Prakata dari Bank Dunia

Transcription

Prakata dari Bank Dunia
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
AAA12
KANTOR PERWAKILAN BANK DUNIA JAKARTA
Gedung Bursa Efek Jakarta, Menara II/Lantai 12
Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12910
Tel: (6221) 5299-3000
Fax: (6221) 5299-3111
Website: www.worldbank.or.id
THE WORLD BANK
1818 H Street N.W.
Washington, D.C. 20433, U.S.A.
Tel: (202) 458-1876
Fax: (202) 522-1557/1560
Email: [email protected]
Website: www.worldbank.org
Edisi 2006.
Laporan ini merupakan produk staf Bank Dunia. Analisa, interpretasi dan kesimpulan yang terdapat didalamnya tidak
mewakili Dewan Direksi Bank Dunia maupun pemerintahan yang mereka wakili.
Bank Dunia tidak menjamin akurasi data di dalam laporan ini. Batas-batas, warna, denominasi dan informasi lainnya yang
tercantum pada peta yang ada di dalam laporan ini tidak mengimplikasaikan pandangan Bank Dunia akan status hukum
suatu wilayah ataupun persetujuan akan batas-batas tersebut.
Membuat Pelayanan Bermanfaat bagi Masyarakat
Miskin di Indonesia
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bank Dunia | The World Bank
East Asia and Pacific Region
Ucapan Terima Kasih
Laporan ini disiapkan oleh sebuah tim yang terdiri dari Menno Pradhan, Vic Paqueo, Elizabeth King, (Ketua Tim
Pokja), Deon P. Filmer, Scott E. Guggenheim dan Anne-Lise Klausen. Tim ini hendak menyampaikan adanya
dukungan yang begitu besar yang diberikan oleh tim dari INDOPOV yang dipimpin oleh Jehan Arulpragasam.
Sementara itu biayanya disediakan oleh pemerintah Jepang dan Inggris. Laporan ini dibuat berdasarkan
hasil konferensi “Making Services Work for the Poor,” yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan April 2005.
Konferensi ini disponsori secara bersama-sama oleh Menkokesra dan Bank Dunia (Kathy Macpherson).
Laporan ini juga disusun berdasarkan makalah yang khusus ditulis untuk keperluan penyusunan laporan
ini. Pertama, di bawah supervisi dari Stefan Nachuk, ada delapan dokumen mengenai berbagai inovasi lokal
tentang penyediaan layanan publik. Kedua, di bawah supervisi Nilanjana Mukherjee, dilakukan penelitian
mengenai “Suara Masyarakat Miskin” dalam penyediaan layanan publik. Terima kasih juga atas komentar
yang diberikan oleh peninjau, Christopher Pycroft (DFID), Ariel Fiszbein, dan Lant Pritchett (catatan konsep),
demikian juga masukan yang disampaikan oleh rekan-rekan dari Bank Dunia.
Prakata dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Republik Indonesia
Assalamualaikum Wr. Wb.
Masyarakat miskin di Indonesia tidak menerima layanan publik yang mereka butuhkan. Seringkali layanan bagi
mereka tidak tersedia, di luar jangkauan mereka atau mutunya sangat rendah. Upaya untuk memastikan tersedianya
tenaga terampil di puskesmas atau memastikan petani menerima informasi yang tepat dari petugas penyuluhan
pertanian, masalah yang harus dihadapi masyarakat miskin seringkali sangat mirip. Oleh karena itu, laporan ini
berfokus pada isu-isu antar sektor yang dapat menghambat kemajuan upaya memberikan layanan bagi masyarakat
miskin.
Catatan Indonesia tentang hal ini memang masih mengecewakan. Selama beberapa dekade yang telah lewat, akses
terhadap layanan dasar mengalami kemajuan pesat, demikian juga dengan indikator pembangunan kemanusiaan.
Namun tantangan yang dihadapi sekarang telah bergeser yaitu upaya untuk meningkatkan mutu layanan yang
telah ada, dan menjangkau mereka yang tidak mampu menggapai akses yang telah semakin meningkat tersebut.
Tantangan ini harus dihadapi oleh Indonesia yang semakin demokratis, yang sudah menerapkan desentralisasi.
Kami berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi pemerintah pusat dan daerah, dan bagi masyarakat luas
yang terlibat dalam penyediaan layanan tersebut di atas. Terdapat banyak contoh inovasi praktis dalam penyediaan
layanan yang berasal dari Indonesia yang diuraikan dalam laporan ini, dan banyak dari contoh tersebut bisa dengan
segera diterapkan oleh para praktisi untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Masalah yang lebih besar lagi adalah
bagaimana menerjemahkan pengalaman lokal tersebut ke dalam kebijakan sektoral dan ke dalam program, untuk
memperoleh peningkatan yang berkelanjutan dalam penyediaan layanan publik bagi masyarakat. Rekomendasi
dalam laporan ini dapat memberikan rujukan yang bermanfaat dalam rangka menangani masalah-masalah di atas.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Aburizal Bakrie
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Republik Indonesia
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
v
Prakata dari Bank Dunia
Ketika seorang anak yang sedang sakit dari keluarga miskin berobat kepuskesmas, di sana harus ada petugas
kesehatan profesional yang akan menangani anak itu. Ketika seorang ibu hamil yang masih muda berkunjung ke
klinik yang dikelola pemerintah untuk meminta nasihat tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan
ibu, maka ibu hamil tersebut harus ditangani oleh bidan yang terampil dan terlatih. Semua anak yang berumur
di bawah 15 tahun harus bersekolah dan mendapatkan pendidikan dan pengajaran ilmu matematika dan ilmu
pengetahuan dasar yang memadai. Desa juga harus memiliki sistem penyediaan dan penyaluran air bersih yang
berfungsi dengan baik.
Pemerintah di seluruh dunia berjuang dengan keras untuk memberikan jaminan bahwa layanan dasar semacam
ini dapat diberikan dan diterima oleh seluruh warga negara. Hal ini tidak bukan hanya merupakan pengalokasian
anggaran yang lebih besar semata. Seluruh sumber daya untuk publik harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk
menjamin bahwa sumber-sumber itu dapat diwujudkan menjadi pemberian layanan publik yang lebih baik.
Indonesia tidak terkecuali dalam hal ini. Negeri ini memang telah mencapai kemajuan pesat dalam peningkatan
layanan publik selama beberapa dekade terakhir. Akan tetapi, masih ada begitu banyak bukti bahwa tidak semua
warga dapat memperoleh layanan yang mereka butuhkan. Pelaksanaan sistem desentralisasi dan demokratisasi
telah berdampak sangat besar terhadap pengelolaan layanan publik saat ini. Lima tahun setelah pelaksanaan kedua
hal ini, laporan ini disusun dengan mendokumentasikan sekaligus mengusulkan strategi untuk mempertahankan
peningkatan layanan publik dalam lingkungan yang baru.
Rekomendasi pertama dalam laporan ini adalah mendorong penggunaan perjanjian layanan, dan sejalan dengan
perjalanan waktu, meningkatkan kewenangan penyedia layanan terhadap berbagai aspek operasional pemberian
layanan. Dengan skenario seperti ini, satu perjanjian layanan antara pemerintah daerah dan penyedia layanan harus
mencantumkan dan menegaskan layanan apa yang harus diberikan oleh penyedia dan sumber daya apa yang
mereka miliki untuk memberikan layanan tersebut. Perjanjian itu harus juga menentukan standar bagi pengguna
layanan agar mereka dapat memantau layanan yang diberikan dan mengambil tindakan yang diperlukan jika
standar layanan yang diberikan itu mengalami penurunan.
Rekomendasi kedua adalah memberikan ruang yang lebih besar bagi pengguna layanan dan masyarakat untuk
menyuarakan bagaimana layanan itu diberikan. Masyarakat ternyata mampu bertindak lebih efisien terutama dalam
membangun dan memelihara infrastruktur daerah. Mereka juga mampu mengambil peran yang lebih besar untuk
menjamin bahwa masyarakat miskin dapat memperoleh akses yang lebih baik terhadap layanan dasar. Rekomendasi
yang ketiga adalah memperbaiki arsitektur desentralisasi. Upaya untuk meningkatkan pemberian layanan publik
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah dan pusat. Kedua pemerintah ini mengeluarkan
anggaran cukup besar untuk meningkatkan layanan publik, dan hal ini perlu dikoordinasikan untuk menjamin
bahwa layanan itu berdampak sesuai dengan yang diharapkan. Saya sangat berharap bahwa laporan ini dapat
vi
menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang bekerja untuk meningkatkan layanan publik di Indonesia.
Atas nama Bank Dunia, saya ucapkan selamat kepada para penulis dan seluruh mitra pemerintah atas kerja sama
produksi yang sangat baik sehingga laporan yang sangat penting ini bisa selesai tepat pada waktunya. Kami
juga berharap bahwa laporan ini dapat menggugah dan mendorong diskusi yang gencar dan terus-menerus
dengan pihak pemerintah dan masyarakat sipil.
Andrew Steer
Country Director Indonesia
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
vii
Daftar isi
Daftar isi
Ucapan Terima Kasih
II
Prakata dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia
v
Prakata dari Bank Dunia
vi
Ringkasan Eksekutif
x
Bab 1. Tantangan dalam Penyediaan Layanan: Isu-isu Turunan Kedua dan Inefisiensi yang terjadi
19
sehubungan dengan pemberlakuan Desentralisasi
Bab 2. Pemberian Layanan dalam Era Demokratisasi dan Desentralisasi
33
Bab 3. Penguatan Akuntabilitas dan Struktur Insentif
39
Bab 4. Penguatan Peran Pengguna Layanan
59
Bab 5. Mengefektifkan Hubungan Antar Instansi Pemerintah Untuk Penyedia Layanan Publik
73
Bab 6. Menuju Strategi Operasional Untuk Peningkatan Layanan Publik
85
Epilog
97
Daftar Pustaka
98
Daftar table
Tabel 1. Reformasi yang didorong oleh pemerintah daerah yang dilaksanakan di Sumatera Barat
xvii
Tabel 2. Persentase (%) ketidakhadiran guru dan petugas kesehatan di sejumlah negara (2003)
27
Tabel 3. Manfaat ekonomi pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat.
62
Tabel 4. Saran-saran tentang alokasi fungsional untuk penyediaan layanan masyarakat
76
Tabel 5. Saran tindakan kebijakan untuk mengefektifkan layanan publik di Indonesia
92
Daftar diagram
Diagram 1. Rute menuju akuntabilitas dalam penyediaan layanan di Indonesia
xiii
Diagram 2. Indonesia telah melaksanakan peningkatan keluaran secara dramatis selama lima dekade
21
terakhir
Diagram 3. Perluasan akses telah membuat belanja publik menjadi lebih berpihak pada masyarakat
23
miskin
Diagram 4.
Beberapa indikator penting yang mengalami peningkatan setelah pemberlakuan
24
Diagram 5. Penurunan tingkat gizi buruk (kurangnya berat badan) dapat dihentikan pada periode pasca
24
desentralisasi
desentralisasi
Diagram 6. Sumber-sumber pendanaan untuk sektor pendidikan dan kesehatan telah ditingkatkan sejak
25
pemberlakuan desentralisasi
Diagram 7. Angka Partisipasi Sekolah di antara siswa Indonesia yang berumur 15 tahun masih rendah,
28
bahkan masih rendah pada siswa-siswa yang tergolong mampu.
viii
Diagram 8 Pengetahuan petugas kesehatan tentang standar layanan publik masih rendah
29
Diagram 9 Penurunan vaksinasi DPT
29
Diagram 10 Kesenjangan dalam hal keluaran dan layanan publik masih tinggi
30
Diagram 11 Alur Pendanaan dari Pemerintah Pusat kepada sekolah
45
Diagram 12. Penggunaan layanan yang diberikan oleh sektor swasta, berdasarkan kuintil pendapatan
50
Diagram 13. Kerangka kerja untuk melakukan penilaian dan mengurangi risiko ketika melakukan kontrak
53
dengan penyedia layanan sektor swasta
Daftar kotak
Kotak 1. Perjanjian Layanan: Target Kontrak Berbasis Kinerja
xv
Kotak 2. Skema pengelolaan berbasis manajemen di Burkina Faso
43
Kotak 3 Bagaimana insentif dapat mengubah perilaku penyedia layanan yang berada pada garis depan?
47
Kotak 4. Penyediaan layanan kesehatan pokok melalui LSM
52
Kotak 5 Kontrak dengan sektor swasta untuk menyediakan air bersih di Jakarta
54
Kotak 6 Perampingan pemerintah di Kabupaten Jembrana
58
Kotak 7. Upaya membuat (block grant) berhasil bagi masyarakat miskin di kota Blitar
63
Kotak 8. Mengurangi tindak korupsi dalam program berbasis masyarakat dengan melakukan publikasi
65
hasil audit
Kotak 9. Melemahnya posisi pengguna layanan akibat pembagian kupon melalui penyedia layanan
70
Kotak 10 Merugikan masyarakat miskin dengan mengeluarkan mandat agar penyedia layanan mengenakan
71
tarif lebih murah dari yang semestinya
Kotak 11. Fungsi yang tidak jelas dan tumpang tindih merusak penyediaan layanan di seluruh sektor
75
Box 12. Terlalu banyak birokrat, terlalu sedikit tenaga profesional
81
Box 13. Desentralisasi pendidikan tidak berjalan efektif
82
Kotak 14. Peningkatan transparansi anggaran di Kota Bandung
84
Kotak 15. Tiga kisah tentang inisiatif reformasi
89
Kotak 16. Memperkenalkan Standar Kualitas Kesehatan
90
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
ix
Ringkasan Eksekutif
Tentang laporan ini
Bagaimana sistem persekolah di Indonesia mampu menyediakan pendidikan yang bermutu tinggi? Bagaimana klinik
akan berfungsi lebih baik dalam memberikan tanggapan mereka terhadap kebutuhan pasien? Bagaimana layanan
penyuluhan di tingkat lokal mampu memenuhi permintaan petani secara lebih baik? Bagaimana pihak penyedia
jasa mampu memenuhi kebutuhan masyarakat miskin secara lebih baik dalam iklim Indonesia yang menganut
sistem desentralisasi?
Laporan ini berusaha untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan di atas. Dikatakan bahwa penyebab rendahnya
mutu penyediaan layanan adalah hal yang sama di setiap layanan, dan oleh karena itu ada beberapa unsur yang
serupa terhadap solusi masalah tersebut dalam rangka meningkatkan layanan kepada publik. Laporan ini berfokus
pada isu-isu lintas sektoral, dengan rujukan yang semata-mata berasal dari Indonesia. Berita baiknya adalah bahwa
ada begitui banyak contoh inovasi dalam pemberian layanan yang menunjukkan hasil yang baik pula. Tantangan
kita adalah bagaimana kita bisa belajar dari keberhasilan tersebut, dan bagaimana meningkatkan praktik-ptaktik
yang sudah baik itu. Hal ini juga dibahas di dalam laporan ini.
Berita Baik dan Berita Buruk
Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan Indonesia dalam pemberian layanan publik dan pembangunan
kemanusiaan telah menunjukkan hasil yang mengagumkan. Pada 1960 tingkat kematian balita adalah lebih
dari 200 untuk setiap 1.000 orang—lebih dari dua kali lipat tingkat angka yang dicapai oleh Filipina dan Thailand.
Pada 2005 angka ini turun menjadi di bawah 50 untuk per 1.000 balita, yang menunjukkan salah satu angka
penurunan tertinggi di kawasan ini. Seorang anak yang lahir pada 1940 hanya memiliki sekitar 60 persen kesempatan
untuk bersekolah, 40 persen kesempatan untuk menamatkan pendidikan dasar, dan 15 persen kesempatan untuk
menamatkan pendikan sekolah menengah pertama mereka. Sebaliknya, lebih dari 90 persen anak-anak yang lahir
pada 1980 berhasil menamatkan pendidikas sekolah dasar dan hampir sebanyak 60 persen mampu menyelesaikan
pendikan sekolah menengah pertama mereka.
Ada persepsi luas yang berkembahg bahwa pemberian layanana publik telah mengalami kemundursan
sejak Indonesia menerapkan sistem desentralisasi pada 2001. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa
realita ini hanya merupakan perkiraan belaka. Ketakutan bahwa layanan publik akan runtuh dan hancur setelah
pelaksanaan sistem desentralisasi ternyata tidak terbukti. Malah sebaliknya, bukti-bukti menunjukkan bahwa sejak
pelaksanaan sistem desentralisasi pada 2001, beberapa aspek pemberian layanana publik dan hasil pembangunan
kemanusiaan telah mengalami peningkatan. Persentase anak-anak yang meninggal sebelum genap berumur
satu tahun telah mengalami penurunan antara 1997 dan 2003. Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, sektor
publik meningkatkan kapasitas mereka dalam bidang pendidikan dasar, menengah pertama dan atas. Peningkatan
juga terjadi pada pemakaian layanan kesehatan rawat jalan bagi para pasien. Berbagai studi tentang persepsi klien
juga menunjukkan tingkat kepuasan secara keseluruhan sehubungan dengan pemberian layanan publik sejak
x
pelaksanaan sistem desentralisasi. Akan tetapi, semua keberhasilan ini tidak berarti bahwa pelaksanaan sistem
desentralisasi berpengaruh positif terhadap hasil pemberian layanan. Walaupun anggaran pemerintah telah
mengalami peningkatan, sejumlah indikator sosial tampaknya berjalan lambat—dan bahkan terjadi hal sebaliknya
sejak pelaksanaan sistem desentralisasi ini. Kasus gizi buruk terus mengalami penurunan sebelum tahun 2000 tetapi
kemudian sangat parah karena penurunan kinerja program vaksinasi lanjutan.
Kini, Indonesia menghadapi isu generasi kedua: pengeluaran publik yang tidak efisiensi, mutu layanan
yang rendah, dan kesenjangan yang masih terjadi antara akses dan hasil. Semua masalah ini berkaitan dengan
model yang berlaku dulu ytang bersifat top-down (dari atas ke bawah). Keterbukaan yang semakin besar dan
demokrasi telah menyebabkan semua masalah ini semakin jelas. Produktivitas guru yang sangat rendah dapat dilihat
dari tingkat absensi yang tinggi (19 persen) dan kekurangan guru di daerah-daerah terpencil sementara jumlah
guru begitu banyak. Indonesia merupakan salah satu negara dengan rasio murid/guru yang paling rendah di dunia,
apalagi jika dibandingkan dengan negara kaya seperti Amerika Serikat. Pada saat yang sama, data yang diperoleh
dari Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS) atau Kecenderungan dalam Bidang Studi Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) memperlihatkan kecenderungan yang mengkhawatirkan: sementara 66 persen
soswa kelas delapan di Malaysia mampu menunjukkan tingkat “intermediate (menengah)” atau lebih tinggi dalam
skala internasional untuk kemampuan matematikan, hanya 24 persen siswa Indonesia mampu mencapai tingkat
tersebut. Kinerja yang tidak efisien dan mutu yang rendah juga tampak pada sektopr kesehatan. Empat puluh
persen tenaga kerja kesehatan mangkir dari dari post jaga pada suatu hari. Mutu layanan yang diberikan oleh baik
penyedia layanan kesehatan dari sektor publik maupun sektor swasta masih rendah. Sekitar setengah dari tenaga
kesehatan tidak mengetahui prosedur klinik yang benar, dan kurang dari sepertiga mampu menguasai prosedur
pemberian layanan berdasarkan paraktik terbaik dalam menangani masalah-masalah kesehatan, seperti malaria dan
tuberculosis (TBC).
Isu-isu generasi kedua harus diatasi dalam lingkungan kebijakan Indonesia yang baru. Sejak krisis ekonomi
1998, pembangunan yang berbasis pendekatan kebijakan pusat telah diganti dengan satu pendekatan yang
bercirikan demokratisasi dan desentralisasi. Pergeseran pendekatan ini telah membuat masalah yang berkaitan
dengan pembangunan kemanusiaan dan pemberian layanan semakin jelas di mata masyarakat yang semakin
tidak toleran dan bersuara lebih vokal terhadap tindak korupsi, penyelewengan sumber-sumber daya publik, mutu
layanan yang buruk, dan kesenjangan. Saat ini para pemimpin negara ini menghadapi tekanan yang berhubungan
dengan pemilu (pemulihan umum) langsung. Jika disinyalir ada penyelewengan maka pemilu ulang dipastikan akan
dilakukan, seperti yang dialami di 38 dari 103 pemerintah kabupaten selama pemilu ulang tahun 2005 (NDI,2006).
Didorong oleh semangat demokrasi dan desentralisasi, rakyat Indonesia sangat bersemangat untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Mereka menuntut agar pemerintah dan penyedia layanan
lebih bertanggung jawab, tetapi upaya untuk upaya menuntut akuntabilitas semacam itu tidak mudah. Misalnya,
pada 2004 akibat desakan rakyat, sebanyak 55 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera
Selatan dituntut dengan tuduhan korupsi sebesar $690.000 yang berasal dana publik. Akan tetapi, walaupun
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xi
mereka terbukti bersalah, ternyata upaya untuk memperoleh keadilan terbukti masih sulit (lihat Bab 2). Lingkungan
yang baru ini merupakan peluang emas bagi peningkatan pemberian layanan publik melalui partisipasi rakyat yang
lebih baik dan tuntutan akuntabilitas yang lebih baik atas kinerja pemerintah.
Kesimpangsiuran mengenai peran dan tanggung jawab pemerintah di tingkat yang berbeda telah
Ringkasan Eksekutif
menimbulkan kinerja yang sangat tidak efisien. Berbagai sumber daya langsung di bawah pengelolaan
pemerintah kabupaten/kota—dan dari mereka lalu diteruskan kepada petugas atau penyedia layanan di garis
depan—dan kondisi ini masih beragam dan bersifat fragmental sehingga hampir tidak mungkin bagi rakyat pengguna
layanan tersebut untuk mengetahui seberapa besar dana yang seharusnya mereka terima dan apakah dana yang
dianggarkan sudah dicairkan atau belum. Misalnya, rata-rata setiap klinik kesehatan yang dimiliki pemerintah memiliki
8 sumber pendapatan tunai dan 34 anggaran operasional, banyak dari anggaran ini disediakan oleh pemerintah
pusat atau pemerintah daerah (World Bank 2005b). Masalah ini semakin memburuk akibat ketidaksiapan dan
lemahnya kapasitas aparat pemerintah dengan wewenang baru ini untuk melaksanakan tanggung jawab mereka
secara efisien. Tumpang tindih tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah telah mengakibatkan birokrasi
yang semakin panjang dan personalia yang semakin banyak pada jajaran layanan masyarakat dengan jumlah staf
yang semakin mubazir. Keadaan ini telah menciptakan peluang baru untuk melakukan tindak korupsi, kebocoran
anggaran, dan risiko bahwa desentralisasi dapat diartikan sebagai upaya peningkatan budaya layanan publik yang
akan menguntungkan staf tanpa memperhatikan pemberian layanan yang bermutu bagi masyarakat.
Kebijakan dan opsi-opsi strategis
Tanpa memandang tingkat keefektifannya, sentralisasi kebijakan dan kontrol di masa lalu tidak lagi cocok karena
pendekatan secara menyeluruh atas kepemerintahan dan pemberian layanan yang kini berlaku di Indonesia.
Kembali pada pendekatan masa lalu itu pada saat ini merupakan hal yang tidak realistik.
Oleh karena itu, perlu dilakukan adaptasi terhadap paradigma dengan realitas saat ini. Agar tetap konsisten dengan
lingkungan kebijakan yang baru, paradigma yang baru itu harus benar-benar selektif dalam menentukan program
peningkatan pelayanan yang didorong oleh pusat. Akan tetapi, hal itu harus tetap mempertahankan faktor-faktor
kunci yang berkaitan dengan strategi lama yang masih sesuai dengan keadaan masa kini. Faktor pendorong itu
meliputi laju pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada penduduk miskin; alokasi pembiayaan sektor publik untuk
layanan dasar; dan pemberian kewenangan kepada pembiayaan oleh sektor swasta atas penyediaan layanan yang
lain.
Laporan ini berfokus apda gagasan-gagasan yang dapat dilaksanakan, menggunakan kerangka kerja akuntabilitas
yang disampaikan Laporan Pembangunan oleh Bank Dunia (World Development Report) tahun 2004 agar gagasan
tersebut dikelola dengan strategi yang sesuai dan koheren. Kerangka kerja ini (World Bank 2003b) yang berlaku bagi
Indonesia tampak pada diagram berikut. Hubungan akuntabilitas dalam pemberian layanan ada di antara empat
kelompok actor: Klien, penyedia layanan, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Klien bisa berupa pasien
dalam sebuah klinik atau siswa sekolah, memiliki hubungan dengan penyedia layanan seperti guru, dokter, atau
perusahaan air minum. Bagi penyedia layanan yang berasal dari sektor swasta, klien menuntut penyedia layanan
xii
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
agar mereka mempertahankan akuntabilitas menggunakan uang yang dibayarkan untuk memperoleh layanan
tersebut— klien hanya membayar layanan yang memuaskan atau mereka akan menggunakan jasa pihak lain.
Untuk layanan publik, sering tidak ada akuntabilitas langsung antara penyedia layanan dengan klien. Ada “jalur
akuntabilitas yang panjang”—bagaimana klien sebagai warga negara bisa mempengaruhi pembuat kebijakan
Indonesia karena pemerintah daerah dan pusat memiliki hubungan langsung dengan penyedia layanan. Dengan
demikian segitiga akuntabilitas menunjukkan dua hubungan yang setara antara pemerintah dan penyedia layanan.
Pesan utama dalam laporan ini adalah bahwa akuntabilitas memang perlu dan bahwa pemberian insentif yang
benar merupakan kunci bagi peningkatan layanan publik yang berkesinambungan.
Diagram 1. Rute menuju akuntabilitas dalam penyediaan layanan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
dalam pemerintah dan bagaimana pembuat kebijakan mempengaruhi penyedia layanan. Ada dua “jalur panjang” di
Pembuat kebijakan nasional
Pembuat
kebijakan
daerah
Klien dan masyarakat
Penyediaan layanan
umum/pribadi
Source: World Bank (2003a).
Studi ini berfokus pada langkah-langkah yang harus diambil secepatnya dan pada saat yang sama juga
mengenali kebutuhan Indonesia untuk menghadapi isu-isu struktur desentralisasi dan reformasi layanan
sipil yang lebih besar. Laporan ini adalah tertang aspek-aspek tertentu dari isu-isu tersebut yang secara langsung
sesuai dengan pilihan yang usulkan untuk memperbaiki pemberian layanan. Analisa yang lebih mendalam dan luas
dari isu-isu ini perlu delakukan secara terpisah.
Rekomendasi utama dari laporan ini adalah:
• Tingkatkan penggunaan perjanjian layanan, yang menyatakan secara tegas apa yang harus diberikan oleh
penyedia layanan dan apa yang diberikan pemerintah atas penyediaan layanan tersebut.
• Kuatkan peran klien dalam pemberian layanan dengan:
• Menggunakan masukan mereka dalam melakukan penyesuaian dan pemantauan perjanjian
pemberian layanan.
• Membuat agar masyarakat bertanggung jawab terhadap beberapa komponen pemberian layanan.
• Memberikan bantuan keuangan kepada masyarakat miskin agar mereka bisa memperoleh layanan
dasar yang tidak bisa mereka peroleh tanpa bantuan tersebut.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xiii
• Desak agar pemerintah bekerja lebih efektif dengan menjelaskan pemerintah tingkat mana yang
bertanggung jawab terhadap aspek-aspek tertentu dalam pemberian layanan, serta mengelola penentuan
staf dan anggaran dengan cermat.
Ringkasan Eksekutif
• Pastikan bahwa upaya peningkatan pemberian layanan disebarkan ke seluruh negeri.
Peningkatan penggunaan perjanjian layanan
Perjanjian layanan merupakan alat bagi penyedia layanan dan dinas terkait dalam pemerintah agar
mereka semakin berorientasi kepada klien. Perjanjian layanan akan menyebabkan apa yang diberikan kepada
masyarakat oleh penyedia layanan menjadi transparan dan semua sumber daya yang tersedia yang mereka miliki
untuk melakukan tanggung jawab ini, yaitu dengan menjelaskan apa saja yang menjadi tugas dan tanggung jawab
mereka. Misalnya, sekolah dapat memberikan kesepakatan mereka tentang jumlah jam mengajar yang akan mereka
berikan kepada para siswa, sementara pemerintah kabupaten/kota harus memiliki komitmen terhadap jumlah staf
dan anggaran sesuai dengan komitmen tersebut. Kotak 2 membahas Target Kontrak Berbasis Kinerja bagi Para
Bidan, yang juga menggunakan pendekatan perjanjian layanan. Perjanjian layanan perlu disertai dengan tindakantindakan pelengkap untuk menjamin bahwa tindakan tersebut sudah memiliki dampak. Secara khusus, pengguna
layanan, masyarakat sipil, and governments harus memantau penyediaan layanan atas pekerjaan mereka agar selalu
sesuai dengan standar yang telah disepakati. Seiring dengan berjalannya waktu, penyedia layanan dapat memikul
tanggung jawab yang lebih besar dalam hal perencanaan operasional, jika hubungan antara akuntabilitas dengan
kapasitas sudah mengalami peningkatan. Misalnya, kita dapat membayangkan penentuan anggaran bagi sebuah
klinik untuk membeli obat-obatan di perusahaan farmasi setempat dibandingkan dengan penyediaan obat-obatan
berdasarkan sistem yang kini sedang dijalankan. Dengan memberikan otonomi yang lebih besar kepada penyedia
layanan melalui perjanjian layanan yang jelas serta pemantauan yang ketat atas hasilnya akan memungkinkan
penyedia layanan mampu memberikan layanan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan setempat dan mengambil
keputusan yang semakin dekat dengan pengguna layanan itu sendiri.
xiv
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kotak 1. Perjanjian Layanan: Target Kontrak Berbasis Kinerja
Pilot Project Kontrak Berbasis Kinerja Bertarget, pertama diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan, sebagai komponen kunci dari proyek
Keselamatan Ibu (Safe Motherhood Project), proyek ini dimaksudkan untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan Bidan di Desa (BDD)
dan mengurangi jumlah kematian Ibu dan Bayi (Menelaws, 2000). Perjanjian pelayanan untuk kontrak berbasis kinerja bertarget merupakan jenis
Bentuk lain dari perjanjian layanan adalah apa yang disebut “relational contract”, yang akan dibahas lebih lanjut di laporan utama. Persamaan
yang bisa dilihat dari kedua bentuk kontrak ini adalah bahwa keduanya secara eksplisit mencantumkan komitmen kedua pihak tersebut dalam
hal apa saja yang harus mereka penuhi (keluaran dari penyedia layanan dan masukan dari penyandang dana), juga penilaian kinerja dan
peninjauan. Kedua jenis perjanjian ini meningkatkan transparansi mengenai siapa yang bertanggung jawab untuk apa, sehingga keduanya bisa
bermanfaat untuk memperjelas peran dan tanggung jawab, juga meningkatkan akuntabilitas penyedia layanan. Bentuk perjanjian seperti ini
terutama akan efektif ketika mereka dijalankan sebagai bagian dari agenda komprehensif untuk mereformasi aspek-aspek di bidang keuangan
negara dan sistem penyediaan layanan yang bertujuan untuk meningkatkan sektor kesehatan, pendidikan dan pelayanan publik lainnya.
Ringkasan Eksekutif
kontrak klasik antara “penyandang dana” dengan penyedia layanan swasta.
Skema kontrak berbasis kinerja bertarget merupakan salah satu contoh lokal yang baik untuk skema-skema berbasis kinerja dimana pelajaran
yang positif bisa diambil. Skema tersebut sudah uji coba dengan sukses, namun untuk mempertahankan dan meningkatkannya dibutuhkan
sosok pejuang yang berasal dari institusi pemerintahyang ada dinegara ini. Pada dasarnya, sistem kontrak berbasis kinerja bertarget adalah
perjanjian yang melibatkan tiga pihak: Pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Bidan, dan masyarakat penerima manfaat. Dinas kesehatan
Kabupaten setuju untuk (1) memberikan hak eksklusif bagi bidan untuk berpraktik sebagai bidan swasta untuk sejumlah layanan kesehatan dasar
tertentu di desa yang ditunjuk. (ii) memberikan kompensasi bagi BDD yang memiliki kontrak berbasis kinerja bertarget, honorarium bulanan untuk
tiap ”pelayanan umum“ yang mereka berikan, dan (iii) membayar BDD dengan ketentuan seperti yang telah disebutkan diatas, pembayaran untuk
layanan yang mereka berikan terutama untuk keluarga miskin, sesuai dengan variable pembayaran untuk layanan berdasarkan jumlah layanan
yang diberikan. Dinas kesehatan Kabupaten juga setuju untuk memberikan “modal awal” untuk memulai sebuah pos atau kantor pelayanan
bidan di desa.
Sebagai gantinya, bidan yang terikat perjanjian setuju untuk mengikuti standar professional yang diakui oleh Persatuan Bidan Indonesia, dan untuk
ditempatkan di desa yang ditunjuk, juga untuk di pantau dan di evaluasi dengan sesuai. BDD memberikan komitmen mereka untuk menyediakan
layanan-layanan yang sudah disetujui bagi masyarakat desa, termasuk pelayanan keselamatan ibu, perawatan pasca kelahiran dan perawatan
lanjutan bagi bayi perawatan bagi penderita diare dan pelayanan KB dan pelayanan umum lainnya seperti; penyuluhan kesehatan, pengawasan/
pelatihan dukun beranak, pengawasan program kesehatan sekolah. BDD diijinkan untuk menagih pembayaran untuk pelayanan yang mereka
berikan kepada pasien yang bukan berasal dari keluarga miskin.
Sedangkan masyarakat, bertugas untuk membantu promosi program dan jika diperlukan membantu mendirikan polindes (dalam waktu 24 bulan
setelah penandatanganan perjanjian) atau memperbaiki fasilitas kesehatan yang sudah ada (dalam waktu 12 bulan setelah penandatanganan
perjanjian). Untuk merangsang minat awal masyarakat terhadap pelayanan bidan, keluarga dengan penghasilan rendah di wilayah desa
yang sasaran akan mendapat buklet kupon untuk pelayanan tertentu yang diberikan BDD. Pendekatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan mereka untuk membayar layanan dan memberdayakan masyarakat dengan kemampuan untuk memilih penyedia layanan.
Dapatkan layanan yang lebih baik dari sektor swasta bagi masyarakat miskin. Sektor swasta telah memberikan
banyak layanan kepada masyarakat miskin, tetapi mutu layanan mereka itu sering masih rendah. Pemerintah di semua
tingkatan, terutama pemerintah daerah, perlu bekerja sama sebagai mitra lebih sering dengan penyedia layanan dari
sektor swasta dalam rangka memberikan layanan kepada masyarakat miskin. Pemerintah dapat meningkatkan akses
terhadap peluang mengikuti pelatihan bagi penyedia layanan dari sektor swasta yang memenuhi syarat dan pada
saat yang sama memberikan pendidikan dan memberitahu pemakai layanan tersebut untuk berani meminta layanan
yang bermutu dari penyedia layanan dari sektor swasta. Jika pendanaan dari anggaran publik memungkinkan,
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xv
penyedia layanan dari sektor swasta seharusnya berhak untuk mendapatkan subsidi, dan berdasarkan seleksi,
pemberian layanan dapat dikontrakkan secara penuh kepada penyedia layanan dari sektor swasta, terutama bagi
layanan dan masyarakat yang saat ini tidak dapat menerima layanan yang memadai dari sektor publik.
Ringkasan Eksekutif
Kuatkan peran klien dalam pemberian layanan
Keterlibatan pemakai yang lebih besar dalam pemberian layanan merupakan hal yang sangat penting
karena pemakailah yang akan memperoleh manfaat paling banyak dari peningkatan layanan dan oleh karena itu
mereka harus menjadi pihak yang paling peduli terhadap hal ini.
