Untitled - BPTP Sulawesi Selatan
Transcription
Untitled - BPTP Sulawesi Selatan
Prosiding EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL “Akselerasi Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan” Penyunting : Fadjry Djufry Djafar Baco Jermia Limbongan Sahardi Matheus Sariubang Andi Ella Peter Tandisau M. Basir Nappu Andi Baso Lompengeng Ishak BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Prosiding EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL Redaktur Pelaksana : Ramlan Sunanto Novia Qomariyah Asriyanti Ilyas Sarintang Andi Faisal Suddin Erina Septianti Desain Perwajahan : Syamsul Bachrie Andi Wahyudi Andry Priyadharmadi P Diterbitkan Oleh : Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Alamat redaksi : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar, 90243 Telp : (0411) 556449 Fax : (0411) 554552 Email : [email protected] Website : sulsel.litbang.deptan.go.id KATA PENGANTAR Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) telah menyelenggarakan Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan dengan tema “Akselerasi Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan” di Makassar pada tanggal 19 - 21 Juni 2013. Tujuan Ekspose dan Seminar Nasional ini adalah menjaring ide dan gagasan yang implementatif dalam mengatasi permasalahan di sektor pertanian sekaligus dapat dijadikan sebagai merumuskan sumber referensi bagi seluruh pengguna teknologi kebijakan perencanaan dan implementasi dalam penelitian/pengkajian/ pengembangan/diseminasi mengenai sektor pertanian ramah lingkungan berkelanjutan dan berwawasan agribisnis. Peserta Ekspose dan Seminar Nasional terdiri dari pengambil kebijakan, peneliti, penyuluh, dan stakeholder lainnya. Adapun makalah yang dipresentasikan dalam bentuk oral maupun poster sebanyak 183 makalah. Makalah terdiri atas 8 makalah utama, 37 makalah kelompok peternakan, 46 makalah kelompok integrasi tanaman-ternak, 36 makalah kelompok tanaman pangan, 6 makalah kelompok hortikultura, 7 makalah kelompok pekebunan, 3 makalah kelompok Sumber Daya Lahan, 28 makalah kelompok sosial ekonomi pertanian, dan 7 makalah kelompok pascapanen. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada berbagai pihak yang telah berperan aktif, sehingga prosiding ini dapat terwujud dan dapat disebarluaskan ke petani (KTNA, Kelompok tani), penyuluh pertanian, peneliti maupun pengambil kebijakan dan stakeholder lainnya. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan berbagai pihak yang berkepentingan dalam penelitian dan pengembangan pertanian khususnya di Sulawesi Selatan. Makassar, 14 Januari 2014 Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Dr. Ir. Agung Hendriadi, M.Eng NIP. 19610802 198903 1 011 i ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...................................................................................................................i DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii ARAHAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN ......................................................................................................................... xix SAMBUTAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PADA ACARA EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL INOVASI PETERNAKAN RAMAH LINGKUNGAN TAHUN 2013 ................................................................................................ xxi RUMUSAN EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL PETERNAKAN RAMAH LINGKUNGAN ..................................................................................................................... xxiii BUKU I RUMINANSIA BESAR KERAGAAN TEKNOLOGI DALAM PELAKSANAAN m-P3MI DI KABUPATEN PINRANG Repelita Kallo, Matheus Sariubang, dan Nurdiah Husnah .................................................. 1 KUALITAS PUPUK ORGANIK KOTORAN SAPI PADA BERBAGAI JENIS DAN TAKARAN PEMBERIAN PAKAN LOKAL Titin Sugianti, Prisdiminggo, dan Tanda Sahat S. Panjaitan ............................................. 10 LESSON LEARNED PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI KABUPATEN BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG: PERMASALAHAN DAN SOLUSI Suyatno dan Risfaheri.......................................................................................................... 18 MANAJEMEN PAKAN DALAM SUB SEKTOR PETERNAKAN UNTUK MEWUJUDKAN PERTANIAN BERKELANJUTAN Harmini1, Andi Faisal Suddin2, dan Sarintang2 ................................................................... 26 PENGGUNAAN LEGUME POHON TURI (Sesbania grandiflora) SEBAGAI PAKAN SAPI PENGGEMUKAN DI PULAU LOMBOK Tanda Panjaitan dan Prisdiminggo ..................................................................................... 31 PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA D a h y a ................................................................................................................................ 37 PENGEMBANGAN PEMANFAATAN BUNGKIL INTI SAWIT (BIS) UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI SUSU (SEBESAR 20%) SAPI PERAH DI JAWA BARAT Eriawan Bekti1, Nandang Sunandar1, Yeni Widiawati2, Ahmad Hanafiah1, Erni Gustiani1, dan Sumarno Tedy1 .................................................................. 48 MODEL KELEMBAGAAN PRODUKSI COMPLETE FEED YANG DIBANGUN SECARA PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHA SAPI PERAH DI KABUPATEN ENREKANG Syahdar Baba1, Ambo Ako1, Anis Muktiani2, dan M.I. Dagong1 ........................................ 58 iii PENGARUH LIMA TARAF PEMUPUKAN NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HIJAUAN RUMPUT Setaria, Stylosanthes DAN CAMPURAN Setaria/Stylosanthes Andi Ella ................................................................................................................................ 66 PEMBERIAN PAKAN SAPI PERBIBITAN DAN PENGGEMUKAN BERBASIS PELEPAH DAUN SAWIT DI KALIMANTAN SELATAN Suryana, A. Darmawan, dan Muhammad Yasin ................................................................. 71 PENGEMBANGAN SAPI BERBASIS MASYARAKAT MENDUKUNG PROGRAM SEJUTA RANCH DI PAPUA BARAT Studi Kasus di Distrik Bomberay Kabupaten Fak-Fak Entis Sutisna dan Alimuddin................................................................................................ 81 EVALUASI PERAGAAN TEKNOLOGI FLUSHING UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI INDUK SAPI POTONG DI JAWA BARAT (Studi Kasus pada Peragaan Teknologi Flushing 2012 di Kabupaten Subang) Yayan Rismayanti, Nandang Sunandar, dan Sukmaya ...................................................... 93 KAJIAN PEMANFAATAN JERAMI PADI DAN BAGAS TEBU SEBAGAI PAKAN SUBTITUSI RUMPUT TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI TERNAK SAPI BALI Andi Ella ................................................................................................................................ 99 KAJIAN PENGGEMUKAN SAPI POTONG UNTUK MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO Serli Anas, Muh. Asaad, dan Rosdiana .............................................................................. 104 KAJIAN SUPLEMENTASI DAN PENGGUNAAN PGF2α DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SAPI BALI DI PULAU TIMOR Ati Rubianti, Amirudin Pohan, dan Paskalis Th. Fernandez ............................................ 110 KELAYAKAN TEKNIS DAN FINANSIAL INTRODUKSI TEKNOLOGI PAKAN UNTUK PENGGEMUKAN SAPI MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING, SAPI DAN KERBAU (PSDSK) DI KABUPATEN BANTAENG Armiati dan Baso Aliem Lologau ....................................................................................... 121 PELUANG PENGEMBANGAN USAHA PENGGEMUKAN DAN PEMBIBITAN MELALUI PENDEKATAN KANDANG KOMUNAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI DI PULAU TIMOR Yusuf, Sophia Ratnawaty, dan A. Pohan .......................................................................... 130 PEMANFAATAN KERBAU SEBAGAI SUMBER TENAGA DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP BIAYA PENGOLAHAN TANAH PADI SAWAH Jonni Firdaus dan Andi Dalapati ....................................................................................... 141 PEMANFAATAN LIMBAH KULIT KOPI SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN REJANG LEBONG Wahyuni Amelia Wulandari, dan Zul Efendi ..................................................................... 151 PEMBERIAN DAUN LAMTORO (Leucaena leucocepala) UNTUK MENSUPLAI KEBUTUHAN PROTEIN SAPI BRACHMAN PADA MUSIM KEMARAU DI PULAU SUMBA NUSA TENGGARA TIMUR Ulfah Trifani Agustin .......................................................................................................... 158 PENGGUNAAN BAHAN LOKAL UNTUK PENGOBATAN SAPI POTONG DI PETERNAKAN RAKYAT KABUPATEN BUNGO Sari Yanti Hayanti, Zubir, dan Masito ............................................................................... 172 iv PENINGKATAN KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG MELALUI PERBAIKAN PAKAN (FLUSHING) DI JAWA BARAT Sukmaya, Nandang Sunandar, dan Yayan Rismayanti .................................................... 180 PERAN INOVASI TEKNOLOGI SAPI POTONG DAN KERBAU DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU (PSDSK) DI KALIMANTAN SELATAN Suryana dan Muhammad Yasin ......................................................................................... 186 PERANAN PETERNAKAN SAPI POTONG BAGI PEREKOMIAN WILAYAH DAN PETANI LAHAN KERING DI NTT Y. Ngongo, Yusuf dan A. Pohan ......................................................................................... 201 PERBAIKAN LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH MELALUI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI Zikril Hidayat, Asmarhansyah, dan Risfaheri ................................................................... 209 PERFORMAN INDUK SAPI LOKAL DONGGALA YANG DIPELIHARA SECARA EKSTENSIF DI LEMBAH PALU SULAWESI TENGAH Soeharsono, M. Takdir, dan F.F. Munier ........................................................................... 218 PERSEPSI PETANI TERHADAP LEGUME POHON SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI PENGGEMUKAN: STUDI KASUS UNTUK TANAMAN TURI DI PULAU LOMBOK Nurul Hilmiati, Tanda Panjaitan, dan Prisdiminggo Canggai .......................................... 225 POLA PENGEMBANGAN TANAMAN PAKAN DAN PENGELOLAAN PAKAN UNTUK MENUNJANG USAHATANI TERNAK SAPI YANG PRODUKTIF DAN BERKELANJUTAN DI NUSA TENGGARA TIMUR Debora Kana Hau dan Jacob Nulik .................................................................................... 230 POTENSI DAN MANFAAT LIMBAH KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI SUMBER PAKAN ALTERNATIF PADA TERNAK Ririen Indriawaty Altandjung1 dan Erina Septianti2 ........................................................ 238 RESPON PRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE TERHADAP SUPLEMENTASI PROBIOTIK DAN UMB DI KELOMPOK TERNAK MEKARLAKSANA KABUPATEN BANDUNG Erni Gustiani, Nandang Sunandar, dan Sukmaya ............................................................ 247 STRATEGI PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG RAMAH LINGKUNGAN DI DAERAH PERKOTAAN DI KALIMANTAN TIMUR (Studi Kasus di Gunung Binjai, Kota Balikpapan) Nur Rizqi Bariroh dan M Hidayanto .................................................................................. 253 SUPLEMENTASI PAKAN LOKAL DALAM RANSUM SAPI POTONG YANG SEDANG DIGEMUKKAN Daniel Pasambe, M. Sariubang, dan A. Nurhayu .............................................................. 259 TEKNOLOGI SPESIFIK LOKASI MENDUKUNG PERCEPATAN PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI BERKELANJUTAN DI SUMATERA UTARA Tatang M. Ibrahim ............................................................................................................. 267 USAHA PERBIBITAN SAPI POTONG RAMAH LINGKUNGAN (STUDI KASUS KELOMPOK PETERNAK NGUDIMULYO, PLERET, BANTUL) Erna Winarti dan Supriadi ................................................................................................. 276 v IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GH PADA POPULASI KAMBING KACANG DI KABUPATEN JENEPONTO DENGAN TEKNIK PCR-RFLP Yulianty1, Lellah Rahim2, dan Muhammad Ihsan Andi Dagong2 ..................................... 281 RUMINANSIA KECIL EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK KAMBING DITINJAU DARI SEGI PENERAPAN SINKRONISASI ESTRUS Matheus Sariubang dan Amir ............................................................................................ 289 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS DAN PENERIMAAN USAHA TERNAK KAMBING DI DAERAH KERING LOMBOK TIMUR Farida Sukmawati1, Novia Qomariyah2, dan Sasongko W. Rusdianto1 .......................... 299 PENGAWETAN PAKAN SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK DI PULAU TIMOR, NUSA TENGGARA TIMUR Paskalis Th.Fernandez, Ati Rubianty, dan Medo Kote ..................................................... 310 IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN IGF-1 PADA POPULASI KAMBING KACANG DI KABUPATEN JENEPONTO DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PCR-RFLP Ridha tunnisa1 , Lellah Rahim 2, Muhammad Ihsan Andi Dagong2 ................................. 321 KERAGAMAN GEN PITUITARY TRANSCRIPTION FACTOR (PIT-1 LOKUS PSTI) PADA POPULASI KAMBING LOKAL DI PROVINSI SULAWESI SELATAN M.I.A. Dagong1, L. Rahim1, Sri Rachma A.B1, K.I. Prahesti1 dan N. Purnomo2 ......................... 328 KINERJA REPRODUKSI BEBERAPA JENIS KAMBING BETINA DALAM KAWIN SILANG DENGAN KAMBING BOER MELALUI TEKNIK INSEMINASI BUATAN Bachtar Bakrie, Neng Risris Sudolar, dan Umming Sente ............................................... 336 DUKUNGAN PEMBIBITAN TERNAK SAPI DAN PENGGEMUKAN TERHADAP PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI LAHAN KERING DI DESA OEBOLA KABUPATEN KUPANG Medo Kote dan Yohanes Leki Seran .................................................................................. 347 PEMANFAATAN KULIT BUAH KOPI SEBAGAI CAMPURAN PAKAN KOMPLIT KAMBING BOERKA SEDANG TUMBUH Kiston Simanihuruk, Antonius, dan M. Syawal ................................................................ 