam pengembangan anjing Kintamani yang belakangan ini sedang gencar-gencarnya diupayakan agar bisa “go international” (istilah sekelompok dokter hewan yang berkecimpung dalam hal itu), yaitu diakui dunia sebagai suatu ras anjing tersendiri. Seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya, teknik reproduksi ini juga dapat kita manfaatkan untuk tujuan penelitian, seperti penelitian dalam bidang fisiologi atau biologi reproduksi atau bidang lainnya. Metode penampungan semen pada babi yang relatif mudah dilakukan itu (Putra, 1992a) telah kami terapkan selama penelitian untuk mempelajari pengaruh hemikastrasi terhadap produksi spermatozoa tiap hari (“daily sperm-output”) pada babi (Putra dan Blackshaw, 1984). Dalam penelitian itu, kami mengamati bahwa walaupun satu buah testis (buah zakar) dihilangkan/tidak berfungsi, testis yang tertinggal akan mengadakan kompensasi berupa peningkatan produksi spermatozoa, seperti halnya kompensasi berupa peningkatan jumlah sel kelamin dalam testis (Putra dan Blackshaw, 1985) atau konsentrasi hormon testosteron dan LH (“luteinizing hormone”) dalam darah (Putra dkk., 1984). Belakangan dari itu, dengan menggunakan teknik IB sebagai alat percobaan, kami mencoba meningkatkan produktivitas (misalnya, jumlah anak lahir seperindukan) dari babi Landrace yang ada di Bali melalui pendekatan imunologi, yaitu dengan menginseminasikan semen mati pada periode berahi sebelum periode berahi yang disertai perkawinan hewan (Putra dan Wirtha, 1995). Kami mengamati adanya kecenderungan peningkatan produktivitas ternak setelah penginseminasian semen mati itu; hasil yang lebih baik mungkin dapat diperoleh bila perlakuan itu juga disertai dengan perlakuan yang dapat meningkatkan angka ovulasi pada babi (lihat Putra, 1992c). 32 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana Walaupun upaya menyebarluaskan teknik inseminasi buatan pada babi di kalangan peternak di Bali mendapat sambutan yang baik, dapat dilihat dari jumlah kelahiran anak babi hasil persilangan Landrace dengan babi Bali melalui IB (data yang tidak dipublikasikan), masih perlu diteliti seberapa jauh penerapan IB itu benar-benar bermanfaat secara ekonomi bagi petani-peternak. Secara teori, hewan persilangan itu akan lebih unggul ketimbang tetuanya yang inferior (yaitu babi Bali). Akan tetapi, karena pemeliharaan babi di masyarakat masih bersifat tradisional, tanpa didukung oleh faktor lingkungan, khususnya makanan yang memadai, maka belum dapat diketahui secara pasti kinerja dari babi persilangan itu di masyarakat. Untuk itu, perlu kiranya dilakukan kajian mengenai berbagai aspek dalam penerapan IB di masyarakat. Di samping itu, untuk mengantisipasi kebutuhan masyarakat akan segala sesuatu yang terkait dengan penerapan IB, kami telah melakukan penelitian mengenai berbagai bahan pengencer semen babi yang kiranya mempunyai prospek dapat dianjurkan kepada peternak (Lihat Lampiran: Hasil Penelitian yang Didokumentasikan di Perpustakaan). Setelah kita membahas berbagai hal mengenai inseminasi buatan, marilah kita sekarang beralih keteknik reproduksi yang lebih canggih, yaitu transfer embrio. Namun, di balik kecanggihannya itu, transfer embrio juga merupakan teknik pembiakan hewan yang mahal biayanya karena antara lain menyangkut manipulasi embrio lewat prosedur bedah. Transfer Embrio Bila dengan teknik inseminasi buatan kita berusaha memanfaatkan semaksimal mungkin potensi yang dimiliki oleh hewan jantan, transfer embrio (kadang-kadang disebut transplantasi embrio, alih embrio, atau alih mudigah; Inggris: “embiyo transfer” atau “embryo transplantation”) lebih banyak menyangkut pemanfaatan hewan betina yang mempunyai potensi genetik unggul. Pada hakekatnya, teknik transfer embrio meliputi pengambilan embrio praimplantasi dari saluran reproduksi hewan donor (pemberi) dan penempatan embrio itu dalam saluran reproduksi hewan resipien (penerima). Embrio diambil pada stadium pembelahan dini dari tuba-Fallopii, melalui pembilasan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 33 Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan: Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio dengan media fisiologi yang cocok, dan dialihkan ke dalam bagian saluran yang sama atau ke dalam lumen uterus dari hewan resipien (Hunter, 1981). Agar esensi dari program transfer embrio itu tercapai, donor haruslah hewan betina yang mempunyai potensi genetik unggul, sedangkan resipien tidak harus unggul, tetapi setidaknya sehat dan mampu mengandung embrio yang dialihkan itu sampai lahir. Dalam kesempatan ini, kami tidak akan menguraikan prosedur pelaksanaan transfer embrio pada ternak; hadirin yang berminat akan hal itu dapat merujuk tulisan yang kami sampaikan pada kesempatan lain (Putra, 1992d). Transfer sel telur hewan mamalia pertama kali dilaporkan pada akhir abad ke-19, ketika Walter Heape pada 1891 berhasil memanipulasi sesama kelinci yang telah dikawinkan sebelunmya, dan mencatat bahwa dua ekor anak kelinci yang lahir mirip dengan induk genetik, atau si pemberi embrio, dan bukan dengan induk asuh atau si penerima embrio. Sejak karya perintis itu, teknik itu tampak tidak berkembang sampai penggunaannya oleh Pincus dalam tahun 1930-an dan penerapannya yang lebih ekstensif oleh kelompok peneliti Hammond pada akhir tahun 1940-an. Kajian yang meliputi teknik transplantasi sel telur atau embrio sangat meningkat jumlahnya dalam waktu 25 tahun berikutnya, lebih-lebih setelah ditemukannya teknik pembekuan embrio oleh kelompok Dr. Chris Polge dari Cambridge. Teknik transfer embrio itu telah digunakan untuk memeriksa atau mengevaluasi berbagai aspek fisiologi reproduksi mendasar seperti keberhasilan prosedur fertilisasi in vitro, di samping memberi sumbangan dalam program pembiakan dan seleksi hewan. Manfaat transfer embrio terutama bermakna pada usaha peternakan sapi atau dalam upaya melestarikan hewan yang terancam kepunahan (hewan langka). Pada sapi, seekor induk biasanya menghasilkan satu sel telur pada saat ovulasi dan selanjutnya diikuti oleh periode kebuntingan yang berlangsung lama. Karena itu, seekor induk sapi selama hidupnya menghasilkan anak dalam jumlah terbatas, biasanya jauh lebih rendah dari 10 ekor pedet; bahkan pada sapi perah di Inggris rata-ratanya hanya 2,5 ekor pedet (Peters dan Ball, 1987). Dengan transfer embrio beserta teknik terkaitnya, seperti; superovulasi (teknik menigkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan), kita akan mampu 34 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana menghasilkan jauh lebih banyak keturunan dari seekor induk yang mempunyai potensi genetik unggul. Melalui pemberian sediaan hormon (misalnya PMSG dan HCG), induk sapi (yang unggul) dapat dirangsang untuk mengovulasikan sekaligus 9-10 sel telur, dan dengan teknik transfer embrio, sel telur yang telah dibuahi (embrio) dapat “dititipkan” pada induk yang lain (yang tidak unggul) sampai teriadi kelahiran anak. Dengan demikian, transfer embrio dapat mempercepat pelipat gandaan ternak berkualitas unggul, dan ini tentu saja akan sangat menguntungkan dari segi ekonomi. Manfaat lain, seperti pada inseminasi buatan, transfer embrio dapat mencegah penularan penyakit ke suatu peternakan, daerah, atau negara bila kita ingin menigkatkan mutu ternak yang telah ada, dengan mendatangkan ternak baru (memasukkan materi genetik baru). Pemasukan materi genetik baru itu perlu dilakukan untuk menekan pengaruh buruk dari penangkaran sanak (“inbreeding”), lebih-lebih pada suatu peternakan babi. Embrio yang diambil dan kemudian ditransfer lewat prosedur operasi (yang sejauh mungkin diusahakan dalam kondisi steril) akan sangat aman ditinjau dari segi risiko penularan penyakit. Dengan ditemukannya teknik pembekuan embrio pada sapi (tetapi belum berhasil untuk embrio babi) dan lancamya sarana transportasi, sangatlah besar, peluang untuk melangsungkan perdagangan embrio antar negara. Kembali, hal ini akan dapat menekan biaya operasional peternakan, karena mendatangkan embrio tentu jauh lebih murah ketimbang mengimpor hewan hidupnya. Selain manfaat terapan seperti di atas itu, transfer embrio juga dapat dipakai sebagai alat percobaan (“experimental tool”) dalam melakukan berbagai kajian fisiologi reproduksi atau kebuntingan awal pada hewan. Berbagai temuan yang telah berhasil diungkapkan oleh para peneliti dengan menggunakan pendekatan transfer embrio telah kami sajikan dalam disertasi kami (Lihat Putra, 1989). Sebagai ilmuwan yang berkecimpung di universitas, manfaat inilah yang mungkin perlu kita perhatikan dan kembangkan sehingga kita mampu melaksanakan darma penelitian secara lebih baik. Sebagai sekedar gambaran bagaimana teknik transfer embrio pada ternak itu dapat kita manfaatkan sebagai alat BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 35 Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan: Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio percobaan untuk mencapai sasaran penelitian, berikut ini akan kami sampaikan beberapa hasil penelitian atau simpulan yang kami peroleh pada waktu kami berusaha mengungkapkan “misteri” kematian embrio yang tinggi selama beberapa minggu pertama kebuntingan pada babi. Dengan pendekatan transfer embrio itu, kami mengamati bahwa kematian embrio selama masa awal kebuntingan pada babi itu tidak dapat dikaitkan dengan konsentrasi hormon progesteron dalam darah yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada konsentrasi normal karena angka hidup (“survival rate”) dari embrio yang ditransfer ke induk yang dihemiovariektomi (dihilangkan satu ovarium sehingga konsentrasi progesteron lebih rendah daripada normal) dan yang disuperovulasi (ditingkatkan jumlah korpora lutea dalam ovarium sehingga konsentrasi progesteron menjadi lebih tinggi) ternyata tidak berbeda nyata dengan hewan kontrol (Putra dkk., 1990). Namun, agar kebuntingan dapat terus berlangsung, dibutuhkan konsentrasi minimum progesteron dalam darah sebesar 4 ng/ ml. Pemberian hormon asalluar (eksogenus) seperti kombinasi progesteron dan estrogen (Putra danBlackshaw, 1990) kepada babi normal dan resipien transfer embrio juga tidak berpengaruh nyata meningkatkan daya hidup embrio. Akan tetapi, kombinasi hormon itu berpengaruh positif terhadap daya hidup embrio yang ditransfer ke hanya satu tanduk uterus (Putra dkk., 1989); pada babi, kebuntingan biasanya jarang terjadi bila hanya satu tanduk uterus yang ditempati oleh embrio. Di samping itu, kami juga mengamati bahwa pemberian hormon estron sulfat (Putra dkk., 1989) kepada induk babi yang mengalami transfer superinduksi (pengalihan embrio ke induk yang bunting) dapat berpengaruh menguntungkan terhadap perkembangan embrio, kbnsusnya dalam pengalihan embrio yang umumya lebih muda untuk bercampur dengan embrio lebih tua yang ada dalam uterus hewan resipien. Pengaruh pemberian hormon asalluar itu juga kami kaji dari segi mikroskop elektron (Putra dan Blackshaw, 1986) untuk mempelajari perubahan struktur ultra dari endometrium dan tempatimplantasi (perlekatan embrio pada uterus), di samping dari segi kimia jaringan (histokimia) untuk mempelajari perubahan glikokaliks (glikoprotein permukaan sel) dari endometrium selama kebuntingan awal, khususnya selama periode implantasi embrio 36 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana (Putra, 1994a), yang selanjutnya diikuti olehkajian pemberian sakarida asal luar yang spesifik terhadap daya hidup embrio yang ditransfer ke hewan resipien (Putra, 1994b). Dari berbagai pendekatan itu, akhimya kami sampai kepada simpulan bahwa keserasian stadium perkembangan dari embrio dan uterus itulah yang terutama menentukan besarnya angka kematian embrio selama masa awal kebuntingan, khususnya sekitar saat terjadinya implantasi embrio. Simpulan Sebagai simpulan dari uraiankamitentang artipentingbioteknologi di bidang peternakan ini, dapat kami ajukan beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1. Untuk lebih memacu perkembangan. bidang peternakan di Indonesia, sangat diperlukan penerapan bioteknologi secara umum di kalangan peternak kecil ataupun usaha peternakan berskala besar. 2. Teknik inseminasi buatan pada ternak sangat berpeluang untuk diterapkan di kalangan peternak kecil, karena teknik itu mempunyai banyak manfaat praktis, mudah dilakukan, dan murah biayanya. Penerapan inseminasi buatan di Bali mungkin dapat membantu upaya meningkatkan mutu sapi Bali, babi Bali, atau mungkin anjing Kintamani. 3. Teknik transfer embrio pada ternak, walaupun mempunyai banyak keunggulan, untuk sementara ini mungkin belum cocok diterapkan di kalangan peternak kecil di Indonesia, tetapi itu akan bermanfaat pada usaha peternakan berskala besar. 4. Para ilmuwan/peneliti di perguruan tinggi seyogianya berusaha memanfaatkan teknik reproduksi itu (atau bioteknologi secara umum) sebagai alat percobaan (“experimental tool”) dalam upaya memecahkan berbagai masalah lewat penelitian. DAFTAR PUSTAKA Hunter, R.H.F. (1981). Physiology and Technology of Reproduction in Female Domestic Animals. Academic Press Ltd. London. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 37 Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan: Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio Mclntosh, B. (1988). Pig AI: Semen collection and processing. Farm Note. PG 8805003. F54. Queensland Dept. of Primary Industries. Australia Mclntosh, B. (1989). Pig AT The technique. Farm Note. PG8912004. F63. Queensland Dept. of Primary Industries. Australia. Peters, A.R. dan Ball, P.J.H. (1987). Reproduction in Cattle. Butterworths, England. Putra, D.K.H. (1989). Embryonic mortality in the pig during the first 30 days of pregnancy. Ph.D. thesis. University of Queensland, Brisbane, Australia. Putra, D.K.H. (l992a). Boar semen collection: A note on the gloved-hand mefiod and its successful application during determination of daily sperm out-put. Bull. FKHP UNUD 118: 146-155. ‘ Putra, D.K.H. (1992b). Inseminasi buatan pada babi: Suatu uraian mengenai teknik pelaksanaannya. Bull. FKHP UNUD 118: 136-140 Putra, D.K.H. (1992c). Increased number of embryos collected from embryo transfer donor gilts following treatment with gonadotrophic hormones: Majalah Ilmiah UNUD 33: 227232. Putra, D.K.H. (1992d). Embryo transfer program in the pig: A detail report on its procedure. Bull. FKHP UNUD 118: 146-155 Putra, D.K.H. (1994a). Qualitative studies on localization of specific saccharides in the porcine endometrium. Majalah Ilmiah UNUD 40: 67-70. Putra, D.K.H. (1994b). The effect of intra-uterine administration of a specific saccharide trehalose, on embryo implantation in the gilt. Majalah Ilmiah UNUD 40:71 -74. Putra, D.K.H. dan Blackshaw.A.W (1984). Compensatory increase in daily sperm out-put (DSO) of the boar following hemicastration. Majalah Ilmiah UNUD 11:46-56. Putra, D.K.H. dan Blackshaw, A.W. (1985). Qualitative studies on compensatory testicular hypertrophy following unilateral castration in the boar. Aust. J. BioL Sci (Australia) 38 : 429434. Putra, D.K.H. dan Blackshaw, A.W. (1986). The effect of exogenous ovarian steroids on early embryonic mortality and electron 38 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana microscopy of the endometrium of the pig. Proc. 18111 Ann. Conf. ofASRB, Australia, p. 96. Putra, D.K.H. dan Blackshaw, A.W. (1990). Embryonic mortality during the first 4 weeks of pregnancy in pigs following treatment with exogenous progester one and oestrone. Majalah Ilmiah UNUD 24: 67-78. Putra, D.K.H. dan Wirtha, W. (1995). Attempts to improve the reproductive efficiency ofLandrace gilts through insemination of killed semen. Majalah Ilmiah UNUD 43:29-32. Putra, D.K.H., Blackshaw, A.W. dan Waters, M.J. (1984). The effect ofhemicastratiott on circulating testosterone and luteinizing hormone concentrations in the boar. Majalah Ilmiah UNUD 11: 17-27. Putra, D.K.H., Cameron, R.D.A., Fogarty, R.M. dan Blackshaw, A.W. (1989). Effect of exogenous oestrone sulphate on embryonic survival during asynchronous transfer in the pig. Theriogenology (USA) 32: 1-9. Putra, D.K.H., Cameron, R.D.A. dan Blackshaw, A.W. (1989). Maintenance of pregnancy in embryo transfer recipient gilts with unilateral horn ligation following treatment with exogenous progesterone and oestrone. Bull. FKHP UNUD 117:103-119. Putra. D.K.H., Cameron, R.D.A. dan Blackshaw, A.W. (1990). Embryonic survival rates during transfer of embryos to hemiovariectomized and superovulated recipient gilts. Majalah Ilmiah UNUD 25:113-122. Salisbury, G.W., VanDemari; N.Ll dan Lodge;1r5: (1978). Physiology of Reproduction. and Artificial Insemination of Cattle. W.H Freeman and Co. San Fran¬cisco. Toelihere, M.R. (1S81). Inseminasi buatan pada ternak. Penerbit Angkasa, Bandung. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 39 PERANAN BAKTERI ASAM LAKTAT DALAM INDUSTRI PENGOLAHAN BAHAN PANGAN I Wayan Redi Aryanta Pendahuluan Bahan pangan hewani seperti daging, susu dan ikan merupakan sumber protein hewani yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena mengandung asam-asam amino esensial, di samping sebagai sumber asam-asam lemak esensial, vitamin dan mineral (Jennes dan Patton, 1969; Novikov, 1983; Bacus, 1984; Brown, 1986). Sayuran dan buah-buahan juga mempunyai peranan yang besar terhadap kesehatan manusia karena bahan pangan nabati ini mengandung vitamin dan mineral yang penting (Potter, 1973). Dilain pihak, bahan pangan khususnya bahan pangan hewani sangat cepat mengalami kebusukan, karena bahan pangan ini juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba pembusuk (Jay, 1986). Berbagai teknologi pengawetan seperti pendinginan, pembekuan dan pengalengan telah diterapkan untuk menunda kebusukan dan mempertahankan nilai gizi bahan pangan (Lagua et al., 1977; Romans dan Ziegler, 1977; Jay, 1986). Di negara-negara yang sedang berkembang, penerapan ketiga teknologi ini sangat terbatas karena biayanya besar. Salah satu metode pengawetan bahan pangan yang relatif murah, mudah dilaksanakan dan bersifat universal adalah metode fermentasi dengan menggunakan bakteri asam laktat (BAL) indigenous (yang secara alamiah terdapat pada bahan pangan) atau yang ditambahkan sebagai kultur starter. Bakteri asam laktat dibagi atas dua kelompok yaitu bakteri yang bersifat homofermentatif (hanya menghasilkan asam laktat sebagai hasil metabolisme gula) dan bakteri yang bersifat 40 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana heterofermentatif (menghasilkan asam laktat, sedikit asam asetat, etanol, ester, keton dan karbondioksida (Buckle et al., 1978). Beberapa spesies BAL yang mempunyai nilai ekonomis penting dalam industri pengolahan bahan pangan adalah Streptococcus thermophilus, Streptococcus lactis, Pediococcus cerevisiae, P. acidilactici, P. pentosaceus, Lactobacillus plantarum, L. bulgaricus, L. acidophilus, L. casei dan Leuconostoc mesenteroides (Buckle et al., 1978; Jay, 1986; Aryanta, 1989; Barraquio, 1994). Prinsip pengawetan bahan pangan dengan metode fermentasi BAL adalah peningkatan konsentrasi asam laktat dan penurunan pH melalui metabolisme gula (karbohidrat) oleh BAL. Konsentrasi asam laktat yang relatif tinggi dan pH yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk dan patogen, sehingga produk pangan terfermentasi yang dihasilkan akan dapat disimpan lebih lama dan aman bagi konsumen (Lucke, 1985; Adams, 1986; Aryanta, 1989; Barraquio, 1994). Industri pengolahan bahan pangan melalui proses fermentasi BAL mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan di Indonesia karena negara ini memiliki potensi hasil-hasil pertanian, peternakan dan perikanan yang cukup besar. Pengembangan industri pengolahan bahan pangan ini sangat perlu dilakukan dalam rangka peningkatan ekspor non-migas, memperluas kesempatan berusaha dan kesempatan kerja serta peningkatan pendapatan masyarakat. Dalam sajian ini akan diuraikan berbagai produk pangan yang dihasilkan melalui proses fermentasi BAL. Produk Daging Terfermentasi Produk daging terfermentasi yang telah lama dikenal dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat di negara-negara maju, antara lain di Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Belanda, Perancis, Italia dan Australia adalah sosis terfermentasi (salami, thuringer, pepperoni, cervelat, lebanon bologna). Sosis ini dapat dibuat secara alamiah (tanpa kultur starter BAL) dan dengan penambahan kultur starter BAL (Bacus, 1984; Lucke, 1985). Sosis Terfermentasi Alamiah Secara umum sosis ini dibuat dari daging, lemak babi (1030%), garam (2-3,5%), gula (1-2%), nitrat/nitrit (50-150 ppm), BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 41 Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan dan rempah-rempah (0,2-0,5%). Semua bahan dicampur dengan baik, kemudian dimasukkan ke dalam selongsong dan difermentasi pada suhu 30º-37°C dengan kelembaban relatif 85-90% selama 56 hari (Bacus, 1984; Lucke, 1985; Adams, 1986). Mutu sosis ini tergantung kepada jenis dan populasi awal BAL yang secara alamiah terdapat pada daging. Beberapa peneliti melaporkan bahwa lactobacilli dan pediococci memegang peranan yang sangat penting di dalam pembuatan sosis terfermentasi alamiah (Bacus, 1984; Aryanta, 1993, 1994a,b). Dari beberapa jenis sosis alamiah di USA, Deibel et al. (1961) telah mengisolasi L. plantarum dan P. cerevisiae, sedangkan Lucke (1985) telah menemukan L. sake, L. curvatus dan L. plantarum dari beberapa jenis sosis di Jerman. Di Filipina, Sison (1967) (dikutip oleh Pederson, 1971) telah mengisolasi Leu. mesenteroides, P. cerevisiae dan L. plantarum dari sosis alamiah yang dibuat secara tradisional oleh masyarakat. Spesies BAL yang lain yang pernah ditemukan di dalam sosis alamiah adalah L. brevis dan L. buchneri (Jay, 1986). Penelitian Aryanta et al. (1994) menemukan Lactobacillus sp. dan Pediococcus sp. mendominasi pertumbuhan Micrococcus sp., Staphylococcus sp., dan Bacillus sp. pada sosis terfermentasi tradisional Bali (urutan), tetapi tidak menemukan bakteri patogen (Salmonella dan Staph. aureus). Selama fermentasi, populasi BAL meningkat dari 1023 10 sel/g menjadi 106-108 sel/g (Bacus, 1984; Aryanta, 1993). Bersamaan dengan hal ini, konsentrasi asam laktat meningkat sampai 0,70-0,80% dan pH menurun sampai 5,0 atau lebih kecil (Smith dan Palumbo, 1973; Bacus, 1984). Dengan kondisi ini, maka pertumbuhan mikroba pembusuk/patogen dapat dicegah/dihambat. Dengan demikian, masa simpan daging dapat diperpanjang dan nilai gizinya dapat dipertahankan. Sosis Terfermentasi dengan Kultur Starter Bakteri Asam Laktat Formulasi dan suhu fermentasi sosis dengan kultur starter BAL hampir sama dengan sosis alamiah, tetapi waktu fermentasinya lebih singkat (24-48 jam). Sifat-sifat BAL yang baik untuk kultur starter (Bacus, 1984; Bacus dan Brown, 1985a,b) adalah: (a) toleran terhadap garam dengan konsentrasi 5%, (b) mempunyai 42 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana kemampuan tumbuh yang baik pada medium dengan konsentrasi nitrit 80-100 ppm, (c) tumbuh optimum pada suhu 32,2°C dengan kisaran 26,7°-43°C, (d) homofermentatif, (e) non-proteolitik, (f) non-lipolitik, (g) tidak bersifat patogen, dan (h) tidak aktif pada suhu 57°-60°C. Spesies BAL yang banyak digunakan sebagai kultur starter di dalam industri pembuatan sosis terfermentasi adalah L. plantarum dan P. cerevisiae (Smith dan Palumbo, 1981; Bacus, 1984; Lucke, 1985). Dengan menggunakan kultur starter BAL, maka perubahan gula menjadi asam laktat terjadi lebih cepat dan lebih konsisten, sehingga dalam waktu 24-48 jam telah dapat dicapai konsentrasi asam laktat lebih dari 0,9% dan penurunan pH sampai kurang dari 4,7 (Lucke, 1985; Adams, 1986; Aryanta et al. 1994). Dengan demikian, waktu fermentasi dapat dipersingkat, kegagalan fermentasi dapat dikurangi/dicegah dan dihasilkan produk dengan mutu yang lebih baik dan konsisten serta lebih stabil dan aman. Sehubungan dengan peranan kultur starter BAL terhadap keamanan sosis terfermentasi, Christiansen et al. (1975) mempelajari pengaruh kultur starter (L. plantarum dan P. cerevisiae), glukosa dan nitrit terhadap pembentukan toksin botulinum pada sosis terfermentasi yang disimpan pada suhu 27°C selama 112 hari. Mereka mendapatkan bahwa pada level nitrit 50-150 ppm, kultur starter dan glukosa (2%) dapat mencegah pembentukan toksin oleh Cl. botulinum. Dijelaskan bahwa penurunan pH dengan cepat dari hasil fermentasi glukosa merupakan faktor terpenting untuk mencegah pembentukan toksin botulinum di dalam sosis. Smith dan Palumbo (1978) melaporkan bahwa penghambatan pertumbuhan Staph. aureus di dalam sosis terfermentasi mempunyai korelasi yang positif terhadap level glukosa dan kecepatan produksi asam laktat oleh L. plantarum dan P. cerevisiae. Dengan menggunakan 2% glukosa dan inokulum Staph. aureus awal sebesar 107/g, tidak ditemukan Staphylococci yang hidup setelah 60 jam fermentasi pada suhu 35°C, tetapi dengan 0,5% glukosa, penurunan populasi Staph. aureus sampai level yang tidak terdeteksi memerlukan waktu 130 jam. Penelitian mengenai pengaruh BAL terhadap kehidupan dan pertumbuhan Salmonella selama fermentasi sosis telah dilakukan oleh Masters et al. (1981) BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 43 Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan dengan menggunakan L. plantarum sebagai kultur starter. Mereka mendapatkan bahwa penggunaan kultur starter menyebabkan penurunan pH sosis terjadi lebih cepat dibandingkan dengan tanpa memakai kultur starter, sehingga pembunuhan S. newport dan S. typhimurium berlangsung lebih cepat. Menurut Aryanta et al. (1994), peningkatan total asam dan penurunan pH terjadi paling cepat selama fermentasi sosis dengan starter P. acidilactici, disusul sosis dengan starter L. plantarum dan sosis tanpa kultur starter. Beberapa peneliti melaporkan bahwa penggunaan starter L. plantarum dan P. cerevisiae dapat menghambat pembentukan histamin dan amina-amina biogenik lainnya selama fermentasi sosis (Bacus dan Brown, 1981, 1985a,b; Bacus, 1984; Adams, 1986). Sosis yang difermentasi dengan kultur starter BAL memiliki masa simpan lebih lama dibandingkan dengan yang difermentasi secara alamiah (Smith dan Palumbo, 1983; Bacus, 1984). Produk Susu Terfermentasi Susu terfermentasi adalah suatu produk pangan yang diproduksi dari susu (susu utuh atau susu skim) dengan menggunakan BAL sebagai kultur starter. Prinsip dasar dalam pembuatan susu terfermentasi adalah perubahan laktosa pada susu menjadi asam laktat oleh aktivitas BAL, sehingga menurunkan pH dan menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan. Asam laktat memberikan rasa asam pada produk dan berfungsi sebagai bahan pengawet. Selama proses fermentasi, pH susu menurun dari 6,6 (susu segar) menjadi 4,3-4,5 dengan total asam (sebagai asam laktat) meningkat sampai 0,8-1,0% (Barraquio, 1994). Jenis produk susu terfermentasi yang telah dikenal oleh masyarakat, baik masyarakat di negara-negara yang telah maju maupun masyarakat di negara-negara sedang berkembang antara lain: yoghurt, acidophilus milk, bulgarian buttermilk, yakult, kefir dan koumiss. Yoghurt Yoghurt adalah produk susu terfermentasi yang dibuat dengan memanfaatkan Strep. thermophilus dan L. bulgaricus sebagai 44 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana kultur starter. Kedua spesies bakteri ini digunakan bersama-sama dengan perbandingan 1:1 (Jay, 1986). Di beberapa negara, yoghurt dikenal dengan nama lain seperti: laban di Libanon, iben di Maroko, dahi di India dan zabadi di Mesir. Cita rasa dan aroma yang khas dari yoghurt dibentuk dari kombinasi asam laktat dan senyawa karbonil (aldehid, aseton, asetoin dan diasetil) (Barraquio, 1994). Senyawa-senyawa lain yang ikut memberikan kontribusi terhadap cita rasa dan aroma yoghurt adalah asam-asam organik (asam piruvat, asam oksalat, asam suksinat, asam formiat, asam asetat dan asam propionat) dan senyawa-senyawa hasil degradasi protein, lemak atau laktosa (Margalith, 1981). Dalam pembuatan yoghurt, mula-mula susu dipanaskan sehingga kandungan airnya berkurang sampai seperempatnya. Pemanasan dilanjutkan pada suhu 82°-93°C selama 30-60 menit dan didinginkan sampai 45°C. Starter yoghurt ditambahkan sebanyak ± 2% dari volume dan diinkubasi pada suhu 45°C selama 3-5 jam diikuti dengan pendinginan pada suhu 5°C (Pederson, 1971). Pada suhu 5°C, yoghurt dapat disimpan selama 1-2 minggu tanpa mengalami perubahan mutu yang berarti (Jay, 1986). Total asam yoghurt yang berkualitas baik berkisar antara 0,85-0,90% (Davis, 1975). Yoghurt segar mengandung BAL sekitar 109/g, tetapi selama penyimpanan jumlah ini menurun sampai 106/ g bila disimpan pada suhu 5°C selama 60 hari (Hamann dan Marth, 1984). Pada umumnya, jumlah Lactobacillus lebih cepat mengalami penurunan dibandingkan dengan Streptococcus (Jay, 1986). Acidophilus Milk Produk susu terfermentasi ini diproduksi dengan menginokulasikan L. acidophilus (2-5%) ke dalam susu skim yang telah disterilkan pada suhu 95°C selama 60 menit, kemudian difermentasi selama 24 jam pada suhu 37°C atau sampai terbentuk asam laktat sebesar 1% (Barraquio, 1994). Bulgarian Buttermilk Bulgarian buttermilk diproduksi dengan cara yang sama dengan acidophilus milk, tetapi kultur starter yang digunakan adalah L. bulgaricus (Jay, 1986; Barraquio, 1994). BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 45 Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan Yakult Susu terfermentasi ini pertama diproduksi di Jepang dengan menggunakan L. casei shirota strain Bifidobacterium bifidum sebagai kultur starter. Kedua jenis bakteri ini diisolasi dari usus (kotoran) bayi yang baru lahir. Produk ini dibuat dengan memanaskan larutan glukosa dan susu skim sampai suhu 98°C selama 70 menit, kemudian didinginkan sampai suhu 37°C. Kultur starter ditambahkan pada campuran susu dan glukosa dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 7 hari atau sampai total asam mencapai 3%. Selanjutnya ditambahkan air steril dan sirup yang terlebih dahulu disterilkan pada suhu 98°C selama 55 menit, dan didinginkan sampai suhu 10°C (Barraquio, 1994). Kefir Pada umumnya, kefir diproduksi dari susu sapi. Setelah dipanaskan pada suhu 90°-95°C selama 5 menit dan dihomogenisasi, susu difermentasi pada suhu 23°C. Menurut Jay (1986), kultur starter yang biasa digunakan dalam pembuatan kefir adalah Strep. lactis, L. bulgaricus dan khamir, sedangkan Barraquio (1994) melaporkan L. kefir dan Candida kefir. Selama fermentasi, BAL menghasilkan asam laktat, sedangkan khamir memproduksi alkohol. Fermentasi dilakukan sampai asam laktat dan alkohol mencapai konsentrasi sekitar 1% (Jay, 1986). Koumiss Secara tradisional, koumiss diproduksi dari susu kuda. Proses dasar dalam pembuatan produk ini adalah pemanasan susu pada suhu 90°-92°C selama 5 menit, diikuti dengan homogenisasi dan pendinginan sampai suhu 26°-28°C. Inokulum yang digunakan merupakan campuran dari L. bulgaricus, L. acidophilus dan Kluyveromyces lactis. Lama fermentasi diatur sampai mencapai produk akhir dengan total asam (sebagai asam laktat) sebesar 0,61,0% dan etanol 0,7-2,5% (Barraquio, 1994). Produk Ikan Terfermentasi Produk-produk ikan terfermentasi yang diproduksi melalui proses fermentasi BAL, antara lain: produk ikan terfermentasi tradisional dan sosis ikan terfermentasi. 46 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Produk Ikan Terfermentasi Tradisional Produk ikan terfermentasi tradisional yang dihasilkan melalui proses fermentasi BAL indigenous telah lama dikenal dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat Filipina dan Thailand. Produk-produk tersebut, antara lain: Balao-balao, Burong-bangus, dan Burong isda dari Filipina, Pla-chom, som-fug dan pla-jom dari Thailand (Adams et al., 1985; Saono et al., 1986). Garam dan karbohidrat ditambahkan pada ikan (dipotong atau digiling) untuk mendorong pertumbuhan BAL indigenous. Formulasi produkproduk ini sangat bervariasi (Tabel 1). Konsentrasi asam laktat tertinggi di dalam produk ikan terfermentasi tradisional adalah 4,5% dengan pH terendah 3,5 (Aryanta, 1994c). Asam laktat terbentuk sebagai hasil fermentasi karbohidrat oleh aktivitas BAL indigenous (Arroyo et al., 1978; Adams, 1986; Saono et al., 1986). Spesies BAL yang diisolasi dari beberapa produk tradisional dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Produk-produk Ikan Terfermentasi Tradisional Nama Produk Formulasi Kondisi Fermentasi Masa Simpan Balao-balaoa Udang kecil:garam: nasi, 3:1:13 25°-30°C, 5-10 hari Beberapa minggu Burong-bangusa Ikan, garam, nasi, dan cuka Suhu kamar, 6-8 hari ? Burong-isdaa, b Ikan:garam:nasi, 25:1:49 28°-33°C, 7 hari 1 minggu Pla-choma Ikan:garam:nasi: tepung beras:bawang putih, 10:1:3:3:1 20°-30°C, 3 hari 2 minggu Som-fuga Ikan giling:garam:nasi: bawang putih, 10:1:2:1 20°-30°C, 5-10 hari 2 minggu Pla-joma Ikan:garam:beras: bawang putih, 10:1:3:1 Suhu kamar, 3-7 hari 2 minggu Sumber: a. Saono et al. (1986) b. Orillo dan Pederson (1968) BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 47 Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan Tabel 2. Bakteri Asam Laktat yang Berperan pada Produk Ikan Terfermentasi Nama Produk Balao-balaoa, c Burong-bangusa Burong-isdaa, b, c, d, e Pla-choma, e Som-fuga, c, e Pla-jome Sumber: Bakteri Asam Laktat Leu. mesenteroides, L. plantarum, L. brevis, Strep. faecalis, P. cerevisiae Leu. mesenteroides, L. plantarum, L. confosus Leu. mesenteroides, P. cerevisiae, Strep. faecalis L. brevis, P. cerevisiae L. brevis, P. cerevisiae L. brevis, P. cerevisiae a. Saono et al. (1986) b. Orillo dan Pederson (1968) c. Adams et al. (1985) d. Adams (1986) e. Saisithi (1987) Sosis ikan terfermentasi Beberapa penulis menyatakan bahwa ikan dapat diawetkan dalam bentuk sosis terfermentasi, meskipun informasi mengenai mikrobiologi, biokimiawi, dan sifat organoleptik dari produk ini sangat terbatas (Adams et al., 1985; Adams, 1986). Adams et al. (1987) melaporkan bahwa sosis ikan dengan formulasi: ikan giling, 4% glukosa, 1% garam, dan 0,05% L. plantarum yang difermentasi pada suhu 30°C selama 7 hari, pH menurun dari 7,0 menjadi 4,5 dan asam laktat meningkat dari 0,5% menjadi 3,0%. Dalam percobaan ini mereka menggunakan polythene stomacher bag sebagai simulasi selongsong (casing). Studi mengenai pengaruh kultur starter BAL terhadap pertumbuhan bakteri patogen pada sosis ikan (2% glukosa dan 0,05% L. plantarum) mendapatkan bahwa populasi Staph. aureus, S. typhimurium, E. coli dan Cl. sporogenes menurun secara drastis selama 48 jam fermentasi pada suhu 30°C (Twiddy et al., 1987). Aryanta (1989) juga telah membuktikan bahwa beberapa bakteri patogen yang sengaja diinokulasikan (E. coli, S. typhimurium, S. sofia, Staph. aureus, B. cereus, V. parahaemolyticus dan Cl. perfringens) tidak mampu tumbuh dan populasinya menurun dengan cepat selama 48 jam fermentasi sosis ikan pada suhu 30°C dengan P. acidilactici sebagai kultur starter. Tiga bakteri yang disebutkan terakhir tidak ditemukan lagi setelah 24 jam fermentasi. Adonan sosis ikan pada penelitian ini terdiri atas ikan giling, 3,5% garam, 1% sukrosa, 0,01% sodium nitrit, dan 0,5% rempah-rempah. 48 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Sosis ikan terfermentasi (tanpa inokulasi bakteri patogen) yang dihasilkan dari penelitian ini dapat diterima oleh 36 panelis. Penelitian Aryanta et al. (1991) mengenai pengaruh kultur starter (P. acidilactici) terhadap pertumbuhan mikroba yang bersifat proteolitik dan lipolitik menunjukkan bahwa bakteri (Staph. epidermidis, Staph. warneri, M. varians, M. luteus, B. megaterium) dan khamir (C. guiliermondii, D. hansenii, P. membranaefaciens, R. rubra) yang secara alamiah terdapat dalam sosis ikan tidak dapat tumbuh dan populasinya menurun secara drastis selama 48 jam fermentasi pada suhu 30°C. Mengenai perubahan biokimiawi selama 48 jam fermentasi sosis ikan pada suhu 30°C dengan P. acidilactici sebagai kultur starter, Aryanta (1992) melaporkan bahwa konsentrasi asam laktat meningkat dari 0,31% menjadi 1,29% dan pH menurun dari 6,2 menjadi 4,7. Dilaporkan juga bahwa selama fermentasi alamiah (tanpa kultur starter BAL), asam laktat meningkat menjadi 0,85% dan pH menurun menjadi 5,3. Kondisi ini tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan bakteri patogen selama fermentasi. Dari hasil-hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa BAL mempunyai peranan yang sangat besar dalam pengolahan/ pengawetan ikan dalam bentuk sosis terfermentasi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan BAL mengkonversi karbohidrat menjadi asam laktat dan menurunkan pH produk sehingga menekan/ menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk dan patogen. Produk Sayuran Terfermentasi Hampir semua jenis sayuran termasuk buah-buahan yang biasa dimanfaatkan sebagai sayuran (mentimun dan tomat) dapat diolah/diawetkan melalui proses fermentasi BAL. Bahan pangan ini mengandung gula dan zat-zat makanan yang penting khususnya vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh manusia dan mikroba. Faktor-faktor lingkungan yang penting dalam memproduksi sayuran terfermentasi adalah: terciptanya kondisi anaerobik, kadar garam yang cukup, suhu fermentasi yang sesuai, dan tersedianya BAL yang sesuai (Buckle et al., 1978). Beberapa jenis produk sayuran terfermentasi yang telah lama dikenal adalah sauerkraut, pikel dan kimchi. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 49 Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan Sauerkraut Sauerkraut adalah produk kubis terfermentasi yang dihasilkan melalui proses fermentasi oleh aktivitas BAL yang secara alamiah terdapat pada kubis. Produk sayuran ini dibuat dari kubis yang ditambahkan 2,25-2,50% garam dan difermentasi secara anaerob pada suhu 25°-30°C selama 2-3 minggu (Buckle et al., 1978; Jay, 1986). Garam berfungsi untuk menekan pertumbuhan bakteri gram negatif, tetapi BAL dapat mentolerir kondisi tersebut. Dua spesies BAL yang penting dalam fermentasi sauerkraut adalah Leu. mesenteroides dan L. plantarum. Disamping kedua spesies tersebut, L. brevis, P. cerevisiae, dan Strep. faecalis juga ikut memberikan kontribusi terhadap kualitas produk. Pada umumnya fermentasi dimulai oleh Leu. mesenteroides, kemudian dilanjutkan oleh L. brevis, L. plantarum dan P. cerevisiae. Aktivitas Leuconostoc dan Streptococcus terhenti apabila konsentrasi asam pada sauerkraut mencapai 0,7-1,0%. Total asam produk akhir sebesar 1,6-1,8% dengan asam laktat 1,0-1,3% (Jay, 1986). Pikel Pikel adalah produk hasil fermentasi buah mentimum oleh aktivitas BAL (Leu. mesenteroides, Strep. faecalis, P. cerevisiae, L. brevis, dan L. plantarum) yang secara alamiah terdapat pada buah mentimun (Etchells et al., 1975). Pediococcus cerevisiae dan L. plantarum merupakan spesies BAL yang paling banyak berperan selama fermentasi, sedangkan L. brevis tidak dikehendaki karena kemampuannya menghasilkan gas. Dalam memproduksi pikel, buah mentimun diletakkan di dalam tangki kayu dengan konsentrasi awal larutan garam 5%. Selama 6-9 minggu fermentasi, konsentrasi garam ditingkatkan secara bertahap sampai mencapai 15,9%. Garam berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif dan mengekstrak air dan zat-zat yang larut di dalam air seperti gula dan zat-zat makanan lainnya, kemudian gula dikonversi menjadi asam laktat oleh aktivitas BAL (Jay, 1986). Pada akhir fermentasi, total asam pada pikel sebesar 0,6-0,8% (Buckle et al., 1978). 50 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Kimchi Kimchi adalah produk sayuran terfermentasi tradisional Korea yang telah lama dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat Korea yang pada saat ini merupakan salah satu komoditi ekspor. Bahan baku dari produk ini adalah kubis cina dengan bahan penolong berupa garam, gula dan rempah-rempah. Bakteri asam laktat yang secara alamiah berasal dari kubis dan memegang peranan penting dalam fermentasi kimchi adalah L. plantarum, L. brevis, Strep. faecalis, Leu. mesenteroides, P. pentosaceus dan P. cerevisiae. Salah satu formula kimchi yang diproduksi secara komersial terdiri atas 84,9% kubis, 5,9% garam, 2,2% bubuk merica merah, 1,7% bawang putih, 0,7% jahe, 3,8% bawang bombai dan 0,8% gula (Park, 1994). Selama 2 hari fermentasi secara anaerob pada suhu 30°C, gula dikonversi menjadi asam laktat dan asam-asam lainnya (asam piruvat, asam fumarat, asam glikolat, asam malat, asam glukonat dan asam sitrat) oleh aktivitas BAL, sehingga pH kimchi menurun dan menyebabkan tertekannya pertumbuhan bakteri aerob. Produk akhir memiliki pH 4,2 dan kadar asam laktat 0,6-0,8%. Selama fermentasi kimchi juga dihasilkan vitamin B12, riboflavin, dan thiamin (Park, 1994). Simpulan Produk-produk pangan terfermentasi yang berasal dari daging, susu, ikan dan sayuran antara lain: sosis terfermentasi, yoghurt, yakult, balao-balao, som-fug, sauerkraut, dan kimchi. Spesies BAL yang berperan penting dalam proses fermentasi adalah L. plantarum, L. brevis, L. bulgaricus, L. acidophilus, L. casei, P. cerevisiae, P. acidilactici, P. pentosaceus, Leu. mesenteroides, Strep. thermophilus dan Strep. lactis. Karbohidrat (gula) merupakan substrat fermentasi yang harus tersedia dalam jumlah yang cukup agar proses fermentasi berlangsung dengan baik. Faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi proses fermentasi adalah suhu, kadar garam, dan spesies BAL. Metabolisme gula menjadi asam laktat dan asam-asam lainnya, menurunkan pH produk, sehingga menghambat pertumbuhan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 51 Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan mikroba pembusuk dan patogen selama fermentasi. Untuk mempersingkat proses fermentasi, dan meningkatkan mutu serta keamanan produk pangan terfermentasi, perlu digunakan kultur starter BAL. Saran Dalam rangka meningkatkan ekspor non-migas, memperluas kesempatan kerja, dan dalam usaha penganekaragaman pangan serta peningkatan taraf hidup masyarakat, pemerintah dan swasta perlu mengembangkan industri pengolahan bahan pangan melalui proses fermentasi BAL. Para dosen/peneliti dan mahasiswa yang berminat di bidang teknologi fermentasi pangan, diharapkan terus melakukan penelitian mengenai pemanfaatan BAL dalam pengolahan/ pengawetan bahan pangan atau limbah pertanian dalam usaha meningkatkan mutu, keamanan dan stabilitas produk. Daftar Pustaka Adams, M.R., R.D. Cooke and P. Rattagool. 1985. Fermented fish product of South-East Asia. Trop. Sci. 25: 61-73. Adams, M.R. 1986. Fermented flesh foods. Adams, M.R. (ed.). Progress in industrial microbiology. Vol. 23. Microorganisms in the production of food. Elsevier, Amsterdam: 159-198. Adams, M.R., R.D. Cooke and D.R. Twiddy. 1987. Fermentation parameters involved in the production of lactic acid preserved fish glucose substrates. Int. J. Food Sci. Technol. 22: 105-144. Arroyo, P.T., L.A.L. Pelayo, H.T. Solidum, Y.N. Chiu, M. Lero and E.E. Alcantara. 1978. Studies on rice shrimp fermentation balaobalao. Phil. J. Food Sci. Technol. 2:106-125. Aryanta, W.R. 1989. Microbiology and biochemistry of fermented fish sausage. Ph.D. thesis, University of New South Wales. Kensington, N.S.W., Australia. Aryanta, W.R., G.H. Fleet and K.A. Buckle. 1991. The occurrence and growth of microorganisms during the fermentation of fish sausage. Int. J. Food Microbiol. 13: 143-155. Aryanta, W.R. 1992. Beberapa perubahan biokimiawi selama fermentasi sosis ikan. Bull. FKHP. No.118(1): 233-241. 52 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Aryanta, W.R. 1993. Pengaruh lama fermentasi terhadap mutu sosis terfermentasi alamiah. Majalah Ilmiah Unud. Th. XX No.37: 77-84. Aryanta, W.R. 1994a. The effect of sodium nitrite concentration on the quality of fermented sausage. Majalah Ilmiah Unud. Th. XXI No.40: 54-58. Aryanta, W.R. 1994b. Fermented sausage: 3. Microbial ecology and biochemical changes (A literature review). Majalah Ilmiah Unud. Th. XXI No.41: 47-51. Aryanta, W.R. 1994c. Lactic acid fermented fish products: a literature review. Majalah Ilmiah Unud. Th. XXI No.42: 22-27. Aryanta, W.R., M.B. Arihantana dan A.A.S.P. Kartini. 1994. Seleksi dan pemanfaatan bakteri asam laktat untuk meningkatkan mutu sosis terfermentasi tradisional Bali. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian. Universitas Udayana. Denpasar. Bacus, J.N. and W.L. Brown. 1981. Use of microbial cultures: meat products. Food Technol. 35(1): 74-78, 83 Bacus, J.N. 1984. Utilisation of microorganisms in meat processing. A handbook for meat plant operators. John Wiley and Sons Inc. New York. Bacus, J.N. and W.L. Brown. 1985a. The lactobacilli: meat products. Gilliland, S.E. (ed.). Bacterial starter cultures for foods. CRC Press. Inc. Boca Raton, FL: 58-72. Bacus, J.N. and W.L. Brown. 1985b. The pediococci: meat products. Gilliland, S.E. (ed.). Bacterial starter cultures for foods. CRC Press. Inc. Boca Raton, FL: 85-96. Barraquio, V.L. 1994. Advances in fermented dairy products. In: Proceedings of the Regional Training Workshop on Advances in Microbial Processes for the Utilization of Tropical Raw Materials in the Production of Food Products, held 11-20 October 1993 at the National Crop Protection Center, U.P. Los Banos, Philippines, P.C. Sanchez (ed.). Brown, W.D. 1986. Fish muscle as food. Bechtel, P.J. (ed.). Muscle as food. Academic Press, Inc. Orlando: 405-451. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wootton. 1978. Food science. Watson Ferguson & Co. Brisbane. Christiansen, L.N., R.B. Tomkin, A.B. Shaparis, R.W. Johnston and D.A. Kautter. 1975. Effect of sodium nitrite and nitrate on BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 53 Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan Clostridium botulinum growth and toxin production in a summer style sausage. J. Food Sci. 40: 488-490. Davis, J.G. 1975. The microbiology of yoghurt. In: Lactic acid bacteria in beverages and food. J.G. Carr et al. (ed.). Academic Press. New York. Deibel, R.H., C.F. Niven and G.D. Wilson. 1961. Microbiology of meat curing. III. Some microbiological and related technological aspects in the manufacture of fermented sausages. Appl. Microbiol. 9: 156-161. Etchells, J.L., H.P. Fleming and T.A. Bell. 1975. Factors influencing the growth of lactic acid bacteria during the fermentation of brined cucumbers. In: Lactic acid bacteria in beverages and food. J.G. Carr et al. (ed.). Academic Press. New York. Hamann, W.T. and E.H. Marth. 1984. Survival of Streptococcus thermophilus and Lactobacillus bulgaricus in commercial and experimental yoghurts. J. Food Protect. 47: 781-786. Jay, J.M. 1986. Modern food microbiology. Van Nostrand Reinhold Company. New York. Jennes, R. and S. Patton. 1969. Principles of dairy chemistry. Wiley Eastern Private Limited. New Delhi. Lagua, R.T., C.P. Cruel and V.S. Claudio. 1977. Food preservation for Filipinos. G.M.S. Publishing Corporation. Quezon City. Lucke, F.K. 1985. Fermented sausage. Wood, B.J.B. (ed.). Microbiology of fermented foods. Vol. 2. Elsevier Applied Science Publishers. London. Margalith, P.Z. 1981. Flavor microbiology. Charles C. Thomas Publisher. Illinois. Masters, B.A., J.L. Oblinger, S.J. Goodfellow, J.N. Bacus and W.L. Brown. 1981. Fate of Salmonella newport and Salmonella thypimurium inoculated into summer sausage. J. Food Prot. 44: 527-530. Novikov, V.M. 1983. Handbook of fishery technology, vol. 1. A.A. Balkema. Rotterdam. Orillo, C.A. and C.S. Pederson. 1968. Lactic acid bacterial fermentation of burong dalag. Appl. Microbiol. 16: 16691671. Park, W.S. 1994. Kimchi as a traditional fermented vegetable food in Korea. In: Proceedings of the Regional Training Workshop on 54 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Advances in Microbial Processes for the utilization of Tropical Raw Materials in the Production of Food Products held 11-20 October 1993 at the National Crop Protection Center, U.P. Los Banos, Philippines. P.C. Sanchez (ed.). Pederson, C.S. 1971. Microbiology of food fermentations. Avi Publishing Co. Westport, CT. Potter, N.N. 1973. Food science. The Avi Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Romans, J.R. and P.T. Ziegler. 1977. The meat we eat. The Interstate Printers & Publishers, Inc. Illinois. Saisithi, P. 1987. Traditional fermented fish products with special reference to Thai products. Asian Food J. 3(1): 3-10. Saono, S., R.R. Hull and B. Dhamcharee. 1986. A concise handbook of indigenous fermented foods in the ASCA countries. LIPI. Jakarta. Smith, J.L. and S.A. Palumbo. 1973. Microbiology of Lebanon bologna. Appl. Microbiol. 26: 489-496. Smith, J.L. and S.A. Palumbo. 1978. Injury to Staphylococcus aureus during sausage fermentation. Appl. Environ. Microbiol. 36: 857-860. Smith, J.L. and S.A. Palumbo. 1981. Microorganisms as food additives. J. Food Prot. 44:936-955. Smith, J.L. and S.A. Palumbo. 1983. Use of starter culture in meats. J. Food Prot. 46: 997-1006. Twiddy, D.R., S.J. Cross and R.D. Cooke. 1987. Parameters involved in the production of lactic acid preserved fish-starchy substrate combinations. Int. J. Food Sci. Technol. 22: 115-121. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 55 PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN MASUKAN RENDAH Netera Subadiyasa Pendahuluan Kebutuhan manusia akan pangan semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, manjadi keharusan bagi pertanian untuk terus meningkatkan produksi. Apabila kita tinjau upaya peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk sejak dimulainya pembangunan pertanian pada Pelita I, tampak takaran (dosis) penggunaan pupuk dan pestisida semakin tinggi. Demikian pula macam pupuk dan pestisida yang digunakan semakin banyak jenisnya. Hal ini sejalan dengan sistem intensifikasi yang dikembangkan yaitu mulai dari Inmum (intensifikasi umum) atau Bimas (bimbingan massal), Inmas (intensifikasi massal), Insus (intensifikasi khusus), dan Supra Insus. Meningkatnya jumlah pupuk yang digunakan untuk tanaman rata-rata penggunaan pupuk per tahun di Indonesia sejak Pelita I. Dalam Pelita I digunakan pupuk 464,8 ribu ton, Pelita II 990, 2 ribu ton dan terbatas hanya pupuk urea dan TSP saja. Pada Pelita III dan IV penggunaan pupuk rata-rata per tahun berturutturut mencapai 2.565,4 ribu ton dan 3.923,2 ribu ton dan jenis yang digunakan disamping urea dan TSP ditambah lagi KCl dan ZA. Pada Pelita V jumlah pemakaian semakin tinggi lagi mencapai 4.464 ribu ton, dengan jenis pupuk yang digunakan di samping pupuk tersebut di atas ditambah lagi pupuk unsur mikro terutama Zn. Meningkatnya jumlah pupuk yang digunakan disamping disebabkan oleh meningkatnya luas areal tanam, juga disebabkan oleh semakin meningkatnya takaran penggunaan pupuk per satuan luas. Hal ini sejalan dengan sikap “pupuk minded” petani. Pada 56 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana awal Pelita I dosis rekomendasi pupuk untuk tanaman padi sawah adalah urea 100-200 kg/ha, TSP 50-75 kg/ha. Pada saat ini dosis rekomendasi telah mencapai 200-250 kg/ha, TSP 100-150 kg/ha dan 50-100 kg/ha KCl. Bahkan dilaporkan bahwa di beberapa daerah seperti di Jawa Barat, Lampung dan Sulawesi Selatan tingkat penggunaan pupuk oleh petani telah melebihi dosis rekomendasi. Yaitu untuk urea pada ketiga daerah tersebut berurut-turut 112%, 128% dan 189% kali dosis rekomendasi; untuk KCl berturutturut 150%, 106% dan 116% kali dosis rekomendasi (Erwidodo, 1994). Peningkatan jumlah pupuk yang digunakan per satuan luas lahan, apabila dikaitkan dengan peningkatan produksi per satuan luas yang dihasilkan tidak seimbang. Ini berarti bahwa potensi tanah dalam menyediakan hara semakin kesil dan hara semakin terkuras. Dalam jangka waktu lama lahan tidak mampu lagi berproduksi secara lestari dan berkelanjutan. Dalam tulisan ini akan dicoba dibahas upaya mempertahankan pertanian berkelanjutan dengan masukan rendah. Pembahasan dibatasi pada kemampuan tanah menyediakan hara (kesuburan tanah) dalam jangka waktu lama dikaitkan dengan pemanfaatan mikroorganisme (mikrobiologi tanah), sesuai dengan bidang ilmu yang penulis tekuni. Pembahasan diawali dengan mengkaji kaitan antara perkembangan produksi pangan terutama beras dengan penggunaan pupuk. Selanjutnya diakhiri dengan penyajian alternatif teknologi yang dapat diterapkan dalam mempertahankan produksi berkelanjutan. Sebelum pembahasan lebih lanjut, ada baiknya kita definisikan secara terbatas istilah pertanian berkelanjutan dan istilah masukan rendah, untuk menyamakan persepsi. Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang mampu memanfaatkan sumberdaya lahan agar dapat berproduksi secara lestari untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa merusak lingkungan. Technical Advisory Committee of the Consultative Group on International Agricultural Research (Reijntjes, et al, 1992) menyatakan bahwa: Sustainable agriculture is the successful management of resources for agriculture to satisfy changing human needs while maintaining or enhancing the quality of the environment and conserving natural resources. Dalam hal ini telah BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 57 Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture) tercakup beberapa pengertian (aspek), di antaranya aspek ekologi, ekonomi, sosial kemanusiaan, dan terapan. Pengertian masukan (input) rendah di sini adalah sarana produksi dalam takaran yang jauh lebih dari takaran rekomendasi dan membutuhkan biaya yang juga jauh lebih rendah. Peninjauan masukan di sini dititikberatkan pada masukan berupa bahan kimia yang umum digunakan khususnya berupa pupuk. Perkembangan Produksi Tanaman Pangan Dengan penggunaan pupuk dan sarana produksi lain, serta perbaikan teknologi bercocok tanam maka sejak awal Pelita I terjadi peningkatan produksi dan produktivitas pangan. Khususnya beras, peningkatan produksi sejalan dengan peningkatan penggunaan pupuk. Produksi beras meningkat tajam, pada tahun 1968 sebanyak 11,62 juta ton, pada tahun 1990 telah mencapai 30,66 juta ton. Pada tahun 1992, produksi telah mencapai 42,33 juta ton dengan rata-rata produksi 4,6 ton/ha (BPS, 1992). Produksi tanaman palawija juga menunjukkan peningkatan, tetapi peningkatannya lebih berfluktuasi dibandingkan dengan beras. Produktivitas yang dicapai masih di bawah potensi produksinya. Pada tahun 1992, produksi jagung, kedelai, ubi kayu, kacang tanah, ubi jalar berturut-turut mencapai 6,26, 1,56, 15,95, 0,65 dan 2,04 juta ton dengan rata-rata produksi (ton/ha), berturut-turut 2,2, 1,1, 12,1, 1,0, dan 9,0. Apabila kita amati perkembangan produktivitas beras secara nasional, maka tampak adanya gejala levelling off (pelandaian) produksi rata-rata per hektar artinya produktivitas yang sangat kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Gejala levelling off pertama terjadi pada tahun 1974, yaitu produktivitas hanya meningkat 2,2%, lebih kecil dari rata-rata persentase peningkatan penduduk. Hal ini diduga sebagai akibat dari hanya digunakan pupuk N dan P. Setelah digunakan tambahan pupuk K (KCl) tahun-tahun berikutnya maka produktivitas mulai meningkat lagi. Selanjutnya, mulai ditambahkan pupuk S dalam bentuk ZA untuk daerah-daerah tertentu. Di sini mulai muncul istilah pemupukan berimbang, yaitu pemberian pupuk atau hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman baik jumlah maupun jenisnya yang didasarkan atas status tanah dan kemampuan 58 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana tanah menyediakan hara serta pengelolaan yang tepat sehingga memungkinkan tanaman menyerap hara secara optimal. Dengan penerapan pemupukan dan teknologi pertanian lainnya, maka pada tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras dengan total produksi 25,825 juta ton, 7,83% lebih tinggi baru tahun sebelumnya. Setahun setelah tercapai swasembada beras, yaitu tahun 1985 muncul kekhawatiran lagi karena tampak gejala levelling off kedua. Peningkatan produktivitas hanya 1,9%. Setelah diadakan penelitian, ternyata di beberapa daerah levelling off disebabkan adanya defisiensi (kahat) unsur mikro, khususnya Zn. Gejala levelling off ini juga tampak dari rata-rata hasil padi per hektar di Bali. Tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977 produksi padi rata-rata berturut-turut 3,449, 3,345, 3,405, dan 3,512 ton/ ha. Baru setelah tahun 1980-an rata-rata produksi meningkat lagi. Tahun 1982 produksi padi rata-rata 5,046 ton/ha. Tahun 1983, 1984, 1985 dan 1986 rata-rata produksi berturut-turut 4,386, 4,503, 4,569 dan 4,852 ton/ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Pangan Propinsi Bali, 1987). Pupuk KCl mulai digunakan pada sistem intensifikasi di Bali tahun 1982 dan ZA sebagai sumber unsur S mulai tahun 1987. Setelah munculnya gejalan levelling off tahun 1980-an, dilakukan penelitian unsur mikro khususnya seng (Zn) di lahan persawahan di Bali. Dari 216 contoh tanah sawah yang dianalisis dan dilanjutkan dengan percobaan lapangan, dapat disimpulkan ternyata 34,5% (32.845 ha) tanah sawah di Bali kahat seng (Subadiyasa, 1988). Batas kritis kadar Zn tanah pada tanah Latosol Coklat Kekuningan adalah 7,9 ppm. Pemupukan pada tanah sawah dengan kadar Zn 5,2 ppm Zn dengan dosis 10 kg Zn/ ha, dapat meningkatkan produksi padi sebesar 6 % (Subadiyasa dan Adnyana, 1986). Tahun 1991 mulai digunakan pupuk Zn di Bali secara meluas dalam bentuk TSP Plus yaitu TSP yang mengandung 1% Zn. Produksi padi rata-rata tahun 1990 meningkat lagi, yaitu 5,123 ton/ha. Produksi rata-rata tahun 1991, 1992, 1993, 1994 dan 1995 berturut-turut 5,549, 5,238, 5,321, 5,245, dan 5,252 ton/ha. Di samping penggunaan pupuk tersebut, juga digunakan pupuk pelengkap cair dan zat pengatur tumbuh (PPC/ZPT). PPC/ BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 59 Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture) ZPT yang banyak digunakan adalah Hydrasil dan Dharmasri (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Bali, 1995). Apa yang dapat ditarik kesimpulan dari hal di atas adalah (1) kita telah berpacu dengan penggunaan input pupuk anorganik (bahan kimia) yang semakin tinggi untuk mengejar target produksi, (2) dengan menguras kemampuan tanah untuk berproduksi, maka setiap ditambahkan input satu jenis pupuk dengan dosis yang tinggi, maka muncul gejala kekurangan unsur yang lain. Prinsip Liebig yang terkenal dengan Hukum Minimumnya sebenarnya telah mengingatkan kita bahwa produktivitas tanaman ditentukan oleh faktor (unsur hara) yang paling minimum yang ada dalam tanah. Ini berarti dengan memacu menambahkan satu jenis hara, maka dengan tingkat produksi yang cukup tinggi akan terkuras juga hara lainnya dan unsur hara inilah yang akhirnya sebagai faktor pembatas baru. Penggunaan input yang semakin tinggi ini tercermin pula dari paket-paket teknologi yang diterapkan dalam Insus, sebagai berikut. Paket A: Rekomendasi panca usaha partial untuk lahan marginal (lahan kering/gogo). Paket B: Rekomendasi panca usaha lengkap yang telah melaksanakan pemupukan lengkap (urea, TSP, KCl) dan penggunaan benih bersertifikat. Paket C: Rekomendasi panca usaha lengkap dengan pemupukan berimbang (urea, TSP, KCl, Za, Zn) dan benih bermutu (bersertifikat) serta penertiban pola tanam untuk mencapai Indeks Panen (IP)>200%. Paket D: Rekomendasi Paket C ditambah dengan pengolahan tanah secara sempurna dan penggunaan pupuk pelengkap cair (PPC) atau zat pengatur tumbuh (ZPT). Dosis anjuran untuk tanaman padi adalah urea 200-250 kg/ ha, TSP 75-100 kg/ha, KCl 50-75 kg/ha, TSP-Plus 100-150 kg/ha. Dikhawatirkan penambahan dosis serta macam pupuk yang terus meningkat menjadi tidak ekonomis lagi bagi petani apalagi setelah dihapuskannya subsidi pupuk. Hal ini menyebabkan petani enggan berproduksi karena keuntungan atau pendapatan yang diperoleh relatif kecil. Apakah jalan keluar yang dapat dilakukan? Sebelum kita sampai kepada jalan keluar yang dapat dianjurkan kepada petani, baiklah kita simak hubungan antara sifat tanah, ketersediaan hara dan serapan hara oleh tanaman. Dengan sistem pertanaman yang sangat intensif kemungkinan 60 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana akan berakibat sebagai berikut. 1. Keseimbangan unsur hara dalam tanah terganggu sehingga tidak memberikan ketersediaan yang optimal bagi tanaman. Unsur hara dalam konsentrasi tinggi yang kita tambahkan dapat mengikat unsur lain menjadi senyawa yang tidak larut. Sebagai contoh, fosfat dalam bentuk TSP dapat membentuk senyawa Zn3(PO4)2 yang tidak larut sehingga Zn menjadi tidak tersedia. 2. Munculnya polusi karena bahan kimia yang berupa pupuk dan pestisida yang berlebihan, sebagian akan menguap ke atmosfer berupa gas atau hanyut terlarut bersama air irigasi atau air tanah. 3. Kadar bahan organik cenderung semakin rendah karena banyak bahan organik (sisa tanaman) dibakar untuk mempercepat pengolahan tanah. Contoh yang sangat jelas adalah kebiasaan pembakaran jerami padi untuk mengejar kesempatan mengolah tanah agar bisa tiga kali tanam setahun. 4. Terganggunya perkembangan jasad hidup tanah akibat perubahan sifat kimia tanah (pH tanah, potensial redoks, senyawa beracun dan sebagainya), terganggunya keseimbangan hara, maupun akibat rendahnya kadar bahan organik tanah. Mengenai adanya polusi, hal ini ditandai dengan meningkatnya kadar nitrit air di beberapa waduk. De Datta (1981) menyatakan bahwa kehilangan pupuk N dari jumlah pupuk yang ditambahkan sekitar 20-40% di India, 30-50% di Jepang, 68% di Lousiana (AS) dan 25% di Filipina. Di Indonesia, pemupukan urea dengan cara disebar seperti yang dilakukan petani, dapat menyebabkan 70% urea hilang melalui proses volatilisasi NH3 (Wetselaar et al., 1984 dalam Adiningsih, 1994). Polusi ke udara dalam bentuk gas yang berpengaruh terhadap peristiwa efek rumah kaca (global warming) dapat pula berupa gas N2O, CH4, CO2, SO2 dan sebagainya. Pemupukan dengan urea (250 kg/ha), TSP (100 kg/ha) dan KCl (50 kg/ha) pada tanah sawah Alfisol di Tabanan yang ditanami padi varietas Krueng Aceh ternyata dapat meningkatkan emisi gas metana (CH4) dari tanah BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 61 Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture) sawah dari 4,82 g CH4-C m-2 menjadi 5,80 g CH4-C m-2 (Subadiyasa, et al., 1995). Mengenai terganggunya keseimbangan hara tanah, suatu contoh spesifik adalah pemupukan TSP. Unsur P tidak mobil dalam tanah, sehingga kelebihan P yang tidak terserap oleh tanaman akan tetap berada dalam tanah sebagai residu dan terikat dalam bentuk Fe-P atau Ca-P atau terikat oleh bahan organik. Senyawa P ini merupakan cadangan unsur P tanah. Walaupun demikian, karena sulit tersedia kembali, maka sering tanah tetap respon terhadap pemupukan P. Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah Bogor, sejak tahun 1986, menunjukkan bahwa pemupukan P terusmenerus lebih dari 20 tahun telah menyebabkan akumulasi P pada tanah sawah intensifikasi. Dari sekitar 3,65 juta lahan sawah di Jawa, terdapat sekitar 1,45 juta ha (39,7%) berstatus P tanah tinggi, 1,66 juta ha (45,5%) berstatus P sedang dan 0,54 juta ha (14,8%) berstatus P tanah rendah (Moersidi dkk, 1989). Dari hasil analisis 216 contoh tanah sawah di Bali pada tahun 1984 ternyata hanya 5,09% yang menunjukkan kadar P tanah rendah sampai sedang, sisanya kadarnya tinggi sampai sangat tinggi (Subadiyasa, 1988). Namun demikian, tanah ini terhayata menunjukkan respon terhadap pemupukan P. Kadar bahan organik tanah yang rendah sebagai akibat intensifikasi, disebabkan oleh pengolahan tanah yang intensif sehingga oksidasi bahan organik berlangsung cepat, kebiasaan membakar sisa tanaman untuk mempercepat pengolahan tanah mengejar intensitas tanam tinggi, hilangnya kebiasaan penambahan bahan organik seperti pengembalian sisa tanaman, penambahan abu dapur, pupuk kandang, pupuk hijau dan sebagainya. Dari hasil analisis 216 contoh tanah sawah di Bali ternyata sebagian besar (60,2%) kadar bahan organiknya (BO) rendah (kadar BO 2,0 – 3,5%, 29,6% kadar bahan organiknya sangat rendah (kadar BO<2%) dan sisanya 8,8% dan 1,4% berturut-turut kadar bahan organik sedang (BO 3,6-5%) dan tinggi (BO 5,1-8,5%). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kebiasaan membakar jerami pada saat panen, tidak mengembalikan sisa panen ke dalam tanah, dan kurangnya penambahan pupuk hijau (Subadiyasa, 1988). Bahan organik sangat penting perannya dalam memperbaiki 62 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana sifat tanah baik sifat fisik, kimia maupun biologi. Dari segi biologi tanah, bahan organik adalah substrat bagi perkembangan jasad hidup tanah karena bahan organik dapat berperan sebagai sumber hara dan energi, secara hipotesis kemungkinan perkembangan jasad hidup tanah termasuk yang berperan dalam membantu proses pelapukan mineral dan dekomposisi bahan organik sangat terbatas. Ini berarti, terjadi kemunduran kesehatan tanah atau dapat dikatakan tanah menjadi sakit dan hilangnya kemampuan tanah menyediakan unsur hara secara alami dengan bantuan jasad hidup tanah. Suatu analogi dapat kita simak dari kasus pengendalian hama wereng dan penyakit tungro pada padi. Sejak Pelita I dilakukan pencegahan dan pengendalian yang intensif dengan menggunakan pestisida. Jenis dan dosis pestisida yang digunakan semakin tinggi. Ternyata semakin tinggi dosis pestisida yanag digunakan, hama semakin tahan dan eksplosi hama dan penyakit semakin sering terjadi karena banyak jasad hidup yang bermanfaat (musuh-musuh alami) mati keracunan. Hasilnya semakin tidak ekonomis. Akhirnya diterapkan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yang pada prinsipnya seminimal mungkin penggunaan pestisida tetapi menggunakan dan mengembangkan jasad musuh-musuh alaminya. Ternyata hasilnya sangat memuaskan, populasi hama dapat ditekan. Sampai akhirnya sistem PHT ini disebarluaskan penerapannya melalui INPRES No. 3 Tahun 1986 tentang peningkatan pengendalian hama wereng coklat pada tanaman padi. Untuk dapat tercapai pertanian berkelanjutan dari segi kesuburan tanah, maka sebaiknya diupayakan pengurangan penggunaan pupuk buatan diikuti dengan pemanfaatan dan pengembangan jasad hidup yang berperan dalam membantu pelapukan mineral tanah (low input) dan penyubur tanah. Peran pupuk buatan secara berangsur-angsur dikurangi kemudian diganti oleh peran jasad hidup. Penggunaan jasad hidup kemungkinan akan lebih murah karena jasad hidup tersebut pada dasarnya sudah ada dalam tanah, hanya perlu didorong perkembangannya dengan menambahkan media dan memberikan lingkungan yang lebih baik. Berbeda halnya dengan pupuk buatan, yang untuk memproduksi diperlukan biaya lebih tinggi karena dalam proses BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 63 Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture) pembuatannya diperlukan energi bahan bakar, disamping itu sebagian bahan baku pupuk P dan K harus diimpor dari luar. Sedangkan jasad mikro dalam pengembangnnya tidak diperlukan energi bahan bakar, tetapi cukup media bahan organik dan media lainnya. Pupuk Hayati (Biofertilizer) Dengan keterbatasan energi dalam proses pembuatan pupuk anorganik, terbatasnya bahan baku, serta mengurangi dampak lingkungan akibat penggunaan bahan kimia, maka beberapa negara yang maju telah berpaling kepada penggunaan jasad hidup tanah yang membantu pelapukan mineral tanah atau membantu menyuburkan tanah. Secara drastis mengurangi penggunaan bahan kimia dan meningkatkan penggunaan bahanbahan alami. Pertanian yang kembali ke sifat alami (back to nature) ini sering disebut organic farming. Pertanian seperti ini bertendensi penggunaan input yang rendah (low input) dan akrab lingkungan karena polusi dapat dicegah. Sistem pemupukan dengan menyeimbangkan penggunaan pupuk buatan dan pupuk organik di Indonesia sering pula disebut pengelolaan hara terpadu (Integrated Nutrient Management). Jasad hidup yang digunakan dapat berupa jasad hidup tanah yang dapat mengikat nitrogen atmosfer sehingga memperkaya N tanah seperti misalnya Rhizobium Sp., Blue Green Algae (BGA), dan Azola; jasad hidup yang mampu meningkatkan serapan P tanah seperti Mikoriza (suatu jenis fungi tertentu), atau bakteri pelarut fosfat seperti Bacillus Sp, Bacillus pulvifaciens, B. megaterium, B. Subtillis dan sebagainya. Jasad hidup yang berperan membantu menyuburkan tanah ini disebut pupuk hayati (biofertilizer). Dengan terbatasnya sumberdaya energi terutama bahan bakar minyak, maka penggunaan pupuk hayati akan mempunyai arti penting bagi pertanian masa depan. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa penambahan bahan organik dan pupuk hayati dapat meningkatkan produksi tanaman. Sebagai contoh, pemberian Azolla microphylla dapat menggantikan pemberian pupuk urea (150 kg/ha) dalam menghasilkan 4,3 ton gabah/ha. Bahkan, A. microphylla mempunyai kelebihan dapat meningkatkan KTK tanah dari 13,3 menjadi 27,2 64 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana me/100 g dan meningkatkan kadar C-organik tanah dari 2,8% menjadi 5,6% (Adiningsih, 1994). Singh dan Dixit (1995) menyatakan bahwa walaupun biofertilizer tidak dapat menggantikan kebutuhan total pupuk tanaman, tetapi sekurang-kurangnya 30% kebutuhan nitrogen tanaman dapat dilengkapi dari biofertilizer. Berdasarkan percobaan pot yang dilakukan pada tanah Latosol, Bajera, Tabanan, pemberian inokulasi Rhizobium dapat meningkatkan hasil kacang tanah sampai 30,53% bila dibandingkan dengan tanpa inokulasi. Interaksi Inokulasi Rhizobium dengan pupuk Mo berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil akar dan berat kering polong (Subadiyasa dkk, 1990). Beberapa peneliti dari Universitas telah mencoba membuat produk pupuk hayati untuk dapat membantu petani meningkatkan produksi dengan mengurangi penggunaan pupuk buatan. Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada telah mengeluarkan inokulan Rhizobium untuk tanaman kedelai dan kacang-kacangan lainnya yang diberi nama Legin. Harganya yang tidak terlalu mahal dan terjangkau oleh petani. Legin juga telah terbukti dapat digunakan untuk mensubstitusi kebutuhan pupuk N tanaman. IPB sedang merintis produk Mikoriza untuk membantu meningkatkan serapan P tanaman. Effective Microorganism (EM) Prof. Teruo Higa dari Universitas Ryukyus, Jepang (Higa dan Parr, 1994) telah mengembangkan pemanfaatan microorganisme efektif (effective microorganism) dalam tanah untuk membantu meningkatkan kesuburan tanah dan mengganti penggunaan pupuk buatan. Produksinya disebut EM4. Konsep dari EM adalah penggunaan kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, yang diaplikasikan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah dan tanaman, yang selanjutnya dapat meningkatkan kesehatan, pertumbuhan, kuantitas dan kualitas produksi tanaman (Wididana dkk, 1996). EM ini merupakan campuran mikroorganisme yang umum terdapat dalam lingkungan alami, bersifat anaerobic zymogenic BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 65 Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture) miroorganism, yang sebagian besar dari genus Lactobacillus (bakteri asam laktat), serta dalam jumlah sedikit bakteri fotosintetik, Actinomycetes, Streptomyces Sp. dan ragi. Berdasarkan keterangan yang diperoleh, cara kerja EM ini dapat: (a) menekan pertumbuhan patogen tanah, (b) mempercepat dekomposisi limbah dan sampah organik, (c) meningkatkan ketersediaan nutrisi, (d) meningkatkan aktivitas mikroorganisme indigenus yang menguntungkan seperti Mikorhiza, Rhizobium, bakteri pelarut fosfat dan lain-lain, (e) memfiksasi nitrogen, dan (f) mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia. Cara penggunaannya, sebelumnya dibuat Bokashi, yaitu kompos yang dibuat dengan teknologi EM. Bokashi dapat dibuat dari bahan organik jerami padi, pupuk kandang dan bahan organik lainnya. Bahan ini dicampur dengan dedak, sekam, gula pasir, dan air dalam perbandingan dan jumlah tertentu. Selanjutnya disemprot dengan larutan EM, kemudian disimpan 4 hari. Bokashi yang telah terfermentasi ini kemudian digunakan sebagai pupuk organik bagi tanaman. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa penggunaan EM4 dapat meningkatkan serapan hara dan produksi beberapa jenis tanaman baik tanaman padi sawah maupun tanaman lahan kering. Sebagai contoh, dari hasil percobaan yang dilakukan oleh Universitas Nasional Jakarta tahun 1990 mendapatkan bahwa EM dapat meningkatkan produksi mentimun, kedelai, kacang tanah (Wididana dan Higa, 1993), mempercepat perombakan limbah organik (Wibisono dan Basri, 1993), meningkatkan produksi tomat (Wididana dkk, 1993). Suatu hasil penelitian di Pakistan selama 4 tahun (1990-1993) dengan membandingkan penggunaan EM yang dikombinasikan dengan pupuk NPK (N-P2O5-K2O 120-90-60 kg/ ha), pupuk hijau Sesbania aculeata (20 ton/ha), pupuk kandang (20 ton/ha), didapatkan peningkatan hasil padi seperti pada Tabel 1 (Ahmad et al., 1993). Dari tabel tersebut sangat jelas bahwa penggunaan EM pada berbagai kombinasi bahan organik dapat meningkatkan hasil padi antara 6-15%. Teknologi EM masuk ke Indonesia sejak tahun 1980 dan mulai diteliti pemanfaannya sejak tahun 1989. Pertama-tama, dicoba pada tanaman jeruk dan anggrek di Sukabumi. Dengan 66 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana menggunakan EM hasil buah jeruk meningkat dari 150 menjadi 400 kg per 700 pohon. Pada percobaan yang lain, hasil tomat dan kedelai meningkat berturut-turut sampai 133% dan 114% (Zaenudin, 1993). Penggunaan EM4 juga telah menyebar kepada petani di Bali. Berdasarkan demplot penggunaan EM4 yang dilakukan pada tanaman padi sawah, jeruk, salak, kedelai dan sebagainya ternyata memberikan peningkatan hasil dan perbaikan sifat tanah yang menggembirakan. Peningkatan hasil umumnya terjadi pada tanam kedua sekitar 10-15% (Agus Urson, komunikasi pribadi, 1996). Pada tanaman anggur di Seririt penggunaan EM4 dapat mengakibatkan produksi anggur sampai 15-20 ton/ha dengan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 7.557.920,00/ha (Wididana, 1994). Harga EM4 Rp 10.000,00 per liter, dengan dosis pemakaian dicampurkan dengan air 1-5 : 1000 dan digunakan 8 liter per hektar. Tabel 1. Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan EM terhadap Hasil Padi (ton/ha) (Hasil Rata-rata 4 tahun) Perlakuan Hasil dengan EM Hasil tanpa EM Rata-rata Kontrol Pupuk NPK Pupuk hijau Pupuk kandang Rata-rata 2,06 f 4,29 b 3,47 cd 3,26 d 3,27 B 2,37 e 4,58 a 3,76 c 3,51 cd 3,56 A 2,22 D 4,44 A 3,62 B 3,38 C - % kenaikan dengan EM 15,05 6,75 8,35 7,67 9,45 Apa yang dapat kita simak dari hal tersebut di atas, adalah bahwa dengan penggunaan masukan tinggi berupa pupuk dan pestisida menyebabkan jasad hidup tanah yang berperan dalam membantu penyediaan hara bagi tanaman sangat terbatas perkembangnnya sebagai akibat terganggunya keseimbangan hara dan lingkungan hidupnya. Di samping itu, juga diakibatkan oleh adanya kecenderungan rendahnya kadar bahan organik tanah. Ini terbukti dengan penggunaan atau pemanfaatan jasad hidup tertentu (kultur campuran) dapat meningkatkan produksi tanaman. Pemberian pupuk buatan hanya dapat menyediakan hara BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 67 Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture) dalam waktu singkat sedangkan pemberian bahan organik dan jasad hidup (effective microorganism) dapat memungkinkan ketersediaan hara dalam jangka waktu lama, walaupun jumlah yang dapat disediakan lebih sedikit. Ini kemungkinan disebabkan karena jasad hidup ini mempercepat dekomposisi bahan organik, dihasilkan asam-asam organik yang mampu bereaksi melarutkan mineral-mineral tanah. Inti dari permasalahan tersebut adalah bagaimana kita dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah untuk dapat mengurangi penggunaan pupuk buatan dan menggantikan dengan jasad hidup yang mampu melapukkan mineral dan bahan organik yang ada dalam tanah sehingga membantu penyediaan hara. Hambatan terletak pada kebutuhan bahan organik yang cukup banyak dan masalah harga produk. Di negara-negara yang maju yang sangat sadar terhadap dampak negatif penggunaan bahan kimia, telah menghargai produk organic farming dengan harga yang lebih tinggi. Jadi hasil pertanian yang dalam prosesnya tanpa menggunakan bahan kimia buatan umumnya harganya lebih tinggi. Di negara kita hal ini mungkin masih sulit diterapkan. Satu-satunya jalan untuk meningkatkan penggunaan bahan organik oleh petani adalah menyadarkan kembali bahwa kebiasaan petani zaman dahulu seperti penggunaan abu dapur, pupuk kandang, rotasi tanaman dengan pupuk hijau sangat bermanfaat dalam mempertahankan kesuburan tanah dalam jangka waktu lama. Selanjutnya, barulah diperlukan penambahan jasad hidup dari luar. Masalahnya sekarang adalah dari mana petani mendapatkan bahan organik yang cukup banyak? Peluang yang cukup besar untuk mendapatkan bahan organik adalah memanfaatkan limbah organik dari sampah kota. Produksi sampah kota Denpasar setiap hari rata-rata 1.402,13 m3, yang terdiri atas sampah rumah tangga 1.133,56 m3 (80,85%), sampah jalanan/tempat rekreasi 107,68 m3 (7,68%), sampah pusat perbelanjaan 125,62 m3 (8,96%) dan sampah industri, hotel dan restoran 35,26 m3 (2,51%) (Pemda Kodya Denpasar, 1994). Sampah ini dapat diolah oleh Pemda (biaya APBD) menjadi kompos dengan bantuan EM4. Selanjutnya, kompos dibagikan cuma-cuma kepada petani sebagai 68 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana subsidi, sebagai imbal jasa petani dalam perannya mewujudkan swasembada beras. Penggunaan kompos ini akan mengurangi penggunaan pupuk buatan. Dalam jangka waktu tertentu, setelah dirasakan manfaat ekonominya, mungkin dapat dikenakan biaya kepada petani. Simpulan Sebagai simpulan dari apa yang telah kami uraikan di atas, dapat kami sampaikan sebagai berikut. 1. Peningkatan produksi pertanian memacu penggunaan pupuk dengan dosis semakin tinggi ternyata menjadi tidak efisien dan ekonomis karena membutuhkan biaya yang tinggi dan memungkinkan peluang munculnya kekurangan unsur lain sebagai pembatas. 2. Untuk menghasilkan produksi yang berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama perlu diupayakan penggunaan input yang lebih rendah (low input) dengan mengurangi penggunaan pupuk buatan dan meningkatkan penggunaan bahan organik. 3. Penambahan bahan organik dapat diupayakan dengan membiasakan petani membenamkan sisa-sisa tanaman (jerami), menambah pupuk kandang, abu dapur dan rotasi tanaman atau menanami pupuk hijau dalam keadaan tanah bera. 4. Untuk dapat menyediakan hara secara berkelanjutan maka perlu ditambahkan atau diinokulasi dengan jasad hidup tanah atau effective microorganism dan salah satu diantaranya dapat digunakan EM4. 5. Sumber bahan organik yang sangat potensial adalah sampah organik kota yang diolah menjadi kompos dan dibagikan secara cuma-cuma kepada petani sebagai subsidi pupuk menggantikan subsidi pupuk buatan yang telah dihapuskan pemerintah. 6. Dengan pemberian bahan organik dan penggunaan EM (input rendah) diharapkan lahan dapat berproduksi secara berkelanjutan. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 69 Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture) Daftar Pustaka Adiningsih, Sri J. 1994. Pengelolaan pupuk pada sistem usahatani lahan sawah. Makalah yang disajikan pada Training Workshop Penerapan Uji Tanah untuk Meningkatkan Hasil Pertanian dan Memelihara Lingkungan. FADINAP-FAO, Bangkok. Ahmad, R., Tahir Hussain, G. Jilani, S.A., Shahid, S., Naheed Akhtar and M.A. Abbas. 1993. Use of Effective Microorganisms for Sustainable Crop Production in Pakistan. Proceeding Second Conference on Effective Microorganisms, Bangkok. BPS. 1972. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta. De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley and Sons, New York. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 1987. Laporan Tahunan. Denpasar. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 1995. Laporan Tahunan. Denpasar. Erwidodo. 1994. Analisa aspek keuntungan penggunaan pupuk di sektor pertanian. Makalah disampaikan pada Pelatihan Uji Tanah, Bogor. Higa, T and James F. Parr. 1994. Beneficial and Effective Microorganism for a Sustainable Agriculture and Environment. International Nature Farming Research Center, Japan. Moersidi, S., Djoko Santoso, M. Sorpartini, M. Al-Djabri, J. Sri Adiningsih dan M. Sudjadi. 1989. Peta keperluan fosfat tanah sawah di Jawa dan Madura 1988.Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk No. 8, 1989. Puslittanak, Bogor. Pemda Kodya Denpasar. 1994. Rencana Tata Ruang Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar 1994-2004, Denpasar. Reijntjes, C., B. Haverkort and Ann Waters-Bayer. 1992. Farming for the Future. Mcmillan, Netherlands. Subadiyasa, N. N. 1986. Evaluasi Status Zn Tanah Sawah di Bali untuk RekomendasiPemupukan Tanaman Padi. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Unud, Denpasar. Subadiyasa, N.N. 1988. Evaluasi Ketersediaan dan Pengaruh Pemberian Seng terhadapProduksi Padi dan Kacang Tanah pada Tanah Sawah di Bali. Disertasi. Fakultas Pascasarjana 70 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana IPB, Bogor. Subadiyasa, N. N., N. Arya and M. Kimura. 1995. Methane Emission from Paddy Field In Bali Island, Indonesia. In H. Haraguchi and J. Boojawat (ed). Kinetic Behaviors of Greenhouse Gases in Terrestial Ecosystem of Asian Region. Report of a New Program for Promotion of Basic Sciences Studies of GlobalEnviromental Change With Special Reference to Asia and Pacific Regions, Japan. Subadiyasa, N.N., W. Dana Atmaja, K. Dharma Susila dan N.L. Kartini. 1990. Pengaruh Inokulasi Rhizobium dan Dosis Pupuk Mo terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah (Arachis hypogea L.) pada Tanah Latosol Bajera Tabanan. Laporan Penelitian Unud, Denpasar. Subadiyasa, N.N. dan M. Adnyana. 1986. Penggunaaan Pupuk Mikro untuk Meningkatkan Produksi Padi di Bali. Laporan Penelitian, Unud, Denpasar. Wibisono, A dan M. Basri. 1993. Pemanfaatan Limbah Organik untuk Pupuk. BuletinKyusei Nature Farming. Vol. 02/IKNFS/ Th I. Wididana, G.N. 1994. Penerapan Teknologi EM-4 pada Tanaman Anggur. Studi Kasus di Daerah Buleleng-Bali. Majalah Tumbuh. Edisi No. 41 Th. IV. Wididana, G. N., S.K. Riyatmo dan T. Higa. 1996. Tanya Jawab Teknologi Effective Microorganisms. Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan, Jakarta. Wididana, G.N. and T. Higa. 1993. Effect of Effective Microorganisms 4 (EM4) on the Growth and Production of Crops. Buletin Kyusei Nature Farming. Vol. 02/IKNFS/Th. I Zaenudin, S. 1993. Effective Microorganisms (EM4) Technology in Indonesia.Proceeding Second Conference on Effective Microorganism (EM), Bangkok. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 71 PERANAN TEKNOLOGI PASCAPANEN DALAM MEMPERTAHANKAN MUTU DAN MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN BUAH SALAK SEGAR Ketut Suter Pendahuluan Pada Pelita IV pembangunan sektor di bidang ekonomi mempunyai keterkaitan dengan bidang industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya. Pertanian dalam arti luas perlu terus dikembangkan agar makin maju dan efisien dan diarahkan untuk meningkatkan jumlah dan mutu produksi serta keanekaragaman hasil pertanian, melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi, dan rehabilitasi pertanian dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, serta kebutuhan bahan baku industri. Buah salak yang dihasilkan dari tanaman salak (Salacca edulis Reinw.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai prospek pemasaran yang cerah, baik pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Sekalipun secara khusus belum ada catatan pasti mengenai jumlah buah salak yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi (vitamin dan mineral) di dalam negeri, tetapi untuk Indonesia konsumsi buah-buahan pada tahun 1993 baru mencapai 35 kg/kapita/tahun lebih rendah daripada yang direkomendasikan oleh FAO, yaitu 60 kg/kapita/ tahun. Sementara itu, produksi buah nasional baru mencapai 27,6 kg/kapita/tahun (Supratomo, 1997), dengan demikian masih kekurangan persediaan buah-buahan. Kekurangan ini perlu dipenuhi melalui peningkatan produksi buah-buahan dalam negeri. Pada Pelita VI pemerintah RI memprioritaskan pengembangan buah-buahan secara nasional sesuai dengan permintaan pasar baik pasar dalam negeri maupun pasar luar 72 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana negeri (untuk ekspor), yaitu mangga, jeruk, rambutan, durian dan pisang serta buah-buahan spesifik daerah seperti salak, manggis, leci, lengkeng, duku dan markisa (Winarno, 1994). Untuk daerah Bali, prioritas pengembangan buah-buahan salah satunya adalah salak. Upaya peningkatan produksi tanaman salak, khususnya di Bali telah dan sedang dilaksanakan melalui pengembangan sentrasentra produksi salak, pemuliaan tanaman untuk memperoleh bibit salak unggul (Oka, 1993), perbanyakan dengan pencangkokan dan kultur jaringan di samping melalui biji (Wijana; 1994; 1996; 1997). Upaya peningkatan produksi ini semestinya diikuti dengan perbaikan penanganan pascapanennya sehingga jumlah produksi yang dicapai serta mutunya dapat dipertahankan. Dengan demikian, diharapkan petani salak dapat menerima harga yang lebih tinggi. Produksi buah salak di Bali adalah 32,960 ton pada tahun 1995 dan meningkat dari produksi tahun 1991 sebesar 22,074 ton (Anon., 1995b), sedangkan di tingkat nasional pada tahun 1995 adalah sebesar 662,546 ton (Anon., 1995a). Jumlah produksi ini tidak semuanya dapat dimanfaatkan/dipasarkan karena buah salak memiliki sifat mudah rusak dan kerusakan akan lebih cepat akibat penanganan pascapanennya yang kurang baik. Buah salak Bali tahan dalam keadaan segar 5-10 hari (Suter, 1988a). Kerusakan pascapanen buah-buahan bisa mencapai 2040% (Winarno dan Laksmi, 1974) dan khususnya buah salak yang dikirim oleh pedagang dari Bali ke Jakarta kerusakannya mencapai 50-60% (Sudibyo, 1974). Buah salak bisa susut bobot lebih dari 20% setelah disimpan 6 hari pada suhu kamar 290C (Suter, 1988a). Hal ini jelas menyebabkan kerugian baik petani maupun pedagang penyalur. Tahap-tahap penanganan pascapanen yang belum memadai, antara lain masih bervariasi umur petik buah salak dan belum dilakukan sortasi buah menurut varietas salak, sehingga mutu buah salak sangat beragam. Penumpukan buah salak yang terlalu banyak dan tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan mekanis seperti luka dan memar pada buah yang ada dibagian bawah. Cara pengemasan belum memperhatikan ketahanan pengemas terhadap goncangan saat buah diangkut dengan kendaraan untuk BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 73 Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Segar tujuan pemasaran antar pulau. Oleh karena itu, untuk mempertahankan mutu dan mengurangi kerusakan buah salak, maka perbaikan penanganan pascapanen mutlak diperlukan. Agar bisa mencapai tujuan tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui karakteristik buah salak, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kerusakan dan mempengaruhi umur simpan buah salak serta teknologi pascapanen yang bagaimana dapat diaplikasikan di tingkat petani dan pedagang salak. Karakteristik Buah Salak Di Indonesia telah dikenal cukup banyak varietas salak. Menurut Nazaruddin dan Kristiawati (1992), di Indonesia sedikitnya ada 18 varietas yang telah diketahui sifat-sifatnya. Namun, varietas salak lebih banyak disesuaikan dengan nama daerah asalnya atau rasa dan aroma daging buahnya seperti salak Condet (asal Condet, Jakarta), salak Pondoh, asal Sleman, Yogyakarta daging buahnya putih dan manis seperti pondoh atau pucuk kelapa yang masih terbungkus pelepah dan salak Bali asal daerah Bali. Berdasarkan kajian buah salak yang dilakukan di daerah Bali, Suter (1988a) melaporkan ada 10 kultivar (varietas yang dibudidayakan) salak, yaitu salak Biasa, Gondok, Nangka, Nenas, Kelapa, Penyalin, Putih, Gulapasir, Goni, dan Bogor. Karakteristik dari masing-masing kultivar salak asal Bali dapat dilihat pada Tabel 1. berdasarkan karakteristik buahnya, ternyata hanya tiga kultivar salak yang secara tegas dapat dibedakan yaitu salak Gulapasir, salak putih dan salak Bogor sedangkan tujuh kultivar salak lainnya sulit dibedakan satu sama lainnya. Bila dilihat dari rasa daging buahnya, maka salak di Bali ada dua jenis, yaitu jenis salak yang daging buahnya memiliki rasa manis, asam dan sepet dan jenis salak yang daging buahnya memiliki rasa manis tanpa ada rasa asam dan sepet sejak buah masih muda. Di samping itu salak Bali memiliki sifat khas/unggul kleistogami, yaitu untuk terjadinya pembuahan tidak dibutuhkan bantuan manusia. 74 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Tabel 1. Karakteristik buah salak asal Bali (Suter, 1988a) Kultivar salak 1) Bentuk ukuran (P/R) 1) Warna kulit Warna daging Rasa Aroma Agak tajam Biasa Agak bulat, basar (5.88/1.04) Coklat kemerahan Kuning susu Manis enak Gondok Agak bulat, besar (6.13/1.08) Coklat kehitaman Kuning susu Manis enak sekali Aroma bunga gondok Nangka Bulat lonjong, sedang (5.57/1.15) Coklat kehitaman Kuning susu Manis agak sepet Aroma bunga nangka Nenas Bulat lonjong, besar (5.89/1.10) Coklat kekuningan Kuning susu Manis sedikit asam dan sepet Aroma buah nanas Penyalin Lonjong, agak kecil (5.54/1.19) Coklat kehitaman Putih kekuningan Agak manis sedikit asam dan sepet Agak tajam Kelapa Agak bulat, sedang (5.89/1.10) Coklat Putih kekuningan Manis sedikit asam dan sepet Agak tajam Putih Bulat lonjong, sedang (5.54/1.19) Putih kekuningan Putih kekuningan Manis sedikit asam dan sepet Agak tajam Gulapasir Agak bulat, kecil (4.46/1.04) Coklat kehitaman Putih Manis sekali tanpa asam dan sepet Agak tajam Boni Agak bulat, kecil (4.59/1.03) Coklat kemerahan Kuning susu merah pada pangkal Manis sedikit asam dan sepet Agak tajam Bogor Bulat lonjong, besar (5.91/1.24) Coklat kemerahan/ kehitaman Kuning susu Manis agak sepet Agak tajam P = Panjang buah, cm dan R = Rasio panjang-diameter buah. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 75 Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Segar Dengan mempertimbangkan kekhasan salak asal Bali, maka pada tahun 1994 diterbitkan dua Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 567/Kpts/TP. 240/7/94 dan No. 584/Kpts/ TP.240/7/94, tanggal 23 juli 1994, berturut-turut tentang Pelepasan Salak Bali sebagai varietas unggul dan salak Gulapasir sebagai varietas unggul. Berdasarkan dua surat keputusan tersebut diatas, maka di Bali diakui secara nasional memiliki dua varietas unggul yaitu salak Bali dan salak Gulapasir dengan karakteristik buahnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik Buah Salak Bali dan Salak Gulapasir (SK menteri RI No. 567/Kpst/ TP.240/7/94 dan No. 584/ Kpts/TP.240/7/94) Karakteristik Bentuk buah Salak Bali Bulat sampai bulat lonjong Salak Gulapasir Bulat sampai bulat lonjong Panjang buah 4,8 – 8,5 cm 4,0 – 7,5 cm Kulit buah Bersisik, tersusun seperti genteng, berwarna coklat kekuningan sampai coklat kehitaman Bersisik, tersusun seperti genteng, berwarna coklat sampai coklat kehitaman Dinding kulit bagian dalam Berwarna putih, berserat Berwarna putih, berserat Warna daging buah Kuning susu(krem) Putih kapur Ujung buah Membulat Membulat Berat 1 butir buah 40 -105 g 45 – 75 g Sifat buah Buah muda rasanya sepet, buah tua rasanya manis, asam dan sepet berimbang, aroma agak tajam Buah muda rasanya manis, tanpa rasa asam dan sepet, buah tua rasanya sangat manis Ketebalan daging buah 0,5 – 1,8 cm 0,1 – 1,0 cm Keras, agak renyah sampai renyah dan tidak berserat (tidak masir) Agak renyah, berair, ngelotok dan tidak masir 1 -3 butir (kebanyakan 1 -2 butir), biji tua berwarna coklat kehitaman 1 – 3 butir (kebanyakan 1-2 butir), biji tua berwarna coklat kehitaman Tekstur daging buah Biji 76 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Pengenalan karakteristik buah salak Bali dan salak Gulapasir oleh konsumen sangat perlu untuk mengurangi rasa kecewa karena tidak jarang ditemui kasus-kasus pemalsuan salak Bali yang telah dikenal lezat/enak rasanya oleh pedagang dengan cara mencampur salak Bali dengan salak jenis lainnya yang rasanya kurang enak atau dengan cara memberi nama/label salak Bali untuk jenis salak lainnya agar bisa lebih laku dijual. Komposisi Kimia Buah-buahan umumnya adalah sebagai sumber vitamin dan mineral. Buah salak Bali mengandung vitamin C berkisar antara 1,54-2,93 mg/100 g dan kandungan mineral yang cukup tinggi yaitu kalium, natrium, fosfor, magnesium, dan kalsium. Serat kasar berkisar antara 4,16-6,07 g/100g. Buah salak peka terhadap kerusakan oleh mikroba, karena kandungan airnya cukup tinggi yaitu berkisar antara 79,87-81,44 g/100g. Kandungan zat gizi yang lain dari buah salak Bali disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia daging buah salak Bali (Suter, 1988a) Komponen Jumlah per 100 g daging buah Air (g) Protein (g) Lemak (g) Gula (g) Pati (g) Serat kasar (g) Vitamin C (mg) Total Abu (g) Kalium (g) Natrium (g) Kalsium (mg) Magnesium (mg) Besi (mg) Mangan (mg) Seng (mg) Fosfor (mg) 79,87-81,44 0,50-0,85 0,77-2,22 11,28-14,05 1,80-3,18 4,16-6,07 1,54-2,93 0,48-0,53 0,08-0,18 0,06-0,08 6,49-8,70 11,20-15,20 0,30-0,57 0,13-0,18 0,23-0,44 14,00-16,40 Gula dan asam organik merupakan dua komponen kimia pada buah salak, di samping sebagai sumber kalori, juga BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 77 Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Segar menentukan rasa manis dan asam buah salak. Pada buah salak Bali dan salak Gulapasir telah dapat diidentifikasi empat jenis gula, yaitu fruktosa, sukrosa, glukosa, dan maltosa, serta empat jenis asam organik, yaitu asam adipat, asam malat, asam suksinat dan asam sitrat (Suter, 1996a). Sukrosa jumlahnya paling tinggi, yaitu 50,52% (b.k), fruktosa 10,28% (b.k), glukosa 7,90% (b.k) dan maltosa 0,36% (b.k). Buah salak mengandung fruktosa lebih tinggi daripada glukosa, berbeda dengan buah-buahan lainnya umumnya mengandung glukosa lebih tinggi daripada fruktosa (Whitting, 1970), asam malat jumlahnya tertinggi, yaitu 6,79% (b.k) dan asam adipat yang terendah, yaitu 0,08%. Pada salak Gulapasir jenis gula terbanyak adalah sukrosa (49,86% b.k) dan terendah maltosa (0,67% b.k). Berbeda dengan salak Bali, salak Gulapasir mengandung asam suksinat yang tertinggi, yaitu 4,54% (b.k) dan asam terendah adalah sitrat (0,50% b.k) (Suter, 1988a). Komponen kimia lainnya yang berpengaruh terhadap rasa sepet adalah tanin. Kandungan tanin buah salak Bali dan salak Gulapasir berturut-turut, yaitu 0,27-1,47% dan 0,31-0,85%. Perbandingan jumlah gula, asam dan tanin tertentu akan menghasilkan rasa lezat pada buah salak. Aroma buah-buahan disebabkan oleh berbagai senyawa organik yang bersifat volatile (Wills, et al., 1981). Pada buah salak belum diketahui senyawa apa yang bertanggung jawab terhadap kekhasan citarasa buah salak. Berdasarkan laporan Suter (1966b) telah berhasil dipisahkan dengan alat khromatografi gas yaitu berkisar antara 14 sampai 30 komponen citarasa pada buah salak Bali. Respirasi Pascapanen Dalam penanganan pascapanen buah-buahan yang penting diperhatikan bahwa buah adalah suatu struktur yang “hidup”. Buah setelah dipanen masih hidup dan melanjutkan reaksi metabolik dan mempertahankan sistem fisiologisnya seperti buah tersebut masih melekat pada pohonnya. Semua organisme memerlukan persediaan energi yang berkesinambungan yang dipergunakan, antara lain untuk mempertahankan organisasi seluler dan permeabilitas membrane (Wills, et al., 1981). Sebagian terbesar energi yang diperlukan oleh buah diperoleh melalui respirasi 78 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana aerobik, yang melibatkan pemecahan substrat organik cadangan tertentu yang ada pada jaringan buah. Pati adalah karbohidrat utama yang ada pada buah dan yang lainnya adalah sukrosa. Pati dipecah menjadi glukosa oleh enzim amilase dan maltase, sedangkan sukrosa dihidrolisa melalui glukosa dan fruktosa oleh enzim invertase (Gambar 1). Glukosa yang dihasilkan dari hidrolisa pati dan sukrosa, selanjutnya digunakan sebagai substrat dalam proses respirasi buah. Reaksi kimia dalam proses respirasi adalah sebagai berikut. C6H12O6 + 6 O2 6C O2 + 6H2O + Energi (Glukosa) (Oksigen) (Karbondioksida) (Air) Laju respirasi dari buah merupakan indikator yang sangat baik bagi aktivitas metabolik jaringan, oleh karena itu respirasi dapat digunakan sebagai petunjuk terhadap potensi umur simpan buah. Menurut Phan et al. (1975) laju respirasi yang tinggi biasanya berhubungan dengan umur simpan buah yang pendek. Pati Sukrosa Invertase Fosforilase Maltase Glukosa + Glukosa-1-fosfat Maltosa Fruktosa Glukosa Glukosa-6-fosfat Hexokinase Gambar 1. Degradasi cadangan karbohidrat (Wills, et al., 1981) Berdasarkan pola laju respirasi selama perkembangan buah, dikenal ada buah-buahan klimakterik dan buah-buahan nonklimakterik. Kekhasan dari masing-masing kelompok buah tersebut adalah untuk buah klimakterik laju respirasi tinggi untuk buah yang belum matang dan selanjutnya akan menurun sesuai dengan umurnya, tetapi menjelang pemasakan buah terjadi peningkatan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 79 Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Segar laju respirasi, misalnya pada buah apel, pisang dan mangga. Pada buah non-klimakterik laju respirasinya terus menurun seperti pada buah jeruk, nenas dan strawberi. Buah-buahan klimakterik dapat dipanen pada stadia matang dan menjadi masak setelah diperam. Buah non-klimakterik sebaiknya dipanen saat masak dipohon karena setelah dipanen sedikit atau sama sekali tidak terjadi perubahan sifat fisiko-kimianya dan bila terjadi, perubahan tersebut sangat lambat (Wills et al, 1981). Laju respirasi buah salak Bali telah dilaporkan oleh Suter (1988b). Laju respirasi dinyatakan sebagai jumlah mg CO2 yang diproduksi oleh satu kg buah per jam. Jumlah gas CO2 yang diproduksi setelah dipanen berkisar antara 11.46-19.60 mg CO2/kg/jam dan turun menjadi 8,19-12,01 mg/kg/jam setelah disimpan enam hari pada suhu kamar 290C dan pada penyimpanan suhu dingin 60C turun menjadi 0,34-4,73 mg CO2/kg/jam setelah disimpan 4 minggu. Jumlah gas CO2 yang dihasilkan oleh buah salak Bali mendekati jumlah CO2 yang diproduksi oleh buah-buahan nonklimakterik seperti lemon (10 mg CO2/kg/jam), anggur (12-16 mg CO2/kg/jam), jeruk manis 13-17 mg CO2/kg/jam) (Biale, 1960). Berdasarkan pada pola laju respirasi yang menurun selama penyimpanan, serta jumlah CO2 yang diproduksi, maka salak Bali cenderung digolongkan menjadi buah non-klimakterik dan oleh karena itu, pemanenan sebaiknya dilakukan setelah buah masak di pohon. Kerusakan dan Umur Simpan Yang dimaksud dengan umur simpan adalah lamanya buah salak dapat bertahan dalam keadaan segar (tidak rusak dan masih dapat dikonsumsi) dalam ruang simpan dengan kondisi alami yang biasa dilakukan oleh petani atau pedagang sejak buah dipanen. Umur simpan buah salak ini perlu diketahui karena berkaitan erat dengan penanganan pascapanen dan masa pemasaran buah salak. Umur simpan buah salak Bali berkisar antara 5-10 hari, sedangkan salak Gulapasir antara 7-10 hari, pada kondisi penyimpanan alami, yaitu suhu 290C dan kelembaban relatif 71 persen (Suter, 1988a). Pada penyimpanan suhu kamar salak Condet umur simpannya 8 hari, tetapi salak Manonjaya hanya 5 80 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana hari (Waspodo, 1987), sedangkan salak Sleman tahan disimpan 7 hari (Muhamad, 1990). Pendeknya umur simpan buah salak menjadi masalah dalam pemasarannya yaitu jangkauan daerah pemasarannya agak terbatas karena buah salak cepat menjadi rusak/busuk, sehingga tidak layak lagi dikonsumsi atau dimanfaatkan untuk keperluan lainnya seperti dijadikan bahan baku industri pengolahan buah salak. Kerusakan buah salak pascapanen dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Tiga faktor yang penting adalah faktor fisiologis, faktor mikrobiologis, dan faktor mekanis. Faktor Fisiologis Seperti telah dibahas sebelumnya, buah salak pascapanen masih aktif melakukan proses fisiologis, yaitu respirasi. Bila proses respirasi ini dibiarkan berlangsung secara normal akan cenderung menyebabkan terjadinya perombakan-perombakan komponen kimia buah salak ke arah pengerusakan. Kerusakan fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi metabolisme dalam buah atau oleh enzim-enzim yang terdapat di dalamnya secara alamiah sehingga terjadi proses autolisis yang berakhir dengan kerusakan dan pembusukan. Perubahan fisiko-kimia buah salak selama penyimpanan telah dilaporkan oleh Manoarfa (1976), meliputi perubahan tekstur, kadar air, pati, total gula, asam organik dan pH daging buah salak. Perubahan tersebut sebagian besar dibantu oleh aktivitas enzim yang secara alami terdapat pada buah salak. Kadar air, pati, total gula, asam tartarat, asam askorbat dan total asam menurun selama penyimpanan, sedangkan pH dan keempukan buah salak meningkat setelah disimpan 10 hari pada kondisi alami. Perubahan fisiko-kimia ini jelas menurunkan mutu buah salak. Faktor Mikrobiologis Mikroba sebagai salah satu penyebab kerusakan buahbuahan termasuk buah salak memiliki arti penting karena di samping proses kerusakan buah salaknya cepet dan juga kadang-kadang berbahaya terhadap kesehatan manusia, karena racun yang diproduksi oleh mikroba terkonsumsi oleh manusia. Kerusakan mikrobiologis ini dapat menjalar ke buah lainnya, oleh BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 81 Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Segar karena itu apabila salah satu buah diketahui telah rusak/busuk, sebaiknya segera dipisahkan. Kontaminasi mikroba dapat terjadi sejak buah dipohon, saat pemanenan dan selama penanganan pascapanennya. Menurut Sudibyo (1974), kerusakan buah salak selama penyimpanan disebabkan oleh kapang Penicillium sp dan Chloropsis sp. Umumnya, kerusakan buah-buahan pascapanen disebabkan oleh beberapa jenis kapang, yaitu Alternaria, Botrytis, Diplodia, Penicillium, Rhizopus dan Selerotinia dan bakteri seperti Erwinia dan Pseudomonas (Wills, et al., 1981). Faktor Mekanis Faktor mekanis dapat menyebabkan kerusakan mekanis. Faktor mekanis ini, antara lain adanya benturan-benturan mekanis seperti benturan buah dengan alat panen, bahan pengemas dan dengan buah itu sendiri. Benturan-benturan ini dapat menyebabkan memar dan luka pada buah. Memar dapat juga terjadi karena buah salak ditimbuni terlalu banyak dan tinggi sehingga buah yang ada di bagian paling bawah tertindih dengan beban yang berat sehingga menjadi memar. Pengisian wadah kotak yang tidak tepat, misalnya buah yang terlalu banyak sehingga saling tindih atau kotak kurang penuh sehingga dalam pengangkutan buah sempat bergoyang sehingga terjadi benturan-benturan antar buah dan antara buah dengan bahan pengemas seperti kotak kayu. Kerusakan mekanis ini ikut berperan untuk menimbulkan jenis kerusakan lainnya, yaitu kerusakan fisiologis seperti pencoklatan pada daging buah dan kerusakan mikrobiologis. Luka dan memar dapat mempercepat proses pencoklatan pada daging buah salak. Kulit buah yang terkupas dan luka, menjadi busuk dalam waktu satu hari karena diserang kapang (Suter, 1988a). Penyimpanan buah salak dalam keadaan terkupas atau luka atau memar tidak disarankan karena buah cepat menjadi coklat dan busuk. Buah luka dan memar menyebabkan permukaan daging buah yang dapat kontak dengan oksigen udara makin luas. Oksigen diperlukan oleh enzim fenolase untuk mengkatalisis proses pencoklatan. Warna daging buah menjadi coklat karena terbentuk senyawa berwarna coklat disebut melanin (Eskin et al., 1971). 82 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Hasil-Hasil Penelitian Teknologi Pascapanen dan Aplikasinya Sebelum dibahas tentang hasil-hasil penelitian untuk memperpanjang umur simpan buah salak segar dengan perbaikan teknologi penanganan pascapanennya, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian dan tujuan penanganan pascapanen. Menurut tim Lembaga Penelitian IPB (1983), pengertian penanganan pascapanen pangan meliputi semua kegiatan perlakuan dan pengolahan langsung terhadap produk pertanian pangan tanpa merubah struktur asli produk tersebut atau pengolahan karena sifat panennya harus segera dikerjakan setelah panen. Tujuan penanganan pascapanen adalah (1) mempertahankan mutu tetap serupa seperti pada waktu panen, (2) mengurangi susut tercecer pada semua proses kegiatan yang dilakukan, dan (3) mendapatkan harga jual yang lebih baik. Susut pascapanen dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1) susut fisik, yang dapat diukur dengan berat; (2) susut mutu karena adanya perubahan wujud (penampakan), citarasa, warna atau tekstur yang menyebabkan komoditas kurang disukai konsumen; (3) susut nilai gizi (Tranggono dan Sutardi, 1990). Penanganan pascapanen buah salak dilakukan oleh petani dan pedagang dimulai sejak panen, pengumpulan hasil, sortasi dan pengklasan (grading), pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan sebelum dipasarkan. Penanganan pascapanen buah salak di Bali belum memadai dapat dilihat pada saat panen buah yang belum seragam baik waktu panen (pagi, siang atau sore hari) maupun tingkat kematangan buahnya (muda, masak, lewat masak). Belum dilakukan sortasi buah berdasarkan kultivar salak yang ternyata memiliki mutu beragam, penumpukan hasil yang cukup tinggi, cara pengemasan yang masih rawan terhadap kerusakan mekanis dan fisiologis. Penanganan yang kurang baik ini dapat mempercepat kerusakan dan menurunkan mutu buah salak segar. Upaya-upaya perbaikan penanganan pascapanen buah salak melalui beberapa penelitian telah dilakukan. Pendekatan yang dilakukan untuk mencegah atau menghambat kerusakan buah salak melalui penghambatan laju respirasi, mencegah kontaminasi dan menghambat perkembangan mikroba serta pencegahan terjadinya luka/memar pada buah. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan disajikan berikut ini. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 83 Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Segar Hasil-hasil Penelitian Umur simpan buah salak dapat diperpanjang dengan cara mencelupkan buah salak ke dalam larutan fungisida segera setelah dipetik dan dipisahkan dari tandannya. Suter, et al. (1991) melaporkan bahwa dengan mencelupkan buah salak ke dalam larutan Benomyl 0,8 g/l air selama 1-2 menit dapat memperpanjang umur simpan buah menjadi 10,5 hari (tanpa pencelupan, 6 hari), pada suhu kamar (290C) dan kelembaban relative 71%. Selama penyimpanan terjadi penurunan bobot buah salak. Setelah disimpan 6 hari, bobot buah salak menjadi 85,87-93,12% dan terus menurun sampai menjadi 74,12-81,75% setelah disimpan selama 12 hari, sedangkan karakteristik mutu buah (pH dan total padatan terlarut daging buah) tidak dipengaruhi oleh larutan Benomyl karena Benomyl tinggal pada kulit dan tidak terserap oleh daging buah. Kulit buah dibuang setelah dikupas. Penelitian yang dilakukan oleh Suter, et al (1994) dengan tujuan meningkatkan umur simpan buah salak Bali dengan cara mencelupkan buah ke dalam larutan Benomyl, 500 ppm selama 2 menit atau larutan Thia bendazole, 500 ppm, selama 2 menit, kemudian salak dibungkus dengan kantong plastik polietilen dengan tebal 0,05 mm dan setiap kantong dilengkapi 4 buah lubang dengan diameter lubang 2 mm. Setiap kantong diisi buah salak sebanyak 25 buah (berat 1,725-2,000 kg) juga dibuat kontrol tanpa dicelupkan ke dalam larutan fungisida dan tanpa dibungkus plastik. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pembungkusan buah salak dalam kantong plastik dapat meningkatkan umur simpan sampai 11,8 hari atau 5,6 hari (90,35%) lebih lama daripada umur simpan buah salak tanpa dibungkus (6,2hari). Bobot buah turun menjadi 97,57% dari bobot awal dengan hasil TPT/TA (Total Padatan Terlarut/Total Asam) yang lebih tinggi dari buah segar, yaitu 69,73. Pencelupan buah ke dalam larutan fungisida baik Benomyl atau Thiabendazole tidak nyata meningkatkan umur simpan buah salak. Gunadnya (1993) melaporkan bahwa film-film yang memenuhi syarat sebagai pengemas salak adalah “white stretch film” dan “stretch film” dan untuk salak Pondoh segar disarankan dikemas dengan “stretch film” pada suhu penyimpanan 10-150C. Pencelupan buah salak di dalam larutan kalsium khlorida 12 persen 84 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana dan tekanan vakum 15 kPa, tidak terbukti dapat meningkatkan umur simpan, tetapi justru buah salak mengalami “skin injury” (Yadnya, 1994). Umur panen buah dan suhu penyimpanan berpengaruh terhadap umur simpan buah salak Gulapasir. Semakin tua umur buah, umur simpan makin pendek dan semakin dingin suhu penyimpanan umur simpan buah makin panjang. Buah yang disimpan pada suhu 5-100C bertahan 24-30 hari, disimpan pada suhu 20-250C umur simpannya 12-21 hari dan pada suhu 29-300C umur simpannya 10-12 hari (Wijana, et al., 1994). Selanjutnya Semarajaya (1991) melaporkan dengan mengatur komposisi gas CO2 dan O2 dalam penyimpanan, yaitu dalam kantong plastik polietilen (”low density”) dengan ukuran 25x30 cm, ketebalan 80 μm, rasio volume buah dan gas 0,82-0,90 dan disimpan pada suhu kamar komposisi gas 6% O2 + 16% CO2 menyebabkan umur simpan buah salak Biasa dan salak Nenas lebih lama dibanding buah salak Gondok dan salak Nangka. Beberapa jenis pengemas buah salak Gulapasir telah diteliti untuk memperoleh jenis pengemas yang baik sebagai wadah buah salak untuk buah tangan (souvenir). Penggunaan kemasan yang dibuat dari anyaman daun rontal, anyaman bambu atau kardus dapat memperpanjang umur simpan bila dikombinasikan dengan penyimpanan suhu dingin (22-240C). Kerusakan selama 7 hari penyimpanan maksimum 10 persen, tetapi sebaliknya bila buah disimpan pada suhu kamar (28-290C) kerusakan telah mencapai sekitar 23-83 persen (Wijana, et al., 1996). Selanjutnya untuk pemasaran buah salak Gulapasir ke luar Bali, yaitu ke Surabaya dan Bogor dengan kendaraan beberapa teknik pengemasan telah diteliti. Wijana et al. (1997) melaporkan bahwa jenis dan teknik pengemasan ternyata mempengaruhi susut bobot dan kerusakan buah salak. Untuk tujuan Bogor, kemasan yang baik adalah ”besek” (bakul dari bambu) berlapis plastik berlubang atau ”besek” dengan plastik berlubang dan kertas rumput atau kotak kayu berlapis kertas rumput. Jenis dan teknik pengemasan ternyata kurang berpengaruh terhadap susut bobot buah salak untuk tujuan Surabaya. Setelah tiba di Bogor, buah salak yang masih layak dikonsumsi sekitar 80,30-94,37 persen sedangkan untuk Surabaya di atas 95 persen. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 85 Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Segar Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Sudibyo (1974) buah salak Bali yang dikemas dengan bakul bambu yang dikirim dari Karangasem ke Jakarta oleh pedagang salak ternyata kerusakannya dapat mencapai 50-60 persen. Kerusakan tersebut dapat ditekan menjadi 0,6-1,7 persen bila buah dikirim dalam bentuk tandan dikemas dalam keranjang ataupun peti yang kuat dan ventilasi cukup. Aplikasi Hasil Penelitian Berdasarkan karakteristik buah salak dan hasil-hasil penelitian yang telah disampaikan kiranya dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan ditingkat petani dan pedagang untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan buah salak segar, melalui perbaikan penanganan pascapanennya. Keragaman mutu buah dipasaran dapat diperkecil dengan melaksanakan sortasi buah berdasarkan kultivar salak karena ternyata sifat-sifat setiap kultivar beragam, kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengklasan (”grading”) berdasarkan besar atau berat sehingga konsumen dapat memilih sesuai dengan kebutuhannya. Untuk menghambat terjadinya kerusakan fisiologis akibat terjadinya proses respirasi, transpirasi serta perubahan biokimia lainnya pada buah yang dapat menurunkan mutu buah, dapat dilakukan pengemasan terhadap buah salak dengan plastik atau film untuk menekan laju respirasi dan transpirasi (proses hilangnya air dari buah). Pengemasan dengan plastik menjadi lebih efektif bila dilengkapi dengan penyimpanan pada suhu dingin. Kerusakan mikrobiologis akibat serangan mikroba perusak/ pembusuk dapat dicegah dan dikurangi dengan cara mencelupkan buah salak ke dalam larutan fungisida Benomyl (menekan pertumbuhan kapang), menghindari terjadinya pelukaan pada buah, karena luka pada daging buah menjadi tempat yang baik bagi mikroba untuk tempat infeksi. Pertumbuhan dan aktivitas mikroba pada buah salak dapat dihambat dengan menyimpan buah pada suhu dingin (60C), dengan demikian proses kerusakan oleh mikroba dapat dihambat. Adanya memar/luka pada daging buah salak akibat penanganan yang tidak baik pada saat panen, pengemasan dan 86 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana transportasi ternyata dapat mempercepat kerusakan oleh mikroba dan proses pencoklatan pada daging buah, sehingga buah tampak kurang menarik dan busuk. Luka atau memar yang terjadi pada saat panen dapat dikurangi dengan memanen salak dengan hati-hati, menumpuk buah tidak terlalu banyak atau tinggi sehingga buah yang berada paling bawah tidak lecet atau memar. Mengurangi guncangan dan tindihan saat pengangkutan. Buah salak semestinya dikemas dengan jenis dan cara pengepakan yang baik. Penggunaan pengemas dari kotak kayu yang kuat dan dilengkapi dengan plastik dan atau kertas rumput dapat mengurangi terjadinya memar dan susut bobot selama pengangkutan. Penutup Sebagai simpulan dari apa yang telah diuraikan di atas, dapatlah disampaikan sebagai berikut. 1. Buah salak sebagai komoditi spesifik daerah saat ini diprioritaskan untuk dikembangkan oleh Pemerintah RI karena mempunyai prospek pemasaran yang cerah, tetapi karena sifatnya mudah rusak, maka jangkauan daerah pemasarannya menjadi terbatas. 2. Kerusakan buah salak pascapanen disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah faktor fisiologis (respirasi), faktor mikrobiologis (mikroba) dan faktor mekanis (luka dan memar). Faktor-faktor tersebut secara nyata dapat menurunkan mutu dan memperpendek umur simpan buah salak segar. 3. Kerusakan buah salak pascapanen dapat dihindari atau dihambat dengan perbaikan teknologi penanganan pascapanennya, dengan demikian mutu buah salak dapat dipertahankan serta umur simpannya dapat diperpanjang. Daftar Pustaka Anonimous. 1995a. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Anonimous. 1995b. Bali dalam Angka 1995. Kantor Statistik Propinsi Bali. Denpasar Biale, J.B. 1960. The Postharvest Biochemistry of Tropical and BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 87 Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Segar Subtropical fruits. In C.O Chicester, E.M. Mrak and G.F.. Stewart, ed. Edvances in Food Research 10. Academic Press, London. Eskin, N.A.M., H., H.M. Henderson and R.J. Townsend. 1971. Biochemistry of Foods. Academic Press. New York. Gunadnya, I.B.P. 1993. Pengkajian Penyimpanan Salak Segar (Salacca edulis Reinw.) dalam Kemasan Film dengan “Modified atmosphere”. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Monoarfa, B. 1976. Beberapa Perubahan Fisiko-kimia dari Buah Salak (Salacca edulis Reinw.) Selama Penyimpanan Suhu Ruang. Laporan Masalah Khusus, Fatemeta, IPB, Bogor. Muhamad, 1990. Pengaruh Goncangan terhadap Mutu dan Masa Simpan Buah Salak (Salacca edulis Reinw.) Sleman dalam Kemasan “Modified Atmosphere”. Selama Simulasi Pengangkutan Kereta Api. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Murtiningsih Waspodo. 1987. Kualitas Salak Condet dan Salak Manonjaya. Hortikultura. 23 : 11-14. Nazaruddin dan R. Kristiawati, 1992. 18 Varietas Salak. Penebar Swadaya, Jakarta. Phan, C.T., Er.B. Pantastico, K. Ogata and K. Chachin. 1975. Respiration and respiratory climacteric, pp. 86-101. In Er. B. Pantastiko, ed. Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables. The AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut. Semarajaya, C.G.A. 1991. Pengaruh Komposisi Gas Oksigen dan Karbondioksida terhadap Umur Simpan Beberapa Kultivar Salak Bali. Tesis. Fakultas Pascasarjana UGM. Program KPK UGM-UNIBRAW. Yogyakarta-Malang. Sudibyo, M. 1974. Sedikit tentang Buah Salak (Salacca edulis) dan Masalah-masalahnya. Lembaga Penelitian Hortikultura Pasar Minggu. Jakarta. Supratomo. 1997. Peluang Investasi Usaha Pengembangan Salak Gula Pasir. Makalah disajikan pada Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi Usaha Tani Salak, tgl. 19 Maret 1997. IP2TP, Denpasar. Suter, I.K. 1988a. Telaah Sifat Buah Salak di Bali sebagai Dasar Pembinaan Mutu Hasil. Disertasi. Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor. 88 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Suter, I.K. 1988b. Sifat Fisiologi Pascapanen Beberapa Varietas Salak. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Suter, I.K., I.G.N. Agung, I.K. Simpati, N.M. Yusa dan I.B.D. Utama. 1991. Pengaruh Pencelupan Ke Dalam Larutan Benomyl terhadap Umur Simpan Buah Salak Segar. Universitas UDAYANA, Denpasar. Suter, I.K., I.G.N.Agung dan N.M. Yusa. 1994. Studi Tentang Peningkatan Umur Simpan Buah Salak Segar. Majalah Ilmiah Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. 23:55-59. Suter, I.K.`1996a. Perubahan Gula dan Asam Organik Buah Salak Bali Selama Penyimpanan. Gitayana, (2) 1:1-6. Suter, I.K. 1996b. Analisis Komponen Citarasa Buah Salak Bali dengan Khromatografi. Gitayana (2) 2:23-27. Tim Lembaga Penelitian IPB. 1983. Penanganan Pascapanen Pangan. Seminar Industri Pertanian 1983. Fakultas Teknologi Pertanian. UGM. Yogyakarta. Tranggono dan Sutardi. 1990. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, UGM. Yogyakarta. Whitting, G.C. 1970. Sugars, pp. 1-31. In A.C. Hulme (Ed). The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1. Academic Press, London and New York. Wijana, I.G., I.K. Suter dan C.G.A. Semarajaya dan I.N. Rai. 1996. Upaya Pelestarian, Pengembangan dan Peningkatan Produksi Salak Kultivar Gulapasir. Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. Wijana, I.G. I.K. Suter, C.G.A. Semarajaya, I.N. Rai dan M. Mega. 1997. Upaya Pelestarian, Pengembangan dan Peningkatan Produksi Salak Kultivar Gulapasir. Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. Wills, R.H.H., T.H. Lee, D. Graham, W.B. McGlasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest: An Intriduction to the Physiology and Handling of Fruits and Vegetables. N.S.W. Press Limited, Australia. Winarno, F.G. dan B.S. Laksmi. 1974. Peranan Pembungkusan terhadap Mutu beberapa Hasil Pertanian Lepas Panen. Fatemata, IPB, Bogor. Winarno, M. 1994. Program Pengembangan Hortikultura dalam Pelita VI. Prosiding Simposium Hortikultura Nasional, tgl. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 89 Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Segar 8-9 Nopember 1994. di Malang. Perhimpunan Hortikultura Indonesia bekerja sama dengan F.P. Universitas Brawijaya, Malang. H. 43-53. Yadnya, I.P. 1994 Pengaruh Pencelupan dalam Larutan Kalsium Klorida dan Tekanan Vakum Terhadap Umur Simpan Buah Salak. Skripsi. Program Studi Teknologi Pertanian, Fakulatas Pertanain, Denpasar. 90 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK MENINGKATKAN SEKALA USAHA PETANI GUREM SEBAGAI UPAYA MENUJU PERTANIAN TANGGUH DI INDONESIA I Wayan Arga Pendahuluan Pertanian atau industri primer adalah industri yang tertua di dunia. Peran utama dari industri ini adalah memproduksi bahanbahan kebutuhan pokok manusia, meliputi bahan makanan dan bahan konstruksi untuk perlindungan. Peranan industri sekunder dan tersier adalah memproduksi masukan atau sarana produksi, mengolah dan mendistribusikan hasil-hasil pertanian. Pertanian Tangguh Akhir-akhir ini telah muncul istilah pertanian tangguh dalam berbagai seminar, tetapi belum ada definisi atau indikatorindikator yang mengarah kesana. Menurut hemat penulis, pertanian dalam suatu negara disebut tangguh kalau pertanian itu mampu menjamin swasembada pangan bagi seluruh rakyat dalam negara itu secara adil dan merata. Swasembada pangan tidak berarti bahwa pangan itu harus diproduksi di dalam negeri saja, tetapi bagi komoditas yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri tetapi sangat dibutuhkan patut diimpor, dan diekspor bagi hasil produksi yang berlebihan. Swasembada pangan berarti terbebas dari rawan pangan. Rawan pangan dapat berarti pangan itu kurang mengandung gizi, atau jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan sehingga menimbulkan gejolak sosial. Beberapa dari puluhan indikator pertanian tangguh akan penulis uraikan secara sepintas saja. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 91 Meningkatkan Sekala Usaha Petani Gurem Sebagai Upaya Menuju Pertanian Tangguh di Indonesia Sumbangan Sektor Pertanian dalam Pendapatan Domestik Bruto Indonesia Rupanya telah menjadi pengetahuan umum, bahwa persentase sumbangan sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) semakin kecil, dengan semakin berkembangnya industri sekunder dan tertier dalam suatu negara. Pernyataan ini sama sekali tidak mengandung makna pertanian itu sama sekali tidak penting, jika negara itu telah berkembang menjadi negara industri. Hal ini disebabkan pertanian itu selalu menyediakan kebutuhan pangan sehari-hari. Sumbangan rata-rata sektor pertanian dalam PDB Indonesia dalam periode 1988-1995 adalah 20,76% (atas dasar harga yang berlaku) atau 19,47% (atas dasar harga konstan 1983). Di Australia negara tetangga yang pertaniannya dan industrinya lebih maju dari Indonesia sumbangan sektor pertaniannya dalam PDB Australia hanya 1,8%. Walaupun belum ada bukti empiris, rupanya ada kecenderungan bahwa pada negara industri maju, pertaniannya juga tangguh. Sebagai contoh, Amerika Serikat, yang merupakan negara industri maju, dan ternyata pertaniannya juga maju. Masalah Petani Gurem di Indonesia Sebelum menyampaikan beberapa indicator petani gurem, ijinkanlah penulis terlebih dahulu menguraikan keberadaan petani gurem di Indonesia. Kapan munculnya petani gurem di Indonesia, tidak diketahui dengan jelas. Yang jelas adalah bahwa petani gurem di Indonesia menjadi sumber kajian yang menarik dari ahli-ahli antropologi dan ahli-ahli ekonomi pertanian dunia, seperti C. Geertz, Boeke, de Vries, dan lain-lain, dan juga merupakan sumber kajian dalam tesis dan disertasi yang ditulis oleh penulis asing maupun bangsa sendiri. Hasil kajian tersebut telah menghasilkan beberapa hipotesis yang berkaitan dengan ekonomi pertanian dan antropologi. Menurut luas lahan yang diusahakan, pertanian di Indonesia dapat dipisahkan menjadi dua golongan, yaitu pertanian besar dan pertanian rakyat. Pertanian besar itu mengusahakan lahan yang cukup luas, mencapai ribuan hektar, dengan modal yang cukup besar, teknologi maju dan tujuan akhirnya untuk mendapatkan keuntungan. Golongan yang kedua adalah pertanian rakyat. Berbeda dengan pertanian besar, 92 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Arga • Fakultas Pertanian Universitas Udayana pertanian rakyat pada dasarnya mengusahakan lahan yang sempit, maksimum 15 hektar, modal buatan manusia yang dipergunakan sangat kecil, teknologi yang dipakai cenderung statis, dan tujuan utamanya untuk menghasilkan bahan makanan utama dan kalau ada sisanya barulah dijual sebagai marketable surplus. Munculnya pertanian rakyat di Indonesia adalah semenjak jaman prasejarah, tetapi belum ada penjelasan tentang luas usaha tani pada masa itu. Usaha pertanian besar muncul setelah tahun 1870, yaitu setelah diundangkan Hukum Agraria Belanda atau Agrarische Wet, yang kemudian melahirkan Agraris Besluit, yang memuat Domeinverklaring, yang pada akhirnya melahirkan bermacam-macam undang-undang tanah di Indonesia. Undangundang tanah itu pada dasarnya bertujuan untuk menjamin kepentingan modal pertikelir di Indonesia, terutama modal partikelir Belanda. Semenjak itu muncullah perkebunanperkebunan besar di Indonesia. Setelah jaman kemerdekaan, perkebunan besar itu di nasionalisasi dan kini berstatus sebagai perusahaan perkebunan negara. Seperti telah diuraikan di atas, kapan munculnya usaha tani berlahan amat sempit di Indonesia belum jelas diketahui. De Vries pada tahun 1931 telah menemukan petani yang mengusahakan lahan yang amat sempit di Jawa dan pendapatan rata-rata usaha tani amat rendah, yaitu 8%-10% pendapatan petani Denmark dan Amerika Serikat pada tahun yang sama. Namun jam kerja yang dicurahkan oleh petani Jawa amat tinggi dibandingkan dengan petani dari negara lain, pada tahun yang sama, yaitu ratarata 2.300 jam per ha, sedangkan di Ceko 1.010, di Polandia 666, Austria 642 dan Denmark 411 jam. Menurut sensus pertanian, 1963, 1973, 1983 dan 1993 seluruh pertanian rakyat di Indonesia dapat digolongkan sebagai petani gurem karena luas usahanya amat sempit. Anehnya, petani berlahan sempit ini tidak hanya muncul di Jawa tetapi terdapat pada semua propinsi di Indonesia. Walaupun propinsi di luar Jawa cukup luas, ternyata muncul juga petani gurem. Jumlah Perusahaan Pertanian di Indonesia Negara Republik Indonesia rupanya mempunyai cacah perusahaan pertanian rakyat yang cukup besar. Menurut sensus BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 93 Meningkatkan Sekala Usaha Petani Gurem Sebagai Upaya Menuju Pertanian Tangguh di Indonesia pertanian 1963 di Indonesia terdapat 12.236.470 unit perusahaan pertanian tanaman pangan dengan luas totalnya 12.883.868 hektar atau rata-ratanya 1,05 hektar. Menurut sensus pertanian 1973 terdapat 14.373.542 unit perusahaan pertanian tanaman pangan dengan luas totalnya 14.168.192 hektar, sehingga luas rata-ratanya 0,98 hektar. Selanjutnya, menurut sensus pertanian 1983, terdapat 15.927.440 perusahaan pertanian tanaman pangan, luas totalnya 16.689.425,38 dan rata-ratanya 1,05 hektar. Namun, perlu diketahui bahwa jumlah seluruh usaha pertanian menurut sensus pertanian 1983 adalah 17.076.016 unit, meliputi perusahaan pertanian tanaman pangan, perikanan darat dan peternakan. Akhirnya, menurut sensus pertanian 1993 di Indonesia terdapat 21.736.000 unit perusahaan pertanian. Pada negara maju, misalnya Australia, jumlah cacah perusahaan pertanian itu relatif kecil. Misalnya pada tahun 1978 terdapat 167.432 unit. Oleh karena itu jumlah perusahaan pertanian di Indonesia pada tahun 1963,1973,1983 dan 1993, berturut-turut sebanyak 73 kali, 86 kali, 95 kali dan 130 kali jumlah perusahaan pertanian di Australia, dengan asumsi jumlah perusahaan pertanian di Negara Kangguru itu jumlahnya tidak banyak berubah. Walaupun jumlah perusahaan pertanian di Indonesia cukup banyak, tetapi belum berhasil mewujudkan pertanian yang tangguh, terbukti dari adanya indikasi kerawanan pangan yang muncul di beberapa propinsi di Indonesia, menyusul krisis moneter dewasa ini. Angkatan Kerja Sektor Pertanian di Indonesia Angkatan kerja sektor pertanian di Indonesia persentasenya cukup tinggi terhadap seluruh angkatan kerja. Misalnya, menurut sensus penduduk 1971, jumlah seluruh angkatan kerja di Indonesia 41.261.216 orang dan angkatan kerja sektor pertanian berjumlah 26.473.477 orang atau 64,16%. Persentase angkatan kerja sektor pertanian menurut sensus penduduk 1980, menurun menjadi 47,50%. Angkatan kerja sektor pertanian pada tahun 1992 adalah 50,6% dari seluruh angkatan kerja. Walaupun angkatan kerja sektor pertanian cukup tinggi, tetapi belum mampu membentuk pertanian tangguh, karena terbukti masih ada indikasi kerawanan pangan. Pada negara Uni Eropa jumlah orang yang bekerja pada sektor pertanian turun dari 18 juta pada tahun 1970 menjadi 8 94 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Arga • Fakultas Pertanian Universitas Udayana juta tahun 1998, yaitu hanya 20% dari jumlah orang yang bekerja pada pertanian di Indonesia pada tahun 1992. Pendapatan Petani di Indonesia Pendapatan petani (pendapatan dari usaha tani ditambah pendapatan dari usaha di luar pertanian) di Indonesia terkesan amat rendah, seperti telah diungkapkan oleh berbagai peneliti dunia, seperti C.Girtz, de Vries dan juga oleh peneliti bangsa Indonesia sendiri. Rendahnya pendapatan rata-rata perusahaan pertanian disebabkan oleh sempitnya lahan yang diusahakan, dan bukan oleh rendahnya produktivitas per hektar. Geertz menemukan bahwa produk marginal pertanian Indonesia sangat rendah, dari tahun ke tahun sehingga terjadi involusi pertanian di Indonesia. Menurut sensus pertanian 1993, pendapatan rata-rata per rumah tangga pertanian di Indonesia hanya Rp 1.760.000,00 terdiri atas Rp 1.069.000,00 atau 60,7% dari sektor pertanian. Rp 233.000,00 atau 13,3% dari pendapatan/penerimaan lainnya dan Rp 458.000,00 atau 26% dari luar sektor pertanian. Pendapatan dari sektor pertanian terdiri atas beberapa komponen berikut. 