Dengan cara yang tepat serahkan tanggung jawab pemberian layanan sumber-sumber daya kepada
masyarakat atau bentuk kemitraan antara penyedia layanan dari sektor swasta dan masyarakat. Masyarakat
memiliki piranti yang lengkap untuk membangun dan memelihara infrastruktur desa. Infrastruktur desa yang
dibangun berdasarkan basis masyarakat dapat menghemat biaya sampai dengan 50 persen dibandingkan dengan
pembangunan prasarana yang dilakukan oleh kontraktor (Lihat Tabel 3). Secara bertahap dan terus-menerus
masyarakat dapat mengambil tanggung jawab untuk aspek-aspek lain dalam pemberian layanan. Misalnya,
masyarakat memiliki piranti yang lebih baik dari pada sekolah untuk memastikan anak-anak benar-benar bersekolah.
Hal yang dipelajari dari pengalaman lokal menunjukkan Perlunya keterkaitan antara kebutuhan tanggung jawab
masyarakat atas manfaat yang mereka peroleh, bekerja sama dengan lembaga lokal yang telah ada, melakukan
investasi dalam proses fasilitasi pengambilan keputusan yang transparan dan benar, penyaluran dana secara
langsung kepada rekening penerima layanan, serta melakukan pemantauan terhadap kinerja lembaga pemberi
layanan.
Libatkan masyarakat secara langsung dalam penyediaan layanan di garis depan. Pemerintah Indonesia
telah mengeluarkan undang-undang yang memberikan pengakuan terhadap peran pemakai layanan dan mereka
dapat berperan dalam perencanaan dan pemantauan terhadap penyedia layanan. Saat ini, pemerintah di semua
tingkatan harus mampu mengembangkan berbagai strategi yang praktis – seperti bekerja dengan masyarakat untuk
memantau implementasi perjanjian layanan – untuk menerapkan undang-undang tersebut yang bertujuan untuk
meningkatkan keterlibatan kelompok pemakai dalam pengambilan keputusan dan pemantauan dalam pemberian
pelayanan kepada masyarakat.
Gunakan sistem kupon atau penyaluran dana tunai bersyarat untuk merangsang permintaan terhadap
layanan oleh masyarakat miskin. Kupon dan program penyaluran dana tunai bersyarat merupakan instrumen
yang sangat bagus dan cocok untuk menanggulangi isu-isu yang berkaitan dengan kesenjangan untuk memperoleh
akses terhadap layanan. Jika Indonesia memutuskan untuk mengadopsi program semacam ini, program tersebut
harus dirancang untuk dapat meningkatkan pilihan mereka, meningkatkan kekuatan klien, dan mempertimbangkan
hambatan yang berkaitan dengan penyediaan layanan pada bidang-bidang yang mengalami keterbalakangan
penyediaan layanan. Program tersebut telah berhasil diterapkan di berbagai negara, dan program tersebut
mampu menurunkan tingkat kemiskinan akibat rendahnya pendapatan dan meningkatkan hasil pembangunan
kemanusiaan.
xvi
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Dorong agar pemerintah bekerja lebih efisien untuk meningkatkan pemberian layanan kepada masyarakat.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah snagatlah penting dalam rangka peningkatan akuntabilitas penyedia
layanan dan penguatan peran pemakai layanan tersebut. Pemerintah pusat dan daerah perlu meningkatkan
saat ini tidak ada kejelasan mengenai pemerintah tingkat mana yang berwenang untuk membentuk, memberikan
akreditasi atau menutup sebuah puskesmas. Begitu tugas fungsional ini ditentukan, proses penentuan anggaran,
pemantauan, dan sistem pelaporan perlu dipertegas dalam.
Pemerintah perlu meningkatkan kapasitas kelembagaan mereka untuk mengimplementasikan ketentuan
ini secara lebih efektif. Mereka perlu melakukan penyesuaian kelembagaan dan penentuan staf sesuai dengan
Ringkasan Eksekutif
kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap aspek-aspek dalam pemberian layanan. Misalnya,
fungsi yang ditugaskan kepada mereka setelah pelaksanaan sistem desentralisasi serta melakukan langkah-langkah
untuk meningkatkan kinerja. Banyak pemerintah telah dan sedang melakukan hal ini, seperti yang tampak pada
NEW (BARU) yang ditunjukkan oleh tiga pemerintah daerah di Kabupaten Sumatera Barat. Sering pula, terdapat
terlalu banyak birokrat, dan jumlah tenaga profesional yang terlalu sedikit pada kantor pemerintah daerah. Banyak
perubahan yang diperlukan saat ini tidak mungkin bisa dilaksanakan karena ketentuan peraturan kelembagaan dan
peraturan sipil yang diatur dari pusat yang dapat diatasi hanya dengan reformasi layanan sipil yang lebih besar.
Tabel 1. Reformasi yang didorong oleh pemerintah daerah yang dilaksanakan di Sumatera Barat
Reformasi
Sumatera
Barat
Kabupaten
Solok
Kontrak kinerja pejabat eselon II
√
Pembayaran insentif yang lebih adil
Uji kelayakan bagi pejabat eselon II atau III-IV
Kota Solok
√
√
√
Ujian eksternal untuk kenaikan pangkat
√
Reorganisasi berdasarkan PP No. 8 (Peraturan tentang
√
√
√
Kelembagaan)
Pakta Integritas untuk melakukan transaksi dengan sektor publik
√
dan swasta
Kliring rekening giro: transaksi keuangan yang dilakukan bank
√
tanpa interferensi
Anggaran berbasis kinerja (Kep. Mendagri No. 29/2002)
√
Perencanaan dan penentuan anggaran partisipatoris untuk
√
√
√
√
√
√
√
√
penyediaan layanan masyarakat
Penguatan proses pengadaan (Kepres No. 80/2003)
Pakta Integritas untuk proses pengadaan
√
Sumber: (Bank Dunia 2005f )
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xvii
Projek percobaan, pelajaran, dan peningkatan keberhasilan
Indonesia perlu mengadopsi strategi untuk menangani proses perubahan yang sangat rumit. Kuncinya
adalah memmberikan ruang yang cukup bagi merebaknya berbagai inovasi dan menciptakan insentif bagi mereka
yang menunjukkan kinerja yang baik. Investasi untuk kegiatan pilot proyek harus selalu didorong. Proyek seperti
Ringkasan Eksekutif
harus diberikan waktu yang cukup untuk dapat melihat hasilnya. Di samping itu, dampak dari proyek tersebut harus
dievaluasi secara cermat. Ini merupakan pesan yang sangat penting karena banyak gagasan yang disampaikan di
dalam laporan ini perlu diuji untuk mengenai manfaat dan nilai sesungguhnya di lapangan. Tantangannya adalah
peningkatan terus-menerus terhadap proyek dan inovasi yang terbukti berhasil dengan baik, yang seringkali mati
pelan-pelan atau gagal ketika diterapkan dalam lingkup yang lebih besar.
Strategi manajemen perubahan yang efektif dapat didasarkan pada pedoman di bawah ini:
• Diversifikasi portfolio mengenai inisiatif reformasi dan keberhasilan.
• Berikan dana hibah untuk reformasi dan pilot proyek yang inovatif.
• Berikan insentif personal sesuai dengan tujuan kelembagaan.
• Lakukan analisis terhadap mereka yang menang dan mereka yang kalah, lalu berikan perlindungan sosial bagi
pihak yang kalah.
• Lakukan investasi untuk melakukan evaluasi terhadap dampak dan penyebarluasan ilmu pengetahuan.
• Libatkan masyarakat sipil, dan lakukan investasi untuk pembentukan koalisi yang berpihak pada masyarakat
miskin dan kepemilikan lokal.
Laporan ini memuat daftar tindakan kebijakan dan pilot proyek yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah pusat
dan daerah untuk meningkatkan pemberian layanan kepada masyarakat miskin. Daftar ini meliputi proposal nyata
yang mencerminkan pandangan stakeholder yang diungkapkan dalam konferensi yang dilakukan tahun lalu di
Jakarta dengan tajuk “Making Services Work for the Poor in Indonesia” serta analisis yang dituangkan dalam laporan
ini.
xviii
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 1
Tantangan dalam Penyediaan Layanan: Isu-isu Turunan Kedua
dan Inefisiensi yang terjadi sehubungan dengan pemberlakuan
Desentralisasi
Bab ini berfokus pada tiga pertanyaan:
• Bagaimana keadaan pemberian layanan masyarakat di Indonesia?
• Bagaimana lingkungan pemberian layanan masyarakat mengalami perubahan beberapa
tahun belakangan ini?
• Tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi dalam pemberian layanan masyarakat?
Terdapat persepsi yang berkembang luas bahwa penyediaan layanan di Indonesia telah mengalami
kemunduran sejak Indonesia menerapkan desentralisasi tahun 2001. Data yang ada menunjukkan
bahwa realitas yang terjadinya sebenarnya lebih berupa perkiraan saja. Indonesia telah membuat
kemajuan luar biasa dalam hal penyediaan layanan publik, namun kemajuan itu kini melambat,
walaupun belanja publik sudah meningkat tajam. Demokratisasi dan desentralisasi telah menciptakan
lingkungan dimana khalayak publik menaruh harapan begitu tinggi terhadap para pemimpin, baik di
tingkat nasional maupun daerah. Pada saat yang sama muncul ketidakjelasan di dalam pemerintah
sendiri tentang siapa yang harus bertanggung jawab untuk bidang-bidang tertentu. Indonesia kini
Bab 1
sedang menghadapi sejumlah isu generasi kedua: bagaimana cara meningkatkan mutu layanan,
mengurangi kesenjangan, dan menangani isu korupsi dalam penggunaan berbagai sumber daya
publik. Kembali lagi ke masa lalu pada pendekatan dan kontrol sentralistik yang ketat bukan merupakan
opsi yang tepat. Kini diperlukan paradigma baru dalam penyediaan layanan publik.
Terdapat persepsi yang berkembang luas bahwa penyediaan layanan di Indonesia telah mengalami
kemunduran setelah Indonesia menerapkan desentralisasi
tahun 2001.
Surat kabar memberitakan
munculnya kasus penyakit polio, penyakit yang dianggap menjadi bagian dari masa lalu; berbagai kasus gizi buruk;
dan kesulitan keuangan yang dihadapi orang tua untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Para politisi yang
sedang menghadapi tantangan pelaksanaan mekanisme pemilihan umum secara langsung, kini semakin merasa
tertekan. Pengambilan kebijakan di tingkat pusat telah mengambil langkah besar, seperti realokasi subsidi bahan
bakar minyak pada penyediaan kebutuhan pokok, suatu upaya yang bertujuan untuk memberikan dispensasi bagi
masyarakat miskin agar mereka bebas dari biaya pendidikan dan kesehatan dasar.
Di tingkat kabupaten, desentralisasi telah menimbulkan berbagai pengalaman. Beberapa kabupaten
mengalami kasus korupsi dan pencurian, kabupaten lain masih mempertahankan (status quo) mereka, sementara
yang lain berani memperkenalkan berbagai inovasi dalam penyediaan layanan publik.
Lima tahun setelah pemberlakuan desentralisasi, laporan ini menguraikan apa yang telah terjadi dan
merekomendasikan sebuah jalan keluar. Data mengenai kondisi pasca-desentralisasi terhadap penyediaan
layanan dan pembangunan kemanusiaan kini tersedia dan dapat dijadikan acuan untuk melakukan evaluasi apakah
perkiraan kemunduran itu memang benar-benar terjadi atau tidak. Pengalaman kabupaten yang begitu melimpah
merupakan pelajaran yang sangat berharga mengenai berbagai pilihan yang tersedia untuk meningkatkan layanan
publik dan bagaimana lingkungan kebijakan yang baru dapat berpengaruh terhadap peranti yang dimiliki pengambil
kebijakan saat ini. Laporan ini mengusulkan sebuah paradigma baru untuk meningkatkan penyediaan layanan yang
berdasarkan prinsip desentralisasi dan demokratisasi bagi rakyat Indonesia.
Kemajuan yang menakjubkan, tetapi baru-baru ini menurun
Indonesia telah membuat kemajuan yang luar biasa dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Penurunan
angka kematian bayi dan peningkatan tertinggi untuk angka partisipasi sekolah telah berhasil dicapai dengan
20
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
gemilang sejak Indonesia merdeka. Pada tahun 1960 angka kematian balita mencapai lebih dari 200 per 1.000
orang — dua kali lebih besar dari angka kematian balita di Filipina atau Thailand. Pada 2005 angka tersebut turun
hingga kurang dari 50 per 1.000 orang, yang merupakan salah satu penurunan tertinggi yang terjadi di kawasan ini.
Seorang anak yang lahir pada tahun 1940 hanya memiliki sekitar 60% kesempatan untuk mengenyam pendidikan,
40% untuk menamatkan sekolah dasar, dan 15% untuk menamatkan pendidikan di sekolah menengah pertama.
Sebaliknya, lebih dari 90% anak-anak yang lahir sejak tahun 1980 berhasil menamatkan pendidikan sekolah dasar
mereka dan hampir 60% menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama. (Diagram 2).
Angka kematian balita, 1960–2000
Perolehan tingkat pendidikan berdasarkan tahun
Bab 1
Diagram 2 Indonesia telah melaksanakan peningkatan keluaran secara dramatis selama lima dekade terakhir
100
200
80
Indonesia
150
Malaysia
Philippines
Thailand
100
Percent
Deaths per 1,000 births
kelahiran, 1940–90
250
Ever attended
school
Completed
primary
school
60
40
Completed
lower
secondary
school
Viet Nam
20
50
0
1960
0
1940
1970
1980
1990
2000
1950
1960
1970
1980
1990
Completed
upper
secondary
school
Year of birth
Sumber: Tingkat mortalitas balita dari data UNICEF (www.childinfo.org); tingkat perolehan pendidikan berdasarkan analisis data Susenas 2003.
Kemajuan yang luar biasa ini terjadi akibat pertumbuhan ekonomi yang mantap. Sebagian besar dari
kemajuan yang diperoleh semata-mata berkaitan dengan peningkatan pendapatan: pendapatan per kapita
berlipat ganda antara tahun 1970 sampai dengan 1980 dan berlipat ganda lagi pada akhir tahun 1990-an (sebelum
terjadi krisis ekonomi tahun 1997). Salah satu analisis tentang program keluarga berencana Indonesia yang sangat
luas menunjukkan bahwa sebagian besar pengurangan fertilitas berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang
pesat dan peningkatan jenjang pendidikan. Namun, analisis tersebut juga menunjukkan bahwa penurunan angka
fertilitas hanya dimungkinkan karena adanya pasokan alat-alat kontrasepsi yang sangat gencar saat itu (Gertler dan
Molyneaux, 1994).
Selama kurun waktu tersebut, kebijakan pemerintah masih berfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok
dan peningkatan akses terhadap layanan dasar. Pada pertengahan tahun 1970-an, misalnya, pemerintah
menggunakan pendapatan dari sektor minyak untuk mendanai pembangunan sekolah serta untuk mengangkat
dan menggaji guru. Inisiatif ini menyebabkan peningkatan jumlah anak yang bisa masuk ke sekolah dasar. Jumlah
siswa sekolah dasar saat itu meningkat dari 13 juta tahun 1973 menjadi lebih dari 26 juta pada tahun 1986, dan lebih
dari 90% anak usia sekolah berhasil mengenyam pendidikan sekolah dasar (Filmer, Lieberman, dan Ariasingam
2002).
Fokus pada bidang kesehatan dasar mendorong peningkatan cakupan layanan. Misalnya, pada tahun 1989
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
21
pemerintah Indonesian mengangkat bidan kemudian perawat dan menempatkan mereka di daerah pedesaan,
sebuah inisiatif yang resmi diberi nama program Bidan di Desa (BDD). Menjelang akhir tahun 1994, lebih dari
50.000 perawat-bidan yang berhasil ditempatkan (Parker dan Roestam, 2002). Dari komunitas yang diteliti secara
berulang-ulang Survei Kehidupan keluarga Indonesia (Indonesian Family Life Survey), kontribusi masyarakat terhadap
penempatan bidan-perawat desa meningkat, yang tadinya kurang dari 10% pada tahun 1993 menjadi hampir 46%
pada tahun 1997 (Frankenberg. dkk. 2004). Pada tahun 2002 hampir setengah dari seluruh jumlah kelahiran di desa
dibantu oleh bidan desa-perawat (Biro Pusat Statistik dan ORC Macro, 2003). Fokus terhadap layanan kesehatan
dasar juga mencerminkan peningkatan dengan tingkat cakupan program imunisasi. Sementara pada tahun 1980
Bab 1
kurang dari 20% bayi berumur 12 – 23 bulan menerima vaksin DPT pertama mereka, maka hampir 90% dapat
dijangkau pada tahun 2004 (UNICEF 2005).
Semua peningkatan dalam cakupan ini didorong oleh perluasan layanan publik yang dikendalikan pusat
dalam penyediaan layanan publik yang meliputi pembangunan gedung sekolah dan fasilitas pokok
kesehatan serta pengangkatan pegawai negeri yang ditugaskan untuk itu. Dengan kombinasi perluasan
pembangunan ekonomi, pendekatan tersebut memang berhasil dalam mencapai sebagian besar tujuan yang
telah ditentukan. Program pembangunan gedung sekolah besar-besaran secara langsung berkontribusi terhadap
peningkatan jumlah anak yang diterima di sekolah—dan analisisnya menunjukkan bahwa pendidikan semacam
itu juga berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja (Duflo 2001). Analisis program bidan-perawat di desa
berpengaruh pada peningkatan secara signifikan terhadap kesehatan ibu, anak, dan gizi balita (Frankenburg and
others 2004).
Seiring dengan berjalannya waktu, peningkatan belanja publik ini telah memberikan banyak manfaat
kepada masyarakat miskin, tetapi program itu masih belum memihak masyarakat miskin.
Dengan
pengecualian pengeluaran untuk pendidikan tinggi, pengeluaran pemerintah baik untuk program pendidikan
maupun kesehatan antara tahun 1989-1998, sudah semakin berpihak pada masyarakat miskin. Namun, manfaat
adanya belanja publik semacam itu dalam bidang pendidikan, dan kesehatan menjadi tidak berpihak pada
masyarakat miskin antara tahun 1998 dan 2003. Dengan menggabungkan data tentang penggunaan layanan publik
untuk setiap unit pembiayaan publik, menunjukkan bahwa sementara belanja untuk menyediakan layanan pokok
seperti fasilitas kesehatan dasar atau pendidikan dasar masih sedikit berpihak pada masyarakat miskin, belanja untuk
fasilitas rumah sakit dan sekolah menengah atas sangat berpihak pada masyarakat mampu (Diagram 1.2). Walaupun
terjadi peningkatan keluaran dan peningkatan penggunaan layanan di kalangan masyarakat miskin, manfaat secara
keseluruhan atas belanja untuk sektor kesehatan masih sangat berpihak pada masyarakat mampu. Belanja untuk
pendidikan sekolah dasar dan menengah pertama berpihak pada masyarakat miskin. Data yang masih statis itu
tidak mampu memberikan gambaran mengenai seluruh kisah yang ada di baliknya: bukti menunjukkan bahwa
pembiayaan yang baru di masa yang lalu pada dasarnya lebih berpihak pada masyarakat miskin daripada belanja
publik yang ada sekarang. Anggaran belanja publik yang baru, terutama jika ditargetkan dengan benar, dapat
memberikan manfaat secara proporsional kepada masyarakat miskin (Lanjouw dkk. 2001).
Diagram 3 Perluasan akses telah membuat belanja publik menjadi lebih berpihak pada masyarakat miskin
22
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
50
Percent
40
30
20
10
Public
health
centers
Hospitals
All
Primary
Health
Care
1987
Poorest quintile
Hospitals
All
1998
Quintile 2
Quintile 3
Primary Hospitals
Health
Care
All
0
Primary
2003
Quintile 4
Richest quintile
Junior
Sec.
Senior
Sec.
All
levels
Primary
Junior
Sec.
Senior
Sec.
All
levels
1998
1989
Poorest quintile
Quintile 2
Quintile 3
Primary
Junior
Sec.
Senior
Sec.
All
levels
2003
Quintile 4
Richest quintile
Sumber: Data kesehatan tahun 1987 berasal dari Van de Walle (1994), data tentang pendidikan untuk tahun 1989 berasal dari sumber-sumber Bank
Dunia (http://devdata.worldbank.org/edstats/); data tentang kesehatan dan pendidikan untuk tahun 1998 berasal dari Lanjouw dkk. (2001), tentang
Bab 1
Percent
60
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
kesehatan dan pendidikan untuk tahun 2003 didasarkan pada perhitungan yang dilakukan oleh staff Bank Dunia.
Catatan: Kategori “All/Semua” hanya meliputi pengeluaran yang dapat dialokasikan untuk perawatan kesehatan dasar di rumah sakit atau untuk
pendidikan sekolah menengah pertama.
Pemberlakuan desentralisasi secara besar-besaran atas penyediaan layanan di Indonesia sejak tahun
2000 telah menimbulkan kekhawatiran yang tidak terbukti. Undang-Undang (UU) No. 22 dan 25 Tahun 1999,
merupakan batu landasan hukum bagi pelaksanaan desentralisasi. Di dalam kedua UU tersebut dijelaskan tentang
konsep desentralisasi atas penyediaan layanan pokok di berbagai sektor, terutama di bidang kesehatan, pendidikan,
dan infrastruktur (untuk tinjauan yang lebih komprehensif tentang desentralisasi, lihat [Bank Dunia 2003]. Di bawah
UU tentang desentralisasi ini, kementerian pusat menyerahkan pelaksanaan tanggung jawab serta pejabat mereka
di bawah pemerintahan kabupaten, hampir untuk seluruh sektor. Pembiayaan untuk seluruh tanggung jawab dan
pelaksanaan fungsi di atas harus dilaksanakan berdasarkan (block grant) kepada pemerintah kabupaten. Transisi
ini melibatkan pengalihan pegawai negeri pusat yang jumlahnya sangat banyak demikian juga dengan aset-aset
negara dengan nilai yang sangat tinggi kepada pemerintah daerah.
Bukti-bukti yang ada sejauh ini menunjukkan bahwa sejak pemberlakuan desentralisasi atas sejumlah aspek
layanan terus mengalami peningkatan. Sebelum desentralisasi penggunaan layanan kesehatan rawat jalan
dalam bidang kesehatan dasar, pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas mengalami penurunan.
Sejak pemberlakuan desentralisasi layanan-layanan ini mulai mengalami peningkatan. Persentase anak-anak yang
memperoleh prestasi terendah dalam bidang tren dalam Bidang Studi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(MIPA) masih tetap sama antara tahun 1999 dan 2003, dan tingkat kematian anak pada tahun pertama menurun
antara tahun 1997 dan 2002/2003 (Diagram 1.3). Selanjutnya, penelitian tentang persepsi pengguna layanan
menunjukkan kepuasan secara umum atas layanan yang diberikan sejak penerapan desentralisasi. Pada tahun
2003 kebanyakan responden berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Indonesia mengatakan bahwa kemudahan anakanak untuk mendaftar di setiap sekolah sama dengan apa yang terjadi tahun 2000. Sebagian besar responden
menyampaikan bahwa ketersediaan obat-obatan, mutu layanan perawatan, dan derajat kesehatan anggota keluarga
sama dengan keadaan pada kurun waktu tiga tahun sebelumnya.
Diagram 4 Beberapa indikator penting yang mengalami peningkatan setelah pemberlakuan desentralisasi
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
23
Persentase prestasi siswa-siswa Kelas 8
Jumlah kematian sebelum genap satu tahun untuk
dalam bidang tes MIPA, 1999 dan 2003
per 1.000 kelahiran dalam kurun waktu 13–24 bulan
sebelum Survei Sosial Ekonomi Indonesia
60
80
50
70
60
Deaths per 1,000 births
Percent
40
30
20
Bab 1
10
50
40
30
20
10
0
Below low
Low
Intermediate
High
0
Advanced
1991
1999
1994
1997
2002/3
2003
Sumber: Data untuk nilai tes berasal dari Mullis dkk. (2004). Data mengenai tingkat mortalitas berasal dari.(Biro Pusat Statistik dan ORC Macro 2003).
Catatan: Kelahiran selama kurun waktu 13–24 bulan sebelum pelaksanaan survei ditelaah untuk menghindari penghitungan bayi sebelum pelaksanaan
desentralisasi.
Tetapi ada juga kecenderungan yang mengkhawatirkan muncul. Kasus gizi buruk, yang jumlahnya terus
mengalami penurunan sebelum tahun 2000, kembali mengalami peningkatan setelah tahun itu (Diagram 1.4).
Program vaksinasi, yang sangat bermanfaat bagi peningkatan derajat kesehatan publik telah mengalami penurunan
drastis. Selanjutnya, akibat adanya keragaman kondisi di seluruh Indonesia dan keterbatasan cakupan untuk
menggunakan aliran dana yang sama untuk setiap kabupaten, timbul kekhawatiran bahwa desentralisasi itu akan
mengakibatkan kesenjangan yang semakin besar antara kabupaten satu dengan yang lain.
Diagram 5
Penurunan tingkat gizi buruk (kurangnya berat badan) dapat dihentikan pada periode pasca
desentralisasi
Persentase balita yang mengalami gizi buruk
50
40
Susenas nasional
30
Susenas urban
20
Hellen Keller urban
Susenas rural
Hellen Keller rural
10
0
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Sumber: Analisis data Susenas (berbagai tahun); Pee dkk. (2003).
Catatan: Akibat perubahan kode, tingkat kasus gizi buruk tahun 2000 dan 2001 dalam data Susenas tidak bisa dibandingkan.
24
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Berbagai kecenderungan pasca pemberlakuan desentralisasi selama kurun waktu tertentu yang
menunjukkan peningkatan anggaran belanja di bidang kesehatan dan pendidikan yang sangat tajam.
Antara tahun 2001 dan 2003, baik konsolidasi pendidikan publik maupun belanja untuk kesehatan publik telah
meningkat sangat tajam (Diagram 1.5). Anggaran belanja untuk sektor pendidikan meningkat sebanyak 40%, di mana
60% adalah peningkatan pendanaan dari pemerintah pusat. Sebagian besar dari peningkatan ini—59%—adalah
pembiayaan pembangunan. Di bidang kesehatan, belanja publik meningkat sebanyak 47%, di mana pemerintah
pusat dan daerah memiliki tanggung jawab yang sama. Sebagian besar dari peningkatan ini (85%) adalah dalam
Diagram 6 Sumber-sumber pendanaan untuk sektor pendidikan dan kesehatan telah ditingkatkan sejak
pemberlakuan desentralisasi
50000
40000
30000
20000
10000
19
96
/9
19 7
97
/9
19 8
98
/9
19
99 9
/2
20 000
00
(1
2m
)
20
01
20
02
20
03
0
20
03
Pendidikan
20
02
60000
Milyar Rupiah harga 2003
18000
16000
Kesehatan
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
19
96
/9
7
19
97
/9
8
19
98
/9
19
99 9
/2
00
20
0
00
(1
2m
)
20
01
Milyar Rupiah harga 2003
70000
Bab 1
bentuk peningkatan belanja pembangunan.
Anggaran Rutin Pusat
Anggaran Rutin Pusat
Pembangunan Pusat
Pembangunan Pusat
TOTAL
Sumber: Aran dan Mochtar 2006a, 2006b
Lingkungan kebijakan yang baru dan menjadi prioritas
Desentralisasi telah mengakibatkan munculnya paradigma yang sama sekali baru dalam penyediaan
layanan publik. Enam tahun setelah diundangkan, masih terjadi kebingungan antara peran dan tanggung jawab
pemerintah di berbagai tingkatan. Desentralisasi telah menyebabkan (gegar) yang luar biasa pada seluruh sistem
di Indonesia, di mana pendanaan bergerak langsung dalam bentuk (block grant) anggaran ke tingkat pemerintah
kabupaten. Akan tetapi, berbagai aliran dana yang mengalir langsung ke kabupaten, dan akhirnya kepada petugas
dan pejabat di garis depan. Tersebut masih bersifat fragmental dan berubah-ubah, yang tidak memungkinkan bagi
pengguna layanan untuk mengetahui seberapa besar pendanaan yang semestinya mereka terima dan apakah
pendanaan tersebut sudah dicairkan atau belum. Keadaan ini telah menimbulkan peluang bagi tindak korupsi
dan kebocoran anggaran, dan ini telah membuat penyediaan layanan menjadi tidak efisien. Sistem pelaporan
melalui jalur kementerian telah terputus karena sejak pemberlakuan desentralisasi kementerian tidak lagi memiliki
wewenang di tingkat kabupaten.
Terdapat perbedaan kapasitas untuk menyediakan layanan di setiap kabupaten. Argumen yang biasa
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
25
digunakan jika kementrian ingin berperan di daerah adalah bahwa pemerintah daerah tidak memiliki sumber daya
manusia yang cukup handal dalam bidang perencanaan dan manajemen. Pemerintah pusat telah mengeluarkan
peraturan bahwa pemerintah daerah harus melakukan penggabungan dan perampingan kelembagaan mereka.
Namun, peraturan ini dikeluarkan secara kaku, dari atas ke bawah, tidak fleksibel, yang akhirnya menyebabkan
ketidakpuasan ditingkat pemerintah daerah. Kelemahan utama dari peraturan tersebut adalah tidak adanya
ketentuan yang mengizinkan pemerintah daerah untuk merumahkan pegawai jika jumlahnya berlebihan (misalnya,
melalui skema pensiun dini). Tidak adanya ketentuan mengenai penentuan kelembagaan semacam ini menyebabkan
pemerintah daerah harus menggaji pegawai yang tidak tepat untuk tugas yang tidak sesuai—terjadinya kelebihan
Bab 1
pegawai pada sejumlah fungsi atau kekurangan pegawai pada fungsi yang lain—dan tidak terdapat banyak
kemungkinan untuk memperbaiki kondisi ini.
UU tentang desentralisasi mengatur sektor, dan bukan fungsi, tertentu yang harus dialihkan ke pemerintah
daerah. Hasilnya, timbul kebingungan terutama dalam hal tanggung jawab dan akuntabilitas.
Masih
terjadi tumpang tindih fungsi yang cukup banyak, sementara kementerian tetap memainkan peran mereka
dalam implementasi program, bersama-sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten. Sistem ini sangat
membingungkan, kurangnya koordinasi, dan saling tidak percaya di antara tiga tingkatan pemerintah. Pejabat senior
di pemerintahan kabupaten sering kali tidak mampu memahami, apalagi melakukan pemantauan atas apa yang
sedang terjadi pada sektor mereka, siapa yang ditugaskan dan apa tugas mereka, dan kapan tindakan harus diambil.
Tanggung jawab pemerintah provinsi hanyalah untuk melakukan koordinasi, evaluasi, akreditasi, dan standarisasi,
tetap pemerintah provinsi terus menyiapkan dan melakukan implementasi program. Akibatnya, pemerintah pusat
dan kabupaten melihat pejabat pemerintah provinsi sebagai kompetitor dan bukan sebagai mitra yang akan diajak
bekerja sama.
Desentralisasi telah menimbulkan dinamika dan lingkungan yang heterogen. Sebelum pemberlakuan
desentralisasi, jumlah kabupaten dan kotamadya kurang dari 300; tetapi jumlah itu kini membengkak menjadi
sekitar 420. Situasi ini masih berkembang, dengan sejumlah pegawai baru menempati posisi pemerintahan yang
baru, sering tanpa memiliki pelatihan dan keterampilan yang memadai. Maka terjadilah inefisiensi, karena setiap
kabupaten memerlukan struktur pemerintahan mereka sendiri. Pada saat yang sama, perbedaan anggaran untuk
kabupaten semakin besar dan berkembang, karena pemerintah kabupaten menerima sumber daya yang lebih
besar akibat peningkatan harga bahan bakar minyak.
Demokratisasi, yang terjadi secara simultan dengan desentralisasi, juga menciptakan lingkungan baru pada
penyediaan layanan publik. Sistem sentralisasi penyediaan layanan yang diterapkan Indonesia antara akhir tahun
1970-an sampai akhir tahun 1990-an sesuai dengan struktur politik saat itu, yang sangat sentralistik dan otorioter.
Dengan gerakan reformasi pada akhir tahun 1990-an, proses politik juga mengalami transisi penting menuju sistem
demokrasi, baik di tingkat pusat, dengan sistem multipartai dan pemilihan presiden secara langsung, demikian juga
dengan pemilu daerah dan pilkada. Kekuatan ini memiliki dua dampak: pertama, sistem ini telah memungkinkan
daerah untuk menegaskan keinginan dan aspirasi mereka serta menentukan prioritas investasi publik. Kedua, sistem
ini telah menciptakan cara-cara baru untuk membuat pembuat kebijakan agar selalu akuntabel. Demokratisasi di
26
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
tingkat daerah juga menghasilkan peningkatan partisipasi rakyat di sejumlah aspek penyediaan layanan. Ini sangat
jelas pada sektor pendidikan, di mana peran serta orang tua dan masyarakat telah dilembagakan dalam Komite
Sekolah.
Efisiensi yang rendah untuk anggaran belanja publik, mutu layanan yang rendah, dan kesenjangan
perolehan akses untuk berbagai keluaran. Semua masalah ini berkaitan dengan sistem di masa lalu yang selalu
dari atas ke bawah. Keterbukaan dan demokrasi yang semakin luas telah membuat semua permasalahan masa
lalu semakin kentara Kembali ke pendekatan sentralistik masa lalu bukan merupakan opsi saat ini. Upaya untuk
membuat Indonesia menjadi semakin perlu untuk berkompetisi secara ekonomi dengan kawasan Asia Timur dan
secara global.
Bab 1
menangani generasi kedua dari permasalahan ini dalam lingkungan yang lebih demokratis dan desentralistis telah
Tingkat ketidakhadiran yang sangat tinggi menunjukkan bahwa sumber daya-sumber daya yang penting
dikeluarkan dengan timbal balik yang sangat kecil. Sebuah penelitian dilakukan baru-baru ini dengan
melakukan kunjungan mendadak kepada lebih dari 100 sekolah dasar dan puskesmas di Indonesia (Chaudhury
dkk. 2005). Penelitian ini menemukan tingkat absensi sekitar 19% di antara para guru dan 40% di antara petugas
kesehatan. Indonesia memiliki tingkat absensi tertinggi untuk petugas kesehatan dibandingkan dengan negara
lain di dunia (Tabel 1.1). Penelitian lain menunjukkan bahwa 20% siswa yang sudah terdaftar di sekolah dasar dan
sekolah menengah pertama di wilayah pedesaan tidak hadir di kelas saat kunjungan tersebut (Bank Dunia, 2005b).
Tabel 2. Persentase (%) ketidakhadiran guru dan petugas kesehatan di sejumlah negara (2003)
Negara
Guru
Petugas Kesehatan
Indonesia
19
40
Banglades
16
35
Ekuador
14
––
India
25
40
Peru
11
25
Uganda
27
37
umber: Chaudhury dkk. (2005).
Catatan: –– menunjukkan data tidak tersedia
Indonesia memiliki perbandingan siswa/guru yang paling rendah di dunia, bahkan masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan negara kaya seperti Amerika Serikat. Walaupun jumlah guru sangat banyak, ternyata daerahdaerah terpencil masih kekurangan guru (Bank Dunia 2006).
Mutu fisik layanan untuk kebutuhan dasar seringkali sangat rendah. Sebagian besar infrastruktur untuk
menyediakan layanan kebutuhan pokok didirikan ketika terjadi (booming) minyak tahun 1970-an. Saat ini, kondisi
fisik dari sebagian besar infrastruktur tersebut sangat buruk. Dari sekolah dasar di pedesaan yang dikunjungi yang
merupakan bagian dari Goverment and Decentralization Survey (GOS), sekitar 40% dari sekolah tersebut atapnya
sudah bocor, tanpa fasilitas penerangan listrik. Hanya 30% puskesmas yang dikunjungi memiliki persediaan obat-
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
27
obatan secara lengkap, dan sekitar 25% kekurangan lebih dari tiga jenis obat-obatan (Bank Dunia 2005b).
Hasil pembelajaran di Indonesia masih sangat lemah, terutama yang berkaitan dengan kompetitor ekonomi.
