Buku Pemikiran Kritis Guru Besar Bidang

Transcription

Buku Pemikiran Kritis Guru Besar Bidang
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR
UNIVERSITAS UDAYANA
BIDANG AGROKOMPLEK
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
i
Sanksi Pelanggaran Pasal 44:
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta Sebagaimana Telah Diubah
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah).
ii
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR
UNIVERSITAS UDAYANA
BIDANG AGROKOMPLEK
VOLUME 1
CETAKAN KE-2
UDAYANA UNIVERSITY PRESS
dan
BADAN PENJAMIN MUTU UNIVERSITAS UDAYANA (BPMU)
2009
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
iii
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR
UNIVERSITAS UDAYANA
Tim Editor BPMU:
Prof. Dr. Wayan Windia
Ir. I Nengah Sujaya, M.Agr.Sc., Ph.D
Prof. Dr. I Ketut Sudibia, SU
Dr. Drs. I Wayan Budiarsa Suyasa, M.Si
Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes
Dr. Ir. I Made Alit Karyawan Salain, DEA
Prof. Ir. W. Sayang Yupardi, M.Agr
Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, MP., Ph.D.
Prof. Dr. Made Subawa, SH., MS
Dr. Made Suyana Utama, SE., MS
Dr. Wayan Simpen
Dr. Dwi Putra Darmawan
Dr. drh. Hapsari Mahatmi, MP
I Wayan Suardana, SSp. Par., M.Par
Prof. Ir. I Nyoman Norken, SU., Ph.D.
Dr. I Nyoman Semadi, Sp.B., Sp.BTKW
Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS.
Desain & Lay Out:
Putu Mertadana
Diterbitkan oleh:
UDAYANA UNIVERSITY PRESS
Kampus Unud Sudirman Gedung Pascasarjana Lt.1 R.1.1
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar - Bali, Telp. 081 337 491 413
[email protected] http://penerbit.unud.ac.id
Bekerjasama dengan :
BADAN PENJAMIN MUTU UNIVERSITAS UDAYANA (BPMU)
Volume 1, Cetakan Ke-2:
2009, xi + 272 hlm, 14 x 21 cm
ISBN:
Hak Cipta pada Penulis.
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
iv
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
KATA PENGANTAR
Edisi Ke-2
Sebagai insan yang beragama, dan percaya pada keagungan
Tuhan YME, maka pertama-tama adalah sebuah kewajiban untuk
menyampaikan persembahan syukur kehadapanNYA, karena tugas
menerbitkan ulang berbagai pemikiran kritis para Guru Besar
Unud akhirnya dapat juga diwujudkan. Kami meyakini bahwa
tanpa perkenannya tidak ada sesuatu pun yang bisa terwujud
dalam alam yang fana ini.
Dalam pelaksanaan tugasnya, Tim Editor harus melakukan
koordinasi dengan para Guru Besar yang pemikirannya terekam
disini, antara lain untuk mohon klarifikasi substansial, meminta
kesediaannya untuk menulis daftar riwayat hidup, dll. Mungkin
karena kesibukannya, maka hingga waktu yang telah ditetapkan,
masih ada para Guru Besar yang belum dapat memenuhi
permohonan Tim Editor. Khususnya permohonan untuk
mengirimkan daftar riwayat hidupnya (baik melalui fax, e mail,
dll).Oleh karenanya, Tim Editor harus berusaha menemukan serba
sedikit keterangan pribadi tentang Guru Besar yang bersangkutan
di tempat lain, data di Bagian Kepegawaian, atau pada beberapa
penerbitan ilmiah yang pernah diterbitkan. Tim Editor juga
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
v
melakukan berbagai editing teknis, tanpa mengubah makna dan
substansi kajiannya.
Akhirnya, Tim Editor menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Rektor Unud yang telah memberikan kepercayaan kepada
Tim Editor dari BPMU untuk melakukan editing ulang terhadap
berbagai pemikiran kritis para Guru Besar Unud. Kumpulan
Pemikiran Guru Besar ini kemudian diterbitkan oleh Udayana
University Press dengan format yang agak berbeda dengan Edisi
1. Berbagai pemikiran itu, bersumber dari orasi ilmiah Guru Besar
yang bersangkutan, pada saat pengukuhan. Terima kasih pula kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah berkenan membantu
penerbitan ini. Sementara itu, tak lupa kami menyampaikan
permohonan maaf, bila ada berbagai hal yang tidak berkenan.
Kritik dan saran tentu saja akan kami terima dengan terbuka,
untuk perbaikan di kemudian hari.
TIM EDITOR BPMU
vi
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
SAMBUTAN REKTOR
UNIVERSITAS UDAYANA
Edisi ke-2
Saat ini, para Guru Besar telah mendapatkan perhatian yang
besar dari pemerintah. Perhatian itu, di antaranya diwujudkan
dalam berbagai bentuk tunjangan finansial. Fenomena ini harus
direspon seluruh insan Guru Besar dengan peningkatan tanggungjawab akademik. Di antaranya adalah dengan menyampaikan
berbagai pemikiran kritis kepada publik, guna menjawab berbagai
problematika sosial.
Penerbitan buku ini adalah untuk mengumpulkan berbagai
pemikiran kritis tersebut, dan diharapkan dapat dijadikan
referensi bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai problema
di masyarakat. Kalau harapan ini dapat terwujud, maka hal itulah
yang menjadi kepuasan yang utama bagi seorang akademikus.
Rasa puas itu tentu saja akan ikut kami rasakan, dalam kapasitas
selaku pimpinan dan Rektor Universitas Udayana.
Oleh karenanya, kami menyambut baik berbagai usaha dari
pihak BPMU yang ingin menerbitkan kembali berbagai pemikiran
para Guru Besar Unud dari berbagai bidang ilmu. Sebelumnya,
buku yang menghimpun pemikiran Guru Besar ini dibagi dalam
tiga volume. Namun dalam penerbitan edisi ke-2, judulnya telah
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
vii
dirumuskan dalam bentuk berbagai subjek kajian. Dengan
demikian diharapkan sidang pembaca akan lebih dipermudah
untuk menemukan subjek referensinya.
Akhirnya kita berharap, kiranya penerbitan ini akan
merupakan bagian dari sumbangsih sivitas akademika Unud bagi
masyarakat, dan bagian dari persembahannya kehadapan Tuhan
Yang Maha Esa. Semoga buku ini bermanfaat.
Bukit Jimbaran, September 2009,
Rektor Universitas Udayana,
Prof.Dr.dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM).
viii
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................
v
Sambutan Rektor Universitas Udayana ............................................
vii
POTENSI LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PERTANIAN
SERTA PEMANFAATANNYA UNTUK MAKANAN TERNAK
I Made Mastika ...............................................................................
1
ARTI PENTING BIOTEKNOLOGI BIDANG PETERNAKAN:
TINJAUAN KHUSUS MENGENAI INSEMINASI BUATAN DAN
TRANSFER EMBRIO
D. K. Harya Putra ...........................................................................
26
PERANAN BAKTERI ASAM LAKTAT DALAM INDUSTRI
PENGOLAHAN BAHAN PANGAN
I Wayan Redi Aryanta .................................................................
40
PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN MASUKAN RENDAH
Netera Subadiyasa........................................................................ 56
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
ix
PERANAN TEKNOLOGI PASCAPANEN DALAM
MEMPERTAHANKAN MUTU DAN MEMPERPANJANG UMUR
SIMPAN BUAH SALAK SEGAR
Ketut Suter ......................................................................................
72
MENINGKATKAN SKALA USAHA PETANI GUREM SEBAGAI UPAYA
MENUJU PERTANIAN TANGGUH DI INDONESIA
I Wayan Arga.................................................................................... 91
SUPEROVULASI DAN PEMACUAN SEBAGAI SALAH SATU CARA
UNTUK MENIGKATKAN PRODUKTIVITAS INDUK-INDUK BABI
YANG ANGKA KELAHIRANNYA RENDAH
I Putu Suyadnya ............................................................................. 102
PENANGANAN PASCAPANEN DAN PENGARUHNYA TERHADAP
HASIL DAN MUTU DAGING PADA SAPI BALI
I Ketut Saka ...................................................................................... 112
REAKSI FISIOLOGI TERNAK SAPI TERHADAP LINGKUGAN PANAS
Wayan Sayang Yupardi .............................................................. 142
FENOMENA PENYAKIT CACING PITA DAGING BABI DI BALI
DAN PERAN LABORATORIUM KLINK DALAM MENEGAKKAN
DIAGNOSIS
Nyoman Sadra Dharmawan .................................................... 152
SANITASI DAN HIGIENE: PERANANNYA DALAM PENGEMBANGAN
DAN KEAMANAN MAKANAN TRADISIONAL MASA DEPAN
Made Badra Arihantana............................................................ 165
TEKNOLOGI REMOTE SENSING DALAM PENGELOLAAN
SUMBERDAYA LAHAN BERKELANJUTAN
Indayanti Lanya ............................................................................. 178
PERANAN PENYULUHAN DALAM PENGETAHUAN USAHA DAN
SISTEM AGRIBISNIS UNTUK MENOPANG EKONOMI KERAKYATAN
Nyoman Supartha ......................................................................... 219
x
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
PENDEKATAN METABOLISME KUANTITATIF DALAM ILMU
NUTRISI TERNAK
I Gede Mahardika ......................................................................... 243
PEMANFAATAN TEKNOLOGI IRIGASI TETES (DRIP IRRIGATION)
DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING
I Nyoman Merit .............................................................................. 252
RIWAYAT HIDUP PARA KONTRIBUTOR ........................................... 267
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
xi
xii
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
POTENSI LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI
PERTANIAN SERTA PEMANFAATANNYA
UNTUK MAKANAN TERNAK
Made Mastika
Pendahuluan
Bila ditinjau di rencana pembangunan di dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara Republik Indonesia (GBHN, 1988) maka
jelaslah bahwasanya titik berat pembangunan jangka penjang
bidang ekonomi ialah untuk mencapai struktur ekonomi yang
seimbang dimana kemampuan dan kekuatan industri yang maju
didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh.
Hal ini dipertegas lagi bahwa pada akhir Pelita V sudah harus
tercipta landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk dapat
memasuki proses tinggal landas pada Pelita VI nanti. Jadi, dalam
Pelita V peranan sektor pertanian masih besar yang diarahkan
untuk menuju pertanian yang maju, efisien, dan tangguh (Soehadji,
1990). Sub sektor peternakan yang merupakan bagian integral
dari sektor pertanian, dalam Pelita V diutamakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi melalui 1). Pembinaan daerah-daerah
produksi yang sudah ada, 2). Pembangunan daerah-daerah baru,
3). Penyuluhan, 4). Pembinaan serta penyediaan sarana dan
prasarana, dan 5). Pemanfaatan limbah pertanian untuk makanan
ternak. Dalam makalah ini uraian akan difokuskan pada bagian
yang terakhir yaitu Pemanfaatan limbah pertanian dan industri
pertanian untuk makanan ternak.
Dewasa ini penanganan limbah hasil pertanian dalam arti
luas belum mendapatkan perhatian yang selayaknya. Bila tidak
ditangani secara cermat dan terencana, maka limbah ini akan
menimbulkan pencemaran lingkungan yang cukup serius. Sebagian
besar bio massa yang telah diproduksi alam baik melalui proses
pertanian, perkebunan, peternakan, maupun perikanan, setelah
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
1
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
dimanfaatkan hasil utamanya, terpaksa harus dibuang dalam
bentuk limbah yang tidak termanfaatkan dengan baik. Meskipun
sebagian besar limbah pertanian biasanya dikembalikan ke lahan
untuk memenuhi proses daur ulang ekologi secara alamiah,
masih banyak limbah-limbah hasil pertanian yang sesungguhnya
dapat dimanfaatkan dan ditingkatkan nilainya melalui teknologi
sederhana dan tradisional melalui bioteknologi, baik menjadi
bahan makanan manusia, ternak, maupun untuk memenuhi
kebutuhan industri.
Masalah utama yang sangat penting juga dihadapi oleh
petani peternak adalah meningkatnya harga bahan-bahan makanan
ternak, baik lokal maupun import menyebabkan peningkatan
tajam harga makanan ternak pabrik. Keadaan ini mengakibatkan
meningkatnya ongkos produksi, sehingga mengurangi keuntungan
usaha peternakan. Karena itu usaha untuk mencari bahan-bahan
sumber pengganti lain untuk menekan biaya makanan tanpa
mempengaruhi penampilan ternak itu sendiri dengan harga yang
murah, mudah didapat dan tidak berkompetisi dengan manusia
yaitu inconventional-agro-industry by product adalah mutlak
perlu dipertimbangkan untuk dapat meningkatkan pendapatan
petani peternak.
Adanya kenyataan bahwa bahan-bahan sumber energi
yang biasa dipergunakan untuk makanan ternak di Indonesia
adalah jagung serta kedelai dan ikan sebagai sumber protein
merupakan bahan-bahan yang masih terbatas jumlahnya dan
masih merupakan kebutuhan utama penduduk di beberapa
wilayah Indonesia sehingga akan mengakibatkan adanya kompetisi
langsung antara manusia dan ternak. Oleh karena itu, pemikiran
harus dialihkan pada suatu proses produksi pertanian yang
produk utamanya untuk memenuhi kebutuhan manusia dan hasil
sampingannya (limbahnya) untuk memenuhi kebutuhan ternak.
Dengan demikian, pembangunan pertanian dalam arti luas
yang berwawasan lingkungan akan dapat ditumbuh kembangkan
secara nyata di Indonesia umumnya dan Bali khususnya.
Pengertian Limbah
Bila ditinjau dalam kamus besar Bahasa Indonesia
(1988) pengertian limbah secara harfiah didefinisikan sebagai
2
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
sisa produksi, air buangan pabrik. Pengertian sisa di sini harus
diartikan bahan sampingan yang tersisa setelah proses produksi
utama selesai. Dalam bidang pertanian, industri perkebunan,
peternakan, dan perikanan, pengertian limbah akan lebih luas
lagi yaitu termasuk bahan sampingan (by-products), bahan-bahan
terbuang dan tidak terpakai (waste products) dan bahan sisa.
Winarno (1985) memberikan definisi khusus untuk limbah hasil
pertanian adalah bahan yang merupakan buangan dari proses
perlakuan atau pengolahan untuk memperoleh hasil utama dan
hasil sampingan. Selanjutnya ditambahkan bahwa pengertian
limbah juga termasuk hasil sampingan. Hal ini disebabkan sulitnya
garis pemisah yang jelas antara bahan buangan atau limbah dengan
hasil sampingan. Sedangkan Devendra (1983) mendefinisikan
limbah industri pertanian (Agro-industrial by-product) adalah
semua bahan makanan ternak yang biasa digunakan dalam ransum
dan mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dalam makanan ternak
misalnya dedak padi, bungkil kelapa.
Beberapa ahli lain memberikan pengertian yang sama
antara Agro-industrial by-product dan Agro-industrial waste
(Rihabasted, 1983; Ngiam, 1983; Rahim Bidin et al. 1983). Penulis
sendiri sependapat bahwa pengertian Agro-industrial by-product
harus dibedakan dengan pengertian Agro-industrial wasteproduct. Agro-industrial by-product sama dengan hasil sampingan
dari suatu proses produksi pertanian dimana hasil sampingan
yang sudah ada bisa dimanfaatkan lagi untuk makanan manusia
maupun ternak. Misalnya dedak padi dari proses penggilingan
padi sedangkan Agro-industrial waste adalah bahan buangan
dari proses produksi tadi yang belum/ tidak dimanfaatkan untuk
manusia/ ternak meliputi hasil sampingan (by product) yang
belum dimanfaatkan untuk ternak misalnya sekam dimana bahan
ini dibakar/ untuk rabuk dikembalikan ke tanah karena belum
tersedia teknologi untuk pengolahan menjadi bahan makan
ternak. Jadi dalam bidang nutrisi dan makanan ternak penulis
menggolongkan pengertian limbah industri pertanian menjadi
tiga yaitu :
1. Bahan sampingan dari suatu proses produksi pertanian/
industri yang sudah biasa dipergunakan untuk menyusun
ransum ternak misalnya dedak padi, bungkil kelapa, bungkil
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
3
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
2.
3.
kedelai, tepung ikan. Bahan-bahan yang termasuk golongan
ini biasanya jumlah yang tersedia cukup banyak (potensi
tinggi) telah diteliti nilai hayati (biologisnya) untuk berbagai
ternak dan telah dianalisa komposisi kimia secara lengkap,
informasinya cukup banyak dan yang terakhir telah terdaftar
dalam Tabel Komposisi Kimia dalam International Network
of Feed Information Centres (INFIC). Bahan ini dimasukkan
dalam golongan conventional Agro-Industrial by-product.
Bahan sampingan dari suatu proses produksi pertanian/
industri yang sudah dianalisa komposisi kimianya tapi masih
dalam proses penelitian tentang nilai biologis (hayatinya).
Biasanya bahan ini termasuk bahan yang berpotensi tinggi
dalam arti jumlahnya. Informasi hasil penelitian biasanya
terbatas dan masih ada silang pendapat (controversial)
misalnya lemak telo (beef tallow), isi rumen, tepung darah,
tepung daun, tepung bulu, kotoran ayam, kotoran sapi.
Biasanya sudah dipergunakan dalam ransum ternak dalam
jumlah yang relatif kecil (antara 2 – 10 %).
Bahan sampingan dari suatu proses produksi pertanian atau
industri yang belum bisa dimanfaatkan untuk makanan ternak
karena terbatasnya/ belum diketemukannya teknologi yang
dapat mengolah bahan tersebut misalnya sekam padi, serbuk
gergaji, Komposisi kimia sudah/ belum ada dan informasinya
sedikit sekali. Bahan ini dimasukkan dalam golongan waste
by-product bahan-bahan yang terbuang.
Kendala dan Usaha Mengatasi Limbah untuk Makanan
Ternak
Rendahnya availabilitas zat-zat makanan yang terkandung
di dalam limbah merupakan kendala utama dalam usaha
memanfaatkan limbah untuk bahan makanan ternak. Keadaan
tersebut di atas merupakan sifat umum dari limbah. Apabila dirinci
kendala-kendala tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Limbah pada umumnya mempunyai sifat bulky (volumeneous
= amba) yang disebabkan karena tingginya kandungan serat kasar
(crude fibre) di dalam limbah tersebut. Misalnya limbah yang
berasal dari proses penggilingan seperti dedak padi misalnya
mempunyai density yang bervariasi antara 0,24 – 0,30 g/cm3
4
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
(BoGohl, 1975). Limbah yang berasal dari extraksi minyak seperti
bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, bungkil kacang tanah
mempunyai angka density antara 0,45 – 0,64. Adanya sifat bulky
ini menyebabkan konsumsi makanan akan terbatas terutama pada
ternak unggas. Hal ini dapat diatasi dengan jalan pemeletan bahan
makanan yang mempergunakan limbah tersebut.
Ampas (bungkil) kelapa mempunyai sifat yang mudah
mengembang (swelling) bila kena air yaitu 2,5 kali volume awal
dalam waktu 3,5 menit (Nitis, 1973). Apabila dipellet maka
kecepatan mengembangnya dapat diturunkan menjadi 96 menit.
Adanya sifat-sifat tersebut pada beberapa jenis limbah maka
pemakaian limbah jumlahnya menjadi terbatas.
Walaupun ada beberapa jenis limbah yang kandungan zatzat makanannya sangat tinggi bila dianalisis secara kimia misalnya
tepung darah dengan kandungan protein kasar (crude protein) 82
% dan energi metabolis (methabolizable energy) 2843 kcal ME,
namun pemakaian bahan ini di dalam ransum ayam sangat terbatas
yaitu pada tingkat 1 – 2 % dari total ransum. Ini disebabkan karena
availabilitas asam-asam amino yang terkandung di dalamnya
sangat rendah (Scott et al. 1982). Di samping itu, kandungan asam
amino leucine pada tepung darah sangat tinggi yang menyebabkan
adanya leicine : isoleucine imbalance bila pemakaiaanya di atas
10 % (Austic, 1983), walaupun hal ini dapat diatasi dengan
suplementasi asam amino leucine sintetik tetapi ransum tidak
akan ekonomis lagi karena harga asam amino leucine sangat mahal
(Austic, 1983). Contoh lain adanya asam amino antagonisme antara
arginine dan lysine yang terdapat pada ransum yang mengandung
bungkil kelapa apabila pemakaiannya sampai 40 % (Nitis, 1973).
Bila ditinjau dari kandungan asam aminonya maka ransum tadi
akan mengandung arginine/lysine ratio 3 : 1 sedangkan standar
yang disarankan oleh Scott et al.(1982) adalah 1 : 1. Adanya
antagonisme tadi dapat dicegah dengan suplementasi lysine
sintetis (L-Lysine-HCl) yang sudah dapat diproduksi dengan harga
yang cukup murah dan tersedia di pasaran bebas.
Tingginya kandungan lemak (14 – 18 %) pada dedak padi
misalnya mengakibatkan bahan tersebut mudah tengik (rancid)
yang disebabkan oleh adanya enzym lipolitic di dalam dedak
padi tersebut (BoGohl, 1975). Enzym tersebut akan menjadi aktif
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
5
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
pada saat dedak padi dipisahkan dari beras yang menyebabkan
kandungan asam lemak dedak padi meningkat dengan cepat
sehingga mempercepat terjadinya proses oxidative rancidity atau
hydrolysis rancidity terutama pada kelembaban tinggi. Ketengikan
ini dapat diatasi dengan extraksi minyak dedak padi atau dengan
proses pengeringan sampai dedak tadi mengandung air 4 %.
Penambahan vitamin E atau antioxidant lain dapat membantu
untuk mencegah ketengikan. Adanya zat penekan pertumbuhan
pada dedak padi dilaporkan oleh beberapa peneliti (Kratzer et al.
1974; Kratzer and Payne, 1977; Mayun and Payne, 1977), terutama
apabila dedak padi dipakai dalam jumlah yang tinggi yaitu 60 %
dari total ransum. Selanjutnya dilaporkan dengan pemanasan 1200
C selama 20 menit masalah tersebut dapat diatasi. Ditemukannya
asam phytate pada dedak padi menyebabkan mineral posfor sulit
terlepas dari ikatannya sehingga tidak bisa diserap oleh ternak
non ruminansia.
Adanya zat-zat yang dapat meracun (toxic substance)
pada beberapa jenis limbah perlu mendapat perhatian khusus.
Kulit umbi ketela pohon misalnya mengandung linamarinn yang
mempunyai sifat seperti enzym pelepas asam prussic (HCN) yang
dapat meracun pada ternak besar dan unggas (BoGohl, 1975).
Kadar HCN ini dapat dikurangi dengan merendam bahan tersebut
dan selanjutnya mengeringkannya di bawah sinar matahari.
Tepung biji kapas mengandung gossipol yang meracun pada ternak
monogastric dan ruminansia muda. Pengaruh racun tersebut
dapat dikurangi dengan mencampur bahan tersebut dengan bahan
ferum sulfat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam usaha
pemanfaatan limbah untuk makanan ternak kendala-kendala di
atas dan usaha/cara mengatasinya perlu diperhatikan sehingga
pemakaian pada tingkat yang optimal tanpa mengurangi
performans ternak dapat dicapai.
Adanya keengganan pabrik makanan ternak yang besar
untuk memanfaatkan limbah industri pertanian disebabkan
karena adanya kendala-kendala lain yang juga perlu mendapat
pertimbangan antara lain : mutu limbah yang bervariasi,
persediaan limbah yang tidak berkesinambungan (musiman) dan
tersebar di beberapa tempat sehingga menyulitkan pengumpulan,
6
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
komposisi kimia yang sangat bervariasi, dan relatif tidak tahan
lama bila disimpan. Namun demikian, dengan perkembangan
teknologi dewasa ini memungkinkan limbah industri pertanian
dapat diusahakan oleh peternakan rakyat kecil melalui usaha
perkoperasian. Pemakaian limbah pertanian dalam ransum ternak
akan dapat membantu menuju peternakan yang efisien karena
harga ransum akan dapat ditekan dan pendapatan petani dapat
ditingkatkan.
Klasifikasi Limbah
Bila dikaitkan dengan konsep pertanian yang tangguh, maka
dari segi pasca panen dapat ditafsirkan bahwa pertanian yang
tangguh adalah sistem pertanian yang mampu mendayagunakan
seluruh hasil pasca panen termasuk limbahnya seefisien mungkin
untuk memperoleh hasil guna yang maksimal. Jadi jelaslah di sini
bahwasannya pemanfaatan limbah pertanian untuk makanan
ternak termasuk usaha yang akan dapat meningkatkan efisiensi
usaha pertanian dalam arti luas. Karena demikian beragamnya
jenis limbah yang ada maka ada baiknya kalau limbah tersebut
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis :
a. Ditinjau dari asal atau sumber limbah itu maka limbah dapat
dibagi menjadi beberapa jenis :
1. Limbah pertanian (Agricultural by/waste product),
seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacangkacangan, batang pisang, daun singkong, pucuk tebu,
gulma.
2. Limbah industri pertanian (Agro-industrial by-product)
seperti dedak padi, dedak jagung, bungkil kelapa,
bungkil kedelai, bungkil kacang tanah, sedangkan sekam
padi adalah salah satu contoh Agro-industrial wasteproduct.
3. Limbah peternakan seperti kotoran ayam, limbah rumah
potong seperti isi rumen, bulu ayam, lemak telo (beef
tallow), tulang, darah.
4. Limbah perikanan meliputi beberapa jenis ikan yang
merupakan hasil sampingan pada penangkapan udang
dan limbah pada unit pembekuan dan pengolahan/
pengalengan ikan seperti bagian kepala, sirip, ekor,
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
7
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
isi perut (Tambunan, et al. 1985). Untuk daerah Bali
dimana sepanjang pantai dari Gilimanuk sampai Benoa
merupakan sumber ikan lemuru yang hasilnya banyak
sekali tetapi tidak semua dapat dikonsumsi manusia
maka hasil tangkapan lemuru yang berlebihan itu
merupakan sumber tepung ikan untuk makanan ternak
yang potensial.
5. Limbah kehutanan yaitu limbah pemungutan
pembalakan yaitu kayu-kayu rusak yang tak terpakai dan
limbah pengolahan/industri misalnya serbuk gergaji,
kulit kayu (Silitonga, 1985) yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber bahan serat kasar tinggi yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber campuran makanan
ternak untuk menurunkan kadar kolesterol pada darah
dan telur ayam (Mc.Naughton, 1978).
6. Limbah perkebunan yaitu meliputi semua hasil ikutan
dalam pengusahaan tanaman perkebunan tertentu
yang menghasilkan produk utama yang menjadi tujuan
pengusaha (Budiman, 1985). Selanjutnya limbah
perkebunan dibagi menjadi limbah lapangan seperti
pucuk dan daun tebu, gulma hasil penyiangan; limbah
tempat pengolahan seperti tetes tebu (molasis), ampas
kelapa sawit, ampas tebu (bagas) onggok dan bagian
sampah seperti kulit kopi, kulit coklat, air buangan
sawit, gas amoniak dan gas buangan karbon dioksida
yang merupakan hasil fermentasi tetes tebu untuk
pembuatan alkohol dengan produksi 21,6 ton CO2 dalam
60 kilo liter tetes.
7. Limbah tata boga dan lain-lain yang meliputi limbah
hotel, restaurant, rumah tangga, pasar. Limbah ini
merupakan sisa-sisa dapur, sisa-sisa hotel/ restaurant,
sisa-sisa sayuran di pasar yang merupakan limbah pasar
yang cukup banyak serta dapat dimanfaatkan untuk
makanan ternak babi dan ruminansia.
Menurut kandungan gizinya maka limbah dapat dibagi
menjadi :
1. Limbah sumber protein – tepung limbah ikan, tepung
darah, daging, tepung bulu ayam, tepung bungkil kelapa,
b.
8
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
c.
d.
e.
bungkil kacang tanah dengan kandungan protein antara
22 – 82 %.
2. Limbah sumber energi - yaitu molasis (tetes tebu) ,
tepung kulit nenas, onggok ketela pohon, kulit ketela
pohon, menir, lemak telo (beef tallow), katul, dedak
jagung dengan kandungan energi antara 2.400 – 7.010
kcal ME/kg.
3. Limbah sumber mineral – misalnya tepung tulang, kulit
kerang, kulit bekicot yang merupakan sumber kalsium
dan posfor yang sangat baik untuk ternak unggas yang
sedang bertelur.
4. Limbah sumber vitamin dan unidentified growth factor
(UGF) seperti cairan limbah pembuatan tepung ikan,
ampas peragian pembuatan berem Bali, tepung daundaunan dan lain-lain.
Dilihat dari keadaan fisik limbah tersebut maka limbah
digolongkan ke dalam limbah padat seperti bungkil kelapa,
dedak padi; limbah cair seperti misalnya molasis, limbah
hotel/restaurant, dan limbah gas seperti gas karbon dioksida
pada fermentasi pembuatan alkohol dari molasis dan methane
dari kotoran ternak.
Bila ditinjau dari bahan asalnya (parrent material) maka
limbah dibedakan menjadi limbah asal nabati seperti tepung
bungkil kedelai, bungkil kelapa, dan lain-lain. Serta limbah
asal hewani seperti tepung limbah ikan, tepung tulang dan
sebagainya.
Menurut penggunaannya – limbah dibedakan menjadi limbah
konvensional (conventional by-product) yaitu limbah yang
sudah biasa dipergunakan dan dalam jumlah yang cukup
banyak untuk campuran makanan ternak (primary by-product)
seperti dedak padi, tepung ikan, tepung bungkil kedelai, dan
lain-lain. Sedangkan limbah inkonvensional (inconventional
by-product) yaitu limbah yang penggunaannya dalam jumlah
relatif sedikit dan penggunaannya belum meluas sehingga
bahan ini sering disebut dengan secondary by-product
(Devendra, 1983). Bagian yang terakhir adalah limbah yang
terbuang (waste/unused by-product) dimana biasanya limbah
ini dibakar (dibuang/dikembalikan ke tanah karena belum
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
9
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
ada teknologi yang efisien untuk mengolah bahan tersebut
untuk dijadikan bahan makanan ternak. Misalnya sekam padi
dan jerami padi kering, serbuk gergaji, ampas sawit dan lainlain.
Dari uraian di atas maka jelaslah banyak sekali jenis
limbah yang ada yang masih bisa didaur ulang untuk dijadikan
bahan campuran makanan ternak sehingga biaya produksi usaha
peternakan dapat ditekan. Bila limbah tersebut dapat dimanfaatkan
secara baik maka pendapatan petani dapat ditingkatkan, membantu
menanggulangi polusi dan kebersihan lingkungan, walaupun
demikian seperti diuraikan di depan bahwa masih banyak kendalakendala yang harus dihadapi dan banyak penelitian yang harus
dilakukan untuk dapat memanfaatkan limbah ini secara optimal
sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak.
Limbah untuk Makanan Ternak
Di Indonesia pada umumnya dan Bali khususnya pemanfaatan
beberapa jenis limbah pertanian untuk makanan ternak bukanlah
merupakan hal yang baru misalnya pemanfaatan jerami kedelai,
jerami kacang tanah dan batang jagung. Namun demikian,
pemanfaatan beberapa jenis limbah secara tradisional ini terbatas
pada usaha tani rakyat yang memelihara ternak sapi 1 – 2 ekor
saja sebagai suatu usaha sambilan. Dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan petani peternak seperti apa yang digariskan
dalam pola kebijaksanaan Pelita V maka usaha pengembangan
peternakan harus ditingkatkan baik jumlah ternaknya maupun
manajemen pemeliharaannya. Bila demikian halnya maka kendala
utama yang akan dihadapi para peternak adalah penyediaan
hijauan makanan ternak yang disebabkan semakin sempitnya
lahan pertanian terutama di daerah Bali. Alternatif lain yaitu
pemanfaatan limbah pertanian merupakan pilihan yang sangat
penting di dalam usaha pengembangan peternakan pada lahan
sempit seperti di Bali misalnya. Adanya beberapa jenis limbah
pertanian di Bali yang belum dimanfaatkan secara optimal seperti
jerami padi, limbah rumah potong seperti isi rumen, lemak telo,
tepung darah, limbah industri pengalengan ikan, dan lain-lain
merupakan hal yang cukup serius. Hal ini disebabkan antara lain
10
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
oleh adanya kebiasaan peternak untuk memanfaatkan bahanbahan yang sudah biasa mereka pergunakan secara turuntemurun dari nenek moyangnya. Karena kebiasaan-kebiasaan
tersebut, ditambah lagi pengetahuan beternak yang terbatas
maka tingkat kehidupan petani peternak relatif tetap rendah dari
waktu ke waktu. Dengan kemajuan teknologi yang sekarang ini
maka beberapa jenis limbah sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk
makanan ternak sehingga jumlah pemilikan ternak yang dulunya
terbatas dapat ditingkatkan dengan tersedianya limbah untuk
makanan ternak. Seperti yang diuraikan di bagian terdahulu, di
samping sifat limbah yang rendah nilai gizinya, beberapa limbah
memerlukan penanganan khusus dan sekaligus merupakan
tantangan para ahli di bidang nutrisi dan makanan ternak untuk
memecahkan permasalahan pemanfaatan limbah pertanian untuk
dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Sebagai contoh, limbah
jerami padi yang potensinya luar biasa tingginya tetapi belum
dimanfaatkan untuk makanan ternak. Di Bali misalnya produksi
jerami padi kurang lebih 1,3 juta ton per tahun (Statistik Bali,
1989). Hampir semua biomassa tersebut belum dimanfaatkan
untuk makanan sapi. Hal ini antara lain disebabkan oleh kebiasaan
para peternak yang hanya memberikan makanan sapinya berupa
rumput-rumputan serta jenis tanaman segar lainnya, disamping
pengetahuan mereka yang masih terbatas. Dari hasil penelitianpenelitian yang sudah ada, nilai gizi (nutritive value) jerami padi
dapat ditingkatkan dengan berbagai perlakuan. Prinsip dasar
peningkatan mutu jerami padi ini adalah penghancuran dinding
sel, lignin dan selulose yang ada pada jerami tersebut. Misalnya
dengan memberi perlakuan zat-zat kimia (seperti NaOH); Pearce
(1981); Doyle (1982) melaporkan digestibility (nilai cerna) jerami
dapat ditingkatkan sebanyak 40 – 70% walaupun kandungan
karbohidrat, mineral, vitamin jerami tersebut hilang sebanyak 20
– 25%. Cara lain yang juga bisa dipergunakan untuk meningkatkan
nilai cerna jerami adalah dengan perubahan fisik jerami tersebut
yaitu dengan pemotongan, penggilingan, pemeletan, pengukusan
(Menson, 1963; Pickard et al, 1969; Bender et al, 1970). Secara
biologis yaitu dengan mempergunakan jenis jamur, bakteri dan
enzym tertentu yang dapat menhancurkan lignin dan selulose
sehingga nilai cerna jerami padi dapat ditingkatkan (Kirk and More,
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
11
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
1972; Ibrahim and Pearce, 1980). Di Universitas of New England –
Australia peningkatan efisensi pemakaian jerami sebagai makanan
ternak ruminansia dapat dilakukan dengan membunuh protozoa
yang ada dalam rumen sapi dengan berbagai jenis antibiotika
tertentu (Leng, 1976; Bird and Leng, 1978). Perkembangan
selanjutnya dari usaha peningkatan nilai cerna jerami padi dapat
dilakukan dengan memanfaatkan jenis jamur yang ada di dalam
rumen sapi yang dapat menghancurkan serat kasar yang ada pada
jerami. Jenis jamur ini Neocallimastic frontalis (unaerobic fungi)
dapat meningkatkan penghancuran serat kasar jerami padi dari 41
– 75% (Orpin and Letcher, 1979; Bauchop, 1981). Cara lain yang
biasa diterapkan dalam pemanfaatan jerami padi sebagai makanan
ternak sapi adalah dengan metode suplementasi baik dengan
sumber protein (by-pass protein – Kempton et al, 1977); Non
Protein Nitrogen (Kempton and Leng, 1979); sumber energi seperti
dedak padi, molasis (deif et al, 1970; Elliot et al, 1978) dan dengan
urae molasses block (Butler, 1981). Dari laporan peneliti-peneliti
tersebut dapat disimpulkan bahwa jerami dapat ditingkatkan nilai
gizinya dan dapat dipergunakan untuk makanan ternak ruminansia.
Contoh tersebut di atas adalah salah satu contoh teknologi yang
telah dikembangkan dan bisa diterapkan untuk penanganan jerami
padi sebagai salah satu limbah pertanian untuk makanan ernak
yang mempunyai potensi sangat tinggi. Walaupun di Universitas
Udayana telah berhasil dkembangkan cara penyediaan hijauan
makanan ternak pada lahan kritis dengan Sistem Tiga Strata (Nitis,
1986), usaha pemanfaatan jerami padi ini perlu dikembangkan
di daerah-daerah lahan basah yang pada musim-musim kering
mengalami kesulitan akan penyediaan makanan ternak seperti
Bali bagian Utara dan Timur karena ternak sapi di daerah tersebut
telah beradaptasi dengan baik untuk memanfaatkan bahan-bahan
yang telah kering. Hal ini untuk menghindari adanya stress pada
ternak dari kebiasaannya memanfaatkan hijauan makanan ternak
segar (green fresh forage) pada ternak yang biasa di daerah-daerah
subur seperti daerah Tabanan dan Badung.
12
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Pemanfaatan Beberapa Limbah Industri Pertanian
Inkonvensional (Inconventional Agro-Industrial By-Products)
di Bali
A. Limbah Peternakan Ayam
Walaupun ternak unggas termasuk jenis ternak yang
sangat efisien mempergunakan makanan, baik untuk produksi
daging maupun telur, namun tidak semua bahan makanan yang
dikonsumsi bisa dimanfaatkan oleh ternak itu sendiri. Sebagai
contoh dari sejumlah protein yang dikonsumsi oleh ayam petelur
maka sebanyak 45 % akan terbuang melalui kotorannya. Pada
ayam pedaging (broiler) yang lebih efisien mempergunakan
makanan, maka pada faecesnya masih terdapat sekitar 35 %
dari total protein yang dikonsumsi (Scott, et al, 1976). Ini berarti
faeces ayam masih mempunyai gizi yang tinggi yang belum sempat
terserap di dalam saluran pencernaannya dan masih mungkin
dimanfaatkan untuk makanan ternak (recycle). Walaupun
kebiasaan dewasa ini pemanfaatan kotoran ayam adalah untuk
rabuk, mengingat kandungan zat-zat makanan yang masih cukup
tinggi (Tabel 3), maka sebenarnya lebih bijaksana kalau bahan
tersebut didaur ulang untuk makanan ternak. Disamping itu untuk
usaha peternakan ayam yang lokasinya dekat kota serta usahanya
termasuk peternakan skala besar, produksi kotoran ayam akan
sangat banyak bahkan bisa menimbulkan masalah polusi apabila
penanganannya tidak baik. Keadaan ini bisa mengakibatkan
pencemaran lingkungan yang kurang baik karena bau dan kotoran
ayam merupakan tempat berkembang biaknya lalat pembawa
penyakit. Sebagai gambaran dengan jumlah ayam ras yang ada di
Bali, maka produksi kotoran ayam kurang lebih 673,2 ton/tahun
(Statistik Bali, 1989). Ini berarti jumlah yang cukup potensial
sebagai salah satu bahan campuran konsentrat untuk makanan
ternak.
Penelitian-penelitian tentang pemanfaatan kotoran ayam
untuk makanan ternak telah banyak diteliti di luar negeri. ElBousky et al, (1978) melaporkan bahwa penggunaan kotoran
ayam petelur pada level 5 – 15 % (dengan kenaikan 2,5 unit)
memberikan pertumbuhan yang sama pada ayam pedaging
umur 6 minggu asalkan ransum yang disusun iso nitrogenous
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
13
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
dan iso kalori. Selanjutnya Cunningham dan Lillich (1975)
mempergunakan kotoran ayam pedaging sampai 38 % untuk
mempelajari pertumbuhan dan efeknya terhadap kualitas dan
aroma daging ayam tersebut. Dari segi pertumbuhan, penggunaan
kotoran ayam pada level 38 % menyebabkan pertumbuhan ayam
tertekan, akan tetapi panelis tidak dapat membedakan baik dari
segi aroma dan rasa antara ayam yang diberi ransum kontrol dan
yang mengandung 38 % kotoran ayam. Selanjutnya dilaporkan
kandungan protein, lemak, kalsium, posfor daging tidak berbeda
antara kontrol dan yang mendapat ransum yang mengandung
kotoran ayam. Penggunaan kotoran ayam pedaging untuk ayam
pedaging diteliti oleh Bharjava dan O’Neil (1975). Dilaporkan
bahwa apabila ransum disusun iso nitrogenous dan iso kalori maka
pemakaian kotoran ayam sampai 20 % tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan kualitas karkas ayam pedaging. Penelitian yang
hampir sama dilaksanakan oleh Mastika et al. (1983) dengan
menggunakan kotoran ayam broiler pada level 0 – 20 % (dengan
kenaikan 5 unit) pada ransum broiler. Pada tingkat pemakaian 15
dan 20 % berat badan ayam pada umur 8 minggu masing-masing
6 dan 7 % lebih rendah dari kontrol. Selanjutnya dilaporkan berat
karkas di bagian tubuh tidak dipengaruhi oleh tingkat pemakaian
kotoran ayam. Selanjutnya disimpulkan bahwa pemakaian kotoran
ayam sampai pada level 10 % tidak berpengaruh pada pertumbuhan
ayam. Mastika et al. (1983) mempergunakan kotoran ayam petelur
dengan level yang sama untuk ransum ayam pedaging. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemakaian pada level 10 % sudah
mulai mempengaruhi pertumbuhan ayam, walaupun persentase
karkas tidak dipengaruhi tetapi ada kecenderungan terjadi
peningkatan berat bulu dan lemak dengan semakin meningkatnya
level pemakaian kotoran ayam.
Pemanfaatan kotoran ayam untuk makanan babi juga
dilaporkan oleh peneliti Jepang, Kato et al. (1971) dengan
mempergunakan 20 % kotoran ayam untuk babi yang digemukkan.
Dilaporkan pemakaian kotoran ayam tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan babi, meningkatkan kualitas daging serta
menghemat biaya pemeliharaan. Di Universitas Udayana, Mastika
et al. (1983) menggunakan teknik tumpang sari ayam-babi
untuk memanfaatkan kotoran ayam segar sebagai makanan babi
14
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
crossing Bali x Saddle Back. Penempatan 20 ekor ayam petelur di
atas kandang 2 ekor babi yang diberi ransum tradisional (dedak +
batang pisang) dapat meningkatkan berat badan babi 27 % di atas
berat badan babi yang diberi ransum tradisional saja. Penelitian
yang sejenis dilaksanakan di Dati II Tabanan kerja sama antara
Universitas Udayana dengan Bappeda Dati II Tabanan (Mastika
et al. 1983). Dilaporkan bahwa babi yang dipelihara di bawah
kandang ayam, berat badannya 35 % lebih tinggi dibandingkan
dengan babi yang dipelihara tanpa ayam di atasnya. Produksi
telur ayam yang dipelihara di atas kandang babi sama dengan
produksi telur ayam yang dipelihara tanpa babi di bawahnya. Tes
uji rasa menunjukkan bahwa panelis tidak dapat membedakan
antara daging babi yang mendapat dan tidak mendapat kotoran
ayam. Hasil penelitian tersebut diperkuat lagi dengan penelitian
yang dilaporkan oleh Nitis (1986) dimana babi yang dipelihara di
bawah kandang ayam yang langsung mendapat kotoran saja atau
kotoran dan sisa ransum ayam tumbuh lebih baik dari yang tidak
mendapat kotoran ayam.
B. Lemak Telo (Beef Tallow) Limbah Rumah Potong Hewan
Lemak sapi yang biasa disebut dengan lemak telo (beef
tallow) merupakan lemak internal sapi yang tidak dikonsumsi oleh
manusia dan biasanya merupakan hasil sampingan (Agro-industrial
by-produsct) industri rumah potong/pengalengan daging. Seekor
sapi Bali dengan berat potong 325 – 375 kg mengandung lemak
internal antara 4 – 5 dari berat hidup (Nitis, 1981; Budiartha,
1987). Ini berarti dari seekor sapi Bali akan didapat 14,6 – 16,9 kg
lemak telo mentah dan bila dimasak akan menghasilkan 9,6 – 11,2
kg lemak matang (Mastika, 1990). Bila dikaitkan dengan jumlah
sapi yang dipotong di seluruh Bali yaitu 168 ekor per hari (Statistik
Bali, 1989) maka jumlah lemak telo yang tersedia setiap harinya
berkisar antara 1,6 – 1,9 ton, suatu jumlah yang sangat tinggi.
Dewasa ini sumber energi utama ransum ayam di Indonesia
adalah jagung kuning dan meliputi jumlah antara 50 – 60 % dari
total ransum. Di lain pihak jagung masih merupakan bahan makanan
utama manusia sehingga terjadi kompetisi antara manusia dan
ternak akan jagung yang pada akhirnya mengakibatkan harga
jagung berfluktuasi dan cenderung meningkat dus harga ransum
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
15
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
meningkat sehingga pendapatan peternak semakin rendah bahkan
cenderung merugi. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita
untuk melihat dan mencari alternatif bahan yang mungkin dapat
dipergunakan untuk mengganti jagung, tidak dikonsumsi manusia
dan murah harganya serta mempunyai nilai hayati yang tinggi.
Oleh karena itu pemanfaatan lemak telo sebagai sumber energi
merupakan pilihan salah satu bahan penyusun ransum ternak. Hal
ini didukung oleh suatu kenyataan ilmiah dimana secara umum
lemak telo mengandung energi yang sangat tinggi yaitu 2,25 kali
energi karbohidrat dengan kandungan ME 7700 kcal/kg (Scott et
al. 1982). Nilai tersebut akan meningkat menjadi 10165 kcal/kg
yaitu meningkat sebanyak 32 % bila dikonsumsi oleh ayam (Sell
and Thompson, 1965). Di samping adanya extra calory effect
tersebut lemak telo mempunyai sifat yang dapat meningkatkan
pallatabilitas ransum serta dapat mengurangi stress udara panas
karena lemak telo merupakan bahan yang mempunyai sifat
spesific dynamic effect yang rendah bila dikonsumsi oleh ayam
(Fuller and Mora, 1973). Di Universitas Udayana sendiri penelitian
ke arah ini telah dilaksanakan baik pada ternak ayam, babi, dan
sapi.
Arka (1984) meneliti tentang pemanfaatan lemak telo
untuk penggemukan sapi Bali dengan level 0,5 dan 10 % dari total
ransumnya. Dilaporkan pertambahan berat badan sapi tersebut
masing-masing 197,388 dan 253 g/hari serta angka kepualamannya
(marbling score) berturut-turut 0; 1,12 dan 1,46. Jadi jelas di sini
pemanfaatan lemak telo pada sapi di samping meningkatkan
pertambahan berat badan juga memperbaiki kualitas daging sapi
tersebut.
Pemanfaatan lemak telo sebagai pengganti sebagian energi
jagung juga diteliti pada ayam pedaging (Mastika dan Wijana,
1989, in press) dan ayam yang sedang tumbuh (Mastika dan
Mariani, 1989). Dari hasil penelitian tersebut dilaporkan bahwa
penggantian energi jagung dengan energi lemak telo sampai
tingkat 50 % tidak berpengaruh terhadap berat badan broiler dan
ayam petelur yang sedang tumbuh. Hasil yang sama pada ayam
pedaging dilaporkan oleh Mahardika dan Mastika (1990 in press).
Yang menarik dalam penelitian ini pemakaian lemak telo ternyata
menyebabkan rate of passage dari ransum yang dikonsusmsi
16
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
semakin lambat dengan meningkatnya pemakaian lemak telo.
Hal yang sebaliknya terjadi bila lemak telo diganti dengan minyak
kelapa (Mastika dan Budiasa, 1991 in press). Kenyataan ini akan
dapat menjelaskan bahwa penyerapan zat-zat makanan untuk
ransum yang mengandung lemak telo menjadi lebih sempurna. Hal
yang dapat diambil manfaatnya dari penelitian ini adalah adanya
perbedaan respon antara ayam petelur White Leghorn (WL) dan
ayam broiler.
C. Pemanfaatan Isi Rumen Sapi sebagai Salah Satu Limbah
Rumah Potong untuk Makanan Ternak
Salah satu limbah rumah potong yang tidak dimanfaatkan
sampai sat ini dan perlu didaur ulang adalah isi rumen sapi. Biasanya
isi perut sapi yang akan dipotong jumlahnya berkisar antara 9
– 11 % dari berat hidup (Hutagalung, 1977). Dengan perhitungan
setiap hari jumlah sapi yang dipotong 168 ekor (Statistik Bali,
1989) maka produksi limbah ini 5,8 ton/hari atau 2116 ton/
tahun. Limbah ini biasanya mengeluarkan bau yang kurang
sedap dan bila tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan
pencemaran lingkungan yang serius. Pada dasarnya isi rumen sapi
adalah bahan-bahan makanan yang tercerna yang belum sempat
diserap oleh usus dan masih tercampur dengan getah lambung,
enzym-enzym pencernaan, dan mikroba rumen. Komposisi kimia
atau kandungan zat-zat makanan yang terdapat di dalamnya dapat
dilihat pada Tabel 3.
Yang paling penting serta mendasar untuk diketahui adalah
kandungan serat kasarnya agak tinggi serta merupakan sumber
UGF (unidentified growth factor), vitamin B12 dan xhanthophyl
yang cukup potensial. Di luar negeri penelitian tentang penggunaan
isi rumen untuk makanan ternak unggas telah dilaporkan oleh El
Deek et al. (1975) dan Emmanuel (1978). Walaupun informasi
pemanfaatan isi rumen masih terbatas, namun di Universitas
Udayana kemungkinan pemakaian bahan tersebut untuk makanan
ayam telah dilaporkan oleh Nitis et al. (1987). Dari laporanlaporan tugas akhir mahasiswa Fakultas Peternakan, Sarimanis
(1988) mempergunakan campuran 37,25 % isi rumen dan 62,75
% limbah ikan sebagai protein konsentrat untuk makanan ayam.
Pemakaian 15 – 35 % bahan tersebut untuk makanan ayam petelur
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
17
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
menyebabkan produksi telur menurun sebanyak 10 – 12 %. Hasil
yang serupa juga dilaporkan oleh Rusmariasih (1988) pada ayam
petelur White Leghorn dan Super Harco. Tampaknya dari laporan
tersebut kandungan serat kasar yang cukup tinggi merupakan
faktor pembatas di dalam usaha pemanfaatan isi rumen untuk
bahan makanan ternak ayam. Oleh karena itu penggunaan dalam
jumlah yang lebih rendah perlu diteliti lebih lanjut. Di samping itu
penelitian sejenis untuk ternak babi perlu dilakukan pada masa
mendatang mengingat babi mempunyai kemampuan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan ayam dalam mempergunakan bahan
makanan yang berserat kasar tinggi. Beberapa contoh di atas
memberikan gambaran potensi suatu limbah dan manfaat beberapa
jenis limbah industri pertanian inkonvensional (Inconventional
Agro-Indystrial by-products) untuk makanan ternak. Banyak lagi
jenis-jenis limbah sejenis di Bali yang tersedia seperti tepung
darah, tepung tulang dan daging, tepung limbah ikan yang perlu
penanganan, sebelum dapat dipergunakan sebagai salah satu
sumber bahan makanan ternak.
Simpulan dan Saran
Dari uraian tersebut di atas beberapa usaha yang perlu
dipikirkan untuk memanfaatkan limbah pertanian dan industri
pertanian untuk makanan ternak dalam usaha pengembangan
peternakan yang berwawasan lingkungan adalah sebagai berikut :
1. Adanya beberapa jenis limbah dan industri pertanian yang
mempunyai potensi dan nilai gizi yang cukup tinggi membuka
peluang untuk mendaur ulang bahan tersebut melalui ternak
untuk mendapatkan nilai tambah dalam usaha pengembangan
peternakan rakyat yang berwawasan lingkungan.
2. Pemilikan lahan pertanian di Bali pada umumnya sangat
sempit (0,30 Ha) sehingga petani tidak mampu meningkatkan
jumlah ternaknya karena akan mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan makanan ternak yang dihasilkan
dari lahan olahannya sendiri dan ini hanya mungkin bisa
diatasi dengan pemanfaatan limbah pertanian atau industri
pertanian untuk makanan ternak sehingga pemilikan ternak
dapat dikembangkan dan kesejahteraan petani ternak dapat
ditingkatkan.
18
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
3.
Beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam usaha
memanfaatkan limbah pertanian atau industri pertanian
untuk makanan ternak adalah jumlah limbah yang tersedia
(potensinya), distribusi limbah dan infrastruktur yang ada
kaitannya dengan masalah penanganan limbah (handling),
tingkat teknologi pengolahan limbah yang tersedia,
ketersediaan limbah sepanjang tahun, kualitas limbah
tersebut, ada/ tidaknya zat-zat yang meracun pada limbah,
penggunaan limbah pada keperluan lain, biaya pengolahan
untuk memproduksi limbah menjadi bahan makanan ternak
serta keadaan sosio budaya masyarakat pemakai limbah
tersebut. Di dalam proses pengadaan dan pengolahan limbah
untuk makanan ternak perlu diusahakan oleh badan swasta
atau koperasi sehingga ketersediaan bahan tersebut dapat
berlanjut sepanjang tahun. Untuk membantu pembangunan
dan pengembangan pariwisata di Bali dan dalam usaha
mengurangi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh
limbah usaha pertanian atau peternakan dan dalam usaha
mencari alternatif dalam makanan ternak, perlu diadakan
penelitian yang berkelanjutan tentang pemanfaatan limbah
pertanian atau industri pertanian untuk makanan ternak,
sehingga ragam limbah yang dapat dipergunakan jumlahnya
meningkat. Untuk ini strategi pendanaan penelitian oleh
Pemerintah Daerah Tk. I Bali perlu dipikirkan.
Daftar Pustaka
Arka, I.B. (1989). Pengaruh penggemukan terhadap kualitas daging
da karkas pada sapi Bali. Disertasi Doktor, Universitas Negeri
Pajajaran Bandung.
Austic, R.E. (1983). Nutritional interaction of amino acids. In : proc
Recent Advances in Animal Nutrition in Australia. Ed. Farrell
D.J. and Vohra P. University of New England, Australia.
Bauchap, T. (1979). The aerobic fungi in rumen fibre digestion.
Agric. Environm, 6 : 339.
Bhargava, K.K and O’Neil, J.B. (1975). Evaluation of dehydrated
poultry waste from cage reared broilers as feed ingredient for
broilers, Poult. Sci. 54 : 1506.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
19
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
Bender, F., Heaney, D.P., and Bowden, A. (1970). Potential of steamed
wood as a feed for ruminants. For. Prod. J. 20 : 30.
Birds, S.H. and Leng, R.A. (1978). The effects of defaunation of the
rumen on the growth of cattle on low protein high energy
diets. Br. J. Nurt. : 40 : 163.
Birds, S.H. and Leng, R.A. (1983). The influence of the absence of
rumen ptotozoa on ruminant production. In Recent Advences
in Animal Nutrition in Australia. Eds. D.J. Farell and P. Vohra.
University of New England, Armidale, Australia.
Bolton, W. (1976). Feeding poultry waste ruminant. 5th European
Poultry Vol.I, p. 533.
BoGohl (1975). Ropical feeds. FAO : Rome
Budiartha, I.G.K. (1987). Bobot komposisi tubuh sapi Bali
sebagai ternak potong (studi kasus). Majalah Ilmiah Populer
Widyasrama, Universitas Dwijendra, Denpasar.
Buther, L.G. (1981). Supplementary feeding of Merino wethers
grazing weed-free stuble pastures. Aust. J. Exp. Anim. Husb.
21 : 272.
Budiman. A.F.S. (1985). Potensi limbah dan pemanfaatannya dari
hasil perkebunan. Dalam monografi pertama Limbah Hasil
Pertanian. Ed. : Winarno, F.G. et al. (1985). Kantor Menteri
Muda urusan Peningkatan Produksi Pangan.
Cunningham, F.E. and Lillich, G.A. (1975). Influence of feeding
dehydrate poultry waste on broiler growth and meat flavour
and composition. Polut. Sci. 54 : 860.
Devendra, C. (1983). Development strategies concerning the
efisien utilization of the feed resources and feeding system
for animal in the Asian region. Proc. Of the 2nd Workshop and
Technology of animal Feed Production Utilizing Food Waste
Materials, Singapore.
Dief. H.I., Abun-Akhada, A.R. and El-Shazly, K. (1970). A note on the
utilization of urea nitrogen by sheep. J. Anim. Prod. 12 : 339.
Doyle, P.T. (1982). Review of treatment of fibrous roughages
in South East Asia. Proc. 3rd Annual Seminar on Maximum
Livestock Production from Minimum Land, 15 – 18 Feb. 1982.
Bangladesh Agric. Research Institute, Dacca.
El Deek, A.K.; Abun Akada, A.R.; Khalil, A.A. and El-Zhally, K.
(1985). The use of dried rumen contents in Poultry Nutrition.
20
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Alexandrie, J. of Agric. Research, 23 : 53 – 58.
El Boushy, A.R.; Vink. F.W.A. (1978). The value of poultry waste as
feed stuffs in broiler diets. Feedstuffs 49 : 24.
Ellion, R., Ferrciro, N.M., Priego, A. and Preston. T.R. (1978). Rice
polishing as a supplement in sugar cane diets : the quantities
of starch (1-linked glucose polymers) entering the proximal
duodenum : Trop.. Anim. Prod. 3 : 30.
Emmanuel, B. (1978). Effects of rumen contents and fractions there
of on performance of broilers. Br.Poult.Sci. 19 : 13 – 16.
Garis-garis Besar Haluan Negara (1988). TAP MPR Republik
Indonesia No. II/MPR/1988.
Hutagalung, R.I. (1977). In : Feeding stuffs for livestock in South
East Asia. (Devendra and Hutagalung Eds.), Malaysian Society
of Animal Production.
Ibrahim, M.N.M. and Pearce G.R. (1980). Effect of white rot fungi on
the composition and in vitro digestibility of crop by-product.
Agric. Waste, 2 : 199.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988). Dept. Pendidikan dan
kebudayaan R.I. Perum Penerbitan Balai Pustaka.
Kato, Z., Tanabe, Y., Shegino, K., Kato, Y. and Tanabe, H. (1977).
Utilization of dried poultry waste (DPW as feed stuff ) for
domestic animals. Japan Poult.Sci., 14 : 244.
Kempton, T.J., Nolan, J.V. and Leng, R.A. (1977). Principles of the
use of non protein nitrogen and by pass protein in diet of
ruminants. Wld. Anim. Rev. 22 : 2.
Kempton, T.J. and Leng, R.A. (1979). Responses in growth and
rumen function of a low-protein cellulosic diet with either
urea, casein or formadehydetreated casein in protein nutrition
of growing lambs. Br. J. Nutr. 42 : 289.
Kirk, T.K. and Moore, W.E. (1972). Removing lignin from wool
within white-rot fungi and the digestibility of the resulting
wood. Wood and Fibre 4 : 72.
Kratzer, F.H., Earl, L. and Chiaravanont, C. (1974). Factors
influencing the feeding value of rice bran for chickens. Proc.
Sci. 53 : 1975 – 1800.
Lamm, D., Jones, L.E., Clanton, D.C. and Ward, J.K. (1975). Poultry as
a nitrogen source for cattle. J. of Animal Science 41 : 409.
Leng, R.A. (1976). Factors influencing nett protein production
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
21
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
by the rumen microbia. In : Reviews in Rural Science No. 2
from plant to animal protein. Ed. T.M. Sutherland et al. The
University of New England. Armidale Australia.
Mayun, G.K. and Payne, C.G. (1977). Autoclaved rice bran in layers
diets. Br. Poult. Sci. 18 : 201 – 203.
Mastika, I.M. (1981). Choice feeding of growing chickens. M.Sc.
thesis. The University of New England, Australia.
Mastika, I.M., Guntoro, S., Nitis, I.M. dan Karosi, A.T. (1983). Pengaruh
tingkat pemakaian kotoran ayam terhadap komposisi tubuh
dan karkas serta bagian dalam ayam pedaging. Proc. Seminar
pemanfaatan limbah pangan dan limbah pertanian untuk
makanan ternak. Yogyakarta, 11 Januari 1983. LKN, LIPI.
Mastika. I.M., Karosi, A.T., Nitis, I.M., Artha, I.W. and Brandhi, I.W.
(1983). Inclusion of broiler manure into ration for broilers.
Proc. The second workshop on Technology of Animal Feed
production utilizing food waste material. The Asean working
group waste materials, Singapore.
Mastika, I.M., Mastra, I.G., dan Suwandi, I.G.P (1983). Pemanfaatan
kotoran ayam segar untuk makanan babi dengan sistem
tumpang sari. Laporan hasil penelitian Fapet-Unud.
Mastika, I.M. (1983). The integration of pigs kept under laying birds
fed free choice. Final report, IFS 1983, Udayana University,
Denpasar, Bali, Indonesia.
Mastika, I.M. (1987). Some basic principles underlaying free choice
feeding of growing chickens. PhD. Thesis the University of
New England Australia.
Mastika, I.M., Mariani, N.P. (1989). Pengaruh penggantian energi
jagung dengan lemak sapi terhadap penampilan ayam petelur
fase starter. Bull. Fak. Kedokteran Hewan dan Peternakan
Unud, No. 117 : I 1 – 13.
Mastika, I.M. dan Suasta, I.M. (1990). Pengaruh penggantian energi
jagung dengan energi lemak sapi terhadap penampilan ayam
petelur. Majalah Ilmiah Universitas Udayana Th. XVII, 25 : 123
– 137.
Mastika, I.M. (1990). Lemak sapi sebagai sumber energi yang
murah untuk pakan ayam. Bull. ISPI Vol. 1.
Mastika, I.M. (1990). Pemanfaatan lemak sapi sebagai sumber
energi alternatif pada ransum ayam. Proc. Seminar Nasional
22
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Sapi Bali, 20 – 22 September, Fapet Unud.
Mastika, I.M. (1991). Sapi Bali Aset Nasional dengan Segala
Keunikannya. Bull. ISPI No. 2 Th. II.
Minson, D.J. (1983). The effect of pelleting and watering on the
feeding value of roughage. A review. J. Br. Grassed, Soc. 18 :
39.
Nitis, I.M. (1973). Nutritional evaluation of copra meal and rice
pollard for growing chick, PhD. Thesis. The University of New
England, Australia.
Nitis, I.M. (1981). Raw materials for concentrate. Proc. Asean
Workshop on the technology of Animal Feed production
utilizing Food waste materials, 26 – 28 August, 281, Bandung,
Indonesia.
Nitis, I.M. (1983). Effects of replacing 30 % of green roughage with
concentrate on the performance of Bali steer. IDRC report,
Udayana University, Denpasar, Bali.
Nitis, I.M. (1986). Effect of poultry excrete on the performance of
growingbarrow raised in the poultry-pig integrated system.
Workshop on swine and poultry husbandry, IFS – Universitas
Udayana, Denpasar, Bali.
Nitis, I.M., Suharto, I.G.N., Sutji, N., Kismurtono, M. dan Suryani,
N. (1987). Konsentrat protein dari limbah rumah potong
sapi dan limbah pengalengan ikan untuk makanan ayam
petelur. Laporan penelitian kerjasama Fapet Unud dan LIPI,
Bandung.
Ngiam, T.T. (1983). Technology of animal feed production utilizing
food waste materials. Proc. Of the 2nd Workshop on Technology
of animal feed production utilizing food waste materials,
Singapore.
Oluyemi, J.A., Longe, B. and Esubi, R. (1979). Replacing corn with
sun dried manure of laying pellets, mature pig, sheep and cow.
Poult. Sci; 58 : 852.
Orpin, C.G. and Letcher, A.J. (1979). Utilization of cellulose, starch,
nylon and others hemicelluloses for growth by the rumen
phycomycete neocallimastic fotalis. Current microbiology 3 :
121.
Pearce, G.R. (1981). Principles of chemical treatment of stubble. In
: procc. of a Seminar on the potential for chemical treatments
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
23
Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak
of stubble in Western Australia. Ed. : I.N. Southey, Bewerly,
Western – Australia.
Pickard, D.W., Swan, H. and Lamming, G.E (1969). Studies on the
nutritionof ruminants. The use of ground straw of different
particle size for cattle from twelve weeks of age Anim. Prod.
11 : 543.
Rahim-Bidin, Shahab, N. and Devendra, N. (1983). Development of
research programme for animal feed production utilizing food
waste materials. Proc. Of the 2nd Waorkshop on Technology
of Animal Feed Production Utilizing Food waste Materials,
Singapore.
Rusmariasih, N. (1988). Pengaruh penggunaan konsentrat protein
berupa campuran isi rumen dan limbah ikan terhadap
produksi telur dari dua galur ayam. Skripsi, Fakultas
Peternakan Unud.
Srimanis, K.K. (1988). Pengaruh penggunaan konsentrat protein
dari campuran isi rumen sapi dan limbah ikan terhadap
produksi telur ayam. Skripsi Fakultas Peternakan ,Unud.
Scott, M.L., Nesheim, M.C. and Young, R.J. (1976). Nutrition of the
chicken. M.L. Scott and Assoc. Ithaca, New York.
Scott, M.L., Nesheim, M.C. and Young, R.J. (1982). Nutrition of the
chicken. M.L. Scott and Assoc. Ithaca, New York.
Sell, J.L. and Thompson, O.J. (1965). The effect of ration pelleting
and fat level on the efficiency of nutrient utilization by the
chicken. Br. Poult. Sci. 6 : 345 – 354. Siregar, A.P. (1987). The
prospect of poultry manure as feed for livestock and poultry
production in Indonesia. Procc. the 1st Asean Production
Utilizing food waste materials, LIPI – Bandung.
Silitonga, T. (1985). Potensi dan pemanfaatan limbah hasil
kehutanan. Dalam monografi pertama Limbah Hasil Pertanian,
Ed. Winarno, F.G et al. (1985). Kantor Menteri Muda Urusan
Peningkatan Produksi Pangan.
Soehadji (1990). Kebijaksanaan pemuliaan ternak (Breeding
Policy), khususnya sapi Bali, dalam Pembangunan Peternakan.
Proc. Seminar Nasional Sapi Bali, 20 – 22 September 1990. Ed.
Haryana et al (1990). Penerbit Unud.
Soewandi, B. (1985). Limbah pertanian sebagai makanan ternak.
Dalam monografi pertama Limbah hasil Pertanian Ed.
24
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Mastika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Winarno, F.G et al. (1985). Kantor Menteri Muda Urusan
Peningkatan Produksi Pangan.
Statistik Bali (1989). Kantor Statistik Propinsi Bali, Jalan raya
Puputan Renon, Denpasar.
Tambunan, T.M., Patadungan, Y., Djoyosutono, S., Turniati, S.,
dan Ismanadji, I. (1985). Pemanfaatan limbah perikanan
dan masalahnya. Dalam monografi pertama Limbah Hasil
Pertanian. Ed. Winarno, F.G et al. (1985). Kantor Menteri
Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan.
Winarno, F.G. (1985). Penggunaan limbah tanaman pangan. Dalam
monografi pertama Limbah Hasil Pertanian. Ed. Winarno,
F.G et al. (1985). Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan
Produksi Pangan.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
25
ARTI PENTING BIOTEKNOLOGI BIDANG PETERNAKAN:
TINJAUAN KHUSUS MENGENAI INSEMINASI BUATAN
DAN TRANSFER EMBRIO
D.K. HARYA PUTRA
Pendahuluan
Topik ini kami pilih karena bioteknologi di bidang peternakan,
khususnya inseminasi buatan dan transfer embrio telah banyak
kami manfaatkan sebagai sarana/alat dalam melakukan berbagai
penelitian di bidang fisiologi pada waktu kami menempuh program
S2 (master) dan S3 (doktor). Di samping itu, juga karena kami
menyadari bahwa bioteknologi mempunyai peran yang sangat
penting dalam pengembangan berbagai aspek kehidupan manusia,
termasuk upaya manusia memajukan bidang peternakannya. Karena
itulah, sebagai ilmuwan di perguruan tinggi, kita seyogianya terus
berusaha memanfaatkan atau setidaknya mengikuti perkembangan
bioteknologi agar dapat memperluas wawasan kita di bidang
itu. Sementara sasaran akhirnya adalah penerapan bioteknologi
dalam kehidupan manusia, kita di perguruan tinggi setidaknya
harus mampu memanfaatkan bioteknologi dalam melaksanakan
butir kedua dari tri dharma perguruan tinggi kita, yaitu penelitian.
Dengan kata lain, kita harus mampu memanfaatkan bioteknologi
itu sebagai sarana/alat percobaan (“experimental tool”) dalam
melakukan kegiatan penelitian. Kami berharap semoga apa yang
kami sajikan ini nantinya dapat lebih membuka wawasan hadirin
tentang arti penting bioteknologi di bidang peternakan.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh manusia di dunia ini,
termasuk juga di Indonesia, adalah upaya mengatasi kebutuhan
akan bahan pangan yang meningkat pesat, tidak seimbang
dengan produksinya. Dari berbagai laporan media massa, kita
dapat mengetahui bagaimana masalah kekurangan pangan
atau kelaparan melanda saudara kita di belahan bumi yang
26
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
lain. Memang, ada banyak faktor yang bertanggung jawab atas
terjadinya keadaan yang demikian itu. Apa pun itu, pada akhimya
kita akan dihadapkan kepada masalah rendahnya produktivitas
sektor penghasil bahan pangan. Dari berbagai bahan pangan yang
dibutuhkan, salah satunya adalah bahan pangan hewani seperti
daging, susu, dani kan. Di samping sebagai sumber protein hewani
yang sangat penting artinya bagi pertumbuhan dan kesehatan
tubuh, bahan itu juga mengandung berbagai asam amino esensial,
vitamin, dan mineral. Untuk kita di Indonesia, kebutuhan akan
daging, susu dan produk olahannya biasanya diperoleh dari sapi,
babi, kambing, domba, kerbau, dan unggas.
Pada umumnya, produktivitas ternak di Indonesia dapat
dikatakan masih rendah, perlu ditingkatkan. Kinerja (performans)
ternak dipengaruhi oleh dua faktor, faktor dalam (internal) yang
menyangkut mutu genetik ternak itu sendiri, dan faktor luar
(ekstemal) yang menyangkut berbagai faktor lingkungan, termasuk
tata laksana pemeliharaan ternak. Yang belakangan itu dapat
diatasi dengan meningkatkan mutu pakan ternak serta perbaikan
tata laksana peternakan lainnya, dan itu tidak akan dibahas dalam
kesempatan ini. Sementara itu, perbaikan mutu genetik ternak,
khususnya ternak besar, melalui pendekatan konvensional seperti
seleksi dan kastrasi, atau teknik pemuliabiakan lainnya biasanya
memerlukan waktu yang relatif lama sebelum hasilnya bisa
diamati. Di sinilah penerapan bioteknologi di bidang peternakan
akan berperan nyata karena bioteknologi menawarkan berbagai
kemungkinan cara pemecahan masalah secara lebih baik, antara
lain dapat mempercepat pencapaian hasil/sasaran dari upaya
meningkatkan kualitas ternak.
Sebagaimana yang telah kami sampaikan pada awal uraian ini,
pembicaraan kami tentang bioteknologi di bidang peternakan akan
dibatasi pada masalah teknologi inseminasi buatan dan transfer
embrio, dengan sebanyak mungkin mengacu kepada hewan yang
umum menjadi sasaran penerapannya dan situasi yang relevan
bagi penerapannya. Insemininasi buatan dan transfer embrio
keduanya merupakan teknik reproduksi yang cukup andal untuk
meningkatkan produktivitas peternakan, dan mempunyai aspek
penerapan yang cukup berpotensi. Dewasa ini, teknik reproduksi
itu, terutama inseminasi buatan telah banyak dipraktekkan di
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
27
Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan:
Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio
kalangan peternak atau pada usaha peternakan skala besar di
Indonesia. Penerapan teknik transfer embrio masih terbatas
pada ternak sapi yang dipelihara di peternakan besar, seperti
di Peternakan Tri S di Tapos, Bogor, karena menyangkut biaya
pelaksanaan yang cukup besar. Sesuai dengan derajat kerumpilan
pelaksanaannya dan peluang penerapannya, inseminasi buatan
tampaknya berada di atas transfer embrio. Karena itu, marilah kita
bahas inseminasi buatan terlebih dahulu.
Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan (Inggris: artificial insemination) lebih
dikenal di kalangan peternak kita dengan istilah kawin suntik.
Pada prinsipnya, inseminasi buatan adalah upaya manusia untuk
membuat ternaknya menjadi bunting dengan jalan memasukkan,
dengan menggunakan gawai, air mani (semen) hewan jantan
ke dalam saluran reproduksi hewan betina. Dengan demikian,
inseminasi buatan melibatkan dua kegiatan pokok, yaitu
menampung (kemudian mengolah/mengawetkan) semen dari
hewan jantan dan memasukkan semen itu ke dalam saluran
reproduksi hewan betina. Kebuntingan biasanya terjadi bila
inseminasi buatan itu dilakukan pada waktu hewan betina sedang
dalam keadaan birahi. Pelaksanaan dari inseminasi buatan pada
hakekatnya meniru cara perkawinan alami hewan bersangkutan.
Teknik reproduksi ini sebenarnya bukanlah merupakan metode
baru dalam bidang reproduksi, karena inseminasi buatan (IB) pada
hewan peliharaan telah dilakukan dari sejak dahulu; pada tahun
1780, Lazzaro Spallanzani dari Italia telah berhasil melakukan IB
pada anjing.
Dewasa ini, teknik reproduksi ini telah begitu populer
penerapannya pada sapi dan telah dilaksanakan secara berhasil
di berbagai negara, termasuk Indonesia. Inseminasi buatan
pada sapi pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal
tahun 1960-an. Atas usaha Direktorat Bina Produksi, Direktorat
Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, IB pada sapi telah
diperkenalkan di berbagai propinsi, termasuk Aceh, Sumatra Utara,
Sumatra Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan
(Toelihere, 1981). Di Bali, Dinas Peternakan telah membangun
28
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
sejumlah “stasiun kawin suntik”, tersebar di berbagai desa yang
dipandang cocok untuk itu. Jadi, inseminasi buatan pada sapi kini
telah mulai dikenal oleh peternak di Bali dan telah dimanfaatkan
untuk meningkatkan produktivitas ternak mereka. Penerapan
yang lebih bermakna dari inseminasi buatan pada sapi barangkali
dapat diamati pada peternak sapi perah, khususnya yang ada di
Pulau Jawa.
Berbeda dengan inseminasi buatan pada sapi, IB pada babi
pertama kali diterapkan secara praktis oleh bangsa Jepang pada
tahun 1948. Namun, teknik itu baru populer di berbagai negara
pada awal tahun 1960-an. Penerapan IB pada babi itu tampaknya
berkaitan erat dengan kualitas babi yang dipelihara. Di Australia,
misalnya, walaupun IB telah diperkenalkan di kalangan peternak
sudah lebih dari 20 tahun, penerapannya tidak pemah berhasil
dengan baik. Barulah setelah peternak di negara itu mendatangkan
pejantan unggul dari Kanada dan Irlandia Utara pada tahun 1981,
IB menjadi populer (Mclntosh, 1988).
Di samping terkenal dengan ternak sapinya (sapi Bali),
daerah Bali juga merupakan salah satu penghasil utama ternak babi
di Indonesia. Seperti yang telah kami singgung sebelumnya, ternak
babi yang umum dipelihara di Bali (babi Bali) mempunyai kinerja
yang rendah, baik dalam hal produksi (laju pertumbuhan, bobot
badan, dll.) ataupun reproduksi (jumlah anak lahir seperindukan,
dll.). Namun, belakangan ini usaha pemeliharaan babi di daerah
ini berkembang dengan pesat, terutama sejak dimasukkannya
jenis babi unggul “Landrace” dan “Large White” dari Australia atau
“babi Banpres” dari Pulau Bulan. Tampaknya di sinilah IB itu akan
mampu berperan mempercepat laju perkembangan peternakan di
daerah ini, karena teknik reproduksi ternak ini mudah dilakukan
(lihat Putra, 1992a,b), murah biayanya, dan mempunyai berbagai
keuntungan sebagai berikut (Salisbury dkk., 1978; Mclntosh,
1989):
(1). Inseminasi buatan dapat mempercepat pelipat gandaan
keturunan dari pejantan yang mempunyai sifat genetik unggul.
Melalui penambahan bahan pengencer (pengenceran semen),
semen yang ditampung dari seekor pejantan dapat dipakai
untuk menginseminasi (sehingga menjadi bunting) sejumlah
besar hewan betina. Ditinjau dari segi ekonomis, manfaat ini
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
29
Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan:
Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio
jauh lebih penting artinya pada ternak sapi dibandingkan
dengan ternak lainnya, misalnya babi. Konsekuensi logis
dari hal itu, IB dapat mempercepat penyebarluasan jenis
ternak unggul yang dimasukkan ke suatu daerah. Contohnya
yang nyata adalah menyebaruya dengan cepat jenis babi
“Landrace” atau silangannya di kalangan peternak kecil di Bali.
Kami percaya bahwa pengalaman kegagalan meningkatkan
mutu (“up-grading”) babi Bali dengan menyebarkan babi
Saddleback di tahun 1950-an, kini tidak akan terulang kembali
bila penyebaran babi unggul (Landrace dan/atau “Banpres”)
juga disertai dengan penerapan IB di kalangan petanipeternak. Upaya menyebarluaskan teknik inseminasi buatan
pada babi di kalangan peternak di Bali telah kami rintis sejak
tahun 1991, dengan menyelenggarakan kursus dan pelatihan
inseminasi buatan pada babi bagi petugas Dinas Peternakan
dan peternak babi itu sendiri, dimulai dari Kabupaten
Karangasem, Gianyar, Badung, Tabanan, dan Buleleng (lihat
Lampiran: Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat).
(2), Inseminasi buatan dapat menekan biaya operasional
peternakan bila kita ingin meningkatkan atau mempertahankan
mutu ternak di suatu daerah atau di suatu peternakan. Kita
tidak harus mendatangkan pejantan dari luar (misalnya
dari luar negeri), tetapi cukup mengimpor semennya saja
untuk kemudian kita inseminasikan pada ternak yang sudah
ada. Impor semen tentu lebih murah biayanya ketimbang
pemasukan hewan hidup.
(3). Risiko penularan penyakit yang mungkin timbul selama
pemasukan hewan hidup dari luar itu dapat ditekan dengan
memasukkan semen disertai dengan penerapan IB. Namun,
itu tidak berarti bahwa semen benar-benar aman ditinjau
dari segi penularan penyakit. Yang hampir sepenuhnya aman
adalah pemasukan embrio yang diperoleh melalui kegiatan
transfer embrio.
(4). Inseminasi buatan dapat membantu memecahkan masalah
persilangan (perkawinan) antara pejantan dan betina yang
mempunyai ukuran tubuh sangat berbeda. Masalah ini sering
dihadapi bila kita ingin mengawinkan ternak yang umurnya
berbeda atau selama perkawinan dua bangsa ternak yang
30
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
berbeda (misalnya persilangan ternak lokal dengan ternak
impor).
(5). Inseminasi buatan dapat membantu memecahkan masalah
kekurangan pejantan di suatu peternakan atau di masyarakat
bila karena sesuatu hal terjadi kematian pejantan, pejantan
menderita sakit atau tidak mampu mengawini betina.
(6). Aspek keselamatan peternak yang mungkin terancam
pada waktu melangsungkan perkawinan hewan, akibat
keberingasan pejantan, dapat terjamin dengan menerapkan
inseminasi buatan, Bila setiap perkawinan hewan dilakukan
dengan IB, kita mungkin tidak akan pemah membaca berita
di koran tentang peternak yang mati “dicaplok kaung” atau
diseruduk pejantan sapi.
Tentu saja tidak ada sesuatu di dunia ini yang betulbetul sempurna. Teknik inseminasi buatan itu juga mempunyai
kelemahan, terutama bila pelaksanaannya tidak memadai, misalnya
karena kurang terampilnya si pelaksana (inseminator). Biar
bagaimana pun juga, perkawinan yang berlangsung secara alami,
antara hewan jantan dan betina sejenisnya, akan memberikan hasil
yang lebih baik ketimbang bila perkawinan dilangsungkan secara
buatan, dengan melibatkan campur tangan manusia. Kendala
yang biasanya dihadapi oleh peternak adalah menentukan saat
berahi puncak ketika insenminasi semen itu harus dilakukan.
Akibatnya, kekurangan yang mungkin dapat diamati selama
pelaksanaan program inseminasi buatan adalah lebih rendahnya
persentase kelahiran anak (“farrowing rate”) dan jumlah anak lahir
seperindukan (“litter size”) bila dibandingkan dengan perkawinan
alami. Itu akan terjadi terutama bila IB itu dilaksanakan dengan
menggunakan semen yang sudah menurun kualitasnya (misalnya
terlalu lama disimpan) atau pelaksanaan inseminasi kurang baik.
Akhirnya, agar sasaran penerapan IB seperti yang disebutkan di
atas itu dapat tercapai, kita harus mempunyai pejantan “superior”
(unggul), baik dari segi genotipe atau fenotipe, dan pejantan yang
demikian itu kadang-kadang tidak mudah diperoleh. Itu memang
demikian halnya karena hakekat dari penerapan teknologi
inseminasi buatan itu adalah pemanfaatan semaksimal mungkin
potensi yang dimiliki oleh hewan jantan. Untuk kita di Bali,
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
31
Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan:
Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio
masalah pejantan superior ini mungkin perlu dipikirkan dengan
serius bila kita ingin meningkatkan mutu sapi Bali yang diduga
menurun akibat pengaruh penangkaran sanak (“inbreeding”),
melalui penerapan bioteknologi inseminasi buatan atau pun
transfer embrio.