1. Dari bidang usaha Rp. 880.000,00 atau 82,32% 2. Dari bukan usaha Rp. 129.000,00 atau 5,60% 3. Dari buruh pertanian Rp. 129.000,00 atau 12,07% Pendapatan dari bidang usaha, terdiri atas beberapa komponen berikut. 1. Pertanian tanaman pangan Rp. 399.000,00 atau 45,34% 2. Perkebunan rakyat Rp. 264.000,00 atau 30% 3. Peternakan / unggas Rp. 115.000,00 atau 13,07% 4. Budidaya ikan/biota lainnya Rp. 19.000,00 atau 2,16% 5. Penangkapan ikan/biota lainnya Rp. 60.000,00 atau 6,82% 6. Kehutanan/perburuan/jasa pertanian Rp. 23.000,00 atau 2,61% Menurut hasil survey pendapatan petani tahun 1990, pendapatan rumah tangga pertanian rata-rata adalah 1,18 juta rupiah, dan pendapatan rumah tangga pertanian di kepulauan Maluku dan Irian Jaya rata-rata 900 ribu rupiah, di bawah ratarata nasional. Sumber pendapatan rumah tangga pertanian itu BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 95 Meningkatkan Sekala Usaha Petani Gurem Sebagai Upaya Menuju Pertanian Tangguh di Indonesia 53,07% berasal dari usaha pertanian dan 46,93% berasal dari luar pertanian. Pendapatan rumah tangga pertanian ini terkesan amat rendah, jika dibandingkan dengan upah dan gaji tenaga kerja pada industri besar dan sedang yaitu 14,3 juta rupiah/orang/tahun pada tahun 1992 dan menjadi 16,9 juta rupiah/orang/tahun pada tahun 1995. Kalau dicermati pendapatan petani dalam sebulan, ternyata 68,92% rumah tangga pertanian rakyat Indonesia penghasilannya kurang dari 100 ribu rupiah dan 28,90% penghasilannya antara 100-300 ribu rupiah. Kedua kelompok ini menyusun 69,32% dari seluruh rumah tangga pertanian yang berjumlah 20,2 juta dan kelompok ini mengusahakan lahan yang luasnya kurang dari satu hektar. Sebagai pembanding dapat dikemukakan bahwa pendapatan rata-rata perusahaan pertanian di Australia pada tahun 1975-76, sebesar 58.165 AUSD, terdiri atas penerimaan hasil bumi (crop) sebesar 41.478 AUSD, penerimaan dari ternak 13.608 AUSD, dan dari sumber lainnya sebesar 3.079 AUSD. Konsekuensi logis dari rendahnya pendapatan petani gurem di Indonesia adalah rendahnya kontribusi petani dalam pembangunan pertanian. Walaupun angka yang pasti belum ada, dapat diduga bahwa kemampuan investasi mereka dalam pembangunan pertanian amat kecil, karena kemampuan mereka dalam financial sangat terbatas, sementara itu kemampuan membiayai investasi perusahaan pertanian di Australia pada tahun 1975-76 terkesan cukup tinggi, yaitu 15.909 AUSD per perusahaan. Ketangguhan pertanian selain dapat diukur dari pendapatan perusahaan pertanian dan kemampuan investasi dalam pembangunan pertanian, dapat juga diukur dari kemampuan “memberi makan” kepada umat manusia. Pada tahun 1997 di negara-negara Uni Eropa, seorang petani mampu memberi makan kepada 60 orang, tetapi 40 tahun yang lalu hanya 5 orang. Kini di Indonesia (atas dasar rata-rata konsumsi beras 300 gram/orang/ hari) sebuah rumah tangga pertanian tanaman pangan mampu “memberi makan” rata-rata kepada 13 orang. Jika sawah lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan dan proyek transmigrasi ke Indonesia bagian Timur telah menghasilkan, penulis hipotesiskan bahwa kemampuan “memberi makan” dari perusahaan pertanian tanaman pangan di Indonesia akan meningkat. 96 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Arga • Fakultas Pertanian Universitas Udayana Peningkatan Sekala Usaha Seperti sudah diuraikan di atas, seluruh perusahaan pertanian rakyat, tergolong petani gurem, luasnya bervariasi dari 0,1 hektar atau kurang sampai 15 hektar atau lebih. Menurut sensus pertanian 1983, sebanyak 65,81% rumah tangga pertanian tanaman pangan, luas usahanya kurang dari satu hektar dan mengusahakan hanya 26,11% dari seluruh lahan. Sisanya 34,19% luasnya satu hektar atau lebih tetapi mengusahakan 73,89% dari seluruh lahan pertanian. Pada negara maju Australia luas perusahaan pertanian itu berkisar antara 400 sampai 2000 hektar pada tahun 1975/1976, dengan distribusi sebagai berikut: 10,2% luasnya di bawah 400 hektar, 26,2% luasnya 400-800 hektar, 16,3% luasnya 800-1200 hektar, 21,7% luasnya 1200-2000 hektar dan 25,6% luasnya lebih dari 2000 hektar. Rata-rata penggunaan tanah (land use) adalah 1273,5 hektar. Jumlah Ternak Rata-rata per Usaha Tani Ternak adalah bagian dari perusahaan pertanian. Di Australia pada tahun 1975/1976 jumlah rata-rata ternak besar dan ternak kecil per perusahaan pertanian adalah 2.376 setara domba (sheep equivalent, dimana sapi dan kuda dikalikan 8). Di Indonesia jumlah rata-rata ternak besar dan ternak kecil yang dipelihara oleh petani hanya 6,8 ekor sheep equivalent. Untuk daerah-daerah padat penduduk, sempitnya lahan yang diusahakan oleh petani adalah karena fragmentasi lahan pertanian sebagai akibat dari sistem perwarisan, jual beli dan perpindahan hak-hak lainnya atas tanah, yang kesemuanya itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Sementara itu, pembukaan hutan untuk perluasan lahan tidak mungkin lagi. Alasan lainnya adalah karena sifat subsistence dari petani, yaitu tujuannya bertani bukan untuk komersial dan mendapatkan keuntungan, tetapi sekedar untuk menutupi kebutuhan hidup. Ternyata usaha tani yang sempat ini tidak hanya terdapat di Jawa, tetapi juga di luar Jawa, yang masih mempunyai peluang untuk memperluas lahan pertanian melalui pembukaan hutan. Peningkatan skala usaha dapat diperoleh melalui penggabungan perusahaan pertanian menjadi unit-unit usaha yang BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 97 Meningkatkan Sekala Usaha Petani Gurem Sebagai Upaya Menuju Pertanian Tangguh di Indonesia lebih luas, sekaligus dengan penerapan teknologi pertanian yang memadai serta melalui bentuk-bentuk kemitraan. Penggabungan usaha ini secara tradisional telah dikenal di Indonesia, seperti pertanian komunal, menyakap dan menggadai. Menurut hasil sensus pertanian 1983, dari 17 juta lebih rumah tangga pertanian di Indonesia, 5,2 juta buah (30,7%) mendapat tanah dari pihak lain, di antaranya 25,4% mendapat lahan dari petani, 2,4% mendapat lahan dari bukan petani, sisanya 2,9% mendapat lahan dari pihak lainnya. Penyakapan lahan pertanian (sistem bagi hasil) di Indonesia telah ditulis oleh banyak peneliti antara lain oleh I G. Gde Raka pada tahun 1995 dan oleh A.M.P.A. Scheltema pada tahun 1931. Gabungan usaha pertanian itu dapat mengambil berbagai bentuk badan usaha sebagai berikut. (1) Usaha Pertanian Kolektif Dalam hal ini beberapa petani bergabung untuk mengolah lahan pertanian dan menjual bersama hasil-hasilnya. Dalam hal ini terjadi konglomerasi lahan pertanian tanpa terjadi paleburan atau merger usaha tani. Tidak perlu semua anggota ikut mengelola usaha, pembagian hasil dilakukan atas dasar luas pemilikan lahan, setelah dikurangi biaya-biaya. (2) Koperasi Pertanian Dalam hal ini sekelompok petani menggabungkan usaha mereka melalui konglomerasi lahan dan atau merger (peleburan) dan dikelola oleh koperasi. Tidak perlu semua anggota ikut mengelola. Tim pengelola dapat diubah sesuai dengan perjanjian. Pembagian hasil berdasarkan luas pemilikan anggota, penjualan hasil dilakukan oleh koperasi. (3) Usaha Pertanian Menyewa Merupakan usaha yang menyewa lahan pertanian dari sekelompok petani dengan uang sewa yang besarnya tertentu selama jangka waktu yang tertentu pula. Dalam hal ini terjadi konglomerasi lahan pertanian, tetapi tidak terjadi merger (peleburan) lahan. (4) Perusahaan Perseorangan Perusahaan ini dimiliki dan dikelola oleh satu orang. Pemilik menanggung semua resiko, menerima semua laba dan menerima semua kerugian. Dia juga sebagai operator. 98 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Arga • Fakultas Pertanian Universitas Udayana (5) Persekutuan Umum (Firma) dan Persekutuan Terbatas (CV) Persekutuan ini merupakan perluasan dari perusahaan perseorangan tetapi dirancang menjadi milik lebih dari satu orang. Tujuan persekutuan ini harus jelas dan mempunyai akte pendirian. Pada persekutuan umum, setiap mitra atau pemilik mempunyai tanggung jawab hukum yang tak terbatas terhadap hutang perusahaan. Setiap mitra berperan aktif dalam perusahaan, serta mempunyai hak dan kewajiban yang jelas. Pada persekutuan terbatas, mitranya ada dua macam, mitra diam dan mitra aktif. Mitra diam mempunyai kewajiban terbatas terhadap hutang perusahaan dan mitra aktif mempunyai kewajiban yang tidak terbatas atas hutang perusahaan. (6) Perusahaan Patungan, misalnya Perseroan Terbatas.Bentuk ini telah dilaksanakan pada perusahaan pertanian besar di Indonesia masa kini. Manfaat yang Diharapkan Manfaat yang ingin dicapai dari peningkatan sekala usaha ini adalah pengurangan tenaga kerja sektor pertanian dan sekaligus peningkatan pendapatan di sektor pertanian, yang jauh tertinggal dibanding dengan sektor industri. Munculnya usaha tani yang lebih kuat karena sekala usahanya semakin besar, berarti muncul perusahaan-perusahaan yang berorientasi agribisnis yang akan mengusahakan komoditas yang strategis sesuai permintaan pasar. Dengan demikian kebijakan komoditas dapat dikurangi karena penawaran akan ditentukan oleh permintaan pasar. Faktor-faktor Penghambat Keberhasilan peningkatan sekala usaha ini sangat tergantung dari berbagai faktor yang dapat diperas menjadi kecepatan perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Perpindahan tenaga kerja dari pertanian ke industri, sampai saat tertentu akan meningkatkan upah di pertanian karena menurunnya penawaran tenaga kerja di pertanian. Melalui proses ini diharapkan upah di pertanian akan menjadi sama dengan upah di Industri. Oleh karena itu, tingginya pendapatan di sektor pertanian sangat tergantung dari penyerapan tenaga kerja oleh industri. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 99 Meningkatkan Sekala Usaha Petani Gurem Sebagai Upaya Menuju Pertanian Tangguh di Indonesia Simpulan dan Saran Untuk meningkatkan pendapatan total petani gurem sehingga terbebas dari belenggu kemiskinan perlu dilakukan upaya meningkatkan sekala usaha. Peningkatan sekala usaha yang terpenting adalah dengan konglomerasi usaha tani, diikuti dengan pemindahan tenaga kerja yang berlebihan pada sektor pertanian ke sektor industri. Oleh karena itu, kemajuan sektor industri merupakan prasarat bagi peningkatan pendapatan di sektor pertanian. Industri yang cocok untuk mengatasi masalah tersebut di atas adalah industri yang mempunyai pengganda kesempatan kerja dan pengganda pendapatan yang tinggi. Daftar Pustaka Anonim., 1998. Facts and Trends. Development and Cooperation, No 1/1998. BAE, 1978. BAE Trends in Australian Agricultural Commodities Farm Costs and Farm Income, Canberra. BAE, 1979. An Economic Survey. The Australian Wheatgrowing Industry 1973-74 to 1975-76. Canberra. BPS, 1975. Statistik Indonesia, Jakarta. BPS, 1983. Sensus Pertanian 1983. Hasil Sensus Sampel, Seri B. Jakatra BPS, 1990. Survei Pendapatan Petani 1990, Jakarta. BPS, 1993. Statistik Indonesia, Jakarta BPS, 1993. Sensus Pertanian 1993, Ringkasan Hasil, Jakarta. BPS, 1993. Statistik Industri Besar dan Sedang. Jakarta. BPS, 1996. Statistik Industri Besar dan Sedang. Jakarta. de Vries, Egbert, (1985) Pertanian dan Kemiskinan di Jawa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Geertz, C., 1976. Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Judul asli: Agriculture Involution. Diterjemahkan oleh Supomo. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Jackson, J.H. dan Musselemen, V.A., 1989. Ekonomi Perusahaan, Edisi ke 10. Intermedia, Jakarta. Mubyarto, 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta. PERHEPI 1982, Mengatasi Masalah Petani Gurem dan Buruh Tani di Jawa. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta. 100 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Wayan Arga • Fakultas Pertanian Universitas Udayana Raka, I G. Gde. 1955. Monografi Pulau Bali, Djawatan Pertanian Rakyat, Jakarta. Scheltema, A.M.PA., 1931. Bagi Hasil di Indonesia, Judul aseli: Deelbouw in Nederlansch Indie, Diterjemahkan oleh Marwan, Yayasan Obor Indonesia. Singarimbun, M. dan Penny, D.H. 1976. Penduduk dan Kemiskinan. Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Tauchid, M., 1952. Masalah Agraria. Jilid I. Penerbit Tjakrawala, Jakarta BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 101 SUPEROVULASI DAN PEMACUAN SEBAGAI SALAH SATU CARA UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS INDUK-INDUK BABI YANG ANGKA KELAHIRANNYA RENDAH I Putu Suyadnya Pendahuluan Ilmu reproduksi dapat diumpamakan sebagai pisau bermata dua. Pada bidang kependudukan, ilmu reproduksi digunakan untuk menekan laju pertambahan penduduk di negara-negara yang padat penduduknya seperti Indonesia, melalui program keluarga berencana (KB). Di bidang peternakan, ilmu reproduksi digunakan sebaliknya untuk memperbaiki kinerja reproduksi agar produktivitas ternak dapat ditingkatkan. Salah satu penerapan ilmu reproduksi di bidang peternakan yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas ternak (induk) adalah melalui superovulasi dan pemacuan (flushing). Superovulasi adalah peningkatan angka ovulasi di atas angka ovulasi karakteristik ternak tersebut, biasanya dengan perlakuan hormonal (Hunter, 1982). Pemacuan adalah suatu istilah yang digunakan terhadap peningkatan jumlah dan mutu ransum sebelum induk babi dikawinkan (Rattray, 1977). Beberapa hasil penelitian menunjukkan superovulasi dan pemacuan mampu meningkatkan angka ovulasi. Penerapan kedua cara ini secara bersama atau sendiri-sendiri menyebabkan peningkatan jumlah ovulasi sel telur dan hal ini memberi peluang terjadinya pembuahan lebih banyak sehingga peluang anak yang dilahirkan kemudian juga akan meningkat. Pada kesempatan ini, khusus akan diuraikan mengenai upaya peningkatan produktivitas induk-induk babi yang angka kelahirannya rendah melalui superovulasi dan pemacuan. Peranan ternak babi dalam memenuhi kebutuhan daging sebagai sumber protein hewani bagi manusia tidak dapat disangkal. Sebagian besar penduduk dunia non muslim mengkonsumsi daging 102 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Putu Suyadnya • Fakultas Peternakan Universitas Udayana babi di samping daging yang berasal dari ternak lainnya. Ternak babi termasuk ternak kecil polytocous non ruminansia. Seekor induk babi yang bagus, mampu menghasilkan anak antara 8 – 12 ekor sekali beranak. Jumlah anak yang ideal diasuh oleh seekor induk babi hingga saat anak disapih adalah antara 8 – 10 ekor. Pengamatan di lapangan menunjukkan masih sering ditemukan induk-induk babi yang melahirkan anak dalam jumlah sedikit atau di bawah angka kelahiran yang optimal di atas. Keadaan ini sering menjadi keluhan para peternak yang memelihara induk-induk babi untuk tujuan pembibitan, karena jumlah anak yang sedikit tersebut mengurangi keuntungan yang didapat peternak. Namun demikian, anak yang terlalu banyak juga kurang baik karena akan terjadi kompetisi yang sangat ketat di antara anak-anak babi tersebut dalam memperoleh air susu induk, apalagi bila jumlah anak yang lahir melebihi jumlah puting susu yang dimiliki induk. Sasaran yang diinginkan dari penerapan superovulasi dan pemacuan adalah jumlah anak yang sesuai dengan kapasitas uterus dan kemampuan induk-induk babi tersebut dalam mengasuh anak. Apabila dalam memelihara induk-induk babi, peternak telah melaksanakan seleksi induk dengan baik, mengawinkannya dengan pejantan unggul, mengawinkannya pada saat yang tepat, memberi ransum yang sesuai dengan kebutuhan dan merawatnya dengan baik selama kebuntingan, namun ternyata kemudian jumlah anak yang lahir sedikit maka angka ovulasi yang rendah patut dicurigai sebagai penyebab angka kelahiran yang rendah tersebut. Untuk induk-induk babi seperti tersebut di atas, superovulasi dan pemacuan dapat diterapkan sebagai salah satu upaya untuk membantu meningkatkan produktivitasnya. Walaupun superovulasi dan pemacuan mampu meningkatkan angka ovulasi di atas angka ovulasi karakteristik induk-induk babi tersebut, tidak berarti induk-induk babi tersebut kemudian akan melahirkan anak dalam jumlah banyak sesuai dengan peningkatan angka ovulasinya. Kapasitas uterus induk-induk babi tersebut ikut menentukan dan membatasi jumlah fetus yang ada dalam uterus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan fetus selama umur kebuntingan. Oleh karena itu, perlakuan superovulasi dan pemacuan kurang efektif dan kurang menguntungkan apabila dilakukan pada induk-induk babi yang angka kelahirannya sudah BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 103 Superovulasi dan Pemacuan Sebagai Salah Satu Cara untuk Meningkatkan Produktivitas Induk-induk Babi uang Angka Kelahirannya Rendah tinggi. Di samping itu perlu digaris bawahi, pada ternak babi 30 persen sel telur gagal dalam perkembangannya memjadi embrio hidup sampai pada umur kebuntingan 25 hari dan 15 persen lagi embrio tidak dapat dipertahankan lahir sebagai anak yang hidup (Toelihere, 1981). Masa awal kebuntingan merupakan masa yang paling kritis bagi kehidupan embrio, yaitu mulai dari terjadinya konsepsi, migrasi embrio, implantasi embrio hingga umur kebuntingan 25 hari. Migrasi embrio terjadi antara umur kebuntingan 9 – 12 hari (Polge dan Dziuk, 1970; Dziuk, 1977). Migrasi embrio antar tanduk uterus pada ternak babi adalah penting untuk mencegah kematian embrio apabila penyebaran embrio tidak merata antar tanduk uterus kiri dan kanan (Dhindsa dan Dziuk, 1968). Implantasi embrio babi mulai terjadi pada umur kebuntingan 13 hari (Hunter, 1977) atau paling cepat pada umur kebuntingan 10 hari dan implantasi secara sempurna baru terjadi antara umur kebuntingan 14 - 18 hari (Anderson, 1978). Selanjutnya Anderson (1980) menyatakan, embrio yang hidup berkurang sampai 17 persen pada umur kebuntingan 18 hari, berkurang sampai 33 persen pada umur kebuntingan 25 hari, dan berkurang 40 persen pada umur kebuntingan 50 hari. Dari pernyataan di atas dapat diperkirakan, seekor induk babi yang mampu beranak 10 - 12 ekor minimal memiliki angka ovulasi 18 – 20 sel telur. Oleh karena itu, sangat kecil kemungkinannya seekor induk babi beranak 10 – 12 ekor apabila angka ovulasinya kurang dari 18 – 20 sel telur. Sebaliknya dalam uterus induk babi yang sedang bunting, minimal harus berisi sebanyak empat embrio pada awal kebuntingan sebelum implantasi. Apabila pada awal kebuntingan jumlah embrio kurang dari empat maka kebuntingan tidak akan berlanjut (Polge et al., 1966). Kurang dari empat embrio pada awal kebuntingan ternyata belum mampu menekan pengaruh luteolytic dari uterus. Korpus luteum akan mengalami regresi dan embrio yang masih hidup akan diserap secara sempurna oleh dinding uterus. Faktor luteolytic tersebut adalah prostaglandin F2α (PGF2α) yang disekresi oleh endometrium pada akhir phase luteal (Hunter, 1977). Akan tetapi, jumlah embrio kurang dari empat setelah implantasi, tidak berpengaruh terhadap kelanjutan kebuntingan (Jainudeen dan Hafez, 1980). Jumlah anak (litter size) juga erat hubungannya dengan umur induk dan jumlah kali 104 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Putu Suyadnya • Fakultas Peternakan Universitas Udayana beranak. Pada umumnya, semakin bertambah umur induk dan semakin sering induk beranak semakin meningkat jumlah anak yang dilahirkan. Puncak peningkatan jumlah anak pada induk babi terjadi pada beranak yang ke 5 sampai ke 7, dan pada beranak berikutnya jumlah anak mulai menurun lagi. Cara Superovulasi dan Pemacuan Superovulasi pada babi dapat dilakukan dengan pemberian suntikan hormon gonadotrophin. Termasuk hormon gonadotrophin adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH), Luteotrophic Hormone (LTH), Pregnant Mare’s Serum Gonadotrphin (PMSG) dan Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) (Partodihardjo, 1980). Dari hormon-hormon yang disebutkan di atas, yang paling sering digunakan adalah kombinasi FSH dan LH atau PMSG dan HCG. FSH dan LH adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa bagian anterior. Fungsi utama FSH adalah merangsang pertumbuhan dan perkembangan folikel yang ada di ovarium, sedangkan LH merangsang terjadinya ovulasi sel telur yang sudah masak. PMSG adalah hormon yang dihasilkan oleh mangkok-mangkok endometrium uterus kuda bunting (umur kebuntingan 40 – 120 hari) dan terdapat dalam konsentrasi cukup tinggi pada serum darah kuda bunting tersebut, sedangkan HCG adalah hormon yang dihasilkan oleh selaput chorion pada plasenta wanita hamil muda dan diekskresikan melalui urine (Toelihere, 1981). PMSG memiliki sifat-sifat fisiologis seperti FSH sedikit LH, sedangkan HCG memiliki aktivitas seperti LH (Partodihardjo, 1980). Dewasa ini, preparat hormon tersebut telah dibuat khusus untuk ternak dan dperdagangkan dengan nama PG.600, Folligon, dan Chorulon. PG.600 adalah preparat hormon yang berisi 400 i.u. PMSG dan 200 i.u. HCG untuk setiap ampulnya. Folligon adalah preparat hormon yang berisi serum gonadotrophin B.Vet.C (PMS) sedangkan Chorulon adalah preparat hormon yang berisi chorionic gonadotrophin B.Vet.C (LH). Pemberian PG.600 pada ternak babi dilakukan melalui penyuntikan di bawah kulit belakang telinga sedangkan untuk Folligon dan Chorulon dapat diberikan melalui penyuntikan di bawah kulit atau melalui pembuluh darah vena. Masing-masing kombinasi hormon tersebut dapat diberikan secara terpisah dengan jarak beberapa hari atau dapat pula BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 105 Superovulasi dan Pemacuan Sebagai Salah Satu Cara untuk Meningkatkan Produktivitas Induk-induk Babi uang Angka Kelahirannya Rendah diberikan keduanya pada waktu yang sama. Respon superovulasi yang ditimbulkan oleh pemberian suntikan hormon gonadotrophin di atas sangat tergantung pada waktu penyuntikan dan dosis hormon gonadotrophin yang disuntikkan. Penerapan superovulasi pada fase folikel memberikan hasil lebih baik daripada superovulasi pada fase luteal. Makin banyak dosis hormon gonadotrophin yang disuntikkan makin meningkat angka ovulasi yang diperoleh. Beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa penyuntikan PMCG dengan kisaran dosis antara 1.000 –1.500 i.u., secara nyata meningkatkan angka ovulasi. (Gibson et al., 1963; Hunter, 1964; Christenson et al., 1970; Webel et al., 1970). Penyuntikan PMSG untuk tujuan superovulasi pada babi dara umumnya dilakukan pada siklus berahi hari ke 15 atau ke 16, yang disusul kemudian dengan penyuntikan HCG pada hari ke 20 sedangkan untuk babi induk penyuntikan kombinasi PMSG dan HCG dapat dilakukan segera sesudah anak disapih. Perlakuan superovulasi dengan memberikan suntikan hormon gonadotrophin di atas akan memberikan hasil lebih baik apabila disertai perlakuan pemacuan (Suyadnya, 1987). Pemacuan dengan cara meningkatkan jumlah kandungan energi dalam ransum menjadi 6 – 8 Mkal ME per hari dapat merangsang peningkatan angka ovulasi (Rattray, 1977). Bahan pakan pelengkap sebagai sumber energi yang sering digunakan untuk pemacuan adalah glukosa, sukrosa, minyak jagung dan lemak babi. Lama pemacuan yang optimal adalah 11 – 14 hari. Untuk mengurangi biaya ransum, beberapa peneliti telah mencoba menerapkan pemacuan dengan menggunakan interval waktu yang lebih pendek. Perlakuan pemacuan yang diberikan kepada induk-induk babi ternyata berhasil meningkatkan angka ovulasi dan jumlah anak yang dilahirkan (Kirkpatrick et al., 1967; Lodge dan Hardy, 1968; Tomes, 1980; Toelihere, 1981). Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam penerapan superovulasi dan pemacuan ini, maka beberapa tata laksana berikutnya (setelah perlakuan superovulasi dan pemacuan) sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan dengan baik terhadap induk-induk babi tersebut yaitu, (1) mengawinkan dengan pejantan unggul, (2) mengawinkan pada waktu yang tepat, (3) memberi ransum yang baik kualitasnya sesuai dengan 106 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Putu Suyadnya • Fakultas Peternakan Universitas Udayana kebutuhan selama bunting, dan (4) merawat dengan ramah dan baik selama bunting. (1) Penggunaan pejantan unggul Pejantan yang digunakan untuk mengawini induk-induk babi tersebut haruslah pejantan unggul yang secara nyata telah membuktikan dirinya sebagai pejantan unggul. Hal ini dapat diketahui dari mutu dan jumlah anak (keturunan) yang dihasilkan sebelumnya dari induk-induk babi yang lain. Penggunaan pejantan unggul untuk mengawini indukinduk babi tersebut sebaiknya tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu, agar mutu sperma tetap baik (Hunter, 1982). (2) Mengawinkan pada waktu yang tepat Induk-induk babi yang telah mendapat perlakuan superovulasi dan pemacuan harus dikawinkan pada waktu yang tepat karena daya hidup sperma dalam saluran alat kelamin induk adalah terbatas. Oleh karena itu, sangat penting perkawinan disesuaikan dengan watu ovulasi terjadi. Ovulasi sel telur terjadi antara 33 – 39 jam pada babi induk dan 24 – 36 jam pada babi dara yang dihitung dari awal berahi (Smirnov dan Tereschchenco, 1980) atau 40 jam setelah penyuntikan HCG (Hunter, 1982). Awal berahi adalah saat induk mulai menerima (dinaiki) pejantan. Tes awal berahi juga dapat dilakukan dengan menekan punggung induk yang dimulai dari saat munculnya tanda-tanda berahi. Apabila dalam tes tersebut induk diam saja saat ditekan punggungnya, maka hal itu dinyatakan sebagai tanda awal berahi. Untuk mendapatkan hasil yang baik, perkawinan hendaknya dilakukan pada waktu berahi akhir hari pertama atau awal hari kedua (Foote, 1980; Suyadnya et al., 1987). (3) Ransum yang baik kualitasnya Ransum untuk induk-induk babi yang sedang bunting harus memperhitungkan kebutuhan zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh embrio yang ada dalam uterus. Ransum standar untuk seekor induk babi yang sedang bunting harus mengandung protein 16 – 18%, lemak 3 – 5%, serat 5 – 7%, Ca 0,7 – 0.9%, P 0,4 – 0,6%, beberapa macam vitamin, beberapa asam amino esensial dan energi 2700 –2900 Kkal. per kg ransum (dikutip dari brosur PT. Comfeed). Jumlah BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 107 Superovulasi dan Pemacuan Sebagai Salah Satu Cara untuk Meningkatkan Produktivitas Induk-induk Babi uang Angka Kelahirannya Rendah ransum standar tersebut diberikan sebanyak 2 – 2,5 kg per hari per ekor induk (bobot badan 100 – 125 kg), yang peningkatan jumlah pemberiannya disesuaikan dengan umur kebuntingan. (4) Perawatan yang ramah selama bunting Seperti sudah disinggung di muka, masa awal kebuntingan pada induk babi merupakan masa yang paling kritis bagi kehidupan embrio. Oleh karena itu, perawatan yang ramah dan suasana yang tenang sangat diperlukan bagi induk-induk babi tersebut. Perlakuan yang kurang ramah dan suasana yang tidak tenang akan dapat menimbulkan cekaman bagi induk sehingga memberi dampak kurang baik bagi kehidupan embrio di dalam uterus dan tidak mustahil hal tersebut memperbesar angka kematian embrio. Perlakuan Superovulasi dan Pemacuan Terhadap Peningkatan Jumlah Anak Babi Berikut ini dilaporkan beberapa hasil penelitian yang telah berhasil meningkatkan produktivitas induk-induk babi melalui penerapan superovulasi dan pemacuan. Longenecker dan Day (1968) melaporkan dalam penelitiannya bahwa induk-induk babi yang diberi suntikan sebanyak 1.500 i.u. PSG, beranak dua ekor lebih banyak dibandingkan dengan kontrol (11,3 vs 9,3 ekor). Selanjutnya Baker et al. (1970) juga melaporkan bahwa babi dara yang diberi suntikan sebanyak 2.000 i.u. PMSG, menghasilkan rataan anak 1,5 ekor lebih banyak dibandingkan dengan kontrol (9,9 vs 8,4 ekor). Superovulasi pada babi bali dengan cara memberi suntikan P.G.600 sebanyak dua ampul (dilakukan pada siklus berahi hari ke16 untuk babi bali dara dan segera sesudah anak disapih untuk babi bali induk) yang disertai pemacuan dengan cara pemberian pakan tambahan berupa glukosa sebanyak 1,5 % dari bobot badan (dimulai dari siklus berahi hari ke-14 untuk babi dara dan mulai saat disapih untuk babi induk sampai saat dikawinkan) berhasil meningkatkan rataan anak 2,5 ekor lebih banyak daripada kontrol pada kelahiran pertama (7,4 vs 4,9 ekor); 2,12 ekor lebih banyak daripada kontrol pada kelahiran kedua (8,56 vs 6,44 ekor); dan 2,87 ekor lebih bayak daripada kontrol pada kelahiran ketiga (9,50 108 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Putu Suyadnya • Fakultas Peternakan Universitas Udayana vs 6,63 ekor) (Suyadnya, 1987). Peningkatan jumlah anak babi dengan cara pemacuan saja, juga berhasil dilakukan antara lain dengan pemberian pakan tambahan berupa lemak babi (Suyadnya et al., 1988), glukosa (Suyadnya, 1991), dan gula bali (Suyadnya, 1996). Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Superovulasi dan pemacuan dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas induk-induk babi yang angka kelahirannya rendah, terutama sekali yang disebabkan oleh angka ovulasi yang rendah. 2. Peningkatan produktivitas yang lebih baik akan diperoleh dari perlakuan superovulasi dan pemacuan apabila tata laksana selanjutnya diperhatikan dan dikerjakan dengan saksama, yaitu: a) mengawinkan induk-induk babi tersebut dengan pejantan unggul; b) mengawinkan induk-induk babi tersebut pada waktu yang tepat, c) memberi ransum yang baik kualitasnya dan sesuai dengan kebutuhan induk-induk babi tersebut selama bunting, dan d) merawat induk-induk babi dengan baik dan ramah selama bunting. 3. Superovulasi dan pemacuan kurang efektif dilakukan untuk meningkatkan produktivitas induk-induk babi yang angka kelahirannya sudah cukup bagus. 4. Superovulasi dan pemacuan yang dilakukan bersama-sama memberikan hasil yang lebih baik terhadap jumlah anak yang dilahirkan daripada perlakuan superovulasi atau pemacuan yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Daftar Pustaka Anderson, L. L. 1978. Growth, protein content and distribution of early pig embryos. Anat. Rec. 190: 43 – 154. Anderson, L. L. 1980. Pigs. In E. S. E. Hafez, ed. Reproduction in Farm Animals. Lea & Febiger. Philadelphia. pp. 258 – 386. Baker, R. D., G. A Shaw and J. S. Dodds. 1970. Control of estrus and litter size in gilts with Aimax (ICI 38,828) and pregnant mare’s serum. Can. J. Anim. Sci. 50: 25 – 29. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 109 Superovulasi dan Pemacuan Sebagai Salah Satu Cara untuk Meningkatkan Produktivitas Induk-induk Babi uang Angka Kelahirannya Rendah Christenson, R. K., C. E. Pope, V. A. Zimmerman and B. N. Day. 1970. Synchronization of ovulation in superovulated gilts. J. Anim. Sci. (abstr.) 31: 219. Dhindsa, D. S. and P. J. Dziuk. 1968. Influence of varying the proportion of uterus occupied by embryos on maintenance of pregnancy in the pig. J. Anim. Sci. 27: 668 – 672. Dziuk, P. J. 1977. Reproduction in Pigs. In H. H. Cole and P. T. Cupps, eds. Reproduction in Domestic Animals. Academic Press. New York. pp. 455 – 498. Foote, R. H. 1980. Artificial Insemination. In E. S. E. Hafez, ed. Reproduction in Farm Animals. Lea & Febiger. Philadelphia. pp: 521 – 545. Gibson, E. W., S. C. Jaffe, J. F. Lasley and B. N. Day. 1963. Reproductive performance in swine following superovulation. J. Anim. Sci. (abstr.) 22:858. Hunter, R. H. F. 1964. Superovulation and fertility in the pig. Anim. Prod. 6: 189 – 194. Hunter, R. H. F. 1977. Physiological factors influencing ovulation, fertilization, early embryonic development and establishment of pregnancy in pigs. Br. Vet. J. 133: 461 – 470. Hunter, R. H. F. 1982. Reproduction of Farm Animals. Longman. New York. Jainudeen, M. R. and E. S. E. Hafez. 1980. Gestation, Prenatal Physiology and Parturation. In E. S. E. Hafez, ed. Reproduction in Farm Animals. Lea & Febiger. Philadelphia. pp: 449 – 470. Kirkpatrick, R. L., B. E. Howland, N. L. First and L. E. Casida. 1967. Ovarian and pituitary gland changes in gilts on two nutrient energy levels. J. Anim. Sci. 26: 188 – 192. Lodge, G. A. and B. Hardy. 1968. The influence of nutrition during estrus on ovulation rate in the sow. J. Reprod. Fert. 15: 329332. Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Percetakan Offset Mutiara. Bandung. Polge, C., L. E. A. Rowson and M. C. Chang. 1966. The effect of reducing the number of embryos during early stages of gestation on maintenance of pregnancy in the pig. J. Reprod. Fert. 12: 395 – 397. 110 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Putu Suyadnya • Fakultas Peternakan Universitas Udayana Polge, C. and P. J. Dziuk. 1970. Time of cessation of intra uterine migration of pig embryos. J. Anim. Sci. 31: 565 – 566. Rattray, P. V. 1977. Nutrition and Reproductive Efficiency. In H. H. Cole and P. T. Cupps, eds. Reproduction in Domestic Animals. Academic Press. New York. pp: 553 – 576. Smirnov, I. and I. Tereshchenco. 1980. Insemination of pigs on large farms. Anim. Breed. Abstr. 48: 890. Suyadnya, P. 1987. Peningkatan Produksi Anak Babi Bali melalui Superovulasi dan Pemacuan. Disertasi Doktor. Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Suyadnya, P., S. Partodihardjo, M. R. Toelihere dan S. Djojosudarmo. 1987. Pengaruh waktu berahi dan frekuensi perkawinan terhadap jumlah embrio pada babi bali dara. Majalah Ilmiah UNUD, XIV (17). Suyadnya, P., W. Wirtha, M. Mastika, K. Rika dan G. M. Putra. 1988. Pengaruh Flushing pada Produksi Anak Babi Bali. Laporan Hasil Penelitian ke Puslit. UNUD. Suyadnya, P. 1991. Pengaruh pemberian pakan glukosa terhadap jumlah anak babi bali. Majalah Ilmiah UNUD, XVIII (30): 71 – 74. Suyadnya, P. 1996. Attempt to increase litter size of bali pigs by feed supplementation of gula bali (Cocos nucifera Lina). Majalah Ilmiah Peternakan, Fapet., UNUD. 2: 66 – 69. Toelihere, M. R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung. Tomes, G. J. 1980. Effects of post-weaning feeding levels and pregnant mare’s serum gonadotrophin (PMSG) on sow reproductive performance. Anim. Breed. Abstr. 48: 459. Webel, S. K., J. B. Peters and L. L. Anderson. 1970. Control of estrus and ovulation in the pig by ICI 33828 and gonadotrophins. J. Anim. Sci. 30: 791 – 794. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 111 PENANGANAN PASCAPANEN DAN PENGARUHNYA TERHADAP HASIL DAN MUTU DAGING PADA SAPI BALI I Ketut Saka Pendahuluan Proses pemanenan sapi potong/daging dimulai dengan peniadaan pemberian pakan dan air minum kepada hewan, berlangsung melalui berbagai prosedur penanganan dan pengangkutan yang memuncak di rumah potong hewan (RPH) yang di dalamnya hewan disembelih dan karkasnya diproses untuk dijual baik kepada pasar lokal maupun pasar ekspor. Cara dan metode yang diterapkan dalam proses pemanenan ini dapat mempengaruhi dengan nyata penghasilan industri daging (Eldridge, 1982). Jadi, penanganan pascapanen sapi potong/daging yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penanganan yang dilakukan terhadap ternak mulai ketika ternak meninggalkan tempat pemeliharaannya (produsen) diangkut ke pasar hewan atau langsung ke rumah potong hewan ketika ternak tersebut telah mencapai bobot jual, perlakuan selama istirahat sebelun pemotongan di RPH, prosedur pemotongan dan perlakuaan terhadap karkas sesudah pemotongan. Karena itu, maka penanganan pascapanen sapi potong amat erat hubungannya dengan penanganan dan pengangkutan hewan serta tidak terlepas hubungannya dengan aspek kesejahteraan hewan (animal welfare) tersebut. Perbaikan kesejahteraan hewan selama prosedur penanganan dan pengangkutan akan meningkatkan produktivitas dan membantu mengurangi kerugian oleh karena mutu karkas yang jelek. Karena itu, maka ditinjau dari agroindustri peranan penanganan pascapanen amat penting karena penanganan yang tidak semestinya atau ceroboh selama pascapanen akan menga112 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana kibatkan kerugian yang amat besar akibat terjadinya penurunan hasil dan mutu daging yang nilai finansialnya tinggi. Terlebihlebih lagi kerusakan daging akibat luka memar (bruises) karkas misalnya biasanya terjadi pada bagian-bagian karkas yang dagingnya bermutu prima seperti rump (daging bokong) dan loin (daging pinggang). Penanganan dan pengangkutan hewan dapat menyebabkan cekaman (stress), luka memar (bruises) dan dalam beberapa hal luka yang lebih serius dan mati. Cekaman mempunyai dampak buruk terhadap warna, tekstur dan daya simpan (keeping quality) daging dan keterterimaan (acceptability) konsumen, sedangkan luka memar sering mengharuskan potongan karkas yang dagingnya paling mahal diiris atau dibuang dan kadang-kadang harus dilakukan pengapkiran karkas seluruhnya. Penanganan pascapanen sapi potong secara umum dapat dipilah-pilah atas beberapa tahapan: (1) pengumpulan sapi di tempat pemeliharaan (farm), (2) pemuataan ternak ke dalam kendaraan dan pengangkutan ke pasar hewan dan penurunannya, atau langsung ke RPH, (3) pemuatan ternak dari pasar hewan, pengangkutan ke RPH dan penurunannya, (4) pemberiaan istirahat, air minum dan pakan beberapa saat sebelum pemotongan di RPH, (6) prosedur pemotongan, dan (7) perlakuan sesudah pemotongan (pelayuan, penggantungan karkas dan stimulasi listrik). Demikian pula Lawrie (1979) berpendapat, bahwa meskipun kebanyakan hanya beberapa hari saja berselang antara waktu ketika ternak daging telah mencapai bobot badan yang diinginkan oleh produsen dan saat pemotongan, kondisinya mungkin berubah besar selama masa ini. Ini terjadi hingga cukup besar tidak memandang apakah sapi digiring dengan jalan kaki di darat atau diangkut dengan kendaraan ke RPH. Selama pengangkutan ini mungkin terjadi susut bobot badan, beberapa bagian tubuh ternak mungkin mengalami luka memar dan jika hewan diangkut dengan kereta api, ternak mungkin mati lemas karena ventilasi yang tidak mencukupi. Di Indonesia, masalah panen ternak potong belum mendapat perhatian yang sungguh-sungguh oleh praktisi, usahawan yang terlibat dalam industri peternakan atau aparat yang berwewenang. Ini terbukti dalam praktik sehari-hari dari BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 113 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali sikap, perlakuan, dan cara-cara yang dilakukan oleh para petugas handlers dalam pengangkutan ternak, alat-alat perlengakapan dan fasilitas yang tersedia untuk pengangkutan ternak yang tidak memadai dalam pengangkutan ternak serta prosedur pemotongan hewan yang kurang berperikemanusiaan yakni tidak memperhatikan aspek kesejahteraan hewan (animal welfare). Meskipun cara-cara pengangkutan ternak sudah diatur dalam undang-undang peternakan, tetapi dalam praktik sehari-hari peraturan dalam perundang-undangan tersebut tidak pernah dilaksanakan. Menurut Djarsanto (1993), kerusakan yang terjadi selama penanganan pascapanen di Indonesia untuk produk ternak masih cukup tinggi yaitu pada sapi daging 5-10%, telur 10-20% dan susu 5-12%. Kerugian selama pengangkutan karena kematian ternak mencapai 1-3%, dan susut bobot badan 7-10%. Di negara-negara yang industri peternakannya tela h maju, akhir-akhir ini banyak penekanan diletakkan pada konsekuensi ekonomi yang sungguh-sungguh yang terjadi sebagai akibat penanganan dan pengangkutan ternak yang buruk. Juga kepedulian dinyatakan berkenaan dengan kesejahteraan hewan dalam pengangkutan sebelum pemotongan. Hasil penelitian oleh the Meat and Livestock Commission (MLC) di Inggeris selama 1972 dan 1974 menunjukkan bahwa hingga 10% dari karkas anak domba gemuk dan domba muda dan 50% dari karkas babi rusak dalam beberapa cara karena penanganan yang salah antara farm dan RPH (Wilson et al., 1981). Selain karena luka fisik, penyakit mungkin terjadi sebagai akibat cekaman pengangkutan (karena perlakuan yang kasar waktu memuat ternak ke dalam kendaraan atau menurunkannya), teristimewa kalau jaraknya dan masa pengangkutannya lama. Mutu daging mungkin menurun karena kondisi seperti daging berwarna gelap (dark), keras (firm), dan kering (dry) atau dikenal dengan fenomena DFD meat (dark cutting meat) karena hewan mengalami cekaman kronis, atau terjadi daging yang berwarna pucat (pale), lembek (soft), dan permukaan daging berair (exudative) yang dikenal dengan PSE meat karena cekaman yang akut (acute). Kemungkinan bisa terjadi bercakbercak darah dalam daging karkas (blood splashing) oleh karena 114 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana kesalahan prosedur pemotongan atau hewan waktu dipotong masih dalam keadaan lelah (fatigue) karena pemberian masa istirahat se belum pemotongan (preslaughter rest period) yang tidak cukup. Cara menggantung karkas yang tidak mengikuti metode yang semestinya (tender streatch) sehabis pemotongan di dalam ruang pelayuan selama proses pelayuan (ageing) dalam ruang pelayuan (chilling room) juga menyebabkan beberapa daging karkas yang tergolong prima (klas satu) akan berkurang keempukannya akibat serabut-serabut ototnya bebas memendek oleh suhu yang rendah (4-5oC) (cold constructure). Tindakan menyimpan daging dalam ruang freeze sebelum proses rigor mortis dalam daging tersebut selesai akan dapat menimbulkan fenomena thaw rigor sehingga kalau daging demikian dimasak akan alot Pengumpulan Sapi Potong di Tempat Pemeliharaan Untuk ternak sapi, umumnya para peternak di Indonesia tidak membawa langsung sapinya sendiri ke pasar hewan untuk dijual, tetapi melalui pedagang perantara (tengkulak). Sapi-sapi yang akan diangkut ke pasar hewan biasanya dikumpulkan pada suatu tempat di pinggir jalan raya oleh para tengkulak. Sapi-sapi dinaikkan ke dalam truk dengan fasilitas yang tidak memadai dan dengan perlakuan yang kasar yang tidak pelak lagi dapat menimbulkan cekaman yang berat bagi ternak tersebut. Tetapi, pada perusahaan peternakan sapi daging yang besar dengan sistem pemeliharaan ekstensif maka tempat pengumpulan, pemilahan, seleksi dan penanganan ternak (yard) harus dirancang dengan baik dan benar. Cara-cara penanganan ternak waktu pengumpulannya harus tepat berdasarkan pengetahuan tingkah laku hewan secara umum dan khusus untuk bangsa ternak tertentu. Menurut Grandin (1980), sapi ditangani (digiring) lebih sangkil (efficient) dan menderita kegelisahan dan cekaman lebih sedikit pada yard yang dirancang dan dikonstruksi baik, seperti yard melingkar dan berdinding solid yang mengeksploitasi kecenderungan alamiah sapi mengikuti lorong melengkung dan mempertahankan jarak kritis (flight zone) dari penggembala (handler), ditambah naluri untuk membuntuti pemimpinnya (sapi yang paling di BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 115 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali depan)(Kilgour, 1978). Tingkah laku membuntuti (following behaviour) pada sapi ada hubungaannya dengan naluri yang kuat untuk mempertahankan kontak visual dengan satu sama lainnya (Kilgour, 1971). Sapi akan berdiri pada sudut tangen 120o terhadap satu sama lainnya (Strickland, 1978). Ini sesuai dengan sudut antara aksis optik kedua mata hewan tersebut. Yard yang berdinding solid mencegah sapi yang ada di dalamnya dapat melihat manusia atau obyek bergerak lainnya yang ada di luar fasilitas tersebut. Juga bentuk yard demikiaan terbukti dapat mengurangi kejadian luka memar (bruises) pada karkas. Bagian-bagian karkas yang mengalami luka memar harus diiris dan dibuang dalam jumlah yang bervariasi bergantung pada ringan dan beratnya memar tersebut. Ini dilakukan untuk memenuhi baku mutu internasional untuk ekspor daging. Karenanya maka hasil dan mutu karkas yang bersangkutan menurun. Kejadian yang terakhir ini telah menimbulkan kerugiaan finansial yang amat besar bagi industri peternakan di seluruh Australia, kira-kira $1.750.000 per tahun yang separuhnya terjadi di negara bagian Queensland, sebagai gudang sapi terbesar di Australia (Australian Meat Board, 1954). Kejadian luka memar juga banyak terjadi selama pengangkutan oleh karena terjadinya pergesekan dengan dinding kendaraan atau bagianbagian lainnya dari kendaraan atau karena tanduk sapi-sapi lainnya di dalam kendaraan (Meischke, 1975). Sedangkan Korn (1975) memperkirakan kerugian industri sapi daging Australia berkisar dari $17.000.000 sampai $22.000.000 tiap tahun, atau rugi lebih daripada $3 tiap ekor sapi yang dipotong. Karena itu pemotongan tanduk (dehorning) atau pengembang-biakkan sapi yang tidak bertanduk (polled cattle) akan dapat mengurangi kejadian luka memar pada karkas atau mengurangi kerugian finansial karena luka memar ini. Bangsa sapi (breed) Brahman atau Zebu (Bos Indicus) lebih mudah menjadi gelisah/ liar (excitable) dan lebih susah ditangani daripada bangsa sapi Inggris seperti Herefords dan Angus. Sapi tipe Brahman (Bos Indicus) lebih sulit membloknya di pintu (Tulloh, 1961) dan cenderung menjdi liar dan membentur pagar. Agitasi pada sapi Brahman mudah terlihat dengan dikibas-kibaskannya ekornya, sapi-sapi yang gelisah ekornya berdiri tegak (Kiley, 1976). Bangsa 116 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana sapi Angus lebih gelisah (nervous) dari pada Hereford atau Short horn (Bos taurus), tetapi sapi ini juga mempunyai kecenderungan membandel dan menolak untuk bergerak (Tulloh, 1961). S api Holsyein cenderung bergerak perlahan-lahan. Persilangan Brahman dan sapi tipe Brahman dapat menjadi aamat tercekam (stress) dan terganggu sehingga sapi tersebut akan berbaring dan diam. Telan diamati bahwa sapi Brahman di dalam penggiringan (ya rd), terutama setelah ditonjok berulang-ulang dengan penyodok listerik (Fraser, 1960). Bila sapi Brahman berbaring dan menjadi submisif (tunduk ketakutan), sapi tersebut harus dibiarkan sendirian kira-kira lima menit, jika tidak, sapi tersebut bisa shock dan mati. Masalah tersebut jarang terjadi pada sapisapi Inggeris atau pada sapi-sapi Eropa lainnya seperti French Charolais (Grandin, 1980). Kebisingan yang berlebihan dapat menimbulkan cekaman terhadap ternak dan orang-orang yang bekerja di tempat pengumpulan ternak. Semua tipe ternak negatif terhadap suara teriakan orang. Petugas (handler) yang menangani ternak dengan tenang, lemah lembut, terampil yang hanya bersuara berdesis yang kecil dapat menggiring ternak per jam lebih banyak daripada petugas yang berteriakteriak (Grandin, 1980). Kepekaan sapi terhadap kebisingan, juga telah ditunjukkan oleh hasil-hasil penelitian bahwa lebih banyak sapi-sapi yang menderita luka memar (bruises) bila pesawat helikopter atau kendaraan darat (mobil atau sepeda motor) dipakai untuk mengumpulkan (mustering) sapisapi tersebut daripada jika sapi-sapi tersebut dikumpulkan dengan memakai kuda atau kapal terbang biasa (fixed wing aircraft)(Wythes, 1981). Pengangkutan Sapi dari Tempat Pemelihraan ke Pasar Hewan dan dari Pasar Hewan ke Rumah Potong Hewan Sapi mungkin diangkut dengan truk, kereta api, kapal laut dan pesawat udara untuk tujuan pengembangbiakan, penggemukan dan pemotongan. Perdagangan terbesar adalah pengangkutan sapi untuk pemotongan, dan kebanyakan data penelitian yang tersedia berhubungan dengan keadaan ini. Proses pengangkutan mulai dengan pengumpulan dan terma- BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 117 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali suk pemuatannya ke dalam kendaraan (loading), pengurungan dengan dan tanpa gerakan, penurunan dari kendaraan (unloading) dan pengandangan (penning) dalam lingkungan baru dan asing (Grandin, 1993). Masa ketika hewan dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain barangkali merupakan sesuatu yang paling trauma/ menakutkan bagi kehidupan hewan bersangkutan. Meninggalkan suatu lingkungan yang telah dikenal relatif aman, terpajan (exposed) oleh berbagai cekaman lingkungan (environmental stresses) termasuk perubahan suhu (panas, dingin), kelembaban, ventilasi, tingkat kebisingan, pengelompokan kembali secara sosial, besarnya kelompok dan kepadatan yang mungkin secara tersendiri atau kombinasi memicu tekanan fisiologi yang mempunyai suatu dampak patologi. Bagaimanapun juga kemungkinan baiknya kondisi tersebut tetapi jika dilakukan pengangkutan, hewan pasti menderita cekaman (stress), bergantung pada intensitas cekaman dan kondisi hewan, dapat mengakibatkan dari luka memar ringan sampai mati (Scott, 1978). Cekaman (stress) hendaknya dibedakan dengan penderitaan (suffering). Penderitaan, menurut Dawkins (1980) menunjukkan adanya kisaran luas keadaan subyektif orang atau hewan yang kuat dan tidak menyenangkan seperti ketakutan dan frustrasi. Cekaman sebaliknya, biasanya mengacu kepada serangkaian perubahan fisiologi, seperti bebasnya hormon, yang berlangsung dalam tubuh bila hewan (atau manusia) dipajan (subjected) terhadap luka, suhu sepaling (extreme), dan sebagainya. Dalam beberapa keadaan, perubahan-perubahan fisiologi yang disebut stress mungkin menyertai keadaan subyektif suffering. Nilai pH yang tinggi (>5,8) pada daging DFD atau terlalu rendah (<5,0) pada daging PSE, masing-masing merupakan petunjuk bahwa ternak mengalami cekaman kronis dan akut sebelum dipotong. Pada hewan hidup, kadar plasma hormon noradrenalin (terutama mempunyai fungsi vasoconstrictor) petunjuk yang berguna untuk cekamaan emosional dan gerakan otot (exercise). Sedangkan kadar cyclic AMP, berdasarkan kebergantungannya sekali pada hormon catecholamine merupakan petunjuk yang baik untuk cekaman bius (stunning stress) pada 118 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana babi. Uji halothane (bius) adalah salah satu cara diagnose kepekaan cekaman yang paling populer untuk babi. Juga serum creatin kinase dibebaskan lebih banyak oleh babi yang peka cekaman dariapada yang tahan cekaman selama mengalami cekaman (Lawrie, 1981). Pada sapi, kadar hormon cortisol dan/ atau corticosterone merupakan ukuran yang berguna mengenai tanggapan terhadap cekaman akut yang berjangka waktu pendek (Grandin, 1993). Oleh karena itu perlakuan-perlakuan yang berperikemanusiaan yakni yang memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan hewan dalam penanganan ternak yang akan dipotong selama pengumpulan, menaikkan dan menurunkan ke dan dari dalam kendaraan, selama pengangkutan, pengandangan/istirahat di RPH dan saat penyembelihannya adalah amat penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan oleh para petugas yang menangani ternak yang akan dipotong. Juga Tarrant dan Grandin (dikutip oleh Grandin, 1993) menyatakan bahwa pengangkutan (hewan) secara alamiah merupakan kejadian yang tidak biasa (asing) dan mengancam dalam kehidupan hewan piaraan. Pengangkutan melibatkan serangkaian situasi penanganan (handling) dan yang di dalamnya terdapat keadaan yang mencekam yang tidak dapat dihindari dan dapat menimbulkan bahaya dan luka bahkan kematian hewan jika tidak direncanakan dan dilaksanakan sebagaimana me stinya. Pengangkutan sering bertepatan dengan pergantian kepemilikan yang dengan jalan itu tanggung jawab terhadap kesejahteraan hewan tersebut mungkin disetujui bersama. Berkenaan dengan efek cekaman pengangkutan dalam hubungannya dengan mutu daging, Leach (1977) berdasarkan hasil-hasil penelitiannya menyarankan bahwa agaknya cekaman yang paling besar terhadap ternak adalah selama pemuatannya dan penurunannya ke dan dari kendaraan (truk) daripada karena lamanya perjalaanan. Dalam praktik sehari-hari kecelakaan patah kaki sering terjadi waktu dilakukan penurunan sapi di RPH Pesanggaran Denpasar karena sapi-sapi diterjunkan paksa langsung dari truk ke tanah, tidak melalui fasilitas khusus yang tersedia untuk menurunkan dan menaikkan sapi dari dan ke dalam truck BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 119 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali (loading/unloading chute). Karena tidak ada fasilitas pengangkutan khusus untuk sapi yang mengalami patah kaki maka sapi ini diseret dengan tali ke ruang pemotongan. Nilai daging sapi yang mengalami kecelakaan demikian amat tinggi (> 6,0), sehingga terjadi DFD beef (Saka, unpublished data). Apapun cara pengangkutan ternak yang dipakai tujuannya haruslah agar semua hewan sampai di tempat tujuan dalam kondisi baik dan dalam waktu sesingkat mungkin. Aspek-aspek perikemanusiaan dalam pengangkutan hewan harus juga ditekankan; ternak haruslah tidak menderita dengan tidak ada gunanya dan harus diberikan semua kemungkinan kenyamanan/ kesenangan selama perjalanan. Ini bergantung pada orang-orang yang bertugas, peternak, pembantu, pengemudi, yang tidak hanya harus penuh perhatian tetapi juga berpengalaman dan berpengetahuan banyak tentang jenis hewan yang mereka tangani (Scott, 1978). Penggunaan obat penenang telah terbukti dapat mengatasi kesulitan-kesulitan penanganan sapi-sapi selama pengangkutan dan karena itu dapat dianjurkan pemakaiannya asalkan daging hewan yang bersangkutan aman untuk konsumsi manusia. Juga pemberian gula pada sapi dan babi sebelum pengangkutan telah ditunjukkan dapat memperbaiki kondisi ternak dan mutu dagingnya (Wilcox et al., 1953). Selama pengangkutan hewan terpajan hal-hal sebagai berikut: (a) susut bobot badan (SBB); (b) susut bobot karkas; (c) luka memar (bruises); (d) mati lemas (suffocation); (e) penyakit yang dipengaruhi oleh perjalanan Susut Bobot Badan (SBB) Susut Bobot Badan (SBB) SBB dan susut bobot karkas (SBK) selama pengangkutan sapi merupakan kepedulian terhadap keduanya, kesejahteraan hewan dan ekonomi. Bobot hidup seekor hewan adalah jumlah bobot jaringanjaringan tubuh dan bobot kandungan-kandungan saluran pencernaan dan kantong kencing. Sumber-sumber SBB hewan dalam pengangkutan dari daerah tempat pemeliharaannya ke RPH adalah (1) feces, urine, dan kehilangan air, yang mempengaruhi nilai ekonomi hewan hanya dalam keadaan-keadaan khusus. 120 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana (2) Perubahan-perubahan bobot viscera (jeroan), yang juga mempengaruhi nilai hewan hanya sedikit. (3) Susut bobot karkas (SBK), yang merupakan sumber kerugian ekonomi paling besar yang disebabkan oleh SBB. Di antara hasil-hasil ikutan karkas (offals), bobot hati adalah salah satu yang paling penting. Bila hewan dipuasakan, bobot badannya turun karena proses kehidupan normal tubuh terus berlanjut. Lama masa kelaparan/puasa segera sebelum pemotongan adalah faktor yang paling berpengaruh dalam pengurangan bobot hidup pada waktu itu. Tetapi, kehilangan ini dapat diganti dengan pemberian air dan pakan kepada hewan tersebut. Pada hewan yang dipuasakan cadangan tubuh dipakai untuk memenuhi fungsi fisiologi dan itu tidak hanya termasuk protein dan lemak tetapi juga cadangan glikogen dari otot dan hati (Starke, 1948). Bobot badan amat dipengaruhi oleh isi saluran pencernaan (gut fill) karena banyaknya dapat berkisar dari 12 hingga 22% dari bobot hidup pada sapi dewasa (Taylor, 1954, dikutip ole h Wythes, 1981a). Faktor-faktor seperti umur, seks, keadaan fisiologi dan pola merumput (grazing)/minum, mempengaruhi baik jumlah gut fill atau laju susut gut fill (Wythes, 1981a). Besarnya SBB yang dialami oleh sapi setelah berbagai masa puasa selama pengangkutan telah diteliti oleh banyak peneliti di berbagai negara. Umumnya peneliti tersebut menemukan bawa laju SBB paling cepat selama 12-24 jam pertama puasa (tanpa pakan dan air minum) kemudian SBB tersebut menurun sedikit tetapi terus pada laju yang konstan selama 12 jam berikutnya, dan setelah itu berlangsung pada laju yang bahkan lebih rendah. SBB tersebut tidak mencapai maksimal (plateau) dalam 96 jam pertama. Dari hasil-hasil penelitian para peneliti tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok hewan, perbedaan-perbedaan di antara pakan sebelum puasa, perbedaan-perbedaan dalam teknik-teknik eksperimen serta iklim dan lingkungan yang berbeda mungkin semua mengkontribusi kepada perbedaan-perbedaan di antara berbagai hasil penelitian tersebut. Beberapa penelitian pada sapi telah memperlihatkan bahwa efek pengangkutan (menunjukkan suatu masa tanpa pakan dan air minum) terhadap SBB dapat dikurangi BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 121 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali asalkan hewan-hewan itu diberi air minum dan pakan atau air saja pada akhir masa pengangkutan (Wythes et al., 1980a, b). Rataan laju SBB makin lama makin menurun sesuai dengan lama puasa dari 2.57 kg/jam selama 5.3 jam pertama sampai 0.71 kg/jam selama 23.6 jam terakhir. Telah dicatat bahwa ketepatan pendugaan bobot karkas dari bobot potong pada sapi daging bertambah baik setelah puasa selama 5 jam, tetapi terdapat sedikit perbaikan lebih lanjut dalam pendugaan tersebut bahkan jika puasa dilanjutkan sampai 47 jam (Smith et al., 1948). Sehubungan ini maka disarankan bahwa sapi-sapi yang dijual berdasarkan bobot badan, harus diberi air minum sebelum dimulai penjualan, selama masa puasa untuk meminimalkan variasi bobot badan hewan-hewan yang mempunyai bobot karkas yang sama (Wythes et al., 1980b; Saka, 1983). Pemberian air minum kepada sapi Bali jantan yang dipuasakan 1-3 hari di RPH Pesanggaran dapat menurunkan besarnya rataan SBB sampai 3,7 kg atau 49,2% dibandingkan yang tidak diberi air dengan masa puasa yang sama (Saka, 1983). Secara umum dipercaya bahwa apabila hewan diberi pakan rumput, diamati bahwa terjadinya SBB lebih besar. Sapi tipe Zebu asli toleransinya terhadap perjalanan lama lebih baik daripada sapi Eropa. Sapi gemuk mengalami SBB lebih besar daripada sapi ramping (lean). Rata-rata, sapi di negaranegara tropis akan susut pada waktu perjalanan 48 jam dan lebih kira-kira 18,1-22,7 kg (40-50 lb). Perjalanan yang lama dengan truck tanpa pemberian air minum dan pakan dapat mengakibatkan susut setinggi 19,7% dari bobot hidup (van den Heever dan Sutton, 1967). SBB pada sapi Bali jantan di RPH Pesanggaran dalam keadaan yang dapat diperbandingkan, adalah jauh lebih kecil daripada SBB pada sapi lainnya. Tanggapan pemberian air minum (1-2%) dalam mengurangi SBB adalah lebih kecil dari pada yang didapatkan oleh Wythes et al., 1980b)(3-4%). Ini adalah karena lama pengangkutan yang relatif singkat dan jarak yang ditempuh dalam pengangkutan sapi di Bali relatip dekat. SBB yang diperoleh di sini lebih kecil daripada sapi penelitian Carr et al.(1971) yaitu masing-masing 3,1, 4,2, dan 5,8% untuk sapi yang dipuasakan selama 24, 36 dan 122 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana 72 jam, tetapi diberi minum air. Juga Kirton et al. (1972) menemukan SBB 4,7, 8,4 dan 9,2% untuk masa puasa yang sama. Pola SBB sapi Bali jantan ini sama dengan yang didapatkan oleh Smith et al. (1982) yakni 60% dari SBB tersebut terjadi selama 24 jam pertama, dan 20% terjadi pada 24 jam terakhir. Tabel 1. Rataan Susut Bobot Badan (kg + SE) Sapi Bali Jantan di RPH* Tidak diberikan air minum Diberikan air minum Lama puasa/Istirahat Sebelum pemotongan (jam) Bobot potong Susut bobot potong Bobot potong Susut bobot potong 24 (A) 291,0 ± 6,8 aT 9,2 ±1,3aT 295,3 ± 14,1bT 5,8 ± 2,3bT 48 (B) 288,7 ± 5,9 12,3 ± 2,1 293,6 ± 8,2 7,5 ± 2,6 bTU 72 (C) 287,0 ± 6,9 13,8 ± 2,2 aTU aTU aTU aU bTU 290,2 ± 12,7 bU 10,8 ± 1,1bU Keterangan : *) Bobot potong dan susut bobot potong dikoreksi dengan analisis peragam untuk perbedaan dalam rataan berat tiba di RPH. Perbedaan-perbedaan secara statistik (P<0,05) dalam baris yang sama ditunjukkan oleh perbedaan dalam huruf-huruf kecil yang berbeda (huruf a dan b). Perbedaan-perbedaan statistik (P<0.05) dalam kolom yang sama ditunjukkan oleh perbedaan dalam huruf-huruf besar yang berbeda(T,U). Tabel 2. Rataan Persentase Susut Bobot Potong Sapi Bali Jantan Selama di RPH*) Lama puasa/Istirahat sebelum pemotongan (jam) Rataan persentse susut bobot potong (± SE) Tidak diberikan air minum Diberikan air minum 24 (A) 2,9 ± 0,43a 1,9 ± 0,84b 48 (B) a 4,3 ± 0,74 2,4 ± 0,90b 72 (C) 4,8 ± 0,78a 3,2 ± 0,51b Keterangan : Perbedaan-perbedaan statistik (P<0,05) dalam baris yang sama ditunjukkan Oleh huruf-huruf yang berbeda (a, b). *) BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 123 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali Gambar 1. Rataan Persentase Susut Bobot Potong Sapi Bali Jantan dan Sapi-sapiHasil-hasil Penelitian Lain Selama di RPH dan/atau Selama Pengangkutan Susut Bobot Karkas (SBK) Berbeda dengan SBB, pengukuran yang akurat terhadap susut jaringan karkas tidak dapat dilakukan karena adalah tidak mungkin untuk menentukan suatu bobot karkas awal. Ketepatan yang memuaskan dapat diperoleh menggunakan caracara tidak langsung pemotongan berturut-turut dengan jumlah hewan yang besar (Wythes, 1981a). Besarnya susut bobot karkas (SBK) setelah masa puasa lama pada sapi telah diteliti oleh beberapa peneliti. Hasilhasil mereka disajikan dalam Tabel 1 yang terlihat bahwa penurunan bobot karkas amat besar selama 24 jam pertama puasa. Pada kasus sapi-sapi yang dipotong oleh Kirton et al.(1972) dengan masa puasa 24 jam dan 96 jam (diberi minum air), suatu pemulihan besar dalam bobot karkas terjadi setelah masa 24 jam puasa dan barangkali disebabkan oleh rehidrasi. Tetapi, setelah 48 jam puasa bobot karkas mulai lagi menurun dan berlanjut demikian sampai eksperimen diakhiri setelah 4 hari puasa. Agaknya barangkali rehidrasi tidak 124 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana dapat mengimbangi susut jaringan karkas setelah 48 jam puasa. Sapi-sapi Carr et al.(1971) memperlihatkan suatu pola SBK yang sama, dan kemudian berlanjut bobotnya menyusut walaupun efeknya jauh lebih sedikit daripada SBK yang didapatkan Kirton et al.(1972). Pada kasus sapi dara yang diteliti oleh Chambers (1974) pemberian air mencegah SBK sebesar 4.1% dari bobot karkas karena efek rehidrasi selama masa 24 jam. Efek ini dua kali lipat besarnya daripada yang dilaporkan oleh Kirton et al.