354 PENGARUH PEMBERIAN SILASE DAUN SINGKONG TERHADAP KENAIKAN BERAT BADAN HARIAN TERNAK KAMBING DI DESA NGESTIRAHAYU KECAMATAN PUNGGUR KABUPATEN LAMPUNG TENGAH Marsudin Silalahi dan Suryani ........................................................................................... 364 PENINGKATAN MUTU TERNAK KAMBING MELALUI KUALITAS KONDISI KANDANG DI LAMASI PANTAI, KABUPATEN LUWU SULAWESI SELATAN Hasnah Juddawi1 dan Suardy Mandung2............................................................................ 370 PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK MELALUI DEMONSTRASI TEKNOLOGI TERNAK KAMBING DI DESA HAMBAPRAING KABUPATEN SUMBA TIMUR Paskalis Fernandes, Medo Kote, dan Yohanes Leki Seran ............................................. 380 POTENSI PENGEMBANGAN KELINCI DI PERKOTAAN DALAM MENDUKUNG KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Andi Saenab1 dan A. Nurhayu2 .......................................................................................... 388 vi DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN Andi Baso Lompengeng Ishak1, A. Nurhayu1, dan J. A. Syamsu2 ................................... 394 WAFER PAKAN KOMPLIT LIMBAH PASAR SEBAGAI BAHAN PAKAN KAMBING Andi Saenab1 dan A. Nurhayu2 .......................................................................................... 403 TERNAK UNGGAS INTRODUKSI PAKAN MURAH AYAM BURAS BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL TERHADAP TINGKAT KEUNTUNGAN PETERNAK DI KABUPATEN MAROS Abigael Rante Tondok, Novia Qomariyah dan Amirullah ................................................ 412 PEMANFAATAN ELA SAGU (Metroxylon Sp) FERMENTASI DAN NON FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKTIVITAS AYAM BURAS Ulfah T.A. ............................................................................................................................ 420 PENERAPAN DAN KENDALA SISTEM BIOSEKURITI TERNAK UNGGAS DI SEKTOR TIGA DAN EMPAT DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA) Desmayati Zainuddin1, Tri Wardhani1, I Wayan T Wibawan2 dan Isbandi1 .............................................................................................................................. 426 PENGARUH SUPLEMENTASI PROBIOTIK PADA PAKAN AYAM POTONG TERHADAP BERAT HIDUP, BERAT KARKAS DAN LEMAK ABDOMEN Erpan Ramon dan Wahyuni Ameliawulandari .................................................................. 438 PERFORMA REPRODUKSI ITIK ALABIO, ITIK CIHATEUP DAN PERSILANGANNYA P.R Matitaputty1 dan P.S Hadjosworo2 ............................................................................ 444 INTEGRASI ALTERNATIF TEKNOLOGI SPESIFIK BUDIDAYA JAGUNG SEBAGAI SUMBER PENYEDIA PAKAN TERNAK DI LAHAN KERING NUSA TENGGARA BARAT Baiq Tri Ratna Erawati1 dan Andi Takdir M2 ..................................................................... 453 APLIKASI FORMULASI PAKAN SEIMBANG UNTUK MENDUKUNG PETERNAKAN ITIK PETELUR RAMAH LINGKUNGAN Agung Prabowo dan Aulia Evi Susanti .............................................................................. 462 APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN JERAMI PADI SEBAGAI PAKAN DALAM MENDUKUNG INTEGRASI SAPI POTONG DAN PADI Jasmal A. Syamsu, Hikmah M.Ali, dan Muhammad Yusuf ............................................... 471 BUDIDAYA JAGUNG UNTUK PRODUKSI BIOMAS PAKAN Syafruddin .......................................................................................................................... 479 DINAMIKA DAN KERAGAAN SISTEM INTEGRASI TERNAK TANAMAN BERBASIS PADI, JAGUNG DAN SAWIT DI KALIMANTAN SELATAN Eni Siti Rohaeni1 dan Muhammad Najib2 ......................................................................... 484 vii ESTIMASI PRODUKSI HIJAUAN SEBAGAI PAKAN TERNAK UNTUK PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DALAM SISTEM USAHATANI DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN Eni Siti Rohaeni1 dan Muhammad Najib2 ......................................................................... 496 FERMENTASI KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI BAHAN UTAMA PENYUSUNAN PAKAN TAMBAHAN UNTUK TERNAK SAPI F.F. Munier, M. Takdir, Nurmasitah Ismail, dan Soeharsono .......................................... 505 IMPLEMENTASI INOVASI TEKNOLOGI INTEGRASI TANAMAN-TERNAK DI LAHAN KERING YOGYAKARTA MENDUKUNG TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN Supriadi, Gunawan, dan E. Winarti ................................................................................... 513 IMPLEMENTASI SISTEM MANAJEMEN PAKAN BERKELANJUTAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KALIMANTAN TENGAH Adrial................................................................................................................................... 521 INOVASI PAKAN TERNAK SAPI POTONG RAMAH LINGKUNGAN UNTUK SWASEMBADA DAGING SAPI Gunawan, Supriadi, dan Erna Winarti .............................................................................. 536 INOVASI TEKNOLOGI DALAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN – TERNAK PADA PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI SULAWESI BARAT Ida Andriyani, Hatta Muhammad, Sarpina ....................................................................... 542 INTEGRASI TERNAK DAN TANAMAN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS LAHAN BEKAS PENAMBANGAN BATUBARA RAMAH LINGKUNGAN M. Hidayanto, M. Chary Septyadi, dan Yossita Fiana....................................................... 551 INTEGRASI TERNAK KAMBING PADA LAHAN PERTANAMAN KUBIS Syamsu Bahar1, Novia Qomariyah2 dan Baso Aliem Lologau2......................................... 559 INTEGRASI TERNAK KAMBING PADA PERKEBUNAN KAKAO Syamsu Bahar1, Novia Qomariyah2 dan Hatta Muhammad2 ........................................... 568 INTEGRASI TERNAK SAPI DAN PEMANFAATAN LIMBAH PERKEBUNAN RAMAH LINGKUNGAN DI PROVINSI ACEH Nani Yunizar, Elviwirda dan Yenni Yusriani ..................................................................... 578 INTEGRASI USAHATANI JAGUNG DENGAN TERNAK SAPI SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PETANI Yohanes G. Bulu ................................................................................................................. 586 JENIS RUMPUT DAN FREKUENSI PEMBERIAN PADA TERNAK DI KAWASAN INSEMINASI BUATAN (IB) KABUPATEN BUNGO DAN TEBO PROVINSI JAMBI Sari Yanti Hayanti dan Zubir ............................................................................................. 594 JERAMI PADI SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF TERNAK DI KABUPATEN BUNGO Masito,Endang Susilawati dan Zubir ................................................................................ 603 KAJIAN INTEGRASI TANAMAN JAGUNG DAN PENGGEMUKAN SAPI BALI DI KABUPATEN BOALEMO GORONTALO Dwi Rohmadi dan Muh. Asaad........................................................................................... 609 KAJIAN SISTEM INTEGRASI PADI-ITIK PADA LAHAN SAWAH IRIGASI DENGAN DUKUNGAN SUMBER DAYA LOKAL DI PAPUA BARAT Alimuddin, Surianto Sipi, dan Halijah ............................................................................... 615 viii KAPASITAS PETERNAK PADA TEKNOLOGI PENGOLAHAN JERAMI PADI SEBAGAI PAKAN DALAM MENDUKUNG INTEGRATED FARMING SYSTEM POLA SAPI POTONG DAN PADI Agustina Abdullah, Hikmah M. Ali, dan Jasmal A. Syam ................................................. 622 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN Kasus : Sistim Pertanian Terintegrasi (SIMANTRI) Tanaman dan Ternak pada Zona Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah I Ketut Kariada ................................................................................................................... 628 KELAYAKAN TEKNOLOGI SILASE RUMPUT LAPANGAN DALAM PENGGEMUKAN SAPI BALI DI KOTA BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR Nur Rizqi Bariroh, Retno Widowati, M. Rizal, dan M. Hidayanto .................................... 640 PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK SAPI SEBAGAI PUPUK ORGANIK MENDUKUNG INTEGRASI KAKA0 – TERNAK DI KABUPATEN JAYAPURA Usman, M. Nggobe, dan B.M.W. Tiro ................................................................................ 645 PENDEKATAN PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN BERKELANJUTAN MELALUI SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK Wihardjaka, Mulyadi, dan Prihasto Setyanto ................................................................... 653 PENDUGAAN EMISI METANA DAN NITROUS OKSIDA DARI AKTIFITAS PETERNAKAN DI PROVINSI JAMBI Zubir1 dan Lindawati2 ........................................................................................................ 664 PENGAWETAN PAKAN SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK DI PULAU TIMOR, NUSA TENGGARA TIMUR Paskalis Th. Fernandez, Ati Rubianty, dan Medo Kote .................................................... 673 PENGELOLAAN BIOGAS DARI INTEGRASI TANAMAN PANGAN DAN TERNAK SAPI PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN Mulyadi, A. Wihardjaka, dan Prihasto Setyanto ............................................................... 685 PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG MELALUI PENDEKATAN SISTEM INTEGRASI TERNAK – PADI DI SULAWESI SELATAN Daniel Pasambe dan A. Nurhayu ...................................................................................... 694 PENGKAJIAN INTEGRASI SAPI POTONG DENGAN TANAMAN JAGUNG DI KABUPATEN JAYAPURA Usman, M. Nggobe, dan B.M.W. Tiro ................................................................................ 702 PENYEDIAAN PAKAN TERNAK RUMINANSIA MELALUI MODIFIKASI SISTEM PERTANAMAN JAGUNG Syafruddin dan Saidah ....................................................................................................... 714 PERANAN TERNAK SAPI DALAM SISTEM USAHA TANI TANAMAN PADI SAWAH DI TULANG BAWANG Elma Basri, Yulia Pujiharti, dan M. Silalahi ...................................................................... 722 PERFORMANSI VARIETAS UNGGUL CABAI MERAH BERBASIS PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK LIMBAH TERNAK DI KABUPATEN MAROS SULAWESI SELATAN Herniwati dan Abigael Rantetondok ................................................................................. 732 POTENSI DAN PELUANG PEMANFAATAN KULIT KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK, UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI DI SULAWESI TENGGARA Rusdin, Suharno, dan Rusdi .............................................................................................. 740 ix POTENSI BIOMAS DAN LIMBAH TANAMAN JAGUNG TERHADAP KETERSEDIAAN PAKAN TERNAK RUMINANSIA Faesal .................................................................................................................................. 747 POTENSI DAN PELUANG HASIL IKUTAN TANAMAN JAGUNG SEBAGAI PENYEDIA PAKAN TERNAK SAPI DI SULAWESI SELATAN Sunanto, Eka Triana, dan Sarintang ................................................................................. 755 POTENSI DAUN Gliricidia sp SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF UNTUK PEDET SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) LEPAS SAPIH DI KABUPATEN KEBUMEN Pita Sudrajad1, Subiharta1, dan Novia Qomariyah2 ......................................................... 765 POTENSI LAMTORO MERAH (Acacia villosa) SEBAGAI SUMBER PROTEIN DAN PAKAN ANTIMETANOGENIK RAMAH LINGKUNGAN UNTUK TERNAK RUMINANSIA Hadriana Bansi, A. A. Rivaie, dan P.R. Matitaputy ........................................................... 773 POTENSI LIMBAH BEBERAPA VARIETAS JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK DI KABUPATEN TAKALAR Amir dan Muhammad Thamrin .......................................................................................... 780 POTENSI LIMBAH KULIT KAKAO SEBAGAI PELUANG INTEGRASI DENGAN TERNAK KAMBING DI SULAWESI BARAT Ida Andriyani, Hatta Muhammad, dan Sarpina ................................................................ 785 POTENSI TUMBUHAN DI BAWAH TEGAKAN HUTAN PINUS SEBAGAI SUMBER PAKAN RUMINANSIA DI DESA PADASARI KABUPATEN SUMEDANG Indra Heru Hendaru1, Luki Abdullah2, dan Panca Dewi Manu Hara Karti2 ........................................................................................... 794 PRODUKTIVITAS KLON-KLON UBI JALAR MENGHASILKAN DAUN UNTUK PAKAN TERNAK DI KABUPATEN MAMASA, SULAWESI BARAT M. Jusuf1, Demmaelo2, dan Peni Agustianto3 ................................................................... 802 RESPON ANGGOTA KELOMPOK GAPOKTAN DALAM MEMANFAATKAN PUPUK CAIR DARI URINE SAPI POTONG DI KABUPATEN SINJAI S. N. Sirajuddin, K. Kasim, dan I. Rasyid .......................................................................... 813 STRATEGI PENYEDIAAN HIJAUAN PAKAN RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA TERNAK SAPI POTONG Siti Lia Mulijanti, A. Hanafiah , dan N Sunandar .............................................................. 821 STRATEGI PEMENUHAN KEBUTUHAN PAKAN RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA TERNAK SAPI POTONG Siti Lia Mulijanti, N Sunandar, dan Sukmaya ................................................................... 828 TEKNOLOGI PENGOLAHAN PAKAN TERNAK KAMBING BERBAHAN LOKAL LIMBAH BUAH KAKAO UNTUK PEMBERDAYAAN PETANI M-P3MI DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT Sarpina, Hatta Muhammad, dan Ida Andriani ................................................................. 838 x BUKU II TANAMAN PANGAN ANJURAN PEMUPUKAN PADI SAWAH DI KABUPATEN BOMBANA PROVINSI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN PERANGKAT UJI TANAH SAWAH (PUTS) Didik Raharjo...................................................................................................................... 847 DAMPAK PEMANFAATAN PEKARANGAN DI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) KABUPATEN KOLAKA Edi Tando ............................................................................................................................ 853 EFEKTIVITAS BEBERAPA HERBISIDA YANG DIAPLIKASIKAN PADA 7, 10, 12, DAN 15 HARI SETELAH SEBAR PADA BUDIDAYA PADI SISTEM TABELA Maintang dan Nasruddin Razak ........................................................................................ 