Pemanfaatan IB di Bali mungkin tidak terbatas hanya dalam
pengembangan peternakan sapi dan babi serta ternak kecil lainnya,
tetapi juga dapat berperan dalam pengembangan anjing Kintamani
yang belakangan ini sedang gencar-gencarnya diupayakan agar
bisa “go international” (istilah sekelompok dokter hewan yang
berkecimpung dalam hal itu), yaitu diakui dunia sebagai suatu ras
anjing tersendiri.
Seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya, teknik
reproduksi ini juga dapat kita manfaatkan untuk tujuan
penelitian, seperti penelitian dalam bidang fisiologi atau biologi
reproduksi atau bidang lainnya. Metode penampungan semen
pada babi yang relatif mudah dilakukan itu (Putra, 1992a) telah
kami terapkan selama penelitian untuk mempelajari pengaruh
hemikastrasi terhadap produksi spermatozoa tiap hari (“daily
sperm-output”) pada babi (Putra dan Blackshaw, 1984). Dalam
penelitian itu, kami mengamati bahwa walaupun satu buah testis
(buah zakar) dihilangkan/tidak berfungsi, testis yang tertinggal
akan mengadakan kompensasi berupa peningkatan produksi
spermatozoa, seperti halnya kompensasi berupa peningkatan
jumlah sel kelamin dalam testis (Putra dan Blackshaw, 1985)
atau konsentrasi hormon testosteron dan LH (“luteinizing
hormone”) dalam darah (Putra dkk., 1984). Belakangan dari itu,
dengan menggunakan teknik IB sebagai alat percobaan, kami
mencoba meningkatkan produktivitas (misalnya, jumlah anak
lahir seperindukan) dari babi Landrace yang ada di Bali melalui
pendekatan imunologi, yaitu dengan menginseminasikan semen
mati pada periode berahi sebelum periode berahi yang disertai
perkawinan hewan (Putra dan Wirtha, 1995). Kami mengamati
adanya kecenderungan peningkatan produktivitas ternak setelah
penginseminasian semen mati itu; hasil yang lebih baik mungkin
dapat diperoleh bila perlakuan itu juga disertai dengan perlakuan
yang dapat meningkatkan angka ovulasi pada babi (lihat Putra,
1992c).
32
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Walaupun upaya menyebarluaskan teknik inseminasi
buatan pada babi di kalangan peternak di Bali mendapat sambutan
yang baik, dapat dilihat dari jumlah kelahiran anak babi hasil
persilangan Landrace dengan babi Bali melalui IB (data yang tidak
dipublikasikan), masih perlu diteliti seberapa jauh penerapan IB
itu benar-benar bermanfaat secara ekonomi bagi petani-peternak.
Secara teori, hewan persilangan itu akan lebih unggul ketimbang
tetuanya yang inferior (yaitu babi Bali). Akan tetapi, karena
pemeliharaan babi di masyarakat masih bersifat tradisional,
tanpa didukung oleh faktor lingkungan, khususnya makanan
yang memadai, maka belum dapat diketahui secara pasti kinerja
dari babi persilangan itu di masyarakat. Untuk itu, perlu kiranya
dilakukan kajian mengenai berbagai aspek dalam penerapan IB
di masyarakat. Di samping itu, untuk mengantisipasi kebutuhan
masyarakat akan segala sesuatu yang terkait dengan penerapan
IB, kami telah melakukan penelitian mengenai berbagai bahan
pengencer semen babi yang kiranya mempunyai prospek dapat
dianjurkan kepada peternak (Lihat Lampiran: Hasil Penelitian
yang Didokumentasikan di Perpustakaan).
Setelah kita membahas berbagai hal mengenai inseminasi
buatan, marilah kita sekarang beralih keteknik reproduksi yang
lebih canggih, yaitu transfer embrio. Namun, di balik kecanggihannya
itu, transfer embrio juga merupakan teknik pembiakan hewan
yang mahal biayanya karena antara lain menyangkut manipulasi
embrio lewat prosedur bedah.
Transfer Embrio
Bila dengan teknik inseminasi buatan kita berusaha
memanfaatkan semaksimal mungkin potensi yang dimiliki
oleh hewan jantan, transfer embrio (kadang-kadang disebut
transplantasi embrio, alih embrio, atau alih mudigah; Inggris:
“embiyo transfer” atau “embryo transplantation”) lebih banyak
menyangkut pemanfaatan hewan betina yang mempunyai potensi
genetik unggul. Pada hakekatnya, teknik transfer embrio meliputi
pengambilan embrio praimplantasi dari saluran reproduksi hewan
donor (pemberi) dan penempatan embrio itu dalam saluran
reproduksi hewan resipien (penerima). Embrio diambil pada
stadium pembelahan dini dari tuba-Fallopii, melalui pembilasan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
33
Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan:
Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio
dengan media fisiologi yang cocok, dan dialihkan ke dalam bagian
saluran yang sama atau ke dalam lumen uterus dari hewan
resipien (Hunter, 1981). Agar esensi dari program transfer embrio
itu tercapai, donor haruslah hewan betina yang mempunyai
potensi genetik unggul, sedangkan resipien tidak harus unggul,
tetapi setidaknya sehat dan mampu mengandung embrio yang
dialihkan itu sampai lahir. Dalam kesempatan ini, kami tidak akan
menguraikan prosedur pelaksanaan transfer embrio pada ternak;
hadirin yang berminat akan hal itu dapat merujuk tulisan yang
kami sampaikan pada kesempatan lain (Putra, 1992d).
Transfer sel telur hewan mamalia pertama kali dilaporkan
pada akhir abad ke-19, ketika Walter Heape pada 1891 berhasil
memanipulasi sesama kelinci yang telah dikawinkan sebelunmya,
dan mencatat bahwa dua ekor anak kelinci yang lahir mirip dengan
induk genetik, atau si pemberi embrio, dan bukan dengan induk
asuh atau si penerima embrio. Sejak karya perintis itu, teknik itu
tampak tidak berkembang sampai penggunaannya oleh Pincus
dalam tahun 1930-an dan penerapannya yang lebih ekstensif
oleh kelompok peneliti Hammond pada akhir tahun 1940-an.
Kajian yang meliputi teknik transplantasi sel telur atau embrio
sangat meningkat jumlahnya dalam waktu 25 tahun berikutnya,
lebih-lebih setelah ditemukannya teknik pembekuan embrio oleh
kelompok Dr. Chris Polge dari Cambridge. Teknik transfer embrio
itu telah digunakan untuk memeriksa atau mengevaluasi berbagai
aspek fisiologi reproduksi mendasar seperti keberhasilan prosedur
fertilisasi in vitro, di samping memberi sumbangan dalam program
pembiakan dan seleksi hewan.
Manfaat transfer embrio terutama bermakna pada usaha
peternakan sapi atau dalam upaya melestarikan hewan yang
terancam kepunahan (hewan langka). Pada sapi, seekor induk
biasanya menghasilkan satu sel telur pada saat ovulasi dan
selanjutnya diikuti oleh periode kebuntingan yang berlangsung
lama. Karena itu, seekor induk sapi selama hidupnya menghasilkan
anak dalam jumlah terbatas, biasanya jauh lebih rendah dari
10 ekor pedet; bahkan pada sapi perah di Inggris rata-ratanya
hanya 2,5 ekor pedet (Peters dan Ball, 1987). Dengan transfer
embrio beserta teknik terkaitnya, seperti; superovulasi (teknik
menigkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan), kita akan mampu
34
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
menghasilkan jauh lebih banyak keturunan dari seekor induk yang
mempunyai potensi genetik unggul. Melalui pemberian sediaan
hormon (misalnya PMSG dan HCG), induk sapi (yang unggul)
dapat dirangsang untuk mengovulasikan sekaligus 9-10 sel telur,
dan dengan teknik transfer embrio, sel telur yang telah dibuahi
(embrio) dapat “dititipkan” pada induk yang lain (yang tidak
unggul) sampai teriadi kelahiran anak. Dengan demikian, transfer
embrio dapat mempercepat pelipat gandaan ternak berkualitas
unggul, dan ini tentu saja akan sangat menguntungkan dari segi
ekonomi.
Manfaat lain, seperti pada inseminasi buatan, transfer embrio
dapat mencegah penularan penyakit ke suatu peternakan, daerah,
atau negara bila kita ingin menigkatkan mutu ternak yang telah ada,
dengan mendatangkan ternak baru (memasukkan materi genetik
baru). Pemasukan materi genetik baru itu perlu dilakukan untuk
menekan pengaruh buruk dari penangkaran sanak (“inbreeding”),
lebih-lebih pada suatu peternakan babi. Embrio yang diambil
dan kemudian ditransfer lewat prosedur operasi (yang sejauh
mungkin diusahakan dalam kondisi steril) akan sangat aman
ditinjau dari segi risiko penularan penyakit. Dengan ditemukannya
teknik pembekuan embrio pada sapi (tetapi belum berhasil untuk
embrio babi) dan lancamya sarana transportasi, sangatlah besar,
peluang untuk melangsungkan perdagangan embrio antar negara.
Kembali, hal ini akan dapat menekan biaya operasional peternakan,
karena mendatangkan embrio tentu jauh lebih murah ketimbang
mengimpor hewan hidupnya.
Selain manfaat terapan seperti di atas itu, transfer embrio
juga dapat dipakai sebagai alat percobaan (“experimental tool”)
dalam melakukan berbagai kajian fisiologi reproduksi atau
kebuntingan awal pada hewan. Berbagai temuan yang telah
berhasil diungkapkan oleh para peneliti dengan menggunakan
pendekatan transfer embrio telah kami sajikan dalam disertasi
kami (Lihat Putra, 1989). Sebagai ilmuwan yang berkecimpung
di universitas, manfaat inilah yang mungkin perlu kita perhatikan
dan kembangkan sehingga kita mampu melaksanakan darma
penelitian secara lebih baik.
Sebagai sekedar gambaran bagaimana teknik transfer
embrio pada ternak itu dapat kita manfaatkan sebagai alat
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
35
Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan:
Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio
percobaan untuk mencapai sasaran penelitian, berikut ini akan
kami sampaikan beberapa hasil penelitian atau simpulan yang
kami peroleh pada waktu kami berusaha mengungkapkan
“misteri” kematian embrio yang tinggi selama beberapa minggu
pertama kebuntingan pada babi. Dengan pendekatan transfer
embrio itu, kami mengamati bahwa kematian embrio selama masa
awal kebuntingan pada babi itu tidak dapat dikaitkan dengan
konsentrasi hormon progesteron dalam darah yang lebih rendah
atau lebih tinggi daripada konsentrasi normal karena angka
hidup (“survival rate”) dari embrio yang ditransfer ke induk
yang dihemiovariektomi (dihilangkan satu ovarium sehingga
konsentrasi progesteron lebih rendah daripada normal) dan yang
disuperovulasi (ditingkatkan jumlah korpora lutea dalam ovarium
sehingga konsentrasi progesteron menjadi lebih tinggi) ternyata
tidak berbeda nyata dengan hewan kontrol (Putra dkk., 1990).
Namun, agar kebuntingan dapat terus berlangsung, dibutuhkan
konsentrasi minimum progesteron dalam darah sebesar 4 ng/
ml. Pemberian hormon asalluar (eksogenus) seperti kombinasi
progesteron dan estrogen (Putra danBlackshaw, 1990) kepada
babi normal dan resipien transfer embrio juga tidak berpengaruh
nyata meningkatkan daya hidup embrio. Akan tetapi, kombinasi
hormon itu berpengaruh positif terhadap daya hidup embrio yang
ditransfer ke hanya satu tanduk uterus (Putra dkk., 1989); pada
babi, kebuntingan biasanya jarang terjadi bila hanya satu tanduk
uterus yang ditempati oleh embrio. Di samping itu, kami juga
mengamati bahwa pemberian hormon estron sulfat (Putra dkk.,
1989) kepada induk babi yang mengalami transfer superinduksi
(pengalihan embrio ke induk yang bunting) dapat berpengaruh
menguntungkan terhadap perkembangan embrio, kbnsusnya
dalam pengalihan embrio yang umumya lebih muda untuk
bercampur dengan embrio lebih tua yang ada dalam uterus hewan
resipien. Pengaruh pemberian hormon asalluar itu juga kami kaji
dari segi mikroskop elektron (Putra dan Blackshaw, 1986) untuk
mempelajari perubahan struktur ultra dari endometrium dan
tempatimplantasi (perlekatan embrio pada uterus), di samping
dari segi kimia jaringan (histokimia) untuk mempelajari perubahan
glikokaliks (glikoprotein permukaan sel) dari endometrium selama
kebuntingan awal, khususnya selama periode implantasi embrio
36
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
(Putra, 1994a), yang selanjutnya diikuti olehkajian pemberian
sakarida asal luar yang spesifik terhadap daya hidup embrio
yang ditransfer ke hewan resipien (Putra, 1994b). Dari berbagai
pendekatan itu, akhimya kami sampai kepada simpulan bahwa
keserasian stadium perkembangan dari embrio dan uterus itulah
yang terutama menentukan besarnya angka kematian embrio
selama masa awal kebuntingan, khususnya sekitar saat terjadinya
implantasi embrio.
Simpulan
Sebagai
simpulan
dari
uraiankamitentang
artipentingbioteknologi di bidang peternakan ini, dapat kami
ajukan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Untuk lebih memacu perkembangan. bidang peternakan di
Indonesia, sangat diperlukan penerapan bioteknologi secara
umum di kalangan peternak kecil ataupun usaha peternakan
berskala besar.
2. Teknik inseminasi buatan pada ternak sangat berpeluang
untuk diterapkan di kalangan peternak kecil, karena teknik
itu mempunyai banyak manfaat praktis, mudah dilakukan,
dan murah biayanya. Penerapan inseminasi buatan di Bali
mungkin dapat membantu upaya meningkatkan mutu sapi
Bali, babi Bali, atau mungkin anjing Kintamani.
3. Teknik transfer embrio pada ternak, walaupun mempunyai
banyak keunggulan, untuk sementara ini mungkin belum
cocok diterapkan di kalangan peternak kecil di Indonesia,
tetapi itu akan bermanfaat pada usaha peternakan berskala
besar.
4. Para ilmuwan/peneliti di perguruan tinggi seyogianya
berusaha memanfaatkan teknik reproduksi itu (atau
bioteknologi secara umum) sebagai alat percobaan (“experimental tool”) dalam upaya memecahkan berbagai
masalah lewat penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Hunter, R.H.F. (1981). Physiology and Technology of Reproduction
in Female Domestic Animals. Academic Press Ltd. London.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
37
Arti Penting Bioteknologi Bidang Peternakan:
Tinjauan Khusus Mengenai Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio
Mclntosh, B. (1988). Pig AI: Semen collection and processing.
Farm Note. PG 8805003. F54. Queensland Dept. of Primary
Industries. Australia
Mclntosh, B. (1989). Pig AT The technique. Farm Note. PG8912004.
F63. Queensland Dept. of Primary Industries. Australia.
Peters, A.R. dan Ball, P.J.H. (1987). Reproduction in Cattle.
Butterworths, England.
Putra, D.K.H. (1989). Embryonic mortality in the pig during the first
30 days of pregnancy. Ph.D. thesis. University of Queensland,
Brisbane, Australia.
Putra, D.K.H. (l992a). Boar semen collection: A note on the
gloved-hand mefiod and its successful application during
determination of daily sperm out-put. Bull. FKHP UNUD 118:
146-155.
‘
Putra, D.K.H. (1992b). Inseminasi buatan pada babi: Suatu uraian
mengenai teknik pelaksanaannya. Bull. FKHP UNUD 118:
136-140
Putra, D.K.H. (1992c). Increased number of embryos collected
from embryo transfer donor gilts following treatment with
gonadotrophic hormones: Majalah Ilmiah UNUD 33: 227232.
Putra, D.K.H. (1992d). Embryo transfer program in the pig: A detail
report on its procedure. Bull. FKHP UNUD 118: 146-155
Putra, D.K.H. (1994a). Qualitative studies on localization of specific
saccharides in the porcine endometrium. Majalah Ilmiah
UNUD 40: 67-70.
Putra, D.K.H. (1994b). The effect of intra-uterine administration
of a specific saccharide trehalose, on embryo implantation in
the gilt. Majalah Ilmiah UNUD 40:71 -74.
Putra, D.K.H. dan Blackshaw.A.W (1984). Compensatory
increase in daily sperm out-put (DSO) of the boar following
hemicastration. Majalah Ilmiah UNUD 11:46-56.
Putra, D.K.H. dan Blackshaw, A.W. (1985). Qualitative studies on
compensatory testicular hypertrophy following unilateral
castration in the boar. Aust. J. BioL Sci (Australia) 38 : 429434.
Putra, D.K.H. dan Blackshaw, A.W. (1986). The effect of exogenous
ovarian steroids on early embryonic mortality and electron
38
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
D.K. Harya Putra • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
microscopy of the endometrium of the pig. Proc. 18111 Ann.
Conf. ofASRB, Australia, p. 96.
Putra, D.K.H. dan Blackshaw, A.W. (1990). Embryonic mortality
during the first 4 weeks of pregnancy in pigs following
treatment with exogenous progester one and oestrone.
Majalah Ilmiah UNUD 24: 67-78.
Putra, D.K.H. dan Wirtha, W. (1995). Attempts to improve the
reproductive efficiency ofLandrace gilts through insemination
of killed semen. Majalah Ilmiah UNUD 43:29-32.
Putra, D.K.H., Blackshaw, A.W. dan Waters, M.J. (1984). The effect
ofhemicastratiott on circulating testosterone and luteinizing
hormone concentrations in the boar. Majalah Ilmiah UNUD
11: 17-27.
Putra, D.K.H., Cameron, R.D.A., Fogarty, R.M. dan Blackshaw,
A.W. (1989). Effect of exogenous oestrone sulphate on
embryonic survival during asynchronous transfer in the pig.
Theriogenology (USA) 32: 1-9.
Putra, D.K.H., Cameron, R.D.A. dan Blackshaw, A.W. (1989).
Maintenance of pregnancy in embryo transfer recipient
gilts with unilateral horn ligation following treatment with
exogenous progesterone and oestrone. Bull. FKHP UNUD
117:103-119.
Putra. D.K.H., Cameron, R.D.A. dan Blackshaw, A.W. (1990).
Embryonic survival rates during transfer of embryos to
hemiovariectomized and superovulated recipient gilts.
Majalah Ilmiah UNUD 25:113-122.
Salisbury, G.W., VanDemari; N.Ll dan Lodge;1r5: (1978). Physiology
of Reproduction. and Artificial Insemination of Cattle. W.H
Freeman and Co. San Fran¬cisco.
Toelihere, M.R. (1S81). Inseminasi buatan pada ternak. Penerbit
Angkasa, Bandung.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
39
PERANAN BAKTERI ASAM LAKTAT DALAM INDUSTRI
PENGOLAHAN BAHAN PANGAN
I Wayan Redi Aryanta
Pendahuluan
Bahan pangan hewani seperti daging, susu dan ikan
merupakan sumber protein hewani yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, karena mengandung asam-asam amino
esensial, di samping sebagai sumber asam-asam lemak esensial,
vitamin dan mineral (Jennes dan Patton, 1969; Novikov, 1983; Bacus,
1984; Brown, 1986). Sayuran dan buah-buahan juga mempunyai
peranan yang besar terhadap kesehatan manusia karena bahan
pangan nabati ini mengandung vitamin dan mineral yang penting
(Potter, 1973). Dilain pihak, bahan pangan khususnya bahan
pangan hewani sangat cepat mengalami kebusukan, karena bahan
pangan ini juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
dan perkembangbiakan mikroba pembusuk (Jay, 1986).
Berbagai teknologi pengawetan seperti pendinginan,
pembekuan dan pengalengan telah diterapkan untuk menunda
kebusukan dan mempertahankan nilai gizi bahan pangan (Lagua
et al., 1977; Romans dan Ziegler, 1977; Jay, 1986). Di negara-negara
yang sedang berkembang, penerapan ketiga teknologi ini sangat
terbatas karena biayanya besar.
Salah satu metode pengawetan bahan pangan yang relatif
murah, mudah dilaksanakan dan bersifat universal adalah metode
fermentasi dengan menggunakan bakteri asam laktat (BAL)
indigenous (yang secara alamiah terdapat pada bahan pangan)
atau yang ditambahkan sebagai kultur starter.
Bakteri asam laktat dibagi atas dua kelompok yaitu bakteri
yang bersifat homofermentatif (hanya menghasilkan asam
laktat sebagai hasil metabolisme gula) dan bakteri yang bersifat
40
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
heterofermentatif (menghasilkan asam laktat, sedikit asam asetat,
etanol, ester, keton dan karbondioksida (Buckle et al., 1978).
Beberapa spesies BAL yang mempunyai nilai ekonomis
penting dalam industri pengolahan bahan pangan adalah
Streptococcus thermophilus, Streptococcus lactis, Pediococcus
cerevisiae, P. acidilactici, P. pentosaceus, Lactobacillus plantarum, L.
bulgaricus, L. acidophilus, L. casei dan Leuconostoc mesenteroides
(Buckle et al., 1978; Jay, 1986; Aryanta, 1989; Barraquio, 1994).
Prinsip pengawetan bahan pangan dengan metode
fermentasi BAL adalah peningkatan konsentrasi asam laktat dan
penurunan pH melalui metabolisme gula (karbohidrat) oleh BAL.
Konsentrasi asam laktat yang relatif tinggi dan pH yang rendah
akan menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk dan patogen,
sehingga produk pangan terfermentasi yang dihasilkan akan dapat
disimpan lebih lama dan aman bagi konsumen (Lucke, 1985;
Adams, 1986; Aryanta, 1989; Barraquio, 1994).
Industri pengolahan bahan pangan melalui proses fermentasi
BAL mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan di
Indonesia karena negara ini memiliki potensi hasil-hasil pertanian,
peternakan dan perikanan yang cukup besar. Pengembangan
industri pengolahan bahan pangan ini sangat perlu dilakukan
dalam rangka peningkatan ekspor non-migas, memperluas
kesempatan berusaha dan kesempatan kerja serta peningkatan
pendapatan masyarakat. Dalam sajian ini akan diuraikan berbagai
produk pangan yang dihasilkan melalui proses fermentasi BAL.
Produk Daging Terfermentasi
Produk daging terfermentasi yang telah lama dikenal dan
dikonsumsi secara luas oleh masyarakat di negara-negara maju,
antara lain di Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Belanda, Perancis,
Italia dan Australia adalah sosis terfermentasi (salami, thuringer,
pepperoni, cervelat, lebanon bologna). Sosis ini dapat dibuat secara
alamiah (tanpa kultur starter BAL) dan dengan penambahan kultur
starter BAL (Bacus, 1984; Lucke, 1985).
Sosis Terfermentasi Alamiah
Secara umum sosis ini dibuat dari daging, lemak babi (1030%), garam (2-3,5%), gula (1-2%), nitrat/nitrit (50-150 ppm),
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
41
Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan
dan rempah-rempah (0,2-0,5%). Semua bahan dicampur dengan
baik, kemudian dimasukkan ke dalam selongsong dan difermentasi
pada suhu 30º-37°C dengan kelembaban relatif 85-90% selama 56 hari (Bacus, 1984; Lucke, 1985; Adams, 1986).
Mutu sosis ini tergantung kepada jenis dan populasi awal
BAL yang secara alamiah terdapat pada daging. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa lactobacilli dan pediococci memegang peranan
yang sangat penting di dalam pembuatan sosis terfermentasi
alamiah (Bacus, 1984; Aryanta, 1993, 1994a,b). Dari beberapa
jenis sosis alamiah di USA, Deibel et al. (1961) telah mengisolasi
L. plantarum dan P. cerevisiae, sedangkan Lucke (1985) telah
menemukan L. sake, L. curvatus dan L. plantarum dari beberapa
jenis sosis di Jerman. Di Filipina, Sison (1967) (dikutip oleh
Pederson, 1971) telah mengisolasi Leu. mesenteroides, P. cerevisiae
dan L. plantarum dari sosis alamiah yang dibuat secara tradisional
oleh masyarakat. Spesies BAL yang lain yang pernah ditemukan di
dalam sosis alamiah adalah L. brevis dan L. buchneri (Jay, 1986).
Penelitian Aryanta et al. (1994) menemukan Lactobacillus sp.
dan Pediococcus sp. mendominasi pertumbuhan Micrococcus
sp., Staphylococcus sp., dan Bacillus sp. pada sosis terfermentasi
tradisional Bali (urutan), tetapi tidak menemukan bakteri patogen
(Salmonella dan Staph. aureus).
Selama fermentasi, populasi BAL meningkat dari 1023
10 sel/g menjadi 106-108 sel/g (Bacus, 1984; Aryanta, 1993).
Bersamaan dengan hal ini, konsentrasi asam laktat meningkat
sampai 0,70-0,80% dan pH menurun sampai 5,0 atau lebih
kecil (Smith dan Palumbo, 1973; Bacus, 1984). Dengan kondisi
ini, maka pertumbuhan mikroba pembusuk/patogen dapat
dicegah/dihambat. Dengan demikian, masa simpan daging dapat
diperpanjang dan nilai gizinya dapat dipertahankan.
Sosis Terfermentasi dengan Kultur Starter Bakteri Asam
Laktat
Formulasi dan suhu fermentasi sosis dengan kultur starter
BAL hampir sama dengan sosis alamiah, tetapi waktu fermentasinya
lebih singkat (24-48 jam). Sifat-sifat BAL yang baik untuk kultur
starter (Bacus, 1984; Bacus dan Brown, 1985a,b) adalah: (a)
toleran terhadap garam dengan konsentrasi 5%, (b) mempunyai
42
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
kemampuan tumbuh yang baik pada medium dengan konsentrasi
nitrit 80-100 ppm, (c) tumbuh optimum pada suhu 32,2°C dengan
kisaran 26,7°-43°C, (d) homofermentatif, (e) non-proteolitik, (f)
non-lipolitik, (g) tidak bersifat patogen, dan (h) tidak aktif pada
suhu 57°-60°C.
Spesies BAL yang banyak digunakan sebagai kultur starter di
dalam industri pembuatan sosis terfermentasi adalah L. plantarum
dan P. cerevisiae (Smith dan Palumbo, 1981; Bacus, 1984; Lucke,
1985).
Dengan menggunakan kultur starter BAL, maka perubahan
gula menjadi asam laktat terjadi lebih cepat dan lebih konsisten,
sehingga dalam waktu 24-48 jam telah dapat dicapai konsentrasi
asam laktat lebih dari 0,9% dan penurunan pH sampai kurang
dari 4,7 (Lucke, 1985; Adams, 1986; Aryanta et al. 1994). Dengan
demikian, waktu fermentasi dapat dipersingkat, kegagalan
fermentasi dapat dikurangi/dicegah dan dihasilkan produk dengan
mutu yang lebih baik dan konsisten serta lebih stabil dan aman.
Sehubungan dengan peranan kultur starter BAL terhadap
keamanan sosis terfermentasi, Christiansen et al. (1975)
mempelajari pengaruh kultur starter (L. plantarum dan P. cerevisiae),
glukosa dan nitrit terhadap pembentukan toksin botulinum pada
sosis terfermentasi yang disimpan pada suhu 27°C selama 112
hari. Mereka mendapatkan bahwa pada level nitrit 50-150 ppm,
kultur starter dan glukosa (2%) dapat mencegah pembentukan
toksin oleh Cl. botulinum. Dijelaskan bahwa penurunan pH dengan
cepat dari hasil fermentasi glukosa merupakan faktor terpenting
untuk mencegah pembentukan toksin botulinum di dalam sosis.
Smith dan Palumbo (1978) melaporkan bahwa
penghambatan pertumbuhan Staph. aureus di dalam sosis
terfermentasi mempunyai korelasi yang positif terhadap level
glukosa dan kecepatan produksi asam laktat oleh L. plantarum
dan P. cerevisiae. Dengan menggunakan 2% glukosa dan inokulum
Staph. aureus awal sebesar 107/g, tidak ditemukan Staphylococci
yang hidup setelah 60 jam fermentasi pada suhu 35°C, tetapi dengan
0,5% glukosa, penurunan populasi Staph. aureus sampai level yang
tidak terdeteksi memerlukan waktu 130 jam. Penelitian mengenai
pengaruh BAL terhadap kehidupan dan pertumbuhan Salmonella
selama fermentasi sosis telah dilakukan oleh Masters et al. (1981)
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
43
Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan
dengan menggunakan L. plantarum sebagai kultur starter. Mereka
mendapatkan bahwa penggunaan kultur starter menyebabkan
penurunan pH sosis terjadi lebih cepat dibandingkan dengan tanpa
memakai kultur starter, sehingga pembunuhan S. newport dan
S. typhimurium berlangsung lebih cepat. Menurut Aryanta et al.
(1994), peningkatan total asam dan penurunan pH terjadi paling
cepat selama fermentasi sosis dengan starter P. acidilactici, disusul
sosis dengan starter L. plantarum dan sosis tanpa kultur starter.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa penggunaan starter
L. plantarum dan P. cerevisiae dapat menghambat pembentukan
histamin dan amina-amina biogenik lainnya selama fermentasi
sosis (Bacus dan Brown, 1981, 1985a,b; Bacus, 1984; Adams,
1986).
Sosis yang difermentasi dengan kultur starter BAL memiliki
masa simpan lebih lama dibandingkan dengan yang difermentasi
secara alamiah (Smith dan Palumbo, 1983; Bacus, 1984).
Produk Susu Terfermentasi
Susu terfermentasi adalah suatu produk pangan yang
diproduksi dari susu (susu utuh atau susu skim) dengan
menggunakan BAL sebagai kultur starter. Prinsip dasar dalam
pembuatan susu terfermentasi adalah perubahan laktosa pada
susu menjadi asam laktat oleh aktivitas BAL, sehingga menurunkan
pH dan menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan.
Asam laktat memberikan rasa asam pada produk dan berfungsi
sebagai bahan pengawet.
Selama proses fermentasi, pH susu menurun dari 6,6 (susu
segar) menjadi 4,3-4,5 dengan total asam (sebagai asam laktat)
meningkat sampai 0,8-1,0% (Barraquio, 1994).
Jenis produk susu terfermentasi yang telah dikenal oleh
masyarakat, baik masyarakat di negara-negara yang telah maju
maupun masyarakat di negara-negara sedang berkembang antara
lain: yoghurt, acidophilus milk, bulgarian buttermilk, yakult, kefir
dan koumiss.
Yoghurt
Yoghurt adalah produk susu terfermentasi yang dibuat
dengan memanfaatkan Strep. thermophilus dan L. bulgaricus sebagai
44
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
kultur starter. Kedua spesies bakteri ini digunakan bersama-sama
dengan perbandingan 1:1 (Jay, 1986). Di beberapa negara, yoghurt
dikenal dengan nama lain seperti: laban di Libanon, iben di Maroko,
dahi di India dan zabadi di Mesir.
Cita rasa dan aroma yang khas dari yoghurt dibentuk dari
kombinasi asam laktat dan senyawa karbonil (aldehid, aseton,
asetoin dan diasetil) (Barraquio, 1994). Senyawa-senyawa lain
yang ikut memberikan kontribusi terhadap cita rasa dan aroma
yoghurt adalah asam-asam organik (asam piruvat, asam oksalat,
asam suksinat, asam formiat, asam asetat dan asam propionat)
dan senyawa-senyawa hasil degradasi protein, lemak atau laktosa
(Margalith, 1981).
Dalam pembuatan yoghurt, mula-mula susu dipanaskan
sehingga kandungan airnya berkurang sampai seperempatnya.
Pemanasan dilanjutkan pada suhu 82°-93°C selama 30-60 menit
dan didinginkan sampai 45°C. Starter yoghurt ditambahkan
sebanyak ± 2% dari volume dan diinkubasi pada suhu 45°C selama
3-5 jam diikuti dengan pendinginan pada suhu 5°C (Pederson,
1971). Pada suhu 5°C, yoghurt dapat disimpan selama 1-2 minggu
tanpa mengalami perubahan mutu yang berarti (Jay, 1986).
Total asam yoghurt yang berkualitas baik berkisar antara
0,85-0,90% (Davis, 1975). Yoghurt segar mengandung BAL sekitar
109/g, tetapi selama penyimpanan jumlah ini menurun sampai 106/
g bila disimpan pada suhu 5°C selama 60 hari (Hamann dan Marth,
1984). Pada umumnya, jumlah Lactobacillus lebih cepat mengalami
penurunan dibandingkan dengan Streptococcus (Jay, 1986).
Acidophilus Milk
Produk susu terfermentasi ini diproduksi dengan
menginokulasikan L. acidophilus (2-5%) ke dalam susu skim yang
telah disterilkan pada suhu 95°C selama 60 menit, kemudian
difermentasi selama 24 jam pada suhu 37°C atau sampai terbentuk
asam laktat sebesar 1% (Barraquio, 1994).
Bulgarian Buttermilk
Bulgarian buttermilk diproduksi dengan cara yang sama
dengan acidophilus milk, tetapi kultur starter yang digunakan
adalah L. bulgaricus (Jay, 1986; Barraquio, 1994).
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
45
Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan
Yakult
Susu terfermentasi ini pertama diproduksi di Jepang
dengan menggunakan L. casei shirota strain Bifidobacterium
bifidum sebagai kultur starter. Kedua jenis bakteri ini diisolasi
dari usus (kotoran) bayi yang baru lahir. Produk ini dibuat dengan
memanaskan larutan glukosa dan susu skim sampai suhu 98°C
selama 70 menit, kemudian didinginkan sampai suhu 37°C.
Kultur starter ditambahkan pada campuran susu dan glukosa dan
diinkubasikan pada suhu 37°C selama 7 hari atau sampai total
asam mencapai 3%. Selanjutnya ditambahkan air steril dan sirup
yang terlebih dahulu disterilkan pada suhu 98°C selama 55 menit,
dan didinginkan sampai suhu 10°C (Barraquio, 1994).
Kefir
Pada umumnya, kefir diproduksi dari susu sapi. Setelah
dipanaskan pada suhu 90°-95°C selama 5 menit dan dihomogenisasi,
susu difermentasi pada suhu 23°C. Menurut Jay (1986), kultur
starter yang biasa digunakan dalam pembuatan kefir adalah Strep.
lactis, L. bulgaricus dan khamir, sedangkan Barraquio (1994)
melaporkan L. kefir dan Candida kefir.
Selama fermentasi, BAL menghasilkan asam laktat, sedangkan
khamir memproduksi alkohol. Fermentasi dilakukan sampai asam
laktat dan alkohol mencapai konsentrasi sekitar 1% (Jay, 1986).
Koumiss
Secara tradisional, koumiss diproduksi dari susu kuda.
Proses dasar dalam pembuatan produk ini adalah pemanasan susu
pada suhu 90°-92°C selama 5 menit, diikuti dengan homogenisasi
dan pendinginan sampai suhu 26°-28°C. Inokulum yang digunakan
merupakan campuran dari L. bulgaricus, L. acidophilus dan
Kluyveromyces lactis. Lama fermentasi diatur sampai mencapai
produk akhir dengan total asam (sebagai asam laktat) sebesar 0,61,0% dan etanol 0,7-2,5% (Barraquio, 1994).
Produk Ikan Terfermentasi
Produk-produk ikan terfermentasi yang diproduksi melalui
proses fermentasi BAL, antara lain: produk ikan terfermentasi
tradisional dan sosis ikan terfermentasi.
46
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
Produk Ikan Terfermentasi Tradisional
Produk ikan terfermentasi tradisional yang dihasilkan
melalui proses fermentasi BAL indigenous telah lama dikenal
dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat Filipina dan Thailand.
Produk-produk tersebut, antara lain: Balao-balao, Burong-bangus,
dan Burong isda dari Filipina, Pla-chom, som-fug dan pla-jom dari
Thailand (Adams et al., 1985; Saono et al., 1986). Garam dan
karbohidrat ditambahkan pada ikan (dipotong atau digiling) untuk
mendorong pertumbuhan BAL indigenous. Formulasi produkproduk ini sangat bervariasi (Tabel 1).
Konsentrasi asam laktat tertinggi di dalam produk ikan
terfermentasi tradisional adalah 4,5% dengan pH terendah 3,5
(Aryanta, 1994c). Asam laktat terbentuk sebagai hasil fermentasi
karbohidrat oleh aktivitas BAL indigenous (Arroyo et al., 1978;
Adams, 1986; Saono et al., 1986). Spesies BAL yang diisolasi dari
beberapa produk tradisional dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Produk-produk Ikan Terfermentasi Tradisional
Nama Produk
Formulasi
Kondisi
Fermentasi
Masa Simpan
Balao-balaoa
Udang kecil:garam:
nasi, 3:1:13
25°-30°C,
5-10 hari
Beberapa
minggu
Burong-bangusa
Ikan, garam, nasi,
dan cuka
Suhu kamar,
6-8 hari
?
Burong-isdaa, b
Ikan:garam:nasi,
25:1:49
28°-33°C,
7 hari
1 minggu
Pla-choma
Ikan:garam:nasi:
tepung beras:bawang
putih, 10:1:3:3:1
20°-30°C,
3 hari
2 minggu
Som-fuga
Ikan giling:garam:nasi:
bawang putih, 10:1:2:1
20°-30°C,
5-10 hari
2 minggu
Pla-joma
Ikan:garam:beras:
bawang putih, 10:1:3:1
Suhu kamar,
3-7 hari
2 minggu
Sumber:
a. Saono et al. (1986)
b. Orillo dan Pederson (1968)
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
47
Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan
Tabel 2. Bakteri Asam Laktat yang Berperan pada Produk Ikan
Terfermentasi
Nama Produk
Balao-balaoa, c
Burong-bangusa
Burong-isdaa, b, c, d, e
Pla-choma, e
Som-fuga, c, e
Pla-jome
Sumber:
Bakteri Asam Laktat
Leu. mesenteroides, L. plantarum, L. brevis, Strep. faecalis,
P. cerevisiae
Leu. mesenteroides, L. plantarum, L. confosus
Leu. mesenteroides, P. cerevisiae, Strep. faecalis
L. brevis, P. cerevisiae
L. brevis, P. cerevisiae
L. brevis, P. cerevisiae
a. Saono et al. (1986)
b. Orillo dan Pederson (1968)
c. Adams et al. (1985)
d. Adams (1986)
e. Saisithi (1987)
Sosis ikan terfermentasi
Beberapa penulis menyatakan bahwa ikan dapat diawetkan
dalam bentuk sosis terfermentasi, meskipun informasi mengenai
mikrobiologi, biokimiawi, dan sifat organoleptik dari produk ini
sangat terbatas (Adams et al., 1985; Adams, 1986).
Adams et al. (1987) melaporkan bahwa sosis ikan dengan
formulasi: ikan giling, 4% glukosa, 1% garam, dan 0,05% L.
plantarum yang difermentasi pada suhu 30°C selama 7 hari, pH
menurun dari 7,0 menjadi 4,5 dan asam laktat meningkat dari
0,5% menjadi 3,0%. Dalam percobaan ini mereka menggunakan
polythene stomacher bag sebagai simulasi selongsong (casing).
Studi mengenai pengaruh kultur starter BAL terhadap
pertumbuhan bakteri patogen pada sosis ikan (2% glukosa dan
0,05% L. plantarum) mendapatkan bahwa populasi Staph. aureus,
S. typhimurium, E. coli dan Cl. sporogenes menurun secara drastis
selama 48 jam fermentasi pada suhu 30°C (Twiddy et al., 1987).
Aryanta (1989) juga telah membuktikan bahwa beberapa bakteri
patogen yang sengaja diinokulasikan (E. coli, S. typhimurium, S. sofia,
Staph. aureus, B. cereus, V. parahaemolyticus dan Cl. perfringens)
tidak mampu tumbuh dan populasinya menurun dengan cepat
selama 48 jam fermentasi sosis ikan pada suhu 30°C dengan P.
acidilactici sebagai kultur starter. Tiga bakteri yang disebutkan
terakhir tidak ditemukan lagi setelah 24 jam fermentasi. Adonan
sosis ikan pada penelitian ini terdiri atas ikan giling, 3,5% garam,
1% sukrosa, 0,01% sodium nitrit, dan 0,5% rempah-rempah.
48
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
Sosis ikan terfermentasi (tanpa inokulasi bakteri patogen) yang
dihasilkan dari penelitian ini dapat diterima oleh 36 panelis.
Penelitian Aryanta et al. (1991) mengenai pengaruh kultur
starter (P. acidilactici) terhadap pertumbuhan mikroba yang
bersifat proteolitik dan lipolitik menunjukkan bahwa bakteri (Staph.
epidermidis, Staph. warneri, M. varians, M. luteus, B. megaterium)
dan khamir (C. guiliermondii, D. hansenii, P. membranaefaciens, R.
rubra) yang secara alamiah terdapat dalam sosis ikan tidak dapat
tumbuh dan populasinya menurun secara drastis selama 48 jam
fermentasi pada suhu 30°C.
Mengenai perubahan biokimiawi selama 48 jam fermentasi
sosis ikan pada suhu 30°C dengan P. acidilactici sebagai kultur
starter, Aryanta (1992) melaporkan bahwa konsentrasi asam
laktat meningkat dari 0,31% menjadi 1,29% dan pH menurun
dari 6,2 menjadi 4,7. Dilaporkan juga bahwa selama fermentasi
alamiah (tanpa kultur starter BAL), asam laktat meningkat
menjadi 0,85% dan pH menurun menjadi 5,3. Kondisi ini tidak
mampu menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan bakteri
patogen selama fermentasi.
Dari hasil-hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa
BAL mempunyai peranan yang sangat besar dalam pengolahan/
pengawetan ikan dalam bentuk sosis terfermentasi. Hal ini
disebabkan oleh kemampuan BAL mengkonversi karbohidrat
menjadi asam laktat dan menurunkan pH produk sehingga menekan/
menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk dan patogen.
Produk Sayuran Terfermentasi
Hampir semua jenis sayuran termasuk buah-buahan yang
biasa dimanfaatkan sebagai sayuran (mentimun dan tomat)
dapat diolah/diawetkan melalui proses fermentasi BAL. Bahan
pangan ini mengandung gula dan zat-zat makanan yang penting
khususnya vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh manusia
dan mikroba. Faktor-faktor lingkungan yang penting dalam
memproduksi sayuran terfermentasi adalah: terciptanya kondisi
anaerobik, kadar garam yang cukup, suhu fermentasi yang sesuai,
dan tersedianya BAL yang sesuai (Buckle et al., 1978). Beberapa
jenis produk sayuran terfermentasi yang telah lama dikenal adalah
sauerkraut, pikel dan kimchi.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
49
Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan
Sauerkraut
Sauerkraut adalah produk kubis terfermentasi yang
dihasilkan melalui proses fermentasi oleh aktivitas BAL yang
secara alamiah terdapat pada kubis. Produk sayuran ini dibuat
dari kubis yang ditambahkan 2,25-2,50% garam dan difermentasi
secara anaerob pada suhu 25°-30°C selama 2-3 minggu (Buckle
et al., 1978; Jay, 1986). Garam berfungsi untuk menekan
pertumbuhan bakteri gram negatif, tetapi BAL dapat mentolerir
kondisi tersebut. Dua spesies BAL yang penting dalam fermentasi
sauerkraut adalah Leu. mesenteroides dan L. plantarum. Disamping
kedua spesies tersebut, L. brevis, P. cerevisiae, dan Strep. faecalis
juga ikut memberikan kontribusi terhadap kualitas produk. Pada
umumnya fermentasi dimulai oleh Leu. mesenteroides, kemudian
dilanjutkan oleh L. brevis, L. plantarum dan P. cerevisiae. Aktivitas
Leuconostoc dan Streptococcus terhenti apabila konsentrasi asam
pada sauerkraut mencapai 0,7-1,0%. Total asam produk akhir
sebesar 1,6-1,8% dengan asam laktat 1,0-1,3% (Jay, 1986).
Pikel
Pikel adalah produk hasil fermentasi buah mentimum oleh
aktivitas BAL (Leu. mesenteroides, Strep. faecalis, P. cerevisiae, L.
brevis, dan L. plantarum) yang secara alamiah terdapat pada buah
mentimun (Etchells et al., 1975). Pediococcus cerevisiae dan L.
plantarum merupakan spesies BAL yang paling banyak berperan
selama fermentasi, sedangkan L. brevis tidak dikehendaki karena
kemampuannya menghasilkan gas.
Dalam memproduksi pikel, buah mentimun diletakkan di
dalam tangki kayu dengan konsentrasi awal larutan garam 5%.
Selama 6-9 minggu fermentasi, konsentrasi garam ditingkatkan
secara bertahap sampai mencapai 15,9%. Garam berfungsi untuk
menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif dan mengekstrak
air dan zat-zat yang larut di dalam air seperti gula dan zat-zat
makanan lainnya, kemudian gula dikonversi menjadi asam laktat
oleh aktivitas BAL (Jay, 1986). Pada akhir fermentasi, total asam
pada pikel sebesar 0,6-0,8% (Buckle et al., 1978).
50
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
Kimchi
Kimchi adalah produk sayuran terfermentasi tradisional
Korea yang telah lama dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat
Korea yang pada saat ini merupakan salah satu komoditi ekspor.
Bahan baku dari produk ini adalah kubis cina dengan bahan
penolong berupa garam, gula dan rempah-rempah. Bakteri asam
laktat yang secara alamiah berasal dari kubis dan memegang
peranan penting dalam fermentasi kimchi adalah L. plantarum,
L. brevis, Strep. faecalis, Leu. mesenteroides, P. pentosaceus dan P.
cerevisiae.
Salah satu formula kimchi yang diproduksi secara komersial
terdiri atas 84,9% kubis, 5,9% garam, 2,2% bubuk merica merah,
1,7% bawang putih, 0,7% jahe, 3,8% bawang bombai dan 0,8%
gula (Park, 1994).
Selama 2 hari fermentasi secara anaerob pada suhu 30°C,
gula dikonversi menjadi asam laktat dan asam-asam lainnya (asam
piruvat, asam fumarat, asam glikolat, asam malat, asam glukonat
dan asam sitrat) oleh aktivitas BAL, sehingga pH kimchi menurun
dan menyebabkan tertekannya pertumbuhan bakteri aerob.
Produk akhir memiliki pH 4,2 dan kadar asam laktat 0,6-0,8%.
Selama fermentasi kimchi juga dihasilkan vitamin B12, riboflavin,
dan thiamin (Park, 1994).
Simpulan
Produk-produk pangan terfermentasi yang berasal dari
daging, susu, ikan dan sayuran antara lain: sosis terfermentasi,
yoghurt, yakult, balao-balao, som-fug, sauerkraut, dan kimchi.
Spesies BAL yang berperan penting dalam proses fermentasi
adalah L. plantarum, L. brevis, L. bulgaricus, L. acidophilus, L. casei,
P. cerevisiae, P. acidilactici, P. pentosaceus, Leu. mesenteroides,
Strep. thermophilus dan Strep. lactis.
Karbohidrat (gula) merupakan substrat fermentasi
yang harus tersedia dalam jumlah yang cukup agar proses
fermentasi berlangsung dengan baik. Faktor-faktor lain yang ikut
mempengaruhi proses fermentasi adalah suhu, kadar garam, dan
spesies BAL.
Metabolisme gula menjadi asam laktat dan asam-asam lainnya,
menurunkan pH produk, sehingga menghambat pertumbuhan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
51
Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan
mikroba pembusuk dan patogen selama fermentasi.
Untuk mempersingkat proses fermentasi, dan meningkatkan
mutu serta keamanan produk pangan terfermentasi, perlu
digunakan kultur starter BAL.
Saran
Dalam rangka meningkatkan ekspor non-migas, memperluas
kesempatan kerja, dan dalam usaha penganekaragaman pangan
serta peningkatan taraf hidup masyarakat, pemerintah dan swasta
perlu mengembangkan industri pengolahan bahan pangan melalui
proses fermentasi BAL.
Para dosen/peneliti dan mahasiswa yang berminat di
bidang teknologi fermentasi pangan, diharapkan terus melakukan
penelitian mengenai pemanfaatan BAL dalam pengolahan/
pengawetan bahan pangan atau limbah pertanian dalam usaha
meningkatkan mutu, keamanan dan stabilitas produk.
Daftar Pustaka
Adams, M.R., R.D. Cooke and P. Rattagool. 1985. Fermented fish
product of South-East Asia. Trop. Sci. 25: 61-73.
Adams, M.R. 1986. Fermented flesh foods. Adams, M.R. (ed.).
Progress in industrial microbiology. Vol. 23. Microorganisms
in the production of food. Elsevier, Amsterdam: 159-198.
Adams, M.R., R.D. Cooke and D.R. Twiddy. 1987. Fermentation
parameters involved in the production of lactic acid preserved
fish glucose substrates. Int. J. Food Sci. Technol. 22: 105-144.
Arroyo, P.T., L.A.L. Pelayo, H.T. Solidum, Y.N. Chiu, M. Lero and E.E.
Alcantara. 1978. Studies on rice shrimp fermentation balaobalao. Phil. J. Food Sci. Technol. 2:106-125.
Aryanta, W.R. 1989. Microbiology and biochemistry of fermented
fish sausage. Ph.D. thesis, University of New South Wales.
Kensington, N.S.W., Australia.
Aryanta, W.R., G.H. Fleet and K.A. Buckle. 1991. The occurrence and
growth of microorganisms during the fermentation of fish
sausage. Int. J. Food Microbiol. 13: 143-155.
Aryanta, W.R. 1992. Beberapa perubahan biokimiawi selama
fermentasi sosis ikan. Bull. FKHP. No.118(1): 233-241.
52
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
Aryanta, W.R. 1993. Pengaruh lama fermentasi terhadap mutu
sosis terfermentasi alamiah. Majalah Ilmiah Unud. Th. XX
No.37: 77-84.
Aryanta, W.R. 1994a. The effect of sodium nitrite concentration on
the quality of fermented sausage. Majalah Ilmiah Unud. Th.
XXI No.40: 54-58.
Aryanta, W.R. 1994b. Fermented sausage: 3. Microbial ecology and
biochemical changes (A literature review). Majalah Ilmiah
Unud. Th. XXI No.41: 47-51.
Aryanta, W.R. 1994c. Lactic acid fermented fish products: a
literature review. Majalah Ilmiah Unud. Th. XXI No.42: 22-27.
Aryanta, W.R., M.B. Arihantana dan A.A.S.P. Kartini. 1994. Seleksi
dan pemanfaatan bakteri asam laktat untuk meningkatkan
mutu sosis terfermentasi tradisional Bali. Laporan Penelitian.
Pusat Penelitian. Universitas Udayana. Denpasar.
Bacus, J.N. and W.L. Brown. 1981. Use of microbial cultures: meat
products. Food Technol. 35(1): 74-78, 83
Bacus, J.N. 1984. Utilisation of microorganisms in meat processing.
A handbook for meat plant operators. John Wiley and Sons
Inc. New York.
Bacus, J.N. and W.L. Brown. 1985a. The lactobacilli: meat products.
Gilliland, S.E. (ed.). Bacterial starter cultures for foods. CRC
Press. Inc. Boca Raton, FL: 58-72.
Bacus, J.N. and W.L. Brown. 1985b. The pediococci: meat products.
Gilliland, S.E. (ed.). Bacterial starter cultures for foods. CRC
Press. Inc. Boca Raton, FL: 85-96.
Barraquio, V.L. 1994. Advances in fermented dairy products. In:
Proceedings of the Regional Training Workshop on Advances
in Microbial Processes for the Utilization of Tropical Raw
Materials in the Production of Food Products, held
11-20
October 1993 at the National Crop Protection Center, U.P. Los
Banos, Philippines, P.C. Sanchez (ed.).
Brown, W.D. 1986. Fish muscle as food. Bechtel, P.J. (ed.). Muscle as
food. Academic Press, Inc. Orlando: 405-451.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wootton. 1978. Food
science. Watson Ferguson & Co. Brisbane.
Christiansen, L.N., R.B. Tomkin, A.B. Shaparis, R.W. Johnston and
D.A. Kautter. 1975. Effect of sodium nitrite and nitrate on
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
53
Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Industri Pengolahan Bahan Pangan
Clostridium botulinum growth and toxin production in a
summer style sausage. J. Food Sci. 40: 488-490.
Davis, J.G. 1975. The microbiology of yoghurt. In: Lactic acid
bacteria in beverages and food. J.G. Carr et al. (ed.). Academic
Press. New York.
Deibel, R.H., C.F. Niven and G.D. Wilson. 1961. Microbiology of meat
curing. III. Some microbiological and related technological
aspects in the manufacture of fermented sausages. Appl.
Microbiol. 9: 156-161.
Etchells, J.L., H.P. Fleming and T.A. Bell. 1975. Factors influencing
the growth of lactic acid bacteria during the fermentation of
brined cucumbers. In: Lactic acid bacteria in beverages and
food. J.G. Carr et al. (ed.). Academic Press. New York.
Hamann, W.T. and E.H. Marth. 1984. Survival of Streptococcus
thermophilus and Lactobacillus bulgaricus in commercial and
experimental yoghurts. J. Food Protect. 47: 781-786.
Jay, J.M. 1986. Modern food microbiology. Van Nostrand Reinhold
Company. New York.
Jennes, R. and S. Patton. 1969. Principles of dairy chemistry. Wiley
Eastern Private Limited. New Delhi.
Lagua, R.T., C.P. Cruel and V.S. Claudio. 1977. Food preservation for
Filipinos. G.M.S. Publishing Corporation. Quezon City.
Lucke, F.K. 1985. Fermented sausage. Wood, B.J.B. (ed.).
Microbiology of fermented foods. Vol. 2. Elsevier Applied
Science Publishers. London.
Margalith, P.Z. 1981. Flavor microbiology. Charles C. Thomas
Publisher. Illinois.
Masters, B.A., J.L. Oblinger, S.J. Goodfellow, J.N. Bacus and W.L.
Brown. 1981. Fate of Salmonella newport and Salmonella
thypimurium inoculated into summer sausage. J. Food Prot.
44: 527-530.
Novikov, V.M. 1983. Handbook of fishery technology, vol. 1. A.A.
Balkema. Rotterdam.
Orillo, C.A. and C.S. Pederson. 1968. Lactic acid bacterial
fermentation of burong dalag. Appl. Microbiol. 16: 16691671.
Park, W.S. 1994. Kimchi as a traditional fermented vegetable food in
Korea. In: Proceedings of the Regional Training Workshop on
54
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Redi Aryanta • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
Advances in Microbial Processes for the utilization of Tropical
Raw Materials in the Production of Food Products held 11-20
October 1993 at the National Crop Protection Center, U.P. Los
Banos, Philippines. P.C. Sanchez (ed.).
Pederson, C.S. 1971. Microbiology of food fermentations. Avi
Publishing Co. Westport, CT.
Potter, N.N. 1973. Food science. The Avi Publishing Company, Inc.
Westport. Connecticut.
Romans, J.R. and P.T. Ziegler. 1977. The meat we eat. The Interstate
Printers & Publishers, Inc. Illinois.
Saisithi, P. 1987. Traditional fermented fish products with special
reference to Thai products. Asian Food J. 3(1): 3-10.
Saono, S., R.R. Hull and B. Dhamcharee. 1986. A concise handbook
of indigenous fermented foods in the ASCA countries. LIPI.
Jakarta.
Smith, J.L. and S.A. Palumbo. 1973. Microbiology of Lebanon
bologna. Appl. Microbiol. 26: 489-496.
Smith, J.L. and S.A. Palumbo. 1978. Injury to Staphylococcus aureus
during sausage fermentation. Appl. Environ. Microbiol. 36:
857-860.
Smith, J.L. and S.A. Palumbo. 1981. Microorganisms as food
additives. J. Food Prot. 44:936-955.
Smith, J.L. and S.A. Palumbo. 1983. Use of starter culture in meats.
J. Food Prot. 46: 997-1006.
Twiddy, D.R., S.J. Cross and R.D. Cooke. 1987. Parameters involved in
the production of lactic acid preserved fish-starchy substrate
combinations. Int. J. Food Sci. Technol. 22: 115-121.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
55
PERTANIAN BERKELANJUTAN
DENGAN MASUKAN RENDAH
Netera Subadiyasa
Pendahuluan
Kebutuhan manusia akan pangan semakin meningkat
seiring dengan pertambahan penduduk, manjadi keharusan bagi
pertanian untuk terus meningkatkan produksi. Apabila kita tinjau
upaya peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan
penduduk sejak dimulainya pembangunan pertanian pada Pelita I,
tampak takaran (dosis) penggunaan pupuk dan pestisida semakin
tinggi. Demikian pula macam pupuk dan pestisida yang digunakan
semakin banyak jenisnya. Hal ini sejalan dengan sistem intensifikasi
yang dikembangkan yaitu mulai dari Inmum (intensifikasi umum)
atau Bimas (bimbingan massal), Inmas (intensifikasi massal),
Insus (intensifikasi khusus), dan Supra Insus.
Meningkatnya jumlah pupuk yang digunakan untuk
tanaman rata-rata penggunaan pupuk per tahun di Indonesia sejak
Pelita I. Dalam Pelita I digunakan pupuk 464,8 ribu ton, Pelita II
990, 2 ribu ton dan terbatas hanya pupuk urea dan TSP saja. Pada
Pelita III dan IV penggunaan pupuk rata-rata per tahun berturutturut mencapai 2.565,4 ribu ton dan 3.923,2 ribu ton dan jenis
yang digunakan disamping urea dan TSP ditambah lagi KCl dan
ZA. Pada Pelita V jumlah pemakaian semakin tinggi lagi mencapai
4.464 ribu ton, dengan jenis pupuk yang digunakan di samping
pupuk tersebut di atas ditambah lagi pupuk unsur mikro terutama
Zn.
Meningkatnya jumlah pupuk yang digunakan disamping
disebabkan oleh meningkatnya luas areal tanam, juga disebabkan
oleh semakin meningkatnya takaran penggunaan pupuk per satuan
luas. Hal ini sejalan dengan sikap “pupuk minded” petani. Pada
56
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
awal Pelita I dosis rekomendasi pupuk untuk tanaman padi sawah
adalah urea 100-200 kg/ha, TSP 50-75 kg/ha. Pada saat ini dosis
rekomendasi telah mencapai 200-250 kg/ha, TSP 100-150 kg/ha
dan 50-100 kg/ha KCl. Bahkan dilaporkan bahwa di beberapa
daerah seperti di Jawa Barat, Lampung dan Sulawesi Selatan tingkat
penggunaan pupuk oleh petani telah melebihi dosis rekomendasi.
Yaitu untuk urea pada ketiga daerah tersebut berurut-turut 112%,
128% dan 189% kali dosis rekomendasi; untuk KCl berturutturut 150%, 106% dan 116% kali dosis rekomendasi (Erwidodo,
1994).
Peningkatan jumlah pupuk yang digunakan per satuan
luas lahan, apabila dikaitkan dengan peningkatan produksi per
satuan luas yang dihasilkan tidak seimbang. Ini berarti bahwa
potensi tanah dalam menyediakan hara semakin kesil dan hara
semakin terkuras. Dalam jangka waktu lama lahan tidak mampu
lagi berproduksi secara lestari dan berkelanjutan.
Dalam tulisan ini akan dicoba dibahas upaya mempertahankan
pertanian berkelanjutan dengan masukan rendah. Pembahasan
dibatasi pada kemampuan tanah menyediakan hara (kesuburan
tanah) dalam jangka waktu lama dikaitkan dengan pemanfaatan
mikroorganisme (mikrobiologi tanah), sesuai dengan bidang ilmu
yang penulis tekuni. Pembahasan diawali dengan mengkaji kaitan
antara perkembangan produksi pangan terutama beras dengan
penggunaan pupuk. Selanjutnya diakhiri dengan penyajian
alternatif teknologi yang dapat diterapkan dalam mempertahankan
produksi berkelanjutan.
Sebelum pembahasan lebih lanjut, ada baiknya kita
definisikan secara terbatas istilah pertanian berkelanjutan dan
istilah masukan rendah, untuk menyamakan persepsi. Pertanian
berkelanjutan adalah pertanian yang mampu memanfaatkan
sumberdaya lahan agar dapat berproduksi secara lestari untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa merusak lingkungan.
Technical Advisory Committee of the Consultative Group on
International Agricultural Research (Reijntjes, et al, 1992)
menyatakan bahwa: Sustainable agriculture is the successful
management of resources for agriculture to satisfy changing
human needs while maintaining or enhancing the quality of the
environment and conserving natural resources. Dalam hal ini telah
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
57
Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture)
tercakup beberapa pengertian (aspek), di antaranya aspek ekologi,
ekonomi, sosial kemanusiaan, dan terapan.
Pengertian masukan (input) rendah di sini adalah sarana
produksi dalam takaran yang jauh lebih dari takaran rekomendasi
dan membutuhkan biaya yang juga jauh lebih rendah. Peninjauan
masukan di sini dititikberatkan pada masukan berupa bahan kimia
yang umum digunakan khususnya berupa pupuk.
Perkembangan Produksi Tanaman Pangan
Dengan penggunaan pupuk dan sarana produksi lain, serta
perbaikan teknologi bercocok tanam maka sejak awal Pelita I terjadi
peningkatan produksi dan produktivitas pangan. Khususnya beras,
peningkatan produksi sejalan dengan peningkatan penggunaan
pupuk. Produksi beras meningkat tajam, pada tahun 1968
sebanyak 11,62 juta ton, pada tahun 1990 telah mencapai 30,66
juta ton. Pada tahun 1992, produksi telah mencapai 42,33 juta ton
dengan rata-rata produksi 4,6 ton/ha (BPS, 1992).
Produksi tanaman palawija juga menunjukkan peningkatan,
tetapi peningkatannya lebih berfluktuasi dibandingkan dengan
beras. Produktivitas yang dicapai masih di bawah potensi
produksinya. Pada tahun 1992, produksi jagung, kedelai, ubi
kayu, kacang tanah, ubi jalar berturut-turut mencapai 6,26, 1,56,
15,95, 0,65 dan 2,04 juta ton dengan rata-rata produksi (ton/ha),
berturut-turut 2,2, 1,1, 12,1, 1,0, dan 9,0.
Apabila kita amati perkembangan produktivitas beras secara
nasional, maka tampak adanya gejala levelling off (pelandaian)
produksi rata-rata per hektar artinya produktivitas yang sangat
kecil dibandingkan tahun sebelumnya.
Gejala levelling off pertama terjadi pada tahun 1974, yaitu
produktivitas hanya meningkat 2,2%, lebih kecil dari rata-rata
persentase peningkatan penduduk. Hal ini diduga sebagai akibat
dari hanya digunakan pupuk N dan P. Setelah digunakan tambahan
pupuk K (KCl) tahun-tahun berikutnya maka produktivitas mulai
meningkat lagi. Selanjutnya, mulai ditambahkan pupuk S dalam
bentuk ZA untuk daerah-daerah tertentu. Di sini mulai muncul
istilah pemupukan berimbang, yaitu pemberian pupuk atau hara
yang sesuai dengan kebutuhan tanaman baik jumlah maupun
jenisnya yang didasarkan atas status tanah dan kemampuan
58
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
tanah menyediakan hara serta pengelolaan yang tepat sehingga
memungkinkan tanaman menyerap hara secara optimal.
Dengan penerapan pemupukan dan teknologi pertanian
lainnya, maka pada tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada
beras dengan total produksi 25,825 juta ton, 7,83% lebih tinggi
baru tahun sebelumnya. Setahun setelah tercapai swasembada
beras, yaitu tahun 1985 muncul kekhawatiran lagi karena tampak
gejala levelling off kedua. Peningkatan produktivitas hanya 1,9%.
Setelah diadakan penelitian, ternyata di beberapa daerah levelling
off disebabkan adanya defisiensi (kahat) unsur mikro, khususnya
Zn.
Gejala levelling off ini juga tampak dari rata-rata hasil padi
per hektar di Bali. Tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977 produksi
padi rata-rata berturut-turut 3,449, 3,345, 3,405, dan 3,512 ton/
ha. Baru setelah tahun 1980-an rata-rata produksi meningkat lagi.
Tahun 1982 produksi padi rata-rata 5,046 ton/ha. Tahun 1983,
1984, 1985 dan 1986 rata-rata produksi berturut-turut 4,386,
4,503, 4,569 dan 4,852 ton/ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Pangan Propinsi Bali, 1987). Pupuk KCl mulai digunakan pada
sistem intensifikasi di Bali tahun 1982 dan ZA sebagai sumber
unsur S mulai tahun 1987.
Setelah munculnya gejalan levelling off tahun 1980-an,
dilakukan penelitian unsur mikro khususnya seng (Zn) di lahan
persawahan di Bali. Dari 216 contoh tanah sawah yang dianalisis
dan dilanjutkan dengan percobaan lapangan, dapat disimpulkan
ternyata 34,5% (32.845 ha) tanah sawah di Bali kahat seng
(Subadiyasa, 1988). Batas kritis kadar Zn tanah pada tanah
Latosol Coklat Kekuningan adalah 7,9 ppm. Pemupukan pada
tanah sawah dengan kadar Zn 5,2 ppm Zn dengan dosis 10 kg Zn/
ha, dapat meningkatkan produksi padi sebesar 6 % (Subadiyasa
dan Adnyana, 1986).
Tahun 1991 mulai digunakan pupuk Zn di Bali secara
meluas dalam bentuk TSP Plus yaitu TSP yang mengandung 1%
Zn. Produksi padi rata-rata tahun 1990 meningkat lagi, yaitu
5,123 ton/ha. Produksi rata-rata tahun 1991, 1992, 1993, 1994
dan 1995 berturut-turut 5,549, 5,238, 5,321, 5,245, dan 5,252
ton/ha. Di samping penggunaan pupuk tersebut, juga digunakan
pupuk pelengkap cair dan zat pengatur tumbuh (PPC/ZPT). PPC/
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
59
Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture)
ZPT yang banyak digunakan adalah Hydrasil dan Dharmasri (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Bali, 1995).
Apa yang dapat ditarik kesimpulan dari hal di atas adalah
(1) kita telah berpacu dengan penggunaan input pupuk anorganik
(bahan kimia) yang semakin tinggi untuk mengejar target produksi,
(2) dengan menguras kemampuan tanah untuk berproduksi, maka
setiap ditambahkan input satu jenis pupuk dengan dosis yang
tinggi, maka muncul gejala kekurangan unsur yang lain. Prinsip
Liebig yang terkenal dengan Hukum Minimumnya sebenarnya
telah mengingatkan kita bahwa produktivitas tanaman ditentukan
oleh faktor (unsur hara) yang paling minimum yang ada dalam
tanah. Ini berarti dengan memacu menambahkan satu jenis hara,
maka dengan tingkat produksi yang cukup tinggi akan terkuras
juga hara lainnya dan unsur hara inilah yang akhirnya sebagai
faktor pembatas baru.
Penggunaan input yang semakin tinggi ini tercermin pula
dari paket-paket teknologi yang diterapkan dalam Insus, sebagai
berikut. Paket A: Rekomendasi panca usaha partial untuk lahan
marginal (lahan kering/gogo). Paket B: Rekomendasi panca usaha
lengkap yang telah melaksanakan pemupukan lengkap (urea, TSP,
KCl) dan penggunaan benih bersertifikat. Paket C: Rekomendasi
panca usaha lengkap dengan pemupukan berimbang (urea, TSP,
KCl, Za, Zn) dan benih bermutu (bersertifikat) serta penertiban
pola tanam untuk mencapai Indeks Panen (IP)>200%. Paket D:
Rekomendasi Paket C ditambah dengan pengolahan tanah secara
sempurna dan penggunaan pupuk pelengkap cair (PPC) atau zat
pengatur tumbuh (ZPT).
Dosis anjuran untuk tanaman padi adalah urea 200-250 kg/
ha, TSP 75-100 kg/ha, KCl 50-75 kg/ha, TSP-Plus 100-150 kg/ha.
Dikhawatirkan penambahan dosis serta macam pupuk yang terus
meningkat menjadi tidak ekonomis lagi bagi petani apalagi setelah
dihapuskannya subsidi pupuk. Hal ini menyebabkan petani enggan
berproduksi karena keuntungan atau pendapatan yang diperoleh
relatif kecil. Apakah jalan keluar yang dapat dilakukan?
Sebelum kita sampai kepada jalan keluar yang dapat
dianjurkan kepada petani, baiklah kita simak hubungan antara
sifat tanah, ketersediaan hara dan serapan hara oleh tanaman.
Dengan sistem pertanaman yang sangat intensif kemungkinan
60
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
akan berakibat sebagai berikut.
1. Keseimbangan unsur hara dalam tanah terganggu sehingga
tidak memberikan ketersediaan yang optimal bagi tanaman.
Unsur hara dalam konsentrasi tinggi yang kita tambahkan
dapat mengikat unsur lain menjadi senyawa yang tidak larut.
Sebagai contoh, fosfat dalam bentuk TSP dapat membentuk
senyawa Zn3(PO4)2 yang tidak larut sehingga Zn menjadi
tidak tersedia.
2. Munculnya polusi karena bahan kimia yang berupa pupuk
dan pestisida yang berlebihan, sebagian akan menguap ke
atmosfer berupa gas atau hanyut terlarut bersama air irigasi
atau air tanah.
3. Kadar bahan organik cenderung semakin rendah karena
banyak bahan organik (sisa tanaman) dibakar untuk
mempercepat pengolahan tanah. Contoh yang sangat jelas
adalah kebiasaan pembakaran jerami padi untuk mengejar
kesempatan mengolah tanah agar bisa tiga kali tanam
setahun.
4. Terganggunya perkembangan jasad hidup tanah akibat
perubahan sifat kimia tanah (pH tanah, potensial
redoks, senyawa beracun dan sebagainya), terganggunya
keseimbangan hara, maupun akibat rendahnya kadar bahan
organik tanah.
Mengenai adanya polusi, hal ini ditandai dengan
meningkatnya kadar nitrit air di beberapa waduk. De Datta (1981)
menyatakan bahwa kehilangan pupuk N dari jumlah pupuk yang
ditambahkan sekitar 20-40% di India, 30-50% di Jepang, 68%
di Lousiana (AS) dan 25% di Filipina. Di Indonesia, pemupukan
urea dengan cara disebar seperti yang dilakukan petani, dapat
menyebabkan 70% urea hilang melalui proses volatilisasi NH3
(Wetselaar et al., 1984 dalam Adiningsih, 1994).
Polusi ke udara dalam bentuk gas yang berpengaruh
terhadap peristiwa efek rumah kaca (global warming) dapat pula
berupa gas N2O, CH4, CO2, SO2 dan sebagainya. Pemupukan dengan
urea (250 kg/ha), TSP (100 kg/ha) dan KCl (50 kg/ha) pada tanah
sawah Alfisol di Tabanan yang ditanami padi varietas Krueng Aceh
ternyata dapat meningkatkan emisi gas metana (CH4) dari tanah
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
61
Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture)
sawah dari 4,82 g CH4-C m-2 menjadi 5,80 g CH4-C m-2 (Subadiyasa,
et al., 1995).
Mengenai terganggunya keseimbangan hara tanah, suatu
contoh spesifik adalah pemupukan TSP. Unsur P tidak mobil dalam
tanah, sehingga kelebihan P yang tidak terserap oleh tanaman
akan tetap berada dalam tanah sebagai residu dan terikat dalam
bentuk Fe-P atau Ca-P atau terikat oleh bahan organik. Senyawa
P ini merupakan cadangan unsur P tanah. Walaupun demikian,
karena sulit tersedia kembali, maka sering tanah tetap respon
terhadap pemupukan P.
Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah Bogor,
sejak tahun 1986, menunjukkan bahwa pemupukan P terusmenerus lebih dari 20 tahun telah menyebabkan akumulasi P
pada tanah sawah intensifikasi. Dari sekitar 3,65 juta lahan sawah
di Jawa, terdapat sekitar 1,45 juta ha (39,7%) berstatus P tanah
tinggi, 1,66 juta ha (45,5%) berstatus P sedang dan 0,54 juta ha
(14,8%) berstatus P tanah rendah (Moersidi dkk, 1989). Dari hasil
analisis 216 contoh tanah sawah di Bali pada tahun 1984 ternyata
hanya 5,09% yang menunjukkan kadar P tanah rendah sampai
sedang, sisanya kadarnya tinggi sampai sangat tinggi (Subadiyasa,
1988). Namun demikian, tanah ini terhayata menunjukkan respon
terhadap pemupukan P.
Kadar bahan organik tanah yang rendah sebagai akibat
intensifikasi, disebabkan oleh pengolahan tanah yang intensif
sehingga oksidasi bahan organik berlangsung cepat, kebiasaan
membakar sisa tanaman untuk mempercepat pengolahan tanah
mengejar intensitas tanam tinggi, hilangnya kebiasaan penambahan
bahan organik seperti pengembalian sisa tanaman, penambahan
abu dapur, pupuk kandang, pupuk hijau dan sebagainya.
Dari hasil analisis 216 contoh tanah sawah di Bali ternyata
sebagian besar (60,2%) kadar bahan organiknya (BO) rendah
(kadar BO 2,0 – 3,5%, 29,6% kadar bahan organiknya sangat
rendah (kadar BO<2%) dan sisanya 8,8% dan 1,4% berturut-turut
kadar bahan organik sedang (BO 3,6-5%) dan tinggi (BO 5,1-8,5%).
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kebiasaan membakar jerami
pada saat panen, tidak mengembalikan sisa panen ke dalam tanah,
dan kurangnya penambahan pupuk hijau (Subadiyasa, 1988).
Bahan organik sangat penting perannya dalam memperbaiki
62
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
sifat tanah baik sifat fisik, kimia maupun biologi. Dari segi biologi
tanah, bahan organik adalah substrat bagi perkembangan jasad
hidup tanah karena bahan organik dapat berperan sebagai sumber
hara dan energi, secara hipotesis kemungkinan perkembangan
jasad hidup tanah termasuk yang berperan dalam membantu
proses pelapukan mineral dan dekomposisi bahan organik sangat
terbatas. Ini berarti, terjadi kemunduran kesehatan tanah atau
dapat dikatakan tanah menjadi sakit dan hilangnya kemampuan
tanah menyediakan unsur hara secara alami dengan bantuan jasad
hidup tanah.
Suatu analogi dapat kita simak dari kasus pengendalian
hama wereng dan penyakit tungro pada padi. Sejak Pelita I
dilakukan pencegahan dan pengendalian yang intensif dengan
menggunakan pestisida. Jenis dan dosis pestisida yang digunakan
semakin tinggi. Ternyata semakin tinggi dosis pestisida yanag
digunakan, hama semakin tahan dan eksplosi hama dan penyakit
semakin sering terjadi karena banyak jasad hidup yang bermanfaat
(musuh-musuh alami) mati keracunan. Hasilnya semakin tidak
ekonomis. Akhirnya diterapkan sistem PHT (Pengendalian Hama
Terpadu) yang pada prinsipnya seminimal mungkin penggunaan
pestisida tetapi menggunakan dan mengembangkan jasad
musuh-musuh alaminya. Ternyata hasilnya sangat memuaskan,
populasi hama dapat ditekan. Sampai akhirnya sistem PHT ini
disebarluaskan penerapannya melalui INPRES No. 3 Tahun 1986
tentang peningkatan pengendalian hama wereng coklat pada
tanaman padi.
Untuk dapat tercapai pertanian berkelanjutan dari segi
kesuburan tanah, maka sebaiknya diupayakan pengurangan
penggunaan pupuk buatan diikuti dengan pemanfaatan dan
pengembangan jasad hidup yang berperan dalam membantu
pelapukan mineral tanah (low input) dan penyubur tanah. Peran
pupuk buatan secara berangsur-angsur dikurangi kemudian diganti
oleh peran jasad hidup. Penggunaan jasad hidup kemungkinan
akan lebih murah karena jasad hidup tersebut pada dasarnya
sudah ada dalam tanah, hanya perlu didorong perkembangannya
dengan menambahkan media dan memberikan lingkungan yang
lebih baik. Berbeda halnya dengan pupuk buatan, yang untuk
memproduksi diperlukan biaya lebih tinggi karena dalam proses
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
63
Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture)
pembuatannya diperlukan energi bahan bakar, disamping itu
sebagian bahan baku pupuk P dan K harus diimpor dari luar.
Sedangkan jasad mikro dalam pengembangnnya tidak diperlukan
energi bahan bakar, tetapi cukup media bahan organik dan media
lainnya.
Pupuk Hayati (Biofertilizer)
Dengan keterbatasan energi dalam proses pembuatan
pupuk anorganik, terbatasnya bahan baku, serta mengurangi
dampak lingkungan akibat penggunaan bahan kimia, maka
beberapa negara yang maju telah berpaling kepada penggunaan
jasad hidup tanah yang membantu pelapukan mineral tanah
atau membantu menyuburkan tanah. Secara drastis mengurangi
penggunaan bahan kimia dan meningkatkan penggunaan bahanbahan alami. Pertanian yang kembali ke sifat alami (back to
nature) ini sering disebut organic farming. Pertanian seperti ini
bertendensi penggunaan input yang rendah (low input) dan akrab
lingkungan karena polusi dapat dicegah. Sistem pemupukan
dengan menyeimbangkan penggunaan pupuk buatan dan pupuk
organik di Indonesia sering pula disebut pengelolaan hara terpadu
(Integrated Nutrient Management).
Jasad hidup yang digunakan dapat berupa jasad hidup tanah
yang dapat mengikat nitrogen atmosfer sehingga memperkaya N
tanah seperti misalnya Rhizobium Sp., Blue Green Algae (BGA), dan
Azola; jasad hidup yang mampu meningkatkan serapan P tanah
seperti Mikoriza (suatu jenis fungi tertentu), atau bakteri pelarut
fosfat seperti Bacillus Sp, Bacillus pulvifaciens, B. megaterium, B.
Subtillis dan sebagainya. Jasad hidup yang berperan membantu
menyuburkan tanah ini disebut pupuk hayati (biofertilizer).
Dengan terbatasnya sumberdaya energi terutama bahan bakar
minyak, maka penggunaan pupuk hayati akan mempunyai arti
penting bagi pertanian masa depan.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa penambahan
bahan organik dan pupuk hayati dapat meningkatkan produksi
tanaman. Sebagai contoh, pemberian Azolla microphylla dapat
menggantikan pemberian pupuk urea (150 kg/ha) dalam
menghasilkan 4,3 ton gabah/ha. Bahkan, A. microphylla mempunyai
kelebihan dapat meningkatkan KTK tanah dari 13,3 menjadi 27,2
64
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
me/100 g dan meningkatkan kadar C-organik tanah dari 2,8%
menjadi 5,6% (Adiningsih, 1994).
Singh dan Dixit (1995) menyatakan bahwa walaupun
biofertilizer tidak dapat menggantikan kebutuhan total pupuk
tanaman, tetapi sekurang-kurangnya 30% kebutuhan nitrogen
tanaman dapat dilengkapi dari biofertilizer.
Berdasarkan percobaan pot yang dilakukan pada tanah
Latosol, Bajera, Tabanan, pemberian inokulasi Rhizobium dapat
meningkatkan hasil kacang tanah sampai 30,53% bila dibandingkan
dengan tanpa inokulasi. Interaksi Inokulasi Rhizobium dengan
pupuk Mo berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil akar dan
berat kering polong (Subadiyasa dkk, 1990).
Beberapa peneliti dari Universitas telah mencoba membuat
produk pupuk hayati untuk dapat membantu petani meningkatkan
produksi dengan mengurangi penggunaan pupuk buatan. Sebagai
contoh, Universitas Gadjah Mada telah mengeluarkan inokulan
Rhizobium untuk tanaman kedelai dan kacang-kacangan lainnya
yang diberi nama Legin. Harganya yang tidak terlalu mahal dan
terjangkau oleh petani. Legin juga telah terbukti dapat digunakan
untuk mensubstitusi kebutuhan pupuk N tanaman. IPB sedang
merintis produk Mikoriza untuk membantu meningkatkan serapan
P tanaman.
Effective Microorganism (EM)
Prof. Teruo Higa dari Universitas Ryukyus, Jepang (Higa dan
Parr, 1994) telah mengembangkan pemanfaatan microorganisme
efektif (effective microorganism) dalam tanah untuk membantu
meningkatkan kesuburan tanah dan mengganti penggunaan pupuk
buatan. Produksinya disebut EM4.
Konsep dari EM adalah penggunaan kultur campuran
dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan
tanaman, yang diaplikasikan sebagai inokulan untuk meningkatkan
keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah dan
tanaman, yang selanjutnya dapat meningkatkan kesehatan,
pertumbuhan, kuantitas dan kualitas produksi tanaman (Wididana
dkk, 1996).
EM ini merupakan campuran mikroorganisme yang umum
terdapat dalam lingkungan alami, bersifat anaerobic zymogenic
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
65
Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture)
miroorganism, yang sebagian besar dari genus Lactobacillus (bakteri
asam laktat), serta dalam jumlah sedikit bakteri fotosintetik,
Actinomycetes, Streptomyces Sp. dan ragi. Berdasarkan keterangan
yang diperoleh, cara kerja EM ini dapat: (a) menekan pertumbuhan
patogen tanah, (b) mempercepat dekomposisi limbah dan sampah
organik, (c) meningkatkan ketersediaan nutrisi, (d) meningkatkan
aktivitas mikroorganisme indigenus yang menguntungkan seperti
Mikorhiza, Rhizobium, bakteri pelarut fosfat dan lain-lain, (e)
memfiksasi nitrogen, dan (f) mengurangi kebutuhan pupuk dan
pestisida kimia.
Cara penggunaannya, sebelumnya dibuat Bokashi, yaitu
kompos yang dibuat dengan teknologi EM. Bokashi dapat dibuat
dari bahan organik jerami padi, pupuk kandang dan bahan organik
lainnya. Bahan ini dicampur dengan dedak, sekam, gula pasir,
dan air dalam perbandingan dan jumlah tertentu. Selanjutnya
disemprot dengan larutan EM, kemudian disimpan 4 hari. Bokashi
yang telah terfermentasi ini kemudian digunakan sebagai pupuk
organik bagi tanaman.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa penggunaan
EM4 dapat meningkatkan serapan hara dan produksi beberapa
jenis tanaman baik tanaman padi sawah maupun tanaman lahan
kering. Sebagai contoh, dari hasil percobaan yang dilakukan oleh
Universitas Nasional Jakarta tahun 1990 mendapatkan bahwa EM
dapat meningkatkan produksi mentimun, kedelai, kacang tanah
(Wididana dan Higa, 1993), mempercepat perombakan limbah
organik (Wibisono dan Basri, 1993), meningkatkan produksi
tomat (Wididana dkk, 1993).