(1972). Secara fisiologi, SBK barangkali dapat dijelaskan sebagai berikut : Selama dua hari puasa hewan mungkin mampu memperoleh beberapa zat-zat makanan yang diperlukan dari pakan yang masih tersedia di dalam saluran pencernaan. Tetapi, setelah hari kedua, zat-zat makanan yang tersedia di dalam saluran pencernaan tersebut pasokannya sedikit dan pada tingkatan itu hewan barangkali telah mengalami katabolisme cadangan glikogen yang banyak (dari hati dan otot), jaringan-jaringan protein dan lemak. Dalam kondisi ini, hewan cenderung untuk meminimalkan penggunaan energi dengan memakai suatu pola tingkah laku yang tenang/diam, sering kebanyakan dari waktunya dipakai untuk berbaring. Tabel 2. Rataan Susut Bobot Karkas Setelah Berbagai Masa Puasa Pemberian air minum Lama puasa (jam) Carr et al. (1971) Ia Ia Ia Kirton et al. (1972) - 24 48 72 0 24 48 72 96 Bobot karkas segar (kg ± SE) 321,1 ± 1,3 321,9 ± 1,7 315,8 ± 2,5 151,7 147,8 150,9 147,3 142,4 30 54 180,5 ± 11,1 187,8 ± 10,3 Rujukan Chambers (1974) Tidak Ia Susut bobot karkas (kg) 0,70 0,44 2,33 0,00 2,57 0,53 3,00 6,10 4,10 0,20 Untuk pengangkutan ternak di darat, di Indonesia tidak tersedia kendaraan khusus. Kendaraan yang dipakai biasanya adalah truck biasa karena tidak tersedia kendaraan khusus untuk BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 125 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali untuk mengangkut ternak dan cara-cara penanganan selama pemuatannya dan penurunannya ke dan dari kendaraan juga kasar dan sadis, tidak berperikemanusiaan. Sapi-sapi ditaruh berjejer melintang terhadap arah memenjang truck dan tali telusuk (tali yang melingkari kepala dan masuk menembus sekat rongga hidung untuk kendali) diikat pada sisi-sisi samping kiri dan kanan truck. Di antara 3-4 ekor sapi dipasang bambu penyekat. Dalam satu truck diisi 4-6 ekor sapidewasa bergantung pada besarnya sapi. Untuk ternak yang akan diangkut ke pasar hewan atau ke RPH di Bali, hal ini mungkin tidak banyak menimbulkan akibat buruk terhadap hasil dan mutu karkas/daging sebagai konsekuensi karena jarak dan waktu pengangkutan relatif pendek. Tetapi, untuk ternak (sapidan babi) yang diangkut dari Bali ke luar Bali (perdagangan antar pulau) maka aspek kesejahteraan hewan harus diperhatikan sungguh-sungguh dalam menangani ternak tersebut selama pascapanen ini. Akan tetapi karena sistem pemeliharaan sapi di Bali masih tradisional dalam jumlah yang amat terbatas (rata-rata 1-3 ekor per orang petani) yang di dalamnya kontak antara pemelihara dan sapinya amat erat. Karena itu, sapi-sapi umumnya jinaksehingga cekaman (stress) yang dialami oleh ternak mungkin minimal dan cepat pulih kembali (recovery) asalkan mendapat waktu istirahat yang cukup sebelum pemotongan (Saka, 1983). Gambar 2. Kurva Efek Puasa Terhadap Susut Bobot Karkas 126 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana Penanganan dan Perlakuan Sebelum Pemotongan di Rumah Potong Hewan Susut bobot badan dan komponen-komponen tubuh individual sapi potong selama penanganan sebelum pemotongan dan selama pemotongan merupakan kepentingan ekonomi bagi industri daging. Susut bobot potong selama di RPH ini akan merupakan hal yang serius atau menimbulkan kerugian ekonomi bagi jagal kalau tidak hanya menyangkut isi saluran pencernaan (gut fill) dan uap air tetapi, juga menyangkut jaringan karkas atau organ yang bernilai tinggi misalnya hati. Cekaman yang dialami oleh sapi selama pengangkutan dan istirahat sebelum pemotongan di RPH terjadi karena perubahan-perubahan suhu, ventilasi, kibisingan, bau-bauan (darah) dan lingkungan yang asing dan pencampuran dengan sapi-sapi yang asalnya dari farm berbedasehingga menyebabkan lebih banyak mengeluarkan kotoran dan kencing dan mungkin menurunnya hasil serta mutu karkas/ daging. Terutama untuk sapi jantan, pencampuran dengan sapi jantan lain yang asalnya berbeda sering menyebabkan cekaman yang terbukti meningkatnya kejadian daging DFD. Daging sapi DFD selain mudah busuk, juga rupanya tidak menarik (unattractive) bagi pembeli. Ini penting oleh karena konsumen modern hampir pasti lebih dipengaruhi oleh penyajian dan tampilan atau rupa daging daripada dahulu, suatu perubahan yang barangkali berkaitan dengan transisi dari kios daging ke rak pajangan swalayan. Pembelian yang dilakukan atas dorongan hati merupakan ciri baru dalam pemesaran dan dapat dieksploitasi dengan meningkatkan kecantikan atau daya tarik produk (Preston dan Willis, 1974). Untuk sapi-sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran Denpasar (Bali), yang merupakan RPH terbesar di Bali, sapi-sapi yang akan dipotong cukup diistirahat semalam (24 jam dihitung dari mulai tiba di pasar hewan Beringkit, Badung), karena ada kecenderungan bahwa kejadian pH akhir (pHU) daging yang tinggi (5,8 atau lebih tinggi) untuk sapi-sapi yang diistirahatkan sebelum dipotong (preslaughter-rest period) lebih lama (2 atau 3 hari) adalah lebih tinggi (Saka, 1983). Rataan pHU daging (M.semimembranosus) untuk semua sapi (yang diberi air minum dan tidak) adalah 5,5 – 5,7. tetapi, untuk sapi yang tidak diberi air minum, istirahat 24 BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 127 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali jam dihitung mulai dari farm sampai saat dipotong tidak cukup lama untuk memulihkan kepayahan dan kepenatan otot (fatigue) yang serius dan 72 jam di dalam kandang RPH dengan diberi air minum adalah masa yang cukup untuk pemulihan kondisi karena perjalanan ke RPH. Untuk sapi-sapi yang tidak diberi air munim, ada indikasi bahwa telah terjadi kehabisan cadangan glikogen otot yang terbukti bahwa 4 dari sapi dalam kelompok ini mempunyai pHU 5,8 atau lebih (Saka, 1983). Perlakuan puas sebelum pemotongan pada sapi-sapi Bali jantan di RPH Pesanggaran Denpasar sampai 3 hari (72 jam) tidak mempengaruhi bobot karkas segar. Namun ada rataan peningkatan yang nyata (P<0,05) bobot karkas sebanyak 4,7 kg atau 3,1% (akibat rehidrasi) bila sapi-sapi penelitian diberi air minum selama puasa (Saka, 1983). Jadi, pemberian air minum ini secara ekonomi sebenarnya menguntungkan bagi para pemasok karkas segar (para jagal) yang menjual karkas segar tersebut kepada PT. CIP denpasar. Umumnya selama istirahat di RPH tersebut sapi-sapi tidak diberi air minum oleh pemiliknya (jagal), tetapi, kadang-kadang diberi pakan hijauan atau rumput-rumputan sekedarnya bila lamanya istirahat sampai seminggu atau lebih. Praktik ini sebenarnya tidak berpengaruh/meningkatkan bobot karkas. Pemberian pakan sebelum pemotongan dapat menyulitkan pengerjaan karkas (dressing) yaitu waktu proses pengeluaran organ-organ dalamnya (evisceration) . Tambahan pula dapat menyebabkan pengeluaran darah (bleeding) pada waktu penyembelihan tidak sempurna karena aktifnya saluran pencernaan dan darah banyak tertahan di dalam kapiler-kapiler darah. Pengeluaran darah yang sempurna (complete bleeding) atau sebanyak mungkin amat penting dalam proses pemotongan untuk menjaga mutu daging, yakni meningkatkan daya simpan (keeping quality) daging. Luka-Luka Memar pada Karkas (Carcass Bruises) Luka memar (bruise) diberi batasan sebagai “robeknya (ruptura) pembuluh-pembuluh darah yang kecil (kapiler) yang mengakibatkan yang mengakibatkan bebasnya sel-sel darah merah ke dalam jaringan”. Di tempat tersebut mesti terdapat 128 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana banyak kerusakan jaringan yang mengakibatkan lebih banyak kesrusakan darah dibebaskan daripada yang dapat disingkirkan dengan cepat dari daerah tersebut oleh drainase limpatik. Lukaluka memar dapat terjadi pada setiap jaringan, tetapi, jaringa yang paling dipengaruhi adalah otot dan lemak. Pemerahan permukaan lemak bawah kulit (subcutaneous fat), sering disebut dengan “fire bruises” hanya penting bila luka memar tersebut harus diiris (Shaw, 1973)(dikutip oleh Australian Meat Board, 1975). Telah diperkirakan bahwa tiap 8 skor luka memar jumlah daging yang harus diiris pada bagian-bagian karkas yang mengalami luka-luka memar tersebut adalah 1 kg (Meischke, 1975). Kerugian finansial yang tinggi dialami oleh industri peternakan sebagai akibat terjadinya luka memar karkas (Grandin, 1980). Meischke (1975) memperkirakan kerugian karena luka memar tiap tahun $26,7 juta dn termasuk 0,03% kerugian karena pengapkiran karkas karena luka memar. Rich (1973) memilahmilah proporsi kerugian ke dalam 35% karena pengirisan, 40% karena penurunan peringkat hasil karkas, 21% penurunan peringkat mutu karkas, dan 4% karena kerugian produks. Kejadian luka memar pada sapi Bali yang diamati di RPH Pesanggaran Denpasar pada umumnya kecil, kebanyakan merupakan luka memar yang kecil di seluruh karkas. Ini adalah karena sapi-sapi diikat erat-erat pada kepalanya secara individual satu per satupada sisi-sisi samping dari truck, melintang arah memanjang trck selama pengangkutan. Kedudukan kepala dan pantat sapi satu dengan yang lainnya berselang-seling sehingga tidak ada tara satu dengan yang lainnya. ada ruang-ruang tersisa . antara satu sapi dengan yang lainnya atau dengan dinding truck yang memungkinkan terjadinya luka memar adalah adalah minimal. Cara-cara penanganan seperti ini sebenarnya tidaklah berperikemanusiaan, menyebabkan ternak tersisa, jadi sangat tidak memperhatikan aspek kesejahteraan hewan. Tetapi, untuk sapi-sapi Bali yang dikirim ke Jawa, terutama Jakarta sangat mungkin terjadi luka-luka memar yang lebih keras dan cekaman yang lebih berat karena pengangkutannya memakan waktu yang cukup lama (lebih daripada24 jam). Tetapi, data-data tidak tersedia mengenai hal tersebut. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 129 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali Nilai pH Akhir (Phu) Daging Otot dari hewan yang sehat, diberi paka baik dan diistirahatkan cukup mempunyai jumlah glikogen (CH3CHOHC00H) dan terbebas anergi sebanyak 47 kkal setelah 24 jam mengakibatkan pH otot menurun dari 7,2 (segera setelah disembelih) menjadi rata-rata 5,5 (5,4 – 5,6). Kadar glikogen (± 1,0%) dapat dipertahankan relatif konstan karena adanya siklus Cori. Bila kadar glikogen otot turun, maka akan terjadi pemecahan glikogen di dalam hati oleh glukosa 6 fosfatase menjadi gula darah yang diangkut ke dalam otot. Di dalam otot gula ini dirubah menjadi glikogen kembali sebagai sumber energi yang siap pakai secara instant. Asam laktat dan energi yang dipakai untuk pergerakan otot, terjadi sebagai hasil glikolisis anaerobe di dalam otot dikirim kehati dan di sisni asam laktata dirubah menjadi glikogen kembali. Bila kadar glikogen otot beberapa sebelum pemotongan atau sesudah pemotongan 0,55% maka akan mulai mempengaruhi pHU daging yakni lebih tinggi daripada kisaran normal (5,4-5,6), 5,8 atau lebih tinggi karena rendahnya kadar asam laktat otot sebagai hasil proses glikolisis. Nilai pHU yang tinggi ini dapat menyebabkan terjadinya fenomena daging DFD Nilai pH otot yang tercapai ketika produksi asam laktat berhenti dinyatakan sebagai pH akhir atau ultimate pH (pHU). Pada otot sapi rigor mortis biasanya telah terjadi pada waktu pH daging telah mencapai nilai sekitar 5,9.p pada suhu sama atau lebih tinggi daripada 20o C, yakni ketika kadar ATP (adenosin triphosphate) otot kira-kira 1,0 mikro mol/g dan terus menerus turun hingga kadar ATP telah turun di bawah 0,1 mikro mol/g dan pH otot mencapai 5,5. Nilai pHU sapi dicapai kira-kira 24 pascamati (pm) dan perkembangan rm sebenarnya telah selesai 24 jam pm. Karena itu maka pHU yang dicapai ditentukan oleh kadar glikogen di dalam otot waktu penyembelihan. Nilai pHU ini mempengaruhi hampir semua aspek mutu (eating quality) daging seperti keempukan, warna, citarasa dan daya simpan daging (Lawrie, 1979; Shorthose, 1980). Daging sapi paling rendah keempukannya bila nilai pHU mencapai 6,0, meningkat keempukannya demikian pHU meningkat di atas di atas atau menurun di bawah nilai ini (Bouton, Howard dan Lawrie, 1957). Perubahan-perubahan dalam citarasa terjadi 130 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana demikian pHU otot meningkat. Uji panel rasa memperlihatkan bahwa citarasa daging (“meaty flavour”) menurun dengan meningkatnya pHU dari 5,5 sampai 6,5 sebagai akibat suatu perubahan dalam sebagian besar zat-zat yang mudah menguap yang memberi citarasa dari unsur-unsur yang mengandung sulfur menjadi unsur-unsur yang mengandung nitrogen (Walker, 1976). Pada pHU kira-kira 6,0 atau lebih tinggi, sifat-sifat oksigenasi pigmen otot mioglobin berubah, pigmen pada lapisan dalam daging tidak mengalami oksigenasi untuk menjadi suatu warna merah cemerlang (oksimioglobin) seperti yang terjadi pada pHU otot yang lebih rendah. Karena itu maka permukaan oksimioglobin yang merah cemerlang lebih tipis daripada pada daging yang ber pHU lebih rendah sehingga warna merah keungu-unguan yang ada di bawahnya yang mereduksi mioglobin jumlahnya lebih banyak. Barangkali oksigen mengalami kesulitan dalam mempenetrasi permukaan daging ke arah dalam dari atmosfir, karena proteinprotein serabut otot membengkak dan tersusun rapat atau karena membran sel otot kurang permeabel terhadap oksigen pada konsentrasi ion hidrogen rendah dan mioglobin tidak dioksigenasi. Di samping menjadi kurang permeabel terhadap oksigen pada konsentrasi ion hidrogen rendah, membran sel otot kurang permeabel terhadap lewatnya air keluar sel, karena itu menyebabkan karakteristik lengket, tekstur daging seperti karet. Lagi pula pada pH daging tinggi, penggunaan oksigen oleh enzim sitokrom oksidase meningkat banyak. Karena alasan-alasan tersebut di atas, dan peningkatan ini mungkin mengakibatkan terjadinya warna gelap, menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai “dark cutting beef”(DFD cut). Sindrom ini bisa terjadi sebagai akibat sapi-sapi terpapar berbagai kondisi abnormal selama pemasaran dan masa sebelum pemotongan. Kebanyakan dari kondisi abnormal ini, apakah berupa perangsangan emosional, paparan cuaca yang jelek, trauma, kelaparan, atau kelelahan otot, terpajan berbagai bentuk cekaman yang menimbulkan gangguan terhadap tubuh hewan (Hedrick, 1958; Shorthose, 1980; Newton dan Gill, 1981). Daging sapi DFD dicirikan oleh pHU tinggi (lebih tinggi daripada 6). Lagi pula demikian pHU meningkat, kapasitas daya ikat air (DIA) daging sapi menjadi lebih tinggi dan pembusukan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 131 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali oleh bakteri terjadi lebih mudah (Forrest et al., 1975; Newton dan Gill, 1981). Organisme pembusuk daging biasa, Pseudomonas sp. Tumbuh paling baik pada niali pH mendekati 7,0 atau sedikit pada situasi basa, pertumbuhannya berkurang bila pH daging 6,0 atau lebih rendah (Nickerson dan Sinkey, 1972). Pemberian masa istirahat sebelum pemotongan yang lebih lama setelah pengangkutan jarak jauh (1288 km) pada sapisapi potong jantan kebirian merupakan kepentingan ekonomi dalam menurunkan proporsi hewan-hewan dengan pHU (pH24) di atas 5,8 pada otot LD (M. longissimus dorsi)(Shorthose et al., 1972). Hal yang sama, Wythes et al. (1980a) menemukan bahwa mengistirahatkan sebelum pemotongan sapi-sapi jantan muda yang diberi air minum selama 2 hari daripada 1 hari dengan nyata menurunkan pHU otot LD. Prosedur Pemotongan Sapi di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Denpasar (Bali) Posedur pemotongan juga amat besar pengaruhnya terhadap mutu karkas/daging. Prosedur pemotongan dibedakan atas dua macam yaitu : (1) prosedur yang mengikuti baku mutu internasional, yang memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan hewan dan perikemanusiaan (human killing/slaughtering) dan (2) cara-cara pemotongan ritual yang pelaksanaannya berdasarkan hukum-hukum agama dan kepercayaan (Yahudi, Moslem, Sikh dan lain-lainnya). Prinsip dari prosedur pemotongan baku, disamping memperhatikan hygienis daging juga tindakan-tindakan atau prosedur yang menyangkut aspek-aspek kesejahteraan hewan (animal welfare) dan perikemanusiaan yang keduanya juga bergayut dengan mutu daging yang akan diperoleh dalam pemotongan tersebut. Misalnya ternak yang akan dipotong mesti diperlakukan secara lemah lembut, berperikemanusiaan untuk meminimalkan cekaman dan tidak menderita kesakitan yang tidak perlu pada waktu penyembelihan (euthanasia, painless death) dengan melakukan stunning (pemingsanan) dan segera (dalam waktu kira-kira 5 detik) mesti disusul dengan penyembelihan, pengeluaran darah (bleeding) dan segera kemudian ternak yang telah disembelih digantung. Juga ada prosedur-prosedur lain 132 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana sebelum pemotongan sebagai upaya agar pengeluaran darah sempurna (complete bleeding)/sebanyak mungkin. Ini semua akan berdampak kepada mutu daging. Sapi atau ternak potong lainnya yang disembelih tanpa stunning menyebabkan ternak meronta-ronta (struggling) melakukan perlawanan dan ini mengakibatkan cadangan glikogen otot menurun. Keadaan ini amat merugikan, karena ternak tersebut tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memulihkan kadar glikogen yang turun tersebut menjadi normal (resintesis glikogen, glycogen turnover), karena pasokan/peredaran darah ke otot sudah terhenti. Karena itu maka bukan tidak mungkin akan terjadi daging DFD karena pHU yang tinggi, terlebih-lebih lagi kalau sebelumnya ternak banyak mengalami cekaman dan masih dalam keadaan payah, tidak cukup mendapat istirahat di RPH. Stunning dapat dilakukan secara mekanis, yakni menggunakan captive bolt pistol, atau dipukul dengan palu besar/ hummer pada tengah-tengah dahinya untuk sapi, kerbau, kuda atau babi. Juga dapat dilakukan dengan listerikatau gas CO2, Selang waktu antara pelaksanaan stunning dan penyembelihan adalah kira-kira 5 detik Jika terlalu lama daripada waktu itu maka akan terjadi bercak-bercak darah di dalam otot yang disebut blood splashing akibat terjadinya banyak kapiler darah yang pecah. Daging yang demikian tidak layak dikemas dalam vacuum package karena akan mudah busuk. Sapi-sapi atau ternak potong lain yang telah disembelih harus segera digantung vertikal pada kaki-kaki belakangnya dan kepala terarah ke bawah untuk lebih memperlancar dan meningkatkan jumlah darah yang keluar (complete bleeding). Apapun metode stunning yang diterapkan adalah dikehendaki bahwa medulla oblongata tidak boleh dirusak atau kepala dipisahkan terlalu dini. Pusat saraf ini, yang mengendalikan jantung dan paru-paru, harus terus berfungsi selama beberapa saat, karena kerja organ-organ ini adalah membantu memompa darah ke luar dari tubuh/karkas bila pembuluh-pembuluh darah, A. carotis dan V. jugularis di leher telah dipotong. Bahkan dengan pengeluaran darah yang mangkus (effective) hanya kira-kira 50% dari darah total dapat dikeluarkan. Upaya-upaya untuk memungkinkan terjadinya pengeluaran darah yang sebanyak mungkin dalam proses pemotongan adalah amat BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 133 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali penting untuk meningkatkan daya simpan (keeping quality) daging (Lawrie, 1979). Mengguyur sapi atau ternak potong lainnya dengan air dingin (shower) beberapa saat sebelum disembelih dapat meningkatkan jumlah darah yang keluar waktu penyembelihan karena menyempitnya pembuluh-pembuluh kapiler darah dan darah masuk ke dalam pembuluh-pembuluh darah yang lebih besar. Sebaliknya, pemberian pakan kepada ternak sebelum pemotongan dapat mengurangi jumlah darah yang keluar karena aktifnya saluran pencernaan dan karenanya darah banyak beredar menuju ke sana sehingga darah banyak tertahan di dalam jaringan tubuh. Kesempurnaan (complete bleeding) dan kesangkilan pengeluaran darah (efficient bleeding) dapat dinilai dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) rupa daging karkas: karkas dengan pengeluaran darah yang sempurna berwarna merah; (2) keadaan pembuluh darah: karkas dengan pengeluaran darah yang jelek, pembuluh-pembuluh darah yang kecil, khususnya V. intercostalis yang berada diantara tulang-tulang rusuk, terlihat jelas; (3) keadaan organ-organ dalam : pada karkas denga pengeluaran darah jelek, bilik kiri jantung mengandung darah, dan paru-paru serta hati mempunyai kandungan darah yang banyak; (4) kandunga darah otot pada karkas yang pengeluaran darahnmya jelek, bila dibuat irisan di antara tulang-tulang rusuk 9 dan 10 (pada sapi), darah dapat dip[eras keluar. Pelaksanaan atau prosedur pemotongan yang dilakukan sehari-hari di RPH Pesanggaran, Denpasar, yang merupakan RPH terbesar di Bali belumlah mengikuti prosedur baku karena minimnya fasilitas yang tersedia dan rendahnya pengetahuan para pekerja yang melaksanakan pekerjaan pemotongan tersebut. Praktik stunning menggunakan captive bolt pistol pernah dilakukan di RPH Pesanggaran Denpasar, tetapi pelaksanaannya tidak dilakukan dengan baik dan aman karena tidak dilakukan dalam tempat khusus (stunning box) sehingga membahayakan para pekerja lainnya atau pelaksana stunning sendiri dan kemungkinan titik sasar stunning yang dikenai menjadi tidak tepat yaitu di tengah-tengah tulang dahi (titik pertemuan antara garis khayal menyilang yang ditarik dari kedua pangkal tanduk 134 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana dan mata kanan dan kiri).Sejak pistol tersebut rusak maka sudah sejak lama praktik stunning tersebut tidak pernah dilakukan lagi. Sapi-sapi yang yang akan disembelih terlebih dahulu dijerat kakikaki belakangnya lalu langsung dikerek dan digantung vertikal ke atas dalam keadaan hidup-hidup pada rel (rail) yang terpasang di atas sehingga kepalanya terkulai ke bawah. Segera kemudian dilakukan penyembelihan dengan memotong sisi ventral pangkal batang leher sehingga A. carotis, V. jugularis, dan V.cava cranialis beserta trachea dan oesophagus terpotong putus, dan darah yang tersembur keluar tertampung di dalam bak darah di bawahnya. Segera kemudian disusul dengan pemisahan kepala dan kaki-kaki bawah depan dan belakang. Dengan demikian maka kejadian meronta-ronta, agitasi atau perlawanan (struggling) dari sapi-sapi yang disembelih sudah tentu tidak bisa dihindarkan. Ini akan menimbulkan cekaman dan penderitaan yang berdampak buruk terhadap mutu dagingnya, disamping praktik tersebut merupakan tindakan tidak berperikemanusiaan dan mengabaikan aspek kesejahteraan hewan (animal welfare). Ini terbukti dari kejadian nilai pHU dari beberapa sampel daging sapi yang diambil di RPH tersebut banyak yang lmencapai 5,8 atau lebih tinggi (Saka, unpublished data). Ruangan tempat pemotongan (slaughtering hall) tidak dirancang dengan benar, demikian pula prosedur pengerjaan karkas (dressing) tidak memenuhi baku mutu sehingga sulit untuk dapat menghasilkan karkas/daging yang hieginis dan bermutu baik atau tidak dapat memenuhi penjaminan mutu(quality assurance) yang memadai. Karena itu maka usulan rencana pendirian RPH Internasional oleh PT. OSZIBO di kampus Fapet Unud di Bukit Jimbaran, Kuta, Badung kepada Universitas Udayana yang MOU-nya sedang dibahas dengan sebaiuk-baiknya oleh suatu Team Khusus di Fapet Unud perlu diupayakan bisa diwujudnyatakan dengan secepat mungkin. RPH ini rencananya akan diintegrasikan dengan usaha penggemukan sapi rakyat yang sudah ada di beberapa desa di Bali dan akan memasok dagingnya ke hotel-hotel internasional yang ada di Bali. Dengan demikian maka maka impian kita agar daging sapi Bali dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri dapat diwujudkan. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 135 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali Penerapan Stimulasi Listerik terhadap Karkas di Rumah Potong Hewan Di RPH yang sudah modern sekarang ini telah dilakukan stimulasi listerik (SL) terhadap karkas sapi yang dilakukan kirakira 40 menit setelkah proses pemotongan/pengerjaan karkas (dressing) selesai, dengan menggunakan tegangan listerik 600 volt selama 1,5 sampai 2 menit. SL karkas adalah metode yang lebih baru untuk mengurangi cold shortening/constructure daging karkas sebai akibat terpajannya daging karkas oleh suhu yang terlalu rendah (1 – 40 C) dalam ruang pelayuan (chilling room). SL yang haru segera dilakukan setelah pemotongan selesai mula-mula menyebabkan otot-otot menjadi ketat dan bergetar dan seluruh karkas kemudian berkontraksi sehingga bagian bawah karkas terlihat bergerak/berputar melengkung ke atas. Kemudian pasokan energi (glikogen) dalam otot dipakai, getaran (tremor) tersebut berangsur-angsur kemudian melemah sampai semua sumber energi dihabiskan. Ini menyebabkan rigor mortis (rm) berlangsung amat cepat dan lebih dini (dibandingkan kalau dibiarkan tanpa stimulasi listerik dalam ruang pelayuan) dan otot tidak lagi mempunyai energi untuk memendek selama pendinginan di ruang pelayuan. Penerapan SL ini di RPH secara ekonomi menguntungkan karena masa pelayuan jauh menjadi lebih singkat (5 v.24 jam), daging lebih empuk, tampilan warna daging lebih menarik (attractive appearance) karena terjadi “blooming”, susut daging karkas krena penguapan dalam ruang pelayuan berkurang, kejadian cold shortening dapat ditiadakan, dan pendinginan karkas dapat dilakukan dengan cepat (Bendall, 1980). Metode Penggantungan Karkas Selama Pelayuan (Ageing) di Dalam Ruang Pendinginan (Pelayuan) di Rumah Potong Hewan Secara konvensional setelah selesai dilakukan pengerjaan karkas/pemotongan , kemudian karkas digantung pada tendo Achilles (urat keting) pada tumit dari kaki-kaki belakang di dalam ruang pelayuan atau pendinginan untuk menunggu terjadinya penurunan pH daging dari kira-kira 7,2 sampai tercapai pHU daging yang khas untuk daging sapi yakni 5,4 – 5,6 atau rata-rata 136 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana 5,5. Fenomena rm otot terjadi kira-kira ketika pH otot mencapai 5,9, dan rm selesai kira-kira 24 jam postmortem. Demikian tingkat keasaman otot ini tercapai (pHU otot 5,5) maka enzim cathepsin (enzim proteolitik) terbebas dari lisosom yang mempunyai kegiatan mencerna serabut-serabut otot dan sebagian jaringan ikat (collagen). Dengan demikian maka selama proses pelayuan, sebenarnya terjadi proses pengempukan daging. Tetapi metode penggantungan karkas seperti ini berdampak kurang baik terhadap mutu daging karkas karena beberapa otot yang bermutu prima menjadi lebih alot daripada seharusnya. Keempukan daging karkas dapat ditingkatkan dengan mencegah otot mengalami cold shortening selama rm. Ini dilakukan dengan menerapkan teknik penggantungan karkas “tenderstretch: yang secara parsial dapat mencapai ini dengan pencegahan kontraksi secara fisik beberapa kelompok otot. Karkas tenderstretch digantung pada digantung pada pelvis (Foramen obturator dari Os coxae) sebagai ganti cara penggantungan tradisional pada tendo Achilles. Ini harus dilakukan sebelum mulainya rm dan dibiarkan demikian selama rm. Setelah 24 jam karkas dapat lagi digantung seperti biasa. Tenderstretch meningkatkan keempukan daging topside (M. semimembranosus), M. adductor, rump (M. gluteus medius), strip loin (M. longissimus dorsi), knuckle (M. vastus lateralis), M. rectur femoris, dan sedikit daging silverside (M. biceps femoris). Daging fillet (Mm. psoas major et minor) akan menjadi sedikit a lot, namun ini tidaklah menjadi masalah karena daging ini biasanya amat empuk. Adopsi teknik penggantungan karkas ini telah dilakukan di RPH Queensland (Australia) belum meluas ke RPH lainnya di Australia karena melibatkan biaya tambahan (tenaga kerja dan ruangan pendingin yang lebih besar)(Sundstrom, unpublished data). Dari apa yang dipraktikkan sehari-hari dalam penanganan pascapanen sapi potong di negara kita seperti dikemukakan di atas naka jelaslah betapa ketinggalannya teknik penanganan pascapanen sapi potong di negara kita. Dibandingkan dengan negara-negara yang telah maju. Ini merupakan tantangan yang amat besar menjelang akan diberlakukannya sistem perdagangan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 137 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali bebas lagi tiga tahun mendatang (AFTA tahun 2003). Perbaikan dan pembenahan secara menyeluruh dan segera terhadap masalah pascapanen ini akan merupakan prospek yang baik untuk menghadapi persaingan dalam industri dan perdagangan daging sapi kita di masa yang akan datang. Kalau ini dilakukan dengan bersungguh-bersungguh, di samping upaya perbaikan mutu genetik, manajemen dan pakan untuk penggemukan sapi di Bali maka niscaya upaya untuk menjadikan daging sapi Bali menjadi tua rumah di negeri kita sendiri dapat direalisasikan sehingga tidak terus menerus hanya menjadi impian belaka. Simpulan 1. Upaya-upaya perbaikan terhadap penanganan pascapanen sapi potong sangat pnting untuk menekan kerugian dan memperoleh hasil dan mutu daging karkas yang tinggi. 2. Praktik penanganan pascapanen sapi potong sehari-hari, khususnya di Bali, dan di Indonesia pada umumnya belum dilaksanakan dengan baik dan merupakan tantangan yang besar dalam menghadapi era perdagangan bebas daging sapi di pasaran internasional. 3. Perbaikan dalam penanganan pascapanen sapi potong mempunyai prospek yang baik untuk meningkatkan daya saing negara kita dalam menghadapi persaingan bebas daging sapi di pasaran internasional. 4. Penanganan sapi potong selama pengangkutan mulai dari tempat pemeliharaan, ke pasar hewan dan terus sampai di RPH harus dilakukan secara berperikemanusiaan dan perlu memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan hewan, tingkah laku hewan untuk meminimalkan cekaman, dan kerugian karena penurunan hasil dan mutu karkas. 5. Cara menggantung karkas dari pelvis (pada foramen obturator) setelah rigor mortis selesai dapat meningkatkan keempukan kelompok otot yang bermutu prima. 6. Stimulasi listerik dapat mempercepat mulainya pengempukan daging sapi karena pHU dapat dicapai lebih cepat, daging lebih empuk, warna daging lebih atraktif (blooming)dan cold shortening dapat dihindari 138 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana Saran 1. Perlakuan yang kasar, tidak berperikemanusiaan dan mengabaikan aspek kesejahteraan hewan hendaknya tidak dilakukan terhadap sapi yang akan dipotong. 2. Sebagai RPH terbesar di Bali, Pemerintah Daerah Propinsi Tingkat I Bali hendaknya melakukan perbaikan-perbaikan dalam dalam prosedur pemotongan, fasilitas kandang, ruang pemotongan dan yang lainnya sehingga hasil dan mutu dapat lebih ditingkatkan. 3. Pekerja lapangan yang terlibat langsung dengan pekerjaan penanganan pascapanen sapi potong, baik di tempat pemeliharaan, maupun dalam pengangkutan dan di RPH perlu diberikan bekal ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku sapi dan keterampilan cara menanganinya dengan tepat dan berperikemanusiaan. 4. Hendaknya di Bali bisa dibangun sebuah Rumah Potong Hewan yang memenuhi baku mutu internasional yang dapat menghasilkan karkas sapi Bali yang memiliki quality assurance sehingga mampu bersaing di pasaran daging internasional. Daftar Pustaka Australian Meat Board. 1975. Sydney, Australia. Bouton, P.E., A. Howard and R.A. Lawrie. 1957. Studies on beef quality. VI. Effect on weight losses and eating quality of further pre-slaughter treatments. CSIRO Australia. Div. Food Pres. And Transport Tech. Pap. No.6:5-23. Bendall, J.R. 1980. The electrical stimulation of carcasses of meat animals. In: R.A. Lawrie (Ed.). Developments in Meat Science1. Applied Science Publishers Ltd. London. Carr, T.R., D.M. Allen and P. Phar.1971. Effect of preslaughter fasting on bovine carcass yield and quality. J.Anim.Sci., 32:870-873. Chambers, P.G. 1974. Mass loss in slaughter cattle subjected to rail transportation. Rhod. Vet.J., 5:38-40. Dawkins, M.S. 1980. Animal Suffering. The Science of Animal Welfare. Chapman and Hall Publisher. New York, USA. Eldridge, G.A.1982. Handling and transport of meat animals in relation to efficiency, meat quality, and welfare. In: W.A. Pattie, BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 139 Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali M. Rose, B.W. Norton, and K.F. Dowsett (Eds.). Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. Vol.14. Fourteen Biennial Conference, Brisbane, Queensland, 1982. Pergamon Press (Australia) Pty. Ltd. Forrest, J.C., E.D, Aberle, H.B. Hedrick, M.D. Judge, and R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco, USA. Grandin, T. 1980. Livestock behaviour related to handling facilities design. Internationaj Journal for the Study on Animal Problem. Vol. 1. Hedrick, H.B. 1958. Etiology and possible preventive measures in dark cutter syndrome. Vet. Med., 53:466-472. Kilgour, R. 1971. Animal handling in works pertinent behaviour studies. 13th.Meat Industry Res. Conf. Proc. Meat Industry Research Institute, New Zealand. , p.9_12. Kiley, W,M, 1976. Tail movements ungulates, canids, and felids with particular reference to their causation and functions as mdisplays. Behaviour. 56 : 69-115. Korn, A.J. 1975. The $20 million cattle bruise. Queensland Agricultural Journal. 86:3-5. Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. Pergamon Press Ltd. Headington Hill Hull, Oxford OX3 OBW, England Meischke, H.R.C. 1975. “Bruising cattle”. A Report to the Australian Meat Board, Sydney, Australia. Leach, T.M. 1981. Farm to slaughter, paper presented at a conference on meat and the market. Meat Research Institute, Bristol. In: N.R.P. Wilson, E.J. Dyett, R.B. Hughes, and C.R.V. Jones (Eds.). Meat and Meat Products. Factors Affecting Quality Control. Applied Science Publishers, London and New Jersey. Newton, K.G. and C.O. Gill. 1981. The microbiology of DFD fresh meat. In: R.A. Lawrie (Ed.). Meat Science. A Review, 5:223232. Preston, T.R. and M.B. Willis. 1974. Intensive Beef Production. 2nd Edn. Pergamon Press, Oxford; Oxford, New York, Toronto and Sydney. Rich, P.D. 1973. Carcass bruising – Its effect on proper marketing of meat. New England Beef Cattle Symposium. Saka, I K. 1983. An analysis of the beef industry of Bali and the effect of preslaughter treatment on yield and carcass quality. 140 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana A Thesis. University of Melbourne, Australia. Scott, W.N. 1978. The human killing of animals on the farm. In: W,N. Scott and J.A. Laing (Eds.). The Care and Management of Farm Animals. Bailliere Tindall, London. Shorthose, W.R., P.V. Harris and P.E. Bonton. 1972. The effect on some properties of of beef of resting and feeding cattle after a long journey to slaughter. In: Proc. Aust. Soc. Anim. Prod., (:387-391. Smith, G.C., T.R. Dutson, R.L. Hostetler, and Z.L. Carpenter. 1976. Fatness, rate of chilling and tenderness of of lamb. J.Food Sci., 41:748-756. Starke, J.S. 1948. Weight loss in slaughter stock during transit. Dep. Agric., U. of S. Africa. Bull. 288:3-19. van den Heever, L.W. and G.D. Sutton. 1967. Liveweight loss in slaughter cattle subjected to prolonged rail transport without food, water and rest. J.S.Afr.Vet.Med.Ass., 38:217-220. Walker, D.J. 1976. Meat quality – the impact of research. In: Proc. Aust. Soc. Anim. Prod., 11:73-80. Wilcox, E.B., M.B. Merkley, L.S. Galloway, D.A. Greenwood, W. Binns, J.A. Bennett and L.E. Harris. 1953. The effect of feeding sucrose to beef and swine on the dressing percentage and quality of meat. J.Anim.Sci., 12:24-32. Wythes, J.R. and D.W. Underwood. 1980. Muscle pH postmortem in cattle fasted before of after travel to slaughter. J.Aust. Inst. Agric.Sci, 46:252-253. Wythes, J.R., W.R.Shorthose, P.J.Smith, and C.B.Davis. 1980a. Effect of various rehydration procedures after a long journey on liveweight, carcasses and muscle properties of cattle. J.Agric. Res., 31:849-855. Wythes, J.R., S.R. McLennan and M.A. Toleman. 1980b. Liveweight loss and recovery in steers fasted for periods of twelve to seventy two hours. Aust.J.Exp.Agric. Anim.Husb.,20:517-521. Wythes, J.R. 1981a. Farm gate toi abattoir. Part I: The effect of handling and transporting cattle on liveweight and carcass attributes. Reviews paper. In: Aust.Beef Cattle Conf. 1981. Glenormiston Agric.Coll., Vic., Australia (234-250). Wythes, J.R. 1981b. Animal welfare – a vital issue. Gld. Agric.J., 107:136-143. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 141 REAKSI FISIOLOGI TERNAK SAPI TERHADAP LINGKUNGAN PANAS Wayan Sayang Yupardi Pendahuluan Ilmu fisiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan serta proses yang terjadi dalam suatu organisme, termasuk hewan, tumbuhan, dan manusia secara menyeluruh maupun masingmasing bagian organnya sampai pada tingkat sel dalam keadaan normal serta dalam keadaan terpengaruh oleh faktor dari luar maupun dari dalam dengan termasuk juga cabang keilmuannya. Dengan demikian, bila dikaitkan dengan cuaca di atas maka cuaca itu merupakan salah satu faktor luar yang mempengaruhi kinerja atau fungsi fisiologi ternak tersebut. Beberapa komponen cuaca di atas dan pengaruhnya terhadap ternak dapat dijelaskan sebagai berikut. Panas Semua hewan menyusui berusaha untuk mempertahankan konstanitas suhu tubuhnya. Bila ada hal yang dapat meningkatkan suhu tubuh itu maka melalui reaksi fisiologi atau perilaku, hewan tersebut berusaha untuk menurunkannya. Contoh sederhana pada manusia tentang penyesuaian fisiologi terhadap suhu adalah penguapan air melalui permukaan kulit (keluar keringat), membrana mukosa mulut, dan pernapasan (Ganong, 1983). Dengan cara itu, tubuh akan terasa nyaman. Namun, pada ternak, ternak tersebut akan mencari tempat berlindung dari terik sinar matahari dan tempat yang mendapat angin berhembus dengan baik. Ternak sapi (selanjutnya disebut ternak) reaksinya serupa tetapi kemampuannya untuk mengeluarkan keringat tidak sebanyak yang terjadi pada manusia. Ternak tersebut tampak 142 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Wayan Sayang Yupardi • Fakultas PeternakanUniversitas Udayana bernapas cepat dalam usahanya untuk mengeluarkan panas dari dalam tubuhnya (Terril, 1968). Kecepatan pernapasan itu diatur oleh pusat pernapasan yang terletak di daerah otak yaitu pons dan medula (Keenan, 1988 dan Keele dan Neil, 1971). Panas dapat berasal dari berbagai sumber seperti di bawah ini. a) Sinar matahari langsung atau refleksi cahaya pada tanah atau bangunan, b) Udara yang suhunya lebih tinggi dari suhu tubuih, c) Metabolisme dasar dari aktivitas ternak, d) Aktivitas metabolisme ekstra untuk reproduksi, laktasi, atau pertumbuhan, e) Setiap gerak misalnya berjalan menuju tempat persediaan air minum, f) Pencernaan pakan di dalam tubuh terutama di rumen. Semakin banyak pakan yang dimakan, dan semakin tinggi kandungan serat kasar pakan tersebut maka semakin banyak pula panas yang dihasilkan dari pencernaannya. Semakin produktif ternak, semakin tinggi pula kebutuhan pakannya baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Akibatnya, semakin tinggi pula produksi panas yang dihasilkannya. Ternak yang berproduksi lebih tinggi akan mengeluarkan lebih banyak panas karena ternak tersebut memerlukan jumlah pakan lebih banyak dibandingkan dengan ternak yang berproduksi lebih rendah. Dari jumlah pakan yang lebih banyak itu ternak menghasilkan labih anyak panas juga. Jadi, ternak yang berasal dari luar negeri yang mempunyai pertumbuhan cepat akan melahirkan anak dengan berat badan dan produksi susu lebih tinggi (misalnya sapi perah frisien holstein) atau daging (misalnya sapi simental dan angus) serta pengeluaran panas tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak yang berproduksi lebih rendah. Agar suhu tubuh konstan maka ternak harus mengeluarkan panas dari dalam tubuhnya dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan panas yang dihasilkan atau diabsorbsi. Suhu tubuh dimonitor dan diatur oleh hipothalamus (McClintic, 1975). Terdapat tiga jalan/cara ternak untuk melepaskan panas dari dalam badannya sebagai berikut. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 143 Reaksi Fisiologi Ternak Sapi Terhadap Lingkungan Panas a) b) c) Bernapas cepat akan mempercepat penguapan pada sistem pernapasan menuju udara luar, dan bila suhu udara lebih rendah dibandingkan dengan suhu tubuh maka udara inspirasi akan mengalami pemanasan di seluruh permukaan turbin dan sekat rongga hidung (Cherniack dkk., 1983), Penguapan keringat pada permukaan kulit. Banyaknya keringat yang dihasilkan oleh ternak lebih sedikit dibandinkan dengan manusia karena jumlah kelenjar keringat pada kulit ternak persatuan luas yang sama lebih sedikit dibandingkan dengan manusia. Walau sapi zebu memiliki jumlah kelenjar keringat yang lebih banyak dan efektif dibandingkan dengan berbagai sapi yang berasal dari Eropah namun, semua ternak itu mempunyai kelenjar keringat lebih sedikit dibandingkan dengan manusia, Radiasi panas dari tubuh ternak sendiri dalam hal ini bulu licin yang menutupi tubuhnya adalah merupakan radiator yang lebih banyak dibandingkan dengan bulu wol. Suhu yang baik untuk ternak hususnya sapi dari Eropah adalah berkisar antara 1 – 160C tetapi, 15 – 150C untuk sapi dari daerah tropis. Di atas atau di bawah suhu tersebut ternak akan kurang produktif. Misalnya, sapi zebu berkembang dengan baik di daerah beriklim tropis dan daerah beriklim sedang (subtropis). Reaksinya terhadap lingkungan yang bersuhu tinggi (350C) tidak banyak berubah, sedangkan untuk berbagai sapi dari Eropah suhu tersebut adalah 270C. Di atas suhu itu suhu tubuh ternak mulai meningkat (Barret dan Larkin, 1974). Meningkatnya suhu tubuh ternak biasanya berhubungan erat dengan turunnya nafsu makan, produksi susu (dengan sedikit perubahan komposisi), dan kecepatan pertumbuhan. Perlu diingat bahwa sapi zebu sangat sensitif terhadap suhu rendah hususnya pada lingkungan bersuhu rendah/dingin (suhu kurang dari 150C) yang dibarengi dengan hujan maka pertumbuhannya terhambat dan produksi susunya rendah. Terdapat beberapa jenis sapi dari Eropah yang dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan yang bersuhu tinggi. Adaptasi sapi jersey paling baik dibandingkan dengan sapi lainnya. Kemampuan beradaptasi ternak berbanding terbalik dengan ukuran tubuhnya; demikian pula halnya dengan 144 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Wayan Sayang Yupardi • Fakultas PeternakanUniversitas Udayana berbagai bangsa ternak. Untuk di daerah tropis terdapat berbagai macam ternak yang didatangkan dari Eropah gagal berproduksi (tidak sesuai dengan harapan) karena ketidakmampuannya beradaptasi dengan suhu lingkungan sekitar 290C atau lebih. Pada kenyataannya, berbagai jenis sapi dari Eropah yang telah disilangkan di berbagai daerah tropis nampaknya dapat beradaptasi lebih baik dibandingkan dengan jenis sapi yang sama di berbagai daerah dingin. Demikian juga ternak yang berasal dari berbagai negara (luar negeri) yang telah lama disilangkan di berbagai daerah tropis mempunyai daya tahan panas cukup baik misalnya sapi hereford. Namun, keunggulan ini biasanya berkurang pada pejantan yang didatangkan dari luar negeri karena seleksi terhadap adaptasi lingkungan kurang memadai. Dalam perdagangan internasional, pengiriman mani beku (semen) ke berbagai daerah tropis telah ada jaminan terhadap toleransi panas. Sapi jantan yang menghasilkan semen itu telah diuji sebelumnya. Uji tersebut meliputi kecepatan pernapasan, suhu tubuh, suhu linkungan, dan kelembaban udara. Kelembaban Di daerah tropis, sinar matahari sangat kuat umumnya pada daerah yang semakin tinggi letaknya dari permukaan laut dan di daerah yang kurang subur terutama di daerah yang langitnya selalu terang benderang (Lamb dkk., 1980). Radiasi yang ekstrim terdapat di daerah katulistiwa yang daerahnya relatif kering tanpa tertutup kabut, terutama pada daerah dataran tinggi. Terdapat dua pengaruh radiasi pada kulit yaitu suhu kulit tinggi dan kulit terbakar. Meningkatnya suhu pada permukaan kulit sangat jelas. Kenaikan suhu kulit tersebut menyebabkan adanya peningkatan kontribusi total panas pada suhu lingkungan meskipun ada naungan. Sapi hereford yang matanya tidak berpigmen sangat peka terhadap epithelioma; seleksi terhadap warna bulu merah di atas matanya sangat membantu dalam mengatasi masalah tersebut. Sapi ayshire betina cenderung menderita kangker kulit di daerah vagina bagian luar (vulva) yang tidak berpigmen sedangkan sapi zebu biasanya mempunyai pigmen kulit sehingga warna bulu penutup tubuh tidak mempunyai arti penting lagi bagi kesehatan ternak tersebut. Hal serupa nampaknya terjadi pula pada sapi Bali, BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 145 Reaksi Fisiologi Ternak Sapi Terhadap Lingkungan Panas bahwa ternak tersebut dapat hidup dan tumbuh dengan baik tanpa dikandangkan, meski ternak tersebut kepanasan (radiasi kuat) dan kehujanan (Masudana, 1990). Di lain pihak, Abdel-Samee dan Marai (1994, dalam Putra, 1999) melaporkan bahwa radiasi pada ternak menyebabkan penurunan asupan pakan, laju pertumbuhan, produksi susu, dan kinerja reproduksi, serta peningkatan angka kematian. Penyinaran pada hewan menyebabkan perubahan fungsi kelenjar hipofisis, produksi hormon pertumbuhan, dan perubahan dalam kemampuan sel tubuh dan fungsi metabolisme yang terkait dengan respons terhadap hormon pertumbuhan. Perubahan yang demikian itu disertai oleh kurangya kandungan total dalam tubuh dari air, natrium, kalium, lemak, massa tulang, aktivitas enzim, sekresi lambung dan keasamannya, penyerapan glukose, fosforilasi froktose, sintesis DNA, kandungan asam nukleat, konsentrasi ATP otot, berat keseluruhan saluran pencernaan, dan volume sumsum tulang yang tersedia. Berbagai perubahan ini menyebabkan hilangnya cairan tubuh secara ekstensif yang berakibat menurunya bobot badan, dan pada waktu yang sama, terganggunya fungsi tubuh yang mengimbas terjadinya pengaruh negatif pada produksi dan reproduksi. Kerusakan utama pada hewan disebabkan oleh hidrogen, hidrogen peroksida, dan radikal bebas yang dihasilkan oleh air tubuh yang teradiasi – air merupakan komponen utama dari sistem biologi hewan. Pelindung radiasi seperti senyawa mengandung belerang (sistein, sisteamin, glutathion, dan thiourea), hormon, enzim, vitamin, dan lemak digunakan secara ekstensif untuk memperbaiki kerusakan akibat radiasi pada hewan itu agar tetap dapat mempertahankan hidupnya. Pengaruh panas pada ternak sapi telah banyak diteliti melalui suhu dan kecepatan pernapasan (respirasi) yang menunjukkan terganggunya mekanisme termoregulasi ternak, tetapi sedikit sekali penelitian yang dilakukan melalui beberapa perubahan metabolik terutama adaptasi ternak terhadap daerah (lingkungan) panas. Hal ini menjadi tantangan besar bagi para peneliti untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam lagi, yang berkaitan dengan perubahan metabolik yang terjadi di dalam tubuh ternak. Observasi mengenai kebiasaan merumput sapi zebu dan hereford di berbagai daerah di Kenya menunjukkan terjadi sedikit perubahan. Satu masalah yang dihadapi adalah mengenai 146 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Wayan Sayang Yupardi • Fakultas PeternakanUniversitas Udayana produksi potensial sekaligus kecepatan metabolisme ternak sapi dari Eropah yang lebih besar dibandingkan sapi zebu. Dalam usaha untuk memperoleh zat pakan yang cukup sesuai dengan kebutuhan, ternak dari Eropah itu menggunakan waktunya lebih lama untuk merumput (termasuk dimalam hari) dibandingkan sapi zebu. Gambaran variasi merumput antara sapi dari Eropah dan sapi zebu menunjukkan intensitas merumput yang lebih besar pada sapi dari Eropah yang disebabkan oleh cuaca. Namun demikian, hal ini mungkin merupakan pertanda keperluan zat pakan yang lebih tinggi/banyak dibandingkan ternak lain yang lebih produktif karena keterbatasan rumen dalam menampung pakan. Di lain pihak, sapi zebu mampu beradaptasi terhadap zat pakan yang jumlahnya terbatas dengan jalan mengurangi kecepatan metabolisme pertumbuhan. Dengan demikian, keperluan pakan yang lebih tinggi untuk ternak sapi yang produktif menyebabkan waktu merumput lebih lama termasuk merumput dimalam hari. Akibatnya, suhu badan ternak tersebut menjadi lebih tiggi pula. Umumnya, rumput yang berasal dari daeah tropis mengandung serat kasar tinggi (meningkatkan produksi panas hasil pencernaan), nilai cerna dan protein yang rendah. Dalam keadaan demikian itu, sapi zebu yang pertumbuhan dan produksinya rendah masih mampu hidup sebagaimana mestinya; demikian pula halnya sapi bali. Sedangkan ternak sapi yang berasal dari Eropah nampak pertumbuhannya tidak normal, misalnya badan kurus sehingga kaki kelihatan panjang-panjang, dan kondisinya buruk. Kesuburan ternak sangat cepat dipengaruhi oleh stres sebagai akibat dari pakan yang berkualitas rendah. Pakan yang demikian itu akan menyebabkan sapi zebu beranak dalam dua tahun sekali. Ternak sapi dari Eropah yang diberi pakan berkualitas lebih baik dibandingkan sapi zebu mungkin pengaruhnya sama karena untuk memproduksi susu yang lebih banyak dibutuhkan pakan yang lebih tinggi pula baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal serupa terjadi pula pada jenis sapi daging. Sapi bali yang diberi pakan berkualitas rendah telah berpengaruh pada produksinya terutama berkurangnya berat badan (Malesey, dkk., 1990) walau masih mampu bertahan untuk hidup. Hal ini disebabkan oleh tingginya kebutuhan energi basal sapi bali tersebut (Kuswandi, 1990). Produksi dan reproduksi ternak berkurang karena stres BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 147 Reaksi Fisiologi Ternak Sapi Terhadap Lingkungan Panas sebagai akibat pemberian pakan yang berkualitas rendah. Bila ditinjau dari aspek fisiologi hal ini wajar saja adanya karena dengan mengurangi produksi dan reproduksinya, ternak tersebut akan merasa lebih nyaman dan mampu mempertahankan hidupnya. Terdapat beberapa faktor penyebab stres antara lain suhu, kelembaban, radiasi, panas, angin, polusi udara, kekurangan air dan pakan, kegaduhan, hiruk-pikuk, dominasi sosial, perbedaan jenis ternak, penyakit, dan diare (Church, 1971). Semua faktor tersebut di atas akan mendorong proses fisiologi di dalam tubuh ternak menjadi tidak normal misalnya ketidakseimbangan metabolisme dalam tubuh dan akibatnya terjadi stres. Sebagai contoh dapat disampaikan di sini yaitu ternak hasil persilangan di daerah beriklim sedang mengalami perbedaan panjang hari (perbandingan gelap dan terang) bila ternak tersebut berada di daerah beriklim tropis. Keadaan lingkungan yang demikian ini sering menimbulkan stres. Ternak atau manusia yang mengalami stres mengakibatkan produksi hormon adrenokortikotrofik (ACTH)nya meningkat. Akibatnya, sistem medularis simpathoadrenal bekerja lebih aktif untuk mempertahankan reaktivitas vaskuler (Ganong, 1983). Lebih jauh dapat pula disampaikan di sini bahwa serangga juga dapat menyebabkan ternak mengalami stres sebagai berikut ini. Pertama serangga sebagai vektor (perantara) beberapa jenis penyakit seperti teoleria, babesia, anaplasma dan kutu, atau tripanosoma (lalat tsetse) atau rift valley fiver (nyamuk), dan kedua adalah dengan mengisap darah oleh lalat seperti stomoxys atau stable flies, dan tabanide atau lalat kuda atau lalat unta. Kedua jenis lalat terakhir tersebut dapat juga memindahkan penyakit secara mekanis. Sapi zebu kurang peka terhadap lalat tersebut di atas dibandingkan hewan yang berasal dari Eropah karena sapi zebu dapat mengetarkan setiap lokasi kulit tempat hinggap lalat tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah gigitan lalat pada ternak yang berasal dari Eropah adalah 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan sapi zebu (Barret dan Larkin, 1974). Namun demikian, tidak ada alasan untuk berkecil hati dalam menghadapi stres tersebut di atas karena menejemen untuk itu telah tersedia. Beberapa contohnya dapat dikemukakan di sini sebagai di bawah ini. 1) Sapi merumput pada periode waktu tertentu setiap hari. 148 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Wayan Sayang Yupardi • Fakultas PeternakanUniversitas Udayana 2) 3) Setiap gangguan waktu merumput tidak akan dapat dikompensasikan pada kesempatan yang lain. Jadi, semua perlakuan yang akan diberikan pada ternak hendaknya dilakukan di luar waktu merumput (bila memungkinkan) dan semua kegiatan penting lainnya hendaknya dilakukan dengan menghindari panas. Agar produksi susu tetap tinggi hendaknya jangan membawa alat pemerahan ke tempat sapi merumput karena akan dapat menimbulkan stres. Sepanjang masih memungkinkan hendaknya ternak diberi kesempatan merumput selama 24 jam. Keamanan ternak harus terjamin dari pemangsanya. Sangat baik bila ternak ruminansia diberi kesempatan untuk merumput dimalam hari karena tidak ada stres cahaya atau suhu tinggi. Pencelupan ternak ke dalam bak husus berisi larutan anti parasit atau melakukan vaksinasi harus dilaksanakan secara teratur dan berlanjut. Dalam hal vaksinasi, vaksinasi itu hendaknya dilakukan sebelum matahari terbit (vaksin tidak tahan sinar terutama sinar ultraviolet) agar mendapat hasil yang maksimal. Ternak harus diberikan air sepanjang hari (24 jam); bila tidak maka air hendaknya diberikan dua kali sehari secara berlebihan (adlibitum) dan tempat air itu harus dengan mudah dan cepat dapat dicapai oleh ternak. Bila prekwensi tersebut tidak terpenuhi maka nafsu makan akan berkurang. Dengan demikian, jumlah pakan yang dimakan berkurang pula (Shelton, 1964 dikutip oleh Sugeng Prasetyo, 1993). Naungan harus tersedia secara memadai. Naungan alamiah berupa pohon harus diadakan tanpa mengganggu kesempatan merumput. Bila pohon tersebut harus ditanam maka jangan sekali-kali menam pohon/tanaman yang dapat merusak ternak seperti kaktus, mimosa dan sebagainya karena duri tanaman tersebut dapat merusak bila mengenai badan ternak yang pada gilirannya akan merusak penampilan (performans) ternak tersebut. Naungan buatan hendaknya cukup tinggi sehingga tidak menghalangi pergeraka udara. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 149 Reaksi Fisiologi Ternak Sapi Terhadap Lingkungan Panas Simpulan Sebagai simpulan dari uraian di atas dapat disampaikan sebagai berikut ini. Reaksi fisiologi ternak di daerah atau lingkungan panas (tropis) dapat berupa penurunan suhu tubuh, peningkatan frekwensi pernapasan, perubahan produksi hormon dan metabolisme, perubahan perilaku, penurunan produksi dan reproduksi. Semua hal itu merupakan usaha ternak tersebut untuk mempertahankan kenyaman dan kelangsungan hidupnya. Daftar Pustaka Andrew, T.P. 1970. Rumunat digestion. Input in M.J. Swanson (Ed.). Duke’s physiology of domestic animals. 8th ed. Comstock Pub. Ass. A devision of Cornell Univ. Press, Itacha and London. Barret, M.A. dan P.J. Larkin. 1974. Milk and beef production in the tropics. Oxford Univ. Press, Ely House, London W.I. Cherniack, N.S., M.D. Altos dan S.G. Lelsen. 1983. The respiratory system. Input in Physiology. R.M. Berne and Levy (Ed.) The C.V. Mosby Co. St. Louis. Toronto 639 677. Church, D.C. 1971. Digestive physiology and nutrition of ruminants, 2. D.C. Church, USA. Ganong, W.F. 1983. Review of medical physiology. 11th ed. Lenge Med. Pub. Los Altos, California 94022. Hoar, W.S. 1984. General and comparative physiology.3rd ed. Prentice-Hall of India. Private Ltd. New Delhi – 110001. Keele, C.A. dan E. Neil. 1971. Samson wright’s applied physiology. 12th ed. Oxford Univ. Press. New York. Toronto. Keenan, D.M. 1988. An introduction to the structure and function of farm animals. Dept. of Anim. Prod. Qld. Agric. Coll. Kuswandi, 1990. Aspek nutrisi dan fisiologi dalam pengembangan sapi bali di wilayah Indonesia Bagian Timur. Seminar Nasional Sapi Bali. FAPET UNUD, Denpaar, Bali. Lamb, J.F., C.G. Ingram, I.A. Johnstone, dan R.M. Pitman. 1980. Essentials of physiology. Backwell Scientific Pub. Oxford. Malessey, C., E. Tjoang Soka, dan J.H. Schotter. 1990. Sapi bali di Nusa Tenggara Timur. Seminar Nasional Sapi Bai. FAPET, UNUD, Denpasar, Bali. Masudana, I W. 1990. Perkembangan sapi bali dalam sepuluh tahun 150 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Wayan Sayang Yupardi • Fakultas PeternakanUniversitas Udayana terakhir (1998 – 1990). Seminar Nasional Sapi Bai. FAPET, UNUD, Denpasar, Bali. McClintic, J.R. 1975. Physiology of the human body. John Wiely & Sons, Inc. New York, London, Sydney. Toronto. Nitis, I M. dan I G. M. Oka. 1977. Feeding behaviour of bali cattle raised on improve pasture under coconuts (English Summary). Univ. Udayana, FKHP, Report Series. Putra, I D. K.H. 1999. Pencemaran pada sistem produksi ternak. Terjemahan. Cetakan pertama. CV. IKIP Semarang Press. Sugeng Prasetyo. 1983. Heat stress on weight and vigour of kids. Thesis Anim. Prod. Univ. of Melbourne. Terril, C.E. 1968. Adaptation of sheep and goats. Input in E.S.E. Hafez (Ed.). Adaptation of domestic animals. Lea & Febiger. Washington. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 151 FENOMENA PENYAKIT CACING PITA DAGING BABI DI BALI DAN PERAN LABORATORIUM KLINIK DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS NYOMAN SADRA DHARMAWAN Pendahuluan Penyakit karena infeksi cacing pita (taeniasis) dan karena larva cacing pita (sistiserkosis) tergolong sebagai penyakit zoonosis parasitik. Penyakit ini masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang (Subahar et al., 2001). Situasi ini terkait dengan keadaan higiene, sanitasi lingkungan, dan tingkat pendidikan di daerah tersebut (Carrique-Mas et al., 2001; Dorny et al., 2002). Beberapa kebiasaan seperti kegemaran penduduk mengkonsumsi daging yang belum dimasak atau dimasak setengah matang, ikut andil dalam penyebarannya (Owen et al., 2001). Manusia akan terinfeksi cacing pita, bila makan daging mentah atau kurang matang yang mengandung sistiserkus (larva cacing). Sebaliknya, ternak akan terinfeksi sistiserkus bila menelan telur cacing pita dewasa. Jika manusia makan daging babi yang mengandung Cysticercus cellulosae maka dalam usus manusia sistiserkus ini akan berkembang menjadi cacing pita Taenia solium (cacing pita daging babi). Dengan cara yang sama Cysticercus bovis akan berkembang menjadi Taenia saginata (cacing pita daging sapi). Sebaliknya, babi akan terinfeksi C. cellulosae, jika menelan telur T. solium; dan sapi terinfeksi C. bovis, jika menelan telur T. saginata. Dalam hal infeksi cacing pita daging babi (T. solium), apabila manusia secara tidak sengaja menelan telur cacing pita ini, maka manusia juga dapat terinfeksi C. cellulosae. Yang terakhir inilah amat berbahaya, karena sistiserkus di sini dapat menyerang berbagai organ penting, seperti: otak, mata, jaringan di bawah kulit, dan lain-lain. Serangan pada otak (neuro atau cerebral-sistiserkosis) dapat mengakibatkan kematian mendadak, 152 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana sedangkan pada mata (ocular-sistiserkosis) dapat menimbulkan kebutaan (Menon et al., 2000; Wandra et al., 2000; Corbu et al., 2001). Sistiserkus yang menginfeksi manusia dilaporkan juga menyerang saraf mata (Bajaj dan Pushker, 2002); lidah dan daerah mulut (Mazhari et al., 2001; Nigam et al., 2001; Sidhu et al., 2002); dan spinal intramedullary (Homans et al., 2001). Sistiserkosis yang disebabkan oleh cacing pita daging babi, yang terjadi di beberapa belahan dunia, dapat mengakibatkan kerugian ekonomi karena menurunnya produksi daging dan resiko pada kesehatan manusia (Rodriguez-Contreras et al., 2002). Distribusi geografik cacing ini kosmopolit di negaranegara dengan penduduknya yang mengkonsumsi daging babi dan daging sapi. Penyebarannya meliputi Asia, Afrika, dan Eropah (Ito et al., 2000; Dorny et al., 2002). Di negara-negara maju kasus sistiserkosis dilaporkan semakin meningkat. Walaupun setelah ditelusuri, ternyata si pasien kebanyakan mempunyai riwayat pernah tinggal di negara-negara endemis taeniais / sistiserkosis, atau setidaknya pernah melakukan perjalanan ke daerah tersebut (Garcia dan Brutto, 2000). White (2000) melaporkan adanya kasus neuro-sistiserkosis di Amerika Serikat yang menyerang seorang wanita berumur 25 tahun. Sementara, Guigon dan Trepsat (2002) melaporkan kasus intraocular-sistiserkosis pada pasien di Prancis dengan riwayat pernah melakukan perjalanan ke daerah Hindia Barat tiga bulan sebelumnya. Fenomena Sistiserkosis di Bali Taeniasis dan sistiserkosis sebagai zoonosis parasitik telah dikenal sebagai problem lama. Di Indonesia telah ditemukan sistiserkosis yang berasal dari T. solium, T. saginata, T. pisiformis, T. hydatigena, dan E. granulosus (Dharmawan et al., 2001). Khusus pada babi, prevalensinya sebagian besar dilaporkan di daerahdaerah yang mengkonsumsi daging tersebut, seperti Bali, Sumatra Utara, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya (Margono et al, 2001; Subahar et al., 2001; Sutisna, 2001). Kejadian sistiserkosis pada babi di Bali pertama kalinya dilaporkan oleh Le Coultre pada 1920 yang menemukan C. cellulosae. Dari hasil penelitiannya, diketahui prevalensinya antara 2 – 3%. Dinas Peternakan Propinsi Bali secara rutin kemudian BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 153 Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis melaporkan kasus tersebut dalam laporan tahunannya. Bahkan pada 1970-an kasus sistiserkosis pada babi dilaporkan hampir merata di seluruh kabupaten di Bali (Dharmawan, 1995). Bersamaan dengan peningkatan kesadaran masyarakat tentang higiene dan kesehatan lingkungan, prevalensi sistiserkosis pada babi di Bali semakin menurun. Dari hasil survei sistiserkosis pada babi yang dilakukan pada 1984 di Rumah Potong Hewan Denpasar oleh Gunawan et al.., hanya ditemukan satu penderita dari 1544 ekor babi yang diperiksa. Pada 1990, Dharmawan melakukan penelitian di tempat yang sama selama kurun waktu tiga bulan (Pebruari – April 1990), disamping diperoleh C. tenuicollis, dari 5630 ekor babi yang diperiksa ditemukan 7 ekor (0,12%) babi terinfeksi C. cellulosae. Rincian asal babi yang terinfeksi per kabupatennya: Badung 1 ekor (0,04%), Gianyar 2 ekor (0,029%), dan Karangasem 4 ekor (0,54%). Infeksi oleh zoonosis parasit ini ditemukan pada babi-babi lokal yang dipelihara secara tradisional, dan ada hubungannya dengan masih ditemukannya kasus taeniasis di daerah asal babi penderita (Dharmawan, 1995). Sementara itu, problem baru mengemuka. Sutisna yang melakukan penelitian pada masyarakat di Renon Denpasar, mencatat 37 kasus taeniasis pada manusia. Setelah dicermati, penyebabnya diidentifikasi sebagai T. saginata dan T. solium. Hal yang menarik adalah dari data sosio-ekologi keluarga yang ditelitinya dilaporkan mereka lebih menyukai daging babi (63%) daripada daging sapi (31%). Namun, frekuensi ditemukannya T. saginata jauh lebih tinggi (96,4%) dibandingkan T. solium (3,6%). Kejadian yang membingungkan tersebut, sebetulnya pernah dilaporkan di Sumatra Utara oleh Kosin et al. pada 1972 yang menemukan angka taeniasis pada masyarakat di pulau Samosir yang disebabkan oleh cacing pita mirip T. saginata cukup tinggi, sementara penduduknya lebih sering mengkonsumsi daging babi dibanding daging sapi (Dharmawan, 1995). Hal yang serupa juga dilaporkan terjadi di Taiwan, Korea, Filipina, dan Myanmar oleh F.C. Fan et al.. Keadaan yang paradoks di sini sebagian besar telah diungkap. Jenis cacing pita yang diteliti tersebut ternyata jenis cacing pita “baru” yang disebut Taenia asiatica karena hanya ditemukan di beberapa negara Asia. Morfologi cacing ini sulit dibedakan dengan T. saginata, akan tetapi memiliki 154 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana daur hidup yang berbeda dengan T. saginata. Kalau inang antara T. saginata yang klasik adalah sapi, sedangkan T. asiatica adalah babi. Dan lokasi berparasit sistiserkus T. asiatica juga sangat menciri. Secara alami sistiserkus tersebut hanya ditemukan pada organ hati babi. Ada sejumlah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa cacing pita T. saginata yang ditemukan di Bali ada yang mirip atau sejenis dengan T. asiatica. Hal ini didasarkan atas hasil penelitian lapangan yang pernah penulis lakukan di Rumah Potong Hewan Denpasar dan hasil penelitian serologi. Penelitian pendahuluan untuk mengetahui keberadaan sistiserkus T. asiatica di Bali telah dilakukan. Dari 638 ekor babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Denpasar, organ hatinya diperiksa terhadap kemungkinan adanya infeksi sistiserkus T. asiatica, ternyata sebanyak 146 hati babi (22,88%) menunjukkan indikasi terinfeksi (Dharmawan, 1998a). Setiap hati yang terinfeksi mengandung 1 – 16 sistiserkus yang menyebar secara acak di masingmasing lobus. Kebanyakan dari masing-masing hati terinfeksi oleh kurang dari lima kista. Sistiserkus yang mirip dengan sistiserkus T. asiatica tersebut berbentuk bintik kecil berwarna kekuningan atau putih susu dengan diameter 1,5 – 6 mm. Penelitian lanjutan berupa pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antigen dengan menggunakan double antibody sandwich ELISA (Avidin-Biotin Sandwich ELISA) telah dilakukan dengan memeriksa 420 serum babi dari Bali. Sebanyak 47 (11,2%) serum ternyata seropositif. Dari contoh seropositif, 38 (2,4%) berasal dari babi-babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Denpasar (Dharmawan, 1999). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak seluruh serum yang berasal dari babi dengan lesi pada hatinya menimbulkan reaksi positif terhadap adanya antigen. Hal ini menandakan bahwa tidak semua lesi yang diduga kista tersebut adalah sistiserkus T. asiatica. Saat ini sedang dilakukan penelitian kearah pembuktian tingkat genetik yaitu dengan metode PCR dan DNA probe Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakan Diagnosis Sistiserkosis Dewasa ini, kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium terhadap material yang berasal dari hewan sakit atau diduga sakit BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 155 Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis sudah menjadi keharusan. Hal ini menjadi amat penting, karena dengan mengetahui hasil pemeriksaan laboratorium akan dapat dipastikan diagnosis suatu penyakit. Dengan adanya diagnosis yang pasti, maka pemilihan alternatif pengobatan akan menjadi pasti pula sehingga efektivitas pengobatan yang diberikan dapat lebih ditingkatkan. Laboratorium klinik amat berperan dalam menunjang atau memastikan diagnosis suatu penyakit, disamping untuk memantau perjalanan penyakit, memantau efektivitas suatu pengobatan, dan untuk memperkirakan resiko terhadap penyakit tertentu atau untuk pencegahan (check-up). Dengan kata lain peran laboratorium klinik amat strategis dalam menegakkan diagnosis suatu penyakit – termasuk diagnosis sistiserkosis. Pemeriksaan mikroskopik untuk diagnosis parasit ditujukan terhadap morfologi objek yang diamati. Hal ini telah lazim dikerjakan, terutama untuk tujuan identifikasi agen penyebabnya, ataupun untuk mengetahui kelainan yang mungkin terjadi pada parasit tersebut (Rabiela et al., 2000; Fan et al., 2001a). Dharmawan (1998b) melaporkan bahwa dengan pemeriksaan histopatologi hati babi yang diduga terinfeksi sistiserkus T. asiatica di Bali, menyimpulkan bahwa hasil pemeriksaan mikroskopik dapat dijadikan petunjuk awal adanya infeksi parasit. Hal ini didasarkan pada perubahan-perubahan menciri yang ditemukan pada jaringan di tempat berparasitnya agen, seperti adanya infiltrasi sel radang dan ditemukannya agregasi sel eosinofil. Adanya gambaran akumulasi sel-sel limfoid dalam bentuk reaksi granulomatous adalah merupakan salah satu indikator bahwa hati yang diperiksa terserang sistiserkus. Pemeriksaan roentgen juga dapat digunakan untuk mendeteksi adanya sistiserkus, terutama bila sistiserkusnya sudah mengalami pengapuran. CT scan (computerized tomographic scan) telah umum dipakai untuk mendiagnosis sistiserkosis pada manusia (Bannur dan Rajshekhar, 2001; Pandey et al., 2001; Ito et al., 2002). Beberapa metode serologi juga telah banyak dikembangkan untuk diagnosis sistiserkosis. Namun, itu semua adalah teknikteknik diagnostik yang hanya bisa diterapkan di laboratorium dengan dukungan peralatan yang memadai. Terhadap kondisi seperti ini Fleury et al. (2001) telah mengembangkan suatu teknik pengawetan, sehingga serum yang berasal dari daerah endemis 156 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana tetap optimal kondisinya bila harus dikirim ke laboratorium yang berjarak jauh dari asal pengambilan serum. Di antaranya adalah dengan memperhatikan lama penyimpanan dalam kondisi beku dan penggunaan kertas saring. Uji serologi yang dilakukan pada kondisi ante mortum – sebelum hewan disembelih, dapat memberi arti praktis dan spesifik. Dari hasil eksperimen untuk mengetahui adanya sistiserkosis pada babi dengan menggunakan ELISA, Rhoads et al.. melaporkan bahwa antibodi akan terdeteksi tiga minggu pasca infeksi. Pemeriksaan serologi sangat menarik, terutama dalam hal mendukung diagnosis klinis neuro-sistiserkosis pada manusia. Beberapa metode serologi yang telah dicobakan untuk mendeteksi adanya sistiserkus tersebut adalah: indirect haemaglutination test (IHA) dan doble diffusion agar; immunoelectrophoresis (IEP); enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) dan radioimmunoassay (RIA). Diantara metode tersebut, ELISA ternyata merupakan uji yang paling banyak digunakan (da Silva et al., 2000; Pinto et al., 2000; Husain et al., 2001; Das et al., 2002). Teknik ini umumnya memberi hasil yang baik. Bahkan dewasa ini, telah umum diketahui bahwa laporan tentang epidemiologi kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya diperoleh dari pemeriksaan serologis (Carrique-Mas et al., 2001; Subahar et al., 2001; Bragazza et al., 2002; Dorny et al., 2002; Ito et al., 2002). Namun demikian, bukan berarti metode serologi ini sudah sempurna. Sampai sekarang, yang menjadi kendala utama dalam uji serologi adalah adanya reaksi silang (Pinto et al., 2000). Sebagai ilustrasi dapat disampaikan disini bahwa antara kista hydatida, Multiceps multiceps, Taenia spp. dan Schistosoma spp. masingmasing menunjukkan reaksi silang dengan antibodi sistiserkus. Tetapi, dengan cara pemurnian antigen, diketahui bahwa suatu antigen, yaitu antigen B (Ag B), memperlihatkan reaksi imunologi yang baik (Das et al., 2002). Penggunaan Ag ini 80% mampu mendeteksi sistiserkosis tanpa kelihatan adanya reaksi silang. Dari hasil penelitian Cheng dan Ko, seperti dilaporkan oleh Dharmawan (1995) diketahui bahwa antigen-antigen yang memberi reaksi silang itu, terdistribusi terutama pada tegumen Taenia. Sementara itu beberapa peneliti yang membandingkan ekstrak kista, cairan kista dan ekstrak cacing pita sebagai antigen untuk uji ELISA BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 157 Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis terhadap kasus neuro-sistiserkosis, menyimpulkan bahwa antigen yang berasal dari cairan kista memberi hasil yang paling baik (Dharmawan, 1995). Uji serologi lain yang merupakan modifikasi ELISA, yang juga digunakan untuk mendeteksi adanya cacing pita atau sistiserkusnya, terutama pada manusia adalah uji hambatan ELISA dengan menggunakan monoclonal antibody; Dot ELISA; “Dipstick” immunoassay; deteksi coproantigen dengan menggunakan polyclonal dan Dipstick dot ELISA (Dharmawan, 1995; Sarti et al., 2000). Penggunaan monoclonal antibody yang sangat spesifik, akan mampu menurunkan reaksi silang, sehingga positif palsu dapat dihindarkan. Sementara itu hasil yang memuaskan dengan teknik Western blot, yaitu enzyme-linked immunoelctrotransfer blot (EITB), juga dilaporkan oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah Bragazza et al. (2002) dan Ito et al. (2002). Teknik EITB dan ELISA telah dibandingkan oleh Pathak et al.. Duapuluh serum babi yang dikonfirmasikan positif sistiserkus, diperiksa dengan menggunakan kedua metode ini. Ternyata EITB memberi hasil 90% sensitif dan 100% spesifik, tanpa adanya reaksi silang. Sedangkan dengan ELISA, 70% sensitif, 73% spesifik, dan disertai dengan reaksi silang (Dharmawan, 1995). Metode pemeriksaan DNA merupakan teknik diagnostik lain, yang lebih akurat untuk dapat membedakan spesies Taenia asiatica dengan spesies Taenia lainnya. Beberapa peneliti melaporkan telah berhasil mendeteksi karakteristik Taenia asiatica dengan mengguankan Cloned Ribosomal DNA Fragments dan melihat sekuen amplifikasinya menggunakan reaksi rantai polymerase (polymerase chain reaction). Ternyata dari hasil pengamatan ini diketahui bahwa genotif dari Taenia asiatica berbeda dengan Taenia saginata yang klasik. Dengan teknik ini, diketahui pula bahwa taenia ini hanya ditemukan di Asia. Pemeriksaan sistiserkosis dengan pendekatan DNA telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Wandra et al., 2000; Lightowlers dan Gauci, 2001; Hongli et al., 2002). Pemeriksaan eksperimental sering pula dilakukan untuk pembuktian lebih lanjut, terutama sekali untuk studi perkembangan biologi dari parasit tersebut (Dharmawan, 2000; Verastegui et al., 2000; Fan et al., 2001 158 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Penutup Masih ditemukannya kejadian sistiserkosis - taeniasis di Bali merupakan fenomena yang sangat menarik. Hal ini dimungkinkan oleh tersedianya kondisi yang mendukung, sehingga eksistensi cacing ini bersinambung. Bila dicermati kondisi yang ada, ternyata beberapa faktor sosio-kultural setempat sangat mendukung berkembangnya cacing pita di Bali. Kegemaran dan kebiasaan penduduk mengkonsumsi daging babi atau sapi yang tidak dimasak atau dimasak setengah matang misalnya dalam bentuk “lawar matah” atau “lawar barak”, sanitasi yang relatif masih buruk di beberapa tempat, kehidupan penduduk yang amat dekat dengan ternak (babi, sapi), serta pemeliharaan ternak yang masih dilepas berkeliaran, merupakan faktor-faktor yang sangat mendukung berkembangnya cacing pita di Bali. Kekeliruan yang terjadi pada prosedur pemeriksaan kesehatan daging di Rumah Potong Hewan atau di tempat pemotongan hewan tradisional, khususnya untuk mendeteksi adanya sistiserkus, juga ikut bertanggungjawab terhadap perkembangan taeniasis-sistiserkosis di Bali. Kekeliruan tersebut tampak apabila dikaitkan dengan hasil temuan penulis, yaitu tumbuhnya sistiserkus T. asiatica pada hati babi. Selama ini untuk mendeteksi adanya sistiserkus pada babi, orientasi pemeriksaan hanya tertuju pada otot yang dipandang sebagai tempat predileksi utama sistiserkus T. solium. Kekeliruan yang fatal di sini adalah mengabaikan hati yang ternyata merupakan tempat predileksi utama sistiserkus T. asiatica. Dengan prosedur konvensional seperti di atas, bila terdapat infeksi sistiserkus T. asitica pada hati babi, jelas sekali akan lolos dari pemeriksaan, sehingga ada peluang untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Kekeliruan karena ketidaktahuan ini, tampaknya telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, lebih dari tiga perempat abad, sejak Le Coultre pada 1920 menemukan C. cellulosae. Sistiserkus tersebut ditemukan pada otot-otot babi. Sejak saat itu pemeriksaan untuk mendeteksi adanya sistiserkus, terkonsentrasi hanya pada otot. Hal ini kemudian diperkuat lagi di zaman kemerdekaan, lebih-lebih dengan keluarnya pedomon mengenai pengendalain penyakit hewan menular, yang menyebutkan bahwa tempat paling banyak ditemukan sistiserkus adalah pada otot masseter, jantung, BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 159 Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis lidah, triceps, dan diafragma. Kadang-kadang saja dilaporkan pada hati, paru-paru, dan kelenjar limfe. Dengan demikian, praktis pemeriksaan kesehatan daging yang selama ini dikerjakan di Rumah Potong Hewan mengacu pada pedemon tersebut. Hati babi yang kini diketahui sebagai tempat berparasitnya sistiserkus T. asiatica telah terabaikan. Peran laboratorium untuk diagnosis sistiserkosis adalah amat strategis. Beberapa teknik dan uji laboratorium telah dikembangkan dengan maksud memperoleh hasil optimal dalam menegakkan diagnosis sistiserkosis dan ataupun untuk kepentingan pengembangan vaksin sebagai salah satu upaya pencegahan. Uji monoclonal antibody sandwich ELISA untuk mendeteksi antigen cacing yang bersirkulasi dalam darah, terbukti sebagai uji imunodiagnostik yang memberi harapan serta kemudahan, terutama untuk diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup di masa datang. Daftar Pustaka. Bajaj MS and Pushker N. 2002. Optic nerve cysticercosis. Clin Experiment Opthalmol. 30 (2): 140-143. Bannur U and Rajshekhar V. 2001. Cysternal cysticercosis: a diagnostic problem – a short report. Neurol India. 49 (2): 206-208. Bragazza LM, Vas AJ, Passos AD, Takayanagui OM, Nakamura PM, Espindola NM, Pardini A, Bueno EC. 2002. Frequency of serum anti-cysticercus antibodies in the population of rural Brazilian community (Cassia Dos Coqueiros, SP) determined by ELISA and immunoblotting using Taenia crassiceps antigens. Rev. Inst. Med. Trop. Sao Paulo. 44 (1): 7-12. Carrique-Mas J, Iihoshi N, Widdowson MA, Roca Y, Morales G, Quiroga J, Cejas F, Caihura M, Ibarra R, Edelsten M. 2001. An epidemiological study of Taenia solium cysticercuosis in a rural population in the Bolivian Chaco. Acta Trop. 80 (3): 229-235. Corbu C, Pop M, Cretu C, Coiculescu M, Tatu M. 2001. Ocular cysticercosis – case report. Oftalmologia. 51 (1): 37-39. da Silva AD, Quagliato EM, Rossi CL. 2000. A quantitative enzyme- 160 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana linked immunosorbent assay (ELISA) for the immunodiagnosis of neurocysticercosis using a purified fraction from Taenia solium cysticerci. Diagn Microbiol Infec Dis. 37 (2): 87-92. Das S, Mahajan RC, Ganguly NK, Sawhney IM, Dhawan V, Malla N. 2002. Detection of antigen B of Cysticercus cellulosae in cerebrospinal fluid for the diagnosis of human neurocysticercosis. Trop Med Int Health. 7 (1): 53-58. Dharmawan NS. 1995. Pelacakan terhadap kehadiran Taenia saginata taiwanensis di Bali melalui kajian parasitologi dan serologi. Disertasi S3. Institut Pertanian Bogor. Dharmawan, NS. 1998a. Problem baru sistiserkus Taenia asiatica di Bali. Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah dan Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional VII di Bandar Lampung, 23 – 26 Nopember 1998. Dharmawan, NS. 1998b. Histopatologi hati babi yang diduga terinfeksi metacestoda Taenia asiatica. Majalah Kedokteran Udayana. 29 (102): 187-192. Dharmawan, NS. 1999. Deteksi sistiserkus Taenia saginata pada babi dan sapi di Bali dengan metode ELISA. Media Veteriner. 6 (1): 27-30. Dharmawan, NS. 2000. Infeksi eksperimental Taenia saginata pada sapi Bali. Majalah Kedokteran Udayana. 31 (110): 240243. Dharmawan NS, Windia Adnyana IB, Damriyasa IM. 2001. Prevalence of Taenia hydatigena cysticercosis in pigs in Bali, Indonesia. Proc. The 18th International Conference of the World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology. 26-30 August 2001, Stresa, Italy. Dorney P, Phiri I, Gabriel S, Speybroeck N, Vercruysse J. 2002. A sero-epidemiological study of bovine cysticercosis in Zambia. Vet Parasitol. 104 (3): 211-215. Fan PC, Wan IC, Chung WC, Guo JX, Ma XY, Xu ZJ. 2001a. Studies on abnormality of metacestodes and adult worm of Taenia solium and Taenia saginata asiatica in rodents and pigs. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 32 Suppl 2: 116-121. Fan PC, Chung WC, Guo JX, Ma XY, Xu ZJ. 2001b. Experimental studies on physiological and morphological aspects of Cysticercus cellulosae in pigs. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 161 Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis Fleury A, Bouteille B, Garcia E, Marquez C, Preux PM, Escobedo F, Sotelo J, Dumas M. 2001. Neurocysticercosis: validity of ELISA after storage of whole blood and cerebrospinal fluid on paper. Trop Med Int Health. 6 (9): 688-693. Garcia HH and Del Brutto OH. 2000. Taenia solium cysticercosis. Infect Dis Clin North Am. 14 (1): 97-119. Guigon B and Trepsat C. 2002. Intraocular cysticercosis: a difficult diagnosis. J Fr Opthtalmol. 25 (1): 78-80. Homans J, Khoo L, Chen T, Commins DL, Ahmed J, Kovacs A. 2001. Spinal intramedullary cysticercosis in a five-year-old child: case report and review of the literature. Pediatr Infec Dis J. 20 (9): 904-908. Hongli Y, Shuhan S, Ruiwen C, Yingjun G. 2002. Cloning and functional identification of a novel annexin subfamily in Cysticercus cellulosae. Mol Biochem Parasitol. 119 (1): 1-5. Husain N, Jyotsna, Bagchi M, Huasain M, Mishra MK, Gupta S. 2001. Evaluation of Cysticercus fasciolaris antigen for immunodiagnosis of neurocysticercosis. Neurol India. 49 (4): 375-379. Ito A, Nakao M, Sako Y, Nakaya K. 2000. Neurocysticercosis and echinococcosis in Asia: recent advances in the eastablishment of highly reliable differential serodiagnosis for international collaboration. Southeast Asian J Trop Med Public Healt. 31 (Supp 1): 16-20. Ito A, Sako Y, Ishikawa Y, Nakao M, Nakaya K, Yamasaki H. 2002. Differential serodiagnosis for alveolar echinococcosisby Em18-immunoblot and Em18-ELISA in Japan and China. 147155. In P. Craig and Z. Pawlowski (Eds.) Cestode Zoonoses: Echinococcosis and Cysticercosis – An Emergent and Global Problem. IOS Press. Amsterdam. Lightowlers MW and Gauci CG. 2001. Vaccines against cysticercosis and hydatidosis. Vet Parasitol. 101 (3-4): 337-352. Margono, SS, Subahar R, Hamid A, Wandra T, Sudewi SS, Sutisna P, Ito A. 2001. Cysticercosis in Indonesia: epidemiological aspects. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 32 (Suppl 2): 79-84. Mazhari NJ, Kumar N, Jain S. 2001. Cysticercosis of the oral mucosa: aspiration cytologic diagnosis. J Oral Pathol Med. 30 162 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana (3): 187-189. Menon V, Tandon R, Khanna S, Sharma P, Khokhar S, Vashisht S, Garg I. 2000. Cysticercosis of the optic nerve. J Neuroophthalmol. 20 (1): 59-60. Nigam S, Singh T, Mishra A, Chaturvedi KU. 2001. Oral cysticercosis – report of six cases. Head Neck. 23 (6): 497-499. Ogilvie CM, Kasten P, Rovinsky D, Workman KL, Johnston JO. 2001. Cysticercosis of the triceps – an unusual pseudotumor: case report and review. Clin Orthop. (382): 217-221. Owen IL, Pozio E, Tamburrini A, Danaya RT, Bruschi F, Gomez Moarles MA. 2001. Focus of human trchinellosis in Papua New Guinea. Am J Trop Med Hyg. 65 (5): 553-557. Pandey PK, Chaudhuri Z, Bhatia A. 2001. Extraocular muscle cysticercosis presenting as Brown syndrome. Am J Opthalmol. 131 (4): 526-527. Pinto PS, Vaz AJ, Germano PM, Nakamura PM. 2000. Performance of the ELISA test for swine cysticercosis using antigens of Taenia solium and Taenia crassiceps cysticerci. Vet Parasitol. 88 (1-2): 127-130. Rabiela MT, Hornelas Y, Garcia-Allan C, Rodriguez-del-Rosal E, Flisser A. 2000. Evagination of Taenia solium cysticerci: a histologic and electron microscopy study. Arch Med Res. 31 (6): 605-607. Rodriguez-Contreras D, de TP, Velasco J, Shoemaker CB, Laclette JP. 2002. The Taenia solium glucose transporters TGTP2 are not immunologically recognized by cysticercotic humans and swine. Parasitol Res. 88 (3): 280-282. Sarti E, Schantz PM, Avila G, Ambrosio J, Medina-Santillen R, Flisser A. 2000. Mass treatment against human taeniasis for the control of cysticercosis: a population-based intervention study. Trans R Soc Trop Med Hyg. 94 (1): 85-89. Sidhu R, Nada R, Palta A, Mohan H, Suri S. 2002. Maxillofacial cysticercosis: uncommon appearance of a common disease. J Ultrasound Med. 21 (2): 199-202. Subahar R, Hamid A, Purba W, Wandra T, Karma C, Sako Y, Margono SS, Craig PS, Ito A. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: a pilot serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans R Soc BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 163 Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis Trop Med Hyg. 95: 388-390. Sutisna P. 2001. People’s knowledge on taeniasisin rural community in Bali. Majalah Kedokteran Udayana. 31 (114): Verasteguni M, Gonzalez A, Gilman RH, Gavidia C, Falcon N, Bernal T, Garcia HH. Experimental infection model for Taenia solium cysticercosis in swine. Vet Parasitol. 94 (1-2): 33-44. Wandra T, Subahar R, Simanjuntak GM, Margono SS, Suroso T, Okamato M, Nakao M, Sako Y, Nakaya K, Schantz PM, Ito A. 2000. Resurgence of cases of epileptic seizures and burns associated with cysticercosis in Assologaima, Jayawijaya, Irian Jaya, Indonesia, 1991-95. Trans R Soc Trop Med Hyg. 94 (1): 46-50. 164 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK SANITASI DAN HIGIENE: PERANANNYA DALAM PENGEMBANGAN DAN KEAMANAN MAKANAN TRADISIONAL DI MASA DEPAN Made Badra Arihantana Pendahuluan Makanan tradisional merupakan makanan khas suatu daerah yang diolah secara tradisional, dengan cara sederhana dan turun temurun dari bahan yang tersedia di daerah tersebut. Makanan tradisional terdiri dari berbagai macam, dari makanan ringan sampai makanan pokok dengan berbagai cita rasa. Secara esensial makanan tradisional adalah pangan aneka ragam. Makanan tradisional tidak lagi mendominasi warungwarung di pinggir jalan dan pasar seperti dahulu. Kita melihat makanan tradisional sudah tergeser/terdesak oleh produk-produk makanan baru dengan labelnya yang memberi kesan menarik, bersih, aman dan moderen. Hal tersebut dikarenakan gencarnya promosi melalui media cetak maupun media elektronik, sehingga masyarakat berpaling ke makanan tersebut. Mereka merasa bangga menikmati makanan berlabel seperti Mc Donald, Kentucky, Dunkin Donat, Hamburger, Hot Dog dan lain-lainnya. Dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi di bidang pangan, berbagai produk makanan baru telah beredar di pasaran dengan pemakaian bahan kimiawi sebagai pengawet, adanya bahan tambahan makanan (BTM) untuk meningkatkan kualitas maupun daya simpannya. Beragamnya aktifitas dan terbatasnya waktu membuat konsumen di kota-kota besar sering tidak sempat mengkonsumsi makanan alami (Sofian, 2002). Di lain pihak makanan tradisional mempunyai kesan kurang bergengsi, kurang bersih, kurang aman, kurang menarik, kuno, tidak praktis dan mutu yang beragam. Beberapa tahun belakangan ini, adanya laporan melalui BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 165 Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan jurnal ilmiah, media cetak maupun media elektronik, bahwasanya makanan dengan bahan alami masih lebih sehat. Menurut Losso (2002), bahan biologi aktif yang sudah ada pada makanan secara alami dapat mencegah “angiogenesis” yang merupakan langkah awal berkembangnya penyakit degeneratif. Bahan-bahan tersebut seperti lysozyme yang terdapat pada susu, telur dan curcumin pada kunir. Beuchat dan Golden (1989) juga melaporkan bahwa lactoferrin terdapat pada susu, conalbumin dan avidin pada telur, asam pitat pada kedelai, asam sitrat pada sitrus dan asam suksinat pada gula bit dan broccoli. Bahan-bahan tersebut juga memiliki bahan anti mikrobia yang memang sudah terkandung secara alami. Rempah-rempah dan bumbu juga mengandung bahan tersebut, ada yang berupa minyak atsiri/bahan mudah menguap dan sudah lama dikenal seperti laos, kencur, cengkeh, bawang merah dan bawang putih seperti dilaporkan oleh Chippault et al (1956), Krishnamurty (1959), Pruthi et al (1959), Fenaroli (1975), dan Westland (1979). Makanan tradisional juga merupakan makanan probiotik seperti tape ketan sebagaimana dinyatakan oleh Anon. (2003). Tape ketan mengandung lactobasili dan bifidobakteria yang amat berguna untuk kesehatan tubuh. Bakteria tersebut mampu secara langsung menambah jumlah bakteria yang bermanfaat dalam usus untuk menyeimbangkan mikroflora usus. Perkembangan lain terjadi akhir-akhir ini dimana semboyan kembali ke alam (“Back to Nature”) mulai dikumandangkan, karena makanan tradisional memakai bahan-bahan alami yang bebas dari rekayasa genetik, pestisida dan bahan berbahaya lainnya. Gerakan gaya hidup sehat sedang melanda dunia. Tren baru telah bermunculan, dimana masyarakat menginginkan suatu makanan yang benar-benar serba alami, bebas dari pestisida, hormon dan pupuk kimia (Winarno, 2002). Makanan siap saji seperti Mc Donald, Kentucky merupakan “Junk food” (makanan sampah/sisa) sudah mulai tidak diminati lagi oleh masyarakat di negara-negara Eropa/Amerika. Berdasarkan paparan ini, saya ingin mengangkat makanan tradisional dalam perkembangannya sesuai sifat khas yang dimilikinya sehingga menjadi makanan yang bermakna, diangkat kedudukannya dari hanya bersifat budaya 166 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana lokal menjadi budaya nasional atau menjadi budaya internasional. Buku-buku mengenai makanan tradisional/Indonesia sudah banyak terbit, salah satu diantaranya adalah “A Taste of Bali – Recipes for Western Cooks” oleh Peck (1975). Pengembangan makanan tradisional juga didukung oleh Joop Ave (1994), yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pariwisata yang menyatakan bahwa pengembangan makanan tradisional sebenarnya sangat sesuai dengan keinginan pasal 32 UUD 45 yang berbunyi: Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Semenjak beliau diangkat menjadi Kepala Rumah Tangga Istana Presiden tahun 1972, beliau berupaya memperkenalkan dan mengembangkan makanan tradisional Indonesia dimulai dari lingkungan Istana Negara. Untuk itu perlu diperhatikan ukuran, penyajian dan yang terpenting adalah keamanannya, yang merupakan hambatan utama untuk pengembangan makanan tradisional di tingkat masyarakat bawah sebagai pelaku utama. Makanan tradisional umumnya diolah dalam skala rumah tangga yang lingkungannya kurang menunjang, dimana sanitasi dan higiene yang tidak mendukung. Sanitasi dan Higiene Berbicara mengenai keamanan pangan, makanan tradisional tidak terlepas dari hal ini, dimana sanitasi dan higiene merupakan bagian yang saling terkait tidak terpisahkan (Guthrie, 1972; DEIR, 1976; Longree, 1980; Marriot, 1985; Jenie, 1988). Sanitasi lebih menekankan pada kebersihan peralatan dan lingkungan, meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam penyiapan, pengolahan, pelayanan juga termasuk pengemasan dan penyimpanan makanan. Higiene lebih menekankan pada kesehatan dari penanganan dan keamanan produk. Sanitasi berasal dari kata “Sanitas” yang berarti sehat. Penerapan sanitasi dalam industri makanan yaitu mempertahankan kondisi yang higienis dan sehat. Sanitasi adalah penerapan dari pelaksanaan keamanan pangan/makanan. Perlindungan makanan melalui penanganan tersanitasi awalnya hanya berlaku di rumah, yang bertanggung jawab mempertahankan kemurnian dan kebersihan makanan keluarga (Marriot, 1985). BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 167 Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan Keamanan Pangan/Makanan Adanya perubahan pola kebiasaan makan di luar rumah, dimana masyarakat yang lebih banyak ikut terlibat, persentase makanan yang dikonsumsi menjadi lebih besar pula, termasuk makanan yang diproses atau dipersiapkan di luar rumah. Perubahan pola makan ini menjadikan pentingnya makanan ditangani dengan cara tersanitasi (Giese, 2002) untuk mempertahankan kesehatan masyarakat dari penyakit karena mengkonsumsi makanan. Di Indonesia diperkirakan penyebab utama kasus keracunan dari makanan adalah penggunaan bahan mentah yang tercemar mikrobia patogen, makanan yang didiamkan cukup lama sebelum dikonsumsi dan pemanasan kembali yang tidak cukup. Sering kali usaha jasa boga/katering termasuk yang menjual makanan tradisional yang disiapkan pada malam hari dan dihidangkan atau disuguhkan pada siang hari berikutnya. Selama waktu menunggu tersebut, bilamana makanan telah tercemar oleh bakteri patogen selama penyiapan, telah terbentuk racun bakteri misalnya enterotoksin Staphylococcus aureus. Masih banyaknya kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh makanan-makanan yang disediakan oleh industri jasa boga disebabkan pengusaha atau pedagang makanan, termasuk pengusaha katering dan restoran, pada umumnya tidak diharuskan mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dalam praktek sanitasi yang baik dalam pengolahan, penyiapan dan penyajian makanan, sehingga makanan yang disajikan/dihidangkan cukup terjamin keamanannya. Menurut survei yang dilakukan di Indonesia, sebanyak 87,5% dari manager katering dan 19,7% dari perusahaan katering belum pernah mendapatkan petunjuk atau pengetahuan mengenai sanitasi makanan (Purawidjaja, 1992). Penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang merupakan deteksi dini untuk mencegah dan mempertahankan keamanan makanan terhadap terjadinya pencemaran, keracunan atau penyakit melalui makanan dan aman untuk dikonsumsi. Selain itu HACCP pelaksanaannya untuk mempertahankan keamanan pangan karena mengawasi dari awal bahaya yang mungkin ada pada titik-titik kritis (Fardiaz, 1994; Kennedy, 1997). Pengolahan pangan yang baik (GMP) juga merupakan bagian untuk menjaga 168 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana mutu dan keamanan makanan/pangan (Fardiaz, 1996). HACCP dan GMP merupakan suatu keharusan untuk dilaksanakan oleh perusahaan/industri makanan, hotel atau usaha katering termasuk usaha makanan tradisional. ICMSF atau International Commision on Microbiological Specifications for Foods (1988) menjelaskan bahwa konsep HACCP dapat dan harus diterapkan pada seluruh mata rantai produksi makanan, yaitu dalam industri pangan, produksi makanan katering/ jasa boga bahkan dalam pembuatan makanan jajanan/tradisional. HACCP dapat dilakukan mulai dari pemilihan bahan mentah, penanganan/penyimpanan bahan mentah, persiapan, pengolahan, sampai penjualan dan penyajiannya. Hal ini disebabkan beberapa cemaran seperti logam berat, pestisida dan beberapa racun, yang mungkin tidak dapat dihilangkan melalui proses pengolahan yang diterapkan. Peristiwa runtuhnya menara World Trade Centre yang lebih dikenal dengan peristiwa “Black September” pada 11 September 2001, negara-negara maju di kawasan Amerika maupun Eropa, mulai mengantisipasi akan adanya ancaman keamanan pangan melalui jalur penyediaan pengolahan maupun penyimpanan makanan yang harus diwaspasai (Beldose dan Rosco, 2002). Senjata biologis (anthrax) atau patogen yang lain, merupakan ancaman yang potensial selama pengolahan, penyimpanan, penyediaan dan penyiapan makanan. Mereka sangat mengkhawatirkan adanya “Bioterorism” yang memakai jalur makanan. Kondisi Makanan Tradisional Indonesia Makanan tradisional umumnya diproses atau dipersiapkan dengan cara-cara tradisional, sangat sederhana, memakai bahanbahan alami di lingkungan daerahnya. Makanan tradisional dapat/ sering mengandung cemaran mikrobia maupun cemaran bahanbahan berbahaya seperti boraks pada mie, kerupuk dan bakso (Novrianto, 1991), pemakaian bahan pewarna yang tidak diijinkan seperti Amaranth, Methanil yellow, Rhodamin B (Sofian, 2002), adanya formalin pada makanan jajanan, siklamat dan sakarin (Novrianto, 1991; Hardjono, 1991; Anon., 1991). Sementara itu Winarno melaporkan adanya cemaran mikrobia pada rempahrempah yang memberi peluang terjadinya keracunan makanan. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 169 Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan Sementara itu Fardiaz (1997) menyatakan bahwa cemaran bahan-bahan berbahaya dapat menimbulkan penyakit atau menggangu kesehatan masyarakat. Residu pestisida ditemukan pada makanan berbasis sayuran, residu logam berat pada makanan jajanan dan cemaran mikrobia pada makanan siap santap. Cemaran aflatoksin pada makanan berbasis kacang tanah dan penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) yang dilarang atau melebihi batas pada dan minuman jajanan. Makanan siap santap seperti Lawar diketemukan adanya E.coli (Arihantana, 1992; Arihantana,1993; Suter et al, 1997). Rendahnya kesadaran dan standar higiene, ditambah pula rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat, mempertinggi peluang untuk terjadinya pencemaran pada makanan (Winarno, 1993). Untuk melihat lebih jauh, mengapa banyak/sering terjadi pencemaran, marilah kita lihat sumber-sumber pencemaran makanan tradisional sebagai berikut: 1. Pencemaran pada daging segar Seperti diketahui hewan yang hidup sehat, jaringan ototnya hampir boleh dikatakan bebas dari mikrobia. Pencemaran daging terjadi dimulai pada saat penyembelihan, pengulitan, pengeluaran jeroan, perecahan karkas melalui alat, pisau, penangan pada saat pendistribusian dan selama penjualan. 2. Pencemaran daging unggas Daging unggas rentan terhadap pencemaran oleh Salmonella. Pencemaran berlangsung saat pemotongan untuk pengeluaran darah, pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, pencucian, perecahan, distribusi dan selama penjualan. 3. Pencemaran makanan bersumber dari laut (“Sea food”) Bahan makanan ini merupakan substrat yang sangat baik untuk pertumbuhan mikrobia. Pencemaran dimulai saat penangkapan, pengangkutan, distribusi dan penjualan. 4. Pencemaran produk sapi perahan Pencemaran terjadi pada saat pemerahan susu melalui tangan pemerah melalui tempat penampungan susu, selama penyimpanan sementara sebelum pasteurisasi. 5. Pencemaran bahan-bahan (“ingredients”) Bahan-bahan seperti bumbu, merupakan kendaraan potensial bagi mikrobia perusak. Jumlah dan jenis dari pencemar 170 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana tersebut dipengaruhi oleh kondisi, cara pemanenan dan teknik pengolahannya. 6. Peralatan/perlengkapan Peralatan/perlengkapan merupakan instrumen dalam terjadinya pencemaran makanan. Pencemaran terjadi selama pemakaian, penyimpanan sebelum pemakaian. 7. Air dan udara Merupakan sumber pencemar bila air yang dipergunakan sumbernya tidak jelas (kotor). Demikian pula dengan udara yang mengandung mikrobia penyebab penyakit melalui udara ke peralatan selama proses dan penyimpanan. 8. Limbah Yang mengkhawatirkan adalah limbah yang mengandung faeces manusia, mengandung mikrobia patogen, mempengaruhi lingkungan. Bila terjadi pencemaran terhadap saluran air minum, sungai, danau maupun teluk dan pantai. 9. Serangga dan binatang mengerat Lalat dan kecoa identik dengan tempat-tempat kotor. Binatang ini selalu berhubungan dengan lingkungan/daerah hidup manusia, seperti ruang makan, tempat sampah, saluran air yang kotor dan tempat-tempat kotor lainnya. 10. Penangan/pekerja 11. Penangan atau pekerja merupakan sumber pencemar hidup yang dapat menyebabkan mikrobia penyebab penyakit. Sangat ironis, kita melindungi tetapi manusia juga sebagai sumber pencemar terbesar tanpa kita sadari. Pencemaran terjadi melalui cara-cara yang tidak tersanitasi dan higienis. Makanan yang tersentuh/kontak, akan tercemar oleh mikrobia perusak/patogen yang terjadi selama menangani makanan yang dipersiapkan, diolah dan selama pelayanan. Berbagai bagian tubuh manusia seperti tangan, kuku, kulit, rambut, hidung, mulut dan mata adalah merupakan tempat penampungan mikrobia yang akan dipindahkan ke makanan yang ditanganinya melalui sentuhan, batuk, bersin, dan melalui pernapasan, bilamana penangan tidak bekerja secara higienis. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 171 Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan Dari pemaparan ini marilah kita beralih pada proses penyediaan, pengolahan, penyimpanan dan pelayanan makanan tradisional yang biasa terjadi pada pelaksanaannya. Mengingat tingkat pendidikan dan pengetahuan mereka mengenai sanitasi dan hgiene sangat terbatas jauh dari apa yang kita inginkan apalagi penanganan biasa dilakukan sendiri/mandiri. Bila kita lihat dan perhatikan mereka mengerjakan pekerjaan mulai dari penyediaan, mengolah dan melayani dilakukan sendiri. Seperti misalnya pada penjual kue kelepon,lawar atau makanan tradisional lain, pekerjaan memarut kelapa, mencampur adonan, membungkus sampai pembayaran dilakukan mandiri. Kontaminasi silang selalu terjadi dan telah terjadi tanpa disadari, tangan bergerak kemanamana, mengambil bahan mentah, bahan telah dimasak dan lainlainnya. Tidak terbayangkan oleh kita bahwa pencemaran sudah berlangsung semenjak awal. Sumber bahan baku yang tidak diketahui asalnya apakah tidak mengandung bahan beracun, bebas pestisida atau bahan lainnya yang dilarang. Mereka hanya mengetahui bahan, alat dan semua yang digunakan sudah bersih (secara kasat mata) tidak ada pengaduan, tidak ada yang sakit dan makanan habis terjual. Higiene Individu/Pribadi Secara teoritis penangan harus memenuhi persyaratan sebagai penangan agar mereka tidak merupakan sumber pencemar yang potensial. Untuk itu higiene individu harus dijaga dan dipertahankan agar penanganan makanan secara tersanitasi dan higienis bisa terlaksana dengan benar. Higiene, istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistim mengenai prinsip-prinsip santiasi (Marriot, 1985) untuk menjaga kesehatan. Kesehatan penangan memegang peranan yang sangat penting dalam sanitasi. Seperti apa yang telah saya sebutkan sebelumnya, dimana manusia merupakan sumber pencemar hidup yang potensial yang dapat menyebarkan penyakit, terlebih lagi bila merupakan karier suatu penyakit menular atau menyebabkan keracunan makanan (Bagian-bagian tubuh manusia dihuni oleh mikrobia) melalui pelaksanaan yang tidak tersanitasi dan higienis. Yang diperlukan untuk suatu pelaksanaan yang higienis 172 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana adalah adanya fasilitas yang mencukupi seperti tersedianya tempat cuci tangan, cairan pembersih tangan, pengering tangan atau tisu, toilet dan yang lainnya termasuk perawatan kesehatan dengan pemeriksaan kesehatan secara periodik paling tidak setiap 6 bulan sekali dan hal ini sudah dilaksanakan oleh hotel berbintang. Fasilitas seperti ini sebagian tersedia (ada) pada rumah makan besar, hotel non bintang, restoran siap saji terlebih yang membawa label nasional/internasional. Mereka-mereka yang berusaha atau terlibat dalam produksi, pengolahan, penyediaan makanan maupun pelayanan makanan atau makanan tradisional harus melindungi penangan dan konsumen dari pekerja lain terhadap penyakit atau mikrobia yang menggangu kesehatan masyarakat. Untuk mendapatkan kondisi yang aman bagi produk makanan atau makanan tradisional, higiene individu harus terpenuhi dengan cara mengadakan seleksi terhadap para penangan/pekerja antara lain mereka harus: sehat jasmani dan rohani, tidak menderita penyakit kulit, tidak merupakan karier suatu penyakit menular, dan tidak menderita penyakit pernapasan. Hal-hal seperti ini tidak pernah dilakukan atau terjadi pada para pelaku/pedagang makanan tradisional di tingkat masyarakat bawah terlebih yang mandiri apalagi untuk pemeriksaan kesehatan secara periodik. Kondisi Nyata Saat Ini Dari uraian saya, secara jujur saya melihat bahwasanya semua hal-hal tersebut belum menyentuh mengenai keamanan pangan seutuhnya pada makanan tradisional, selama penyediaan, pengolahan, penyimpanan dan selama pelayanan pada pelaku/ pelaksana makanan tradisional pada lapisan terbawah/mandiri. Mereka yang bergerak dalam usaha jasa boga di tingkat masyarakat bawah tidak mengetahui apa itu HACCP, GMP, ISO 9000, sanitasi maupun higiene. Saya tidak memungkiri ataupun menutup mata bahwa makanan tradisional sudah masuk dalam daftar menu beberapa hotel berbintang (Sarwada, 1997) ataupun disuguhkan dalam menu khusus dalam acara-acara yang bersifat internasional dan sudah memenuhi standar keamanan yang ditetapkan sebelumnya. Makanan tradisional yang disuguhkan dalam menu tersebut misalnya sate lilit, lawar, pepes ikan, sayur lodeh, jukut BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 173 Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan ares, sayur urap, babi genyol, timbungan babi, gerang asem ayam, ayam kalas dan beberapa jajanan seperti klepon, pisang rai, bubur injin, sumping dan lainnya. Yang menjadi pemikiran saya adalah masyarakat bawah sebagai pelaku utama yang pangsa pasarnya sangat luas. Saya menginginkan agar setiap orang, siapapun orangnya, dari manapun mereka berasal tidak mempunyai perasaan ragu lagi untuk menikmati makanan tradisional tanpa menderita gangguan suatu penyakit/tidak terjadi gangguan pada kesehatan masyarakat. Pertanyaan yang selalu timbul akankah keamanan makanan tradisional dalam pengembangannya bisa terlaksana? Secara perlahan tetapi pasti hal ini bisa tercapai, walaupun memerlukan waktu yang lama. Di negara-negara maju sekalipun keamanan pangan masih merupakan isu yang masih selalu muncul (Giese, 2000 dan Arthur, 2002) walaupun penerapan HACCP maupun GMP sudah dilaksanakan. Pengembangan Makanan Tradisional di Masa Depan Dimasa mendatang makanan tradisional yang beraneka ragam akan bisa berkembang asalkan keamanannya terjamin. Makanan tradisional seperti tape ketan mempunyai kans besar untuk nanti dikembangkan sebagai makanan probiotik Indonesia sebagai penambah langsung mikroflora usus. Dengan kerjasama antara ahli Mikrobiologi, Kedokteran, Farmasi dan Ahli Pangan untuk secara bersama meneliti tape ketan sebagai probiotik Indonesia. Sampai saat ini makanan probiotik seperti yakult masih tetap menjadi obyek penelitian untuk lebih disempurnakan lagi (Cruce dan Goulet, 2001; Shah, 2001). Untuk kedepan pengembangan makanan tradisional terutama yang menyangkut keamanannya perlu dilakukan secara berlanjut dengan: • Menggalakkan penelitian-penelitian makanan tradisional/ tradisional Indonesia. • Mengadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai keamanan makanan/makanan tradisional melalui media cetak atau elektronik. • Memberikan penyuluhan/penjelasan mengenai HACCP, GMP, sanitasi dan higiene oleh lembaga pendidikan dan instansi 174 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana • • • terkait dengan cara yang sederhana dan mudah. Pengabdian kepada masyarakat oleh lembaga pendidikan di bidang pangan, kesehatan dan lembaga pendidikan terkait lainnya dan lumninya ke daerah-daerah/asalnya. Melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa-desa maupun banjar-banjar mengenai pentingnya keamanan makanan. Memberikan ceramah-ceramah kepada ibu-ibu PKK dan masyarakat yang bergerak di bidang makanan/makanan tradisional akan pentingnya keamanan makanan. Pengendalian keamanan pangan/makanan, penerapan HACCP dan pelaksanaan Sanitasi dan Higiene perlu dimasyarakatkan kepada para pengusaha jasa boga, termasuk pengusaha katering, restoran, hotel, pedagang pinggir jalan, pengusaha jajanan/ pengusaha makanan tradisional dan lain-lainnya bahwa makanan yang dijual /dikonsumsi aman. Daftar Pustaka Anonimus (1991). Murid SD terancam jajanan beracun. Kompas No. 223. Th. Ke 26 Anonimus (2003). Makanan Probiotik untuk kesehatan usus. Majalah senior No. 208. Ariantana, M.B. (1992). Mikroflora Lawar di kota denpasar. Laporan Penelitian. Ariantana, M.B (1993). Tingkat cemaran Coliform, F. coliform dan E.coli pada proses penyediaan Lawar di restoran/warung makan di sekitar Denpasar Laporan Penelitian. Artur, M.H.(2002). Emerging microbiological foods safety issues. Food Technol.Vol 43 No.2 Beuchat, L.R and Golden. D.A (1989). Antimicrobials occuring naturally in foods. Food Technol. Vol. 43. No. Bledsoe, G.E and Rasco, B.A (2002). Addresing the risk of Bioterorims in food products. Food Technol. Vol.56.No.2 Chippault, J.R., Mizuno, G.R and Lumberg, W.D. (1956). The antioxidant properties of spices in food Technol No. 10. Cruce, P.S and Goulet, J. (2000). Improving probiotic survival rates. Microencapsulation preserves the potency of probiotic BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 175 Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan microorganisms in food sysem. Food Technol. Vol. 56, No.10 DEIR. (1976). Food Service Hyegiene and Cleaning. Department of Employment and Industrial Relation. Austaralian Government Pub. Service. Canberra. Fardiaz, S. (1994). Pengendalian keamanan dan penerapan HACCP oleh usaha jasa boga. Bulletin Teknologi dan Industri pangan Vol.V.No.3 Fardiaz, D (1996). Praktek pengelolaan pangan yang baik (GMP). Kerja Sama PAU dan GIZI (CFNS), IPB- Dirjen. Dikti. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Fenaroli, G (1975) Handbook of flovoring ingredients. 2nd. Furia,T.E and Bellanca, N. Eds.Cleveland,oOhio;Chemical Rubber.Co. Giese, J.C. (2002). IFT”s Conference addresses food safety and quality. Food Techonal.Vol.56.No.4. Gutherie, R.K.(1972).food Sanitaion. The AVI Pub.Co.Inc..Westport, Connecticut. Hardjono. (1991). Bahan campuran.Kompas No. 232.Th. Ke 26. ICMSF. (1988). Microorganisms in Food.Vol.4.Application of HACCP to ensure mocrobiological safety and quality. Backwell Sci. Pub. London. Jenie, B.S.L (1988). Sanitasi dalam industri pangan. PAU-IPB.Second University Development Project.IBRD Loan. No. 2547-IND. Joop Ave. (1994). Membudayakan makanan tradisional Indonesia. PANGAN. Vol.V.No.19. Kennedy, K. (1997).Application of HACCP to cook chill operatons Food Technol.Australia.Vol.49.No.2 Krishnamurty,K and Screenivasamurthy,V(1959).Garlic.Bull.Of the Central Food Technol.Res.Institute, Mysore.No.5 Longree,K. (1980).Quantity food sanitation.3nd.Wiley-Interscience, New York-Brisbane-Chichester-Toronto. Losso, J.N. (2002).Preventing degerative diseases by antiAngiogenic functional foods.Food technol.Vol.56 No.6. Marriott, N.G. (1985). Principles of Food Sanitation..The AVI.Pub. Inc.Westport,Connecticut.. Novrianto, R. (1991). Ancaman boraks lewat bakso. Tempo. 2 Maret. Purawidjaja, T. (1992). Study on the Sanitation aspect of catering business in Jakarta. In Proceedings of 3rd Word Congress 176 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Foodborne Infection and Intoxications.Vol.II..Berlin Pruthi,J.S,Lal,G and Subrahmanyan,V.(1959). Chermistry and technol-ogy of garlic powder. Food Science. No. 8 Sarwada (1997) Grand bali Beach Hotel’s Chef. Komunikasi Pribadi. Shah, N.D. (2010).Functional foods for probiotic and prebiotic .. Food Technol.Vol.55.No.11. Sofian, E. (2002). Memilih Makanan dan Minuman. Kompas. 1 Juli Suter,K., Putra, N.K dan Antara, N.S. (1997). Studi tentang pengolahan dan keamanan Lawar (makanan tradisional Bali). Seminar Nasional Teknologi Pangan. Denpasar.Bali. Westland, P. (1979). The encyclopedia of spices.London: Marshall Cavendish. Winarno, F.G. (1991). Sterilisasi rempah usaha meningkatkan nilai tambah. Kompas No. 14 Tahun ke 27. Winarno, F.G. (1993). Tris dan keracunan makanan. Kompas. No.124. Th ke 29 Winarno, F.G. (2002). Pangan organik dan pengembangannya di Indonesia. Kompas. Senin. 4 Nopember 2002 BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 177 TEKNOLOGI REMOTE SENSING DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN BERKELANJUTAN Indayati Lanya Pendahuluan Dalam era globalisasi, issu seperti keamanan pangan (food security), pengelolaan potensi sumberdaya wilayah, degradasi lingkungan dan kualitas hidup generasi mendatang menjadi masalah yang besar bagi ilmu pengetahuan dunia, termasuk ahli tanah. Para ahli pertanian berfikir untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam (SDA), khususnya sumberdaya lahan (SDL) agar dapat dikelola secara profesional dan dapat berproduksi secara berkelanjutan. Pemanfaatan SDA agar tidak terjadi kerusakan lingkungan dan dapat mensejahterakan masyarakat yang ada di wilayahnya. Dengan kata lain, pengelolaan lahan berkelanjutan merupakan prioritas penelitian di saat ini dan yang akan datang, agar potensi yang ada dapat digunakan dalam jangka waktu tidak terbatas dan dapat berkesinambungan. Berbagai teknologi telah diterapkan untuk pengelolaan lahan, baik dalam rangka peningkatan kualitas, maupun produktivitas lahan, mulai dari perencanaan, pengelolaan dan pemantauan. Pendekatan terpadu perencanaan dan pengelolaan SDL merupakan alternatif jawaban yang dapat digunakan untuk melestarikan potensi SDA yang tersedia. Perencanaan penggunaan lahan yang tepat merupakan proses yang perlu dilalui oleh para pakar pertanian, khususnya ahli tanah dan pengembangan wilayah yang ditujukann untuk pengelolaan SDL. Ketersediaan data dasar (data base) fisik wilayah atau rona awal lingkungan yang bersifat spasial merupakan faktor utama dalam proses awal pengelolaan SDL. Data dan informasi kondisi fisik wilayah yang terekam dan terukur secara spasial dapat 178 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana diperoleh dari hasil pemotretan udara (foto udara), citra radar dan dari citra satelit. Hasil rekaman data permukaan bumi tersebut diolah dan dianalisis melalui teknologi penginderaan jauh (remote sensing). Teknologi ini merupakan salah satu alternatif yang dapat berperan penting dalam penyediaan data base potensi wilayah yang akurat, mutakhir dan berkala dalam pengelolaan sumberdaya lahan berkelanjutan. Teknologi remote sensing/RS yang dikombinasikan dengan sistem informasi geografis (Geographical Information System/ GIS) mampu menginformasikan data secara lengkap dan cepat, serta mutakhir. Teknologi ini telah diaplikasikan secara luas di Indonesia, terutama dalam inventarisasi dan perpetaan SDA. Hal ini akan lebih memudahkan dalam perencanaan dan evaluasi hasil dan pengawasan pembangunan secara luas. Kedua teknologi ini mampu mengakses data spasial dan data base SDA dan sumberdaya manusia (SDM). Selain itu penggunaan teknologi informasi sebagai salah satu tuntutan globalisasi dan otonomi daerah. Pembangunan dan pengembangan wilayah di suatu daerah dibutuhkan sejumlah data base SDA yang terkini, cepat dan akurat. Demikian pula dalam pengelolaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi sumberdaya dan pengawasan dibutuhkan teknologi yang meminimalkan pengaruh subyektif. Cara konvensional dan teristris yang hanya mengandalkan aspek manusia telah mulai dikurangi. Ini lebih dititikberatkan kepada tujuan yang lebih besar, mengingat etos kerja dalam tingkat ketelitian, sementara ini disinyalir semakin menurun. Untuk itu dibutuhkan teknologi yang dapat meningkatkan ketelitian dan pemutakhiran data yang berupa peta dan isinya. Data spasial dan data base yang akurat dan mutakhir disinyalir sangat langka ketersediaannya di beberapa instansi dan unit pemerintah lainnya. Minimnya data base yang berkualitas dan terukur tentang potensi SDA dan SDM merupakan kendala atau pembatas utama dalam penyusunan LAKIP dari pemerintah daerah ke pusat. Indikator sasaran dalam format LAKIP merupakan tingkat keberhasilan pencapaian sasaran dan target dalam kurun waktu tertentu secara berkesinambungan dan terukur, baik kuantitaif maupun kualitatif. Ketersediaan data base yang berkualitas merupakan kunci dalam keberhasilan pelaksanaan misi pemerintah. Kelangkaan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 179 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan data base bermutu dan mutakhir yang berkaitan dengan potensi SDA dan SDM dapat diatasi dengan pemanfatan teknologi RS yang dikombinasikan dengan GIS. Dengan kata lain penggunaan teknologi RS sangat diperlukan dalam bidang pemerintahan dan perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan dan manajemen penggunaan lahan diperlukan sejumlah besar informasi untuk mengambil keputusan yang dapat diinformasikan. Hanya cara-cara praktis yang disimpan, dimanipulasi dan mengaksesnya melalui penggunaan data base komputer yang dapat memenuhi kriteria tersebut. Oleh karena itu, pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem GIS dalam kaitannya dengan penyediaan informasi spasial merupakan jawaban yang tepat dalam berbagai proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Teknologi Remote Sensing Teknologi Remote Sensing (penginderaan jauh atau penginderaan jarak jauh) merupakan suatu “ilmu atau seni” untuk memperoleh informasi mengenai obyek, daerah atau gejala dengan cara menganalisis data yang diperoleh dengan memakai alat/ sensor tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau gejala yang dikaji (Lilessan dan Kiefer, 1979). Sarana remote sensing dapat berupa foto udara, citra radar, dan citra/data satelit. Tingkat ketelitian dan keberhasilan identifikasi dan deskripsi suatu obyek sangat tergantung dari tingkat keahlian interpreter di bidangnya. Seseorang yang berpengalaman di bidang inventarisasi dan evaluasi sumberdaya lahan akan sangat mudah dan cepat mengenal berbagai obyek sumberdaya dan gejalanya dengan teknologi remote sensing, sebelum melakukan pengamatan langsung di lapangan. Demikian pula tingkat ketelitian hasil interpretasi dan analisis suatu obyek sangat ditentukan oleh jenis citra, skala/resolusi dan waku perekaman data. Semakin besar skala/resolusi citra semakin detail obyek yang digambarkannya. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Jerman dan Jepang, bahkan India, Cina telah meluncurkan satelit sumberdaya alam untuk kebutuhan pembangunan, ilmu pengetahuan, bisnis dan pertahanan. Amerika Serikat (AS) dan negara lainnya telah memiliki rekaman data spasial dengan ukuran 180 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana < 1 m2. Negara kita Republik Indonesia yang tercinta ini telah dilintasi oleh berbagai satelit yang dilengkapi oleh kamera/sensor dan dikendalikan oleh negara asing. Dengan kata lain, seluruh wilayah RI telah ditelanjangi dan direkam datanya secara rinci pada waktu kapan saja secara berkala dan sistematis. NOA, LANDSAT, IKONOS, SPIRIT/Amerika Serikat melintas setiap hari, 3, 14, 16 hari pada daerah yang sama, SPOT/ Perancis (per 26 hari), ERS/ Eropa (per 35 hari) Kanada/Radarsat (per 24 hari), Jepang /JERS (per 44 hari), India/IRS (per 24 hari). Selain itu kamera satelit juga dilengkapi dengan sensor yang dapat merekam pancaran gelombang elektromagnetik (reflektan) pada panjang gelombang tertentu (band), seperti: panjang gelombang tampak mata, inframera-dekat, inframerah-jauh dan termal. Oleh karena itu dengan perangkat lunak tertentu (Erdas, Ermaper, Idrisi, dan lain-lain) data satelit dapat diolah untuk berbagai tujuan. Data satelit dicirikan oleh tiga resolusi, yaitu resolusi radiometrik, resolusi spektral, dan resolusi temporal. Resolusi spasial menunjukkan daerah terkecil di atas bumi yang diindera oleh sensor. Resolusi spektral menunjukkan bagian-bagian spektrum elektromagnetik yang direkam oleh sistem sensor, dan terhadap jumlah dan luasnya band. Band yang lebih besar, memberikan resolusi spektral yang lebih baik. Resolusi radiometrik ditentukan oleh jumlah nilai reflektan yang dapat dibedakan oleh suatu sensor. Resolusi radiometrik yang lebih tinggi akan membuat sistem sensor dapat mendeteksi nuansa yang lebih tajam terhadap sinyal yang masuk. Ini membuat sistem mampu merekam perbedaan yang kecil. Resolusi temporal menyatakan kapan dan seberapa sering citra dari target area dapat diliput. Ini sangat penting dalam berbagai kegiatan, seperti penelitian dan atau aplikasi teknologi lainnya yang membutuhkan lebih dari satu jenis resolusi tersebut. Dalam kaitannya dengan remote sensing, terdapat interaksi antara obyek yang diindera dengan sensornya. Setiap sensor mempunyai sifat yang berbeda-beda terhadap tenaga yang dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek pada ukuran tingkat kedetilan tertentu (pixel). Setiap pixel terekam dengan nilai numerik yang unik sesuai dengan banyaknya band yang dipasang dalam sensor satelit. SPOT mempunyai 3 band, Landsat BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 181 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan MSS ada 3 dan 4 band serta Landsat TM 7 band, demikian pula IKONOS mempunyai 4 band. Masing-masing jenis citra satelit tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan sesuai dengan tujuannya. IKONOS dan SPOT beresolusi tinggi sangat baik untuk wilayah perkotaan, sedangkan Landsat TM yang beresolusi rendah dan band lebih banyak dari citra lainnya sangat sesuai untuk wilayah perdesaan dan pemetaan lahan yang luas, serta analisis dampak lingkungan. Dari citra IKONOS tersebut setiap bangunan dapat dipetakan, demikian pula penggunaan lahan lainnya yang berukuran lebih besar dari unit terkecil yang dapat dipetakan. Energi Gelombang Elektromagnetik yang dapat dipantulkan oleh suatu benda di permukaan bumi dinamakan reflektan. Nilai reflektan yang dapat direkam oleh masing-masing band berkisar antara 0-255. Air yang jernih dan dalam mempunyai nilai reflektan yang sangat rendah, sedangkan tanah kering atau benda-benda yang berwarna putih, kering dan mengkilap akan memancarkan reflektan yang tinggi, seperti: atap seng, genteng mengkilap, beton dan tanah tandus. Hal ini didasarkan atas seluruh benda yang berada pada kondisi temperatur di atas nol derajat Kelvin (0o K ) setara dengan – 273 oC akan menghasilkan energi elektromagnetik pada panjang gelombang tertentu. Dengan kata lain, teknologi remote sensing sangat terkait dengan ilmu fisika, matematika dan ilmu alam lainnya yang terkait dengan tutupan lahan dan gejalanya. Stasiun bumi di Pekayon Jakarta dan di Pare-Pare Sulawesi Selatan dapat merekam data Landsat dan NOA, dikelola oleh Lembaga Antariksa Penerbangan Negara (Lapan). Pengguna remote sensing dengan intensitas yang tinggi adalah Lapan, Bakosurtanal, BPPT, Kehutanan, Kelautan, Geologi, Pertambangan dan energi, BPN, Bapedal, Lingkungan Hidup serta Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pemanfaatan teknologi ini di bidang pertanian masih terbatas pada survei dan pemetaan tanah, walaupun dapat untuk mengukur luas panen dan tingkat produksi beras nasional pada waktu tertentu. Luas, penyebaran dan jenis tanaman perkebunan dapat dipetakan dengan teknologi ini, demikian pula untuk studi kelayakan pembukaan lahan perkebunan, tranmigrasi dan lainlain. 182 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana Setiap benda dan kelompoknya di permukaan bumi serta isi di dalamnya akan memancarkan energi gelombang elektromagnetik yang berbeda dengan benda lainnya dengan pola reflektan tertentu pada berbagai panjang gelombang. Pada umumnya reflektan vegetasi ditentukan oleh kandungan klorofil pada daun, selain struktur dan bentuk daun. Jenis batuan ditentukan oleh kandungan mineraloginya. Demikian pula air ditentukan oleh kandungan bahan terlarut, seperti kandungan lumpur, tingkat kekeruhan zat kimia dan kedalaman air. Sifatsifat reflektan dengan ciri khas ini sangat memudahkan dalam pengenalan obyek sebelum pengecekan lapang. Komponen sumberdaya lahan utama terdiri dari tanah, air dan vegetasi. Masing-masing komponen tersebut menunjukkan pola reflektan energi elektromagnetik yang berbeda. Air yang bersifat menyerap dan melewatkan akan memancarkan gelombang elektromagnetik yang lebih rendah dari tanah kering dan vegetasi pada panjang gelombang tampak mata dan inframerah. Vegetasi yang mengandung klorofil memancarkan energi gelombang elektromagnetik yang tinggi pada panjang gelombang tampak mata dan inframerah-dekat. Sedangkan tanah memiliki reflektan yang semakin tinggi dengan semakin tingginya panjang gelombang. Dengan kombinasi dari ketiga unsur (band merah, hijau dan biru) ini, maka gejala alam dapat dideteksi melalui pola-pola unik kurve tersebut. Setiap kombinasi band yang dipasangkan, maka akan menghasilkan kenampakan citra yang berbeda dan dapat menunjukkan sensitivitas tergadap fenomena alam tertentu. Sifat inilah yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan, seperti bidang kemiliteran, pemerintahan, ilmu alam, ilmu lingkungan, bahkan ilmu sosialpun telah memanfaatkan teknologi ini (permukiman kumuh, penentuan pajak bumi dan bangunan, saksi ahli dalam kasus di pengadilan dan lain-lain). Dalam tulisan ini difokuskan pada peranan remote sensing yang berkaitan dengan sumberdaya lahan (tanah, air dan vegetasi) sedangkan peranan lainnya hanya sedikit diulas. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 183 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan Teknologi Remote Sensing untuk Identfikasi dan Pemetaan Sumberdaya Lahan Sumberdaya lahan utama, meliputi vegetasi, tanah dan air. Unsur/obyek lainnya yang tak kurang pentingnya dalam kaitannya dengan SDL adalah penggunaan/penutup lahan dan vegetasi, landform, relief dan satuan lahan homogen. Ciri reflektan dari vegetasi, tanah dan air serta rangkuman hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis diuraikan sebagai berikut: Vegetasi. Ciri reflektan vegetasi sangat tergantung pada sifat dan kondisi daun, meliputi orientasi dan struktur daun tajuk. Bagian radiasi yang dipantulkan dalam berbagai bagian spektrum tergantung dari pigmentasi daun, ketebalan daun dan komposisinya (struktur sel), dan tergantung pula pada banyaknya air bebas dalam jaringan daun. Dalam bagian spektrum tampakmata, reflektan sinar biru dan merah adalah relatif rendah karena pigmen dalam daun tanaman menyerap radiasi dalam panjang gelombang ini. Tanaman mengunakan radiasi sebagai sumber energi fotosintesis. Vegetasi mempunyai reflektan secara komparatif tinggi dalam bagian yang hijau dari spektrum, ini merupakan alasan kenapa kita melihat tanaman sebagai obyek hijau. Reflektan yang mendekati inframerah dari spektrum adalah yang tertinggi. Hal ini disebabkan oleh struktur sel internal dari daun. Reflektan vegetasi pada sinar inframerah-sedang menurun lagi yang disebabkan oleh penyerapan oleh air dalam jaringan daun. Air bebas yang lebih banyak ditahan dalam daun, reflektan yang lebih rendah akan ada dalam tiga “band serapan” dari kurve vegetasi. Bila daun tanaman berubah warna, atau bila vegetasi mati atau pada saat akan panen. Dalam kondisi tersebut, proses fotosintesis tidak aktif lebih lama, maka reflektan dalam bagian merah tampak-mata dari spektrum elektromagnetik daun akan meningkat dalam inframerah-sedang. Sifat-sifat tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi tanaman yang normal dan tanaman yang sakit. Gejala alam tersebut sangat cepat direkam oleh negaranegara yang mempunyai satelit. Dengan kata lain, apa yang dinamakan food security, bukan lagi keamanan atau ketahanan pangan karena telah diketahui terlebih dahulu dengan pasti 184 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana oleh negara lain yang mempunyai teknologi ini. Demikian pula polemik permasalahan hutan, lingkungan dll. Walaupun demikian beberapa hal untuk identifikasi vegetasi yang bersifat campuran lebih mudah diamati melalui foto udara, bila dibandingkan dengan citra satelit, karena unsur bentuk, ukuran, pola, bayangan dan tekstur tajuk vegetasi tidak dapat diamati pada citra satelit. Citra satelit hanya merekam data reflektan dari gabungan obyek yang mempunyai ukuran ≥ resolusi. Sistem pola tanam dan luas garapan dan pemilikan lahan sempit dari pertanian dan perkebunan rakyat merupakan kendala tersendiri dalam identifikasi penggunaan lahan dari citra satelit. Dalam kaitan dengan indeks vegetasi, maka penggunaan remote sensing untuk pendugaan produksi padi telah lama digunakan di Indonesia. Penelitian di Cikampek, Jawa Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa pendugaan produksi padi dapat dilakukan melalui analisis digital citra Landsat dengan menggunakan kombinasi band dan pemfilteran tertentu (Rambe, 1985). Penelitian serupa banyak dilakukan oleh Bakosurtanal, Lapan dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak) melalui analisis digital citra Landsat dan SPOT. Sifat vegetasi sangat kuat memantulkan energi dalam kisaran panjang gelombang inframerah-dekat, sedangkan badan air menyerap hampir semua radiasi. Oleh karena itu, band ini baik untuk membedakan antara sejumlah sifat permukaan bumi. Karena mata manusia dapat membedakan sejumlah besar bayangan merah. Untuk itu band inframerah-dekat ditampilkan sebagai merah. Band-band yang lain yang digunakan adalah merah dan band hijau. Warna komposit seperti ini tidak menunjukkan sifat permukaan warna aslinya. Vegetasi akan ditampilkan dalam bayangan merah. Oleh karena itu, jenis dari warna komposit ini disebut warna komposit palsu. Untuk citra Landsat TM, menggunakan kombinasi band 4, band 3 dan band 2 ditampilkan berturut-turut dalam merah, hijau dan biru. Sedangkan pada citra SPOT menggunakan band 3, 2 dan 1. Dalam warna asli setiap benda yang berwarna hijau akan terekam hijau, sedangkan dalam inframerah warna palsu, hanya daun berkhlorofil hidup dapat digambarkan dengan warna merah. Benda lain yang dicat hijau atau daun yang mati tidak akan berwarna merah. Berdasarkan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 185 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan hal tersebut citra inframerah warna palsu banyak digunakan untuk kebutuhan militer, kehutanan, pertanian, perkebunan dan kelautan. Tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi reflektan tanah adalah: warna tanah, distribusi besar butir (tekstur tanah), kekasaran permukaan tanah, kandungan bahan organik, kelembaban tanah, adanya kandungan karbonat, besi oksida, adanya kerak permukaan, salinitas tanah dan sebagainya. Faktor-faktor ini bersifat kompleks, beragam, dan dalam beberapa hal saling terkait. Kurve reflektan tanah menunjukkan kekurangberagaman puncak dan lembah dari kurve vegetasi karena faktor-faktor yang mempengaruhi reflektan tanah berada pada band spektral yang kurang spesifik. Berbeda dengan pola reflektan vegetasi pada panjang gelombang tertentu membentuk kurve dengan ciri khusus. Kurve tersebut nenunjukkan bahwa reflektan lebih rendah dalam band serapan air pada panjang gelombang 1,4 μm, 1,9 μm dan 2,7 μm. Kandungan air tanah sangat terkait dengan tekstur tanah. Tanah kasar, berpasir biasanya berdrainase baik, mengakibatkan kandungan air rendah, dan reflektan relatif tinggi. Berbeda dengan tanah berdrainase buruk yang didominasi oleh tekstur halus, umumnya akan mempunyai reflektan yang lebih rendah dari tanah berdrainase baik. Dalam keadaan tidak ada air atau tanah kering akan menunjukkan kecenderungan yang berlawanan. Tanah-tanah bertekstur kasar akan nampak lebih gelap daripada tanah-tanah bertekstur halus. Dua faktor lain yang mengurangi reflektan tanah adalah kekasaran permukaan dan kandungan bahan organik. Adanya besi oksida dalam tanah juga akan mengurangi reflektan secara nyata, sekurang-kurangnya pada panjang gelombang tampak-mata. Peranan remote sensing dalam bidang Ilmu Tanah, khususnya untuk tujuan survei dan pemetaan tanah lebih menitikberatkan pada faktor-faktor pembentuk tanah yang berkaitan dengan proses geomorfologi. Tiga faktor (geologi/jenis batuan, topografi, dan organisme/vegetasi) dari 5 faktor (+ iklim dan waktu) dapat diidentifikasi dari foto udara dan citra satelit. Struktur batuan, relief, lereng, penggunaan lahan dan vegetasi, pola drainase dan proses dapat dikenal dari sarana penginderaan jauh, terutama 186 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana citra yang dapat dilihat dengan tiga dimensi. Kombinasi tersebut merupakan unsur pembentuk landform dan land unit. Oleh karena itu, untuk tujuan survei dan pemetaan tanah lebih banyak menggunakan foto udara dan citra radar dibandingkan dengan citra satelit. Air. Sesuai dengan karakter reflektan spektral air, sifat yang paling nyata adalah serapan energi pada panjang gelombang inframerah-dekat. Absorbsi energi dalam panjang gelombang ini, seperti halnya yang sudah ditunjukkan dalam kurve reflektan untuk vegetasi dan tanah. Secara umum air bersih menyerap sedikit energi pada panjang gelombang kurang dari 0,6 μm. Akan tetapi, dengan berubahnya turbiditas air, reflektan berubah secara dramatis. Air yang mengandung bahan endapan lumpur yang tinggi sebagai akibat dari erosi tanah akan mempunyai nilai reflektan tampak-mata lebih tinggi bila dibandingkan dengan air bersih. Demikian pula, reflektan air berubah dengan adanya konsentrasi khlorofil. Bertambahnya konsentrasi khlorofil cenderung menurunkan reflektan pada panjang gelombang biru dan meningkat pada panjang gelombang hijau. Secara umum dikatakan, semua radiasi pada panjang gelombang yang lebih besar dari 0,9 μm akan diserap oleh badan air. Sifat inilah sering digunakan untuk monitoring pencemaran air, baik air sungai akibat hasil erosi tanah, maupun akibat buangan limbah pabrik, serta untuk mengetahui kandungan plankton dalam air. Ini sangat berguna untuk kebutuhan perikanan laut. Pencemaran air sungai dan laut sangat mudah diidentifikasi melalui foto udara dan atau citra satelit inframerah warna palsu dan kombinasi band warna asli. Air jernih berwarna biru sampai hitam, sedangkan air tercermar berwarna terang (biru muda sampai putih). Gradasi warna biru tua sampai hitam, biru muda ke biru terang sampai putih pada badan air berturut-turut semakin tinggi tingkat pencemarannya dan makin dangkal kedalaman airnya. Perbedaan gradasi warna biru tersebut terjadi pada daerah persawahan yang menunjukkan tingkat fase pertumbuhan padi sebelum tertutupi penuh oleh vegetasi (Lanya, 1981 dan 1984). Berbagai bidang, seperti: geologi, pertambangan dan energi, hidrologi, kehutanan, tanah, iklim. dan bidang yang berkaitan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 187 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan dengan potensi sumberdaya alam telah memanfatkan teknologi ini. Kegiatan survei, inventarisasi dan pemetaan sumberdaya alam di Indonesia sejak tahun 1960-an. Sedangkan penggunaan teknologi ini dalam bidang pertanian, ditetapkan sebagai persyaratan utama dalam kegiatan survei dan pemetaan tanah pada tahun 1983. Dalam perkembangannya diterapkan untuk pendugaan produksi tanaman, tingkat degradasi lahan, tingkat serangan hama dan penyakit tanaman, pemantauan dampak lingkungan dan bidang pembangunan pemerintahan yang terkait dengan kebutuhan data spasial seperti: kelas penggunaan lahan daerah perkotaan, peta kadaster, pajak bumi dan bangunan dll. Walaupun teknologi ini tergolong canggih, namun ada halhal yang tidak dapat direkam oleh satelit seperti ciri masing-masing jenis vegetasi: struktur percabangan, bentuk tajuk dan ketinggian pohon, pola tanam hanya dapat diamati pada foto udara, karena seluruh gambaran fiktorial terekam pada foto udara, sedangkan data satelit hanya berupa nilai/angka reflektan. Sarana Remote Sensing: Foto Udara, Landat, Spot, Ers, Radarsat, dan Ikonos Foto udara merupakan sarana remote sensing yang tertua (tahun 1950-an) digunakan di Indonesia. Pertama-tama berperan dalam bidang kemiliteran, baik untuk pembuatan peta, maupun untuk tujuan pertahanan dan keamanan. Foto ini mampu menampakkan tiga dimensi dan ketinggian tempat di suatu wilayah. Oleh karena itu foto udara merupakan bahan baku dalam pembuatan peta topografi, ortofoto dan peta tematik skala besar. Sedangkan data satelit lebih banyak digunakan untuk pembuatan peta tematik, baik skala peta detail, maupun peta tinjau. Foto udara merupakan gambaran fiktorial, sedangkan data satelit adalah nilai nominal reflektan gelombang elektromagnetik yang dapat direkam oleh sensor satelit pada daerah yang luas dengan ukuran ketelitian tertentu (resolusi). Resolusi tertinggi untuk data satelit sumberdaya alam yang dipasarkan di Indonesia, berukuran 1 m2 dengan rekaman data per satuan waktu tertentu. Melalui teknologi informasi, data satelit dapat diakses dengan cepat dan mudah oleh berbagai pihak yang membutuhkannya sesuai dengan prosedur yang berlaku. 