859 FLUKTUASI POPULASI Helicoverpa armigera Hubner SEBAGAI HAMA TANAMAN JAGUNG DI KABUPATEN MAMUJU UTARA SULAWESI BARAT Rahmatia Djamaluddin dan Suriany ................................................................................. 870 HASIL BIJI DAN DAYA ADAPTASI GALUR HARAPAN KEDELAI PADA LINGKUNGAN OPTIMAL M. Muchlish Adie, Ayda Krisnawati, dan Didik Harnowo ................................................. 875 KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA LAHAN SAWAH BUKAAN BARU DI KAB. MAROS PROV. SULAWESI SELATAN Fadjry Djufry dan Ramlan ............................................................................................... 882 KERAGAAN HASIL VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) DI KABUPATEN BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO Warda ................................................................................................................................. 889 KAJIAN EFETIVITAS DAN EFISIENSI PENGGUNAAN BEBERAPA KOMBINASI PUPUK LEPAS LAMBAT PADA PADI SAWAH DI KABUPATEN SIDRAP Nasruddin Razak ............................................................................................................... 899 KAJIAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU DAN LOKAL PADI GOGO PADA LAHAN KERING DI MALUKU La Dahamarudin dan M.P. Sirappa .................................................................................... 907 KAJIAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) PADA BERBAGAI PEMUPUKAN N DAN JARAK TANAM JAGUNG (Zea mays L.) DALAM POLA TUMPANG SARI DI LAHAN KERING MALUKU TENGAH A. Arivin Rivaie dan Albertus E. Kelpitna .......................................................................... 921 KAJIAN POLA DISTRIBUSI PENERAPAN INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI DI PROVINSI GORONTALO Muh. Asaad, Annas Zubair, dan Zulkifli Mantau ............................................................... 929 KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL VUB PADI PADA PENDAMPINGAN SLPTT DI KAB. WAJO, SULAWESI SELATAN Arafah dan M. Amin............................................................................................................ 941 xi KONTRIBUSI PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG USAHA DIVERSIFIKASI PANGAN BERORIENTASI RAMAH LINGKUNGAN DI LUWU TIMUR Herniwati dan Peter Tandisau ........................................................................................... 947 KAJIAN MODEL PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADI DAN HAMA LAINNYA PADA PERIODE VEGETATIF TANAMAN PADI Asriyanti Ilyas dan Baso Aliem Lologau ........................................................................... 955 PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PADI AKIBAT PENGGUNAAN PUPUK NPK 15-10-12 Didik Harnowo dan Q. D. Ernawanto ................................................................................ 963 OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN DI DESA SALU PAREMANG SELATAN KABUPATEN LUWU Sahardi, Kartika Fauziah, Asryanti Ilyas, dan Dewi Mayanasari..................................... 970 PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM PROGRAM KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG USAHA DIVERSIFIKASI PANGAN DI KABUPATEN TAKALAR PROVINSI SULAWESI SELATAN Wanti Dewayani, Amir Syam, Rahmatiah Djamaluddin .................................................. 979 PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI DESA MATTOMBONG KECAMATAN MATTIROSOMPE KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN Hasnah Juddawi1 dan Suardy Mandung2 .......................................................................... 986 PEMANFAATAN UBI KAYU (Cassavas) SEBAGAI BAHAN BAKU KASOAMI BERGIZI PENGGANTI BERAS DI SULAWESI TENGGARA Fathnur dan Edi Tando ...................................................................................................... 994 PENAMPILAN EMPAT VARIETAS PADI TERHADAP SERANGAN TUNGRO PADA DISPLAY SL-PTT DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH Asni Ardjanhar dan Abdi Negara ..................................................................................... 1000 PENERAPAN MODEL PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU PADI SAWAH DAN JAGUNG LAHAN KERING DI KABUPATEN BULUKUMBA Muhammad Thamrin dan Ruchjaniningsih ..................................................................... 1005 PENERAPAN MODEL PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) JAGUNG MELALUI DEMONSTRASI TEKNOLOGI DI KABUPATEN BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN Idaryani1, St. Najmah1, dan Astiani Asady2 .................................................................... 1014 PENGARUH KONDISI SIMPAN DAN PERLAKUAN PRIMING TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR BENIH JAGUNG Patta Sija dan Aisyah Ahmad .......................................................................................... 1023 PENGELOMPOKAN TOLERANSI KEDELAI TERHADAP KEKERINGAN PADA STADIA PERKECAMBAHAN Ayda Krisnawati dan M. Muchlish Adie ........................................................................... 1035 PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN MELALUI PEMANFATAN LAHAN PEKARANGAN DI KABUPATEN TORAJA UTARA Nely Lade. S ...................................................................................................................... 1043 xii PENINGKATAN KUALITAS GIZI JAMUR TIRAM PUTIH MELALUI FORMULASI SUBSTRAT MEDIA TANAM Abdul Wahab .................................................................................................................... 1051 PENYEBARAN PENANGKARAN DAN KETERSEDIAN BENIH PADI DI SULAWESI SELATAN Sahardi.............................................................................................................................. 1058 KAJIAN EFISIENSI PEMUPUKAN DAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH PADA LAHAN IRIGASI DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROVINSI MALUKU M. P. Sirappa dan Edwen D. Waas .................................................................................. 1066 PERANAN DAN NILAI ANTHESIS SILKING INTERVAL (ASI) TERHADAP PRODUKTIVITAS JAGUNG Maintang ........................................................................................................................... 1079 STRATEGI PERCEPATAN DISTRIBUSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI MELALUI UNIT PENGELOLA BENIH SUMBER DI SULAWESI TENGAH Muh. Afif Juradi, Soeharsono dan Asni Ardjanhar ........................................................ 1086 POTENSI SUMBERDAYA DAN PILIHAN KOMODITAS PERTANIAN DI KABUPATEN JENEPONTO (Hasil PRA M-P3MI di Kab.Jeneponto) M.Basir Nappu .................................................................................................................. 1094 RESPON TIGA VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH TERHADAP SERANGAN TIKUS Rattus argentiventer PADA DISPLEY SLPTT DI SULAWESI TENGAH Abdi Negara, Asni Ardjanhar dan Saidah ....................................................................... 1112 ANALISIS POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DAN PENGHEMATAN BELANJA PANGAN MELALUI PEMANFAATAN PEKARANGAN (Studi Kasus KWT Flamboyan Kabupaten Gowa Sulsel) Arini Putri Hanifa dan Fadjry Djufry ............................................................................... 1118 TINGKAT SERANGAN PENGGEREK BATANG PADI PADA SISTEM TANAM PINDAH DAN TANAM BENIH LANGSUNG DI SULAWESI TENGGARA Cipto Nugroho, Idris dan Didik Raharjo ......................................................................... 1125 UJI ADAPTASI DAN DAYA HASIL GALUR HARAPAN PADI SAWAH DI KABUPATEN BARRU SULAWESIS SELATAN Sahardi1 dan Iswari S. Dewi2 ......................................................................................... 1130 UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADI GOGO TAHAN KERACUNANAN ALUMINIUM (Al) DENGAN PRODUKTIVITAS DI ATAS 5 TON/HA GABAH KERING GILING Suriany .............................................................................................................................. 1135 UJI PEMANFAATAN BEBERAPA SUBSTRAT LOKAL SEBAGAI MEDIA TUMBUH JAMUR TIRAM Abdul Wahab1 dan Gusti Ayu Kade Sutariadi2................................................................ 1146 VARIABILITAS HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADA VARIETAS PADI MEMBERAMO DI PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN Baso Aliem Lologau .......................................................................................................... 1152 xiii HORTIKULTURA INVENTARISASI, IDENTIFIKASI, DAN TINGKAT SERANGAN HAMA PENYAKIT TANAMAN SAYURAN DAN BUAH DALAM KEGIATAN M-KRPL DI KABUPATEN LUWU SULAWESI SELATAN Asriyanti Ilyas dan Sahardi ............................................................................................. 1160 SURVEI INTENSITAS SERANGAN Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense) PENYEBAB PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA BEBERAPA VARIETAS PISANG (Musa spp.) DI KABUPATEN BONE, SULAWESI SELATAN Astiani Asady1 dan Idaryani2 ........................................................................................... 1167 PENGARUH KONSENTRASI DAN INTERVAL WAKTU PEMBERIAN LARUTAN HARA HYPONEX TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PAPRIKA (Capsicum annum var. grossum) Herman1 dan Andi Satna2 ................................................................................................ 1177 PENINGKATAN KUALITAS JERUK SIEM MELALUI APLIKASI TEKNOLOGI PRAPANEN Muhammad Taufiq Ratule dan Abdul Wahab ................................................................. 1191 RESPON PETANI TERHADAP PENGGUNAAN PUPUK NPK SUPER DAN HAYATI ECOFERT PADA TANAMAN KENTANG MELALUI DEMONSTRASI PLOT (DEMPLOT) DI GOWA SULAWESI SELATAN Nurjanani dan Sri Sasmita Dahlan .................................................................................. 1197 STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JERUK BESAR DI SULAWESI SELATAN Nurdiah Husnah dan Nurjanani....................................................................................... 1207 UJI DAYA HASIL BEBERAPA VARIETAS CABAI PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN JENEPONTO M. Basir Nappu ................................................................................................................. 1215 PERKEBUNAN APLIKASI MANAJEMEN KEBUN DALAM USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN LUWU Kartika Fauziah, Nurdiah Husnah, Sahardi Mulia Dan Farida Arief .............................. 1222 KAJIAN PEMANFAATAN KOMPOS PUPUK KANDANG PADA PEMBIBITAN TEBU GENERASI 2 (G2) ASAL KULTUR JARINGAN Peter Tandisau dan Herniwati ......................................................................................... 1228 KAJIAN PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LADA DI SULAWESI TENGGARA Rusdi ................................................................................................................................. 1235 KAJIAN PENYARUNGAN BUAH KAKAO YANG DILAKUKAN PETANI DALAM PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO (Conopomorpha cramerella Snellen) Rahmatia Djamaluddin .................................................................................................... 1241 xiv PEMANFAATAN TANAMAN SELA DI LOKASI PEREMAJAAN TANAMAN PERKEBUNAN M. Basir Nappu ................................................................................................................. 1246 PENGEMBANGAN TEKNIK SAMBUNG PUCUK (BUD GRAFTING) SEBAGAI ALTERNATIF PILIHAN PERBANYAKAN BIBIT KAKAO SECARA VEGETATIF DI KORIDOR IV SULAWESI Jermia Limbongan dan Fadjry Djufry ............................................................................. 1259 PROSPEK PEMANFAATAN LIMBAH BUAH KAKAO SEBAGAI BAHAN MULTIFUNGSI Arini Putri Hanifa dan Jermia Limbongan ...................................................................... 1271 KAJIAN RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL RIMPANG LEMPUYANG GAJAH (Zingiber zerumbet S.) PADA BEBERAPA JENIS TANAH DAN PUPUK KANDANG A. Arivin Rivaie ................................................................................................................. 1283 PENGARUH JENIS TANAH DAN MANAJEMEN BUDIDAYA TANAMAN TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN ESTABLISHMENT LAMTORO TARRAMBA, TOLERAN KUTU LONCAT DI NUSA TENGGARA TIMUR Jacob Nulik dan Debora Kana Hau .................................................................................. 1293 SOSIAL EKONOMI ANALISA FINANSIAL USAHA SAPI POTONG "PENGGEMUKAN" PADA MODEL KAWASAN KANDANG KOMUNAL DI KABUPATEN MAROS, SULAWESI SELATAN Novia Qomariyah dan Amirullah ..................................................................................... 1300 ANALISIS TINGKAT PENGHEMATAN KELOMPOK WANITA TANI (KWT) MELALUI POLA PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PANGAN RUMAH TANGGA ( Studi Kasus M-KRPL Kabupaten Jeneponto) Sarintang dan Maintang .................................................................................................. 1307 ANALISIS NILAI TUKAR USAHATANI JAGUNG DI SULAWESI TENGGARA Zainal Abidin dan Muh. Taufiq Ratule ............................................................................. 1317 ANALISIS PENDAPATAN USAHA TANI PENGGEMUKAN TERNAK SAPI DI DESA SIDERA KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH Mardiana Dewi, Muhammad Abid, dan Muhammad Amin ............................................. 1325 ANALISIS SENYAWA TANIN, TOTAL FENOL, DAN ASAM FITAT PADA PRODUK OLAHAN TEPUNG SORGUM (Sorghum bicolor L.) Fawzan Sigma Aurum dan Suprio Guntoro .................................................................... 1334 ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH IRIGASI DI KECAMATAN KAIRATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT Maryam Nurdin, Andriko Notosusanto, Norry Eka Palupi, dan Hadriana Bansi ................................................................................................................................. 1341 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESIKO USAHA TERNAK SAPI PERAH DI KOTA BOGOR Ari Abdul Rouf1 , Bagus Priyo Purwanto2, dan Zulfikar Moesa2 .................................... 1349 xv DAMPAK BANTUAN SAPI POTONG JENIS PERANAKAN ONGOLE (PO) TERHADAP ASPEK TEKNIS, SOSIAL, DAN EKONOMI DI DESA KOTA GAJAH KABUPATEN LAMPUNG TENGAH Suryani dan Marsudin Silalahi ......................................................................................... 1354 DINAMIKA PERANAN SUBSEKTOR PETERNAKAN DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA Zainal Abidin..................................................................................................................... 1360 DINAMIKA POPULASI SAPI POTONG DI SULAWESI SELATAN Eka Triana Yuniarsih ........................................................................................................ 1367 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN ANALISIS USAHATANI KAKAO DI SULAWESI SELATAN Sunanto, Nelly Lande, dan Jermia Limbongan ............................................................... 1377 SUMBER DAYA LAHAN KAJIAN PEMBUATAN PUPUK ORGANIK DI KABUPATEN MAROS Ruchjaniningsih, Syamsul Bahri, Jamaya Halifah, dan Rahman .................................. 1387 KAJIAN POLA DAN FAKTOR PENENTU PENYALURAN PENERAPAN INOVASI PERTANIAN PTT PADI GOGO DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA Hamid Mahu1, Maryam Nurdin1 dan Sarintang2 ............................................................. 1401 KELAYAKAN FINANSIAL USAHATANI JERUK PAMELO DI KABUPATEN PANGKEP Armiati .............................................................................................................................. 1414 KELAYAKAN USAHATANI PEMANFAATAN KULIT BUAH KAKAO UNTUK PENGGEMUKAN TERNAK SAPI (Studi Kasus di Desa Malino, Kabupaten Donggala) Mardiana Dewi, Soeharsono dan F.F. Munier ................................................................. 1424 KERAGAAN TINGKAT BELAJAR SOSIAL DALAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) PADI DI KABUPATEN MAROS Warda Halil ....................................................................................................................... 1431 KERAGAAN KELEMBAGAAN DAN KEMITRAAN USAHATANI DALAM RANGKA PENINGKATAN MUTU KAKAO DI SULAWESI BARAT Muh. Taufik ....................................................................................................................... 1440 LINKAGE DIKLATLUH MELALUI TOT PENYULUH PERTANIAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Vyta W. Hanifah, E. Sirnawati, A.Yulianti, dan U. Humaedah ....................................... 1451 MANAJEMEN SUMBERDAYA TERPADU SUATU STRATEGI MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN Ruchjaniningsih dan Muhammad Thamrin ..................................................................... 1461 NILAI TAMBAH DAN PENDAPATAN PETANI PADA BUDIDAYA PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI DENGAN MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK (Kasus: Desa Sidorejo, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo) M. Eti Wulanjari1, Yusmasari2, dan Sri Karyaningsih1 ................................................... 1476 xvi PEMBERDAYAAN PETANI BERBASIS CYBER EXTENSION SEBAGAI MEDIA INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN DI SULAWESI TENGAH Muh. Amin dan Muhammad Abid .................................................................................... 1484 PENGARUH KEPERCAYAAN TERHADAP KOMITMEN PETERNAK PADA PABRIK PAKAN SKALA KECIL DI KABUPATEN SIDRAP Irmasusanti S1, Andi Faisal Suddin2, A.R. Siregar3, Isbandi4, Sarintang2 .................... 1495 PEMBAGIAN KERJA GENDER DALAM MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) DI KOTA BINJAI (Kasus di Kelurahan Jati Utomo Kecamatan Binjai Utara) Tumpal Sipahutar1 dan Andi Faisal Suddin2 ................................................................... 1501 PERAN SUBSEKTOR PETERNAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI GORONTALO Ari Abdul Rouf Dan Soimah Munawaroh ......................................................................... 1509 PERANAN KELEMBAGAAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) TERNAK DALAM UPAYA PENINGKATAN USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG (Studi Kasus di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros) Muhammad Darwis1 , Sunanto2 , Andi Faisal Suddin2, dan Sarintang2 ......................... 1518 RESPON PETANI TERHADAP PENDAMPINGAN SL-PTT PADI DI PROPINSI SUMATERA UTARA Didik Harnowo, Sortha Simatupang, Sarman Tobing, Timbul Marbun ......................... 1530 PROFIL DAN STRUKTUR PENDAPATAN USAHATANI TERNAK SAPI TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI/PETERNAK Sri Bananiek Sugiman dan Dahya ................................................................................... 1539 RESPON PETANI TERHADAP TEKNOLOGI BUDIDAYA CABAI MERAH DI KABUPATEN MAROS Abigael Rante Tondok ...................................................................................................... 1546 RESPON PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) DI KABUPATEN BONE Warda Halil, Armiati dan Syamsul Bahri........................................................................ 1557 PASCAPANEN DISAIN PENGISIAN BIOGAS KE DALAM TABUNG GAS ELPIJI Nur Shadrina .................................................................................................................... 1569 KAJIAN CARA PANEN DAN PELILINAN TERHADAP KUALITAS BUAH JERUK KEPROK SELAYAR SELAMA PENYIMPANAN Andi Darmawidah............................................................................................................. 1577 KAJIAN PEMBUATAN SAUS LOMBOK KATOKKONG DENGAN SUBTITUSI LABU KUNING, PISANG KEPOK, DAN UBI JALAR Andi Darmawidah............................................................................................................. 1583 KERAGAMAN MUTU BIJI JAGUNG DI TINGKAT PETANI DAN PEDAGANG I.U.Firmansyah ................................................................................................................. 1588 xvii PENGAWETAN DAGING SAPI SECARA TRADISIONAL UNTUK MENDUKUNG KEAMANAN DAN KETAHANAN PANGAN DI NUSA TENGGARA TIMUR Masniah1, Yusuf1 dan Syamsuddin2 ................................................................................ 1598 TEKNOLOGI PASCA PANEN SUSU DAN DIVERSIFIKASI OLAHAN SUSU MENJADI PRODUK YANG BERMUTU DAN BERNILAI TAMBAH Erina Septianti dan Andi Darmawidah ............................................................................ 1605 UJI KUALITATIF DAN KUANTATIF FORMALIN PADA BUAH APEL ANGGUR DAN LENGKENG YANG BEREDAR DI KOTA MAKASSAR SULAWESI SELATAN Wanti Dewayani1, Abu Bakar Tawali2, dan Asri3 ............................................................ 1617 DAFTAR PESERTA xviii ARAHAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Yang saya hormati : Gubernur Sulawesi Selatan; Bupati Se-Sulawesi Selatan; Kepala Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan; Kepala UK/UPT lingkup Badan Litbang Pertanian Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan se Sulawesi Selatan Kepala Badan Penyuluhan se Sulawesi Selatan Undangan dan hadirin yang berbahagia Selamat pagi dan salam sejahtera, Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga pada hari ini dapat mengikuti Ekspose Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan dengan tema “Akselerasi Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan”. Kegiatan ekspose merupakan salah satu wujud penyebaran hasil-hasil penelitian dan pengkajian yang dilaksanakan oleh UK/UPT Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian baik lingkup nasional maupun daerah seperti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, dengan kata lain Balai Pengkajian Teknologi Pertanian merupakan perpanjangan tangan Badan Litbang Pertanian didaerah untuk melaksanakan kegiatan penelitian spesifik lokasi Sulawesi Selatan. Selain itu juga diharapkan melalui pelaksanaan kegiatan ini dapat menghimpun ide/gagasan yang informatif dan implementatif dalam mendukung program swasembada daging dan pengembangan industri peternakan. Ide-ide tersebut nantinya dapat digunakan oleh Pemerintah Sulawesii Selatan dalam mengambil kebijakan strategi serta langkah-langkah operasional dibidang pertanian dan peternakan. Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam menopang kehidupan manusia yang sangat bergantung pada faktor teknis dan lingkungan. Selama bertahuntahun sistem pertanian yang ada selalu mengandalkan penggunaan input kimiawi yang berbahaya untuk meningkatkan hasil atau produksi pertanian. Hal ini menuntut adanya penerapan teknologi yang dapat mengoptimalkan hasil tanpa menimbulkan degradasi pada lingkungan. Salah satu inovasi yang dilakukan adalah penerapan sistem pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan . Agar teknologi yang diterapkan dapat diaplikasikan dilingkungan petani maka perlu adanya metode yang tepat untuk mengkomunikasikan teknologi ini terhadap petani. Kegiatan Ekspose ini merupakan pertemuan yang sangat tepat mengingat pada tahun 2013-2014 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah mencanangkan sebagai tahun kerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas, hal ini terkait dengan peran Badan Litbang Pertanian yang semakin vital pada masa mendatang, tetapi tantangan dan kendala yang dihadapi dalam mewujudkan xix target-target pembangunan pertanian menjadi semakin berat. Oleh karena itu kerja keras harus dibarengi dengan kerja cerdas guna mewujudkan kinerja yang produktif untuk menghasilkan riset-riset dibidang pertanian yang aplikatif dan sesuai kebutuhan masyarakat pengguna teknologi. Sudara-saudara sekalian, Dalam Era Pembangunan yang semakin kompetitif menuntut Badan Litbang Pertanian untuk selalu berupaya mengoperasionalisasikan kegiatan penciptaan teknologi pertanian yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi yang tinggi untuk mewujudkan peran litbang dalam pembangunan pertanian (impact recognition) dan nilai ilmiah tinggi (scientific recognition). Ke depan, peran Badan Litbang Pertanian sebagai lembaga riset pertanian nasional selalu akan berhadapan dengan tuntutan dan dinamika lingkungan strategis baik domestik maupun global. Guna merespon dinamika itu, perlu dilakukan upaya-upaya antisipatif antara lain dengan melakukan kegiatan diseminasi inovasi pertanian, melalui ekspose dan seminar nasional inovasi peternakan ramah lingkungan. Saudara-saudara sekalian, Semoga dalam ekspose inovasi peternakan ramah lingkungan dapat lebih menyebarluaskan hasil-hasil riset yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian sekaligus memperoleh umpan balik terkait hasil-hasil inovasi peternakan yang dihasilkan. Demikian yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini, dengan mengucapkan Bismillahir’rahmanirrahim, saya buka Ekspose Nasional Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan. Saya berharao dengan pelaksanaan kegiatan ini dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraa seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat pertanian di Sulawesi Selatan. Billahit taufiq wal hidayah Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Kepala Badan Litbang Pertanian, Dr. Haryono xx SAMBUTAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PADA ACARA EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL INOVASI PETERNAKAN RAMAH LINGKUNGAN TAHUN 2013 Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat pagi dan Salam sejahtera bagi kita sekalian, Yang saya hormati : 1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian; 2. Bupati Gowa; 3. Kepala Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan; 4. Kepala UK/UPT lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 5. Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan se Sulawesi Selatan 6. Kepala Badan Penyuluhan se Sulawesi Selatan 7. Seluruh peserta Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan 8. Undangan dan hadirin yang berbahagia Pertama-tama saya mengajak kepada kita semua, untuk senantiasa memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya yang menyertai kita saat ini, sehingga acara Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tahun 2013 dapat kita laksanakan. Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya menyampaikan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada saudara-saudara sekalian yang hadir pada hari ini untuk mengikuti Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan dengan tema Akselerasi Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan. Hadirin yang saya hormati, Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah lumbung pangan nasional telah dijadikan sebagai barometer keberhasilan pembangunan nasional khususnya di sektor pertanian. Hal ini sangat beralasan mengingat hasil pembangunan pertanian di daerah ini dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Selain itu, dengan program over stock beras 2,0 juta ton pertahun, Sulawesi Selatan telah menjadi pemasok utama kebutuhan beras nasional, bahkan tidak bisa dipungkiri beras Sulawesi Selatan telah sampai di Filipina, Brunai Darussalam, Malaysia hingga Timor Leste melalui jalur intraselluler. Bagi bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 230 juta jiwa sekarang ini, tentunya upaya ketahanan pangan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pengalamam selama ini menunjukkan bahwa negara yang tidak memiliki ketahanan pangan nasional yang mantap, cepat atau lambat akan hancur berkeping-keping sebagaimana terjadi di negara Rusia beberapa waktu lalu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kebijakan pembangunan pertanian di Sulawesi Selatan selalu menjadikan beras sebagai prioritas utama, mulai dari Operasi “Lappoase”, Tri Program Perwilayahan Komoditas, GRATEKS-2, Gerbang Emas dan terakhir ini adalah Gerakan Over Stock Beras 2 juta ton. Dalam rangka xxi menunjang kebijakan perberasan di Sulawesi Selatan, beberapa langkah strategis yang dilakukan antara lain: 1. Perbaikan mekanisme pengadaan dan distribusi pupuk bersubsidi; 2. Mendorong pengembangan agribisnis pertanian terpadu melalui integrasi tanaman-ternak-ikan terutama pada daerah-daerah dengan kandungan organik rendah; pengadaan alat pembuatan pupuk organik (APPO) dan rumah kompos secara bertahap terul dilakukan untuk mendukung pertanian organik ini; 3. Memfasilitasi dan memediasi upaya-upaya perbaikan harga beras, termasuk harga jagung sehingga dapat menguntungkan petani; 4. Pelibatan aparat teritorial TNI (DANRAMIL & BABINSA), Camat dan Kepala Desa/Lurah dalam pengawalan dan pendampingan kegiatan di lapangan; pelaksanaan kegiatan IPAT-BO di Kabupaten Gowa dan rencana pelaksanaan Denfarm Padi/Jagung seluas 10 Ha pada masing-masing kabupaten/kota se Sulawesi Selatan merupakan aksi nyata pelibatan aparat TNI/Polri dalam menunjang pembangunan pertanian khususnya beras dan jagung di Sulawesi Selatan; 5. Perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur jaringan irigasi; 6. Membantu petani melalui pengadaan bantuan benih. Target pembangunan pertanian di Sulawesi Selatan yang merupakan program prioritas pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk mendukung swasembada pangan berkelanjutan telah saya canangkan seperti Surplus beras 2 juta ton, peningkatan produksi jagung 1,5 juta ton, gerakan pencapaian populasi sapi 1 juta ekor pada tahun 2013. Untuk mensukseskan program ini, diperlukan kerjasama kita semua. Dukungan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sangat diperlukan untuk mencapai target yang telah kita tetapkan, karena target tersebut tidak akan tercapai tanpa dukungan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan atau kebutuhan petani. Untuk menghasilkan teknologi tentu diperlukan penelitian dan pengkajian. Saya kira itulah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, dan dengan mengucapkan “Bismillahirahmaanirrahim” acara Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan Tahun 2013 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan resmi saya buka Sekian Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Gubernur Sulawesi Selatan DR. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, M.Si, MH xxii RUMUSAN EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL PETERNAKAN RAMAH LINGKUNGAN Keberhasilan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014 merupakan salah satu wujud kemampuan suatu bangsa untuk menjamin kemandirian pangan hewani yang cukup, baik kualitas maupun kuantitas yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal. Pengembangan peternakan yang berbasis sumberdaya lokal ramah lingkungan merupakan upaya strategis guna mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Berkaitan dengan hal tersebut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyelenggarakan Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan (EIP-RL) dengan tema: “Akselerasi Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan”. Berdasarkan arahan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Gubernur Sulawesi Selatan dan masukan dari pemakalah utama maupun makalah-makalah yang di sampaikan dalam seminar dan respon para peserta ekspose dan seminar, maka tim perumus meyusun rumusan-rumusan sebagai berikut: 1. Untuk mencapai Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK), maka populasi sapi dan kerbau harus ditingkatkan dengan mengintegrasikan tanaman-ternak, baik dengan tanaman pangan maupun perkebunan. Limbah tanaman pangan dan perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sebaliknya kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk organik bagi tanaman pangan dan perkebunan. Arah pembangunan komoditas perkebunan dengan pendekatan teknoekologis dalam upaya peningkatan produktivitas yang ramah lingkungan dengan siklus tertutup atau Zero Waste. Khusus integrasi pada komoditas ternak diharapkan mampu menghasilkan energi terbaharukan (Biogas). 2. Peran strategis tamanan perkebunan dalam pembangunan nasional adalah (a) integrasi dapat meningkatkan daya saing produk di dunia (Green Economy), (b) inovasi teknologi dapat merubah deret hitung menjadi deret ukur, (c) Meningkatkan lapangan kerja dan meningkatkan devisa negara, dan (d) konservasi dan kelestarian lingkungan. 3. Peran Lingkungan dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain; energi, gambut, emisi gas, logam berat, dan lain lain. Dalam konvensi lingkungan disepakati bahwa perlu pembenahan, penataan erosi tanah, perbaikan iklim mikro, perbaikan penyimpanan air tanah, dan penyerapan emisi rumah kaca. 4. Integrasi tanaman dan ternak berhasil apabila dapat mewarnai kegiatan usaha pertanian-perkebunan. Sebagai Contoh sistem integrasi serai wangi yang dilakukan dengan sistem agribisnis. Sistem integrasi yang ramah lingkungan harus memperhatikan Zero waste atau Low Cost. Dalam hal ini berkaitan dengan pemanfaatan dan peningkatan nilai tambah limbah pertanian. Integrasi antara ternak dan tanaman hanya bermakna bagi pengguna apabila terjadi sinergi positif. xxiii 5. Isu strategis dukungan regulasi pemerintah Sulawesi Selatan terhadap sub sektor peternakan adalah (a) Gerakan Optimalisasi Sapi (GOS), (b) pengendalian pemotongan sapi betina produktif, (c) instalasi pembibitan rakyat, (d) Revitalisasi IB Mandiri, (d) Pengawasan lalu lintas ternak, (d) intensifikasi penggunaan pejantan unggul, (e) Gerakan Pembangunan ekonomi rakyat, (f) peningkatan kompentensi SDM serta kelembagaan peternak. Program tersebut sudah berjalan 6 tahun namun produksi pertumbuhan populasi ternak lokal masih perlu dipacu, dan impor sapi di Sulawesi Selatan mengalami penurunan sehingga tinggal 800 ribu ekor per tahun. Untuk menekan impor sapi, pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan terus memprogram satu juta ekor sapi pada tahun 2013 dan untuk mencapai tujuan tersebut maka penguasaan IPTEK mutlak diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya peternakan, khususnya ternak local 6. Limbah tanaman pangan dan perkebunan dapat dijadikan pakan ternak yang ramah lingkungan, baik pemberian secara langsung atau pengolahan terlebih dahulu. Salah satu teknologi pemberian pakan ternak lokal adalah pemanfaatan pelepah daun sawit sebagai pakan dan mampu memberikan hasil yang lebih baik untuk sapi penggemukan dibanding untuk pembibitan. Untuk menekan penurunan berat badan ternak yang ekstrim pada musim kemarau, pemberian daun lamtoro sebanyak 10 kg/hari/ekor Sapiu Barachman sebagai sumber protein dan dilakukan sepanjang tahun untuk memperoleh pertambahan berat badan yang stabil. Penggunaan pakan lokal dengan komposisi konsentrat 1% dari bobot badan + rumput lapangan 1% + jerami fermentase 1% dari bobot badan dapat meningkatkan bobot badan sapi penggemukan. 7. Pemanfaatan limbah kulit kopi sebagai pakan sapi potong dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sapi Bali dan secara finansial menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi. 8. Potensi sumberdaya lahan dengan agroekosistem lahan kering telah dimanfaatkan dengan komoditas ubi kayu, cabai, jagung, dan ternak, Serta memberdayakan kelembagaan petani. 9. Pemetaan distribusi inovasi teknologi pengelolaan tanaman terpadu dan peternakan dapat memberikan gambaran dalam perencanaan pengkajian dan diseminasi teknologi produksi spesifik lokasi. Usahatani ternak kambing di daerah lahan kering dipengaruhi oleh beberapa kaktor yaitu; mortalitas, ketersediaan pejantan, dan sistem pemeliharaan. 10. Pengembangan usaha ternak sapi potong memerlukan peranan kelembagaan gabungan kelompok tani (Gapoktan). Akselerasi inovasi Peternakan Ramah Lingkungan sangat ditentukan oleh faktor sosiologis disamping oleh faktor ekonomis dan faktor teknis. Makassar, 20 Juni 2013 Tim perumus xxiv ANJURAN PEMUPUKAN PADI SAWAH DI KABUPATEN BOMBANA PROVINSI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN PERANGKAT UJI TANAH SAWAH (PUTS) Didik Raharjo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Jl.Prof.Muh.Yamin No.89 Puuwatu Kendari Email : [email protected] ABSTRAK Konsep pemupukan spesifik lokasi telah dikembangkan beberapa tahun terakhir sebagai alternatif penggunaan rekomendasi umum bagi wilayah yang luas. Rendahnya tingkat produktivitas padi disebabkan karena ketersediaan hara di dalam tanah masih rendah dan petani belum melakukan paket teknologi padi sawah secara keseluruhan terutama mengenai pemupukan spesifik lokasi. Kajian dilakukan di enam kecamatan di Kabupaten Bombana yaitu Lantari Jaya, Rarowatu Utara, Rarowatu, Rumbia, Poleang Timur, dan Poleang Utara pada MT II tahun 2012. Lokasi sasaran pengambilan sampel tanah dilakukan sengaja dengan pertimbangan bahwa lokasi merupakan sentra tanaman padi sawah. Tahapan pengambilan sampel tanah adalah untuk lahan yang struktur tanah relatif homogen diambil sebanyak 10 titik dengan kedalaman lapisan olah 0 -20 cm menggunakan bor tanah sawah. Selanjutnya dilakukan uji status hara N, P, K, dan pH tanah berdasarkan cara kerja PUTS. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat status hara Nitrogen (N), Phospor (P), Kalium (K) dan tingkat kemasaman tanah (pH) serta rekomendasi pemupukan padi sawah Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara. Status hara N, P, dan K di Kabupaten Bombana beragam. Hara N sebagian besar berstatus tinggi hanya satu lokasi yang statusnya rendah, untuk status hara P beragam dari yang status rendah, sedang, dan tinggi. Status hara K juga beragam dari yang berstatus rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat Kemasaman tanah (pH) dari 4,5 sampai 6,0. Untuk target produktivitas 6 t/ha GKG, rekomendasi pemupukan berdasarkan pupuk tunggal. Untuk status N tinggi, P tinggi, dan K sedang. Anjurannya yaitu Urea 200 kg/ha + SP-36 75 kg/ha + KCl 75 kg/ha. Lokasi dengan status hara status N tinggi, P tinggi, dan K rendah yaitu Urea 200 kg/ha + SP-36 75 kg/ha + KCl 125 kg/ha. Lokasi dengan status hara N tinggi, P sedang, dan K sedang anjuran pemupukannya yaitu Urea 200 kg/ha + SP-36 100 kg/ha + KCl 75 kg/ha. Kata kunci : Status hara, pemupukan, padi sawah PENDAHULUAN Hal penting yang harus dilakukan dalam kegiatan berbudidaya tanaman untuk mendapatkan hasil produktivitas yang maksimal adalah melakukan pemupukan yang tepat. Dalam pengertian sehari-hari pupuk adalah suatu bahan yang digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah, sedang pemupukan adalah penambahan bahan tersebut ke tanah agar tanah menjadi lebih subur (Hardjowigeno, 1995). Pemupukan yang tepat tersebut harus dilakukan sesuai dengan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi. Konsep pemupukan spesifik lokasi telah dikembangkan beberapa tahun terakhir sebagai alternatif penggunaan rekomendasi pupuk secara umum bagi wilayah yang luas. 847 Penggunaan lahan sawah di Kabupaten Bombana cukup luas yaitu 11.689 ha dengan tingkat produktivitas padi sawah 44,68 Kw/ha (BPS Sultra, 2012). Rendahnya tingkat produktivitas tersebut disebabkan karena ketersediaan hara di dalam tanah masih rendah dan petani belum melakukan paket teknologi budidaya padi sawah secara keseluruhan terutama mengenai pemupukan spesifik lokasi. Pada awal Revolusi Hijau, peningkatan hasil terjadi terutama melalui pemanfaatan pupuk N (Nitrogen), kerap disubsidi oleh pemerintah, dikombinasikan dengan varietas inbrida modern. Melihat hasilnya, petani terdorong meningkatkan takaran pupuk N hingga berlebihan, tetapi tidak memberikan cukup pupuk P (Phospor) dan K (Kalium), oleh karena hasil meningkat maka hara-hara yang sebelumnya cukup menjadi kurang (Thomas et al., 2007). Selain berdampak positif terhadap peningkatan produksi padi, setelah puluhan tahun penerapan revolusi hijau dengan berbagai input agrokimia, ternyata juga menimbulkan dampak negatif seperti menurunnya kesuburan lahan karena terjadi ketidakseimbangan hara dalam tanah dan pencemaran lingkungan seperti meningkatnya kadar nitrat dalam tanah dan air akibat penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang berlebihan dan meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) seperti CH4 dan N2O (Budianto, 2002). Penerapan pemupukan berimbang berdasarkan uji tanah memerlukan data analisa tanah, di sisi lain daya jangkau (aksesibilitas) penyuluh dan petani untuk menganalisis contoh tanah masih rendah, sehingga menyebabkan rekomendasi pupuk untuk padi bersifat umum, hal ini mengakibatkan pupuk yang diberikan tidak berimbang dan efisiensi pemupukan menjadi rendah karena ada kemungkinan suatu unsur hara diberikan secara berlebihan, sementara unsur hara lainnya diberikan lebih rendah dari yang dibutuhkan tanaman (Setyorini et al., 2006). Ada beberapa metode pendekatan untuk menentukan rekomendasi pemupukan pada padi sawah yaitu Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), pemupukan padi sawah spesifik lokasi menggunakan software PuPS versi 1.0, Bagan Warna Daun (BWD), dan Pemupukan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) berbasis internet. Keempat alat bantu tersebut diperuntukkan sebagai dasar rekomendasi pemupukan yang menggunakan pupuk anorganik N, P, dan K. Meskipun PUTS telah mampu memberikan informasi mengenai kondisi makro tanah seperti N (Nitrogen), K (Kalium) dan P (Phospor) di dalam tanah tetapi tetap dibutuhkan analisis tanah di labolatorium khususnya untuk mengukur status hara S dan Zn (Aljabri dan Syafruddin, 2007). Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat status hara makro Nitrogen (N), Phospor (P), dan Kalium (K), tingkat kemasaman tanah (pH), serta rekomendasi pemupukan untuk padi sawah Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara. 848 METODOLOGI Kajian dilakukan di enam kecamatan sentra tanaman padi sawah di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara yaitu Kecamatan Lantari Jaya, Rarowatu Utara, Rarowatu, Rumbia, Poleang Timur dan Poleang Utara pada MT II tahun 2012. Penentuan lokasi sasaran pengambilan sampel tanah dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa lokasi merupakan sentra tanaman padi sawah. Tahapan pengambilan sampel tanah adalah untuk lahan yang struktur tanah relatif homogen diambil sebanyak 10 titik dengan kedalaman lapisan olah 0 - 20 cm menggunakan bor tanah. Sampel tanah tersebut kemudian dicampur hingga rata yang akan dijadikan bahan analisis dengan menggunakan peraksi yang terdapat pada Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), selanjutnya dilakukan uji status hara N, P, K dan pH berdasarkan cara kerja PUTS. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Status Hara Lahan Sawah Dari enam kecamatan sentra tanaman padi sawah di Kabupaten Bombana terdapat status hara makro N, P, dan K yang beragam. Status Hara N sebagian besar tinggi hanya satu lokasi yang status hara N rendah yaitu di desa Biru Kecamatan Poleang Timur. Status hara P beragam dari yang status rendah, sedang dan tinggi. Untuk status hara K juga beragam dari yang berstatus rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat kemasaman tanah (pH) setiap lokasi juga beragam dari 4,5 sampai 6,0. Pada tanah masam (pH < 4,5), ketersediaan beberapa hara lebih rendah dari pada tanah netral, serta kemungkinan besar muncul keracunan Fe (besi). Ciri tanah yang banyak mengandung besi umumnya pada permukaan air genangan tertutup lapisan seperti minyak, dan pada daun padi terdapat bintik karat. Hasil analisis status hara makro N, P, dan K di beberapa lokasi sentra tanaman padi sawah disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis status hara lahan sawah di beberapa lokasi sentra tanaman padi sawah Kabupaten Bombana, 2012 No. Kecamatan Desa 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Lantari Jaya Lantari Lantari Rarowatu Utara Rarowatu Utara Rarowatu Utara Rumbia Rumbia Rarowatu Rarowatu Poleang Timur Poleang Timur Poleang Timur Poleang Utara Poleang Utara Poleang Utara Anugrah Lomba Kasih Lantari Marga Jaya Aneka Marga Tunas Baru Lameroro Rumbia Ladumpi Lakomea Biru Tepoe Bambaea Tampabulu Toburi Tanah Poleang Status Hara N Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi P Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Sedang Sedang Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sedang Tinggi K Sedang Sedang Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Sedang Rendah Rendah pH 4,5-5 4,5-5 4,5-5 6.0 5,5 5,0 5,0 6.0 5,5 5,5 5,5 5,5 5 5-6 5 5 849 Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Menggunakan Pupuk Tunggal Anjuran pemupukan padi sawah berdasarkan hasil analisis PUTS untuk lokasi sentra tanaman padi di Kabupaten Bombana menggunakan pupuk tunggal, untuk hara N menggunakan Urea, hara P menggunakan SP-36 dan hara K menggunakan KCl. Rekomendasi pemupukan padi sawah di Kabupaten Bombana menggunakan pupuk tunggal untuk target hasil 6/ha, disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rekomendasi pemupukan padi sawah menggunakan pupuk tunggal No. Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Desa Lantari Jaya Lantari Lantari Rarowatu Utara Rarowatu Utara Rarowatu Utara Rumbia Rumbia Rarowatu Rarowatu Poleang Timur Poleang Timur Poleang Timur Poleang Utara Poleang Utara Poleang Utara Anugrah Lomba Kasih Lantari Marga Jaya Aneka Marga Tunas Baru Lameroro Rumbia Ladumpi Lakomea Biru Tepoe Bambaea Tampabulu Toburi Tanah Poleang Urea (kg/ha) 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 250 200 200 200 200 200 Pupuk Tungggal SP 36 (kg/ha) KCl (kg/ha) 75 75 75 75 75 125 75 75 75 75 75 75 100 75 75 75 100 75 100 75 75 75 75 75 100 125 125 75 100 75 75 125 Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Menggunakan Pupuk Majemuk N,P,K (15,15,15) Petani padi sawah terkendala pada ketersediaan pupuk tunggal yang ada di lapangan terutama KCl, sehingga untuk melakukan pemupukan tepat dan berimbang dapat menggunakan pupuk majemuk. Tepat dan berimbang dalam hal ini adalah tepat jenis hara, tepat dosis hara, tepat waktu pemupukan dan tepat cara. Dosis anjuran pemupukan padi sawah dengan menggunakan pupuk majemuk N, P, dan K disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rekomendasi pemupukan padi sawah menggunakan pupuk majemuk N,P,K (15,15,15) Kelas Status Hara Tanah P Rendah Sedang Tinggi K Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rekomendasi Pupuk Tunggal Dan Majemuk (Kg/Ha) Tambahan Pupuk Tunggal NPK 15-15-15 Urea KCl 250 170 40 250 170 250 170 200 180 50 200 180 200 180 150 200 60 150 200 10 150 200 10 Sumber : Petunjuk Penggunaan PUTS (Setyorini et al., 2006). 850 Anjuran Penggunaan Pupuk Tunggal dan Majemuk (Urea, SP-36 dan KCl dan NPK 15-15-15) Kegiatan penting yang harus diperhatikan terhadap rekomendasi pemupukan adalah waktu dan besarnya dosis penggunaan pupuk tunggal dan majemuk untuk tanaman padi sawah untuk setiap tahapan pertanaman. Waktu dan besarnya dosis pupuk disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Anjuran penggunaan Pupuk Tunggal dan Majemuk (Urea, SP-36, KCl dan NPK 15-15-15) Jenis Pupuk Pupuk Dasar (0 – 14 HST) Pupuk Susulan I (21 – 35 HST) Pupuk Susulan (42 – 49 HST) II Urea SP-36 KCl NPK 1/3 Dosis Urea Semua Dosis Sp-36 ½ Dosis KCl Semua Dosis Npk 15-1515 1/3 Dosis Urea ½ Dosis KCl - ½ Dosis Urea Tambahan - Semua Dosis KCl Tambahan 1/3 Dosis Urea - ½ Dosis Urea Tambahan Sumber : Petunjuk Penggunaan PUTS (Setyorini et al., 2006). KESIMPULAN Untuk target produktivitas padi sawah 6 t/ha GKG, maka Status hara N, P, dan K dan rekomendasi pemupukan di kabupatem Bombana yaitu: A. Status N tinggi, P tinggi, K sedang. Anjuran Pemupukanya Urea 200 kg/ha,SP-36 75 kg/ha dan KCl 75 kg/ha. B. Status N tinggi, P tinggi, K rendah. Anjuran Pemupukanya Urea 200 kg/ha,SP-36 75 kg/ha dan KCl 125 kg/ha. C. Status N tinggi, P sedang, K sedang. Anjuran Pemupukanya Urea 200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 75 kg/ha. D. Status N rendah, P tinggi, K sedang. Anjuran Pemupukanya Urea 250 kg/ha, SP-36 75 kg/ha dan KCl 75 kg/ha. E. Status N tinggi, P rendah, K sedang. Anjuran Pemupukanya Urea 200 kg/ha, SP-36 125 kg/ha dan KCl 75 kg/ha. F. Status N tinggi, P sedang, K rendah. Anjuran Pemupukanya Urea 200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 125 kg/ha. 851 DAFTAR PUSTAKA Al-Jabri, M. dan Syafruddin. 2007. Perangkat Uji Tanah Sawah Versus Analisis Tanah Di Labolatorium Untuk Rekomendasi Pemupukan Padi Di Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Nasional BPTP Sulawesi Tengah. Dalam Yogi P. Rahardjo dan Saidah (Eds) Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi Untuk Pemberdayaan Petani Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng dan Pemprof Jawa Tengah.Semarang hal 104-109. BPS Sultra. 2012. Sulawesi Tenggara dalam Angka Tahun 2012. Kendari. Budianto, J. 2002. Tantangan Dan Peluang Penelitian Pengembangan Padi Dalam Perspektif Agribisnis dalam Pramono, J., D. Prajitno,Tohari, D. Shiddieq, dan S.Y. Jatmiko (Eds) Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng dan Pemprof Jawa Tengah. Semarang hal.141-148. Hardjowigeno. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Bogor. Setyorini, D., Ladiyani R.W, dan A. Kasno. 2006. Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah Sawah Versi 1.1. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Thomas, F., C. Witt, R. Buresh, dan A. Dobermann. 2007. Padi : Panduan Praktis Pengelolaan Hara, (Eds ke dua 2007) Terjemahan A Practical Guide to Nutrient Management. Kerja sama IRRI, IPPNI-IPI dengan Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian. Jakarta. 852 DAMPAK PEMANFAATAN PEKARANGAN DI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) KABUPATEN KOLAKA Edi Tando Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Jl. Prof. Muh. Yamin No 89 Puwatu Kendari Email: [email protected] 1 ABSTRAK Masih cukup banyak lahan pekarangan masyarakat yang belum termanfaatkan secara optimal sebagai kebutuhan pemenuhan pangan dalam keluarga. Lahan pekarangan yang dikelola secara optimal dapat memberikan manfaat bagi rumah tangga dan keluarga yang mengelolanya. Sebagai bentuk gerakan optimalisasi pemanfaatan pekarangan sebagai sumber gizi keluarga, saat ini pemerintah melalui Badan Litbang Pertanian sedang gencarnya merintis model Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), merupakan salah satu solusii ketahanan pangan berbasis rumah tangga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pemanfaatan pekarangan di Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Kabupaten Kolaka. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dari hasil kegiatan pengkajian di lapangan, untuk mengetahui dampak pengembangan progam Model Kawasan Ruman Pangan Lestari (M-KRPL), dilakukan survey sosial ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan Program M-KRPL telah berhasil meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta KRPL dalam pemanfaatan pekarangan, dapat menghemat pengeluaran pangan sebesar Rp. 150.000 hingga Rp.250.000,-/keluarga/bulan serta Peningkatan Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 6,86. Kata kunci : Pekarangan, M-KRPL PENDAHULUAN Pangan adalah kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa, banyak contoh negara dengan sumber ekonomi cukup memadai tetapi mengalami kehancuran karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa “ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Atas dasar hal itu, maka terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia (Saliem, 2011). Menurut Rachman dan Ariani (2007) bahwa tersedianya pangan yang cukup secara nasional maupun wilayah merupakan syarat dari terwujudnya ketahanan pangan nasional. Namun itu saja tidak cukup, syarat kecukupan yang harus dipenuhi adalah terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga. Masih cukup banyak lahan pekarangan masyarakat yang belum termanfaatkan secara optimal sebagai kebutuhan pemenuhan pangan dalam keluarga. Menurut catatan Kementan tahun 2012, luas lahan pekarangan di Indonesia saat ini mencapai 10,3 juta ha atau 14% dari seluruh luas tanah pertanian rakyat. 853 Lahan pekarangan yang dikelola secara optimal dapat memberikan manfaat bagi rumah tangga dan keluarga yang mengelolanya. Hal ini dapat terlihat dari beragam fungsi dasar pekarangan yaitu menjadi sumber pangan keluarga, seperti sayur - sayuran, umbi - umbian, buah - buahan serta ternak dan ikan, sumber obat - obatan atau apotik hidup, sumber bumbu, rempah masakan, sumber pupuk organic, serta sumber keindahan/estetika. (Badan Litbang Pertanian (2012); Sinar Tani (2012). Sebagai bentuk gerakan optimalisasi pemanfaatan pekarangan sebagai sumber gizi keluarga, saat ini pemerintah melalui Badan Litbang Pertanian sedang gencarnya merintis model Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), di mana tujuan penting yang ingin di capai dalam pengembangan program KRPL ini antara lain : meningkatkan keterampilan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat secara lestari, mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga serta menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri (Badan Litbang Pertanian, 2011). Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) merupakan salah satu solusii ketahanan pangan berbasis rumah tangga yang perlu terus dikembangkan keberadaannya. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah membuat kebijakan bahwa setiap kabupaten harus ada satu desa model, sehingga diharapkan tahun 2013 nanti, sudah ada replikasi lebih dari 5000 desa model di seluruh Indonesia (Badan Litbang Pertanian, 2012) Kabupaten Kolaka memiliki potensi pengembangan M-KRPL yang cukup luas. Hal ini terlihat dari sumberdaya lahan pekarangan yang dimiliki masyarakat dalam sektor pertanian, khususnya komoditas hortikultura (buah-buahan, sayuran dan tanaman hias), tanaman obat-obatan dan lainnya masih cukup tersedia, meskipun belum termanfaatkan secara optimal. karena masih banyak lahan-lahan kosong disekitar rumah yang belum dimanfaatkan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pemanfaatan pekarangan di KRPL Kabupaten Kolaka mendukung ketahanan pangan. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan dari bulan April sampai Desember 2012 di Desa Huko - Huko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer yang diperoleh dari hasil kegiatan pengkajian di lapangan, yaitu kegiatan inisiasi pengembangan rumah pangan lestari yang dilakukan terhadap 30 rumah tangga (keluarga) yang terletak dalam satu kawasan. Untuk mengetahui dampak pengembangan progam Model Kawasan Ruman Pangan Lestari (M-KRPL), dilakukan survey sosial ekonomi dengan tehnik wawancara menggunakan kuisioner. Survey dilaksanakan dua kali yakni sebelum kegiatan berjalan dan sesudah kegiatan. Untuk survey awal bertujuan menggali informasi awal/base line mengenai kedaan sebelum adanya kegiatan M-KRPL, sedangkan survey akhir bertujuan untuk melihat dampak setelah adanya kegiatan M-KRPL. 854 Analisis data dilakukan secara sederhana yaitu dengan analisis tabel frekuensi dan tabulasi silang. Selain itu dideskripsikan keadaan sebelum dan setelah adanya KRPL (before and after). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Hasil survey untuk karakteristik responden di Desa Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, disajikan pada Tabel 1. Huko-Huko, Tabel 1. Karakteristik responden di Desa Huko-Huko, Kecamatan Pomala Kabupaten Kolaka, 2012. No. 1. 2. 3. 