Suatu hasil penelitian di Pakistan selama 4 tahun
(1990-1993) dengan membandingkan penggunaan EM yang
dikombinasikan dengan pupuk NPK (N-P2O5-K2O 120-90-60 kg/
ha), pupuk hijau Sesbania aculeata (20 ton/ha), pupuk kandang
(20 ton/ha), didapatkan peningkatan hasil padi seperti pada Tabel
1 (Ahmad et al., 1993). Dari tabel tersebut sangat jelas bahwa
penggunaan EM pada berbagai kombinasi bahan organik dapat
meningkatkan hasil padi antara 6-15%.
Teknologi EM masuk ke Indonesia sejak tahun 1980 dan
mulai diteliti pemanfaannya sejak tahun 1989. Pertama-tama,
dicoba pada tanaman jeruk dan anggrek di Sukabumi. Dengan
66
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
menggunakan EM hasil buah jeruk meningkat dari 150 menjadi
400 kg per 700 pohon. Pada percobaan yang lain, hasil tomat
dan kedelai meningkat berturut-turut sampai 133% dan 114%
(Zaenudin, 1993).
Penggunaan EM4 juga telah menyebar kepada petani di
Bali. Berdasarkan demplot penggunaan EM4 yang dilakukan
pada tanaman padi sawah, jeruk, salak, kedelai dan sebagainya
ternyata memberikan peningkatan hasil dan perbaikan sifat
tanah yang menggembirakan. Peningkatan hasil umumnya terjadi
pada tanam kedua sekitar 10-15% (Agus Urson, komunikasi
pribadi, 1996). Pada tanaman anggur di Seririt penggunaan EM4
dapat mengakibatkan produksi anggur sampai 15-20 ton/ha
dengan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 7.557.920,00/ha
(Wididana, 1994). Harga EM4 Rp 10.000,00 per liter, dengan dosis
pemakaian dicampurkan dengan air 1-5 : 1000 dan digunakan 8
liter per hektar.
Tabel 1. Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan EM terhadap
Hasil Padi (ton/ha) (Hasil Rata-rata 4 tahun)
Perlakuan
Hasil
dengan EM
Hasil tanpa EM
Rata-rata
Kontrol
Pupuk NPK
Pupuk hijau
Pupuk kandang
Rata-rata
2,06 f
4,29 b
3,47 cd
3,26 d
3,27 B
2,37 e
4,58 a
3,76 c
3,51 cd
3,56 A
2,22 D
4,44 A
3,62 B
3,38 C
-
% kenaikan
dengan EM
15,05
6,75
8,35
7,67
9,45
Apa yang dapat kita simak dari hal tersebut di atas, adalah
bahwa dengan penggunaan masukan tinggi berupa pupuk dan
pestisida menyebabkan jasad hidup tanah yang berperan dalam
membantu penyediaan hara bagi tanaman sangat terbatas
perkembangnnya sebagai akibat terganggunya keseimbangan
hara dan lingkungan hidupnya. Di samping itu, juga diakibatkan
oleh adanya kecenderungan rendahnya kadar bahan organik
tanah. Ini terbukti dengan penggunaan atau pemanfaatan jasad
hidup tertentu (kultur campuran) dapat meningkatkan produksi
tanaman.
Pemberian pupuk buatan hanya dapat menyediakan hara
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
67
Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture)
dalam waktu singkat sedangkan pemberian bahan organik dan
jasad hidup (effective microorganism) dapat memungkinkan
ketersediaan hara dalam jangka waktu lama, walaupun jumlah
yang dapat disediakan lebih sedikit. Ini kemungkinan disebabkan
karena jasad hidup ini mempercepat dekomposisi bahan organik,
dihasilkan asam-asam organik yang mampu bereaksi melarutkan
mineral-mineral tanah.
Inti dari permasalahan tersebut adalah bagaimana kita
dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah untuk dapat
mengurangi penggunaan pupuk buatan dan menggantikan dengan
jasad hidup yang mampu melapukkan mineral dan bahan organik
yang ada dalam tanah sehingga membantu penyediaan hara.
Hambatan terletak pada kebutuhan bahan organik yang cukup
banyak dan masalah harga produk.
Di negara-negara yang maju yang sangat sadar terhadap
dampak negatif penggunaan bahan kimia, telah menghargai
produk organic farming dengan harga yang lebih tinggi. Jadi
hasil pertanian yang dalam prosesnya tanpa menggunakan bahan
kimia buatan umumnya harganya lebih tinggi. Di negara kita hal
ini mungkin masih sulit diterapkan.
Satu-satunya jalan untuk meningkatkan penggunaan bahan
organik oleh petani adalah menyadarkan kembali bahwa kebiasaan
petani zaman dahulu seperti penggunaan abu dapur, pupuk
kandang, rotasi tanaman dengan pupuk hijau sangat bermanfaat
dalam mempertahankan kesuburan tanah dalam jangka waktu
lama. Selanjutnya, barulah diperlukan penambahan jasad hidup
dari luar.
Masalahnya sekarang adalah dari mana petani mendapatkan
bahan organik yang cukup banyak? Peluang yang cukup besar
untuk mendapatkan bahan organik adalah memanfaatkan limbah
organik dari sampah kota. Produksi sampah kota Denpasar
setiap hari rata-rata 1.402,13 m3, yang terdiri atas sampah
rumah tangga 1.133,56 m3 (80,85%), sampah jalanan/tempat
rekreasi 107,68 m3 (7,68%), sampah pusat perbelanjaan 125,62
m3 (8,96%) dan sampah industri, hotel dan restoran 35,26 m3
(2,51%) (Pemda Kodya Denpasar, 1994). Sampah ini dapat diolah
oleh Pemda (biaya APBD) menjadi kompos dengan bantuan EM4.
Selanjutnya, kompos dibagikan cuma-cuma kepada petani sebagai
68
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
subsidi, sebagai imbal jasa petani dalam perannya mewujudkan
swasembada beras. Penggunaan kompos ini akan mengurangi
penggunaan pupuk buatan. Dalam jangka waktu tertentu, setelah
dirasakan manfaat ekonominya, mungkin dapat dikenakan biaya
kepada petani.
Simpulan
Sebagai simpulan dari apa yang telah kami uraikan di atas,
dapat kami sampaikan sebagai berikut.
1. Peningkatan produksi pertanian memacu penggunaan pupuk
dengan dosis semakin tinggi ternyata menjadi tidak efisien
dan ekonomis karena membutuhkan biaya yang tinggi dan
memungkinkan peluang munculnya kekurangan unsur lain
sebagai pembatas.
2. Untuk menghasilkan produksi yang berkelanjutan dalam
jangka waktu yang lama perlu diupayakan penggunaan
input yang lebih rendah (low input) dengan mengurangi
penggunaan pupuk buatan dan meningkatkan penggunaan
bahan organik.
3. Penambahan bahan organik dapat diupayakan dengan
membiasakan petani membenamkan sisa-sisa tanaman
(jerami), menambah pupuk kandang, abu dapur dan rotasi
tanaman atau menanami pupuk hijau dalam keadaan tanah
bera.
4. Untuk dapat menyediakan hara secara berkelanjutan maka
perlu ditambahkan atau diinokulasi dengan jasad hidup tanah
atau effective microorganism dan salah satu diantaranya dapat
digunakan EM4.
5. Sumber bahan organik yang sangat potensial adalah sampah
organik kota yang diolah menjadi kompos dan dibagikan
secara cuma-cuma kepada petani sebagai subsidi pupuk
menggantikan subsidi pupuk buatan yang telah dihapuskan
pemerintah.
6. Dengan pemberian bahan organik dan penggunaan EM
(input rendah) diharapkan lahan dapat berproduksi secara
berkelanjutan.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
69
Pertanian Berkelanjutan dengan Masukan Rendah (Low Input Sustainable Agriculture)
Daftar Pustaka
Adiningsih, Sri J. 1994. Pengelolaan pupuk pada sistem usahatani
lahan sawah. Makalah yang disajikan pada Training Workshop
Penerapan Uji Tanah untuk Meningkatkan Hasil Pertanian
dan Memelihara Lingkungan. FADINAP-FAO, Bangkok.
Ahmad, R., Tahir Hussain, G. Jilani, S.A., Shahid, S., Naheed Akhtar
and M.A. Abbas. 1993. Use of Effective Microorganisms for
Sustainable Crop Production in Pakistan. Proceeding Second
Conference on Effective Microorganisms, Bangkok.
BPS. 1972. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta.
De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production.
John Wiley and Sons, New York.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 1987. Laporan Tahunan.
Denpasar.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 1995. Laporan Tahunan.
Denpasar.
Erwidodo. 1994. Analisa aspek keuntungan penggunaan pupuk
di sektor pertanian. Makalah disampaikan pada Pelatihan Uji
Tanah, Bogor.
Higa, T and James F. Parr. 1994. Beneficial and Effective
Microorganism for a Sustainable Agriculture and Environment.
International Nature Farming Research Center, Japan.
Moersidi, S., Djoko Santoso, M. Sorpartini, M. Al-Djabri, J. Sri
Adiningsih dan M. Sudjadi. 1989. Peta keperluan fosfat tanah
sawah di Jawa dan Madura 1988.Pemberitaan Penelitian
Tanah dan Pupuk No. 8, 1989. Puslittanak, Bogor.
Pemda Kodya Denpasar. 1994. Rencana Tata Ruang Wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar 1994-2004,
Denpasar.
Reijntjes, C., B. Haverkort and Ann Waters-Bayer. 1992. Farming
for the Future. Mcmillan, Netherlands.
Subadiyasa, N. N. 1986. Evaluasi Status Zn Tanah Sawah di Bali
untuk RekomendasiPemupukan Tanaman Padi. Jurusan
Tanah Fakultas Pertanian Unud, Denpasar.
Subadiyasa, N.N. 1988. Evaluasi Ketersediaan dan Pengaruh
Pemberian Seng terhadapProduksi Padi dan Kacang Tanah
pada Tanah Sawah di Bali. Disertasi. Fakultas Pascasarjana
70
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Netera Subadiyasa • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
IPB, Bogor.
Subadiyasa, N. N., N. Arya and M. Kimura. 1995. Methane Emission
from Paddy Field In Bali Island, Indonesia. In H. Haraguchi
and J. Boojawat (ed). Kinetic Behaviors of Greenhouse
Gases in Terrestial Ecosystem of Asian Region. Report of a
New Program for Promotion of Basic Sciences Studies of
GlobalEnviromental Change With Special Reference to Asia
and Pacific Regions, Japan.
Subadiyasa, N.N., W. Dana Atmaja, K. Dharma Susila dan N.L. Kartini.
1990. Pengaruh Inokulasi Rhizobium dan Dosis Pupuk Mo
terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah (Arachis
hypogea L.) pada Tanah Latosol Bajera Tabanan. Laporan
Penelitian Unud, Denpasar.
Subadiyasa, N.N. dan M. Adnyana. 1986. Penggunaaan Pupuk
Mikro untuk Meningkatkan Produksi Padi di Bali. Laporan
Penelitian, Unud, Denpasar.
Wibisono, A dan M. Basri. 1993. Pemanfaatan Limbah Organik
untuk Pupuk. BuletinKyusei Nature Farming. Vol. 02/IKNFS/
Th I.
Wididana, G.N. 1994. Penerapan Teknologi EM-4 pada Tanaman
Anggur. Studi Kasus di Daerah Buleleng-Bali. Majalah
Tumbuh. Edisi No. 41 Th. IV.
Wididana, G. N., S.K. Riyatmo dan T. Higa. 1996. Tanya Jawab
Teknologi Effective Microorganisms. Koperasi Karyawan
Departemen Kehutanan, Jakarta.
Wididana, G.N. and T. Higa. 1993. Effect of Effective Microorganisms
4 (EM4) on the Growth and Production of Crops. Buletin
Kyusei Nature Farming. Vol. 02/IKNFS/Th. I
Zaenudin, S. 1993. Effective Microorganisms (EM4) Technology
in Indonesia.Proceeding Second Conference on Effective
Microorganism (EM), Bangkok.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
71
PERANAN TEKNOLOGI PASCAPANEN DALAM
MEMPERTAHANKAN MUTU DAN MEMPERPANJANG
UMUR SIMPAN BUAH SALAK SEGAR
Ketut Suter
Pendahuluan
Pada Pelita IV pembangunan sektor di bidang ekonomi
mempunyai keterkaitan dengan bidang industri dan pertanian
serta bidang pembangunan lainnya. Pertanian dalam arti luas
perlu terus dikembangkan agar makin maju dan efisien dan
diarahkan untuk meningkatkan jumlah dan mutu produksi serta
keanekaragaman hasil pertanian, melalui usaha diversifikasi,
intensifikasi, ekstensifikasi, dan rehabilitasi pertanian dengan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi, serta kebutuhan bahan baku industri.
Buah salak yang dihasilkan dari tanaman salak (Salacca
edulis Reinw.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang
mempunyai prospek pemasaran yang cerah, baik pasar dalam
negeri maupun pasar luar negeri. Sekalipun secara khusus belum
ada catatan pasti mengenai jumlah buah salak yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan zat gizi (vitamin dan mineral) di
dalam negeri, tetapi untuk Indonesia konsumsi buah-buahan
pada tahun 1993 baru mencapai 35 kg/kapita/tahun lebih rendah
daripada yang direkomendasikan oleh FAO, yaitu 60 kg/kapita/
tahun. Sementara itu, produksi buah nasional baru mencapai
27,6 kg/kapita/tahun (Supratomo, 1997), dengan demikian
masih kekurangan persediaan buah-buahan. Kekurangan ini
perlu dipenuhi melalui peningkatan produksi buah-buahan dalam
negeri.
Pada Pelita VI pemerintah RI memprioritaskan
pengembangan buah-buahan secara nasional sesuai dengan
permintaan pasar baik pasar dalam negeri maupun pasar luar
72
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
negeri (untuk ekspor), yaitu mangga, jeruk, rambutan, durian dan
pisang serta buah-buahan spesifik daerah seperti salak, manggis,
leci, lengkeng, duku dan markisa (Winarno, 1994). Untuk daerah
Bali, prioritas pengembangan buah-buahan salah satunya adalah
salak.
Upaya peningkatan produksi tanaman salak, khususnya di
Bali telah dan sedang dilaksanakan melalui pengembangan sentrasentra produksi salak, pemuliaan tanaman untuk memperoleh
bibit salak unggul (Oka, 1993), perbanyakan dengan pencangkokan
dan kultur jaringan di samping melalui biji (Wijana; 1994; 1996;
1997). Upaya peningkatan produksi ini semestinya diikuti dengan
perbaikan penanganan pascapanennya sehingga jumlah produksi
yang dicapai serta mutunya dapat dipertahankan. Dengan
demikian, diharapkan petani salak dapat menerima harga yang
lebih tinggi.
Produksi buah salak di Bali adalah 32,960 ton pada tahun
1995 dan meningkat dari produksi tahun 1991 sebesar 22,074 ton
(Anon., 1995b), sedangkan di tingkat nasional pada tahun 1995
adalah sebesar 662,546 ton (Anon., 1995a). Jumlah produksi ini
tidak semuanya dapat dimanfaatkan/dipasarkan karena buah
salak memiliki sifat mudah rusak dan kerusakan akan lebih cepat
akibat penanganan pascapanennya yang kurang baik. Buah salak
Bali tahan dalam keadaan segar 5-10 hari (Suter, 1988a).
Kerusakan pascapanen buah-buahan bisa mencapai 2040% (Winarno dan Laksmi, 1974) dan khususnya buah salak yang
dikirim oleh pedagang dari Bali ke Jakarta kerusakannya mencapai
50-60% (Sudibyo, 1974). Buah salak bisa susut bobot lebih dari
20% setelah disimpan 6 hari pada suhu kamar 290C (Suter, 1988a).
Hal ini jelas menyebabkan kerugian baik petani maupun pedagang
penyalur.
Tahap-tahap penanganan pascapanen yang belum memadai,
antara lain masih bervariasi umur petik buah salak dan belum
dilakukan sortasi buah menurut varietas salak, sehingga mutu
buah salak sangat beragam. Penumpukan buah salak yang terlalu
banyak dan tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan mekanis
seperti luka dan memar pada buah yang ada dibagian bawah.
Cara pengemasan belum memperhatikan ketahanan pengemas
terhadap goncangan saat buah diangkut dengan kendaraan untuk
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
73
Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan
Buah Salak Segar
tujuan pemasaran antar pulau.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan mutu dan
mengurangi kerusakan buah salak, maka perbaikan penanganan
pascapanen mutlak diperlukan. Agar bisa mencapai tujuan
tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui karakteristik buah
salak, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kerusakan
dan mempengaruhi umur simpan buah salak serta teknologi
pascapanen yang bagaimana dapat diaplikasikan di tingkat petani
dan pedagang salak.
Karakteristik Buah Salak
Di Indonesia telah dikenal cukup banyak varietas salak.
Menurut Nazaruddin dan Kristiawati (1992), di Indonesia sedikitnya
ada 18 varietas yang telah diketahui sifat-sifatnya. Namun, varietas
salak lebih banyak disesuaikan dengan nama daerah asalnya atau
rasa dan aroma daging buahnya seperti salak Condet (asal Condet,
Jakarta), salak Pondoh, asal Sleman, Yogyakarta daging buahnya
putih dan manis seperti pondoh atau pucuk kelapa yang masih
terbungkus pelepah dan salak Bali asal daerah Bali. Berdasarkan
kajian buah salak yang dilakukan di daerah Bali, Suter (1988a)
melaporkan ada 10 kultivar (varietas yang dibudidayakan) salak,
yaitu salak Biasa, Gondok, Nangka, Nenas, Kelapa, Penyalin, Putih,
Gulapasir, Goni, dan Bogor.
Karakteristik dari masing-masing kultivar salak asal Bali
dapat dilihat pada Tabel 1. berdasarkan karakteristik buahnya,
ternyata hanya tiga kultivar salak yang secara tegas dapat dibedakan
yaitu salak Gulapasir, salak putih dan salak Bogor sedangkan tujuh
kultivar salak lainnya sulit dibedakan satu sama lainnya. Bila dilihat
dari rasa daging buahnya, maka salak di Bali ada dua jenis, yaitu
jenis salak yang daging buahnya memiliki rasa manis, asam dan
sepet dan jenis salak yang daging buahnya memiliki rasa manis
tanpa ada rasa asam dan sepet sejak buah masih muda. Di samping
itu salak Bali memiliki sifat khas/unggul kleistogami, yaitu untuk
terjadinya pembuahan tidak dibutuhkan bantuan manusia.
74
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
Tabel 1. Karakteristik buah salak asal Bali (Suter, 1988a)
Kultivar
salak
1)
Bentuk ukuran
(P/R) 1)
Warna kulit
Warna
daging
Rasa
Aroma
Agak
tajam
Biasa
Agak bulat, basar
(5.88/1.04)
Coklat
kemerahan
Kuning
susu
Manis enak
Gondok
Agak bulat, besar
(6.13/1.08)
Coklat
kehitaman
Kuning
susu
Manis enak
sekali
Aroma
bunga
gondok
Nangka
Bulat lonjong,
sedang
(5.57/1.15)
Coklat
kehitaman
Kuning
susu
Manis agak
sepet
Aroma
bunga
nangka
Nenas
Bulat lonjong,
besar (5.89/1.10)
Coklat
kekuningan
Kuning
susu
Manis
sedikit
asam dan
sepet
Aroma
buah
nanas
Penyalin
Lonjong, agak
kecil (5.54/1.19)
Coklat
kehitaman
Putih
kekuningan
Agak
manis
sedikit
asam dan
sepet
Agak
tajam
Kelapa
Agak bulat,
sedang
(5.89/1.10)
Coklat
Putih
kekuningan
Manis
sedikit
asam dan
sepet
Agak
tajam
Putih
Bulat lonjong,
sedang
(5.54/1.19)
Putih
kekuningan
Putih
kekuningan
Manis
sedikit
asam dan
sepet
Agak
tajam
Gulapasir
Agak bulat, kecil
(4.46/1.04)
Coklat
kehitaman
Putih
Manis
sekali
tanpa asam
dan sepet
Agak
tajam
Boni
Agak bulat, kecil
(4.59/1.03)
Coklat
kemerahan
Kuning
susu merah
pada
pangkal
Manis
sedikit
asam dan
sepet
Agak
tajam
Bogor
Bulat lonjong,
besar (5.91/1.24)
Coklat
kemerahan/
kehitaman
Kuning
susu
Manis agak
sepet
Agak
tajam
P = Panjang buah, cm dan R = Rasio panjang-diameter buah.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
75
Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan
Buah Salak Segar
Dengan mempertimbangkan kekhasan salak asal Bali,
maka pada tahun 1994 diterbitkan dua Surat Keputusan Menteri
Pertanian RI No. 567/Kpts/TP. 240/7/94 dan No. 584/Kpts/
TP.240/7/94, tanggal 23 juli 1994, berturut-turut tentang
Pelepasan Salak Bali sebagai varietas unggul dan salak Gulapasir
sebagai varietas unggul. Berdasarkan dua surat keputusan tersebut
diatas, maka di Bali diakui secara nasional memiliki dua varietas
unggul yaitu salak Bali dan salak Gulapasir dengan karakteristik
buahnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Buah Salak Bali dan Salak Gulapasir (SK
menteri RI No. 567/Kpst/ TP.240/7/94 dan No. 584/
Kpts/TP.240/7/94)
Karakteristik
Bentuk buah
Salak Bali
Bulat sampai bulat lonjong
Salak Gulapasir
Bulat sampai bulat lonjong
Panjang buah
4,8 – 8,5 cm
4,0 – 7,5 cm
Kulit buah
Bersisik, tersusun seperti
genteng, berwarna coklat
kekuningan sampai coklat
kehitaman
Bersisik, tersusun seperti genteng,
berwarna coklat sampai coklat
kehitaman
Dinding kulit
bagian dalam
Berwarna putih, berserat
Berwarna putih, berserat
Warna daging
buah
Kuning susu(krem)
Putih kapur
Ujung buah
Membulat
Membulat
Berat 1 butir buah
40 -105 g
45 – 75 g
Sifat buah
Buah muda rasanya sepet,
buah tua rasanya manis,
asam dan sepet berimbang,
aroma agak tajam
Buah muda rasanya manis, tanpa
rasa asam dan sepet, buah tua
rasanya sangat manis
Ketebalan daging
buah
0,5 – 1,8 cm
0,1 – 1,0 cm
Keras, agak renyah sampai
renyah dan tidak berserat
(tidak masir)
Agak renyah, berair, ngelotok dan
tidak masir
1 -3 butir (kebanyakan 1
-2 butir), biji tua berwarna
coklat kehitaman
1 – 3 butir (kebanyakan 1-2 butir),
biji tua berwarna coklat kehitaman
Tekstur daging
buah
Biji
76
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
Pengenalan karakteristik buah salak Bali dan salak Gulapasir
oleh konsumen sangat perlu untuk mengurangi rasa kecewa
karena tidak jarang ditemui kasus-kasus pemalsuan salak Bali
yang telah dikenal lezat/enak rasanya oleh pedagang dengan cara
mencampur salak Bali dengan salak jenis lainnya yang rasanya
kurang enak atau dengan cara memberi nama/label salak Bali
untuk jenis salak lainnya agar bisa lebih laku dijual.
Komposisi Kimia
Buah-buahan umumnya adalah sebagai sumber vitamin dan
mineral. Buah salak Bali mengandung vitamin C berkisar antara
1,54-2,93 mg/100 g dan kandungan mineral yang cukup tinggi
yaitu kalium, natrium, fosfor, magnesium, dan kalsium. Serat
kasar berkisar antara 4,16-6,07 g/100g. Buah salak peka terhadap
kerusakan oleh mikroba, karena kandungan airnya cukup tinggi
yaitu berkisar antara 79,87-81,44 g/100g. Kandungan zat gizi yang
lain dari buah salak Bali disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia daging buah salak Bali (Suter, 1988a)
Komponen
Jumlah per 100 g daging buah
Air (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Gula (g)
Pati (g)
Serat kasar (g)
Vitamin C (mg)
Total Abu (g)
Kalium (g)
Natrium (g)
Kalsium (mg)
Magnesium (mg)
Besi (mg)
Mangan (mg)
Seng (mg)
Fosfor (mg)
79,87-81,44
0,50-0,85
0,77-2,22
11,28-14,05
1,80-3,18
4,16-6,07
1,54-2,93
0,48-0,53
0,08-0,18
0,06-0,08
6,49-8,70
11,20-15,20
0,30-0,57
0,13-0,18
0,23-0,44
14,00-16,40
Gula dan asam organik merupakan dua komponen
kimia pada buah salak, di samping sebagai sumber kalori, juga
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
77
Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan
Buah Salak Segar
menentukan rasa manis dan asam buah salak. Pada buah salak
Bali dan salak Gulapasir telah dapat diidentifikasi empat jenis
gula, yaitu fruktosa, sukrosa, glukosa, dan maltosa, serta empat
jenis asam organik, yaitu asam adipat, asam malat, asam suksinat
dan asam sitrat (Suter, 1996a). Sukrosa jumlahnya paling tinggi,
yaitu 50,52% (b.k), fruktosa 10,28% (b.k), glukosa 7,90% (b.k)
dan maltosa 0,36% (b.k). Buah salak mengandung fruktosa lebih
tinggi daripada glukosa, berbeda dengan buah-buahan lainnya
umumnya mengandung glukosa lebih tinggi daripada fruktosa
(Whitting, 1970), asam malat jumlahnya tertinggi, yaitu 6,79%
(b.k) dan asam adipat yang terendah, yaitu 0,08%. Pada salak
Gulapasir jenis gula terbanyak adalah sukrosa (49,86% b.k) dan
terendah maltosa (0,67% b.k). Berbeda dengan salak Bali, salak
Gulapasir mengandung asam suksinat yang tertinggi, yaitu 4,54%
(b.k) dan asam terendah adalah sitrat (0,50% b.k) (Suter, 1988a).
Komponen kimia lainnya yang berpengaruh terhadap rasa sepet
adalah tanin. Kandungan tanin buah salak Bali dan salak Gulapasir
berturut-turut, yaitu 0,27-1,47% dan 0,31-0,85%. Perbandingan
jumlah gula, asam dan tanin tertentu akan menghasilkan rasa lezat
pada buah salak.
Aroma buah-buahan disebabkan oleh berbagai senyawa
organik yang bersifat volatile (Wills, et al., 1981). Pada buah salak
belum diketahui senyawa apa yang bertanggung jawab terhadap
kekhasan citarasa buah salak. Berdasarkan laporan Suter (1966b)
telah berhasil dipisahkan dengan alat khromatografi gas yaitu
berkisar antara 14 sampai 30 komponen citarasa pada buah salak
Bali.
Respirasi Pascapanen
Dalam penanganan pascapanen buah-buahan yang penting
diperhatikan bahwa buah adalah suatu struktur yang “hidup”. Buah
setelah dipanen masih hidup dan melanjutkan reaksi metabolik
dan mempertahankan sistem fisiologisnya seperti buah tersebut
masih melekat pada pohonnya. Semua organisme memerlukan
persediaan energi yang berkesinambungan yang dipergunakan,
antara lain untuk mempertahankan organisasi seluler dan
permeabilitas membrane (Wills, et al., 1981). Sebagian terbesar
energi yang diperlukan oleh buah diperoleh melalui respirasi
78
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
aerobik, yang melibatkan pemecahan substrat organik cadangan
tertentu yang ada pada jaringan buah. Pati adalah karbohidrat
utama yang ada pada buah dan yang lainnya adalah sukrosa.
Pati dipecah menjadi glukosa oleh enzim amilase dan maltase,
sedangkan sukrosa dihidrolisa melalui glukosa dan fruktosa oleh
enzim invertase (Gambar 1). Glukosa yang dihasilkan dari hidrolisa
pati dan sukrosa, selanjutnya digunakan sebagai substrat dalam
proses respirasi buah.
Reaksi kimia dalam proses respirasi adalah sebagai berikut.
C6H12O6 + 6 O2
6C O2 + 6H2O + Energi
(Glukosa) (Oksigen)
(Karbondioksida) (Air)
Laju respirasi dari buah merupakan indikator yang sangat
baik bagi aktivitas metabolik jaringan, oleh karena itu respirasi
dapat digunakan sebagai petunjuk terhadap potensi umur simpan
buah. Menurut Phan et al. (1975) laju respirasi yang tinggi biasanya
berhubungan dengan umur simpan buah yang pendek.
Pati
Sukrosa
Invertase
Fosforilase
Maltase
Glukosa +
Glukosa-1-fosfat
Maltosa
Fruktosa
Glukosa
Glukosa-6-fosfat
Hexokinase
Gambar 1. Degradasi cadangan karbohidrat (Wills, et al., 1981)
Berdasarkan pola laju respirasi selama perkembangan buah,
dikenal ada buah-buahan klimakterik dan buah-buahan nonklimakterik. Kekhasan dari masing-masing kelompok buah tersebut
adalah untuk buah klimakterik laju respirasi tinggi untuk buah
yang belum matang dan selanjutnya akan menurun sesuai dengan
umurnya, tetapi menjelang pemasakan buah terjadi peningkatan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
79
Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan
Buah Salak Segar
laju respirasi, misalnya pada buah apel, pisang dan mangga. Pada
buah non-klimakterik laju respirasinya terus menurun seperti
pada buah jeruk, nenas dan strawberi. Buah-buahan klimakterik
dapat dipanen pada stadia matang dan menjadi masak setelah
diperam. Buah non-klimakterik sebaiknya dipanen saat masak
dipohon karena setelah dipanen sedikit atau sama sekali tidak
terjadi perubahan sifat fisiko-kimianya dan bila terjadi, perubahan
tersebut sangat lambat (Wills et al, 1981).
Laju respirasi buah salak Bali telah dilaporkan oleh Suter
(1988b). Laju respirasi dinyatakan sebagai jumlah mg CO2 yang
diproduksi oleh satu kg buah per jam. Jumlah gas CO2 yang
diproduksi setelah dipanen berkisar antara 11.46-19.60 mg
CO2/kg/jam dan turun menjadi 8,19-12,01 mg/kg/jam setelah
disimpan enam hari pada suhu kamar 290C dan pada penyimpanan
suhu dingin 60C turun menjadi 0,34-4,73 mg CO2/kg/jam setelah
disimpan 4 minggu.
Jumlah gas CO2 yang dihasilkan oleh buah salak Bali
mendekati jumlah CO2 yang diproduksi oleh buah-buahan nonklimakterik seperti lemon (10 mg CO2/kg/jam), anggur (12-16
mg CO2/kg/jam), jeruk manis 13-17 mg CO2/kg/jam) (Biale,
1960). Berdasarkan pada pola laju respirasi yang menurun selama
penyimpanan, serta jumlah CO2 yang diproduksi, maka salak Bali
cenderung digolongkan menjadi buah non-klimakterik dan oleh
karena itu, pemanenan sebaiknya dilakukan setelah buah masak
di pohon.
Kerusakan dan Umur Simpan
Yang dimaksud dengan umur simpan adalah lamanya buah
salak dapat bertahan dalam keadaan segar (tidak rusak dan masih
dapat dikonsumsi) dalam ruang simpan dengan kondisi alami yang
biasa dilakukan oleh petani atau pedagang sejak buah dipanen.
Umur simpan buah salak ini perlu diketahui karena berkaitan erat
dengan penanganan pascapanen dan masa pemasaran buah salak.
Umur simpan buah salak Bali berkisar antara 5-10 hari,
sedangkan salak Gulapasir antara 7-10 hari, pada kondisi
penyimpanan alami, yaitu suhu 290C dan kelembaban relatif
71 persen (Suter, 1988a). Pada penyimpanan suhu kamar salak
Condet umur simpannya 8 hari, tetapi salak Manonjaya hanya 5
80
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
hari (Waspodo, 1987), sedangkan salak Sleman tahan disimpan
7 hari (Muhamad, 1990). Pendeknya umur simpan buah
salak menjadi masalah dalam pemasarannya yaitu jangkauan
daerah pemasarannya agak terbatas karena buah salak cepat
menjadi rusak/busuk, sehingga tidak layak lagi dikonsumsi atau
dimanfaatkan untuk keperluan lainnya seperti dijadikan bahan
baku industri pengolahan buah salak.
Kerusakan buah salak pascapanen dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Tiga faktor yang penting adalah faktor fisiologis,
faktor mikrobiologis, dan faktor mekanis.
Faktor Fisiologis
Seperti telah dibahas sebelumnya, buah salak pascapanen
masih aktif melakukan proses fisiologis, yaitu respirasi. Bila
proses respirasi ini dibiarkan berlangsung secara normal akan
cenderung menyebabkan terjadinya perombakan-perombakan
komponen kimia buah salak ke arah pengerusakan. Kerusakan
fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi
metabolisme dalam buah atau oleh enzim-enzim yang terdapat di
dalamnya secara alamiah sehingga terjadi proses autolisis yang
berakhir dengan kerusakan dan pembusukan.
Perubahan fisiko-kimia buah salak selama penyimpanan
telah dilaporkan oleh Manoarfa (1976), meliputi perubahan
tekstur, kadar air, pati, total gula, asam organik dan pH daging buah
salak. Perubahan tersebut sebagian besar dibantu oleh aktivitas
enzim yang secara alami terdapat pada buah salak. Kadar air, pati,
total gula, asam tartarat, asam askorbat dan total asam menurun
selama penyimpanan, sedangkan pH dan keempukan buah salak
meningkat setelah disimpan 10 hari pada kondisi alami. Perubahan
fisiko-kimia ini jelas menurunkan mutu buah salak.
Faktor Mikrobiologis
Mikroba sebagai salah satu penyebab kerusakan buahbuahan termasuk buah salak memiliki arti penting karena
di samping proses kerusakan buah salaknya cepet dan juga
kadang-kadang berbahaya terhadap kesehatan manusia, karena
racun yang diproduksi oleh mikroba terkonsumsi oleh manusia.
Kerusakan mikrobiologis ini dapat menjalar ke buah lainnya, oleh
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
81
Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan
Buah Salak Segar
karena itu apabila salah satu buah diketahui telah rusak/busuk,
sebaiknya segera dipisahkan. Kontaminasi mikroba dapat terjadi
sejak buah dipohon, saat pemanenan dan selama penanganan
pascapanennya. Menurut Sudibyo (1974), kerusakan buah salak
selama penyimpanan disebabkan oleh kapang Penicillium sp dan
Chloropsis sp. Umumnya, kerusakan buah-buahan pascapanen
disebabkan oleh beberapa jenis kapang, yaitu Alternaria, Botrytis,
Diplodia, Penicillium, Rhizopus dan Selerotinia dan bakteri seperti
Erwinia dan Pseudomonas (Wills, et al., 1981).
Faktor Mekanis
Faktor mekanis dapat menyebabkan kerusakan mekanis.
Faktor mekanis ini, antara lain adanya benturan-benturan
mekanis seperti benturan buah dengan alat panen, bahan
pengemas dan dengan buah itu sendiri. Benturan-benturan ini
dapat menyebabkan memar dan luka pada buah. Memar dapat
juga terjadi karena buah salak ditimbuni terlalu banyak dan tinggi
sehingga buah yang ada di bagian paling bawah tertindih dengan
beban yang berat sehingga menjadi memar. Pengisian wadah kotak
yang tidak tepat, misalnya buah yang terlalu banyak sehingga saling
tindih atau kotak kurang penuh sehingga dalam pengangkutan
buah sempat bergoyang sehingga terjadi benturan-benturan antar
buah dan antara buah dengan bahan pengemas seperti kotak kayu.
Kerusakan mekanis ini ikut berperan untuk menimbulkan jenis
kerusakan lainnya, yaitu kerusakan fisiologis seperti pencoklatan
pada daging buah dan kerusakan mikrobiologis. Luka dan memar
dapat mempercepat proses pencoklatan pada daging buah salak.
Kulit buah yang terkupas dan luka, menjadi busuk dalam waktu
satu hari karena diserang kapang (Suter, 1988a). Penyimpanan
buah salak dalam keadaan terkupas atau luka atau memar tidak
disarankan karena buah cepat menjadi coklat dan busuk.
Buah luka dan memar menyebabkan permukaan daging
buah yang dapat kontak dengan oksigen udara makin luas. Oksigen
diperlukan oleh enzim fenolase untuk mengkatalisis proses
pencoklatan. Warna daging buah menjadi coklat karena terbentuk
senyawa berwarna coklat disebut melanin (Eskin et al., 1971).
82
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
Hasil-Hasil Penelitian Teknologi Pascapanen dan Aplikasinya
Sebelum dibahas tentang hasil-hasil penelitian untuk
memperpanjang umur simpan buah salak segar dengan perbaikan
teknologi penanganan pascapanennya, akan dijelaskan terlebih
dahulu tentang pengertian dan tujuan penanganan pascapanen.
Menurut tim Lembaga Penelitian IPB (1983), pengertian penanganan
pascapanen pangan meliputi semua kegiatan perlakuan dan
pengolahan langsung terhadap produk pertanian pangan tanpa
merubah struktur asli produk tersebut atau pengolahan karena
sifat panennya harus segera dikerjakan setelah panen. Tujuan
penanganan pascapanen adalah (1) mempertahankan mutu tetap
serupa seperti pada waktu panen, (2) mengurangi susut tercecer
pada semua proses kegiatan yang dilakukan, dan (3) mendapatkan
harga jual yang lebih baik.
Susut pascapanen dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu (1) susut fisik, yang dapat diukur dengan berat; (2) susut
mutu karena adanya perubahan wujud (penampakan), citarasa,
warna atau tekstur yang menyebabkan komoditas kurang disukai
konsumen; (3) susut nilai gizi (Tranggono dan Sutardi, 1990).
Penanganan pascapanen buah salak dilakukan oleh petani
dan pedagang dimulai sejak panen, pengumpulan hasil, sortasi
dan pengklasan (grading), pengemasan, pengangkutan dan
penyimpanan sebelum dipasarkan. Penanganan pascapanen buah
salak di Bali belum memadai dapat dilihat pada saat panen buah
yang belum seragam baik waktu panen (pagi, siang atau sore hari)
maupun tingkat kematangan buahnya (muda, masak, lewat masak).
Belum dilakukan sortasi buah berdasarkan kultivar salak yang
ternyata memiliki mutu beragam, penumpukan hasil yang cukup
tinggi, cara pengemasan yang masih rawan terhadap kerusakan
mekanis dan fisiologis. Penanganan yang kurang baik ini dapat
mempercepat kerusakan dan menurunkan mutu buah salak segar.
Upaya-upaya perbaikan penanganan pascapanen buah salak
melalui beberapa penelitian telah dilakukan. Pendekatan yang
dilakukan untuk mencegah atau menghambat kerusakan buah
salak melalui penghambatan laju respirasi, mencegah kontaminasi
dan menghambat perkembangan mikroba serta pencegahan
terjadinya luka/memar pada buah. Hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan disajikan berikut ini.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
83
Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan
Buah Salak Segar
Hasil-hasil Penelitian
Umur simpan buah salak dapat diperpanjang dengan
cara mencelupkan buah salak ke dalam larutan fungisida segera
setelah dipetik dan dipisahkan dari tandannya. Suter, et al. (1991)
melaporkan bahwa dengan mencelupkan buah salak ke dalam
larutan Benomyl 0,8 g/l air selama 1-2 menit dapat memperpanjang
umur simpan buah menjadi 10,5 hari (tanpa pencelupan, 6 hari),
pada suhu kamar (290C) dan kelembaban relative 71%. Selama
penyimpanan terjadi penurunan bobot buah salak. Setelah
disimpan 6 hari, bobot buah salak menjadi 85,87-93,12% dan terus
menurun sampai menjadi 74,12-81,75% setelah disimpan selama
12 hari, sedangkan karakteristik mutu buah (pH dan total padatan
terlarut daging buah) tidak dipengaruhi oleh larutan Benomyl
karena Benomyl tinggal pada kulit dan tidak terserap oleh daging
buah. Kulit buah dibuang setelah dikupas.
Penelitian yang dilakukan oleh Suter, et al (1994) dengan
tujuan meningkatkan umur simpan buah salak Bali dengan cara
mencelupkan buah ke dalam larutan Benomyl, 500 ppm selama
2 menit atau larutan Thia bendazole, 500 ppm, selama 2 menit,
kemudian salak dibungkus dengan kantong plastik polietilen
dengan tebal 0,05 mm dan setiap kantong dilengkapi 4 buah lubang
dengan diameter lubang 2 mm. Setiap kantong diisi buah salak
sebanyak 25 buah (berat 1,725-2,000 kg) juga dibuat kontrol tanpa
dicelupkan ke dalam larutan fungisida dan tanpa dibungkus plastik.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pembungkusan buah salak
dalam kantong plastik dapat meningkatkan umur simpan sampai
11,8 hari atau 5,6 hari (90,35%) lebih lama daripada umur simpan
buah salak tanpa dibungkus (6,2hari). Bobot buah turun menjadi
97,57% dari bobot awal dengan hasil TPT/TA (Total Padatan
Terlarut/Total Asam) yang lebih tinggi dari buah segar, yaitu
69,73. Pencelupan buah ke dalam larutan fungisida baik Benomyl
atau Thiabendazole tidak nyata meningkatkan umur simpan buah
salak.
Gunadnya (1993) melaporkan bahwa film-film yang
memenuhi syarat sebagai pengemas salak adalah “white stretch
film” dan “stretch film” dan untuk salak Pondoh segar disarankan
dikemas dengan “stretch film” pada suhu penyimpanan 10-150C.
Pencelupan buah salak di dalam larutan kalsium khlorida 12 persen
84
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
dan tekanan vakum 15 kPa, tidak terbukti dapat meningkatkan
umur simpan, tetapi justru buah salak mengalami “skin injury”
(Yadnya, 1994).
Umur panen buah dan suhu penyimpanan berpengaruh
terhadap umur simpan buah salak Gulapasir. Semakin tua umur
buah, umur simpan makin pendek dan semakin dingin suhu
penyimpanan umur simpan buah makin panjang. Buah yang
disimpan pada suhu 5-100C bertahan 24-30 hari, disimpan pada
suhu 20-250C umur simpannya 12-21 hari dan pada suhu 29-300C
umur simpannya 10-12 hari (Wijana, et al., 1994). Selanjutnya
Semarajaya (1991) melaporkan dengan mengatur komposisi
gas CO2 dan O2 dalam penyimpanan, yaitu dalam kantong plastik
polietilen (”low density”) dengan ukuran 25x30 cm, ketebalan 80
μm, rasio volume buah dan gas 0,82-0,90 dan disimpan pada suhu
kamar komposisi gas 6% O2 + 16% CO2 menyebabkan umur simpan
buah salak Biasa dan salak Nenas lebih lama dibanding buah salak
Gondok dan salak Nangka.
Beberapa jenis pengemas buah salak Gulapasir telah diteliti
untuk memperoleh jenis pengemas yang baik sebagai wadah buah
salak untuk buah tangan (souvenir). Penggunaan kemasan yang
dibuat dari anyaman daun rontal, anyaman bambu atau kardus
dapat memperpanjang umur simpan bila dikombinasikan dengan
penyimpanan suhu dingin (22-240C). Kerusakan selama 7 hari
penyimpanan maksimum 10 persen, tetapi sebaliknya bila buah
disimpan pada suhu kamar (28-290C) kerusakan telah mencapai
sekitar 23-83 persen (Wijana, et al., 1996).
Selanjutnya untuk pemasaran buah salak Gulapasir ke luar
Bali, yaitu ke Surabaya dan Bogor dengan kendaraan beberapa
teknik pengemasan telah diteliti. Wijana et al. (1997) melaporkan
bahwa jenis dan teknik pengemasan ternyata mempengaruhi susut
bobot dan kerusakan buah salak. Untuk tujuan Bogor, kemasan
yang baik adalah ”besek” (bakul dari bambu) berlapis plastik
berlubang atau ”besek” dengan plastik berlubang dan kertas
rumput atau kotak kayu berlapis kertas rumput. Jenis dan teknik
pengemasan ternyata kurang berpengaruh terhadap susut bobot
buah salak untuk tujuan Surabaya. Setelah tiba di Bogor, buah
salak yang masih layak dikonsumsi sekitar 80,30-94,37 persen
sedangkan untuk Surabaya di atas 95 persen.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
85
Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan
Buah Salak Segar
Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Sudibyo (1974) buah
salak Bali yang dikemas dengan bakul bambu yang dikirim dari
Karangasem ke Jakarta oleh pedagang salak ternyata kerusakannya
dapat mencapai 50-60 persen. Kerusakan tersebut dapat ditekan
menjadi 0,6-1,7 persen bila buah dikirim dalam bentuk tandan
dikemas dalam keranjang ataupun peti yang kuat dan ventilasi
cukup.
Aplikasi Hasil Penelitian
Berdasarkan karakteristik buah salak dan hasil-hasil
penelitian yang telah disampaikan kiranya dapat dimanfaatkan
dan diaplikasikan ditingkat petani dan pedagang untuk
mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan buah
salak segar, melalui perbaikan penanganan pascapanennya.
Keragaman mutu buah dipasaran dapat diperkecil dengan
melaksanakan sortasi buah berdasarkan kultivar salak karena
ternyata sifat-sifat setiap kultivar beragam, kemudian dilanjutkan
dengan melakukan pengklasan (”grading”) berdasarkan besar
atau berat sehingga konsumen dapat memilih sesuai dengan
kebutuhannya.
Untuk menghambat terjadinya kerusakan fisiologis akibat
terjadinya proses respirasi, transpirasi serta perubahan biokimia
lainnya pada buah yang dapat menurunkan mutu buah, dapat
dilakukan pengemasan terhadap buah salak dengan plastik atau
film untuk menekan laju respirasi dan transpirasi (proses hilangnya
air dari buah). Pengemasan dengan plastik menjadi lebih efektif
bila dilengkapi dengan penyimpanan pada suhu dingin.
Kerusakan mikrobiologis akibat serangan mikroba perusak/
pembusuk dapat dicegah dan dikurangi dengan cara mencelupkan
buah salak ke dalam larutan fungisida Benomyl (menekan
pertumbuhan kapang), menghindari terjadinya pelukaan pada
buah, karena luka pada daging buah menjadi tempat yang baik
bagi mikroba untuk tempat infeksi. Pertumbuhan dan aktivitas
mikroba pada buah salak dapat dihambat dengan menyimpan
buah pada suhu dingin (60C), dengan demikian proses kerusakan
oleh mikroba dapat dihambat.
Adanya memar/luka pada daging buah salak akibat
penanganan yang tidak baik pada saat panen, pengemasan dan
86
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
transportasi ternyata dapat mempercepat kerusakan oleh mikroba
dan proses pencoklatan pada daging buah, sehingga buah tampak
kurang menarik dan busuk. Luka atau memar yang terjadi pada saat
panen dapat dikurangi dengan memanen salak dengan hati-hati,
menumpuk buah tidak terlalu banyak atau tinggi sehingga buah
yang berada paling bawah tidak lecet atau memar. Mengurangi
guncangan dan tindihan saat pengangkutan. Buah salak semestinya
dikemas dengan jenis dan cara pengepakan yang baik. Penggunaan
pengemas dari kotak kayu yang kuat dan dilengkapi dengan plastik
dan atau kertas rumput dapat mengurangi terjadinya memar dan
susut bobot selama pengangkutan.
Penutup
Sebagai simpulan dari apa yang telah diuraikan di atas,
dapatlah disampaikan sebagai berikut.
1. Buah salak sebagai komoditi spesifik daerah saat ini
diprioritaskan untuk dikembangkan oleh Pemerintah RI
karena mempunyai prospek pemasaran yang cerah, tetapi
karena sifatnya mudah rusak, maka jangkauan daerah
pemasarannya menjadi terbatas.
2. Kerusakan buah salak pascapanen disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain adalah faktor fisiologis (respirasi),
faktor mikrobiologis (mikroba) dan faktor mekanis (luka
dan memar). Faktor-faktor tersebut secara nyata dapat
menurunkan mutu dan memperpendek umur simpan buah
salak segar.
3. Kerusakan buah salak pascapanen dapat dihindari atau
dihambat dengan perbaikan teknologi penanganan
pascapanennya, dengan demikian mutu buah salak dapat
dipertahankan serta umur simpannya dapat diperpanjang.
Daftar Pustaka
Anonimous. 1995a. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik,
Jakarta.
Anonimous. 1995b. Bali dalam Angka 1995. Kantor Statistik
Propinsi Bali. Denpasar
Biale, J.B. 1960. The Postharvest Biochemistry of Tropical and
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
87
Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan
Buah Salak Segar
Subtropical fruits. In C.O Chicester, E.M. Mrak and G.F.. Stewart,
ed. Edvances in Food Research 10. Academic Press, London.
Eskin, N.A.M., H., H.M. Henderson and R.J. Townsend. 1971.
Biochemistry of Foods. Academic Press. New York.
Gunadnya, I.B.P. 1993. Pengkajian Penyimpanan Salak Segar
(Salacca edulis Reinw.) dalam Kemasan Film dengan “Modified
atmosphere”. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Monoarfa, B. 1976. Beberapa Perubahan Fisiko-kimia dari Buah
Salak (Salacca edulis Reinw.) Selama Penyimpanan Suhu
Ruang. Laporan Masalah Khusus, Fatemeta, IPB, Bogor.
Muhamad, 1990. Pengaruh Goncangan terhadap Mutu dan
Masa Simpan Buah Salak (Salacca edulis Reinw.) Sleman
dalam Kemasan “Modified Atmosphere”. Selama Simulasi
Pengangkutan Kereta Api. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian IPB, Bogor.
Murtiningsih Waspodo. 1987. Kualitas Salak Condet dan Salak
Manonjaya. Hortikultura. 23 : 11-14.
Nazaruddin dan R. Kristiawati, 1992. 18 Varietas Salak. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Phan, C.T., Er.B. Pantastico, K. Ogata and K. Chachin. 1975.
Respiration and respiratory climacteric, pp. 86-101. In Er.
B. Pantastiko, ed. Postharvest Physiology, Handling and
Utilization of Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables.
The AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.
Semarajaya, C.G.A. 1991. Pengaruh Komposisi Gas Oksigen dan
Karbondioksida terhadap Umur Simpan Beberapa Kultivar
Salak Bali. Tesis. Fakultas Pascasarjana UGM. Program KPK
UGM-UNIBRAW. Yogyakarta-Malang.
Sudibyo, M. 1974. Sedikit tentang Buah Salak (Salacca edulis) dan
Masalah-masalahnya. Lembaga Penelitian Hortikultura Pasar
Minggu. Jakarta.
Supratomo. 1997. Peluang Investasi Usaha Pengembangan Salak
Gula Pasir. Makalah disajikan pada Pertemuan Aplikasi
Paket Teknologi Usaha Tani Salak, tgl. 19 Maret 1997. IP2TP,
Denpasar.
Suter, I.K. 1988a. Telaah Sifat Buah Salak di Bali sebagai Dasar
Pembinaan Mutu Hasil. Disertasi. Fakultas Pascasarjana IPB,
Bogor.
88
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Ketut Suter • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
Suter, I.K. 1988b. Sifat Fisiologi Pascapanen Beberapa Varietas
Salak. Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Suter, I.K., I.G.N. Agung, I.K. Simpati, N.M. Yusa dan I.B.D. Utama.
1991. Pengaruh Pencelupan Ke Dalam Larutan Benomyl
terhadap Umur Simpan Buah Salak Segar. Universitas
UDAYANA, Denpasar.
Suter, I.K., I.G.N.Agung dan N.M. Yusa. 1994. Studi Tentang
Peningkatan Umur Simpan Buah Salak Segar. Majalah Ilmiah
Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. 23:55-59.
Suter, I.K.`1996a. Perubahan Gula dan Asam Organik Buah Salak
Bali Selama Penyimpanan. Gitayana, (2) 1:1-6.
Suter, I.K. 1996b. Analisis Komponen Citarasa Buah Salak Bali
dengan Khromatografi. Gitayana (2) 2:23-27.
Tim Lembaga Penelitian IPB. 1983. Penanganan Pascapanen
Pangan. Seminar Industri Pertanian 1983. Fakultas Teknologi
Pertanian. UGM. Yogyakarta.
Tranggono dan Sutardi. 1990. Biokimia dan Teknologi Pascapanen.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, UGM. Yogyakarta.
Whitting, G.C. 1970. Sugars, pp. 1-31. In A.C. Hulme (Ed). The
Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1. Academic
Press, London and New York.
Wijana, I.G., I.K. Suter dan C.G.A. Semarajaya dan I.N. Rai. 1996.
Upaya Pelestarian, Pengembangan dan Peningkatan Produksi
Salak Kultivar Gulapasir. Fakultas Pertanian Universitas
Udayana, Denpasar.
Wijana, I.G. I.K. Suter, C.G.A. Semarajaya, I.N. Rai dan M. Mega. 1997.
Upaya Pelestarian, Pengembangan dan Peningkatan Produksi
Salak Kultivar Gulapasir. Fakultas Pertanian Universitas
Udayana, Denpasar.
Wills, R.H.H., T.H. Lee, D. Graham, W.B. McGlasson and E.G. Hall.
1981. Postharvest: An Intriduction to the Physiology and
Handling of Fruits and Vegetables. N.S.W. Press Limited,
Australia.
Winarno, F.G. dan B.S. Laksmi. 1974. Peranan Pembungkusan
terhadap Mutu beberapa Hasil Pertanian Lepas Panen.
Fatemata, IPB, Bogor.
Winarno, M. 1994. Program Pengembangan Hortikultura dalam
Pelita VI. Prosiding Simposium Hortikultura Nasional, tgl.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
89
Peranan Teknologi Pascapanen dalam Mempertahankan Mutu dan Memperpanjang Umur Simpan
Buah Salak Segar
8-9 Nopember 1994. di Malang. Perhimpunan Hortikultura
Indonesia bekerja sama dengan F.P. Universitas Brawijaya,
Malang. H. 43-53.
Yadnya, I.P. 1994 Pengaruh Pencelupan dalam Larutan Kalsium
Klorida dan Tekanan Vakum Terhadap Umur Simpan Buah
Salak. Skripsi. Program Studi Teknologi Pertanian, Fakulatas
Pertanain, Denpasar.
90
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
MENINGKATKAN SEKALA USAHA PETANI GUREM
SEBAGAI UPAYA MENUJU PERTANIAN TANGGUH
DI INDONESIA
I Wayan Arga
Pendahuluan
Pertanian atau industri primer adalah industri yang tertua di
dunia. Peran utama dari industri ini adalah memproduksi bahanbahan kebutuhan pokok manusia, meliputi bahan makanan dan
bahan konstruksi untuk perlindungan. Peranan industri sekunder
dan tersier adalah memproduksi masukan atau sarana produksi,
mengolah dan mendistribusikan hasil-hasil pertanian.
Pertanian Tangguh
Akhir-akhir ini telah muncul istilah pertanian tangguh
dalam berbagai seminar, tetapi belum ada definisi atau indikatorindikator yang mengarah kesana. Menurut hemat penulis,
pertanian dalam suatu negara disebut tangguh kalau pertanian itu
mampu menjamin swasembada pangan bagi seluruh rakyat dalam
negara itu secara adil dan merata. Swasembada pangan tidak
berarti bahwa pangan itu harus diproduksi di dalam negeri saja,
tetapi bagi komoditas yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri
tetapi sangat dibutuhkan patut diimpor, dan diekspor bagi hasil
produksi yang berlebihan. Swasembada pangan berarti terbebas
dari rawan pangan. Rawan pangan dapat berarti pangan itu kurang
mengandung gizi, atau jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan
sehingga menimbulkan gejolak sosial. Beberapa dari puluhan
indikator pertanian tangguh akan penulis uraikan secara sepintas
saja.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
91
Meningkatkan Sekala Usaha Petani Gurem Sebagai Upaya Menuju Pertanian Tangguh di Indonesia
Sumbangan Sektor Pertanian dalam Pendapatan Domestik
Bruto Indonesia
Rupanya telah menjadi pengetahuan umum, bahwa
persentase sumbangan sektor pertanian dalam Produk Domestik
Bruto (PDB) semakin kecil, dengan semakin berkembangnya
industri sekunder dan tertier dalam suatu negara. Pernyataan ini
sama sekali tidak mengandung makna pertanian itu sama sekali
tidak penting, jika negara itu telah berkembang menjadi negara
industri. Hal ini disebabkan pertanian itu selalu menyediakan
kebutuhan pangan sehari-hari. Sumbangan rata-rata sektor
pertanian dalam PDB Indonesia dalam periode 1988-1995
adalah 20,76% (atas dasar harga yang berlaku) atau 19,47%
(atas dasar harga konstan 1983). Di Australia negara tetangga
yang pertaniannya dan industrinya lebih maju dari Indonesia
sumbangan sektor pertaniannya dalam PDB Australia hanya 1,8%.
Walaupun belum ada bukti empiris, rupanya ada kecenderungan
bahwa pada negara industri maju, pertaniannya juga tangguh.
Sebagai contoh, Amerika Serikat, yang merupakan negara industri
maju, dan ternyata pertaniannya juga maju.
Masalah Petani Gurem di Indonesia
Sebelum menyampaikan beberapa indicator petani gurem,
ijinkanlah penulis terlebih dahulu menguraikan keberadaan
petani gurem di Indonesia. Kapan munculnya petani gurem di
Indonesia, tidak diketahui dengan jelas. Yang jelas adalah bahwa
petani gurem di Indonesia menjadi sumber kajian yang menarik
dari ahli-ahli antropologi dan ahli-ahli ekonomi pertanian
dunia, seperti C. Geertz, Boeke, de Vries, dan lain-lain, dan juga
merupakan sumber kajian dalam tesis dan disertasi yang ditulis
oleh penulis asing maupun bangsa sendiri. Hasil kajian tersebut
telah menghasilkan beberapa hipotesis yang berkaitan dengan
ekonomi pertanian dan antropologi. Menurut luas lahan yang
diusahakan, pertanian di Indonesia dapat dipisahkan menjadi dua
golongan, yaitu pertanian besar dan pertanian rakyat. Pertanian
besar itu mengusahakan lahan yang cukup luas, mencapai ribuan
hektar, dengan modal yang cukup besar, teknologi maju dan
tujuan akhirnya untuk mendapatkan keuntungan. Golongan yang
kedua adalah pertanian rakyat. Berbeda dengan pertanian besar,
92
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Arga • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
pertanian rakyat pada dasarnya mengusahakan lahan yang sempit,
maksimum 15 hektar, modal buatan manusia yang dipergunakan
sangat kecil, teknologi yang dipakai cenderung statis, dan tujuan
utamanya untuk menghasilkan bahan makanan utama dan kalau
ada sisanya barulah dijual sebagai marketable surplus.
Munculnya pertanian rakyat di Indonesia adalah semenjak
jaman prasejarah, tetapi belum ada penjelasan tentang luas
usaha tani pada masa itu. Usaha pertanian besar muncul setelah
tahun 1870, yaitu setelah diundangkan Hukum Agraria Belanda
atau Agrarische Wet, yang kemudian melahirkan Agraris Besluit,
yang memuat Domeinverklaring, yang pada akhirnya melahirkan
bermacam-macam undang-undang tanah di Indonesia. Undangundang tanah itu pada dasarnya bertujuan untuk menjamin
kepentingan modal pertikelir di Indonesia, terutama modal
partikelir Belanda. Semenjak itu muncullah perkebunanperkebunan besar di Indonesia. Setelah jaman kemerdekaan,
perkebunan besar itu di nasionalisasi dan kini berstatus sebagai
perusahaan perkebunan negara.
Seperti telah diuraikan di atas, kapan munculnya usaha tani
berlahan amat sempit di Indonesia belum jelas diketahui. De Vries
pada tahun 1931 telah menemukan petani yang mengusahakan
lahan yang amat sempit di Jawa dan pendapatan rata-rata usaha
tani amat rendah, yaitu 8%-10% pendapatan petani Denmark
dan Amerika Serikat pada tahun yang sama. Namun jam kerja
yang dicurahkan oleh petani Jawa amat tinggi dibandingkan
dengan petani dari negara lain, pada tahun yang sama, yaitu ratarata 2.300 jam per ha, sedangkan di Ceko 1.010, di Polandia 666,
Austria 642 dan Denmark 411 jam. Menurut sensus pertanian,
1963, 1973, 1983 dan 1993 seluruh pertanian rakyat di Indonesia
dapat digolongkan sebagai petani gurem karena luas usahanya
amat sempit. Anehnya, petani berlahan sempit ini tidak hanya
muncul di Jawa tetapi terdapat pada semua propinsi di Indonesia.
Walaupun propinsi di luar Jawa cukup luas, ternyata muncul juga
petani gurem.
Jumlah Perusahaan Pertanian di Indonesia
Negara Republik Indonesia rupanya mempunyai cacah
perusahaan pertanian rakyat yang cukup besar. Menurut sensus
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
93
Meningkatkan Sekala Usaha Petani Gurem Sebagai Upaya Menuju Pertanian Tangguh di Indonesia
pertanian 1963 di Indonesia terdapat 12.236.470 unit perusahaan
pertanian tanaman pangan dengan luas totalnya 12.883.868 hektar
atau rata-ratanya 1,05 hektar. Menurut sensus pertanian 1973
terdapat 14.373.542 unit perusahaan pertanian tanaman pangan
dengan luas totalnya 14.168.192 hektar, sehingga luas rata-ratanya
0,98 hektar. Selanjutnya, menurut sensus pertanian 1983, terdapat
15.927.440 perusahaan pertanian tanaman pangan, luas totalnya
16.689.425,38 dan rata-ratanya 1,05 hektar. Namun, perlu diketahui
bahwa jumlah seluruh usaha pertanian menurut sensus pertanian
1983 adalah 17.076.016 unit, meliputi perusahaan pertanian
tanaman pangan, perikanan darat dan peternakan. Akhirnya,
menurut sensus pertanian 1993 di Indonesia terdapat 21.736.000
unit perusahaan pertanian. Pada negara maju, misalnya Australia,
jumlah cacah perusahaan pertanian itu relatif kecil. Misalnya
pada tahun 1978 terdapat 167.432 unit. Oleh karena itu jumlah
perusahaan pertanian di Indonesia pada tahun 1963,1973,1983
dan 1993, berturut-turut sebanyak 73 kali, 86 kali, 95 kali dan
130 kali jumlah perusahaan pertanian di Australia, dengan asumsi
jumlah perusahaan pertanian di Negara Kangguru itu jumlahnya
tidak banyak berubah. Walaupun jumlah perusahaan pertanian
di Indonesia cukup banyak, tetapi belum berhasil mewujudkan
pertanian yang tangguh, terbukti dari adanya indikasi kerawanan
pangan yang muncul di beberapa propinsi di Indonesia, menyusul
krisis moneter dewasa ini.
Angkatan Kerja Sektor Pertanian di Indonesia
Angkatan kerja sektor pertanian di Indonesia persentasenya
cukup tinggi terhadap seluruh angkatan kerja. Misalnya, menurut
sensus penduduk 1971, jumlah seluruh angkatan kerja di Indonesia
41.261.216 orang dan angkatan kerja sektor pertanian berjumlah
26.473.477 orang atau 64,16%. Persentase angkatan kerja sektor
pertanian menurut sensus penduduk 1980, menurun menjadi
47,50%. Angkatan kerja sektor pertanian pada tahun 1992 adalah
50,6% dari seluruh angkatan kerja. Walaupun angkatan kerja
sektor pertanian cukup tinggi, tetapi belum mampu membentuk
pertanian tangguh, karena terbukti masih ada indikasi kerawanan
pangan. Pada negara Uni Eropa jumlah orang yang bekerja pada
sektor pertanian turun dari 18 juta pada tahun 1970 menjadi 8
94
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Arga • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
juta tahun 1998, yaitu hanya 20% dari jumlah orang yang bekerja
pada pertanian di Indonesia pada tahun 1992.
Pendapatan Petani di Indonesia
Pendapatan petani (pendapatan dari usaha tani ditambah
pendapatan dari usaha di luar pertanian) di Indonesia terkesan
amat rendah, seperti telah diungkapkan oleh berbagai peneliti
dunia, seperti C.Girtz, de Vries dan juga oleh peneliti bangsa
Indonesia sendiri. Rendahnya pendapatan rata-rata perusahaan
pertanian disebabkan oleh sempitnya lahan yang diusahakan, dan
bukan oleh rendahnya produktivitas per hektar. Geertz menemukan
bahwa produk marginal pertanian Indonesia sangat rendah, dari
tahun ke tahun sehingga terjadi involusi pertanian di Indonesia.
Menurut sensus pertanian 1993, pendapatan rata-rata
per rumah tangga pertanian di Indonesia hanya Rp 1.760.000,00
terdiri atas Rp 1.069.000,00 atau 60,7% dari sektor pertanian. Rp
233.000,00 atau 13,3% dari pendapatan/penerimaan lainnya dan
Rp 458.000,00 atau 26% dari luar sektor pertanian. Pendapatan
dari sektor pertanian terdiri atas beberapa komponen berikut.
1. Dari bidang usaha Rp. 880.000,00 atau 82,32%
2. Dari bukan usaha Rp. 129.000,00 atau 5,60%
3. Dari buruh pertanian Rp. 129.000,00 atau 12,07%
Pendapatan dari bidang usaha, terdiri atas beberapa komponen
berikut.
1. Pertanian tanaman pangan Rp. 399.000,00 atau 45,34%
2. Perkebunan rakyat Rp. 264.000,00 atau 30%
3. Peternakan / unggas Rp. 115.000,00 atau 13,07%
4. Budidaya ikan/biota lainnya Rp. 19.000,00 atau 2,16%
5. Penangkapan ikan/biota lainnya Rp. 60.000,00 atau 6,82%
6. Kehutanan/perburuan/jasa pertanian Rp. 23.000,00 atau
2,61%
Menurut hasil survey pendapatan petani tahun 1990,
pendapatan rumah tangga pertanian rata-rata adalah 1,18 juta
rupiah, dan pendapatan rumah tangga pertanian di kepulauan
Maluku dan Irian Jaya rata-rata 900 ribu rupiah, di bawah ratarata nasional. Sumber pendapatan rumah tangga pertanian itu
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
95
Meningkatkan Sekala Usaha Petani Gurem Sebagai Upaya Menuju Pertanian Tangguh di Indonesia
53,07% berasal dari usaha pertanian dan 46,93% berasal dari luar
pertanian. Pendapatan rumah tangga pertanian ini terkesan amat
rendah, jika dibandingkan dengan upah dan gaji tenaga kerja pada
industri besar dan sedang yaitu 14,3 juta rupiah/orang/tahun pada
tahun 1992 dan menjadi 16,9 juta rupiah/orang/tahun pada tahun
1995. Kalau dicermati pendapatan petani dalam sebulan, ternyata
68,92% rumah tangga pertanian rakyat Indonesia penghasilannya
kurang dari 100 ribu rupiah dan 28,90% penghasilannya antara
100-300 ribu rupiah. Kedua kelompok ini menyusun 69,32% dari
seluruh rumah tangga pertanian yang berjumlah 20,2 juta dan
kelompok ini mengusahakan lahan yang luasnya kurang dari satu
hektar.
Sebagai pembanding dapat dikemukakan bahwa pendapatan
rata-rata perusahaan pertanian di Australia pada tahun 1975-76,
sebesar 58.165 AUSD, terdiri atas penerimaan hasil bumi (crop)
sebesar 41.478 AUSD, penerimaan dari ternak 13.608 AUSD, dan
dari sumber lainnya sebesar 3.079 AUSD.
Konsekuensi logis dari rendahnya pendapatan petani gurem di
Indonesia adalah rendahnya kontribusi petani dalam pembangunan
pertanian. Walaupun angka yang pasti belum ada, dapat diduga
bahwa kemampuan investasi mereka dalam pembangunan
pertanian amat kecil, karena kemampuan mereka dalam financial
sangat terbatas, sementara itu kemampuan membiayai investasi
perusahaan pertanian di Australia pada tahun 1975-76 terkesan
cukup tinggi, yaitu 15.909 AUSD per perusahaan.
Ketangguhan pertanian selain dapat diukur dari pendapatan
perusahaan pertanian dan kemampuan investasi dalam
pembangunan pertanian, dapat juga diukur dari kemampuan
“memberi makan” kepada umat manusia. Pada tahun 1997 di
negara-negara Uni Eropa, seorang petani mampu memberi makan
kepada 60 orang, tetapi 40 tahun yang lalu hanya 5 orang. Kini di
Indonesia (atas dasar rata-rata konsumsi beras 300 gram/orang/
hari) sebuah rumah tangga pertanian tanaman pangan mampu
“memberi makan” rata-rata kepada 13 orang. Jika sawah lahan
gambut satu juta hektar di Kalimantan dan proyek transmigrasi ke
Indonesia bagian Timur telah menghasilkan, penulis hipotesiskan
bahwa kemampuan “memberi makan” dari perusahaan pertanian
tanaman pangan di Indonesia akan meningkat.
96
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Arga • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Peningkatan Sekala Usaha
Seperti sudah diuraikan di atas, seluruh perusahaan
pertanian rakyat, tergolong petani gurem, luasnya bervariasi dari
0,1 hektar atau kurang sampai 15 hektar atau lebih. Menurut
sensus pertanian 1983, sebanyak 65,81% rumah tangga pertanian
tanaman pangan, luas usahanya kurang dari satu hektar dan
mengusahakan hanya 26,11% dari seluruh lahan. Sisanya 34,19%
luasnya satu hektar atau lebih tetapi mengusahakan 73,89% dari
seluruh lahan pertanian.
Pada negara maju Australia luas perusahaan pertanian itu
berkisar antara 400 sampai 2000 hektar pada tahun 1975/1976,
dengan distribusi sebagai berikut: 10,2% luasnya di bawah 400
hektar, 26,2% luasnya 400-800 hektar, 16,3% luasnya 800-1200
hektar, 21,7% luasnya 1200-2000 hektar dan 25,6% luasnya lebih
dari 2000 hektar. Rata-rata penggunaan tanah (land use) adalah
1273,5 hektar.
Jumlah Ternak Rata-rata per Usaha Tani
Ternak adalah bagian dari perusahaan pertanian. Di Australia
pada tahun 1975/1976 jumlah rata-rata ternak besar dan ternak
kecil per perusahaan pertanian adalah 2.376 setara domba (sheep
equivalent, dimana sapi dan kuda dikalikan 8). Di Indonesia jumlah
rata-rata ternak besar dan ternak kecil yang dipelihara oleh petani
hanya 6,8 ekor sheep equivalent.
Untuk daerah-daerah padat penduduk, sempitnya lahan yang
diusahakan oleh petani adalah karena fragmentasi lahan pertanian
sebagai akibat dari sistem perwarisan, jual beli dan perpindahan
hak-hak lainnya atas tanah, yang kesemuanya itu disebabkan oleh
kepadatan penduduk. Sementara itu, pembukaan hutan untuk
perluasan lahan tidak mungkin lagi. Alasan lainnya adalah karena
sifat subsistence dari petani, yaitu tujuannya bertani bukan untuk
komersial dan mendapatkan keuntungan, tetapi sekedar untuk
menutupi kebutuhan hidup. Ternyata usaha tani yang sempat ini
tidak hanya terdapat di Jawa, tetapi juga di luar Jawa, yang masih
mempunyai peluang untuk memperluas lahan pertanian melalui
pembukaan hutan.
Peningkatan skala usaha dapat diperoleh melalui
penggabungan perusahaan pertanian menjadi unit-unit usaha yang
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
97
Meningkatkan Sekala Usaha Petani Gurem Sebagai Upaya Menuju Pertanian Tangguh di Indonesia
lebih luas, sekaligus dengan penerapan teknologi pertanian yang
memadai serta melalui bentuk-bentuk kemitraan. Penggabungan
usaha ini secara tradisional telah dikenal di Indonesia, seperti
pertanian komunal, menyakap dan menggadai. Menurut hasil
sensus pertanian 1983, dari 17 juta lebih rumah tangga pertanian
di Indonesia, 5,2 juta buah (30,7%) mendapat tanah dari pihak
lain, di antaranya 25,4% mendapat lahan dari petani, 2,4%
mendapat lahan dari bukan petani, sisanya 2,9% mendapat lahan
dari pihak lainnya. Penyakapan lahan pertanian (sistem bagi hasil)
di Indonesia telah ditulis oleh banyak peneliti antara lain oleh I G.
Gde Raka pada tahun 1995 dan oleh A.M.P.A. Scheltema pada tahun
1931.
Gabungan usaha pertanian itu dapat mengambil berbagai
bentuk badan usaha sebagai berikut.
(1) Usaha Pertanian Kolektif
Dalam hal ini beberapa petani bergabung untuk mengolah
lahan pertanian dan menjual bersama hasil-hasilnya. Dalam
hal ini terjadi konglomerasi lahan pertanian tanpa terjadi
paleburan atau merger usaha tani. Tidak perlu semua anggota
ikut mengelola usaha, pembagian hasil dilakukan atas dasar
luas pemilikan lahan, setelah dikurangi biaya-biaya.
(2) Koperasi Pertanian
Dalam hal ini sekelompok petani menggabungkan usaha
mereka melalui konglomerasi lahan dan atau merger
(peleburan) dan dikelola oleh koperasi. Tidak perlu semua
anggota ikut mengelola. Tim pengelola dapat diubah sesuai
dengan perjanjian. Pembagian hasil berdasarkan luas
pemilikan anggota, penjualan hasil dilakukan oleh koperasi.
(3) Usaha Pertanian Menyewa
Merupakan usaha yang menyewa lahan pertanian dari
sekelompok petani dengan uang sewa yang besarnya tertentu
selama jangka waktu yang tertentu pula. Dalam hal ini terjadi
konglomerasi lahan pertanian, tetapi tidak terjadi merger
(peleburan) lahan.
(4) Perusahaan Perseorangan
Perusahaan ini dimiliki dan dikelola oleh satu orang. Pemilik
menanggung semua resiko, menerima semua laba dan
menerima semua kerugian. Dia juga sebagai operator.
98
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Arga • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
(5) Persekutuan Umum (Firma) dan Persekutuan Terbatas (CV)
Persekutuan ini merupakan perluasan dari perusahaan
perseorangan tetapi dirancang menjadi milik lebih dari satu
orang. Tujuan persekutuan ini harus jelas dan mempunyai
akte pendirian. Pada persekutuan umum, setiap mitra atau
pemilik mempunyai tanggung jawab hukum yang tak terbatas
terhadap hutang perusahaan. Setiap mitra berperan aktif dalam
perusahaan, serta mempunyai hak dan kewajiban yang jelas. Pada
persekutuan terbatas, mitranya ada dua macam, mitra diam dan
mitra aktif. Mitra diam mempunyai kewajiban terbatas terhadap
hutang perusahaan dan mitra aktif mempunyai kewajiban yang
tidak terbatas atas hutang perusahaan.
(6) Perusahaan Patungan, misalnya Perseroan Terbatas.Bentuk
ini telah dilaksanakan pada perusahaan pertanian besar di
Indonesia masa kini.
Manfaat yang Diharapkan
Manfaat yang ingin dicapai dari peningkatan sekala usaha ini
adalah pengurangan tenaga kerja sektor pertanian dan sekaligus
peningkatan pendapatan di sektor pertanian, yang jauh tertinggal
dibanding dengan sektor industri.
Munculnya usaha tani yang lebih kuat karena sekala
usahanya semakin besar, berarti muncul perusahaan-perusahaan
yang berorientasi agribisnis yang akan mengusahakan komoditas
yang strategis sesuai permintaan pasar. Dengan demikian kebijakan
komoditas dapat dikurangi karena penawaran akan ditentukan
oleh permintaan pasar.
Faktor-faktor Penghambat
Keberhasilan peningkatan sekala usaha ini sangat tergantung
dari berbagai faktor yang dapat diperas menjadi kecepatan
perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri.
Perpindahan tenaga kerja dari pertanian ke industri, sampai saat
tertentu akan meningkatkan upah di pertanian karena menurunnya
penawaran tenaga kerja di pertanian. Melalui proses ini diharapkan
upah di pertanian akan menjadi sama dengan upah di Industri.
Oleh karena itu, tingginya pendapatan di sektor pertanian sangat
tergantung dari penyerapan tenaga kerja oleh industri.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
99
Meningkatkan Sekala Usaha Petani Gurem Sebagai Upaya Menuju Pertanian Tangguh di Indonesia
Simpulan dan Saran
Untuk meningkatkan pendapatan total petani gurem
sehingga terbebas dari belenggu kemiskinan perlu dilakukan
upaya meningkatkan sekala usaha. Peningkatan sekala usaha yang
terpenting adalah dengan konglomerasi usaha tani, diikuti dengan
pemindahan tenaga kerja yang berlebihan pada sektor pertanian
ke sektor industri. Oleh karena itu, kemajuan sektor industri
merupakan prasarat bagi peningkatan pendapatan di sektor
pertanian. Industri yang cocok untuk mengatasi masalah tersebut
di atas adalah industri yang mempunyai pengganda kesempatan
kerja dan pengganda pendapatan yang tinggi.
Daftar Pustaka
Anonim., 1998. Facts and Trends. Development and Cooperation,
No 1/1998.
BAE, 1978. BAE Trends in Australian Agricultural Commodities
Farm Costs and Farm Income, Canberra.
BAE, 1979. An Economic Survey. The Australian Wheatgrowing
Industry 1973-74 to 1975-76. Canberra.
BPS, 1975. Statistik Indonesia, Jakarta.
BPS, 1983. Sensus Pertanian 1983. Hasil Sensus Sampel, Seri B.
Jakatra
BPS, 1990. Survei Pendapatan Petani 1990, Jakarta.
BPS, 1993. Statistik Indonesia, Jakarta
BPS, 1993. Sensus Pertanian 1993, Ringkasan Hasil, Jakarta.
BPS, 1993. Statistik Industri Besar dan Sedang. Jakarta.
BPS, 1996. Statistik Industri Besar dan Sedang. Jakarta.
de Vries, Egbert, (1985) Pertanian dan Kemiskinan di Jawa, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Geertz, C., 1976. Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di
Indonesia. Judul asli: Agriculture Involution. Diterjemahkan
oleh Supomo. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Jackson, J.H. dan Musselemen, V.A., 1989. Ekonomi Perusahaan,
Edisi ke 10. Intermedia, Jakarta.
Mubyarto, 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta.
PERHEPI 1982, Mengatasi Masalah Petani Gurem dan Buruh Tani
di Jawa. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta.
100
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Wayan Arga • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Raka, I G. Gde. 1955. Monografi Pulau Bali, Djawatan Pertanian
Rakyat, Jakarta.
Scheltema, A.M.PA., 1931. Bagi Hasil di Indonesia, Judul aseli:
Deelbouw in Nederlansch Indie, Diterjemahkan oleh Marwan,
Yayasan Obor Indonesia.
Singarimbun, M. dan Penny, D.H. 1976. Penduduk dan Kemiskinan.
Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa. Bhratara Karya Aksara,
Jakarta.
Tauchid, M., 1952. Masalah Agraria. Jilid I. Penerbit Tjakrawala,
Jakarta
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
101
SUPEROVULASI DAN PEMACUAN SEBAGAI SALAH
SATU CARA UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS
INDUK-INDUK BABI YANG ANGKA KELAHIRANNYA
RENDAH
I Putu Suyadnya
Pendahuluan
Ilmu reproduksi dapat diumpamakan sebagai pisau bermata
dua. Pada bidang kependudukan, ilmu reproduksi digunakan
untuk menekan laju pertambahan penduduk di negara-negara
yang padat penduduknya seperti Indonesia, melalui program
keluarga berencana (KB). Di bidang peternakan, ilmu reproduksi
digunakan sebaliknya untuk memperbaiki kinerja reproduksi agar
produktivitas ternak dapat ditingkatkan. Salah satu penerapan
ilmu reproduksi di bidang peternakan yang ditujukan untuk
meningkatkan produktivitas ternak (induk) adalah melalui
superovulasi dan pemacuan (flushing). Superovulasi adalah
peningkatan angka ovulasi di atas angka ovulasi karakteristik
ternak tersebut, biasanya dengan perlakuan hormonal (Hunter,
1982).
Pemacuan adalah suatu istilah yang digunakan
terhadap peningkatan jumlah dan mutu ransum sebelum induk
babi dikawinkan (Rattray, 1977). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan superovulasi dan pemacuan mampu meningkatkan
angka ovulasi. Penerapan kedua cara ini secara bersama atau
sendiri-sendiri menyebabkan peningkatan jumlah ovulasi sel
telur dan hal ini memberi peluang terjadinya pembuahan lebih
banyak sehingga peluang anak yang dilahirkan kemudian juga
akan meningkat. Pada kesempatan ini, khusus akan diuraikan
mengenai upaya peningkatan produktivitas induk-induk babi yang
angka kelahirannya rendah melalui superovulasi dan pemacuan.
Peranan ternak babi dalam memenuhi kebutuhan daging
sebagai sumber protein hewani bagi manusia tidak dapat disangkal.
Sebagian besar penduduk dunia non muslim mengkonsumsi daging
102
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Putu Suyadnya • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
babi di samping daging yang berasal dari ternak lainnya. Ternak
babi termasuk ternak kecil polytocous non ruminansia. Seekor
induk babi yang bagus, mampu menghasilkan anak antara 8 – 12
ekor sekali beranak. Jumlah anak yang ideal diasuh oleh seekor
induk babi hingga saat anak disapih adalah antara 8 – 10 ekor.