188 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana Landsat merupakan satelit sumberdaya alam yang pertama diluncurkan oleh NASA Amerika Serikat pada tahun 1972 (Landsat 1), selanjutnya tahun 1975 (Landsat 2) dan 1978 (Landsat 3). Satelit ini membawa dua set sensor: Return-Beam Vidicon (RBV) dan multi-spectral scanner (MSS). RBV mempunyai 3 band (panjang gekombang 0,475 – 0,575 μm/biru, 0,58 –0,68 μm/hijau dan 0,690,83μm/merah); sedangkan MSS mempunyai 4 band spectral. Meliputi panjang gelombang 0,5 – 0,6μm, 0,6 –0,7μm, 0,7-0,8 μm dan 0,8-1,1μm/inframerah. Landsat 4 dan 5 diluncurkan berturutturut pada tahun 1982 dan 1984, membawa sistem multi-spectral versi yang telah diperbaharui, dikenal sebagai Pemetaan Tematik (Thematic Mapper atau TM) dengan 7 band dan cakupan wilayah 185 km x 185 km. Sistem TM Scanner ini memperoleh data dalam tujuh band dari spektrum elektromagnetik, resolusi 30 m dalam semua band kecuali band inframerah-thermal, yang mempunyai resolusi 120 m. Dari ke tujuh band tersebut dapat dianalisis dengan 30 kombinasi band. Banyaknya kombinasi band yang dapat dibuat tersebut merupakan keunggulan Landsat TM untuk berbagai kepentingan. Seperti telah di uraikan di atas, bahwa Landsat TM telah banyak digunakan, baik untuk keperluan penelitian pemula (mahasiswa), peneliti senior (dosen dan para peneliti) maupun untuk aplikasi teknologi, seperti dalam LREPP II dan MREPP untuk 18 propinsi di Indonesia. Program LREPP II BPN, penulis sebagai salah satu Counterpart Land Use specialist yang bertugas untuk membuat buku panduan metodologi aplikasi teknologi remote sensin dan GIS, mengajar dan membimbing untuk kegiatan survei dan pemetaan penggunaan tanah secara otomatisasi. Sebanyak 800 orang staf BPN di 18 Propinsi telah ditraining dengan materi: interpretasi foto udara, survei penggunaan tanah/lahan, data base penggunaan lahan, digitasi peta, GIS, remote sensing dan monitoring penggunaan lahan. SPOT merupakan satu seri satelit Perancis yang diluncurkan tahun 1989 dan 1990. Sistem yang dioperasikan multi-spectral dan pankhromatik. Terdiri dari 3 band multi-spectral pada resolusi 20 meter dan pankhromatik dengan resolusi 10 meter. Dalam multispectral terdapat tiga band spectral: hijau (0.50 – 0.59 μm), merah (0.61 – 0.68 μm) and inframerah-dekat (0.79 – 0.89 μm). Dalam BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 189 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan band pankromatik observasi dilakukan pada spektrum tampakmata (antara 0.51 and 0.73 μm). Citra SPOT stereo sangat tepat untuk menyusun model elevasi digital atau digital elevation models (DEM). SPOT sangat berguna, terutama untuk identifikasi sifatsifat yang kecil dan beragam, seperti: pemetaan daerah perkotaan, atau daerah pertanian yang intensitasnya tinggi. Data SPOT mempunyai cakupan 60 x 60 km dalam posisi vertikal dan 81 x 81 km dalam posisi miring. Selain kedua resolusi tersebut, juga ada yang beresolusi 2,5 x 5 m yang telah diluncurkan pada tahun 2000. Untuk Bali memerlukan 2 scene SPOT dan 2 scene Landsat; cakupan barat dengan Jawa Timur dan cakupan timur dengan Pulau Lombok. Citra ini banyak digunakan untuk pemetaan kawasan dan tegakan hutan. Sedangkan untuk kebutuhan lainnya masih terbatas. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya stasiun bumi di Indonesia untuk SPOT, selain itu hanya ada 3 band, sementara Landsat TM terdapat 7 band dan cakupannya lebih luas dari SPOT. IKONOS/EOSAT merupakan satelit generasi terbaru yang beresolusi tinggi 1 m x 1m dan 4 x 4 meter. Diluncurkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1997 dan 1998 waktu iyaman (scene) 14 hari dengan ulangan 1-3 hari sekali dengan luasan minimal 100 km2. Citra ini mendekati foto udara skala 1: 2500. Oleh karena itu, sangat cocok untuk wilayah perkotaan. Sebagai informasi bahwa satu-satunya kota di Indonesia yang telah menggunakan citra IKONOS adalah Pemerintah Kota Denpasar. Dengan kata lain, seluruh obyek dengan ukuran ≥ 1 m2 di wilayah Kota Denpasar telah terekam dengan posisi spasial yang tepat pada bulan Maret 2002. Pertama hanya ditujukan untuk sistem perencanaan dan pengendalian pembangunan. Dalam perkembangannya, telah digunakan untuk berbagai penelitian yang menyangkut data base sumberdaya lahan dan tidak menutup kemungkinan untuk tujuan lainnya seperti monitoring pemanfaatan lahan dalam zonasi tata ruang, industri, lingkungan dan aspek lainnya yang berkaitan dengan data spasial dan data base dari masing-masing instansi. Citra/data satelit banyak digunakan untuk perpetaan hutan, dan analisis wilayah yang lebih luas, daerah aliran sungai (DAS) dan fenomena lainnya, seperti 190 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana pencemaran lingkungan, banjir, kebakaran dan kerusakan hutan, serangan hama penyakit tanaman, serta monitoring penggunaan lahan dan dampak lainnya. Satelit lainnya adalah ERS (ESA), RADARSAT (Kanada), IRS1C, IRS-1D (India) mempunyai tiga sensor yang mengumpulkan data dalam beragam resolusi spasial, band spectral, dan petakan. LISS mengumpulkan data dalam band tampak-mata (hijau dan merah), inframerah-dekat, dan band inframerah gelombang pendek. Resolusi 188 meter, menggunakan lebar petakan 810 kilometer, digunakan untuk pendugaan luas tanam dan hasil pertanian, pemantauan kekeringan, perencanaa pengembangan kota, dan kandungan mineral. Satelit observasi bumi yang dioperasikan di wilayah Afrika, JERS (Jepang), RESURS-01 (Rusia), MOMS-02 (Jerman), dan Orbview-2 (Orbimage) dengan sensor WiFS laut. Jika kita tertarik mengetahui lebih banyak tentang sistem ini, kita dapat mengakses Web sites organisasi koresponden, yang disajikan pada Tabel 1. Beberapa hasil penelitian yang terkait dengan penggunaan teknologi remote sensing untuk kegiatan survei dan pemetaan sumberdaya lahan yang selama ini penulis tekuni adalah sebagai berikut. Tahun 1978 (Skripsi S1), pemanfaatan foto udara untuk pemetaan tematik unsur kimia tanah di Daerah Pasang Surut, Jambi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa proses geomorfologi pembentukan tanah gambut sangat mudah diidentifiksi dari foto udara. Pembatasan satuan lahan, pemetaan penggunaan lahan dan perencanaan pengambilan lokasi pengamatan tanah dianalisis melalui interpretasi foto udara. Kandungan unsur kimia tanah seperti Ca dan Mg menunjukkan bahwa semakin menurun dengan semakin jauhnya jarak dari laut dan sungai, dengan pola teratur, sedangkan Na, K dan P berpola acak, sehingga tidak dapat dipetakan. Berbeda dengan unsur Ca dan Mg dapat dipetakan dengan batas-batas satuan pet yang jelas, mengikuti unit lahannya. Semakin jauh dari pantai, semakin kecil kandungan unsur tersebut. Hal ini disebabkan oleh sumber Ca, Mg, Na berasal dari laut. Pola penyebaran vegetasi daerah pasang surut sangat mudah diidentifikasi dan dipetakan. Demikian pula suksesi vegetasi dari tepi laut ke arah pedalaman, berturut-turut BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 191 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan mangrove (air asin), nipah (air asin dan payau), nibung dan gelam (ciri khas vegetasi rawa pasang surut gambut dangkal) dan hutan primer (gambut dalam). Selain itu perbedaan antara tanah mineral dan tanah gambut beserta kedalamannya dapat diidentifikasi dari foto udara. Delimitasi dan delineasi satuan peta dapat dipetakan dengan garis/poligon secara teliti dan tepat serta cepat. Tabel 1. Web sites Beberapa Operator Satelit Observasi Bumi. Organisasi/Perusahan Program Sistem Produk Web site NASA, NOAA, and USGS LANDSAT geo.arc.nasa.gov/esdstaff/ landsat/landsat.html SPOT IMAGE European Space Agency (ESA) Canadian Space Agency and RADARSAT National Remote Sensing Agency, India SPOT 1 through 5 ERS RADARSAT www.spotimage.fr www.esrin.esa.it radarsat.space.gc.ca IRS-1C/1D www.stph.net:80/nrsa National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) NOAA www.noaa.gov National Space Development Agency of Japan (NASDA) JERS www.nasda.go.ja SOVZOND; Swedish Space Corporation RESURS-01 www.ssc.se German Aerospace Centre Orbital Imaging Corporation EarthWatch MOMS-02 Orb-View-1/2/3 EarlyBird, QuickBird, Digital Globe IKONOS-1, Carterra EROS-A/B www.nz.dlr.de/moms2p www.orbimage.com www.digitalglobe.com Space Imaging EOSAT Core Software Technology www.spaceimage.com www.coresw.com Tahun 1980-1981: Penelitian penggunaan foto udara inframerah warna palsu untuk survei dan pemetaan tanah daerah Rawa Lebak Ogan, Komering Kramasan Hulu, Sumatera Selatan. Hasil: foto udara inframerah marna palsu memberikan tingkat ketelitian data yang tinggi untuk mengukur tingkat kedalaman rawa, lokasi contoh pengamatan dan ekstrapolasinya dapat diidentifikasi dengan tepat baik di lapangan, maupun untuk tujuan pemetaan hasil akhir survei tanah. Jenis vegetasi dan penggunaan lahan dapat diidentifikasi dengan cepat dan teliti demikian pula 192 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana penyebarannya. Untuk itu sangat efisien dalam hal waktu dan biaya serta mempunyai tingkat ketelitian hasil yang tinggi bila dibandingkan dengan survei dan pemetaan secara konvensional. Penggunaan foto udara pankromatik skala 1: 25.000 - 1: 50.000 untuk berbagai kegiatan survei dan pemetaan tanah pada tingkat semi detail telah dilakukan oleh penulis sejak tahun 1979 di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, NTB, NTT dan Timor Timur. Peranan foto udara dalam kegiatan ini sangat penting untuk identifikasi jenis, batas satuan penggunaan lahan, kelas lereng, bentuk lahan (relief) dan satuan lahan homogen sebagai batas satuan peta tanah serta rencana sistem dan distribusi pengamatan lapang. Hal ini disebabkan oleh sifat foto udara yang dapat dilihat secara tiga dimensi, sehingga memudahkan dalam pengamatan obyek dan gejalanya. Selain itu bentuk tajuk, pola dan penyebaran dan asosiasinya sangat memudahkan untuk identifikasi dan pemetaan kelas penggunaan lahan dan jenis vegetasinya. Survei lapang merupakan pengecekan, biasanya hanya dilakukan < 30 % dari seluruh wilayah. Batas-batas satuan peta tanah, penggunaan lahan, lereng, relief, fisiografi, satuan pengelolaan lahan, kemampuan dan kesesuaian lahan ditarik dari pola yang nampak pada foto udara. Pola drainase dapat membantu dalam menentukan jenis batuan induk sebagai salah satu faktor pembentuk tanah. Tanpa bantuan foto udara, maka penarikan batas satuan peta tanah homogen tidak dapat dilakukan secara cepat dan teliti. Selanjutnya dikemukakan bahwa pemanfaatan foto udara untuk tujuan survei dan pemetaan tanah lebih efisien waktu dan biaya bila dibandingkan dengan survei konvensional. Peranan foto udara semakin tinggi dengan semakin kecilnya skala peta yang dihasilkan. Dalam interpretasi foto udara untuk survei tanah dan evaluasi lahan dilakukan dengan menggunakan tiga model, yaitu elemen analisis, pola analisis dan fisiografi analisis, berturut-turut memerlukan keahlian pemula, menengah dan lanjut. Tahun 1982-83, Penelitian identifikasi dan pemetaan potensi komoditas perkebunan rakyat dengan menggunakan sarana foto udara inframerah warna palsu dan pankromatik di Bali dan Bengkulu (kerjasama IPB dengan Bakosurtanal). Hasilnya menunjukkan bahwa masing-masing jenis komoditas BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 193 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan perkebunan rakyat dapat diidentifikasi dan dideskripsi dengan mudah, cepat dan tepat. Unsur warna, bentuk tajuk dan pola serta asosiasi banyak digunakan sebagi kunci interpretasi. Foto udara inframerah warna palsu juga sangat mudah untuk membedakan kedalaman air tawar, kandungan sedimen di dalam air rawa dan air sungai. Namun sebaliknya, untuk identifikasi vegetasi berdaun jarum dan palem-paleman lebih mudah menggunakan foto udara pankromatik. Kemudahan ini disebabkan oleh obyek yang mengandung klorofil akan berwarna merah pada film infra merah warna palsu. Sedangkan benda lain, waupun warnanya hijau, namun tidak berklhorofil, maka tidak akan berwarna merah pada film tersebut. Tahun 1985 penelitian identifikasi dan pemetaan bambu dari foto udara pankromatik di wilayah Pabrik Kertas Goa. Kunci interpretasi untuk tanaman bambu dari bentuk dan struktur vegetasi dalam tiga dimensi seperti sapu bulu, warnah lebih cerah dari vegetasi berdaun lebar. Tahun yang sama juga penelitian identifikasi dan pemetaan potensi sagu melalui interpretasi foto udara pankromatik di Irian (kerjasama dengan BPPT). Hasilnya menunjukkan bahwa bentuk dan struktur tajuk, lokasi dan asosiasi tanaman sagu berbeda dengan tanaman nipah dan jenis palem-paleman lainnya, seperti nibung, enau, kelapa dan lontar dan berbeda nyata dengan vegetasi hutan. Tahun 1986 penelitian tingkat kepercayaan pemanfaatan foto udara dan citra landsat dalam pembuatan peta tanaman perkebunan di Bali (Tesis S2). Hasilnya menunjukkan bahwa identifikasi dan perpetaan komoditas perkebunan di Bali lebih mudah dan teliti bila dibandingkan dengan hasil analisis digital citra satelit. Hal ini disebabkan oleh pola tanam yang berstrata dan campuran. Sistem ini berimplikasi terhadap nilai reflektan yang tidak homogen dari masing-masing komoditas tersebut. Bentuk tajuk, struktur percabangan pohon, serta lokasi merupakan kunci interpretasi untuk berbagai jenis tanaman. Vegetasi cengkeh jenis Zanzibar dengan jenis Cikotok dibedakan melalui bentuk dalam tiga dimensi. Lontar/siwalan, kelapa, sagu, enau, nipah dan embung serta jenis palem lainnya memiliki bentuk tajuk sama seperti bintang, namun dari segi lokasi dan asosiasi dapat dibedakan. Sagu selalu berada di rawa 194 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana air tawar, nibung di tanah gambut, nipah di air asin dan air payau, enau, kopi, teh, cengkeh di daerah dengan ketinggian tempat > 300 m dml sedangkan lontar selalu di daearah tepi pantai dan daerah panas. Demikian pula mangrove selalu di daerah endapan lumpur di tepi pantai. Melalui penelitian ini dihasilkan kunci interpretasi untuk masing-masing jenis vegetasi dan penggunaan lahannya pada skala 1 : 25.000 dan 1 : 50.000. Kunci identifikasi untuk pola perkebunan besar adalah bentuk dan ukuran seragam dengan pola teratur dan hamparan yang luas. Ciri tersebut sangat berbeda dengan perkebunan rakyat, dimana tanamannya campuran dan komplek, maka bentuk dan ukuranpun tidak seragam. Persawahan yang dicirikan oleh bentuk lempeng berpetak-petak dengan ukuran yang lebih kecil dari tambak dan ladang garam. Demikian pula antara ladang garam dan tambak dibedakan dari warnanya. Pola penggunaan lahan dan vegetasi selalu terkait dengan kegiatan survei dan pemetaan tanah. Oleh karena itu untuk kegiatan tersebut pada umumnya menggunakan foto udara atau citra satelit, tergantung dari skala peta yang akan dihasilkan. Semakin kecil skala peta semakin tinggi peranannya. Tahun 1988, penelitian pemetaan tanah dengan menggunakan citra radar di seluruh kepulauan Sumatera: Lingga, Singkep, Batan, Bintan, Siberut, Mentawai yang bekerjasama dengan Puslitanak, Bogor. Hasilnya menunjukkan bahwa satuan lahan (land unit) sangat mudah diidentifikasi melalui citra radar, demikian pula untuk penentuan lokasi pengamatan yang tepat, delimitasi dan delineasi batas-batas satuan peta tanah pada skala tinjau mendalam masih diperlukan koreksi geometris. Foto udara, citra Landsat dan SPOT banyak digunakan untuk inventarisasi dan memetakan kawasan hutan di seluruh Indonesia pada tahun 1980-an. Dalam hal ini penulis telah memetakan seluruh tegakan hutan dan kawasan hutan di Propinsi Bali, NTB, NTT dan TimTim dengan foto udara, citra Landsat dan SPOT. Kegiatan ini merupakan kerjasama Fakultas Pertanian dengan Badan Inventarisasi dan Perpetaan Hutan (BIPHUT) wilayah VIII tahun 1990. Dengan kata lain, dengan mempelajari ekologi tanaman dan sistem pertanian/perkebunan dan hutan di suatu daerah akan lebih mudah mengenal jenis tanaman dan pola BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 195 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan penggunaan lahannya dari remote sensing Tahun 1991-1993 penelitian untuk disertasi S3 di Kecamatan Siberida dan sekitarnya, Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau bekerjasama dengan NORINDRA (NorwegianIndonesian Rain Forest and Resource Management Project) dengan menggunakan foto udara, citra Landsat dan citra SPOT. Ketiga citra tersebut digunakan untuk monitoring dan pemetaan penggunaan lahan, tingkat degradasi lahan, delimitasi dan delineasi satuan lahan homogen, jumlah contoh dan pola penyebarannya. Hasilnya menunjukkan bahwa: citra SPOT sangat mudah untuk identifikasi penggunaan lahan di daerah rawa dan lahan kering. Demikian pula pemantauan perladangan dapat diidentifikasi dan dipetakan dengan mudah bila dibandingkan dengan citra Landsat MSS. Hasil pemantauan penggunaan lahan menunjukkan bahwa laju perladangan berpindah selama 18 tahun (1973-1991 seluas 234 ha/tahun. Seluruh hutan di kawasan Siberida dan Bukit Tiga Puluh telah dikonsesi (HPH) di beberapa tempat sudah dilakukan tebang cuci mangkok (tebang > 2 x) . Sistem perladangan berpindah di daerah ini hanya satu kali (setahun), sementara di daerah lainnya seperti di Jambi, perladangan dapat dilakukan sampai tiga kali (tiga tahun). Perbedaan ini setelah dikaji lebih mendalam diakibatkan oleh perbedaan kandungan dan kejenuhan Al-dd dan tipe mineral liatnya. Semakin tinggi Al-dd, waktu perladangan semakin singkat. Pengapuran pada tanah masam bermineral liat tipe 1:1 memberikan pengaruh yang nyata terhadap produsi jagung, sedangkan pada tanah masam bermineral liat tipe 2: 1 pengapuran tidak berpengaruh nyata. Dengan kata lain, perbedaan tipe mineral liat mempengaruhi perbedaan pengelolaan. Secara umum identifikasi jenis penggunaan lahan dan vegetasi baik di daerah perdesaan, maupun perkotaan melalui remote sensing dilakukan dengan cara visual dan digital. Cara visual dengan mengunakan 9 unsur interpretasi (bentuk, ukuran, bayangan, gradasi warna, pola, tekstur, lokasi dan asosiasi). Sementara cara digital hanya mengandalkan pada nilai reflektan dari masing-masing obyek atau gabungan beberapa obyek dengan menggunakan komputer dan perangkat lunak tertentu. Untuk itu dalam proses klasifikasi citra satelit dilakukan dengan dua cara, yaitu metode terbimbing (supervised) dan tidak terbimbing 196 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana (unsupervised). Foto udara masih tetap diperlukan untuk peta skala detail, walaupun citra satelit sudah banyak yang beresolusi tinggi. Terutama apabila luasannya kurang dari luas minimal 1/4 scene untuk Landsat dan SPOT, sedangkan untuk IKONOS 1 m2. Penggunaan foto udara merupakan salah satu komponen standar untuk kegiatan survei dan pemetaan tanah yang dananya dari Bank Dunia atau ADB atau sumber dana internasional lainnya (FAO). Dengan kata lain, untuk kegiatan survei dan pemetaan tanah pada daerah dan luasan yang representatif, telah diwajibkan menggunakan teknologi ini, guna meningkatkan kualitas peta. Teknologi ini telah digunakan di 18 propinsi kecuali DKI dan 8 propinsi di Sumatera pada skala semi detail dan pada tingkat seri tanah. Kegiatan tersebut dilakukan di daerah prioritas dalam Land Resources Evaluation Physical Project (LREPP) II pada tahun 1993-1998. Selain foto udara, juga telah digunakan citra Landsat TM tahun 1995-1996 sedangkan untuk LREPP I di Sumatera menggunakan citra radar. Hasilnya berupa peta digital yang dibangun dengan sistem GIS pada skala 1 : 25.000 untuk Jawa, Bali dan Lombok, sedangkan untuk daerah lainnya pada skala 1 : 50.000 dan skala 1 : 250 000 untuk Sumatera. Perangkat lunak (software) dalam pemetaan penggunaan tanah/lahan secara otomatisasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan GIS dan dengan perangkan lunak ILUD (Indonesian Land Use Databank) hanya memerlukan waktu 4 – 14 hari untuk satu lembar peta ukuran standar Bakosurtanal. Peta lainnya yang dihasilkan dari kegiatan LREPP II BPN yang didanai dari loan ADB adalah peta penggunaan lahan, peta kemampuan lahan, peta kesesuaian lahan, manajemen perencanaan penggunaan lahan, izin lokasi dan peta monitoring penggunaan lahan serta peta jenis tanah. Seluruh peta dibuat dari data spasial hasil analisis remote sensing dipadukan dengan data base dari lapangaan (DBMS), data sekunder dan peta-peta penunjang lainnya. Dalam kegiatan LREPP II yang dikordinasikan oleh BPN Pusat, Penulis sebagai salah satu Conterpart land use specialist selama 5 tahun (1994-1998) sedangkan untuk LREEP I, Penulis merupakan kordinator survei tanah di seluruh kepulauan Sumatera. Seluruh proses dilakukan secara otomatisasi dengan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 197 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan menggunakan software tertentu (ILUD) untuk BPN dan SSDP untuk Puslitanak. Software tersebut merupakan kombinasi dari software remote sensing (Erdas)dan GIS (Arc/Info) dan DBMS (dBase) yang telah dimodifikasi. Software tersebut dibangun untuk menyederhanakan menu-menu operasional yang ada dalam Arc/Info, sehingga memudahkan dalam pembuatan peta digital dan GIS, seperti untuk digitasi, edit, proses pembuatan peta dan link dengan DBMS (Data Base Management System) dan ploter. Software ILUD terdiri dari: LUDarc, ILUDentr, ILUDpoi, ILUDlab, ILUDrs, ILUDr2v, ILUDcon, ILUDproc, ILUDadm, ILUDexp, ILUDimp, ILUDutl, ILUDplt. Terbatasnya dana untuk pembelian data satelit, dan pencetakan peta secara otomatis sering merupakan kendala utama dalam keberlanjutan sistem yang telah dibangun dengan dana yang tinggi, walaupun hardware dan software ILUD telah tersedia di BPN 18 propinsi. Prospek masa depan penggunaan teknologi remote sensing. Baik foto udara, maupun data satelit cenderung meningkat pemanfaatannya untuk berbagai bidang. Penggunan teknologi remote sensing di Indonesia dinamakan Masyarakat Penginderaan Jauh (MAPIN) terdiri dari para ilmuwan, peneliti, akademisi, praktisi, maupun pemerintahan/lembaga teknis yang terkait. Kebutuhan teknologi ini yang semakin meningkat, maka organisasi dan perusahaan komersial telah menyediakan satelit generasi terbaru beresolusi tinggi ≤ 5 m (SPOT dan IKONOS). Data satelit dengan tingkat ketelitian spasial yang detail akan berimplikasi terhadap berbagai bidang, termasuk pemetaan, pertanian, manajemen sumberdaya alam, pemerintah lokal dan regional, serta untuk keperluan yang mendesak. Perbaikan data spasial, spectral dan kualitas radiometrik dari citra resolusi tinggi akan dapat meningkatkan pemanfataan konsumen secara komersial, baik Landsat maupun SPOT telah diperbaharui melalui penambahan band dan perbesaran resolusi ≤ 10 m agar dapat digunakan untuk tujuan khusus. Demikian pula Orbview-3 dengan resolusi satu dan dua meter untuk pankromatik dan 4 meter untuk multi-spectral yang digunakan untuk mengidentifikasi “penemuan lubang mineral” yang dapat digunakan sebagai petunjuk adanya sumberdaya mineral baru, seperti emas dan perak. Satelit EOSAT akan menyediakan citra 198 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana pankromatik dan multi-spectral pada resolusi spasial masingmasing satu dan empat meter, setara dengan foto udara skala 1:2.500 dengan resolusi radiometrik 11 bit per pixel. Hal ini dapat memperluas pemakaian citra di berbagai bidang. Citra satelit resolusi-tinggi akan menghasilkan resolusi spasial yang kini hanya tersedia dari foto udara. Satelit ini akan mempunyai kemampuan menyediakan perolehan citra stereo, dan akan mengurangi frekuensi putaran kembali dari satelit sampai tiga hari atau kurang. Perbaikan resolusi radiometrik dan resolusi spectral yang tinggi akan memungkinkan teknologi remote sensing lebih sempurna dalam melakukan observasi bumi/sumberdaya alam serta akan mengalami perubahan dramatis dalam beberapa tahun mendatang. Resolusi spasial yang disempurnakan dan ketepatan dari satelit resolusi-tinggi akan mampu digunakan untuk mengidentifikasi dan memetakan sifat yang lebih kecil, dan mengklasifikasikan tipe penutup lahan yang lebih teliti. Frekuensi perekaman ulang yang cepat akan mampu merencanakan sistem pertanian yang tepat, pengelolaan kerusakan lingkungan, kebutuhan darurat (banjir, longsor, gempa dll), manajemen irigasi, mendeteksi kebakaran, bahaya letusan gunung api dan tindakan penegakan peraturan hukum. Citra stereo akan menunjukkan visualisasi terrain, penilaian real estate, analisis daerah aliran sungai, perencanaan aksesibilitas dan teknik sipil. Penggunaan citra satelit resolusi tinggi lainnya adalah perencanaan kota dan perkotaan, manajemen fasilitas, verifikasi perjanjian, pemberdayaan hukum, keamanan, reportase berita, survei batas pemilikan tanah dan registrasi lahan, kependudukan, lalu lintas, pariwisata dan rekreasi, dan sektor lainnya yang berkaitan dngan fenomena ruang. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa Citra IKONOS berwarna asli tahun 2002 telah digunakan oleh Pemerintah Kota Denpasar untuk tujuan Sistem Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan (SP3). Ini menunjukkan bahwa remote sensing telah masuk ke dalam bidang pemerintahan. Pemetaan penutup tanah seperti bangunan dan fungsinya serta penggunaan lahan lainnya dipetakan secara digital pada skala 1 : 15.000 dan 1 : 5.000. Peta spasial tersebut telah dikombinasikan dengan data base BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 199 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan perencaanan melalui GIS. Hasil dari studi ini sangat memudahkan untuk berbagai tujuan, terutama perencanaan dan pengendalian pengawasan pembangunan yang berkesinambungan pada kurun waktu tertentu (Bappeda Kota Denpasar, 2001). Citra ini dapat digunakan untuk berbagai bidang lainnya seperti keperluan pembangunan yang dilakukan oleh dinasdinas/instansi teknis yang berkaitan dengan data base spasial. Keakuratan data tersebut, maka banyak dinas/unit terkait memerlukannya, seperti untuk data base sektor PU, Tata Kota dan Bangunan, Pajak, Lalu lintas, Industri dan Perdagangan. Demikian pula untuk penelitian mahasiswa dan dosen, serta untuk revisi tata ruang. Berbagai jenis citra yang dipasarkan saat ini, memacu kita untuk memilih jenis citra mana yang sesuai dengan tujuan kegiatan dan tingkat ketelitian yang dibutuhkan. Bila data satelit akan digunakan untuk pemetaan tanah, maka data harus diperoleh dalam sebagian tahun dimana sedikit ada tutupan vegetasi, dan pada saat tanaman telah dipanen. Kita mungkin ingin memilih citra pada saat daerah tidak terlalu kering, sehingga perbedaan drainase tanah masih tampak. Bila tujuan pekerjaan adalah lebih berorientasi ke pertanian atau bertujuan untuk pemetaan penutup lahan dan penggunaan tanah, citra harus dipilih dari suatu periode dimana ada tanaman di lapangan. Tergantung pada daerahnya, kita harus melihat waktu kapan dilakukan irigasi, atau kapan tanaman tertentu telah dipanen dan lainnya masih ada di lapangan. Untuk itu data iklim sangat berguna untuk mengecek awal dan akhir musim hujan. Jadwal tanam untuk suatu daerah akan menunjukkan kapan tanaman tertentu ditanam, kapan irigasi digunakan (jika ada), dan kapan panen dilakukan. Selain itu pemilihan resolusi spectral, spasial dan temporal dari sensor perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan yang tepat. Data Landsat TM mempunyai resolusi spectral yang lebih tinggi (termasuk satu band thermal), sedangkan SPOT dan IKONOS mempunyai resolusi spasial yang disempurnakan tetapi hanya mempunyai tiga band spectral. Untuk pemantauan kerusakan alam, kebakaran hutan dsb, diperlukan resolusi temporal yang tinggi, yang kini hanya dihasilkan oleh NOAA atau MeteoSat. Hal ini didasarkan pada tingkat kedetailan yang dapat direkam oleh satelit ditentukan oleh resolusi spasial dari sistem sensor. 200 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana Walaupun generasi terbaru satelit beresolusi tingi telah diluncurkan, tetapi masih ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dilakukan dengan citra satelit, terutama pada daerah yang selalu tertutup awan. Sesuatu hal masih terbaik dilakukan dengan foto udara, atau dilakukan di lapangan (survei dan pemetaan tingkat sangat detail). Teknologi remote sensing banyak digunakan oleh masyarakat luas, baik oleh para akademisi, praktisi, hukum maupun politisi dan kemiliteran. Di kalangan akademisi/peningkatan SDM, remote sensing telah digunakan dalam kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Dalam bidang pendidikan teknologi remote sensing merupakan mata kuliah inti dan institusional di Fakultas Pertanian, khususnya Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Geodesi, Fakultas Geologi dan Pertambangan, Fakultas Geografi, Fakultas Kehutanan, Fakultas Teknik Sipil, Fakultas Planologi, Fakultas MIPA, Antropologi dan Program Studi Lingkungan. Bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat: teknologi remote sensing telah digunakan di berbagai bidang ilmu, terutama dalam pemetaan rona lingkungan fisik dan sosial, kemiliteran dan pemerintahan. Pemanfaatan teknologi remote sensing di masa datang tidak hanya digunakan dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumberdaya lahan, pembangunan dan pengembangan wilayah. Namun, akan digunakan sebagai persyaratan utama dalam perencanaan tata ruang pada berbagai tingkatan dan revisinya, serta kebutuhan pembangunan pada umumnya pada era otonomi dan era globalisasi yang menuntut penguasaan teknologi informasi. Untuk itu gabungan remote sensing dan GIS, merupakan cara yang terbaik dalam mensolusikan pembangunan di masa datang. Pemanfatan teknologi remote sensing untuk pemetaan potensi sumberdaya yang berkaitan dengan data dan informasi spasial akan dapat meningkatkan kinerja dan kualitas laporan. Dalam LAKIP terdapat tolok ukur berupa indikator sasaran yang terukur dan periodik. Berdasarkan uraian di atas, maka remote sensing berperan awal dalam proses perencanaan pembangunan berkelanjutan, kemudian digunakan dalam pemantauan dan evaluasi dan diakhiri untuk pengawasan hasil-hasil pembangunan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 201 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Rekaman data yang otentik dan mutakhir secara berkala yang dimiliki oleh teknologi ini telah digunakan di berbagai bidang. Bahkan dalam perkembangannya telah memasuki ke berbagai bidang, seperti kedokteran (bedah) dan hukum (kasus kehutanan, lingkungan dan pengawasan). Di masa mendatang bukan mustahil ahli remote sensing akan berperan penting sebagai saksi ahli di pengadilan, seperti kasus-kasus pencemaran lingkungan, kerusakan hutan, sengketa tanah, batas-batas pemilikan dan batas wilayah administratif, degradasi sumberdaya lahan, evaluasi dan revisi tata ruang, pajak bumi dan bangunan, pengawasan pembangunan, pemberitaan dan kebijakan yang berkaitan dengan obyek spasial di suatu wilayah. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan Pengelolaan Lahan Berkelanjutan Pertumbuhan dan kepadatan penduduk berperan penting dalam eksploitasi dan kelangkaan sumberdaya serta meluasnya perubahan penggunaan lahan. Ini berakibat cepat terhadap perubahan lingkungan, baik secara lokal, nasional maupupun global. Aktivitas manusia yang berlebihan menyebabkan pembabatan hutan, yang berimplikasi terhadap berkurangnya keanekaragaman vegetasi, kelangkaan sumberdaya air dan degradasi tanah, yang bermuara terhadap permasalahan lingkungan secara luas. Untuk mencari solusi permasalahan ini dan untuk meyakinkan generasi yang akan datang untuk mendapatkan manfaat yang lebih baik dari sumberdaya alam, maka diperlukan manajemen yang lebih berhati-hati terhadap sumberdaya ini. Manajemen sumberdaya lahan yang baik diperlukan dukungan dari ahli perencana, manajer dan peneliti yang dapat memahami keragaman faktor-faktor yang terlibat dalamnya. Mereka harus mengumpulkan dan menginterpretasikan data yang diperlukan dan bekerja bersama-sama dengan para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang lain. Pengembangan yang berekelanjutan memerlukan implementasi bidang ekologis, pertumbuhan ekonomi dan kebijakan sumberdaya yang dapat diterima secara sosial. 202 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana Manajemen lahan berkelanjutan (sustainable land manajement/SLM) adalah kombinasi teknologi manajemen lahan, kebijakan dan aktivitas yang bertujuan memadukan prinsip sosio-ekonomik dengan keterkaitan lingkungan secara simultan, meliputi: (1) mempertahankan atau meningkatkan produksi dan pelayanan, (2) mengurangi resiko tingkat produksi, (3) melindungi potensi sumberdaya alam, mencegah degradasi tanah dan kualitas air, (4) pertumbuhan ekonomi wilayah, dan (5) secara sosial dapat diterima (Dumanski, 1993; dalam De Bie, et al. 1995). De Bie, et al. (1995) mengemukakan bahwa manajemen lahan berkelanjutan merupakan paradigma baru dalam mengelola lahan, karena akan menjadi sesuatu yang berdasarkan pengetahuan dari pada berdasarkan input dari kegiatan pertanian. Lahan dikelola secara interdisipliner, seperti ahli agronomi, ahli tanah, ahli sosial ekonomi dan ahli perencanaan penggunaan lahan. Para ahli tersebut akan lebih mudah dan efisien dalam mengkomunikasikan peranannya sebagai informasi untuk masyarakat pengguna. Keterkaitan lingkungan dan data potensi SDL merupakan basis utama dalam pengelolaan lahan berkelanjutan karena akan berimplikasi terhadap produksi, degradasi lahan dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Kriteria SLM dan penggunaan lahan spesifik banyak diteliti oleh para ahli tanah, ahli sumberdaya lahan, ahli pertanian dan para kelompok yang berkepentingan terhadap kelestarian lingkungan serta para perencana penggunaan lahan. Kenapa dilakukan menajemen SDL berbasis lingkungan atau manajemen lahan berkelanjutan? Jawaban yang tepat adalah adanya permasalahan pertumbuhan penduduk, yang membutuhkan pangan dan ruang. Selain itu sering terjadi degradasi lahan dan kerusakan lingkungan akibat dari salah penggunaannya. Kesalahan dalam pengelolaan lahan akan menyebabkan terjadinya degradasi kualitas dan produktivitas lahan. Oleh karena itu, degradasi lahan lebih sering diakibatkan oleh kegiatan manusia yang dapat menghilangkan fungsi biologis dari lahan tersebut. Penyumbang utama degradasi lingkungan adalah kegiatan awal yang tidak benar, seperti penebangan hutan yang berlebihan, konversi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya. Untuk itu sebelum melakukan penelitian atau merancang pengelolaan lahan berbasis lingkungan, perlu dikaji BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 203 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan terlebih dahulu sifat tanah dan jenis penggunaan lahannya pada suatu wilayah tertentu dan sejarah penggunaannya. Penggunaan lahan adalah suatu seri operasional terhadap lahan, yang dilaksanakan oleh manusia dengan tujuan untuk mendapatkan produk dan atau keuntungan melalui penggunaan SDL Sumberdaya alam beresiko terhadap penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan, termasuk tanah, air, atmosfer, flora dan fauna. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai penelitian tentang erosi tanah yang menunjukkan bahwa berbagai kemungkinan tingkatan erosi akibat dari pengaruh penggunaan lahan terhadap lahan. Penutup permukaan tanah berfungsi melindungi lahan terhadap potensi kehilangan tanah. Perubahan dalam penutup lahan, melalui penggunaan lahan, sering kali memicu kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan (degradasi berat) terhadap sistem ekonomi. Pada kondisi ini lahan tidak dapat digunakan dan harus dipulihkan kembali kualitasnya. Degradasi Lahan Hasil penelitian Lanya (1994) menunjukkan bahwa degradasi lahan yang diakibatkan oleh fenomena alam jauh lebih kecil dibandingkan dengan akibat campur tangan manusia. Selanjutnya didapatkan bahwa faktor manusia dapat menyebabkan terjadinya degradasi morfologi tanah akibat dari salah pengelolaan yang berimplikasi terhadap degradasi sifat fisik dan kimia tanah. Disusul oleh degradasi produktivitas lahan dan berakhir pada degradasi kesejahteraan ekonomi petani dan kemiskinan subsisten. Penyebab utama degradasi adalah kekeliruan dalam perencanaan alokasi penggunaan lahan. Adapun perencanaan penggunaan lahan sebagai suatu proses pembuatan kebijakan yang memfasilitasi alokasi penggunaan lahan dan harus dapat memberikan keuntungan paling besar, baik nilai ekonomi, niali sosial maupun nilai lingkungan. Penelitian tingkat degradasi lahan yang lebih mendetail dari identifikasi tanaman indikator dengan menggunakan sarana penginderaan jauh, survei dan evaluasi lahan di lapangan, hasil analisis tanah dilaboratorium dan pengujian produktivitas tanah dengan berbagai input dan konsep rehabilitasinya telah dilakukan di lahan kering daerah Transmigran, WPP VII, Rengat, Kabupaten 204 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana Indragiri Hulu Riau (Lanya, 1995). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa luas dan sebaran vegetasi alang-alang di lahan usaha Transmigran merupakan indikator terjadinya tingkat degradasi lahan. Tutupan vegetasi alang-alang dan sebarannya dapat dipetakan dengan mudah melalui teknologi remote sensing (citra Landsat MSS dan citra SPOT). Selanjutnya dikemukakan bahwa pengelolaan lahan sangat tergantung dari tingkat degradasi lahan. Kualitas dan produktivitas tanah yang terdegradasi-ringan dapat dipulihkan hanya dengan cara pemberian pupuk organik atau pupuk kimia dan pupuk mineral. Tanah-tanah yang terdegradasi-sedang perlu diberikan pupuk kimia dengan dosis paket dan pupuk organik; sedangkan tanah-tanah terdegradasi-berat perlu dipupuk organik dan pupuk kimia dosis tinggi. Demikian pula tanah terdegradasi sangat berat, maka kualitas tanah hanya dapat dipulihkan melalui pembelukaran atau penghutanan kembali. Dari hasil penelitian tersebut juga diperoleh sistem klasifikasi degradasi lahan yang didasarkan atas pembobotan dan score dari faktor-faktor penyebab degradasi lahan. Degradasi morfologi tanah berbobot lebih tinggi dari degradasi sifat fisik dan kimia tanah, karena mempunyai efek ganda terhadap faktor lainnya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kesalahan pengelolaan lahan akan menurunkan kualitas lingkungan fisik dan sosial ekonomi masyarakat setempat.. Hasil penelitian Holden dan Simanjuntak (1994) di daerah yang sama mendapatkan bahwa 65% transmigran berada di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya, pengelolaan lahan yang tepat dengan komoditas unggulan yang kompetitif dan komparatif dapat meningkatan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan SDL yang tersedia secara optimal (pola PIR). Dalam penelitian tersebut juga didapatkan bahwa untuk tujuan perencanaan penggunaan lahan secara berkelanjutan, maka dalam proses evaluasi perlu dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah seleksi iklim, tahap kedua seleksi landform dan relief, tahap ketiga seleksi penggunaan lahan saat itu. Tahap terakhir survei dan evaluasi lahan dari hasil lapangan dan laboratorium. Tahap kedua dan ketiga dapat dikerjakan dengan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 205 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan mudah melalui teknologi remote sensing. Apabila pada tahap pertama sampai ke tiga tidak memenuhi persyaratan, maka tidak perlu dilanjutkan pada tahap berikutnya (survei dan pengamatan lapang) yang membutuhkan dana banyak dan waktu cukup lama. Tahapan pengelolaan lahan berkelanjutan dari hasil penelitan tersebut meliputi: (1) Interpretasi citra untuk identifikasi landform, relief, penggunaan lahan dan lahan yang terdegradasi, (2) Klasifikasi degradasi untuk mengetahui tingkat degradasi lahan kering, (3) Evaluasi lahan bertahap dan perwilayahan komoditas untuk merencanakan penggunaan lahan berkelanjutan dan uji produktivitas untuk menentukan jenis dan jumlah masukan (input) dalam kaitannya dengan produktivitas lahan. Sistem Informasi Lahan sebagai Dasar dalam Pengelolaan Lahan Berkelanjutan Model Managemen Sumberdaya Lahan Berkelanjutan (model MSL) dikaji dari berbagai aspek, di antaranya (1) produksi/ hasil tanaman (kecenderungan dan keragaman), (2) keseimbangan hara, (3) pemeliharaan penutup tanah, (4) kualitas tanah, (5) kualitas dan kuantitas air, (6) keuntungan usahatani bersih, dan (7) konservasi lahan. Adapun tujuan MSL untuk menghasilkan produk pertanian secara berkelanjutan dengan mengkonservasi sumberdaya lahan yang berbasis lingkungan, dapat dianalisis melalui rumus: | MSL- Tujuan MSL | = ƒ | Parameter MSL | Salah satu model MSL yang mudah dimengerti adalah, model regresi yang sesuai dengan kondisi wilayah setempat. Dalam analisis regresi respons tanaman dinyatakan sebagai fungsi dari lingkungan tertentu dan variabel manajemen. Suatu variabel lingkungan dinyatakan dengan data tanaman dan atau data lingkungan lainnya. Proses penilaian karakteristik dan kualitas lahan terhadap persyaratan pertumbuhan tanaman dinamakan evaluasi lahan yang dijabarkan melalui fungsi-fingsi lahan dan tanaman, seperti: Respon tanaman (X) = ƒ (lingkungan + variabel lingkungan).Valiabel lingkungan (X) = ƒ (tanaman dan atau variabel lingkungan lainnya + variabel manajemen) 206 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana Beberapa pendekatan model MSL yang sudah dilakukan di Indonesia, seperti (1) Metodologi Zone Agroekologi ( ZAE), (2) Klasifikasi kemampuan lahan, (3) Evaluasi lahan irigasi pertanian, pertanian lahan kering, kehutanan, (4) evaluasi manajemen lahan berkelanjutan, (6) perencanaan penggunaan lahan, (7) Evaluasi lahan dan metodologi analisis sistem pertanian, analisis perbedaan hasil, (8) Pendugaan dampak lingkungan untuk pertanian, (9) Analisis agroekosistem dan agroekonomi, dan (10) Perwilayahan komoditas dan pengelolaan lahan berkelanjutan. Dalam perkembangannya studi zonasi agroekologi dan kependudukan atau perwilayahan komoditas berdasarkan kelas kesesuaian lahan agroekosistem merupakan salah satu penggunaan lahan berkelanjutan berdasarkan kemampuannya. Pada daerah perdesaan dimana pelaku pertaniannya diperankan oleh petani langka modal, lahan sempit, miskin iptek dan aksesibilitas serta penguasaan pasar lemah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya berbagai permasalahan dalam pengelolaan lahan, terutama pada lahan marjinal, berlereng dan berbahan induk batuan sedimen yang terbentuk dari landform struktural. Kondisi seperti ini banyak ditemui di wilayah perdesaan terpencil dan kegiatan bertani dengan sistem perladangan berpindah. Sistem perladangan berpindah merupakan sistem yang berkelanjutan untuk kondisi lahan berkualiats rendah dan profil petani miskin. Karenanya, untuk pertanian menetap dan peningkatan produksi diperlukan input tinggi dan penggunaan teknologi konservasi apabila digunakan untuk tanaman semusim dan setahun. Pola perladangan berpindah di daerah pedalaman yang tidak mempunyai sumberdaya tidak nyata (ruang, aksesibilitas, sarana prasarana) sangat mudah diamati dan dipetakan melalui teknologi remote sensing. Hasil penelitian monitoring perubahan penggunaan lahan di kawasan Siberida (Riau), dan sekitarnya mendapatkan bahwa kecepatan perladangan selama 18 tahun (1973-1991) seluas 48 ha/tahun, hutan karet rakyat meningkat 413 ha/tahun, perkebunan meningkat 4197 ha/tahun, hutan primer berkurang 6251 ha/tahun (Lanya dan Bruvol, 1993). Perlu diketahui bahwa sistem perladangan di wilayah Siberida, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau hanya setahun (tahun berikutnya pindah). Berbeda dengan di wilayah Jambi yang pada BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 207 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan umumnya dilakukan selama 3 tahun, baru pindah. Setelah diteliti lebih jauh ternyata terdapat perbedaan kualitas tanah. Tanahtanah di Siberida mengandung Al-dd lebih tinggi dari tanahtanah di Jambi. Kandungan mineral tanah-tanah di wilayah Jambi umumnya didominasi oleh mineral kaolinit (tipe 1:1), sedangkan di daerah Siberida mineral smektit-interlayer hidroksida (tipe 2:1). Berdasarkan tipe mineral dan kandungan Al-dd tersebut, maka pengelolaan lahan secara tradisionalpun berbeda. Dengan perbedaan waktu berladang tersebut dan pembelukaran selama 5-15 tahun, tidak terjadi degradasi tanah. Berbeda dengan daerah permukiman transmigrasi, dimana dilakukan pertanian menetap, maka lahan yang ada terjadi degradasi sedang sampai berat, bahkan tidak dapat pulih kembali. Perbaikan kualitas lahan memerlukan biaya yang sangat tinggi dan hanya mungkin dengan modal yang tinggi dan alokasi penggunaan lahannya untuk hutan industri. Peran evaluasi lahan sangat penting pada awal perencanaan, agar tidak terjadi kerusakan sumberdaya. Selanjutnya evaluasi kesesuaian lahan ditujukan untuk mencocokkan kualitas lahan dengan persyaratan pertumbuhan tanaman dan tindakan pengelolaannya. Kualitas dan produktivitas lahan perlu dikaji dan diteliti sebelum digunakan untuk tujuan tertentu. Zonasi lahan atau dikenal zone agroekologi merupakan alternatif sistem informasi lahan, yaitu mengelompokkan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama, dimana keragaman tanaman dan hewan tidak berbeda nyata. Komponen agroekosistem adalah iklim, fisiografi dan tanah. Ketiga komponen tersebut satu sama lain terkait dan sebagai unsur utama sumberdaya lahan. Zonasi ini akan lebih cepat dan teliti bila menggunakan teknologi remote sensing, terutama dalam pengelompokan dan pembatasan satuan lahan homogen pengelolaannya. Analisis zone agroekologi ditujukan untuk (1) menyusun data dan informasi tentang keadaan biofisik dan data sosial ekonomi di suatu wilayah ke dalam suatu data base dan GIS, (2) analisis kesesuaian beberapa jenis tanaman komoditas pertanian dan kesesuaian teknologi di suatu wilayah, (3) identifikasi berbagai komoditas pertanian unggulan, spesifik lokasi dan kebutuhan teknologi, dan (4) memberikan masukan dalam rangka 208 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana perencanaan penelitian, pengkajian dan pengembangan komoditas unggulan. Dalam pendekatan agroekosistem merupakan perpaduan antara potensi SDA, SDM dan Iptek; memadukan sumberdaya kapital, kelembagaan dan teknologi dengan pendekatan wilayah. Dengan kata lain, peranan evaluasi dan zonasi lahan sangat penting dalam kegiatan alokasi ruang yang ada dalam tata ruang wilayah. Tanpa adanya data dan informasi spasial yang tepat dan akurat serta mutakhir, maka perencanaan penggunaan lahan dan alokasi ruang akan banyak mengalami kekeliruan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penggunaan teknologi remote sensing mutlak diperlukan untuk pembuatan tata ruang pada berbagai tingkatan dan revisinya. Pengelolalan lahan berkelanjutan tidak hanya pada lahan yang telah digunakan, baik berupa lahan marginal, maupun lahan yang subur, namun pada lahan yang telah terdegradasi. Pengelolaan lahan terdegradasi dinamakan rehabilitasi lahan, agar dapat digunakan kembali dan berproduksi secara berkelanjutan. Seperti kita ketahui bersama, bahwa pada landform struktural pada umumnya dijumpai tanah-tanah marginal. Tanah ini mempunyai karakteristik dan kualitas lahan lebih rendah dari tanah-tanah yang berasal dari landform volkanik. Rendahnya kualitas tersebut disebabkan oleh sifat fisik dan kimia tanah tergolong tidak baik, sehingga mudah tererosi, bersifat racun bagi tanaman (Al dan Fe). Tanah-tanah mineral bermasalah atau tanah masam sering dijumpai di landform struktural. Apabila digunakan tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya, maka sering terjadi degradasi lahan. Degradasi lahannya sejalan dengan waktu pembukaan lahan dari hutan ke lahan pertanian tanaman pangan. Produktivitas hanya 20 % pada lahan terdegradasi berat. Sistem pertanian tradisional, menetap di lahan ini mengalami degradasi morfologi tanah 1-98-2,54 cm/th yang disusul oleh degradasi sifat fisik dan kimia tanah (C-org, P dan Al-dd). Umur penggunaan hanya 2 tahun. 4 tahun merupakan batas kritis dan lebih dari 6 tahun tidak dapat balik (pertanian tidak berkenajutan). Berdasarkan uraian tersebut, maka: kualitas lahan merupakan fungsi dari karakteristik lahan dan manajemen penggunaan lahan. sedangkan kesinambungan pertanian lahan kering adalah fungsi dari kualitas BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 209 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan lahan dan tipe penggunaan lahan/manajemen. Seperti telah diuraikan di atas bahwa perbedaan pengelolaan lahan didasarkan atas perbedaan tingkat degradasinya. Lahan yang terdegradasi atau mempunyai kualitas tanah jelek diperlukan input tinggi (high input technology), terutama input sarana produksi. Berbeda dengan kualitas tanah yang baik, maka dapat diterapkan teknologi masukan rendah ( low input technology). Tanah-tanah seperti ini banyak ditemukan di landform volkanik muda, seperti di Bali, Lombok dan daerah pegunungan volkan lainnya. Walaupun demikian untuk peningkatan produktivitas tanaman tetap diperlukan masukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, mengingat tanah telah digunakan secara intensif dan terus menerus, sehingga cadangan hara semakin lama semakin berkurang. Dalam hal ini pemupukan berimbang (pupuk kimia, organik dan mineral) tetap diperlukan untuk berbagai kegiatan usahatani dan yang bernilai nilai ekonomi tinggi. Tanah yang berada di landform volkanik pada umumnya berkualitas baik. Sifat kimia, seperti: KTK dan KB, K tanah tergolong sedang sampai sangat tinggi, pH medium-netral tekstur sedang-kasar. Hasil penelitian Lanya (2000), menunjukkan bahwa usahatani padi sawah di Bali tidak membutuhkan pupuk kalium, karena kandungan K tanah dan air sangat cukup untuk kebutuhan tanaman padi. Sebaliknya untuk P dosis yang direkomendasikan perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan tanaman (150 kg – 200 kg SP36). Pada kondisi air yang cukup, maka manajemen lahan pada landform volkanik lebih mudah dari landform struktural. Penggunaan input rendah (bahan organik dan pupuk dan pasir gunung) masih memungkinkan lahan sawah dapat berproduksi setara dengan pupuk dosis paket. Penelitian Lanya (1999 dan 2000) menunjukkan bahwa penambahan pupuk mineral dapat meningkatkan produktivitas melon dan jeruk berkisar antara 125% sampai 158% dan mutu buah (gula total) meningkat 109-300%, sesuai dengan dosis yang diberikan; warna kulit melon lebih kuning dan warna kulit jeruk lebih kuning dan keras. Pendapatan petani melon meningkat 141% sampai 238%. Dari hasil kaji tindak juga diperoleh hasil, bahwa penambahan pupuk mineral-plus dapat meningkatkan kadar gula buah salak. Perbaikan kualitas produk pertanian merupakan salah satu 210 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana solusi dari issu strategis yang selama ini mengemuka, baik untuk penunjang pariwisata, maupun untuk konsumsi dan pelengkap upakara. Berdasarkan hasil kaji tindak di Bangli dan Tabanan, menunjukkan bahwa kualitas buah salak (rasa manis) sangat ditentukan oleh kandungan unsur hara tanah. Melalui penambahan pupuk mineral-plus permasalahan kualitas buah salak Sibetan yang ditanam di daerah lain (Tabanan dan Bangli) telah teratasi. Penemuan ini akan diaplikasikan untuk daerah lainnya oleh Departemen Pertanian Pusat (taraf penyusunan proposal). Identifikasi lingkungan tumbuh yang sesuai untuk tanaman salak dan komoditas unggulan lainnya sangat mudah melalui sarana remote sensing. Untuk wilayah Bali telah dilakukan perwilayahan komoditas pertanian dan perkebunan berdasarkan kesesuaian lahan agroekosistem skala 1: 25.000 (Bappeda Propinsi Bali, 19961997). Karakteristik landform, bentuk wilayah, relief diperoleh dari citra, sedangkan data iklim dan sifat-sifat tanah diperoleh dari data sekunder atau survei langsung di palangan. Proses ini disebut dengan evalusi kesusuaian lahan agroekosistem, dimana kualitas lahan dipadukan dengan persyaratan tumbuh tanaman. Dalam evaluasi lahan juga dapat teridentifikasi kelas kesesuaian lahan untuk berbagai jenis tanaman dan faktor pembatasnya. Selain itu usaha perbaikan, arahan penggunaan dan pengelolaan lahan didasarkan atas faktor pembatas. Kesesuaian lahan agroekonomi perlu dipadukan dengan kesesuaian lahan agroekosistem agroekonomi dan kondisi sosial setempat, agar lahan dapat dikelola secara berkelanjutan dan dapat mensejahterakan masyarakat tani setempat. Keberlanjutan lahan pertanian juga dipengaruhi oleh beberapa nilai, diantaranya adalah nilai fisik, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai lingkungan dan nilai umum. Nilai fisik banyak dipelajari dan ditulis oleh para ilmuwan dan akademisi. Nilai lainnya yang lebih besar pengaruhnya terhadap konversi lahan pertanian ke non-pertanian adalah nilai ekonomi, nilai sosial dan nilai lingkungan. Nilai fisik (produktivitas pertanian) yang rendah tergeser oleh nilai ekonomi yang semakin hari semakin meningkat. Peningkatan nilai ekonomi tanah yang pesat dapat menggeser BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 211 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan nilai lingkungan dan sosial budaya yang sangat tinggi, bahkan dapat menghilangkan warisan budaya. Walaupun nilai fisik lahan pertanian di daerah perkotaan jauh lebih rendah dari nilai ekonomi, namun dari segi lingkungan dan sosial budaya mempunyai nilai yang sangat tinggi dan luhur untuk menjaga ekosistem perkotaan yang baik. Persediaan lahan untuk pembangunan di wilayah perkotaan sebagian besar berupa lahan persawahan yang ada dalam wilauah subak. Hilangnya wilayah (palemahan) subak yang berimplikasi terhadap lepasnya anggota (pawongan) subak, terindikasi melunturnya budaya agraris dan tergantikan oleh budaya kota. Budaya agraris dicirikan oleh sifat seperti air yang penuh dengan kedamaian, kebersamaan dan musyawarah digantikan oleh munculnya budaya kota yang ditandai dengan sifat egoisme individu, saling mendahului dan kemacetan. Pada kondisi yang demikian usaha konservasi lahan tidak dapat dilakukan hanya secara fisik saja, namun diperlukan perangkat hukum, baik pada tingkat pusat, maupun daerah. Selain itu perlu dilakukan revitalisasi sistem pertanian, dari subsistem ke pertanian profesional yang padat modal, iptek dan penguasaan pasar. Berdasarkan uraian di atas, maka konservasi lahan pertanian produktif, seperti tanah-tanah pertanian di Bali adalah revitalisasi sistem pertanian. Dari kesesuaian lahan agroekosistem ke kesesuaian lahan agroekonomi yang mempunyai daya kompetitif dan komperatif di pasar dengan tetap berada pada koridor sistem subak. Sistem ini telah banyak dipelajari oleh para ahli pertanian mancanegara, sementara itu usaha pelestarian subak oleh masyarakat tani sangat lemah. Hal inilah yang menyebabkan konversi lahan subak sangat tinggi, terutama di wilayah perkotaan. Dengan kata lain, faktor pembatas utama keberlanjutan adalah laju konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian. Dalam kondisi demikian maka usaha konservasi lahan dilakukan melalui perangkat hukum, seperti kawasan RTHK dengan KDB 0 % dan insentif terhadap PBB dan atau sarana prasarana usahatani serta pendampingan pemasaran. Hasil penelitian potensi sumberdaya lahan dengan sistem GIS yang dipadukan dengan teknologi remote sensing (citra IKONOS) di wilayah Kota Denpasar, selama 10 tahun (1992-2002) telah terjadi 212 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana kehilangan lima wilayah subak dari 46 menjadi 41 subak dengan kehilangan luasan sawah sebesar 291 ha/th. Sembilan subak lainnya berpotensi hilang (>90%) dan 10 subak lainnya kehilangan luas wilayah 60% sampai 80%. Selama 10 tahun terakhir ini telah kehilangan 50,25% wilayah subak yang terkonversi menjadi lahan non-pertanian, terutama untuk permukiman dan sarana penunjangnya. Hal ini terjadi karena lahan yang tersedia di Kota Denpasar umumnya berupa lahan persawahan. Sistem informasi sumberdaya lahan subak di Kota Denpasar telah dibangun melalui pemanfaatan teknologi remote sensing yang dikombinasikan dengan GIS dari hasil penelitian tersebut. Berdasarkan penelusuran data dan informasi, ternyata belum adanya batas-batas wilayah subak yang dipetakan secara terukur dengan ketelitan spasial yang baik. Gejala ini juga terjadi untuk wilayah lahan kering (batas desa dan banjar). Oleh karena itu, dilakukan pemetaan batas-batas wilayah subak melalui citra IKONOS dengan sedikit pengecekan dan pembuktian di lapang. Selanjutnya, subak/tempek merupakan satuan pengelolaan lahan homogen, sebagai basis dalam perencanaan dan pengembangan komotas tanaman. Seluruh Subak di Kota Denpasar telah dibangun data base potensi sumberdaya lahan. Struktur data tersebut terdiri dari: ciri dan kualitas lahan: iklim (curah hujan dan temperatur), tanah (sifat fisik, sifat kimia, kemampuan dan status kesuburan, kesesuaian lahan agroekosistem untuk berbagai jenis tanaman pangan pokok, palawija dan hortikultura, perwilayahan komoditas dan arahan penggunaan serta pengelolannya. Sistem ini dibangun dengan menggunakan GIS melalui program Mapinfo (Tim Fakultas Pertanian UNUD dan Bappeda Kota Denpasar, 2002). Sistem informasi subak juga telah dibangun melalui Program Pendampingan Proksidatani tahun 2000. Struktur data berupa luas areal, jumlah penggarap, jumlah petani dan pemilikan, produksi dan saran produksi. Langkanya batas subak yang dipetakan dengan posisi geografis yang benar merupakan kendala dalam proses perencanaan pengelolalaan sumberdaya yang tepat. Selain itu, belum adanya subak yang berbadan hukum, merupakan kendala utama dalam akses permodalan lewat perbankan, serta akses pemasaran. Fenomena ini diidentifikasi dan didiskripsi selama BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 213 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan program Pendampingan Proksidatani di Propinsi Bali. Untuk itu salah satu pemberdayaan subak adalah peningkatan status hukum serta program pendampingan dalam kurun waktu tertentu. Subak-subak yang berada di dalam radius 3 – 4 km dari pusat kota Denpasar (patung Catur Muka) mengalami konversi lahan yang tinggi, sedangkan subak yang berada pada radius > 5 km dari pusat kota pada umumnya tidak terkonversi. Kondisi ini juga didukung oleh Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar (1999). Hasil pemantauan penggunaan lahan dari citra IKONOS menunjukkan bahwa di beberapa tempat terjadi pelanggaran terhadap ruang terbuka hijau kota (RTHK) dengan KDB 0%, terutama pada jalur ekonomi tinggi. Luas kawasan terbangun dan tidak terbangun dapat dipetakan dengan benar melalui citra ini (Lanya dan Subadiyasa, 2003). Perkembangan pembangunan, terutama sektor pariwisata yang pesat dan berimplikasi terhadap pembangunan sektor lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan luas lahan terbangun dan tidak terbangun adalah 49,16% berbanding 50,84% (standar normal 40%:60%). Untuk mempertahankan ekosistem perkotaan yang normal, maka kawasan RTHK dengan KDB % perlu dilestarikan. Walaupun demikian revisi tata ruang juga masih tetap dibutuhkan pada tahun 2004 untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan dan pengendalian pembangunan secara berkelanjutan. Evaluasi peta rencana tata ruang wilayah, pengukuran dan pemetaan kawasan terbangun dan tidak terbangun, serta rona lingkungan hanya dapat dilakukan secara tepat, teliti serta mutakhir apabila menggunakan sarana remote sensing. Oleh karena itu, penggunaan teknologi ini sangat urgen dalam perencanaan tata ruang untuk berbagai tingkatan. Demikian pula untuk pembangunan dan pengembangan wilayah yang berbasis potensi sumberdaya. Teknologi ini lebih bermanfaat bila dipadukan dengan GIS yang dapat menggabungkan antara data base SDL data spasial yang berupa peta digital. Kedua teknologi ini dapat diakses melalui sistem informasi teknologi yang dijadikan salah satu indikator dalam penilaian akuntabilitas pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam pengelolan lahan, baik potensi sumberdaya maupun untuk tujuan lainnya akan lebih cepat, tepat dan akurat, serta efisien waktu dan biaya 214 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana serta mutakhir apabila mengunakan teknologi remote sensing yang dipadukan dengan GIS. Selain itu teknologi ini akan memasuki segala aspek perencanaan dan pengawasan pembangunan, baik bersifat fisik maupun non-fisik. Penggunaan teknologi informasi ini mampu meningkatkan nilai akuntabilitas yang digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan kinerja pemerintah. Sementara ini dari citra IKONOS yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Denpasar, telah digunakan untuk dua penelitian aplikasi dan empat penelitian mahasiswa S1. Selain itu akan digunakan untuk revisi tata ruang, kebutuhan Tata Kota dan Bangunan, Perindustrian dll. Untuk itu Jurusan Tanah Fakultas Pertanian sedang menyusun Rencana Program Magister untuk Bidang Studi Manajemen Sumberdaya Lahan bekerjasama dengan International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), Belanda. Penutup Teknologi remote sensing tidak hanya untuk inventarisasi dan pemetaan potensi sumberdaya lahan, tetapi telah banyak digunakan oleh masyarakat luas, baik kalangan akademisi, praktisi, hukum, pemerintahan maupun politisi dan kemiliteran. Software untuk pemetaan penggunaan lahan, kemampuan dan kesesuaian lahan, manajemen perencanaan penggunaan lahan, izin lokasi, monitoring penggunaan lahan secara otomatis telah tersedia melalui program ILUD. Penggunaan teknologi remote sensing sangat tepat dalam pengelolaan sumberdaya lahan berkelanjutan. Terkait dengan ketersediaan data spasial yang akurat dan mutakhir dan dapat diakses dengan cepat. Kegiatan survei dan pemetaan tanah di Indonesia, telah mensyaratkan menggunakan teknologi ini. Demikian pula untuk meningkatkan kualitas perencanaan tata ruang dan revisinya, serta terjadinya degradasi lingkungan akibat salah pengelolaan. Pengelolaan lahan berkualitas rendah dan terdegradasi berbeda dengan lahan berkualitas baik. Semakin tinggi tingkat degradasi lahan semakin besar input teknologi yang diberikan untuk merehabilitasi kualitas dan produktivitasnya. Kualitas lahan rendah hanya dapat digunakan selama dua tahun. Empat tahun BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 215 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan merupakan batas kritis, enam tahun atau lebih menyebabkan produktivitas tidak dapat balik. Lahan tersebut sudah tidak menguntungkan secara ekonomis dan tidak mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Lahan terdegradasi membutuhkan input teknologi tinggi (hight inptut technology). Berbeda dengan lahan berkualitas baik di landform volkanik, peningkatan produktivitas lahan dilakukan dengan input rendah ( low input technology). Perbaikan produktivitas dan kualitas hasil (rasa manis dan warna kulit buah) cukup diperlukan penambahan pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman dan pupuk mineral plus. Pengelolaan lahan berkelanjutan dan konservasi lahan pertanian tidak hanya dapat dilakukan secara fisik dan penambahan input sarana produksi. Namun dibutuhkan perangkat hukum untuk melindungi terjadinya konversi lahan secara berlebihan dan menghindari degradasi lahan akibat dari kesalahan dalam alokasi penggunaannya. Sistem informasi sumberdaya lahan dengan menggunakan teknologi remote sensing dan GIS secara otomatisasi telah diterapkan di berbagai instansi. Sistem informasi SDL yang berbasis pada satuan lahan homogen pengelolaan/subak di Depasar telah menggunakan citra IKONOS dan GIS. Sistem ini dapat diakses melalui teknologi informasi secara cepat. Di masa datang citra satelit resolusi tinggi, seperti IKONOS sangat sesuai untuk perencanaan kota dan perkotaan, manajemen fasilitas, verifikasi perjanjian, pemberdayaan hukum, keamanan, reportase berita, survei batas pemilikan tanah dan registrasi lahan, kependudukan, lalu lintas, pariwisata dan rekreasi, serta sektor lainnya yang berkaitan dengan fenomena alam. Citra ini akan berperan penting dalam bidang pemerintahan secara umum. Teknologi remote sensing berperan efektif dalam proses awal perencanaan pembangunan berkelanjutan, selanjutnya untuk alat pemantauan dan evaluasi, serta untuk pengawasan hasil-hasil pembangunan pada kurun waktu tertentu. Penggunaan teknologi ini berimplikasi terhadap peningkatan kualitas laporan yang memerlukan indikator sasaran secara terukur dan periodik. 