Berdasarkan standar internasional, hasil pembelajaran masih rendah. Program Penilaian Siswa Internasional atau
Program for International Student Assessment (PISA) menemukan bahwa siswa Indonesia yang berumur 15 tahun
prestasinya sama dengan rata-rata siswa di Brazilia dan jauh di bawah prestasi siswa di Thailand atau Republik Korea
(Diagram 7). Selanjutnya, prestasi yang rendah tidak semata-mata disebabkan oleh faktor kemiskinan. Siswa yang
pada ekonomi terkaya memiliki prestasi lebih baik daripada siswa lain di Indonesia, namun nilai rata-rata mereka
Bab 1
masih tetap lebih rendah dibandingkan dengan siswa dengan terkaya di Brazil—dan lebih buruk jika dibandingkan
dengan siswa dengan paling miskin di Thailand (Diagram 7). Sebuah studi kasus yang baru-baru ini dilaksanakan
mengenai pendidikan di Malang menjelaskan faktor-faktor sistemik yang berkontribusi terhadap mutu pendidikan
yang begitu rendah. Faktor-faktor itu muncul di seluruh sistem pendidikan, bahkan juga pada sekolah-sekolah swasta
yang sangat bergengsi sekalipun (Bjork 2005). Penelitian serupa juga menyimpulkan bahwa 66% dari siswa kelas 8
di Malaysia menunjukkan prestasi tingkat “menengah atau (intermediate)” atau di atas standar internasional untuk
kemampuan matematika, hanya 24% siswa Indonesia yang mampu mencapai tingkat tersebut pada kelas yang
sama (Martin dkk. 2004). Di Malaysia, 30% siswa yang berada pada kelas 8 mampu mencapai prestasi pada tingkat
“tinggi atau (high)” atau bahkan lebih tinggi, sedangkan hanya 6% dari siswa Indonesia yang mampu mencapai
tingkat tersebut.
Diagram 7. Angka Partisipasi Sekolah di antara siswa Indonesia yang berumur 15 tahun masih rendah, bahkan masih
rendah pada siswa-siswa yang tergolong mampu.
300
200
200
Korea
Korea
300
Indonesia
400
Thailand
400
Brazil
500
Indonesia
500
Thailand
Problem solving scores
600
Brazil
Math scores
600
Poorest quintile of students
Richest quintile of students
Average score
Sumber: Analisis data Program Penilaian Siswa Internasional 2003
Indonesia telah mampu menurunkan angka kematian bayi, tetapi sejumlah indikator menunjukkan adanya
berbagai masalah pada mutu layanan publik. Jumlah dokter, perawat, dan bidan yang bertugas memberikan
layanan kesehatan baik yang berasal dari sektor publik maupun swasta tidak mampu menyebutkan prosedur yang
28
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
benar ketika menangani kasus hipotesis suatu penyakit (Diagram 1.7). Proporsi prosedur yang benar yang mereka
sampaikan masih berkisar antara 42–52% untuk penanganan kuratif orang dewasa, 41–44% untuk penanganan
prenatal, dan 55–62% untuk penanganan kuratif anak-anak (Gertler dkk. 2002). Observasi ini sesuai dengan temuan
dalam sebuah studi yang berjudul “(Pilot Project) Jaminan Mutu dari Proyek Kesehatan IV”. Observasi dasar mengenai
praktik yang dilakukan oleh petugas puskesmas yang dilakukan sebelum dilakukan intervensi berdasarkan (pilot
project) tersebut menunjukkan bahwa 20–30% memenuhi persyaratan sesuai pedoman klinis untuk menangani
beberapa masalah kesehatan tertentu (Panel kiri pada Diagram 8). Persentase anak-anak yang menerima imunisasi
DPT yang ketiga masih di bawah 80% dan bahkan kini sudah mulai mengalami penurunan (Panel kanan pada
Diagram 8 Pengetahuan petugas kesehatan tentang Diagram 9 Penurunan vaksinasi DPT
Bab 1
Diagram 9).
standar layanan publik masih rendah
Knowledge of service standards in health
Percentage of 12- to23-month-olds that receive
their third DTP vaccination
100.0%
100
80.0%
60.0%
80
40.0%
Indonesia
60
Malaysia
Percent
20.0%
0.0%
Philippines
Thailand
40
Vietnam
Public health centers
Private nurses and
midw ives
Adult curative care
Prenatal care
Private MDs and
clinics
20
Child curative care
0
1980
1985
1990
1995
2000
2005
Sumber: Panel kiri dari Barber, Gertler, dan Harimurti 2005 yang didasarkan pada Survei Kehidupan keluarga Indonesia 1997. Panel kanan dari (UNICEF,
2005).
Salah satu indikator yang menunjukkan rendahnya mutu layanan publik merupakan fakta yang diungkapkan
oleh banyak pasien yang tidak puas yang mengakibatkan mereka beralih ke sektor swasta—walaupun
pemerintah selalu menekankan pentingnya penyediaan layanan publik yang bermutu. Ini memang benar
terutama dalam bidang layanan kesehatan dan pendidikan non primer. Dari seluruh strata ekonomi, hampir 60%
kunjungan untuk mendapatkan layanan kesehatan pada tahun 2004 semuanya ditujukan ke fasilitas yang disediakan
oleh sektor swasta. Layanan yang diberikan oleh sektor swasta sering kali lebih baik daripada layanan yang diberikan
oleh sektor publik yang melayani masyarakat miskin (lihat Diagram 3.1). Studi yang bertajuk ”Suara Masyarakat Miskin”
yang dilakukan untuk menyiapkan laporan ini juga memberikan indikasi bahwa masyarakat miskin menggunakan
layanan yang disediakan oleh sektor swasta, bukan saja karena layanan mereka terkadang lebih murah tetapi juga
karena lebih baik (Mukherjee 2005). Pola semacam ini bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 1993 tingkat
dan pola itu begitu mirip. Akan tetapi, sejak pelaksanaan desentralisasi, kunjungan ke sektor publik menunjukkan
peningkatan dari lapisan masyarakat dari berbagai lapisan ekonomi.
Kesenjangan untuk memperoleh akses dan kesenjangan keluaran masih tetap tinggi. Model layanan publik
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
29
yang begitu luas yang disediakan oleh Indonesia telah mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat yang
membutuhkan berbagai layanan publik. Tetapi, tidak semua jenis layanan dapat disediakan secara luas bagi seluruh
masyarakat dengan tingkat pendapatan yang berbeda (Diagram 1.9). Ketika hampir semua anak Indonesia terdaftar
masuk sekolah, dan anak-anak dari keluarga mampu hampir semuanya bisa menyelesaikan pendidikan sekolah
menengah pertama mereka, banyak anak-anak dari keluarga miskin bahkan tidak bisa masuk sekolah dasar. Tingkat
kematian anak di antara keluarga mampu masih di bawah 20 per 1.000 kelahiran, tetapi angkanya mencapai lebih
dari 70 di antara penduduk paling miskin. Sudah jelas juga bahwa tidak satu pun anak dari keluarga mampu yang
menggunakan air pancuran, sungai atau dam sebagai sumber air minum mereka. Namun, lebih dari 30% masyarakat
Bab 1
miskin masih menggunakan sumber-sumber air tersebut. Sebanyak 60% penduduk yang tergolong mampu,
menggunakan air dari PDAM sebagai sumber air mereka, hanya 6% masyarakat miskin yang mampu memperoleh
fasilitas tersebut (Diagram 1.9). Upaya untuk menjangkau masyarakat miskin dan yang tinggal di daerah terpencil
merupakan hal yang sangat penting untuk diperhitungkan jika Indonesia ingin meraih tujuannya yaitu mencapai
masyarakat adil makmur yang merata.
Diagram 10 Kesenjangan dalam hal keluaran dan layanan publik masih tinggi
Proporsi kelompok cohort dengan prestasi di tiap kelas
Sumber air minum utama berdasarkan kuintil
kesehatan
100
proportion
1
80
richest quintile
0.8
quintile 4
60
quintile 3
0.6
quintile 2
0.4
poorest quintile
40
20
0.2
0
0
1
4
7
grade
Poorest
quintile
10
2
Piped
3
Well/pump
4
Surface
Richest
quintile
Other
Angka kematian balita per 1,000 kelahiran yang
selamat berdasarkan kuintil kesehatan
Jenis WC berdasarkan kuintil kesehatan
100
80
70
80
60
Deaths per 1000 births
60
50
40
40
30
20
20
0
Poorest
quintile
10
0
Poorest
quintile
Quintile 2
Quintile 3
Quintile 4
Richest
quintile
2
3
4
Richest
quintile
Private with sceptic tank
Private without sceptic tank
Shared/Public
None/other
Pit
Sumber: Data anak yang diterima di sekolah berdasarkan analisis data Susenas 2004, kelompok cohort yang ditentukan antara orang berumur 20-25
tahun. Hubungan tingkat mortalitas dengan air minum dan sanitasi yang didasarkan analisis data Survei Demografi dan Kesehatan 2002/2003..
Tantangan dalam penyediaan layanan publik
30
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Walaupun seandainya sistem penyediaan layanan publik yang diterapkan di Indonesia sudah bermutu tinggi, efisien,
dan berkeadilan, realitas politik yang baru berkembang saat ini yang terjadi akibat pemberlakuan desentralisasi dan
demokratisasi akan memerlukan peninjauan terhadap berbagai instrumen kebijakan untuk dapat meningkatkan
kuantitas dan kualitas layanan itu sendiri. Desentralisasi dan demokratisasi—walaupun tidak mengakibatkan
runtuhnya seluruh sistem dan keluaran layanan publik di Indonesia—masih merupakan proyek yang belum
rampung, yang masih menyisakan kesalahpahaman tentang tanggung jawab dan akuntabilitas. Hal tersebut,
ditambah lagi dengan masalah baru berupa turunan kedua dari permasalahan ini (yaitu peningkatan penyediaan
layanan untuk menjamin daya saing, penggunaan sumber daya-sumber daya publik secara efisien, serta upaya
desentralisasi, Indonesia menghadapi tantangan cukup berat dan ada begitu banyak kesempatan dan peluang
yang dimiliki oleh para pembuat kebijakan. Laporan ini membahas berbagai gagasan tentang bagaimana
Bab 1
menjangkau rakyat yang saat ini masih belum menerima layanan secara layak) dalam kaitannya dengan kerangka
cara menghadapi tantangan tersebut dan mengambil manfaat peluang yang ada sekarang ini.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
31
Bab 1
32
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 2
Pemberian Layanan dalam Era Demokratisasi dan Desentralisasi
Bab ini berfokus pada satu pertanyaan:
Bagaimana demokratisasi dan desentralisasi telah mengubah hubungan antara pemakai layanan,
pemerintah, dan penyedia layanan?
Pembuat kebijakan nasional
Pembuat
kebijakan
daerah
Klien dan masyarakat
Penyediaan layanan
umum/pribadi
Hubungan antara penyedia layanan dan pengguna layanan, serta pemerintah pusat dan daerah telah
berubah sejak Indonesia menerapkan desentralisasi dan demokrat. Hal ini juga sangat berdampak
signifikan terhadap cara penyediaan layanan publik. Sebagai contoh, situasi yang sebenarnya yang
dihadapi oleh masing-masing pemain ini memberikan pelajaran secara umum tentang bagaimana
mereka dapat berfungsi efektif dalam lingkungan yang baru.
Hubungan akuntabilitas antara pemerintah, penyedia layanan, dan klien telah mengalami perubahan
sejak pelaksanaan sistem desentralisasi dan demokratisasi. Segitiga akuntabilitas yang diperkenalkan pada
Bab 2
rangkuman eksekutif dan juga dibahas pada halaman sebelumnya, menunjukkan hubungan akuntabilitas ini.
Hubungan antara klien dan pembuat kebijakan telah berubah karena pemimpin pada pemerintahan tingkat
pusat dan daerah serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat sekarang dipilih secara langsung. Pemilihan langsung
semacam ini telah menimbulkan tekanan pada para pemimpin ini untuk melakukan pemulihan ulang. Misalnya,
di 103 pilkada tingkat kabupaten yang dilaksanakan pada 2005, sebanyak 38 kali menyebabkan kekalahan pada
pemerintahan yang sedang berkuasa (NDI, 2006). Rakyat tidak saja lebih aktif untuk mendesak pemerintah, tetapi
mereka juga lebih siap untuk mengambil peran aktif dalam melakukan pengelolaan pemberian layanan di daerah
mereka. Partisipasi masyarakat yang lebih aktif merupakan ciri khas yang menentukan perubahan hubungan
antara klien dan penyedia layanan. Hubungan antara penyedia layanan dan pembuat kebijakan juga mengalami
perubahan. Dalam pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah kabupaten secara resmi bertanggung jawab
terhadap kebanyakan fungsi pemberian layanan, sementara pemerintah pusat tetap memegang peran penting
melalui penentuan anggaran yang ditentukan dan dikontrol oleh pusat, peraturan tentang layanan sipil serta
jumlah staf yang berpengalaman di kantor kementerian di tingkat pusat. Misalnya, pengeluaran pembangunan
untuk Kementerian Kesehatan di tingkat pusat pada 2004 hampir sama dengan pengeluaran pembangunan di
bidang kesehatan di tingkat kabupaten dan provinsi, jika keduanya digabungkan (World Bank 2006b). Selanjutnya,
segitiga akuntabilitas menunjukkan dua hubungan paralel secara langsung antara pemerintah pusat dan penyedia
layanan, dan satu hubungan dengan pembuat kebijakan lokal.
Untuk menunjukkan pentingnya hubungan akuntabilitas ini, bab ini menampilkan tiga kisah tentang
bagaimana hubungan ini dapat berpengaruh terhadap pemberian layanan di Indonesia. Kisah ini akan
memberikan gambaran bahwa hubungan ini begitu rumit dan secara terus-menerus mengalami perubahan. Ada
beberapa pelajaran yang dapat ditarik dari kisah ini:
•
Sikap profesional penyedia layanan, teman sebaya, dan kelompok dukungan pemakai layanan, dapat
menimbulkan perbedaan yang besar tentang bagaimana layanan itu dapat diberikan. Terlalu sering
penyedia layanan memiliki insentif yang sangat lemah untuk memberikan layanan yang bermutu tinggi.
•
Pemerintah daerah yang mampu melakukan inovasi dalam pemberian layanan mereka harus menjamin
bahwa hasil yang diperoleh dikomunikasikan kepada kelompok pemilih mereka. Bahkan inovator yang
berhasil sekali pun tidak ada jaminan kalau mereka akan terpilih lagi dalam pemilu berikutnya.
•
Klien, yang merupakan penerima layanan, tidak banyak ikut campur mengenai bagaimana layanan tersebut
harus dikelola. Kini mereka telah diberdayakan untuk meminta akuntabilitas dari pejabat yang telah mereka
34
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
pilih, tetapi dalam kenyataannya hal ini sangat sulit untuk diterapkan.
•
Kondisi pelaksanaan desentralisasi yang tidak lengkap dan dinamis telah menimbulkan kesulitan lingkungan,
banyak kesimpangsiuran dan terjadi tumpang tindih peran dan tanggung jawab di berbagai tingkatan
pemerintahan.
Penyedia layanan: Ada Yang Berhasil, ada Juga yang Gagal
Walaupun jumlah siswa yang terdaftar di sekolah dasar di Indonesia cukup tinggi, perbedaan yang begitu jauh di
bidang infrastruktur sekolah, tingkat kehadiran, dan metode pengajaran merupakan hal-hal yang membuat kita
Bab 2
perlu prihatin. Kasus dari dua sekolah di bawah ini memberikan perbandingan yang sangat mencolok (Nachuk;
Leisher dan Gaduh (2005); Mukherjee (2006)).
Enam kelas yang terdapat di SDN (Sekolah Dasar Negeri) Bajo Pulau, sebuah sekolah yang terdapat di pedesaan
di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, harus berbagi tiga ruang kelas; karena ruang kelas yang lain sudah rusak
berat. Ruang kelas tersebut penuh sampah, bekas pembungkus permen, dan sisa-sisa makanan. Tiga dari empat
orang siswa tidak memiliki buku paket atau buku latihan, karena sudah dimakan kambing. Ada beberapa buku
paket yang masih tersedia, tetapi sudah dibawa pulang oleh guru agar tidak hilang. Infrastruktur SDN 012, sebuah
sekolah yang terdapat di pedesaan Kabupaten Polman, Sulawesi Barat, cukup lumayan. Ruang kelasnya cukup untuk
menampung seluruh kelas yang ada, fasilitas air dan sanitasi di sana juga memadai untuk memenuhi kebutuhan
seluruh siswa.
Interaksi antara siswa dengan guru di kedua sekolah tersebut jauh berbeda. Situasi kelas di SDN Bajo Pulau sangat
kacau; para murid tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar, dan hanya sibuk ke sana ke mari. Murid
menjaawab apa yang dikatakan guru, tetapi tidak pernah bertanya. Siswa tidak pernah bekerja kelompok di dalam
kelas. Jika siswa bisa membaca tulisan di papan tulis, mereka boleh pulang.
Di SDN 012 guru menggunakan jam tembok untuk menjelaskan pelajaran tentang jam. Mereka menggunakan
alat peraga visual dan siaran radio. Para murid belajar dalam kelompok untuk meningkatkan pengetahuan mereka,
situasi kelas sangat teratur, serta siswa secara aktif terlibat dalam proses belajar di kelas.
Akibat dari perbedaan yang sangat jauh ini, motivasi siswa sangat beragam. Di SDN Bajo Pulau, sepertiga siswa absen
untuk kurun waktu yang sangat lama, dan guru mereka sangat sering datang terlambat. Para murid, biasanya lakilaki, banyak yang putus sekolah sebelum mereka naik ke kelas 5, begitu mereka bisa membaca dan menulis. Alasan
mereka sama “Saya bosan belajar a, b, c tiap hari!” Penggunaan metode mengajar yang menarik telah merangsang
para siswa di SDN 012. Mereka rajin mengerjakan pekerjaan rumah. Merasa berhasil dengan alat-alat peraga yang
digunakan, guru mulai merancang, menggunakan, dan saling berbagai pengalaman mereka dengan guru-guru
lain. Orang tua siswa, yang terinspirasi oleh motivasi anak-anak mereka dan news letter, telah semakin aktif dan ikut
terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
35
Pemerintah Daerah: Perubahan berkelanjutan perjuangan merebut
hati nurani
Bupati Tanah Datar, Sumatera Barat, menggunakan otoritasnya berdasarkan undang-undang desentralisasi untuk
memangkas lembaga pemerintah dari 22 menjadi 8, sehingga beliau mampu menghemat anggaran sekitar $1
juta per tahun. Penghematan ini kemudian digunakan untuk membiayai peningkatan infrastruktur sektor publik,
termasuk sektor pendidikan. Beberapa peningkatan ini merupakan langkah-langkah inovatif. Contohnya, kabupaten
ini memberikan penghargaan kepada guru bahasa Inggris dan kepala sekolah teladan untuk mengikuti pelatihan di
luar negeri. Kondisi penyediaan layanan publik juga mengalami perbaikan yang signifikan: motivasi para guru bahasa
Bab 2
Inggris dan kepala sekolah bertambah baik, metodologi pengajaran disesuaikan dengan kondisi setempat, minat
belajar para siswa juga semakin tinggi, serta terjadi peningkatan pemikiran-pemikiran inovatif pada pendidikan
yang dikelola pemerintah dan seluruh pegawai di sekolah.
Walaupun terjadi begitu banyak peningkatan di berbagai bidang, bupati ternyata kalah pada pilkada (pemilihan
kepala daerah) tahun 2005. Beliau ternyata tidak mampu merebut hati rakyat akibat sejumlah kebijakan yang tidak
populer. Kegagalan untuk melegalisasi reformasi yang dilakukan akan mengurangi kelanjutan kebijakan yang ada.
Akibatnya, pemerintahan yang baru, kembali menerapkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan sebelum reformasi.
Pengguna Layanan: Menuntut akuntabilitas memang sulit, tetapi
bukan tidak mungkin
Tindak korupsi memang paling kentara pada tatanan pemerintahan di tingkat bawah. Di Padang, Sumatera Barat,
seorang dosen Fakultas Hukum, Saldi Isra, melihat terjadinya perubahan mendadak dalam pengeluaran yang dilakukan
oleh anggota DPRD. Mereka mengganti sepeda motor mereka dengan mobil mewah. Hal ini telah mendorongnya
untuk meneliti anggaran pemerintah provinsi Sumatera Barat. Isra, yang hanya seorang anak petani di sebuah desa
di Padang Barat, kesulitan untuk mendapatkan salinan anggaran tersebut, namun dengan perjuangan akhirnya
ia berhasil juga memperolehnya. Anggaran ini merupakan bukti nyata bahwa anggota DPRD telah memperkaya
diri mereka sendiri. Dengan bukti ini, Isra mendorong masyarakatnya untuk menggugat pejabat pemerintah. Ia
menghabiskan waktu tiga tahun untuk menggelar berbagai protes, dan dengan bantuan pers setempat serta siaran
media massa untuk mendapatkan jaksa penuntut umum di tingkat provinsi yang akhirnya bersedia menangani para
legislator tersebut dan menyeret mereka ke pengadilan.
Pada bulan Mei 2004, sejumlah 43 dari 55 anggota DPRD dituntut atas penyalahgunaan anggaran sebesar $690.000
dan mereka dinyatakan bersalah. Semua anggota DPRD ini lalu mengajukan banding. Pada bulan Agustus 2005,
Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara kepada 33 tertuduh; sebanyak 10 orang sedang
menunggu putusan. Surat putusan resmi dari Mahkamah Agung turun di meja Penuntut Umum di Padang pada
bulan Desember 2005. Sampai dengan Februari 2006, ke 33 tertuduh itu masih bebas. Mereka tidak menaati
hukuman mereka dengan alasan mereka harus ke Jakarta untuk pembentukan komisi nasional atau sudah terlalu
36
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
tua atau sakit-sakitan untuk menjalani hukuman. Penuntut umum dari Pengadilan, Mochtar Arifin, lalu diangkat
menjadi wakil di kantor Kejaksaan Agung dan dipindahkan ke Jakarta. Isra lalu ditawari beberapa posisi penting di
Jakarta, tetapi ia menolak. “Jika setiap orang yang memiliki potensi harus pindah ke Jakarta, pada akhirnya daerah
tidak akan pernah berkembang. Saya merasa perlu untuk memberdayakan masyarakat di sini,” katanya.1
Pemerintah Pusat: Menghormati pemerintah daerah dan menjamin
kesesuainan tujuan
Pada bulan Februari 2005 pemerintah Indonesian mengumumkan program jaminan kesehatan baru untuk
Karena masih terjadi kebingungan akibat pelaksanaan desentralisasi, pelaksanaannya masih tertunda. Sebelum
pengumuman tersebut, beberapa pemerintah kabupaten telah menjalankan program jaminan kesehatan mereka
Bab 2
masyarakat miskin yang bertujuan untuk mencakup pembiayaan perawatan kesehatan lebih dari 36 orang.
sendiri di bawah program yang dulu dikenal dengan nama JPK-Gakin. Inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah
pusat ini menyebabkan program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten menjadi terancam. Lebih
umum lagi dapat dikatakan bahwa karena klinik publik dan rumah sakit bertanggung jawab kepada pemerintah
kabupaten, pemerintah pusat memiliki kapasitas yang terbatas untuk melaksanakan program jaminan kesehatan
berskala nasional melalui struktur desentralisasi ini.
Jalan keluarnya adalah menunjuk PT Askes, perusahaan asuransi kesehatan nasional yang menyediakan jaminan
kesehatan bagi pegawai negeri sipil dan memiliki kantor cabang hampir di setiap kabupaten. Keputusan ini
menghadapi tantangan hukum yang disampaikan oleh pemerintah kabupaten yang telah melaksanakan program
jaminan kesehatan mereka. Mahkamah Agung akhirnya menegaskan bahwa keputusan pemerintah pusat untuk
melaksanakan program jaminan kesehatan dengan menunjuk PT. ASKES telah melanggar undang-undang tentang
desentralisasi. Untuk melaksanakan hal ini, ASKES harus bekerja sama dengan lebih dari 420 pemerintah kabupaten.
Program ini menerima pendanaan dari pemerintah pusat, 10% dapat digunakan untuk keperluan administrasi dan
publikasi program.2
1
Berdasarkan artikel yang terbit di Washington Post, Jakarta Post, dan keterangan dari Reuters News, 2005, 2006]
2
Berdasarkan pengamatan penulis dan wawancara dengan para ahli
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
37
Bab 2
38
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 3
Penguatan Akuntabilitas dan Struktur Insentif
Ada tiga pertanyaan yang menjadi fokus bab ini:
• Bagaimana hubungan antara akuntabilitas dengan penyedia layanan publik dan
pemerintah dapat ditingkatkan sehingga penyedia layanan lebih berfokus pada
penyediaan layanan yang bemutu bagi masyarakat miskin?
• Bagaimana pemerintah dapat bekerja sama dengan sektor swasta untuk meningkatkan
penyediaan layanan bagi masyarakat miskin?
• Bagaimana pemerintah kabupaten dapat mengatur diri mereka untuk mengelola layanan
publik yang lebih baik dan mengurangi hal-hal yang tidak efisien akibat tindak korupsi?
Pembuat kebijakan nasional
Pembuat
kebijakan
daerah
Klien dan masyarakat
Penyediaan layanan
umum/pribadi
Untuk meningkatkan mutu layanan, penyedia layanan harus lebih berorientasi pada pengguna layanan
dan keluaran. Pemerintah, terutama pemerintah daerah, perlu meningkatkan akuntabilitas layanan
publik yang mereka berikan, bekerja sama lebih banyak dengan sektor swasta untuk memberikan
layanan kepada masyarakat miskin, dan memberikan pengakuan serta membangun kapasitas sektor
publik untuk mengelola seluruh proses.
Bab ini memberikan rekomendasi tentang bagaimana hubungan antara akuntabilitas penyedia layanan
dengan pemerintah dapat ditingkatkan untuk menghadapi tantangan masa ini berkenaan dengan
Bab 3
penyediaan layanan publik. Hubungan antara pemerintah dan penyedia layanan sangatlah penting untuk
meningkatkan mutu layanan yang ditujukan bagi masyarakat miskin. Pemerintah mendanai kebutuhan pokok
masyarakat dalam jumlah besar dan oleh karena itu pemerintah dapat menentukan aturan mengenai tata cara
penyediaan layanan ini. Pemerintah dapat juga mempromosikan sektor swasta yang sudah bekerja dengan baik
untuk penyediaan layanan semacam itu, dengan memberdayakan warga agar mereka mampu membuat keputusan
yang benar ketika mereka akan mengeluarkan uang untuk layanan yang akan mereka terima.
Rekomendasi dalam bab ini semata-mata diarahkan pada pemerintah daerah, karena mereka harus
menyusun strategi pembangunan serta menjalankan manajemen operasional sehari-hari atas layanan
yang diberikan kepada masyarakat. Namun ketika pemerintah pusat berhubungan langsung dengan penyedia
layanan, mengeluarkan peraturan yang berlaku secara nasional, atau mendukung pemerintah daerah untuk
melakukan pengelolaan yang lebih baik atas layanan yang diberikan kepada masyarakat, rekomendasi ini juga
berlaku bagi pemerintah pusat. Rekomendasi ini dirancang dengan pandangan bahwa butuh waktu cukup lama
untuk memapankan desentralisasi dan bahwa pada saat yang sama baik pemerintah pusat maupun daerah harus
terus mendanai layanan tersebut.
Hubungan akuntabilitas dengan penyedia layanan dari sektor publik dan pemerintah dapat diperbaiki dengan
cara meningkatkan transparansi terhadap layanan yang harus diberikan oleh penyedia layanan dari sektor publik
tersebut, serta transparansi terhadap sumber-sumber daya yang mereka miliki untuk memberikan layanan. Kejelasan
tentang apa yang menjadi tanggung jawab dan akuntabilitas penyedia layanan—seperti yang dinyatakan dalam
perjanjian penyediaan layanan—akan membuat pemantauan oleh pengguna layanan tersebut menjadi lebih
efektif. Seiring dengan berjalannya waktu, ketika hubungan antara akuntabilitas dengan kapasitas sudah semakin
meningkat, perencanaan kerja sama yang lebih besar dapat diberikan kepada penyedia layanan, dan akuntabilitas
dapat ditentukan dengan lebih tajam lagi berdasarkan tolok ukur hasil dan keluaran. Hal ini akan membantu
penyedia layanan untuk menyesuaikan layanan mereka dengan kebutuhan lokal dan membuat proses pengambilan
keputusan menjadi lebih dekat dengan pengguna layanan itu sendiri.
40
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Menentukan dan menjelaskan keluaran dan menggunakan perjanjian
tentang layanan
Banyak kesepakatan kelembagaan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang penyediaan layanan
publik masih belum jelas mengatur tentang apa yang harus disediakan oleh lembaga penyedia layanan
dan seberapa banyak yang akan mereka peroleh untuk pekerjaan mereka. Pembiayaan dan penyediaan
layanan didasarkan pada instruksi dari birokrat, yang memberikan otonomi yang sangat kecil kepada lembaga
penyedia atau pengguna layanan tersebut. Rata-rata klinik pemerintah memiliki 8 sumber keuangan dan 34 dana
dan menentukan secara formal kewajiban semacam ini akan dapat memberikan kejelasan kepada pemerintah dan
penyedia layanan secara terukur dan akuntabel tentang komitmen pembuat kebijakan, birokrat, dan warga negara/
Bab 3
operasional, sebagian besar disediakan oleh pemerintah pusat (World Bank 2005b). Dengan membuatnya lebih jelas
pengguna layanan. Perjanjian penyediaan layanan yang jelas dan tegas mengenai syarat-syarat yang harus diikuti
dapat dijadikan rujukan sehingga penilaian, pemantauan, pemberian sanksi, pemberian hadiah dan penyampaian
ke khalayak publik akan lebih efektif dan adil.
Apa yang dimaksud dengan perjanjian layanan dan mengapa hal itu harus dilakukan?
Perjanjian layanan antara penyedia layanan publik dan pemerintah yang memuat ketentuan tentang
layanan yang harus diberikan oleh penyedia dan sumber daya-sumber daya yang diperoleh untuk
menyediakan layanan tersebut. Perjanjian layanan akan meningkatkan transparansi mengenai apa yang diminta
oleh pemerintah kepada penyedia layanan yang harus diberikan dan apa yang dituntut oleh pengguna layanan
dari penyedia. Perjanjian tersebut harus realistis sesuai dengan kondisi sumber daya dan keadaan di lapangan.
Pemerintah daerah akan memiliki manfaat komparatif dalam melakukan negosiasi untuk hal ini. Perjanjian layanan
perlu dipantau oleh pemerintah dan pengguna layanan, dan pemerintah harus memiliki komitmen untuk mengambil
langkah-langkah perbaikan jika perjanjian itu tidak ditaati.
Perjanjian layanan sangat sesuai untuk tugas-tugas yang dapat diperkirakan sehingga persyaratannya
dapat ditulis dengan cermat, diukur, dan diverifikasi dengan biaya yang masuk akal. Untuk hal-hal yang
kemunculannya tidak dapat diprediksi namun solusinya dapat dirundingkan untuk melakukan intervensi yang
standar (seperti program vaksinasi untuk mencegah wabah yang muncul secara tiba-tiba), pendekatan berdasarkan
komando dan kontrol akan lebih sesuai. Akan tetapi, kebanyakan isu-isu generasi kedua bukan merupakan jenis
masalah seperti ini. Peningkatan prestasi belajar anak-anak atau penyediaan layanan penyuluhan pertanian, misalnya,
memerlukan penyediaan layanan yang sesuai dengan kebutuhan individu.
Isu-isu turunan kedua menjadi lebih penting, sehingga perjanjian layanan akan semakin relevan. Perjanjian
layanan yang lebih luas dapat memberikan ruang untuk menangani masalah-masalah generasi kedua. Terdapat tiga
alasan penting untuk hal ini. Pertama, perjanjian layanan dapat meningkatkan keadilan dalam penyediaan layanan
dengan melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang dimiliki dengan pihak penyedia. Ketidaksetaraan dalam
penyediaan layanan sering terjadi karena sumber-sumber dikendalikan oleh pemerintah (kabupaten), dan akan
lebih mudah untuk menyalurkan sumber daya ke penyedia layanan di wilayah perkotaan. Kedua, perjanjian layanan
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
41
dapat berkontribusi terhadap peningkatan mutu layanan dengan memaksimalkan pemanfaatan kemampuan
pegawai yang bekerja untuk memberikan layanan. Perjanjian layanan memberikan otonomi yang lebih besar
kepada lembaga penyedia layanan. Perjanjian ini juga memberikan kemampuan yang lebih besar bagi penyedia
untuk meningkatkan layanan yang diberikan Ketiga, perjanjian layanan dapat mengurangi pemborosan yang tidak
perlu dengan meningkatkan keterbukaan dari pendanaan yang disalurkan kepada pihak penyedia layanan dan
memberikan peluang bagi pemantauan yang lebih efektif untuk seluruh pengeluaran dana.
Penerapan perjanjian layanan secara politis sangat menarik, karena hal ini memberikan pesan yang sangat
Bab 3
kuat mengenai kemauan politik dari pemerintah untuk menciptakan budaya akuntabilitas, keterbukaan,
dan basis kinerja. Keberhasilan pelaksanaan pendekatan perjanjian layanan ini akan sangat diminati oleh para
pemilih dalam pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah. Konsep ini akan dengan sangat mudah dipahami
oleh publik dan dapat dengan mudah pula dimobilisasi untuk melakukan reformasi di bidang layanan publik.
Kebanyakan pemilih sudah sangat mengenal kehidupan mereka sehari-hari dengan kontrak layanan yang mereka
lakukan sebagai kunci utama untuk menjamin penyediaan layanan yang memuaskan. Australia, Selandia Baru,
dan Inggris telah membuktikan strategi ini sangat bermanfaat dalam pelaksanaan reformasi layanan sektor publik
mereka dan mampu mendapatkan dukungan publik untuk agenda reformasi publik mereka. Kontrak penyediaan
layanan bisa praktis dan berguna untuk ekonomi yang kurang berkembang, seperti yang diperlihatkan dalam
Skema Manajemen berbasis kinerja Burkina Faso (Lihat Kotak 2).
Apa ciri-ciri perjanjian layanan yang baik?
Perjanjian layanan yang baik harus memiliki tujuan yang jelas, dan hal-hal yang sudah disepakati untuk
diberikan kepada khalayak harus benar-benar dapat diukur, hasil dan keluaran yang dihasilkan sesuai
dengan tujuan. Idealnya, keluaran tersebut harus dapat diukur baik dalam hal mutu maupun kuantitas layanan
yang disediakan. Terdapat banyak indikator hasil dan keluaran; cara yang baik adalah membuatnya sederhana dan
transparan serta hanya melingkupi beberapa hal yang krisis. Contoh indikator keluaran/hasil yang baik dan strategis,
yang digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia dan juga di tempat lain adalah jumlah anak yang terdaftar
di sebuah sekolah, jumlah lulusan, dan prestasi belajar siswa dalam bidang studi matematika, ilmu pengetahuan
alam, bahasa, kewarganegaraan, dan bidang studi penting lainnya. Indikator di bidang kesehatan meliputi tingkat
Pemantauan penyakit menular dan jumlah konsultasi, pasien rawat inap, dan program imunisasi. Indikator untuk
penyediaan air bersih dapat meliputi jumlah pengguna layanan, volume air yang dialirkan, dan hari-hari ketersediaan
air tersebut.
42
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kotak 2. Skema pengelolaan berbasis manajemen di Burkina Faso
Skema pengelolaan berbasis manajemen di Burkina Faso merupakan ilustrasi dari bentuk relational contract untuk perjanjian pelayanan, yang
seringkali dianggap sah sebagai dasar kemitraan antara badan-badan sektor publik atau antara lembaga pemerintah dengan lembaga non
pemerintah yang menjadi mitra-nya. Perbedaan utama dari relational contract dengan kontrak model klasik adalah mekanisme penerapannya
yang sudah-sudah sebagian besar lebih berdasarkan pada kesilapan administrasi dan intervensi manajemen daripada sanksi dan hukuman yang
di atur oleh kode etik hukum penerapan kontrak yang berlaku.
Skema tersebut diatur dalam Perjanjian Pelaksanaan quasi contract antar stakeholders.perjanjian-perjanjian ini dianggap quasi contractual
karena walaupun mereka mengadopsi bahasa dan bentuk kontrak klasik, mereka tidak memiliki kekuatan dokumen legal. Komponen-komponen
dari perjanjian tersebut meliputi pernyataan tujuan dan kewajiban penandatanganan, permodalan bagi transaksi finansial, prosedur akuntansi,
persyaratan audit, dan hal-hal yang bisa membatalkan. General dan pihak-pihak yang mengontrak (direktur regional, direktur distrik, dan petugas
Bab 3
yang berwenang di instalasi) diminta untuk memberikan persetujuan secara resmi.
Semua pemeran utama di sektor kesehatan mencapai konsensus terhadap serangkaian iindikator kinerja, yang mencerminkan tujuannya di
Lembaran Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Indikator-indikator tersebut mengukur tingkat upaya kedua belah pihak (indikator-indikator
proses) dan efektifitas (indikator keluaran). Indikator-indikator ini di integrasikan kedalam rencana kerja pemerintah daerah dan penyedia layanan.
Baik tujuan, kegiatan, indikator, dan anggaran yang diajukan pada rencana kegiatan semuanya dipresentasikan, di perdebatkan, dinegosiasikan,
diamandemen, dan secara informal di terapkan pada forum tahunan masyarakat di tingkat daerah.
Ketika rencana-rencana tersebut sudah di setujui dan diamandemen pejabat pemerintah dan penyedia layanan akan menggunakan rencana
rencana itu sebagai dasar hubungan akuntabilitas mereka. Perjanjian tersebut memberikan struktur formal bagi pertukaran kinerja mereka (per
indikator proses dan keluaran yang ada di rencana kegiatan), untuk mendapat bantuan teknis dan dana dari pemerintah yang tersedia melalui
saluran dana rutin pemerintah.
Perjanjian Pelaksanaan yang quasi contractual memperjelas, dalam hal kinerja, apa yang sebelumnya merupakan ekpektasi samar dari pejabat
Departemen Kesehatan. Dengan menggabungkan/mengikat dana tambahan , likuiditas fiskal, dan bantuan teknis kedalam ekspektasi ini,
pemerintah menciptakan sebuah bursa publik yang terstruktur dan formal, bursa ini menawarkan akuntabilitas bagi penggunaan dana publik
yang lebih baik bagi pemerintah dan kepada publik. Perjanjian pelaksanaan tidak hanya menarik focus semua pemain kepada serangkaian
prioritas hasil, namun juga mengklarifikasi peranan tertentu dan tanggung jawab semua pemain yang terlibat di bursa.
Sumber: Bank Dunia 2003c
Penentuan standar layanan secara lokal. Kekhawatiran terhadap nilai yang diberikan oleh warga dan pengguna
layanan sangat bervariasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lain,
demikian juga kondisi ekonomi
masyarakat. Standar harus ditentukan untuk mencerminkan kelayakan ekonomi mengingat kondisi pemerintah
daerah.3 Untuk itu pemerintah pusat disarankan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah menentukan
standar tersebut, yang akan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih baik mengenai realitas yang terus
mengalami perubahan di masyarakat, untuk menentukan standar tersebut. Negara-negara yang telah melaksanakan
desentralisasi termasuk Amerika Serikat, memberikan ruang yang begitu luas kepada pemerintah negara bagian
(provinsi) untuk menentukan standar layanan untuk rakyat. Pemerintah pusat dapat memberikan pedoman kepada
pemerintah kabupaten dalam menentukan standar tersebut, misalnya, dengan mengembangkan model perjanjian
layanan.
3
Konsep nasional tentang standar layanan minimal diadopsi oleh pemerintah pusat sebagai alat untuk membuat pemerintah daerah dan penyedia layanan menjaga akuntabilitas atas kinerja mereka. Dalam Bab 4 diuraikan adanya kebutuhan untuk memberikan klarifikasi atas konsep
ini dan merancang ulang pelaksanaannya, sehingga pelaksanaan desentralisasi akan semakin terpacu dan bukan malah terhambat. Standar
layanan minimal di tingkat lokal harus dibahas dalam bab ini sebagai alat bagi penyedia layanan untuk mempertahankan akuntabilitas mereka.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
43
Memilih standar yang berpengaruh terhadap hasil pembangunan kemanusiaan. Standar seringkali tidak
memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang menjadi titik perhatian pembuatan kebijakan lokal. Misalnya,
rasio siswa/guru yang rendah sering dimasukkan ke dalam standar minimal, walaupun tidak berkorelasi secara pasti
dengan prestasi belajar. Standar seperti itu tidak sesuai dengan fakta bahwa sebelum rasio siswa/guru menjadi
sangat tinggi, baru dilihat sebagai indikator produktivitas (Hanushek 2003, Pritchett,dan Filmer 1999). Pada tahaptahap awal perkembangannya, misalnya, Republik Korea memiliki 60 siswa untuk satu orang guru tetapi mereka
Bab 3
mampu mencapai prestasi belajar yang sangat tinggi (McGinn 1980).
Melaksanakan kontrol dan menjaga jumlah layanan berada pada jumlah minimal. Standar layanan dapat
disalahgunakan sebagai pintu belakang untuk melakukan mikromanajemen terhadap penyedia layanan pada garis
depan melalui pemberian mandat yang terlalu banyak. Akibatnya, penyedia layanan dapat kehilangan otonomi
yang mereka butuhkan, serta kehilangan kemampuan mereka untuk memecahkan berbagai masalah dalam kondisi
tertentu. Otonomi penyedia layanan harus terus didorong dan bukan dibebani dengan standar yang ditentukan.
Implikasinya adalah baik pemerintah pusat maupun daerah harus selalu melakukan kontrol dan tetap menjaga
penggunaan mandat secara minimal. Penekanannya harus pada standar sebagai pedoman untuk mendapatkan
informasi untuk melengkapi tugas-tugas pemantauan atas standar layanan yang telah disepakati sebelumnya.
Tinjauan secara teratur terhadap standar layanan. Kesejahteraan akan hilang akibat penentuan standar yang
tidak realistis dan tidak fleksibel. Hal ini akan berlangsung terus proses penentuan standar itu dan penyesuaiannya
tidak menerima (feedback) dari kondisi pasar dan politik —atau jika tidak terjadi mekanisme pembelajaran yang
sesuai (misalnya, penilaian yang dilakukan secara teratur dan sistematis terhadap manfaat standar yang dipilih).
Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi secara teratur dan sistematis untuk melakukan tindakan penyesuaian yang
diperlukan. Sebuah proses yang bersifat responsif atas kebutuhan pengguna layanan serta hasil penilaian teknis
harus dilaksaknakan untuk meninjau dan menyesuaikan standar.
Mengaitkan sumber daya dengan layanan yang diberikan. Dengan membuat hubungan secara eksplisit antara
sumber daya dengan layanan yang diberikan, perjanjian layanan dapat membatasi lingkup alokasi sumber daya
berdasarkan proksimitas kepemimpinan atau preferensi pegawai mengenai lokasi atau daerah kerja. Contoh yang
baik mengenai hubungan antara sumber daya dan layanan pendanaan sekolah berbasis formula. Sekolah diberikan
alokasi anggaran dan posisi untuk para guru, infrastruktur, serta biaya operasional berdasarkan jumlah siswa yang
terdaftar di sana. Jika terdapat jumlah siswa yang lebih banyak terdaftar di sana, berarti akan lebih banyak layanan
yang harus diberikan, dan anggaran akan ditingkatkan secara otomatis.
Mendorong pengumpulan pendapatan terbatas oleh penyedia. Biaya yang dikenakan kepada pengguna
layanan yang dipungut oleh penyedia layanan merupakan insentif keuangan langsung untuk layanan yang
diberikan, untuk penyedia layanan sektor publik, jumlahnya dapat ditentukan oleh pemerintah daerah sebagai
bagian dari perjanjian layanan tersebut, dengan tujuan untuk menjamin bahwa layanan kebutuhan pokok
44
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
masyarakat dapat tetap terjangkau oleh masyarakat miskin. Pemerintah Kabupaten Purbalingga menaikkan biaya
pengobatan di puskesmas sementara mereka mengeluarkan program jaminan kesehatan yang membebaskan
masyarakat miskindari kewajiban membayar (Arifianto dkk. 2005). Dengan memberikan izin untuk menarik pada
pengguna layanan hal ini menimbulkan risiko hanya berfokus untuk meningkatkan pendapatan. Untuk mencegah
hal-hal seperti ini, dalam pengawasannya pemerintah daerah perlu memperhatikan layanan-layanan yang tidak
bertendensi untuk meningkatkan pendapatan daerah .
Bab 3
Diagram 11 Alur Pendanaan dari Pemerintah Pusat kepada sekolah
Sumber: ‘Pembiayaan Pendidikan di Indonesia’ oleh Abbas Gozali, akan terbit, Kantor Riset dan Pengembangan (Litbang), Departemen Pendidikan
Nasional, Indonesia.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
45
Meminimalkan jumlah perjanjian layanan dan memberikan jarak waktu yang sesuai teratur dengan
konsolidasi sumber daya. Aliran pendanaan dari pemerintah ke penyedia layanan sangat bercabang.
Diagram 11. menunjukkan perbedaan aliran pendanaan dari pemerintah pusat ke sekolah-sekolah. Namun diagram
umum semacam ini tidak memperlihatkan besarnya pendanaan proyek. Anggaran yang dikonsolidasi untuk
penyediaan layanan, yang disediakan secara interval, dapat meningkatkan perencanaan di tingkat fasilitas; sehingga
hal ini dapat memberdayakan fasilitas; sehingga memberikan layanan sesuai perjanjian. umum, tujuan pemantauan
dan pengawasannya adalah untuk memastikan bahwa … dana yang telah diterima benar-benar dimanfaatkan
Bab 3
untuk siswa-siswa yang tidak mampu yang diberikan dalam jumlah, waktu, cara, dan pemanfaatan yang benar ….
Sanksi tegas yang berkaitan dengan penyelewengan yang dapat merusak nama baik Negara dan/atau sekolah dan/
atau siswa akan dilaksanakan oleh aparat negara/pejabat yang berwenang” (Departemen Pendidikan Nasional dan
Departmen Agama 2005).
Perjanjian BOS mencerminkan upaya memutus kebiasaan yang dilakukan di masa lalu yang tidak menjelaskan
bagaimana sekolah dapat mencapai tujuan ini Misalnya, hal ini tidak menentukan bahwa semua jumlah uang
yang harus digunakan untuk mengurangi penerimaan dari uang sekolah atau untuk memberikan beasiswa. Dalam
hal ini, sistem BOS memberikan otonomi yang tidak biasa kepada sekolah agar mereka berhasil mencapai tujuan
pendidikan mereka secara efektif sesuai dengan dana yang mereka miliki. Ini merupakan gagasan yang harus
diterapkan dengan melibatkan aliran uang sangat besar di sektor pendidikan.
Perjanjian layanan perlu dipantau dengan lebih baik oleh Pemerintah, masyarakat, dan melalui timbal balik
yang diberikan oleh penggunaan layanan. Pemerintah yang memperkenalkan perjanjian layanan ini perlu memiliki
rencana ke depan untuk memastikan bahwa perjanjian ini mampu memberikan verifikasi atas pelaksanaannya.
Pemerintah akan menghadapi risiko dengan mempertaruhkan nama baik mereka jika ternyata pengguna layanan
tahu apa yang semestinya harus disediakan oleh lembaga penyedia layanan ternyata tidak disediakan. Masyarakat
sipil terutama LSM dan lembaga penelitian lainnya, dapat memberikan bukti-bukti independen untuk melengkapi
data-data pemantauan yang dilakukan Untuk itu pemerintah didorong untuk melakukan sistematisasi pemberian
masukan oleh pengguna layanan melalui mekanisme pengaduan, dengar pendapat publik, dan perencanaan
partisipatoris. Dengan melibatkan pengguna layanan untuk melakukan pemantauan juga akan membantu
pemerintah untuk melakukan penilaian apakah syarat-syarat dalam perjanjian layanan itu sudah dipenuhi sesuai
dengan kebutuhan pengguna layanan.
Hasil pemantauan perlu diterjemahkan ke dalam bentuk insentif personal bagi pegawai yang bekerja untuk
penyedia layanan. Kunci sukses untuk keberhasilan pelaksanaan perjanjian layanan ini adalah memastikan bahwa
mereka yang bekerja untuk memberikan layanan tersebut menerima insentif yang diatur dalam perjanjian tersebut.
Banyak kabupaten melakukan eksperimen melalui sistem insentif (Kotak 3.1). Dengan melibatkan pengguna
layanan dalam pelaksanaan evaluasi terhadap kinerja pegawai akan merupakan alat yang sangat penting untuk
meningkatkan layanan yang berorientasi pengguna layanan. Pemerintah dapat selalu mendorong masyarakat
46
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
memberikan tekanan untuk pengguna layanan dengan meningkatkan transparansi mengenai perjanjian layanan
yang telah dibuat serta sumber daya yang disediakan di tingkat penyedia. Pembentukan Komite Pengguna
(Pengguna layanan) dapat memegang peranan penting untuk menyampaikan keluhan mereka secara langsung
kepada lembaga penyedia layanan (lihat Bab 4).
Kotak 3 Bagaimana insentif dapat mengubah perilaku penyedia layanan yang berada pada garis depan?
Berbagai eksperimen tentang pemberian insentif bagi penyedia layanan di tingkat lokal telah dilaksanakan di Indonesia dalam beberapa tahun
belakangan ini. Dalam semua kasus, terdapat perbedaan yang sangat kentara pada perilaku penyedia layanan dalam memberikan tanggapan
Di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, pada tahun 2002 diluncurkan sebuah skema untuk memberikan insentif yang kuat kepada guru-guru
bahasa Inggris di daerah itu dengan tawaran tur ke Australia, Malaysia, dan Singapura untuk memperdalam bahasa Inggris mereka dan melakukan
Bab 3
mereka atas perubahan kerangka insentif yang diberikan.
observasi proses pengajaran di sana. Insentif perjalanan semacam ini berhasil memotivasi guru-guru untuk mengubah perilaku mereka dalam
beberapa hal:
•
Perjalanan itu mampu meningkatkan motivasi untuk bekerja lebih baik. Guru-guru yang kembali dari perjalanan ini membuat laporan kepada
Bupati dengan tindak lanjut kegiatan observasi dan rekomendasi. Observasi mereka meliputi kebutuhan untuk menerapkan disiplin yang lebih
tegas kepada guru-guru, siswa, dan orang tua; dan meningkatkan mutu pendidikan dengan mengajarkan ketrampilan aplikasi komputer, bahasa
Inggris; mengubah metodologi pengajaran; dan melakukan konsultasi dengan siswa.
•
Perjalanan tersebut berdampak terhadap perubahan cara mengajar oleh sejumlah guru bahasa Inggris, termasuk mereka yang ikut dalam
perjalanan keluar negeri maupun yang tidak, namun selalu berhubungan dengan mereka yang ikut dalam perjalanan tersebut (sebagai
teman atau rekan kerja). Salah seorang guru bahasa Inggris mulai mengajarkan pelajaran bahasa Inggrisnya dengan menggunakan ”buku
agenda siswa” di mana siswa mencatat kegiatan mereka dalam bahasa Inggris, termasuk apa yang mereka pelajari, sebagai bagian dari proses
pengajaran.
•
Minat terhadap prestasi siswa dan jumlah jam mengajar meningkat, yang diakibatkan oleh manajemen berbasis sekolah dan kebijakan
penguatan insentif yang lebih baik. Setiap minggu, siswa rata-rata kini belajar selama 15 jam lebih banyak. Untuk menunjukkan komitmen
mereka untuk meningkat nilai tes siswa, seorang kepala sekolah menandatangani perjanjian dengan Komite Sekolah yang menyatakan bahwa
jika nilai siswa tidak mencapai tingkat tertentu, maka beliau akan mengundurkan diri.
Di Kabupaten Jembrana, Bali, reformasi di bidang kesehatan menghasilkan sebuah pemberian jaminan perawatan kesehatan, yang disebut dengan
Jaminan Kesehatan Jembrana. Program ini memberikan perawatan kesehatan dasar secara Cuma-Cuma kepada masyarakat miskin. Hal ini juga
mendorong pilihan yang ditentukan oleh pengguna layanan sendiri dengan memungkinkan penduduk memilih penyedia layanan kesehatan oleh
sektor swasta maupun sektor pemerintah. Masing-masing dari penyedia layanan kesehatan ini akan menerima pembayaran oleh pemerintah. Di
samping meningkatkan cakupan layanan kesehatan, program itu secara langsung berpengaruh terhadap perilaku petugas kesehatan yang harus
berkompetisi untuk mendapatkan pasien dengan sektor swasta akibat reformasi semacam ini. Akibatnya, penyedia layanan publik meningkatkan
layanan mereka secara sangat signifikan yang berorientasi pada klien. Mereka mengrimkan mobil klinik dan dokter mereka menjangkau tempattempat yang terpencil sedikitnya sebulan sekali (daripada sekedar memberikan penyuluhan kesehatan bagi penduduk yang tinggal di daerah terpencil
seperti yang mereka lakukan sebelumnya); meningkatkan kemasan obat-obatan; dan melatih para pegawai bagian penerimaan pasien dengan
“penuh senyum”. Di samping itu, dewan pimpinan proyek ini melakukan pengawasan untuk kendali mutu yang sangat ketat untuk mendapatkan
pembayaran kembali dari pemerintah. Persyaratan itu dicantumkan dengan tegas dalam bentuk standar layanan yang sama bagi seluruh penyedia
layanan kesehatan. Dewan ini juga akan menyelidiki kalau-kalau ada penyimpangan dari standar yang ditentukan.
Sebagai bagian dari Program Keselamatan Ibu di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, perempuan yang tergolong miskin mendapatkan kupon berobat
yang dapat mereka pakai untuk membayar layanan kesehatan yang diberikan oleh bidan di desa. Para bidan ini biasanya bertanggung jawab untuk
mendistribusikan kupon tersebut. Dengan tambahan insentif dari pasien pemegang kupon ini, bidan mampu meningkatkan jumlah perempuan miskin
yang mendapatkan perawatan. Ini merupakan keuntungan tambahan untuk memperkenalkan perempuan miskin terhadap sistem layanan kesehatan
formal dan mendorong mereka agar mereka mendapatkan perawatan yang lebih sering dari penyedia layanan yang resmi.
Sumber: Leisher dan Nachuk 2006
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
47
Seiring dengan perjalanan waktu, sejalan dengan peningkatan sistem pemantauan dan peningkatan
kapasitas pemerintah, mereka dapat melakukan penyesuaian dari layanan ini untuk meningkatkan
pelaksanaan otonomi bagi perencanaan operasional. Untuk melakukan hal tersebut, mereka harus mengurangi
pengalihan karena mereka lebih suka pendanaan secara tunai dan mendorong agar layanan kesehatan pemerintah
lebih berorientasi pada keluaran dan bukan pada layanan yang diberikan. Keinginan untuk meningkatkan otonomi
penyedia layanan berasal dari prinsip pemberian subsidi (memberikan otoritas pembuat kebijakan kepada orangorang yang berada paling dekat dengan pusat informasi). Otonomi penyedia layanan harus ditingkatkan secara
bertahap sementara kapasitas pemerintah daerah dan penyedia layanan yang bekerja berdasarkan ketentuan ini
Bab 3
juga akan terus ditingkatkan.
Mengurangi pendanaan penyedia layanan. Saat ini penyedia layanan publik menerima sumber dana dalam
jumlah yang cukup besar, dalam bentuk bahan-bahan pelajaran, obat-obatan, atau kontraktor untuk memperbaiki
atau membangun infrastruktur. Jika penyedia layanan tidak memiliki wewenang terhadap bagaimana sumber
daya itu akan digunakan, mereka dianggap tidak akuntabel seperti yang dinyatakan di dalam perjanjian. Daripada
menyediakan layanan seperti itu, pemerintah harus menyediakan pengalihan langsung dan fasilitas opsional untuk
melakukan pemerolehan secara bersama-sama.
Bagaimana perjanjian layanan dapat digunakan di daerah terpencil?
Salah satu cara terbaik untuk memastikan bahwa masyarakat miskin memperoleh manfaat dari penyedia layanan
pokok adalah dengan membuat layanan tersebut dapat diakses oleh setiap orang. Namun, walaupun dengan
sistem yang bagus, daerah terpencil dan marjinal tetap memerlukan perhatian khusus.
Alokasikan sumber daya yang memadai. Di bawah pelaksanaan desentralisasi, program yang memihak
masyarakat miskin pada dasarnya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Namun menyediakan layanan
bagi masyarakat yang paling miskin akan lebih mahal dan oleh karena itu akan menyulitkan pemerintah kabupaten
dengan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi dan sumber daya yang terbatas. Pemerintah pusat memiliki mandat
untuk mempromosikan keadilan secara nasional. Hal ini akan dapat mendukung pemerintah kabupaten melalui
skema insentif, kemitraan pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah. Pengaturan semacam ini dapat dibiayai
melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) jika program itu dikelola secara lokal, atau melalui pemerintah kabupaten yang
memberikan kontribusi mereka berdasarkan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi program-program yang dikelola
oleh pusat yang dilaksanakan di tingkat kabupaten. Seperti yang diuraikan pada Bab 4, dengan menghubungkan
pendanaan ini dengan target proyek yang secara spesifik berpihak pada masyarakat miskin menjadi sangat penting
untuk menjamin adanya akuntabilitas.
Menggunakan solusi inovatif untuk menentukan pegawai dan cara penyediaan layanan publik. Daerahdaerah terpencil mengalami kesulitan untuk menarik pegawai yang memiliki kualifikasi tinggi. Dulu Indonesia
memiliki sebuah program yang mewajibkan dokter untuk bersedia ditugaskan di wilayah terpencil selama kurun
waktu tertentu. Begitu masa itu sudah berakhir, dokter tersebut segera berhenti bekerja di sana, yang berdampak
48
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
sangat buruk terhadap layanan kesehatan di daerah terpencil. Dengan menyediakan insentif keuangan bagi mereka
yang mau bekerja di daerah terpencil juga pernah dilakukan, tetapi hal ini menjadi sangat mahal. Biaya penempatan
seorang dokter di wilayah terpencil akan menjadi dua kali lipat dari biaya saat ini (Chomitz, Setiadi dkk. 1998). Jika
tidak mungkin kita mendapatkan pegawai yang memenuhi kualifikasi untuk bekerja di daerah terpencil tidak
mungkin didapat, pendekatan alternatifnya perlu digunakan untuk menjamin layanan yang diperlukan penduduk
di daerah terpencil dapat tersedia. Jika tidak mungkin menyediakan dokter untuk menjangkau daerah seperti itu,
misalnya, sebuah pendekatan yang menekankan pada pemberian insentif transportasi harus dijadikan pilihan
Menyesuaikan harapan—dan peraturan—tentang apa yang benar-benar bisa dicapai.
Konsekuensi
dari ketentuan baku yang tidak fleksibel, biaya tinggi, dan satu untuk semuanya, mungkin akan menjadi sangat
Bab 3
terbaik selanjutnya.
signifikan. Mensyaratkan agar guru-guru sekolah dasar memiliki ijazah sarjana dan seluruh persalinan dilakukan oleh
dokter, misalnya, akan menghambat orang untuk memperoleh bantuan dari yang diberikan oleh lulusan sekolah
menengah atau bidan yang terlatih. Aturan yang tertalu ketat bahwa setiap sekolah dasar harus memiliki 8 guru—
seperti yang berlaku di Indonesia saat ini—akan membuat daerah terpencil tidak mendapatkan akses terhadap
pendidikan. Ketentuan nasional harus mengalah demi tersedianya suatu layanan publik (daripada tidak ada sama
sekali). Dengan memberikan kemungkinan kelas yang terdiri dari beberapa anak dari berbagai kelas dalam satu
ruangan, misalnya, mungkin merupakan salah satu cara untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak di daerah
terpencil. Alternatif lain untuk membuat orang mau bekerja di daerah terpencil adalah mengangkat guru dari
daerah setempat. Sementara kualifikasi mereka mungkin tidak memenuhi kriteria nasional, mempekerjakan pegawai
yang berasal dari daerah setempat akan mempermudah penyediaan layanan secara berkelanjutan. Dengan cara
ini mungkin juga akan diperoleh tingkat akuntabilitas yang lebih tinggi. Masing-masing dari pendekatan ini akan
mengakibatkan penurunan mutu dan oleh karena itu akan mengahasilkan keluaran yang lebih buruk daripada
kondisi yang normal. Akan tetapi, setiap alternatif memang bukan kondisi yang paling baik, alternatif itu masih
dianggap lebih baik daripada layanan tersebut tidak bisa diberikan sama sekali.
Meningkatkan manfaat dari sektor swasta
Sektor swasta sudah sejak dulu memberikan berbagai layanan kepada poenduduk miskin, layanan mereka sangat
buruk. Pemerintah dapat meningkatkan layanan kepada masyarakat miskin yang diberikan oleh sektor swasta dengan
memberdayakan masyarakat miskin untuk menuntut layanan yang lebih baik dan dengan cara mengontrakkan
layanan untuk masyarakat miskin kepada penyedia layanan dari sektor swasta. Pemerintah dapat memberikan
dukungan kepada sektor swasta untuk memberikan layanan yang lebih baik bagi masyarakat miskin dengan
meningkatkan akses untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan. Kesempatan ini dapat diberikan kepada
pihak swasta yang memenuhi persyaratan. Cara lain adalah dengan mendidik dan memberitahu para pengguna
layanan agar mereka berani meminta layanan yang lebih baik dan bermutu dari sektor swasta, serta memberikan hak
kepada sektor swasta untuk memperoleh subsidi sesuai permintaan atas layanan yang mereka berikan. Berdasarkan
seleksi yang ketat, pemerintah dapat melakukan (pilot proyek) dengan mengontrakkan layanan bagi masyarakat
miskin kepada sektor swasta, terutama layanan yang tidak mampu disediakan lewat sektor publik (seperti layanan
untuk penduduk di daerah terpencil atau layanan baru).
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
49
Sektor swasta sudah memiliki pengalaman memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin. Hampir
dalam setiap sektor, selalu ada keterlibatan sektor swasta yang sangat tinggi yang mampu memberikan layanan
bermutu tinggi bagi mereka yang mampu membayar jasa mereka. Di pihak lain, sektor swasta juga mampu
memeberikan layanan kepada masyarakat miskin (Diagram 3.2). Masyarakat miskin menggunakan layanan ini karena
layanan tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka atau karena satu-satunya yang tersedia yang dapat diakses di
wilayah mereka. Seringkali, masyarakat membayar jauh lebih banyak daripada layanan yang disediakan oleh sektor
publik. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan yang bertajuk “suara masyarakat miskin” menemukan bahwa harga
air yang dikenakan pedagang swasta di daerah kumuh Simokerto dan Antasari adalah 15–30% lebih tinggi dari
Bab 3
pada biaya yang dikenakan oleh PDAM (Mukherjee 2006). Sekolah Madrasah memberikan layanan pendidikan bagi
warga paling miskin, tetapi mutu mereka tidak sama dengan mutu pendidikan sekolah umum (Newhouse dan
Beegle 2005).
Diagram 12. Penggunaan layanan yang diberikan oleh sektor swasta, berdasarkan kuintil pendapatan
Sumber air minum
Kunjungan pasien rawat jalan
Penggunaan
14.4
100%
2.2
8.2
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
0%
4.7
3.2
2.7
rata-rata
Terkaya no. urut
5 menurut kuintil
pendapatan
Termiskin no. urut
1 menurut kuintil
Public
Private low e nd
private high end
Public
Pendidikan SD
100%
12.2
0.5
Private low e nd
Pendidikan SMP
0.8
100%
3.5
0.4
Pinjaman
0.9
100%
80%
80%
80%
60%
60%
60%
40%
40%
40%
20%
20%
20%
0%
0%
Public
Private low end
private high end
pendapatan
private high end
2.6
4.2
Public
Private low end
3.7
0%
Public
Private low end
private high end
private high end
Sumber: Data air minum, kunjungan pasien rawat, dan pendidikan yang berasal dari Susenas (2003); data pinjaman yang berasal dari Survei Kehidupan
keluarga Indonesia (2000).
50
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Memberitahukan publik tentang standar layanan yang disediakan oleh penyedia sektor swasta. Pengguna
layanan dapat menentukan pilihan yang lebih baik apakah mereka akan menggunaan layanan dari sektor swasta
jika mereka sadar terhadap mutu layanan yang mereka beli. Khususnya di bidang kesehatan, masih kurangnya
kesadaran terhadap pentingnya standar kebersihan, standar layanan untuk perawatan kuratif, dan risiko jika standarstandar tersebut tidak dipenuhi. Pada kondisi di mana pengguna layanan tidak dapat diharapkan untuk mengetahui
standar mutu—seperti yang banyak terjadi, misalnya, dalam mengukur tingkat kebersihan air minum—pemerintah
memiliki peran untuk memantau mutu layanan yang diberikan dan menginformasikan kepada publik mengenai
hal tersebut. Pemerintah kemudian dapat memberitahu pengguna layanan dengan melakukan pengujian layanan
yang didukung oleh Persatuan Bidan Indonesia, membuat para bidan mampu melakukan penilaian sendiri atas
keterampilan mereka dan selanjutnya belajar lagi untuk meningkatkan keterampilan mereka. Jika mereka sudah
Bab 3
yang diberikan dan memberikan sertifikasi pengakuan atas mutu layanan yang diberikan. Program Bidan Delima,
mampu mencapai standar objetif yang ditentukan, mereka lalu diuji lagi. Jika berhasil, mereka lalu mendapatkan
sertifikat sebagai penyedia layanan dengan predikat bermutu tinggi. Bidan swasta sangat tertarik untuk berpartisipasi
dalam program tersebut, karena dengan sertifikat tersebut mereka berhasil menarik lebih banyak pasien.
Pemberian pelatihan dan pengakuan terhadap penyedia layanan yang memenuhi persyaratan bagi
masyarakat miskin. Kombinasi antara pelatihan dan pemberian sertifikat bagi penyedia layanan menyebabkan
masyarakat miskin mengetahui mutu layanan yang diterima melalui program sertifikat. Cara ini juga membuat
penyedia layanan dari sektor swasta mampu meningkatkan standar layanan yang mereka berikan. Bagi kelompok
pemakai yang benar-benar berfungsi, pemerintah dapat memberikan pengakuan dengan cara memberikan status
hukum, sehingga mereka bisa dikontrak untuk melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, kelompok arisan sering
kali mengelola uang dalam jumlah sangat banyak, tetapi mereka tidak bisa membuka rekening bank atas nama
kelompok mereka itu. Seandainya bisa membuka rekening resmi, mereka akan memperoleh manfaat dari sektor
bank swasta.
Memberikan hak susidi bagi penyedia layanan yang memenuhi syarat. Pemerintah dapat memberikan
dukungan kepada penyedia layanan swasta atau bisa juga memberikan hak bagi penyedia layanan pada sektor
swasta untuk menerima kupon subsidi. (Sejumlah program tersebut akan diuraikan lebih rinci pada Bab 4.) Untuk
mengurangi risiko terjadi kolusi, hak semacam ini sebaiknya hanya diberikan kepada penyedia layanan dari
sektor swasta yang benar-benar bermutu dan memenuhi persyaratan. Harmonisasi cara pemerintah melakukan
kesepakatan dengan penyedia layanan dari sektor publik dan swasta akan memudahkan pengguna layanan untuk
menentukan pilihan, yang mana penyedia layanan yang paling efektif. Di samping itu, juga akan memberikan
insentif atas kinerja yang bagus dan memuaskan. Beberapa kabupaten seperti Jembrana dan Sumba Timur telah
memberikan kesempatan kepada penyedia layanan kesehatan dari sektor swasta untuk menerima pembayaran dari
pemerintah kabupaten atas layanan yang mereka berikan melalui program jaminan kesehatan. Kedua kabupaten
ini menerapkan ketentuan uang kesehatan yang sama antara penyedia layanan sektor publik dan swasta (Gaduh
dan Kuznezov 2006 dan Arifianto dkk. 2005).
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
51
Pemberian kontrak secara selektif kepada penyedia layanan swasta. Dalam jangka pendek, sebagian besar
kontrak kepada sektor swasta meliputi layanan yang tidak mampu diberikan secara efektif oleh sektor publik. Untuk
daerah-daerah terpencil, di mana tidak terdapat layanan dari sektor publik pemerintah daerah dapat melakukan
eksperimen dengan memberikan kontrak kepada LSM untuk memberikan layanan untuk kebutuhan dasar. Kotak 4
merupakan contoh di mana LSM yang memberikan layanan kesehatan berbasis sekolah dapat membantu masyarakat
miskin. Sektor swasta juga dapat membantu layanan publik berdasarkan perjanjian penyediaan layanan dengan
pemerintah. Penyemprotan nyamuk, misalnya, sekarang ini lebih banyak dilakukan oleh klinik swasta. Akan lebih
Bab 3
efisien untuk menggunakan jasa penyedia layanan swasta, dan kita tahu pasar swasta untuk ini cukup banyak.
Kotak 4. Penyediaan layanan kesehatan pokok melalui LSM
Yayasan Kusuma Buana, sebuah LSM yang bergerak di Jakarta, melakukan program pengendalian parasit pada tahun 1987. Program ini meliputi
komponen pendidikan yang menjelaskan masalah yang disebabkan oleh berbagai infeksi karena parasit, pengaruhnya terhadap kesehatan dan
derajat gizi seseorang, serta pentingnya kebersihan untuk mencegah berbagai infeksi. Program ini juga menyelenggarakan pemeriksaan kotoran dua
kali setahun yang diikuti dengan tindakan pengobatan. Kontribusi keuangan untuk melaksanakan program ini diberikan oleh Pfizer yang digunakan
untuk biaya pengobatan dan pembelian kantong plastik untuk mengumpulkan kotoran. Berdasarkan hasil evaluasi program ini, tingkat prevalensi
penyakit cacingan di sekolah-sekolah yang menjalani program ini menurun dari 78.6% pada tahun 1987 menjadi 8.4% tahun 2003. Ini merupakan
peningkatan yang luar biasa ketika penyakit cacingan yang mewabah di antara anak-anak sekolah di Indonesia saat itu masih berkisar antara
60–80%.
Sumber: Adi Sasongko (2004)
Menghindari kontrak yang mahal tetapi hasilnya tidak sesuai
Mengurangi risiko tindak kolusi ketika melakukan kontrak dengan sektor swasta. Kita tahu bahwa memastikan
akuntabilitas penyedia layanan dari sektor swasta lebih sulit, karena mereka bukan pegawai negeri dan hanya terikat
dengan apa-apa yang tertera di dalam kontrak, yang sering kali sangat sulit untuk dilaksanakan. Sektor swasta harus
dituntut untuk selalu akuntabel atas layanan yang berikan kepada masyarakat. Dengan sistem penegakan hukum
yang lemah seperti yang terjadi di Indonesia, akuntabilitas harus datang dari pemantauan pemerintah dan tekanan
dari para pengguna layanan. Risiko kinerja yang kurang dan tindak korupsi secara langsung berkaitan erat dengan
kemampuan kedua pihak tersebut untuk menuntut penyedia layanan sektor swasta agar bertanggung jawab atas
layanan yang mereka berikan.
Memindahkan tanggung jawab pelaksanaan dari penyedia layanan dan masyarakat, dapat mengurangi
risiko terjadinya korupsi. Dengan cara ini pula, kita dapat menuntut agar penyedia layanan tetap
bertanggung jawab untuk mencapai indikator yang terukur, daripada sekedar memberikan layanannya.
Strategi ini berkaitan dengan arah anak panah yang terdapat pada Diagram 3.3. Contoh dari strategi yang pertama
adalah menyediakan anggaran untuk pembelian buku paket, di mana pemerintah memberikan informasi tentang
buku paket yang sesuai dengan standar nasional dan bagaimana cara mendapatkan standar tersebut. Strategi ini
akan mengurangi kerentanan terhadap tindak kolusi dibandingkan dengan pembelian buku yang dilakukan secara
nasional di tingkat pusat. Sekolah akan dapat merasakan adanya nuansa-nuansa kolusi dan korupsi, dan akan ada
tekanan yang begitu kuat dari komite sekolah dan orang tua untuk memastikan bahwa anggaran yang ada digunakan
dengan baik. Contoh dari strategi kedua adalah pemantauan terhadap kesehatan anak sekolah—misalnya, dengan
52
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
menelusuri terjadinya kasus diare dan infeksi karena cacingan, daripada sekedar melakukan pemantauan apakah
anak-anak telah diberi obat anti cacing atau tidak.
Diagram 13. Kerangka kerja untuk melakukan penilaian dan mengurangi risiko ketika melakukan kontrak dengan
penyedia layanan sektor swasta
Bab 3
Hold service provider
accountable for
observable targets and
outputs
High ability of end-user to hold provider accountable
Q1: Medium risk
Example: NGO is put in charge to
delivery some components of
health delivery
Policy: Enhance accountability to
end-users; Move to Q2
Low ability of government
to hold provider
accountable
Q3: High risk
Example: Large scale contract
w ith private w ater provision
Policy: Avoid; try to move aw ay
from this area
Q2: Low risk
Example: public health clinic
contracts private firm to spray
against mosquitoes
Policy: Bring public and private
provider to level playing field
Q4: Medium risk
Example: large central government
procurement of textbooks
Policy: Improve procurement ;
Move to Q2
Empow er users:
Move responsibility
dow n to providers and
communities
High ability of government
to hold provider
accountable
Low ability of end-user to hold provider accountable
Sumber: Penulis laporan ini.
Untuk berbagai kontrak dengan tingkat risiko menengah, pemerintah dapat mengurangi risiko dengan
meningkatkan sistem pengadaan, melibatkan pengguna dalam melakukan evaluasi kinerja penyedia
layanan, atau melakukan keduanya. Proses pengadaan barang dan jasa merupakan hal yang sangat rentan ketika
pengguna tidak bisa ikut bertanggung jawab atas pemantauan terhadap akuntabilitas penyedia layanan tersebut.
(Kuadran 4 dalam Diagram 3.2). Contohnya, dengan menggunakan agen pengadaan dari luar yang memiliki reputasi
internasional digunakan untuk mengurangi risiko terjadinya korupsi untuk kontrak-kontrak pemerintah berskala besar.
Jika ternyata pemerintah tidak sanggup melakukan evaluasi kinerja (kuadran 1), pemerintah dapat meningkatkan
akuntabilitas dengan jalan melibatkan pengguna untuk ikut melaksanakan evaluasi atas perpanjangan kontrak.
Menghindari risiko tinggi atas pelaksanaan kontrak dengan sektor swasta. Melakukan kontrak dengan sektor
swasta harus dihindari jika persyaratan kontrak tidak dapat diukur baik oleh pengguna langsung maupun oleh
pemerintah (kuadran 3 dalam Diagram 3.2). Risiko terjadinya korupsi dan kinerja yang tidak bagus dari penyedia
layanan sangatlah tinggi. Dalam hal ini, akan lebih baik jika layanan tersebut diberikan oleh sektor publik (Kotak 5).
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
53
Kotak 5 Kontrak dengan sektor swasta untuk menyediakan air bersih di Jakarta
Pada tahun 1997 dibuat perjanjian air Jakarta yang disebut dengan “Konsesi,” yang secara teoritis memberikan kesempatan kepada warga Jakarta
untuk mendapatkan manfaat atas peningkatan reliabilitas dan mutu persediaan air dengan memberikan delegasi mengenai pengelolaan, operasi,
dan investasi dalam layanan penyediaan air bersih untuk kota Jakarta. PAM Jaya, yang merupakan perusahaan milik Pemda Jakarta, secara langsung
melakukan negosiasi dalam perjanjian kerja sama dengan melibatkan dua konsorsium swasta.
Muncul sejumlah isu dan permasalahan, sebagian besar muncul sebelum konsesi tersebut dimulai, yang merusak kinerja operator dan secara
fundamental menghambat keinginan dan kemampuan mereka untuk melakukan ekspansi cakupan wilayah dan memberikan layanan mereka
kepada masyarakat miskin. Banyak dari masalah tersebut berkaitan dengan kapasitas mitra dari sektor publik yang tidak siap untuk melakukan
pengelolaan secara memadai terhadap pengaturan yang telah dibuat dengan sektor swasta. Masalah ini meliputi kurangnya pemahaman, terutama
dari PAM Jaya, tentang mengapa kerja sama dengan sektor swasta semacam itu diperlukan; kurangnya persiapan proyek untuk menghasilkan
consensus; dan kurangnya transparansi dalam proses pelaksanaan tender.
Bab 3
Akan tetapi, masalah ini juga mencerminkan kurangnya pemahaman tentang bagaimana cara mempromosikan keberhasilan sektor swasta dalam
menyediakan air bersih kepada penduduk. Secara khusus, terjadinya perdebatan mengenai pemisahan tarif dengan sektor swasta (yang biasa
terjadi dalam setiap situasi) tidak ditangani secara baik di Jakarta. Konsesi ini berusaha untuk melakukan mobilisasi sebelum terjadinya peningkatan
tarif dan lalu membebankan hal itu kepada strategi pemerintah untuk membantu masyarakat miskin. Tidak adanya regulator operasional yang
independen di lapangan, diikuti dengan upaya untuk menciptakan lembaga regulator dari operator sebelumnya tanpa memiliki keterampilan dan
ketidakmampuan untuk bertindak independen secara benar, berarti bahwa regulasi yang bersifat independen tidak berhasil dicapai. Walaupun
pembentukan fungsi-fungsi berhasil dilakukan pada tahun 2001, mereka masih berkutat untuk menyampaikan kemandirian mereka. Ketidakjelasan
mengenai peran operator yang masih berjalan dan tidak adanya struktur insentif bagi operator swasta berarti perhitungan risiko/imbalan tidak
terkait dengan penyediaan air bagi masyarakat miskin.
Semua masalah ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu sekejap. Kuncinya terletak pada upaya untuk membentuk badan regulator yang mandiri,
mengembangkan kapasitas yang lebih besar dalam sektor publik untuk melakukan dialog dengan operator sektor swasta, dan mengembangkan
permintaan yang lebih besar di antara para konsumen atas layanan yang bertanggung jawab.
Sumber: Wawancara dengan penulis laporan ini
Meningkatkan lembaga dan kapasitas pemerintah
Pemerintah daerah perlu melakukan perombakan terhadap lembaga-lembaga mereka untuk melakukan reformasi
secara efektif. Mereka perlu melakukan penyesuaian dan menentukan pegawai sesuai dengan tanggung jawab
yang ada setelah pelaksanaan desentralisasi serta mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja mereka.
Banyak perubahan yang diinginkan menjadi tidak mungkin dilaksanakan karena pengaturan dan ketentuan yang
ditentukan dari pusat. Reformasi layanan publik yang lebih besar akan diperlukan untuk menjawab perubahan
tersebut.
Pemerintah daerah dan penyedia layanan di garis depan di seluruh Indonesia tengah berjuang keras untuk
mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada dan meningkatkan penyediaan layanan melalui
perubahan kelembagaan dan perbaikan manajemen. Contoh-contoh ini meliputi re-organisasi dalam unit atau
sektor, reformasi di bidang pengangkatan pegawai, reformasi dalam unsur-unsur kinerja manajemen, perjanjian
dengan pegawai bahwa mereka tetap “bersih”, mereka akan mendapat “bonus financial”, peningkatan pembayaran
gaji, dan perjanjian mengenai pemantauan layanan dan tugas oleh kelompok konsumen mandiri (Tabel 1 di
rangkuman eksekutif ). Dengan adanya sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung terhadap jabatan bupati,
walikota, dan gubernur, para pemimpin daerah berhasil memperoleh kepercayaan dalam melakukan uji coba
pendekatan baru mereka. Saling bertukar pengalaman antar yurisdiksi akan menjadi sesuatu yang sangat penting,
karena kini para pemimpin tersebut memiliki kemampuan untuk melaksanakan janji-janji mereka. Memberikan
tanggung jawab yang lebih besar kepada penyedia layanan publik merupakan langkah yang logis dalam upaya
yang berkelanjutan untuk menguji setiap pendekatan, untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat.
54
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Pada saat yang sama, pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk bergerak karena terdapat sejumlah
permasalahan peraturan yang tidak terpecahkan, ketergantungan keuangan, dan pembagian tanggung
jawab yang tidak jelas pada tingkatan pemerintahan setelah pelaksanaan desentralisasi. Perhelatan antara
lapisan pemerintahan untuk mendapatkan kontrol terhadap sumber-sumber daya menghambat penyediaan
layanan efektif kepada masyarakat. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi kontrol pusat terhadap pengeluaran
anggaran, pengelolaan kegiatan dan program, yang sering berjalan secara bersamaan, tidak terkoordinasi dengan
pengeluaran pemerintah daerah. Di tingkat penyedia layanan, hal ini telah menimbulkan hambatan dan kadang-
perlu. Dalam satu penilaian disampaikan bahwa “Obat-obatan yang dikirimkan pemerintah pusat ke puskesmas
melalui kantor Dinas Kesehatan Kabupaten lebih sering tidak sesuai dengan kebutuhan, tetapi kepala puskesmas
Bab 3
kadang terjadi pengiriman barang yang tidak dibutuhkan, seperti pengiriman obat-obatan dan buku yang tidak
tidak punya pilihan lain kecuali menerima kiriman tersebut. Akibatnya, obat-obatan tersebut akhirnya dijual kembali
kepada pihak yang berminat atau dibiarkan saja sampai kadaluwarsa. Jika dijual, proses ini akan memerlukan biaya
tambahan untuk pegawai” (Morga dan Manuel 2003).
Desentralisasi telah memperlihatkan dengan jelas bahwa reformasi layanan publik dan administrasi
masyarakat masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan layanan publik yang lebih baik. Lembaga yang
mengaturnya harus cukup; sistem kepegawaian dan keuangan harus direformasi sehingga keterampilan, insentif,
dana sistem manajemen dapat mendorong kinerja yang optimal. Pemerintah harus siap untuk menghadapi
agenda-agenda ini dengan urutan yang benar, dengan kebijakan dan sumber daya yang benar. Bab 5 membahas
bagaimana pemerintah pusat dapat melakukan modernisasi terhadap layanan masyarakat dan menyesuaikannya
dengan desentralisasi.
Sementara itu, lembaga dan aksi yang didirikan dan dikelola di tingkat daerah akan memainkan peran
yang sangat penting dalam peningkatan keluaran layanan masyarakat dalam kondisi kelembagaan yang
ada sekarang ini. Ketidaksesuaian antara fungsi, kelembagaan, dan personel serta kurangnya insentif atas kinerja
yang bagus di tingkat daerah, menyulitkan pemerintah untuk melakukan manajemen secara efektif atas pelayanan
kepada masyarakat. Pemerintah kabupaten dapat menangani beberapa dari masalah ini secara mandiri terlepas dari
pemerintah pusat. Rekomendasi yang diberikan di bawah ini didasarkan pada pengalaman kabupaten lain yang
telah berhasil melakukan reformasi administrasi sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi.4
Kesepakatan mengenai pembagian tanggung jawab antara pemerintah kabupaten dan provinsi. Pemerintah
kabupaten tidak perlu menunggu sampai pemerintah pusat memberikan klarifikasi atas alokasi fungsional dan
anggaran. Pemerintah provinsi dan kabupaten dapat memecahkan sebagian besar masalah koordinasi tersebut
dengan melakukan kesepakatan di antara mereka tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap fungsi-fungsi
tertentu. Berdasarkan perjanjian ini, lembaga dan personel dalam disesuaikan. Analisis seperti ini juga harus mampu
4
Diskusi mengenai administrasi dan kepegawainegerian yang mendalam tidak bisa di cakup dalam laporan ini, sehingga jika membutuhkan
pembahasan mendalam mengenainya bisa melihat di World Bank (2000).
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
55
menentukan dan memecahkan hal-hal yang tumpang tindih dalam garis administrasi yang sama (horizontal).
Walaupun masih ada ketidakpastian yang tidak dapat dipecahkan, kabupaten dapat memperoleh gambaran yang
lebih jelas mengenai tugas mereka sendiri dan menentukan tujuan dan target yang hendak dicapai. Perjanjian kerja
antara Pemerintah provinsi dan kabupaten, yang meliputi kegiatan saling berbagi informasi mengenai kegiatan dan
sumber daya, dapat memudahkan dan memperbaiki lingkungan pelayanan kepada masyarakat seperti yang telah
dilakukan di Provinsi Sumatera Barat dan Daerah Istimewa Jogjakarta.
Menyelesaikan masalah kelebihan pegawai dan menyesuaikannya dengan kebutuhan fungsi dan
Bab 3
kemampuan. Sistem kepegawaian yang kaku dalam layanan masyarakat mengakibatkan munculnya masalah yang
hampir tidak terpecahkan menyangkut kapabilitas, yang akhirnya mengurangi mutu layanan yang diberikan kepada
masyarakat. Kelebihan pegawai merupakan hal biasa terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten. Seringkali kabupaten
tidak memiliki pegawai yang terampil dan memiliki jumlah pegawai yang terlalu banyak untuk hal-hal yang bersifat
umum. Akibatnya, mereka akhirnya mempekerjakan tenaga kontrak untuk memenuhi kebutuhan teknis mereka.
Pemerintah provinsi memiliki tugas baru dan sering kali mereka kelebihan pegawai dan memiliki kondisi keuangan
yang lebih baik daripada kabupaten. Banyak kabupaten di daerah terpencil kekurangan pegawai. Pemindahtugasan
merupakan perkecualian daripada peraturan yang ditetapkan, dan pegawai negeri yang berada pada jabatan dan
posisi yang tidak sesuai berada pada tempat yang sama terus-menerus. Beberapa daerah mengambil keuntungan
atas struktur layanan masyarakat dan membiarkan posisi-posisi yang tidak penting tetap kosong dan disediakan
bagi pegawai yang akan memasuki masa pensiun. Misalnya, di Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, dulu
terdapat 700 pegawai. Karena mereka pensiun usia, jumlah itu kini tinggal 480, dan bagian administrasi berharap
agar jumlah itu akan terus menurun menjadi 200 dalam kurun waktu 5 tahun mendatang. Ini merupakan pilihan
kedua terbaik, sebab pengurangan pegawai tidak menyebabkan hasil yang lebih baik antara jumlah jabatan dan
pegawai yang ada. Selanjutnya, ada beberapa rekomendasi mengenai apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah
daerah (dan beberapa sudah dilakukan) seperti yang terurai di bawah ini.
Memindahkan kelebihan pegawai secara temporer pada daftar tunggu. Pegawai yang sudah termasuk dalam
daftar tunggu selanjutnya ditugaskan kembali pada posisi baru setelah dilakukan re-organisasi dan disertai uraian
tugas dan jabatan yang jelas. Jika keterampilan pegawai sesuai dengan yang dibutuhkan dan yang bersangkutan
bersedia dilatih lebih lanjut, pegawai yang bersangkutan dapat kembali dipekerjakan pada lembaga. Pegawai yang
tidak memiliki potensi untuk dipekerjakan kembali tetap berada pada daftar tunggu, untuk membantu pelaksanaan
pekerjaan yang sedang berjalan, dan didorong untuk mencari kesempatan di luar sektor pemerintah. Jika mereka
56
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
tidak mau mengundurkan diri secara sukarela dan pegawai yang mubazir itu tetap sebagai pegawai negeri, lebih
baik mereka berada pada daftar tunggu daripada pada garis depan dalam pelayanan masyarakat.
Memastikan bahwa pengangkatan dan promosi selalu terbuka dan transparan dan didasarkan pada uraian
tugas yang jelas. Untuk meningkatkan profesionalisme dalam posisi-posisi kunci, banyak pemerintah daerah
menggunakan perusahaan khusus untuk melakukan pengujian terhadap calon saat melakukan pengangkatan dan
promosi. Hal ini juga dapat mengurangi campur tangan politik dalam pengangkatan tenaga lokal, yang merupakan
masalah besar pada sebagian besar pemerintah kabupaten. Walaupun kandidat dicalonkan untuk dipromosikan
mengenai standar profesionalisme. Draft uraian tugas dan jabatan harus jelas bagi mereka yang diangkat atau yang
dipromosikan, karena hal itu akan menjelaskan tugas-tugas yang spesifik, memungkinkan pelaksanaan evaluasi
Bab 3
mereka harus tetap memenuhi persyaratan tertentu, sistem penilaian harus mencantumkan unsur-unsur
terhadap kinerja yang bersangkutan, dan memeperkenalkan skema insentif berbasis kinerja. Pemerintah daerah
dapat memperkenalkan insentif berbasis kinerja, tetapi manajemen skema semacam itu memerlukan penentuan
uraian tugas, uraian jabatan, dan target secara jelas.
Menetapkan ketentuan dan persyaratan secara tepat bagi pegawai kontrak dan menggunakan angkatan
kerja ini sebagai aset untuk melayani masyarakat. Kekurangan posisi dalam layanan masyarakat dan kekurangan
pegawai dalam profesi tertentu telah menyebabkan munculnya tenaga kontrak yang begitu banyak. Kontrak kerja
untuk guru dan dokter awalnya merupakan pilihan kedua terbaik untuk menghadapi kekurangan tenaga kerja terampil.
Akan tetapi, kontrak kini digunakan untuk mempekerjakan tenaga kerja tidak terampil sebagai tenaga pendukung.
Jika digunakan dengan bijaksana, kontrak kerja merupakan kondisi yang sangat bagus untuk layanan masyarakat.
Tenaga kontrak dapat digunakan ketika pegawai negeri sipil tidak mungkin melakukan tugas-tugas tersebut
yang bersifat temporer. Angkatan kerja kontrak yang dikelola dengan baik dapat merupakan jalur langsung untuk
meningkatkan keterampilan lembaga penyedia layanan masyarakat dan pemerintahan setempat. Hal ini akan
membantu memecahkan hambatan yang dihadapi akibat ketentuan pegawai negeri yang sangat ketat. Pemerintah
setempat dapat membuat peraturan lokal mengenai imbalan kerja, hak, jaminan keamanan, dan tunjangan
pensiun. Tenaga kontrak dapat memberikan fleksibilitas dalam sistem perencanaan dan pengembangan sumber
daya manusia.
Mengembangkan skema insentif lokal berbasis individu dan kelembagaan bagi kinerja yang memuaskan
dan pemberian sanksi atas kinerja yang buruk dan indikasi tindak korupsi. Berbagai skema untuk mendorong
kehadiran dan disiplin yang tinggi merupakan cara yang bagus dalam sistem administrasi dan pegawai layanan
pada garis depan. Hal ini tidak dapat dikatakan sebagai reformasi, sehingga pemerintah daerah dapat memberikan
insentif berbasis kinerja, baik secara kelompok maupun individu. Pengenaan sanksi dan pembangunan semangat
kebersamaan sebagai anggota tim, untuk mencapai tujuan yang sama, yang akan diberikan pengakuan dalam
bentuk kenaikan gaji, dapat dilakukan sejalan dengan peningkatan layanan kepada masyarakat (Kotak 6). Hal ini
telah berhasil dilakukan di DI Jogyakarta dan daerah lain, dengan mengubah “tunjangan kesejahteraan” di dalam
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
57
anggaran menjadi tunjangan prestasi kerja.5 Pemberian kesempatan untuk mengikuti pelatihan merupakan insentif
lain yang dapat dilakukan secara strategis untuk mendorong kinerja yang baik. Skema insentif keuangan harus
dilakukan secara tansparan. Sistem yang berbasis kelembagaan dapat dipantau dan dievaluasi oleh masyarakat
umum yang menerima layanan dari mereka. Sanksi negatif yang bisa diberikan meliputi mutasi pegawai ke posisi
administrasi, di mana bonus selain gaji pokok relatif kecil.
Kotak 6 Perampingan pemerintah di Kabupaten Jembrana
Kabupaten Jembrana di Provinsi Bali terdiri dari 4 kecamatan dan 40 kelurahan. Pemerintah kabupaten ini mempekerjakan sebanyak 4.628 pegawai
negeri sipil (termasuk guru), 3.084 dari jumlah ini menduduki jabatan fungsional. Jumlah PNS di kabupaten ini dikurangi dengan tidak mengganti
Bab 3
pegawai yang telah pensiun, menerapkan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin, dan dengan cara melakukan mutasi pegawai.
Pelaksanaan kunjungan belajar dan pertukaran siswa ke Jepang telah membantu lahirnya berbagai gagasan baru. Pegawai harus melakukan absensi
sebanyak empat kali tiap hari menggunakan Mesin Absensi Sidik Jari Elektronik. Ketidakhadiran akan mendapatkan sanksi berupa pemotongan
cuti tahunan. Dalam kasus yang lebih ekstrim lagi, pegawai akan diskors dan tunjangan pensiun mereka dipotong. Kehadiran dan prestasi kerja
mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 1 juta yang akan dibayarkan pada akhir tahun.
Penyatuan berbagai Dinas sebagai bagian dari program reorganisasi di Kabupaten ini mampu memangkas sebanyak 125 posisi di tingkat
manajemen. Tugas-tugas tertentu, seperti pengelolaan sampah, telah didelegasikan kepada pemerintah tingkat kecamatan. Semua pemerintah
kecamatan dihubungkan dengan pemerintah kabupaten melalui jaringan LAN (local area network) sehingga pengiriman informasi menjadi semakin
cepat dan lebih baik.
Sumber: Catatan dari kunjungan lapangan staf Bank Dunia, Yayasan TIFA, dan GTZ
5
Di Indonesia istilah pembayaran insentif sering digunakan sebagai tunjangan yang dibayarkan di atas gaji pokok yang berlaku untuk semua guru,
terlepas dari kinerja mereka. Dalam laporan ini tunjangan kinerja mengacu pada pembayaran tunjangan berdasarkan prestasi kerja. Penghargaan
sebagai guru terbaik, misalnya, termasuk dalam kategori ini. Contoh di atas merupakan program jangka pendek yang tidak menunjukkan reformasi
pada tataran yang lebih dalam. Pembayaran tunjangan berbasis kinerja merupakan hal yang sangat sulit dilaksanakan dan dikelola; sebagai upaya
memperbaiki sistem penggajian yang banyak kelemahannya di Indonesia dengan pembayaran tunjangan di luar gaji. Indonesia memerlukan
reformasi besar-besaran terhadap sistem penggajian sebagai salah satu unsur dalam reformasi administrasi dan layanan masyarakat. Sistem merit
harus menjadi landasan reformasi dalam hal sistem gaji, kepangkatan, dan klasifikasi yang memberikan pengakuan terhadap tanggung jawab
kerja dan prestasi yang berarti.
58
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 4
Penguatan Peran Pengguna Layanan
Pembuat kebijakan nasional
Pembuat
kebijakan
daerah
Klien dan masyarakat
Penyediaan layanan
umum/pribadi
Peningkatan kekuatan pengguna layanan dalam penyediaan layanan masyarakat mampu meningkatkan
perbaikan-perbaikan layanan itu sendiri. Pemerintah dapat memberikan dukungan kepada pengguna
layanan dengan memberikan tanggung jawab dan sumber daya yang sesuai kepada masayarakat, melalui
pembentukan kemitraan antara penyedia layanan dan masyarakat, dengan cara melibatkan masyarakat
secara langsung dalam penyediaan layanan di garis depan, dan dengan menggunakan kupon layanan atau
subsidi langsung bersyarat untuk mendorong permintaan layanan untuk masyarakat miskin.
Sepintas lalu, upaya membuat agar penyedia layanan masyarakat menjadi akuntabel bagi pengguna
Bab 4
layanan langsung tampaknya merupakan perubahan yang signifikan jika dilakukan dari pusat dan
dikelola oleh lembaga besar. Namun selama bertahun-tahun, Indonesia telah menjadi pelopor di dunia melalui
program BRI Unit Desa atau Program Pengendalian Hama Terpadu, yang telah membantu pengguna layanan ini
untuk mengelola, memantau, dan memberikan layanan tersebut sampai ke wilayah pedesaan yang sebagian besar
masyarakatnya miskin. Dapatkah program berbasis masyarakat ini ditingkatkan dan dikaitkan satu sama lain untuk
mendukung dan meningkatkan layanan masyarakat yang lebih luas di seluruh Indonesia yang memiliki kondisi
geografis dan sosial ekonomi yang demikian luas dan kompleks? Walaupun banyak sekali bukti-bukti kuantitatif
yang mendokumentasikan efektivitas dari penyediaan layanan berbasis masyarakat, penelitian ini memberikan
masukan bahwa Indonesia memiliki kemampuan dan alat untuk menyediakan layanan masyarakat yang efektif bagi
masyarakat miskin di wilayah pedesaan.
Bab ini memberikan tinjauan terhadap tiga cara untuk membuat penyedia layanan masyarakat akuntabel
dan bertanggung jawab kepada pengguna layanan mereka. Cara yang pertama adalah menyerahkan
pelaksanaan layanan masyarakat langsung kepada masyarakat (atau dengan membentuk kemitraan antara
masyarakat dengan badan penyedia layanan). Dengan cara seperti ini, pemerintah akan mampu memotong jarak
antara masyarakat dengan penyedia layanan. Cara yang kedua adalah meningkatkan peran serta pengguna layanan
dalam menyediakan layanan bagi masyarakat. Cara yang ketiga adalah dengan menyediakan kupon bagi masyarakat
miskin yang bisa digunakan untuk memperoleh layanan yang dikehendaki.
Pemerintah harus lebih sistematis menyerahkan tanggung jawab atas beberapa aspek layanan kepada
masyarakat (atau dengan pembentukan kemitraan antara penyedia layanan dan masyarakat),
dengan
mempertimbangkan pelajaran yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan program berbasis masyarakat. Masyarakat
memiliki perangkat yang lengkap untuk membangun dan memelihara infrastruktur desa dan secara terus-menerus
dapat meningkatkan tanggung jawab mereka terhadap aspek-aspek lain dalam layanan masyarakat. Pengalaman
menunjukkan bahwa kita perlu memberikan tanggung jawab kepada masyarakat, bekerja dengan lembaga
setempat yang ada, mengalihkan dana langsung ke rekening masyarakat, dam memantau kinerja mereka.
60
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Menggunakan masyarakat untuk menyediakan layanan dasar bagi masyarakat
miskin
adakah bukti empiris yang mendukung perluasan penyedia layanan berbasis masyarakat? Apakah pendekatan
ini lebih sesuai untuk beberapa layanan tertentu? Pilihan kebijakan dan program apa sajakah yang tersedia bagi
pemerintah untuk menerapkan penyediaan layanan berbasis masyarakat? Apa yang menjadi kriteria kunci dari
program berbasis permintaan?
Bukti-bukti yang semakin banyak menunjukkan bahwa keterlibatan kelompok masyarakat dalam
kebutuhan masyarakat. sebagian besar bukti yang ada ini dipresentasikan pada Kongres Kemiskinan Dunia di
Shanghai (Shanghai World Poverty Congres) tahun 2004, dalam bentuk studi kasus di Brazilia, Kambodia, India,
Bab 4
penyediaan layanan sangat efektif dan menghasilkan layanan masyarakat yang lebih sesuai dengan
Indonesia, dan Yaman (Bank Dunia 2005d). Tinjauan terhadap program konstruksi masyarakat di seluruh dunia secara
konsisten menunjukkan penghematan anggaran sebanyak 30–50% dibandingkan dengan cara-cara tradisional
yaitu metode penyediaan layanan berbasis pasokan. (Bank Dunia 2005c).
Ada tiga alasan utama yang menjelaskan kinerja yang bagus terhadap program pembangunan berbasis
masyarakat. Pertama, khususnya untuk infrastruktur dasar di pedesaan, layanan yang merupakan tanggapan
atas kebutuhan masyarakat bisa memberikan peringkat yang tinggi terhadap kontribusi lokal, baik untuk proses
konstruksi maupun pemeliharaan infrastruktur, hal ini mampu menghemat anggaran pemerintah yang terbatas.
Kedua, keterlibatan yang serius dari masyarakat lokal akan memberikan dampak pemantauan yang positif, yang
mampu mencegah terjadinya tindak korupsi, salah sasaran, dan pemborosan. Ketiga, keterlibatan masyarakat akan
meningkatkan kemungkinan pencapaian tujuan secara lebih efektif sehingga pencapaian hasil akan lebih efektif.
Indonesia telah berhasil banyak memetik hasil dari pembangunan infrastruktur dengan pendekatan
berbasis masyarakat. Bukti-bukti mengenai penghematan anggaran dari empat proyek pembangunan berbasis
masyarakat menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat mampu menghemat biaya
sampai sebesar 66% dibandingkan jika dikerjakan oleh kontraktor (Tabel 3). Penghematan ini jelas sekali baik dalam
satu sektor saja (air bersih) maupun dalam program multisektor. Dengan pendekatan berbasis masyarakat untuk
menangani proyek-proyek berskala besar akan dapat menghemat ratusan juta dolar. Penghematan biaya yang
berhasil dilakukan melalui metode pembangunan berbasis masyarakat sering kali bernilai sangat tinggi terutama
pembangunan di dataran tinggi atau di daerah terpencil, di mana biaya penggunaan kontraktor dapat lebih tinggi
daripada biaya konstruksi itu sendiri.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
61
Tabel 3. Manfaat ekonomi pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat.
Total nilai
($juta)
Kontribusi
masyarakat
(%)
Persentase
penghematan atas
penggunaan tenaga
masyarakat daripada
traktor
P2D (Fase 3)
200.0
—
23
Penyediaan air bersih bagi penduduk
106.7
23
49
310.0
21
55
100.0
35
66
Proyek
berpendapatan rendah 2
Pembangunan di tingkat Development
Bab 4
Kecamatan 2
Proyek Penanganan Kemiskinan di Perkotaan
— Data tidak tersedia.
Sumber: Hasil Temuan Analisis Dampak Ekonomi Pasca Konstruksi, Bappenas, Jakarta, 2005. TF-05382¬IND.
Peluang terhadap layanan berbasis masyarakat di Indonesia
Program-program yang melibatkan masyarakat berskala besar untuk meningkatkan layanan masyarakat
dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama: program pengalihan terhadap sumber daya dan
tanggung jawab langsung kepada masyarakat dan program kemitraan. Masing-masing dari program ini
memiliki potensi untuk ditingkatkan di Indonesia.
Program pemberian block grant meningkatkan kontrol masyarakat terhadap kebutuhan dan mutu layanan.
Program pemberian (block grant) memberikan sejumlah sumber daya secara langsung kepada masyarakat, yang
dilakukan setelah terjadi proses musyawarah secara luas yang dirancang agar masyarakat memperoleh layanan dan
barang secara langsung dari pemerintah atau lewat penyedia layanan sektor swasta. Indonesia sangat berpengalaman
untuk melakukan program seperti ini baik dalam satu sektor maupun multi sektor, walaupun program yang ada
masih berkisar di sektor kesehatan. Perbandingan menunjukkan bahwa program semacam itu dapat memberikan
layanan dasar tertentu kepada masyarakat miskin dengan cara yang sangat efektif dan efisien. Program semacam
ini sekarang sedang diujicobakan dan perlu dianggarkan, yang akan meningkatkan prediktibilitas dan kelanjutan.
Beberapa pemerintah daerah telah bergerak ke arah ini. Pemerintah kota Blitar, misalnya, telah mengadopsi
pendekatan berbasis masyarakat dengan sistem pendanaan (blok grant) untuk membiayai pembangunan di tingkat
RT/RW (Kotak 7).
62
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kotak 7. Upaya membuat (block grant) berhasil bagi masyarakat miskin di kota Blitar
Program (Block grant) untuk Masyarakat Blitar, yang dilaksanakan pada tahun 2002, menyediakan dana hibah untuk pembangunan proyek di 20
wilayah kelurahan di kota Blitar, Provinsi Jawa Timur. Partisipasi masyarakat merupakan unsur utama dalam program ini. Masyarakat dilibatkan
dalam pemilihan dan penentuan proyek, melalui musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) kota yang dilaksanakan sekali tahun. Dalam
rapat itu masukan dari warga didata dan diperhitungkan dalam perencanaan kota. Sebelumnya kota menyelenggarakan rapat pra- Musrenbang
di tingkat lokal. Dalam kegiatan pra-Musrenbang dan Musrenbang peserta musyawarah didorong untuk aktif memberikan masukan. Hal seperti ini
adalah hal yang sangat langka di Indonesia.
Kontribusi finansial dan non uang dari masyarakat berkisar antara 13-22% dari seluruh block grant yang diberikan setiap tahun (dana ini sendiri
telah meningkat dari Rp. 3.62 milyar, sekitar $380.000, pada tahun 2002 menjadi Rp. 6.14 triliun, sekitar $646.000, tahun 2004). Proyek yang didanai
didorong untuk berperan aktif (menurut perkiraannya) untuk melaksanakan proyek-proyek secara lebih efisien seperti, pelaksanaan pelatihan: mulai
tahun 2005, blok grant yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur tidak lebih dari 60%. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan
(LPMK) memegang peran yang sangat penting untuk melakukan mobilisasi masyarakat.
Bab 4
ini mencerminkan sesuatu yang lebih diinginkan oleh masyarakat mengenai infrastruktur yang mereka butuhkan, namun pemerintah kota juga
Meskipun program ini pada awalnya tidak secara eksplisit menargetkan masyarakat miskin, ternyata tetap terjadi bias pendanaan yang menjadi
berpihak pada masyarakat miskin di dua dari tiga kecamatan yang ada di Blitar; hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh adamya kriteria
baru dalam pemilihan proyek (mulai tahun 2003), yaitu “jumlah warga miskin penerima manfaat”. Pada program renovasi pemukiman kumuh,
pemerintah kota melihat bahwa program ini memberikan manfaat langsung bagi warga miskin, sehingga setelah mengetahui hal ini, pemerintah
memberikan mandat bahwa mulai tahun 2005 dan seterusnya, 13% dari dana blok grant harus dialokasikan untuk program serupa.
Program community block grant kelihatannya jauh lebih cocok, baik dari segi tinjauan teknis, kelembagaan, keuangan maupun sosial. Proyek ini juga
memerlukan dana yang tidak banyak, kurang dari 2% dari anggaran pemerintah kota. Keinginan walikota untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat melakukan kesalahan ternyata meningkatkan kelanjutan program, bukan saja karena program ini mampu memberikan dampak berupa
peningkatan berdasarkan pelajaran yang diperoleh tetapi juga karena masyarakat dapat belajar tentang bagaimana melaksanakan program yang
akan menjadi milik mereka sendiri.
Sumber: Kuznezov dan Ginting (2005)
Sampai saat ini, program (block grant) Indonesia masih tanpa syarat, yang hanya meminta agar masyarakat
memenuhi ketentuan pokok dalam proyek. Akan tetapi, dengan keberhasilan program tak bersyarat ini, tidaklah
sulit untuk menghibahkan tanggung jawab lewat sebuah “kontrak” di mana masyarakat sepakat untuk mencapai
standar kinerja yang diminta, imbalan suatu suplemen. Program subsidi langsung bersyarat dalam jumlah besar
yang dilakukan berdasarkan pelaksanaan program berbasis masyarakat, bisa menghasilkan peningkatan yang
sangat berarti dalam pelayanan bagi masyarakat miskin.
Transfer block grant merupakan transfer dari pemerintah pusat atau bagian dari desentralisasi alokasi
anggaranyang didesentralisir. Pemerintah untuk menentukan sejauh mana block grant tersebut dijadikan
bagian dari anggaran pemerintah daerah setempat yang ditentukan dalam desentralisasi atau bagian dari program
pengentasan kemiskinan nasional yang merupakan suplemen dari desentralisasi dana yang disediakan untuk
penyediaan layanan masyarakat secara rutin. Dengan adanya kenyataan bahwa dinas terkait yang paling lemah
berada pada kabupaten yang paling miskin, beberapa program pengentasan kemiskinan nasional yang mampu
melakukan hal ini diminta untuk melaksanakan proyek ini.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
63
Kemitraan dengan pendanaan mampu mengembangkan kemampuan penyedia layanan untuk menjangkau
kantong-kantong masyarakat miskin. Sejumlah kabupaten telah melakukan eksperimen dengan melakukan
kemitraan dengan masyarakat untuk mendiagnosa dan memecahkan masalah. Masyarakat dapat menggunakan
dana dari block grant ini untuk mengembangkan program layanan mereka. Kemitraan itu harus diformalkan, melalui
perjanjian kontrak atau perjanjian penyediaan layanan antara masyarakat dengan pihak penyedia. Perjanjian ini
harus secara jelas mencantumkan tujuan yang hendak dicapai dan layanan yang disediakan. Kupon yang dibagikan
secara langsung kepada masyarakat dan bukan kepada penyedia layanan merupakan cara lain untuk meningkatkan
Bab 4
kemitraan dengan penyedia layanan yang pada akhirnya akan meningkatkan akuntabilitas dan memberikan insentif
baik bagi masyarakat maupun penyedia layanan, atas kinerja mereka.
Karakteristik keberhasilan pengelolaan program berbasis masyarakat
Menyesuaikan jenis program berbasis masyarakat dengan jenis layanan. Indonesia baru saja mulai melakukan
eksplorasi mengenai fungsi layanan mana yang harus diserahkan kepada masyarakat. Bukti awal namun cukup
signifikan menunjukkan bahwa sebagian besar tanggung jawab serta anggaran untuk pemeliharaan infrastruktur
tersier dapat dan sebaiknya diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat. Standar untuk menyediakan layanan
dasar harus melibatkan masyarakat secara langsung. Jika hasil yang diinginkan sudah ditentukan, masyarakat harus
semakin meningkatkan akuntabilitas mereka untuk memastikan bahwa tujuan ini benar-benar akan dicapai.
Tidak semua penyediaan layanan dapat atau seharusnya diserahkan kepada masyarakat. Pengelolaan
secara langsung oleh masyarakat akan berhasil baik untuk bidang-bidang yang menerapkan teknologi yang sangat
sederhana dan investasinya tidak membutuhkan perencanaan jaringan dan analisis yang canggih dan rumit.
Jalan tingkat kecamatan dan jalan desa, penyediaan air bersih, saluran irigasi, pembangunan sekolah, dan klinik
merupakan contoh jenis proyek yang dapat dikelola di tingkat kelurahan. Sebaliknya, layanan yang menerapkan
teknologi canggih atau yang melibatkan rantai pasokan yang panjang lebih memerlukan kemitraan yang lebih
terstruktur antara penyedia layanan dan penerima layanan tersebut. Strategi yang akan digunakan akan sangat
tergantung pada sifat dari layanan yang akan diberikan.
Transfer dana secara langsung ke rekening setempat. Beberapa contoh program berskala besar berbasis
masyarakat yang telah berhasil menerapkan transfer dana dalam jumlah besar kepada kecamatan atau kelurahan.
Tidak semua jenis dana perlu ditransfer, tetapi memang ada beberapa yang harus ditransfer langsung kepada
pengguna layanan sehingga mereka bisa menentukan sendiri penyedia mana yang akan digunakan. Hal ini juga
menimbulkan mekanisme yang sederhana, efektif, yang dapat memaksa penyedia layanan untuk mempertahankan
akuntabilitas mereka.
Bekerja sama dengan lembaga lokal yang sudah ada. Program yang menggunakan (dan telah meningkatkan)
lembaga administrasi dan lembaga sosial yang telah ada di tingkat kelurahan biasanya akan lebih baik dan lebih
berkelanjutan daripada lembaga yang baru dibentuk khusus untuk proyek secara spesifik. Jika telah dibentuk
64
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
kelompok baru, mereka harus digandeng untuk memperkuat fungsi (seperti dalam hal penyediaan pendidikan atau
sarana air bersih) dan diberikan peran yang memungkinkan mereka masuk dalam sistem administrasi kelurahan.
Lakukan pengambilan keputusan yang transparan dan berkeadilan. Mendorong terjadinya diskusi publik
mengenai program yang akan dilaksanakan; memastikan bahwa semua pihak memiliki akses yang sama terhadap
informasi; pembukuan yang terbuka dan dapat diakses setiap saat; dan mencegah para elit untuk menguasai
pengambilan keputusan publik merupakan syarat untuk mencapai keberhasilan. Standar baru untuk block grant dan
akuntabilitas di tingkat penyedia layanan akan mempermudah adanya transparansi (selain itu juga akan mengalami
Menggunakan fasilitator dari sektor swasta dan LSM untuk menjelaskan aturan, melakukan mediasi, dan
Bab 4
lebih sedikit distorsi), dibanding alokasi yang terlalu beragam.
menyebarkan informasi. Perbandingan dari program berbasis masyarakat yang berhasil maupun yang tidak
berhasil secara konsisten memberikan indikasi peran yang dimainkan oleh fasilitator lokal, paling tidak pada tahuntahun pelaksanaan proyek. Fasilitasi merupakan hal penting untuk menghadapi kelompok penduduk yang paling
miskin dan paling marjinal, yang biasanya berpartisipasi dalam kelembagaan dan program di kelurahan. Fasilitator
yang mampu menjelaskan sistem yang baru ini akan sangat diperlukan pada awal rencana proyek. Dari sini, ketika
rencana proyek sudah digulirkan kemitraan lokal, yang kelak akan mengambil alih tugas dan fungsi fasilitator, harus
dipertahankan.
Meningkatkan pilihan untuk penyedia layanan. Salah satu manfaat program yang dikelola dengan basis
masyarakat adalah bahwa program semacam itu akan memudahkan untuk melibatkan peran serta penyedia
layanan sektor swasta. Pemerintah pusat dan daerah harus menentukan standar dan melakukan mediasi jika terjadi
perselisihan dalam pelaksanaan kontrak, namun upaya untuk mendorong masyarakat agar mereka menemukan
penyedia layanan swasta yang memenuhi persyaratan akan meningkatkan mutu dan tingkat kepuasan tanpa harus
meningkatkan jumlah pengeluaran. Untuk daerah terpencil yang tidak dapat dijangkau oleh penyedia layanan
swasta, pemerintah diharapkan meningkatkan layanan mereka.
Pemantauan terhadap kinerja. Program berbasis masyarakat meliputi blok grant bersyarat dan blok grant tidak
bersyarat, yang merupakan penghargaan kepada masyarakat atas pencapaian sasaran yang ditentukan. Masyarakat
perlu didorong agar selalu bisa mempertahankan akuntabilitas kinerja mereka. Pemantauan, pemeriksaan, dan
kemauan pemerintah untuk menerapkan sanksi sangat penting untuk keberhasilan program semacam ini (Kotak
8).
Kotak 8. Mengurangi tindak korupsi dalam program berbasis masyarakat dengan melakukan publikasi hasil audit
Hasil dari eksperimen dengan melibatkan 600 proyek pembangunan jalan di Jawa yang dipilih secara acak, menunjukkan bahwa peningkatan
audit dan publikasi hasil audit dapat menurunkan angka korupsi (Olken 2005). Dengan membaca hasil pemeriksaan di depan rapat desa akan
meningkatkan pengetahuan tentang tindak korupsi dan memberitahukan kebocoran yang terjadi pada sektor publik sehingga dapat ditindaklanjuti
oleh masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah audit harus ditingkatkan untuk standar Indonesia yang ada sekarang dari 2.5-7.5
menjadi 7.5–l0%.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
65
Untuk menerbitkan undang-undang yang sesuai, pemerintah Indonesia telah melihat peran yang bisa dimainkan
oleh pengguna layanan dalam hal perencanaan dan pemantauan terhadap penyedia layanan. Untuk memberikan
dukungan kepada mereka, pemerintah harus dapat menstabilkan landasan mereka dan melibatkan kelompokkelompok ini secara lebih luas lagi dalam hal pemantauan dan pengambilan keputusan tentang penyediaan
layanan.
Kelompok pengguna layanan dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan layanan yang
Bab 4
berorientasi pengguna layanan. Asosiasi pengguna layanan dapat meningkatkan kapasitas untuk mengambil
tindakan secara kolektif untuk menuntut layanan yang lebih baik dan bertanggung jawab. Mereka juga dapat
memainkan peranan penting dalam proses pemantauan dan mendorong terjadinya kerjasama antara penyedia
layanan dan masyarakat untuk meningkatkan layanan yang diberikan.
Pemerintah perlu memberikan pengakuan secara hukum terhadap kelompok ini dalam berbagai sektor.
Komite Sekolah (Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 44/2002) dan pembentukan Badan Penyantun
Puskesmas (Keputusan Menteri Kesehatan No. 128/Menkes/SK/II/2004) secara formal memberikan pengakuan
terhadap peran pengguna layanan dalam membantu penyedia layanan untuk meningkatkan mutu, kesetaraan, dan
pengelolaan fasilitas dan layanan yang mereka berikan. Kedua keputusan menteri ini memberikan landasan hukum
untuk mendorong partisipasi yang lebih besar dari pengguna layanan. Demokrasi di tingkat desa juga ditingkatkan
dengan pembentukan badan perwakilan desa (BPD [Antlov 2003]), tetapi gejolak yang terjadi belakangan ini telah
menyebabkan penurunan fungsi tersebut.
Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan efektivitas kelompok pengguna layanan ini. Komite
sekolah mirip dengan persatuan orang tua siswa yang sudah ada sebelum lahirnya keputusan ini. Komite ini hanya
berfokus pada pengumpulan sumbangan orang tua siswa, dan hanya memainkan peranan kecil pada manajemen
berbasis sekolah. Di bidang kesehatan, sebelumnya tidak ada satu mekanisme pun yang melibatkan pengguna
layanan secara sistematis; badan penyantun yang baru dibentuk ini masih harus mencari jalan yang efektif agar
mereka bisa berfungsi dengan baik. Perubahan dalam kerangka kerja peraturan telah menghambat efektivitas kerja
BPD. Lembaga ini diujicobakan pada masa awal pelaksanaan tinjauan sistem administrasi desa.
Stabilisasi landasan hukum dan administrasi di tingkat masyarakat. Kelembagaan masyarakat memerlukan
stabilitas agar dapat diterima sebagai lembaga yang kredibel. Agar dapat memberikan arsitektur perundanganundangan yang kokoh bagi kegiatan berbasis masyarakat, Departemen Dalam Negeri sebaiknya meningkatkan
ketentuan hukum yang mangatur keberadaan BPD, untuk memberikan pengakuan terhadap lembaga
kemasyarakatan dan memberikan tugas kepada lembaga ini untuk memberikan layanan masyarakat; agar secara
aktif mempromosikan keterlibatan masyarakat dalam penyediaan layanan; yang meliputi pengaturan yang melarang
manajemen kontrak dengan masyarakat; dan meminta transparansi di tingkat masyarakat.
66
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Mendukung komite pengguna layanan untuk memantau penyediaan layanan masyarakat. Perjanjian
penyediaan layanan harus meliputi standar layanan spesifik, yang dapat dimonitor oleh komite tersebut. Keterlibatan
masyarakat dalam penyediaan layanan tidak akan berhasil tanpa investasi yang cukup besar untuk menciptakan
transparansi. Mekanisme dan media yang digunakan oleh penyedia layanan untuk memberikan informasi dapat
menimbulkan perbedaan yang sangat besar dalam menentukan apakah masyarakat mampu memahami dan
bertindak sesuai dengan informasi yang diberikan. Kota-kota di India (Paul, 1999) dan Philipina (Bank Dunia, 2001)
secara berhasil memfungsikan “kartu laporan” warga dan survei sosial untuk mengukur kepuasan pengguna layanan,
dengan cara mengaitkan tingkat kepuasan dengan peningkatan anggaran, promosi, dan penerimaan mereka
Mendukung komite pengguna layanan dalam mengambil peran aktif pada proses pengambilan keputusan.
Bab 4
terhadap penyedia layanan.
Penyedia layanan secara terus-menerus meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam hal perencanaan dan
pengambilan keputusan yang melibatkan penyedia layanan yang bertugas pada garis depan. Keterlibatan
masyarakat dalam mekanisme semacam ini untuk menentukan standar lokal dapat menciptakan sebuah mekanisme
untuk melakukan pemantauan dan melaporkan apakah standar tersebut sudah dipenuhi atau belum. Beberapa
contoh dari upaya semacam itu kini sedang dilakukan oleh Indonesia, walaupun sebagian besar masih dalam tahap
pembelajaran. Komite sekolah anggotanya kini sudah mencakup tokoh masyarakat, orang tua serta guru dan kepala
sekolah. Kelompok pengguna air bersih terus melibatkan perwakilan dari masyarakat miskin bersama-sama tim
penyuluh dan insinyur di bidang irigasi.
Program pemberian kupon, atau program subsidi langsung bersyarat, cocok untuk mengatasi kesenjangan
pendapatan yang menyebabkan kesulitan untuk memperoleh akses layanan masyarakat. Jika Indonesia
memutuskan untuk mengadopsi program serupa, maka program itu harus dirancang untuk dapat mempromosikan
pilihan dan meningkatkan kekuatan pengguna layanan. Program itu juga harus mempertimbangkan hambatan yang
berkaitan dengan faktor pasokan pada wilayah-wilayah di mana penyediaan layanan masyarakatnya terbelakang.
Kupon dapat memberikan lebih banyak pilihan bagi pengguna layanan dan mempromosikan kompetisi
antar penyedia layanan. Program pemberian kupon memungkinkan masyarakat atau pengguna layanan untuk
secara berkala memilih penyedia layanan mana yang terbaik. Baik program kupon maupun program berbasis
formula—yang dilaksanakan untuk menggalakkan kompetisi di antara penyedia layanan—berpendapat bahwa
pengguna akan dihadapkan pada sejumlah penyedia layanan yang akan mereka pilih dan pihak penyedia akan
mampu memantau pilihan masyarakat secara cermat untuk kemudian memberikan tanggapan sebagaimana
mestinya. Hal semacam ini sangat jarang terjadi di daerah-daerah terpencil. Akan tetapi, di wilayah perkotaan dan
daerah yang penduduknya padat, baik program pemberian kupon maupun strategi pendanaan berbasis formula
berpotensi untuk meningkatkan kinerja penyedia layanan masyarakat.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
67
Merancang permintaan penyediaan layanan bagi masyarakat miskin dan
kelompok marjinal
Pemberian subsidi langsung bersyarat dapat digunakan untuk merangsang permintaan layanan bagi
masyarakat miskin. Biasanya hasilnya akan lebih buruk dan wilayah cakupan akan menjadi lebih sempit untuk
layanan yang bagi masyarakat miskin karena mereka tidak mampu membayar biaya langsung atau biaya tidak
langsung untuk layanan tersebut. Uang sekolah dan pakaian seragam bisa sangat mahal, demikian juga waktu tempuh
perjalanan ke puskesmas terdekat. Program yang membagikan bantuan secara langsung kepada masyarakat miskin
terbukti efektif untuk meningkatkan tingkat penggunaan dan hasil program penyediaan layanan masyarakat. Salah
Bab 4
satu contoh yang sangat terkenal dari program semacam ini adalah program yang pernah dilaksanakan di Meksiko
dengan nama (Mexico’s Oportunidades) (sebelumnya diberi nama Progresa). Program ini memberikan bantuan tunai
dalam jumlah yang cukup besar kepada petani miskin dengan syarat bahwa anak-anak mereka harus bersekolah dan
tingkat kehadirannya harus baik di sekolah mereka; selain itu ibu-ibu yang baru melahirkan dan anak-anak mereka
harus mengunjungi klinik secara teratur; dan para ibu juga harus mengikuti pelatihan tentang gizi keluarga yang
menyediakan suplemen gizi untuk mereka. Evaluasi program ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah
anak yang masuk ke jenjang sekolah pendidikan menengah pertama serta peningkatan status gizi keluarga dan
penurunan angka morbiditas (Bank Dunia 2003b). Program subsidi langsung bersyarat yang serupa yang diterapkan
di negara-negara Amerika Latin lain juga menunjukkan hasil yang menjanjikan (Rawlings dan Rubio 2005). Dalam
program ini, keluarga penerima bantuan dapat menggunakan bantuan uang tunai yang diberikan untuk apa saja,
tetapi bantuan hanya akan terus diberikan selama mereka memenuhi kebutuhan sekolah dan kesehatan keluarga
mereka.
Pemberian subsidi tunai tanpa syarat juga merangsang peningkatan permintaan untuk layanan masyarakat.
Sementara bukti-bukti internasional yang tersedia sebagian besar adalah tentang pemberian subsidi langsung
bersyarat, pemberian subsidi tunai tanpa syarat juga telah banyak digunakan. Pemberian bantuan ini mampu
meningkatkan permintaan bagi tunjangan pensiun untuk kelompok usia lanjut di Afrika Selatan (Case dan Deaton
1998), dan hal ini baru saja diterapkan di Indonesia. Pemberian subsidi tunai tanpa syarat kepada masyarakat miskin
untuk melakukan tindakan tertentu secara implisit memberikan asumsi bahwa kebutuhan masyarakat miskin itu
bervariasi dan bahwa merekalah yang paling tahu tentang peruntukan bantuan yang diberikan. Sejak pelaksanaan
program subsidi langsung bersyarat, ternyata dapat menurunkan biaya untuk memperoleh layanan tersebut, dan
diharapkan bahwa program ini akan mampu meningkatkan permintaan untuk layanan publik, tetapi program ini
lebih mahal dibandingkan dengan subsidi tunai tanpa syarat.
Pendekatan berbasis masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan layanan masyarakat
dapat juga dipertimbangkan. Pendekatan mana yang paling sesuai masih merupakan isu empiris. Sebelum
mengadopsi sebuah pendekatan yang akan digunakan, pembuat kebijakan harus meninjau pengalaman di
berbagai negara yang menerapkan program pemberian subsidi tunai tanpa syarat dan melakukan beberapa skema
uji coba alternatif.
68
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Program-program kupon dan BTS (Bantuan Tunai Bersyarat), adalah jenis program yang sesuai untuk menangani halhal ynag berhubungan dengan kesenjangan pendapatan di bidang akses pelayanan. Jika Indonesia memutuskan
untuk menerapkan, program seperti ini, maka program tersebut harus dirancang agar bisa meningkatkan pilihan
dan kekuatan pengguna layanan, juga harus bisa mempertimbangkan hambatan dari segi ketersediaan untuk jenisjenis layanan yang kondisinya tertinggal.
Sistem kupon bisa memberi lebih banyak pilihan bagi pengguna layanan akhir dan menggalakkan kompetisi
antar penyedia layanan. Sistem ini juga memungkinkan masyarakat atau pengguna layanan untuk secara periodik
kupon, keduanya diterapkan untuk menggalakkan kompetisi diantara penyedia layanan – dengan anggapan bahwa
pengguna memiliki lebih dari satu pilihan serta bisa dengan akurat memantau pilihan lokal yang tersedia, dan bisa
Bab 4
memutuskan pengguna layana mana yang memberikan layanan terbaik. Baik program berbasis formula maupun
memberi tanggapan yang sesuai. Kondisi-kondisi tersebut diatas sangat jarang ditemui di daerah-daerah terpencil.
Tetapi, pada daerah perkotaan atau daerah padat penduduk, baik sistem berbasis formula maupun kupon bisa
dibilang potensial untuk meningkatkan kinerja penyedia layanan.
Menentukan sasaran program untuk menjangkau masyarakat miskin
Penentuan sasaran bisa efektif, namun hal itu bisa sangat sulit dicapai dan mahal. Indonesia telah
menunjukkan bahwa negara ini mampu melaksanakan program dengan sasaran tertentu, tetapi sebenarnya
sasaran dari program tersebut masih bisa, dan perlu ditingkatkan lagi. Untuk mengurangi dampak sosial akibat krisis
ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, Indonesia melaksanakan sejumlah program pemberian bantuan
uang tunai dengan sasaran tertentu. Sebuah pelajaran yang dapat dipetik dari program semacam ini adalah bahwa
pencapaian target bisa dilaksanakan di Indonesia. Namun hasilnya menunjukkan masih begitu banyak ruang untuk
melakukan perbaikan, karena pada sebagian program ternyata lebih menguntungkan mereka yang tergolong tidak
miskin (Sumarto, Suryahadi, dan Widyanti 2000). Walaupun sasaran yang dipersempit dapat memaksimalkan hasil
dari program yang diterapkan, tujuan program semacam itu perlu dievaluasi sehubungan dengan jumlah biaya
yang dikeluarkan, dan risiko hilangnya dukungan politis jika ternyata penerima bantuannya terlalu sedikit.
Prosedur penentuan sasaran harus dibuat sederhana dan transparan. Ada dua jenis pendekatan penentuan
sasaran yang biasa digunakan untuk menentukan program bantuan kepada masyarakat miskin. Pendekatan yang
pertama menggunakan sejumlah indikator, yang kemudian dilakukan agregasi higga menjadi satu indikator
untuk mengurutkan dari penduduk yang paling miskin sampai dengan yang paling kaya. Pendekatan yang kedua
menggunakan sekelompok perwakilan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa yang tergolong miskin. Kedua
pendekatan ini bisa berhasil dengan baik, dan keduanya juga bisa gagal, ketika digunakan untuk melakukan
identifikasi terhadap masyarakat miskin. Keberhasilan pendekatan ini ditentukan oleh efektivitas pelaksanaan
pendekatan tersebut (Coady dkk. 2004). Jika digabungkan dengan penetapan sasaran geografis (mungkin dengan
penggunaan peta kemiskinan yang sudah diperbaharui) masing-masing mungkin bisa menjadi cara yang praktis
untuk melakukan identifikasi masyarakat miskin.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
69
Kecuali penyedia memiliki insentif langsung untuk menjangkau masyarakat miskin, kupon dengan sasaran
tertentu tidak boleh dibagikan lewat penyedia layanan. Jika penyedia layanan diberikan kekuasaan untuk
menentukan calon layanan, mereka akan berfokus pada klien mereka yang sudah ada. Kecuali jika mereka akan
menerima insentif untuk mencari klien baru, program pemberian kupon yang dibagikan lewat penyedia layanan
ini dengan sangat mudah berubah menjadi program pemberian block grant kepada penyedia layanan (Kotak 9).
Kupon dapat dibagikan melalui jalur yang independen, dengan menggunakan pendekatan berbasis masyarakat.
Cara ini akan dapat kemungkinan pemberian kupon kepada pengguna layanan yang sudah ada.
Bab 4
Kotak 9. Melemahnya posisi pengguna layanan akibat pembagian kupon melalui penyedia layanan
Kupon yang dibagikan melalui penyedia layanan akan membatasi kekuatan pengguna layanan karena hal itu tidak memberikan peluang kepada
mereka untuk memilih penyedia yang mereka inginkan. Indonesia memiliki dua pengalaman mengenai hal ini: pemberian beasiswa melalui program
JPS (Jaring Pengaman Sosial) dan program pemberian kupon layanan bidan. Selain memberikan gambaran mengenai masalah keterbatasan
pengguna layanan, kedua contoh ini juga menunjukkan adanya insentif yang begitu kuat bagi penyedia layanan untuk mencari klien baru sehingga
hal ini akan meningkatkan efektivitas kerja mereka.
Program beasiswa JPS menyediakan bantuan beasiswa kepada siswa sekolah menengah pertama. Beasiswa ini dibagikan melalui sekolah. Sementara
program ini diharapkan mampu meningkatkan jumlah siswa yang masuk ke sekolah menengah pertama, kebanyakan beasiswa ini diberikan
kepada siswa yang sudah terdaftar di sekolah tersebut daripada mereka yang putus sekolah. Pelaksanaan program JPS tidak selalu sesuai dengan
fokus klien yang menjadi sasaran program. Ketika program ini diubah dengan memberikan bantuan tunai langsung (yang dibagikan melalui kantor
pos), maka segera program berubah menjadi block grant. Lalu, uang beasiswa itu sering diambil “atas nama orang tua siswa” oleh kepala sekolah
atau bendahara sekolah. Dengan memberikan peluang kepada penyedia untuk memiliki penerima bantuan semacam itu, dan tidak menyediakan
imbalan kepada sekolah untuk mencari siswa baru (siswa yang putus sekolah) akan membatasi efektivitas program tersebut.
Sebagai bagian dari Program Keselamatan Ibu, pemerintah membagikan kupon yang ditujukan bagi masyarakat miskin di Kabupaten Pemalang, Jawa
Tengah. Kupon ini digunakan untuk memperoleh berbagai layanan dari bidan. Hasil dari program ini adalah terjadinya peningkatan penggunaan
jasa bidan oleh masyarakat miskin dari hampir nol pengguna pada akhir tahun 1990-an menjadi 1.164 pengguna pada tahun 2000. Perempuan
miskin di sana melaporkan bahwa mereka mulai menggunakan layanan yang diberikan bidan untuk pertama kali hanya setelah program kontrak
berbasis kinerja Bidan dilaksanakan di desa mereka. Gaji bidan terdiri dari gaji pokok, ditambah tunjangan berdasarkan jumlah kupon yang mereka
kumpulkan. Cara ini telah memberikan insentif langsung yang begitu kuat kepada bidan untuk mencari pasien miskin pemegang kupon.
Sumber: Ridao-Cano dan Filmer (2004); Tan, Kusharto, dan Budiyati (2005).
Pengenaan biaya kepada pengguna layanan. Perlindungan terhadap pengguna layanan yang tergolong
masyarakat miskin dengan membebaskan mereka dari biaya yang dikenakan dan mengharapkan penyedia layanan
melakukan subsidi silang dapat berdampak sebaliknya. Jika sulit memantau pengumpulan pembayaran uang
jasa ini maka bukan tidak mungkin akan terjadi tindak penggelapan. Sedangkan, jika pemantauan bisa dilakukan,
pembebasan masyarakat miskin dari ketentuan membayar layanan mungkin dapat mengurangi insentif penyedia
layanan untuk melayani mereka (Kotak 10).
Kotak 10. Merugikan masyarakat miskin dengan mengeluarkan mandat agar penyedia layanan mengenakan tarif
lebih murah dari yang semestinya
70
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kotak 10 Merugikan masyarakat miskin dengan mengeluarkan mandat agar penyedia layanan mengenakan tarif
lebih murah dari yang semestinya
Kebijakan yang memiliki niat baik memerlukan penyedia layanan yang dapat membebaskan masyarakat miskin dari segala macam biaya. Hal
ini bisa saja menjadi bumerang jika penyedia layanan tidak diberikan kompensasi untuk melayani masyarakat miskin. Jika penyedia layanan bagi
masyarakat miskin tidak diberi insentif, mereka pasti akan cenderung memilih pengguna yang membayar secara penuh.
Akses layanan air bersih yang diberikan oleh PDAM hanya terbatas pada sekitar 16% masyarakat miskin di perkotaan dan tidak mengalami
peningkatan yang signifikan sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi. Salah satu alasannya adalah karena tidak adanya insentif finansial
bagi perusahaan PDAM untuk menambah jaringan mereka bagi masyarakat miskin. Departemen Dalam Negeri mengeluarkan tarif sosial untuk
mendorong agar tarif air terjangkau oleh masyarakat miskin, namun tarif ini terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan penyedia air ini menutupi
pusat didasarkan pada jumlah pengguna layanan dari kelompok masyarakat miskin yang dapat mereka jangkau. Penelitian tentang keinginan
membayar menunjukkan bahwa masyarakat miskin sudah membayar untuk air yang mereka gunakan, bahkan sering biaya yang mereka bayarkan
Bab 4
biaya produksi mereka, walau dengan subsidi silang sekali pun. Wilayah cakupan akan bisa diperluas jika dana yang diterima PDAM dari pemerintah
lebih tinggi daripada tarif per meter kubik yang ditentukan oleh PDAM . Update Project (2002)
Contoh lain bahwa peraturan bisa menjadi bumerang adalah Pasal 8 PP No. 7/2004, yang memberikan hak untuk menggunakan air bagi petani
tanpa izin dan ini merupakan prioritas dari segala kebutuhan. Peraturan ini membebaskan petani dari kewajiban membayar pemakaian air untuk
kebutuhan irigasi. Mereka yang bukan petani, seperti sektor industri dan pengusaha irigasi komersial harus membayar. Akibatnya adalah hak
penggunaan secara komersial atas air, seperti yang diatur dalam kontrak langsung antara pengguna dan pengelola penampungan air mendapatkan
perlindungan yang lebih baik dari pada penggunaan air oleh petani. Bukti yang ada menunjukkan bahwa memasukkan organisasi petani selain
mengurangi konflik, juga merupakan perlindungan kedalam pengelolaan daerah aliran sungai, perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak
petani, dan manajemen yang lebih baik atas pemeliharaan fasilitas dan infrastruktur.
Sumber: Bank Dunia (2004a, 2004b)
Menjadikan hambatan pasokan sebagai bahan pertimbangan saat memacu
peningkatan permintaan
Peningkatan permintaan terhadap layanan dapat menjadi bumerang jika ternyata layanan untuk itu tidak tersedia
secara memadai untuk memenuhi permintaan yang ada. Pemerintah memiliki dua pilihan untuk menjamin bahwa
ketersediaan layanan meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan.
Di daerah-daerah yang mengalami hambatan ketersediaan layanan, sektor publik dapat berperan untuk
menyediakan layanan tersebut, dengan menambah infrastruktur dan tenaga kerja atau dengan meningkatkan
akuntabilitas layanan seperti yang diuraikan pada Bab 3 dan 4. Untuk mencegah tidak tersedianya layanan tidak bisa
hanya dilakukan dengan menambah jumlah pegawai pada penyedia layanan. Akuntabilitas penyedia sektor publik
dapat juga dipacu dengan membagikan kupon kepada pengguna dan memberikan kepada penyedia layanan uang
yang terkumpul berdasarkan jumlah kupon yang berhasil mereka kumpulkan. Hal ini akan menciptakan kompetisi
untuk melayani pengguna yang memiliki kupon, sehingga dengan demikian akan terjadi peningkatan penyediaan
layanan yang berorientasi pada pengguna.
Untuk layanan yang sudah memiliki pasar yang mapan, penyedia layanan sektor swasta yang memenuhi
syarat dapat memberikan layanan tersebut. Pasokan akan selalu mengikuti permintaan atas layanan, jika
pengguna mampu membayar layanan tersebut. (Pilot project) pembagian kupon layanan bidan (lihat Kotak 9)
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
71
merupakan penggabungan dari kedua pendekatan di atas. Bidan ditempatkan di daerah-daerah yang kurang
mendapatkan layanan dan mereka diberikan gaji pokok, namun pendapatan bulanan yang akan diterima sangat
tergantung pada banyaknya pasien berkupon yang mereka layani, mirip dengan penyedia layanan oleh sektor
Bab 4
swasta.
72
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 5
Mengefektifkan Hubungan Antar Instansi Pemerintah Untuk Penyedia
Layanan Publik
Pembuat kebijakan nasional
Pembuat
kebijakan
daerah
Klien dan masyarakat
Penyediaan layanan
umum/pribadi
Peningkatan akuntabilitas dari penyedia layanan dan peran serta masyarakat yang semakin besar memiliki
potensi untuk meningkatkan penyediaan layanan masyarakat. Namun efektivitas dari kebijakan ini sangat
tergantung pada efektivitas institusi pemerintah daerah dan pusat. Pemerintah pusat dan daerah harus
meningkatkan arsitektur penyediaan layanan sesuai dengan prinsip desentralisasi. Untuk melakukan hal itu,
mereka perlu melakukan klarifikasi mengenai tugas-tugas fungsional antara pemerintah pusat dan daerah,
melakukan modernisasi manajemen sumber daya manusia, melakukan penyesuaian proses penentuan
anggaran dan pemantauan sesuai dengan prinsip desentralisasi.
Bab 5
Hubungan antara kepemerintahan yang baik dan akuntabilitas dalam setiap tingkatan pemerintahan,
penyedia layanan, dan pengguna layanan sangatlah penting dalam peningkatan penyediaan layanan. Jika
tanggung jawab terhadap penyediaan layanan publik sudah beralih dari pemerintah pusat ke daerah, hubungan ini
akan semakin penting. Fungsi, tugas, tanggung jawab, kekuasaan, dan sumber daya juga diharapkan untuk dibagi,
tetapi hal ini sering menimbulkan kebingungan dan konflik. Desentralisasi dan partisipasi masyarakat yang semakin
besar memiliki potensi besar untuk meningkatkan penyediaan layanan—data dan pengalaman yang diuraikan di
atas memberikan landasan untuk selalu optimis bahwa hal itu benar-benar bisa dilaksanakan. Akan tetapi, buktibukti itu juga menunjukkan bahwa kemajuan untuk menjangkau masyarakat paling miskin dan meningkatkan
mutu layanan yang diberikan secara keseluruhan akan tergantung pada peran pemerintah pusat, bagaimana peran
itu dikaitkan dengan peran pemerintah daerah dan masyarakat, dan bagaimana fungsi-fungsi itu berjalan efisien
dan efektif.
Rekomendasi yang disampaikan di bawah ini merupakan pilar untuk meningkatkan arsitektur penyediaan
layanan masyarakat di Indonesia. Beberapa dari rekomendasi itu dibahas secara lebih rinci lagi pada bab-bab
sebelumnya.
Menjelaskan tugas-tugas fungsional antara pemerintah pusat dan daerah
Di bawah Undang-undang Otonomi Daerah, kantor jajaran kementerian menyerahkan tanggung jawab
serta pegawai mereka kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, tugas utama mereka adalah
membuat kebijakan dan memantau hasil dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Akan tetapi, undang-undang
tersebut tidak menentukan secara spesifik tugas dan tanggung jawab yang diserahkan sesuai dengan sesuai
dengan prinsip desentralisasi. Beberapa pemerintah daerah menerjemahkannya penghapusan ini berarti bahwa
mereka memikul seluruh tanggung jawab sesuai dengan sektor yang diserahkan. Akibatnya, terjadi tumpang
tindih yang luar biasa di mana kantor jajaran kementerian masih terus melaksanakan fungsi-fungsi mereka. Hal ini
74
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
sangat membingungkan, kurangnya koordinasi, dan timbul saling tidak percaya pada tiga lapisan pemerintahan.6
Pejabat dinas senior di daerah sering tidak memahami apa yang sedang terjadi di sektor mereka, siapa yang harus
melakukan tugas, dan kapan harus mengambil tindakan. Pemerintah provinsi memiliki tanggung jawab untuk
melakukan koordinasi, evaluasi, dan menangani proses akreditasi dan standarisasi, namun terus menyiapkan dan
melaksanakan program, yang semestinya ditangani oleh pemerintah kabupaten. Pemerintah pusat dan kabupaten
memandang pemerintah provinsi lebih sebagai saingan mereka daripada sebagai pemain yang sah dan mitra yang
potensial. Sejak dikeluarkannya Undang-undang Otonomi Daerah, peraturan yang mengikutinya mengenai sektorsektor tertentu telah berusaha untuk melakukan klarifikasi terhadap peran dan fungsi, tetapi hal ini masih belum
Kotak 11. Fungsi yang tidak jelas dan tumpang tindih merusak penyediaan layanan di seluruh sektor
Bab 5
mampu memecahkan masalah mengenai fungsi yang tidak jelas dan tumpang tindih (Kotak 11).
Keputusan tentang guru—mulai dari pelatihan dan pengangkatan guru, penempatan, evaluasi pekerjaan, database kepegawaian, pembayaran
gaji, dan penugasan kembali—dilakukan oleh tingkatan pemerintahan yang berbeda, yang sering menimbulkan kesimpangsiuran dan inefisiensi
dalam manajemen guru. Beberapa fungsi, seperti pengangkatan dan pemecatan guru, dilakukan pada pemerintahan tingkat bawah, tetapi hal-hal
lain seperti penentuan tingkat kompensasi masih dilakukan di tingkat pusat.
Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) menunjukkan terjadinya manajemen yang tumpang tindih ini. Menurut guru, fakta yang ada yaitu bahwa persetujuan
pemerintah pusat masih diperlukan untuk proses kenaikan pangkat, dan ini mengakibatkan lambatnya tindakan dari bagian kepegawaian, karena
pelaksanaan desentralisasi ini telah menambah satu lapisan baru dalam tatanan birokrasi. Mereka mengatakan bahwa proses manajemen tidak
transparan dan tidak lebih baik, walaupun semuanya berjalan di tingkat kabupaten.
Di bidang kesehatan, tidak jelas siapa yang akan memberikan persetujuan atas pembukaan atau penutupan suatu fasilitas demikian juga dengan
pemberian izinnya. Berdasarkan Keputusan Menteri tahun 1986, Menteri Kesehatan masih memegang tugas ini, namun bagaimana perubahan
yang akan terjadi akibat pelaksanaan desentralisasi dan peran apa yang dimiliki oleh pemerintah provinsi dan kabupaten belum juga ditegaskan.
Penentuan secara jelas mengenai alokasi fungsional antara berbagai instansi pemerintah pusat,
pemerintah daerah, petugas penyedia layanan di garis depan, dan masyarakat, sehingga mereka tahu
apa yang diharapkan dari mereka dan apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Penentuan secara jelas
mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab atas suatu fungsi akan dapat mencegah munculnya kesenjangan
dan tumpang tindih yang tidak perlu. Alokasi fungsional yang disarankan harus memberi penekanan pada peran
pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan, pihak yang menangani hal-hal secara lintas wilayah; memberikan
pengakuan kepada pemerintah provinsi atas fungsi-fungsi tertentu, terutama yang berskala ekonomi; menjelaskan
tanggung jawab dan kekuasaan pemerintah kabupaten; menentukan peran yang dimiliki oleh petugas penyedia
layanan di garis depan dan peran masyarakat (Tabel 4).
6
. Argumen yang biasa digunakan jika kementerian ingin berperan di daerah adalah bahwa pemerintah daerah tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup handal dalam bidang perencanaan dan manajemen. Pemerintah pusat telah berusaha untuk mengatasi hal ini dengan mengeluarkan aturan bahwa pemerintah daerah harus melakukan penggabungan dan perampingan kelembagaan mereka (PP08/2003). Akan tetapi,
ternyata peraturan ini ternyata tidak berhasil mengatasi masalah, karena tidak memungkinkan pemerintah daerah untuk merumahkan pegawai
yang mubazir (melalui program pensiun dini). Banyak pemerintah daerah yang lebih memilih untuk tidak merampingkan pegawai mereka. Mereka
melihat bahwa tindakan tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya analisa fungsional yang lebih luas sebelum proses rasionalisasi dan perampingan. Ada peraturan baru yang tengah disusun yang memungkinkan pemerintah daerah untuk mengurangi jumlah pegawai dalam jabatan
struktural dan memindahkan mereka ke jabatan fungsional, tetapi hal ini tetap tidak bisa memecahkan masalah yang berkenaan dengan alokasi
yang tidak jelas dan tumpang tindih secara fungsional.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
75
Tabel 4. Saran-saran tentang alokasi fungsional untuk penyediaan layanan masyarakat
Penyedia layanan
Pemerintah pusat
Fungsi/peran
Merumuskan kebijakan
Tindakan
•
Menyelesaikan penyerahan fungsi secara rinci untuk
tiga lapisan pemerintahan.
•
Menyusun kriteria untuk desentralisasi yang asimetris,
karena tidak semua pemerintah daerah siap untuk
menerima tugas dan kekuasaan yang baru.
•
Mengembangkan kerangka peraturan untuk
Bab 5
menggunakan penyedia layanan dari sektor swasta dan
oleh LSM.
•
Menentukan sistem di mana pemerintah daerah
dapat bekerja sama untuk memperoleh manfaat atas
program berskala ekonomi tinggi.
Mengorganisir dan
•
Melakukan pelatihan ulang terhadap pegawai yang
menentukan pegawai
berada di bawah departemen tentang peran dan
kementerian di tingkat
fungsi mereka dalam desentralisasi.
pusat sesuai fungsi-
•
Melakukan audit terhadap sistem manajemen dan
keterampilan tata pemerintahan sesuai dengan fungsi-
fungsi di tingkat pusat.
fungsi manajemen yang diberikan.
Menentukan standar
•
Menyusun standar pokok untuk setiap sektor.
layanan.
•
Menyebarkan informasi tentang standar tersebut
melalui program penyuluhan bagi pegawai negeri dan
institusi penyedia layanan masyarakat.
•
Mengembangkan sistem untuk melakukan
pemantauan pencapaian standar pokok (misalnya, nilai
ujian nasional, sistem pemantauan kesehatan nasional).
•
Meningkatkan manajemen dan sistem tata
pemerintahan untuk mengurangi tindak korupsi.
Memilih program kunci
yang dibiayai di tingkat
pusat menggunakan
dana dekonsentrasi
Mengurangi
kesenjangan antarwilayah
76
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
•
Menyusun mekanisme nasional untuk meningkatkan
kesetaraan antar wilayah.
Mengumpulkan dan
menyebarkan informasi
tentang berbagai
inovasi dan praktikpraktik yang berhasil di
seluruh wilayah
Mengembangkan
•
Memastikan agar pejabat di tingkat kabupaten dan
pedoman pelaksanaan
provinsi bertanggung jawab dan akuntabel atas tugas
dan peraturan yang jelas
yang diberikan.
dan rinci.
Menyusun sasaran
•
layanan wilayah.
Memperoleh dukungan dari pemerintah kabupaten
Bab 5
Pemerintah provinsi
dan provinsi untuk mencapai sasaran program.
•
Mengembangkan sistem “scorecard” untuk menentukan
peringkat kabupaten dalam melaksanakan tugasnya.
Menentukan standar
•
Menyebarkan informasi tentang standar melalui
layanan sesuai dengan
program pelatihan bagi pejabat pemerintah dan
standar pokok nasional.
lembaga penyedia layanan masyarakat.
•
Memantau pencapaian standar layanan di seluruh
wilayah provinsi.
Mengembangkan
•
Melakukan inventaris terhadap manajemen keuangan,
kapasitas implementasi
personalia, dan sistem pengadaan barang dan jasa di
di tingkat kabupaten.
seluruh kabupaten; menanggulangi kesenjangan dan
memperkuat sistem yang masih lemah.
•
Mengembangkan program pelatihan tentang
manajemen keuangan, manajemen personalia, dan
prosedur pengadaan barang dan jasa.
•
Meminta seluruh kabupaten untuk menyerahkan
anggaran belanja lengkap untuk kemudian
dibandingkan dengan sasaran yang hendak dicapai.
Mendanai dan
mengelola layanan yang
berskala ekonomi tinggi
(mis. program pelatihan
untuk kabupaten), tetapi
jangan bersaing dengan
pemerintah kabupaten.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
77
Pemerintah kabupaten
Menyusun rencana dan
•
Membuat inventaris keterampilan di setiap kabupaten
anggaran lokal, dengan
dan melakukan pelatihan untuk menanggulangi
sasaran kinerja spesifik.
kesenjangan ini.
•
Memantau kinerja sesuai sasaran lokal.
•
Memberikan laporanstruktur institusi vertikal, atau
atasan (bupati/walikota) dan secara horisontal kepada
DPRD
Bab 5
Mengelola layanan
•
untuk memenuhi
sasaran, menerapkan
kabupaten.
•
standar layanan tingkat
nasional dan regional.
Memantau dan menilai standar layanan di tingkat
Membuat laporan kinerja sesuai dengan standar yang
dicapai.
•
Mengelola sistem keuangan berdasarkan desentralisasi,
personalia, pengadaan barang dan jasa, dan sistem
informasi.
•
Memberitahukan penyedia dan pengguna layanan
tentang layanan yang disediakan dan sasaran yang
harus dicapai.
•
Memastikan agar daerah-daerah terpencil dan
•
Meningkatkan perjanjian penyediaan layanan yang
kelompok marjinal terjangkau oleh layanan.
Penyedia layanan garis
Memberikan layanan
depan (sektor publik
sesuai dengan
berfokus pada keluaran dan penyediaan layanan,
atau swasta)
perjanjian penyediaan
dan memberikan otonomi kepada penyedia untuk
layanan yang telah
mencapai sasaran yang diharapkan.
disepakati
Bagi penyedia
•
Menentukan (block grant) dan sumber daya manusia
layanan sektor publik:
bagi penyedia layanan berdasarkan kebutuhan dan
Memantau dan
sasaran program. Mengurangi pendanaan yang tidak
melaporkan hasil
perlu.
layanan di daerah
•
mereka.
Membuat pegawai negeri sipil yang bekerja untuk
penyedia layanan menjadi lebih akuntabel terhadap
mereka.
•
Menggabungkan penilaian pengguna layanan dalam
evaluasi kinerja penyedia layanan.
Masyarakat
Memelihara dan
membangun
infrastruktur desa.
78
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
•
Menjamin adanya proses yang demokratis di dalam
masyarakat (lihat Bab 3).
Mengelola program
•
Memindahkan program dengan dana proyek dan
dengan sasaran warga
program berbasis masyarakat ke dalam program
miskin di masyarakat
dengan anggaran tetap.
Menyediakan (feedback)
•
Memperkuat dan menciptakan mekanisme untuk
untuk layanan yang
memungkinkan (feedback) dari pengguna, seperti
diberikan oleh penyedia
halnya dalam komite sekolah.
layanan dan hasil yang
Pemberian insentif atas agregasi unit-unit administrasi yang berfungsi secara efisien. Beberapa fungsi
dapat ditangani dengan lebih efisien oleh lembaga-lembaga yang lebih kecil atau lebih besar. Manajemen yang
Bab 5
dicapai
berfungsi efisien atas sebuah waduk air yang besar, misalnya, sepertinya akan memerlukan kerja sama dari beberapa
pemerintah kabupaten atau bahkan provinsi. Penyebaran penyakit menular dapat melewati yurisdiksi satu kabupaten
tertentu dan memerlukan pendekatan yang terkoordinasi untuk menanganinya. Sekolah untuk anak-anak cacat
berada di bawah tanggung jawab provinsi berdasarkan UU Pendidikan 20/2003, dan bukan di bawah pemerintah
kabupaten. Akan tetapi, akan lebih masuk akal untuk memberikan tanggung jawab ini kepada kabupaten karena
mereka akan lebih mudah untuk melakukan integrasi sekolah tersebut ke dalam sistem persekolahan di tingkat
kabupaten. Pada saat yang sama, dengan membiarkan pemerintah-pemerintah kabupaten untuk melakukan
kerjasama dengan kabupaten lain akan dapat menyelesaikan potensi masalah karena sekolah luar biasa seperti
itu terlalu kecil atau kurang efisien. Dengan menambah jumlah kabupaten (kini telah mencapai lebih dari 430)
sejak pelaksanaan desentralisasi, ukuran maksimal untuk setiap unit administrasi semakin menjadi isu yang penting.
Pihak yang menentang pelaksanaan desentralisasi mengatakan bahwa kabupaten-kabupaten yang berukuran kecil
di beberapa tempat telah mengurangi kapasitas dan skala ekonomi kabupaten yang bersangkutan. Akan tetapi,
ukuran maksimal untuk sebuah unit pemerintahan selanjutnya dapat ditangani dengan menyediakan insentif
bagi unit pemerintahan yang lebih kecil (seperti kabupaten atau penyedia layanan masyarakat) untuk melakukan
menggabungkan diri mereka seperti yang diuraikan di bawah ini dan pada Bab 3.
Menentukan peran pemerintah pusat. PP No. 25/2000 menyatakan bahwa pemerintah pusat bertindak sebagai
pelaku utama dalam perumusan kebijakan perundang-undangan nasional serta dalam menentukan standar layanan
masyarakat. Pemerintah pusat harus memberikan kesempatan kepada pemerintah di tingkat yang lebih rendah
untuk menangani pelaksanaan hal-hal tersebut, kecuali untuk hal-hal yang menyangkut fungsi yang pelaksanaannya
tidak didesentralisir. Hal ini harus berfokus pada peran-peran sbb:
•
Menentukan standar pokok tentang penyediaan layanan masyarakat, memantau dan menilai kemajuan
dengan membandingkannya dengan standar yang telah ditentukan (namun tetap memberikan ruang bagi
standar lokal), dan mengembangkan kerangka peraturan untuk penyediaan layanan yang sesuai dengan
standar yang sudah ditentukan baik yang disediakan oleh penyedia dari sektor publik maupun sektor swasta.
Standar ini perlu ditinjau dan diperbarui secara berkala. Kerangka kerjanya harus dijadikan dasar baik untuk
layanan masyarakat maupun penentuan sistem yang jelas untuk menyampaikan pengaduan.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
79
•
Mendanai dan melakukan organisasi atas layanan yang paling efektif jika dikoordinasikan secara nasional
mengingat skala ekonomi kegiatan tersebut yang begitu besar atau karena berkaitan dengan pengembangan
kebangsaan. Hal ini harus dilakukan dengan cermat sehingga tidak mengesampingkan berbagai inisiatif
dari pemerintah daerah. Contohnya adalah penyusunan kurikulum inti untuk pendidikan dasar dan sistem
pemantauan nasional di bidang kesehatan.
•
Membantu daerah-daerah paling miskin dalam bentuk pendanaan, penyediaan, dan dukungan terhadap
layanan kebutuhan dasar, sesuai dengan sistem desentralisasi dengan tujuan untuk mempersempit disparitas
antar daerah. Desentralisasi telah melemahkan kemampuan pemerintah pusat untuk mengurangi kesenjangan
Bab 5
antara orang kaya dan miskin di daerah perkotaan dan pedesaan. Saat ini, nilai bantuan antar-pemerintah ke
tingkat kabupaten sedikitnya berjumlah dua kali lipat nilai pendapatan mereka sendiri; jika digunakan dengan
baik, pendanaan ini akan menjadi mekanisme yang sangat ampuh untuk mengurangi kesenjangan antar
daerah.
•
Memberikan insentif kepada pemerintah daerah untuk menangani prioritas nasional melalui Dana Alokasi
Khusus, dengan menyesuaikannya dengan prioritas pemerintah kabupaten.
•
Melakukan koordinasi, atau menyediakan insentif untuk melakukan koordinasi, antar-kabupaten atas
penyediaan layanan yang lebih efisien dalam skala yang lebih besar daripada layanan di tingkat kabupaten
(misalnya, rumah sakit).
•
Menciptakan mekanisme keuangan untuk tugas-tugas dan fungsi yang dialokasikan untuk masyarakat.
•
Meninjau dan menyebarluaskan pelajaran yang diperoleh dari berbagai daerah yang berbeda.
Melakukan Modernisasi Pengelolaan Kepegawaian
Sistem administrasi yang kaku dan ketinggalan zaman dan layanan masyarakat yang tidak efisien telah
menjadi beban bagi penyediaan layanan masyarakat. Seperti halnya layanan masyarakat di berbagai negara,
layanan yang ada di Indonesia juga berorientasi pada bertindak sesuai perintah daripada pencapaian hasil secara
efektif. Akuntabilitas manajemen dilihat sebagai ketaatan pada proses yang telah ditentukan. Promosi jabatan juga
tergantung pada tingkat senioritas, dan tidak ada ruang yang jelas untuk memasuki status layanan masyarakat.
Sistem ini memberikan imbalan kepada pegawai yang memiliki kemampuan umum (mereka yang menduduki
posisi struktural) daripada tenaga spesialis (mereka menduduki jabatan fungsionalmenjadi bidang profesional).
Cara seperti ini sudah barang tentu menghambat upaya menjadikan pelayanan masyarakat. Pembayaran dan
pengangkatan pegawai tidak terkait dengan prestasi dan kinerja dalam tugas, dan penilaian yang berfokus pada
pencapaian hasil sama sekali tidak ada. (Kotak 12).
80
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Box 12. Terlalu banyak birokrat, terlalu sedikit tenaga profesional
Sebelum pelaksanaan desentralisasi, sekitar seperlima dari pegawai negeri sipil Indonesia yang berjumlah sekitar 3,6 orang ditugaskan di tingkat
daerah. Jumlah ini secara dramatis berubah sejak tahun 2001, di mana lebih dari dua pertiga pegawai negeri sipil menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah. Tenaga guru merupakan lebih dari setengah yang diserahkan kepada pemerintah daerah.
Kelebihan dan ketidaksesuaian antara jumlah pekerjaan dan pegawai merupakan masalah yang belum terpecahkan sejak penerapan desentralisasi.
Dari seluruh unit organisasi, pegawai yang ditugaskan di pemerintah provinsi masih sama, walaupun fungsi mereka telah dipindahkan ke tingkat
kabupaten. Seringkali unit-unit semacam itu membuat tugas-tugas rutin hanya sebagai “pembenaran” atas keberadaan mereka, padahal tugas
serupa sudah dilakukan di tingkat kabupaten.
memberikan layanan kepada masyarakat, seperti guru dan dokter. Jabatan struktural adalah mereka yang terdaftar dalam struktur organisasi
pemerintahan. Sistem kepangkatan diberlakukan terhadap pegawai negeri baik yang menduduki jabatan fungsional maupun struktural.
Bab 5
Layanan masyarakat dibagi menjadi jabatan fungsional dan jabatan struktural. Jabatan fungsional meliputi pegawai yang bertugas untuk
Pegawai yang menempati jabatan struktural memperoleh gaji yang lebih besar dan menerima tunjangan yang lebih besar, sehingga jabatan seperti
itu lebih diminati daripada jabatan fungsional. Ada kelebihan jabatan dan personalia dalam jabatan struktural dan terlalu sedikit pegawai yang
menduduki jabatan fungsional—dengan kata lain terlalu banyak birokrat dan terlalu sedikit tenaga profesional dalam pelayanan masyarakat.
Sistem yang ada sekarang sudah ketinggalan zaman dan sudah saatnya untuk mengadopsi sistem manajemen personalia modern. UU PNS No.
43/1999 menyatakan bahwa setiap pegawai negeri sipil harus diangkat untuk menduduki posisi tertentu dengan pangkat tertentu, namun data
terbaru dari biro kepegawaian menunjukkan bahwa sebagian besar PNS diangkat dengan tidak mempertimbangkan jabatan tertentu.
Sumber: Data dari Biro Kepegawaian Nasional (BKN).
Meninjau fungsi-fungsi pemerintahan dan uraian tugas, menciptakan sistem manajemen SDM berbasis
kinerja, dan mengadopsi praktik-praktik berbasis sistem merit di tingkat lokal. Tujuan untuk melakukan
tinjauan terhadap fungsi pemerintah daerah dibahas dalam Bab 3. Akan tetapi, pemerintah kabupaten, terikat
oleh peraturan yang ditentukan pemerintah pusat, dan terdapat sejumlah kesimpangsiuran mengenai otoritas
penempatan manajemen kepegawaian. Langkah-langkah strategis berikutnya bagi pemerintah pusat adalah sbb:
•
Menyusun kerangka kerja dan kerangka kelembagaan yang jelas untuk manajemen kepegawaian. Terlalu
banyak departemen yang kini terlibat dalam manajemen kepegawaian, yang semakin membingungkan.
Tumpang tindih atas fungsi dari sejumlah kelembagaan yang mengatur kebijakan pegawai negeri sipil, seperti
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPan), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi
Negara (LAN), Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Sekretariat Kabinet, dan Kantor Sekretaris
Negara, perlu dihapuskan.
•
Meniadakan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip desentralisasi dan ketentuan tentang pegawai
negeri sipil (Kotak 13). Untuk mencegah terjadinya kelebihan pegawai atau kekurangan pegawai di sejumlah
daerah, kebijakan untuk melakukan mutasi pegawai dan pensiun perlu disesuaikan, dan ketergantungan pada
Dana Alokasi Umum (DAU) tentang sejumlah pegawai negeri sipil yang diangkat perlu dipertimbangkan ulang.
Ketergantungan ini telah merupakan insentif yang buruk bagi pemerintah kabupaten untuk meningkatkan
jumlah pegawai negeri sipil, karena tidak ada konsekuensi anggaran untuk itu.
• Menerapkan sistem kepegawaian yang tidak terlalu kaku, menghapus sistem untuk jabatan struktural
dan jabatan fungsional dan jabatan atau kepangkatan yang kaku, dan melakukan reformasi terhadap
sistem penggajian.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
81
Box 13. Desentralisasi pendidikan tidak berjalan efektif
Dengan pemberlakuan desentralisasi, manajemen kepegawaian untuk guru SD (Sekolah Dasar) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk
sekolah negeri dan swasta (kecuali madrasah) dialihkan ke pemerintah kabupaten. Namun demikian, terdapat sejumlah anomali dan kesulitan
yang menghambat kebebasan pemerintah kabupaten untuk mengelola dan mereformasi tenaga pengajar. Kantor Kementerian Pendidikan
Nasional masih mengangkat dan memperkerjakan guru kontrak; guru-guru di madrasah yang memiliki status sebagai PNS masih berada di bawah
Departemen Agama, dan bukan di bawah pemerintah kabupaten; prosedur pengalihan status guru berdasarkan UU No. 22/99 telah menghambat
guru untuk pindah ke kabupaten lain, hal ini menurunkan semangat mereka; dan guru-guru masih membayar uang suap untuk mendapatkan
pengangkatan, kenaikan pangkat, dan pemilihan untuk mengikuti pelatihan.
Begitu banyaknya masalah dalam manajemen pendidikan dan guru, terutama yang berkaitan dengan kurangnya mobilitas sejak pemberlakuan
desentralisasi, telah meningkatkan tekanan dari para guru di tingkat sekolah dan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) agar dilakukan re-
Bab 5
sentralisasi manajemen guru. Dalam wawancara yang dilakukan untuk keperluan laporan ini, sejumlah pejabat di tingkat kabupaten menyatakan
bahwa re-sentralisasi harus segera dilakukan untuk pengangkatan guru.
Sumber: Bank Dunia (2005a).
Pemisahan pendanaan dan pelaksanaan fungsi dalam layanan masyarakat. Layanan masyarakat merupakan
gabungan orang-orang yang membuat kebijakan dan mereka yang melakukan pemantauan terhadap penyediaan
layanan dan hasil yang dicapai (yaitu sejumlah orang bekerja dalam jajaran kelembagaan di bawah sejumlah
departemen) dan sejumlah orang yang melaksanakan kebijakan tersebut (yaitu orang-orang yang bekerja sebagai
penyedia layanan di garis depan). Struktur ini sesuai dengan strategi komando dan kontrol untuk pengembangan
jaringan layanan. Namun hal ini tidak cocok untuk meningkatkan akuntabilitas penyedia layanan kepada lembaga
pemberi dana atau tidak sesuai untuk mengembangkan jangkauan layanan yang meliputi penyedia dari sektor
swasta, LSM, dan masyarakat. PNS yang bekerja sebagai penyedia layanan harus memenuhi sejumlah standar
seperti halnya yang ditentukan untuk penyedia layanan dari sektor swasta; mereka harus memenuhi aspek-aspek
akuntabilitas atas layanan yang mereka berikan dan hasil yang mereka capai. Keputusan kenaikan pangkat bagi PNS
yang bekerja sebagai penyedia layanan harus menjadi semakin berorientasi pada layanan yang mereka berikan. Di
bawah sistem yang berlaku sekarang, seorang guru yang absen dari tugasnya, misalnya, dapat diberikan peringatan
resmi oleh pemerintah setempat.
Menyesuaikan Proses Anggaran Dan Pemantauan Dengan Pelaksanaan
Desentralisasi.
Jalur yang digunakan untuk menyalurkan sumber-sumber daya ke tingkat kabupaten dan kepada penyedia layanan
masih sangat banyak dan terlalu fragmental. Hal ini telah mengakibatkan tidak mungkin bagi masyarakat penerima
layanan untuk mengetahui seberapa besar pembiayaan yang semestinya mereka terima dan apakah pendanaan
itu telah dicairkan atau belum. Keadaan semacam ini telah menyebabkan keadaan yang tidak efisien dan berbagai
82
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
peluang untuk melakukan tindak korupsi dan kemungkinan kebocoran.7 Untuk meningkatkan akuntabilitas di
bidang pelayanan, diperlukan informasi yang akurat dan tepat waktu yang harus disampaikan oleh pemerintah
kepada penyedia layanan, dan antara masyarakat pengguna layanan dan pemerintah.
Memberikan kejelasan layanan mana saja yang akan didanai dan dikelola oleh pemerintah pusat. Anggaran
operasional bagi fungsi-fungsi yang mengalami desentralisasi perlu dipindahkan ke tingkat yang sudah ditentukan.
Peningkatan desentralisasi dari dekonsentrasi anggaran merupakan bukti bahwa lembaga-lembaga pusat masih
Memberikan informasi jauh sebelumnya kepada pemerintah kabupaten mengenai pengeluaran
pemerintah pusat dan provinsi untuk fungsi-fungsi yang sudah mengalami desentralisasi. Departemen
Bab 5
mendominasi pengeluaran untuk tingkat lokal.
Dinas provinsi memiliki fungsi yang sangat strategis untuk berbagi dan melakukan koordinasi rencana belanja
pemerintah kabupaten.
Meningkatkan transparansi mengenai aliran dana kepada penyedia layanan masyarakat. Melakukan
penelusuran pengeluaran yang dilakukan oleh penyedia layanan masyarakat dan mengumumkan hasilnya dapat
mengurangi kebocoran di dalam sistem, tetapi akan diperlukan transparansi penentuan mekanisme anggaran yang
lebih besar untuk dapat melakukan hal ini. Pada saat ini, sangat sulit untuk melakukan penelusuran pengeluaran
penyedia layanan masyarakat. NGO yang melakukan pengawasan terhadap pengeluaran anggaran memegang
peranan penting untuk menyebarkan akses informasi yang rumit dan sulit ini kepada publik (Kotak 14). Pengiriman
dana melalui transfer bank ke rekening atas nama penyedia layanan masyarakat akan meningkatkan transparansi
dan dengan demikian akan meningkatkan kemampuan bagi pengamat independen untuk melakukan pemantauan
apakah sumber daya yang diberikan sudah sampai kepada penyedia layanan masyarakat yang berada di garis
depan.
7
Dalam sektor pendidikan dan sektor kesehatan, misalnya, pejabat di tingkat kabupaten tidak mengetahui seberapa besar pendanaan yang
seharusnya mereka terima, apakah dana itu sudah cair atau belum, atau kapan mereka akan menerima dana tersebut. Beberapa pejabat di sektor
pendidikan mengungkapkan kekesalan mereka mengenai hal ini. Tanpa adanya informasi dan transparansi, akan sangat sulit bagi mereka untuk
membuat rencana atau mengembangkan program pendidikan yang efektif. Sekolah harus berhadapan dengan berbagai sumber pembiayaan
yang sangat membingungkan. Mereka menerima gaji, uang tunai, dan tunjangan lain dari tiga tingkatan pemerintah. Untuk itu mereka harus
menyiapkan penyusunan anggaran yang berbeda. Ketiadaan sistem dan protokol yang jelas menghambat perbaikan prosedur dan perintah atau
kepastian aliran dana melalui sistem manajemen yang sederhana.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
83
Kotak 14. Peningkatan transparansi anggaran di Kota Bandung
Bandung Institute for Governance Studies (BIGS) adalah sebuah LSM yang didirikan untuk meningkatkan transparansi anggaran di kota Bandung,
Jawa Barat. LSM ini menerbitkan dan membagikan anggaran pemerintah kota yang diuraikan secara rinci, dengan tujuan untuk meningkatkan
tekanan terhadap pemerintah agar mereka menyampaikan rencana secara rinci dan mengurangi kebocoran anggaran yang terjadi. Sebelum BIGS
mulai menerbitkan anggaran pemerintah secara rinci, pemberian informasi dimonopoli oleh instansi pemerintah yang hanya menerbitkan laporan
penggunaan anggaran dalam bentuk rangkuman singkat. Informasi yang diterbitkan oleh BIGS digunakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kota, dan partai politik untuk menggunakan hak bertanya mereka mengenai anggaran yang digunakan pemerintah. Sebuah sistem pendidikan
berbasis LSM menggunakan informasi anggaran yang diterbitkan BIGS untuk melakukan advokasi untuk sektor yang tertentu. Masyarakat umum
dan wartawan sering menghubungi BIGS untuk melakukan wawancara tentang alokasi anggaran pemerintah Kota.
BIGS telah berhasil mengurangi penggunaan alokasi anggaran yang tidak jelas, seperti anggaran lain-lain dan perjalanan dinas untuk tahun 2005.
Bab 5
Informasi yang dikeluarkan BIGS telah membongkar tindak korupsi yang dilakukan anggota DPRD untuk pos anggaran dana lain-lain tahun 2002,
yang besarnya adalah 45% dari seluruh anggaran.
Para donor juga memegang peranan penting dalam mendanai lembaga-lembaga seperti BIGS (BIGS mendapat dukungan dari Ford Foundation).
Untuk memperoleh dana operasional dari pemerintah sangatlah sulit seperti yang dialami BIGS ketika LSM ini menolak memberikan ”komisi” untuk
kontrak ombudsman yang ia menangkan.
Sumber: Kuznezov (2005b).
Mengembangkan database nasional untuk memantau penyediaan layanan masyarakat. Indonesia memiliki
sistem pengumpulan data nasional yang sangat baik mengenai masyarakat dan rumah tangga, namun pelaksanaan
desentralisasi telah melemahkan kapasitas untuk melakukan pemantauan karena kemampuan nasional sangat
tergantung pada ketaatan pemerintah daerah. Pemerintah perlu melakukan investasi untuk mengembangkan
kembali kapasitas ini di tingkat nasional, mungkin melalui Biro Pusat Statistik berkoordinasi dengan jajaran
kementerian terkait.
84
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 6
Menuju Strategi Operasional Untuk Peningkatan Layanan Publik
Untuk melakukan operasionalisasi agenda antar-sektor untuk meningkatkan penyediaan layanan yang
diusulkan dalam laporan ini, kantor kementerian dan pemerintah daerah perlu menerjemahkan rekomendasi
dalam laporan ini untuk menyusun rencana aksi dan strategi yang nyata. Sebagai langkah awal untuk
diperdebatkan, dalam bab ini diberikan sejumlah saran mengenai tindakan-tindakan apa saja yang bisa
dilakukan. Banyak tindakan inovasi akan dimulai sebagai pilot proyek; dalam banyak hal, upaya telah
dimulai di tingkat lokal. Kita perlu memastikan bahwa inovasi yang sudah berhasil dilakukan harus terus
dipertahankan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah Perlu melakukan diversifikasi terhadap portofolio
tentang inisiatif reformasi mereka, menyediakan hibah untuk setiap inovasi dan pilot project yang mendorong
Bab 6
terjadinya reformasi, menciptakan insentif pribadi yang sesuai dengan tujuan kelembagaan, menentukan
para pemenang dan mereka yang kalah, serta memberikan perlindungan sosial terhadap pihak yang kalah,
melakukan investasi yang akan berdampak pada penyebarluasan pendidikan dan informasi, melibatkan
masyarakat sipil, melakukan investasi yang berpihak pada masyarakat miskin, dan memberikan jaminan
adanya rasa memiliki di tingkat lokal.
Laporan ini memberikan penekanan pada pentingnya hubungan akuntabilitas dengan pemerintah, pengguna
layanan, penyedia layanan masyarakat. Ada dua jalur yang berasal dari pembuat kebijakan nasional ke penyedia
layanan masyarakat, yaitu jalur langsung atau jalur melalui pemerintah pusat (Diagram 6.1).
Pemerintah dapat meningkatkan akuntabilitas penyedia layanan masyarakat dengan melakukan perjanjian
penyediaan layanan. Perjanjian semacam itu akan meningkatkan transparansi dalam hal layanan yang semestinya
diberikan oleh penyedia dan dalam hal sumber daya yang seharusnya mereka terima. Perjanjian penyediaan layanan
dapat juga bermanfaat untuk melakukan identifikasi atas tumpang tindih yang terjadi di pemerintah. Perjanjian
semacam ini memerlukan kapasitas untuk menentukan dan melakukan pemantauan oleh pemerintah dan pengguna
layanan; pemerintah harus mengorganisir sumber daya mereka agar dapat mendukung terjadinya transisi ini.
Salah satu fungsi penting dari pemerintah adalah membuat agar sektor swasta yang sudah berjalan dengan
baik bersedia menyediakan layanan masyarakat. Pemerintah dapat melakukan hal ini dengan meningkatkan
informasi tentang mutu layanan yang diberikan, membantu dan mendorong pengguna untuk berani meminta
layanan yang mereka butuhkan. Efisiensi dapat juga ditingkatkan dengan mengontrakkan beberapa aspek layanan,
terutama untuk sektor swasta yang pasarnya sudah berkembang baik di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh
sektor publik.
Kekuatan klien (pengguna layanan) dapat ditingkatkan dengan memberikan tugas-tugas tertentu seperti
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur lokal yang langsung dikerjakan oleh masyarakat. Ada banyak
kisah sukses mengenai pelaksanaan proyek berbasis masyarakat; untuk itu sudah saatnya untuk menganggarkan
proyek semacam itu dan memandangnya sebagai strategi untuk meningkatkan penyediaan layanan publik.
86
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kelompok-kelompok masyarakat merupakan kendaraan lain untuk meningkatkan kekuatan pengguna
layanan. Kemajuan Indonesia di bidang ini sudah sangat dikenal dan perlu dilanjutkan. Pengalihan sumber daya
langsung kepada pengguna merupakan cara yang sangat ampuh untuk mengurangi kesenjangan terhadap akses
layanan. Program sebelumnya yang dilakukan di Indonesia tidak begitu berhasil karena jajaran kementerian di
tingkat pusat tetap memegang kendali terhadap seleksi dan pembagian kupon, sehingga mengurangi kekuatan
di pihak penggguna. Pengalaman baru-baru ini mengenai pembagian subsidi tunai tanpa syarat menunjukkan
alternatif lain untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat secara langsung. Cara-cara seperti ini perlu digali
Demokrasi telah memperkuat hubungan antara masyarakat pengguna layanan dengan pembuat kebijakan
di tingkat lokal. Demokrasi juga telah meningkatkan akuntabilitas pembuat kebijakan. Sebagai akibat dari sistem
Bab 6
lebih banyak lagi.
pilkada langsung, kini rakyat bisa tidak memilih politisi yang tidak mampu melakukan reformasi untuk rakyat.
Sebagian besar rekomendasi yang diuraikan dalam laporan ini masih harus dibuktikan manfaatnya di
lapangan. Oleh karena itu, Indonesia direkomendasikan agar Indonesia mengadopsi strategi yang mendorong
terjadinya berbagai inovasi untuk memberikan insentif kepada mereka yang menunjukkan upaya untuk meningkatkan
akuntabilitas mereka. (Pilot proyek) harus diujicobakan dan diberikan waktu yang cukup untuk mengembangkannya
agar hasilnya benar-benar dapat dilihat dan dirasakan. Selanjutnya, segala tindak lanjut harus didasarkan pada hasil
evaluasi dampak program tersebut. Pemerintah pusat memiliki peran penting dalam memberikan pedoman dan
arahan mengenai inovasi yang dilakukan, bagaimana memprakarsai inovasi, dan saling berbagi informasi tentang
hasil inovasi yang telah dilakukan. Dalam laporan ini dibahas prinsip-prinsip yang digunakan dalam pendekatan
tersebut dan memuat daftar tentang tolak ukur tindakan nyata yang dapat digunakan untuk menerapkannya.
Bagaimana cara mempertahankan inovasi yang berhasil—dan menyingkirkan
yang tidak berhasil?
Indonesia memiliki banyak pengalaman lokal dan internasional, (pilot proyek), dan berbagai gagasan inovatif,
untuk memperbaiki penyediaan layanan misalnya desentralisasi, demokrasi, sistem pembelajaran aktif di bidang
pendidikan, dan manajemen pendidikan berbasis sekolah, telah semakin meluas. Masih banyak lagi yang belum
diadopsi secara luas atau tetap dilaksanakan walaupun telah terbukti efektif. Contoh untuk Indonesia meliputi
pemberian kontrak terhadap bidan desa, guru kontrak, dan pemberian otonomi terhadap rumah sakit.
Bagaimana praktik-praktik dan prinsip yang bagus dapat diterapkan dalam rangka pelayanan masyarakat yang lebih
baik? Bagaimana hal ini dapat diadopsi secara luas dan disesuaikan di seluruh negeri dan tetap dipertahankan? Bab
ini memberikan beberapa gagasan tentang bagaimana pendapat para pembuat kebijakan mengenai tantangan
yang semakin meningkat tantangan. Laporan ini juga memberikan prinsip pokok dan praktik yang telah berhasil
untuk mengembangkan berbagai inovasi, adopsi, peningkatan layanan.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
87
Pesan utama yang ingin disampaikan adalah bahwa untuk mempertahankan peningkatan layanan yang
telah berjalan dengan baik, Indonesia memerlukan strategi untuk mengatasi proses yang sangat rumit.
Proses ini melibatkan pemberian insentif, politik ekonomi, rasa memiliki, perlindungan sosial, informasi, dan
dukungan keuangan.
Memberikan fokus bagi reformasi yang “bernilai tinggi”. Kita perlu memberikan fokus untuk mendukung
terjadinya reformasi yang“bernilai tinggi”. Beberapa reformasi semacam ini telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.
Mereka yang mengadopsi ide inovatif untuk pertama kali selalu mempertimbangkan (feedback) ekonomi dan sosial
Bab 6
yang bernilai tinggi untuk memperbaiki cara-cara mereka. Politisi tidak akan mau mengambil risiko untuk melakukan
reformasi yang hanya menghasilkan sesuatu yang lebih kecil dari sumber daya yang digunakan. Di dalam dunia
politik, tindakan inovasi juga harus mampu memberikan manfaat politik bagi yang melakukan.
Memberikan hibah bagi pelaksanaan reformasi yang inovatif dan (pilot proyek). Risiko politik dan ekonomi
yang dihadapi oleh para pihak yang baru pertama kali melakukan reformasi yang sangat sulit namun bernilai tinggi
harus selalu diperhitungkan dengan cermat. Pelaku reformasi yang bergerak pada tahap-tahap awal, biasanya rentan
terhadap risiko dan kekalahan, dan pelaku yang melakukan reformasi pada tahap-tahap akhir akan cenderung
memperoleh manfaat dari pendahulunya dan dari penelitian selanjutnya. Tambahan informasi dan pengurangan
risiko yang dinikmati oleh pelaku reformasi yang muncul belakangan mencerminkan hal-hal eksternal positif yang
dihasilkan oleh pendahulunya. Untuk mencapai tingkat adopsi yang lebih optimal di seluruh wilayah, pemerintah
pusat dapat memberikan subsidi kepada pelaku reformasi pada tahap awal dan atas kerja keras mereka. Untuk (pilot
project) yang bermanfaat, kita perlu memberikan waktu yang cukup untuk melihat hasilnya dan secara hati-hati
melakukan evaluasi terhadap dampaknya sebelum mengakhiri atau mengubahnya.
88
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kotak 15. Tiga kisah tentang inisiatif reformasi
Dari sembilan studi kasus yang berhasil dilakukan pada tahun 2005 tentang inovasi pelayanan masyarakat di Indonesia, tiga di antaranya
mengalami kesulitan karena kurangnya dukungan kelembagaan di tingkat lokal (salah satunya adalah apa yang terjadi di Kabupaten Tanah Datar
seperti yang telah dibahas pada Bab 2). Sebuah proyek reformasi yang dilakukan oleh Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, yang digagas oleh
Bupati setempat, tiba-tiba mengalami kesulitan karena kurangnya dukungan dari pegawai negeri sipil, dan bahkan dari masyarakat sipil sendiri.
Reformasi ini menyangkut pemberian sanksi yang sangat tegas kepada PNS dengan mengenakan denda atas perilaku buruk dan memotong
tunjangan mereka. Sementara Bupati sendiri adalah seorang reformis sejati, dan telah “membuka pintu” mengenai kebijakan di kantornya, ia
tidak berhasil dalam melaksanakan reformasi ini karena hal-hal yang berada di luar kendalinya. Kantor-kantor yang beliau kunjungi secara teratur
menunjukkan peningkatan disiplin, namun kantor yang letaknya lebih jauh masih belum jelas apakah PNS di sana telah meningkatkan perilaku
mereka secara signifikan atau tidak. Kelompok masyarakat sipil yang masih muda dan tidak terorganisir dengan baik, bersama PNS sangat enggan
menawar yang sulit secara kelembagaan agar tujuan inisiatif dapat didalami lagi.
Di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, inisiatif untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan juga mengalami
Bab 6
untuk melaksanakan reformasi itu karena mereka tidak memperoleh manfaat darinya. Sehingga, reformasi itu masih mengalami posisi tawar-
hambatan karena lemahnya fasilitas di tingkat desa kurangnya komunikasi antar-desa serta kurangnya alokasi anggaran yang dicanangkan oleh
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sementara hal ini melibatkan koalisi kelompok masyarakat dalam bentuk Forum Warga dan
pemerintah kabupaten telah mengeluarkan peraturan daerah mengenai transparansi, tidak satu pun dari faktor-faktor itu berhasil diterjemahkan
menjadi perencanaan partisipatif. Pedoman pelaksanaan untuk peraturan daerah yang baru itu belum juga diterbitkan, yang menimbulkan situasi di
mana tidak ada pihak yang bertanggung jawab untuk menjamin bahwa perencanaan secara lokal dilaksanakan dengan benar. Forum Warga yang
begitu antusias tidak memiliki keterampilan dan kemampuan atau pendanaan untuk mempromosikan pelaksanaan perencanaan partisipatif, dan
pemerintah kabupaten yang telah mengalokasikan anggaran untuk program ini menundanya sebanyak dua kali. Tanpa penentuan akuntabilitas
yang jelas, fasilitasi lokal yang lebih baik, dan jaminan pendanaan anggaran, sepertinya inisiatif ini akan menghadapi berbagai macam kesulitan di
masa yang akan datang.
Sumber: Leisher dan Nachuk (2005)
Menyediakan dan menyesuaikan insentif untuk kelanjutan program. Program yang baik dan berhasil sering
tidak bisa diteruskan karena insentif yang tidak sesuai. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dialami oleh Proyek
Kesehatan IV yang memperkenalkan jaminan mutu dan inovasi berdasarkan penerapan standar untuk melakukan
diagnosis dan pengobatan atas sejumlah penyakit tertentu yang ditangani di puskesmas pada tahun 1990-an (lihat
Kotak 16). Program itu berhasil dalam arti peningkatan mutu layanan memang tercapai, terbukti dengan layanan
yang sesuai standar dan kepuasan pasien yang semakin besar. Namun penerapan model jaminan mutu secara lebih
luas lagi tidak mengalami perubahan karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah ketidaksesuaian antara insentif
ekonomi dan insentif moral atas jaminan mutu layanan yang direkomendasikan. Puskesmas dan pegawai hanya
menerima tanda penghargaan atas keberhasilan mereka. Walaupun mereka bekerja lebih keras dan cerdas untuk
memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat dengan mentaati standar yang ada, gaji dan anggaran
yang mereka terima sama dengan yang lain. Alasan yang kedua adalah terjadi pergeseran prioritas isu di tingkat
pusat, yang diakibatkan oleh krisis ekonomi dan politik yang terjadi tahun 1990-an.
Melakukan diversifikasi terhadap portfolio inisiatif reformasi dan mereka yang berhasil.
Risiko dapat
dikurangi dengan melakukan diversifikasi portfolio. Kegagalan satu inovasi berskala besar dapat menyebabkan
bencana politik dan mengakhiri karir politik seorang pemikir yang berhasil. Desentralisasi dapat mengurangi risiko
dengan melakukan diversifikasi portfolio negara untuk melakukan inovasi dan portfolio yang disusun oleh seorang
pemikir ulung. Oleh karena, pendekatan dengan prinsip “biarkan seribu bunga mengembang” merupakan strategi
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
89
yang snagat beralasan untuk menangani risiko politik dan ekonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan reformasi
dan inovasi.
Melakukan investasi mengenai dampak penyebarluasan hasil evaluasi dan pengetahuan.
Dampak
sosial dan ekonomi dari suatu proyek atau program di Indonesia telah dievaluasi secara sistematis dan gencar.
Investasi pemerintah pusat dalam melakukan analisis, evaluasi, sintesis, dan penyebarluasan informasi mengenai
kegiatan (pilot proyek), eksperimen, dan pengalaman lokal di seluruh provinsi dan kabupaten dapat membantu
untuk menyebarkan penerapan inovasi yang berhasil dilaksanakan. Tanpa bantuan keuangan dan bantuan teknis
Bab 6
pemerintah pusat, penyebarluasan hasil-hasil suatu program akan mengalami hambatan karena stakeholder lokal
tidak bertanggung jawab atas penyebarluasan manfaat program, penelitian, pengembangan, dan eksperimen yang
berlangsung di wilayah di luar yurisdiksi mereka. Program Revolusi Hijau merupakan contoh manfaat evaluasi yang
mampu memfasilitasi penyebaran praktik-praktik baru di bidang pertanian di Indonesia dan di tempat lain.
Kotak 16. Memperkenalkan Standar Kualitas Kesehatan
Meningkatkan kualitas layanan perawatan kesehatan dasar, tidak harus mahal; seperti yang digambarkan oleh pelaksanaan program jaminan
kualitas yang diperkenalkan di Indonesia sekitar pertengahan tahun 90-an. Program tersebut memperkenalkan tata cara perawatan penyakit yang
umum ditemui. Pengenalannya dilakukan secara bertahap sedikit demi sedikit memperluas cakupan jenis penyakit dan klinik kesehatan yang berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 2000, enam tahun setelah (pilot project), terdapat 1588 klinik kesehatan yang berpartisipasi dalam program ini.
Bahkan program ini juga mendapat penghargaan sebagai “praktik terbaik” (Best Practices) dari dunia Internasional. Penghargaan diberikan karena
program ini berhasil memenuhi 80 persen dari semua isi tata cara -di mana tingkat pencapaian pada masa pelaksanaan pra-program hanya 20-30
persen. Lebih jauh lagi tingkat kepuasan dokter dan pasien pun meningkat. Para Dokter mendapat kebanggaan profesi, seiring dengan peningkatan
kesadaran mereka terhadap layanan yang mereka berikan.
Sayangnya program tersebut tidak berlanjut akibat timbulnya krisis ekonomi, pergantian kepemimpinan, dan penerapan desentralisasi, dimana
sejumlah daerah menghindari pelaksanaan program dari pemerintah pusat, sebagai wujud dari otonomi yang baru mereka terima.
Sumber : Bernhart (1998a,b)
Memastikan rasa memiliki yang lebih luas. Rasa memiliki merupakan faktor kunci dalam pelaksanaan praktikpraktik yang berhasil. Ketergantungan yang terlalu besar kepada sekelompok orang akan menyebabkan inovasi
menjadi rentan untuk dibatalkan jika para reformis kehilangan kekuasaan atau jika terjadi perubahan jabatan dan
posisi (lihat Kotak 16). Di Indonesia banyak ide bagus yang digagas pemerintah pusat ditolak karena hal itu tidak akan
menunjang keberhasilan pemerintah daerah, atau sebaliknya. Misalnya, walaupun program kontrak untuk bidan
desa tampaknya sangat efektif, hal itu tidak bisa dipertahankan, karena hal itu hanya dilihat sebagai program dari
pusat yang akan dapat mengurangi sumber daya yang langsung di bawah kontrol puskesmas. Perlu diingat bahwa
pemerintah daerah akan mendapatkan pujian atas pengenalan inovasi dan reformasi yang akan dilaksanakan.
Melakukan analisis terhadap pihak yang menang dan yang kalah. Analisis politik ekonomi mengenai reformasi
sangat penting untuk dilakukan. Analisis semacam itu akan dapat memprediksi bahwa birokrasi kesehatan dan
pendidikan akan menolak memberikan layanan kepada masyarakat miskin melalui sistem kupon atau melalui
pemberian beasiswa secara langsung kepada keluarga atau penerima. Mereka akan menolak upaya-upaya
90
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
semacam itu, karena cara itu akan mengurangi kontrol terhadap sumber daya dari birokrat di sektor kesehatan atau
pendidikan. Untuk mengurangi ancaman seperti ini, birokrasi di sektor pendidikan menempatkan dana beasiswa ini
langsung di bawah kendali mereka dan bukan memberikannya kepada orang tua, sehingga menyebabkan program
ini tidak berjalan efektif.
Memberikan perlindungan sosial kepada pihak yang kalah. Jika pihak yang kalah melakukan blokir terhadap
pengenalan reformasi tertentu, strategi yang biasa dilakukan adalah dengan memberikan bantahan atas kekhawatiran
dan kemungkinan kekalahan (baik secara ekonomis, politik, maupun psikologis) dari mereka yang terkena dampak
membantu memperlancar pelaksanaan reformasi. Memberikan bantuan finansial kepada mereka terkena dampak
atas reformasi yang dilakukan. Bantuan lain juga diperlukan agar mereka mampu melakukan penyesuaian terhadap
Bab 6
atas reformasi ini. Upaya menjangkau mereka dan memberikan penjelasan tentang perlunya perubahan dapat
perubahan yang terjadi. Strategi ini sangat relevan bagi PNS sebagai akibat dari kebijakan kenaikan harga minyak.
Melakukan investasi dalam masyarakat dan membangun koalisi yang berpihak pada masyarakat miskin.
Pembuat kebijakan dapat mengambil manfaat atas kebangkitan masyarakat sipil di Indonesia, yang telah berhasil
melakukan refomasi gerakan anti korupsi di Indonesia. Masyarakat sipil di Indonesia dapat mengambil peran yang
penting untuk mengembangkan “akuntabilitas sosial.” Hal ini dapat berperan dalam mendorong lahirnya para
pemikir ulung mendorong kebangkitan masyarakat miskin dan mengelola organisasi masyarakat miskin sebagai
kekuatan kontrol yang sangat efektif. Hal ini sangat penting untuk menghadapi para elit yang menentang kebijakan
yang berpihak pada masyarakat miskin.
Saran pelaksanaan kebijakan dan pilot project
Daftar yang memuat saran pelaksanaan kebijakan dan pilot project untuk keberhasilan pelayanan kepada masyarakat
terdiri dari usulan yang sangat nyata yang mencerminkan pandangan para stakeholder yang disampaikan pada
sebuah Konferensi di Jakarta tahun 2005 tentang “Making Services Work for the Poor in Indonesia” (Tabel 5). Daftar
ini dapat dijadikan titik awal untuk melakukan pembahasan.
Pemerintah pusat dapat memberikan dukungan mereka dengan mengalokasai dana untuk melaksanakan inovasi
layanan masyarakat. Dana yang dikelola oleh Menkokesra atau Bappenas dapat berupa dana hibah kepada
pemerintah kabupaten untuk melaksanakan inovasi. Jajaran lembaga kementerian dapat memberikan daftar
kegiatan yang mungkin untuk didanai (secara bersama), dengan memberikan insentif kepada kabupaten untuk
mengembangkan kegiatan ini sesuai dengan strategi nasional dan prinsip pelaksanaan desentralisasi. Partisipasi
yang diberikan oleh pemerintah kabupaten dapat bersifat sukarela. Akan lebih baik jika fasilitas yang disediakan itu
juga memiliki peluang untuk melakukan berbagai inisiatif di tingkat kabupaten. Departemen di pusat dapat bekerja
sama dengan pemerintah kabupaten untuk melaksanakan inisiatif ini dan memastikan bahwa inovasi itu dievaluasi,
serta pelajaran dan pengalaman yang diperoleh darinya harus disampaikan kepada para stakeholder.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
91
Tabel 6.1 Saran tindakan kebijakan untuk mengefektifkan layanan publik di Indonesia
Rekomendasi
Lembaga
Melakukan rasionalisasi
1. Bekerja dengan enam perwakilan
terhadap alokasi fungsi
di tingkat daerah dan lembaga
Kesehatan yang memimpin masing-
dan struktur.
masyarakat/para ahli untuk
masing sektor. Menteri Dalam Negeri
menentukan tanggung jawab
dan Menteri Keuangan ikut berperan.
fungsional dan operasional untuk
Menkokesra atau Bappenas menangani
setiap tingkatan pemerintahan
koordinasi
Menjalin hubungan
Bab 6
Tindakan
2. Melakukan konsultasi dengan
antar-pemerintah untuk
pemerintah daerah dan stakeholder
pelayanan masyarakat
lain untuk memperoleh pandangan
Menteri Pendidikan dan Menteri
Menteri Keuangan, MenPan, sektor
dalam departemen
mereka meninjau draft yang sudah
dibuat, untuk melakukan revisi,
dan menyebarkannya draft akhir.
Melakukan dokumentasi proses dan
membuatnya sebagai model untuk
sektor lain.
3. Menentukan besarnya pengeluaran
Menteri Keuangan, sektor dalam
untuk kegiatan pemerintah pusat yang departemen
ada sekarang yang dilakukan di daerah
dan oleh badan-badan pusat yang
berada di daerah.
4. Seiring dengan perjalanan waktu,
gunakan informasi pembiayaan untuk
Menteri Keuangan, sektor dalam
departemen
menentukan alokasi anggaran yang
lebih rendah dan lebih sesuai untuk
departemen, mengalihkan sumber
anggaran pusat ke Dana Alokasi
Khusus (DAK).
5. Menyediakan informasi tentang
Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) untuk tingkat provinsi
dan kabupaten pada saat mereka
menyusun anggaran tahunan mereka.
Juga menyebarluaskannya kepada
publik, dengan menjelaskan tingkat
dan tujuan dekonsentrasi pengeluaran
yang dialokasikan untuk sejumlah
program di provinsi dan kabupaten.
92
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Menteri Keuangan, sektor dalam
departemen
Rekomendasi
Tindakan
Lembaga
Melakukan modernisasi 6. Melakukan analisis diagnosis terhadap
Menteri Pendidikan dan Menteri
administrasi sektor
berbagai isu yang berhubungan
Kesehatan yang memimpin masing-
publik
dengan angkatan kerja; bersama
masing sektor. MenPan dan Menteri
MenPan, perwakilan organisasi
Keuangan ikut berperan.
profesional (IDI untuk sektor kesehatan
dan PGRI untuk sektor pendidikan);
dan tiga tingkatan pemerintahan.
Bab 6
7. Gunakan hasil analisis diagnostik
untuk membuat rekomendasi untuk
melakukan perbaikan jangka pendek
(melalui pendekatan yang dapat
dilakukan oleh kabupaten untuk
menarik minat dokter agar mau
bekerja di daerah terpencil dan daerah
yang kurang diminati, misalnya, sistem
insentif atas kinerja yang bagus serta
pelaksanaan reformasi secara sistemik.
8. Membentuk pokja independen di
bawah presiden, yang didukung
oleh kelompok tenaga ahli untuk
memberikan nasihat atas isu-isu
yang bisa berdampak luas serta
berbagai opsi dan melakukan sekuensi
reformasi layanan masyarakat.
9. Menghasilkan rencana aksi yang
strategis yang bertujuan untuk
melakukan reformasi, dengan
menggunakan masukan dan analisis
diagnostik sektoral dan bentuk
konsultasi lain.
10. Pilot project reformasi yang disulkan
kepada pemerintah kabupaten yang
melakukannya secara suka rela.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
93
Rekomendasi
Menyesuaikan
Tindakan
11. Melakukan kompilasi data mengenai
pemantauan
mutu layanan yang diberikan;
dengan pelaksanaan
menerbitkan informasi tersebut (jika
desentralisasi.
mungkin, untuk tiap provinsi dan
Lembaga
BPS memimpin, sektor di berbagai
departemen/dinas ikut berperan
kabupaten; dan melakukan identifikasi
atas kesenjangan informasi. Buat
rancangan dan lakukan survei untuk
Bab 6
mengumpulkan informasi untuk
mengisi kesenjangan tersebut.
12. Lakukan tinjauan terhadap standar
minimum pemberian layanan
Menteri Kesehatan dan Menteri
Pendidikan
berdasarkan dengan temuan.
Pembentukan dana
13. Lakukan inovasi sesuai dengan dana
untuk pelaksanaan
yang tersedia dan dorong untuk
berbagai inovasi.
melakukan inovasi layanan masyarakat
Menkokesra dan sektor-sektor dalam
departemen
di tingkat kabupaten sesuai dengan
saran berikut.
14. Tingkatkan kapasitas untuk melakukan
Menkokesra dan sektor-sektor dalam
pemantauan dampak dari inovasi yang departemen
dilakukan dan sebarluaskan hasilhasilnya.
Meningkatkan
15. Lakukan pilot project penandatanganan Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan,
akuntabilitas penyedia
perjanjian penyediaan layanan pada
layanan terhadap
kabupaten yang hendak mencoba
pemerintah.
secara sukarela.
Menteri Pertanian
Menteri Keuangan memimpin, sektorsektor dalam departemen dan dinas juga
berperan.
94
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Rekomendasi
Tindakan
16. Ciptakan sistem untuk memudahkan
akses terhadap informasi yang dapat
Lembaga
Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan,
Menteri Pekerjaan Umum.
menelusuri pengeluaran sampai
dengan tingkat penyedia layanan
atas program bantuan kompensasi
subsidi BBM. Buat kontrak dengan
lembaga masyarakat untuk melakukan
Bab 6
pemantauan terhadap implementasi
program bantuan kompensasi subsidi
BBM. Sebarkan hasil-hasil pemantauan
(INT)
17. Lakukan (pilot project) pada sejumlah
kabupaten yang ditentukan, tentukan
Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan,
Menteri Pertanian.
anggaran untuk penyedia layanan
– berdasarkan tingkat pemakaian
layanan oleh masyarakat (pendanaan
berbasis formula, pembayaran kapitasi
berdasarkan pilihan penyedia layanan
oleh pengguna, dan sebagainya).
Kembangkan strategi nasional
berdasarkan pengalaman yang
diperoleh. (CP)
18. Dorong pemerintah di daerah terpencil Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan,
untuk melakukan kontrak dengan
pemerintah provinsi dan kabupaten
LSM dalam menyediakan layanan
kesehatan dasar dan pendidikan dasar
bagi masyarakat. Kembangkan strategi
national berdasarkan pengalaman
yang diperoleh.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
95
Rekomendasi
Tindakan
19. Lakukan tinjauan terhadap standar
dan peraturan yang ada dan berlaku
Lembaga
Menteri Pendidikan dan Menteri
Kesehatan
saat ini yang mungkin menghambat
daerah terpencil untuk menyediakan
layanan kepada masyarakat
miskin (misalnya, peraturan yang
mengharuskan setiap sekolah harus
Bab 6
memiliki enam guru dan ketentuan
yang mengatakan bahwa paramedis
tidak dapat memberikan layanan
kesehatan sesuai peraturan asuransi
kesehatan nasional).
Menggunakan
20. Pertegas ketentuan UU No. 22/1999
kekuatan masyarakat
tentang tugas dan tanggung jawab
pengguna untuk
Bank Pembangunan Daerah (BPD) (CP)
Menteri Dalam Negeri
meningkatkan layanan
masyarakat yang
berbeda
21. Alokasikan dana yang memadai
Pemerintah kabupaten/kota, Menteri
pada desa/kelurahan atas tugas yang
Kesehatan, Menteri Pendidikan, Menteri
dibebankan kepada mereka, dengan
Pekerjaan Umum
diawasi oleh lembaga perwakilan dan
proses yang benar.
22. Lakukan (pilot project) untuk
pemberian bantuan tunai langsung
bersyarat melalui pendekatan berbasis
individu dan masyarakat.
96
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan,
Menteri Pendidikan
Epilog
Selama pembahasan dengan Pemerintah, tampak jelas bahwa ada banyak permasalahan kebijakan yang belum bisa
dijawab tuntas dalam laporan ini. Kami mengakui hal tersebut. Laporan ini bertujuan untuk memberikan tinjauan
terhadap permasalahan yang paling penting yang menghambat kemajuan dalam upaya penyediaan layanan
masyarakat di Indonesia. Untuk itu, akan diperlukan penelitian lebih dalam untuk melaksanakan rekomendasi ini
sesuai dengan permasalahan kebijakan yang ada sekarang.
Secara khusus, Pemerintah masih perlu melakukan upaya lebih lanjut untuk:
1. Melakukan penilaian terhadap dampak dari program bantuan operasional sekolah (BOS) yang ada sekarang.
Apakah program yang saat ini dikelola oleh pusat berhasil menurunkan pengeluaran pada pemerintah daerah
di bidang pendidikan? Apakah hal ini mampu menurunkan besarnya uang sekolah bagi anak-anak miskin sesuai
peruntukan program ini? Apakah program ini telah menghasilkan peningkatan jumlah anak yang diterima?
2. Memahami bagaimana menbentuk kemitraan yang efektif antara sektor publik dengan sektor swasta dalam
pemberian layanan masyarakat.
3. Memutuskan alokasi secara optimal atas sumber daya publik. Bagaimana meningkatkan anggaran pendidikan
menjadi 20% dari APBN sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang? Bagaimana mengalokasikan
pengeluaran di bidang kesehatan untuk kebutuhan pembiayaan untuk program-program pencegahan, promosi
dan kuratif?
4. Memahami insentif yang efektif bagi guru untuk meningkatkan kinerja mereka. Apakah ketentuan yang
ditentukan dalam peraturan reformasi keguruan yang baru diterbitkan (sertifikat dan kenaikan gaji) sudah
berjalan efektif?
5. Mengumpulkan bukti mengenai efisiensi terhadap pengadaan barang dari pusat diabandingkan dengan
pengadaan yang dilakukan di tingkat daerah, seperti pengadaan obat-obatan.
6. Memahami seberapa efektif penyediaan layanan masyarakat untuk daerah terpencil.
7. Merancang sistem informasi yang sesuai untuk mendukung desentralisasi pelayanan masyarakat dan mendukung
pembuatan kebijakan berbasis bukti implementasi program.
8. Memahami alasan-alasan yang menyebabkan peningkatan kasus gizi buruk.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
97
Daftar Pustaka
Antlov, H. 2003. “Village Government and Rural Development in Indonesia: The New Democratic Framework.” Bulletin
of Indonesian Economic Studies 39-2: 193–214.
Aran, M., M. Mochtar 2006a. “Benefit Incidence of Health Expenditures in Decentralized Indonesia” Working Paper,
World Bank. Jakarta.
Aran, M., M. Mochtar 2006b. “Benefit Incidence of Education Expenditures in Decentralized Indonesia” Working Paper,
World Bank. Jakarta.
Arifianto, A., R. Marianti, S. Budiyati, and E.S.M. Tan. 2005. “Making Services Work for the Poor in Indonesia:A Report on
Health Financing Mechanisms in Kabupaten Tabanan, Bali: A Case Study”, SMERU field report, Jakarta. www.
smeru.or.id
Badan Pusat Statistik and ORC Macro. 2003. Indonesia Demographic and Health Survey 2002-2003. Calverton, Maryland, USA: BPS and ORC Macro.
Barber, S.L., P.J. Gertler, P. Harimurti 2005. “Promoting high quality care in Indonesia: Roles for public and private
ambulatory care providers”, working paper, Institute of Business and Economic Research, University of California, Berkeley.
Bernhart, M. 1998a. “Briefing Paper Quality Assurance in HP IV”, Report, World Bank office Indonesia, Jakarta
Bernhart, M. 1998 b. “Quality Assurance.”, Report, World Bank office Indonesia, Jakarta
Bjork, C. 2005. Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bureaucracy. New York: Routledge.
Case, A., and A. Deaton. 1998. “Large Cash Transfers to the Elderly in South Africa.” Economic Journal 108(450): 1330–
61.
Chomitz, K. M., G. Setiadi, A. Azwar, N. Ismail,Widiyarti 1998. “What do Doctors Want? Developing Incentives for
Doctors to Serve in Indonesia’s Rural and Remote Areas.” Policy Research Working Paper 1888, World Bank,
Washington DC.
Coady, D., M. Grosh, and J. Hoddinott . 2004. “Targeting Outcomes Redux.” World Bank Economic Review. 19(1):6185.
Duflo, E. 2001. “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an
Unusual Policy Experiment.” American Economic Review 91-4(4): 795–813.
Filmer, D, S. Lieberman, and D. Ariasingam. 2002. “Indonesia and Education for All.” Development Research Group and
Human Development Unit of East Asia Region, World Bank Washington, D.C. Processed.
Frankenberg, E., W. Suriastini, and D. Thomas.2004. “Can Expanding Access to Basic Health Care Improve Children’s
Health Status? Lessons from Indonesia’s Midwife in the Village Program.” eScholarship Repository, University
of California, ,.Los Angeles. http://repositories.cdlib.org/ccpr/olwp/ccpr-018-04/
Gaduh, A. and L. Kuznezov 2006 “Health Insurance Reform in Jembrana District, Bali Province” Background case study
for Making Services Work for the Poor Report, World Bank, Jakarta
Gertler, P.L., and J.W. Molyneaux. 1994. “How Economic Development and Family Planning Programs Combined to
Reduce Indonesian Fertility.” Demography 31-(1): 33–63.
Gertler,P.J. and and S.L. Barber.2002. “Child Health and the Quality of Medical Care.”Working Paper. Haas School of Busi-
98
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
ness, University of California, Berkely. http://faculty.haas.berkeley.edu/gertler/working_papers/02.28.02_
childheight.pdf
Hanushek, E. A. (2003). “The Evidence on Class Size.” in The economics of schooling and school quality. Elgar Reference
Collection. International Library of Critical Writings in Economics, vol. 159. Cheltenham, U.K. and Northampton, Mass.
INDOPOV (Indonesia Poverty) team. [2006] “Poverty Assessment.” World Bank Office Jakarta.
Kuzenezov, L., and J. I. Ginting. 2005. “The Community Block Grant Program in Blitar City, East Java Province.” INDOPOV
World Bank Office Jakarta. Background case study for Making Services Work for the Poor Study, World Bank,
Jakarta. Available online at http://www.innovations.harvard.edu/showdoc.html?id=6295
Kuzenezov, L , J.I. Ginting, G. Kelik and A. Endarso 2005b. “Improving Budget Transparency in Bandung City, West
Java Province.” Background case study for Making Services Work for the Poor Study, Jakarta. Available online at
http://www.innovations.harvard.edu/showdoc.html?id=6295
Lanjouw, P., M. Pradhan, F. Saadah, H. HaneenSayed, and R. Sparrow. 2001. “Poverty, Education, and Health in Indonesia: Who Benefits from Public Spending?” World Bank Policy Research Working Paper No. 2739. World Bank.
Washington, DC.
Leisher, S.H., S. Nachuk. 2006 “Making Services Work for the Poor: A Synthesis of Nine Case Studies from Indonesia.”,
World Bank, Jakarta.
Lieberman, S. and J. Capuno and H. Van Minh 2005. “Decentralizing Health: Lessons from Indonesia, the Philippines,
and Vietnam,” in East Asia Decentralizes (Making Local Government Work). The World Bank, Washington
DC.
McGinn, N. 1980 Education and development in Korea, Harvard University Press, 1980, Cambridge.
Ministry of National Education, and Ministry of Religion. 2005. “Implementation Guidelines on Operational Aid for
Schools: Compensation for Fuels Subsidy Decrease Program PKPS-BBM in the Field of Education.” Jakarta.
Morga and Manuel 2003. “Study of the Recurrent Budget in the Health Sector in Subang District, Jakarta.” Report to
the World Bank Office.
Mukherjee, N. 2005. “Qualitative Study: Making Services Work for the Poor. Consultations with the Poor at Eight Sites
in Indonesia.” World Bank WSP, Washington, DC.
Mullis, I.V.S., M.O. Martin, E.J. Gonzalez, and S.J. Chrostowski. 2004. “TIMSS 2003 International Mathematics Report.”
TIMSS & PIRLS International Study Center, Lynch School of Education, Boston College, Chestnut Hill, MA.
Nachuk S., S. Hopkins Leisher, A.B. Gaduh. 2005. “Creating Learning Communities in Polman District, West Sulawesi
Province.” Background case study for Making Services Work for the Poor Report, World Bank, Jakarta
Nazmul C., J. Hammer, M. Kremer, K. Muralidharan, and F. H. Rogers. 2005. “Missing in Action: Teacher and Health
Worker Absence in Developing Countries.” Forthcoming in Journal of Economic Perspectives.
Newhouse, D., and K. Beegle 2005. “The Effect of School Type on Academic Achievement: Evidence from Indonesia.”
World Bank Policy Research Working Paper No. 36043604, Washington, DC.
Olken, B.A. 2005. Monitoring Corruption: Evidence from a Field Experiment in Indonesia. NBER Working Paper 11753.
Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research.
Parker E. and Roestam A., 2002 “The Bidan di desa program: a literature and policy review” Mimeo, JHPIEGO Corpora-
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
99
tion, CEDPA, JHU/CCP, and PATH, Baltimore.
Rawlings, L.B., and G.M. Rubio. 2005. “Evaluating the Impact of Conditional Cash Transfer Programs.” World Bank Research Observer 20-(1):29-55., pg. 29-55.
Paul, S. (1999). “Making Voice Work: The Report Card on Bangalore’s Public Service.”, Policy Research Working Paper
Series nr 1921, World Bank, Washington DC.
Pee S. de, E Martini, R. Moench-Pfanner, M.A. Firdaus, A Stormer, S. Halati, M. Sari, J. Palmer, S. Kosen and M.W. Bloem
(2004) “Nutritional and Health Trends in Indonesia 1999-2003. Nutrition & Health Surveillance System Annual Report 2003”, Jakarta, Indonesia, Helen Keller International.
Pritchett, L. and D. Filmer 1999 “What education production functions really show: a positive theory of education expenditures” Economics of Education Review 18 (1999) pg 223–239.
Ridao-Cano, C., and D. Filmer. 2004. “Evaluating the Performance of SGP and SIGP: A Review of the Existing Literature
and Beyond.” Working Paper Series 2004-3, World Bank, Human Development Sector Unit, East Asia and
Pacific Region, Washington, D.C.
Sasongko, A. 2004. “NGO and Private Sector Collaboration in Improving the Health of Primary School Children in
Jakarta, Indonesia.” INDES Japan Program, Workshop draft.
Sumarto, S., A. Suryahadi, and W. Widyanti. 2000. “Safety Nets and Safety Ropes: Who Benefited from Two Indonesian
Crisis Programs, the ‘Poor’ or the ‘Shocked’?” World Bank Policy Research Working Paper 436, Washington,
D.C.
Tan, E.S.M., C.C. Kusharto, S. Budiyati 2005. “Vouchers for Midwife Services in Pemalang District, Central Java Province.”
Background case study for Making Services Work for the Poor Study, Jakarta. Available online at: http://www.
innovations.harvard.edu/showdoc.html?id=6295
Torrens, A. 2005. “Findings on Post-Construction Economic Impact Analysis.” ,report, Bappenas, Jakarta, 2005. TF05382¬IND
Van de Walle, D. 1994. “The Distribution of Subsidies through Public Health Services in Indonesia, 1978-87.” The World
Bank Economic Review. 8(2):279-309.
UNICEF. 2005. “WHO/UNICEF Review of National Immunization Coverage 1980-2004”, Geneva. Available online at
http://www.childinfo.org/areas/immunization/database.php
UPDATE Project. 2002. “Urban Poor Data Acquisition and Technical Evaluation.” United States Asia Environmental
Partnership (USAEP), FORKAMI, and Research Triangle Institute.
World Bank. 2000. “Priorities for Civil Service Reform.” Draft Report. World Bank, Jakarta.
______. 2001. “Filipino Report Card on Pro-Poor Services” Report No. 22181-PH, World Bank, Washington DC
———. 2003a. “Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure Review Overview Report.” R.N. 26191-IND,
World Bank, Jakarta.
———. 2003b. World Development Report 2004: Making Services Work for Poor People. Washington, D.C.: World
Bank.
———. 2004a. Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization. Washington, D.C.: World Bank.
———. 2004b. Indonesia: Averting an Infrastructure Crisis: A framework for Policy and Action, World Bank, Jakarta.
_____. 2004c. “Improving Indonesia’s Health Outcomes.”, World Bank, Jakarta.
100
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
———. 2005a. “Civil Service Reforms at the Regional Level: Opportunities and Constraints.” Jakarta Office.
———. 2005b. “Decentralization, Service Delivery, and Governance in Indonesia: Findings from the Governance and
Decentralization Survey GDS 1+/2004.” Jakarta Office.
———. 2005c. “The Effectiveness of World Bank Support for Community-Based and -Driven Development.” Operation
Evaluation Department, Washington, D.C.
______.2005d “Reducing Poverty on a Global Scale: Learning and Innovating for Development: Findings from the
Shanghai Global Learning Initiative”,
edited by Blanca Moreno-Dodson, World Bank, Washington DC (see also see http://info.worldbank.org/etools/
reducingpoverty/Conference.html).
______. 2005e Indonesia - Water Use Rights Study - Second Stage (Vol. 1 and 2): Main Report, World Bank, Jakarta
______. 2005f “Civil Service Diagnostic and Road Map for Reform (West Sumatera)”, report prepared for World Bank
Office, Jakarta. October 2005, page.4.
Volume No: 1 of 2
———. 2006. “Teacher Employment and Deployment Study.”, Mimeo, World Bank. Jakarta
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
101