Pengamatan di lapangan menunjukkan masih sering ditemukan
induk-induk babi yang melahirkan anak dalam jumlah sedikit atau
di bawah angka kelahiran yang optimal di atas. Keadaan ini sering
menjadi keluhan para peternak yang memelihara induk-induk babi
untuk tujuan pembibitan, karena jumlah anak yang sedikit tersebut
mengurangi keuntungan yang didapat peternak. Namun demikian,
anak yang terlalu banyak juga kurang baik karena akan terjadi
kompetisi yang sangat ketat di antara anak-anak babi tersebut
dalam memperoleh air susu induk, apalagi bila jumlah anak yang
lahir melebihi jumlah puting susu yang dimiliki induk. Sasaran
yang diinginkan dari penerapan superovulasi dan pemacuan adalah
jumlah anak yang sesuai dengan kapasitas uterus dan kemampuan
induk-induk babi tersebut dalam mengasuh anak.
Apabila dalam memelihara induk-induk babi, peternak
telah melaksanakan seleksi induk dengan baik, mengawinkannya
dengan pejantan unggul, mengawinkannya pada saat yang tepat,
memberi ransum yang sesuai dengan kebutuhan dan merawatnya
dengan baik selama kebuntingan, namun ternyata kemudian
jumlah anak yang lahir sedikit maka angka ovulasi yang rendah
patut dicurigai sebagai penyebab angka kelahiran yang rendah
tersebut. Untuk induk-induk babi seperti tersebut di atas,
superovulasi dan pemacuan dapat diterapkan sebagai salah
satu upaya untuk membantu meningkatkan produktivitasnya.
Walaupun superovulasi dan pemacuan mampu meningkatkan
angka ovulasi di atas angka ovulasi karakteristik induk-induk babi
tersebut, tidak berarti induk-induk babi tersebut kemudian akan
melahirkan anak dalam jumlah banyak sesuai dengan peningkatan
angka ovulasinya. Kapasitas uterus induk-induk babi tersebut ikut
menentukan dan membatasi jumlah fetus yang ada dalam uterus
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan fetus selama
umur kebuntingan. Oleh karena itu, perlakuan superovulasi dan
pemacuan kurang efektif dan kurang menguntungkan apabila
dilakukan pada induk-induk babi yang angka kelahirannya sudah
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
103
Superovulasi dan Pemacuan Sebagai Salah Satu Cara untuk Meningkatkan Produktivitas Induk-induk
Babi uang Angka Kelahirannya Rendah
tinggi. Di samping itu perlu digaris bawahi, pada ternak babi 30
persen sel telur gagal dalam perkembangannya memjadi embrio
hidup sampai pada umur kebuntingan 25 hari dan 15 persen
lagi embrio tidak dapat dipertahankan lahir sebagai anak yang
hidup (Toelihere, 1981). Masa awal kebuntingan merupakan
masa yang paling kritis bagi kehidupan embrio, yaitu mulai dari
terjadinya konsepsi, migrasi embrio, implantasi embrio hingga
umur kebuntingan 25 hari. Migrasi embrio terjadi antara umur
kebuntingan 9 – 12 hari (Polge dan Dziuk, 1970; Dziuk, 1977).
Migrasi embrio antar tanduk uterus pada ternak babi adalah
penting untuk mencegah kematian embrio apabila penyebaran
embrio tidak merata antar tanduk uterus kiri dan kanan (Dhindsa
dan Dziuk, 1968). Implantasi embrio babi mulai terjadi pada
umur kebuntingan 13 hari (Hunter, 1977) atau paling cepat pada
umur kebuntingan 10 hari dan implantasi secara sempurna baru
terjadi antara umur kebuntingan 14 - 18 hari (Anderson, 1978).
Selanjutnya Anderson (1980) menyatakan, embrio yang hidup
berkurang sampai 17 persen pada umur kebuntingan 18 hari,
berkurang sampai 33 persen pada umur kebuntingan 25 hari,
dan berkurang 40 persen pada umur kebuntingan 50 hari. Dari
pernyataan di atas dapat diperkirakan, seekor induk babi yang
mampu beranak 10 - 12 ekor minimal memiliki angka ovulasi 18 –
20 sel telur. Oleh karena itu, sangat kecil kemungkinannya seekor
induk babi beranak 10 – 12 ekor apabila angka ovulasinya kurang
dari 18 – 20 sel telur. Sebaliknya dalam uterus induk babi yang
sedang bunting, minimal harus berisi sebanyak empat embrio
pada awal kebuntingan sebelum implantasi. Apabila pada awal
kebuntingan jumlah embrio kurang dari empat maka kebuntingan
tidak akan berlanjut (Polge et al., 1966). Kurang dari empat embrio
pada awal kebuntingan ternyata belum mampu menekan pengaruh
luteolytic dari uterus. Korpus luteum akan mengalami regresi dan
embrio yang masih hidup akan diserap secara sempurna oleh
dinding uterus. Faktor luteolytic tersebut adalah prostaglandin
F2α (PGF2α) yang disekresi oleh endometrium pada akhir phase
luteal (Hunter, 1977). Akan tetapi, jumlah embrio kurang dari
empat setelah implantasi, tidak berpengaruh terhadap kelanjutan
kebuntingan (Jainudeen dan Hafez, 1980). Jumlah anak (litter
size) juga erat hubungannya dengan umur induk dan jumlah kali
104
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Putu Suyadnya • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
beranak. Pada umumnya, semakin bertambah umur induk dan
semakin sering induk beranak semakin meningkat jumlah anak
yang dilahirkan. Puncak peningkatan jumlah anak pada induk
babi terjadi pada beranak yang ke 5 sampai ke 7, dan pada beranak
berikutnya jumlah anak mulai menurun lagi.
Cara Superovulasi dan Pemacuan
Superovulasi pada babi dapat dilakukan dengan pemberian
suntikan hormon gonadotrophin. Termasuk hormon gonadotrophin
adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone
(LH), Luteotrophic Hormone (LTH), Pregnant Mare’s Serum
Gonadotrphin (PMSG) dan Human Chorionic Gonadotrophin (HCG)
(Partodihardjo, 1980). Dari hormon-hormon yang disebutkan di
atas, yang paling sering digunakan adalah kombinasi FSH dan LH
atau PMSG dan HCG. FSH dan LH adalah hormon yang dihasilkan
oleh kelenjar hipofisa bagian anterior. Fungsi utama FSH adalah
merangsang pertumbuhan dan perkembangan folikel yang ada di
ovarium, sedangkan LH merangsang terjadinya ovulasi sel telur
yang sudah masak. PMSG adalah hormon yang dihasilkan oleh
mangkok-mangkok endometrium uterus kuda bunting (umur
kebuntingan 40 – 120 hari) dan terdapat dalam konsentrasi cukup
tinggi pada serum darah kuda bunting tersebut, sedangkan HCG
adalah hormon yang dihasilkan oleh selaput chorion pada plasenta
wanita hamil muda dan diekskresikan melalui urine (Toelihere,
1981). PMSG memiliki sifat-sifat fisiologis seperti FSH sedikit
LH, sedangkan HCG memiliki aktivitas seperti LH (Partodihardjo,
1980). Dewasa ini, preparat hormon tersebut telah dibuat khusus
untuk ternak dan dperdagangkan dengan nama PG.600, Folligon,
dan Chorulon. PG.600 adalah preparat hormon yang berisi 400
i.u. PMSG dan 200 i.u. HCG untuk setiap ampulnya. Folligon adalah
preparat hormon yang berisi serum gonadotrophin B.Vet.C (PMS)
sedangkan Chorulon adalah preparat hormon yang berisi chorionic
gonadotrophin B.Vet.C (LH). Pemberian PG.600 pada ternak babi
dilakukan melalui penyuntikan di bawah kulit belakang telinga
sedangkan untuk Folligon dan Chorulon dapat diberikan melalui
penyuntikan di bawah kulit atau melalui pembuluh darah vena.
Masing-masing kombinasi hormon tersebut dapat diberikan
secara terpisah dengan jarak beberapa hari atau dapat pula
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
105
Superovulasi dan Pemacuan Sebagai Salah Satu Cara untuk Meningkatkan Produktivitas Induk-induk
Babi uang Angka Kelahirannya Rendah
diberikan keduanya pada waktu yang sama. Respon superovulasi
yang ditimbulkan oleh pemberian suntikan hormon gonadotrophin
di atas sangat tergantung pada waktu penyuntikan dan dosis
hormon gonadotrophin yang disuntikkan. Penerapan superovulasi
pada fase folikel memberikan hasil lebih baik daripada superovulasi
pada fase luteal. Makin banyak dosis hormon gonadotrophin
yang disuntikkan makin meningkat angka ovulasi yang diperoleh.
Beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa penyuntikan
PMCG dengan kisaran dosis antara 1.000 –1.500 i.u., secara nyata
meningkatkan angka ovulasi. (Gibson et al., 1963; Hunter, 1964;
Christenson et al., 1970; Webel et al., 1970). Penyuntikan PMSG
untuk tujuan superovulasi pada babi dara umumnya dilakukan
pada siklus berahi hari ke 15 atau ke 16, yang disusul kemudian
dengan penyuntikan HCG pada hari ke 20 sedangkan untuk babi
induk penyuntikan kombinasi PMSG dan HCG dapat dilakukan
segera sesudah anak disapih.
Perlakuan superovulasi dengan memberikan suntikan
hormon gonadotrophin di atas akan memberikan hasil lebih
baik apabila disertai perlakuan pemacuan (Suyadnya, 1987).
Pemacuan dengan cara meningkatkan jumlah kandungan energi
dalam ransum menjadi 6 – 8 Mkal ME per hari dapat merangsang
peningkatan angka ovulasi (Rattray, 1977). Bahan pakan pelengkap
sebagai sumber energi yang sering digunakan untuk pemacuan
adalah glukosa, sukrosa, minyak jagung dan lemak babi. Lama
pemacuan yang optimal adalah 11 – 14 hari. Untuk mengurangi
biaya ransum, beberapa peneliti telah mencoba menerapkan
pemacuan dengan menggunakan interval waktu yang lebih
pendek. Perlakuan pemacuan yang diberikan kepada induk-induk
babi ternyata berhasil meningkatkan angka ovulasi dan jumlah
anak yang dilahirkan (Kirkpatrick et al., 1967; Lodge dan Hardy,
1968; Tomes, 1980; Toelihere, 1981).
Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam
penerapan superovulasi dan pemacuan ini, maka beberapa
tata laksana berikutnya (setelah perlakuan superovulasi dan
pemacuan) sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan dengan
baik terhadap induk-induk babi tersebut yaitu, (1) mengawinkan
dengan pejantan unggul, (2) mengawinkan pada waktu yang
tepat, (3) memberi ransum yang baik kualitasnya sesuai dengan
106
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Putu Suyadnya • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
kebutuhan selama bunting, dan (4) merawat dengan ramah dan
baik selama bunting.
(1) Penggunaan pejantan unggul
Pejantan yang digunakan untuk mengawini induk-induk
babi tersebut haruslah pejantan unggul yang secara nyata
telah membuktikan dirinya sebagai pejantan unggul. Hal
ini dapat diketahui dari mutu dan jumlah anak (keturunan)
yang dihasilkan sebelumnya dari induk-induk babi yang
lain. Penggunaan pejantan unggul untuk mengawini indukinduk babi tersebut sebaiknya tidak lebih dari tiga kali dalam
seminggu, agar mutu sperma tetap baik (Hunter, 1982).
(2) Mengawinkan pada waktu yang tepat
Induk-induk babi yang telah mendapat perlakuan superovulasi
dan pemacuan harus dikawinkan pada waktu yang tepat
karena daya hidup sperma dalam saluran alat kelamin induk
adalah terbatas. Oleh karena itu, sangat penting perkawinan
disesuaikan dengan watu ovulasi terjadi. Ovulasi sel telur
terjadi antara 33 – 39 jam pada babi induk dan 24 – 36 jam
pada babi dara yang dihitung dari awal berahi (Smirnov
dan Tereschchenco, 1980) atau 40 jam setelah penyuntikan
HCG (Hunter, 1982). Awal berahi adalah saat induk mulai
menerima (dinaiki) pejantan. Tes awal berahi juga dapat
dilakukan dengan menekan punggung induk yang dimulai
dari saat munculnya tanda-tanda berahi. Apabila dalam tes
tersebut induk diam saja saat ditekan punggungnya, maka hal
itu dinyatakan sebagai tanda awal berahi. Untuk mendapatkan
hasil yang baik, perkawinan hendaknya dilakukan pada waktu
berahi akhir hari pertama atau awal hari kedua (Foote, 1980;
Suyadnya et al., 1987).
(3) Ransum yang baik kualitasnya
Ransum untuk induk-induk babi yang sedang bunting
harus memperhitungkan kebutuhan zat-zat makanan yang
dibutuhkan oleh embrio yang ada dalam uterus. Ransum
standar untuk seekor induk babi yang sedang bunting harus
mengandung protein 16 – 18%, lemak 3 – 5%, serat 5 –
7%, Ca 0,7 – 0.9%, P 0,4 – 0,6%, beberapa macam vitamin,
beberapa asam amino esensial dan energi 2700 –2900 Kkal.
per kg ransum (dikutip dari brosur PT. Comfeed). Jumlah
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
107
Superovulasi dan Pemacuan Sebagai Salah Satu Cara untuk Meningkatkan Produktivitas Induk-induk
Babi uang Angka Kelahirannya Rendah
ransum standar tersebut diberikan sebanyak 2 – 2,5 kg
per hari per ekor induk (bobot badan 100 – 125 kg), yang
peningkatan jumlah pemberiannya disesuaikan dengan umur
kebuntingan.
(4) Perawatan yang ramah selama bunting
Seperti sudah disinggung di muka, masa awal kebuntingan
pada induk babi merupakan masa yang paling kritis bagi
kehidupan embrio. Oleh karena itu, perawatan yang ramah
dan suasana yang tenang sangat diperlukan bagi induk-induk
babi tersebut. Perlakuan yang kurang ramah dan suasana
yang tidak tenang akan dapat menimbulkan cekaman bagi
induk sehingga memberi dampak kurang baik bagi kehidupan
embrio di dalam uterus dan tidak mustahil hal tersebut
memperbesar angka kematian embrio.
Perlakuan Superovulasi dan Pemacuan Terhadap Peningkatan
Jumlah Anak Babi
Berikut ini dilaporkan beberapa hasil penelitian yang telah
berhasil meningkatkan produktivitas induk-induk babi melalui
penerapan superovulasi dan pemacuan. Longenecker dan Day
(1968) melaporkan dalam penelitiannya bahwa induk-induk babi
yang diberi suntikan sebanyak 1.500 i.u. PSG, beranak dua ekor
lebih banyak dibandingkan dengan kontrol (11,3 vs 9,3 ekor).
Selanjutnya Baker et al. (1970) juga melaporkan bahwa babi dara
yang diberi suntikan sebanyak 2.000 i.u. PMSG, menghasilkan
rataan anak 1,5 ekor lebih banyak dibandingkan dengan kontrol
(9,9 vs 8,4 ekor).
Superovulasi pada babi bali dengan cara memberi suntikan
P.G.600 sebanyak dua ampul (dilakukan pada siklus berahi hari ke16 untuk babi bali dara dan segera sesudah anak disapih untuk
babi bali induk) yang disertai pemacuan dengan cara pemberian
pakan tambahan berupa glukosa sebanyak 1,5 % dari bobot badan
(dimulai dari siklus berahi hari ke-14 untuk babi dara dan mulai
saat disapih untuk babi induk sampai saat dikawinkan) berhasil
meningkatkan rataan anak 2,5 ekor lebih banyak daripada kontrol
pada kelahiran pertama (7,4 vs 4,9 ekor); 2,12 ekor lebih banyak
daripada kontrol pada kelahiran kedua (8,56 vs 6,44 ekor); dan
2,87 ekor lebih bayak daripada kontrol pada kelahiran ketiga (9,50
108
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Putu Suyadnya • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
vs 6,63 ekor) (Suyadnya, 1987). Peningkatan jumlah anak babi
dengan cara pemacuan saja, juga berhasil dilakukan antara lain
dengan pemberian pakan tambahan berupa lemak babi (Suyadnya
et al., 1988), glukosa (Suyadnya, 1991), dan gula bali (Suyadnya,
1996).
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Superovulasi dan pemacuan dapat dilakukan untuk
meningkatkan produktivitas induk-induk babi yang angka
kelahirannya rendah, terutama sekali yang disebabkan oleh
angka ovulasi yang rendah.
2. Peningkatan produktivitas yang lebih baik akan diperoleh
dari perlakuan superovulasi dan pemacuan apabila tata
laksana selanjutnya diperhatikan dan dikerjakan dengan
saksama, yaitu: a) mengawinkan induk-induk babi tersebut
dengan pejantan unggul; b) mengawinkan induk-induk babi
tersebut pada waktu yang tepat, c) memberi ransum yang
baik kualitasnya dan sesuai dengan kebutuhan induk-induk
babi tersebut selama bunting, dan d) merawat induk-induk
babi dengan baik dan ramah selama bunting.
3. Superovulasi dan pemacuan kurang efektif dilakukan untuk
meningkatkan produktivitas induk-induk babi yang angka
kelahirannya sudah cukup bagus.
4. Superovulasi dan pemacuan yang dilakukan bersama-sama
memberikan hasil yang lebih baik terhadap jumlah anak yang
dilahirkan daripada perlakuan superovulasi atau pemacuan
yang dilakukan secara sendiri-sendiri.
Daftar Pustaka
Anderson, L. L. 1978. Growth, protein content and distribution of
early pig embryos. Anat. Rec. 190: 43 – 154.
Anderson, L. L. 1980. Pigs. In E. S. E. Hafez, ed. Reproduction in
Farm Animals. Lea & Febiger. Philadelphia. pp. 258 – 386.
Baker, R. D., G. A Shaw and J. S. Dodds. 1970. Control of estrus
and litter size in gilts with Aimax (ICI 38,828) and pregnant
mare’s serum. Can. J. Anim. Sci. 50: 25 – 29.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
109
Superovulasi dan Pemacuan Sebagai Salah Satu Cara untuk Meningkatkan Produktivitas Induk-induk
Babi uang Angka Kelahirannya Rendah
Christenson, R. K., C. E. Pope, V. A. Zimmerman and B. N. Day. 1970.
Synchronization of ovulation in superovulated gilts. J. Anim.
Sci. (abstr.) 31: 219.
Dhindsa, D. S. and P. J. Dziuk. 1968. Influence of varying the
proportion of uterus occupied by embryos on maintenance of
pregnancy in the pig. J. Anim. Sci. 27: 668 – 672.
Dziuk, P. J. 1977. Reproduction in Pigs. In H. H. Cole and P. T.
Cupps, eds. Reproduction in Domestic Animals. Academic
Press. New York. pp. 455 – 498.
Foote, R. H. 1980. Artificial Insemination. In E. S. E. Hafez, ed.
Reproduction in Farm Animals. Lea & Febiger. Philadelphia.
pp: 521 – 545.
Gibson, E. W., S. C. Jaffe, J. F. Lasley and B. N. Day. 1963. Reproductive
performance in swine following superovulation. J. Anim. Sci.
(abstr.) 22:858.
Hunter, R. H. F. 1964. Superovulation and fertility in the pig. Anim.
Prod. 6: 189 – 194.
Hunter, R. H. F. 1977. Physiological factors influencing ovulation,
fertilization, early embryonic development and establishment
of pregnancy in pigs. Br. Vet. J. 133: 461 – 470.
Hunter, R. H. F. 1982. Reproduction of Farm Animals. Longman.
New York.
Jainudeen, M. R. and E. S. E. Hafez. 1980. Gestation, Prenatal
Physiology and Parturation. In E. S. E. Hafez, ed. Reproduction
in Farm Animals. Lea & Febiger. Philadelphia. pp: 449
– 470.
Kirkpatrick, R. L., B. E. Howland, N. L. First and L. E. Casida. 1967.
Ovarian and pituitary gland changes in gilts on two nutrient
energy levels. J. Anim. Sci. 26: 188 – 192.
Lodge, G. A. and B. Hardy. 1968. The influence of nutrition during
estrus on ovulation rate in the sow. J. Reprod. Fert. 15: 329332.
Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Percetakan
Offset Mutiara. Bandung.
Polge, C., L. E. A. Rowson and M. C. Chang. 1966. The effect of
reducing the number of embryos during early stages of
gestation on maintenance of pregnancy in the pig. J. Reprod.
Fert. 12: 395 – 397.
110
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Putu Suyadnya • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Polge, C. and P. J. Dziuk. 1970. Time of cessation of intra uterine
migration of pig embryos. J. Anim. Sci. 31: 565 – 566.
Rattray, P. V. 1977. Nutrition and Reproductive Efficiency. In H. H.
Cole and P. T. Cupps, eds. Reproduction in Domestic Animals.
Academic Press. New York. pp: 553 – 576.
Smirnov, I. and I. Tereshchenco. 1980. Insemination of pigs on
large farms. Anim. Breed. Abstr. 48: 890.
Suyadnya, P. 1987. Peningkatan Produksi Anak Babi Bali melalui
Superovulasi dan Pemacuan. Disertasi Doktor. Fakultas Pasca
Sarjana, IPB. Bogor.
Suyadnya, P., S. Partodihardjo, M. R. Toelihere dan S. Djojosudarmo.
1987. Pengaruh waktu berahi dan frekuensi perkawinan
terhadap jumlah embrio pada babi bali dara. Majalah Ilmiah
UNUD, XIV (17).
Suyadnya, P., W. Wirtha, M. Mastika, K. Rika dan G. M. Putra. 1988.
Pengaruh Flushing pada Produksi Anak Babi Bali. Laporan
Hasil Penelitian ke Puslit. UNUD.
Suyadnya, P. 1991. Pengaruh pemberian pakan glukosa terhadap
jumlah anak babi bali. Majalah Ilmiah UNUD, XVIII (30): 71
– 74.
Suyadnya, P. 1996. Attempt to increase litter size of bali pigs
by feed supplementation of gula bali (Cocos nucifera Lina).
Majalah Ilmiah Peternakan, Fapet., UNUD. 2: 66 – 69.
Toelihere, M. R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit
Angkasa. Bandung.
Tomes, G. J. 1980. Effects of post-weaning feeding levels and
pregnant mare’s serum gonadotrophin (PMSG) on sow
reproductive performance. Anim. Breed. Abstr. 48: 459.
Webel, S. K., J. B. Peters and L. L. Anderson. 1970. Control of estrus
and ovulation in the pig by ICI 33828 and gonadotrophins. J.
Anim. Sci. 30: 791 – 794.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
111
PENANGANAN PASCAPANEN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP HASIL DAN MUTU DAGING PADA SAPI BALI
I Ketut Saka
Pendahuluan
Proses pemanenan sapi potong/daging dimulai dengan
peniadaan pemberian pakan dan air minum kepada hewan, berlangsung melalui berbagai prosedur penanganan dan pengangkutan yang memuncak di rumah potong hewan (RPH) yang di dalamnya hewan disembelih dan karkasnya diproses untuk dijual
baik kepada pasar lokal maupun pasar ekspor. Cara dan metode
yang diterapkan dalam proses pemanenan ini dapat mempengaruhi dengan nyata penghasilan industri daging (Eldridge, 1982).
Jadi, penanganan pascapanen sapi potong/daging yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah penanganan yang dilakukan
terhadap ternak mulai ketika ternak meninggalkan tempat
pemeliharaannya (produsen) diangkut ke pasar hewan atau
langsung ke rumah potong hewan ketika ternak tersebut
telah mencapai bobot jual, perlakuan selama istirahat sebelun
pemotongan di RPH, prosedur pemotongan dan perlakuaan
terhadap karkas sesudah pemotongan. Karena itu, maka penanganan pascapanen sapi potong amat erat hubungannya dengan
penanganan dan pengangkutan hewan serta tidak terlepas
hubungannya dengan aspek kesejahteraan hewan (animal welfare) tersebut.
Perbaikan kesejahteraan hewan selama prosedur penanganan dan pengangkutan akan meningkatkan produktivitas dan
membantu mengurangi kerugian oleh karena mutu karkas yang
jelek. Karena itu, maka ditinjau dari agroindustri peranan
penanganan pascapanen amat penting karena penanganan yang
tidak semestinya atau ceroboh selama pascapanen akan menga112
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
kibatkan kerugian yang amat besar akibat terjadinya penurunan hasil dan mutu daging yang nilai finansialnya tinggi. Terlebihlebih lagi kerusakan daging akibat luka memar (bruises) karkas
misalnya biasanya terjadi pada bagian-bagian karkas yang
dagingnya bermutu prima seperti rump (daging bokong) dan loin
(daging pinggang).
Penanganan dan pengangkutan hewan dapat menyebabkan
cekaman (stress), luka memar (bruises) dan dalam beberapa
hal luka yang lebih serius dan mati. Cekaman mempunyai
dampak buruk terhadap warna, tekstur dan daya simpan (keeping quality) daging dan keterterimaan (acceptability) konsumen, sedangkan luka memar sering mengharuskan potongan
karkas yang dagingnya paling mahal diiris atau dibuang dan
kadang-kadang harus dilakukan pengapkiran karkas seluruhnya.
Penanganan pascapanen sapi potong secara umum dapat
dipilah-pilah atas beberapa tahapan: (1) pengumpulan sapi di
tempat pemeliharaan (farm), (2) pemuataan ternak ke dalam
kendaraan dan pengangkutan ke pasar hewan dan penurunannya,
atau langsung ke RPH, (3) pemuatan ternak dari pasar hewan,
pengangkutan ke RPH dan penurunannya, (4) pemberiaan istirahat, air minum dan pakan beberapa saat sebelum pemotongan
di RPH, (6) prosedur pemotongan, dan (7) perlakuan sesudah
pemotongan (pelayuan, penggantungan karkas dan stimulasi
listrik). Demikian pula Lawrie (1979) berpendapat, bahwa
meskipun kebanyakan hanya beberapa hari saja berselang
antara waktu ketika ternak daging telah mencapai bobot badan
yang diinginkan oleh produsen dan saat pemotongan, kondisinya
mungkin berubah besar selama masa ini. Ini terjadi hingga cukup
besar tidak memandang apakah sapi digiring dengan jalan kaki
di darat atau diangkut dengan kendaraan ke RPH. Selama
pengangkutan ini mungkin terjadi susut bobot badan, beberapa
bagian tubuh ternak mungkin mengalami luka memar dan jika
hewan diangkut dengan kereta api, ternak mungkin mati lemas
karena ventilasi yang tidak mencukupi.
Di Indonesia, masalah panen ternak potong belum mendapat perhatian yang sungguh-sungguh oleh praktisi, usahawan
yang terlibat dalam industri peternakan atau aparat yang
berwewenang. Ini terbukti dalam praktik sehari-hari dari
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
113
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
sikap, perlakuan, dan cara-cara yang dilakukan oleh para
petugas handlers dalam pengangkutan ternak, alat-alat
perlengakapan dan fasilitas yang tersedia untuk pengangkutan
ternak yang tidak memadai dalam pengangkutan ternak serta
prosedur pemotongan hewan yang kurang berperikemanusiaan
yakni tidak memperhatikan aspek kesejahteraan hewan (animal
welfare). Meskipun cara-cara pengangkutan ternak sudah
diatur dalam undang-undang peternakan, tetapi dalam praktik
sehari-hari peraturan dalam perundang-undangan tersebut tidak
pernah dilaksanakan.
Menurut Djarsanto (1993), kerusakan yang terjadi selama
penanganan pascapanen di Indonesia untuk produk ternak masih
cukup tinggi yaitu pada sapi daging 5-10%, telur 10-20% dan
susu 5-12%. Kerugian selama pengangkutan karena kematian
ternak mencapai 1-3%, dan susut bobot badan 7-10%.
Di negara-negara yang industri peternakannya tela
h maju, akhir-akhir ini banyak penekanan diletakkan pada
konsekuensi ekonomi yang sungguh-sungguh yang terjadi sebagai akibat penanganan dan pengangkutan ternak yang buruk.
Juga kepedulian dinyatakan berkenaan dengan kesejahteraan
hewan dalam pengangkutan sebelum pemotongan. Hasil penelitian oleh the Meat and Livestock Commission (MLC) di Inggeris selama 1972 dan 1974 menunjukkan bahwa hingga 10% dari
karkas anak domba gemuk dan domba muda dan 50% dari karkas
babi rusak dalam beberapa cara karena penanganan yang salah
antara farm dan RPH (Wilson et al., 1981).
Selain karena luka fisik, penyakit mungkin terjadi
sebagai akibat cekaman pengangkutan (karena perlakuan yang
kasar waktu memuat ternak ke dalam kendaraan atau menurunkannya), teristimewa kalau jaraknya dan masa pengangkutannya
lama. Mutu daging mungkin menurun karena kondisi seperti
daging berwarna gelap (dark), keras (firm), dan kering (dry)
atau dikenal dengan fenomena DFD meat (dark cutting meat)
karena hewan mengalami cekaman kronis, atau terjadi daging
yang berwarna pucat (pale), lembek (soft), dan permukaan
daging berair (exudative) yang dikenal dengan PSE meat karena
cekaman yang akut (acute). Kemungkinan bisa terjadi bercakbercak darah dalam daging karkas (blood splashing) oleh karena
114
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
kesalahan prosedur pemotongan atau hewan waktu dipotong masih
dalam keadaan lelah (fatigue) karena pemberian masa istirahat se
belum pemotongan (preslaughter rest period) yang tidak cukup.
Cara menggantung karkas yang tidak mengikuti metode
yang semestinya (tender streatch) sehabis pemotongan di
dalam ruang pelayuan selama proses pelayuan (ageing) dalam
ruang pelayuan (chilling room) juga menyebabkan beberapa
daging karkas yang tergolong prima (klas satu) akan berkurang keempukannya akibat serabut-serabut ototnya bebas
memendek oleh suhu yang rendah (4-5oC) (cold constructure).
Tindakan menyimpan daging dalam ruang freeze sebelum proses
rigor mortis dalam daging tersebut selesai akan dapat menimbulkan fenomena thaw rigor sehingga kalau daging demikian
dimasak akan alot
Pengumpulan Sapi Potong di Tempat Pemeliharaan
Untuk ternak sapi, umumnya para peternak di Indonesia
tidak membawa langsung sapinya sendiri ke pasar hewan untuk
dijual, tetapi melalui pedagang perantara (tengkulak). Sapi-sapi
yang akan diangkut ke pasar hewan biasanya dikumpulkan pada
suatu tempat di pinggir jalan raya oleh para tengkulak.
Sapi-sapi dinaikkan ke dalam truk dengan fasilitas yang
tidak memadai dan dengan perlakuan yang kasar yang tidak
pelak lagi dapat menimbulkan cekaman yang berat bagi ternak
tersebut. Tetapi, pada perusahaan peternakan sapi daging yang
besar dengan sistem pemeliharaan ekstensif maka tempat
pengumpulan, pemilahan, seleksi dan penanganan ternak (yard)
harus dirancang dengan baik dan benar. Cara-cara penanganan
ternak waktu pengumpulannya harus tepat berdasarkan pengetahuan tingkah laku hewan secara umum dan khusus untuk bangsa
ternak tertentu. Menurut Grandin (1980), sapi ditangani
(digiring) lebih sangkil (efficient) dan menderita kegelisahan dan cekaman lebih sedikit pada yard yang dirancang dan
dikonstruksi baik, seperti yard melingkar dan berdinding
solid yang mengeksploitasi kecenderungan alamiah sapi
mengikuti lorong melengkung dan mempertahankan jarak kritis
(flight zone) dari penggembala (handler), ditambah naluri
untuk membuntuti pemimpinnya (sapi yang paling di
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
115
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
depan)(Kilgour, 1978). Tingkah laku membuntuti (following
behaviour) pada sapi ada hubungaannya dengan naluri yang
kuat untuk mempertahankan kontak visual dengan satu sama
lainnya (Kilgour, 1971). Sapi akan berdiri pada sudut tangen
120o terhadap satu sama lainnya (Strickland, 1978). Ini
sesuai dengan sudut antara aksis optik kedua mata hewan
tersebut. Yard yang berdinding solid mencegah sapi yang ada
di dalamnya dapat melihat manusia atau obyek bergerak lainnya
yang ada di luar fasilitas tersebut. Juga bentuk yard demikiaan
terbukti dapat mengurangi kejadian luka memar (bruises) pada
karkas. Bagian-bagian karkas yang mengalami luka memar harus
diiris dan dibuang dalam jumlah yang bervariasi bergantung
pada ringan dan beratnya memar tersebut. Ini dilakukan untuk
memenuhi baku mutu internasional untuk ekspor daging.
Karenanya maka hasil dan mutu karkas yang bersangkutan
menurun. Kejadian yang terakhir ini telah menimbulkan
kerugiaan finansial yang amat besar bagi industri peternakan
di seluruh Australia, kira-kira $1.750.000 per tahun yang
separuhnya terjadi di negara bagian Queensland, sebagai gudang
sapi terbesar di Australia (Australian Meat Board, 1954). Kejadian
luka memar juga banyak terjadi selama pengangkutan oleh karena
terjadinya pergesekan dengan dinding kendaraan atau bagianbagian lainnya dari kendaraan atau karena tanduk sapi-sapi
lainnya di dalam kendaraan (Meischke, 1975). Sedangkan Korn
(1975) memperkirakan kerugian industri sapi daging Australia
berkisar dari $17.000.000 sampai $22.000.000 tiap tahun, atau
rugi lebih daripada $3 tiap ekor sapi yang dipotong.
Karena itu pemotongan tanduk (dehorning) atau pengembang-biakkan sapi yang tidak bertanduk (polled cattle) akan dapat
mengurangi kejadian luka memar pada karkas atau mengurangi
kerugian finansial karena luka memar ini.
Bangsa sapi (breed)
Brahman atau Zebu (Bos Indicus) lebih mudah menjadi gelisah/
liar (excitable) dan lebih susah ditangani daripada bangsa sapi
Inggris seperti Herefords dan Angus. Sapi tipe Brahman (Bos
Indicus) lebih sulit membloknya di pintu (Tulloh, 1961) dan
cenderung menjdi liar dan membentur pagar. Agitasi pada sapi
Brahman mudah terlihat dengan dikibas-kibaskannya ekornya,
sapi-sapi yang gelisah ekornya berdiri tegak (Kiley, 1976). Bangsa
116
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
sapi Angus lebih gelisah (nervous) dari pada Hereford atau Short
horn (Bos taurus), tetapi sapi ini juga mempunyai kecenderungan
membandel dan menolak untuk bergerak (Tulloh, 1961). S
api Holsyein cenderung bergerak perlahan-lahan. Persilangan
Brahman dan sapi tipe Brahman dapat menjadi aamat tercekam
(stress) dan terganggu sehingga sapi tersebut akan berbaring dan
diam. Telan diamati bahwa sapi Brahman di dalam penggiringan (ya
rd), terutama setelah ditonjok berulang-ulang dengan penyodok
listerik (Fraser, 1960). Bila sapi Brahman berbaring dan menjadi
submisif (tunduk ketakutan), sapi tersebut harus dibiarkan
sendirian kira-kira lima menit, jika tidak, sapi tersebut bisa
shock dan mati. Masalah tersebut jarang terjadi pada sapisapi Inggeris atau pada sapi-sapi Eropa lainnya seperti French
Charolais (Grandin, 1980).
Kebisingan yang berlebihan dapat
menimbulkan
cekaman terhadap ternak dan orang-orang yang bekerja di
tempat pengumpulan ternak. Semua tipe ternak negatif
terhadap suara teriakan orang. Petugas (handler) yang
menangani ternak dengan tenang, lemah lembut, terampil
yang hanya bersuara berdesis yang kecil dapat menggiring
ternak per jam lebih banyak daripada petugas yang berteriakteriak (Grandin, 1980). Kepekaan sapi terhadap kebisingan,
juga telah ditunjukkan oleh hasil-hasil penelitian bahwa
lebih banyak sapi-sapi yang menderita luka memar (bruises)
bila pesawat helikopter atau kendaraan darat (mobil atau
sepeda motor) dipakai untuk mengumpulkan (mustering) sapisapi tersebut daripada jika sapi-sapi tersebut dikumpulkan
dengan memakai kuda atau kapal terbang biasa (fixed wing
aircraft)(Wythes, 1981).
Pengangkutan Sapi dari Tempat Pemelihraan ke Pasar Hewan
dan dari Pasar Hewan ke Rumah Potong Hewan
Sapi mungkin diangkut dengan truk, kereta api, kapal
laut dan pesawat udara untuk tujuan pengembangbiakan, penggemukan dan pemotongan. Perdagangan terbesar adalah pengangkutan sapi untuk pemotongan, dan kebanyakan data penelitian
yang tersedia berhubungan dengan keadaan ini.
Proses pengangkutan mulai dengan pengumpulan dan terma-
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
117
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
suk pemuatannya ke dalam kendaraan (loading), pengurungan
dengan dan tanpa gerakan, penurunan dari kendaraan (unloading) dan pengandangan (penning) dalam lingkungan baru dan
asing (Grandin, 1993).
Masa ketika hewan dipindahkan dari suatu tempat ke
tempat lain barangkali merupakan sesuatu yang paling trauma/
menakutkan bagi kehidupan hewan bersangkutan. Meninggalkan suatu lingkungan yang telah dikenal relatif aman, terpajan
(exposed) oleh berbagai cekaman lingkungan (environmental
stresses) termasuk
perubahan
suhu
(panas,
dingin),
kelembaban, ventilasi, tingkat kebisingan, pengelompokan
kembali secara sosial, besarnya kelompok dan kepadatan yang
mungkin secara tersendiri atau kombinasi memicu tekanan
fisiologi yang mempunyai suatu dampak patologi. Bagaimanapun
juga kemungkinan baiknya kondisi tersebut tetapi jika dilakukan
pengangkutan, hewan pasti menderita cekaman (stress),
bergantung pada intensitas cekaman dan kondisi hewan, dapat
mengakibatkan dari luka memar ringan sampai mati (Scott,
1978).
Cekaman (stress) hendaknya dibedakan dengan penderitaan
(suffering). Penderitaan, menurut Dawkins (1980) menunjukkan
adanya kisaran luas keadaan subyektif orang atau hewan yang
kuat dan tidak menyenangkan seperti ketakutan dan frustrasi.
Cekaman sebaliknya, biasanya mengacu kepada serangkaian
perubahan fisiologi, seperti bebasnya hormon, yang berlangsung dalam tubuh bila hewan (atau manusia) dipajan (subjected) terhadap luka, suhu sepaling (extreme), dan sebagainya.
Dalam beberapa keadaan, perubahan-perubahan fisiologi yang
disebut stress mungkin menyertai keadaan subyektif suffering.
Nilai pH yang tinggi (>5,8) pada daging DFD atau terlalu
rendah (<5,0) pada daging PSE, masing-masing merupakan
petunjuk bahwa ternak mengalami cekaman kronis dan akut
sebelum dipotong. Pada hewan hidup, kadar plasma hormon
noradrenalin (terutama mempunyai fungsi vasoconstrictor)
petunjuk yang berguna untuk cekamaan emosional dan gerakan
otot (exercise). Sedangkan kadar cyclic AMP, berdasarkan
kebergantungannya sekali pada hormon catecholamine merupakan
petunjuk yang baik untuk cekaman bius (stunning stress) pada
118
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
babi. Uji halothane (bius) adalah salah satu cara diagnose
kepekaan cekaman yang paling populer untuk babi. Juga serum
creatin kinase dibebaskan lebih banyak oleh babi yang peka
cekaman dariapada yang tahan cekaman selama mengalami cekaman (Lawrie, 1981). Pada sapi, kadar hormon cortisol dan/
atau corticosterone merupakan ukuran yang berguna mengenai tanggapan terhadap cekaman akut yang berjangka waktu
pendek (Grandin, 1993).
Oleh karena itu perlakuan-perlakuan yang berperikemanusiaan yakni yang memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan
hewan
dalam
penanganan
ternak
yang
akan
dipotong selama pengumpulan, menaikkan dan menurunkan
ke dan dari dalam kendaraan, selama
pengangkutan,
pengandangan/istirahat di RPH dan saat penyembelihannya
adalah amat penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan oleh
para petugas yang menangani ternak yang akan dipotong. Juga
Tarrant dan Grandin (dikutip oleh Grandin, 1993) menyatakan
bahwa pengangkutan (hewan) secara alamiah merupakan
kejadian yang tidak biasa (asing) dan mengancam dalam
kehidupan hewan piaraan. Pengangkutan melibatkan serangkaian
situasi penanganan (handling) dan yang di dalamnya terdapat
keadaan yang mencekam yang tidak dapat dihindari dan dapat
menimbulkan bahaya dan luka bahkan kematian hewan
jika tidak direncanakan dan dilaksanakan sebagaimana me
stinya. Pengangkutan sering bertepatan dengan pergantian
kepemilikan yang dengan jalan itu tanggung jawab terhadap
kesejahteraan hewan tersebut mungkin disetujui bersama.
Berkenaan dengan efek cekaman pengangkutan
dalam hubungannya dengan mutu daging, Leach (1977)
berdasarkan hasil-hasil penelitiannya menyarankan bahwa
agaknya cekaman yang paling besar terhadap ternak adalah
selama pemuatannya dan penurunannya ke dan dari kendaraan
(truk) daripada karena lamanya perjalaanan.
Dalam praktik sehari-hari kecelakaan patah kaki sering
terjadi waktu dilakukan penurunan sapi di RPH Pesanggaran
Denpasar karena sapi-sapi diterjunkan paksa langsung dari
truk ke tanah, tidak melalui fasilitas khusus yang tersedia untuk
menurunkan dan menaikkan sapi dari dan ke dalam truck
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
119
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
(loading/unloading chute). Karena tidak ada fasilitas pengangkutan khusus untuk sapi yang mengalami patah kaki maka
sapi ini diseret dengan tali ke ruang pemotongan. Nilai daging sapi
yang mengalami kecelakaan demikian amat tinggi (> 6,0), sehingga
terjadi DFD beef (Saka, unpublished data).
Apapun cara pengangkutan ternak yang dipakai tujuannya
haruslah agar semua hewan sampai di tempat tujuan dalam
kondisi baik dan dalam waktu sesingkat mungkin. Aspek-aspek
perikemanusiaan dalam pengangkutan hewan harus juga ditekankan; ternak haruslah tidak menderita dengan tidak ada gunanya dan harus diberikan semua kemungkinan kenyamanan/
kesenangan selama perjalanan. Ini bergantung pada orang-orang
yang bertugas, peternak, pembantu, pengemudi, yang tidak
hanya harus penuh perhatian tetapi juga berpengalaman dan
berpengetahuan banyak tentang jenis hewan yang mereka tangani
(Scott, 1978).
Penggunaan obat penenang telah terbukti dapat mengatasi
kesulitan-kesulitan penanganan sapi-sapi selama pengangkutan
dan karena itu dapat dianjurkan pemakaiannya asalkan daging
hewan yang bersangkutan aman untuk konsumsi manusia. Juga
pemberian gula pada sapi dan babi sebelum pengangkutan telah
ditunjukkan dapat memperbaiki kondisi ternak dan mutu dagingnya (Wilcox et al., 1953).
Selama pengangkutan hewan terpajan hal-hal sebagai
berikut: (a) susut bobot badan (SBB); (b) susut bobot karkas; (c)
luka memar (bruises); (d) mati lemas (suffocation); (e) penyakit
yang dipengaruhi oleh perjalanan
Susut Bobot Badan (SBB)
Susut Bobot Badan (SBB) SBB dan susut bobot karkas
(SBK) selama pengangkutan sapi merupakan kepedulian terhadap
keduanya, kesejahteraan hewan dan ekonomi.
Bobot hidup seekor hewan adalah jumlah bobot jaringanjaringan tubuh dan bobot kandungan-kandungan saluran pencernaan dan kantong kencing. Sumber-sumber SBB hewan dalam
pengangkutan dari daerah tempat pemeliharaannya ke RPH
adalah (1) feces, urine, dan kehilangan air, yang mempengaruhi nilai
ekonomi hewan hanya dalam keadaan-keadaan khusus.
120
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
(2) Perubahan-perubahan bobot viscera (jeroan), yang juga
mempengaruhi nilai hewan hanya sedikit. (3) Susut bobot
karkas (SBK), yang merupakan sumber kerugian ekonomi paling
besar yang disebabkan oleh SBB. Di antara hasil-hasil ikutan
karkas (offals), bobot hati adalah salah satu yang paling penting.
Bila hewan dipuasakan, bobot badannya turun karena
proses kehidupan normal tubuh terus berlanjut. Lama masa
kelaparan/puasa segera sebelum pemotongan adalah faktor yang
paling berpengaruh dalam pengurangan bobot hidup pada waktu
itu. Tetapi, kehilangan ini dapat diganti dengan pemberian air
dan pakan kepada hewan tersebut. Pada hewan yang dipuasakan cadangan tubuh dipakai untuk memenuhi fungsi fisiologi
dan itu tidak hanya termasuk protein dan lemak tetapi juga
cadangan glikogen dari otot dan hati (Starke, 1948). Bobot
badan amat dipengaruhi oleh isi saluran pencernaan (gut
fill) karena banyaknya dapat berkisar dari 12 hingga 22%
dari bobot hidup pada sapi dewasa (Taylor, 1954, dikutip ole
h Wythes, 1981a). Faktor-faktor seperti umur, seks, keadaan
fisiologi dan pola merumput (grazing)/minum, mempengaruhi
baik jumlah gut fill atau laju susut gut fill (Wythes, 1981a).
Besarnya SBB yang dialami oleh sapi setelah berbagai
masa puasa selama pengangkutan telah diteliti oleh banyak
peneliti di berbagai negara. Umumnya peneliti tersebut
menemukan bawa laju SBB paling cepat selama 12-24 jam pertama puasa (tanpa pakan dan air minum) kemudian SBB tersebut
menurun sedikit tetapi terus pada laju yang konstan selama
12 jam berikutnya, dan setelah itu berlangsung pada laju
yang bahkan lebih rendah. SBB tersebut tidak mencapai maksimal (plateau) dalam 96 jam pertama. Dari hasil-hasil penelitian para peneliti tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok hewan,
perbedaan-perbedaan di antara pakan sebelum puasa, perbedaan-perbedaan dalam teknik-teknik eksperimen serta iklim
dan lingkungan yang berbeda mungkin semua mengkontribusi
kepada perbedaan-perbedaan di antara berbagai hasil
penelitian tersebut. Beberapa penelitian pada sapi telah
memperlihatkan bahwa efek pengangkutan (menunjukkan suatu
masa tanpa pakan dan air minum) terhadap SBB dapat dikurangi
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
121
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
asalkan hewan-hewan itu diberi air minum dan pakan atau air saja
pada akhir masa pengangkutan (Wythes et al., 1980a, b).
Rataan
laju SBB makin lama makin menurun sesuai dengan lama puasa
dari 2.57 kg/jam selama 5.3 jam pertama sampai 0.71 kg/jam
selama 23.6 jam terakhir. Telah dicatat bahwa ketepatan pendugaan
bobot karkas dari bobot potong pada sapi daging bertambah baik
setelah puasa selama 5 jam, tetapi terdapat sedikit perbaikan
lebih lanjut dalam pendugaan tersebut bahkan jika puasa
dilanjutkan sampai 47 jam (Smith et al., 1948). Sehubungan
ini maka disarankan bahwa sapi-sapi yang dijual berdasarkan
bobot badan, harus diberi air minum sebelum dimulai penjualan,
selama masa puasa untuk meminimalkan variasi bobot badan
hewan-hewan yang mempunyai bobot karkas yang sama (Wythes
et al., 1980b; Saka, 1983).
Pemberian air minum kepada sapi Bali jantan yang dipuasakan 1-3 hari di RPH Pesanggaran dapat menurunkan besarnya
rataan SBB sampai 3,7 kg atau 49,2% dibandingkan yang tidak
diberi air dengan masa puasa yang sama (Saka, 1983).
Secara umum dipercaya bahwa apabila hewan diberi pakan
rumput, diamati bahwa terjadinya SBB lebih besar. Sapi tipe
Zebu asli toleransinya terhadap perjalanan lama lebih baik
daripada sapi Eropa. Sapi gemuk mengalami SBB lebih besar
daripada sapi ramping (lean). Rata-rata, sapi di negaranegara tropis akan susut pada waktu perjalanan 48 jam dan
lebih kira-kira 18,1-22,7 kg (40-50 lb). Perjalanan yang lama
dengan truck tanpa pemberian air minum dan pakan dapat
mengakibatkan susut setinggi 19,7% dari bobot hidup (van den
Heever dan Sutton, 1967).
SBB pada sapi Bali jantan di RPH Pesanggaran dalam
keadaan yang dapat diperbandingkan, adalah jauh lebih kecil
daripada SBB pada sapi lainnya. Tanggapan pemberian air
minum (1-2%) dalam mengurangi SBB adalah lebih kecil dari pada yang didapatkan oleh Wythes et al., 1980b)(3-4%). Ini adalah
karena lama pengangkutan yang relatif singkat dan jarak yang
ditempuh dalam pengangkutan sapi di Bali relatip dekat.
SBB yang diperoleh di sini lebih kecil daripada sapi
penelitian Carr et al.(1971) yaitu masing-masing 3,1, 4,2,
dan 5,8% untuk sapi yang dipuasakan selama 24, 36 dan
122
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
72 jam, tetapi diberi minum air. Juga Kirton et al. (1972)
menemukan SBB 4,7, 8,4 dan 9,2% untuk masa puasa yang sama.
Pola SBB sapi Bali jantan ini sama dengan yang didapatkan
oleh Smith et al. (1982) yakni 60% dari SBB tersebut terjadi selama
24 jam pertama, dan 20% terjadi pada 24 jam terakhir.
Tabel 1. Rataan Susut Bobot Badan (kg + SE) Sapi Bali Jantan di
RPH*
Tidak diberikan air minum
Diberikan air minum
Lama puasa/Istirahat
Sebelum pemotongan
(jam)
Bobot potong
Susut bobot
potong
Bobot potong
Susut bobot
potong
24 (A)
291,0 ± 6,8 aT
9,2 ±1,3aT
295,3 ± 14,1bT
5,8 ± 2,3bT
48 (B)
288,7 ± 5,9
12,3 ± 2,1
293,6 ± 8,2
7,5 ± 2,6 bTU
72 (C)
287,0 ± 6,9
13,8 ± 2,2
aTU
aTU
aTU
aU
bTU
290,2 ± 12,7
bU
10,8 ± 1,1bU
Keterangan : *) Bobot potong dan susut bobot potong dikoreksi dengan analisis peragam untuk
perbedaan
dalam rataan berat tiba di RPH. Perbedaan-perbedaan secara statistik (P<0,05) dalam baris yang sama
ditunjukkan oleh perbedaan dalam huruf-huruf kecil yang berbeda (huruf a dan b). Perbedaan-perbedaan
statistik (P<0.05) dalam kolom yang sama ditunjukkan oleh perbedaan dalam huruf-huruf besar yang
berbeda(T,U).
Tabel 2. Rataan Persentase Susut Bobot Potong Sapi Bali Jantan
Selama di RPH*)
Lama puasa/Istirahat
sebelum pemotongan
(jam)
Rataan persentse susut bobot potong (± SE)
Tidak diberikan air
minum
Diberikan air minum
24 (A)
2,9 ± 0,43a
1,9 ± 0,84b
48 (B)
a
4,3 ± 0,74
2,4 ± 0,90b
72 (C)
4,8 ± 0,78a
3,2 ± 0,51b
Keterangan : Perbedaan-perbedaan statistik (P<0,05) dalam baris yang sama ditunjukkan Oleh huruf-huruf
yang berbeda (a, b).
*)
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
123
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
Gambar 1. Rataan Persentase Susut Bobot Potong Sapi Bali
Jantan dan Sapi-sapiHasil-hasil Penelitian Lain Selama
di RPH dan/atau Selama Pengangkutan
Susut Bobot Karkas (SBK)
Berbeda dengan SBB, pengukuran yang akurat terhadap
susut jaringan karkas tidak dapat dilakukan karena adalah
tidak mungkin untuk menentukan suatu bobot karkas awal.
Ketepatan yang memuaskan dapat diperoleh menggunakan caracara tidak langsung pemotongan berturut-turut dengan jumlah
hewan yang besar (Wythes, 1981a).
Besarnya susut bobot karkas (SBK) setelah masa puasa
lama pada sapi telah diteliti oleh beberapa peneliti. Hasilhasil mereka disajikan dalam Tabel 1 yang terlihat bahwa
penurunan bobot karkas amat besar selama 24 jam pertama
puasa. Pada kasus sapi-sapi yang dipotong oleh Kirton et
al.(1972) dengan masa puasa 24 jam dan 96 jam (diberi minum
air), suatu pemulihan besar dalam bobot karkas terjadi
setelah masa 24 jam puasa dan barangkali disebabkan oleh
rehidrasi. Tetapi, setelah 48 jam puasa bobot karkas mulai
lagi menurun dan berlanjut demikian sampai eksperimen diakhiri setelah 4 hari puasa. Agaknya barangkali rehidrasi tidak
124
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
dapat mengimbangi susut jaringan karkas setelah 48 jam
puasa. Sapi-sapi Carr et al.(1971) memperlihatkan suatu pola
SBK yang sama, dan kemudian berlanjut bobotnya menyusut
walaupun efeknya jauh lebih sedikit daripada SBK yang didapatkan Kirton et al.(1972). Pada kasus sapi dara yang diteliti
oleh Chambers (1974) pemberian air mencegah SBK sebesar
4.1% dari bobot karkas karena efek rehidrasi selama masa 24 jam.
Efek ini dua kali lipat besarnya daripada yang dilaporkan oleh
Kirton et al.(1972). Secara fisiologi, SBK barangkali dapat
dijelaskan sebagai berikut : Selama dua hari puasa hewan
mungkin mampu memperoleh beberapa zat-zat makanan yang
diperlukan dari pakan yang masih tersedia di dalam saluran
pencernaan. Tetapi, setelah hari kedua, zat-zat makanan yang
tersedia di dalam saluran pencernaan tersebut pasokannya
sedikit dan pada tingkatan itu hewan barangkali telah mengalami
katabolisme cadangan glikogen yang banyak (dari hati dan otot),
jaringan-jaringan protein dan lemak. Dalam kondisi ini, hewan
cenderung untuk meminimalkan penggunaan energi dengan
memakai suatu pola tingkah laku yang tenang/diam, sering
kebanyakan dari waktunya dipakai untuk berbaring.
Tabel 2. Rataan Susut Bobot Karkas Setelah Berbagai Masa Puasa
Pemberian
air minum
Lama puasa
(jam)
Carr et al.
(1971)
Ia
Ia
Ia
Kirton et al.
(1972)
-
24
48
72
0
24
48
72
96
Bobot karkas
segar
(kg ± SE)
321,1 ± 1,3
321,9 ± 1,7
315,8 ± 2,5
151,7
147,8
150,9
147,3
142,4
30
54
180,5 ± 11,1
187,8 ± 10,3
Rujukan
Chambers
(1974)
Tidak
Ia
Susut bobot
karkas (kg)
0,70
0,44
2,33
0,00
2,57
0,53
3,00
6,10
4,10
0,20
Untuk pengangkutan ternak di darat, di Indonesia tidak
tersedia kendaraan khusus. Kendaraan yang dipakai biasanya
adalah truck biasa karena tidak tersedia kendaraan khusus untuk
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
125
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
untuk mengangkut ternak dan cara-cara penanganan selama
pemuatannya dan penurunannya ke dan dari kendaraan juga kasar
dan sadis, tidak berperikemanusiaan. Sapi-sapi ditaruh berjejer
melintang terhadap arah memenjang truck dan tali telusuk (tali
yang melingkari kepala dan masuk menembus sekat rongga hidung
untuk kendali) diikat pada sisi-sisi samping kiri dan kanan truck.
Di antara 3-4 ekor sapi dipasang bambu penyekat. Dalam satu
truck diisi 4-6 ekor sapidewasa bergantung pada besarnya sapi.
Untuk ternak yang akan diangkut ke pasar hewan atau ke
RPH di Bali, hal ini mungkin tidak banyak menimbulkan akibat
buruk terhadap hasil dan mutu karkas/daging sebagai konsekuensi
karena jarak dan waktu pengangkutan relatif pendek. Tetapi,
untuk ternak (sapidan babi) yang diangkut dari Bali ke luar Bali
(perdagangan antar pulau) maka aspek kesejahteraan hewan harus
diperhatikan sungguh-sungguh dalam menangani ternak tersebut
selama pascapanen ini. Akan tetapi karena sistem pemeliharaan
sapi di Bali masih tradisional dalam jumlah yang amat terbatas
(rata-rata 1-3 ekor per orang petani) yang di dalamnya kontak
antara pemelihara dan sapinya amat erat. Karena itu, sapi-sapi
umumnya jinaksehingga cekaman (stress) yang dialami oleh ternak
mungkin minimal dan cepat pulih kembali (recovery) asalkan
mendapat waktu istirahat yang cukup sebelum pemotongan (Saka,
1983).
Gambar 2. Kurva Efek Puasa Terhadap Susut Bobot Karkas
126
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Penanganan dan Perlakuan Sebelum Pemotongan di Rumah
Potong Hewan
Susut bobot badan dan komponen-komponen tubuh
individual sapi potong selama penanganan sebelum pemotongan
dan selama pemotongan merupakan kepentingan ekonomi bagi
industri daging. Susut bobot potong selama di RPH ini akan
merupakan hal yang serius atau menimbulkan kerugian ekonomi
bagi jagal kalau tidak hanya menyangkut isi saluran pencernaan
(gut fill) dan uap air tetapi, juga menyangkut jaringan karkas atau
organ yang bernilai tinggi misalnya hati. Cekaman yang dialami
oleh sapi selama pengangkutan dan istirahat sebelum pemotongan
di RPH terjadi karena perubahan-perubahan suhu, ventilasi,
kibisingan, bau-bauan (darah) dan lingkungan yang asing dan
pencampuran dengan sapi-sapi yang asalnya dari farm berbedasehingga menyebabkan lebih banyak mengeluarkan kotoran
dan kencing dan mungkin menurunnya hasil serta mutu karkas/
daging.
Terutama untuk sapi jantan, pencampuran dengan sapi
jantan lain yang asalnya berbeda sering menyebabkan cekaman
yang terbukti meningkatnya kejadian daging DFD. Daging sapi DFD
selain mudah busuk, juga rupanya tidak menarik (unattractive) bagi
pembeli. Ini penting oleh karena konsumen modern hampir pasti
lebih dipengaruhi oleh penyajian dan tampilan atau rupa daging
daripada dahulu, suatu perubahan yang barangkali berkaitan
dengan transisi dari kios daging ke rak pajangan swalayan.
Pembelian yang dilakukan atas dorongan hati merupakan ciri baru
dalam pemesaran dan dapat dieksploitasi dengan meningkatkan
kecantikan atau daya tarik produk (Preston dan Willis, 1974).
Untuk sapi-sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran Denpasar
(Bali), yang merupakan RPH terbesar di Bali, sapi-sapi yang akan
dipotong cukup diistirahat semalam (24 jam dihitung dari mulai
tiba di pasar hewan Beringkit, Badung), karena ada kecenderungan
bahwa kejadian pH akhir (pHU) daging yang tinggi (5,8 atau lebih
tinggi) untuk sapi-sapi yang diistirahatkan sebelum dipotong
(preslaughter-rest period) lebih lama (2 atau 3 hari) adalah lebih
tinggi (Saka, 1983). Rataan pHU daging (M.semimembranosus)
untuk semua sapi (yang diberi air minum dan tidak) adalah 5,5
– 5,7. tetapi, untuk sapi yang tidak diberi air minum, istirahat 24
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
127
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
jam dihitung mulai dari farm sampai saat dipotong tidak cukup
lama untuk memulihkan kepayahan dan kepenatan otot (fatigue)
yang serius dan 72 jam di dalam kandang RPH dengan diberi air
minum adalah masa yang cukup untuk pemulihan kondisi karena
perjalanan ke RPH.
Untuk sapi-sapi yang tidak diberi air munim, ada indikasi
bahwa telah terjadi kehabisan cadangan glikogen otot yang
terbukti bahwa 4 dari sapi dalam kelompok ini mempunyai pHU
5,8 atau lebih (Saka, 1983).
Perlakuan puas sebelum pemotongan pada sapi-sapi Bali
jantan di RPH Pesanggaran Denpasar sampai 3 hari (72 jam) tidak
mempengaruhi bobot karkas segar. Namun ada rataan peningkatan
yang nyata (P<0,05) bobot karkas sebanyak 4,7 kg atau 3,1%
(akibat rehidrasi) bila sapi-sapi penelitian diberi air minum
selama puasa (Saka, 1983). Jadi, pemberian air minum ini secara
ekonomi sebenarnya menguntungkan bagi para pemasok karkas
segar (para jagal) yang menjual karkas segar tersebut kepada PT.
CIP denpasar.
Umumnya selama istirahat di RPH tersebut sapi-sapi tidak
diberi air minum oleh pemiliknya (jagal), tetapi, kadang-kadang
diberi pakan hijauan atau rumput-rumputan sekedarnya bila
lamanya istirahat sampai seminggu atau lebih. Praktik ini sebenarnya
tidak berpengaruh/meningkatkan bobot karkas. Pemberian pakan
sebelum pemotongan dapat menyulitkan pengerjaan karkas
(dressing) yaitu waktu proses pengeluaran organ-organ dalamnya
(evisceration) . Tambahan pula dapat menyebabkan pengeluaran
darah (bleeding) pada waktu penyembelihan tidak sempurna
karena aktifnya saluran pencernaan dan darah banyak tertahan di
dalam kapiler-kapiler darah. Pengeluaran darah yang sempurna
(complete bleeding) atau sebanyak mungkin amat penting
dalam proses pemotongan untuk menjaga mutu daging, yakni
meningkatkan daya simpan (keeping quality) daging.
Luka-Luka Memar pada Karkas (Carcass Bruises)
Luka memar (bruise) diberi batasan sebagai “robeknya
(ruptura) pembuluh-pembuluh darah yang kecil (kapiler) yang
mengakibatkan yang mengakibatkan bebasnya sel-sel darah
merah ke dalam jaringan”. Di tempat tersebut mesti terdapat
128
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
banyak kerusakan jaringan yang mengakibatkan lebih banyak
kesrusakan darah dibebaskan daripada yang dapat disingkirkan
dengan cepat dari daerah tersebut oleh drainase limpatik. Lukaluka memar dapat terjadi pada setiap jaringan, tetapi, jaringa yang
paling dipengaruhi adalah otot dan lemak. Pemerahan permukaan
lemak bawah kulit (subcutaneous fat), sering disebut dengan
“fire bruises” hanya penting bila luka memar tersebut harus diiris
(Shaw, 1973)(dikutip oleh Australian Meat Board, 1975). Telah
diperkirakan bahwa tiap 8 skor luka memar jumlah daging yang
harus diiris pada bagian-bagian karkas yang mengalami luka-luka
memar tersebut adalah 1 kg (Meischke, 1975).
Kerugian finansial yang tinggi dialami oleh industri
peternakan sebagai akibat terjadinya luka memar karkas (Grandin,
1980). Meischke (1975) memperkirakan kerugian karena luka
memar tiap tahun $26,7 juta dn termasuk 0,03% kerugian karena
pengapkiran karkas karena luka memar. Rich (1973) memilahmilah proporsi kerugian ke dalam 35% karena pengirisan, 40%
karena penurunan peringkat hasil karkas, 21% penurunan
peringkat mutu karkas, dan 4% karena kerugian produks.
Kejadian luka memar pada sapi Bali yang diamati di
RPH Pesanggaran Denpasar pada umumnya kecil, kebanyakan
merupakan luka memar yang kecil di seluruh karkas. Ini adalah
karena sapi-sapi diikat erat-erat pada kepalanya secara individual
satu per satupada sisi-sisi samping dari truck, melintang arah
memanjang trck selama pengangkutan. Kedudukan kepala dan
pantat sapi satu dengan yang lainnya berselang-seling sehingga
tidak ada tara satu dengan yang lainnya. ada ruang-ruang tersisa
. antara satu sapi dengan yang lainnya atau dengan dinding
truck yang memungkinkan terjadinya luka memar adalah adalah
minimal. Cara-cara penanganan seperti ini sebenarnya tidaklah
berperikemanusiaan, menyebabkan ternak tersisa, jadi sangat
tidak memperhatikan aspek kesejahteraan hewan.
Tetapi, untuk sapi-sapi Bali yang dikirim ke Jawa, terutama
Jakarta sangat mungkin terjadi luka-luka memar yang lebih keras
dan cekaman yang lebih berat karena pengangkutannya memakan
waktu yang cukup lama (lebih daripada24 jam). Tetapi, data-data
tidak tersedia mengenai hal tersebut.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
129
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
Nilai pH Akhir (Phu) Daging
Otot dari hewan yang sehat, diberi paka baik dan diistirahatkan
cukup mempunyai jumlah glikogen (CH3CHOHC00H) dan terbebas
anergi sebanyak 47 kkal setelah 24 jam mengakibatkan pH otot
menurun dari 7,2 (segera setelah disembelih) menjadi rata-rata
5,5 (5,4 – 5,6). Kadar glikogen (± 1,0%) dapat dipertahankan relatif
konstan karena adanya siklus Cori. Bila kadar glikogen otot turun,
maka akan terjadi pemecahan glikogen di dalam hati oleh glukosa
6 fosfatase menjadi gula darah yang diangkut ke dalam otot. Di
dalam otot gula ini dirubah menjadi glikogen kembali sebagai
sumber energi yang siap pakai secara instant. Asam laktat dan
energi yang dipakai untuk pergerakan otot, terjadi sebagai hasil
glikolisis anaerobe di dalam otot dikirim kehati dan di sisni asam
laktata dirubah menjadi glikogen kembali. Bila kadar glikogen otot
beberapa sebelum pemotongan atau sesudah pemotongan 0,55%
maka akan mulai mempengaruhi pHU daging yakni lebih tinggi
daripada kisaran normal (5,4-5,6), 5,8 atau lebih tinggi karena
rendahnya kadar asam laktat otot sebagai hasil proses glikolisis.
Nilai pHU yang tinggi ini dapat menyebabkan terjadinya fenomena
daging DFD
Nilai pH otot yang tercapai ketika produksi asam laktat
berhenti dinyatakan sebagai pH akhir atau ultimate pH (pHU). Pada
otot sapi rigor mortis biasanya telah terjadi pada waktu pH daging
telah mencapai nilai sekitar 5,9.p pada suhu sama atau lebih tinggi
daripada 20o C, yakni ketika kadar ATP (adenosin triphosphate)
otot kira-kira 1,0 mikro mol/g dan terus menerus turun hingga
kadar ATP telah turun di bawah 0,1 mikro mol/g dan pH otot
mencapai 5,5. Nilai pHU sapi dicapai kira-kira 24 pascamati (pm)
dan perkembangan rm sebenarnya telah selesai 24 jam pm. Karena
itu maka pHU yang dicapai ditentukan oleh kadar glikogen di dalam
otot waktu penyembelihan. Nilai pHU ini mempengaruhi hampir
semua aspek mutu (eating quality) daging seperti keempukan,
warna, citarasa dan daya simpan daging (Lawrie, 1979; Shorthose,
1980).
Daging sapi paling rendah keempukannya bila nilai pHU
mencapai 6,0, meningkat keempukannya demikian pHU meningkat
di atas di atas atau menurun di bawah nilai ini (Bouton, Howard
dan Lawrie, 1957). Perubahan-perubahan dalam citarasa terjadi
130
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
demikian pHU otot meningkat. Uji panel rasa memperlihatkan
bahwa citarasa daging (“meaty flavour”) menurun dengan
meningkatnya pHU dari 5,5 sampai 6,5 sebagai akibat suatu
perubahan dalam sebagian besar zat-zat yang mudah menguap
yang memberi citarasa dari unsur-unsur yang mengandung sulfur
menjadi unsur-unsur yang mengandung nitrogen (Walker, 1976).
Pada pHU kira-kira 6,0 atau lebih tinggi, sifat-sifat oksigenasi
pigmen otot mioglobin berubah, pigmen pada lapisan dalam
daging tidak mengalami oksigenasi untuk menjadi suatu warna
merah cemerlang (oksimioglobin) seperti yang terjadi pada pHU
otot yang lebih rendah. Karena itu maka permukaan oksimioglobin
yang merah cemerlang lebih tipis daripada pada daging yang ber
pHU lebih rendah sehingga warna merah keungu-unguan yang ada
di bawahnya yang mereduksi mioglobin jumlahnya lebih banyak.
Barangkali oksigen mengalami kesulitan dalam mempenetrasi
permukaan daging ke arah dalam dari atmosfir, karena proteinprotein serabut otot membengkak dan tersusun rapat atau
karena membran sel otot kurang permeabel terhadap oksigen
pada konsentrasi ion hidrogen rendah dan mioglobin tidak
dioksigenasi. Di samping menjadi kurang permeabel terhadap
oksigen pada konsentrasi ion hidrogen rendah, membran sel
otot kurang permeabel terhadap lewatnya air keluar sel, karena
itu menyebabkan karakteristik lengket, tekstur daging seperti
karet. Lagi pula pada pH daging tinggi, penggunaan oksigen oleh
enzim sitokrom oksidase meningkat banyak. Karena alasan-alasan
tersebut di atas, dan peningkatan ini mungkin mengakibatkan
terjadinya warna gelap, menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai
“dark cutting beef”(DFD cut). Sindrom ini bisa terjadi sebagai
akibat sapi-sapi terpapar berbagai kondisi abnormal selama
pemasaran dan masa sebelum pemotongan. Kebanyakan dari
kondisi abnormal ini, apakah berupa perangsangan emosional,
paparan cuaca yang jelek, trauma, kelaparan, atau kelelahan otot,
terpajan berbagai bentuk cekaman yang menimbulkan gangguan
terhadap tubuh hewan (Hedrick, 1958; Shorthose, 1980; Newton
dan Gill, 1981).
Daging sapi DFD dicirikan oleh pHU tinggi (lebih tinggi
daripada 6). Lagi pula demikian pHU meningkat, kapasitas daya
ikat air (DIA) daging sapi menjadi lebih tinggi dan pembusukan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
131
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
oleh bakteri terjadi lebih mudah (Forrest et al., 1975; Newton dan
Gill, 1981). Organisme pembusuk daging biasa, Pseudomonas sp.
Tumbuh paling baik pada niali pH mendekati 7,0 atau sedikit pada
situasi basa, pertumbuhannya berkurang bila pH daging 6,0 atau
lebih rendah (Nickerson dan Sinkey, 1972).
Pemberian masa istirahat sebelum pemotongan yang lebih
lama setelah pengangkutan jarak jauh (1288 km) pada sapisapi potong jantan kebirian merupakan kepentingan ekonomi
dalam menurunkan proporsi hewan-hewan dengan pHU (pH24) di
atas 5,8 pada otot LD
(M. longissimus dorsi)(Shorthose et al.,
1972). Hal yang sama, Wythes et al. (1980a) menemukan bahwa
mengistirahatkan sebelum pemotongan sapi-sapi jantan muda
yang diberi air minum selama 2 hari daripada 1 hari dengan nyata
menurunkan pHU otot LD.
Prosedur Pemotongan Sapi di Rumah Potong Hewan
Pesanggaran Denpasar (Bali)
Posedur pemotongan juga amat besar pengaruhnya
terhadap mutu karkas/daging. Prosedur pemotongan dibedakan
atas dua macam yaitu : (1) prosedur yang mengikuti baku mutu
internasional, yang memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan
hewan dan perikemanusiaan (human killing/slaughtering) dan (2)
cara-cara pemotongan ritual yang pelaksanaannya berdasarkan
hukum-hukum agama dan kepercayaan (Yahudi, Moslem, Sikh dan
lain-lainnya).
Prinsip dari prosedur pemotongan baku, disamping
memperhatikan hygienis daging juga tindakan-tindakan atau
prosedur yang menyangkut aspek-aspek kesejahteraan hewan
(animal welfare) dan perikemanusiaan yang keduanya juga
bergayut dengan mutu daging yang akan diperoleh dalam
pemotongan tersebut. Misalnya ternak yang akan dipotong mesti
diperlakukan secara lemah lembut, berperikemanusiaan untuk
meminimalkan cekaman dan tidak menderita kesakitan yang tidak
perlu pada waktu penyembelihan (euthanasia, painless death)
dengan melakukan stunning (pemingsanan) dan segera (dalam
waktu kira-kira 5 detik) mesti disusul dengan penyembelihan,
pengeluaran darah (bleeding) dan segera kemudian ternak yang
telah disembelih digantung. Juga ada prosedur-prosedur lain
132
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
sebelum pemotongan sebagai upaya agar pengeluaran darah
sempurna (complete bleeding)/sebanyak mungkin. Ini semua akan
berdampak kepada mutu daging.
Sapi atau ternak potong lainnya yang disembelih tanpa
stunning
menyebabkan ternak meronta-ronta (struggling)
melakukan perlawanan dan ini mengakibatkan cadangan glikogen
otot menurun. Keadaan ini amat merugikan, karena ternak
tersebut tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memulihkan
kadar glikogen yang turun tersebut menjadi normal (resintesis
glikogen, glycogen turnover), karena pasokan/peredaran darah ke
otot sudah terhenti. Karena itu maka bukan tidak mungkin akan
terjadi daging DFD karena pHU yang tinggi, terlebih-lebih lagi kalau
sebelumnya ternak banyak mengalami cekaman dan masih dalam
keadaan payah, tidak cukup mendapat istirahat di RPH.
Stunning dapat dilakukan secara mekanis, yakni
menggunakan captive bolt pistol, atau dipukul dengan palu besar/
hummer pada tengah-tengah dahinya untuk sapi, kerbau, kuda
atau babi. Juga dapat dilakukan dengan listerikatau gas CO2, Selang
waktu antara pelaksanaan stunning dan penyembelihan adalah
kira-kira 5 detik Jika terlalu lama daripada waktu itu maka akan
terjadi bercak-bercak darah di dalam otot yang disebut blood
splashing akibat terjadinya banyak kapiler darah yang pecah.
Daging yang demikian tidak layak dikemas dalam vacuum package
karena akan mudah busuk.
Sapi-sapi atau ternak potong lain yang telah disembelih harus
segera digantung vertikal pada kaki-kaki belakangnya dan kepala
terarah ke bawah untuk lebih memperlancar dan meningkatkan
jumlah darah yang keluar (complete bleeding). Apapun metode
stunning yang diterapkan adalah dikehendaki bahwa medulla
oblongata tidak boleh dirusak atau kepala dipisahkan terlalu dini.
Pusat saraf ini, yang mengendalikan jantung dan paru-paru, harus
terus berfungsi selama beberapa saat, karena kerja organ-organ
ini adalah membantu memompa darah ke luar dari tubuh/karkas
bila pembuluh-pembuluh darah, A. carotis dan V. jugularis di leher
telah dipotong. Bahkan dengan pengeluaran darah yang mangkus
(effective) hanya kira-kira 50% dari darah total dapat dikeluarkan.
Upaya-upaya untuk memungkinkan terjadinya pengeluaran darah
yang sebanyak mungkin dalam proses pemotongan adalah amat
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
133
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
penting untuk meningkatkan daya simpan (keeping quality) daging
(Lawrie, 1979).
Mengguyur sapi atau ternak potong lainnya dengan
air dingin (shower) beberapa saat sebelum disembelih dapat
meningkatkan jumlah darah yang keluar waktu penyembelihan
karena menyempitnya pembuluh-pembuluh kapiler darah dan
darah masuk ke dalam pembuluh-pembuluh darah yang lebih
besar. Sebaliknya, pemberian pakan kepada ternak sebelum
pemotongan dapat mengurangi jumlah darah yang keluar karena
aktifnya saluran pencernaan dan karenanya darah banyak beredar
menuju ke sana sehingga darah banyak tertahan di dalam jaringan
tubuh.
Kesempurnaan (complete bleeding) dan kesangkilan
pengeluaran darah (efficient bleeding) dapat dinilai dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) rupa daging karkas:
karkas dengan pengeluaran darah yang sempurna berwarna
merah; (2) keadaan pembuluh darah: karkas dengan pengeluaran
darah yang jelek, pembuluh-pembuluh darah yang kecil, khususnya
V. intercostalis yang berada diantara tulang-tulang rusuk, terlihat
jelas; (3) keadaan organ-organ dalam : pada karkas denga
pengeluaran darah jelek, bilik kiri jantung mengandung darah,
dan paru-paru serta hati mempunyai kandungan darah yang
banyak; (4) kandunga darah otot pada karkas yang pengeluaran
darahnmya jelek, bila dibuat irisan di antara tulang-tulang rusuk 9
dan 10 (pada sapi), darah dapat dip[eras keluar.
Pelaksanaan atau prosedur pemotongan yang dilakukan
sehari-hari di RPH Pesanggaran, Denpasar, yang merupakan
RPH terbesar di Bali belumlah mengikuti prosedur baku karena
minimnya fasilitas yang tersedia dan rendahnya pengetahuan para
pekerja yang melaksanakan pekerjaan pemotongan tersebut.
Praktik stunning menggunakan captive bolt pistol pernah
dilakukan di RPH Pesanggaran Denpasar, tetapi pelaksanaannya
tidak dilakukan dengan baik dan aman karena tidak dilakukan
dalam tempat khusus (stunning box) sehingga membahayakan
para pekerja lainnya atau pelaksana stunning sendiri dan
kemungkinan titik sasar stunning yang dikenai menjadi tidak
tepat yaitu di tengah-tengah tulang dahi (titik pertemuan antara
garis khayal menyilang yang ditarik dari kedua pangkal tanduk
134
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
dan mata kanan dan kiri).Sejak pistol tersebut rusak maka sudah
sejak lama praktik stunning tersebut tidak pernah dilakukan lagi.
Sapi-sapi yang yang akan disembelih terlebih dahulu dijerat kakikaki belakangnya lalu langsung dikerek dan digantung vertikal ke
atas dalam keadaan hidup-hidup pada rel (rail) yang terpasang
di atas sehingga kepalanya terkulai ke bawah. Segera kemudian
dilakukan penyembelihan dengan memotong sisi ventral pangkal
batang leher sehingga A. carotis, V. jugularis, dan V.cava cranialis
beserta trachea dan oesophagus terpotong putus, dan darah yang
tersembur keluar tertampung di dalam bak darah di bawahnya.
Segera kemudian disusul dengan pemisahan kepala dan kaki-kaki
bawah depan dan belakang.
Dengan demikian maka kejadian meronta-ronta, agitasi
atau perlawanan (struggling) dari sapi-sapi yang disembelih
sudah tentu tidak bisa dihindarkan. Ini akan menimbulkan
cekaman dan penderitaan yang berdampak buruk terhadap mutu
dagingnya, disamping praktik tersebut merupakan tindakan
tidak berperikemanusiaan dan mengabaikan aspek kesejahteraan
hewan (animal welfare). Ini terbukti dari kejadian nilai pHU dari
beberapa sampel daging sapi yang diambil di RPH tersebut banyak
yang lmencapai 5,8 atau lebih tinggi (Saka, unpublished data).
Ruangan tempat pemotongan (slaughtering hall) tidak
dirancang dengan benar, demikian pula prosedur pengerjaan
karkas (dressing) tidak memenuhi baku mutu sehingga sulit untuk
dapat menghasilkan karkas/daging yang hieginis dan bermutu baik
atau tidak dapat memenuhi penjaminan mutu(quality assurance)
yang memadai.
Karena itu maka usulan rencana pendirian RPH Internasional
oleh PT. OSZIBO di kampus Fapet Unud di Bukit Jimbaran, Kuta,
Badung kepada Universitas Udayana yang MOU-nya sedang
dibahas dengan sebaiuk-baiknya oleh suatu Team Khusus di Fapet
Unud perlu diupayakan bisa diwujudnyatakan dengan secepat
mungkin. RPH ini rencananya akan diintegrasikan dengan usaha
penggemukan sapi rakyat yang sudah ada di beberapa desa di
Bali dan akan memasok dagingnya ke hotel-hotel internasional
yang ada di Bali. Dengan demikian maka maka impian kita agar
daging sapi Bali dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri dapat
diwujudkan.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
135
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
Penerapan Stimulasi Listerik terhadap Karkas di Rumah
Potong Hewan
Di RPH yang sudah modern sekarang ini telah dilakukan
stimulasi listerik (SL) terhadap karkas sapi yang dilakukan kirakira 40 menit setelkah proses pemotongan/pengerjaan karkas
(dressing) selesai, dengan menggunakan tegangan listerik 600
volt selama 1,5 sampai 2 menit. SL karkas adalah metode yang
lebih baru untuk mengurangi cold shortening/constructure daging
karkas sebai akibat terpajannya daging karkas oleh suhu yang
terlalu rendah (1 – 40 C) dalam ruang pelayuan (chilling room).
SL yang haru segera dilakukan setelah pemotongan selesai
mula-mula menyebabkan otot-otot menjadi ketat dan bergetar
dan seluruh karkas kemudian berkontraksi sehingga bagian
bawah karkas terlihat bergerak/berputar melengkung ke atas.
Kemudian pasokan energi (glikogen) dalam otot dipakai, getaran
(tremor) tersebut berangsur-angsur kemudian melemah sampai
semua sumber energi dihabiskan. Ini menyebabkan rigor mortis
(rm) berlangsung amat cepat dan lebih dini (dibandingkan kalau
dibiarkan tanpa stimulasi listerik dalam ruang pelayuan) dan otot
tidak lagi mempunyai energi untuk memendek selama pendinginan
di ruang pelayuan.
Penerapan SL ini di RPH secara ekonomi menguntungkan
karena masa pelayuan jauh menjadi lebih singkat (5 v.24 jam),
daging lebih empuk, tampilan warna daging lebih menarik
(attractive appearance) karena terjadi “blooming”, susut daging
karkas krena penguapan dalam ruang pelayuan berkurang,
kejadian cold shortening dapat ditiadakan, dan pendinginan karkas
dapat dilakukan dengan cepat (Bendall, 1980).
Metode Penggantungan Karkas Selama Pelayuan (Ageing)
di Dalam Ruang Pendinginan (Pelayuan) di Rumah Potong
Hewan
Secara konvensional setelah selesai dilakukan pengerjaan
karkas/pemotongan , kemudian karkas digantung pada tendo
Achilles (urat keting) pada tumit dari kaki-kaki belakang di dalam
ruang pelayuan atau pendinginan untuk menunggu terjadinya
penurunan pH daging dari kira-kira 7,2 sampai tercapai pHU
daging yang khas untuk daging sapi yakni 5,4 – 5,6 atau rata-rata
136
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
5,5. Fenomena rm otot terjadi kira-kira ketika pH otot mencapai
5,9, dan rm selesai kira-kira 24 jam postmortem. Demikian tingkat
keasaman otot ini tercapai (pHU otot 5,5) maka enzim cathepsin
(enzim proteolitik) terbebas dari lisosom yang mempunyai
kegiatan mencerna serabut-serabut otot dan sebagian jaringan
ikat (collagen). Dengan demikian maka selama proses pelayuan,
sebenarnya terjadi proses pengempukan daging. Tetapi metode
penggantungan karkas seperti ini berdampak kurang baik terhadap
mutu daging karkas karena beberapa otot yang bermutu prima
menjadi lebih alot daripada seharusnya.
Keempukan daging karkas dapat ditingkatkan dengan
mencegah otot mengalami cold shortening selama rm. Ini dilakukan
dengan menerapkan teknik penggantungan karkas “tenderstretch:
yang secara parsial dapat mencapai ini dengan pencegahan
kontraksi secara fisik beberapa kelompok otot.
Karkas tenderstretch digantung pada digantung pada
pelvis (Foramen obturator dari Os coxae) sebagai ganti cara
penggantungan tradisional pada tendo Achilles. Ini harus dilakukan
sebelum mulainya rm dan dibiarkan demikian selama rm. Setelah
24 jam karkas dapat lagi digantung seperti biasa.
Tenderstretch meningkatkan keempukan daging topside (M.
semimembranosus), M. adductor, rump (M. gluteus medius), strip
loin (M. longissimus dorsi), knuckle (M. vastus lateralis), M. rectur
femoris, dan sedikit daging silverside (M. biceps femoris). Daging
fillet (Mm. psoas major et minor) akan menjadi sedikit a lot, namun
ini tidaklah menjadi masalah karena daging ini biasanya amat
empuk.
Adopsi teknik penggantungan karkas ini telah dilakukan
di RPH Queensland (Australia) belum meluas ke RPH lainnya di
Australia karena melibatkan biaya tambahan (tenaga kerja dan
ruangan pendingin yang lebih besar)(Sundstrom, unpublished
data).
Dari apa yang dipraktikkan sehari-hari dalam penanganan
pascapanen sapi potong di negara kita seperti dikemukakan di
atas naka jelaslah betapa ketinggalannya teknik penanganan
pascapanen sapi potong di negara kita. Dibandingkan dengan
negara-negara yang telah maju. Ini merupakan tantangan yang
amat besar menjelang akan diberlakukannya sistem perdagangan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
137
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
bebas lagi tiga tahun mendatang (AFTA tahun 2003). Perbaikan
dan pembenahan secara menyeluruh dan segera terhadap
masalah pascapanen ini akan merupakan prospek yang baik untuk
menghadapi persaingan dalam industri dan perdagangan daging
sapi kita di masa yang akan datang. Kalau ini dilakukan dengan
bersungguh-bersungguh, di samping upaya perbaikan mutu
genetik, manajemen dan pakan untuk penggemukan sapi di Bali
maka niscaya upaya untuk menjadikan daging sapi Bali menjadi
tua rumah di negeri kita sendiri dapat direalisasikan sehingga
tidak terus menerus hanya menjadi impian belaka.
Simpulan
1. Upaya-upaya perbaikan terhadap penanganan pascapanen
sapi potong sangat pnting untuk menekan kerugian dan
memperoleh hasil dan mutu daging karkas yang tinggi.
2. Praktik penanganan pascapanen sapi potong sehari-hari,
khususnya di Bali, dan di Indonesia pada umumnya belum
dilaksanakan dengan baik dan merupakan tantangan yang
besar dalam menghadapi era perdagangan bebas daging sapi
di pasaran internasional.
3. Perbaikan dalam penanganan pascapanen sapi potong
mempunyai prospek yang baik untuk meningkatkan daya
saing negara kita dalam menghadapi persaingan bebas daging
sapi di pasaran internasional.
4. Penanganan sapi potong selama pengangkutan mulai dari
tempat pemeliharaan, ke pasar hewan dan terus sampai di
RPH harus dilakukan secara berperikemanusiaan dan perlu
memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan hewan, tingkah
laku hewan untuk meminimalkan cekaman, dan kerugian
karena penurunan hasil dan mutu karkas.
5. Cara menggantung karkas dari pelvis (pada foramen obturator)
setelah rigor mortis selesai dapat meningkatkan keempukan
kelompok otot yang bermutu prima.
6. Stimulasi listerik dapat mempercepat mulainya pengempukan
daging sapi karena pHU dapat dicapai lebih cepat, daging
lebih empuk, warna daging lebih atraktif (blooming)dan cold
shortening dapat dihindari
138
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Saran
1. Perlakuan yang kasar, tidak berperikemanusiaan dan
mengabaikan aspek kesejahteraan hewan hendaknya tidak
dilakukan terhadap sapi yang akan dipotong.
2. Sebagai RPH terbesar di Bali, Pemerintah Daerah Propinsi
Tingkat I Bali hendaknya melakukan perbaikan-perbaikan
dalam dalam prosedur pemotongan, fasilitas kandang, ruang
pemotongan dan yang lainnya sehingga hasil dan mutu dapat
lebih ditingkatkan.
3. Pekerja lapangan yang terlibat langsung dengan pekerjaan
penanganan pascapanen sapi potong, baik di tempat
pemeliharaan, maupun dalam pengangkutan dan di RPH
perlu diberikan bekal ilmu pengetahuan mengenai tingkah
laku sapi dan keterampilan cara menanganinya dengan tepat
dan berperikemanusiaan.
4. Hendaknya di Bali bisa dibangun sebuah Rumah Potong
Hewan yang memenuhi baku mutu internasional yang dapat
menghasilkan karkas sapi Bali yang memiliki quality assurance
sehingga mampu bersaing di pasaran daging internasional.
Daftar Pustaka
Australian Meat Board. 1975. Sydney, Australia.
Bouton, P.E., A. Howard and R.A. Lawrie. 1957. Studies on beef
quality. VI. Effect on weight losses and eating quality of
further pre-slaughter treatments. CSIRO Australia. Div. Food
Pres. And Transport Tech. Pap. No.6:5-23.
Bendall, J.R. 1980. The electrical stimulation of carcasses of meat
animals. In: R.A. Lawrie (Ed.). Developments in Meat Science1. Applied Science Publishers Ltd. London.
Carr, T.R., D.M. Allen and P. Phar.1971. Effect of preslaughter fasting
on bovine carcass yield and quality. J.Anim.Sci., 32:870-873.
Chambers, P.G. 1974. Mass loss in slaughter cattle subjected to rail
transportation. Rhod. Vet.J., 5:38-40.
Dawkins, M.S. 1980. Animal Suffering. The Science of Animal
Welfare. Chapman and Hall Publisher. New York, USA.
Eldridge, G.A.1982. Handling and transport of meat animals in
relation to efficiency, meat quality, and welfare. In: W.A. Pattie,
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
139
Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Hasil dan Mutu Daging pada Sapi Bali
M. Rose, B.W. Norton, and K.F. Dowsett (Eds.). Proc. Aust. Soc.
Anim. Prod. Vol.14. Fourteen Biennial Conference, Brisbane,
Queensland, 1982. Pergamon Press (Australia) Pty. Ltd.
Forrest, J.C., E.D, Aberle, H.B. Hedrick, M.D. Judge, and R.A. Merkel.
1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San
Fransisco, USA.
Grandin, T. 1980. Livestock behaviour related to handling facilities
design. Internationaj Journal for the Study on Animal Problem.
Vol. 1.
Hedrick, H.B. 1958. Etiology and possible preventive measures in
dark cutter syndrome. Vet. Med., 53:466-472.
Kilgour, R. 1971. Animal handling in works pertinent behaviour
studies. 13th.Meat Industry Res. Conf. Proc. Meat Industry
Research Institute, New Zealand. , p.9_12.
Kiley, W,M, 1976. Tail movements ungulates, canids, and felids
with particular reference to their causation and functions as
mdisplays. Behaviour. 56 : 69-115.
Korn, A.J. 1975. The $20 million cattle bruise. Queensland
Agricultural Journal. 86:3-5.
Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. Pergamon Press Ltd. Headington
Hill Hull, Oxford OX3 OBW, England
Meischke, H.R.C. 1975. “Bruising cattle”. A Report to the Australian
Meat Board, Sydney, Australia.
Leach, T.M. 1981. Farm to slaughter, paper presented at a conference
on meat and the market. Meat Research Institute, Bristol. In:
N.R.P. Wilson, E.J. Dyett, R.B. Hughes, and C.R.V. Jones (Eds.).
Meat and Meat Products. Factors Affecting Quality Control.
Applied Science Publishers, London and New Jersey.
Newton, K.G. and C.O. Gill. 1981. The microbiology of DFD fresh
meat. In: R.A. Lawrie (Ed.). Meat Science. A Review, 5:223232.
Preston, T.R. and M.B. Willis. 1974. Intensive Beef Production. 2nd
Edn. Pergamon Press, Oxford; Oxford, New York, Toronto and
Sydney.
Rich, P.D. 1973. Carcass bruising – Its effect on proper marketing of
meat. New England Beef Cattle Symposium.
Saka, I K. 1983. An analysis of the beef industry of Bali and the
effect of preslaughter treatment on yield and carcass quality.
140
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Ketut Saka • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
A Thesis. University of Melbourne, Australia.
Scott, W.N. 1978. The human killing of animals on the farm. In: W,N.
Scott and J.A. Laing (Eds.). The Care and Management of Farm
Animals. Bailliere Tindall, London.
Shorthose, W.R., P.V. Harris and P.E. Bonton. 1972. The effect on
some properties of of beef of resting and feeding cattle after
a long journey to slaughter. In: Proc. Aust. Soc. Anim. Prod.,
(:387-391.
Smith, G.C., T.R. Dutson, R.L. Hostetler, and Z.L. Carpenter. 1976.
Fatness, rate of chilling and tenderness of of lamb. J.Food Sci.,
41:748-756.
Starke, J.S. 1948. Weight loss in slaughter stock during transit. Dep.
Agric., U. of S. Africa. Bull. 288:3-19.
van den Heever, L.W. and G.D. Sutton. 1967. Liveweight loss in
slaughter cattle subjected to prolonged rail transport without
food, water and rest. J.S.Afr.Vet.Med.Ass., 38:217-220.
Walker, D.J. 1976. Meat quality – the impact of research. In: Proc.
Aust. Soc. Anim. Prod., 11:73-80.
Wilcox, E.B., M.B. Merkley, L.S. Galloway, D.A. Greenwood, W. Binns,
J.A. Bennett and L.E. Harris. 1953. The effect of feeding sucrose
to beef and swine on the dressing percentage and quality of
meat. J.Anim.Sci., 12:24-32.
Wythes, J.R. and D.W. Underwood. 1980. Muscle pH postmortem
in cattle fasted before of after travel to slaughter. J.Aust. Inst.
Agric.Sci, 46:252-253.
Wythes, J.R., W.R.Shorthose, P.J.Smith, and C.B.Davis. 1980a. Effect
of various rehydration procedures after a long journey on
liveweight, carcasses and muscle properties of cattle. J.Agric.
Res., 31:849-855.
Wythes, J.R., S.R. McLennan and M.A. Toleman. 1980b. Liveweight
loss and recovery in steers fasted for periods of twelve to
seventy two hours. Aust.J.Exp.Agric. Anim.Husb.,20:517-521.
Wythes, J.R. 1981a. Farm gate toi abattoir. Part I: The effect of
handling and transporting cattle on liveweight and carcass
attributes. Reviews paper. In: Aust.Beef Cattle Conf. 1981.
Glenormiston Agric.Coll., Vic., Australia (234-250).
Wythes, J.R. 1981b. Animal welfare – a vital issue. Gld. Agric.J.,
107:136-143.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
141
REAKSI FISIOLOGI TERNAK SAPI TERHADAP
LINGKUNGAN PANAS
Wayan Sayang Yupardi
Pendahuluan
Ilmu fisiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan
serta proses yang terjadi dalam suatu organisme, termasuk hewan,
tumbuhan, dan manusia secara menyeluruh maupun masingmasing bagian organnya sampai pada tingkat sel dalam keadaan
normal serta dalam keadaan terpengaruh oleh faktor dari luar
maupun dari dalam dengan termasuk juga cabang keilmuannya.
Dengan demikian, bila dikaitkan dengan cuaca di atas maka cuaca
itu merupakan salah satu faktor luar yang mempengaruhi kinerja
atau fungsi fisiologi ternak tersebut. Beberapa komponen cuaca di
atas dan pengaruhnya terhadap ternak dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Panas
Semua hewan menyusui berusaha untuk mempertahankan
konstanitas suhu tubuhnya. Bila ada hal yang dapat meningkatkan
suhu tubuh itu maka melalui reaksi fisiologi atau perilaku, hewan
tersebut berusaha untuk menurunkannya. Contoh sederhana
pada manusia tentang penyesuaian fisiologi terhadap suhu
adalah penguapan air melalui permukaan kulit (keluar keringat),
membrana mukosa mulut, dan pernapasan (Ganong, 1983).
Dengan cara itu, tubuh akan terasa nyaman. Namun, pada ternak,
ternak tersebut akan mencari tempat berlindung dari terik sinar
matahari dan tempat yang mendapat angin berhembus dengan
baik. Ternak sapi (selanjutnya disebut ternak) reaksinya serupa
tetapi kemampuannya untuk mengeluarkan keringat tidak
sebanyak yang terjadi pada manusia. Ternak tersebut tampak
142
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Wayan Sayang Yupardi • Fakultas PeternakanUniversitas Udayana
bernapas cepat dalam usahanya untuk mengeluarkan panas dari
dalam tubuhnya (Terril, 1968). Kecepatan pernapasan itu diatur
oleh pusat pernapasan yang terletak di daerah otak yaitu pons dan
medula (Keenan, 1988 dan Keele dan Neil, 1971).
Panas dapat berasal dari berbagai sumber seperti di bawah
ini.
a) Sinar matahari langsung atau refleksi cahaya pada tanah atau
bangunan,
b) Udara yang suhunya lebih tinggi dari suhu tubuih,
c) Metabolisme dasar dari aktivitas ternak,
d) Aktivitas metabolisme ekstra untuk reproduksi, laktasi, atau
pertumbuhan,
e) Setiap gerak misalnya berjalan menuju tempat persediaan air
minum,
f) Pencernaan pakan di dalam tubuh terutama di rumen.
Semakin banyak pakan yang dimakan, dan semakin tinggi
kandungan serat kasar pakan tersebut maka semakin banyak pula
panas yang dihasilkan dari pencernaannya. Semakin produktif
ternak, semakin tinggi pula kebutuhan pakannya baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Akibatnya, semakin tinggi pula
produksi panas yang dihasilkannya. Ternak yang berproduksi
lebih tinggi akan mengeluarkan lebih banyak panas karena ternak
tersebut memerlukan jumlah pakan lebih banyak dibandingkan
dengan ternak yang berproduksi lebih rendah. Dari jumlah pakan
yang lebih banyak itu ternak menghasilkan labih anyak panas
juga. Jadi, ternak yang berasal dari luar negeri yang mempunyai
pertumbuhan cepat akan melahirkan anak dengan berat badan dan
produksi susu lebih tinggi (misalnya sapi perah frisien holstein)
atau daging (misalnya sapi simental dan angus) serta pengeluaran
panas tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak yang
berproduksi lebih rendah.
Agar suhu tubuh konstan maka ternak harus mengeluarkan
panas dari dalam tubuhnya dengan kecepatan yang sama dengan
kecepatan panas yang dihasilkan atau diabsorbsi. Suhu tubuh
dimonitor dan diatur oleh hipothalamus (McClintic, 1975).
Terdapat tiga jalan/cara ternak untuk melepaskan panas dari
dalam badannya sebagai berikut.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
143
Reaksi Fisiologi Ternak Sapi Terhadap Lingkungan Panas
a)
b)
c)
Bernapas cepat akan mempercepat penguapan pada sistem
pernapasan menuju udara luar, dan bila suhu udara lebih
rendah dibandingkan dengan suhu tubuh maka udara
inspirasi akan mengalami pemanasan di seluruh permukaan
turbin dan sekat rongga hidung (Cherniack dkk., 1983),
Penguapan keringat pada permukaan kulit. Banyaknya
keringat yang dihasilkan oleh ternak lebih sedikit dibandinkan
dengan manusia karena jumlah kelenjar keringat pada kulit
ternak persatuan luas yang sama lebih sedikit dibandingkan
dengan manusia. Walau sapi zebu memiliki jumlah kelenjar
keringat yang lebih banyak dan efektif dibandingkan dengan
berbagai sapi yang berasal dari Eropah namun, semua ternak
itu mempunyai kelenjar keringat lebih sedikit dibandingkan
dengan manusia,
Radiasi panas dari tubuh ternak sendiri dalam hal ini bulu
licin yang menutupi tubuhnya adalah merupakan radiator
yang lebih banyak dibandingkan dengan bulu wol.
Suhu yang baik untuk ternak hususnya sapi dari Eropah
adalah berkisar antara 1 – 160C tetapi, 15 – 150C untuk sapi dari
daerah tropis. Di atas atau di bawah suhu tersebut ternak akan
kurang produktif. Misalnya, sapi zebu berkembang dengan baik
di daerah beriklim tropis dan daerah beriklim sedang (subtropis).
Reaksinya terhadap lingkungan yang bersuhu tinggi (350C) tidak
banyak berubah, sedangkan untuk berbagai sapi dari Eropah suhu
tersebut adalah 270C. Di atas suhu itu suhu tubuh ternak mulai
meningkat (Barret dan Larkin, 1974).
Meningkatnya suhu tubuh ternak biasanya berhubungan
erat dengan turunnya nafsu makan, produksi susu (dengan sedikit
perubahan komposisi), dan kecepatan pertumbuhan. Perlu diingat
bahwa sapi zebu sangat sensitif terhadap suhu rendah hususnya
pada lingkungan bersuhu rendah/dingin (suhu kurang dari 150C)
yang dibarengi dengan hujan maka pertumbuhannya terhambat
dan produksi susunya rendah. Terdapat beberapa jenis sapi dari
Eropah yang dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan yang
bersuhu tinggi. Adaptasi sapi jersey paling baik dibandingkan
dengan sapi lainnya. Kemampuan beradaptasi ternak berbanding
terbalik dengan ukuran tubuhnya; demikian pula halnya dengan
144
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Wayan Sayang Yupardi • Fakultas PeternakanUniversitas Udayana
berbagai bangsa ternak.
Untuk di daerah tropis terdapat berbagai macam ternak
yang didatangkan dari Eropah gagal berproduksi (tidak sesuai
dengan harapan) karena ketidakmampuannya beradaptasi dengan
suhu lingkungan sekitar 290C atau lebih. Pada kenyataannya,
berbagai jenis sapi dari Eropah yang telah disilangkan di
berbagai daerah tropis nampaknya dapat beradaptasi lebih baik
dibandingkan dengan jenis sapi yang sama di berbagai daerah
dingin. Demikian juga ternak yang berasal dari berbagai negara
(luar negeri) yang telah lama disilangkan di berbagai daerah tropis
mempunyai daya tahan panas cukup baik misalnya sapi hereford.
Namun, keunggulan ini biasanya berkurang pada pejantan yang
didatangkan dari luar negeri karena seleksi terhadap adaptasi
lingkungan kurang memadai. Dalam perdagangan internasional,
pengiriman mani beku (semen) ke berbagai daerah tropis telah ada
jaminan terhadap toleransi panas. Sapi jantan yang menghasilkan
semen itu telah diuji sebelumnya. Uji tersebut meliputi kecepatan
pernapasan, suhu tubuh, suhu linkungan, dan kelembaban udara.
Kelembaban
Di daerah tropis, sinar matahari sangat kuat umumnya pada
daerah yang semakin tinggi letaknya dari permukaan laut dan
di daerah yang kurang subur terutama di daerah yang langitnya
selalu terang benderang (Lamb dkk., 1980). Radiasi yang ekstrim
terdapat di daerah katulistiwa yang daerahnya relatif kering tanpa
tertutup kabut, terutama pada daerah dataran tinggi. Terdapat
dua pengaruh radiasi pada kulit yaitu suhu kulit tinggi dan kulit
terbakar. Meningkatnya suhu pada permukaan kulit sangat jelas.
Kenaikan suhu kulit tersebut menyebabkan adanya peningkatan
kontribusi total panas pada suhu lingkungan meskipun ada
naungan. Sapi hereford yang matanya tidak berpigmen sangat peka
terhadap epithelioma; seleksi terhadap warna bulu merah di atas
matanya sangat membantu dalam mengatasi masalah tersebut.
Sapi ayshire betina cenderung menderita kangker kulit di daerah
vagina bagian luar (vulva) yang tidak berpigmen sedangkan sapi
zebu biasanya mempunyai pigmen kulit sehingga warna bulu
penutup tubuh tidak mempunyai arti penting lagi bagi kesehatan
ternak tersebut. Hal serupa nampaknya terjadi pula pada sapi Bali,
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
145
Reaksi Fisiologi Ternak Sapi Terhadap Lingkungan Panas
bahwa ternak tersebut dapat hidup dan tumbuh dengan baik tanpa
dikandangkan, meski ternak tersebut kepanasan (radiasi kuat)
dan kehujanan (Masudana, 1990). Di lain pihak, Abdel-Samee dan
Marai (1994, dalam Putra, 1999) melaporkan bahwa radiasi pada
ternak menyebabkan penurunan asupan pakan, laju pertumbuhan,
produksi susu, dan kinerja reproduksi, serta peningkatan angka
kematian. Penyinaran pada hewan menyebabkan perubahan fungsi
kelenjar hipofisis, produksi hormon pertumbuhan, dan perubahan
dalam kemampuan sel tubuh dan fungsi metabolisme yang terkait
dengan respons terhadap hormon pertumbuhan. Perubahan yang
demikian itu disertai oleh kurangya kandungan total dalam tubuh
dari air, natrium, kalium, lemak, massa tulang, aktivitas enzim,
sekresi lambung dan keasamannya, penyerapan glukose, fosforilasi
froktose, sintesis DNA, kandungan asam nukleat, konsentrasi ATP
otot, berat keseluruhan saluran pencernaan, dan volume sumsum
tulang yang tersedia. Berbagai perubahan ini menyebabkan
hilangnya cairan tubuh secara ekstensif yang berakibat menurunya
bobot badan, dan pada waktu yang sama, terganggunya fungsi
tubuh yang mengimbas terjadinya pengaruh negatif pada produksi
dan reproduksi. Kerusakan utama pada hewan disebabkan oleh
hidrogen, hidrogen peroksida, dan radikal bebas yang dihasilkan
oleh air tubuh yang teradiasi – air merupakan komponen utama
dari sistem biologi hewan. Pelindung radiasi seperti senyawa
mengandung belerang (sistein, sisteamin, glutathion, dan thiourea),
hormon, enzim, vitamin, dan lemak digunakan secara ekstensif
untuk memperbaiki kerusakan akibat radiasi pada hewan itu agar
tetap dapat mempertahankan hidupnya.
Pengaruh panas pada ternak sapi telah banyak diteliti melalui
suhu dan kecepatan pernapasan (respirasi) yang menunjukkan
terganggunya mekanisme termoregulasi ternak, tetapi sedikit
sekali penelitian yang dilakukan melalui beberapa perubahan
metabolik terutama adaptasi ternak terhadap daerah (lingkungan)
panas. Hal ini menjadi tantangan besar bagi para peneliti untuk
melakukan penelitian yang lebih mendalam lagi, yang berkaitan
dengan perubahan metabolik yang terjadi di dalam tubuh ternak.
Observasi mengenai kebiasaan merumput sapi zebu dan
hereford di berbagai daerah di Kenya menunjukkan terjadi
sedikit perubahan. Satu masalah yang dihadapi adalah mengenai
146
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Wayan Sayang Yupardi • Fakultas PeternakanUniversitas Udayana
produksi potensial sekaligus kecepatan metabolisme ternak sapi
dari Eropah yang lebih besar dibandingkan sapi zebu. Dalam
usaha untuk memperoleh zat pakan yang cukup sesuai dengan
kebutuhan, ternak dari Eropah itu menggunakan waktunya lebih
lama untuk merumput (termasuk dimalam hari) dibandingkan
sapi zebu. Gambaran variasi merumput antara sapi dari Eropah
dan sapi zebu menunjukkan intensitas merumput yang lebih
besar pada sapi dari Eropah yang disebabkan oleh cuaca. Namun
demikian, hal ini mungkin merupakan pertanda keperluan zat
pakan yang lebih tinggi/banyak dibandingkan ternak lain yang
lebih produktif karena keterbatasan rumen dalam menampung
pakan. Di lain pihak, sapi zebu mampu beradaptasi terhadap zat
pakan yang jumlahnya terbatas dengan jalan mengurangi kecepatan
metabolisme pertumbuhan. Dengan demikian, keperluan pakan
yang lebih tinggi untuk ternak sapi yang produktif menyebabkan
waktu merumput lebih lama termasuk merumput dimalam hari.
Akibatnya, suhu badan ternak tersebut menjadi lebih tiggi pula.
Umumnya, rumput yang berasal dari daeah tropis mengandung
serat kasar tinggi (meningkatkan produksi panas hasil pencernaan),
nilai cerna dan protein yang rendah. Dalam keadaan demikian
itu, sapi zebu yang pertumbuhan dan produksinya rendah masih
mampu hidup sebagaimana mestinya; demikian pula halnya sapi
bali. Sedangkan ternak sapi yang berasal dari Eropah nampak
pertumbuhannya tidak normal, misalnya badan kurus sehingga
kaki kelihatan panjang-panjang, dan kondisinya buruk.
Kesuburan ternak sangat cepat dipengaruhi oleh stres
sebagai akibat dari pakan yang berkualitas rendah. Pakan yang
demikian itu akan menyebabkan sapi zebu beranak dalam dua
tahun sekali. Ternak sapi dari Eropah yang diberi pakan berkualitas
lebih baik dibandingkan sapi zebu mungkin pengaruhnya sama
karena untuk memproduksi susu yang lebih banyak dibutuhkan
pakan yang lebih tinggi pula baik secara kuantitas maupun kualitas.
Hal serupa terjadi pula pada jenis sapi daging. Sapi bali yang diberi
pakan berkualitas rendah telah berpengaruh pada produksinya
terutama berkurangnya berat badan (Malesey, dkk., 1990) walau
masih mampu bertahan untuk hidup. Hal ini disebabkan oleh
tingginya kebutuhan energi basal sapi bali tersebut (Kuswandi,
1990). Produksi dan reproduksi ternak berkurang karena stres
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
147
Reaksi Fisiologi Ternak Sapi Terhadap Lingkungan Panas
sebagai akibat pemberian pakan yang berkualitas rendah. Bila
ditinjau dari aspek fisiologi hal ini wajar saja adanya karena dengan
mengurangi produksi dan reproduksinya, ternak tersebut akan
merasa lebih nyaman dan mampu mempertahankan hidupnya.
Terdapat beberapa faktor penyebab stres antara lain suhu,
kelembaban, radiasi, panas, angin, polusi udara, kekurangan air dan
pakan, kegaduhan, hiruk-pikuk, dominasi sosial, perbedaan jenis
ternak, penyakit, dan diare (Church, 1971). Semua faktor tersebut
di atas akan mendorong proses fisiologi di dalam tubuh ternak
menjadi tidak normal misalnya ketidakseimbangan metabolisme
dalam tubuh dan akibatnya terjadi stres. Sebagai contoh dapat
disampaikan di sini yaitu ternak hasil persilangan di daerah
beriklim sedang mengalami perbedaan panjang hari (perbandingan
gelap dan terang) bila ternak tersebut berada di daerah beriklim
tropis. Keadaan lingkungan yang demikian ini sering menimbulkan
stres. Ternak atau manusia yang mengalami stres mengakibatkan
produksi hormon adrenokortikotrofik (ACTH)nya meningkat.
Akibatnya, sistem medularis simpathoadrenal bekerja lebih aktif
untuk mempertahankan reaktivitas vaskuler (Ganong, 1983).
Lebih jauh dapat pula disampaikan di sini bahwa serangga
juga dapat menyebabkan ternak mengalami stres sebagai berikut
ini. Pertama serangga sebagai vektor (perantara) beberapa jenis
penyakit seperti teoleria, babesia, anaplasma dan kutu, atau
tripanosoma (lalat tsetse) atau rift valley fiver (nyamuk), dan
kedua adalah dengan mengisap darah oleh lalat seperti stomoxys
atau stable flies, dan tabanide atau lalat kuda atau lalat unta. Kedua
jenis lalat terakhir tersebut dapat juga memindahkan penyakit
secara mekanis. Sapi zebu kurang peka terhadap lalat tersebut di
atas dibandingkan hewan yang berasal dari Eropah karena sapi
zebu dapat mengetarkan setiap lokasi kulit tempat hinggap lalat
tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah gigitan lalat
pada ternak yang berasal dari Eropah adalah 10 kali lebih banyak
dibandingkan dengan sapi zebu (Barret dan Larkin, 1974).
Namun demikian, tidak ada alasan untuk berkecil hati
dalam menghadapi stres tersebut di atas karena menejemen untuk
itu telah tersedia. Beberapa contohnya dapat dikemukakan di sini
sebagai di bawah ini.
1) Sapi merumput pada periode waktu tertentu setiap hari.
148
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Wayan Sayang Yupardi • Fakultas PeternakanUniversitas Udayana
2)
3)
Setiap gangguan waktu
merumput tidak akan dapat
dikompensasikan pada kesempatan yang lain. Jadi, semua
perlakuan yang akan diberikan pada ternak hendaknya
dilakukan di luar waktu merumput (bila memungkinkan) dan
semua kegiatan penting lainnya hendaknya dilakukan dengan
menghindari panas.
Agar produksi susu tetap tinggi hendaknya jangan membawa
alat pemerahan ke tempat sapi merumput karena akan
dapat menimbulkan stres. Sepanjang masih memungkinkan
hendaknya ternak diberi kesempatan merumput selama 24
jam. Keamanan ternak harus terjamin dari pemangsanya.
Sangat baik bila ternak ruminansia diberi kesempatan untuk
merumput dimalam hari karena tidak ada stres cahaya
atau suhu tinggi. Pencelupan ternak ke dalam bak husus
berisi larutan anti parasit atau melakukan vaksinasi harus
dilaksanakan secara teratur dan berlanjut. Dalam hal vaksinasi,
vaksinasi itu hendaknya dilakukan sebelum matahari terbit
(vaksin tidak tahan sinar terutama sinar ultraviolet) agar
mendapat hasil yang maksimal. Ternak harus diberikan
air sepanjang hari (24 jam); bila tidak maka air hendaknya
diberikan dua kali sehari secara berlebihan (adlibitum) dan
tempat air itu harus dengan mudah dan cepat dapat dicapai
oleh ternak. Bila prekwensi tersebut tidak terpenuhi maka
nafsu makan akan berkurang. Dengan demikian, jumlah
pakan yang dimakan berkurang pula (Shelton, 1964 dikutip
oleh Sugeng Prasetyo, 1993).
Naungan harus tersedia secara memadai. Naungan alamiah
berupa pohon harus diadakan tanpa mengganggu kesempatan
merumput. Bila pohon tersebut harus ditanam maka jangan
sekali-kali menam pohon/tanaman yang dapat merusak
ternak seperti kaktus, mimosa dan sebagainya karena duri
tanaman tersebut dapat merusak bila mengenai badan ternak
yang pada gilirannya akan merusak penampilan (performans)
ternak tersebut. Naungan buatan hendaknya cukup tinggi
sehingga tidak menghalangi pergeraka udara.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
149
Reaksi Fisiologi Ternak Sapi Terhadap Lingkungan Panas
Simpulan
Sebagai simpulan dari uraian di atas dapat disampaikan
sebagai berikut ini. Reaksi fisiologi ternak di daerah atau
lingkungan panas (tropis) dapat berupa penurunan suhu tubuh,
peningkatan frekwensi pernapasan, perubahan produksi hormon
dan metabolisme, perubahan perilaku, penurunan produksi dan
reproduksi. Semua hal itu merupakan usaha ternak tersebut untuk
mempertahankan kenyaman dan kelangsungan hidupnya.
Daftar Pustaka
Andrew, T.P. 1970. Rumunat digestion. Input in M.J. Swanson (Ed.).
Duke’s physiology of domestic animals. 8th ed. Comstock Pub.
Ass. A devision of Cornell Univ. Press, Itacha and London.
Barret, M.A. dan P.J. Larkin. 1974. Milk and beef production in the
tropics. Oxford Univ. Press, Ely House, London W.I.
Cherniack, N.S., M.D. Altos dan S.G. Lelsen. 1983. The respiratory
system. Input in Physiology. R.M. Berne and Levy (Ed.) The
C.V. Mosby Co. St. Louis. Toronto 639 677.
Church, D.C. 1971. Digestive physiology and nutrition of ruminants,
2. D.C. Church, USA.
Ganong, W.F. 1983. Review of medical physiology. 11th ed. Lenge
Med. Pub. Los Altos, California 94022.
Hoar, W.S. 1984. General and comparative physiology.3rd ed.
Prentice-Hall of India. Private Ltd. New Delhi – 110001.
Keele, C.A. dan E. Neil. 1971. Samson wright’s applied physiology.
12th ed. Oxford Univ. Press. New York. Toronto.
Keenan, D.M. 1988. An introduction to the structure and function
of farm animals. Dept. of Anim. Prod. Qld. Agric. Coll.
Kuswandi, 1990. Aspek nutrisi dan fisiologi dalam pengembangan
sapi bali di wilayah Indonesia Bagian Timur. Seminar Nasional
Sapi Bali. FAPET UNUD, Denpaar, Bali.
Lamb, J.F., C.G. Ingram, I.A. Johnstone, dan R.M. Pitman. 1980.
Essentials of physiology. Backwell Scientific Pub. Oxford.
Malessey, C., E. Tjoang Soka, dan J.H. Schotter. 1990. Sapi bali di
Nusa Tenggara Timur. Seminar Nasional Sapi Bai. FAPET,
UNUD, Denpasar, Bali.
Masudana, I W. 1990. Perkembangan sapi bali dalam sepuluh tahun
150
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Wayan Sayang Yupardi • Fakultas PeternakanUniversitas Udayana
terakhir (1998 – 1990). Seminar Nasional Sapi Bai. FAPET,
UNUD, Denpasar, Bali.
McClintic, J.R. 1975. Physiology of the human body. John Wiely &
Sons, Inc. New York, London, Sydney. Toronto.
Nitis, I M. dan I G. M. Oka. 1977. Feeding behaviour of bali cattle
raised on improve pasture under coconuts (English Summary).
Univ. Udayana, FKHP, Report Series.
Putra, I D. K.H. 1999. Pencemaran pada sistem produksi ternak.
Terjemahan. Cetakan pertama. CV. IKIP Semarang Press.
Sugeng Prasetyo. 1983. Heat stress on weight and vigour of kids.
Thesis Anim. Prod. Univ. of Melbourne.
Terril, C.E. 1968. Adaptation of sheep and goats. Input in E.S.E.
Hafez (Ed.). Adaptation of domestic animals. Lea & Febiger.
Washington.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
151
FENOMENA PENYAKIT CACING PITA DAGING BABI DI
BALI DAN PERAN LABORATORIUM KLINIK
DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS
NYOMAN SADRA DHARMAWAN
Pendahuluan
Penyakit karena infeksi cacing pita (taeniasis) dan karena
larva cacing pita (sistiserkosis) tergolong sebagai penyakit zoonosis
parasitik. Penyakit ini masih banyak ditemukan di negara-negara
berkembang (Subahar et al., 2001). Situasi ini terkait dengan
keadaan higiene, sanitasi lingkungan, dan tingkat pendidikan di
daerah tersebut (Carrique-Mas et al., 2001; Dorny et al., 2002).
Beberapa kebiasaan seperti kegemaran penduduk mengkonsumsi
daging yang belum dimasak atau dimasak setengah matang, ikut
andil dalam penyebarannya (Owen et al., 2001).
Manusia akan terinfeksi cacing pita, bila makan daging
mentah atau kurang matang yang mengandung sistiserkus (larva
cacing). Sebaliknya, ternak akan terinfeksi sistiserkus bila menelan
telur cacing pita dewasa. Jika manusia makan daging babi yang
mengandung Cysticercus cellulosae maka dalam usus manusia
sistiserkus ini akan berkembang menjadi cacing pita Taenia solium
(cacing pita daging babi). Dengan cara yang sama Cysticercus bovis
akan berkembang menjadi Taenia saginata (cacing pita daging
sapi). Sebaliknya, babi akan terinfeksi C. cellulosae, jika menelan
telur T. solium; dan sapi terinfeksi C. bovis, jika menelan telur T.
saginata. Dalam hal infeksi cacing pita daging babi (T. solium),
apabila manusia secara tidak sengaja menelan telur cacing
pita ini, maka manusia juga dapat terinfeksi C. cellulosae. Yang
terakhir inilah amat berbahaya, karena sistiserkus di sini dapat
menyerang berbagai organ penting, seperti: otak, mata, jaringan
di bawah kulit, dan lain-lain. Serangan pada otak (neuro atau
cerebral-sistiserkosis) dapat mengakibatkan kematian mendadak,
152
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
sedangkan pada mata (ocular-sistiserkosis) dapat menimbulkan
kebutaan (Menon et al., 2000; Wandra et al., 2000; Corbu et al.,
2001). Sistiserkus yang menginfeksi manusia dilaporkan juga
menyerang saraf mata (Bajaj dan Pushker, 2002); lidah dan daerah
mulut (Mazhari et al., 2001; Nigam et al., 2001; Sidhu et al., 2002);
dan spinal intramedullary (Homans et al., 2001).
Sistiserkosis yang disebabkan oleh cacing pita daging babi,
yang terjadi di beberapa belahan dunia, dapat mengakibatkan
kerugian ekonomi karena menurunnya produksi daging dan
resiko pada kesehatan manusia (Rodriguez-Contreras et al.,
2002). Distribusi geografik cacing ini kosmopolit di negaranegara dengan penduduknya yang mengkonsumsi daging babi
dan daging sapi. Penyebarannya meliputi Asia, Afrika, dan Eropah
(Ito et al., 2000; Dorny et al., 2002). Di negara-negara maju kasus
sistiserkosis dilaporkan semakin meningkat. Walaupun setelah
ditelusuri, ternyata si pasien kebanyakan mempunyai riwayat
pernah tinggal di negara-negara endemis taeniais / sistiserkosis,
atau setidaknya pernah melakukan perjalanan ke daerah tersebut
(Garcia dan Brutto, 2000). White (2000) melaporkan adanya kasus
neuro-sistiserkosis di Amerika Serikat yang menyerang seorang
wanita berumur 25 tahun. Sementara, Guigon dan Trepsat (2002)
melaporkan kasus intraocular-sistiserkosis pada pasien di Prancis
dengan riwayat pernah melakukan perjalanan ke daerah Hindia
Barat tiga bulan sebelumnya.
Fenomena Sistiserkosis di Bali
Taeniasis dan sistiserkosis sebagai zoonosis parasitik telah
dikenal sebagai problem lama. Di Indonesia telah ditemukan
sistiserkosis yang berasal dari T. solium, T. saginata, T. pisiformis,
T. hydatigena, dan E. granulosus (Dharmawan et al., 2001). Khusus
pada babi, prevalensinya sebagian besar dilaporkan di daerahdaerah yang mengkonsumsi daging tersebut, seperti Bali, Sumatra
Utara, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya (Margono et al, 2001; Subahar
et al., 2001; Sutisna, 2001).
Kejadian sistiserkosis pada babi di Bali pertama kalinya
dilaporkan oleh Le Coultre pada 1920 yang menemukan C.
cellulosae. Dari hasil penelitiannya, diketahui prevalensinya antara
2 – 3%. Dinas Peternakan Propinsi Bali secara rutin kemudian
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
153
Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis
melaporkan kasus tersebut dalam laporan tahunannya. Bahkan
pada 1970-an kasus sistiserkosis pada babi dilaporkan hampir
merata di seluruh kabupaten di Bali (Dharmawan, 1995).
Bersamaan dengan peningkatan kesadaran masyarakat
tentang higiene dan kesehatan lingkungan, prevalensi sistiserkosis
pada babi di Bali semakin menurun. Dari hasil survei sistiserkosis
pada babi yang dilakukan pada 1984 di Rumah Potong Hewan
Denpasar oleh Gunawan et al.., hanya ditemukan satu penderita
dari 1544 ekor babi yang diperiksa. Pada 1990, Dharmawan
melakukan penelitian di tempat yang sama selama kurun waktu tiga
bulan (Pebruari – April 1990), disamping diperoleh C. tenuicollis,
dari 5630 ekor babi yang diperiksa ditemukan 7 ekor (0,12%)
babi terinfeksi C. cellulosae. Rincian asal babi yang terinfeksi per
kabupatennya: Badung 1 ekor (0,04%), Gianyar 2 ekor (0,029%),
dan Karangasem 4 ekor (0,54%). Infeksi oleh zoonosis parasit ini
ditemukan pada babi-babi lokal yang dipelihara secara tradisional,
dan ada hubungannya dengan masih ditemukannya kasus taeniasis
di daerah asal babi penderita (Dharmawan, 1995).
Sementara itu, problem baru mengemuka. Sutisna yang
melakukan penelitian pada masyarakat di Renon Denpasar,
mencatat 37 kasus taeniasis pada manusia. Setelah dicermati,
penyebabnya diidentifikasi sebagai T. saginata dan T. solium.
Hal yang menarik adalah dari data sosio-ekologi keluarga yang
ditelitinya dilaporkan mereka lebih menyukai daging babi (63%)
daripada daging sapi (31%). Namun, frekuensi ditemukannya T.
saginata jauh lebih tinggi (96,4%) dibandingkan T. solium (3,6%).
Kejadian yang membingungkan tersebut, sebetulnya pernah
dilaporkan di Sumatra Utara oleh Kosin et al. pada 1972 yang
menemukan angka taeniasis pada masyarakat di pulau Samosir
yang disebabkan oleh cacing pita mirip T. saginata cukup tinggi,
sementara penduduknya lebih sering mengkonsumsi daging babi
dibanding daging sapi (Dharmawan, 1995).
Hal yang serupa juga dilaporkan terjadi di Taiwan, Korea,
Filipina, dan Myanmar oleh F.C. Fan et al.. Keadaan yang paradoks
di sini sebagian besar telah diungkap. Jenis cacing pita yang diteliti
tersebut ternyata jenis cacing pita “baru” yang disebut Taenia
asiatica karena hanya ditemukan di beberapa negara Asia. Morfologi
cacing ini sulit dibedakan dengan T. saginata, akan tetapi memiliki
154
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
daur hidup yang berbeda dengan T. saginata. Kalau inang antara T.
saginata yang klasik adalah sapi, sedangkan T. asiatica adalah babi.
Dan lokasi berparasit sistiserkus T. asiatica juga sangat menciri.
Secara alami sistiserkus tersebut hanya ditemukan pada organ
hati babi. Ada sejumlah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa
cacing pita T. saginata yang ditemukan di Bali ada yang mirip atau
sejenis dengan T. asiatica. Hal ini didasarkan atas hasil penelitian
lapangan yang pernah penulis lakukan di Rumah Potong Hewan
Denpasar dan hasil penelitian serologi.
Penelitian pendahuluan untuk mengetahui keberadaan
sistiserkus T. asiatica di Bali telah dilakukan. Dari 638 ekor babi
yang dipotong di Rumah Potong Hewan Denpasar, organ hatinya
diperiksa terhadap kemungkinan adanya infeksi sistiserkus T.
asiatica, ternyata sebanyak 146 hati babi (22,88%) menunjukkan
indikasi terinfeksi (Dharmawan, 1998a). Setiap hati yang terinfeksi
mengandung 1 – 16 sistiserkus yang menyebar secara acak di masingmasing lobus. Kebanyakan dari masing-masing hati terinfeksi oleh
kurang dari lima kista. Sistiserkus yang mirip dengan sistiserkus T.
asiatica tersebut berbentuk bintik kecil berwarna kekuningan atau
putih susu dengan diameter 1,5 – 6 mm.
Penelitian lanjutan berupa pemeriksaan serologi untuk
mendeteksi antigen dengan menggunakan double antibody
sandwich ELISA (Avidin-Biotin Sandwich ELISA) telah dilakukan
dengan memeriksa 420 serum babi dari Bali. Sebanyak 47 (11,2%)
serum ternyata seropositif. Dari contoh seropositif, 38 (2,4%)
berasal dari babi-babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan
Denpasar (Dharmawan, 1999). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tidak seluruh serum yang berasal dari babi dengan lesi pada
hatinya menimbulkan reaksi positif terhadap adanya antigen. Hal
ini menandakan bahwa tidak semua lesi yang diduga kista tersebut
adalah sistiserkus T. asiatica. Saat ini sedang dilakukan penelitian
kearah pembuktian tingkat genetik yaitu dengan metode PCR dan
DNA probe
Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakan Diagnosis
Sistiserkosis
Dewasa ini, kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium
terhadap material yang berasal dari hewan sakit atau diduga sakit
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
155
Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis
sudah menjadi keharusan. Hal ini menjadi amat penting, karena
dengan mengetahui hasil pemeriksaan laboratorium akan dapat
dipastikan diagnosis suatu penyakit. Dengan adanya diagnosis
yang pasti, maka pemilihan alternatif pengobatan akan menjadi
pasti pula sehingga efektivitas pengobatan yang diberikan dapat
lebih ditingkatkan. Laboratorium klinik amat berperan dalam
menunjang atau memastikan diagnosis suatu penyakit, disamping
untuk memantau perjalanan penyakit, memantau efektivitas suatu
pengobatan, dan untuk memperkirakan resiko terhadap penyakit
tertentu atau untuk pencegahan (check-up). Dengan kata lain peran
laboratorium klinik amat strategis dalam menegakkan diagnosis
suatu penyakit – termasuk diagnosis sistiserkosis.
Pemeriksaan mikroskopik untuk diagnosis parasit ditujukan
terhadap morfologi objek yang diamati. Hal ini telah lazim
dikerjakan, terutama untuk tujuan identifikasi agen penyebabnya,
ataupun untuk mengetahui kelainan yang mungkin terjadi
pada parasit tersebut (Rabiela et al., 2000; Fan et al., 2001a).
Dharmawan (1998b) melaporkan bahwa dengan pemeriksaan
histopatologi hati babi yang diduga terinfeksi sistiserkus T. asiatica
di Bali, menyimpulkan bahwa hasil pemeriksaan mikroskopik
dapat dijadikan petunjuk awal adanya infeksi parasit. Hal ini
didasarkan pada perubahan-perubahan menciri yang ditemukan
pada jaringan di tempat berparasitnya agen, seperti adanya
infiltrasi sel radang dan ditemukannya agregasi sel eosinofil.
Adanya gambaran akumulasi sel-sel limfoid dalam bentuk reaksi
granulomatous adalah merupakan salah satu indikator bahwa hati
yang diperiksa terserang sistiserkus.
Pemeriksaan roentgen juga dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya sistiserkus, terutama bila sistiserkusnya sudah
mengalami pengapuran. CT scan (computerized tomographic
scan) telah umum dipakai untuk mendiagnosis sistiserkosis pada
manusia (Bannur dan Rajshekhar, 2001; Pandey et al., 2001; Ito et al.,
2002). Beberapa metode serologi juga telah banyak dikembangkan
untuk diagnosis sistiserkosis. Namun, itu semua adalah teknikteknik diagnostik yang hanya bisa diterapkan di laboratorium
dengan dukungan peralatan yang memadai. Terhadap kondisi
seperti ini Fleury et al. (2001) telah mengembangkan suatu teknik
pengawetan, sehingga serum yang berasal dari daerah endemis
156
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
tetap optimal kondisinya bila harus dikirim ke laboratorium yang
berjarak jauh dari asal pengambilan serum. Di antaranya adalah
dengan memperhatikan lama penyimpanan dalam kondisi beku
dan penggunaan kertas saring.
Uji serologi yang dilakukan pada kondisi ante mortum –
sebelum hewan disembelih, dapat memberi arti praktis dan spesifik.
Dari hasil eksperimen untuk mengetahui adanya sistiserkosis pada
babi dengan menggunakan ELISA, Rhoads et al.. melaporkan bahwa
antibodi akan terdeteksi tiga minggu pasca infeksi. Pemeriksaan
serologi sangat menarik, terutama dalam hal mendukung
diagnosis klinis neuro-sistiserkosis pada manusia. Beberapa
metode serologi yang telah dicobakan untuk mendeteksi adanya
sistiserkus tersebut adalah: indirect haemaglutination test (IHA)
dan doble diffusion agar; immunoelectrophoresis (IEP); enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) dan radioimmunoassay
(RIA). Diantara metode tersebut, ELISA ternyata merupakan uji
yang paling banyak digunakan (da Silva et al., 2000; Pinto et al.,
2000; Husain et al., 2001; Das et al., 2002). Teknik ini umumnya
memberi hasil yang baik. Bahkan dewasa ini, telah umum diketahui
bahwa laporan tentang epidemiologi kejadian sistiserkosis di
beberapa negara, datanya diperoleh dari pemeriksaan serologis
(Carrique-Mas et al., 2001; Subahar et al., 2001; Bragazza et al.,
2002; Dorny et al., 2002; Ito et al., 2002). Namun demikian, bukan
berarti metode serologi ini sudah sempurna.
Sampai sekarang, yang menjadi kendala utama dalam uji
serologi adalah adanya reaksi silang (Pinto et al., 2000). Sebagai
ilustrasi dapat disampaikan disini bahwa antara kista hydatida,
Multiceps multiceps, Taenia spp. dan Schistosoma spp. masingmasing menunjukkan reaksi silang dengan antibodi sistiserkus.
Tetapi, dengan cara pemurnian antigen, diketahui bahwa suatu
antigen, yaitu antigen B (Ag B), memperlihatkan reaksi imunologi
yang baik (Das et al., 2002). Penggunaan Ag ini 80% mampu
mendeteksi sistiserkosis tanpa kelihatan adanya reaksi silang. Dari
hasil penelitian Cheng dan Ko, seperti dilaporkan oleh Dharmawan
(1995) diketahui bahwa antigen-antigen yang memberi reaksi
silang itu, terdistribusi terutama pada tegumen Taenia. Sementara
itu beberapa peneliti yang membandingkan ekstrak kista, cairan
kista dan ekstrak cacing pita sebagai antigen untuk uji ELISA
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
157
Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis
terhadap kasus neuro-sistiserkosis, menyimpulkan bahwa antigen
yang berasal dari cairan kista memberi hasil yang paling baik
(Dharmawan, 1995).
Uji serologi lain yang merupakan modifikasi ELISA, yang
juga digunakan untuk mendeteksi adanya cacing pita atau
sistiserkusnya, terutama pada manusia adalah uji hambatan ELISA
dengan menggunakan monoclonal antibody; Dot ELISA; “Dipstick”
immunoassay; deteksi coproantigen dengan menggunakan
polyclonal dan Dipstick dot ELISA (Dharmawan, 1995; Sarti et al.,
2000). Penggunaan monoclonal antibody yang sangat spesifik,
akan mampu menurunkan reaksi silang, sehingga positif palsu
dapat dihindarkan. Sementara itu hasil yang memuaskan dengan
teknik Western blot, yaitu enzyme-linked immunoelctrotransfer
blot (EITB), juga dilaporkan oleh beberapa peneliti, diantaranya
adalah Bragazza et al. (2002) dan Ito et al. (2002). Teknik EITB
dan ELISA telah dibandingkan oleh Pathak et al.. Duapuluh serum
babi yang dikonfirmasikan positif sistiserkus, diperiksa dengan
menggunakan kedua metode ini. Ternyata EITB memberi hasil
90% sensitif dan 100% spesifik, tanpa adanya reaksi silang.
Sedangkan dengan ELISA, 70% sensitif, 73% spesifik, dan disertai
dengan reaksi silang (Dharmawan, 1995).
Metode pemeriksaan DNA merupakan teknik diagnostik lain,
yang lebih akurat untuk dapat membedakan spesies Taenia asiatica
dengan spesies Taenia lainnya. Beberapa peneliti melaporkan
telah berhasil mendeteksi karakteristik Taenia asiatica dengan
mengguankan Cloned Ribosomal DNA Fragments dan melihat
sekuen amplifikasinya menggunakan reaksi rantai polymerase
(polymerase chain reaction). Ternyata dari hasil pengamatan ini
diketahui bahwa genotif dari Taenia asiatica berbeda dengan
Taenia saginata yang klasik. Dengan teknik ini, diketahui
pula bahwa taenia ini hanya ditemukan di Asia. Pemeriksaan
sistiserkosis dengan pendekatan DNA telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti (Wandra et al., 2000; Lightowlers dan Gauci,
2001; Hongli et al., 2002). Pemeriksaan eksperimental sering pula
dilakukan untuk pembuktian lebih lanjut, terutama sekali untuk
studi perkembangan biologi dari parasit tersebut (Dharmawan,
2000; Verastegui et al., 2000; Fan et al., 2001
158
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
Penutup
Masih ditemukannya kejadian sistiserkosis - taeniasis di Bali
merupakan fenomena yang sangat menarik. Hal ini dimungkinkan
oleh tersedianya kondisi yang mendukung, sehingga eksistensi
cacing ini bersinambung. Bila dicermati kondisi yang ada, ternyata
beberapa faktor sosio-kultural setempat sangat mendukung
berkembangnya cacing pita di Bali. Kegemaran dan kebiasaan
penduduk mengkonsumsi daging babi atau sapi yang tidak dimasak
atau dimasak setengah matang misalnya dalam bentuk “lawar
matah” atau “lawar barak”, sanitasi yang relatif masih buruk di
beberapa tempat, kehidupan penduduk yang amat dekat dengan
ternak (babi, sapi), serta pemeliharaan ternak yang masih dilepas
berkeliaran, merupakan faktor-faktor yang sangat mendukung
berkembangnya cacing pita di Bali.
Kekeliruan yang terjadi pada prosedur pemeriksaan
kesehatan daging di Rumah Potong Hewan atau di tempat
pemotongan hewan tradisional, khususnya untuk mendeteksi
adanya sistiserkus, juga ikut bertanggungjawab terhadap
perkembangan taeniasis-sistiserkosis di Bali. Kekeliruan tersebut
tampak apabila dikaitkan dengan hasil temuan penulis, yaitu
tumbuhnya sistiserkus T. asiatica pada hati babi. Selama ini untuk
mendeteksi adanya sistiserkus pada babi, orientasi pemeriksaan
hanya tertuju pada otot yang dipandang sebagai tempat predileksi
utama sistiserkus T. solium. Kekeliruan yang fatal di sini adalah
mengabaikan hati yang ternyata merupakan tempat predileksi
utama sistiserkus T. asiatica. Dengan prosedur konvensional
seperti di atas, bila terdapat infeksi sistiserkus T. asitica pada
hati babi, jelas sekali akan lolos dari pemeriksaan, sehingga ada
peluang untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Kekeliruan karena
ketidaktahuan ini, tampaknya telah berlangsung dalam kurun
waktu yang panjang, lebih dari tiga perempat abad, sejak Le
Coultre pada 1920 menemukan C. cellulosae. Sistiserkus tersebut
ditemukan pada otot-otot babi. Sejak saat itu pemeriksaan
untuk mendeteksi adanya sistiserkus, terkonsentrasi hanya pada
otot. Hal ini kemudian diperkuat lagi di zaman kemerdekaan,
lebih-lebih dengan keluarnya pedomon mengenai pengendalain
penyakit hewan menular, yang menyebutkan bahwa tempat paling
banyak ditemukan sistiserkus adalah pada otot masseter, jantung,
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
159
Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis
lidah, triceps, dan diafragma. Kadang-kadang saja dilaporkan
pada hati, paru-paru, dan kelenjar limfe. Dengan demikian,
praktis pemeriksaan kesehatan daging yang selama ini dikerjakan
di Rumah Potong Hewan mengacu pada pedemon tersebut. Hati
babi yang kini diketahui sebagai tempat berparasitnya sistiserkus
T. asiatica telah terabaikan.
Peran laboratorium untuk diagnosis sistiserkosis adalah
amat strategis. Beberapa teknik dan uji laboratorium telah
dikembangkan dengan maksud memperoleh hasil optimal
dalam menegakkan diagnosis sistiserkosis dan ataupun untuk
kepentingan pengembangan vaksin sebagai salah satu upaya
pencegahan. Uji monoclonal antibody sandwich ELISA untuk
mendeteksi antigen cacing yang bersirkulasi dalam darah,
terbukti sebagai uji imunodiagnostik yang memberi harapan serta
kemudahan, terutama untuk diagnosis sistiserkosis pada hewan
hidup di masa datang.
Daftar Pustaka.
Bajaj MS and Pushker N. 2002. Optic nerve cysticercosis. Clin
Experiment Opthalmol. 30 (2): 140-143.
Bannur U and Rajshekhar V. 2001. Cysternal cysticercosis: a
diagnostic problem – a short report. Neurol India. 49 (2):
206-208.
Bragazza LM, Vas AJ, Passos AD, Takayanagui OM, Nakamura PM,
Espindola NM, Pardini A, Bueno EC. 2002. Frequency of serum
anti-cysticercus antibodies in the population of rural Brazilian
community (Cassia Dos Coqueiros, SP) determined by ELISA
and immunoblotting using Taenia crassiceps antigens. Rev.
Inst. Med. Trop. Sao Paulo. 44 (1): 7-12.
Carrique-Mas J, Iihoshi N, Widdowson MA, Roca Y, Morales G,
Quiroga J, Cejas F, Caihura M, Ibarra R, Edelsten M. 2001. An
epidemiological study of Taenia solium cysticercuosis in a
rural population in the Bolivian Chaco. Acta Trop. 80 (3):
229-235.
Corbu C, Pop M, Cretu C, Coiculescu M, Tatu M. 2001. Ocular
cysticercosis – case report. Oftalmologia. 51 (1): 37-39.
da Silva AD, Quagliato EM, Rossi CL. 2000. A quantitative enzyme-
160
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
linked immunosorbent assay (ELISA) for the immunodiagnosis
of neurocysticercosis using a purified fraction from Taenia
solium cysticerci. Diagn Microbiol Infec Dis. 37 (2): 87-92.
Das S, Mahajan RC, Ganguly NK, Sawhney IM, Dhawan V,
Malla N. 2002. Detection of antigen B of Cysticercus
cellulosae in cerebrospinal fluid for the diagnosis of human
neurocysticercosis. Trop Med Int Health. 7 (1): 53-58.
Dharmawan NS. 1995. Pelacakan terhadap kehadiran Taenia
saginata taiwanensis di Bali melalui kajian parasitologi dan
serologi. Disertasi S3. Institut Pertanian Bogor.
Dharmawan, NS. 1998a. Problem baru sistiserkus Taenia asiatica
di Bali. Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah dan
Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional VII di Bandar Lampung,
23 – 26 Nopember 1998.
Dharmawan, NS. 1998b. Histopatologi hati babi yang diduga
terinfeksi metacestoda Taenia asiatica. Majalah Kedokteran
Udayana. 29 (102): 187-192.
Dharmawan, NS. 1999. Deteksi sistiserkus Taenia saginata pada
babi dan sapi di Bali dengan metode ELISA. Media Veteriner.
6 (1): 27-30.
Dharmawan, NS. 2000. Infeksi eksperimental Taenia saginata
pada sapi Bali. Majalah Kedokteran Udayana. 31 (110): 240243.
Dharmawan NS, Windia Adnyana IB, Damriyasa IM. 2001.
Prevalence of Taenia hydatigena cysticercosis in pigs in
Bali, Indonesia. Proc. The 18th International Conference of
the World Association for the Advancement of Veterinary
Parasitology. 26-30 August 2001, Stresa, Italy.
Dorney P, Phiri I, Gabriel S, Speybroeck N, Vercruysse J. 2002. A
sero-epidemiological study of bovine cysticercosis in Zambia.
Vet Parasitol. 104 (3): 211-215.
Fan PC, Wan IC, Chung WC, Guo JX, Ma XY, Xu ZJ. 2001a. Studies on
abnormality of metacestodes and adult worm of Taenia solium
and Taenia saginata asiatica in rodents and pigs. Southeast
Asian J Trop Med Public Health. 32 Suppl 2: 116-121.
Fan PC, Chung WC, Guo JX, Ma XY, Xu ZJ. 2001b. Experimental
studies on physiological and morphological aspects of
Cysticercus cellulosae in pigs.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
161
Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis
Fleury A, Bouteille B, Garcia E, Marquez C, Preux PM, Escobedo
F, Sotelo J, Dumas M. 2001. Neurocysticercosis: validity of
ELISA after storage of whole blood and cerebrospinal fluid on
paper. Trop Med Int Health. 6 (9): 688-693.
Garcia HH and Del Brutto OH. 2000. Taenia solium cysticercosis.
Infect Dis Clin North Am. 14 (1): 97-119.
Guigon B and Trepsat C. 2002. Intraocular cysticercosis: a difficult
diagnosis. J Fr Opthtalmol. 25 (1): 78-80.
Homans J, Khoo L, Chen T, Commins DL, Ahmed J, Kovacs A. 2001.
Spinal intramedullary cysticercosis in a five-year-old child:
case report and review of the literature. Pediatr Infec Dis J.
20 (9): 904-908.
Hongli Y, Shuhan S, Ruiwen C, Yingjun G. 2002. Cloning and
functional identification of a novel annexin subfamily in
Cysticercus cellulosae. Mol Biochem Parasitol. 119 (1): 1-5.
Husain N, Jyotsna, Bagchi M, Huasain M, Mishra MK, Gupta S.
2001. Evaluation of Cysticercus fasciolaris antigen for
immunodiagnosis of neurocysticercosis. Neurol India. 49
(4): 375-379.
Ito A, Nakao M, Sako Y, Nakaya K. 2000. Neurocysticercosis and
echinococcosis in Asia: recent advances in the eastablishment
of highly reliable differential serodiagnosis for international
collaboration. Southeast Asian J Trop Med Public Healt. 31
(Supp 1): 16-20.
Ito A, Sako Y, Ishikawa Y, Nakao M, Nakaya K, Yamasaki H. 2002.
Differential serodiagnosis for alveolar echinococcosisby
Em18-immunoblot and Em18-ELISA in Japan and China. 147155. In P. Craig and Z. Pawlowski (Eds.) Cestode Zoonoses:
Echinococcosis and Cysticercosis – An Emergent and Global
Problem. IOS Press. Amsterdam.
Lightowlers MW and Gauci CG. 2001. Vaccines against cysticercosis
and hydatidosis. Vet Parasitol. 101 (3-4): 337-352.
Margono, SS, Subahar R, Hamid A, Wandra T, Sudewi SS, Sutisna
P, Ito A. 2001. Cysticercosis in Indonesia: epidemiological
aspects. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 32 (Suppl
2): 79-84.
Mazhari NJ, Kumar N, Jain S. 2001. Cysticercosis of the oral
mucosa: aspiration cytologic diagnosis. J Oral Pathol Med. 30
162
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Sadra Dharmawan • Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
(3): 187-189.
Menon V, Tandon R, Khanna S, Sharma P, Khokhar S, Vashisht S, Garg
I. 2000. Cysticercosis of the optic nerve. J Neuroophthalmol.
20 (1): 59-60.
Nigam S, Singh T, Mishra A, Chaturvedi KU. 2001. Oral cysticercosis
– report of six cases. Head Neck. 23 (6): 497-499.
Ogilvie CM, Kasten P, Rovinsky D, Workman KL, Johnston JO. 2001.
Cysticercosis of the triceps – an unusual pseudotumor: case
report and review. Clin Orthop. (382): 217-221.
Owen IL, Pozio E, Tamburrini A, Danaya RT, Bruschi F, Gomez
Moarles MA. 2001. Focus of human trchinellosis in Papua
New Guinea. Am J Trop Med Hyg. 65 (5): 553-557.
Pandey PK, Chaudhuri Z, Bhatia A. 2001. Extraocular muscle
cysticercosis presenting as Brown syndrome. Am J Opthalmol.
131 (4): 526-527.
Pinto PS, Vaz AJ, Germano PM, Nakamura PM. 2000. Performance
of the ELISA test for swine cysticercosis using antigens of
Taenia solium and Taenia crassiceps cysticerci. Vet Parasitol.
88 (1-2): 127-130.
Rabiela MT, Hornelas Y, Garcia-Allan C, Rodriguez-del-Rosal E,
Flisser A. 2000. Evagination of Taenia solium cysticerci: a
histologic and electron microscopy study. Arch Med Res. 31
(6): 605-607.
Rodriguez-Contreras D, de TP, Velasco J, Shoemaker CB, Laclette
JP. 2002. The Taenia solium glucose transporters TGTP2 are
not immunologically recognized by cysticercotic humans and
swine. Parasitol Res. 88 (3): 280-282.
Sarti E, Schantz PM, Avila G, Ambrosio J, Medina-Santillen R,
Flisser A. 2000. Mass treatment against human taeniasis for
the control of cysticercosis: a population-based intervention
study. Trans R Soc Trop Med Hyg. 94 (1): 85-89.
Sidhu R, Nada R, Palta A, Mohan H, Suri S. 2002. Maxillofacial
cysticercosis: uncommon appearance of a common disease. J
Ultrasound Med. 21 (2): 199-202.
Subahar R, Hamid A, Purba W, Wandra T, Karma C, Sako Y, Margono
SS, Craig PS, Ito A. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya
(West Papua), Indonesia: a pilot serological survey of human
and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans R Soc
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
163
Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis
Trop Med Hyg. 95: 388-390.
Sutisna P. 2001. People’s knowledge on taeniasisin rural
community in Bali. Majalah Kedokteran Udayana. 31 (114):
Verasteguni M, Gonzalez A, Gilman RH, Gavidia C, Falcon N, Bernal
T, Garcia HH. Experimental infection model for Taenia solium
cysticercosis in swine. Vet Parasitol. 94 (1-2): 33-44.
Wandra T, Subahar R, Simanjuntak GM, Margono SS, Suroso T,
Okamato M, Nakao M, Sako Y, Nakaya K, Schantz PM, Ito A.
2000. Resurgence of cases of epileptic seizures and burns
associated with cysticercosis in Assologaima, Jayawijaya,
Irian Jaya, Indonesia, 1991-95. Trans R Soc Trop Med Hyg.
94 (1): 46-50.
164
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
SANITASI DAN HIGIENE: PERANANNYA DALAM
PENGEMBANGAN DAN KEAMANAN MAKANAN
TRADISIONAL DI MASA DEPAN
Made Badra Arihantana
Pendahuluan
Makanan tradisional merupakan makanan khas suatu
daerah yang diolah secara tradisional, dengan cara sederhana
dan turun temurun dari bahan yang tersedia di daerah tersebut.
Makanan tradisional terdiri dari berbagai macam, dari makanan
ringan sampai makanan pokok dengan berbagai cita rasa. Secara
esensial makanan tradisional adalah pangan aneka ragam.
Makanan tradisional tidak lagi mendominasi warungwarung di pinggir jalan dan pasar seperti dahulu. Kita melihat
makanan tradisional sudah tergeser/terdesak oleh produk-produk
makanan baru dengan labelnya yang memberi kesan menarik,
bersih, aman dan moderen. Hal tersebut dikarenakan gencarnya
promosi melalui media cetak maupun media elektronik, sehingga
masyarakat berpaling ke makanan tersebut. Mereka merasa
bangga menikmati makanan berlabel seperti Mc Donald, Kentucky,
Dunkin Donat, Hamburger, Hot Dog dan lain-lainnya.
Dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi di bidang
pangan, berbagai produk makanan baru telah beredar di pasaran
dengan pemakaian bahan kimiawi sebagai pengawet, adanya
bahan tambahan makanan (BTM) untuk meningkatkan kualitas
maupun daya simpannya. Beragamnya aktifitas dan terbatasnya
waktu membuat konsumen di kota-kota besar sering tidak sempat
mengkonsumsi makanan alami (Sofian, 2002). Di lain pihak
makanan tradisional mempunyai kesan kurang bergengsi, kurang
bersih, kurang aman, kurang menarik, kuno, tidak praktis dan
mutu yang beragam.
Beberapa tahun belakangan ini, adanya laporan melalui
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
165
Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan
jurnal ilmiah, media cetak maupun media elektronik, bahwasanya
makanan dengan bahan alami masih lebih sehat. Menurut Losso
(2002), bahan biologi aktif yang sudah ada pada makanan secara
alami dapat mencegah “angiogenesis” yang merupakan langkah
awal berkembangnya penyakit degeneratif.
Bahan-bahan tersebut seperti lysozyme yang terdapat pada
susu, telur dan curcumin pada kunir. Beuchat dan Golden (1989)
juga melaporkan bahwa lactoferrin terdapat pada susu, conalbumin
dan avidin pada telur, asam pitat pada kedelai, asam sitrat pada
sitrus dan asam suksinat pada gula bit dan broccoli. Bahan-bahan
tersebut juga memiliki bahan anti mikrobia yang memang sudah
terkandung secara alami.
Rempah-rempah dan bumbu juga mengandung bahan
tersebut, ada yang berupa minyak atsiri/bahan mudah menguap
dan sudah lama dikenal seperti laos, kencur, cengkeh, bawang
merah dan bawang putih seperti dilaporkan oleh Chippault et al
(1956), Krishnamurty (1959), Pruthi et al (1959), Fenaroli (1975),
dan Westland (1979).
Makanan tradisional juga merupakan makanan probiotik
seperti tape ketan sebagaimana dinyatakan oleh Anon. (2003).
Tape ketan mengandung lactobasili dan bifidobakteria yang amat
berguna untuk kesehatan tubuh. Bakteria tersebut mampu secara
langsung menambah jumlah bakteria yang bermanfaat dalam usus
untuk menyeimbangkan mikroflora usus.
Perkembangan lain terjadi akhir-akhir ini dimana semboyan
kembali ke alam (“Back to Nature”) mulai dikumandangkan, karena
makanan tradisional memakai bahan-bahan alami yang bebas dari
rekayasa genetik, pestisida dan bahan berbahaya lainnya.
Gerakan gaya hidup sehat sedang melanda dunia. Tren
baru telah bermunculan, dimana masyarakat menginginkan suatu
makanan yang benar-benar serba alami, bebas dari pestisida,
hormon dan pupuk kimia (Winarno, 2002). Makanan siap saji
seperti Mc Donald, Kentucky merupakan “Junk food” (makanan
sampah/sisa) sudah mulai tidak diminati lagi oleh masyarakat
di negara-negara Eropa/Amerika. Berdasarkan paparan ini, saya
ingin mengangkat makanan tradisional dalam perkembangannya
sesuai sifat khas yang dimilikinya sehingga menjadi makanan yang
bermakna, diangkat kedudukannya dari hanya bersifat budaya
166
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
lokal menjadi budaya nasional atau menjadi budaya internasional.
Buku-buku mengenai makanan tradisional/Indonesia
sudah banyak terbit, salah satu diantaranya adalah “A Taste of Bali
– Recipes for Western Cooks” oleh Peck (1975).
Pengembangan makanan tradisional juga didukung oleh
Joop Ave (1994), yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pariwisata
yang menyatakan bahwa pengembangan makanan tradisional
sebenarnya sangat sesuai dengan keinginan pasal 32 UUD 45 yang
berbunyi: Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Semenjak beliau diangkat menjadi Kepala Rumah Tangga Istana
Presiden tahun 1972, beliau berupaya memperkenalkan dan
mengembangkan makanan tradisional Indonesia dimulai dari
lingkungan Istana Negara.
Untuk itu perlu diperhatikan ukuran, penyajian dan yang
terpenting adalah keamanannya, yang merupakan hambatan utama
untuk pengembangan makanan tradisional di tingkat masyarakat
bawah sebagai pelaku utama. Makanan tradisional umumnya
diolah dalam skala rumah tangga yang lingkungannya kurang
menunjang, dimana sanitasi dan higiene yang tidak mendukung.
Sanitasi dan Higiene
Berbicara mengenai keamanan pangan, makanan tradisional
tidak terlepas dari hal ini, dimana sanitasi dan higiene merupakan
bagian yang saling terkait tidak terpisahkan (Guthrie, 1972; DEIR,
1976; Longree, 1980; Marriot, 1985; Jenie, 1988).
Sanitasi lebih menekankan pada kebersihan peralatan dan
lingkungan, meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam
penyiapan, pengolahan, pelayanan juga termasuk pengemasan
dan penyimpanan makanan. Higiene lebih menekankan pada
kesehatan dari penanganan dan keamanan produk.
Sanitasi berasal dari kata “Sanitas” yang berarti sehat.
Penerapan sanitasi dalam industri makanan yaitu mempertahankan
kondisi yang higienis dan sehat. Sanitasi adalah penerapan dari
pelaksanaan keamanan pangan/makanan. Perlindungan makanan
melalui penanganan tersanitasi awalnya hanya berlaku di rumah,
yang bertanggung jawab mempertahankan kemurnian dan
kebersihan makanan keluarga (Marriot, 1985).
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
167
Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan
Keamanan Pangan/Makanan
Adanya perubahan pola kebiasaan makan di luar rumah,
dimana masyarakat yang lebih banyak ikut terlibat, persentase
makanan yang dikonsumsi menjadi lebih besar pula, termasuk
makanan yang diproses atau dipersiapkan di luar rumah. Perubahan
pola makan ini menjadikan pentingnya makanan ditangani dengan
cara tersanitasi (Giese, 2002) untuk mempertahankan kesehatan
masyarakat dari penyakit karena mengkonsumsi makanan.
Di Indonesia diperkirakan penyebab utama kasus keracunan
dari makanan adalah penggunaan bahan mentah yang tercemar
mikrobia patogen, makanan yang didiamkan cukup lama sebelum
dikonsumsi dan pemanasan kembali yang tidak cukup. Sering
kali usaha jasa boga/katering termasuk yang menjual makanan
tradisional yang disiapkan pada malam hari dan dihidangkan atau
disuguhkan pada siang hari berikutnya. Selama waktu menunggu
tersebut, bilamana makanan telah tercemar oleh bakteri patogen
selama penyiapan, telah terbentuk racun bakteri misalnya
enterotoksin Staphylococcus aureus.
Masih banyaknya kasus keracunan makanan yang disebabkan
oleh makanan-makanan yang disediakan oleh industri jasa
boga disebabkan pengusaha atau pedagang makanan, termasuk
pengusaha katering dan restoran, pada umumnya tidak diharuskan
mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dalam praktek sanitasi
yang baik dalam pengolahan, penyiapan dan penyajian makanan,
sehingga makanan yang disajikan/dihidangkan cukup terjamin
keamanannya.
Menurut survei yang dilakukan di Indonesia, sebanyak
87,5% dari manager katering dan 19,7% dari perusahaan katering
belum pernah mendapatkan petunjuk atau pengetahuan mengenai
sanitasi makanan (Purawidjaja, 1992).
Penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
yang merupakan deteksi dini untuk mencegah dan mempertahankan
keamanan makanan terhadap terjadinya pencemaran, keracunan
atau penyakit melalui makanan dan aman untuk dikonsumsi. Selain
itu HACCP pelaksanaannya untuk mempertahankan keamanan
pangan karena mengawasi dari awal bahaya yang mungkin ada
pada titik-titik kritis (Fardiaz, 1994; Kennedy, 1997). Pengolahan
pangan yang baik (GMP) juga merupakan bagian untuk menjaga
168
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
mutu dan keamanan makanan/pangan (Fardiaz, 1996). HACCP
dan GMP merupakan suatu keharusan untuk dilaksanakan oleh
perusahaan/industri makanan, hotel atau usaha katering termasuk
usaha makanan tradisional.
ICMSF atau International Commision on Microbiological
Specifications for Foods (1988) menjelaskan bahwa konsep HACCP
dapat dan harus diterapkan pada seluruh mata rantai produksi
makanan, yaitu dalam industri pangan, produksi makanan katering/
jasa boga bahkan dalam pembuatan makanan jajanan/tradisional.
HACCP dapat dilakukan mulai dari pemilihan bahan mentah,
penanganan/penyimpanan bahan mentah, persiapan, pengolahan,
sampai penjualan dan penyajiannya. Hal ini disebabkan beberapa
cemaran seperti logam berat, pestisida dan beberapa racun, yang
mungkin tidak dapat dihilangkan melalui proses pengolahan yang
diterapkan.
Peristiwa runtuhnya menara World Trade Centre yang lebih
dikenal dengan peristiwa “Black September” pada 11 September
2001, negara-negara maju di kawasan Amerika maupun Eropa,
mulai mengantisipasi akan adanya ancaman keamanan pangan
melalui jalur penyediaan pengolahan maupun penyimpanan
makanan yang harus diwaspasai (Beldose dan Rosco, 2002). Senjata
biologis (anthrax) atau patogen yang lain, merupakan ancaman
yang potensial selama pengolahan, penyimpanan, penyediaan dan
penyiapan makanan. Mereka sangat mengkhawatirkan adanya
“Bioterorism” yang memakai jalur makanan.
Kondisi Makanan Tradisional Indonesia
Makanan tradisional umumnya diproses atau dipersiapkan
dengan cara-cara tradisional, sangat sederhana, memakai bahanbahan alami di lingkungan daerahnya. Makanan tradisional dapat/
sering mengandung cemaran mikrobia maupun cemaran bahanbahan berbahaya seperti boraks pada mie, kerupuk dan bakso
(Novrianto, 1991), pemakaian bahan pewarna yang tidak diijinkan
seperti Amaranth, Methanil yellow, Rhodamin B (Sofian, 2002),
adanya formalin pada makanan jajanan, siklamat dan sakarin
(Novrianto, 1991; Hardjono, 1991; Anon., 1991). Sementara itu
Winarno melaporkan adanya cemaran mikrobia pada rempahrempah yang memberi peluang terjadinya keracunan makanan.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
169
Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan
Sementara itu Fardiaz (1997) menyatakan bahwa cemaran
bahan-bahan berbahaya dapat menimbulkan penyakit atau
menggangu kesehatan masyarakat. Residu pestisida ditemukan
pada makanan berbasis sayuran, residu logam berat pada makanan
jajanan dan cemaran mikrobia pada makanan siap santap. Cemaran
aflatoksin pada makanan berbasis kacang tanah dan penggunaan
Bahan Tambahan Makanan (BTM) yang dilarang atau melebihi
batas pada dan minuman jajanan.
Makanan siap santap seperti Lawar diketemukan adanya
E.coli (Arihantana, 1992; Arihantana,1993; Suter et al, 1997).
Rendahnya kesadaran dan standar higiene, ditambah pula
rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat, mempertinggi
peluang untuk terjadinya pencemaran pada makanan (Winarno,
1993). Untuk melihat lebih jauh, mengapa banyak/sering terjadi
pencemaran, marilah kita lihat sumber-sumber pencemaran
makanan tradisional sebagai berikut:
1. Pencemaran pada daging segar
Seperti diketahui hewan yang hidup sehat, jaringan ototnya
hampir boleh dikatakan bebas dari mikrobia. Pencemaran
daging terjadi dimulai pada saat penyembelihan, pengulitan,
pengeluaran jeroan, perecahan karkas melalui alat, pisau,
penangan pada saat pendistribusian dan selama penjualan.
2. Pencemaran daging unggas
Daging unggas rentan terhadap pencemaran oleh Salmonella.
Pencemaran berlangsung saat pemotongan untuk pengeluaran
darah, pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, pencucian,
perecahan, distribusi dan selama penjualan.
3. Pencemaran makanan bersumber dari laut (“Sea food”)
Bahan makanan ini merupakan substrat yang sangat baik
untuk pertumbuhan mikrobia. Pencemaran dimulai saat
penangkapan, pengangkutan, distribusi dan penjualan.
4. Pencemaran produk sapi perahan
Pencemaran terjadi pada saat pemerahan susu melalui
tangan pemerah melalui tempat penampungan susu, selama
penyimpanan sementara sebelum pasteurisasi.
5. Pencemaran bahan-bahan (“ingredients”)
Bahan-bahan seperti bumbu, merupakan kendaraan potensial
bagi mikrobia perusak. Jumlah dan jenis dari pencemar
170
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
tersebut dipengaruhi oleh kondisi, cara pemanenan dan
teknik pengolahannya.
6. Peralatan/perlengkapan
Peralatan/perlengkapan merupakan instrumen dalam
terjadinya pencemaran makanan. Pencemaran terjadi selama
pemakaian, penyimpanan sebelum pemakaian.
7. Air dan udara
Merupakan sumber pencemar bila air yang dipergunakan
sumbernya tidak jelas (kotor). Demikian pula dengan udara
yang mengandung mikrobia penyebab penyakit melalui udara
ke peralatan selama proses dan penyimpanan.
8. Limbah
Yang mengkhawatirkan adalah limbah yang mengandung
faeces
manusia,
mengandung
mikrobia
patogen,
mempengaruhi lingkungan. Bila terjadi pencemaran terhadap
saluran air minum, sungai, danau maupun teluk dan pantai.
9. Serangga dan binatang mengerat
Lalat dan kecoa identik dengan tempat-tempat kotor. Binatang
ini selalu berhubungan dengan lingkungan/daerah hidup
manusia, seperti ruang makan, tempat sampah, saluran air
yang kotor dan tempat-tempat kotor lainnya.
10. Penangan/pekerja
11. Penangan atau pekerja merupakan sumber pencemar hidup
yang dapat menyebabkan mikrobia penyebab penyakit.
Sangat ironis, kita melindungi tetapi manusia juga sebagai
sumber pencemar terbesar tanpa kita sadari. Pencemaran
terjadi melalui cara-cara yang tidak tersanitasi dan higienis.
Makanan yang tersentuh/kontak, akan tercemar oleh
mikrobia perusak/patogen yang terjadi selama menangani
makanan yang dipersiapkan, diolah dan selama pelayanan.
Berbagai bagian tubuh manusia seperti tangan, kuku, kulit,
rambut, hidung, mulut dan mata adalah merupakan tempat
penampungan mikrobia yang akan dipindahkan ke makanan
yang ditanganinya melalui sentuhan, batuk, bersin, dan
melalui pernapasan, bilamana penangan tidak bekerja secara
higienis.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
171
Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan
Dari pemaparan ini marilah kita beralih pada proses
penyediaan, pengolahan, penyimpanan dan pelayanan makanan
tradisional yang biasa terjadi pada pelaksanaannya. Mengingat
tingkat pendidikan dan pengetahuan mereka mengenai sanitasi
dan hgiene sangat terbatas jauh dari apa yang kita inginkan apalagi
penanganan biasa dilakukan sendiri/mandiri. Bila kita lihat dan
perhatikan mereka mengerjakan pekerjaan mulai dari penyediaan,
mengolah dan melayani dilakukan sendiri. Seperti misalnya
pada penjual kue kelepon,lawar atau makanan tradisional lain,
pekerjaan memarut kelapa, mencampur adonan, membungkus
sampai pembayaran dilakukan mandiri. Kontaminasi silang selalu
terjadi dan telah terjadi tanpa disadari, tangan bergerak kemanamana, mengambil bahan mentah, bahan telah dimasak dan lainlainnya. Tidak terbayangkan oleh kita bahwa pencemaran sudah
berlangsung semenjak awal. Sumber bahan baku yang tidak
diketahui asalnya apakah tidak mengandung bahan beracun,
bebas pestisida atau bahan lainnya yang dilarang. Mereka hanya
mengetahui bahan, alat dan semua yang digunakan sudah bersih
(secara kasat mata) tidak ada pengaduan, tidak ada yang sakit dan
makanan habis terjual.
Higiene Individu/Pribadi
Secara teoritis penangan harus memenuhi persyaratan
sebagai penangan agar mereka tidak merupakan sumber
pencemar yang potensial. Untuk itu higiene individu harus dijaga
dan dipertahankan agar penanganan makanan secara tersanitasi
dan higienis bisa terlaksana dengan benar.
Higiene, istilah yang digunakan untuk menggambarkan
suatu sistim mengenai prinsip-prinsip santiasi (Marriot, 1985)
untuk menjaga kesehatan. Kesehatan penangan memegang
peranan yang sangat penting dalam sanitasi. Seperti apa yang telah
saya sebutkan sebelumnya, dimana manusia merupakan sumber
pencemar hidup yang potensial yang dapat menyebarkan penyakit,
terlebih lagi bila merupakan karier suatu penyakit menular atau
menyebabkan keracunan makanan (Bagian-bagian tubuh manusia
dihuni oleh mikrobia) melalui pelaksanaan yang tidak tersanitasi
dan higienis.
Yang diperlukan untuk suatu pelaksanaan yang higienis
172
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
adalah adanya fasilitas yang mencukupi seperti tersedianya tempat
cuci tangan, cairan pembersih tangan, pengering tangan atau tisu,
toilet dan yang lainnya termasuk perawatan kesehatan dengan
pemeriksaan kesehatan secara periodik paling tidak setiap 6
bulan sekali dan hal ini sudah dilaksanakan oleh hotel berbintang.
Fasilitas seperti ini sebagian tersedia (ada) pada rumah makan
besar, hotel non bintang, restoran siap saji terlebih yang membawa
label nasional/internasional.
Mereka-mereka yang berusaha atau terlibat dalam produksi,
pengolahan, penyediaan makanan maupun pelayanan makanan
atau makanan tradisional harus melindungi penangan dan
konsumen dari pekerja lain terhadap penyakit atau mikrobia yang
menggangu kesehatan masyarakat.
Untuk mendapatkan kondisi yang aman bagi produk makanan
atau makanan tradisional, higiene individu harus terpenuhi dengan
cara mengadakan seleksi terhadap para penangan/pekerja antara
lain mereka harus: sehat jasmani dan rohani, tidak menderita
penyakit kulit, tidak merupakan karier suatu penyakit menular,
dan tidak menderita penyakit pernapasan. Hal-hal seperti ini
tidak pernah dilakukan atau terjadi pada para pelaku/pedagang
makanan tradisional di tingkat masyarakat bawah terlebih yang
mandiri apalagi untuk pemeriksaan kesehatan secara periodik.
Kondisi Nyata Saat Ini
Dari uraian saya, secara jujur saya melihat bahwasanya
semua hal-hal tersebut belum menyentuh mengenai keamanan
pangan seutuhnya pada makanan tradisional, selama penyediaan,
pengolahan, penyimpanan dan selama pelayanan pada pelaku/
pelaksana makanan tradisional pada lapisan terbawah/mandiri.
Mereka yang bergerak dalam usaha jasa boga di tingkat masyarakat
bawah tidak mengetahui apa itu HACCP, GMP, ISO 9000, sanitasi
maupun higiene. Saya tidak memungkiri ataupun menutup mata
bahwa makanan tradisional sudah masuk dalam daftar menu
beberapa hotel berbintang (Sarwada, 1997) ataupun disuguhkan
dalam menu khusus dalam acara-acara yang bersifat internasional
dan sudah memenuhi standar keamanan yang ditetapkan
sebelumnya. Makanan tradisional yang disuguhkan dalam menu
tersebut misalnya sate lilit, lawar, pepes ikan, sayur lodeh, jukut
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
173
Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan
ares, sayur urap, babi genyol, timbungan babi, gerang asem ayam,
ayam kalas dan beberapa jajanan seperti klepon, pisang rai, bubur
injin, sumping dan lainnya.
Yang menjadi pemikiran saya adalah masyarakat bawah
sebagai pelaku utama yang pangsa pasarnya sangat luas. Saya
menginginkan agar setiap orang, siapapun orangnya, dari
manapun mereka berasal tidak mempunyai perasaan ragu lagi
untuk menikmati makanan tradisional tanpa menderita gangguan
suatu penyakit/tidak terjadi gangguan pada kesehatan masyarakat.
Pertanyaan yang selalu timbul akankah keamanan makanan
tradisional dalam pengembangannya bisa terlaksana? Secara
perlahan tetapi pasti hal ini bisa tercapai, walaupun memerlukan
waktu yang lama. Di negara-negara maju sekalipun keamanan
pangan masih merupakan isu yang masih selalu muncul (Giese,
2000 dan Arthur, 2002) walaupun penerapan HACCP maupun
GMP sudah dilaksanakan.
Pengembangan Makanan Tradisional di Masa Depan
Dimasa mendatang makanan tradisional yang beraneka
ragam akan bisa berkembang asalkan keamanannya terjamin.
Makanan tradisional seperti tape ketan mempunyai kans besar
untuk nanti dikembangkan sebagai makanan probiotik Indonesia
sebagai penambah langsung mikroflora usus. Dengan kerjasama
antara ahli Mikrobiologi, Kedokteran, Farmasi dan Ahli Pangan
untuk secara bersama meneliti tape ketan sebagai probiotik
Indonesia. Sampai saat ini makanan probiotik seperti yakult masih
tetap menjadi obyek penelitian untuk lebih disempurnakan lagi
(Cruce dan Goulet, 2001; Shah, 2001).
Untuk kedepan pengembangan makanan tradisional
terutama yang menyangkut keamanannya perlu dilakukan secara
berlanjut dengan:
•
Menggalakkan penelitian-penelitian makanan tradisional/
tradisional Indonesia.
•
Mengadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai keamanan
makanan/makanan tradisional melalui media cetak atau
elektronik.
•
Memberikan penyuluhan/penjelasan mengenai HACCP, GMP,
sanitasi dan higiene oleh lembaga pendidikan dan instansi
174
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
•
•
•
terkait dengan cara yang sederhana dan mudah.
Pengabdian kepada masyarakat oleh lembaga pendidikan di
bidang pangan, kesehatan dan lembaga pendidikan terkait
lainnya dan lumninya ke daerah-daerah/asalnya.
Melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa-desa maupun
banjar-banjar mengenai pentingnya keamanan makanan.
Memberikan ceramah-ceramah kepada ibu-ibu PKK dan
masyarakat yang bergerak di bidang makanan/makanan
tradisional akan pentingnya keamanan makanan.
Pengendalian keamanan pangan/makanan, penerapan
HACCP dan pelaksanaan Sanitasi dan Higiene perlu dimasyarakatkan
kepada para pengusaha jasa boga, termasuk pengusaha katering,
restoran, hotel, pedagang pinggir jalan, pengusaha jajanan/
pengusaha makanan tradisional dan lain-lainnya bahwa makanan
yang dijual /dikonsumsi aman.
Daftar Pustaka
Anonimus (1991). Murid SD terancam jajanan beracun. Kompas
No. 223. Th. Ke 26
Anonimus (2003). Makanan Probiotik untuk kesehatan usus.
Majalah senior No. 208.
Ariantana, M.B. (1992). Mikroflora Lawar di kota denpasar. Laporan
Penelitian.
Ariantana, M.B (1993). Tingkat cemaran Coliform, F. coliform dan
E.coli pada proses penyediaan Lawar di restoran/warung
makan di sekitar Denpasar Laporan Penelitian.
Artur, M.H.(2002). Emerging microbiological foods safety issues.
Food Technol.Vol 43 No.2
Beuchat, L.R and Golden. D.A (1989). Antimicrobials occuring
naturally in foods. Food Technol. Vol. 43. No.
Bledsoe, G.E and Rasco, B.A (2002). Addresing the risk of
Bioterorims in food products. Food Technol. Vol.56.No.2
Chippault, J.R., Mizuno, G.R and Lumberg, W.D. (1956). The
antioxidant properties of spices in food Technol No. 10.
Cruce, P.S and Goulet, J. (2000). Improving probiotic survival
rates. Microencapsulation preserves the potency of probiotic
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
175
Sanitasi dan Higiene: Peranannya dalam Pengembangan dan Keamanan Makanan Tradisional di Masa Depan
microorganisms in food sysem. Food Technol. Vol. 56, No.10
DEIR. (1976). Food Service Hyegiene and Cleaning. Department of
Employment and Industrial Relation. Austaralian Government
Pub. Service. Canberra.
Fardiaz, S. (1994). Pengendalian keamanan dan penerapan HACCP
oleh usaha jasa boga. Bulletin Teknologi dan Industri pangan
Vol.V.No.3
Fardiaz, D (1996). Praktek pengelolaan pangan yang baik
(GMP). Kerja Sama PAU dan GIZI (CFNS), IPB- Dirjen. Dikti.
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
Fenaroli, G (1975) Handbook of flovoring ingredients. 2nd. Furia,T.E
and Bellanca, N. Eds.Cleveland,oOhio;Chemical Rubber.Co.
Giese, J.C. (2002). IFT”s Conference addresses food safety and
quality. Food Techonal.Vol.56.No.4.
Gutherie, R.K.(1972).food Sanitaion. The AVI Pub.Co.Inc..Westport,
Connecticut.
Hardjono. (1991). Bahan campuran.Kompas No. 232.Th. Ke 26.
ICMSF. (1988). Microorganisms in Food.Vol.4.Application of HACCP
to ensure mocrobiological safety and quality. Backwell Sci.
Pub. London.
Jenie, B.S.L (1988). Sanitasi dalam industri pangan. PAU-IPB.Second
University Development Project.IBRD Loan. No. 2547-IND.
Joop Ave. (1994). Membudayakan makanan tradisional Indonesia.
PANGAN. Vol.V.No.19.
Kennedy, K. (1997).Application of HACCP to cook chill operatons
Food Technol.Australia.Vol.49.No.2
Krishnamurty,K and Screenivasamurthy,V(1959).Garlic.Bull.Of the
Central Food Technol.Res.Institute, Mysore.No.5
Longree,K. (1980).Quantity food sanitation.3nd.Wiley-Interscience,
New York-Brisbane-Chichester-Toronto.
Losso, J.N. (2002).Preventing degerative diseases by antiAngiogenic functional foods.Food technol.Vol.56 No.6.
Marriott, N.G. (1985). Principles of Food Sanitation..The AVI.Pub.
Inc.Westport,Connecticut..
Novrianto, R. (1991). Ancaman boraks lewat bakso. Tempo. 2
Maret.
Purawidjaja, T. (1992). Study on the Sanitation aspect of catering
business in Jakarta. In Proceedings of 3rd Word Congress
176
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Made Badra Arihantana • Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
Foodborne Infection and Intoxications.Vol.II..Berlin
Pruthi,J.S,Lal,G and Subrahmanyan,V.(1959). Chermistry and
technol-ogy of garlic powder. Food Science. No. 8
Sarwada (1997) Grand bali Beach Hotel’s Chef. Komunikasi
Pribadi.
Shah, N.D. (2010).Functional foods for probiotic and prebiotic ..
Food Technol.Vol.55.No.11.
Sofian, E. (2002). Memilih Makanan dan Minuman. Kompas. 1 Juli
Suter,K., Putra, N.K dan Antara, N.S. (1997). Studi tentang
pengolahan dan keamanan Lawar (makanan tradisional Bali).
Seminar Nasional Teknologi Pangan. Denpasar.Bali.
Westland, P. (1979). The encyclopedia of spices.London: Marshall
Cavendish.
Winarno, F.G. (1991). Sterilisasi rempah usaha meningkatkan nilai
tambah. Kompas No. 14 Tahun ke 27.
Winarno, F.G. (1993). Tris dan keracunan makanan. Kompas.
No.124. Th ke 29
Winarno, F.G. (2002). Pangan organik dan pengembangannya di
Indonesia. Kompas. Senin. 4 Nopember 2002
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
177
TEKNOLOGI REMOTE SENSING DALAM PENGELOLAAN
SUMBERDAYA LAHAN BERKELANJUTAN
Indayati Lanya
Pendahuluan
Dalam era globalisasi, issu seperti keamanan pangan (food
security), pengelolaan potensi sumberdaya wilayah, degradasi
lingkungan dan kualitas hidup generasi mendatang menjadi
masalah yang besar bagi ilmu pengetahuan dunia, termasuk ahli
tanah. Para ahli pertanian berfikir untuk dapat memanfaatkan
sumberdaya alam (SDA), khususnya sumberdaya lahan (SDL) agar
dapat dikelola secara profesional dan dapat berproduksi secara
berkelanjutan. Pemanfaatan SDA agar tidak terjadi kerusakan
lingkungan dan dapat mensejahterakan masyarakat yang ada di
wilayahnya. Dengan kata lain, pengelolaan lahan berkelanjutan
merupakan prioritas penelitian di saat ini dan yang akan datang,
agar potensi yang ada dapat digunakan dalam jangka waktu tidak
terbatas dan dapat berkesinambungan.
Berbagai teknologi telah diterapkan untuk pengelolaan
lahan, baik dalam rangka peningkatan kualitas, maupun
produktivitas lahan, mulai dari perencanaan, pengelolaan dan
pemantauan. Pendekatan terpadu perencanaan dan pengelolaan
SDL merupakan alternatif jawaban yang dapat digunakan untuk
melestarikan potensi SDA yang tersedia. Perencanaan penggunaan
lahan yang tepat merupakan proses yang perlu dilalui oleh para
pakar pertanian, khususnya ahli tanah dan pengembangan wilayah
yang ditujukann untuk pengelolaan SDL.
Ketersediaan data dasar (data base) fisik wilayah atau rona
awal lingkungan yang bersifat spasial merupakan faktor utama
dalam proses awal pengelolaan SDL. Data dan informasi kondisi
fisik wilayah yang terekam dan terukur secara spasial dapat
178
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
diperoleh dari hasil pemotretan udara (foto udara), citra radar dan
dari citra satelit. Hasil rekaman data permukaan bumi tersebut
diolah dan dianalisis melalui teknologi penginderaan jauh (remote
sensing). Teknologi ini merupakan salah satu alternatif yang dapat
berperan penting dalam penyediaan data base potensi wilayah
yang akurat, mutakhir dan berkala dalam pengelolaan sumberdaya
lahan berkelanjutan.
Teknologi remote sensing/RS yang dikombinasikan dengan
sistem informasi geografis (Geographical Information System/
GIS) mampu menginformasikan data secara lengkap dan cepat,
serta mutakhir. Teknologi ini telah diaplikasikan secara luas di
Indonesia, terutama dalam inventarisasi dan perpetaan SDA. Hal
ini akan lebih memudahkan dalam perencanaan dan evaluasi hasil
dan pengawasan pembangunan secara luas. Kedua teknologi ini
mampu mengakses data spasial dan data base SDA dan sumberdaya
manusia (SDM). Selain itu penggunaan teknologi informasi sebagai
salah satu tuntutan globalisasi dan otonomi daerah.
Pembangunan dan pengembangan wilayah di suatu daerah
dibutuhkan sejumlah data base SDA yang terkini, cepat dan akurat.
Demikian pula dalam pengelolaan, pelaksanaan, monitoring,
evaluasi sumberdaya dan pengawasan dibutuhkan teknologi
yang meminimalkan pengaruh subyektif. Cara konvensional dan
teristris yang hanya mengandalkan aspek manusia telah mulai
dikurangi. Ini lebih dititikberatkan kepada tujuan yang lebih
besar, mengingat etos kerja dalam tingkat ketelitian, sementara
ini disinyalir semakin menurun. Untuk itu dibutuhkan teknologi
yang dapat meningkatkan ketelitian dan pemutakhiran data yang
berupa peta dan isinya. Data spasial dan data base yang akurat dan
mutakhir disinyalir sangat langka ketersediaannya di beberapa
instansi dan unit pemerintah lainnya.
Minimnya data base yang berkualitas dan terukur tentang
potensi SDA dan SDM merupakan kendala atau pembatas utama
dalam penyusunan LAKIP dari pemerintah daerah ke pusat. Indikator
sasaran dalam format LAKIP merupakan tingkat keberhasilan
pencapaian sasaran dan target dalam kurun waktu tertentu secara
berkesinambungan dan terukur, baik kuantitaif maupun kualitatif.
Ketersediaan data base yang berkualitas merupakan kunci
dalam keberhasilan pelaksanaan misi pemerintah. Kelangkaan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
179
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
data base bermutu dan mutakhir yang berkaitan dengan potensi
SDA dan SDM dapat diatasi dengan pemanfatan teknologi RS
yang dikombinasikan dengan GIS. Dengan kata lain penggunaan
teknologi RS sangat diperlukan dalam bidang pemerintahan dan
perencanaan penggunaan lahan.
Perencanaan dan manajemen penggunaan lahan diperlukan
sejumlah besar informasi untuk mengambil keputusan yang
dapat diinformasikan. Hanya cara-cara praktis yang disimpan,
dimanipulasi dan mengaksesnya melalui penggunaan data base
komputer yang dapat memenuhi kriteria tersebut. Oleh karena itu,
pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem GIS dalam kaitannya
dengan penyediaan informasi spasial merupakan jawaban yang
tepat dalam berbagai proses perencanaan dan pengambilan
keputusan.
Teknologi Remote Sensing
Teknologi Remote Sensing (penginderaan jauh atau
penginderaan jarak jauh) merupakan suatu “ilmu atau seni” untuk
memperoleh informasi mengenai obyek, daerah atau gejala dengan
cara menganalisis data yang diperoleh dengan memakai alat/
sensor tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau gejala
yang dikaji (Lilessan dan Kiefer, 1979). Sarana remote sensing
dapat berupa foto udara, citra radar, dan citra/data satelit.
Tingkat ketelitian dan keberhasilan
identifikasi dan
deskripsi suatu obyek sangat tergantung dari tingkat keahlian
interpreter di bidangnya. Seseorang yang berpengalaman di bidang
inventarisasi dan evaluasi sumberdaya lahan akan sangat mudah
dan cepat mengenal berbagai obyek sumberdaya dan gejalanya
dengan teknologi remote sensing, sebelum melakukan pengamatan
langsung di lapangan. Demikian pula tingkat ketelitian hasil
interpretasi dan analisis suatu obyek sangat ditentukan oleh jenis
citra, skala/resolusi dan waku perekaman data. Semakin besar
skala/resolusi citra semakin detail obyek yang digambarkannya.
Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada,
Perancis, Jerman dan Jepang, bahkan India, Cina telah meluncurkan
satelit sumberdaya alam untuk kebutuhan pembangunan, ilmu
pengetahuan, bisnis dan pertahanan. Amerika Serikat (AS) dan
negara lainnya telah memiliki rekaman data spasial dengan ukuran
180
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
< 1 m2. Negara kita Republik Indonesia yang tercinta ini telah
dilintasi oleh berbagai satelit yang dilengkapi oleh kamera/sensor
dan dikendalikan oleh negara asing. Dengan kata lain, seluruh
wilayah RI telah ditelanjangi dan direkam datanya secara rinci
pada waktu kapan saja secara berkala dan sistematis.
NOA, LANDSAT, IKONOS, SPIRIT/Amerika Serikat melintas
setiap hari, 3, 14, 16 hari pada daerah yang sama, SPOT/ Perancis
(per 26 hari), ERS/ Eropa (per 35 hari) Kanada/Radarsat (per 24
hari), Jepang /JERS (per 44 hari), India/IRS (per 24 hari). Selain
itu kamera satelit juga dilengkapi dengan sensor yang dapat
merekam pancaran gelombang elektromagnetik (reflektan) pada
panjang gelombang tertentu (band), seperti: panjang gelombang
tampak mata, inframera-dekat, inframerah-jauh dan termal. Oleh
karena itu dengan perangkat lunak tertentu (Erdas, Ermaper, Idrisi,
dan lain-lain) data satelit dapat diolah untuk berbagai tujuan.
Data satelit dicirikan oleh tiga resolusi, yaitu resolusi
radiometrik, resolusi spektral, dan resolusi temporal. Resolusi
spasial menunjukkan daerah terkecil di atas bumi yang diindera
oleh sensor. Resolusi spektral menunjukkan bagian-bagian
spektrum elektromagnetik yang direkam oleh sistem sensor,
dan terhadap jumlah dan luasnya band. Band yang lebih besar,
memberikan resolusi spektral yang lebih baik. Resolusi radiometrik
ditentukan oleh jumlah nilai reflektan yang dapat dibedakan
oleh suatu sensor. Resolusi radiometrik yang lebih tinggi akan
membuat sistem sensor dapat mendeteksi nuansa yang lebih
tajam terhadap sinyal yang masuk. Ini membuat sistem mampu
merekam perbedaan yang kecil. Resolusi temporal menyatakan
kapan dan seberapa sering citra dari target area dapat diliput. Ini
sangat penting dalam berbagai kegiatan, seperti penelitian dan
atau aplikasi teknologi lainnya yang membutuhkan lebih dari satu
jenis resolusi tersebut.
Dalam kaitannya dengan remote sensing, terdapat interaksi
antara obyek yang diindera dengan sensornya. Setiap sensor
mempunyai sifat yang berbeda-beda terhadap tenaga yang
dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek pada ukuran tingkat
kedetilan tertentu (pixel). Setiap pixel terekam dengan nilai
numerik yang unik sesuai dengan banyaknya band yang
dipasang dalam sensor satelit. SPOT mempunyai 3 band, Landsat
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
181
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
MSS ada 3 dan 4 band serta Landsat TM 7 band, demikian pula
IKONOS mempunyai 4 band. Masing-masing jenis citra satelit
tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan sesuai dengan
tujuannya. IKONOS dan SPOT beresolusi tinggi sangat baik untuk
wilayah perkotaan, sedangkan Landsat TM yang beresolusi rendah
dan band lebih banyak dari citra lainnya sangat sesuai untuk
wilayah perdesaan dan pemetaan lahan yang luas, serta analisis
dampak lingkungan. Dari citra IKONOS tersebut setiap bangunan
dapat dipetakan, demikian pula penggunaan lahan lainnya yang
berukuran lebih besar dari unit terkecil yang dapat dipetakan.
Energi Gelombang Elektromagnetik yang dapat dipantulkan
oleh suatu benda di permukaan bumi dinamakan reflektan. Nilai
reflektan yang dapat direkam oleh masing-masing band berkisar
antara 0-255. Air yang jernih dan dalam mempunyai nilai reflektan
yang sangat rendah, sedangkan tanah kering atau benda-benda
yang berwarna putih, kering dan mengkilap akan memancarkan
reflektan yang tinggi, seperti: atap seng, genteng mengkilap, beton
dan tanah tandus. Hal ini didasarkan atas seluruh benda yang
berada pada kondisi temperatur di atas nol derajat Kelvin (0o K )
setara dengan – 273 oC akan menghasilkan energi elektromagnetik
pada panjang gelombang tertentu. Dengan kata lain, teknologi
remote sensing sangat terkait dengan ilmu fisika, matematika
dan ilmu alam lainnya yang terkait dengan tutupan lahan dan
gejalanya.
Stasiun bumi di Pekayon Jakarta dan di Pare-Pare Sulawesi
Selatan dapat merekam data Landsat dan NOA, dikelola oleh
Lembaga Antariksa Penerbangan Negara (Lapan). Pengguna remote
sensing dengan intensitas yang tinggi adalah Lapan, Bakosurtanal,
BPPT, Kehutanan, Kelautan, Geologi, Pertambangan dan energi,
BPN, Bapedal, Lingkungan Hidup serta Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Pemanfaatan teknologi ini di bidang pertanian masih
terbatas pada survei dan pemetaan tanah, walaupun dapat untuk
mengukur luas panen dan tingkat produksi beras nasional pada
waktu tertentu. Luas, penyebaran dan jenis tanaman perkebunan
dapat dipetakan dengan teknologi ini, demikian pula untuk studi
kelayakan pembukaan lahan perkebunan, tranmigrasi dan lainlain.
182
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Setiap benda dan kelompoknya di permukaan bumi
serta isi di dalamnya akan memancarkan energi gelombang
elektromagnetik yang berbeda dengan benda lainnya dengan
pola reflektan tertentu pada berbagai panjang gelombang.
Pada umumnya reflektan vegetasi ditentukan oleh kandungan
klorofil pada daun, selain struktur dan bentuk daun. Jenis batuan
ditentukan oleh kandungan mineraloginya. Demikian pula air
ditentukan oleh kandungan bahan terlarut, seperti kandungan
lumpur, tingkat kekeruhan zat kimia dan kedalaman air. Sifatsifat reflektan dengan ciri khas ini sangat memudahkan dalam
pengenalan obyek sebelum pengecekan lapang.
Komponen sumberdaya lahan utama terdiri dari tanah, air
dan vegetasi. Masing-masing komponen tersebut menunjukkan
pola reflektan energi elektromagnetik yang berbeda. Air yang
bersifat menyerap dan melewatkan akan memancarkan gelombang
elektromagnetik yang lebih rendah dari tanah kering dan vegetasi
pada panjang gelombang tampak mata dan inframerah. Vegetasi
yang mengandung klorofil memancarkan energi gelombang
elektromagnetik yang tinggi pada panjang gelombang tampak
mata dan inframerah-dekat. Sedangkan tanah memiliki reflektan
yang semakin tinggi dengan semakin tingginya panjang gelombang.
Dengan kombinasi dari ketiga unsur (band merah, hijau dan biru)
ini, maka gejala alam dapat dideteksi melalui pola-pola unik kurve
tersebut.
Setiap kombinasi band yang dipasangkan, maka akan
menghasilkan kenampakan citra yang berbeda dan dapat
menunjukkan sensitivitas tergadap fenomena alam tertentu. Sifat
inilah yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan, seperti bidang
kemiliteran, pemerintahan, ilmu alam, ilmu lingkungan, bahkan
ilmu sosialpun telah memanfaatkan teknologi ini (permukiman
kumuh, penentuan pajak bumi dan bangunan, saksi ahli dalam
kasus di pengadilan dan lain-lain). Dalam tulisan ini difokuskan
pada peranan remote sensing yang berkaitan dengan sumberdaya
lahan (tanah, air dan vegetasi) sedangkan peranan lainnya hanya
sedikit diulas.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
183
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
Teknologi Remote Sensing untuk Identfikasi dan Pemetaan
Sumberdaya Lahan
Sumberdaya lahan utama, meliputi vegetasi, tanah dan
air. Unsur/obyek lainnya yang tak kurang pentingnya dalam
kaitannya dengan SDL adalah penggunaan/penutup lahan dan
vegetasi, landform, relief dan satuan lahan homogen. Ciri reflektan
dari vegetasi, tanah dan air serta rangkuman hasil-hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh penulis diuraikan sebagai berikut:
Vegetasi. Ciri reflektan vegetasi sangat tergantung pada
sifat dan kondisi daun, meliputi orientasi dan struktur daun
tajuk. Bagian radiasi yang dipantulkan dalam berbagai bagian
spektrum tergantung dari pigmentasi daun, ketebalan daun dan
komposisinya (struktur sel), dan tergantung pula pada banyaknya
air bebas dalam jaringan daun. Dalam bagian spektrum tampakmata, reflektan sinar biru dan merah adalah relatif rendah
karena pigmen dalam daun tanaman menyerap radiasi dalam
panjang gelombang ini. Tanaman mengunakan radiasi sebagai
sumber energi fotosintesis. Vegetasi mempunyai reflektan secara
komparatif tinggi dalam bagian yang hijau dari spektrum, ini
merupakan alasan kenapa kita melihat tanaman sebagai obyek
hijau. Reflektan yang mendekati inframerah dari spektrum adalah
yang tertinggi. Hal ini disebabkan oleh struktur sel internal dari
daun.
Reflektan vegetasi pada sinar inframerah-sedang menurun
lagi yang disebabkan oleh penyerapan oleh air dalam jaringan
daun. Air bebas yang lebih banyak ditahan dalam daun, reflektan
yang lebih rendah akan ada dalam tiga “band serapan” dari kurve
vegetasi. Bila daun tanaman berubah warna, atau bila vegetasi
mati atau pada saat akan panen. Dalam kondisi tersebut, proses
fotosintesis tidak aktif lebih lama, maka reflektan dalam bagian
merah tampak-mata dari spektrum elektromagnetik daun akan
meningkat dalam inframerah-sedang. Sifat-sifat tersebut dapat
digunakan untuk mendeteksi tanaman yang normal dan tanaman
yang sakit.
Gejala alam tersebut sangat cepat direkam oleh negaranegara yang mempunyai satelit. Dengan kata lain, apa yang
dinamakan food security, bukan lagi keamanan atau ketahanan
pangan karena telah diketahui terlebih dahulu dengan pasti
184
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
oleh negara lain yang mempunyai teknologi ini. Demikian pula
polemik permasalahan hutan, lingkungan dll. Walaupun demikian
beberapa hal untuk identifikasi vegetasi yang bersifat campuran
lebih mudah diamati melalui foto udara, bila dibandingkan dengan
citra satelit, karena unsur bentuk, ukuran, pola, bayangan dan
tekstur tajuk vegetasi tidak dapat diamati pada citra satelit. Citra
satelit hanya merekam data reflektan dari gabungan obyek yang
mempunyai ukuran ≥ resolusi. Sistem pola tanam dan luas garapan
dan pemilikan lahan sempit dari pertanian dan perkebunan rakyat
merupakan kendala tersendiri dalam identifikasi penggunaan
lahan dari citra satelit.
Dalam kaitan dengan indeks vegetasi, maka penggunaan
remote sensing untuk pendugaan produksi padi telah lama
digunakan di Indonesia. Penelitian di Cikampek, Jawa Barat.
Hasilnya menunjukkan bahwa pendugaan produksi padi
dapat dilakukan melalui analisis digital citra Landsat dengan
menggunakan kombinasi band dan pemfilteran tertentu (Rambe,
1985). Penelitian serupa banyak dilakukan oleh Bakosurtanal,
Lapan dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak)
melalui analisis digital citra Landsat dan SPOT.
Sifat vegetasi sangat kuat memantulkan energi dalam
kisaran panjang gelombang inframerah-dekat, sedangkan badan
air menyerap hampir semua radiasi. Oleh karena itu, band
ini baik untuk membedakan antara sejumlah sifat permukaan
bumi. Karena mata manusia dapat membedakan sejumlah besar
bayangan merah. Untuk itu band inframerah-dekat ditampilkan
sebagai merah. Band-band yang lain yang digunakan adalah merah
dan band hijau. Warna komposit seperti ini tidak menunjukkan
sifat permukaan warna aslinya. Vegetasi akan ditampilkan dalam
bayangan merah. Oleh karena itu, jenis dari warna komposit
ini disebut warna komposit palsu. Untuk citra Landsat TM,
menggunakan kombinasi band 4, band 3 dan band 2 ditampilkan
berturut-turut dalam merah, hijau dan biru. Sedangkan pada
citra SPOT menggunakan band 3, 2 dan 1. Dalam warna asli setiap
benda yang berwarna hijau akan terekam hijau, sedangkan dalam
inframerah warna palsu, hanya daun berkhlorofil hidup dapat
digambarkan dengan warna merah. Benda lain yang dicat hijau
atau daun yang mati tidak akan berwarna merah. Berdasarkan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
185
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
hal tersebut citra inframerah warna palsu banyak digunakan
untuk kebutuhan militer, kehutanan, pertanian, perkebunan dan
kelautan.
Tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi reflektan
tanah adalah: warna tanah, distribusi besar butir (tekstur
tanah), kekasaran permukaan tanah, kandungan bahan organik,
kelembaban tanah, adanya kandungan karbonat, besi oksida, adanya
kerak permukaan, salinitas tanah dan sebagainya. Faktor-faktor
ini bersifat kompleks, beragam, dan dalam beberapa hal saling
terkait. Kurve reflektan tanah menunjukkan kekurangberagaman
puncak dan lembah dari kurve vegetasi karena faktor-faktor
yang mempengaruhi reflektan tanah berada pada band spektral
yang kurang spesifik. Berbeda dengan pola reflektan vegetasi
pada panjang gelombang tertentu membentuk kurve dengan ciri
khusus.
Kurve tersebut nenunjukkan bahwa reflektan lebih rendah
dalam band serapan air pada panjang gelombang 1,4 μm, 1,9
μm dan 2,7 μm. Kandungan air tanah sangat terkait dengan
tekstur tanah. Tanah kasar, berpasir biasanya berdrainase baik,
mengakibatkan kandungan air rendah, dan reflektan relatif tinggi.
Berbeda dengan tanah berdrainase buruk yang didominasi oleh
tekstur halus, umumnya akan mempunyai reflektan yang lebih
rendah dari tanah berdrainase baik. Dalam keadaan tidak ada
air atau tanah kering akan menunjukkan kecenderungan yang
berlawanan. Tanah-tanah bertekstur kasar akan nampak lebih
gelap daripada tanah-tanah bertekstur halus. Dua faktor lain yang
mengurangi reflektan tanah adalah kekasaran permukaan dan
kandungan bahan organik. Adanya besi oksida dalam tanah juga
akan mengurangi reflektan secara nyata, sekurang-kurangnya
pada panjang gelombang tampak-mata.
Peranan remote sensing dalam bidang Ilmu Tanah, khususnya
untuk tujuan survei dan pemetaan tanah lebih menitikberatkan
pada faktor-faktor pembentuk tanah yang berkaitan dengan
proses geomorfologi. Tiga faktor (geologi/jenis batuan, topografi,
dan organisme/vegetasi) dari 5 faktor (+ iklim dan waktu) dapat
diidentifikasi dari foto udara dan citra satelit. Struktur batuan,
relief, lereng, penggunaan lahan dan vegetasi, pola drainase dan
proses dapat dikenal dari sarana penginderaan jauh, terutama
186
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
citra yang dapat dilihat dengan tiga dimensi. Kombinasi tersebut
merupakan unsur pembentuk landform dan land unit. Oleh
karena itu, untuk tujuan survei dan pemetaan tanah lebih banyak
menggunakan foto udara dan citra radar dibandingkan dengan
citra satelit.
Air. Sesuai dengan karakter reflektan spektral air, sifat
yang paling nyata adalah serapan energi pada panjang gelombang
inframerah-dekat. Absorbsi energi dalam panjang gelombang ini,
seperti halnya yang sudah ditunjukkan dalam kurve reflektan
untuk vegetasi dan tanah. Secara umum air bersih menyerap
sedikit energi pada panjang gelombang kurang dari 0,6 μm. Akan
tetapi, dengan berubahnya turbiditas air, reflektan berubah secara
dramatis.
Air yang mengandung bahan endapan lumpur yang
tinggi sebagai akibat dari erosi tanah akan mempunyai nilai
reflektan tampak-mata lebih tinggi bila dibandingkan dengan
air bersih. Demikian pula, reflektan air berubah dengan adanya
konsentrasi khlorofil. Bertambahnya konsentrasi khlorofil
cenderung menurunkan reflektan pada panjang gelombang biru
dan meningkat pada panjang gelombang hijau. Secara umum
dikatakan, semua radiasi pada panjang gelombang yang lebih
besar dari 0,9 μm akan diserap oleh badan air. Sifat inilah sering
digunakan untuk monitoring pencemaran air, baik air sungai
akibat hasil erosi tanah, maupun akibat buangan limbah pabrik,
serta untuk mengetahui kandungan plankton dalam air. Ini sangat
berguna untuk kebutuhan perikanan laut.
Pencemaran air sungai dan laut sangat mudah diidentifikasi
melalui foto udara dan atau citra satelit inframerah warna palsu
dan kombinasi band warna asli. Air jernih berwarna biru sampai
hitam, sedangkan air tercermar berwarna terang (biru muda
sampai putih). Gradasi warna biru tua sampai hitam, biru muda ke
biru terang sampai putih pada badan air berturut-turut semakin
tinggi tingkat pencemarannya dan makin dangkal kedalaman
airnya. Perbedaan gradasi warna biru tersebut terjadi pada daerah
persawahan yang menunjukkan tingkat fase pertumbuhan padi
sebelum tertutupi penuh oleh vegetasi (Lanya, 1981 dan 1984).
Berbagai bidang, seperti: geologi, pertambangan dan energi,
hidrologi, kehutanan, tanah, iklim. dan bidang yang berkaitan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
187
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
dengan potensi sumberdaya alam telah memanfatkan teknologi ini.
Kegiatan survei, inventarisasi dan pemetaan sumberdaya alam di
Indonesia sejak tahun 1960-an. Sedangkan penggunaan teknologi
ini dalam bidang pertanian, ditetapkan sebagai persyaratan utama
dalam kegiatan survei dan pemetaan tanah pada tahun 1983.
Dalam perkembangannya diterapkan untuk pendugaan produksi
tanaman, tingkat degradasi lahan, tingkat serangan hama dan
penyakit tanaman, pemantauan dampak lingkungan dan bidang
pembangunan pemerintahan yang terkait dengan kebutuhan data
spasial seperti: kelas penggunaan lahan daerah perkotaan, peta
kadaster, pajak bumi dan bangunan dll.
Walaupun teknologi ini tergolong canggih, namun ada halhal yang tidak dapat direkam oleh satelit seperti ciri masing-masing
jenis vegetasi: struktur percabangan, bentuk tajuk dan ketinggian
pohon, pola tanam hanya dapat diamati pada foto udara, karena
seluruh gambaran fiktorial terekam pada foto udara, sedangkan
data satelit hanya berupa nilai/angka reflektan.
Sarana Remote Sensing: Foto Udara, Landat, Spot, Ers,
Radarsat, dan Ikonos
Foto udara merupakan sarana remote sensing yang
tertua (tahun 1950-an) digunakan di Indonesia. Pertama-tama
berperan dalam bidang kemiliteran, baik untuk pembuatan peta,
maupun untuk tujuan pertahanan dan keamanan. Foto ini mampu
menampakkan tiga dimensi dan ketinggian tempat di suatu
wilayah. Oleh karena itu foto udara merupakan bahan baku dalam
pembuatan peta topografi, ortofoto dan peta tematik skala besar.
Sedangkan data satelit lebih banyak digunakan untuk pembuatan
peta tematik, baik skala peta detail, maupun peta tinjau.
Foto udara merupakan gambaran fiktorial, sedangkan data
satelit adalah nilai nominal reflektan gelombang elektromagnetik
yang dapat direkam oleh sensor satelit pada daerah yang luas
dengan ukuran ketelitian tertentu (resolusi). Resolusi tertinggi
untuk data satelit sumberdaya alam yang dipasarkan di Indonesia,
berukuran 1 m2 dengan rekaman data per satuan waktu tertentu.
Melalui teknologi informasi, data satelit dapat diakses dengan
cepat dan mudah oleh berbagai pihak yang membutuhkannya
sesuai dengan prosedur yang berlaku.
188
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Landsat merupakan satelit sumberdaya alam yang pertama
diluncurkan oleh NASA Amerika Serikat pada tahun 1972 (Landsat
1), selanjutnya tahun 1975 (Landsat 2) dan 1978 (Landsat 3).
Satelit ini membawa dua set sensor: Return-Beam Vidicon (RBV)
dan multi-spectral scanner (MSS). RBV mempunyai 3 band (panjang
gekombang 0,475 – 0,575 μm/biru, 0,58 –0,68 μm/hijau dan 0,690,83μm/merah); sedangkan MSS mempunyai 4 band spectral.
Meliputi panjang gelombang 0,5 – 0,6μm, 0,6 –0,7μm, 0,7-0,8 μm
dan 0,8-1,1μm/inframerah. Landsat 4 dan 5 diluncurkan berturutturut pada tahun 1982 dan 1984, membawa sistem multi-spectral
versi yang telah diperbaharui, dikenal sebagai Pemetaan Tematik
(Thematic Mapper atau TM) dengan 7 band dan cakupan wilayah
185 km x 185 km. Sistem TM Scanner ini memperoleh data dalam
tujuh band dari spektrum elektromagnetik, resolusi 30 m dalam
semua band kecuali band inframerah-thermal, yang mempunyai
resolusi 120 m. Dari ke tujuh band tersebut dapat dianalisis dengan
30 kombinasi band.
Banyaknya kombinasi band yang dapat dibuat tersebut
merupakan keunggulan Landsat TM untuk berbagai kepentingan.
Seperti telah di uraikan di atas, bahwa Landsat TM telah banyak
digunakan, baik untuk keperluan penelitian pemula (mahasiswa),
peneliti senior (dosen dan para peneliti) maupun untuk aplikasi
teknologi, seperti dalam LREPP II dan MREPP untuk 18 propinsi
di Indonesia. Program LREPP II BPN, penulis sebagai salah satu
Counterpart Land Use specialist yang bertugas untuk membuat
buku panduan metodologi aplikasi teknologi remote sensin dan
GIS, mengajar dan membimbing untuk kegiatan survei dan
pemetaan penggunaan tanah secara otomatisasi. Sebanyak 800
orang staf BPN di 18 Propinsi telah ditraining dengan materi:
interpretasi foto udara, survei penggunaan tanah/lahan, data
base penggunaan lahan, digitasi peta, GIS, remote sensing dan
monitoring penggunaan lahan.
SPOT merupakan satu seri satelit Perancis yang diluncurkan
tahun 1989 dan 1990. Sistem yang dioperasikan multi-spectral dan
pankhromatik. Terdiri dari 3 band multi-spectral pada resolusi 20
meter dan pankhromatik dengan resolusi 10 meter. Dalam multispectral terdapat tiga band spectral: hijau (0.50 – 0.59 μm), merah
(0.61 – 0.68 μm) and inframerah-dekat (0.79 – 0.89 μm). Dalam
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
189
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
band pankromatik observasi dilakukan pada spektrum tampakmata (antara 0.51 and 0.73 μm). Citra SPOT stereo sangat tepat
untuk menyusun model elevasi digital atau digital elevation models
(DEM).
SPOT sangat berguna, terutama untuk identifikasi sifatsifat yang kecil dan beragam, seperti: pemetaan daerah perkotaan,
atau daerah pertanian yang intensitasnya tinggi. Data SPOT
mempunyai cakupan 60 x 60 km dalam posisi vertikal dan 81 x
81 km dalam posisi miring. Selain kedua resolusi tersebut, juga
ada yang beresolusi 2,5 x 5 m yang telah diluncurkan pada tahun
2000. Untuk Bali memerlukan 2 scene SPOT dan 2 scene Landsat;
cakupan barat dengan Jawa Timur dan cakupan timur dengan
Pulau Lombok. Citra ini banyak digunakan untuk pemetaan
kawasan dan tegakan hutan. Sedangkan untuk kebutuhan lainnya
masih terbatas. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya
stasiun bumi di Indonesia untuk SPOT, selain itu hanya ada 3
band, sementara Landsat TM terdapat 7 band dan cakupannya
lebih luas dari SPOT.
IKONOS/EOSAT merupakan satelit generasi terbaru yang
beresolusi tinggi 1 m x 1m dan 4 x 4 meter. Diluncurkan oleh
Amerika Serikat pada tahun 1997 dan 1998 waktu iyaman (scene)
14 hari dengan ulangan 1-3 hari sekali dengan luasan minimal
100 km2. Citra ini mendekati foto udara skala 1: 2500. Oleh karena
itu, sangat cocok untuk wilayah perkotaan. Sebagai informasi
bahwa satu-satunya kota di Indonesia yang telah menggunakan
citra IKONOS adalah Pemerintah Kota Denpasar. Dengan kata lain,
seluruh obyek dengan ukuran ≥ 1 m2 di wilayah Kota Denpasar
telah terekam dengan posisi spasial yang tepat pada bulan Maret
2002. Pertama hanya ditujukan untuk sistem perencanaan dan
pengendalian pembangunan.
Dalam perkembangannya, telah digunakan untuk berbagai
penelitian yang menyangkut data base sumberdaya lahan dan tidak
menutup kemungkinan untuk tujuan lainnya seperti monitoring
pemanfaatan lahan dalam zonasi tata ruang, industri, lingkungan
dan aspek lainnya yang berkaitan dengan data spasial dan data
base dari masing-masing instansi. Citra/data satelit banyak
digunakan untuk perpetaan hutan, dan analisis wilayah yang lebih
luas, daerah aliran sungai (DAS) dan fenomena lainnya, seperti
190
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
pencemaran lingkungan, banjir, kebakaran dan kerusakan hutan,
serangan hama penyakit tanaman, serta monitoring penggunaan
lahan dan dampak lainnya.
Satelit lainnya adalah ERS (ESA), RADARSAT (Kanada), IRS1C, IRS-1D (India) mempunyai tiga sensor yang mengumpulkan
data dalam beragam resolusi spasial, band spectral, dan petakan.
LISS mengumpulkan data dalam band tampak-mata (hijau dan
merah), inframerah-dekat, dan band inframerah gelombang
pendek. Resolusi 188 meter, menggunakan lebar petakan 810
kilometer, digunakan untuk pendugaan luas tanam dan hasil
pertanian, pemantauan kekeringan, perencanaa pengembangan
kota, dan kandungan mineral. Satelit observasi bumi yang
dioperasikan di wilayah Afrika, JERS (Jepang), RESURS-01 (Rusia),
MOMS-02 (Jerman), dan Orbview-2 (Orbimage) dengan sensor
WiFS laut. Jika kita tertarik mengetahui lebih banyak tentang sistem
ini, kita dapat mengakses Web sites organisasi koresponden, yang
disajikan pada Tabel 1.
Beberapa hasil penelitian yang terkait dengan penggunaan
teknologi remote sensing untuk kegiatan survei dan pemetaan
sumberdaya lahan yang selama ini penulis tekuni adalah sebagai
berikut.
Tahun 1978 (Skripsi S1), pemanfaatan foto udara untuk
pemetaan tematik unsur kimia tanah di Daerah Pasang Surut,
Jambi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa proses
geomorfologi pembentukan tanah gambut
sangat mudah
diidentifiksi dari foto udara. Pembatasan satuan lahan, pemetaan
penggunaan lahan dan
perencanaan pengambilan lokasi
pengamatan tanah dianalisis melalui interpretasi foto udara.
Kandungan unsur kimia tanah seperti Ca dan Mg menunjukkan
bahwa semakin menurun dengan semakin jauhnya jarak dari laut
dan sungai, dengan pola teratur, sedangkan Na, K dan P berpola
acak, sehingga tidak dapat dipetakan. Berbeda dengan unsur Ca
dan Mg dapat dipetakan dengan batas-batas satuan pet yang jelas,
mengikuti unit lahannya. Semakin jauh dari pantai, semakin kecil
kandungan unsur tersebut. Hal ini disebabkan oleh sumber Ca,
Mg, Na berasal dari laut. Pola penyebaran vegetasi daerah pasang
surut sangat mudah diidentifikasi dan dipetakan. Demikian pula
suksesi vegetasi dari tepi laut ke arah pedalaman, berturut-turut
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
191
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
mangrove (air asin), nipah (air asin dan payau), nibung dan gelam
(ciri khas vegetasi rawa pasang surut gambut dangkal) dan hutan
primer (gambut dalam). Selain itu perbedaan antara tanah mineral
dan tanah gambut beserta kedalamannya dapat diidentifikasi dari
foto udara. Delimitasi dan delineasi satuan peta dapat dipetakan
dengan garis/poligon secara teliti dan tepat serta cepat.
Tabel 1. Web sites Beberapa Operator Satelit Observasi Bumi.
Organisasi/Perusahan
Program Sistem
Produk
Web site
NASA, NOAA, and USGS
LANDSAT
geo.arc.nasa.gov/esdstaff/
landsat/landsat.html
SPOT IMAGE
European Space Agency (ESA)
Canadian Space Agency and
RADARSAT
National Remote Sensing Agency,
India
SPOT 1 through 5
ERS
RADARSAT
www.spotimage.fr
www.esrin.esa.it
radarsat.space.gc.ca
IRS-1C/1D
www.stph.net:80/nrsa
National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA)
NOAA
www.noaa.gov
National Space Development
Agency of Japan (NASDA)
JERS
www.nasda.go.ja
SOVZOND; Swedish Space
Corporation
RESURS-01
www.ssc.se
German Aerospace Centre
Orbital Imaging Corporation
EarthWatch
MOMS-02
Orb-View-1/2/3
EarlyBird, QuickBird,
Digital Globe
IKONOS-1, Carterra
EROS-A/B
www.nz.dlr.de/moms2p
www.orbimage.com
www.digitalglobe.com
Space Imaging EOSAT
Core Software Technology
www.spaceimage.com
www.coresw.com
Tahun 1980-1981: Penelitian penggunaan foto udara
inframerah warna palsu untuk survei dan pemetaan tanah daerah
Rawa Lebak Ogan, Komering Kramasan Hulu, Sumatera Selatan.
Hasil: foto udara inframerah marna palsu memberikan tingkat
ketelitian data yang tinggi untuk mengukur tingkat kedalaman
rawa, lokasi contoh pengamatan dan ekstrapolasinya dapat
diidentifikasi dengan tepat baik di lapangan, maupun untuk tujuan
pemetaan hasil akhir survei tanah. Jenis vegetasi dan penggunaan
lahan dapat diidentifikasi dengan cepat dan teliti demikian pula
192
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
penyebarannya. Untuk itu sangat efisien dalam hal waktu dan
biaya serta mempunyai tingkat ketelitian hasil yang tinggi bila
dibandingkan dengan survei dan pemetaan secara konvensional.
Penggunaan foto udara pankromatik skala 1: 25.000 - 1:
50.000 untuk berbagai kegiatan survei dan pemetaan tanah pada
tingkat semi detail telah dilakukan oleh penulis sejak tahun 1979 di
wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, NTB, NTT
dan Timor Timur. Peranan foto udara dalam kegiatan ini sangat
penting untuk identifikasi jenis, batas satuan penggunaan lahan,
kelas lereng, bentuk lahan (relief) dan satuan lahan homogen
sebagai batas satuan peta tanah serta rencana sistem dan distribusi
pengamatan lapang. Hal ini disebabkan oleh sifat foto udara yang
dapat dilihat secara tiga dimensi, sehingga memudahkan dalam
pengamatan obyek dan gejalanya. Selain itu bentuk tajuk, pola
dan penyebaran dan asosiasinya sangat memudahkan untuk
identifikasi dan pemetaan kelas penggunaan lahan dan jenis
vegetasinya. Survei lapang merupakan pengecekan, biasanya
hanya dilakukan < 30 % dari seluruh wilayah. Batas-batas satuan
peta tanah, penggunaan lahan, lereng, relief, fisiografi, satuan
pengelolaan lahan, kemampuan dan kesesuaian lahan ditarik dari
pola yang nampak pada foto udara.
Pola drainase dapat membantu dalam menentukan
jenis batuan induk sebagai salah satu faktor pembentuk tanah.
Tanpa bantuan foto udara, maka penarikan batas satuan peta
tanah homogen tidak dapat dilakukan secara cepat dan teliti.
Selanjutnya dikemukakan bahwa pemanfaatan foto udara untuk
tujuan survei dan pemetaan tanah lebih efisien waktu dan biaya
bila dibandingkan dengan survei konvensional. Peranan foto
udara semakin tinggi dengan semakin kecilnya skala peta yang
dihasilkan. Dalam interpretasi foto udara untuk survei tanah dan
evaluasi lahan dilakukan dengan menggunakan tiga model, yaitu
elemen analisis, pola analisis dan fisiografi analisis, berturut-turut
memerlukan keahlian pemula, menengah dan lanjut.
Tahun 1982-83, Penelitian identifikasi dan pemetaan
potensi komoditas perkebunan rakyat dengan menggunakan
sarana foto udara inframerah warna palsu dan pankromatik
di Bali dan Bengkulu (kerjasama IPB dengan Bakosurtanal).
Hasilnya menunjukkan bahwa masing-masing jenis komoditas
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
193
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
perkebunan rakyat dapat diidentifikasi dan dideskripsi dengan
mudah, cepat dan tepat. Unsur warna, bentuk tajuk dan pola serta
asosiasi banyak digunakan sebagi kunci interpretasi. Foto udara
inframerah warna palsu juga sangat mudah untuk membedakan
kedalaman air tawar, kandungan sedimen di dalam air rawa
dan air sungai. Namun sebaliknya, untuk identifikasi vegetasi
berdaun jarum dan palem-paleman lebih mudah menggunakan
foto udara pankromatik. Kemudahan ini disebabkan oleh obyek
yang mengandung klorofil akan berwarna merah pada film infra
merah warna palsu. Sedangkan benda lain, waupun warnanya
hijau, namun tidak berklhorofil, maka tidak akan berwarna merah
pada film tersebut.
Tahun 1985 penelitian identifikasi dan pemetaan bambu
dari foto udara pankromatik di wilayah Pabrik Kertas Goa. Kunci
interpretasi untuk tanaman bambu dari bentuk dan struktur
vegetasi dalam tiga dimensi seperti sapu bulu, warnah lebih cerah
dari vegetasi berdaun lebar. Tahun yang sama juga penelitian
identifikasi dan pemetaan potensi sagu melalui interpretasi foto
udara pankromatik di Irian (kerjasama dengan BPPT). Hasilnya
menunjukkan bahwa bentuk dan struktur tajuk, lokasi dan
asosiasi tanaman sagu berbeda dengan tanaman nipah dan jenis
palem-paleman lainnya, seperti nibung, enau, kelapa dan lontar
dan berbeda nyata dengan vegetasi hutan.
Tahun 1986 penelitian tingkat kepercayaan pemanfaatan
foto udara dan citra landsat dalam pembuatan peta tanaman
perkebunan di Bali (Tesis S2). Hasilnya menunjukkan bahwa
identifikasi dan perpetaan komoditas perkebunan di Bali lebih
mudah dan teliti bila dibandingkan dengan hasil analisis digital
citra satelit. Hal ini disebabkan oleh pola tanam yang berstrata dan
campuran. Sistem ini berimplikasi terhadap nilai reflektan yang
tidak homogen dari masing-masing komoditas tersebut. Bentuk
tajuk, struktur percabangan pohon, serta lokasi merupakan kunci
interpretasi untuk berbagai jenis tanaman.
Vegetasi cengkeh jenis Zanzibar dengan jenis Cikotok
dibedakan melalui bentuk dalam tiga dimensi. Lontar/siwalan,
kelapa, sagu, enau, nipah dan embung serta jenis palem lainnya
memiliki bentuk tajuk sama seperti bintang, namun dari segi
lokasi dan asosiasi dapat dibedakan. Sagu selalu berada di rawa
194
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
air tawar, nibung di tanah gambut, nipah di air asin dan air payau,
enau, kopi, teh, cengkeh di daerah dengan ketinggian tempat > 300
m dml sedangkan lontar selalu di daearah tepi pantai dan daerah
panas. Demikian pula mangrove selalu di daerah endapan lumpur
di tepi pantai.
Melalui penelitian ini dihasilkan kunci interpretasi untuk
masing-masing jenis vegetasi dan penggunaan lahannya pada skala
1 : 25.000 dan 1 : 50.000. Kunci identifikasi untuk pola perkebunan
besar adalah bentuk dan ukuran seragam dengan pola teratur
dan hamparan yang luas. Ciri tersebut sangat berbeda dengan
perkebunan rakyat, dimana tanamannya campuran dan komplek,
maka bentuk dan ukuranpun tidak seragam. Persawahan yang
dicirikan oleh bentuk lempeng berpetak-petak dengan ukuran
yang lebih kecil dari tambak dan ladang garam. Demikian pula
antara ladang garam dan tambak dibedakan dari warnanya. Pola
penggunaan lahan dan vegetasi selalu terkait dengan kegiatan
survei dan pemetaan tanah. Oleh karena itu untuk kegiatan
tersebut pada umumnya menggunakan foto udara atau citra
satelit, tergantung dari skala peta yang akan dihasilkan. Semakin
kecil skala peta semakin tinggi peranannya.
Tahun 1988, penelitian pemetaan tanah
dengan
menggunakan citra radar di seluruh kepulauan Sumatera: Lingga,
Singkep, Batan, Bintan, Siberut, Mentawai yang bekerjasama
dengan Puslitanak, Bogor. Hasilnya menunjukkan bahwa satuan
lahan (land unit) sangat mudah diidentifikasi melalui citra radar,
demikian pula untuk penentuan lokasi pengamatan yang tepat,
delimitasi dan delineasi batas-batas satuan peta tanah pada skala
tinjau mendalam masih diperlukan koreksi geometris.
Foto udara, citra Landsat dan SPOT banyak digunakan
untuk inventarisasi dan memetakan kawasan hutan di seluruh
Indonesia pada tahun 1980-an. Dalam hal ini penulis telah
memetakan seluruh tegakan hutan dan kawasan hutan di Propinsi
Bali, NTB, NTT dan TimTim dengan foto udara, citra Landsat
dan SPOT. Kegiatan ini merupakan kerjasama Fakultas Pertanian
dengan Badan Inventarisasi dan Perpetaan Hutan (BIPHUT)
wilayah VIII tahun 1990. Dengan kata lain, dengan mempelajari
ekologi tanaman dan sistem pertanian/perkebunan dan hutan di
suatu daerah akan lebih mudah mengenal jenis tanaman dan pola
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
195
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
penggunaan lahannya dari remote sensing
Tahun 1991-1993 penelitian untuk disertasi S3 di
Kecamatan Siberida dan sekitarnya, Kabupaten Indragiri Hulu,
Propinsi Riau bekerjasama dengan NORINDRA (NorwegianIndonesian Rain Forest and Resource Management Project) dengan
menggunakan foto udara, citra Landsat dan citra SPOT. Ketiga citra
tersebut digunakan untuk monitoring dan pemetaan penggunaan
lahan, tingkat degradasi lahan, delimitasi dan delineasi satuan
lahan homogen, jumlah contoh dan pola penyebarannya. Hasilnya
menunjukkan bahwa: citra SPOT sangat mudah untuk identifikasi
penggunaan lahan di daerah rawa dan lahan kering. Demikian
pula pemantauan perladangan dapat diidentifikasi dan dipetakan
dengan mudah bila dibandingkan dengan citra Landsat MSS.
Hasil pemantauan penggunaan lahan menunjukkan bahwa
laju perladangan berpindah selama 18 tahun (1973-1991 seluas
234 ha/tahun. Seluruh hutan di kawasan Siberida dan Bukit Tiga
Puluh telah dikonsesi (HPH) di beberapa tempat sudah dilakukan
tebang cuci mangkok (tebang > 2 x) . Sistem perladangan berpindah
di daerah ini hanya satu kali (setahun), sementara di daerah
lainnya seperti di Jambi, perladangan dapat dilakukan sampai tiga
kali (tiga tahun). Perbedaan ini setelah dikaji lebih mendalam
diakibatkan oleh perbedaan kandungan dan kejenuhan Al-dd dan
tipe mineral liatnya. Semakin tinggi Al-dd, waktu perladangan
semakin singkat. Pengapuran pada tanah masam bermineral liat
tipe 1:1 memberikan pengaruh yang nyata terhadap produsi
jagung, sedangkan pada tanah masam bermineral liat tipe 2: 1
pengapuran tidak berpengaruh nyata. Dengan kata lain, perbedaan
tipe mineral liat mempengaruhi perbedaan pengelolaan.
Secara umum identifikasi jenis penggunaan lahan dan
vegetasi baik di daerah perdesaan, maupun perkotaan melalui
remote sensing dilakukan dengan cara visual dan digital. Cara
visual dengan mengunakan 9 unsur interpretasi (bentuk, ukuran,
bayangan, gradasi warna, pola, tekstur, lokasi dan asosiasi).
Sementara cara digital hanya mengandalkan pada nilai reflektan
dari masing-masing obyek atau gabungan beberapa obyek dengan
menggunakan komputer dan perangkat lunak tertentu. Untuk
itu dalam proses klasifikasi citra satelit dilakukan dengan dua
cara, yaitu metode terbimbing (supervised) dan tidak terbimbing
196
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
(unsupervised). Foto udara masih tetap diperlukan untuk peta
skala detail, walaupun citra satelit sudah banyak yang beresolusi
tinggi. Terutama apabila luasannya kurang dari luas minimal 1/4
scene untuk Landsat dan SPOT, sedangkan untuk IKONOS 1 m2.
Penggunaan foto udara merupakan salah satu komponen
standar untuk kegiatan survei dan pemetaan tanah yang dananya
dari Bank Dunia atau ADB atau sumber dana internasional lainnya
(FAO). Dengan kata lain, untuk kegiatan survei dan pemetaan
tanah pada daerah dan luasan yang representatif, telah diwajibkan
menggunakan teknologi ini, guna meningkatkan kualitas peta.
Teknologi ini telah digunakan di 18 propinsi kecuali DKI dan
8 propinsi di Sumatera pada skala semi detail dan pada tingkat
seri tanah. Kegiatan tersebut dilakukan di daerah prioritas dalam
Land Resources Evaluation Physical Project (LREPP) II pada tahun
1993-1998. Selain foto udara, juga telah digunakan citra Landsat
TM tahun 1995-1996 sedangkan untuk LREPP I di Sumatera
menggunakan citra radar. Hasilnya berupa peta digital yang
dibangun dengan sistem GIS pada skala 1 : 25.000 untuk Jawa,
Bali dan Lombok, sedangkan untuk daerah lainnya pada skala 1 :
50.000 dan skala 1 : 250 000 untuk Sumatera.
Perangkat lunak (software) dalam pemetaan penggunaan
tanah/lahan secara otomatisasi dengan menggunakan teknologi
penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan GIS dan dengan
perangkan lunak ILUD (Indonesian Land Use Databank) hanya
memerlukan waktu 4 – 14 hari untuk satu lembar peta ukuran
standar Bakosurtanal. Peta lainnya yang dihasilkan dari kegiatan
LREPP II BPN yang didanai dari loan ADB adalah peta penggunaan
lahan, peta kemampuan lahan, peta kesesuaian lahan, manajemen
perencanaan penggunaan lahan, izin lokasi dan peta monitoring
penggunaan lahan serta peta jenis tanah. Seluruh peta dibuat
dari data spasial hasil analisis remote sensing dipadukan dengan
data base dari lapangaan (DBMS), data sekunder dan peta-peta
penunjang lainnya. Dalam kegiatan LREPP II yang dikordinasikan
oleh BPN Pusat, Penulis sebagai salah satu Conterpart land use
specialist selama 5 tahun (1994-1998) sedangkan untuk LREEP I,
Penulis merupakan kordinator survei tanah di seluruh kepulauan
Sumatera.
Seluruh proses dilakukan secara otomatisasi dengan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
197
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
menggunakan software tertentu (ILUD) untuk BPN dan SSDP
untuk Puslitanak. Software tersebut merupakan kombinasi dari
software remote sensing (Erdas)dan GIS (Arc/Info) dan DBMS
(dBase) yang telah dimodifikasi. Software tersebut dibangun
untuk menyederhanakan menu-menu operasional yang ada dalam
Arc/Info, sehingga memudahkan dalam pembuatan peta digital
dan GIS, seperti untuk digitasi, edit, proses pembuatan peta dan
link dengan DBMS (Data Base Management System) dan ploter.
Software ILUD terdiri dari: LUDarc, ILUDentr, ILUDpoi, ILUDlab,
ILUDrs, ILUDr2v, ILUDcon, ILUDproc, ILUDadm, ILUDexp, ILUDimp,
ILUDutl, ILUDplt. Terbatasnya dana untuk pembelian data satelit,
dan pencetakan peta secara otomatis sering merupakan kendala
utama dalam keberlanjutan sistem yang telah dibangun dengan
dana yang tinggi, walaupun hardware dan software ILUD telah
tersedia di BPN 18 propinsi.
Prospek masa depan penggunaan teknologi remote sensing.
Baik foto udara, maupun data satelit cenderung meningkat
pemanfaatannya untuk berbagai bidang. Penggunan teknologi
remote sensing di Indonesia dinamakan Masyarakat Penginderaan
Jauh (MAPIN) terdiri dari para ilmuwan, peneliti, akademisi,
praktisi, maupun pemerintahan/lembaga teknis yang terkait.
Kebutuhan teknologi ini yang semakin meningkat, maka organisasi
dan perusahaan komersial telah menyediakan satelit generasi
terbaru beresolusi tinggi ≤ 5 m (SPOT dan IKONOS). Data satelit
dengan tingkat ketelitian spasial yang detail akan berimplikasi
terhadap berbagai bidang, termasuk pemetaan, pertanian,
manajemen sumberdaya alam, pemerintah lokal dan regional,
serta untuk keperluan yang mendesak.
Perbaikan data spasial, spectral dan kualitas radiometrik
dari citra resolusi tinggi akan dapat meningkatkan pemanfataan
konsumen secara komersial, baik Landsat maupun SPOT telah
diperbaharui melalui penambahan band dan perbesaran resolusi
≤ 10 m agar dapat digunakan untuk tujuan khusus. Demikian
pula Orbview-3 dengan resolusi satu dan dua meter untuk
pankromatik dan 4 meter untuk multi-spectral yang digunakan
untuk mengidentifikasi “penemuan lubang mineral” yang dapat
digunakan sebagai petunjuk adanya sumberdaya mineral baru,
seperti emas dan perak. Satelit EOSAT akan menyediakan citra
198
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
pankromatik dan multi-spectral pada resolusi spasial masingmasing satu dan empat meter, setara dengan foto udara skala
1:2.500 dengan resolusi radiometrik 11 bit per pixel. Hal ini dapat
memperluas pemakaian citra di berbagai bidang.
Citra satelit resolusi-tinggi akan menghasilkan resolusi
spasial yang kini hanya tersedia dari foto udara. Satelit ini akan
mempunyai kemampuan menyediakan perolehan citra stereo, dan
akan mengurangi frekuensi putaran kembali dari satelit sampai
tiga hari atau kurang. Perbaikan resolusi radiometrik dan resolusi
spectral yang tinggi akan memungkinkan teknologi remote sensing
lebih sempurna dalam melakukan observasi bumi/sumberdaya
alam serta akan mengalami perubahan dramatis dalam beberapa
tahun mendatang.
Resolusi spasial yang disempurnakan dan ketepatan
dari satelit resolusi-tinggi akan mampu digunakan untuk
mengidentifikasi dan memetakan sifat yang lebih kecil, dan
mengklasifikasikan tipe penutup lahan yang lebih teliti. Frekuensi
perekaman ulang yang cepat akan mampu merencanakan
sistem pertanian yang tepat, pengelolaan kerusakan lingkungan,
kebutuhan darurat (banjir, longsor, gempa dll), manajemen irigasi,
mendeteksi kebakaran, bahaya letusan gunung api dan tindakan
penegakan peraturan hukum.
Citra stereo akan menunjukkan visualisasi terrain, penilaian
real estate, analisis daerah aliran sungai, perencanaan aksesibilitas
dan teknik sipil. Penggunaan citra satelit resolusi tinggi lainnya
adalah perencanaan kota dan perkotaan, manajemen fasilitas,
verifikasi perjanjian, pemberdayaan hukum, keamanan, reportase
berita, survei batas pemilikan tanah dan registrasi lahan,
kependudukan, lalu lintas, pariwisata dan rekreasi, dan sektor
lainnya yang berkaitan dngan fenomena ruang.
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa Citra IKONOS
berwarna asli tahun 2002 telah digunakan oleh Pemerintah Kota
Denpasar untuk tujuan Sistem Perencanaan dan Pengendalian
Pembangunan (SP3). Ini menunjukkan bahwa remote sensing
telah masuk ke dalam bidang pemerintahan. Pemetaan penutup
tanah seperti bangunan dan fungsinya serta penggunaan lahan
lainnya dipetakan secara digital pada skala 1 : 15.000 dan 1 : 5.000.
Peta spasial tersebut telah dikombinasikan dengan data base
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
199
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
perencaanan melalui GIS. Hasil dari studi ini sangat memudahkan
untuk berbagai tujuan, terutama perencanaan dan pengendalian
pengawasan pembangunan yang berkesinambungan pada kurun
waktu tertentu (Bappeda Kota Denpasar, 2001).
Citra ini dapat digunakan untuk berbagai bidang lainnya
seperti keperluan pembangunan yang dilakukan oleh dinasdinas/instansi teknis yang berkaitan dengan data base spasial.
Keakuratan data tersebut, maka banyak dinas/unit terkait
memerlukannya, seperti untuk data base sektor PU, Tata Kota dan
Bangunan, Pajak, Lalu lintas, Industri dan Perdagangan. Demikian
pula untuk penelitian mahasiswa dan dosen, serta untuk revisi
tata ruang. Berbagai jenis citra yang dipasarkan saat ini, memacu
kita untuk memilih jenis citra mana yang sesuai dengan tujuan
kegiatan dan tingkat ketelitian yang dibutuhkan.
Bila data satelit akan digunakan untuk pemetaan tanah,
maka data harus diperoleh dalam sebagian tahun dimana sedikit
ada tutupan vegetasi, dan pada saat tanaman telah dipanen. Kita
mungkin ingin memilih citra pada saat daerah tidak terlalu kering,
sehingga perbedaan drainase tanah masih tampak. Bila tujuan
pekerjaan adalah lebih berorientasi ke pertanian atau bertujuan
untuk pemetaan penutup lahan dan penggunaan tanah, citra
harus dipilih dari suatu periode dimana ada tanaman di lapangan.
Tergantung pada daerahnya, kita harus melihat waktu kapan
dilakukan irigasi, atau kapan tanaman tertentu telah dipanen dan
lainnya masih ada di lapangan. Untuk itu data iklim sangat berguna
untuk mengecek awal dan akhir musim hujan. Jadwal tanam untuk
suatu daerah akan menunjukkan kapan tanaman tertentu ditanam,
kapan irigasi digunakan (jika ada), dan kapan panen dilakukan.
Selain itu pemilihan resolusi spectral, spasial dan temporal dari
sensor perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan yang tepat.
Data Landsat TM mempunyai resolusi spectral yang lebih
tinggi (termasuk satu band thermal), sedangkan SPOT dan IKONOS
mempunyai resolusi spasial yang disempurnakan tetapi hanya
mempunyai tiga band spectral. Untuk pemantauan kerusakan
alam, kebakaran hutan dsb, diperlukan resolusi temporal yang
tinggi, yang kini hanya dihasilkan oleh NOAA atau MeteoSat. Hal
ini didasarkan pada tingkat kedetailan yang dapat direkam oleh
satelit ditentukan oleh resolusi spasial dari sistem sensor.
200
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Walaupun generasi terbaru satelit beresolusi tingi telah
diluncurkan, tetapi masih ada hal-hal tertentu yang tidak dapat
dilakukan dengan citra satelit, terutama pada daerah yang selalu
tertutup awan. Sesuatu hal masih terbaik dilakukan dengan foto
udara, atau dilakukan di lapangan (survei dan pemetaan tingkat
sangat detail).
Teknologi remote sensing banyak digunakan oleh masyarakat
luas, baik oleh para akademisi, praktisi, hukum maupun politisi
dan kemiliteran. Di kalangan akademisi/peningkatan SDM,
remote sensing telah digunakan dalam kegiatan Tri Dharma
Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian
pada masyarakat. Dalam bidang pendidikan teknologi remote
sensing merupakan mata kuliah inti dan institusional di Fakultas
Pertanian, khususnya Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Geodesi,
Fakultas Geologi dan Pertambangan, Fakultas Geografi, Fakultas
Kehutanan, Fakultas Teknik Sipil, Fakultas Planologi, Fakultas MIPA,
Antropologi dan Program Studi Lingkungan. Bidang penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat: teknologi remote sensing telah
digunakan di berbagai bidang ilmu, terutama dalam pemetaan
rona lingkungan fisik dan sosial, kemiliteran dan pemerintahan.
Pemanfaatan teknologi remote sensing di masa datang
tidak hanya digunakan dalam kaitannya dengan pemanfaatan
dan pengelolaan potensi sumberdaya lahan, pembangunan
dan pengembangan wilayah. Namun, akan digunakan sebagai
persyaratan utama dalam perencanaan tata ruang pada berbagai
tingkatan dan revisinya, serta kebutuhan pembangunan pada
umumnya pada era otonomi dan era globalisasi yang menuntut
penguasaan teknologi informasi. Untuk itu gabungan remote
sensing dan GIS, merupakan cara yang terbaik dalam mensolusikan
pembangunan di masa datang.
Pemanfatan teknologi remote sensing untuk pemetaan
potensi sumberdaya yang berkaitan dengan data dan informasi
spasial akan dapat meningkatkan kinerja dan kualitas laporan.
Dalam LAKIP terdapat tolok ukur berupa indikator sasaran yang
terukur dan periodik. Berdasarkan uraian di atas, maka remote
sensing berperan awal dalam proses perencanaan pembangunan
berkelanjutan, kemudian digunakan dalam pemantauan dan
evaluasi dan diakhiri untuk pengawasan hasil-hasil pembangunan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
201
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
pada kurun waktu tertentu.
Rekaman data yang otentik dan mutakhir secara berkala
yang dimiliki oleh teknologi ini telah digunakan di berbagai bidang.
Bahkan dalam perkembangannya telah memasuki ke berbagai
bidang, seperti kedokteran (bedah) dan hukum (kasus kehutanan,
lingkungan dan pengawasan). Di masa mendatang bukan mustahil
ahli remote sensing akan berperan penting sebagai saksi ahli
di pengadilan, seperti kasus-kasus pencemaran lingkungan,
kerusakan hutan, sengketa tanah, batas-batas pemilikan dan
batas wilayah administratif, degradasi sumberdaya lahan, evaluasi
dan revisi tata ruang, pajak bumi dan bangunan, pengawasan
pembangunan, pemberitaan dan kebijakan yang berkaitan dengan
obyek spasial di suatu wilayah.
Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
Pengelolaan Lahan Berkelanjutan
Pertumbuhan dan kepadatan penduduk berperan penting
dalam eksploitasi dan kelangkaan sumberdaya serta meluasnya
perubahan penggunaan lahan. Ini berakibat cepat terhadap
perubahan lingkungan, baik secara lokal, nasional maupupun global.
Aktivitas manusia yang berlebihan menyebabkan pembabatan
hutan, yang berimplikasi terhadap berkurangnya keanekaragaman
vegetasi, kelangkaan sumberdaya air dan degradasi tanah, yang
bermuara terhadap permasalahan lingkungan secara luas. Untuk
mencari solusi permasalahan ini dan untuk meyakinkan generasi
yang akan datang untuk mendapatkan manfaat yang lebih baik
dari sumberdaya alam, maka diperlukan manajemen yang lebih
berhati-hati terhadap sumberdaya ini.
Manajemen sumberdaya lahan yang baik diperlukan
dukungan dari ahli perencana, manajer dan peneliti yang dapat
memahami keragaman faktor-faktor yang terlibat dalamnya.
Mereka harus mengumpulkan dan menginterpretasikan data
yang diperlukan dan bekerja bersama-sama dengan para ahli
dari berbagai disiplin ilmu yang lain.
Pengembangan yang
berekelanjutan memerlukan implementasi bidang ekologis,
pertumbuhan ekonomi dan kebijakan sumberdaya yang dapat
diterima secara sosial.
202
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Manajemen lahan berkelanjutan (sustainable land
manajement/SLM) adalah kombinasi teknologi manajemen lahan,
kebijakan dan aktivitas yang bertujuan memadukan prinsip
sosio-ekonomik dengan keterkaitan lingkungan secara simultan,
meliputi: (1) mempertahankan atau meningkatkan produksi dan
pelayanan, (2) mengurangi resiko tingkat produksi, (3) melindungi
potensi sumberdaya alam, mencegah degradasi tanah dan kualitas
air, (4) pertumbuhan ekonomi wilayah, dan (5) secara sosial dapat
diterima (Dumanski, 1993; dalam De Bie, et al. 1995).
De Bie, et al. (1995) mengemukakan bahwa manajemen lahan
berkelanjutan merupakan paradigma baru dalam mengelola lahan,
karena akan menjadi sesuatu yang berdasarkan pengetahuan dari
pada berdasarkan input dari kegiatan pertanian. Lahan dikelola
secara interdisipliner, seperti ahli agronomi, ahli tanah, ahli
sosial ekonomi dan ahli perencanaan penggunaan lahan. Para ahli
tersebut akan lebih mudah dan efisien dalam mengkomunikasikan
peranannya sebagai informasi untuk masyarakat pengguna.
Keterkaitan lingkungan dan data potensi SDL merupakan
basis utama dalam pengelolaan lahan berkelanjutan karena akan
berimplikasi terhadap produksi, degradasi lahan dan pertumbuhan
ekonomi wilayah. Kriteria SLM dan penggunaan lahan spesifik
banyak diteliti oleh para ahli tanah, ahli sumberdaya lahan, ahli
pertanian dan para kelompok yang berkepentingan terhadap
kelestarian lingkungan serta para perencana penggunaan lahan.
Kenapa dilakukan menajemen SDL berbasis lingkungan
atau manajemen lahan berkelanjutan? Jawaban yang tepat adalah
adanya permasalahan pertumbuhan penduduk, yang membutuhkan
pangan dan ruang. Selain itu sering terjadi degradasi lahan dan
kerusakan lingkungan akibat dari salah penggunaannya. Kesalahan
dalam pengelolaan lahan akan menyebabkan terjadinya degradasi
kualitas dan produktivitas lahan. Oleh karena itu, degradasi
lahan lebih sering diakibatkan oleh kegiatan manusia yang dapat
menghilangkan fungsi biologis dari lahan tersebut.
Penyumbang utama degradasi lingkungan adalah kegiatan
awal yang tidak benar, seperti penebangan hutan yang berlebihan,
konversi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan
dan kesesuaian lahannya. Untuk itu sebelum melakukan penelitian
atau merancang pengelolaan lahan berbasis lingkungan, perlu dikaji
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
203
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
terlebih dahulu sifat tanah dan jenis penggunaan lahannya pada
suatu wilayah tertentu dan sejarah penggunaannya. Penggunaan
lahan adalah suatu seri operasional terhadap lahan, yang
dilaksanakan oleh manusia dengan tujuan untuk mendapatkan
produk dan atau keuntungan melalui penggunaan SDL
Sumberdaya alam beresiko terhadap penggunaan lahan yang
tidak berkelanjutan, termasuk tanah, air, atmosfer, flora dan fauna.
Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai penelitian tentang erosi
tanah yang menunjukkan bahwa berbagai kemungkinan tingkatan
erosi akibat dari pengaruh penggunaan lahan terhadap lahan.
Penutup permukaan tanah berfungsi melindungi lahan terhadap
potensi kehilangan tanah. Perubahan dalam penutup lahan, melalui
penggunaan lahan, sering kali memicu kerusakan lingkungan yang
tak terpulihkan (degradasi berat) terhadap sistem ekonomi. Pada
kondisi ini lahan tidak dapat digunakan dan harus dipulihkan
kembali kualitasnya.
Degradasi Lahan
Hasil penelitian Lanya (1994) menunjukkan bahwa
degradasi lahan yang diakibatkan oleh fenomena alam jauh
lebih kecil dibandingkan dengan akibat campur tangan manusia.
Selanjutnya didapatkan bahwa faktor manusia dapat menyebabkan
terjadinya degradasi morfologi tanah akibat dari salah pengelolaan
yang berimplikasi terhadap degradasi sifat fisik dan kimia
tanah. Disusul oleh degradasi produktivitas lahan dan berakhir
pada degradasi kesejahteraan ekonomi petani dan kemiskinan
subsisten. Penyebab utama degradasi adalah kekeliruan dalam
perencanaan alokasi penggunaan lahan. Adapun perencanaan
penggunaan lahan sebagai suatu proses pembuatan kebijakan
yang memfasilitasi alokasi penggunaan lahan dan harus dapat
memberikan keuntungan paling besar, baik nilai ekonomi, niali
sosial maupun nilai lingkungan.
Penelitian tingkat degradasi lahan yang lebih mendetail
dari identifikasi tanaman indikator dengan menggunakan sarana
penginderaan jauh, survei dan evaluasi lahan di lapangan, hasil
analisis tanah dilaboratorium dan pengujian produktivitas tanah
dengan berbagai input dan konsep rehabilitasinya telah dilakukan
di lahan kering daerah Transmigran, WPP VII, Rengat, Kabupaten
204
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Indragiri Hulu Riau (Lanya, 1995).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa luas dan sebaran
vegetasi alang-alang di lahan usaha Transmigran merupakan
indikator terjadinya tingkat degradasi lahan. Tutupan vegetasi
alang-alang dan sebarannya dapat dipetakan dengan mudah
melalui teknologi remote sensing (citra Landsat MSS dan citra
SPOT). Selanjutnya dikemukakan bahwa pengelolaan lahan sangat
tergantung dari tingkat degradasi lahan. Kualitas dan produktivitas
tanah yang terdegradasi-ringan dapat dipulihkan hanya dengan
cara pemberian pupuk organik atau pupuk kimia dan pupuk
mineral.
Tanah-tanah yang terdegradasi-sedang perlu diberikan
pupuk kimia dengan dosis paket dan pupuk organik; sedangkan
tanah-tanah terdegradasi-berat perlu dipupuk organik dan pupuk
kimia dosis tinggi. Demikian pula tanah terdegradasi sangat berat,
maka kualitas tanah hanya dapat dipulihkan melalui pembelukaran
atau penghutanan kembali. Dari hasil penelitian tersebut juga
diperoleh sistem klasifikasi degradasi lahan yang didasarkan atas
pembobotan dan score dari faktor-faktor penyebab degradasi
lahan. Degradasi morfologi tanah berbobot lebih tinggi dari
degradasi sifat fisik dan kimia tanah, karena mempunyai efek
ganda terhadap faktor lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kesalahan
pengelolaan lahan akan menurunkan kualitas lingkungan fisik dan
sosial ekonomi masyarakat setempat.. Hasil penelitian Holden dan
Simanjuntak (1994) di daerah yang sama mendapatkan bahwa
65% transmigran berada di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya,
pengelolaan lahan yang tepat dengan komoditas unggulan yang
kompetitif dan komparatif dapat meningkatan kesejahteraan
masyarakat dan melestarikan SDL yang tersedia secara optimal
(pola PIR).
Dalam penelitian tersebut juga didapatkan bahwa untuk
tujuan perencanaan penggunaan lahan secara berkelanjutan,
maka dalam proses evaluasi perlu dilakukan secara bertahap.
Tahap pertama adalah seleksi iklim, tahap kedua seleksi landform
dan relief, tahap ketiga seleksi penggunaan lahan saat itu. Tahap
terakhir survei dan evaluasi lahan dari hasil lapangan dan
laboratorium. Tahap kedua dan ketiga dapat dikerjakan dengan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
205
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
mudah melalui teknologi remote sensing. Apabila pada tahap
pertama sampai ke tiga tidak memenuhi persyaratan, maka tidak
perlu dilanjutkan pada tahap berikutnya (survei dan pengamatan
lapang) yang membutuhkan dana banyak dan waktu cukup lama.
Tahapan pengelolaan lahan berkelanjutan dari hasil
penelitan tersebut meliputi: (1) Interpretasi citra untuk identifikasi
landform, relief, penggunaan lahan dan lahan yang terdegradasi,
(2) Klasifikasi degradasi untuk mengetahui tingkat degradasi
lahan kering, (3) Evaluasi lahan bertahap dan perwilayahan
komoditas untuk merencanakan penggunaan lahan berkelanjutan
dan uji produktivitas untuk menentukan jenis dan jumlah masukan
(input) dalam kaitannya dengan produktivitas lahan.
Sistem Informasi Lahan sebagai Dasar dalam Pengelolaan
Lahan Berkelanjutan
Model Managemen Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
(model MSL) dikaji dari berbagai aspek, di antaranya (1) produksi/
hasil tanaman (kecenderungan dan keragaman), (2) keseimbangan
hara, (3) pemeliharaan penutup tanah, (4) kualitas tanah, (5)
kualitas dan kuantitas air, (6) keuntungan usahatani bersih, dan
(7) konservasi lahan. Adapun tujuan MSL untuk menghasilkan
produk pertanian secara berkelanjutan dengan mengkonservasi
sumberdaya lahan yang berbasis lingkungan, dapat dianalisis
melalui rumus:
| MSL- Tujuan MSL | = ƒ | Parameter MSL |
Salah satu model MSL yang mudah dimengerti adalah,
model regresi yang sesuai dengan kondisi wilayah setempat.
Dalam analisis regresi respons tanaman dinyatakan sebagai fungsi
dari lingkungan tertentu dan variabel manajemen. Suatu variabel
lingkungan dinyatakan dengan data tanaman dan atau data
lingkungan lainnya. Proses penilaian karakteristik dan kualitas
lahan terhadap persyaratan pertumbuhan tanaman dinamakan
evaluasi lahan yang dijabarkan melalui fungsi-fingsi lahan dan
tanaman, seperti: Respon tanaman (X) = ƒ (lingkungan + variabel
lingkungan).Valiabel lingkungan (X) = ƒ (tanaman dan atau
variabel lingkungan lainnya + variabel manajemen)
206
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Beberapa pendekatan model MSL yang sudah dilakukan
di Indonesia, seperti (1) Metodologi Zone Agroekologi ( ZAE), (2)
Klasifikasi kemampuan lahan, (3) Evaluasi lahan irigasi pertanian,
pertanian lahan kering, kehutanan, (4) evaluasi manajemen lahan
berkelanjutan, (6) perencanaan penggunaan lahan, (7) Evaluasi
lahan dan metodologi analisis sistem pertanian, analisis perbedaan
hasil, (8) Pendugaan dampak lingkungan untuk pertanian, (9)
Analisis agroekosistem dan agroekonomi, dan (10) Perwilayahan
komoditas dan pengelolaan lahan berkelanjutan.
Dalam perkembangannya studi zonasi agroekologi dan
kependudukan atau perwilayahan komoditas berdasarkan kelas
kesesuaian lahan agroekosistem merupakan salah satu penggunaan
lahan berkelanjutan berdasarkan kemampuannya. Pada daerah
perdesaan dimana pelaku pertaniannya diperankan oleh petani
langka modal, lahan sempit, miskin iptek dan aksesibilitas serta
penguasaan pasar lemah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
berbagai permasalahan dalam pengelolaan lahan, terutama pada
lahan marjinal, berlereng dan berbahan induk batuan sedimen
yang terbentuk dari landform struktural. Kondisi seperti ini banyak
ditemui di wilayah perdesaan terpencil dan kegiatan bertani
dengan sistem perladangan berpindah.
Sistem perladangan berpindah merupakan sistem yang
berkelanjutan untuk kondisi lahan berkualiats rendah dan
profil petani miskin. Karenanya, untuk pertanian menetap dan
peningkatan produksi diperlukan input tinggi dan penggunaan
teknologi konservasi apabila digunakan untuk tanaman semusim
dan setahun. Pola perladangan berpindah di daerah pedalaman yang
tidak mempunyai sumberdaya tidak nyata (ruang, aksesibilitas,
sarana prasarana) sangat mudah diamati dan dipetakan melalui
teknologi remote sensing. Hasil penelitian monitoring perubahan
penggunaan lahan di kawasan Siberida (Riau), dan sekitarnya
mendapatkan bahwa kecepatan perladangan selama 18 tahun
(1973-1991) seluas 48 ha/tahun, hutan karet rakyat meningkat
413 ha/tahun, perkebunan meningkat 4197 ha/tahun, hutan
primer berkurang 6251 ha/tahun (Lanya dan Bruvol, 1993).
Perlu diketahui bahwa sistem perladangan di wilayah
Siberida, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau hanya setahun (tahun
berikutnya pindah). Berbeda dengan di wilayah Jambi yang pada
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
207
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
umumnya dilakukan selama 3 tahun, baru pindah. Setelah diteliti
lebih jauh ternyata terdapat perbedaan kualitas tanah. Tanahtanah di Siberida mengandung Al-dd lebih tinggi dari tanahtanah di Jambi. Kandungan mineral tanah-tanah di wilayah Jambi
umumnya didominasi oleh mineral kaolinit (tipe 1:1), sedangkan
di daerah Siberida mineral smektit-interlayer hidroksida (tipe
2:1). Berdasarkan tipe mineral dan kandungan Al-dd tersebut,
maka pengelolaan lahan secara tradisionalpun berbeda. Dengan
perbedaan waktu berladang tersebut dan pembelukaran selama
5-15 tahun, tidak terjadi degradasi tanah. Berbeda dengan daerah
permukiman transmigrasi, dimana dilakukan pertanian menetap,
maka lahan yang ada terjadi degradasi sedang sampai berat,
bahkan tidak dapat pulih kembali.
Perbaikan kualitas lahan memerlukan biaya yang sangat
tinggi dan hanya mungkin dengan modal yang tinggi dan alokasi
penggunaan lahannya untuk hutan industri. Peran evaluasi
lahan sangat penting pada awal perencanaan, agar tidak terjadi
kerusakan sumberdaya. Selanjutnya evaluasi kesesuaian lahan
ditujukan untuk mencocokkan kualitas lahan dengan persyaratan
pertumbuhan tanaman dan tindakan pengelolaannya.
Kualitas dan produktivitas lahan perlu dikaji dan diteliti
sebelum digunakan untuk tujuan tertentu. Zonasi lahan atau
dikenal zone agroekologi merupakan alternatif sistem informasi
lahan, yaitu mengelompokkan suatu wilayah berdasarkan keadaan
fisik lingkungan yang hampir sama, dimana keragaman tanaman
dan hewan tidak berbeda nyata. Komponen agroekosistem adalah
iklim, fisiografi dan tanah. Ketiga komponen tersebut satu sama
lain terkait dan sebagai unsur utama sumberdaya lahan. Zonasi
ini akan lebih cepat dan teliti bila menggunakan teknologi remote
sensing, terutama dalam pengelompokan dan pembatasan satuan
lahan homogen pengelolaannya.
Analisis zone agroekologi ditujukan untuk (1) menyusun
data dan informasi tentang keadaan biofisik dan data sosial
ekonomi di suatu wilayah ke dalam suatu data base dan GIS, (2)
analisis kesesuaian beberapa jenis tanaman komoditas pertanian
dan kesesuaian teknologi di suatu wilayah, (3) identifikasi
berbagai komoditas pertanian unggulan, spesifik lokasi dan
kebutuhan teknologi, dan (4) memberikan masukan dalam rangka
208
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
perencanaan penelitian, pengkajian dan pengembangan komoditas
unggulan.
Dalam pendekatan agroekosistem merupakan perpaduan
antara potensi SDA, SDM dan Iptek; memadukan sumberdaya
kapital, kelembagaan dan teknologi dengan pendekatan wilayah.
Dengan kata lain, peranan evaluasi dan zonasi lahan sangat
penting dalam kegiatan alokasi ruang yang ada dalam tata ruang
wilayah. Tanpa adanya data dan informasi spasial yang tepat dan
akurat serta mutakhir, maka perencanaan penggunaan lahan dan
alokasi ruang akan banyak mengalami kekeliruan. Berdasarkan
hal tersebut di atas, maka penggunaan teknologi remote sensing
mutlak diperlukan untuk pembuatan tata ruang pada berbagai
tingkatan dan revisinya.
Pengelolalan lahan berkelanjutan tidak hanya pada lahan
yang telah digunakan, baik berupa lahan marginal, maupun lahan
yang subur, namun pada lahan yang telah terdegradasi. Pengelolaan
lahan terdegradasi dinamakan rehabilitasi lahan, agar dapat
digunakan kembali dan berproduksi secara berkelanjutan. Seperti
kita ketahui bersama, bahwa pada landform struktural pada
umumnya dijumpai tanah-tanah marginal. Tanah ini mempunyai
karakteristik dan kualitas lahan lebih rendah dari tanah-tanah
yang berasal dari landform volkanik. Rendahnya kualitas tersebut
disebabkan oleh sifat fisik dan kimia tanah tergolong tidak baik,
sehingga mudah tererosi, bersifat racun bagi tanaman (Al dan Fe).
Tanah-tanah
mineral bermasalah atau tanah masam
sering dijumpai di landform struktural. Apabila digunakan tidak
sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya, maka sering
terjadi degradasi lahan. Degradasi lahannya sejalan dengan waktu
pembukaan lahan dari hutan ke lahan pertanian tanaman pangan.
Produktivitas hanya 20 % pada lahan terdegradasi berat. Sistem
pertanian tradisional, menetap di lahan ini mengalami degradasi
morfologi tanah 1-98-2,54 cm/th yang disusul oleh degradasi sifat
fisik dan kimia tanah (C-org, P dan Al-dd). Umur penggunaan hanya
2 tahun. 4 tahun merupakan batas kritis dan lebih dari 6 tahun
tidak dapat balik (pertanian tidak berkenajutan). Berdasarkan
uraian tersebut, maka: kualitas lahan merupakan fungsi dari
karakteristik lahan dan manajemen penggunaan lahan. sedangkan
kesinambungan pertanian lahan kering adalah fungsi dari kualitas
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
209
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
lahan dan tipe penggunaan lahan/manajemen.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa perbedaan pengelolaan
lahan didasarkan atas perbedaan tingkat degradasinya. Lahan yang
terdegradasi atau mempunyai kualitas tanah jelek diperlukan
input tinggi (high input technology), terutama input sarana
produksi. Berbeda dengan kualitas tanah yang baik, maka dapat
diterapkan teknologi masukan rendah ( low input technology).
Tanah-tanah seperti ini banyak ditemukan di landform volkanik
muda, seperti di Bali, Lombok dan daerah pegunungan volkan
lainnya. Walaupun demikian untuk peningkatan produktivitas
tanaman tetap diperlukan masukan sesuai dengan kebutuhan
tanaman, mengingat tanah telah digunakan secara intensif dan
terus menerus, sehingga cadangan hara semakin lama semakin
berkurang. Dalam hal ini pemupukan berimbang (pupuk kimia,
organik dan mineral) tetap diperlukan untuk berbagai kegiatan
usahatani dan yang bernilai nilai ekonomi tinggi.
Tanah yang berada di landform volkanik pada umumnya
berkualitas baik. Sifat kimia, seperti: KTK dan KB, K tanah
tergolong sedang sampai sangat tinggi, pH medium-netral tekstur
sedang-kasar. Hasil penelitian Lanya (2000), menunjukkan bahwa
usahatani padi sawah di Bali tidak membutuhkan pupuk kalium,
karena kandungan K tanah dan air sangat cukup untuk kebutuhan
tanaman padi. Sebaliknya untuk P dosis yang direkomendasikan
perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan tanaman (150 kg –
200 kg SP36). Pada kondisi air yang cukup, maka manajemen lahan
pada landform volkanik lebih mudah dari landform struktural.
Penggunaan input rendah (bahan organik dan pupuk
dan pasir gunung) masih memungkinkan lahan sawah dapat
berproduksi setara dengan pupuk dosis paket. Penelitian Lanya
(1999 dan 2000) menunjukkan bahwa penambahan pupuk
mineral dapat meningkatkan produktivitas melon dan jeruk
berkisar antara 125% sampai 158% dan mutu buah (gula total)
meningkat 109-300%, sesuai dengan dosis yang diberikan; warna
kulit melon lebih kuning dan warna kulit jeruk lebih kuning dan
keras. Pendapatan petani melon meningkat 141% sampai 238%.
Dari hasil kaji tindak juga diperoleh hasil, bahwa penambahan
pupuk mineral-plus dapat meningkatkan kadar gula buah salak.
Perbaikan kualitas produk pertanian merupakan salah satu
210
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
solusi dari issu strategis yang selama ini mengemuka, baik untuk
penunjang pariwisata, maupun untuk konsumsi dan pelengkap
upakara.
Berdasarkan hasil kaji tindak di Bangli dan Tabanan,
menunjukkan bahwa kualitas buah salak (rasa manis) sangat
ditentukan oleh kandungan unsur hara tanah. Melalui penambahan
pupuk mineral-plus permasalahan kualitas buah salak Sibetan
yang ditanam di daerah lain (Tabanan dan Bangli) telah teratasi.
Penemuan ini akan diaplikasikan untuk daerah lainnya oleh
Departemen Pertanian Pusat (taraf penyusunan proposal).
Identifikasi lingkungan tumbuh yang sesuai untuk tanaman salak
dan komoditas unggulan lainnya sangat mudah melalui sarana
remote sensing. Untuk wilayah Bali telah dilakukan perwilayahan
komoditas pertanian dan perkebunan berdasarkan kesesuaian
lahan agroekosistem skala 1: 25.000 (Bappeda Propinsi Bali, 19961997).
Karakteristik landform, bentuk wilayah, relief diperoleh
dari citra, sedangkan data iklim dan sifat-sifat tanah diperoleh dari
data sekunder atau survei langsung di palangan. Proses ini disebut
dengan evalusi kesusuaian lahan agroekosistem, dimana kualitas
lahan dipadukan dengan persyaratan tumbuh tanaman. Dalam
evaluasi lahan juga dapat teridentifikasi kelas kesesuaian lahan
untuk berbagai jenis tanaman dan faktor pembatasnya. Selain
itu usaha perbaikan, arahan penggunaan dan pengelolaan lahan
didasarkan atas faktor pembatas. Kesesuaian lahan agroekonomi
perlu dipadukan dengan kesesuaian lahan agroekosistem
agroekonomi dan kondisi sosial setempat, agar lahan dapat dikelola
secara berkelanjutan dan dapat mensejahterakan masyarakat tani
setempat.
Keberlanjutan lahan pertanian juga dipengaruhi oleh
beberapa nilai, diantaranya adalah nilai fisik, nilai sosial, nilai
ekonomi, nilai lingkungan dan nilai umum. Nilai fisik banyak
dipelajari dan ditulis oleh para ilmuwan dan akademisi. Nilai
lainnya yang lebih besar pengaruhnya terhadap konversi lahan
pertanian ke non-pertanian adalah nilai ekonomi, nilai sosial dan
nilai lingkungan. Nilai fisik (produktivitas pertanian) yang rendah
tergeser oleh nilai ekonomi yang semakin hari semakin meningkat.
Peningkatan nilai ekonomi tanah yang pesat dapat menggeser
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
211
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
nilai lingkungan dan sosial budaya yang sangat tinggi, bahkan
dapat menghilangkan warisan budaya. Walaupun nilai fisik lahan
pertanian di daerah perkotaan jauh lebih rendah dari nilai ekonomi,
namun dari segi lingkungan dan sosial budaya mempunyai nilai
yang sangat tinggi dan luhur untuk menjaga ekosistem perkotaan
yang baik. Persediaan lahan untuk pembangunan di wilayah
perkotaan sebagian besar berupa lahan persawahan yang ada
dalam wilauah subak.
Hilangnya wilayah (palemahan) subak yang berimplikasi
terhadap lepasnya anggota (pawongan) subak, terindikasi
melunturnya budaya agraris dan tergantikan oleh budaya
kota. Budaya agraris dicirikan oleh sifat seperti air yang penuh
dengan kedamaian, kebersamaan dan musyawarah digantikan
oleh munculnya budaya kota yang ditandai dengan sifat egoisme
individu, saling mendahului dan kemacetan. Pada kondisi yang
demikian usaha konservasi lahan tidak dapat dilakukan hanya
secara fisik saja, namun diperlukan perangkat hukum, baik pada
tingkat pusat, maupun daerah. Selain itu perlu dilakukan revitalisasi
sistem pertanian, dari subsistem ke pertanian profesional yang
padat modal, iptek dan penguasaan pasar.
Berdasarkan uraian di atas, maka konservasi lahan
pertanian produktif, seperti tanah-tanah pertanian di Bali adalah
revitalisasi sistem pertanian. Dari kesesuaian lahan agroekosistem
ke kesesuaian lahan agroekonomi yang mempunyai daya kompetitif
dan komperatif di pasar dengan tetap berada pada koridor
sistem subak. Sistem ini telah banyak dipelajari oleh para ahli
pertanian mancanegara, sementara itu usaha pelestarian subak
oleh masyarakat tani sangat lemah. Hal inilah yang menyebabkan
konversi lahan subak sangat tinggi, terutama di wilayah perkotaan.
Dengan kata lain, faktor pembatas utama keberlanjutan adalah
laju konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian. Dalam
kondisi demikian maka usaha konservasi lahan dilakukan melalui
perangkat hukum, seperti kawasan RTHK dengan KDB 0 % dan
insentif terhadap PBB dan atau sarana prasarana usahatani serta
pendampingan pemasaran.
Hasil penelitian potensi sumberdaya lahan dengan sistem GIS
yang dipadukan dengan teknologi remote sensing (citra IKONOS) di
wilayah Kota Denpasar, selama 10 tahun (1992-2002) telah terjadi
212
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
kehilangan lima wilayah subak dari 46 menjadi 41 subak dengan
kehilangan luasan sawah sebesar 291 ha/th. Sembilan subak
lainnya berpotensi hilang (>90%) dan 10 subak lainnya kehilangan
luas wilayah 60% sampai 80%. Selama 10 tahun terakhir ini telah
kehilangan 50,25% wilayah subak yang terkonversi menjadi
lahan non-pertanian, terutama untuk permukiman dan sarana
penunjangnya. Hal ini terjadi karena lahan yang tersedia di Kota
Denpasar umumnya berupa lahan persawahan.
Sistem informasi sumberdaya lahan subak di Kota Denpasar
telah dibangun melalui pemanfaatan teknologi remote sensing
yang dikombinasikan dengan GIS dari hasil penelitian tersebut.
Berdasarkan penelusuran data dan informasi, ternyata belum
adanya batas-batas wilayah subak yang dipetakan secara terukur
dengan ketelitan spasial yang baik. Gejala ini juga terjadi untuk
wilayah lahan kering (batas desa dan banjar). Oleh karena itu,
dilakukan pemetaan batas-batas wilayah subak melalui citra
IKONOS dengan sedikit pengecekan dan pembuktian di lapang.
Selanjutnya, subak/tempek merupakan satuan pengelolaan lahan
homogen, sebagai basis dalam perencanaan dan pengembangan
komotas tanaman.
Seluruh Subak di Kota Denpasar telah dibangun data base
potensi sumberdaya lahan. Struktur data tersebut terdiri dari:
ciri dan kualitas lahan: iklim (curah hujan dan temperatur),
tanah (sifat fisik, sifat kimia, kemampuan dan status kesuburan,
kesesuaian lahan agroekosistem untuk berbagai jenis tanaman
pangan pokok, palawija dan hortikultura, perwilayahan komoditas
dan arahan penggunaan serta pengelolannya. Sistem ini dibangun
dengan menggunakan GIS melalui program Mapinfo (Tim Fakultas
Pertanian UNUD dan Bappeda Kota Denpasar, 2002).
Sistem informasi subak juga telah dibangun melalui Program
Pendampingan Proksidatani tahun 2000. Struktur data berupa luas
areal, jumlah penggarap, jumlah petani dan pemilikan, produksi
dan saran produksi. Langkanya batas subak yang dipetakan dengan
posisi geografis yang benar merupakan kendala dalam proses
perencanaan pengelolalaan sumberdaya yang tepat. Selain itu,
belum adanya subak yang berbadan hukum, merupakan kendala
utama dalam akses permodalan lewat perbankan, serta akses
pemasaran. Fenomena ini diidentifikasi dan didiskripsi selama
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
213
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
program Pendampingan Proksidatani di Propinsi Bali. Untuk itu
salah satu pemberdayaan subak adalah peningkatan status hukum
serta program pendampingan dalam kurun waktu tertentu.
Subak-subak yang berada di dalam radius 3 – 4 km dari
pusat kota Denpasar (patung Catur Muka) mengalami konversi
lahan yang tinggi, sedangkan subak yang berada pada radius > 5
km dari pusat kota pada umumnya tidak terkonversi. Kondisi ini
juga didukung oleh Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar
(1999). Hasil pemantauan penggunaan lahan dari citra IKONOS
menunjukkan bahwa di beberapa tempat terjadi pelanggaran
terhadap ruang terbuka hijau kota (RTHK) dengan KDB 0%,
terutama pada jalur ekonomi tinggi. Luas kawasan terbangun dan
tidak terbangun dapat dipetakan dengan benar melalui citra ini
(Lanya dan Subadiyasa, 2003).
Perkembangan pembangunan, terutama sektor pariwisata
yang pesat dan berimplikasi terhadap pembangunan sektor lainnya.
Keadaan inilah yang menyebabkan luas lahan terbangun dan tidak
terbangun adalah 49,16% berbanding 50,84% (standar normal
40%:60%). Untuk mempertahankan ekosistem perkotaan yang
normal, maka kawasan RTHK dengan KDB % perlu dilestarikan.
Walaupun demikian revisi tata ruang juga masih tetap dibutuhkan
pada tahun 2004 untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan dan
pengendalian pembangunan secara berkelanjutan.
Evaluasi peta rencana tata ruang wilayah, pengukuran
dan pemetaan kawasan terbangun dan tidak terbangun, serta
rona lingkungan hanya dapat dilakukan secara tepat, teliti serta
mutakhir apabila menggunakan sarana remote sensing. Oleh karena
itu, penggunaan teknologi ini sangat urgen dalam perencanaan
tata ruang untuk berbagai tingkatan. Demikian pula untuk
pembangunan dan pengembangan wilayah yang berbasis potensi
sumberdaya. Teknologi ini lebih bermanfaat bila dipadukan dengan
GIS yang dapat menggabungkan antara data base SDL data spasial
yang berupa peta digital. Kedua teknologi ini dapat diakses melalui
sistem informasi teknologi yang dijadikan salah satu indikator
dalam penilaian akuntabilitas pemerintah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam pengelolan
lahan, baik potensi sumberdaya maupun untuk tujuan lainnya
akan lebih cepat, tepat dan akurat, serta efisien waktu dan biaya
214
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
serta mutakhir apabila mengunakan teknologi remote sensing yang
dipadukan dengan GIS. Selain itu teknologi ini akan memasuki
segala aspek perencanaan dan pengawasan pembangunan, baik
bersifat fisik maupun non-fisik. Penggunaan teknologi informasi ini
mampu meningkatkan nilai akuntabilitas yang digunakan sebagai
tolok ukur keberhasilan kinerja pemerintah. Sementara ini dari
citra IKONOS yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Denpasar, telah
digunakan untuk dua penelitian aplikasi dan empat penelitian
mahasiswa S1. Selain itu akan digunakan untuk revisi tata ruang,
kebutuhan Tata Kota dan Bangunan, Perindustrian dll. Untuk itu
Jurusan Tanah Fakultas Pertanian sedang menyusun Rencana
Program Magister untuk Bidang Studi Manajemen Sumberdaya
Lahan bekerjasama dengan International Institute for Aerospace
Survey and Earth Sciences (ITC), Belanda.
Penutup
Teknologi remote sensing tidak hanya untuk inventarisasi
dan pemetaan potensi sumberdaya lahan, tetapi telah banyak
digunakan oleh masyarakat luas, baik kalangan akademisi, praktisi,
hukum, pemerintahan maupun politisi dan kemiliteran. Software
untuk pemetaan penggunaan lahan, kemampuan dan kesesuaian
lahan, manajemen perencanaan penggunaan lahan, izin lokasi,
monitoring penggunaan lahan secara otomatis telah tersedia
melalui program ILUD.
Penggunaan teknologi remote sensing sangat tepat dalam
pengelolaan sumberdaya lahan berkelanjutan. Terkait dengan
ketersediaan data spasial yang akurat dan mutakhir dan dapat
diakses dengan cepat. Kegiatan survei dan pemetaan tanah di
Indonesia, telah mensyaratkan menggunakan teknologi ini.
Demikian pula untuk meningkatkan kualitas perencanaan tata
ruang dan revisinya, serta terjadinya degradasi lingkungan akibat
salah pengelolaan.
Pengelolaan lahan berkualitas rendah dan terdegradasi
berbeda dengan lahan berkualitas baik. Semakin tinggi tingkat
degradasi lahan semakin besar input teknologi yang diberikan
untuk merehabilitasi kualitas dan produktivitasnya. Kualitas lahan
rendah hanya dapat digunakan selama dua tahun. Empat tahun
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
215
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
merupakan batas kritis, enam tahun atau lebih menyebabkan
produktivitas tidak dapat balik. Lahan tersebut sudah tidak
menguntungkan secara ekonomis dan tidak mencukupi kebutuhan
pangan keluarga.
Lahan terdegradasi membutuhkan input teknologi tinggi
(hight inptut technology). Berbeda dengan lahan berkualitas
baik di landform volkanik, peningkatan produktivitas lahan
dilakukan dengan input rendah ( low input technology). Perbaikan
produktivitas dan kualitas hasil (rasa manis dan warna kulit buah)
cukup diperlukan penambahan pupuk sesuai dengan kebutuhan
tanaman dan pupuk mineral plus.
Pengelolaan lahan berkelanjutan dan konservasi lahan
pertanian tidak hanya dapat dilakukan secara fisik dan penambahan
input sarana produksi. Namun dibutuhkan perangkat hukum
untuk melindungi terjadinya konversi lahan secara berlebihan dan
menghindari degradasi lahan akibat dari kesalahan dalam alokasi
penggunaannya.
Sistem informasi sumberdaya lahan dengan menggunakan
teknologi remote sensing dan GIS secara otomatisasi telah
diterapkan di berbagai instansi. Sistem informasi SDL yang berbasis
pada satuan lahan homogen pengelolaan/subak di Depasar telah
menggunakan citra IKONOS dan GIS. Sistem ini dapat diakses
melalui teknologi informasi secara cepat.
Di masa datang citra satelit resolusi tinggi, seperti IKONOS
sangat sesuai untuk perencanaan kota dan perkotaan, manajemen
fasilitas, verifikasi perjanjian, pemberdayaan hukum, keamanan,
reportase berita, survei batas pemilikan tanah dan registrasi lahan,
kependudukan, lalu lintas, pariwisata dan rekreasi, serta sektor
lainnya yang berkaitan dengan fenomena alam. Citra ini akan
berperan penting dalam bidang pemerintahan secara umum.
Teknologi remote sensing berperan efektif dalam proses
awal perencanaan pembangunan berkelanjutan, selanjutnya
untuk alat pemantauan dan evaluasi, serta untuk pengawasan
hasil-hasil pembangunan pada kurun waktu tertentu. Penggunaan
teknologi ini berimplikasi terhadap peningkatan kualitas laporan
yang memerlukan indikator sasaran secara terukur dan periodik.
216
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Indayati Lanya • Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Daftar Pustaka
Bappeda Propinsi Bali. 1998. Penelitian Perwilayahan Komoditas
Pertanian di 9 Kabupaten/ Kota , Propinsi. Daerah Tingkat I
Bali. Bappeda Propinsi Bali. Denpasar.
Bappeda Kota Denpasar, 2001. Pemanfaatan Citra Satelit dan kajian
Pengembangannya dengan Menggunakan Sistem Informasi
Geografis dalam Kaitannya dengan Penerapan Rencana Kota
Denpasar Bappeda Kota Denpasar. Bappeda Kota Denpasar.
2002.
Consultan Assosiation, 1998. GIS Apllication in Land Use Mapping
and Implementation and Control of Land Use Planing. Project
Completion Report. Badan Pertanahan nasional Jakarta.
De Bie.C.A., K.J. Beek, P.M. Driessen, J.A. Zinck. 1995. Towards
Operationalization of Soil Information Sustainable Land
Management. Brazil Soil Conference, ITC. Netherlands. Paper.
Lanya, I. 1996. Tingkat Kepercayaan Pemanfaatan Foto Udara dan
Citra Landsat dalam Pembuatan Peta Tanaman Perkebunan di
Bali. Fakultas Pasca sarjana, Institut Pertanian Bogor. (Tesis
S2)
Lanya, I dan Bente Bruvoll,1994. Aplikasi Remote Sensing untuk
Identifikasi, Pemantauan dan Pemetaan Penggunaan Lahan
di Kecamatan Siberida dan Sekitarnya, Kabupaten Indragiri
Hulu, Riau. Proseding Seminar Rain Forest and Resource
Management, p.3-9 Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Jakarta.
Lanya, I. 1994. Degradasi Lahan di Daerah Transmigrasi
Kecamatan Siberida, Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Dalam
Buku Proseding Seminar Rain Forest Resource Management.
Editor Qyvin Sandbukt and Harry Wiriadinata. Indonesian
Institute of Sciences (LIPI), hal. 105-112.
Lanya, I. 1995. Evaluasi Kualitas dan Produktivitas Lahan Kering
Terdegradasi di Daerah Transmigrasi WPP VII Rengat,
Kabupaten Indrahili Hulu, Riau. Desertasi S3.
Lanya, I. 2001. Peningkatan Produktivitas dan Mutu Buah Melon
serta Usahatani melalui Penambahan Pupuk Mineral, Agritrop
20 (2): 86-90.
Lanya, I. 2002. Evaluasi Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah
untuk Spesifikasi Lokasi Wilayah BPP Propinsi Bali. Agritrop
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
217
Teknologi Remote Sensing dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
21 (2): 57-63.
Lanya, I. 2002. Jeruk Mati Bujang di Lereng Selatan Gunung Batur
Propinsi Bali. Agritrop 21 (2):91-97.
Lanya, I. 2002. Manajemen Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
pada Landform Struktural dan Volkanik. Makalah disajikan
pada seminar Nasional IV Pengembangan lahan kering dan
pertemuan Ilmiah Tahunan HITI, UNRAM. Mataram.
Lanya, I dan N.N. Subadiyasa. 2003. Sistem Informasi Lahan
Subak dan Evaluasi Tata Ruang Kota Denpasar, Bali. Seminar
Nasional IV HITI . Universitas Andalas. Padang.
Tim Fakultas Pertanian dan Bappeda Kota Denpasar. 2002.
Penelitian Potensi Sumberdaya Lahan dengan menggunakan
GIS di Wilayah Kota Denpasar. Bappeda Kota Denpasar.
(Laporan Penelitian)
Lillesan,TM. And R.W. Kiefer. 1997. Remote Sensing and Image
Interpretation. John. Wiley and Son, New York.
LPM UNUD. 2000. Laporan hasil Pendampingan Program Pemberdayaan
Masyarakat Tani Menuju Ketahanan Pangan Nasional Wilayah Propinsi
Bali. Lembaga Pengabdian pada masyarakat UNUD. Denpasar.
218
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
PERANAN PENYULUHAN DALAM PENGETAHUAN USAHA
DAN SISTEM AGRIBISNIS UNTUK MENOPANG EKONOMI
KERAKYATAN
Nyoman Supartha
Pendahuluan
Pembangunan pertanian telah berhasil meningkatkan
produksi dan produktivitas pangan, khususnya beras. Keberhasilan
tersebut telah mampu mengubah status dari negara pengimpor
beras terbesar di dunia menjadi negara swasembada beras pada
tahun 1984. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dikatakan
menjadi faktor penentu penting atas keberhasilan itu. Pendekatan
sistem penyuluhan yang digunakan selama PJP I (1969-1994)
adalah sistem BIMAS (sejak 1963/1964), sistem LAKU (1976),
sistem INSUS (1979) dan sistem SUPRA INSUS (1986), melalui
inovasi teknologi Sapta Usaha Pertanian secara lengkap (Abbas,
1995). Dibangunnya prasarana transportasi, tersedianya
sarana produksi, kemajuan teknologi, berkembangnya pasar
hasil usahatani, serta adanya insentif bagi usaha tani telah ikut
mendorong laju pertumbuhan itu, senada dengan teori Mosher
(1966) tentang pembangunan pertanian.
Sejak itulah profil petani Indonesia berubah secara positif,
yakni lebih meningkat tingkat pendidikannya, lebih mengenal
kemajuan, kebutuhan dan harapan-harapannya juga tampak
lebih baik. Bahkan, Jarmie (1995) menandaskan bahwa perilaku
petani telah berubah menjadi petani komersial. Artinya, usahatani
dimulai dari membeli sarana produksi di pasar dan berakhir
menjual kembali hasilnya di pasar (bukan petani subsisten).
Namun demikian, perubahan itu belum diikuti oleh
perubahan sikap dan perilaku rasional sebagai manajer usahatani
yang mandiri dan tangguh. Pasar, pemasaran, dan pengolahan
hasil pertanian seolah-olah bukan menjadi bagian penting untuk
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
219
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
diperhatikan oleh petani. Pola pikir petani masih sebatas usahatani,
belum memiliki pola pikir usaha dan sistem agribisnis. Akibatnya,
nilai tambah yang diperoleh petani kecil, maka kesejahteraan
petani pun belum juga meningkat.
Meningkatnya produksi dan produktivitas bukanlah jaminan
bagi peningkatan kesejahteraan petani. Selama pra dan masa PJPI kita telah melihat pertanian secara sangat sempit, yakni hanya
sebagai subsistem produksi atau usahataninya saja. Cara pandang
itu telah berimplikasi kurang menguntungkan bagi pembangunan
pertanian dan pedesaan (Saragih, 1995), yakni pertanian dan
pedesaan hanya sebagai sumber produksi primer yang berasal
dari tumbuhan dan hewan, tanpa menyadari potensi bisnis besar
yang berasis produk-produk primer tersebut.
Oleh karena itu, sejak tahun 1994 (akhir PJP I) pemerintah
telah menetapkan kebijakan baru dalam pembangunan pertanian,
yakni pendekatan agribisnis. Paradigma baru pembangunan
pertanian juga berubah menjadi peningkatan pendapatan
dan kesejahteraan petani. Paradigma petani sebagai “manajer
perusahaan agribisnis” yang berkedudukan setara dengan
perusahaan agribisnis yang berada di hulu maupun di hilir. Petani
memulai aktivitas bisnisnya dari memperhatikan permintaan
dan kebutuhan pasar, kemudian bersinergi dengan perusahaan
agribisnis di hulu untuk memproduksi produk pertanian yang
dibutuhkan pasar. Jika hal ini dapat dilakukan, maka kedudukan
petani akan lebih kuat, dan peningkatan pendapatan atau
kesejehtaraan petani akan semakin dekat. Untuk mengubah
sikap dan perilaku itulah, diperlukan peran penyuluhan pertanian
dengan pendekatan penyuluhan sistem agribisnis.
Konsep Perusahaan dan Sistem Agribisnis
Menurut Downey dan Ericson (1992), agribisnis meliputi
keseluruhan kegiatan manajemen bisnis mulai dari perusahaan
yang menghasilkan sarana produksi untuk usahatani, proses
produksi pertanian (usahatani), serta perusahaan yang menangani
pengolahan, pengangkutan, distribusi penjualan secara borongan
maupun eceran kepada konsumen akhir.
Batasan tersebut menggambarkan bahwa agribisnis
merupakan suatu sistem atau sistem agribisnis (Badan Agribisnis,
220
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
1995), dan sistem merupakan suatu “entitas” (Amirin, 1996), yang
tersusun dari sekumpulan subsistem yang bergerak secara bersamasama dan saling tergantung untuk mencapai tujuan bersama.
Sejalan dengan pengertian tersebut, Departemen Pertanian (2001)
mengedepankan konsep “perusahaan dan sistem agribisnis”, yakni
subsistem agribisnis hulu (perusahaan pengadaan dan penyaluran
sarana produksi), subsistem agribisnis tengah (perusahaan
usahatani), subsistem agribisnis hilir (perusahaan pengolahan hasil
atau agroindustri, pengangkutan, dan perusahaan pemasaran hasil
masing-masing merupakan “perusahaan agribisnis” yang harus
dapat bekerja secara efisien, dan selanjutnya harus melakukan
koordinasi (kebersamaan dan saling ketergantungan) dalam suatu
sistem untuk lebih meningkatkan efisiensi usaha. Subsistem jasa
penunjang (lembaga keuangan, transportasi, penyuluhan dan
pelayanan informasi agribisnis, penelitian kaji terap, kebijakan
pemerintah, dan asuransi agribisnis) berkewajiban memfasilitasi
berjalannya sistem agribisnis tersebut (Gambar 1).
Pendapat yang mengatakan bahwa agribisnis sebagai
perusahaan adalah pandangan dari sisi mikro, yakni agribisnis
itu sebagai suatu unit bisnis dibidang pertanian, yang senantiasa
melakukan pertimbangan–pertimbangan secara rasional, mulai
dari memperoleh sarana produksi, proses produksi, penanganan
pasca produksi, hingga melakukan pemasaran.
Subsistem
Perusahaan
Pengadaan dan
Penyaluran Sarana
Produksi:
*Bibit
*Pupuk
*Pakan
*Obat-obatan
*Alat dan Mesin
*Teknologi
Subsistem
Perusahaan
Produksi
Usahatani:
*Pangan
*Hortikultura
*Ternak
*Ikan
Subsistem Perusahaan
Pengolahan Hasil
(Agroindustri):
Subsistem
Perusahaan
Pemasaran
Hasil:
*Penanganan
Pasca Panen
*Pengolahan
Lanjutan
*Perdagangan
domestik
*Perdagangan
ekspor
Subsistem Jasa Penunjang:
Pengaturan, Penelitian, Penyuluhan, Informasi, Kredit
modal, Transportasi, Asuransi agribisnis dan Pasar
Gambar 1. Konsep Perusahaan dan Sistem agribisnis
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
221
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
Secara prinsip bisnis cara ini sudah benar karena sudah
mempertimbangkan unsur-unsur bisnis mulai dari pengadaan
sarana produksi, pengelolaan usahatani dengan menerapkan
manajemen dan teknologi, pengelolaan pasca panen, dan
memasarkan hasil produksi dengan harga yang paling maksimal.
Namun demikian, cara ini ternyata belum juga mampu mengangkat
nasib petani dari kondisi yang serba sulit dan selalu tertekan.
Hal ini disebabkan kerena para pelaku agribisnis masih
tersekat-sekat antar satu subsistem dengan subsistem lainnya.
Masing-masing pelaku subsistem ingin memperoleh keuntungan
yang sebanyak-banyaknya atas pelaku subsistem lainnya. Dalam
kondisi seperti itu, keuntungan akan lebih banyak dinikmati oleh
subsistem agribisnis hulu maupun hilir, sedangkan subsistem
usaha tani berada pada posisi tertekan di antara kedua subsistem
lainnya, sehingga usahatani memperoleh bagian keuntungan yang
sangat kecil.
Agar semua pelaku sistem agribisnis mendapat peluang
yang adil dalam memperoleh keuntungan, maka cara pandang
kita terhadap agribisnis harus diubah, yang tidak lagi memandang
agribisnis hanya sebagai suatu unit usahatani (secara mikro),
tetapi agribisnis harus dipandang sebagai suatu sistem (secara
makro). Artinya, aktivitas agribisnis itu adalah suatu sistem yang
terdiri dari beberapa subsistem, dimana antara satu subsistem
dengan subsistem lainnya saling terkait dan terpadu untuk
memperoleh nilai tambah yang maksimal bagi para pelakunya
(Badan Agribisnis, 1995), dan sistem ini harus berorientasi kepada
pemenuhan kebutuhan pasar (Saragih, 1998).
Oleh karena itu, struktur agribisnis yang sesuai adalah
struktur agribisnis industrial atau integrasi vertikal. Menurut
Saragih, (1998) integrasi vertikal dapat dilakukan sedikitnya
dengan tiga cara, yaitu (1) berupa pola koperasi agribisnis , (2)
pola usaha patungan, dan (3) pola pemilikan tunggal. Dengan
demikian, petani mempunyai akses untuk menikmati nilai tambah
yang besar yang ada pada subsektor agribisnis hulu dan hilir.
Keberhasilan pengembangan agribisnis sangat ditentukan
oleh keharmonisan kerjasama tim (team work) sumber daya
manusia yang berada pada semua subsistem agribisnis. Kunci
keberhasilan kerjasama tim adalah setiap SDM yang terlibat dalam
222
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
agribisnis, disamping memiliki perilaku yang cukup di bidang
pekerjaannya sendiri (on job skill), harus juga mempunyai perilaku
positif tentang posisi dirinya dalam perusahaan agribisnis, dan
posisi perusahaannya dalam integrasi vertikal agribisnis, serta
wawasan ekonomi secara makro (macro behavior) (Saragih,
1998). Dengan demikian, akan terjalin suatu kerjasama yang solid,
dan berdaya guna dalam pengembangan agribisnis. Contohnya,
kemitraan agribisnis pada ayam ras pedaging.
Fungsi Komponen Subsistem Perusahaan Agribisnis
Masing-masing komponen pelaku perusahaan agribisnis
biasanya membagi diri dalam fungsi dan tugasnya. Sub-sistem
perusahaan agribisnis hulu, berfungsi menghasilkan dan
menyediakan sarana produksi pertanian terbaik agar mampu
menghasilkan produk usahatani yang berkualitas, melakukan
pelayanan yang bermutu kepada usahatani, memberikan
bimbingan teknis produksi, memberikan bimbingan manajemen
dan hubungan sistem agribisnis, memfasilitasi proses pembelajaran
atau perlatihan bagi petani, menyaring dan mensintesis informasi
agribisnis praktis untuk petani, mengembangkan kerjasama bisnis
(kemitraan) yang dapat memberikan keuntungan bagi para pihak.
Sub-sistem perusahaan usahatani sebagai produsen
pertanian, berfungsi melakukan kegiatan teknis produksi agar
produknya dapat dipertanggung jawabkan baik secara kualitas
maupun kuantitas. Mampu melakukan manajemen agribisnis
secara baik agar proses produksinya menjadi efisien sehingga
mampu bersaing di pasar. Oleh karena itu, petani umumnya
memerlukan penyuluhan dan informasi agribisnis, teknologi dan
inovasi lainnya dalam proses produksi, bimbingan teknis atau
pendampingan agar petani dapat melakukan proses produksi
secara efisien dan bernilai tambah lebih tinggi.
Sub-sistem perusahaan agribisnis hilir, berfungsi melakukan
pengolahan lanjut (tingkat sekunder maupun tersier) untuk
mengurangi susut nilai, berupaya meningkatkan mutu produk
agar dapat memenuhi kebutuhan dan selera konsumen, serta
berfungsi memperlancar pemasaran hasil melalui perencanaan
sistem pemasaran yang baik.
Sub-sistem jasa penunjang (penyuluhan, penelitian,
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
223
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
informasi agribisnis, pengaturan, kredit modal, transportasi,
dan lain-lain), secara aktif ataupun pasif berfungsi menyediakan
fasilitas layanan bagi kebutuhan pelaku sistem agribisnis untuk
memperlancar aktivitas perusahaan dan sistem agribisnis. Masingmasing komponen jasa penunjang itu mempunyai karakteristik
fungsi yang berbeda, namun intinya adalah agar mereka dapat
berbuat sesuatu untuk meningkatkan kelancaran penyelenggaraan
sistem agribisnis.
Persoalan Kritis
Skala Usaha Kecil
Fakta empiris menunjukkan bahwa sebagian besar
usahatani berskala-usaha kecil, yang umumnya dilakukan oleh
rakyat. Atas dasar itu pula, dikatakan sebagai usaha pertanian
rakyat atau peternakan rakyat. Sebagian besar peternak ayam
ras pedaging di Jatim dan Bali (73,84%) skala usaha ternaknya
masih di bawah 5.000 ekor (Suparta, 2001), sedangkan di Bali
64,60% skala usahanya peternak masih dibawah 5.000 ekor
(Suparta, 2003). Guntoro(1997) juga melaporkan bahwa ratarata pemilikan sapi oleh peternak di Bali hanya 1-2 ekor per
KK. Peningkatan skala usaha menjadi 4-5 ekor saja masih sulit,
karena keterbatasan modal peternak. Petanian atau peternakan
rakyat umumnya mempunyai berbagai keterbatasan, seperti skala
usaha kecil, modal usaha sangat terbatas, menggunakan teknologi
sederhana, kualitas produksi masih rendah, kontinuitas tidak
terjamin sehingga peka terhadap guncangan pasar, dan mengalami
kesulitan dalam pemasaran hasil.
Dewasa ini terdapat lebih dari 32 juta usaha kecil dengan
volume usaha kurang dari Rp 2 miliar rupiah per tahun, bahkan
90 persen diantaranya usaha kecil dengan volume usaha kurang
dari Rp 50 juta rupiah per tahun. Dari 90 persen tersebut 21,30
juta unit usaha lebih adalah usaha rumah tangga yang bergerak di
sektor pertanian.
Kecilnya skala usahatani ini berdampak kepada lemahnya
posisi tawar (bargainging posistion). Akibatnya, mereka hanya bisa
berusaha dalam kondisi kegureman dengan ruang pengambilan
keputusan (decision space) yang sangat sempit, kurang mampu
224
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
mengakses kredit komersial, lemah dalam perluasan pemasaran,
kurang alih teknologi dan informasi.
Oleh karena itu, skala usaha kecil yang ada dewasa ini harus
ditingkatkan menjadi skala ekonomis. Peningkatan skala ekonomi
(economics of scale) dapat dilakukan melalui koperasi atau program
kemitraan usaha (Saragih, 1995), atau industri peternakan rakyat
(INAYAT) (Ditjen Peternakan, 1994). Pengembangan agribisnis
dan agroindustri yang berskala ekonomis akan bisa menjadi jalur
pendemokrasian ekonomi.
Penguasaan Lahan
Hasil penelitian pada peternak ayam di Bali dan Jawa
menunjukkan bahwa sebagian besar (51,48%) menguasai lahan di
bawah 5000 m2, dan 25,11% antara 5.000 – 10.000 m2 (Suparta,
2001). Penelitian lain yang dilakukan oleh Jabal Tarik Ibrahim di
Malang (2001) juga menunjukkan hal serupa, yakni 46,2% petani
menguasai lahan di bawah 5.000 m2, dan 26,2% antara 5000
– 10.000 m2. Hal ini menandaskan bahwa petani atau peternak
dalam berusahatani sangat dibatasi oleh luas lahan yang dapat
dipergunakan untuk usahatani. Betapa pun baiknya kemampuan
dan kemauan peternak untuk mengembangkan agribisnis, tetapi
jika ketersediaan lahan sangat terbatas maka akan sulit bagi
peternak untuk mengembangkan usahanya secara optimal.
Permodalan Usaha
Petani atau peternak umumnya sangat terbatas dalam
pemilikan modal usaha. Mereka merasa sangat sulit untuk
mengakses modal usaha dari lembaga keuangan formal seperti
perbankan. Faktor pembatasnya adalah tidak punya agunan,
prosedur terasa sulit, takut dengan risiko usaha, dan terbatasnya
informasi dan komunikasi (Suparta, 2003). Mereka merasa lebih
aman mendapatkan modal usaha dari perusahaan inti melalui
cara hubungan kemitraan (terutama ketika terjadi krisis moneter
tahun 1998).
Jika peternak menggunakan fasilitas kredit, maka mereka
merasa lebih mudah mendapat kredit dari lembaga keuangan mikro
dengan tingkat suku bunga yang relatif lebih tinggi. Disinilah letak
ketidak adilan pelayanan bank kepada petani sebagai pengusaha
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
225
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
kecil dibandingkan dengan pengusaha besar. Oleh karena itu,
diperlukan model kemitraan usaha agar petani mampu mengakses
sejumlah modal yang diperlukan untuk melanjutkan usahanya.
Tingkat Pendidikan
Pada umumnya tingkat pendidikan petani masih sangat
rendah (sebagian besar SD sampai SMP). Ibrahim (2001)
melaporkan bahwa 83,6% petani tingkat pendidikannya
masih antara SD sampai SMP. Bahkan hasil survai BPS (1988)
menunjukkan bahwa di bidang Industri Kecil dan Industri Rumah
Tangga pun, ternyata 82,89% pendidikannya adalah SD sampai
SMP.
Namun, yang menggembirakan dari para peternak ayam ras
adalah ternyata sebagian besar (38,40%) tingkat pendidikannya
SMU (Suparta, 2003), dan 41,03% tamat SMU (Mahyuni, 2003).
Para peternak menekuni usaha ayam ras juga didasarkan atas
pertimbangan rasional komersial untuk memperoleh nilai
tambah.
Perbedaan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap
keinovativan, kecepatan proses adopsi inovasi, dan perilaku
seseorang. Berarti, peternak ayam berpotensi lebih besar untuk
dapat menangkap berbagai inovasi sistem agribisnis dibandingkan
petani lainnya.
Perilaku Agribisnis
Perilaku merupakan cara bertindak yang menunjukkan
tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara
pengembangan anatomis, fisiologis, dan psikologis (Kast dan
Rosensweig, 1995). Perilaku juga merupakan refleksi dari hasil
sejumlah pengalaman belajar seseorang terhadap lingkungannya
yang dapat dilihat dari aspek pengetahuan(cognitive), sikap
(affective), keterampilan (psychomotoric), dan tindakan nyata
(action) (Rogers, 1969).
Perilaku agribisnis dapat diukur dari tiga aspek utama,
yaitu (1) aspek perilaku teknis produksi (panca usaha pertanian
atau peternakan); (2) aspek perilaku manajemen agribisnis
(perencanaan usaha, pemanfaatan sumber daya agribisnis,
peningkatan efisiensi, peningkatan produktivitas, perbaikan mutu
226
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
hasil, perekayasaaan teknologi, perekayasaan kelompok atau
koperasi, dan pemuasan pelanggan; (3) aspek perilaku hubungan
sistem agribisnis (melakukan hubungan kebersamaan dan saling
ketergantungan antar pelaku agribisnis, dan melakukan kerjasama
tim bisnis secara harmonis.
Suparta (2001) melaporkan bahwa perilaku agribisnis
peternak ayam ras pedaging ternyata belum kondusif ke arah
perilaku agribisnis berkebudayaan industri karena (a) kurang
didukung oleh aspek perilaku hubungan sistem agribisnis, (b)
terlalu berorientasi kepada on farm agribusiness, dan (c) pola
pikir dan etika kesisteman untuk mencapai tujuan bersama masih
kurang. Kondisi yang hampir serupa juga tampak pada pelaku
sistem agribisnis di hulu maupun di hilir. Jika pada komoditas
ayam ras pedaging yang karakteristik usahanya sudah bersifat
industri (dikelola secara efisien, menggunakan teknologi maju,
kualitas dan kuantitas produksinya dapat dikendalikan secara
berkelanjutan untuk memenuhi permintaan pasar, serta skala
usahanya bisa dibuat besar (Departemen Pertanian 1995) belum
juga kondusif kearah perilaku agribisnis berkebudayaan industri,
bagaimana halnya dengan pelaku agribisnis pada komoditas
peternakan lainnya?
Sebagian besar (74,89%) peternak termasuk katagori
perilaku agribisnis tinggi, namun aspek perilaku hubungan sistem
agribisnisnya masih rendah (Suparta, 2001). Hal ini terbukti dari
sebagian besar (69,12%) peternak menyatakan menerima materi
penyuluhan tentang teknis produksi; 34,93% tentang manajemen
agribisnis; dan hanya 6,12% tentang sistem agribisnis. Materi
informasi agribisnis yang diterima peternak juga menunjukkan
kecenderungan serupa, yakni sebagian besar (94,04%) peternak
menyatakan menerima materi informasi tentang teknis produksi;
51,96% tentang manajemen agribisnis; hanya 29,68% tentang
hubungan sistem agribisnis.
Berdasarkan indikator ciri, ternyata: (a) peternak belum
mampu menerapkan teknologi untuk mengendalikan pengaruh
alam, (b) belum mempunyai kebiasaan untuk membuat
perencanaan secara tertulis, (c) hasil usaha belum digunakan untuk
pemupukan modal, (d) belum sepenuhnya mampu menggunakan
kemajuan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
227
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
kualitas produksi karena biaya teknologi masih dianggap terlalu
mahal, dan (e) belum melakukan hubungan koordinasi vertikal
secara baik dan benar.
Kondisi kritis yang menjadi pembatas utama peternakan
rakyat, mengharuskan untuk membentuk industri peternakan
rakyat (INAYAT). Jika agribisnis itu sudah bercorak industri, maka
para pelakunya juga harus berperilaku agribisnis berbudaya
industri. Namun kenyataannya, sikap dan perilaku peternak belum
mencerminkan budaya industri. Lebih disayangkan lagi, sikap dan
perilaku seperti itu tidak hanya ditemukan pada peternak, tetapi
juga pada pelaku subsistem agribisnis di hulu maupun di hilir,
padahal untuk kemajuan suatu agribisnis diperlukan sikap dan
perilaku yang harmonis antara perusahaan peternakan dengan
perusahaan agribisnis lainnya. Sikap dan perilaku seperti itulah
yang menjadi penghalang besar untuk keberhasilan pengembangan
sistem agribisnis. Untuk mengubah sikap dan perilaku agribisnis
pada para pelaku sistem itulah maka diperlukan upaya penyuluhan
yang efektif, yakni penyuluhan sistem agribisnis.
Strategi Pemberdayaan
Perusahaan dan Sistem Agribisnis
Strategi pemberdayaan masyarakat pertanian melalui
pendekatan sistem dan perusahaan agribisnis yang terencana dan
terimplementasi secara nyata serta terkait kuat dengan semua
sektor pembangunan ekonomi, merupakan prasyarat keharusan
pelaku perusahaan agribisnis, khususnya petani peternak untuk
dapat menikmati hasil pembangunan secara berarti. Budaya agraris
yang bersifat komunal, ikatan emosional, primordial, kolektif,
keterikatan dengan alam tinggi, dan teknologi yang sederhana
perlu diubah menjadi petani yang berbudaya industri, yakni (a)
senantiasa menggunakan pengetahuan sebagai dasar pengambilan
keputusan, (b) menggunakan dan melakukan rekayasa teknologi
sehingga setiap produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi
persyaratan yang diminta pasar, (c) senantiasa berorientasi
kepada permintaan pasar, (d) senantiasa meningkatkan efisiensi
dan produktivitas, (e) senantiasa mengutamakan mutu dan nilai
tambah, (f) inovatif, (g) berani menghadapi risiko usaha, (h)
228
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
melakukan agribisnis koordinasi vertikal maupun horizontal,
serta (i) profesional dan mandiri dalam menentukan keputusan.
Pembudayaan industri pada masyarakat pertanian diharapkan
mampu meningkatkan kesejehtaraan bagi pelaku agribisnis
terutama petani. Oleh karena itu, strategi pembudayaan industri
melalui berbagai pendidikan dan pembinaan kepada masyarakat
agribisnis di Bali sangat diperlukan.
Sistem Koordinasi Vertikal
Saragih (1998) mengemukakan bahwa untuk efisiensi dan
mampu bersaing di tingkat internasional, maka pelaku agribisnis
harus melakukan integrasi vertikal, yakni perusahaan agribisnis
hulu, tengah dan hilir berada dalam satu manajemen dan satu
pemilik. Namun, keterbatasan lahan dan modal usaha sebagaimana
disebutkan Suparta (2001), Ibrahim (2001) dan Mahyuni (2003),
menyebabkan petani dan peternak sulit untuk mengembangkan
skala usaha yang ekonomis. Jika memang demikian faktanya, maka
sulitlah bagi Indonesia untuk menerapkan industri peternakan
yang terintegrasi vertikal secara sempurna.
Jalan terbaik untuk mengembangkan agribisnis di Indonesia
agar tetap bertumpu pada upaya penguatan ekonomi kerakyatan
adalah sistem koordinasi vertikal. Simatupang (1995) menandaskan
bahwa perusahaan yang tidak mungkin menerapkan agribisnis
integrasi vertikal secara sempurna, sebaiknya menerapkan sistem
koordinasi vertikal, yakni perusahaan agribisnis yang pemiliknya
berbeda-beda tetapi dapat melakukan koordinasi usaha secara
vertikal dengan manajemen satu atap, atau sering pula disebut
dengan ‘quasi integrasi vertikal’.
Secara prinsip kerjasama, antara sistem agribisnis integrasi
vertikal dan koordinasi vertikal adalah sama. Namun, integrasi
vertikal lebih mengarah pada usaha padat modal dan padat
teknologi, sehingga hanya cocok dilakukan oleh perusahaan besar.
Contoh perusahaan perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, atau
Chicken Tyson di Amerika Serikat.
Sistem koordinasi vertikal, lebih mengarah pada padat
karya karena melibatkan banyak petani kecil, sehingga lebih cocok
bagi petani rakyat atau peternak rakyat. Contohnya adalah pola
kemitraan ayam ras pedaging, pola kemitraan tanaman tembakau,
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
229
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
dan lain-lain. Perusahaan inti (industri pakan) dan plasma
(peternak) melakukan koordinasi vertikal dengan prinsip saling
membutuhkan, saling menguntungkan, dan saling menguatkan
yang dilandasi oleh penerapan etika bisnis. Peternakan atau
pertanian di Indonesia yang skala usahanya kecil-kecil, karena
dibatasi oleh luas lahan sempit, kemampuan modalnya terbatas,
maka cara terbaik untuk meningkatkan kemampuan agribisnisnya
adalah pola kemitraan.
Ekonomi Kerakyatan
Hanya dengan cara melakukan koordinasi vertikal dan atau
horisontal, maka skala usaha peternakan rakyat akan menjadi
layak secara ekonomi atau bisnis. Harapannya adalah agribisnis
peternakan menjadi lebih efisien dan mampu bersaing di pasar
global. Pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) pada ayam
ras pedaging saat ini telah lebih solid dan telah terbukti mampu
menguntungkan ke dua belah pihak (Suparta, 2003 dan Mahyuni,
2003), telah mampu menjadi sumber pendapatan utama peternak,
dan jumlah pemilikan ternak cenderung meningkat (Mahyuni,
2003). Perilaku dalam hubungan kemitraan itu, suatu ketika akan
menjadi bagian dari budaya agribisnisnya.
Agribisnis peternakan yang melibatkan peternak rakyat,
menunjukkan bahwa pola ini memanfaatkan fakta yang ada
di Indonesia, serta mengutamakan eksistensi ekonomi rakyat.
Eknomi kerakyatan diartikan sebagai ekonomi yang dikelola secara
demokrasi ekonomi, yakni semua rakyat diberi kesempatan yang
sama untuk berperan secara sempurna dalam bingkai ekonomi
pasar. Tidak boleh ada kebijakan yang menumbuhkan monopolistis
dan monopsonistis. Perusahaan agribisnis yang dikelola secara
industri tetapi melibatkan peternakan rakyat, disebut ‘Industri
Peternakan Rakyat’. Sistem ekonomi kerakyatan mengacu kepada
lima prinsip, yakni (1) prinsip visi, misi, dan strategi pembangunan
yang memihak rakyat, (2) prinsip musyawarah mufakat, (3) prinsip
keterpaduan dengan asas keseimbangan antara kepentingan lokal
dan nasional, (4) prinsip koordinasi dengan asas kebersamaan,
dan (5) prinsip pelestarian pembangunan (Sumodiningrat, 1999).
Pembangunan sektor agribisnis berbasis pedesaan
merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi
230
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
pembangunan ekonomi yang berpihak pada rakyat. Indikator
tercapainya sasaran pengembangan agribisnis berbasis pedesaan
antara lain adalah: (1) petani bisa akses secara langsung sumbersumber permodalan serta mampu sejajar bernegosiasi dengan
mitra bisnisnya, (2) tumbuh dan berkembangnya kelompokkelompok agribisnis, (3) petani menyadari betul bahwa agribisnis
merupakan kepercayaan jangka panjang, menghasilkan produk
dengan kualitas yang diinginkan oleh pasar, perlunya memahami
informasi dengan peluang pasar, (4) timbulnya kesadaran para
pelaku agribisnis sektor hilir dan hulu melakukan kemitraan untuk
meningkatkan efesiensi (Badan Agribisnis, 1995).
Budaya Industri dalam Agribisnis
Keberhasilan usaha pertanian tidak bisa ditentukan oleh
petani peternak sendirian, tetapi merupakan hasil resultante dari
sinergi antara petani peternak (perusahaan usahatani) dengan
perusahaan yang menghasilkan sarana produksi pertanian dan
perusahaan yang akan mengolah atau memasarkan hasilnya, serta
komponen penunjang agribisnis. Karena itu, harus ada kesamaan
sikap dan perilaku yang dilandasi oleh etika bisnis diantara para
pelaku sistem. Pembangunan agribisnis dapat dilakukan melalui
pemberdayaan petani maupun pelaku sistem lainnya tentang
hakekat sistem agribisnis, yakni membangun sikap mental dan
budaya industri pada masyarakat pertanian. Suatu kesalahan
besar yang terjadi selama ini adalah sebagai berikut.
(1) Tindakan penyuluh yang selalu berfokus kepada upaya
peningkatan kemampuan teknis produksi petani, padahal yang
tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan kemampuan
manajemen agribisnis dan manajemen hubungan sistem
agribisnisnya;
(2) Para penyuluh telah terjebak di dalam lingkaran sistem kerja
yang keliru, memandang peningkatan produksi sebagai tujuan
akhir;
(3) Disadari atau tidak para pejabat pertanian telah membentuk
opini masyarakat bahwa tingkat produksi dan produktivitas
merupakan ukuran keberhasilan pembangunan pertanian;
(4) Para pejabat pertanian memandang bahwa perusahaan
agribisnis yang berada di hulu dan di hilir sebagai pengusaha
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
231
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
professional yang sudah mampu menerapkan sistem
agribisnis, padahal belum mampu menerapkan konsep
sistem agribisnis secara baik.
Jika para pejabat pertanian atau penyuluh masih mempunyai
cara pandang seperti itu, bagaimana jadinya dengan petani
peternak kita? Kesalahan cara pandang seperti itu menyebabkan
para pejabat pemerintahan kita selalu sibuk mengurusi petani,
melakukan penyuluhan yang keliru kepada petani, dan memberikan
fasilitas yang juga keliru kepada petani. Hal inilah yang dapat
menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan pada para pejabat
pemerintahan maupun petani.
Petani peternak hanyalah merupakan salah satu komponen
perusahaan agribisnis. Jika keberhasilan agribisnis tidak
bisa dilakukan oleh petani saja, maka komponen perusahaan
agribisnis lainnya haruslah menjadi fokus perhatian yang tidak
kalah pentingnya dengan petani itu sendiri. Karena itu, setiap
kebijakan pemerintah di bidang pembangunan pertanian haruslah
menyentuh semua komponen pelaku sistem agribisnis dan
mengkoordinasikan semua komponen pelaku sistem agribisnis.
Kebijakan dan tindakan seperti itu harus dilakukan secara terus
menerus hingga menjadi budaya bagi masyarakat agribisnis di
Indonesia.
Jika semua komponen pelaku sistem agribisnis sudah dapat
memahami hakekat sistem agribisnis dan menjadikannya sebagai
budaya dalam mengelola perusahaan agribisnis, maka otomatis
pendapatan dan kesejahteraan petani pun akan meningkat.
Menurut Soekanto (1990) kebudayaan diartikan sebagai garisgaris pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan
mengenai apa yang harus dan seharusnya dilakukan. Pertanian
“berbudaya industri” dimaksudkan sebagai pengelolaan kegiatan
pertanian secara industri, yakni membuat kebudayaan industri
menjadi kebudayaan milik pertanian, yang secara fundamental
berarti membangun sikap mental dan budaya masyarakat
pertanian sebagaimana sikap mental dan budaya yang hidup dalam
masyarakat industri (Solahuddin, 1999). Kondisi yang berlawanan
dengan budaya idustri adalah “budaya agraris” yang dicirikan
oleh sifat komunal, diikat oleh kesadaran kolektif, terdapat ikatan
232
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
emosional, hubungan dan orientasi primordial, keterkaitan dengan
alam tinggi, dan teknologi masih sederhana.
Ciri perilaku agribisnis berkebudayaan industri yang
diharapkan terbentuk adalah: (1) tekun, ulet, kerja keras, hemat,
cermat, disiplin dan menghargai waktu; (2) mampu merencanakan
dan mengelola usaha; (3) selalu memegang teguh asas efisiensi
dan produktivitas ; (4) menggunakan teknologi terutama teknologi
tepat guna dan akrab lingkungan ; (5) mempunyai motivasi
yang kuat untuk berhasil ; (6) berorientasi kepada kualitas
produk dan permintaan pasar ; (7) berorientasi kepada nilai
tambah ; (8) mampu mengendalikan dan memanfaatkan alam ;
(9) tanggap terhadap inovasi ; (10) berani menghadapi risiko
usaha ; (11) melakukan agribisnis yang terintegrasi maupun quasi
integrasi secara vertikal ; (12) perekayasaan harus menggantikan
ketergantungan pada alam sehingga produk yang dihasilkan
senantiasa memenuhi persyaratan yang diminta pasar ; (13)
profesional serta mandiri dalam menentukan keputusan.
Penyuluhan Sistem Agribisnis
Menurut Suparta (2001), penyuluhan sistem agribisnis
adalah “jasa layanan pendidikan dan informasi agribisnis yang
dilakukan melalui proses pendidikan non formal untuk petani dan
pihak-pihak terkait yang memerlukan, agar kemampuannya dapat
berkembang secara dinamis untuk menyelesaikan sendiri setiap
permasalahan yang dihadapinya dengan baik menguntungkan
dan memuaskan.” Difinisi itu didasarkan atas kebutuhan nyata
sistem agribisnis agar lebih efektif mencapai hasil. Terkait dengan
itu, Margono Slamet (2003) mengemukakan suatu definisi baru
tentang penyuluhan, yakni: industri jasa yang menawarkan
pelayanan pendidikan (non formal) dan informasi pertanian
kepada petani dan pihak-pihak lain yang memerlukan. Kedua
definisi itu bermakna bahwa: (1) penyuluhan tetap sebagai
pendidikan non formal, (2) ingin memisahkan penyelenggaraan
penyuluhan dari program-program pertanian yang sering (top
down), (3) penyuluhan merupakan bentuk pelayanan kepada
pelaku agribisnis yang memerlukan dengan cara penyediaan
informasi agribisnis, pendampingan dan pembinaan langsung
dilapangan.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
233
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
Kegiatan penyuluhan itu adalah jasa layanan, dan jasa
layanan itulah yang harus dibuat bermutu sehingga dapat
memenuhi kebutuhan dan harapan sasaran penyuluhan pada
waktu yang diperlukan. Mutu jasa layanan dapat dilihat dari segi
keterpercayaan (reliability), keterjaminan (assurance), penampilan
(tangibility), kepemerhatian (empaty), dan ketanggapan
(responsiveness).
Jasa layanan itu dilakukan melalui proses
pendidikan non formal guna meningkatkan perilaku sasaran,
yang dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung
melalui berbagai media cetak atau elektronik. Dengan demikian,
sasaran diharapkan akan meningkat kemampuannya secara
dinamis untuk dapat menyelesaikan sendiri setiap permasalahan
yang dihadapinya.
Penyuluhan sistem agribisnis juga memerlukan perubahan
perilaku penyuluh, yakni harus mampu:
(1) Meningkatkan profesionalisme penyuluh dengan melakukan
perbaikan mutu layanan secara terus menerus yang mengacu
kepada kebutuhan dan kepuasan pelanggannya;
(2) Menguasai materi penyuluhan yang menyangkut teknis
produksi, manajemen agribisnis, manajemen hubungan
sistem agribisnis, informasi permintaan pasar atau kebutuhan
konsumen, jiwa kewirausahaan, serta etika bisnis dan
keunggulan bersaing;
(3) Tidak menjadikan petani dan perusahaan agribisnis lainnya
sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang dapat menentukan
masa depannya sendiri;
(4) Melakukan fungsi melayani (konsultatif) dengan sistem
“menu”.
Untuk medukung strategi pendekatan “penyuluhan sistem
agribisnis”, maka, penyuluh seharusnya tetap berpegang pada
falsafah dasar penyuluhan pertanian (Slamet, 1969 dan Samsudin,
1987), yaitu (1) penyuluhan merupakan proses pendidikan, (2)
penyuluhan merupakan proses demokrasi, dan (3) penyuluhan
merupakan proses kontinyu.
Penyuluh juga sebaiknya tetap berpegang pada prinsipprinsip penyuluhan (Dahama dan Bhatnagar, 1980), antara lain
(1) penyuluhan akan efektif bila mengacu kepada minat dan
234
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
kebutuhan sasaran, (2) penyuluhan harus mampu menggerakkan
partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dalam merencanakan
dan melaksanakan program penyuluhan, (3) penyuluh mendorong
terjadinya belajar sambil bekerja, (4) penyuluh harus orang yang
sudah terlatih dan benar-benar menguasai materi yang akan
disuluhkan, (5) metode penyuluhan disesuaikan dengan kondisi
spesifik sasaran (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan sosial
budaya), dan (6) penyuluhan harus mampu mengembangkan
kepemimpinan partisipatif.
Peranan Penyuluhan
Peranan penyuluhan dalam pengembangan perusahaan
dan sistem agribisnis, adalah (1) mengembangkan kekondusifan
lingkungan belajar bagi sasaran penyuluhan untuk belajar secara
mandiri, (2) melakukan pelatihan bagi petani untuk meningkatkan
keterampilan agribisnis, (3) melakukan pendampingan bagi
pelaku sistem agribisnis untuk memecahkan permasalahan sistem
agribisnis yang sedang dihadapi, (4) melakukan pembinaan
kepada pelaku agribisnis untuk meningkatkan nilai tambah,
pengembangan permodalan, penanganan pasca panen dan
pemasaran hasil, dan (5) memotivasi pelaku sistem agribisnis
untuk menerapkan prinsip koordinasi vertikal secara baik dalam
kerangka ekonomi kerakyatan.
Atas dasar peranan penyuluhan tersebut, maka penyuluh
berkewajiban menyadarkan sasaran penyuluhan tentang adanya
kebutuhan yang nyata (real need atau unfelt need) menjadi
kebutuhan yang dirasakan (felt need). Penyuluh harus mampu
mengajak sasaran penyuluhan berpikir, berdiskusi, menyelesaikan
masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama sehingga
terjadi pemecahan masalah dari mereka, oleh mereka, dan untuk
mereka.
Penyuluh akan semakin mampu menerapkan “pendekatan
penyuluhan sistem agribisnis” yang makin efektif apabila mampu
menghayati secara sungguh-sungguh materi penyuluhan sistem
agribisnis secara luas, dan makin berkemampuan tinggi dalam
menerapkan keanekaragaman metode penyuluhan dan media
komunikasi kepada sasarannya secara tepat dan bijak.
Untuk keberhasilan penyuluhan sistem agribisnis di masa
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
235
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
depan, maka penyuluhan sistem agribisnis agar dilakukan oleh
“penyuluh profesional”, yang dapat berasal dari penyuluh dinas atau
pun penyuluh swasta, yang mempunyai kompetensi dan komitmen
diri yang tinggi untuk menjaga profesionalisme penyuluh. Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia (1999), profesional diartikan
sebagai memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya
serta mengharuskan adanya pembayaran atas jasa profesi.
Profesionalisme penyuluh disamping mencerminkan keahliannya,
juga harus mampu menunjukkan mutu layanannya, kemandirin,
dan kewirausahaan.
Menurut Anoraga (1998), seorang profesional harus mampu
memadukan unsur kemampuan teknis (keahlian) dan kematangan
etik, moral dan akal. Penguasaan teknik saja tidak membuat
seseorang menjadi profesional. Lebih lanjut dikemukakan bahwa,
beberapa ciri profesionalisme, yaitu (1) mengejar kesempurnaan
hasil, (2) memerlukan kesungguhan dan ketelitian kerja yang
dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan, (3) sifat
keteguhan dan ketabahan untuk mencapai hasil hingga tercapai,
(4) mempunyai integritas tinggi, dan (5) memerlukan kebulatan
pikiran dan perbuatan untuk mencapai efektivitas kerja yang
tinggi.
Menurut Slamet et al. (1996), profesionalisasi penyuluhan
dapat dilakukan dengan mengacu kepada penerapan manajemen
mutu terpadu, yakni pola manajemen penyuluhan yang memuat
prosedur agar setiap orang dalam organisasi penyuluhan terus
menerus memperbaiki jalan menuju sukses, dan dengan penuh
semangat berpartisipasi dalam perbaikan pelaksanaan kerja.
Penyuluhan dikatakan bermutu baik jika dapat memenuhi atau
melebihi kebutuhan dan harapan pihak yang disuluh (sasaran).
Agar penyuluhan dapat bermutu baik maka seluruh sumber daya
harus dapat dipergunakan dengan baik, dan proses penyuluhan
harus tetap berpegang pada falsafah dan prinsip penyuluhan.
Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka ciri-ciri
penyuluh profesional adalah sebagai berikut: (a) mempunyai latar
belakang keahlian di bidang agribisnis, (b) memahami betul posisi
dan peranan dirinya sebagai penyuluh agribisnis, (c) menguasai
betul semua aspek agribisnis, seperti: teknis produksi, manajemen
agribisnis, hubungan sistem agribisnis, dan etika bisnis (keadilan,
236
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
kejujuran, kewajaran, kepercayaan, dan keuletan), (d) selalu
mengejar kesempurnaan hasil melalui penerapan manajemen
mutu terpadu dalam penyelenggaraan penyuluhan, (e) biasa
belajar dan bekerja dengan penuh kesungguhan hati dan ketelitian,
(f) mempunyai sifat teguh dan tabah serta tekad yang kuat untuk
mencapai hasil, (g) disiplin, tekun, serius, dan jujur dalam bekerja,
dinamis dan progresif dalam menyesuaikan diri dengan petani
peternak, (h) senantiasa berpegang pada efisiensi dan efektivitas
kerja, (i) mempunyai komitmen moral dan pribadi serta tanggung
jawab yang mendalam atas pekerjaannya, (j) dapat memberikan
kepuasan kepada orang yang dilayani, (k) hidup dari pekerjaannnya
sebagai penyuluh, berarti harus mendapat imbalan yang layak, dan
(l) diandalkan dan dipercaya oleh masyarakat.
Syarat keharusan, merupakan kondisi minimum yang harus
ada agar penyuluhan sistem agribisnis dapat berjalan dengan baik
sebagai berikut.
(1) Penyuluh profesional agar memiliki kompetensi keahlian dan
etika profesionalisme;
(2) Penyuluh agar tetap berpegang pada falsafah penyuluhan dan
prinsip-prinsip penyuluhan;
(3) Visi dan misi penyuluhan agar menempatkan petani peternak
dan usahataninya sebagai sentral dalam penyelenggaraan
penyuluhan;
(4) Tujuan penyuluhan agar jelas dan dapat dipahami bersama
petani peternak yakni meningkatkan perilaku agribisnis yang
berbudaya industri;
(5) Memanfaatkan sumber daya penyuluhan semaksimal mungkin
dalam penyelenggaraan penyuluhan untuk mencapai tujuan;
(6) Sasaran perubahan perilaku harus jelas dan terukur yakni
mampu memahami dan melakukan hubungan sistem
agribisnis dan etika kesisteman yang baik;
(7) Materi penyuluhan menyangkut semua aspek sistem
agribisnis, yakni: aspek teknis produksi, manajemen
agribisnis, hubungan sistem agribisnis berwawasan industri,
etika kesisteman, kewirausahaan;
(8) Metode dan media komunikasi penyuluhan harus lebih
beragam agar mampu meningkatkan perubahan aspek
psikologis yang lebih dekat kepada perubahan perilaku,
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
237
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
(9)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
yakni: persepsi, sikap, keterampilan dan sifat kewirausahaan
petani peternak;
Fasilitas dan pendapatan yang memadai bagi penyuluh.
Syarat kecukupan merupakan lingkungan yang memperlancar
mekanisme kerja “penyuluhan Sistem Agribisnis”, sebagai
berikut.
Kebijakan pemerintah tentang pembangunan pertanian
melalui pendekatan agribisnis, serta kebijakan pemerintah
tentang fungsi dan peran penyuluhan dalam pembangunan
pertanian;
Situasi perekonomian makro yang stabil dan dinamis dan
memberikan iklim yang baik bagi berkembangnya usaha
pertanian;
Situasi sosial politik yang stabil sehingga tidak mempengaruhi
aktivitas dan pertumbuhan ekonomi secara makro;
Kondisi infra struktur yang memadai sehingga memudahkan
dan memperlancar pelaksanaan proses produksi dan proses
pemasaran hasil;
Dukungan fungsi-fungsi lain, seperti: lembaga penelitian,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), pasar yang kuat untuk
menjual hasil produksi dan hasil olahannya, pelayanan
informasi agribisnis, lembaga keuangan dan asuransi. Agar
fungsi-fungsi itu dapat bersinergi dengan baik maka fungsifungsi itu perlu memiliki persepsi dan sikap yang sama
tentang sistem agribisnis.
Penutup
Rendahnya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
petani peternak selama ini karena terlalu berorientasi kepada
produksi dan produktivitas, kurang berorientasi kepada kebutuhan
pasar dan hubungan sistem agribisnis, sehingga perolehan nilai
tambah menjadi rendah. Seandainya pun petani sudah ada yang
berorientasi kepada pasar, tetapi tidak ada sinergi yang solid
antara perusahaan usahatani dengan perusahaan agribisnis di
sub-sistem agribisnis hulu maupun di sub-sistem agribisnis hilir
untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Akibatnya, permintaan produk pertanian menjadi tidak jelas dan
harganya cenderung kurang menguntungkan petani. Rendahnya
238
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
perilaku agribisnis tidak hanya terjadi pada petani, tetapi juga
terjadi pada pelaku perusahaan agribisnis lainnya. Oleh karena
itu, wajib bagi masyarakat agribisnis untuk menyadarinya, dan
selanjutnya sesegera mungkin harus dapat memperbaikinya
menjadi perilaku agribisnis yang berkebudayaan industri.
Untuk meningkatkan perilaku agribisnis pada para pelaku
sistem agribisnis itu diperlukan pendekatan penyuluhan sistem
agribisnis, yang materi penyuluhannya tidak hanya menekankan
aspek teknis produksi saja; tetapi mencakup keseluruhan aspek
teknis produksi, aspek manajemen agribisnis dan aspek manajemen
hubungan sistem agribisnis dengan wawasan industri terutama
etika kesisteman, kemampuan kewirausahaan, dan keperibadian
sebagai pengusaha agribisnis agar para pelaku sistem agribisnis
dapat memiliki persepsi dan sikap yang sama tentang visi, misi,
etika bisnis, tujuan, sasaran dan rencana kerja bersama yang
dirumuskan dengan cara terbuka. Tujuan penyuluhan sistem
agribisnis harus jelas ke arah terbentuknya perilaku agribisnis
yang berkebudayaan industri. Metode penyuluhannya maupun
media komunikasi yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan
agar lebih beragam, inovatif dan kreatif sesuai dengan kebutuhan
sasaran penyuluhan.
Kegiatan penyuluhan tidak hanya dilakukan kepada petani
peternak saja, tetapi juga kepada para pelaku perusahaan agribisnis
lainnya. Kebersamaan dan saling ketergantungan diantara semua
perusahaan agribisnis akan menghasilkan visi, misi, etika bisnis,
tujuan dan sasaran serta rencana kerja bersama yang harmonis
untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Penyuluhan sistem agribisnis juga memerlukan perubahan
perilaku penyuluh, menjadi penyuluh sistem agribisnis yang
profesional. Penyuluh akan semakin efektif apabila secara
sungguh-sungguh mampu menghayati materi penyuluhan sistem
agribisnis, dan makin berkemampuan tinggi dalam menerapkan
keanekaragaman metode penyuluhan dan media komunikasi
kepada sasaran penyuluhan secara tepat dan bijak. Strategi
pendekatan “penyuluhan sistem agribisnis” juga memerlukan
beberapa prakondisi, yakni syarat keharusan (necessary condition)
dan syarat kecukupan (sufficient condition).
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
239
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
Daftar Pustaka
Abbas, S. 1995. “Sembilan Puluh Tahun Penyuluhan Pertanian
di Indonesia (1905-1995)” dalam: Dinamika dan Persektif
Penyuluhan Pertanian pada Pembangunan Pertanian Jangka
Panjang Tahap Kedua. Prosiding Lokakarya, Bogor 4-5 Juli
1995. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm
39-134, Bogor.
Amirin, T.M. 1996. Pokok-Pokok Teori Sistem. Ed. Ke-1. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Anoraga, P. 1998. Psikologi Kerja. Rineka Cipta, Jakarta.
Badan Agribisnis. 1995. Sistem, Strategi dan Program
Pengembangan Agribisnis. Badan Agribisnis, Deptan. Jakarta.
Dahama, O.P., dan O.P. Bhatnagar. 1980. Education and
Communication for Development. Oxford & IBH Publishing,
New Delhi.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
Departemen Pertanian. 1995. Strategi Pembangunan Peternakan
Menuju Pertanian Modern. Bahan Pengarahan dirjen
Peternakan, Departemen Pertanian R.I. Disampaikan pada
Rapat Kerja Nasional Departemen Pertanian di Jakarta, pada
Tanggal 10-13 Juli 1995. Ditjen Peternakan, Jakarta.
Departemen Pertanian 2001. Pembangunan Sistem agribisnis
Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional. Edisi Pertama. Jakarta.
Downey, W.D., dan S.P. Erickson. 1992. Manajemen Agribisnis. Ed.
Ke-2. R. Ganda.S. dan A. Sirait, Penerjemah. Terjemahan dari:
Agribusiness Management. Erlangga, Jakarta.
Ibrahim, J.T. 2001. Kajian Reoriantesi Penyuluhan Pertanian Ke
arah Pemenuhan Kebutuhan Petani di Propinsi Jawa Timur
[Disertasi]. Program pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Jarmie, M.Y. 1995. Sistem Penyuluhan Pembangunan Pertanian
Indonesia.
[Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Kast, F.E., dan J.E. Rosenzweig. 1995. Organisasi dan Manajemen.
Jilid 1, Ed. Ke-4. A. Hasyani Ali Penerjemah. Terjemahan
dari: organization and Management. Penerbit Bumi Aksara,
240
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Nyoman Supartha • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Jakarta.
Mahyuni, N.A. 2003. Efektifitas Pola Kemitraan Agribisnis Ayam ras
Pedaging di Bali (Kasus Pada PT. Aneka Satwa Perkasa). [Tesis].
Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar.
Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. Fredrick A. Praeger.
Inc.Publishers, New Tork.
Puspadi, K. 2002. Rekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian.
[Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Rogers, E.M. 1969. Modernization Among Peasant: The Impact Of
Communication. Holt, Rinehart, and Winston, New York.
Samsudin, U.,1987. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi
Pertanian. Binacipta, Bandung.
Saragih, B. 1995. Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan
Ekonomi Nasional Menghadapi Abad Ke-21. Orasi Ilmiah
Guru Besar Tetap Ilmu Ekonomi dan Sumberdaya. Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saragih, B. 1998. Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan
Ekonomi Berbasis Pertanian. Kumpulan Pemikiran. Editor :
Tungkot Sipayung, Jef R Saragih, dan Frans B.M. Dabukke.
Yayasan Mulia Persada Indonesia dan Surveyor Indonesia
bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan Lemlit IPB
Bogor. Jakarta.
Slamet, M., dan P.S. Asngari. 1969. Penyuluhan Peternakan. Dirjen
Peternakan, Jakarta.
Slamet, M., D.P. Tampubolon, M. J. Hanafiah, dan A. Hamim. 1996.
Manajemen Mutu Terpadu di Perguruan Tinggi. HEDS Project,
Jakarta.
Slamet, M., M. 2003. Pola, Strategi, dan Pendekatan Penyelenggaraan
Penyuluhan Pertanian pada PJP II. Dalam Membentuk Pola
Perilaku manusia Pembangunan. Penyunting Ida Yustina dan
Ajat Sudrajat. Penerbit IPB Press, Bogor.
Simatupang, P., 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai strategi
Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi.
Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Soekanto, S. 1990. Sosiologi suatu Pengantar. Edisi Baru Keempat.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
241
Peranan Penyuluhan dalam Pengetahuan Usaha dan Sistem Agribisnis untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan
Rajawali, Jakarta.
Solahuddin, S. 1999. Visi Pembangunan Pertanian Abad 21. Diedit
oleh: Arief Satria dan Amirudin Saleh. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring
Pengaman Sosial. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suparta, N. 2001. Perilaku Agribisnis dan Kebutuhan Penyuluhan
Peternak Ayam Ras Pedaging. [Disertasi]. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suparta, N, Nuraini, K., dan Sutrisna, I.B. 2003. Kajian Perilaku
Agribisnis Berkebudayaan Industri dalam struktur Koordinasi
Vertikal Sistem Agribisnis dan Pengaruhnya Bagi Keberhasilan
Peternak Plasma Maupun Lingkungannya. [Laporan Peelitian].
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Udayana. Denpasar.
242
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
PENDEKATAN METABOLISME KUANTITATIF
DALAM ILMU NUTRISI TERNAK
I Gede Mahardika
Pendahuluan
Besarnya peranan ternak dalam sistem pertanian secara
menyeluruh memaksa kita untuk bersikap untuk memanfaatkan
dan memeliharanya secara efisien, salah satunya memberikan
pakan yang sesuai dengan kebutuhannya. Kondisi umum
peternakan di Indonesia khususnya produksi ternak lokal
masih menemui beberapa permasalahan yang salah satunya
adalah produktivitasnya relatif rendah. Salah satu faktor yang
menyebabkan adalah manajemen dan pola pemberian pakan yang
belum mengikuti kaidah-kaidah ilmu nutrisi yaitu pemberian pakan
yang belum memperhatikan kebutuhan nutrien sesuai dengan
tingkat produksi dan tujuan pemeliharaan. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa perbaikan manajemen dan perbaikan pakan
mampu meningkatkan produksi ternak lokal kita seperti ayam
kampung, babi lokal, sapi, kerbau dan ternak lokal lainnya. Namun
berapa besarnya nutrien yang harus diberikan agar ternak tumbuh
secara optimal belum diketahui secara pasti. Kondisi ini diakibatkan
oleh belum adanya data yang akurat mengenai kebutuhan nutrisi
untuk ternak-ternak lokal kita.
Pendekatan metabolisme kuantitatif yang menekankan
kepada perhitungan-perhitungan kuantitatif suatu proses produksi,
dipercaya dapat memunculkan suatu penemuan tentang mekanisme
proses produksi yang terjadi di dalam tubuh ternak. Pendekatan
metabolisme kuantitatif meliputi pencernaan, metabolisme dan
efisiensi pemanfaatan nutrien untuk proses produksi, pengamatan
komposisi tubuh ternak pada berbagai tingkat pertumbuhan untuk
mengetahui besarnya simpanan nutrien di dalam tubuh serta
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
243
Pendekatan Metabolisme Kuantitatif dalam Ilmu Nutrisi Ternak
pengamatan terhadap efisiensi pengubahan nutrien untuk proses
produksi (partial efficiency). Perhitungan-perhitungan tersebut
dapat dipakai untuk menghtung kebutuhan nutrien pada berbagai
tingkat produksi baik untuk hidup pokok, petumbuhan, bunting,
laktasi maupun pada kondisi lain seperti pada saat digunakan
sebagai hewan kerja. Data tentang kebutuhan nutrien ini akan
dapat dipakai sebagai patokan di dalam menyusun ransum pada
berbagai tingkat produksi, baik untuk pertumbuhan, laktasi,
produksi telur maupun untuk kerja.
Perhitungan Kebutuhan Energi
Di Stuttgart, oleh Clar et el. (1992) telah dikembangkan
teknik masker untuk mengukur produksi panas (energi) pada
hewan kerja. Teknik ini didasarkan atas pengukuran gas-gas
respirasi seperti mengukur konsumsi O2, produksi CO2 dan CH4.
Pengukuran dilakukan dengan memakai masker yang dipasang
pada mulut ternak dan dihubungkan dengan sebuah gasmeter
untuk mengetahui volume gas ekspirasi. Sampel gas ekspirasi
ditampung dalam sebuah kantong yang selanjutnya siap dianalisis
kandungan CH4 dan CO2 dengan infrared-gas analyzer, sedangkan
kadar O2 dianalisis dengan paramagnetic oxygen analyzer.
Produksi panas ditentukan dengan menggunakan formula PP =
20,5 VO2 KJ (McLean, 1986). Pada teknik masker ini pengukuran
hanya memungkinkan dalam waktu yang singkat (3 menit) yang
selanjutnya dikalikan dengan lama aktivitas. Ini merupakan salah
satu kelemahan teknik tersebut, terutama sekali bila diinginkan
pengukuran dalam waktu yang lama.
Nolet et al. (1992) melakukan percobaan untuk mengukur
produksi panas untuk aktivitas pada angsa dengan teknik
perunutan dengan air yang berlabel ganda (Double Lable Water/
DLW). Teknik ini memberikan pendekatan yang terbaik untuk
menjawab masalah penggunaan energi dalam keadaan hidup bebas
seperti pada saat kerja. Teknik ini didasarkan atas pengamatan
bahwa, pembaharuan oksigen air pada tubuh hewan lebih besar
daripada hidrogen air. Kedua unsur tersebut keluar tubuh sebagai
air, tetapi oksigen juga keluar sebagai CO2. Dengan merunut air
tubuh dengan H2 dan O18 serta melakukan pengamatan secara
terpisah, dimungkinkan untuk mengukur produksi CO2. Metode ini
244
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Gede Mahardika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
telah diketahui mempunyai ketepatan yang sangat tinggi. Namun,
DLW sangat mahal dan memerlukan alat analisis yang sangat
canggih untuk isotop stabil, oleh karena itu dalam penerapannya
sangat sulit dilakukan, kecuali sebagai metode untuk keabsahan.
Penentuan kebutuhan energi dari pemantauan denyut
jantung dianggap memuaskan untuk berbagai penerapan
lapangan pada manusia. Di masa lalu, korelasi denyut jantung
dengan penggunaan energi pada sapi dan kerbau dianggap
rendah (Richards dan Lawrence, 1984). Kajian di Stuttgart dan
Mali mendapatkan bahwa denyut jantung dan pengeluaran energi
berkorelasi tinggi (r =0,94) (Rometsch dan Becker, 1993; Holmes
et al., 1976). Mahardika et al. (2000a) telah berhasil melakukan
pengukuran kebutuhan energi untuk kerja pada kerbau dengan
melakukan pengukuran denyut jantung secara terus-menerus
(Gambar 1).
Gambar 1. Hubungan antara denyut Jantung dengan kebutuhan
energi untuk kerja
Dalam penelitiannya didapatkan bahwa hubungan antara
denyut jantung dengan kebutuhan energi untuk kerja adalah
mengikuti formula E.kerja = (0,27 HR0,363 – 1) yang di dalamnya,
Ek: Pengeluaran energi untuk kerja (KJ/W/menit) HR: Denyut
jantung/menit.
Metode yang bisa dikembangkan untuk menentukan
kebutuhan energi pada hewan yang hidup bebas adalah dengan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
245
Pendekatan Metabolisme Kuantitatif dalam Ilmu Nutrisi Ternak
melakukan pengukuran keseimbangan energi yang meliputi
pengukuran energi termetabolis (ME) dengan percobaan pakan
dan pengukuran perubahan komposisi tubuh. Pada hewan kecil
prosedur yang bisa dikerjakan adalah dengan mengorbankan
contoh jaringan-jaringan hewan yang mewakili pada permulaan
percobaan untuk menentukan kadar lemak, protein dan energi
tubuh. Segera setelah itu percobaan pakan dilakukan. Pada akhir
perlakuan hewan dipotong dan jaringan tubuh hewan dianalisa
protein, lemak dan energinya untuk mengetahui perubahan zat-zat
tersebut selama percobaan. Pada hewan besar masalahnya adalah
kesulitan untuk mendapatkan contoh jaringan yang representatif,
di samping pemotongan pada hewan besar menuntut biaya yang
cukup mahal. Masalah ini akan dapat diatasi bila kadar protein,
lemak dan energi jaringan tubuh dapat ditentukan dengan metode
tanpa merusak tubuh hewan (kaidah non-invasif).
Rule et al., (1986) telah mengembangkan teknik penentuan
komposisi tubuh hewan dengan mengukur kadar air tubuh dengan
ruang distribusi urea. Namun, formula yang dikembangkan
memberikan hasil yang kurang memuaskan pada beberapa
percobaan di Indonesia. Kleiber (1961) mengulas teknik pengukuran
lemak dan protein tubuh yang didasarkan atas pengukuran berat
jenis tubuh. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa tubuh
terdiri dari bagian lemak dan bukan lemak (lean). Bila berat
jenis tubuh dapat diketahui maka berat lemak dapat dihitung.
Mahardika et el. (1996) telah mengembangkan teknik pengukuran
berat jenis tubuh kerbau dengan cara memasukkan kerbau ke
dalam kolam untuk menghitung volume tubuh kerbau. Produksi
panas/kebutuhan energi dapat dihitung dengan mengurangi ME
dengan energi yang teretensi di dalam tubuh (RE). Teknik ini telah
dilakukan dan menghasilkan data pada ternak kerbau (Mahardika
et al., 2000b), sapi Bali Laktasi (Sukarini, et al., 2001) dan pada
ayam kampung umur 0 – 8 minggu (Candrawati dan Mahardika,
1999).
Penelitian dengan teknik pengukuran energi termetabolis
yang disertai dengan pengukuran energi yang teretensi pada
beberapa jenis ternak telah mendapatkan hasil, kebutuhan energi
saat istirahat pada kerbau adalah 0,42 W0,75 MJ/h yang di dalamnya
W adalah berat badan ternak (kg). Pada sapi Bali didapatkan 0,52
246
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Gede Mahardika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
W0,75 MJ/h, sedangkan pada ayam kampung didapatkan 127,75
W0.75 K.cal/h. Kebutuhan energi untuk pertumbuhan pada kerbau
didapatkan 14,6 MJ setiap kenaikan 1 kg berat tubuh, sedangkan
kebutuhan energi untuk pertumbuhan pada ayam kampung adalah
3,26 K.cal ME setiap 1 g kenaikan berat badan. Kebutuhan energi
untuk kerja pada kerbau adalah 0,003 F1,43 ∆t0,93/ W0,09, yang di
dalamnya: Ek: kebutuhan energi untuk kerja (MJ), F: besar beban
kerja (N), W: massa tubuh (kg), ∆t : lama kerja (jam).
Power dan Howley (1990) melakukan pengukuran
kebutuhan energi untuk aktivitas pada manusia dengan melakukan
pengukuran konsumsi oksigen. Didapatkan bahwa VO2 = (0,1 X +
3,5) ml/menit/kg BB, pada obyek yang berjalan dengan kecepatan
50 – 100 m/menit. Pada obyek yang berlari dengan kecepatan 100
– 250 m/menit didapatkan VO2 = (0,2 X + 3,5) ml/menit/kg BB,
yang di dalamnya X adalah kecepatan berjalan dan 3,5 adalah VO2
pada saat istirahat. Rumus-rumus di atas ternyata berlaku pula
untuk kerbau baik pada saat berjalan maupun pada saat berlari.
Dengan menggunakan data-data kebu-tuhan energi untuk istirahat
pada kerbau dari data penelitian Mahardika (1996), Sumadi (1997)
dan Sastradipradja (1965) didapatkan kebutuhan energi untuk
istirahat adalah 0,37 W0,75 MJ/h. Dengan asumsi nilai RQ adalah
0,85 dan 1 liter oksigen setara dengan 20,5 KJ (McLean, 1986)
maka didapatkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh kerbau
pada saat istirahat adalah 3,4 ml/menit/kg BB (Sastradipradja, et
al., 1999). Dengan menggunakan hasil-hasil perhitungan di atas
maka dapat dibuat rumus konsumsi oksigen pada kerbau adalah
VO2 = (0,1 X + 3,4) ml/menit/kg BB, pada kerbau yang berjalan
dengan kecepatan 50 – 100 m/menit, sedangkan pada kerbau yang
berlari adalah VO2 = (0,2 X + 3,4) ml/menit/kg BB.
Sastradipradja et al. (1999) melakukan suatu perhitunganperhitungan untuk mengevaluasi efisiensi penggunaan oksigen
pada kerbau yang sedang bekerja dengan menggunakan data-data
VO2kerja, VO2istirahat, nadi dan pulsus oksigen. Data-data tersebut
dipakai untuk menghitung nilai hutang oksigen pada kerbau
yang sedang bekerja/berlari. Pada kerbau yang berlari dengan
kecepatan sampai 250 m/menit didapatkan hutang O2 = (VO2kerja
- VO2istirahat) e-kt, yang di dalamnya nilai k besarnya 0,025 pada
kerbau yang tidak terlatih dan 0,031 pada kerbau yang terlatih
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
247
Pendekatan Metabolisme Kuantitatif dalam Ilmu Nutrisi Ternak
dengan baik. Berdasarkan rumus tersebut didapatkan bahwa
pada kerbau yang sedang berpacu dengan kecepatan mencapai
250 m/menit yang menempuh jarak 1000 m, hutang oksigennya
adalah 633 liter pada kerbau yang tidak terlatih, sedangkan
kerbau yang terlatih adalah 450 liter. Kerbau yang terlatih lebih
efisien menggunakan oksigen daripada kerbau yang tidak terlatih.
Ini ditunjukkan dengan menurunnya hutang oksigen pada kerbau
yang terlatih.
Perhitungan Kebutuhan Protein
Sejalan dengan prinsip-prinsip pengukuran kebutuhan
energi pada ternak, maka kebutuhan protein pada ternak dapat
pula didekati dengan pendekatan serupa. Penentuan kebutuhan
protein juga ditentukan dengan pendekatan percobaan pakan dan
perubahan komposisi tubuh. Perhitungan-perhitungan dilandasi
oleh data tentang kecernaan protein pakan serta nilai biologi
protein itu sendiri.
Beberapa hasil penelitian mendapakan bahwa kebutuhan
protein untuk hidup pokok pada kerbau adalah 2,51 W0,75 g/h
(Mahardika, 1996), pada ayam kampung kebutuhannya adalah
4,28 W0,75 g/h (Candrawati dan Mahardika, 1999). Kebutuhan
protein untuk pertumbuhan pada kerbau dihitung berdasarkan
kenaikan berat tubuh, komposisi tubuh dan nilai biologis protein
serta kehilangan N melalui urin. Untuk kenikan 1 kg berat tubuh,
protein yang diperlukan adalah 181 g (kandungan protein
tubuh 18,1%). Dengan perhitungan nilai biologi protein sebesar
70% maka protein tercerna pada pakan yang diperlukan adalah
180/0,7 adalah 258 g. Nitrogen endogen pada urin = 0,2 W0,75.
Protein urin: 6,25 x 0,2 W0,75 = 1,25 W0,75, sehingga kebutuhan
protein untuk tumbuh (258 + 1,25 W0,75) x ∆W, yang di dalamnya
W adalah berat badan dan ∆W adalah perubahan berat badan (kg/
h), sedangkan kebutuhan protein untuk pertumbuhan pada ayam
kampung adalah 0,45 g protein pakan setiap kenaikan 1 g berat
badan (Candrawati dan Mahardika, 1999). Nilai ini setara dengan
protein ransum antara 19 – 20%. Kebutuhan protein untuk kerja
pada kerbau didapatkan 12,59 e0,95 t yang di dalamnya t adalah
lama kerja (jam).
248
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Gede Mahardika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Serapan Nutrien Oleh Organ
Pengukuran kebutuhan energi dan protein untuk laktasi
dengan menggunakan teknik perunutan dengan glukose yang
berlabel tritium telah dilakukan oleh Sukarini et al. (2000).
Metode ini melibatkan pengukuran laju alir darah di dalam
ambing, konsentrasi nutrien di dalam darah arteri dan di dalam
darah vena mamaria. Dengan mengalikan laju alir darah dengan
beda konsentrasi darah arteri dan vena maka akan didapat jumlah
nutrien yang diserap oleh ambing untuk produksi susu. Sukarini
et al. (2001) mendapatkan bahwa laju alir darah di ambing sapi
Bali betina adalah 997 liter untuk setiap 1 kg produksi susu. Pada
sapi yang berproduksi susu 2 kg/hari didapatkan serapan glukose
oleh ambing adalah 12,03 g/jam, serapan trigliserida 12,98 g/
jam dan serapan fenilalanin adalah 1992 nmoles/jam. Serapan
glukosa oleh ambing sapi Bali tersebut di atas baru sekitar 50%
dari serapan maksimum. Ini menunjukkan bahwa bila ransum sapi
Bali diperbaiki sehingga serapan nutriennya mendekati serapan
tertingginya, maka sapi Bali akan mampu memproduksi susu di
atas 3 kg/ekor/hari dengan kandungan lemak susu sekitar 8%. Bila
dilakukan penyesuaian terhadap kandungan lemak susu 4%, maka
produksi susu sapi Bali ini setara dengan 6 – 7 kg/ekor/hari.
Penutup
Pendekatan metabolisme kuantitatif adalah salah satu
pendekatan yang dikembangkan sebagai salah satu pilihan untuk
mengukur kebutuhan nutrien pada ternak khususnya pada
ternak-ternak lokal. Pendekatan metabolisme kuantitatif meliputi
pencernaan, metabolisme dan efisiensi pemanfaatan nutrien
untuk proses produksi, pengamatan komposisi tubuh ternak
pada berbagai tingkat pertumbuhan untuk mengetahui besarnya
simpanan nutrien di dalam tubuh serta pengamatan terhadap
efisiensi pengubahan nutrien untuk proses produksi (partial
efficiency). Pendekatan ini telah dapat memunculkan data-data
mengenai kebutuhan energi dan protein pada kerbau, sapi Bali,
dan ayam kampung.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
249
Pendekatan Metabolisme Kuantitatif dalam Ilmu Nutrisi Ternak
Daftar Pustaka
Candrawati, D.P.M.A. dan I.G. Mahardika. (1999) Pendugaan
kebutuhan energi dan protein ayam kampung umur 0 – 8
minggu. Penelitian dalam rangka program Magister, Program
Pascasarjana IPB.
Clar, U., K. Becker and A. Susenbeth. 1992. A mobile mask technique
for measuring gas exchange in cattle. J. Anim. Physiol. & Anim.
Nutr. 67: 133 - 142.
Holmes, C.W., D.B. Stephens and J.N. Toner. 1976. Livest. Prod. Sci.
3: 333 - 341.
Mahardika, I.G. 1996. Kinerja kerbau betina pada berbagai beban
kerja serta implikasinya terhadap kebutuhan energi dan
protein pakan. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor.
Mahardika, I.G., D. Sastradipradja, T. Sutardi and I.K. Sumadi, 2000a.
Nutrient requirements of exercising swamp buffalo, Bubalus
bubalis, II. Details of work energy of cows and its relation to
heart rate. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 2000. Vol. 13, No. 7: 1003
– 1009.
Mahardika, I.G., D. Sastradipradja, T. Sutardi and I.K. Sumadi, 2000b.
Nutrient requirements of exercising swamp buffalo, Bubalus
bubalis, from materials balance and in vivo body composition
by the body density method. I. Aspects of energy and protein
metabolism in working cows. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 2000.
Vol. 13, No. 5: 605 – 612.
McLean, J.A. and Tobin, G. 1987. Animal and Human Calorimetry.
Cambridge University Press.
Nolet, B.A, P.J. Butler, D. Masman and A.J. Woakes. 1992. Estimating
of daily energy expenditure from heart rate and doubly
labeled water in exercising geese. J. Physiological Zoology 65
(6): 118 - 1126.
Power, S.K. and E.T. Howley. 1991. Exercise Physiology. Theory
and Application to Fitness and Performance. Wm.C. Brown
Publishers.
Richards, J.I. and P.R. Lawrence. 1984. The estimation of energy
expenditure from heart rate in working oxen and buffalo. J.
Agric. Sci. 102: 711 - 717.
Rometsch, M. and K. Becker. 1991. Determining the reaction of
250
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Gede Mahardika • Fakultas Peternakan Universitas Udayana
heart rate of oxen to physical parameters with a portable
Data-Acquisition System. J. Agric. Eng. Research.
Sastradiprada, D. 1996. Basal metabolism of Indonesian water
buffaloes. Comm. Vet. 9: 29-34.
Sastradipradja, D., I.K. Sumadi dan I.G. Mahardika. 1996. Fisiologi
kerja pada hewan olahraga. Media Veteriner. Vol: 6. No: 1: 23
– 29.
Sukarini, I.A., D. Sastradipradja, I.G. Mahardika and I.W. Budiarta.
2000. Nutrient utilization, body composition and lactation
performance of first Bali cows (Bos sondaicus) on grasslegume based diets. Asian-Aust. J. Anim. Sci. Vol: 13. No.12:
1681 – 1690.
Sukarini, I.A., D. Sastradipradja, N. Nusada, I.G. Mahardika and B.
Kiranadi 2001. Mammary performance of first lactation Bali
cow fed grass-legume based on diets in relation to the role of
glucose. Asian-Aust. J. Anim Sci Vol: 14, No: 5: 615 – 622.
Sumadi, I.K. 1997. Fisiologi latihan kerbau mekepung dan
implikasinya terhadap kebutuhan energi dan protein pakan.
Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
251
PEMANFAATAN TEKNOLOGI IRIGASI TETES (DRIP
IRRIGATION) DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN
LAHAN KERING
I Nyoman Merit
Pendahuluan
Kegiatan pertanian lahan kering mempunyai fungsi yang
sangat strategis dalam upaya penyediaan bahan pangan bagi
penduduk maupun bahan baku bagi industri. Selain itu, kegiatan
pertanian lahan kering juga mempunyai fungsi sebagai kegiatan
konservasi baik terhadap sumber daya alam maupun terhadap
budaya masyarakat setempat. Peran ini tidak bisa digantikan
oleh sektor lainnya dan oleh karena itu, sektor pertanian lahan
kering perlu dikembangkan, disesuaikan dengan kebutuhan
serta tuntutan masyarakat. Secara garis besar, pengembangan
pertanian termasuk pertanian lahan kering kedepan harus
memenuhi dimensi ekonomis yaitu memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat petani dan mempunyai dimensi ekologis yaitu
tidak merusak lingkungan. Bila kita ingin mencapai pembangunan
pertanian yang berkelanjutan, maka kedua dimensi tersebut harus
dipenuhi. Untuk bisa mendukung dan memenuhi kedua dimensi
tersebut, maka semua pihak yang terkait dengan sektor pertanian
mulai dari petani, lembaga penelitian pertanian, penyuluh
pertanian, birokrat, sektor swasta, lembaga keuangan dan
masyarakat hendaknya mempunyai pemahaman dan komitmen
yang sama tentang pentingnya pertanian berkelanjutan termasuk
pertanian lahan kering. Kepas (1988) menyatakan bahwa, lahan
kering merupakan sebidang tanah yang dapat digunakan untuk
usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan
biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Dalam perjalanan
sejarah pertanian, pembangunan sektor pertanian lahan kering
mempunyai andil yang cukup besar di dalam meningkatkan
252
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana
kesejahteraan umat manusia. Indonesia mempunyai aset nasional
berupa pertanian lahan kering sekitar 111,4 juta hektar atau
58,5% dari luas seluruh daratan (Notohadiprawiro, 1989).
Pertanian lahan kering mempunyai kondisi fisik dan potensi
lahan yang sangat beragam dengan kondisi sosial ekonomi petani
umunya kurang mampu. Selanjutnya Sudarto, dkk (1995 dalam
Syam, dkk, 1996) mengemukakan bahwa lahan kering merupakan
sumber pertanian terbesar ditinjau dari segi luasnya, namun
profil usaha tani pada agro ekosistem ini sebagian masih diwarnai
oleh rendahnya produksi yang berkaitan erat dengan rendahnya
produktivitas lahan.
Banyak pertanyaan yang mucul di kalangan masyarakat
apakah pertanian lahan kering memang perlu dikembangkan untuk
menjawab tuntutan bahan makanan bagi penduduk. Perkembangan
dewasa ini menunjukkan bahwa usaha tani lahan kering, dalam
keadaan alamiah memiliki berbagai kondisi yang menghambat
perkembangannya. Kodisi tersebut antara lain; keterbatasan air,
kesuburan tanah yang rendah, peka terhadap erosi, topografi
bergelombang sampai berbukit, produktivitas lahan rendah dan
ketersediaan sarana yang kurang memadai (Haridjaya, 1990).
Oleh karena itu, Sinukaban (1995) menegaskan bahwa di dalam
pengembangan dan pengolahan pertanian lahan kering hendaknya
mencakup empat unsur yaitu; 1) perencanaan penggunaan lahan
yang sesuai dengan kemampuannya, 2) tindakan-tindakan khusus
konservasi tanah dan air, 3) menyiapkan tanah dalam keadaan
olah yang baik, dan 4) menyediakan unsur hara yang cukup dan
seimbang bagi komoditi tanaman yang diusahakan.
Di samping hal-hal yang telah disebutkan diatas, perlu
pula diperhatikan karakteristik faktor pengahambat di dalam
pengembangan pertanian lahan kering. Karakteristik yang
dimaksud antara lain, terbatasnya air irigasi, iklim mikro yang
sangat ekstrim serta terbatasnya komoditi pertanian yang mampu
beradaptasi pada lahan tersebut. Sudah tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa pengembangan pertanian pada lahan kering hanya
berorientasi pada pemanfaatan air irigasi yang terbatas yaitu
yang berasal dari curah hujan atau memanfaatkan air tanah yang
biaya eksplorasinya sangat mahal. Dalam kontek pembangunan
pertanian yang tangguh dan efisien maka perlu suatu strategi yang
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
253
Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering
tepat untuk mengelola air irigasi yang sangat terbatas. Oleh karena
itu, di dalam orasi ini saya mencoba untuk memaparkan secara
singkat suatu teknologi irigasi yang hemat air.
Irigasi tetes (Drip Irrigation) merupakan salah satu teknologi
mutakhir dalam bidang irigasi yang telah berkembang hampir di
seluruh dunia. Teknologi mula pertama diperkenalkan di Israel,
dan kemudian menyebar hampir ke seluruh pelosok penjuru dunia.
Pada hakekatnya, teknologi ini sangat cocok diterapkan pada
kondisi lahan kering berpasir, air yang sangat terbatas, iklim yang
kering dan komoditi yang diusahakan mempunyai nilai ekonomi
yang tinggi (Bucks et al., 1982; Parthasarathy, 1988). Kemudian
Zoldoske (1998) menambahkan bahwa teknologi drip harus
diaplikasikan secara selektif mengingat teknologi ini sangat mahal.
Disamping itu pemilihan komponen-komponen drip seperti pipa,
emitter, pengatur kualitas air (filter) harus dilakukan secara cermat
untuk menghindari kerugian yang bersifat fatal. Selanjutnya Jass
Stryker (2000) mengemukakan bahwa irigasi tetes yang sering
juga disebut irigasi trickle mempunyai keuntungan yang tinggi
karena air langsung diserap oleh tanah tanpa ada penguapan dan
air diberikan sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Irigasi tetes yang sering disebut dengan Drip atau Trickle
pada dasarnya merupakan cara pemberian air pada tanaman
secara langsung, baik pada permukaan tanah maupun didalam
tanah melalui tetesan secara sinambung dan perlahan pada tanah
di dekat tumbuhan saja tidak pada seluruh areal. Alat pengeluaran
pada sistem irigasi tetes disebut Emiter yang hanya mengeluarkan
air beberapa liter per jam (Schwab et al., 1981). Setelah air
keluar dari emiter air akan meyebar ke dalam profil tanah oleh
gaya kapilaritas dan gravitasi. Daerah yang dibasahi emiter
tergantung pada besarnya aliran, jenis tanah, kelembaban tanah,
dan permeabilitas tanah. Aliran air dapat diatur secara manual,
maupun otomatis untuk menyalurkan debit air tertentu sesuai
dengan waktu tertentu, serta menyalurkan air apabila kelembaban
tanah menurun (Hansen et al., 1986). Irigasi tetes dapat diterapkan
pada daerah-daerah dimana : a) air tersedia sangat terbatas atau
sangat mahal, b) tanah berpasir , berbatu atau sukar didatarkan,
dan c) tanaman dengan nilai ekonomis tinggi (Prastowo, 2003b).
Irigasi tetes menurut Keller dan Bleisner (1990) mempunyai
254
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana
beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan sistem irigasi
konvensional. Kelebihan yang dimiliki oleh sistem irigasi tetes,
antara lain: 1) Efisiensi di dalam pemakaian air irigasi relatif
paling tinggi bila dibandingkan dengan sistem irigasi lain, karena
pemberian air dengan kecepatan lambat dan hanya pada daerah
perakaran, sehingga penetrasi air yang berlebihan, evaporasi dan
limpasan permukaan dapat ditekan; 2) Dalam irigasi tetes kondisi
tanaman dibiarkan dalam kondisi kering, hal ini dapat mencegah
penyakit daun terbakar (leaf burn), selain itu juga memungkinkan
berlangsungnya proses kegiatan budidaya secara manual maupun
mekanis walaupun sedang berlangsung kegiatan irigasi; 3) Karena
daerah yang dibasahi hanya pada daerah perakaran, maka hal ini
dapat mengurangi serangan hama dan penyakit tanaman akibat
kondisi yang terlalu basah serta dapat mengurangi pertumbuhan
gulma; 4) Efektivitas dan efisiensi yang cukup tinggi dalam
pemberian pupuk atau pestisida karena pemberiannya dapat
diberikan bersamaan dengan air irigasi dan hanya diberikan pada
daerah perakaran; 5) Pada sistem irigasi tetes tidak memerlukan
persiapan lahan yang khusus dan menghemat kebutuhan tenaga
kerja untuk kegitan pemberian air irigasi maupun kegiatan
pemupukan karena sistem dapat dioperasikan secara otomatis;
6) Pemberian air yang kontinyu pada daerah perakaran akan
melarutkan garam-garam yang berada pada daerah perakaran
sehingga dapat mengurangi resiko penumpukan garam dan dapat
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman.
Efisiensi sistem irigasi tetes merupakan parameter yang
sangat penting untuk mengetahui perbandingan antara jumlah
total air yang diberikan dengan jumlah air irigasi yang masuk
ke dalam daerah perakaran. Efisiensi irigasi sistem tetes dapat
diketahui dari keseragaman penyebaran air (emission uniformity)
dari emiter. Hubungan antara nilai efisiensi irigasi tetes (Es) dan
nilai keseragaman penyebaran (Eu) dipengaruhi oleh perkolasi
yang tidak terhindarkan dan kebutuhan leaching. Koefisien
keseragaman adalah evaluasi secara kualitatif dari variasi aliran
emiter. Nilai koefisien diatas 98% adalah sangat baik. Jika nilai
koefisien keseragaman berkisar antara 95-98% adalah masih dapat
diterima sedangkan jika koefisien keseragaman dibawah 95%
maka design harus diubah. Misalnya dengan cara memperpendek
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
255
Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering
panjang pipa atau dengan memperbesar diameter pipa (Bucks et
al. , 1982).
Berkaitan dengan efisiensi dari sisitem irigasi tetes beberapa
penelitian menunjukkan bahwa irigasi tetes dapat menghemat
pemakaian air yang cukup meyakinkan. Misalnya penelitan yang
dilakukan oleh Merit, 1987 melaporkan bahwa irigasi tetes pada
tanaman selada (lettuce) dapat menghemat air sampai 50% bila
dibandingkan dengan irigasi konvensional. Di samping itu, kualitas
selada yang dihasilkan (yang dapat dipasarkan) juga meningkat
(Sutton dan Merit, 1993). Selanjutnya Merit (1990) melaporkan
bahwa irigasi tetes pada budidaya tomat dapat menghemat air
sampai 60 % dari jumlah air yang diperlukan oleh tanaman serta
mampu meningkatkan hasil baik kualitas maupun kuantitas hasil
tomat.
Di samping memiliki keunggulan-keunggulan seperti
diuraikan di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi ini
mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya diperlukan investasi
yang cukup besar pada tahap awal, pemeliharaan jaringan irigasi
yang sangat intensif serta hambatan-hambatan lain seperti
penyumbatan (clogging) pada lubang-lubang tetes (emitter) (Buck
et al., 1982 ). Selanjutnya, Prastowo (2001a) merinci beberapa
kelemahan/ kekurangan pada sistem irigasi tetes antara lain: 1)
penyumbatan emiter yang disebabkan oleh faktor fisik, kimia dan
biologi yang dapat mengurangi efisiensi dan kinerja sistem, 2) pada
daerah perakaran yang tidak terbasahi akan berpotensi terjadi
penumpukan garam, 3) pemberian air yang tidak mencukupi
kebutuhan tanaman akibat kurang dikontrol dengan baik dapat
menghambat pertumbuhan tanaman, dan 4) diperlukan investasi
yang cukup tinggi dan dibutuhkan teknik yang relatif tinggi dalam
design, instalasi dan pengoperasian sistem.
Komponen Sistem Irigasi Tetes
Pada umumnya sistem irigasi tetes yang terdapat di lapang
memiliki komponen yang terdiri atas pompa, pipa utama, pipa sub
utama atau manifold, pipa lateral, emiter dan sistem pengontrol,
seperti pengatur tekanan dan pengatur debit serta tangki
pemupukan.
Emiter merupakan komponen yang menyalurkan air dari
256
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana
pipa lateral ke tanah dengan debit rendah dan tekanan mendekati
tekanan atmosfer. Emiter dirancang untuk mengalirkan aliran
air yang seragam pada laju konstan dan tidak bervariasi secara
signifikan yang disebabkan oleh perbedaan tekanan (Keller dan
Bleisner, 1990). Dalam pemilihan emiter, harus dipertimbangkan
beberapa faktor antara lain : jenis dan bahan emiter, debit emiter
yang diinginkan, tekanan operasi yang harus diberikan pada emiter,
ukuran atau diameter pambasahan, serta jarak dan posisi emiter
sepanjang lateral. Penetes (emiter) yang baik harus mempunyai
karakteristik : a) debit yang rendah dan konstan, b) toleransi yang
tinggi terhadap tekanan operasi, dan c) tidak dipengaruhi oleh
perubahan suhu, dan d) umur pemakaian cukup lama (Prastowo,
2003b).
Pipa lateral merupakan tempat dihubungkannya emiter
tetapi dalam beberapa keadaan emiter merupakan bagian dari
lateral. Pemillihan bahan pipa lateral harus didasarkan pada
pertimbangan kuallitas dan harga karena dibutuhkan dalam jumlah
yang banyak. Penentuan jumlah dan jarak pipa lateral dipengaruhi
oleh jarak tanaman. Setiap garis tanaman memerlukan satu buah
pipa lateral, tetapi untuk beberapa tanaman hortikultura tertentu
dua garis tanaman dapat dipenuhi oleh sebuah lateral. Pipa
biasanya dibuat dari bahan plastik poly ethilene (PE) atau pipa
polyvinile chloride (PVC) dengan diameter antara 12 hingga 32
milimeter. Design lateral menyangkut pada pemilihan pipa dengan
panjang yang telah ditentukan agar mampu mengalirkan air dalam
jumlah yang dibutuhkan tanaman dan batas toleransi keseragaman
yang diinginkan. Data design pipa lateral yang dibutuhkan adalah
kemiringan lahan, debit emiter yang digunakan, jumlah emiter tiap
tanaman, jarak emiter dan keseragaman emiter yang dikehendaki
(Prastowo. 2003b)
Pipa sub utama atau manifold biasanya disambungkan
langsung dengan pipa lateral. Pipa manifold juga terbuat dari
PVC. Pada manifold terdapat katup pengatur tekanan dan katup
pengatur debit baik manual maupun otomatis.
Pipa utama biasanya terbuat juga dari PVC atau paduan
antara semen dan asbes. Pada saluran ini biasanya terdapat
katup pembilasan yang berguna untuk membilas secara periodik.
Pembilasan menjadi penting karena adanya endapan koloid atau
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
257
Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering
mikro organisme yang dapat menyumbat emitter. Pengatur
debit dan tekanan diperlukan pada bagian pipa pembagi untuk
megendalikan tekanan pada pipa agar tidak mengakibatkan sistem
menjadi tidak seragam.
Pompa merupakan komponen utama yang dibutuhkan
untuk menyediakan tenaga pemompaan air irigasi, mengangkut,
atau memindahkan sejumlah air dalam satuan waktu tertentu
dari sumber air ke lahan tanaman. Pemililhan pompa harus
mempertimbangkan efisiensi yang maksimal serta dapat
mencukupi debit dan total dynamic head (TDH) yang dibutuhkan
untuk irigasi.
Pola pembasahan tanah merupakan salah satu parameter
yang harus diperhatikan dalam design irigasi tetes. Hal ini ditujukan
agar air irigasi yang diberikan dapat optimal sehingga tanaman
tidak kekurangan suplai air irigasi yang dapat menghambat
pertumbuhan ataupun suplai air irigasi yang menjadikan sistem
tidak efisien. Persentase area yang terbasahi untuk irigasi tetes
adalah area yang terbasahi dibandingkan dengan seluruh area
budidaya. Besarnya akan tergantung pada debit, tipe, jarak dan
jumlah emiter tiap tanaman serta tipe tanah. Untuk mendapatkan
design yang baik, pertimbangan faktor tanaman, tanah, dan
karakteristik emiter harus diinteragasikan ke dalam suatu sisitem
yang disesuaikan dengan bentuk dan topografi lahan yang diirigasi.
Untuk perencanaan tata letak dibutuhkan peta topografi lengkap
dengan garis kontur skala 1 : 5.000. Skala peta yang lebih besar
sudah tentu akan membantu dalam proses design dan tata letak.
Tata letak sub unit tergantung pada jarak emiter, jarak tanaman,
debit emiter rata-rata, variasi tekanan head yang diijinkan, jumlah
stasiun operasi yang diinginkan, panjang baris tanaman, topografi
dan batas lahan.
Keller dan Bleisner (1990) menyarankan bahwa tata letak
dari subunit yang ideal memiliki beberapa kriteria: 1) jumlah sub
unit dan titik-titik pengontrol debit dan tekanan yang seminimum
mungkin, 2) biaya jaringan perpipaan yang ekonomis, 3)
keseragaman pada debit aliran sistem, 4) konfigurasi subunit yang
seragam dalam ukuran dan bentuk, dan 5) variasi tekanan head
yang diijinkan.
Karakteristik hidrolik emiter mempangruhi aspek keragaman
258
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana
irigasi antara lain: bentuk pembasahan, distribusi air, serta variasi
debit dan tekanan yang berbeda. Selama pengoperasian hubungan
antara debit aliran dan tekanan pada emiter dinyatakan dengan
persamaan berikut (Prastowo. 2001b).
Qe = Kd . Hx
Dimana Qe adalah debit emiter (liter/jam)
Kd adalah koefisien debit emiter
H adalah head tekanan emiter (meter)
X adalah eksponen debit emiter
Nilai Kd dan x biasanya telah dari perusahaan pembuat
emiter atau dapat ditentukan dengan cara mengetahui nilai dari
debit emiter pada dua tekan operasi yang berbeda.
Untuk menjaga keseragaman air irigasi sepanjang lateral
pemilihan dimensi pipa diupayakan menghasilkan variasi debit ≤
10%. Pengalaman empiris menunjukan bahwa untuk variasi debit
terebut variasi tekan akibat kehilangan head dan pebedaan elevasi
≤ 20% dari tekan operasi emiter rata-rata. Perhitungan hidrolik
untuk manifold serupa dengan perhitungan untuk lateral, hanya
saja debit yang keluar dari outlet manifold merupakan debit dari
tiap lateral.
Sisitem Pengelolaan Irigasi Tetes di Tingkat Petani
Pengelolaan sistem irigasi tetes memerlukan pengetahuan
di bidang teknis pompa air sampai ke berbagai perlengkapannya.
Selain itu, pengetahuan tentang jadwal irigasi (jumlah dan waktu
pemberian air) juga diperlukan agar penggunaan sisitem ini tetap
efisien. Setiap penggunaan irigasi tetes harus disertai dengan
manejemen pengoperasian dan pemeliharaan yang memadai.
Dalam penerapan sistem irigasi tetes di tingkat petani,
beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk pengelolaan
fasilitas irigasi adalah a) motivasi petani, b) kemampuan teknis
dan finansial, dan c) kelembagaan usaha tani. Seperti halnya pada
irigasi konvensional, motivasi petani akan sangat menentukan
keberhasilan pengoperasian sistem irigasi tetes. Pengelolaan
sistem ini memerlukan kemampuan teknis dan finansial yang
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
259
Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering
relatif lebih tinggi. Pemahaman tentang nilai air irigasi yang harus
diperhitungkan dalam analisa usaha tani hanya dapat diterima oleh
petani yang mempunyai sikap dan motivasi yang jelas (berorientasi
pasar) dalam usaha pertaniannya (Prastowo, 2001b). Terdapat
tiga alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan dalam penerapan
sistem irigasi tetes yaitu : a) pelayanan jasa, b) penyewaan, dan c)
kepemilikan.
a) Sistem pelayanan jasa
Dalam sistem ini petani menerima sejumlah air sesuai
dengan yang diperlukan untuk tanaman yang diusahakan
dengan jadwal tertentu. Petani hanya membayar iuran sesuai
dengan jumlah air atau jumlah jam pemakaian sistem irigasi
tetes. Petani tidak memerlukan pengetahuan teknis tentang
sistem irigasi tetes. Petani juga tidak mempunyai resiko di
bidang finansial untuk pengadaan sistem irigasi maupun
pengoperasian. Pengadaan, pengoperasian dan, perawatan
sistem irigasi menjadi tanggung jawab pemberi jasa pelayanan
yang dalam hal ini dapat berupa badan swasta, koperasi atau
kelompok tani yang telah memiliki tenaga berpengetahuan
teknis dan manajemen. Meskipun demikian, petani perlu
tetap diberi penyuluhan dan bimbingan di dalam memilih
komoditas yang erat kaitannya dengan pemakaian air yang
efisien sehingga petani akan merasakan manfaat/keuntungan
sistem irigasi ini.
b)
Sistem penyewaan
Sistem ini merupakan alternatif kedua dalam penerapan
sistem irigasi tetes. Penyewaan dapat dilakukan oleh petani
pada koperasi atau badan usaha lainnya sebagai pemilik.
Namun demikian, alternatif ini mungkin sukar diterapkan
pada sistem irigasi tetes mengingat perlatan sistem irigasi
tetes tidak selalu dapat disamakan dengan alat atau mesin
pertanian lainnya (misalnya tidak selalu dapat dengan mudah
dipindah-pindahkan).
c)
Sistem kepemilikan
Sistem kepemilikan ini dimungkinkan setelah petani
menguasai pengetahuan teknis pengoperasian dan
260
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana
pemeliharaan serta kemampuan di bidang finansial untuk
pengadaannya. Petani yang memiliki tanah di atas luasan titik
impas (break even point) dapat memiliki sistem irigasi tetes.
Penerapan Irigasi Tetes di Indonesia
Penerapan teknologi irigasi tetes di Indonesia masih sangat
terbatas pada usaha pertamanan, (landscaping) lapangan golf, dan
perusahan perkebunan, tetapi belum banyak diadopsi oleh petani.
Sejumlah pengusaha swasta telah menerapkan teknologi irigasi
tetes untuk budidaya tanaman tertentu yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi, dan dikelola dengan orientasi bisnis. Sistem irigasi
ini belum banyak dikenal oleh masyarakat luas (petani) karena
adanya kendala finansial, manajemen, maupun teknis (Prastowo,
2003a).
Beberapa alasan penggunaan irigasi tetes di Indonesia
antara lain adalah 1) tidak tersedianya jaringan irigasi gravitasi/
permukaan, 2) terbatasnya debit sumber air pada musim kemarau
sehingga pemanfaatannya harus dilakukan seefisien mungkin,
3) kondisi topografi tidak datar sehingga tidak memungkinkan
diterapkannya irigasi gravitasi/permukaan, 4) pemberian air
irigasi hanya pada periode tertentu (musim kemarau) dan tidak
diperlukan jaringan irigasi yang permanen sehingga dengan
penerapan irigasi tetes biaya irigasi relatif lebih murah, 5) kondisi
tanah sangat porus (tanah berpasir) sehingga apabila diterapkan
irigasi permukaan akan terjadi kehilangan air yang relatif besar
dalam bentuk perkolasi, dan 6) tuntutan budidaya tanaman
(hidroponik, rumah kaca, lapangan golf) yang menghendaki
ketepatan jumlah dan waktu pemberian air, kualitas air, serta
digunakannya sarana irigasi untuk pemberian pupuk dan
pestisida.
Penerapan irigasi tetes di Indonesia umumnya dilakukan
pada lokasi dengan tipe iklim yang termasuk zone agroklimat
C, D, dan E. Sistem ini dapat diterapkan pada tanah yang sangat
bervariasi antara lain: liat, liat berpasir, lempung liat berpasir,
lempung berpasir dan pasir. Jenis tanaman yang dibudidayakan
umumnya termasuk tanaman unggulan setempat yang mempunyai
prospek menguntungkan bila diusahakan, baik tanaman semusim,
setahun maupun tanaman tahunan. Yang termasuk tanaman
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
261
Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering
semusim, antara lain cabai, tomat, sayuran petsai, kool, daun
bawang, melon, tebu dan nenas. Jenis tanaman tahunan yang cocok
untuk diirigasi dengan sistem irigasi tetes adalah mangga, jeruk,
apel, rambutan, dan durian. Sumber irigasi yang dipergunakan
adalah air tanah (dangkal maupun dalam) mata air, sungai, dan
embung. Oleh karena kondisi lahan kering (air sangat terbatas),
maka sumber air utama yang diharapkan adalah air tanah dan air
dari tampungan curah hujan.
Hasil kajian kelayakan finansial yang pernah dilakukan
terhadap penerapan irigasi tetes pada lahan petani menunjukkan
bahwa biaya irigasi, luasan titik impas maupun kelayakan investasi
penerapan irigasi tetes sangat beragam (Prastowo 2003a). Hasil
pengkajian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kelayakan
finansial penerapan irigasi tetes pada lahan petani sangat spesifik
tergantung pada disain irigasi tetes yang dibangun, jenis tanaman
yang dibudidayakan, dan lokasi penerapannya.
Luasan titik impas memberikan gambaran luasan minimum
yang harus dapat diairi apabila digunakan irigasi tetes untuk
budidaya tanaman tertentu agar secara finansial teknologi ini layak
diterapkan. Untuk budidaya tanaman sayuran, luasan titik impas
untuk irigasi tetes berkisar antara 1,4 – 16,3 ha sedangkan untuk
tanaman buah-buahan luasan titik impas penerapan irigasi ini
adalah 0,1 – 15,0 ha. Identifikasi lahan potensial untuk irigasi tetes
dapat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor agroklimat,
sumber air, jenis tanah dan budidaya tanaman unggulan. Aspek
agroklimat menunjukkan kondisi kecukupan air suatu wilayah,
sedangkan aspek sumber air menggambarkan kesediaan suplai
air irigasi (fluktuasi debit dan kualitas air) sepanjang tahun. Aspek
jenis tanah yang penting diperhatikan adalah tekstur tanah dan
laju infiltrasi (Prastowo, 2003b).
Perkembangan irigasi tetes di Indonesia relatif baru
dan terbatas pada beberapa lokasi saja. Hasil demonstrasi
irigasi tetes oleh tim Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang
bekerjasama dengan Toyota Fondation dari Jepang menunjukkan
hasil yang sangat menggembirakan. Penelitian yang dilakukan di
daerah Gunung Kidul (lahan yang sangat kritis) ternyata mampu
memberikan harapan baru bagi petani disekitarnya. Petani yang
biasanya gagal bercocok tanam pada musim kemarau, akhirnya
262
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana
dapat mengusahakan tanaman hortikultura seperti bawang, cabai,
melon dan tanaman palawija walaupun dalam areal yang sangat
sempit setelah mengadopsi teknologi irigasi tetes tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir Pusat Pengkajian dan
Penerapan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika dari Lembaga
Penelitian IPB Bogor telah sangat intensif melakukan studi tentang
aplikasi irigasi tetes di beberapa tempat di Indonesia. Hasil studi
ini menunjukkan bahwa penerapan irigasi tetes pada budidaya
pertanian lahan kering telah mendapat respon yang positif dari
petani. Saat ini sedang dilakukan demonstrasi penerapan irigasi
tetes di beberapa tempat di Indonesia.
Di Bali, teknologi irigasi tetes sudah mulai dilaksanakan.
Beberapa perusahan swasta telah memanfaatkan teknologi
ini seperti perkebunan strawberry di Panca Sari Buleleng (PT
Mustika Nusantara Abadi) dan perusahan hidroponik sayursayuran di Gobleg, Buleleng. Untuk pertanian lahan kering di
Bali Barat sejak tahun 2000 telah dibuat demonstrasi percobaan
untuk memperkenalkan teknologi irigasi tetes kepada petani
disekitarnya. Penelitian ini dilakukan oleh Tim dari Fakultas
Pertanian Unud bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Bali. Pada tahun pertama penelitian diarahkan
untuk tanaman cabai, sedangkan tahun kedua dilanjutkan dengan
tanaman tomat. Selanjutnya, pada tahun ketiga dan keempat
penelitian difokuskan pada tanaman anggur mengingat lokasi
tersebut sangat potensial untuk pengembangan tanaman ini.
Hasil demonstrasi plot menunjukkan bahwa teknologi irigasi tetes
telah memberikan harapan yang sangat meyakinkan bagi petani
dalam hal meningkatkan efisiensi penggunaan air. Kelompok
petani di wilayah penelitian (Abdi Pertiwi) sangat antusias untuk
mengadopsi teknologi ini. Namun, mereka dihadapkan pada
kendala finansial mengingat teknologi ini memerlukan biaya
investasi yang relatif tinggi pada tahap awal.
Di Bali Utara, khususnya di Kecamatan Tejakula (Buleleng)
dan Kecamatan Kubu (Karangasem),
teknologi ini mulai
diperkenalkan. Hal ini sejalan dengan program pengembangan
pemanfaatan air bawah tanah dalam proyek kerjasama antara
pemerintah RI dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Sampai
saat ini, beberapa sumur pompa telah berhasil dibangun dan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
263
Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering
airnya dimanfaatkan oleh petani di kawasan tersebut. Petani telah
diarahkan oleh proyek untuk memanfaatkan air secara efisien
dengan mengadopsi teknologi irigasi tetes. Kendala yang dihadapi
oleh petani adalah tingginya biaya operasional untuk menaikan air
dari sumur pompa tersebut. Timbul pertanyaan mungkinkah petani
pemakai air dapat disubsidi oleh pemerintah, seperti halnya pada
input produksi pertanian yang lain (pupuk dan obat-obatan).
Daftar Pustaka
Bucks, D.A., F.S. Nakayama and A. W. Warrick. 1982. Principles,
Practice and Potentialities of Trickle (Drip) Irrigation.
Advance in Agronomy, Vol. 1 : 219 – 297
Hansen, V. E., O. W. Israelsen dan G. E. Stringham. 1986. Dasar-dasar
dan Praktek Irigasi (terjemahan). Erlangga. Jakarta.
Haridjaja. 1990. Pengembangan Pola Usaha Tani Campuran Pada
Lahan kering yang Berwawasan Lingkungan di Kabupaten
Sukabumi. Laporan Penelitian Jurusan Tanah IPB. Bogor.
Jass Straykers. 2000. Drip Irrigation Design Guidelines. http://
www. Irrigation Tutorials
Karmeli, D. G. Peri dan M. Todes. 1985. Irrigation Systems: Design
and Operation. Oxfort University Press. Cape Town.
Keller, J. And Bleisner, R. D. 1990. Sprinkler and Trickle Irigation.
AVI Publishing Company. Inc. New York. USA.
Kepas. 1988. Pedoman Usaha tani Lahan kering : Zone
Agroekosistem Batuan Kapur.
Badan penelitian dan
pengembangan Pertanian, Jakarta.
Merit. N. 1987. The Effect of Water Stress on the Growth of
Lettuce. M. Agr. Thesis (unpublished), The University of
Sydney, Australia
Merit, N. 1990. Drip irrigation Management in Salad Tomato
Production. Ph. D. Thesis (unpublished), The University of
Sydney, Australia.
Notohadiprawiro. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia :
Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Makalah
Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan
Palawija. SECDP-USAID, Bogor 6-8 Desember 1989. 19 hal.
264
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
I Nyoman Merit • Fakultas PertanianUniversitas Udayana
Parthasarathy, M. 1988. High effisiency Drip Irrigation for the
Poorest Peasants of the third World. Proceedings Fourth
International Micro Irrigation Congress, Vol. 1. AlburyWodonga, Australia. October 23-28 , 1988
Prastowo. 2001a. Komponen Irigasi Tetes. Modul Kuliah
dalam Pelatihan Aplikasi Teknologi Hidroponik untuk
Pengembangan Agribisnis Perkotaan. Pusat Pengkajian dan
Penerapan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika (CREATA)
Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor Bekerjasama
dengan Departemen Pendidikan Nasional, Bogor 1 – 12
Oktober, 2001
Prastowo. 2001b. Pengoperasian Jaringan Irigasi Tetes. Modul
Kuliah dalam Pelatihan Aplikasi Teknologi Hidroponik untuk
Pengembangan Agribisnis Perkotaan. Pusat Pengkajian dan
Penerapan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika (CREATA)
Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor Bekerjasama
dengan Departemen Pendidikan Nasional, Bogor 1 – 12
Oktober, 2001
Prastowo. 2003a. Sistem Irigasi Bertekanan. Modul Kuliah
Komponen Irigasi Sprinkler dan Drip. Pusat Pengkajian dan
Penerapan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika (CREATA)
Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor Bekerjasama
dengan Departemen Pendidikan Nasional, Bogor 14 – 25
April, 2003
Prastowo. 2003b. Komponen Irigasi Sprinkler dan Drip. Modul
Kuliah dalam Pelatihan Aplikasi Teknologi Irigasi Sprinkler
dan Drip. Pusat Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknik
untuk Pertanian Tropika (CREATA) Lembaga Penelitian
Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Departemen
Pendidikan Nasional, Bogor , 20 April – 10 Mei, 2003
Schwab, G.O., R. K. Frevet, T.W. Edmister and K.K. Barnen. 1981.
Soil and Water Conservation Engineering. 3 nd ed. John Wiley
and Sons. New York.
Sinukaban, N. 1995. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bahan
Kuliah pada Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Sutton, B.G. and N. Merit. 1993. Maintenance of Lettus Root Zone at
field Capacity Gives Best Yield with Drip Irrigation. Scientea
Horticulturae 56 : 1- 11
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
265
Pemanfaatan Teknologi Irigasi Tetes (Drip Irrigation) dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering
Syam, A. K. Kariyasa., E. Suyitno dan Z. Zaini. 1996. Prosiding
Lokakarya Evaluasi Hasil Penelitian Lahan Pertanian Lahan
Kering. Pusat Penelitian dan Agroklimat, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Zoldoske, D.F. 1998. Selecting a Drip Irrigation System for
Vineyards. Bull Center for Irrigation Technology, California.
266
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
RIWAYAT HIDUP
PARA KONTRIBUTOR
I Made Mastika dilahirkan pada tanggal 7 September
1947 di Singaraja Bali, menyelesaikan pendidikan dasar di SR.
Banyuning pada tahun 1960 dan melanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Pertama di SMP Negeri II Singaraja dan tamat pada
tahun 1963. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas
di SMA Negeri I Singaraja pada tahun 1966. Kemudian mengikuti
pendidikan tinggi di Fakultas Peternakan Universitas Udayana
dan selesai sebagai Ir Peternakan pada tahun 1973. Selanjutnya
menjadi asisten ahli (honorer) di jurusan Nutrisi dan Makanan
Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana. Pada tahun
1975 terpilih sebagai wakil pemuda Bali untuk ikut dalam program
pertukaran pemuda ASEAN –Jepang dalam program “The Ship
for the South East Asean Youth Program” tahun 1975. Pada tahun
1974 mewakili dosen Fakultas Peternakan untuk ikut dalam Short
Course on Poultry Production in the Tropics yang diselenggarakan
oleh Lembaga AAUCS-Australia. Tahun 1978 tugas belajar magister
ke Australia pada Department of Biochemistry and Nutrition,
University of New England dan selesai pada tahun 1982. Setelah
kembali ke Indonesia pada tahun 1983 ikut program jarak jauh
Akta Mengajar V, dan pada tahun 1983 terpilih sebagai dosen
teladan I, Universitas Udayana. Pada tahun 1984 melanjutkan studi
ke Australia untuk program Ph.D, di Department of Biochemistry,
Microbiology and Nutrition, University of New England, dan selesai
pada tahun 1987.Pada tahun 1990-1992 menjadi Ketua Jurusan
Nutrisi dan Makan Ternak di Fakultas Peternakan Universitas
Udayana dan pada tahun 1992 dikukuhkan sebagai Guru Besar
dengan judul orasi ilmiah “Potensi Limbah Pertanian dan Industri
Pertanian untuk Makanan Ternak”. Pada tahun 1993 sampai dengan
1999 menjabat sebagai Dekan Fakultas Peternakan, untuk dua kali
masa jabatan. Pada tahun yang sama sampai dengan 2000 diberi
kesempatan sebagai Sekretaris Senat Universitas Udayana. Tahun
2004 sampai sekarang dipercaya untuk menjadi Ketua Komisi I
(Pendidikan) Senat Universitas Udayana. Sampai tahun 2009 tidak
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
267
kurang dari 125 judul tulisan ilmiah telah dihasilkan dan dimuat
pada majalah/media nasional dan internasional
D. K. Harya Putra, dilahirkan di Singaraja pada 13 Agustus 1948 dari pasangan suami istri I Dewa Nyoman Teges (alm)
dengan Gusti Made Mas. Pada tahun 1974, Harya Putra menikah
dengan Dewa Ayu Nyoman Seniwati (asal Negara, Jembrana) dan
dikaruniai 3 orang anak. Kini, Kepala UPT. Penerbit Universitas
Udayana dan Kepala Laboratorium Ilmu Faal, Fakultas peternakan,
Universitas Udayana. Memperoleh gelar Sarjana Petemakan (S,)
dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP), Universitas Udayana, Denpasar, pada tahun 1974. Memperoleh gelar Master of Science (M.Sc - S;) dari University of Queensland, Brisbane,
Australia pada tahun 1982. Memperoleh gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dari Unversity of Queensland, Brisbane, Australia, pada
tahun 1989. Banyak menulis di berbagai jurnal ilmiah, penelitian,
menerjemahkan buku ajar, dan penyunting yang cermat.
I Wayan Redi Aryanta, dilahirkan Desa Subamia, Tabanan,
11 Oktober 1943. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah
berturut turut di Sekolah Rakyat, Tuakilang, Tabanan tahun
1957, Sekolah Menengah Pertama Negeri Tabanan tahun 1960
dan Sekolah Menengah Atas Negeri Denpasar tahun 1963.
Terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Hewan
dan Peternakan Unud pada tahun 1963 – 1970. Menyelesaikan
Program S2 pada Department of Food Science and Technology
University of the Philippines, Los Banos, Philippines pada 1980, dan
S3 di Department of Food Science and Technology, University of New
South Wales, Australia tahun 1989. Disamping pendidikan formal
beliau juga aktif mengikuti berbagai kursus nongelar khususnya
yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Mengikuti UNESCO
Regional Training Workshop on “Advances in Microbial Process
for the Utilization of Tropical Raw Material in The Production of
Food Products”, di Los Banos (Okt. 1993); Mengikuti 7th Annual
International Seminar on Sustainable Development of Biotechnology
in Tropics, di Manila (Host Scientist: Prof. T. Yoshida, sponsor:
268
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
JSPS, Nop. 1998), Mengikuti Conference of ASAIHL on The Role of
Universities in the Quest for Peace, di Makati (Nop. 2004).
Diangkat menjadi dosen di Fak Kedokteran Hewan dan
Peternakan pada tahun 1971 dan tahun 1995, Prof Redi Aryanta
bergabung sebagai dosen pada Fak Teknologi Pertanian, Unud.
Disamping aktivitas sebagai dosen beliau juga banyak mengemban
tugas-tugas administrasi seperti tercatat sebagai Kepala Bagian
Teknologi Hasil Ternak, FKHP (FAPET) Unud (1980-1983),
Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Hindu Indonesia
(1993-1998), Sekretaris Pusat Penelitian Teknologi dan Kesenian
Unud (1995-1998), Ketua Program Studi Teknologi Pertanian
(sekarang FTP, 1998 – 2001), Pembantu Rektor Bidang Akademik
Universitas Udayana (2001-2005), dan Ketua Badan Penjaminan
Mutu Universitas Udayana (2006-1009).
Di sela-sela kesibukannya mengajar mahasiswa di S1 FTP
dan program Megister Pascasarjana Unud (PS Bioteknologi) dan
program Doktor Ilmu-ilmu Pertanian, Prof W Redi Aryanta aktif
meneliti dan telah menerbitkan tidak kurang dari 32 artikel
ilmiah di jurnal nasional dan internasional, serta makalah ilmiah
yang dipresentasikan tidak kurang dari 57 makalah baik dalam
pertemuan ilmiah nasional maupun internasional.
I Nengah Netera Subadiasa, adalah Guru Besar Guru Besar
pada Jurusan/Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian
Universitas Udayana.
Dia dilahirkan di Tabanan pada tanggal 4 Juli 1948.
Menyelesaikan pendidikan dasar di SR Tabanan tahun 1955,
sementara pendidikan menengah diselesaikan di SMP Negeri
Tabanan tahun 1961 dan SMA Negeri Tabanan tahun 1964. Pada
tahun 1968 masuk Fakulats Pertanian Universitas Udayana dan
menamatkan gelar Ir. Pertanian pada tahun 1978. Gelar Magister
diraih di Fakultas Pascasarjana IPB pada tahun 1982 dan gelar
Doktor di bidang Kesuburan Tanah diraih di Fakultas Pasca Sarjana
IPB pada tahun 1988.
Sempat menjabat sebagai kepala SPMA Saraswati di kota
kelahirannya, Tabanan, pada tahun 1976-1970 dan sejak tahun
1975 diangkat sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian. Selama
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
269
menjadi dosen di Fakultas Pertanian Universitas Udayana, sempat
menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian periode tahun 19931996 dan sebagai Kepala Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Udayana periode tahun 1998-2001.
Guru besar Fak Pertanian ini sangat konsen dengan alih
fungsi lahan di daerah Bali dan Indonesia umumnya. Aktif
melakukan penelitian di bidang keilmuwannya termasuk di bidang
lahan kering serta telah mempublikasikan hasil penelitiannya
baik dalam bentuk artikel yang terbit di jurnal ilmiah, sebagai
narasumber dalam berbagai seminar dan pertemuan ilmiah.
I Ketut Suter, dilahirkan di Gianyar pada tahun 1950.
Menyelesaikan program S1 pada Fakultas Pertanian, Unud, bidang
Teknologi hasil pertanian pada tahun 1978. Menyelasaikan
Program S2 di bidang Ilmu Pangan pada tahun 1981 di Sekolah
Pascasarjana, IPB, Bogor pada tahun 1981, dan S3 dibidang yang
sama pada Fak Pascasarjana, IPB Bogor, pada tahun 1988.
Semenjak tahun 1976 menjadi staf pengajar pada Fak.
Pertanian Unud, dan selanjutnya menjadi Staf pengajar pada
Fak Teknologi Pertanian Unud. Dikukuhkan sebagai Guru Besar
Madya di bidang Ilmu Pangan pada tahun 1996. Guru Besar FTP
ini disamping kesibukannya memberikan kuliah dibidang ilmu
pangan dan keamanan pangan juga aktif melakukan penelitian
dan tercatat sebagai ketua Pusat Kajian Makanan Tradisional.
Sejumlah hasil penelitian telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah
serta dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah.
I Wayan Arga, Guru Besar Ekonomi Pertanian ini, dilahirkan
di Tabanan pada tanggal 14-12-1942. Menamatkan pendidikan S1
pada Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas
Udayana pada tahun 1971. Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun
1987 di Universitas Gadjah Mada tahun 1987. Menjadi pegawai
sementara pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana pada
tahun 1967 dan selanjutnya diangkat menjadi dosen tetap pada
Fakultas Pertanian Unud pada tahun 1972.
270
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
Putu Suyadnya, dilahirkan di Denpasar pada tanggal 4
Oktober 1944. Tamat pada Fakultas Kedokteran Hewan dan
Peternakan Unud pada tahun 1973. Menyelasaikan Program S2
pada PS Pascasarjana IPB Bogor pada tahun 1982 di bidang Biologi
Reproduksi dan pada tahun 1987 menyelesaikan S3 pada PS Ilmu
Ternak IPB dibidang ilmu ternak.
Diangkat menjadi staf pengajar di Fapet Unud pada tahun
1975 dan manjadi Guru Besar di bidang Ilmu Ternak pada tahun
1997. Guru Besar Fapet ini tercatat pernah menjabat sebagai
Kepala Farm Sobangan Fapet Unud (1976-1977), Kepala Farm
Sesetan Fapet Unud (1978-1979), Koordinator Desa-desa Binaan
LPM Unud (1989-1994), Tenaga Inti LPM Unud (1995-1998), dan
Kepala Lab. Reproduksi Fapet Unud (2000 – sekarang). Disamping
aktivitas sebagai staf pengajar, Prof. Suyadnya juga aktif melakukan
penelitian dan telah mempublikasikan hasil penelitian di berbagai
jurnal ilmiah.
I Ketut Saka, dilahirkan di Tejakula pada tanggal 24 Mei
1942. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah berturut turut
di SR Negeri Tejakula, Buleleng pada tahun 1957, SMP Baktiyasa,
Singaraja pada tahun 1960), dan SMA N Singaraja pada tahun 1963.
Tamat pada Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Unud
pada tahun 1975. Menyelasaiakn Program S2 pada tahun 1983
di School of Agriculture and Forestry, University of Melbourne, dan
S3 pada PS. Ilmu Ternak IPB pada tahun 1997 dibidang produksi
ternak daging/ilmu daging.
Guru Besar Fapet ini aktif melakukan penelitian dan bahkan
tercatat sebagai sebagai tim peneliti kawasan IPTEKS berbasis
konservasi dan pengembangan sapi Bali Nusa Penida. Dari
rangkaian hasil penelitian yang telah dilakukan telah dipublikasikan
di jurnal nasional dan internasional, menjadi pembicara dalam
berbagai pertemuan ilmiah naional dan internasional serta
telah mengikuti berbagai pelatihan dan short course dalam dan
luar negeri. Disamping kegiatan penelitian, Prof. I Ketut Saka
juga banyak memberikan ceramah, pelatihan, pembinaan dan
penyuluhan di bidang peternakan sebagai bentuk pengabdian ke
pada masyarakat.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
271
Dibidang organisasi, Prof. I K. Saka tercatat sebagai anggota
IPSI (Ikatana Sarjanan Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia), Anggota
alumni Australia, Anggota the Association of Nutrition and Feed
Science (AINI).
W Sayang Yupardhi, dilahirkan Gianyar, Bali pada tanggal
18 Februari 1949. Menamatkan Sarjana Fakultas Kedokteran
Hewan dan Peternakan, Universitas Udayana pada tahun 1977
dan Master pada Animal Production, Agricultural and Forestry,
University of Melbourne, Australia pada tahun 1988.
Guru Besar pada Fisiologi Ternak pada Fakultas Peternakan
Universitas Udayana ini disamping kegiatan yang padat di bidang
Tri Dharma Perguruan Tinggi, juga aktif mengikuti berbagai
pelatihan dan short course di dalam dan di luar negeri baik di bidang
Fisiologi Hewan dan Ilmu Peternakan tetapi juga pada bidang
yang berkaitan dengan perbaikan sistem pendidikan di perguruan
tinggi. Selama perjalanan karier ilmiahnya, Guru Besar Peternakan
ini menulis beberapa karya ilmiah di bidang Fisiologi Hewan serta
Ilmu Peternakan lainnya dan telah dipublikasikan dalam majalah
ilmiah terbitan dalam dan luar negeri serta beberapa buku ajar.
Nyoman Sadra Dharmawan, dilahirkan di Bebandem,
Karangasem, Bali, pada tanggal 5 Oktober 1958. Menempuh
pendidikan tinggi hingga memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan (1981) dan Profesi Dokter Hewan (1982) pada Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta.
Selanjutnya, menyelesaikan pendidikan Pascasarjana S2, Sains
Veteriner, pada Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
(1990) serta pendidikan S3, Sains Veteriner, diselesaikan pada
1995, lewat program sandwich di Institute of Tropical Medicine,
Antwerpen, Belgia dan Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Sadra adalah staf pengajar pada Fakultas Kedokteran Hewan
dan Program Pascasarjana (S3) di Universitas Udayana. Mantan
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana (1997 –
2001) yang pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengabdian
272
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
kepada Masyarakat (LPM) pada 2001 – 2005 dan Sekretaris Badan
Penjaminan Mutu (BPMU) di Universitas Udayana pada 2006
– 2008, di samping masih giat mengajar, meneliti dan melakukan
pengabdian kepada masyarakat, juga aktif dalam pertemuanpertemuan ilmiah. Anggota Dewan Redaksi Jurnal Veteriner
– Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan Indonesia - dan Jurnal Udayana
Mengabdi. Dalam kapasitasnya sebagai Anggota Tim Quality
Assurance Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional, Prof Sadra aktif memberikan pelatihan,
pendampingan dan technical assistance tentang penjaminan mutu
di perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Menikah dengan Ketut
Konny Dimiati, SE dengan tiga orang putra.
I Made Badra Arihantana, dilahirkan di Karangasem
ada tanggal 14 April 1947. Menamatkan pendidikan doktor di
University of New South Wales, dan menjadi Guru Besar tetap di
bidang Ilmu dan Teknonologi Pertanian Pada Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Udayana.
Indayati Lanya, adalah Guru Besar di bidang Evaluasi
Lahan pada Jurusan/Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas
Pertanian Universitas Udayana. Dia dilahirkan di Cirebon pada
tanggal 8 September 1954. Menyelesaikan pendidikan dasar di
SR Cirebon pada tahun 1967, sementara pendidikan menengah
diselesaikan di kota yang sama yaitu SMP Negeri III Cirebon tahun
1970 dan SMA Negeri II Cirebon tahun 1973. Pada tahun 1975
masuk Institut Pertanian Bogor dan Ir. Pertanian di bidang Ilmu
Tanah pada tahun 1979.
Gelar Magister diraih di Fakultas Pascasarjana IPB pada
tahun 1985 dan gelar Doktor di bidang Kesuburan Tanah diraih di
Fakultas Pascasarjana IPB pada tahun 1994 dibidang Ilmu Tanah
khususnya Evaluasi Lahan. Sempat menjabat sebagai asisten dosen
luar biasa (tidak tetap) di Kimia Analitik, Foto Udara, Kartografi
dan Geomorfologi di Fakultas Pertanian, IPB Bogor. Pada tahun
1979 diangkat sebagai Staf Peneliti Budidaya Tebu di Proyek
Gula Jati Tujuh Cirebon, serta sempat menjadi konsultan Remote
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
273
Sensing, survei dan pemetaan di PT. EXA International, Bogor. Pada
tahun 1979-1989 diangkat sebagai dosen Departemen Ilmu Tanah,
Fakultas Pertanian IPB dan pada tahun 1989 sampai sekarang
adalah dosen tetap Fakultas Pertanian Universitas Udayana serta
Kepala Laboratorium Manajemen Sumber daya Lahan, Fakultas
Pertanian Unud.
Disamping melakukan kegiatan Tri Dharma, Guru Besar
Fak Pertanian ini padat dengan aktivitas baik sebagai editor jurnal
ilmiah, tenaga ahli dan konsultan lembaga swasta dan pemerintah
serta telah mempublikasikan hasil penelitainnya dalam jurnal ilmiah
dan buku, serta aktif dalam kegiatan kerjasama dengan berbagai
instansi swasta dan pemerintah. Prof. Indrayati juga aktif mengikuti
berbagai pelatihan dan workshop di bidang manajemen lahan dan
yang berkaitan dengan keilmuwannya di dalam dan di luar negeri.
I Nyoman Supartha, dilahirkan di Karangasem pada tanggal
19 Maret 1953. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah
berturut turut di SD Negeri 1 Duda, Karangasem pada tahun 1965,
SMP Gunung Agung, Selat, Karangasem pada tahun 1968, dan
SMA N 1 Denpasar pada tahun 1971. Menamatkan sarjana pada
Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 1978. Menyelesaikan
program megister pada tahun 1992 di Program Studi Ilmu
Penyuluhan Pembangunan (PPN), Pascasarjana, IPB, Bogor dan
selanjutnya Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan , pada
Pascasarjana, IPB, Bogor pada tahun 2001.
Diangkat menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Hewan
dan Peternakan Universitas Udayana pada tahun 1978. Semenjak
tahun 2003 ditetapkan sebagai Guru Besar tetap di Bidang Ilmu
Sosial Ekonomi Peternakan (Ilmu Penyuluhan Pembangunan).
Disamping aktif mengajar mahasiswa S1 di Fak Peternakan, beliau
juga adalah pengajar di Program Pascasarjana Unud pada Program
Studi Ilmu Manajemen Agribisnis.
Disamping kesibukan mengajar, meneliti dan melalukan
pengabdian kepada masyarakat, beliau juga aktif di bidang organisasi
serta mengelola usaha yang bergerak dibidang peternakan ayam.
Beliau juga tercatat sebagai Komisaris Utama PT. Tohpati Poultry
serta Komisaris Utama Bank Parta Kencana Tohpati. Dibidang
274
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK
ilmiah Guru Besar Unud ini telah menerbitkan tidak kurang dari
13 judul buku baik dibidang organisasi kemasyarakatan maupun
di bidang keilmuwan yang digelutinya.
Sederet prestasi mengagumkan telah diraih oleh Prof.
Nyoman Supartha dari sebagai mahasiswa teladan nasiolal Unud,
juga sederet penghargaan di bidang akademik dan wirausaha
telah disandang oleh Profesor Unud ini. Dibidang akademik,
beliau adalah lulusan gemilang S3 IPB Bogor dan penyaji terbaik
hasil penelitian Dikti thn 2004. Di bidang wirausaha beliau adalah
penyandang penghargaan 50 besar enterprenourship usaha
menengah dan usaha dengan jejaring paling baik, serta The Best
Eksekutif 2003-2004 dari Asean Development Citra Award tahun
2004 dan Eksekutif Berprestasi 2003-2004 dari Forwija Award.
I Gede Mahardika dilahirkan pada tanggal 18 Maret 1960
di Jembrana, Bali. Menamatkan Pendidikan Sarjana Peternakan
di Fakultas Peternakan Universitas Udayana pada tahun 1984.
Menamatkan Pendidikan Megister (MS) tahun 1990 di Fakultas
Pascasarjana, IPB, Bogor dan Pendidikan Doktor pada tahun 1996
di Fakultas Pascasarjana IPB Bogor. Pada tahun 1994 mendapat
kesempatan mengikuti trianing dalam bidang Kalorimetri Hewan
selama 6 bulan di Universitas Hohenheim, Stuttgart, Jerman.
Sampai saat ini telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, baik
diterbitkan dalam jurnal ilmiah nasional terakreditasi maupun
pada jurnal ilmiah internasional. Sejak tahun 2005 diangkat
sebagai Guru Besar pada Fakultas Peternakan Universitas Udayana
dalam bidang Ilmu Nutrisi Ternak. Di samping sebagai dosen tetap
pada Fakultas Peternakan Univeristas Udayana dengan bidang
keahlian Fisiologi Nutrisi, saat ini menjabat sebagai Ketua Lembaga
Penelitian Unversitas Udayana sejak tahun 2007.
Nyoman Merit, dilahirkan di Tabanan pada tanggal 14 April
1947. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah berturut
turut di Sekolah Rakyat, Tegallinggah pada tahun 1961, Sekolah
Menengah Pertama Negeri, Penebel tahun 1964 dan Sekolah
Menengah Atas Negeri Tabanan tahun 1967. Terdaftar sebagai
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
275
mahasiswa pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana pada
tahun 1969 – 1978. Menyelesaikan Program Magister di Sydney
University, Australia dibidang Pengelolaan Air Tanah pada tahun
1987 dan menyelesaikan doktor pada departemen yang sama
di Sydney University, Australia, pada tahun 1991 dibidang yang
sama.
Pernah sebagai asisten dosen Fakultas Pertanian Unud
pada tahun 1976-1978 sebelum diangkat menjadi dosen tetap
Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Unud pada tahun 1978.
Selain mengajar di Jurusan Ilmu Tanah Fak Pertanian, Unud, juga
sebagai pengajar pada Program Pascasarjana Univeritas Udayana
pada Program Magister Lahan Kering dan Program Magister Ilmu
Lingkungan. Sampai sekarang Prof. Nyoman Merit adalah Kepala
Laboratorium Fisika, Konservasi Tanah dan Air, Fak Pertanian,
Unud.
Guru Besar Fak. Pertanian ini aktif melakukan penelitian di
bidang degradasi dan sumberdaya lahan, kualitas air dan irigasi
drip pada pertanian hortikultura. Disela-sela kegiatan memberikan
kuliah pada mahasiswa sarjana dan pascasarjana, Prof. Merit aktif
melakukan penelitian dan beberapa hasil penelitiannya telah
dipublikasikan pada jurnal ilmiah nasional dan internasional,
serta mengikuti pertemuan ilmiah untuk selalu mengikuti
perkembangan ilmu dan teknologi dibidang yang digelutinya.
276
PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG AGROKOMPLEK