216 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana Daftar Pustaka Bappeda Propinsi Bali. 1998. Penelitian Perwilayahan Komoditas Pertanian di 9 Kabupaten/ Kota , Propinsi. Daerah Tingkat I Bali. Bappeda Propinsi Bali. Denpasar. Bappeda Kota Denpasar, 2001. Pemanfaatan Citra Satelit dan kajian Pengembangannya dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dalam Kaitannya dengan Penerapan Rencana Kota Denpasar Bappeda Kota Denpasar. Bappeda Kota Denpasar. 2002. Consultan Assosiation, 1998. GIS Apllication in Land Use Mapping and Implementation and Control of Land Use Planing. Project Completion Report. Badan Pertanahan nasional Jakarta. De Bie.C.A., K.J. Beek, P.M. Driessen, J.A. Zinck. 1995. Towards Operationalization of Soil Information Sustainable Land Management. Brazil Soil Conference, ITC. Netherlands. Paper. Lanya, I. 1996. Tingkat Kepercayaan Pemanfaatan Foto Udara dan Citra Landsat dalam Pembuatan Peta Tanaman Perkebunan di Bali. Fakultas Pasca sarjana, Institut Pertanian Bogor. (Tesis S2) Lanya, I dan Bente Bruvoll,1994. Aplikasi Remote Sensing untuk Identifikasi, Pemantauan dan Pemetaan Penggunaan Lahan di Kecamatan Siberida dan Sekitarnya, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Proseding Seminar Rain Forest and Resource Management, p.3-9 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Jakarta. Lanya, I. 1994. Degradasi Lahan di Daerah Transmigrasi Kecamatan Siberida, Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Dalam Buku Proseding Seminar Rain Forest Resource Management. Editor Qyvin Sandbukt and Harry Wiriadinata. Indonesian Institute of Sciences (LIPI), hal. 105-112. Lanya, I. 1995. Evaluasi Kualitas dan Produktivitas Lahan Kering Terdegradasi di Daerah Transmigrasi WPP VII Rengat, Kabupaten Indrahili Hulu, Riau. Desertasi S3. Lanya, I. 2001. Peningkatan Produktivitas dan Mutu Buah Melon serta Usahatani melalui Penambahan Pupuk Mineral, Agritrop 20 (2): 86-90. Lanya, I. 2002. Evaluasi Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah untuk Spesifikasi Lokasi Wilayah BPP Propinsi Bali. Agritrop BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 217 Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan 21 (2): 57-63. Lanya, I. 2002. Jeruk Mati Bujang di Lereng Selatan Gunung Batur Propinsi Bali. Agritrop 21 (2):91-97. Lanya, I. 2002. Manajemen Sumberdaya Lahan Berkelanjutan pada Landform Struktural dan Volkanik. Makalah disajikan pada seminar Nasional IV Pengembangan lahan kering dan pertemuan Ilmiah Tahunan HITI, UNRAM. Mataram. Lanya, I dan N.N. Subadiyasa. 2003. Sistem Informasi Lahan Subak dan Evaluasi Tata Ruang Kota Denpasar, Bali. Seminar Nasional IV HITI . Universitas Andalas. Padang. Tim Fakultas Pertanian dan Bappeda Kota Denpasar. 2002. Penelitian Potensi Sumberdaya Lahan dengan menggunakan GIS di Wilayah Kota Denpasar. Bappeda Kota Denpasar. (Laporan Penelitian) Lillesan,TM. And R.W. Kiefer. 1997. Remote Sensing and Image Interpretation. John. Wiley and Son, New York. LPM UNUD. 2000. Laporan hasil Pendampingan Program Pemberdayaan Masyarakat Tani Menuju Ketahanan Pangan Nasional Wilayah Propinsi Bali. Lembaga Pengabdian pada masyarakat UNUD. Denpasar. 218 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK PERANAN PENYULUHAN DALAM PENGETAHUAN USAHA DAN SISTEM AGRIBISNIS UNTUK MENOPANG EKONOMI KERAKYATAN Nyoman Supartha Pendahuluan Pembangunan pertanian telah berhasil meningkatkan produksi dan produktivitas pangan, khususnya beras. Keberhasilan tersebut telah mampu mengubah status dari negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara swasembada beras pada tahun 1984. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dikatakan menjadi faktor penentu penting atas keberhasilan itu. Pendekatan sistem penyuluhan yang digunakan selama PJP I (1969-1994) adalah sistem BIMAS (sejak 1963/1964), sistem LAKU (1976), sistem INSUS (1979) dan sistem SUPRA INSUS (1986), melalui inovasi teknologi Sapta Usaha Pertanian secara lengkap (Abbas, 1995). Dibangunnya prasarana transportasi, tersedianya sarana produksi, kemajuan teknologi, berkembangnya pasar hasil usahatani, serta adanya insentif bagi usaha tani telah ikut mendorong laju pertumbuhan itu, senada dengan teori Mosher (1966) tentang pembangunan pertanian. Sejak itulah profil petani Indonesia berubah secara positif, yakni lebih meningkat tingkat pendidikannya, lebih mengenal kemajuan, kebutuhan dan harapan-harapannya juga tampak lebih baik. Bahkan, Jarmie (1995) menandaskan bahwa perilaku petani telah berubah menjadi petani komersial. Artinya, usahatani dimulai dari membeli sarana produksi di pasar dan berakhir menjual kembali hasilnya di pasar (bukan petani subsisten). Namun demikian, perubahan itu belum diikuti oleh perubahan sikap dan perilaku rasional sebagai manajer usahatani yang mandiri dan tangguh. Pasar, pemasaran, dan pengolahan hasil pertanian seolah-olah bukan menjadi bagian penting untuk BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 219 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan diperhatikan oleh petani. Pola pikir petani masih sebatas usahatani, belum memiliki pola pikir usaha dan sistem agribisnis. Akibatnya, nilai tambah yang diperoleh petani kecil, maka kesejahteraan petani pun belum juga meningkat. Meningkatnya produksi dan produktivitas bukanlah jaminan bagi peningkatan kesejahteraan petani. Selama pra dan masa PJPI kita telah melihat pertanian secara sangat sempit, yakni hanya sebagai subsistem produksi atau usahataninya saja. Cara pandang itu telah berimplikasi kurang menguntungkan bagi pembangunan pertanian dan pedesaan (Saragih, 1995), yakni pertanian dan pedesaan hanya sebagai sumber produksi primer yang berasal dari tumbuhan dan hewan, tanpa menyadari potensi bisnis besar yang berasis produk-produk primer tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 1994 (akhir PJP I) pemerintah telah menetapkan kebijakan baru dalam pembangunan pertanian, yakni pendekatan agribisnis. Paradigma baru pembangunan pertanian juga berubah menjadi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Paradigma petani sebagai “manajer perusahaan agribisnis” yang berkedudukan setara dengan perusahaan agribisnis yang berada di hulu maupun di hilir. Petani memulai aktivitas bisnisnya dari memperhatikan permintaan dan kebutuhan pasar, kemudian bersinergi dengan perusahaan agribisnis di hulu untuk memproduksi produk pertanian yang dibutuhkan pasar. Jika hal ini dapat dilakukan, maka kedudukan petani akan lebih kuat, dan peningkatan pendapatan atau kesejehtaraan petani akan semakin dekat. Untuk mengubah sikap dan perilaku itulah, diperlukan peran penyuluhan pertanian dengan pendekatan penyuluhan sistem agribisnis. Konsep Perusahaan dan Sistem Agribisnis Menurut Downey dan Ericson (1992), agribisnis meliputi keseluruhan kegiatan manajemen bisnis mulai dari perusahaan yang menghasilkan sarana produksi untuk usahatani, proses produksi pertanian (usahatani), serta perusahaan yang menangani pengolahan, pengangkutan, distribusi penjualan secara borongan maupun eceran kepada konsumen akhir. Batasan tersebut menggambarkan bahwa agribisnis merupakan suatu sistem atau sistem agribisnis (Badan Agribisnis, 220 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana 1995), dan sistem merupakan suatu “entitas” (Amirin, 1996), yang tersusun dari sekumpulan subsistem yang bergerak secara bersamasama dan saling tergantung untuk mencapai tujuan bersama. Sejalan dengan pengertian tersebut, Departemen Pertanian (2001) mengedepankan konsep “perusahaan dan sistem agribisnis”, yakni subsistem agribisnis hulu (perusahaan pengadaan dan penyaluran sarana produksi), subsistem agribisnis tengah (perusahaan usahatani), subsistem agribisnis hilir (perusahaan pengolahan hasil atau agroindustri, pengangkutan, dan perusahaan pemasaran hasil masing-masing merupakan “perusahaan agribisnis” yang harus dapat bekerja secara efisien, dan selanjutnya harus melakukan koordinasi (kebersamaan dan saling ketergantungan) dalam suatu sistem untuk lebih meningkatkan efisiensi usaha. Subsistem jasa penunjang (lembaga keuangan, transportasi, penyuluhan dan pelayanan informasi agribisnis, penelitian kaji terap, kebijakan pemerintah, dan asuransi agribisnis) berkewajiban memfasilitasi berjalannya sistem agribisnis tersebut (Gambar 1). Pendapat yang mengatakan bahwa agribisnis sebagai perusahaan adalah pandangan dari sisi mikro, yakni agribisnis itu sebagai suatu unit bisnis dibidang pertanian, yang senantiasa melakukan pertimbangan–pertimbangan secara rasional, mulai dari memperoleh sarana produksi, proses produksi, penanganan pasca produksi, hingga melakukan pemasaran. Subsistem Perusahaan Pengadaan dan Penyaluran Sarana Produksi: *Bibit *Pupuk *Pakan *Obat-obatan *Alat dan Mesin *Teknologi Subsistem Perusahaan Produksi Usahatani: *Pangan *Hortikultura *Ternak *Ikan Subsistem Perusahaan Pengolahan Hasil (Agroindustri): Subsistem Perusahaan Pemasaran Hasil: *Penanganan Pasca Panen *Pengolahan Lanjutan *Perdagangan domestik *Perdagangan ekspor Subsistem Jasa Penunjang: Pengaturan, Penelitian, Penyuluhan, Informasi, Kredit modal, Transportasi, Asuransi agribisnis dan Pasar Gambar 1. Konsep Perusahaan dan Sistem agribisnis BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 221 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan Secara prinsip bisnis cara ini sudah benar karena sudah mempertimbangkan unsur-unsur bisnis mulai dari pengadaan sarana produksi, pengelolaan usahatani dengan menerapkan manajemen dan teknologi, pengelolaan pasca panen, dan memasarkan hasil produksi dengan harga yang paling maksimal. Namun demikian, cara ini ternyata belum juga mampu mengangkat nasib petani dari kondisi yang serba sulit dan selalu tertekan. Hal ini disebabkan kerena para pelaku agribisnis masih tersekat-sekat antar satu subsistem dengan subsistem lainnya. Masing-masing pelaku subsistem ingin memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya atas pelaku subsistem lainnya. Dalam kondisi seperti itu, keuntungan akan lebih banyak dinikmati oleh subsistem agribisnis hulu maupun hilir, sedangkan subsistem usaha tani berada pada posisi tertekan di antara kedua subsistem lainnya, sehingga usahatani memperoleh bagian keuntungan yang sangat kecil. Agar semua pelaku sistem agribisnis mendapat peluang yang adil dalam memperoleh keuntungan, maka cara pandang kita terhadap agribisnis harus diubah, yang tidak lagi memandang agribisnis hanya sebagai suatu unit usahatani (secara mikro), tetapi agribisnis harus dipandang sebagai suatu sistem (secara makro). Artinya, aktivitas agribisnis itu adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem, dimana antara satu subsistem dengan subsistem lainnya saling terkait dan terpadu untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal bagi para pelakunya (Badan Agribisnis, 1995), dan sistem ini harus berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan pasar (Saragih, 1998). Oleh karena itu, struktur agribisnis yang sesuai adalah struktur agribisnis industrial atau integrasi vertikal. Menurut Saragih, (1998) integrasi vertikal dapat dilakukan sedikitnya dengan tiga cara, yaitu (1) berupa pola koperasi agribisnis , (2) pola usaha patungan, dan (3) pola pemilikan tunggal. Dengan demikian, petani mempunyai akses untuk menikmati nilai tambah yang besar yang ada pada subsektor agribisnis hulu dan hilir. Keberhasilan pengembangan agribisnis sangat ditentukan oleh keharmonisan kerjasama tim (team work) sumber daya manusia yang berada pada semua subsistem agribisnis. Kunci keberhasilan kerjasama tim adalah setiap SDM yang terlibat dalam 222 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana agribisnis, disamping memiliki perilaku yang cukup di bidang pekerjaannya sendiri (on job skill), harus juga mempunyai perilaku positif tentang posisi dirinya dalam perusahaan agribisnis, dan posisi perusahaannya dalam integrasi vertikal agribisnis, serta wawasan ekonomi secara makro (macro behavior) (Saragih, 1998). Dengan demikian, akan terjalin suatu kerjasama yang solid, dan berdaya guna dalam pengembangan agribisnis. Contohnya, kemitraan agribisnis pada ayam ras pedaging. Fungsi Komponen Subsistem Perusahaan Agribisnis Masing-masing komponen pelaku perusahaan agribisnis biasanya membagi diri dalam fungsi dan tugasnya. Sub-sistem perusahaan agribisnis hulu, berfungsi menghasilkan dan menyediakan sarana produksi pertanian terbaik agar mampu menghasilkan produk usahatani yang berkualitas, melakukan pelayanan yang bermutu kepada usahatani, memberikan bimbingan teknis produksi, memberikan bimbingan manajemen dan hubungan sistem agribisnis, memfasilitasi proses pembelajaran atau perlatihan bagi petani, menyaring dan mensintesis informasi agribisnis praktis untuk petani, mengembangkan kerjasama bisnis (kemitraan) yang dapat memberikan keuntungan bagi para pihak. Sub-sistem perusahaan usahatani sebagai produsen pertanian, berfungsi melakukan kegiatan teknis produksi agar produknya dapat dipertanggung jawabkan baik secara kualitas maupun kuantitas. Mampu melakukan manajemen agribisnis secara baik agar proses produksinya menjadi efisien sehingga mampu bersaing di pasar. Oleh karena itu, petani umumnya memerlukan penyuluhan dan informasi agribisnis, teknologi dan inovasi lainnya dalam proses produksi, bimbingan teknis atau pendampingan agar petani dapat melakukan proses produksi secara efisien dan bernilai tambah lebih tinggi. Sub-sistem perusahaan agribisnis hilir, berfungsi melakukan pengolahan lanjut (tingkat sekunder maupun tersier) untuk mengurangi susut nilai, berupaya meningkatkan mutu produk agar dapat memenuhi kebutuhan dan selera konsumen, serta berfungsi memperlancar pemasaran hasil melalui perencanaan sistem pemasaran yang baik. Sub-sistem jasa penunjang (penyuluhan, penelitian, BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 223 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan informasi agribisnis, pengaturan, kredit modal, transportasi, dan lain-lain), secara aktif ataupun pasif berfungsi menyediakan fasilitas layanan bagi kebutuhan pelaku sistem agribisnis untuk memperlancar aktivitas perusahaan dan sistem agribisnis. Masingmasing komponen jasa penunjang itu mempunyai karakteristik fungsi yang berbeda, namun intinya adalah agar mereka dapat berbuat sesuatu untuk meningkatkan kelancaran penyelenggaraan sistem agribisnis. Persoalan Kritis Skala Usaha Kecil Fakta empiris menunjukkan bahwa sebagian besar usahatani berskala-usaha kecil, yang umumnya dilakukan oleh rakyat. Atas dasar itu pula, dikatakan sebagai usaha pertanian rakyat atau peternakan rakyat. Sebagian besar peternak ayam ras pedaging di Jatim dan Bali (73,84%) skala usaha ternaknya masih di bawah 5.000 ekor (Suparta, 2001), sedangkan di Bali 64,60% skala usahanya peternak masih dibawah 5.000 ekor (Suparta, 2003). Guntoro(1997) juga melaporkan bahwa ratarata pemilikan sapi oleh peternak di Bali hanya 1-2 ekor per KK. Peningkatan skala usaha menjadi 4-5 ekor saja masih sulit, karena keterbatasan modal peternak. Petanian atau peternakan rakyat umumnya mempunyai berbagai keterbatasan, seperti skala usaha kecil, modal usaha sangat terbatas, menggunakan teknologi sederhana, kualitas produksi masih rendah, kontinuitas tidak terjamin sehingga peka terhadap guncangan pasar, dan mengalami kesulitan dalam pemasaran hasil. Dewasa ini terdapat lebih dari 32 juta usaha kecil dengan volume usaha kurang dari Rp 2 miliar rupiah per tahun, bahkan 90 persen diantaranya usaha kecil dengan volume usaha kurang dari Rp 50 juta rupiah per tahun. Dari 90 persen tersebut 21,30 juta unit usaha lebih adalah usaha rumah tangga yang bergerak di sektor pertanian. Kecilnya skala usahatani ini berdampak kepada lemahnya posisi tawar (bargainging posistion). Akibatnya, mereka hanya bisa berusaha dalam kondisi kegureman dengan ruang pengambilan keputusan (decision space) yang sangat sempit, kurang mampu 224 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana mengakses kredit komersial, lemah dalam perluasan pemasaran, kurang alih teknologi dan informasi. Oleh karena itu, skala usaha kecil yang ada dewasa ini harus ditingkatkan menjadi skala ekonomis. Peningkatan skala ekonomi (economics of scale) dapat dilakukan melalui koperasi atau program kemitraan usaha (Saragih, 1995), atau industri peternakan rakyat (INAYAT) (Ditjen Peternakan, 1994). Pengembangan agribisnis dan agroindustri yang berskala ekonomis akan bisa menjadi jalur pendemokrasian ekonomi. Penguasaan Lahan Hasil penelitian pada peternak ayam di Bali dan Jawa menunjukkan bahwa sebagian besar (51,48%) menguasai lahan di bawah 5000 m2, dan 25,11% antara 5.000 – 10.000 m2 (Suparta, 2001). Penelitian lain yang dilakukan oleh Jabal Tarik Ibrahim di Malang (2001) juga menunjukkan hal serupa, yakni 46,2% petani menguasai lahan di bawah 5.000 m2, dan 26,2% antara 5000 – 10.000 m2. Hal ini menandaskan bahwa petani atau peternak dalam berusahatani sangat dibatasi oleh luas lahan yang dapat dipergunakan untuk usahatani. Betapa pun baiknya kemampuan dan kemauan peternak untuk mengembangkan agribisnis, tetapi jika ketersediaan lahan sangat terbatas maka akan sulit bagi peternak untuk mengembangkan usahanya secara optimal. Permodalan Usaha Petani atau peternak umumnya sangat terbatas dalam pemilikan modal usaha. Mereka merasa sangat sulit untuk mengakses modal usaha dari lembaga keuangan formal seperti perbankan. Faktor pembatasnya adalah tidak punya agunan, prosedur terasa sulit, takut dengan risiko usaha, dan terbatasnya informasi dan komunikasi (Suparta, 2003). Mereka merasa lebih aman mendapatkan modal usaha dari perusahaan inti melalui cara hubungan kemitraan (terutama ketika terjadi krisis moneter tahun 1998). Jika peternak menggunakan fasilitas kredit, maka mereka merasa lebih mudah mendapat kredit dari lembaga keuangan mikro dengan tingkat suku bunga yang relatif lebih tinggi. Disinilah letak ketidak adilan pelayanan bank kepada petani sebagai pengusaha BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 225 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan kecil dibandingkan dengan pengusaha besar. Oleh karena itu, diperlukan model kemitraan usaha agar petani mampu mengakses sejumlah modal yang diperlukan untuk melanjutkan usahanya. Tingkat Pendidikan Pada umumnya tingkat pendidikan petani masih sangat rendah (sebagian besar SD sampai SMP). Ibrahim (2001) melaporkan bahwa 83,6% petani tingkat pendidikannya masih antara SD sampai SMP. Bahkan hasil survai BPS (1988) menunjukkan bahwa di bidang Industri Kecil dan Industri Rumah Tangga pun, ternyata 82,89% pendidikannya adalah SD sampai SMP. Namun, yang menggembirakan dari para peternak ayam ras adalah ternyata sebagian besar (38,40%) tingkat pendidikannya SMU (Suparta, 2003), dan 41,03% tamat SMU (Mahyuni, 2003). Para peternak menekuni usaha ayam ras juga didasarkan atas pertimbangan rasional komersial untuk memperoleh nilai tambah. Perbedaan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap keinovativan, kecepatan proses adopsi inovasi, dan perilaku seseorang. Berarti, peternak ayam berpotensi lebih besar untuk dapat menangkap berbagai inovasi sistem agribisnis dibandingkan petani lainnya. Perilaku Agribisnis Perilaku merupakan cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis, dan psikologis (Kast dan Rosensweig, 1995). Perilaku juga merupakan refleksi dari hasil sejumlah pengalaman belajar seseorang terhadap lingkungannya yang dapat dilihat dari aspek pengetahuan(cognitive), sikap (affective), keterampilan (psychomotoric), dan tindakan nyata (action) (Rogers, 1969). Perilaku agribisnis dapat diukur dari tiga aspek utama, yaitu (1) aspek perilaku teknis produksi (panca usaha pertanian atau peternakan); (2) aspek perilaku manajemen agribisnis (perencanaan usaha, pemanfaatan sumber daya agribisnis, peningkatan efisiensi, peningkatan produktivitas, perbaikan mutu 226 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana hasil, perekayasaaan teknologi, perekayasaan kelompok atau koperasi, dan pemuasan pelanggan; (3) aspek perilaku hubungan sistem agribisnis (melakukan hubungan kebersamaan dan saling ketergantungan antar pelaku agribisnis, dan melakukan kerjasama tim bisnis secara harmonis. Suparta (2001) melaporkan bahwa perilaku agribisnis peternak ayam ras pedaging ternyata belum kondusif ke arah perilaku agribisnis berkebudayaan industri karena (a) kurang didukung oleh aspek perilaku hubungan sistem agribisnis, (b) terlalu berorientasi kepada on farm agribusiness, dan (c) pola pikir dan etika kesisteman untuk mencapai tujuan bersama masih kurang. Kondisi yang hampir serupa juga tampak pada pelaku sistem agribisnis di hulu maupun di hilir. Jika pada komoditas ayam ras pedaging yang karakteristik usahanya sudah bersifat industri (dikelola secara efisien, menggunakan teknologi maju, kualitas dan kuantitas produksinya dapat dikendalikan secara berkelanjutan untuk memenuhi permintaan pasar, serta skala usahanya bisa dibuat besar (Departemen Pertanian 1995) belum juga kondusif kearah perilaku agribisnis berkebudayaan industri, bagaimana halnya dengan pelaku agribisnis pada komoditas peternakan lainnya? Sebagian besar (74,89%) peternak termasuk katagori perilaku agribisnis tinggi, namun aspek perilaku hubungan sistem agribisnisnya masih rendah (Suparta, 2001). Hal ini terbukti dari sebagian besar (69,12%) peternak menyatakan menerima materi penyuluhan tentang teknis produksi; 34,93% tentang manajemen agribisnis; dan hanya 6,12% tentang sistem agribisnis. Materi informasi agribisnis yang diterima peternak juga menunjukkan kecenderungan serupa, yakni sebagian besar (94,04%) peternak menyatakan menerima materi informasi tentang teknis produksi; 51,96% tentang manajemen agribisnis; hanya 29,68% tentang hubungan sistem agribisnis. Berdasarkan indikator ciri, ternyata: (a) peternak belum mampu menerapkan teknologi untuk mengendalikan pengaruh alam, (b) belum mempunyai kebiasaan untuk membuat perencanaan secara tertulis, (c) hasil usaha belum digunakan untuk pemupukan modal, (d) belum sepenuhnya mampu menggunakan kemajuan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 227 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan kualitas produksi karena biaya teknologi masih dianggap terlalu mahal, dan (e) belum melakukan hubungan koordinasi vertikal secara baik dan benar. Kondisi kritis yang menjadi pembatas utama peternakan rakyat, mengharuskan untuk membentuk industri peternakan rakyat (INAYAT). Jika agribisnis itu sudah bercorak industri, maka para pelakunya juga harus berperilaku agribisnis berbudaya industri. Namun kenyataannya, sikap dan perilaku peternak belum mencerminkan budaya industri. Lebih disayangkan lagi, sikap dan perilaku seperti itu tidak hanya ditemukan pada peternak, tetapi juga pada pelaku subsistem agribisnis di hulu maupun di hilir, padahal untuk kemajuan suatu agribisnis diperlukan sikap dan perilaku yang harmonis antara perusahaan peternakan dengan perusahaan agribisnis lainnya. Sikap dan perilaku seperti itulah yang menjadi penghalang besar untuk keberhasilan pengembangan sistem agribisnis. Untuk mengubah sikap dan perilaku agribisnis pada para pelaku sistem itulah maka diperlukan upaya penyuluhan yang efektif, yakni penyuluhan sistem agribisnis. Strategi Pemberdayaan Perusahaan dan Sistem Agribisnis Strategi pemberdayaan masyarakat pertanian melalui pendekatan sistem dan perusahaan agribisnis yang terencana dan terimplementasi secara nyata serta terkait kuat dengan semua sektor pembangunan ekonomi, merupakan prasyarat keharusan pelaku perusahaan agribisnis, khususnya petani peternak untuk dapat menikmati hasil pembangunan secara berarti. Budaya agraris yang bersifat komunal, ikatan emosional, primordial, kolektif, keterikatan dengan alam tinggi, dan teknologi yang sederhana perlu diubah menjadi petani yang berbudaya industri, yakni (a) senantiasa menggunakan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan, (b) menggunakan dan melakukan rekayasa teknologi sehingga setiap produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang diminta pasar, (c) senantiasa berorientasi kepada permintaan pasar, (d) senantiasa meningkatkan efisiensi dan produktivitas, (e) senantiasa mengutamakan mutu dan nilai tambah, (f) inovatif, (g) berani menghadapi risiko usaha, (h) 228 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana melakukan agribisnis koordinasi vertikal maupun horizontal, serta (i) profesional dan mandiri dalam menentukan keputusan. Pembudayaan industri pada masyarakat pertanian diharapkan mampu meningkatkan kesejehtaraan bagi pelaku agribisnis terutama petani. Oleh karena itu, strategi pembudayaan industri melalui berbagai pendidikan dan pembinaan kepada masyarakat agribisnis di Bali sangat diperlukan. Sistem Koordinasi Vertikal Saragih (1998) mengemukakan bahwa untuk efisiensi dan mampu bersaing di tingkat internasional, maka pelaku agribisnis harus melakukan integrasi vertikal, yakni perusahaan agribisnis hulu, tengah dan hilir berada dalam satu manajemen dan satu pemilik. Namun, keterbatasan lahan dan modal usaha sebagaimana disebutkan Suparta (2001), Ibrahim (2001) dan Mahyuni (2003), menyebabkan petani dan peternak sulit untuk mengembangkan skala usaha yang ekonomis. Jika memang demikian faktanya, maka sulitlah bagi Indonesia untuk menerapkan industri peternakan yang terintegrasi vertikal secara sempurna. Jalan terbaik untuk mengembangkan agribisnis di Indonesia agar tetap bertumpu pada upaya penguatan ekonomi kerakyatan adalah sistem koordinasi vertikal. Simatupang (1995) menandaskan bahwa perusahaan yang tidak mungkin menerapkan agribisnis integrasi vertikal secara sempurna, sebaiknya menerapkan sistem koordinasi vertikal, yakni perusahaan agribisnis yang pemiliknya berbeda-beda tetapi dapat melakukan koordinasi usaha secara vertikal dengan manajemen satu atap, atau sering pula disebut dengan ‘quasi integrasi vertikal’. Secara prinsip kerjasama, antara sistem agribisnis integrasi vertikal dan koordinasi vertikal adalah sama. Namun, integrasi vertikal lebih mengarah pada usaha padat modal dan padat teknologi, sehingga hanya cocok dilakukan oleh perusahaan besar. Contoh perusahaan perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, atau Chicken Tyson di Amerika Serikat. Sistem koordinasi vertikal, lebih mengarah pada padat karya karena melibatkan banyak petani kecil, sehingga lebih cocok bagi petani rakyat atau peternak rakyat. Contohnya adalah pola kemitraan ayam ras pedaging, pola kemitraan tanaman tembakau, BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 229 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan dan lain-lain. Perusahaan inti (industri pakan) dan plasma (peternak) melakukan koordinasi vertikal dengan prinsip saling membutuhkan, saling menguntungkan, dan saling menguatkan yang dilandasi oleh penerapan etika bisnis. Peternakan atau pertanian di Indonesia yang skala usahanya kecil-kecil, karena dibatasi oleh luas lahan sempit, kemampuan modalnya terbatas, maka cara terbaik untuk meningkatkan kemampuan agribisnisnya adalah pola kemitraan. Ekonomi Kerakyatan Hanya dengan cara melakukan koordinasi vertikal dan atau horisontal, maka skala usaha peternakan rakyat akan menjadi layak secara ekonomi atau bisnis. Harapannya adalah agribisnis peternakan menjadi lebih efisien dan mampu bersaing di pasar global. Pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) pada ayam ras pedaging saat ini telah lebih solid dan telah terbukti mampu menguntungkan ke dua belah pihak (Suparta, 2003 dan Mahyuni, 2003), telah mampu menjadi sumber pendapatan utama peternak, dan jumlah pemilikan ternak cenderung meningkat (Mahyuni, 2003). Perilaku dalam hubungan kemitraan itu, suatu ketika akan menjadi bagian dari budaya agribisnisnya. Agribisnis peternakan yang melibatkan peternak rakyat, menunjukkan bahwa pola ini memanfaatkan fakta yang ada di Indonesia, serta mengutamakan eksistensi ekonomi rakyat. Eknomi kerakyatan diartikan sebagai ekonomi yang dikelola secara demokrasi ekonomi, yakni semua rakyat diberi kesempatan yang sama untuk berperan secara sempurna dalam bingkai ekonomi pasar. Tidak boleh ada kebijakan yang menumbuhkan monopolistis dan monopsonistis. Perusahaan agribisnis yang dikelola secara industri tetapi melibatkan peternakan rakyat, disebut ‘Industri Peternakan Rakyat’. Sistem ekonomi kerakyatan mengacu kepada lima prinsip, yakni (1) prinsip visi, misi, dan strategi pembangunan yang memihak rakyat, (2) prinsip musyawarah mufakat, (3) prinsip keterpaduan dengan asas keseimbangan antara kepentingan lokal dan nasional, (4) prinsip koordinasi dengan asas kebersamaan, dan (5) prinsip pelestarian pembangunan (Sumodiningrat, 1999). Pembangunan sektor agribisnis berbasis pedesaan merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi 230 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana pembangunan ekonomi yang berpihak pada rakyat. Indikator tercapainya sasaran pengembangan agribisnis berbasis pedesaan antara lain adalah: (1) petani bisa akses secara langsung sumbersumber permodalan serta mampu sejajar bernegosiasi dengan mitra bisnisnya, (2) tumbuh dan berkembangnya kelompokkelompok agribisnis, (3) petani menyadari betul bahwa agribisnis merupakan kepercayaan jangka panjang, menghasilkan produk dengan kualitas yang diinginkan oleh pasar, perlunya memahami informasi dengan peluang pasar, (4) timbulnya kesadaran para pelaku agribisnis sektor hilir dan hulu melakukan kemitraan untuk meningkatkan efesiensi (Badan Agribisnis, 1995). Budaya Industri dalam Agribisnis Keberhasilan usaha pertanian tidak bisa ditentukan oleh petani peternak sendirian, tetapi merupakan hasil resultante dari sinergi antara petani peternak (perusahaan usahatani) dengan perusahaan yang menghasilkan sarana produksi pertanian dan perusahaan yang akan mengolah atau memasarkan hasilnya, serta komponen penunjang agribisnis. Karena itu, harus ada kesamaan sikap dan perilaku yang dilandasi oleh etika bisnis diantara para pelaku sistem. Pembangunan agribisnis dapat dilakukan melalui pemberdayaan petani maupun pelaku sistem lainnya tentang hakekat sistem agribisnis, yakni membangun sikap mental dan budaya industri pada masyarakat pertanian. Suatu kesalahan besar yang terjadi selama ini adalah sebagai berikut. (1) Tindakan penyuluh yang selalu berfokus kepada upaya peningkatan kemampuan teknis produksi petani, padahal yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan kemampuan manajemen agribisnis dan manajemen hubungan sistem agribisnisnya; (2) Para penyuluh telah terjebak di dalam lingkaran sistem kerja yang keliru, memandang peningkatan produksi sebagai tujuan akhir; (3) Disadari atau tidak para pejabat pertanian telah membentuk opini masyarakat bahwa tingkat produksi dan produktivitas merupakan ukuran keberhasilan pembangunan pertanian; (4) Para pejabat pertanian memandang bahwa perusahaan agribisnis yang berada di hulu dan di hilir sebagai pengusaha BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 231 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan professional yang sudah mampu menerapkan sistem agribisnis, padahal belum mampu menerapkan konsep sistem agribisnis secara baik. Jika para pejabat pertanian atau penyuluh masih mempunyai cara pandang seperti itu, bagaimana jadinya dengan petani peternak kita? Kesalahan cara pandang seperti itu menyebabkan para pejabat pemerintahan kita selalu sibuk mengurusi petani, melakukan penyuluhan yang keliru kepada petani, dan memberikan fasilitas yang juga keliru kepada petani. Hal inilah yang dapat menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan pada para pejabat pemerintahan maupun petani. Petani peternak hanyalah merupakan salah satu komponen perusahaan agribisnis. Jika keberhasilan agribisnis tidak bisa dilakukan oleh petani saja, maka komponen perusahaan agribisnis lainnya haruslah menjadi fokus perhatian yang tidak kalah pentingnya dengan petani itu sendiri. Karena itu, setiap kebijakan pemerintah di bidang pembangunan pertanian haruslah menyentuh semua komponen pelaku sistem agribisnis dan mengkoordinasikan semua komponen pelaku sistem agribisnis. Kebijakan dan tindakan seperti itu harus dilakukan secara terus menerus hingga menjadi budaya bagi masyarakat agribisnis di Indonesia. Jika semua komponen pelaku sistem agribisnis sudah dapat memahami hakekat sistem agribisnis dan menjadikannya sebagai budaya dalam mengelola perusahaan agribisnis, maka otomatis pendapatan dan kesejahteraan petani pun akan meningkat. Menurut Soekanto (1990) kebudayaan diartikan sebagai garisgaris pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dan seharusnya dilakukan. Pertanian “berbudaya industri” dimaksudkan sebagai pengelolaan kegiatan pertanian secara industri, yakni membuat kebudayaan industri menjadi kebudayaan milik pertanian, yang secara fundamental berarti membangun sikap mental dan budaya masyarakat pertanian sebagaimana sikap mental dan budaya yang hidup dalam masyarakat industri (Solahuddin, 1999). Kondisi yang berlawanan dengan budaya idustri adalah “budaya agraris” yang dicirikan oleh sifat komunal, diikat oleh kesadaran kolektif, terdapat ikatan 232 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana emosional, hubungan dan orientasi primordial, keterkaitan dengan alam tinggi, dan teknologi masih sederhana. Ciri perilaku agribisnis berkebudayaan industri yang diharapkan terbentuk adalah: (1) tekun, ulet, kerja keras, hemat, cermat, disiplin dan menghargai waktu; (2) mampu merencanakan dan mengelola usaha; (3) selalu memegang teguh asas efisiensi dan produktivitas ; (4) menggunakan teknologi terutama teknologi tepat guna dan akrab lingkungan ; (5) mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil ; (6) berorientasi kepada kualitas produk dan permintaan pasar ; (7) berorientasi kepada nilai tambah ; (8) mampu mengendalikan dan memanfaatkan alam ; (9) tanggap terhadap inovasi ; (10) berani menghadapi risiko usaha ; (11) melakukan agribisnis yang terintegrasi maupun quasi integrasi secara vertikal ; (12) perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam sehingga produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang diminta pasar ; (13) profesional serta mandiri dalam menentukan keputusan. Penyuluhan Sistem Agribisnis Menurut Suparta (2001), penyuluhan sistem agribisnis adalah “jasa layanan pendidikan dan informasi agribisnis yang dilakukan melalui proses pendidikan non formal untuk petani dan pihak-pihak terkait yang memerlukan, agar kemampuannya dapat berkembang secara dinamis untuk menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapinya dengan baik menguntungkan dan memuaskan.” Difinisi itu didasarkan atas kebutuhan nyata sistem agribisnis agar lebih efektif mencapai hasil. Terkait dengan itu, Margono Slamet (2003) mengemukakan suatu definisi baru tentang penyuluhan, yakni: industri jasa yang menawarkan pelayanan pendidikan (non formal) dan informasi pertanian kepada petani dan pihak-pihak lain yang memerlukan. Kedua definisi itu bermakna bahwa: (1) penyuluhan tetap sebagai pendidikan non formal, (2) ingin memisahkan penyelenggaraan penyuluhan dari program-program pertanian yang sering (top down), (3) penyuluhan merupakan bentuk pelayanan kepada pelaku agribisnis yang memerlukan dengan cara penyediaan informasi agribisnis, pendampingan dan pembinaan langsung dilapangan. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 233 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan Kegiatan penyuluhan itu adalah jasa layanan, dan jasa layanan itulah yang harus dibuat bermutu sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan harapan sasaran penyuluhan pada waktu yang diperlukan. Mutu jasa layanan dapat dilihat dari segi keterpercayaan (reliability), keterjaminan (assurance), penampilan (tangibility), kepemerhatian (empaty), dan ketanggapan (responsiveness). Jasa layanan itu dilakukan melalui proses pendidikan non formal guna meningkatkan perilaku sasaran, yang dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui berbagai media cetak atau elektronik. Dengan demikian, sasaran diharapkan akan meningkat kemampuannya secara dinamis untuk dapat menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapinya. Penyuluhan sistem agribisnis juga memerlukan perubahan perilaku penyuluh, yakni harus mampu: (1) Meningkatkan profesionalisme penyuluh dengan melakukan perbaikan mutu layanan secara terus menerus yang mengacu kepada kebutuhan dan kepuasan pelanggannya; (2) Menguasai materi penyuluhan yang menyangkut teknis produksi, manajemen agribisnis, manajemen hubungan sistem agribisnis, informasi permintaan pasar atau kebutuhan konsumen, jiwa kewirausahaan, serta etika bisnis dan keunggulan bersaing; (3) Tidak menjadikan petani dan perusahaan agribisnis lainnya sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang dapat menentukan masa depannya sendiri; (4) Melakukan fungsi melayani (konsultatif) dengan sistem “menu”. Untuk medukung strategi pendekatan “penyuluhan sistem agribisnis”, maka, penyuluh seharusnya tetap berpegang pada falsafah dasar penyuluhan pertanian (Slamet, 1969 dan Samsudin, 1987), yaitu (1) penyuluhan merupakan proses pendidikan, (2) penyuluhan merupakan proses demokrasi, dan (3) penyuluhan merupakan proses kontinyu. Penyuluh juga sebaiknya tetap berpegang pada prinsipprinsip penyuluhan (Dahama dan Bhatnagar, 1980), antara lain (1) penyuluhan akan efektif bila mengacu kepada minat dan 234 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana kebutuhan sasaran, (2) penyuluhan harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan, (3) penyuluh mendorong terjadinya belajar sambil bekerja, (4) penyuluh harus orang yang sudah terlatih dan benar-benar menguasai materi yang akan disuluhkan, (5) metode penyuluhan disesuaikan dengan kondisi spesifik sasaran (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan sosial budaya), dan (6) penyuluhan harus mampu mengembangkan kepemimpinan partisipatif. Peranan Penyuluhan Peranan penyuluhan dalam pengembangan perusahaan dan sistem agribisnis, adalah (1) mengembangkan kekondusifan lingkungan belajar bagi sasaran penyuluhan untuk belajar secara mandiri, (2) melakukan pelatihan bagi petani untuk meningkatkan keterampilan agribisnis, (3) melakukan pendampingan bagi pelaku sistem agribisnis untuk memecahkan permasalahan sistem agribisnis yang sedang dihadapi, (4) melakukan pembinaan kepada pelaku agribisnis untuk meningkatkan nilai tambah, pengembangan permodalan, penanganan pasca panen dan pemasaran hasil, dan (5) memotivasi pelaku sistem agribisnis untuk menerapkan prinsip koordinasi vertikal secara baik dalam kerangka ekonomi kerakyatan. Atas dasar peranan penyuluhan tersebut, maka penyuluh berkewajiban menyadarkan sasaran penyuluhan tentang adanya kebutuhan yang nyata (real need atau unfelt need) menjadi kebutuhan yang dirasakan (felt need). Penyuluh harus mampu mengajak sasaran penyuluhan berpikir, berdiskusi, menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama sehingga terjadi pemecahan masalah dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka. Penyuluh akan semakin mampu menerapkan “pendekatan penyuluhan sistem agribisnis” yang makin efektif apabila mampu menghayati secara sungguh-sungguh materi penyuluhan sistem agribisnis secara luas, dan makin berkemampuan tinggi dalam menerapkan keanekaragaman metode penyuluhan dan media komunikasi kepada sasarannya secara tepat dan bijak. Untuk keberhasilan penyuluhan sistem agribisnis di masa BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 235 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan depan, maka penyuluhan sistem agribisnis agar dilakukan oleh “penyuluh profesional”, yang dapat berasal dari penyuluh dinas atau pun penyuluh swasta, yang mempunyai kompetensi dan komitmen diri yang tinggi untuk menjaga profesionalisme penyuluh. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1999), profesional diartikan sebagai memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya serta mengharuskan adanya pembayaran atas jasa profesi. Profesionalisme penyuluh disamping mencerminkan keahliannya, juga harus mampu menunjukkan mutu layanannya, kemandirin, dan kewirausahaan. Menurut Anoraga (1998), seorang profesional harus mampu memadukan unsur kemampuan teknis (keahlian) dan kematangan etik, moral dan akal. Penguasaan teknik saja tidak membuat seseorang menjadi profesional. Lebih lanjut dikemukakan bahwa, beberapa ciri profesionalisme, yaitu (1) mengejar kesempurnaan hasil, (2) memerlukan kesungguhan dan ketelitian kerja yang dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan, (3) sifat keteguhan dan ketabahan untuk mencapai hasil hingga tercapai, (4) mempunyai integritas tinggi, dan (5) memerlukan kebulatan pikiran dan perbuatan untuk mencapai efektivitas kerja yang tinggi. Menurut Slamet et al. (1996), profesionalisasi penyuluhan dapat dilakukan dengan mengacu kepada penerapan manajemen mutu terpadu, yakni pola manajemen penyuluhan yang memuat prosedur agar setiap orang dalam organisasi penyuluhan terus menerus memperbaiki jalan menuju sukses, dan dengan penuh semangat berpartisipasi dalam perbaikan pelaksanaan kerja. Penyuluhan dikatakan bermutu baik jika dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pihak yang disuluh (sasaran). Agar penyuluhan dapat bermutu baik maka seluruh sumber daya harus dapat dipergunakan dengan baik, dan proses penyuluhan harus tetap berpegang pada falsafah dan prinsip penyuluhan. Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka ciri-ciri penyuluh profesional adalah sebagai berikut: (a) mempunyai latar belakang keahlian di bidang agribisnis, (b) memahami betul posisi dan peranan dirinya sebagai penyuluh agribisnis, (c) menguasai betul semua aspek agribisnis, seperti: teknis produksi, manajemen agribisnis, hubungan sistem agribisnis, dan etika bisnis (keadilan, 236 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana kejujuran, kewajaran, kepercayaan, dan keuletan), (d) selalu mengejar kesempurnaan hasil melalui penerapan manajemen mutu terpadu dalam penyelenggaraan penyuluhan, (e) biasa belajar dan bekerja dengan penuh kesungguhan hati dan ketelitian, (f) mempunyai sifat teguh dan tabah serta tekad yang kuat untuk mencapai hasil, (g) disiplin, tekun, serius, dan jujur dalam bekerja, dinamis dan progresif dalam menyesuaikan diri dengan petani peternak, (h) senantiasa berpegang pada efisiensi dan efektivitas kerja, (i) mempunyai komitmen moral dan pribadi serta tanggung jawab yang mendalam atas pekerjaannya, (j) dapat memberikan kepuasan kepada orang yang dilayani, (k) hidup dari pekerjaannnya sebagai penyuluh, berarti harus mendapat imbalan yang layak, dan (l) diandalkan dan dipercaya oleh masyarakat. Syarat keharusan, merupakan kondisi minimum yang harus ada agar penyuluhan sistem agribisnis dapat berjalan dengan baik sebagai berikut. (1) Penyuluh profesional agar memiliki kompetensi keahlian dan etika profesionalisme; (2) Penyuluh agar tetap berpegang pada falsafah penyuluhan dan prinsip-prinsip penyuluhan; (3) Visi dan misi penyuluhan agar menempatkan petani peternak dan usahataninya sebagai sentral dalam penyelenggaraan penyuluhan; (4) Tujuan penyuluhan agar jelas dan dapat dipahami bersama petani peternak yakni meningkatkan perilaku agribisnis yang berbudaya industri; (5) Memanfaatkan sumber daya penyuluhan semaksimal mungkin dalam penyelenggaraan penyuluhan untuk mencapai tujuan; (6) Sasaran perubahan perilaku harus jelas dan terukur yakni mampu memahami dan melakukan hubungan sistem agribisnis dan etika kesisteman yang baik; (7) Materi penyuluhan menyangkut semua aspek sistem agribisnis, yakni: aspek teknis produksi, manajemen agribisnis, hubungan sistem agribisnis berwawasan industri, etika kesisteman, kewirausahaan; (8) Metode dan media komunikasi penyuluhan harus lebih beragam agar mampu meningkatkan perubahan aspek psikologis yang lebih dekat kepada perubahan perilaku, BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 237 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan (9) (1) (2) (3) (4) (5) yakni: persepsi, sikap, keterampilan dan sifat kewirausahaan petani peternak; Fasilitas dan pendapatan yang memadai bagi penyuluh. Syarat kecukupan merupakan lingkungan yang memperlancar mekanisme kerja “penyuluhan Sistem Agribisnis”, sebagai berikut. Kebijakan pemerintah tentang pembangunan pertanian melalui pendekatan agribisnis, serta kebijakan pemerintah tentang fungsi dan peran penyuluhan dalam pembangunan pertanian; Situasi perekonomian makro yang stabil dan dinamis dan memberikan iklim yang baik bagi berkembangnya usaha pertanian; Situasi sosial politik yang stabil sehingga tidak mempengaruhi aktivitas dan pertumbuhan ekonomi secara makro; Kondisi infra struktur yang memadai sehingga memudahkan dan memperlancar pelaksanaan proses produksi dan proses pemasaran hasil; Dukungan fungsi-fungsi lain, seperti: lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pasar yang kuat untuk menjual hasil produksi dan hasil olahannya, pelayanan informasi agribisnis, lembaga keuangan dan asuransi. Agar fungsi-fungsi itu dapat bersinergi dengan baik maka fungsifungsi itu perlu memiliki persepsi dan sikap yang sama tentang sistem agribisnis. Penutup Rendahnya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak selama ini karena terlalu berorientasi kepada produksi dan produktivitas, kurang berorientasi kepada kebutuhan pasar dan hubungan sistem agribisnis, sehingga perolehan nilai tambah menjadi rendah. Seandainya pun petani sudah ada yang berorientasi kepada pasar, tetapi tidak ada sinergi yang solid antara perusahaan usahatani dengan perusahaan agribisnis di sub-sistem agribisnis hulu maupun di sub-sistem agribisnis hilir untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Akibatnya, permintaan produk pertanian menjadi tidak jelas dan harganya cenderung kurang menguntungkan petani. Rendahnya 238 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana perilaku agribisnis tidak hanya terjadi pada petani, tetapi juga terjadi pada pelaku perusahaan agribisnis lainnya. Oleh karena itu, wajib bagi masyarakat agribisnis untuk menyadarinya, dan selanjutnya sesegera mungkin harus dapat memperbaikinya menjadi perilaku agribisnis yang berkebudayaan industri. Untuk meningkatkan perilaku agribisnis pada para pelaku sistem agribisnis itu diperlukan pendekatan penyuluhan sistem agribisnis, yang materi penyuluhannya tidak hanya menekankan aspek teknis produksi saja; tetapi mencakup keseluruhan aspek teknis produksi, aspek manajemen agribisnis dan aspek manajemen hubungan sistem agribisnis dengan wawasan industri terutama etika kesisteman, kemampuan kewirausahaan, dan keperibadian sebagai pengusaha agribisnis agar para pelaku sistem agribisnis dapat memiliki persepsi dan sikap yang sama tentang visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran dan rencana kerja bersama yang dirumuskan dengan cara terbuka. Tujuan penyuluhan sistem agribisnis harus jelas ke arah terbentuknya perilaku agribisnis yang berkebudayaan industri. Metode penyuluhannya maupun media komunikasi yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan agar lebih beragam, inovatif dan kreatif sesuai dengan kebutuhan sasaran penyuluhan. Kegiatan penyuluhan tidak hanya dilakukan kepada petani peternak saja, tetapi juga kepada para pelaku perusahaan agribisnis lainnya. Kebersamaan dan saling ketergantungan diantara semua perusahaan agribisnis akan menghasilkan visi, misi, etika bisnis, tujuan dan sasaran serta rencana kerja bersama yang harmonis untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Penyuluhan sistem agribisnis juga memerlukan perubahan perilaku penyuluh, menjadi penyuluh sistem agribisnis yang profesional. Penyuluh akan semakin efektif apabila secara sungguh-sungguh mampu menghayati materi penyuluhan sistem agribisnis, dan makin berkemampuan tinggi dalam menerapkan keanekaragaman metode penyuluhan dan media komunikasi kepada sasaran penyuluhan secara tepat dan bijak. Strategi pendekatan “penyuluhan sistem agribisnis” juga memerlukan beberapa prakondisi, yakni syarat keharusan (necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition). BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 239 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan Daftar Pustaka Abbas, S. 1995. “Sembilan Puluh Tahun Penyuluhan Pertanian di Indonesia (1905-1995)” dalam: Dinamika dan Persektif Penyuluhan Pertanian pada Pembangunan Pertanian Jangka Panjang Tahap Kedua. Prosiding Lokakarya, Bogor 4-5 Juli 1995. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 39-134, Bogor. Amirin, T.M. 1996. Pokok-Pokok Teori Sistem. Ed. Ke-1. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anoraga, P. 1998. Psikologi Kerja. Rineka Cipta, Jakarta. Badan Agribisnis. 1995. Sistem, Strategi dan Program Pengembangan Agribisnis. Badan Agribisnis, Deptan. Jakarta. Dahama, O.P., dan O.P. Bhatnagar. 1980. Education and Communication for Development. Oxford & IBH Publishing, New Delhi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. Departemen Pertanian. 1995. Strategi Pembangunan Peternakan Menuju Pertanian Modern. Bahan Pengarahan dirjen Peternakan, Departemen Pertanian R.I. Disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Departemen Pertanian di Jakarta, pada Tanggal 10-13 Juli 1995. Ditjen Peternakan, Jakarta. Departemen Pertanian 2001. Pembangunan Sistem agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional. Edisi Pertama. Jakarta. Downey, W.D., dan S.P. Erickson. 1992. Manajemen Agribisnis. Ed. Ke-2. R. Ganda.S. dan A. Sirait, Penerjemah. Terjemahan dari: Agribusiness Management. Erlangga, Jakarta. Ibrahim, J.T. 2001. Kajian Reoriantesi Penyuluhan Pertanian Ke arah Pemenuhan Kebutuhan Petani di Propinsi Jawa Timur [Disertasi]. Program pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jarmie, M.Y. 1995. Sistem Penyuluhan Pembangunan Pertanian Indonesia. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kast, F.E., dan J.E. Rosenzweig. 1995. Organisasi dan Manajemen. Jilid 1, Ed. Ke-4. A. Hasyani Ali Penerjemah. Terjemahan dari: organization and Management. Penerbit Bumi Aksara, 240 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana Jakarta. Mahyuni, N.A. 2003. Efektifitas Pola Kemitraan Agribisnis Ayam ras Pedaging di Bali (Kasus Pada PT. Aneka Satwa Perkasa). [Tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar. Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. Fredrick A. Praeger. Inc.Publishers, New Tork. Puspadi, K. 2002. Rekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rogers, E.M. 1969. Modernization Among Peasant: The Impact Of Communication. Holt, Rinehart, and Winston, New York. Samsudin, U.,1987. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Binacipta, Bandung. Saragih, B. 1995. Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Menghadapi Abad Ke-21. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Ekonomi dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saragih, B. 1998. Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Kumpulan Pemikiran. Editor : Tungkot Sipayung, Jef R Saragih, dan Frans B.M. Dabukke. Yayasan Mulia Persada Indonesia dan Surveyor Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan Lemlit IPB Bogor. Jakarta. Slamet, M., dan P.S. Asngari. 1969. Penyuluhan Peternakan. Dirjen Peternakan, Jakarta. Slamet, M., D.P. Tampubolon, M. J. Hanafiah, dan A. Hamim. 1996. Manajemen Mutu Terpadu di Perguruan Tinggi. HEDS Project, Jakarta. Slamet, M., M. 2003. Pola, Strategi, dan Pendekatan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian pada PJP II. Dalam Membentuk Pola Perilaku manusia Pembangunan. Penyunting Ida Yustina dan Ajat Sudrajat. Penerbit IPB Press, Bogor. Simatupang, P., 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Soekanto, S. 1990. Sosiologi suatu Pengantar. Edisi Baru Keempat. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 241 Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan Rajawali, Jakarta. Solahuddin, S. 1999. Visi Pembangunan Pertanian Abad 21. Diedit oleh: Arief Satria dan Amirudin Saleh. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suparta, N. 2001. Perilaku Agribisnis dan Kebutuhan Penyuluhan Peternak Ayam Ras Pedaging. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suparta, N, Nuraini, K., dan Sutrisna, I.B. 2003. Kajian Perilaku Agribisnis Berkebudayaan Industri dalam struktur Koordinasi Vertikal Sistem Agribisnis dan Pengaruhnya Bagi Keberhasilan Peternak Plasma Maupun Lingkungannya. [Laporan Peelitian]. Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana. Denpasar. 242 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK PENDEKATAN METABOLISME KUANTITATIF DALAM ILMU NUTRISI TERNAK I Gede Mahardika Pendahuluan Besarnya peranan ternak dalam sistem pertanian secara menyeluruh memaksa kita untuk bersikap untuk memanfaatkan dan memeliharanya secara efisien, salah satunya memberikan pakan yang sesuai dengan kebutuhannya. Kondisi umum peternakan di Indonesia khususnya produksi ternak lokal masih menemui beberapa permasalahan yang salah satunya adalah produktivitasnya relatif rendah. Salah satu faktor yang menyebabkan adalah manajemen dan pola pemberian pakan yang belum mengikuti kaidah-kaidah ilmu nutrisi yaitu pemberian pakan yang belum memperhatikan kebutuhan nutrien sesuai dengan tingkat produksi dan tujuan pemeliharaan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa perbaikan manajemen dan perbaikan pakan mampu meningkatkan produksi ternak lokal kita seperti ayam kampung, babi lokal, sapi, kerbau dan ternak lokal lainnya. Namun berapa besarnya nutrien yang harus diberikan agar ternak tumbuh secara optimal belum diketahui secara pasti. Kondisi ini diakibatkan oleh belum adanya data yang akurat mengenai kebutuhan nutrisi untuk ternak-ternak lokal kita. Pendekatan metabolisme kuantitatif yang menekankan kepada perhitungan-perhitungan kuantitatif suatu proses produksi, dipercaya dapat memunculkan suatu penemuan tentang mekanisme proses produksi yang terjadi di dalam tubuh ternak. Pendekatan metabolisme kuantitatif meliputi pencernaan, metabolisme dan efisiensi pemanfaatan nutrien untuk proses produksi, pengamatan komposisi tubuh ternak pada berbagai tingkat pertumbuhan untuk mengetahui besarnya simpanan nutrien di dalam tubuh serta BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 243 Pendekatan Metabolisme Kuantitatif dalam Ilmu Nutrisi Ternak pengamatan terhadap efisiensi pengubahan nutrien untuk proses produksi (partial efficiency). Perhitungan-perhitungan tersebut dapat dipakai untuk menghtung kebutuhan nutrien pada berbagai tingkat produksi baik untuk hidup pokok, petumbuhan, bunting, laktasi maupun pada kondisi lain seperti pada saat digunakan sebagai hewan kerja. Data tentang kebutuhan nutrien ini akan dapat dipakai sebagai patokan di dalam menyusun ransum pada berbagai tingkat produksi, baik untuk pertumbuhan, laktasi, produksi telur maupun untuk kerja. Perhitungan Kebutuhan Energi Di Stuttgart, oleh Clar et el. (1992) telah dikembangkan teknik masker untuk mengukur produksi panas (energi) pada hewan kerja. Teknik ini didasarkan atas pengukuran gas-gas respirasi seperti mengukur konsumsi O2, produksi CO2 dan CH4. Pengukuran dilakukan dengan memakai masker yang dipasang pada mulut ternak dan dihubungkan dengan sebuah gasmeter untuk mengetahui volume gas ekspirasi. Sampel gas ekspirasi ditampung dalam sebuah kantong yang selanjutnya siap dianalisis kandungan CH4 dan CO2 dengan infrared-gas analyzer, sedangkan kadar O2 dianalisis dengan paramagnetic oxygen analyzer. Produksi panas ditentukan dengan menggunakan formula PP = 20,5 VO2 KJ (McLean, 1986). Pada teknik masker ini pengukuran hanya memungkinkan dalam waktu yang singkat (3 menit) yang selanjutnya dikalikan dengan lama aktivitas. Ini merupakan salah satu kelemahan teknik tersebut, terutama sekali bila diinginkan pengukuran dalam waktu yang lama. Nolet et al. (1992) melakukan percobaan untuk mengukur produksi panas untuk aktivitas pada angsa dengan teknik perunutan dengan air yang berlabel ganda (Double Lable Water/ DLW). Teknik ini memberikan pendekatan yang terbaik untuk menjawab masalah penggunaan energi dalam keadaan hidup bebas seperti pada saat kerja. Teknik ini didasarkan atas pengamatan bahwa, pembaharuan oksigen air pada tubuh hewan lebih besar daripada hidrogen air. Kedua unsur tersebut keluar tubuh sebagai air, tetapi oksigen juga keluar sebagai CO2. Dengan merunut air tubuh dengan H2 dan O18 serta melakukan pengamatan secara terpisah, dimungkinkan untuk mengukur produksi CO2. Metode ini 244 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Gede Mahardika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana telah diketahui mempunyai ketepatan yang sangat tinggi. Namun, DLW sangat mahal dan memerlukan alat analisis yang sangat canggih untuk isotop stabil, oleh karena itu dalam penerapannya sangat sulit dilakukan, kecuali sebagai metode untuk keabsahan. Penentuan kebutuhan energi dari pemantauan denyut jantung dianggap memuaskan untuk berbagai penerapan lapangan pada manusia. Di masa lalu, korelasi denyut jantung dengan penggunaan energi pada sapi dan kerbau dianggap rendah (Richards dan Lawrence, 1984). Kajian di Stuttgart dan Mali mendapatkan bahwa denyut jantung dan pengeluaran energi berkorelasi tinggi (r =0,94) (Rometsch dan Becker, 1993; Holmes et al., 1976). Mahardika et al. (2000a) telah berhasil melakukan pengukuran kebutuhan energi untuk kerja pada kerbau dengan melakukan pengukuran denyut jantung secara terus-menerus (Gambar 1). Gambar 1. Hubungan antara denyut Jantung dengan kebutuhan energi untuk kerja Dalam penelitiannya didapatkan bahwa hubungan antara denyut jantung dengan kebutuhan energi untuk kerja adalah mengikuti formula E.kerja = (0,27 HR0,363 – 1) yang di dalamnya, Ek: Pengeluaran energi untuk kerja (KJ/W/menit) HR: Denyut jantung/menit. Metode yang bisa dikembangkan untuk menentukan kebutuhan energi pada hewan yang hidup bebas adalah dengan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 245 Pendekatan Metabolisme Kuantitatif dalam Ilmu Nutrisi Ternak melakukan pengukuran keseimbangan energi yang meliputi pengukuran energi termetabolis (ME) dengan percobaan pakan dan pengukuran perubahan komposisi tubuh. Pada hewan kecil prosedur yang bisa dikerjakan adalah dengan mengorbankan contoh jaringan-jaringan hewan yang mewakili pada permulaan percobaan untuk menentukan kadar lemak, protein dan energi tubuh. Segera setelah itu percobaan pakan dilakukan. Pada akhir perlakuan hewan dipotong dan jaringan tubuh hewan dianalisa protein, lemak dan energinya untuk mengetahui perubahan zat-zat tersebut selama percobaan. Pada hewan besar masalahnya adalah kesulitan untuk mendapatkan contoh jaringan yang representatif, di samping pemotongan pada hewan besar menuntut biaya yang cukup mahal. Masalah ini akan dapat diatasi bila kadar protein, lemak dan energi jaringan tubuh dapat ditentukan dengan metode tanpa merusak tubuh hewan (kaidah non-invasif). Rule et al., (1986) telah mengembangkan teknik penentuan komposisi tubuh hewan dengan mengukur kadar air tubuh dengan ruang distribusi urea. Namun, formula yang dikembangkan memberikan hasil yang kurang memuaskan pada beberapa percobaan di Indonesia. Kleiber (1961) mengulas teknik pengukuran lemak dan protein tubuh yang didasarkan atas pengukuran berat jenis tubuh. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa tubuh terdiri dari bagian lemak dan bukan lemak (lean). Bila berat jenis tubuh dapat diketahui maka berat lemak dapat dihitung. Mahardika et el. (1996) telah mengembangkan teknik pengukuran berat jenis tubuh kerbau dengan cara memasukkan kerbau ke dalam kolam untuk menghitung volume tubuh kerbau. Produksi panas/kebutuhan energi dapat dihitung dengan mengurangi ME dengan energi yang teretensi di dalam tubuh (RE). Teknik ini telah dilakukan dan menghasilkan data pada ternak kerbau (Mahardika et al., 2000b), sapi Bali Laktasi (Sukarini, et al., 2001) dan pada ayam kampung umur 0 – 8 minggu (Candrawati dan Mahardika, 1999). Penelitian dengan teknik pengukuran energi termetabolis yang disertai dengan pengukuran energi yang teretensi pada beberapa jenis ternak telah mendapatkan hasil, kebutuhan energi saat istirahat pada kerbau adalah 0,42 W0,75 MJ/h yang di dalamnya W adalah berat badan ternak (kg). Pada sapi Bali didapatkan 0,52 246 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Gede Mahardika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana W0,75 MJ/h, sedangkan pada ayam kampung didapatkan 127,75 W0.75 K.cal/h. Kebutuhan energi untuk pertumbuhan pada kerbau didapatkan 14,6 MJ setiap kenaikan 1 kg berat tubuh, sedangkan kebutuhan energi untuk pertumbuhan pada ayam kampung adalah 3,26 K.cal ME setiap 1 g kenaikan berat badan. Kebutuhan energi untuk kerja pada kerbau adalah 0,003 F1,43 ∆t0,93/ W0,09, yang di dalamnya: Ek: kebutuhan energi untuk kerja (MJ), F: besar beban kerja (N), W: massa tubuh (kg), ∆t : lama kerja (jam). Power dan Howley (1990) melakukan pengukuran kebutuhan energi untuk aktivitas pada manusia dengan melakukan pengukuran konsumsi oksigen. Didapatkan bahwa VO2 = (0,1 X + 3,5) ml/menit/kg BB, pada obyek yang berjalan dengan kecepatan 50 – 100 m/menit. Pada obyek yang berlari dengan kecepatan 100 – 250 m/menit didapatkan VO2 = (0,2 X + 3,5) ml/menit/kg BB, yang di dalamnya X adalah kecepatan berjalan dan 3,5 adalah VO2 pada saat istirahat. Rumus-rumus di atas ternyata berlaku pula untuk kerbau baik pada saat berjalan maupun pada saat berlari. Dengan menggunakan data-data kebu-tuhan energi untuk istirahat pada kerbau dari data penelitian Mahardika (1996), Sumadi (1997) dan Sastradipradja (1965) didapatkan kebutuhan energi untuk istirahat adalah 0,37 W0,75 MJ/h. Dengan asumsi nilai RQ adalah 0,85 dan 1 liter oksigen setara dengan 20,5 KJ (McLean, 1986) maka didapatkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh kerbau pada saat istirahat adalah 3,4 ml/menit/kg BB (Sastradipradja, et al., 1999). Dengan menggunakan hasil-hasil perhitungan di atas maka dapat dibuat rumus konsumsi oksigen pada kerbau adalah VO2 = (0,1 X + 3,4) ml/menit/kg BB, pada kerbau yang berjalan dengan kecepatan 50 – 100 m/menit, sedangkan pada kerbau yang berlari adalah VO2 = (0,2 X + 3,4) ml/menit/kg BB. Sastradipradja et al. (1999) melakukan suatu perhitunganperhitungan untuk mengevaluasi efisiensi penggunaan oksigen pada kerbau yang sedang bekerja dengan menggunakan data-data VO2kerja, VO2istirahat, nadi dan pulsus oksigen. Data-data tersebut dipakai untuk menghitung nilai hutang oksigen pada kerbau yang sedang bekerja/berlari. Pada kerbau yang berlari dengan kecepatan sampai 250 m/menit didapatkan hutang O2 = (VO2kerja - VO2istirahat) e-kt, yang di dalamnya nilai k besarnya 0,025 pada kerbau yang tidak terlatih dan 0,031 pada kerbau yang terlatih BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 247 Pendekatan Metabolisme Kuantitatif dalam Ilmu Nutrisi Ternak dengan baik. Berdasarkan rumus tersebut didapatkan bahwa pada kerbau yang sedang berpacu dengan kecepatan mencapai 250 m/menit yang menempuh jarak 1000 m, hutang oksigennya adalah 633 liter pada kerbau yang tidak terlatih, sedangkan kerbau yang terlatih adalah 450 liter. Kerbau yang terlatih lebih efisien menggunakan oksigen daripada kerbau yang tidak terlatih. Ini ditunjukkan dengan menurunnya hutang oksigen pada kerbau yang terlatih. Perhitungan Kebutuhan Protein Sejalan dengan prinsip-prinsip pengukuran kebutuhan energi pada ternak, maka kebutuhan protein pada ternak dapat pula didekati dengan pendekatan serupa. Penentuan kebutuhan protein juga ditentukan dengan pendekatan percobaan pakan dan perubahan komposisi tubuh. Perhitungan-perhitungan dilandasi oleh data tentang kecernaan protein pakan serta nilai biologi protein itu sendiri. Beberapa hasil penelitian mendapakan bahwa kebutuhan protein untuk hidup pokok pada kerbau adalah 2,51 W0,75 g/h (Mahardika, 1996), pada ayam kampung kebutuhannya adalah 4,28 W0,75 g/h (Candrawati dan Mahardika, 1999). Kebutuhan protein untuk pertumbuhan pada kerbau dihitung berdasarkan kenaikan berat tubuh, komposisi tubuh dan nilai biologis protein serta kehilangan N melalui urin. Untuk kenikan 1 kg berat tubuh, protein yang diperlukan adalah 181 g (kandungan protein tubuh 18,1%). Dengan perhitungan nilai biologi protein sebesar 70% maka protein tercerna pada pakan yang diperlukan adalah 180/0,7 adalah 258 g. Nitrogen endogen pada urin = 0,2 W0,75. Protein urin: 6,25 x 0,2 W0,75 = 1,25 W0,75, sehingga kebutuhan protein untuk tumbuh (258 + 1,25 W0,75) x ∆W, yang di dalamnya W adalah berat badan dan ∆W adalah perubahan berat badan (kg/ h), sedangkan kebutuhan protein untuk pertumbuhan pada ayam kampung adalah 0,45 g protein pakan setiap kenaikan 1 g berat badan (Candrawati dan Mahardika, 1999). Nilai ini setara dengan protein ransum antara 19 – 20%. Kebutuhan protein untuk kerja pada kerbau didapatkan 12,59 e0,95 t yang di dalamnya t adalah lama kerja (jam). 248 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Gede Mahardika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana Serapan Nutrien Oleh Organ Pengukuran kebutuhan energi dan protein untuk laktasi dengan menggunakan teknik perunutan dengan glukose yang berlabel tritium telah dilakukan oleh Sukarini et al. (2000). Metode ini melibatkan pengukuran laju alir darah di dalam ambing, konsentrasi nutrien di dalam darah arteri dan di dalam darah vena mamaria. Dengan mengalikan laju alir darah dengan beda konsentrasi darah arteri dan vena maka akan didapat jumlah nutrien yang diserap oleh ambing untuk produksi susu. Sukarini et al. (2001) mendapatkan bahwa laju alir darah di ambing sapi Bali betina adalah 997 liter untuk setiap 1 kg produksi susu. Pada sapi yang berproduksi susu 2 kg/hari didapatkan serapan glukose oleh ambing adalah 12,03 g/jam, serapan trigliserida 12,98 g/ jam dan serapan fenilalanin adalah 1992 nmoles/jam. Serapan glukosa oleh ambing sapi Bali tersebut di atas baru sekitar 50% dari serapan maksimum. Ini menunjukkan bahwa bila ransum sapi Bali diperbaiki sehingga serapan nutriennya mendekati serapan tertingginya, maka sapi Bali akan mampu memproduksi susu di atas 3 kg/ekor/hari dengan kandungan lemak susu sekitar 8%. Bila dilakukan penyesuaian terhadap kandungan lemak susu 4%, maka produksi susu sapi Bali ini setara dengan 6 – 7 kg/ekor/hari. Penutup Pendekatan metabolisme kuantitatif adalah salah satu pendekatan yang dikembangkan sebagai salah satu pilihan untuk mengukur kebutuhan nutrien pada ternak khususnya pada ternak-ternak lokal. Pendekatan metabolisme kuantitatif meliputi pencernaan, metabolisme dan efisiensi pemanfaatan nutrien untuk proses produksi, pengamatan komposisi tubuh ternak pada berbagai tingkat pertumbuhan untuk mengetahui besarnya simpanan nutrien di dalam tubuh serta pengamatan terhadap efisiensi pengubahan nutrien untuk proses produksi (partial efficiency). Pendekatan ini telah dapat memunculkan data-data mengenai kebutuhan energi dan protein pada kerbau, sapi Bali, dan ayam kampung. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 249 Pendekatan Metabolisme Kuantitatif dalam Ilmu Nutrisi Ternak Daftar Pustaka Candrawati, D.P.M.A. dan I.G. Mahardika. (1999) Pendugaan kebutuhan energi dan protein ayam kampung umur 0 – 8 minggu. Penelitian dalam rangka program Magister, Program Pascasarjana IPB. Clar, U., K. Becker and A. Susenbeth. 1992. A mobile mask technique for measuring gas exchange in cattle. J. Anim. Physiol. & Anim. Nutr. 67: 133 - 142. Holmes, C.W., D.B. Stephens and J.N. Toner. 1976. Livest. Prod. Sci. 3: 333 - 341. Mahardika, I.G. 1996. Kinerja kerbau betina pada berbagai beban kerja serta implikasinya terhadap kebutuhan energi dan protein pakan. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor. Mahardika, I.G., D. Sastradipradja, T. Sutardi and I.K. Sumadi, 2000a. Nutrient requirements of exercising swamp buffalo, Bubalus bubalis, II. Details of work energy of cows and its relation to heart rate. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 2000. Vol. 13, No. 7: 1003 – 1009. Mahardika, I.G., D. Sastradipradja, T. Sutardi and I.K. Sumadi, 2000b. Nutrient requirements of exercising swamp buffalo, Bubalus bubalis, from materials balance and in vivo body composition by the body density method. I. Aspects of energy and protein metabolism in working cows. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 2000. Vol. 13, No. 5: 605 – 612. McLean, J.A. and Tobin, G. 1987. Animal and Human Calorimetry. Cambridge University Press. Nolet, B.A, P.J. Butler, D. Masman and A.J. Woakes. 1992. Estimating of daily energy expenditure from heart rate and doubly labeled water in exercising geese. J. Physiological Zoology 65 (6): 118 - 1126. Power, S.K. and E.T. Howley. 1991. Exercise Physiology. Theory and Application to Fitness and Performance. Wm.C. Brown Publishers. Richards, J.I. and P.R. Lawrence. 1984. The estimation of energy expenditure from heart rate in working oxen and buffalo. J. Agric. Sci. 102: 711 - 717. Rometsch, M. and K. Becker. 1991. Determining the reaction of 250 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Gede Mahardika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana heart rate of oxen to physical parameters with a portable Data-Acquisition System. J. Agric. Eng. Research. Sastradiprada, D. 1996. Basal metabolism of Indonesian water buffaloes. Comm. Vet. 9: 29-34. Sastradipradja, D., I.K. Sumadi dan I.G. Mahardika. 1996. Fisiologi kerja pada hewan olahraga. Media Veteriner. Vol: 6. No: 1: 23 – 29. Sukarini, I.A., D. Sastradipradja, I.G. Mahardika and I.W. Budiarta. 2000. Nutrient utilization, body composition and lactation performance of first Bali cows (Bos sondaicus) on grasslegume based diets. Asian-Aust. J. Anim. Sci. Vol: 13. No.12: 1681 – 1690. Sukarini, I.A., D. Sastradipradja, N. Nusada, I.G. Mahardika and B. Kiranadi 2001. Mammary performance of first lactation Bali cow fed grass-legume based on diets in relation to the role of glucose. Asian-Aust. J. Anim Sci Vol: 14, No: 5: 615 – 622. Sumadi, I.K. 1997. Fisiologi latihan kerbau mekepung dan implikasinya terhadap kebutuhan energi dan protein pakan. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 251 PEMANFAATAN TEKNOLOGI IRIGASI TETES (DRIP IRRIGATION) DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING I Nyoman Merit Pendahuluan Kegiatan pertanian lahan kering mempunyai fungsi yang sangat strategis dalam upaya penyediaan bahan pangan bagi penduduk maupun bahan baku bagi industri. Selain itu, kegiatan pertanian lahan kering juga mempunyai fungsi sebagai kegiatan konservasi baik terhadap sumber daya alam maupun terhadap budaya masyarakat setempat. Peran ini tidak bisa digantikan oleh sektor lainnya dan oleh karena itu, sektor pertanian lahan kering perlu dikembangkan, disesuaikan dengan kebutuhan serta tuntutan masyarakat. Secara garis besar, pengembangan pertanian termasuk pertanian lahan kering kedepan harus memenuhi dimensi ekonomis yaitu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat petani dan mempunyai dimensi ekologis yaitu tidak merusak lingkungan. Bila kita ingin mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan, maka kedua dimensi tersebut harus dipenuhi. Untuk bisa mendukung dan memenuhi kedua dimensi tersebut, maka semua pihak yang terkait dengan sektor pertanian mulai dari petani, lembaga penelitian pertanian, penyuluh pertanian, birokrat, sektor swasta, lembaga keuangan dan masyarakat hendaknya mempunyai pemahaman dan komitmen yang sama tentang pentingnya pertanian berkelanjutan termasuk pertanian lahan kering. Kepas (1988) menyatakan bahwa, lahan kering merupakan sebidang tanah yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Dalam perjalanan sejarah pertanian, pembangunan sektor pertanian lahan kering mempunyai andil yang cukup besar di dalam meningkatkan 252 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana kesejahteraan umat manusia. Indonesia mempunyai aset nasional berupa pertanian lahan kering sekitar 111,4 juta hektar atau 58,5% dari luas seluruh daratan (Notohadiprawiro, 1989). Pertanian lahan kering mempunyai kondisi fisik dan potensi lahan yang sangat beragam dengan kondisi sosial ekonomi petani umunya kurang mampu. Selanjutnya Sudarto, dkk (1995 dalam Syam, dkk, 1996) mengemukakan bahwa lahan kering merupakan sumber pertanian terbesar ditinjau dari segi luasnya, namun profil usaha tani pada agro ekosistem ini sebagian masih diwarnai oleh rendahnya produksi yang berkaitan erat dengan rendahnya produktivitas lahan. Banyak pertanyaan yang mucul di kalangan masyarakat apakah pertanian lahan kering memang perlu dikembangkan untuk menjawab tuntutan bahan makanan bagi penduduk. Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa usaha tani lahan kering, dalam keadaan alamiah memiliki berbagai kondisi yang menghambat perkembangannya. Kodisi tersebut antara lain; keterbatasan air, kesuburan tanah yang rendah, peka terhadap erosi, topografi bergelombang sampai berbukit, produktivitas lahan rendah dan ketersediaan sarana yang kurang memadai (Haridjaya, 1990). Oleh karena itu, Sinukaban (1995) menegaskan bahwa di dalam pengembangan dan pengolahan pertanian lahan kering hendaknya mencakup empat unsur yaitu; 1) perencanaan penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya, 2) tindakan-tindakan khusus konservasi tanah dan air, 3) menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang baik, dan 4) menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi komoditi tanaman yang diusahakan. Di samping hal-hal yang telah disebutkan diatas, perlu pula diperhatikan karakteristik faktor pengahambat di dalam pengembangan pertanian lahan kering. Karakteristik yang dimaksud antara lain, terbatasnya air irigasi, iklim mikro yang sangat ekstrim serta terbatasnya komoditi pertanian yang mampu beradaptasi pada lahan tersebut. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pengembangan pertanian pada lahan kering hanya berorientasi pada pemanfaatan air irigasi yang terbatas yaitu yang berasal dari curah hujan atau memanfaatkan air tanah yang biaya eksplorasinya sangat mahal. Dalam kontek pembangunan pertanian yang tangguh dan efisien maka perlu suatu strategi yang BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 253 Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering tepat untuk mengelola air irigasi yang sangat terbatas. Oleh karena itu, di dalam orasi ini saya mencoba untuk memaparkan secara singkat suatu teknologi irigasi yang hemat air. Irigasi tetes (Drip Irrigation) merupakan salah satu teknologi mutakhir dalam bidang irigasi yang telah berkembang hampir di seluruh dunia. Teknologi mula pertama diperkenalkan di Israel, dan kemudian menyebar hampir ke seluruh pelosok penjuru dunia. Pada hakekatnya, teknologi ini sangat cocok diterapkan pada kondisi lahan kering berpasir, air yang sangat terbatas, iklim yang kering dan komoditi yang diusahakan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Bucks et al., 1982; Parthasarathy, 1988). Kemudian Zoldoske (1998) menambahkan bahwa teknologi drip harus diaplikasikan secara selektif mengingat teknologi ini sangat mahal. Disamping itu pemilihan komponen-komponen drip seperti pipa, emitter, pengatur kualitas air (filter) harus dilakukan secara cermat untuk menghindari kerugian yang bersifat fatal. Selanjutnya Jass Stryker (2000) mengemukakan bahwa irigasi tetes yang sering juga disebut irigasi trickle mempunyai keuntungan yang tinggi karena air langsung diserap oleh tanah tanpa ada penguapan dan air diberikan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Irigasi tetes yang sering disebut dengan Drip atau Trickle pada dasarnya merupakan cara pemberian air pada tanaman secara langsung, baik pada permukaan tanah maupun didalam tanah melalui tetesan secara sinambung dan perlahan pada tanah di dekat tumbuhan saja tidak pada seluruh areal. Alat pengeluaran pada sistem irigasi tetes disebut Emiter yang hanya mengeluarkan air beberapa liter per jam (Schwab et al., 1981). Setelah air keluar dari emiter air akan meyebar ke dalam profil tanah oleh gaya kapilaritas dan gravitasi. Daerah yang dibasahi emiter tergantung pada besarnya aliran, jenis tanah, kelembaban tanah, dan permeabilitas tanah. Aliran air dapat diatur secara manual, maupun otomatis untuk menyalurkan debit air tertentu sesuai dengan waktu tertentu, serta menyalurkan air apabila kelembaban tanah menurun (Hansen et al., 1986). Irigasi tetes dapat diterapkan pada daerah-daerah dimana : a) air tersedia sangat terbatas atau sangat mahal, b) tanah berpasir , berbatu atau sukar didatarkan, dan c) tanaman dengan nilai ekonomis tinggi (Prastowo, 2003b). Irigasi tetes menurut Keller dan Bleisner (1990) mempunyai 254 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan sistem irigasi konvensional. Kelebihan yang dimiliki oleh sistem irigasi tetes, antara lain: 1) Efisiensi di dalam pemakaian air irigasi relatif paling tinggi bila dibandingkan dengan sistem irigasi lain, karena pemberian air dengan kecepatan lambat dan hanya pada daerah perakaran, sehingga penetrasi air yang berlebihan, evaporasi dan limpasan permukaan dapat ditekan; 2) Dalam irigasi tetes kondisi tanaman dibiarkan dalam kondisi kering, hal ini dapat mencegah penyakit daun terbakar (leaf burn), selain itu juga memungkinkan berlangsungnya proses kegiatan budidaya secara manual maupun mekanis walaupun sedang berlangsung kegiatan irigasi; 3) Karena daerah yang dibasahi hanya pada daerah perakaran, maka hal ini dapat mengurangi serangan hama dan penyakit tanaman akibat kondisi yang terlalu basah serta dapat mengurangi pertumbuhan gulma; 4) Efektivitas dan efisiensi yang cukup tinggi dalam pemberian pupuk atau pestisida karena pemberiannya dapat diberikan bersamaan dengan air irigasi dan hanya diberikan pada daerah perakaran; 5) Pada sistem irigasi tetes tidak memerlukan persiapan lahan yang khusus dan menghemat kebutuhan tenaga kerja untuk kegitan pemberian air irigasi maupun kegiatan pemupukan karena sistem dapat dioperasikan secara otomatis; 6) Pemberian air yang kontinyu pada daerah perakaran akan melarutkan garam-garam yang berada pada daerah perakaran sehingga dapat mengurangi resiko penumpukan garam dan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Efisiensi sistem irigasi tetes merupakan parameter yang sangat penting untuk mengetahui perbandingan antara jumlah total air yang diberikan dengan jumlah air irigasi yang masuk ke dalam daerah perakaran. Efisiensi irigasi sistem tetes dapat diketahui dari keseragaman penyebaran air (emission uniformity) dari emiter. Hubungan antara nilai efisiensi irigasi tetes (Es) dan nilai keseragaman penyebaran (Eu) dipengaruhi oleh perkolasi yang tidak terhindarkan dan kebutuhan leaching. Koefisien keseragaman adalah evaluasi secara kualitatif dari variasi aliran emiter. Nilai koefisien diatas 98% adalah sangat baik. Jika nilai koefisien keseragaman berkisar antara 95-98% adalah masih dapat diterima sedangkan jika koefisien keseragaman dibawah 95% maka design harus diubah. Misalnya dengan cara memperpendek BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 255 Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering panjang pipa atau dengan memperbesar diameter pipa (Bucks et al. , 1982). Berkaitan dengan efisiensi dari sisitem irigasi tetes beberapa penelitian menunjukkan bahwa irigasi tetes dapat menghemat pemakaian air yang cukup meyakinkan. Misalnya penelitan yang dilakukan oleh Merit, 1987 melaporkan bahwa irigasi tetes pada tanaman selada (lettuce) dapat menghemat air sampai 50% bila dibandingkan dengan irigasi konvensional. Di samping itu, kualitas selada yang dihasilkan (yang dapat dipasarkan) juga meningkat (Sutton dan Merit, 1993). Selanjutnya Merit (1990) melaporkan bahwa irigasi tetes pada budidaya tomat dapat menghemat air sampai 60 % dari jumlah air yang diperlukan oleh tanaman serta mampu meningkatkan hasil baik kualitas maupun kuantitas hasil tomat. Di samping memiliki keunggulan-keunggulan seperti diuraikan di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi ini mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya diperlukan investasi yang cukup besar pada tahap awal, pemeliharaan jaringan irigasi yang sangat intensif serta hambatan-hambatan lain seperti penyumbatan (clogging) pada lubang-lubang tetes (emitter) (Buck et al., 1982 ). Selanjutnya, Prastowo (2001a) merinci beberapa kelemahan/ kekurangan pada sistem irigasi tetes antara lain: 1) penyumbatan emiter yang disebabkan oleh faktor fisik, kimia dan biologi yang dapat mengurangi efisiensi dan kinerja sistem, 2) pada daerah perakaran yang tidak terbasahi akan berpotensi terjadi penumpukan garam, 3) pemberian air yang tidak mencukupi kebutuhan tanaman akibat kurang dikontrol dengan baik dapat menghambat pertumbuhan tanaman, dan 4) diperlukan investasi yang cukup tinggi dan dibutuhkan teknik yang relatif tinggi dalam design, instalasi dan pengoperasian sistem. Komponen Sistem Irigasi Tetes Pada umumnya sistem irigasi tetes yang terdapat di lapang memiliki komponen yang terdiri atas pompa, pipa utama, pipa sub utama atau manifold, pipa lateral, emiter dan sistem pengontrol, seperti pengatur tekanan dan pengatur debit serta tangki pemupukan. Emiter merupakan komponen yang menyalurkan air dari 256 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana pipa lateral ke tanah dengan debit rendah dan tekanan mendekati tekanan atmosfer. Emiter dirancang untuk mengalirkan aliran air yang seragam pada laju konstan dan tidak bervariasi secara signifikan yang disebabkan oleh perbedaan tekanan (Keller dan Bleisner, 1990). Dalam pemilihan emiter, harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain : jenis dan bahan emiter, debit emiter yang diinginkan, tekanan operasi yang harus diberikan pada emiter, ukuran atau diameter pambasahan, serta jarak dan posisi emiter sepanjang lateral. Penetes (emiter) yang baik harus mempunyai karakteristik : a) debit yang rendah dan konstan, b) toleransi yang tinggi terhadap tekanan operasi, dan c) tidak dipengaruhi oleh perubahan suhu, dan d) umur pemakaian cukup lama (Prastowo, 2003b). Pipa lateral merupakan tempat dihubungkannya emiter tetapi dalam beberapa keadaan emiter merupakan bagian dari lateral. Pemillihan bahan pipa lateral harus didasarkan pada pertimbangan kuallitas dan harga karena dibutuhkan dalam jumlah yang banyak. Penentuan jumlah dan jarak pipa lateral dipengaruhi oleh jarak tanaman. Setiap garis tanaman memerlukan satu buah pipa lateral, tetapi untuk beberapa tanaman hortikultura tertentu dua garis tanaman dapat dipenuhi oleh sebuah lateral. Pipa biasanya dibuat dari bahan plastik poly ethilene (PE) atau pipa polyvinile chloride (PVC) dengan diameter antara 12 hingga 32 milimeter. Design lateral menyangkut pada pemilihan pipa dengan panjang yang telah ditentukan agar mampu mengalirkan air dalam jumlah yang dibutuhkan tanaman dan batas toleransi keseragaman yang diinginkan. Data design pipa lateral yang dibutuhkan adalah kemiringan lahan, debit emiter yang digunakan, jumlah emiter tiap tanaman, jarak emiter dan keseragaman emiter yang dikehendaki (Prastowo. 2003b) Pipa sub utama atau manifold biasanya disambungkan langsung dengan pipa lateral. Pipa manifold juga terbuat dari PVC. Pada manifold terdapat katup pengatur tekanan dan katup pengatur debit baik manual maupun otomatis. Pipa utama biasanya terbuat juga dari PVC atau paduan antara semen dan asbes. Pada saluran ini biasanya terdapat katup pembilasan yang berguna untuk membilas secara periodik. Pembilasan menjadi penting karena adanya endapan koloid atau BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 257 Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering mikro organisme yang dapat menyumbat emitter. Pengatur debit dan tekanan diperlukan pada bagian pipa pembagi untuk megendalikan tekanan pada pipa agar tidak mengakibatkan sistem menjadi tidak seragam. Pompa merupakan komponen utama yang dibutuhkan untuk menyediakan tenaga pemompaan air irigasi, mengangkut, atau memindahkan sejumlah air dalam satuan waktu tertentu dari sumber air ke lahan tanaman. Pemililhan pompa harus mempertimbangkan efisiensi yang maksimal serta dapat mencukupi debit dan total dynamic head (TDH) yang dibutuhkan untuk irigasi. Pola pembasahan tanah merupakan salah satu parameter yang harus diperhatikan dalam design irigasi tetes. Hal ini ditujukan agar air irigasi yang diberikan dapat optimal sehingga tanaman tidak kekurangan suplai air irigasi yang dapat menghambat pertumbuhan ataupun suplai air irigasi yang menjadikan sistem tidak efisien. Persentase area yang terbasahi untuk irigasi tetes adalah area yang terbasahi dibandingkan dengan seluruh area budidaya. Besarnya akan tergantung pada debit, tipe, jarak dan jumlah emiter tiap tanaman serta tipe tanah. Untuk mendapatkan design yang baik, pertimbangan faktor tanaman, tanah, dan karakteristik emiter harus diinteragasikan ke dalam suatu sisitem yang disesuaikan dengan bentuk dan topografi lahan yang diirigasi. Untuk perencanaan tata letak dibutuhkan peta topografi lengkap dengan garis kontur skala 1 : 5.000. Skala peta yang lebih besar sudah tentu akan membantu dalam proses design dan tata letak. Tata letak sub unit tergantung pada jarak emiter, jarak tanaman, debit emiter rata-rata, variasi tekanan head yang diijinkan, jumlah stasiun operasi yang diinginkan, panjang baris tanaman, topografi dan batas lahan. Keller dan Bleisner (1990) menyarankan bahwa tata letak dari subunit yang ideal memiliki beberapa kriteria: 1) jumlah sub unit dan titik-titik pengontrol debit dan tekanan yang seminimum mungkin, 2) biaya jaringan perpipaan yang ekonomis, 3) keseragaman pada debit aliran sistem, 4) konfigurasi subunit yang seragam dalam ukuran dan bentuk, dan 5) variasi tekanan head yang diijinkan. Karakteristik hidrolik emiter mempangruhi aspek keragaman 258 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana irigasi antara lain: bentuk pembasahan, distribusi air, serta variasi debit dan tekanan yang berbeda. Selama pengoperasian hubungan antara debit aliran dan tekanan pada emiter dinyatakan dengan persamaan berikut (Prastowo. 2001b). Qe = Kd . Hx Dimana Qe adalah debit emiter (liter/jam) Kd adalah koefisien debit emiter H adalah head tekanan emiter (meter) X adalah eksponen debit emiter Nilai Kd dan x biasanya telah dari perusahaan pembuat emiter atau dapat ditentukan dengan cara mengetahui nilai dari debit emiter pada dua tekan operasi yang berbeda. Untuk menjaga keseragaman air irigasi sepanjang lateral pemilihan dimensi pipa diupayakan menghasilkan variasi debit ≤ 10%. Pengalaman empiris menunjukan bahwa untuk variasi debit terebut variasi tekan akibat kehilangan head dan pebedaan elevasi ≤ 20% dari tekan operasi emiter rata-rata. Perhitungan hidrolik untuk manifold serupa dengan perhitungan untuk lateral, hanya saja debit yang keluar dari outlet manifold merupakan debit dari tiap lateral. Sisitem Pengelolaan Irigasi Tetes di Tingkat Petani Pengelolaan sistem irigasi tetes memerlukan pengetahuan di bidang teknis pompa air sampai ke berbagai perlengkapannya. Selain itu, pengetahuan tentang jadwal irigasi (jumlah dan waktu pemberian air) juga diperlukan agar penggunaan sisitem ini tetap efisien. Setiap penggunaan irigasi tetes harus disertai dengan manejemen pengoperasian dan pemeliharaan yang memadai. Dalam penerapan sistem irigasi tetes di tingkat petani, beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk pengelolaan fasilitas irigasi adalah a) motivasi petani, b) kemampuan teknis dan finansial, dan c) kelembagaan usaha tani. Seperti halnya pada irigasi konvensional, motivasi petani akan sangat menentukan keberhasilan pengoperasian sistem irigasi tetes. Pengelolaan sistem ini memerlukan kemampuan teknis dan finansial yang BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 259 Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering relatif lebih tinggi. Pemahaman tentang nilai air irigasi yang harus diperhitungkan dalam analisa usaha tani hanya dapat diterima oleh petani yang mempunyai sikap dan motivasi yang jelas (berorientasi pasar) dalam usaha pertaniannya (Prastowo, 2001b). Terdapat tiga alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan dalam penerapan sistem irigasi tetes yaitu : a) pelayanan jasa, b) penyewaan, dan c) kepemilikan. a) Sistem pelayanan jasa Dalam sistem ini petani menerima sejumlah air sesuai dengan yang diperlukan untuk tanaman yang diusahakan dengan jadwal tertentu. Petani hanya membayar iuran sesuai dengan jumlah air atau jumlah jam pemakaian sistem irigasi tetes. Petani tidak memerlukan pengetahuan teknis tentang sistem irigasi tetes. Petani juga tidak mempunyai resiko di bidang finansial untuk pengadaan sistem irigasi maupun pengoperasian. Pengadaan, pengoperasian dan, perawatan sistem irigasi menjadi tanggung jawab pemberi jasa pelayanan yang dalam hal ini dapat berupa badan swasta, koperasi atau kelompok tani yang telah memiliki tenaga berpengetahuan teknis dan manajemen. Meskipun demikian, petani perlu tetap diberi penyuluhan dan bimbingan di dalam memilih komoditas yang erat kaitannya dengan pemakaian air yang efisien sehingga petani akan merasakan manfaat/keuntungan sistem irigasi ini. b) Sistem penyewaan Sistem ini merupakan alternatif kedua dalam penerapan sistem irigasi tetes. Penyewaan dapat dilakukan oleh petani pada koperasi atau badan usaha lainnya sebagai pemilik. Namun demikian, alternatif ini mungkin sukar diterapkan pada sistem irigasi tetes mengingat perlatan sistem irigasi tetes tidak selalu dapat disamakan dengan alat atau mesin pertanian lainnya (misalnya tidak selalu dapat dengan mudah dipindah-pindahkan). c) Sistem kepemilikan Sistem kepemilikan ini dimungkinkan setelah petani menguasai pengetahuan teknis pengoperasian dan 260 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana pemeliharaan serta kemampuan di bidang finansial untuk pengadaannya. Petani yang memiliki tanah di atas luasan titik impas (break even point) dapat memiliki sistem irigasi tetes. Penerapan Irigasi Tetes di Indonesia Penerapan teknologi irigasi tetes di Indonesia masih sangat terbatas pada usaha pertamanan, (landscaping) lapangan golf, dan perusahan perkebunan, tetapi belum banyak diadopsi oleh petani. Sejumlah pengusaha swasta telah menerapkan teknologi irigasi tetes untuk budidaya tanaman tertentu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, dan dikelola dengan orientasi bisnis. Sistem irigasi ini belum banyak dikenal oleh masyarakat luas (petani) karena adanya kendala finansial, manajemen, maupun teknis (Prastowo, 2003a). Beberapa alasan penggunaan irigasi tetes di Indonesia antara lain adalah 1) tidak tersedianya jaringan irigasi gravitasi/ permukaan, 2) terbatasnya debit sumber air pada musim kemarau sehingga pemanfaatannya harus dilakukan seefisien mungkin, 3) kondisi topografi tidak datar sehingga tidak memungkinkan diterapkannya irigasi gravitasi/permukaan, 4) pemberian air irigasi hanya pada periode tertentu (musim kemarau) dan tidak diperlukan jaringan irigasi yang permanen sehingga dengan penerapan irigasi tetes biaya irigasi relatif lebih murah, 5) kondisi tanah sangat porus (tanah berpasir) sehingga apabila diterapkan irigasi permukaan akan terjadi kehilangan air yang relatif besar dalam bentuk perkolasi, dan 6) tuntutan budidaya tanaman (hidroponik, rumah kaca, lapangan golf) yang menghendaki ketepatan jumlah dan waktu pemberian air, kualitas air, serta digunakannya sarana irigasi untuk pemberian pupuk dan pestisida. Penerapan irigasi tetes di Indonesia umumnya dilakukan pada lokasi dengan tipe iklim yang termasuk zone agroklimat C, D, dan E. Sistem ini dapat diterapkan pada tanah yang sangat bervariasi antara lain: liat, liat berpasir, lempung liat berpasir, lempung berpasir dan pasir. Jenis tanaman yang dibudidayakan umumnya termasuk tanaman unggulan setempat yang mempunyai prospek menguntungkan bila diusahakan, baik tanaman semusim, setahun maupun tanaman tahunan. Yang termasuk tanaman BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 261 Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering semusim, antara lain cabai, tomat, sayuran petsai, kool, daun bawang, melon, tebu dan nenas. Jenis tanaman tahunan yang cocok untuk diirigasi dengan sistem irigasi tetes adalah mangga, jeruk, apel, rambutan, dan durian. Sumber irigasi yang dipergunakan adalah air tanah (dangkal maupun dalam) mata air, sungai, dan embung. Oleh karena kondisi lahan kering (air sangat terbatas), maka sumber air utama yang diharapkan adalah air tanah dan air dari tampungan curah hujan. Hasil kajian kelayakan finansial yang pernah dilakukan terhadap penerapan irigasi tetes pada lahan petani menunjukkan bahwa biaya irigasi, luasan titik impas maupun kelayakan investasi penerapan irigasi tetes sangat beragam (Prastowo 2003a). Hasil pengkajian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kelayakan finansial penerapan irigasi tetes pada lahan petani sangat spesifik tergantung pada disain irigasi tetes yang dibangun, jenis tanaman yang dibudidayakan, dan lokasi penerapannya. Luasan titik impas memberikan gambaran luasan minimum yang harus dapat diairi apabila digunakan irigasi tetes untuk budidaya tanaman tertentu agar secara finansial teknologi ini layak diterapkan. Untuk budidaya tanaman sayuran, luasan titik impas untuk irigasi tetes berkisar antara 1,4 – 16,3 ha sedangkan untuk tanaman buah-buahan luasan titik impas penerapan irigasi ini adalah 0,1 – 15,0 ha. Identifikasi lahan potensial untuk irigasi tetes dapat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor agroklimat, sumber air, jenis tanah dan budidaya tanaman unggulan. Aspek agroklimat menunjukkan kondisi kecukupan air suatu wilayah, sedangkan aspek sumber air menggambarkan kesediaan suplai air irigasi (fluktuasi debit dan kualitas air) sepanjang tahun. Aspek jenis tanah yang penting diperhatikan adalah tekstur tanah dan laju infiltrasi (Prastowo, 2003b). Perkembangan irigasi tetes di Indonesia relatif baru dan terbatas pada beberapa lokasi saja. Hasil demonstrasi irigasi tetes oleh tim Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang bekerjasama dengan Toyota Fondation dari Jepang menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. Penelitian yang dilakukan di daerah Gunung Kidul (lahan yang sangat kritis) ternyata mampu memberikan harapan baru bagi petani disekitarnya. Petani yang biasanya gagal bercocok tanam pada musim kemarau, akhirnya 262 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana dapat mengusahakan tanaman hortikultura seperti bawang, cabai, melon dan tanaman palawija walaupun dalam areal yang sangat sempit setelah mengadopsi teknologi irigasi tetes tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir Pusat Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika dari Lembaga Penelitian IPB Bogor telah sangat intensif melakukan studi tentang aplikasi irigasi tetes di beberapa tempat di Indonesia. Hasil studi ini menunjukkan bahwa penerapan irigasi tetes pada budidaya pertanian lahan kering telah mendapat respon yang positif dari petani. Saat ini sedang dilakukan demonstrasi penerapan irigasi tetes di beberapa tempat di Indonesia. Di Bali, teknologi irigasi tetes sudah mulai dilaksanakan. Beberapa perusahan swasta telah memanfaatkan teknologi ini seperti perkebunan strawberry di Panca Sari Buleleng (PT Mustika Nusantara Abadi) dan perusahan hidroponik sayursayuran di Gobleg, Buleleng. Untuk pertanian lahan kering di Bali Barat sejak tahun 2000 telah dibuat demonstrasi percobaan untuk memperkenalkan teknologi irigasi tetes kepada petani disekitarnya. Penelitian ini dilakukan oleh Tim dari Fakultas Pertanian Unud bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. Pada tahun pertama penelitian diarahkan untuk tanaman cabai, sedangkan tahun kedua dilanjutkan dengan tanaman tomat. Selanjutnya, pada tahun ketiga dan keempat penelitian difokuskan pada tanaman anggur mengingat lokasi tersebut sangat potensial untuk pengembangan tanaman ini. Hasil demonstrasi plot menunjukkan bahwa teknologi irigasi tetes telah memberikan harapan yang sangat meyakinkan bagi petani dalam hal meningkatkan efisiensi penggunaan air. Kelompok petani di wilayah penelitian (Abdi Pertiwi) sangat antusias untuk mengadopsi teknologi ini. Namun, mereka dihadapkan pada kendala finansial mengingat teknologi ini memerlukan biaya investasi yang relatif tinggi pada tahap awal. Di Bali Utara, khususnya di Kecamatan Tejakula (Buleleng) dan Kecamatan Kubu (Karangasem), teknologi ini mulai diperkenalkan. Hal ini sejalan dengan program pengembangan pemanfaatan air bawah tanah dalam proyek kerjasama antara pemerintah RI dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Sampai saat ini, beberapa sumur pompa telah berhasil dibangun dan BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 263 Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering airnya dimanfaatkan oleh petani di kawasan tersebut. Petani telah diarahkan oleh proyek untuk memanfaatkan air secara efisien dengan mengadopsi teknologi irigasi tetes. Kendala yang dihadapi oleh petani adalah tingginya biaya operasional untuk menaikan air dari sumur pompa tersebut. Timbul pertanyaan mungkinkah petani pemakai air dapat disubsidi oleh pemerintah, seperti halnya pada input produksi pertanian yang lain (pupuk dan obat-obatan). Daftar Pustaka Bucks, D.A., F.S. Nakayama and A. W. Warrick. 1982. Principles, Practice and Potentialities of Trickle (Drip) Irrigation. Advance in Agronomy, Vol. 1 : 219 – 297 Hansen, V. E., O. W. Israelsen dan G. E. Stringham. 1986. Dasar-dasar dan Praktek Irigasi (terjemahan). Erlangga. Jakarta. Haridjaja. 1990. Pengembangan Pola Usaha Tani Campuran Pada Lahan kering yang Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Sukabumi. Laporan Penelitian Jurusan Tanah IPB. Bogor. Jass Straykers. 2000. Drip Irrigation Design Guidelines. http:// www. Irrigation Tutorials Karmeli, D. G. Peri dan M. Todes. 1985. Irrigation Systems: Design and Operation. Oxfort University Press. Cape Town. Keller, J. And Bleisner, R. D. 1990. Sprinkler and Trickle Irigation. AVI Publishing Company. Inc. New York. USA. Kepas. 1988. Pedoman Usaha tani Lahan kering : Zone Agroekosistem Batuan Kapur. Badan penelitian dan pengembangan Pertanian, Jakarta. Merit. N. 1987. The Effect of Water Stress on the Growth of Lettuce. M. Agr. Thesis (unpublished), The University of Sydney, Australia Merit, N. 1990. Drip irrigation Management in Salad Tomato Production. Ph. D. Thesis (unpublished), The University of Sydney, Australia. Notohadiprawiro. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia : Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Makalah Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija. SECDP-USAID, Bogor 6-8 Desember 1989. 19 hal. 264 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana Parthasarathy, M. 1988. High effisiency Drip Irrigation for the Poorest Peasants of the third World. Proceedings Fourth International Micro Irrigation Congress, Vol. 1. AlburyWodonga, Australia. October 23-28 , 1988 Prastowo. 2001a. Komponen Irigasi Tetes. Modul Kuliah dalam Pelatihan Aplikasi Teknologi Hidroponik untuk Pengembangan Agribisnis Perkotaan. Pusat Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika (CREATA) Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional, Bogor 1 – 12 Oktober, 2001 Prastowo. 2001b. Pengoperasian Jaringan Irigasi Tetes. Modul Kuliah dalam Pelatihan Aplikasi Teknologi Hidroponik untuk Pengembangan Agribisnis Perkotaan. Pusat Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika (CREATA) Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional, Bogor 1 – 12 Oktober, 2001 Prastowo. 2003a. Sistem Irigasi Bertekanan. Modul Kuliah Komponen Irigasi Sprinkler dan Drip. Pusat Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika (CREATA) Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional, Bogor 14 – 25 April, 2003 Prastowo. 2003b. Komponen Irigasi Sprinkler dan Drip. Modul Kuliah dalam Pelatihan Aplikasi Teknologi Irigasi Sprinkler dan Drip. Pusat Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika (CREATA) Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional, Bogor , 20 April – 10 Mei, 2003 Schwab, G.O., R. K. Frevet, T.W. Edmister and K.K. Barnen. 1981. Soil and Water Conservation Engineering. 3 nd ed. John Wiley and Sons. New York. Sinukaban, N. 1995. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bahan Kuliah pada Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Sutton, B.G. and N. Merit. 1993. Maintenance of Lettus Root Zone at field Capacity Gives Best Yield with Drip Irrigation. Scientea Horticulturae 56 : 1- 11 BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 265 Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering Syam, A. K. Kariyasa., E. Suyitno dan Z. Zaini. 1996. Prosiding Lokakarya Evaluasi Hasil Penelitian Lahan Pertanian Lahan Kering. Pusat Penelitian dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Zoldoske, D.F. 1998. Selecting a Drip Irrigation System for Vineyards. Bull Center for Irrigation Technology, California. 266 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK RIWAYAT HIDUP PARA KONTRIBUTOR I Made Mastika dilahirkan pada tanggal 7 September 1947 di Singaraja Bali, menyelesaikan pendidikan dasar di SR. Banyuning pada tahun 1960 dan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri II Singaraja dan tamat pada tahun 1963. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Singaraja pada tahun 1966. Kemudian mengikuti pendidikan tinggi di Fakultas Peternakan Universitas Udayana dan selesai sebagai Ir Peternakan pada tahun 1973. Selanjutnya menjadi asisten ahli (honorer) di jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana. Pada tahun 1975 terpilih sebagai wakil pemuda Bali untuk ikut dalam program pertukaran pemuda ASEAN –Jepang dalam program “The Ship for the South East Asean Youth Program” tahun 1975. Pada tahun 1974 mewakili dosen Fakultas Peternakan untuk ikut dalam Short Course on Poultry Production in the Tropics yang diselenggarakan oleh Lembaga AAUCS-Australia. Tahun 1978 tugas belajar magister ke Australia pada Department of Biochemistry and Nutrition, University of New England dan selesai pada tahun 1982. Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1983 ikut program jarak jauh Akta Mengajar V, dan pada tahun 1983 terpilih sebagai dosen teladan I, Universitas Udayana. Pada tahun 1984 melanjutkan studi ke Australia untuk program Ph.D, di Department of Biochemistry, Microbiology and Nutrition, University of New England, dan selesai pada tahun 1987.Pada tahun 1990-1992 menjadi Ketua Jurusan Nutrisi dan Makan Ternak di Fakultas Peternakan Universitas Udayana dan pada tahun 1992 dikukuhkan sebagai Guru Besar dengan judul orasi ilmiah “Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian untuk Makanan Ternak”. Pada tahun 1993 sampai dengan 1999 menjabat sebagai Dekan Fakultas Peternakan, untuk dua kali masa jabatan. Pada tahun yang sama sampai dengan 2000 diberi kesempatan sebagai Sekretaris Senat Universitas Udayana. Tahun 2004 sampai sekarang dipercaya untuk menjadi Ketua Komisi I (Pendidikan) Senat Universitas Udayana. Sampai tahun 2009 tidak BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 267 kurang dari 125 judul tulisan ilmiah telah dihasilkan dan dimuat pada majalah/media nasional dan internasional D. K. Harya Putra, dilahirkan di Singaraja pada 13 Agustus 1948 dari pasangan suami istri I Dewa Nyoman Teges (alm) dengan Gusti Made Mas. Pada tahun 1974, Harya Putra menikah dengan Dewa Ayu Nyoman Seniwati (asal Negara, Jembrana) dan dikaruniai 3 orang anak. Kini, Kepala UPT. Penerbit Universitas Udayana dan Kepala Laboratorium Ilmu Faal, Fakultas peternakan, Universitas Udayana. Memperoleh gelar Sarjana Petemakan (S,) dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP), Universitas Udayana, Denpasar, pada tahun 1974. Memperoleh gelar Master of Science (M.Sc - S;) dari University of Queensland, Brisbane, Australia pada tahun 1982. Memperoleh gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dari Unversity of Queensland, Brisbane, Australia, pada tahun 1989. Banyak menulis di berbagai jurnal ilmiah, penelitian, menerjemahkan buku ajar, dan penyunting yang cermat. I Wayan Redi Aryanta, dilahirkan Desa Subamia, Tabanan, 11 Oktober 1943. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah berturut turut di Sekolah Rakyat, Tuakilang, Tabanan tahun 1957, Sekolah Menengah Pertama Negeri Tabanan tahun 1960 dan Sekolah Menengah Atas Negeri Denpasar tahun 1963. Terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Unud pada tahun 1963 – 1970. Menyelesaikan Program S2 pada Department of Food Science and Technology University of the Philippines, Los Banos, Philippines pada 1980, dan S3 di Department of Food Science and Technology, University of New South Wales, Australia tahun 1989. Disamping pendidikan formal beliau juga aktif mengikuti berbagai kursus nongelar khususnya yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Mengikuti UNESCO Regional Training Workshop on “Advances in Microbial Process for the Utilization of Tropical Raw Material in The Production of Food Products”, di Los Banos (Okt. 1993); Mengikuti 7th Annual International Seminar on Sustainable Development of Biotechnology in Tropics, di Manila (Host Scientist: Prof. T. Yoshida, sponsor: 268 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK JSPS, Nop. 1998), Mengikuti Conference of ASAIHL on The Role of Universities in the Quest for Peace, di Makati (Nop. 2004). Diangkat menjadi dosen di Fak Kedokteran Hewan dan Peternakan pada tahun 1971 dan tahun 1995, Prof Redi Aryanta bergabung sebagai dosen pada Fak Teknologi Pertanian, Unud. Disamping aktivitas sebagai dosen beliau juga banyak mengemban tugas-tugas administrasi seperti tercatat sebagai Kepala Bagian Teknologi Hasil Ternak, FKHP (FAPET) Unud (1980-1983), Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Hindu Indonesia (1993-1998), Sekretaris Pusat Penelitian Teknologi dan Kesenian Unud (1995-1998), Ketua Program Studi Teknologi Pertanian (sekarang FTP, 1998 – 2001), Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Udayana (2001-2005), dan Ketua Badan Penjaminan Mutu Universitas Udayana (2006-1009). Di sela-sela kesibukannya mengajar mahasiswa di S1 FTP dan program Megister Pascasarjana Unud (PS Bioteknologi) dan program Doktor Ilmu-ilmu Pertanian, Prof W Redi Aryanta aktif meneliti dan telah menerbitkan tidak kurang dari 32 artikel ilmiah di jurnal nasional dan internasional, serta makalah ilmiah yang dipresentasikan tidak kurang dari 57 makalah baik dalam pertemuan ilmiah nasional maupun internasional. I Nengah Netera Subadiasa, adalah Guru Besar Guru Besar pada Jurusan/Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Dia dilahirkan di Tabanan pada tanggal 4 Juli 1948. Menyelesaikan pendidikan dasar di SR Tabanan tahun 1955, sementara pendidikan menengah diselesaikan di SMP Negeri Tabanan tahun 1961 dan SMA Negeri Tabanan tahun 1964. Pada tahun 1968 masuk Fakulats Pertanian Universitas Udayana dan menamatkan gelar Ir. Pertanian pada tahun 1978. Gelar Magister diraih di Fakultas Pascasarjana IPB pada tahun 1982 dan gelar Doktor di bidang Kesuburan Tanah diraih di Fakultas Pasca Sarjana IPB pada tahun 1988. Sempat menjabat sebagai kepala SPMA Saraswati di kota kelahirannya, Tabanan, pada tahun 1976-1970 dan sejak tahun 1975 diangkat sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian. Selama BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 269 menjadi dosen di Fakultas Pertanian Universitas Udayana, sempat menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian periode tahun 19931996 dan sebagai Kepala Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana periode tahun 1998-2001. Guru besar Fak Pertanian ini sangat konsen dengan alih fungsi lahan di daerah Bali dan Indonesia umumnya. Aktif melakukan penelitian di bidang keilmuwannya termasuk di bidang lahan kering serta telah mempublikasikan hasil penelitiannya baik dalam bentuk artikel yang terbit di jurnal ilmiah, sebagai narasumber dalam berbagai seminar dan pertemuan ilmiah. I Ketut Suter, dilahirkan di Gianyar pada tahun 1950. Menyelesaikan program S1 pada Fakultas Pertanian, Unud, bidang Teknologi hasil pertanian pada tahun 1978. Menyelasaikan Program S2 di bidang Ilmu Pangan pada tahun 1981 di Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor pada tahun 1981, dan S3 dibidang yang sama pada Fak Pascasarjana, IPB Bogor, pada tahun 1988. Semenjak tahun 1976 menjadi staf pengajar pada Fak. Pertanian Unud, dan selanjutnya menjadi Staf pengajar pada Fak Teknologi Pertanian Unud. Dikukuhkan sebagai Guru Besar Madya di bidang Ilmu Pangan pada tahun 1996. Guru Besar FTP ini disamping kesibukannya memberikan kuliah dibidang ilmu pangan dan keamanan pangan juga aktif melakukan penelitian dan tercatat sebagai ketua Pusat Kajian Makanan Tradisional. Sejumlah hasil penelitian telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah serta dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah. I Wayan Arga, Guru Besar Ekonomi Pertanian ini, dilahirkan di Tabanan pada tanggal 14-12-1942. Menamatkan pendidikan S1 pada Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Udayana pada tahun 1971. Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun 1987 di Universitas Gadjah Mada tahun 1987. Menjadi pegawai sementara pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana pada tahun 1967 dan selanjutnya diangkat menjadi dosen tetap pada Fakultas Pertanian Unud pada tahun 1972. 270 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK Putu Suyadnya, dilahirkan di Denpasar pada tanggal 4 Oktober 1944. Tamat pada Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Unud pada tahun 1973. Menyelasaikan Program S2 pada PS Pascasarjana IPB Bogor pada tahun 1982 di bidang Biologi Reproduksi dan pada tahun 1987 menyelesaikan S3 pada PS Ilmu Ternak IPB dibidang ilmu ternak. Diangkat menjadi staf pengajar di Fapet Unud pada tahun 1975 dan manjadi Guru Besar di bidang Ilmu Ternak pada tahun 1997. Guru Besar Fapet ini tercatat pernah menjabat sebagai Kepala Farm Sobangan Fapet Unud (1976-1977), Kepala Farm Sesetan Fapet Unud (1978-1979), Koordinator Desa-desa Binaan LPM Unud (1989-1994), Tenaga Inti LPM Unud (1995-1998), dan Kepala Lab. Reproduksi Fapet Unud (2000 – sekarang). Disamping aktivitas sebagai staf pengajar, Prof. Suyadnya juga aktif melakukan penelitian dan telah mempublikasikan hasil penelitian di berbagai jurnal ilmiah. I Ketut Saka, dilahirkan di Tejakula pada tanggal 24 Mei 1942. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah berturut turut di SR Negeri Tejakula, Buleleng pada tahun 1957, SMP Baktiyasa, Singaraja pada tahun 1960), dan SMA N Singaraja pada tahun 1963. Tamat pada Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Unud pada tahun 1975. Menyelasaiakn Program S2 pada tahun 1983 di School of Agriculture and Forestry, University of Melbourne, dan S3 pada PS. Ilmu Ternak IPB pada tahun 1997 dibidang produksi ternak daging/ilmu daging. Guru Besar Fapet ini aktif melakukan penelitian dan bahkan tercatat sebagai sebagai tim peneliti kawasan IPTEKS berbasis konservasi dan pengembangan sapi Bali Nusa Penida. Dari rangkaian hasil penelitian yang telah dilakukan telah dipublikasikan di jurnal nasional dan internasional, menjadi pembicara dalam berbagai pertemuan ilmiah naional dan internasional serta telah mengikuti berbagai pelatihan dan short course dalam dan luar negeri. Disamping kegiatan penelitian, Prof. I Ketut Saka juga banyak memberikan ceramah, pelatihan, pembinaan dan penyuluhan di bidang peternakan sebagai bentuk pengabdian ke pada masyarakat. BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 271 Dibidang organisasi, Prof. I K. Saka tercatat sebagai anggota IPSI (Ikatana Sarjanan Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia), Anggota alumni Australia, Anggota the Association of Nutrition and Feed Science (AINI). W Sayang Yupardhi, dilahirkan Gianyar, Bali pada tanggal 18 Februari 1949. Menamatkan Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Udayana pada tahun 1977 dan Master pada Animal Production, Agricultural and Forestry, University of Melbourne, Australia pada tahun 1988. Guru Besar pada Fisiologi Ternak pada Fakultas Peternakan Universitas Udayana ini disamping kegiatan yang padat di bidang Tri Dharma Perguruan Tinggi, juga aktif mengikuti berbagai pelatihan dan short course di dalam dan di luar negeri baik di bidang Fisiologi Hewan dan Ilmu Peternakan tetapi juga pada bidang yang berkaitan dengan perbaikan sistem pendidikan di perguruan tinggi. Selama perjalanan karier ilmiahnya, Guru Besar Peternakan ini menulis beberapa karya ilmiah di bidang Fisiologi Hewan serta Ilmu Peternakan lainnya dan telah dipublikasikan dalam majalah ilmiah terbitan dalam dan luar negeri serta beberapa buku ajar. Nyoman Sadra Dharmawan, dilahirkan di Bebandem, Karangasem, Bali, pada tanggal 5 Oktober 1958. Menempuh pendidikan tinggi hingga memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (1981) dan Profesi Dokter Hewan (1982) pada Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta. Selanjutnya, menyelesaikan pendidikan Pascasarjana S2, Sains Veteriner, pada Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (1990) serta pendidikan S3, Sains Veteriner, diselesaikan pada 1995, lewat program sandwich di Institute of Tropical Medicine, Antwerpen, Belgia dan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sadra adalah staf pengajar pada Fakultas Kedokteran Hewan dan Program Pascasarjana (S3) di Universitas Udayana. Mantan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana (1997 – 2001) yang pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengabdian 272 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK kepada Masyarakat (LPM) pada 2001 – 2005 dan Sekretaris Badan Penjaminan Mutu (BPMU) di Universitas Udayana pada 2006 – 2008, di samping masih giat mengajar, meneliti dan melakukan pengabdian kepada masyarakat, juga aktif dalam pertemuanpertemuan ilmiah. Anggota Dewan Redaksi Jurnal Veteriner – Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan Indonesia - dan Jurnal Udayana Mengabdi. Dalam kapasitasnya sebagai Anggota Tim Quality Assurance Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Prof Sadra aktif memberikan pelatihan, pendampingan dan technical assistance tentang penjaminan mutu di perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Menikah dengan Ketut Konny Dimiati, SE dengan tiga orang putra. I Made Badra Arihantana, dilahirkan di Karangasem ada tanggal 14 April 1947. Menamatkan pendidikan doktor di University of New South Wales, dan menjadi Guru Besar tetap di bidang Ilmu dan Teknonologi Pertanian Pada Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Indayati Lanya, adalah Guru Besar di bidang Evaluasi Lahan pada Jurusan/Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Dia dilahirkan di Cirebon pada tanggal 8 September 1954. Menyelesaikan pendidikan dasar di SR Cirebon pada tahun 1967, sementara pendidikan menengah diselesaikan di kota yang sama yaitu SMP Negeri III Cirebon tahun 1970 dan SMA Negeri II Cirebon tahun 1973. Pada tahun 1975 masuk Institut Pertanian Bogor dan Ir. Pertanian di bidang Ilmu Tanah pada tahun 1979. Gelar Magister diraih di Fakultas Pascasarjana IPB pada tahun 1985 dan gelar Doktor di bidang Kesuburan Tanah diraih di Fakultas Pascasarjana IPB pada tahun 1994 dibidang Ilmu Tanah khususnya Evaluasi Lahan. Sempat menjabat sebagai asisten dosen luar biasa (tidak tetap) di Kimia Analitik, Foto Udara, Kartografi dan Geomorfologi di Fakultas Pertanian, IPB Bogor. Pada tahun 1979 diangkat sebagai Staf Peneliti Budidaya Tebu di Proyek Gula Jati Tujuh Cirebon, serta sempat menjadi konsultan Remote BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 273 Sensing, survei dan pemetaan di PT. EXA International, Bogor. Pada tahun 1979-1989 diangkat sebagai dosen Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB dan pada tahun 1989 sampai sekarang adalah dosen tetap Fakultas Pertanian Universitas Udayana serta Kepala Laboratorium Manajemen Sumber daya Lahan, Fakultas Pertanian Unud. Disamping melakukan kegiatan Tri Dharma, Guru Besar Fak Pertanian ini padat dengan aktivitas baik sebagai editor jurnal ilmiah, tenaga ahli dan konsultan lembaga swasta dan pemerintah serta telah mempublikasikan hasil penelitainnya dalam jurnal ilmiah dan buku, serta aktif dalam kegiatan kerjasama dengan berbagai instansi swasta dan pemerintah. Prof. Indrayati juga aktif mengikuti berbagai pelatihan dan workshop di bidang manajemen lahan dan yang berkaitan dengan keilmuwannya di dalam dan di luar negeri. I Nyoman Supartha, dilahirkan di Karangasem pada tanggal 19 Maret 1953. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah berturut turut di SD Negeri 1 Duda, Karangasem pada tahun 1965, SMP Gunung Agung, Selat, Karangasem pada tahun 1968, dan SMA N 1 Denpasar pada tahun 1971. Menamatkan sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 1978. Menyelesaikan program megister pada tahun 1992 di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), Pascasarjana, IPB, Bogor dan selanjutnya Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan , pada Pascasarjana, IPB, Bogor pada tahun 2001. Diangkat menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Udayana pada tahun 1978. Semenjak tahun 2003 ditetapkan sebagai Guru Besar tetap di Bidang Ilmu Sosial Ekonomi Peternakan (Ilmu Penyuluhan Pembangunan). Disamping aktif mengajar mahasiswa S1 di Fak Peternakan, beliau juga adalah pengajar di Program Pascasarjana Unud pada Program Studi Ilmu Manajemen Agribisnis. Disamping kesibukan mengajar, meneliti dan melalukan pengabdian kepada masyarakat, beliau juga aktif di bidang organisasi serta mengelola usaha yang bergerak dibidang peternakan ayam. Beliau juga tercatat sebagai Komisaris Utama PT. Tohpati Poultry serta Komisaris Utama Bank Parta Kencana Tohpati. Dibidang 274 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK ilmiah Guru Besar Unud ini telah menerbitkan tidak kurang dari 13 judul buku baik dibidang organisasi kemasyarakatan maupun di bidang keilmuwan yang digelutinya. Sederet prestasi mengagumkan telah diraih oleh Prof. Nyoman Supartha dari sebagai mahasiswa teladan nasiolal Unud, juga sederet penghargaan di bidang akademik dan wirausaha telah disandang oleh Profesor Unud ini. Dibidang akademik, beliau adalah lulusan gemilang S3 IPB Bogor dan penyaji terbaik hasil penelitian Dikti thn 2004. Di bidang wirausaha beliau adalah penyandang penghargaan 50 besar enterprenourship usaha menengah dan usaha dengan jejaring paling baik, serta The Best Eksekutif 2003-2004 dari Asean Development Citra Award tahun 2004 dan Eksekutif Berprestasi 2003-2004 dari Forwija Award. I Gede Mahardika dilahirkan pada tanggal 18 Maret 1960 di Jembrana, Bali. Menamatkan Pendidikan Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana pada tahun 1984. Menamatkan Pendidikan Megister (MS) tahun 1990 di Fakultas Pascasarjana, IPB, Bogor dan Pendidikan Doktor pada tahun 1996 di Fakultas Pascasarjana IPB Bogor. Pada tahun 1994 mendapat kesempatan mengikuti trianing dalam bidang Kalorimetri Hewan selama 6 bulan di Universitas Hohenheim, Stuttgart, Jerman. Sampai saat ini telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, baik diterbitkan dalam jurnal ilmiah nasional terakreditasi maupun pada jurnal ilmiah internasional. Sejak tahun 2005 diangkat sebagai Guru Besar pada Fakultas Peternakan Universitas Udayana dalam bidang Ilmu Nutrisi Ternak. Di samping sebagai dosen tetap pada Fakultas Peternakan Univeristas Udayana dengan bidang keahlian Fisiologi Nutrisi, saat ini menjabat sebagai Ketua Lembaga Penelitian Unversitas Udayana sejak tahun 2007. Nyoman Merit, dilahirkan di Tabanan pada tanggal 14 April 1947. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah berturut turut di Sekolah Rakyat, Tegallinggah pada tahun 1961, Sekolah Menengah Pertama Negeri, Penebel tahun 1964 dan Sekolah Menengah Atas Negeri Tabanan tahun 1967. Terdaftar sebagai BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 275 mahasiswa pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana pada tahun 1969 – 1978. Menyelesaikan Program Magister di Sydney University, Australia dibidang Pengelolaan Air Tanah pada tahun 1987 dan menyelesaikan doktor pada departemen yang sama di Sydney University, Australia, pada tahun 1991 dibidang yang sama. Pernah sebagai asisten dosen Fakultas Pertanian Unud pada tahun 1976-1978 sebelum diangkat menjadi dosen tetap Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Unud pada tahun 1978. Selain mengajar di Jurusan Ilmu Tanah Fak Pertanian, Unud, juga sebagai pengajar pada Program Pascasarjana Univeritas Udayana pada Program Magister Lahan Kering dan Program Magister Ilmu Lingkungan. Sampai sekarang Prof. Nyoman Merit adalah Kepala Laboratorium Fisika, Konservasi Tanah dan Air, Fak Pertanian, Unud. Guru Besar Fak. Pertanian ini aktif melakukan penelitian di bidang degradasi dan sumberdaya lahan, kualitas air dan irigasi drip pada pertanian hortikultura. Disela-sela kegiatan memberikan kuliah pada mahasiswa sarjana dan pascasarjana, Prof. Merit aktif melakukan penelitian dan beberapa hasil penelitiannya telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah nasional dan internasional, serta mengikuti pertemuan ilmiah untuk selalu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi dibidang yang digelutinya. 276 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK