majalah ilmiah issn 0854 0128 - Fakultas Pertanian

Transcription

majalah ilmiah issn 0854 0128 - Fakultas Pertanian
MAJALAH ILMIAH
ISSN 0854
0128
Gusnawaty HS, Muhammad Taufik, Sarawa M, Asmar Hasan dan Asdar : KAJIAN
POTENSI AGENS HAYATI UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT KUTIL
(Synchytrium pogostemonis) PADA TANAMAN NILAM (Pogostemon cablin Benth.)
Gusti Ayu Kade Sutariati, Sitti. Leomo dan Tresjia C. Rakian : KERAGAAN
PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA
BERBAGAI UKURAN UMBI DAN TEKNOLOGI LEISA
Bahari : ANALISIS EFISIENSI TEKNIS USAHATANI PADI SAWAH PADA
SENTRA PRODUKSI DI KABUPATEN BOMBANA DAN KABUPATEN KONAWE
SELATAN
Aminuddin Mane Kandari, Syamsu Alam dan Hasan: OPTIMASI LAHAN
PERTANIAN BERBASIS AGROKLIMAT UNTUK PENGEMBANGAN PADI
SAWAH MENGGUNAKAN METODE SPASIAL
Suryanti, Bambang Hadisutrisno, Mulyadi, dan Jaka Widada : PERANAN JAMUR
MIKORIZA ARBUSKULAR TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT LADA
La Ode Safuan dan Hasbulah Syaf : PENGARUH STATUS HARA N, P DAN K
TANAH SUB SOIL PADA LERENG YANG BERBEDA TERHADAP
PERTUMBUHAN TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
Azhar Ansi : PENGARUH RESIDU PUPUK ORGANIK DAN NITROGEN (N)
TERHADAP LAJU ASIMILASI BERSIH DAN PRODUKSI JAGUNG DAN KACANG
TANAH DALAM SISTEM TUMPANGSARI
Taane La Ola, Hartina Batoa dan Muh. Sahwa : FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI
PERILAKU
KONSUMEN
DALAM
PENGAMBILAN
KEPUTUSAN PEMBELIAN IKAN ASIN DI PASAR SENTRAL LAINO RAHA
KABUPATEN MUNA
Putu Arimbawa, Muhammad Aswar Limi, dan Rosmawaty : PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI OPTIMALISASI PENGGUNAAN LAHAN
KERING DAN PEMANFAATAN WAKTU LUANG DI KECAMATAN LANDONO
KABUPATEN KONAWE SELATAN
Muhammad Aswar Limi: PENGARUH FAKTOR PRODUKSI TERHADAP
PRODUKSI USAHATANI JAGUNG MELALUI PENDEKATAN ANALISIS JALUR
VOLUME 24 NOMOR 01 JANUARI 2014
TERBIT TIGA KALI SETAHUN
KAJIAN POTENSI AGENS HAYATI UNTUK MENGENDALIKAN
PENYAKIT KUTIL (Synchytrium pogostemonis) PADA
TANAMAN NILAM (Pogostemon cablin Benth.)
Oleh : Gusnawaty HS1), Muhammad Taufik 1), Sarawa M1), Asmar Hasan1), dan Asdar2)
ABSTRACT
This study aimed to evaluate the potential of biological agents in controlling the disease warts (S.
pogostemonis) and increase plant growth patchouli (P. cablin Benth). This study was conducted in the
Laboratory Agrotechnology Units of Plant Pathology, and screen house Faculty of Agriculture Halu Oleo
University. Aplication of biological agents on an infected patchouli either singular (Gliocladium sp,
Bacillus sp, Trichoderma sp) or mixed (Gliocladium sp + Bacillus sp, Gliocladium sp + Trichoderma sp,
Bacillus sp + Trichoderma sp, Gliocladium sp + Bacillus sp + Trichoderma sp). The variable measured
were the incubation period and the severity of disease, plant height and number of leaves and dry weight
of patchouli. The result showed that aplication of biological agent singular look better in reducing the
severity of disease, increase in the number of leaves and dry weight, while the mix of biological agents
look better in slow incubation period, increasing the increment of plant height and number of leaves. In
general, a mixtureof two types of biological agents have the some potency as compared with a mixture of
three types of biological agents in controlling wart disease and promote plant growth patchouli. While a
single biological agent Bacillus sp has more potential than other biological agent in cotrolling wart
disease and promote plant growth patchouli.
Keywords : bacillus, disease warts, Gliocladium, Trichoderma
PENDAHULUAN
Tanaman nilam (Pogostemon cablin
Benth.) adalah salah satu tanaman penghasil
minyak atsiri yang merupakan bahan baku
penting dalam industri wewangian dan
kosmetika dengan berbagai keunggulan
seperti: (a) sukar menguap dibanding dengan
minyak atsiri lainnya, (b) sukar tercuci, (c)
dapat larut dalam alkohol, dan (d) dapat
dicampur dengan minyak eteris lainnya.
Karena sifat-sifat inilah minyak nilam
dipakai sebagai fiksatif (pengikat bau/aroma)
untuk industri wewangian (Rahma dan
Mitarlis, 2005).
Tanaman nilam berasal dari daerah
Cina bagian selatan sampai perbatasan Asia
Tenggara dan diduga tersebar ke Indonesia
melalui Filipina. Di Indonesia, penghasil
utama nilam berada di propinsi Nangroe
Aceh
Darusalam
(NAD),
Sumatera,
Bengkulu, Jawa dan hingga saat ini telah
1)
2)
banyak dibudidayakan di Sulawesi Tenggara
seperti Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka,
Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara
dan Kota Kendari. Seperti halnya dengan
tanaman budidaya lainnya, nilam juga rentan
terhadap gangguan seperti penyakit kutil
yang disebabkan oleh cendawan Synchytrium
pogostemonis dengan gejala spesifik berupa
tonjolan pada daun, batang dan ranting
berwarna
coklat
kehitaman,
daun
menggulung dan mengalami malformasi
tanaman menjadi kerdil (Sumardiyono et al.,
2008). Di Sulawesi Tenggara, penyakit kutil
(S. pogostemonis) pertama kali dilaporkan
terdapat di Desa Rante Angin, Kolaka Utara,
Sulawesi Tenggara (Taufik et al. 2012).
Gejala yang nampak adalah pembengkakan
atau terbentuk kutil berupa benjolan kecilkecil pada pangkal batang, cabang, ranting
atau tunas-tunas. Gejala tersebut berkembang
ke batang, cabang, ranting, dan tulang daun
Staf Pengajar Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kendari,
Mahasiswa Pada Program Pasca Sarjana Universitas Halu Oleo Kendari
01
2
sehingga permukaannya terlihat kasar dengan
warna hitam kecokelatan. Daun yang baru
terbentuk berukuran kecil-kecil, kaku, dan
keriting. Beberapa tahun kemudian gejala
kutil telah ditemukan pada tanaman nilam di
Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Konawe.
Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit
kutil bukan hanya mengurangi berat kering
tanaman nilam tetapi juga dapat mengurangi
kuantitas dan kualitas minyak nilam.
Dilaporkan infeksi pada tanaman muda dapat
menyebabkan intensitas penyakit mencapai
90% (Herwita dan Nasrun, 2009). Cendawan
S. pogostemonis ini memiliki kemampuan
membentuk struktur sporangium yang dapat
bertahan lama di dalam tanah sehingga
tanah-tanah yang terinfeksi perlu diberakan
dalam waktu yang cukup lama.
Di Sulawesi Tenggara, penyakit kutil
pada tanaman nilam masih tergolong sebagai
penyakit baru untuk itu diperlukan usaha
untuk menentukan strategi pengendalian
yang cepat dan tepat.
Alternatif
pengendalian
yang
diusulkan
adalah
menggunakan agens hayati. Pengendalian
penyakit dengan menggunakan agens hayati
adalah salah satu komponen pengendalian
terpadu yang sekaligus dapat menunjang
sistem pertanian berkelanjutan, karena
pengendalian ini lebih ramah lingkungan.
Beberapa agens hayati yang potensial dan
dapat digunakan untuk mengendalikan
patogen yaitu Gliocladium, sp., rizobakteri
dan Trichoderma sp.
Hasil penelitian yang dilaporkan oleh
Taufik (2008) bahwa Trichoderma sp. dapat
mengendalikan penyakit layu pada tanaman
tomat. Selanjutnya hasil penelitian Hartal et
al. (2010) menunjukkan bahwa Trichoderma
sp.
dan
Gliocladium
sp.
efektif
mengendalikan perkembangan layu fusarium
pada tanaman krisan dengan penekanan
tertinggi ditunjukkan oleh aplikasi dalam
bentuk kombinasi (70.1%) yang diikuti
dengan aplikasi tunggal Trichoderma sp.
(56.4%) dan Gliocladium sp. (55.9%). Selain
Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp.,
penggunaan
rizobakteri
untuk
mengendalikan penyakit pada tanaman
budidaya juga telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti, diantaranya Taufik et al. (2005,
2010) melaporkan bahwa, rizobakteri dapat
menginduksi ketahanan tanaman cabai yang
terinfeksi oleh Cucumber mosaic virus. Oleh
karena itu penelitian ini diperlukan untuk
mengkaji
sekaligus
mengevaluasi
kemampuan agens hayati tersebut untuk
mengendalikan penyakit kutil pada tanaman
nilam.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini disusun berdasarkan
Rancangan Acak Kelompok (RAK), yang
terdiri atas delapan perlakuan yaitu sebagai
berikut:
A1 = Tanpa agens hayati (kontrol)
A2 = Gliocladium sp.
A3 = Rizobakteri
A4 = Trichoderma sp.
A5 = Gliocladium sp. + Rizobakteri
A6 = Gliocladium sp. + Trichoderma sp.
A7 = Rizobakteri + Trichoderma sp.
A8 = Gliocladium sp. + Rizobakteri +
Trichoderma sp.
Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali
sehingga total unit penelitian adalah 24 unit.
Dalam setiap unit penelitian terdapat tiga
tanaman uji sehingga keseluruhan terdapat 72
tanaman.
Prosedur Penelitian
Persiapan Media Tanam dan Tanaman
Uji
Media tanam yang digunakan berupa
tanah dan pupuk kandang (2:1) kemudian
dicampur terlebih dahulu lalu dimasukan ke
media polibag yang berukuran 20 × 30 cm.
Polibag yang telah diisi siap digunakan
sebagai media tanam.
Stek nilam diambil dari cabang pangkal
tengah atau pucuk tanaman nilam yang masih
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128
3
muda. Setelah itu dipotong-potong dengan
panjang sekitar
15-23 cm atau ± 3-5 mata
tunas. Untuk mengurangi penguapan, maka
daun yang ada pada stek dihilangkan. Stek
kemudian ditanam pada polibag yang telah
berisi media tanam sedalam 10 cm dan
diletakkan dalam rumah kasa.
Persiapan Agens Hayati dan Aplikasi
Pada Media Tanam
Gliocladium sp.
Isolat Gliocladium sp. diperoleh dari
koleksi Laboratorium Ilmu Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian
Universitas Halu Oleo Kendari. Isolat
Gliocladium sp. tersebut sebelumnya telah
diperbanyak pada media sekam selama tujuh
hari dan selanjutnya siap diaplikasikan.
Aplikasi Gliocladium sp. diberikan sebanyak
10 g pada media tanam yang telah disiapkan.
Aplikasi Gliocladium sp. Diberikan tujuh
hari sebelum tanam.
Rizobakteri
Isolat rizobakteri diperoleh dari koleksi
Laboratorium Mikrobiologi Universitas
Gadja Mada. Formulasi tersebut langsung
diberikan pada media tanam dengan cara
mencampur 10 g formulasi rizobakteri
dengan media tanam dalam setiap polybag.
Aplikasi rizobakteri dilakukan tujuh hari
sebelum tanam.
Trichoderma sp.
Isolat Trichoderma sp. diperoleh dari
koleksi Laboratorium Ilmu Hama dan
Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian
Universitas Halu Oleo Kendari. Isolat
Trichoderma sp. tersebut diperbanyak pada
media beras selama tujuh hari selanjutnya
siap diaplikasikan. Aplikasi Trichoderma sp.
pada media tanam dilakukan dengan cara
mencampurkan 10 g Trichoderma sp. ke
dalam media tanam yang diberikan 7 hari
sebelum tanam.
Inokulasi Penyakit S. pogostemonis
Secara Mekanis
Cabang dan daun nilam yang terinfeksi
oleh penyakit S. pogostemonis dikumpulkan
kemudian ditimbang sebanyak 10 g lalu
dipotong-potong dan direndam ke dalam 100
ml aquades steril selama 24 jam untuk
mendapatkan suspensi cendawan patogen
kemudian diinokulasikan pada daun tanaman
nilam sehat. Inokulasi patogen dilakukan dua
minggu setelah tanam. Inokulasi dilakukan
pada 2 daun muda yang sebelumnya telah
dilakukan pelukaan dengan menggunakan
jarum pentul pada permukaan daun,
kemudian suspensi cendawan patogen
tersebut diinokulasikan pada permukaan
daun dengan menggunakan kapas.
Pemeliharaan
Pemeliharaan yang akan dilakukan
meliputi penyiraman, yaitu dua kali sehari
pada waktu pagi dan sore hari. Penyiangan
dilakukan dengan cara mencabut tumbuhan
liar yang tumbuh di sekitar tanaman.
Pengendalian hama dilakukan secara manual
dengan mengambil dan mematikan hama
yang ditemukan pada tanaman.
Variabel Pengamatan
Masa inkubasi dan keparahan penyakit
Masa/periode inkubasi adalah waktu
munculnya gejala awal pada tanaman uji
sejak inokulasi S. pogostemonis yang
ditandai dengan adanya gejala kutil yang
terlihat.
(Nurmansyah, 2011)
Keterangan :
KP = Keparahan penyakit (%)
n = Jumlah tanaman dari setiap kategori serangan
v = Nilai skor setiap kategori serangan
N = Jumlah tanaman yang diamati
Z = Nilai skor dari kategori serangan tertinggi
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128
4
Dengan
berdasarkan
pengelompokan
kategori gejala penyakit kutil sebagai berikut
:
0=
1=
2=
3=
4=
5=
6=
0% (tidak ada gejala penyakit kutil)
gejala penyakit kutil 1 - 12%
gejala penyakit kutil 12 - 23%
gejala penyakit kutil 23 - 35%
gejala penyakit kutil 35 - 47%
gejala penyakit kutil 47 - 59%
gejala penyakit kutil 59% ke atas
Pertambahan Tinggi tanaman
Tinggi tanaman diukur sejak tujuh hari
setelah penanaman dan selanjutnya diamati
setiap minggu hingga akhir penelitian dan
pertambahan tinggi merupakan selisih tinggi
tanaman sebelum dan sesudah pengukuran .
Berat kering
Pengukuran berat kering tanaman
dilakukan pada akhir penelitian. Pada akhir
penelitian seluruh tanaman nilam dipanen
dengan cara tanaman nilam dipanen beserta
akarnya kemudian dikeringkan menggunakan
oven pada suhu 270C selama 48 jam, setelah
Gambar 1 .
itu ditimbang
analitik.
menggunakan
timbangan
Analisis data
Data pengamatan di analisis sidik
ragam (uji F) pada taraf kepercayaan 95%
dan jika hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan berpengaruh nyata maka
dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal dan
uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Masa Inkubasi dan Keparahan Penyakit
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan agens hayati pada tanaman
nilam yang diinokulasi oleh cendawan
S. pogostemonis
berpengaruh nyata
terhadap masa inkubasi dan keparahan
penyakit. Hasil uji kontras ortogonal ratarata masa inkubasi dan keparahan penyakit
disajikan pada Tabel 1, sedangkan hasil uji
DMRT-nya disajikan dalam bentuk grafik
pada Gambar 1
.
Grafik hasil uji DMRT rata-rata masa inkubasi dan keparahan penyakit tanaman nilam
yang diberi perlakuan agens hayati (Angka-angka yang diikuti dengan notasi huruf yang
sama, berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT 0,05; A1 (tanpa agens hayati);
A2 (Gliocladium sp.); A3 (Rizobakteri); A4 (Trichoderma sp.); A5 (Gliocladium sp. +
Rizobakteri); A6 (Gliocladium sp. + Trichoderma sp.); A7 (Rizobakteri + Trichoderma
sp.); A8 (Gliocladium sp. + Rizobakteri + Trichoderma sp.))
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128
5
Tabel 1 menunjukkan bahwa secara
umum pemberian agens hayati baik
campuran maupun tunggal tidak memberikan
efek yang berbeda dalam memperlambat
masa inkubasi penyakit kutil dibanding
kontrol, namun dapat menekan tingkat
keparahan penyakit lebih rendah rata-rata
sebesar 30,25% (agens hayati tunggal) dan
32,87% (agens hayati campuran) dibanding
dengan kontrol. Tabel 1 juga menunjukkan
bahwa agens hayati Gliocladium sp. belum
efektif dalam menekan masa inkubasi
penyakit kutil dibanding dengan kontrol.
Hasil uji DMRT yang disajikan ke
dalam
bentuk
grafik
(Gambar
1)
menunjukkan bahwa perlakuan agens hayati
memberikan rata-rata masa inkubasi yang
berbeda tidak nyata dengan kontrol, bahkan
perlakuan A2 memberikan masa inkubasi
tercepat selama 6,67 yang berbeda nyata
Tabel 1.
-
Pertambahan tinggi tanaman
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan agens hayati pada tanaman
nilam yang diinokulasi oleh cendawan S.
pogostemonis berpengaruh nyata terhadap
pertambahan tinggi tanaman.
Hasil uji
kontras ortogonal rata-rata pertambahan
tinggi tanaman disajikan pada Tabel 2,
sedangkan hasil uji DMRT-nya disajikan
dalam bentuk grafik pada Gambar 2.
Uji kontras ortogonal rata-rata masa inkubasi dan keparahan penyakit tanaman nilam yang
diberi perlakuan agens hayati
Uji kontras
-
dengan perlakuan lainnya. Gambar 1 juga
menunjukkan bahwa tingkat keparahan
penyakit kutil pada tanaman nilam yang tidak
diberi agens hayati (A1) lebih tinggi sebesar
42,59% yang berbeda nyata dengan
perlakuan pemberian agens hayati baik
tunggal (A2, A3) maupun campuran (A7,
A8) tetapi berbeda tidak nyata dengan
perlakuan lainnya.
Tanpa agens hayati (A1) vs Agens hayati
tunggal (A2, A3, A4)
Tanpa agens hayati (A1) vs Agens hayati
campuran (A5, A6, A7, A8)
Agens hayati tunggal (A2, A3, A4) vs Agens
hayati campuran (A5, A6, A7, A8)
Campuran dua agens hayati (A5, A6, A7) vs
Campuran tiga agens hayati (A8)
Agens hayati tunggal Gliocladium sp. (A2) vs
Agens hayati tunggal lainnya (A3, A4)
Agens hayati tunggal Rizobakteri (A3) vs
Agens hayati tunggal lainnya (A2, A4)
Agens hayati tunggal Trichoderma sp. (A4) vs
Agens hayati tunggal lainnya (A2, A3)
Rata-rata
Masa Inkubasi
Keparahan Penyakit
9,00 vs 8,67tn
42,59 vs 30,25**
9,00 vs 9,50tn
42,59 vs 32,87**
8,67 vs 9,50tn
30,25 vs 32,87tn
9,33 vs 10,00tn
33,33 vs 31,48tn
6,67 vs 9,67**
29,63 vs 30,56tn
9,67 vs 8,11tn
25,93 vs 32,41tn
9,67 vs 8,11tn
35,19 vs 27,78tn
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata; * = berbeda nyata; tn = berbeda tidak nyata
Tabel 2 menunjukkan bahwa secara
umum pemberian agens hayati baik
campuran maupun tunggal pada tanaman
nilam
yang diinokulasi
dengan
S.
pogostemonis memberikan efek yang
berbeda tidak nyata dengan kontrol terhadap
pertambahan tinggi tanaman umur 2 dan 6
MSI, namun jika harus memberikan agens
hayati pada tanaman nilam terinfeksi,
pemberian agens hayati dalam bentuk
campuran masih memberikan efek yang lebih
baik dibanding dalam bentuk tunggal.
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128
6
Pemberian agens hayati dalam bentuk
campuran memberikan rata-rata pertambahan
tinggi tanaman tertinggi yaitu 2,64 cm (2
MSI) dan 2,54 cm (6 MSI) yang berbeda
dengan perlakuan agens hayati secara
tunggal.
Tabel 2.
Hasil uji kontras ortogonal rata-rata pertambahan tinggi tanaman umur umur 2, 4 dan 6 MSI
cendawan S. pogostemonis
Rata-rata Pertambahan Tinggi Tanaman
Uji kontras
2 MSI
4 MSI
6 MSI
- Tanpa agens hayati (A1) vs Agens hayati
2,89 vs 2,60tn
1,96 vs 2,22tn
2,03 vs 1,97tn
tunggal (A2, A3, A4)
- Tanpa agens hayati (A1) vs Agens hayati
2,89 vs 2,64tn
1,96 vs 2,32tn
2,03 vs 2,54tn
campuran (A5, A6, A7, A8)
- Agens hayati tunggal (A2, A3, A4) vs Agens
2,60 vs 2,64*
2,22 vs 2,32tn
1,97 vs 2,54*
hayati campuran (A5, A6, A7, A8)
- Campuran dua agens hayati (A5, A6, A7) vs
2,90 vs 1,86tn
2,29 vs 2,42tn
2,47 vs 2,73tn
Campuran tiga agens hayati (A8)
- Agens hayati tunggal Gliocladium sp. (A2) vs
2,49 vs 2,65tn
2,20 vs 2,22tn
1,78 vs 2,06tn
Agens hayati tunggal lainnya (A3, A4)
- Agens hayati tunggal Rizobakteri (A3) vs
2,64 vs 2,57tn
2,66 vs 2,00tn
2,32 vs 1,79tn
Agens hayati tunggal lainnya (A2, A4)
- Agens hayati tunggal Trichoderma sp. (A4) vs
2,66 vs 2,57tn
1,79 vs 2,43tn
1,80 vs 2,05tn
Agens hayati tunggal lainnya (A2, A3)
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata; * = berbeda nyata; tn = berbeda tidak nyata
Hasil uji DMRT yang ditunjukkan pada
Gambar 2 menunjukkan bahwa umumnya
perlakuan
campuran
agens
hayati
memberikan rata-rata pertambahan tinggi
tanaman yang lebih tinggi dibanding
perlakuan lainnya. Perlakuan A5 terlihat
memberikan pertambahan tinggi tanaman
tertinggi sebesar 4,42 cm pada umur 2 MSI
yang berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Walaupun pada pengamatan umur 4
MSI, semua perlakuan menunjukkan rata-rata
pertambahan tinggi yang sama, namun pada
pengamatan umur 6 MSI terlihat perlakuan
A7 yang termasuk perlakuan campuran agens
hayati memberikan rata-rata pertambahan
tinggi tanaman yang lebih tinggi sebesar 3,06
cm yang berbeda nyata dengan perlakuan A1,
A2, A4 dan A6.
S. pogostemonis berpengaruh nyata terhadap
berat kering tanaman. Hasil uji kontras
ortogonal rata-rata berat kering tanaman
disajikan pada Tabel 3, sedangkan hasil uji
DMRT-nya disajikan dalam bentuk grafik
pada Gambar 3.
Berat kering
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan agens hayati pada tanaman
nilam yang diinokulasi oleh cendawan
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128
7
Gambar 2.
Rata-rata tinggi tanaman umur umur 2, 4 dan 6 minggu setelah inokulasi (MSI) cendawan
S. pogostemonis (Angka-angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama, berbeda
tidak nyata berdasarkan uji DMRT0,05; A1 (tanpa agens hayati); A2 (Gliocladium sp.); A3
(Rizobakteri); A4 (Trichoderma sp.); A5 (Gliocladium sp. + Rizobakteri); A6
(Gliocladium sp. + Trichoderma sp.); A7 (Rizobakteri + Trichoderma sp.); A8
(Gliocladium sp. + Rizobakteri + Trichoderma sp.))
Berat kering
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan agens hayati pada tanaman
nilam yang diinokulasi oleh cendawan
S. pogostemonis berpengaruh nyata terhadap
berat kering tanaman. Hasil uji kontras
ortogonal rata-rata berat kering tanaman
disajikan pada Tabel 3, sedangkan hasil uji
DMRT-nya disajikan dalam bentuk grafik
pada Gambar 3.
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128
8
Gambar 3.
Rata-rata berat kering tanaman umur umur 2, 4 dan 6 minggu setelah inokulasi (MSI)
cendawan S. pogostemonis.(Angka-angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama,
berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT0,05; A1 (tanpa agens hayati); A2 (Gliocladium
sp.); A3 (Rizobakteri); A4 (Trichoderma sp.); A5 (Gliocladium sp. + Rizobakteri); A6
(Gliocladium sp. + Trichoderma sp.); A7 (Rizobakteri + Trichoderma sp.); A8
(Gliocladium sp. + Rizobakteri + Trichoderma sp.))
Tabel
3
menunjukkan
bahwa
pemberian agens hayati dalam bentuk
campuran dan tunggal memberikan berat
kering tanaman yang berbeda tidak nyata
dengan kontrol. Jika menggunakan agens
hayati pada tanaman nilam terinfeksi untuk
meningkatkan berat kering tanaman,
penggunaan agens hayati dalam bentuk
tunggal dapat memberikan berat kering
tertinggi dibanding dalam bentuk campuran,
dan agens hayati yang berperan lebih baik
adalah Rizobakteri. Hasil uji DMRT pada
Gambar 3 menunjukkan bahwa berat kering
tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan A3
sebesar 10,14 g yang berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa penggunaan agens hayati sebagai
alternatif pengendalian baik dalam bentuk
tunggal maupun dalam bentuk campuran
memberikan harapan untuk digunakan
sebagai solusi alternatif non konvensional.
Walaupun hasil pengamatan masa inkubasi
menunjukkan bahwa penggunaan agens
hayati secara tunggal (A2, A3, A4) dan
campuran (A5, A6, A7, A8) bila
dibandingkan dengan kontrol (A1) belum
memberikan hasil yang memuaskan dalam
memperlambat munculnya gejala penyakit
kutil karena secara statistik (uji kontras)
memberikan lama masa inkubasi yang sama,
namun ada harapan dalam menekan tingkat
keparahan penyakit karena memberikan hasil
yang berbeda dengan kontrol. Lebih jelas
ditunjukkan pada grafik hasil uji DMRT
terlihat bahwa hampir semua perlakuan agens
hayati memberikan rata-rata masa inkubasi
yang sama dengan kontrol, bahkan pada
perlakuan tunggal Gliocladium sp. secara
nyata memperlihatkan ketidakmampuannya
dalam memperlambat masa inkubasi
penyakit dibanding perlakuan lainnya. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Asman
(2013) bahwa aplikasi Gliocladium sp.
dengan berbagai dosis perlakuan (5 g, 10 g,
dan 15 g) belum dapat memperlambat atau
menekan waktu munculnya gejala penyakit
kutil yang disebabkan oleh cendawan
S. pogostemonis.
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128
9
Tabel 3.
Uji kontras rata-rata berat kering tanaman nilam yang diberi perlakuan agens hayati dan
diinokulasikan dengan cendawan S. pogostemonis
Rata-rata Berat Kering
Uji kontras
- Tanpa agens hayati (A1) vs Agens hayati tunggal (A2, A3, A4)
6,63 vs 8,11tn
- Tanpa agens hayati (A1) vs Agens hayati campuran (A5, A6, A7,
6,63 vs 6,54tn
A8)
- Agens hayati tunggal (A2, A3, A4) vs Agens hayati campuran (A5,
8,11 vs 6,54**
A6, A7, A8)
- Campuran dua agens hayati (A5, A6, A7) vs Campuran tiga agens
6,93 vs 5,36tn
hayati (A8)
- Agens hayati tunggal Gliocladium sp. (A2) vs Agens hayati
7,15 vs 8,59tn
tunggal lainnya (A3, A4)
- Agens hayati tunggal Rizobakteri (A3) vs Agens hayati tunggal
10,14 vs 7,09**
lainnya (A2, A4)
- Agens hayati tunggal Trichoderma sp. (A4) vs Agens hayati
7,03 vs 8,65tn
tunggal lainnya (A2, A3)
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata; * = berbeda nyata; tn = berbeda tidak nyata
Masa inkubasi merupakan masa sejak
terjadinya inokulasi hingga munculnya gejala
penyakit pada tanaman. Masa inkubasi
penyakit kutil pada tanaman nilam ditandai
dengan munculnya tonjolan-tonjolan seperti
kutil pada daun tanaman nilam tempat
dilakukannya inokulasi suspensi cendawan.
Gejala ini kemudian berkembang hingga ke
bagian daun lainnya, bahkan hingga ke
batang tanaman. Dampak akhir yang terlihat
pada tanaman akibat infeksi penyakit kutil
adalah terhambatnya pertumbuhan tanaman.
Hasil uji DMRT pada pengamatan
keparahan penyakit, menunjukkan bahwa
perlakuan agens hayati baik bentuk tunggal
maupun campuran dapat menekan rata-rata
keparahan penyakit kutil dibanding dengan
kontrol, dengan rata-rata terendah terdapat
pada perlakuan tunggal rizobakteri sebesar
25,93%. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
agens hayati yang digunakan memiliki
potensi dalam pemberian perlindungan bagi
tanaman terhadap infeksi patogen melalui
berbagai mekanisme baik secara langsung
maupun tidak langsung (menginduksi
ketahanan tanaman). Perlindungan secara
langsung dapat terjadi bila agens hayati dan
patogen berada dalam wilayah yang sama,
dengan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan patogen secara langsung
melalui mekanisme (1) antibiosis dan lisis;
(2) kompetisi ruang tumbuh dan nutrisi; serta
(3) hiperparasit (Baker and Cook, 1974;
Domsch et al., 1980). Selanjutnya menurut
Hartal et al., (2010), bahwa Trichoderma sp.
memproduksi trichodermin dan Gliocladium
sp. memproduksi gliotoksin dan viridin yang
merupakan toksin bagi patogen. Apabila
toksin yang berbeda tersebut diaplikasikan
secara bersamaan maka daya hambatnya
akan semakin tinggi dari pada satu agen
antagonis yang menyebabkan spora patogen
mengalami lesio dan tidak berkembang
(Noveriza et al., 2012). Di samping itu,
dengan kemampuan menghasilkan toksin
berarti
cendawan
antagonis
tersebut
merupakan kompetitor yang baik bagi
cendawan patogen (Anggraini, 2003).
Kemampuan agens antagonis yang tumbuh
lebih cepat menyebabkan agens antagonis
lebih cepat menguasai ruang tumbuh dan
nutrisi (Garrett, 1956). Perlindungan agens
hayati terhadap infeksi patogen pada tanaman
melalui
mekanisme
tidak
langsung
(menginduksi ketahanan) umumnya akan
terjadi bila patogen dan agens hayati tidak
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128
10
berada dalam lingkungan yang sama.
Mekanisme yang terjadi adalah agens hayati
akan meningkatkan sistem ketahanan
tanaman melalui mekanisme induksi
resistensi sehingga dapat bertahan terhadap
infeksi
patogen. Ketahanan tanaman
terinduksi adalah fenomena dimana terjadi
peningkatan ketahanan tanaman terhadap
infeksi oleh patogen setelah terjadi
rangsangan. Ketahanan ini merupakan
perlindungan
tanaman
bukan
untuk
mengeliminasi patogen tetapi lebih pada
aktivitas dari mekanisme pertahanan
tanaman. Ketahanan terinduksi dikategorikan
sebagai perlindungan secara biologi pada
tanaman dimana tanaman adalah target
metode ini bukan patogennya. Induksi
resistensi atau imunisasi atau resistensi
buatan adalah suatu proses stimulasi
resistensi tanaman inang tanpa introduksi
gen-gen
baru.
Induksi
resistensi
menyebabkan kondisi fisiologis yang
mengatur sistem ketahanan menjadi aktif dan
atau menstimulasi mekanisme resistensi
alami yang dimiliki oleh inang (Anonim,
2014), Selanjutnya, ada dua bentuk
ketahanan terinduksi yang umum yaitu
Sytemic Acquired Resistance (SAR) dan
Induced
Systemic
Resistance
(ISR).
Ketahanan tanaman terinduksi dapat dipicu
dengan penambahan bahan-bahan kimia
tertentu, mikroorganisme non patogen,
patogen avirulen, ras patogen inkompatibel,
dan patogen virulen yang infeksinya gagal
karena kondisi lingkungan tidak mendukung.
Ketahanan tanaman terinduksi karena
penambahan
senyawa
kimia
atau
menginokulasikan patogen nekrotik sering
diistilahkan dengan induksi SAR. Induksi
SAR
dicirikan
dengan
terbentuknya
akumulasi asam salisilat (salicylic acid, SA)
dan protein PR (pathogenesis-related
proteins,
PR),
sedangkan
ketahanan
terinduksi karena agen biotik non-patogenik
sering dikenal dengan ISR seperti oleh
Rizobakteri (Anonim, 2014).
Keberadaan agens hayati diyakini
selain mampu menekan perkembangan
penyakit juga dapat membantu peningkatan
pertumbuhan tanaman menjadi lebih optimal.
Tinggi tanaman merupakan indikator
pertumbuhan tanaman yang digunakan untuk
mengukur perlakuan yang diterapkan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terjadi
pertambahan tinggi tanaman sejak awal
pengukuran sampai akhir pengukuran pada
semua perlakuan. Secara umum berdasarkan
hasil uji kontras diketahui bahwa pemberian
agens hayati baik campuran maupun tunggal
pada tanaman nilam yang terinfeksi oleh S.
pogostemonis memberikan efek pertambahan
tinggi tanaman yang sama dengan kontrol
pada pengamatan umur 2 dan 6 MSI.
Walaupun secara umum pemberian agens
hayati belum memberikan hasil yang optimal
pada peningkatan pertambahan tinggi
tanaman, namun jika harus memberikan
agens hayati pada tanaman nilam yang
terinfeksi, maka pemberian agens hayati
dalam bentuk campuran masih memberikan
efek yang lebih baik dibanding dalam bentuk
tunggal. Pemberian agens hayati dalam
bentuk campuran memberikan rata-rata
pertambahan tinggi tanaman tertinggi yaitu
2,64 cm (2 MSI) dan 2,54 cm (6 MSI) yang
berbeda dengan perlakuan agens hayati
secara tunggal, sedangkan hasil uji DMRT
menunjukkan bahwa perlakuan campuran
rizobakteri dengan Gliocladium sp. (A5) dan
rizobakteri dengan Trichoderma sp. (A7)
masing-masing
memberikan
rata-rata
pertambahan tinggi tanaman tertinggi sebesar
4,42 cm (2 MSI) dan 3,06 cm (6 MSI).
Rizobakteri yang hidup di daerah
perakaran (rhizosfer) dapat meningkatkan
kualitas pertumbuhan tanaman melalui
produksi hormon pertumbuhan dan penghasil
senyawa tertentu, serta mampu menginduksi
ketahanan tanaman dalam menghambat
perkembangan penyakit kutil. Selain itu
kemampuan rizobakteri yang digunakan pada
penelitian ini juga diduga disebabkan oleh
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128
11
kemampuannya menstimulasi pertumbuhan
tanaman nilam sehingga mampu tumbuh
lebih vigor. Pertumbuhan yang lebih vigor
menjadi penting untuk melawan infeksi kutil
yang bersifat sistemik.
Pada pengamatan berat kering tanaman
juga terlihat efek dari perlakuan tunggal
rizobakteri (A3). Berdasarkan hasil uji
DMRT diketahui bahwa perlakuan A3 dapat
meningkatkan berat kering tanaman lebih
baik dibanding perlakuan agens hayati
lainnya baik dalam bentuk tunggal maupun
campuran, hal ini didukung oleh hasil uji
kontras yaitu terlihat bahwa pemberian agens
hayati tunggal lebih baik dibanding
campuran dalam meningkatkan berat kering
tanaman dan perlakuan tunggal terbaik
adalah perlakuan tunggal rizobakteri.
Walaupun secara umum perlakuan agens
hayati baik tunggal maupun campuran masih
memberikan hasil yang sama dengan kontrol
secara statistik, namun pemberian agens
hayati pada tanaman yang terinfeksi penyakit
kutil sudah memperlihatkan potensinya pada
semua variabel pengamatan yang lebih baik
juga akibat pengaruh perlakuan agens hayati,
khususnya lagi agens hayati rizobakteri.
Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa
tanaman yang diberi rizobakteri tumbuh lebih
baik sehingga lebih tahan dan produksi yang
lebih tinggi.
Sejalan dengan penelitian ini, Taufik,
(2011) melaporkan bahwa, rizobakteri
mampu menekan terjadinya penyakit busuk
pangkal batang dan penyakit kuning pada
tanaman lada hingga 8,75%. Selanjutnya
Asman, (2011) melaporkan bahwa asosiasi
rizobakteri secara campuran (B. subtilis SB3
dan P. fluorecens ES32) pada pisang
Rajabulu mampu menurunkan gejala
keparahan penyakit layu Fusarium (Disease
Severity) sampai kategori ringan. Tanaman
yang terinduksi karena perlakuan rizobakteri
(A3) dengan rata-rata keparahan penyakit
terendah 25,92 dibanding dengan perlakuan
lain. Hal ini selain fungsi rizobakteri dalam
menstimulasi pertumbuhan tanaman dengan
mensekresikan hormon pertumbuhan seperti
IAA (auksin) dan sitokinin juga mampu
mengendalikan cendawan patogen dengan
cara menghasilkan berbagai senyawa atau
metabolit anti patogen seperti siderophore, β1,3-glukanase, kitinase, antibiotik, dan
sianida (Kloepper, 1993).
Dapat dilihat respon tinggi tanaman
nilam yang tidak diberi agens hayati secara
tunggal maupun campuran adalah yang
terendah dibandingkan dengan tanpa
pemberian agens hayati (A1). Kemampuan
S. pogostemonis menghambat pertumbuhan
telah diuraikan oleh Herwita dan Nasrun
(2009) bahwa patogen
yang telah
menginfeksi tanaman nilam selanjutnya akan
memenuhi sistem pembuluh tanaman
sehingga menghambat aktivitas transportasi
unsur
hara
atau
hasil
fotosintat.
Sumardiyono et al., (2008) menyatakan
bahwa perkembangan S. pogostemonis
didukung oleh kandungan air, sehingga ada
hubungan antara tingkat perkembangan
penyakit dengan keadaan iklim, sehingga
pada musim hujan perkembangan penyakit
relatif lebih cepat dibandingkan musim
kemarau.
Berkaitan
dengan
kondisi
lingkungan tersebut, menurut Abdullahi et
al. (2005) bahwa tingkat perkembangan
patogen ditentukan oleh kondisi organ
tanaman yang relatif tidak sama. Daya
patogenitas suatu patogen dipengaruhi oleh
faktor internal seperti umur dan kondisi
fisik patogen itu sendiri serta faktor
eksternal
seperti iklim dan kondisi
lingkungan.
Pengendalian
hayati
dengan
memanfaatkan mikroorganisme hayati seperti
Trichoderma sp., Gliocladium sp., dan
rizobakteri
merupakan
alternatif
pengendalian yang memberikan harapan
untuk digunakan sebagai solusi alternatif non
konvensional. Hal yang cukup menarik dari
penelitian ini adalah perlakuan agens hayati
baik yang diberikan secara tunggal maupun
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128
12
secara campuran memiliki rata-rata pengaruh
yang hampir sama terhadap masa inkubasi
dan keparahan penyakit, pertambahan tinggi
tanaman dan jumlah daun serta berat kering
tanaman jika dibandingkan dengan tanpa
pemberian agens hayati.
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Aplikasi agens hayati pada tanaman
nilam yang terinfeksi baik bentuk
tunggal maupun campuran memiliki
potensi dalam menekan keparahan
penyakit
dan
meningkatkan
pertumbuhan
tanaman
nilam
dibandingkan dengan tanpa pemberian
agens hayati.
2. Aplikasi agens hayati bentuk tunggal
terlihat lebih baik dalam menekan
keparahan
penyakit,
meningkatkan
pertambahan jumlah daun dan berat
kering,
sedangkan
agens
hayati
campuran terlihat lebih baik dalam
memperlambat
masa
inkubasi,
meningkatkan
pertambahan
tinggi
tanaman dan jumlah daun.
3. Secara umum campuran dua jenis agens
hayati memiliki potensi yang yang sama
dibandingkan dengan campuran tiga
jenis agens hayati dalam mengendalikan
penyakit kutil dan meningkatkan
pertumbuhan tanaman nilam.
4. Agens hayati tunggal rizobakteri
memiliki potensi yang lebih dibanding
dengan agens hayati lainnya dalam
mengendalikan penyakit kutil dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman
nilam.
Saran
Perlu penelitian skala lapang tentang
efektivitas agens hayati untuk mengendalikan
penyakit
kutil
dan
meningkatkan
pertumbuhan tanaman nilam.
DAFTAR PUSTAKA
Asman, 2011. Efektivitas Aplikasi Rizobakteri
in
Vitro
Sebagai
Pendukung
Pertumbuhan dan Agens Antagonis
Layu Fusarium pada Pisang Rajabulu
(aab) dan Pisang Tanduk (aab) di
Rumah Kaca. Bogor Agricultural
University.
Asmar, 2013. Kajian Gliocladium sp. Sebagai
Pengendali Hayati Penyakit Kutil (S.
pogostemonis) pada Tanaman Nilam.
Fakultas Pertanian Universitas Halu
Oleo. Kendari.
Anonim, 2014. Induksi Ketahanan Tanaman
Sytemic Acquired Resistance (SAR)
Induced Systemic Resistance (ISR) teori
dan
aplikasi.
http://antivirustanaman.blogspot.com/2
008/03/induksi-ketahanantanaman.html diakses 07 Januari 2014.
Abdullahi, I., M. Koerbler, H. Stachewicz, and S.
Winter.
2005.
Synchytrium
endobioticum and its utility in
microarrays for the simultaneous
detection of fungal and viral pathogens
of potato. Applied Microbiology and
Biotechnology, 68 (3) : 368-375.
Anggraini, D. S., 2003. Studi Potensi
Trichoderma viride dan Gliocladium
virens dalam Penggendalian Hayati
Penyakit Pascapanen Antraknose pada
Cabai Merah. Skripsi. Fakultas
Pertanian.
Universitas
Bengkulu,
Bengkulu.
Baker, K. F. and R. J. Cook, 1974. Biological
Control of Plant Pathogens. W. H.
Freeman and Company, San Francisco.
Garrett, S. D., 1956. Biology of Root Infecting
Fungi. Cambridge Univ. Press,
Cambridge.
Hartal, Misnawaty dan Indah, B., 2010.
Efektivitas Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. Dalam Pengendalian
Layu Fusarium pada Tanaman Krisan.
Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia.
ISSN 1411-0067 Bengkulu.
Herwita, I. dan Nasrun, 2009. Pengaruh Cara
Inokulasi Synchytrium pogostemonis
Terhadap
Gejala
Budok
Dan
Pertumbuhan Nilam. Balai Penelitian
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128
13
Tanaman Obat dan Aromatik. Sumatera
Barat.
Kloepper, J.W., 1993. Plant growth promoting
rhizobacteria as biological control
agents. p. 255-274. In F.B. Meeting, Jr.
(Ed.).
Soil
Microbial
Ecology,
Applications in Agricultural and
Environmental Management. Marcel
Dekker, Inc. New York.
Nurmansyah, 2011. Pengaruh Penyakit Budok
Terhadap Produksi Tanaman Nilam.
Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik. Bul. Litro. Vol. 22 No. 1,
2011, 65-73. Sumatra Barat.
Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan
U. Kartosuwondo, 2012. Potyvirus
Associated with Mosaic Disease on
Patchouli
(Pogostemoncablin
(Blanco)
Benth.)
Plants
in
Indonesia. J ISSAAS 18(1) :131-146
Rahma, I dan Mitarlis, 2005. Peningkatan Kadar
Patchouli Alcohol Pada Minyak Nilam
(Pogostemon cablin Benth) Dengan
Metode Distilasi Fraksinasi Vakum.
Jurusan Kimia FMIPA Universitas
Negeri Surabaya. Berk. Penel. Hayati
10 (123-127).
Sumardiyono, C., Hartono, S., Nasrun dan
Sukamto, 2008. Pengembangan Teknik
Identifikasi dan Studi Epidemik
Penyakit Budok pada Tanaman Nilam.
Laporan Penelitian Tahun I, Bidang
Penelitian 2 (Tanaman Perkebunan).
Kerjasama Universitas Gadjah Mada
dan Balittro. 16 hal.
Taufik, M, S. Hidayat, G. Suastika, S.M
Sumaraw, dan S. Sujiprihati.2005.
Kajian
Beberapa isolat Plant
Growth Promoting Rhizobacteria
sebagai agens proteksi Cucumber
Mosaic Virus dan Chilli Veinal
Mottle Virus pada tanaman cabai.
Jurnal Hayati, 12 (4) : 139-144 .
Taufik, M., 2008. Efektivitas Agens Antagonis
Tricoderma sp. pada Berbagai Media
Tumbuh Terhadap Penyakit Layu
Tanaman Tomat. Prosiding Seminar
Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEIPFI
XIX Komisariat Daerah Sulawesi
Selatan.
Taufik, M, A. Rahman, dan S.H. Hidayat.
2010.
Mekanisme
Ketahanan
Terinduksi oleh PGPR (Plant
Growth-Promoting Rhizobacteria)
Pada Tanaman Cabai Terinfeksi
CMV (Cucumber Mosaic Virus).
Jurnal Hortikultura 20 (3) : 298-307.
Taufik, M., 2011. Aplikasi Rhizobakteri dan
Trichoderma
spp.
Terhadap
Pertumbuhan Tanaman dan Kejadian
Penyakit Busuk Pangkal Batang dan
Kuning
pada
Tanaman
Lada
(Pipernigrum L.). Seminar
dan
Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI
Komda Sulawesi Selatan dan Dinas
Perkebunan
Pemerintah
Provinsi
Sulawesi Selatan tanggal 7 Juni 2011
di Hotel Singgasana Makassar.
Taufik, M., A. Hasan dan R. Noveriza. 2012.
Informasi Baru: Keberadaan Penyakit
Pada Tanaman Nilam Di Sulawesi
Tenggara.
Seminar
Nasional
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia
Komda Sulawesi Tenggara dan Jurusan
Agroteknologi di
Hotel
Attaya,
Kendari 22-23 Mei 2012.
AGRIPLUS, Volume 24 Nomor : 01 Januari 2014, ISSN 0854-0128