4. - Karakteristik Umur (tahun) Pendidikan (tahun) Jumlah Anggota Keluarga (orang) Pekerjaan - Kepala Keluarga/ Suami - Istri - 5. Pendapatan per bulan (Rp) 6. Pengeluaran konsumsi pangan per bulan (Rp) Luas strata lahan pekarangan Pemanfaatan lahan Pekarangan 7 8 Sumber : Data Primer, 2012 - - Keterangan Di bawah 16 tahun 16 – 54 tahun Di atas 54 tahun 6 tahun (SD) 9 tahun (SMP) 12 tahun (SMA) 16tahun (Diploma III/S1) 1- 4 5- 8 Wiraswasta PNS Petani Lain-lain Ibu Rumah Tangga Wiraswasta Petani Lain-lain Rp. 500.000 - Rp. 1.500.000 Rp. 1.600.000 - Rp. 3.000.000 Diatas Rp. 3.000.000 Di bawah Rp. 500.000 Rp. 500.000 - Rp. 1.000.000 Di atas Rp. 1.000.000 Strata I (< 100 m2) Strata II (100 - 300 m2) Strata III (> 300 m2) Sebelum M-KRPL Sesudah M-KRPL Persentase (%) 0 86,7 13,3 30 43 17 10 60 40 57 13 10 20 90 10 0 0 20 56,7 23,3 10 73 16,7 10,00 66,67 23,33 7 100 Berdasarkan Tabel 1, nampak bahwa rata - rata umur peserta M - KRPL adalah 16 - 54 tahun (86,7%), dengan tingkat pendidikan terbanyak 6 - 9 tahun (43%). Jumlah anggota keluarga antara 1 - 4 orang (60%), sementara pekerjaan masyarakat antara lain wiraswasta (Pertambangan/tukang), PNS, petani, ibu rumah tangga dan lain - lain. Pendapatan satu keluarga per bulan 855 tertinggi yaitu antara Rp. 1.600.000,- - Rp. 3.000.000,- sedangkan pengeluaran konsumsi pangan per bulan yaitu antara Rp. 500.000,- Rp, 1.000.000,-. Pengeluaran untuk konsumsi pangan cukup tinggi, hal ini disebabkan sebagian sumber pangan keluarga seperti beras, umbi - umbian, sayuran, tanaman obat, ikan, daging, telur di beli di pasar dan pedagang keliling. Pengamatan dilapangan menunjukkan sebanyak 97 % sumber pangan karbohidrat dari masyarakat Desa Huko - Huko berasal dari beras. Jagung, ubi kayu, ubi jalar dan talas dijadikan makanan sampingan. Sayuran yang sering dikonsumsi yaitu daun kelor, kangkung, sawi, terung, daun kacang, bayam, daun ubi, labu, kacang panjang, kopi gandu dan pare. Pemanfaatan Pekarangan Pemanfaatan lahan pekarangan rumah merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan dalam rumah tangga. Tujuan penting yang ingin di capai dalam pengembangan program KRPL ini antara lain : meningkatkan keterampilan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat secara lestari, mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga serta menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri. Sebelum adanya program M-KRPL, pemanfaatan lahan pekarangan hanya 7 %, sebagian besar petani responden belum memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayuran, buah - buahan dan tanaman obat dan hanya sebagian kecil masyarakat memanfaatkan pekarangan dengan menanam bunga, membuka kebun di depan n samping rumah dengan buah - buahan, kolam ikan, beternak ayam 4 - 15 ekor, serta membuka usaha kecil - kecilan seperti membuka warung. Setelah adanya program M-KRPL, minat petani kooperator dalam pemanfaatan lahan pekarangan telah mencapai 100 %, khususnya dengan menanam sayuran, buah-buahan, umbi - umbian, tanaman obat, tanaman pangan (jagung), dll. Dampak Pemanfaatan Pekarangan Beberapa dampak dari pemanfaatan pekarangan melalui program M-KRPL di Desa Huko - Huko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, antara lain : Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani kooperator dilakukan melalui pelatihan. Pendampingan teknologi yang diberikan dalam pelatihan meliputi materi - materi yang secara umum terkait dengan pemanfaatan lahan pekarangan, antara lain: Pembuatan media semai dan tanam, Penyemaian, Pengisian polybag, Pendederan bibit (pemindahan ke polybag kecil), Penanaman dan pemeliharaan calon benih sebar, Pemeliharaan bibit dan pengendalian OPT, Pembuatan bedengan, Pemupukan, Prosesing benih sebar, Cara tanam dan pembuatan rak vertikultur, Pembuatan kompos atau pupuk kandang, serta Panen dan pasca panen. Setelah mengikuti pelatihan, peserta M-KRPL semakin termotivasi dalam mengelola lahan pekarangannya. Berdasarkan survey di lapang menunjukkan bahwa tingkat adopsi peserta KRPL terhadap teknologi yang diberikan yaitu 856 83,33%. Hal ini menunjukkan keterampilan peserta KRPL meningkat, khususnya keterampilan menanam sayuran, buah, dll. Penghematan Belanja Pangan dan Pendapatan Berdasarkan hasil survey melalui wawancara kepada 30 peserta, nampak bahwa pengeluaran rumah tangga peserta M-KRPL Kolaka untuk belanja pangan berkisar antara Rp. 500.000,- - Rp, 1.000.000,-./bulan. Sebelum adanya program KRPL, khusus untuk komponen sayuran rata - rata pengeluaran berkisar antara Rp. 100.000 - Rp. 400.000,-/bulan dan setelah adanya M-KRPL warga dapat menghemat pengeluaran pangan sebesar Rp. 150.000 hingga Rp.250.000,/bulan. Penghematan ini sebagian besar berasal dari komponen belanja sayuran. Beberapa jenis sayuran hasil panen di lahan pekarangan peserta telah di jual ke pasar tradisional oleh beberapa orang peserta KRPL yaitu sawi, terung, kangkung dan seledri, dengan jumlah keseluruhan dari hasil penjualan yaitu Rp. 550.000,- Rp. 800.000,-. Pola Pangan Harapan (PPH) Pola pangan harapan (PPH) merupakan susunan kelompok pangan yang didasarkan pada kontribusi energinya untuk memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas, keragamannya yang dinyatakan dengan skor PPH. Skor angka kecukupan energy (AKE) dan angka pola pangan harapan (PPH) di lokasi M-KRPL Desa Huko – Huko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Skor Angka Kecukupan Energy (AKE) dan angka Pola Pangan Harapan (PPH) di M-KRPL, Kabupaten Kolaka Tahun 2012 No. Kelompok Pangan Skor Max Skor AKE Mei Skor PPH Desember Mei Desember 1 Padi-Padian 25 11,29 16,86 11,29 16,86 2 3 4 5 6 7 Umbi Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula 2,5 24 5 1 10 2,5 1,05 16,53 2,3 0 9,45 0,93 2,05 17,73 2,3 0 9,54 0,93 1,05 16,53 2,3 0 9,45 0,93 1,05 17,73 2,3 0 9,54 0,93 8 9 Sayur dan buah Lain-lain Total 30 0 100 51,19 0 92,74 51,67 0 101,08 30 0 71,55 30 0 78,41 Keterangan : Angka Kecukupan Energi (AKE) 2000 kkal/Kap/Hari Berdasarkan Tabel 3 di atas, nampak bahwa sebelum adanya program M-KRPL, skor PPH adalah 71,55, setelah adanya program M-KRPL skor PPH menjadi 78,41, atau terjadi peningkatan Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 6,86. Hal tersebut menunjukkan adanya perbaikan kualitas gizi pangan yang dikonsumsi masyarakat. Peningkatan skor tertinggi terjadi akibat meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap padi-padian dan pangan hewani. 857 Eskalasi Selama pelaksanaan program M-KRPL di Kabupaten Kolaka, jumlah kepala keluarga yang mereplikasi/menerapkan M-KRPL, dapat di bagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu : 1) dalam kawasan, awalnya 30 kepala keluarga menjadi 45 kepala keluarga, 2) luar kawasan, awalnya 32 kepala keluarga menjadi 69, sehingga jumlah keseluruhan kepala keluarga yang mereplikasi MKRPL adalah 114 kepala keluarga. KESIMPULAN Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Program M-KRPL telah berhasil meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta KRPL dalam pemanfaatan pekarangan. 2. Program M-KRPL dapat menghemat pengeluaran pangan sebesar Rp. 150.000 hingga Rp.250.000,-/keluarga/bulan. 3. Peningkatan Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 6,86. 4. Eskalasi M-KRPL sebesar 114 kepala keluarga. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Inovasi Terkini Budidaya Sayuran di Pekarangan. http://www.litbang.deptan.go. id. [diakses 15 September 2012]. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Fungsi Pekarangan. http://www.litbang.deptan.go.id. [diakses 15 September 2012]. Rachman, H.P.S. dan M. Ariani. 2007. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program. Makalah pada “Workshop Koordinasi Kebijakan Solusi Sistemik Masalah Ketahanan Pangan Dalam Upaya Perumusan Kebijakan Pengembangan Penganekaragaman Pangan“, Hotel Bidakara, Jakarta, 28 November 2007. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. Saliem H.P. 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL): Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan. 10 hlm. Sinar Tani. 2012. Sinar Tani Edisi 31 Oktober – 6 Nopember 2012. No. 3480. Susanti, Y. 2011. Pemanfaatan Pekarangan Sebagai Penyuplai Gizi Keluarga. http://[email protected]. id. [5 September 2011]. 858 EFEKTIVITAS BEBERAPA HERBISIDA YANG DIAPLIKASIKAN PADA 7, 10, 12, DAN 15 HARI SETELAH SEBAR PADA BUDIDAYA PADI SISTEM TABELA Maintang dan Nasruddin Razak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jalan Perintis Kemerdekaan Km,17,5 Sudiang, Makassar Email: [email protected] ABSTRAK Pertanaman padi sistem tabela secara ekonomis lebih efisien dan menghemat tenaga kerja, tetapi disisi lain pertumbuhan gulma akan lebih cepat menyaingi tanaman padi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dosis optimal dan waktu aplikasi yang efektif dari herbisida Topshot 60 OD yang selektif terhadap tanaman padi dan efektif dalam mengendalikan gulma. Lokasi pengujian di kabupaten Sidrap, terdiri dari dua unit yaitu desa Tonronge Kecamatan Baranti dan Desa Lanrang Kec. Panca Rijang, berlangsung September - Desember 2012. Penelitian disusun dalam bentuk rancangan acak kelompok. Aplikasi herbisida pada 7, 10, 12 dan 15 Hari Setelah Sebar (HSS), terdapat 15 unit perlakuan herbisida. Peubah yang diamati (1) tingkat keracunan tanaman padi pada 3,7,14 dan 28 HAS (Hari setelah aplikasi), (2) Kontrol efikasi pada 15 dan 30 HSA. Analisis data sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil pengujian menunjukkan herbisida topshot 60 OD selektif terhadap tanaman padi pada semua dosis dan waktu aplikasi yang diberikan. Di lokasi Tonronge, herbisida Topshot dosis 1000 ml/ha, 1250 ml/ dan 1500 ml/ha yang diaplikasikan pada 7, 10, 12 dan 15 hari setelah sebar (HSS) efektif dalam mengendalikan gulma E.crusgally, L.chinensis, Cyperus Sp. F.miliceae, S.zeilanica dan M.vagininalis. Pengujian di lokasi Lanrang, herbisida Topshot dengan dosis 1250 dan 1500 ml/ha lebih efektif dalam mengendalikan gulma E.crusgally dan L.chinensis. Gulma Cyperus Sp dan F.miliceae efektif dikendalikan dengan herbisida topshot pada berbagai dosis dan waktu aplikasi yang diberikan. Herbisida Tigold, Nominee 300 ml/ha, Ricestra-xtra dan herbisida Clipper + Clincer juga efektif dalam mengendalikan gulma E.crusgally, L.chinensis, Cyperus Sp, S.zeilanica, F.miliceae dan M.vaginalis baik di Tonronge maupun Lanrang. Kata kunci : Gulma, tingkat keracunan, kontrol efikasi, tabela PENDAHULUAN Padi merupakan tanaman sereal yang bernilai sosial, politik dan ekonomi, karena tanaman padi merupakan bahan makanan pokok bagi lebih dari setengah penduduk di dunia. Untuk mempertahankan keseimbangan antara permintaan dan produksi padi, maka diperlukan upaya untuk menstabilkan laju kenaikan produksi melalui peningkatan produktivitas tanaman. Oleh karena itu, dibutuhkan berbagai inovasi diantaranya penggunaan varietas unggul, pemupukan berimbang, teknologi pengelolaan tanaman yang ramah lingkungan, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) termasuk diantaranya teknologi pengendalian gulma. 859 Gulma merupakan tumbuhan pengganggu dan menurunkan hasil padi bila tidak dikendalikan secara efektif. Gulma menyaingi tanaman dalam pengambilan unsur hara, air, ruang, dan cahaya. Gulma merugikan petani melalui: (1) Perananannya sebagai tumbuhan inang hama dan penyakit tanaman; misalnya gulma Cyperus iria merupakan tumbuhan inang bagi hama wereng cokelat dan kerdil rumput; (2) Penyumbatan saluran irigasi sehingga saluran irigasi tidak efisien, misalnya Eichornia crassipes (eceng gondok); (3) Mengurangi kualitas hasil panen; (4) Bersaing dengan tanaman untuk mendapatkan cahaya, air dan hara dan kebutuhan pertumbuhan lainnya; (5) Menganggu kelancaran pekerjaan petani, misalnya gulma berduri seperti bayam duri dan Mimosa invisa L (sikejut); dan (6) Menurunkan kualitas dan kuantitas hasil panen (Madrid (1977); Gupta (1984)) dalam Pane dan Sigit (2008). Di lahan irigasi persaingan gulma dengan padi dapat menurunkan hasil padi 10-40 %, tergantung spesies dan kepadatan gulma, jenis tanah, pasokan air, dan keadaan iklim (Nantasomsaran dan Moody, 1993). Pada tingkat pengelolaan petani, kehilangan hasil padi akibat persaingan dengan gulma berkisar 10-15 %. De Datta (1981) dalam Pane dan Sigit (2008) menyatakan bahwa kehilangan hasil oleh persaingan gulma adalah sekitar 34 % pada padi tanam pindah, 45 % padi “tabela” (tanam benih langsung) di lahan sawah irigasi dan tadah hujan, dan 67 % pada padi gogo. Pengendalian gulma biasanya dilakukan secara manual (penyiangan dengan tangan) dan pengaturan air. Saat ini penyiangan dengan tangan sudah mulai ditinggalkan sebab keterbatasan tenaga kerja. Perkembagan selanjutnya, gulma dikendalikan dengan alat sederhana seperti kored dan landak, lalu secara mekanis, menggunakan alat mesin. Teknologi pengendalian gulma berkembang semakin maju dengan dikembangkannya bahan kimia yang disebut “ herbisida”. Teknik pengendalian secara khemis (dengan menggunakan herbisida) cenderung mengalami peningkatan (kualitas dan kuantitas) dari tahun ke tahun di banyak negara. Volume pemakaian herbisida jauh lebih tinggi (70-100 %) di negara-negara maju dibanding dengan negara -negara sedang berkembang (De Datta dan Herdt (1983); Valverde 2003 dalam Purba, (2009). Peningkatan penggunaan herbisida disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, ketersediaan tenaga kerja terbatas, dengan herbisida waktu pelaksanaan pengendalian gulma relatif singkat, dan biaya pengendalian lebih murah (cost-effective) dibanding dengan teknik lain. Pemakaian herbisida dapat membuat petani lebih mudah melakukan pekerjaan pengendalian (Purba, 2009). Pane (2003) menambahkan bahwa adanya kelangkaan buruh tani serta harga herbisida yang terjangkau telah mendorong petani pada lahan irigasi di beberapa negara di Asia termasuk Indonesia beralih dari tanam pindah (tapin) ke tanam benih langsung (tabela). Seiring perkembangan teknologi pengendalian gulma dengan herbisida, telah banyak jenis-jenis herbisida yang dipasarkan dengan berbagai macam bahan aktif, formulasi, cara, dan waktu aplikasi yang bervariasi. Beberapa herbsida tersebut diantaranya adalah herbisida Topshot, Tigold, Nominee, RiceStra extra, Herbisida Clincher dan Clipper. Herbisida tersebut diyakini mampu mengendalikan gulma yang umum tumbuh pada pertanaman padi di Indonesia. Pertanaman padi dengan sistem tabela secara ekonomis lebih efisien dan menghemat tenaga kerja, tetapi disisi lain pertumbuhan gulma akan lebih cepat menyaingi tanaman padi, oleh karena itu pemilihan herbisida harus selektif dan 860 se efisien mungkin untuk dapat mengendalikan gulma. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan uji efeketifitas herbisida Topshot dengan tujuan : 1. Mengetahui dosis optimal dan waktu aplikasi yang efektif dari herbisida Topshot 60 OD yang selektif terhadap tanaman padi dan efektif dalam mengendalikan gulma yang umum tumbuh di Indonesia. 2. Mengetahui efikasi herbisida Topshot 60 OD dibandingkan dengan herbisida Tigold, Nominee, Ricestar-Xtra, Clipper dan Clincher. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sidrap, terbagi atas dua unit percobaan yaitu di Desa Tonronge Kecamatan Baranti dan Desa Lanrang Kecamatan Panca Rijang, berlangsung dari September hingga Desember 2012. Penanaman pada lokasi Tonronge berlansung pada tanggal 28 Nopember 2012 dan penanaman pada lokasi Lanrang, tanggal 9 Desember 2012. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi campuran herbisida cyhalofop- butyl 50 g L-1 + penoxulam 10 g L-1 (Topshot 60 OD), bahan aktif cyhalofop-butyl (Clincher 100 EC), bahan aktif penoxulam (Clipper 25 OD), fenoksaprop –P-Etil (Ricestar-Xtra), bahan aktif 105.5 g/L Byspribac sodium (Nominee) dan herbisida Tigold. Rancangan Penelitian Penelitian disusun dalam bentuk rancangan acak kelompok. Aplikasi herbisida dilaksanakan pada 7, 10, 12 dan 15 Hari Setelah Sebar (HSS),sehingga terdapat 15 unit perlakuan. Tabel 1. Waktu aplikasi, perlakuan, dan dosis herbisida pada 7, 10, 12 dan 15 Hari Setelah Sebar (HSS) Waktu Aplikasi 7 7 10 10 10 10 12 12 12 15 15 15 15 15 0 Perlakuan Topshot 60 OD Topshot 60 OD Topshot 60 OD Topshot 60 OD TiGold 10 WP Topshot 60 OD Topshot 60 OD Topshot 60 OD Nominee SC100 Topshot 60 OD Topshot 60 OD Ricestar-Xtra OD89 Nominee SC100 Clipper + Clincher ( 25OD + 100 EC) Kontrol Dosis (ml/ha) 1000 1500 1250 1500 600 300 1250 1500 300 1250 1500 500 300 600 + 1000 0 861 Setiap perlakuan di ulang 3 kali dengan ukuran plot 4 x 5 m (20 m2). Varietas padi yang digunakan yakni Inpari 9. Metode aplikasi Foliar spray 320 L/ha. Pengamatan dilakukan terhadap gulma yang tumbuh. Jenis gulma yang diamati adalah: E. cruss-galli (ECHCG), Leptochloa chinensis (LEFCH), Cyperus difformis (CYPDI), Fimbristylis miliacea (FIMMI), Spenochlea zeylanica (SPDZE), Ludwigia octovalvis (LUDOC), Monochoria vaginalis (MOOVA), Marsilea minuta (MASMI), dan Cyperus sp (CYPIR). Peubah yang diamati adalah: 1. Tingkat keracunan (visual) tanaman padi pada 3, 7, 14 dan 28 HSA (Hari Setelah Aplikasi). Jika keracunan masih terlihat, terus diamati hingga gejala keracunan tidak terlihat. Tingkat keracunan disusun menjadi 1-9 skala. Tabel 2. Gejala keracunan pada setiap skala Tingkat keracunan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Gejala Tanaman sehat, tidak tampak gejala keracunan ataupun kelihatan terhambat pertumbuhannya. Keracunan sangat kecil, tampak sedikit terhambat Tanaman sedikit keracunan, (daun sedikit berubah, pucuk terbakar), tanaman pulih setelah 3-5 hari Tampak sekali tingkat keracunannya, terhambat, daun kering/menguning, hilangnya klorofil, pulih sekitar 5-7 hari , tidak tampak akan menunjukkkan kehilangan hasil Tampak sekali tingkat keracunannya, serious terhambat, abnormal, recovery lambat > 7 hari, yield loss bakal terjadi Keracunan tinggi, tanaman tidak tumbuh atau tumbuh sangat merana, absolut akan kehilangan hasil Keracunan tinggi, sebagian tanaman mati, kerdil dan yakin sekali akan kehilangan hasil Keracunan sangat tinggi, hampir sedikit sekali tanaman yang hidup setelah aplikasi Seluruh tanaman mati segera setelah aplikasi 2. Pengendalian gulma per species (% visual pengurangan biomass vs kontrol) pada 15 dan 30 Hari Setelah Sebar (HSA). Persentase dari kontrol efikasi untuk setiap jenis gulma dihitung dengan mengggunakan rumus: % Kontrol = ( (NUT-NT)/ NUT * 100 Dimana: NUT = Jumlah gulma pada kontrol (tanpa perlakuan) NT = Jumlah gulma pada plot perlakuan Analsis Data Data hasil pengamatan Kontrol efikasi herbisida pada pengamatan 15 dan 30 HSA dianalisis sidik ragam (Anova) dengan menggunakan program SAS,9.0. Perbedaan antar setiap perlakuan dianalisis lanjut dengan metode uji berganda Duncan 5 %. 862 HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Keracunan Lokasi Desa Tonronge Tingkat keracunan berdasarkan gejala yang terlihat pada tanaman padi yang diamati pada hari ke- 3, 7, 14 dan 28 hari setelah aplikasi (HSA) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Gejala keracunan yang tampak secara visual pada tanaman padi di pengamatan 3, 7, 14 dan 28 hari setelah aplikasi (HSA). Lokasi Desa Tonronge Waktu Aplikasi 7 7 10 10 10 10 12 12 12 15 15 15 15 15 0 Perlakuan Topshot (1000 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) TiGold (600 ml/ha) Topshot (300 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Topshot(1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Ricestar-Xtra(500 ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Clipper + Clincher (1000 + 1000 ml/ha) Kontrol Pengamatan (HSA) 3 7 14 1.3 1 1 1 1.6 1.3 1 2 1 1.3 2 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 3 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 28 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Secara umum tidak nampak adanya gejala keracunan pada tanaman padi yang diamati. Pengamatan 7 hari setelah aplikasi terlihat adanya gejala keracunan ringan pada tanaman padi di semua plot perlakuan herbisida, gejala yang terlihat, tanaman padi mengalami sedikit hambatan inhibisi berupa adanya titik seperti agak terbakar pada daun, namun pada pengamatan selanjuntya (14 dan 28 HSA) tanaman padi sudah mulai segar kembali, sehingga dapat dinyatakan bahwa jenis dan dosis herbisida serta waktu aplikasi yang diberikan mampunyai selektifitas yang tinggi terhadap tanaman pokok sehingga tidak mengakibatkan keracunan pada tanaman padi. Lokasi Desa Lanrang Gejala keracunan ringan terlihat hanya pada pengamatan 3 dan 7 hari setelah aplikasi (HSA) Tabel 4. Dilihat dari persentasenya keracunan yang terlihat sedikit lebih berat dibandingkan pada lokasi pengujian di Tonronge, namun pada pengamatan selanjutnya (14 dan 28 HSA) tanaman sudah segar kembali sehingga dapat dinyatakan pula bahwa pada lokasi ini semua jenis serta dosis dan waktu aplikasi herbisida yang diberikan bersifat selektif pada tanaman padi sehingga tidak menimbulkan keracunan. Hal ini berarti herbisida-herbisida tersebut aman digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman padi sistem tabela. 863 Tabel 4. Gejala keracunan yang tampak secara visual pada tanaman padi di pengamatan 3, 7, 14 dan 28 hari setelah aplikasi (HSA). Lokasi Desa Lanrang Waktu Aplikasi 7 7 10 10 10 10 12 12 12 15 15 15 15 15 0 Perlakuan Topshot (1000 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) TiGold (600 ml/ha) Topshot (300 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Topshot(1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Ricestar-Xtra(500 ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Clipper + Clincher (1000 + 1000 ml/ha) Kontrol Pengamatan (HSA) 3 7 14 1 1.6 1 1.3 2 1 1.6 2 1 2 2 1 2 2.6 1 1 1.6 1 1 2 1 1 2.6 1 1 3 1 1 1.6 1 1 2 1 1.6 1 1 1.6 1 1 1.3 1.6 1 1 1 1 28 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Kontrol Efikasi Lokasi Desa Tonronge Kemampuan suatu herbisida dalam mengendalikan gulma sasaran dapat dilihat dari nilai kontrol efikasinya. Kontrol efikasi menggambarkan persentase pengurangan biomassa gulma karena penggunaan herbisida dibandingkan dengan kontrol atau tanpa pemberian herbisida. Semakin besar nilai kontrol efikasi dari suatu herbisida menunjukkkan semakin efektif herbisida tersebut dalam mengendalikan gulma sasaran. Kontrol efikasi herbisida topshot yang diaplikasikan pada waktu 7, 10, 12 dan 15 hari setelah sebar di lokasi pengujian desa Tonronge disajikan pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5. Kontrol efikasi herbisida terhadap gulma sasaran pada pengamatan 15 Hari Setelah Aplikasi (HSA), lokasi desa Tonronge Kontrol Efikasi Waktu Aplikasi Perlakuan E. crusgally L. chinensis Cyperus Sp. F. miliceae S. zeilanica M. vaginalis 7 7 10 10 10 10 12 12 12 15 15 Topshot (1000 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) TiGold (600 ml/ha) Topshot (300 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Topshot(1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 864 a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a Lanjutan… Waktu Aplikasi Perlakuan Kontrol Efikasi E. crusgally L. chinensis Cyperus Sp. F. miliceae S. zeilanica M. vaginalis 15 RicestarXtra(500ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Clipper + Clincher (1000 + 1000 ml/ha) Kontrol 10.05 a 10.05 a 10.05 a 9.91 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 9.76 a 9.76 a 10.05 a 10.05 a 9.44 a 9.44 a 1.00 b 1.00 b 1.00 b 15 15 0 1.00 b 1.00 b 1.00 b Tabel 6. Kontrol efikasi herbisida terhadap gulma sasaran pada pengamatan 30 Hari Setelah Aplikasi (HSA), lokasi desa Tonronge Waktu Aplikasi 7 7 10 10 10 10 12 12 12 15 15 15 15 15 0 Kontrol Efikasi Perlakuan E. crusgally L. chinensis Cyperus Sp. F. miliceae S. zeilanica M. vaginalis Topshot (1000 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) TiGold (600 ml/ha) Topshot (300 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Topshot(1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Ricestar-Xtra(500 ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Clipper + Clincher (1000 + 1000 ml/ha) Kontrol 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 9.70ab 10.05 a 8.83 b 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 8.40 b 10.05 a 10.05 a 9.10 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 9.85 a 9.19 a 10.05 a 10.05 a 9.19 a 9.94 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 9.93 a 9.93 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 9.93 a 10.05 a 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 a a a a a a a a a a a a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 9.08 a 9.08 a 9.08 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 9.08 ab 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 7.033 a 7.033 a 9.60 a 10.05 a 1.00 c 1.00 c 1.00 b 1.00 b 1.00 b 1.00 b Pada Tabel 5 dan 6, herbisida Topshot 60 OD yang diaplikasikan pada berbagai dosis dan waktu aplikasi yang berbeda berdasarkan hasil uji lanjut, memperlihatkan kontrol efikasi yang tidak berbeda dengan herbisida lainnya (Ricestar-Extra, Nominee, Tigold) dalam mengendalikan gulma E.crusgally, Cyperus Sp., F.miliceae, S.zeilanica dan M. vaginalis. Hal ini berarti herbisida topshot yang diaplikasikan pada berbagai dosis dan waktu aplikasi yang berbeda mempunyai efektifitas yang sama dengan herbisida lainnya dalam mengendalikan gulma-gulma tersebut. Terlihat pula bahwa semua jenis herbisida yang diberikan menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol. Topshot 60 OD adalah herbisida yang terdiri dari dua bahan bahan aktif yang berbeda yaitu Penoxsulam dan Cyhalofop-butyl. Penoxsulam merupakan herbisida grup Triazolopyrimidines sulfonamide, bekerja menghambat enzim acetolactate synthase (ALS), memiliki spektrum luas, diabsorbsi oleh gulma terutama melalui daun, dan sebagian kecil melalui akar dan ditranslokasikan. Rumus kimiadari penoksulam adalah C16H14F5N5O5S. Penoxsulam merupakan herbisida post emergence yang digunakan pada tanaman padi untuk mengendalikan gulma teki, gulma daun lebar, gulma air, dan rumputrumputan 865 tertentu. Sedangkan Cyhalofop-butyl merupakan herbisida post emergence untuk gulma golongan rumput-rumputan. Cyhalofop-butyl merupakan herbisida grup Aryloxyphenoxypropionate dengan rumus formula C16H12FNO4 yang bekerja menghambat ACCase (acetyl CoA carboxylase) (Weed Science, 2011). Lokasi Desa Lanrang Hasil analisis analisis statistik menunjukkan perbedaan nyata di antara semua jenis herbisida dan waktu aplikasi yang diberikan jika dibandingkan dengan kontrol, tetapi terdapat perbedaan antara herbisida topshot pada berbagai dosis dan waktu aplikasi dan antara herbisida topshot dengan herbisida lainnya, baik pada pengamatan 15 Hari Setelah Aplikasi (HSA) maupun pada pengamatan 30 Hari Setelah Aplikasi (HSA) (Tabel 7 dan Tabel 8). Tabel 7. Kontrol efikasi herbisida terhadap gulma sasaran pada pengamatan 15 Hari Setelah Aplikasi (HSA), lokasi desa Lanrang Waktu Aplikasi 7 7 10 10 10 10 12 12 12 15 15 15 15 15 0 Kontrol Efikasi Perlakuan E. crusgally L. chinensis Cyperus Sp. F. miliceae Topshot (1000 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) TiGold (600 ml/ha) Topshot (300 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Topshot(1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Ricestar-Xtra(500 ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Clipper + Clincher (1000 + 1000 ml/ha) Kontrol 5.570 6.730 8.736 10.05 9.340 9.570 9.340 9.537 7.923 10.05 9.837 9.590 8.950 6.453 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 10.05 9.906 10.05 7.436 9.973 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 7.033 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 8.50 b 10.05 a 10.05 a 1.00 e d bdc bac a bac bac bac bac bdac a a bac bac dc 1.00 c a a a a a a a a a a a a b a a a a a a a a a a a a a a a 1.00 b 1.00 c Tabel 7 menunjukkan herbisida topshot dengan dosis 1250 ml/ha dan 1500 ml/ha yang diaplikasikan pada 10, 12, 15 HAS, memiliki efektivitas yang sama dalam mengendalikan gulma E. crusgally dan berbeda nyata dengan herbisida topshot dengan dosis 1000 ml/ha pada aplikasi 7 HST. Hal ini menunjukkan, herbisida topshot dengan dosis 1250 ml/ha dan dosis 1500 ml/ha dapat digunakan untuk mengendalikan gulma E. crusgally dengan waktu aplikasi 10, 12 dan 15 hari setelah tebar benih padi tabela. Efektivitas yang sama juga diperlihatkan oleh herbisida Tigold, Nominee, dan Ricestar X-tra. Herbisida Topshot pada berbagai dosis dan waktu aplikasi juga efektif mengendalikan gulma L.chinensis, Cyperus sp. dan F. miliceae. Efektifitas yang sama juga diperlihatkan oleh herbisida Tigold, Ricestar-xtra dalam mengendalikan gulma L. chinensis, dan herbisida Tigold, Nominee dalam mengendalikan gulma F.miliceae. 866 Tabel 8. Kontrol efikasi herbisida terhadap gulma sasaran pada pengamatan 30 Hari Setelah Aplikasi (HSA), lokasi desa Lanrang Waktu Aplikasi 7 7 10 10 10 10 12 12 12 15 15 15 15 15 0 Kontrol Efikasi Perlakuan E. crusgally L. chinensis Cyperus Sp. F. miliceae Topshot (1000 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) TiGold (600 ml/ha) Topshot (300 ml/ha) Topshot (1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Topshot(1250 ml/ha) Topshot (1500 ml/ha) Ricestar-Xtra(500 ml/ha) Nominee(300 ml/ha) Clipper + Clincher (600 + 1000 ml/ha) Kontrol 9.83 a 9.83 a 10.05 a 9.92 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 9.76 a 8.39 a 9.44 a 5.76 b 8.90 b 10.02 a 10.05 a 10.05 a 9.95 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 9.70 ab 10.05 a 10.05 a 9.55 ab 10.05 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 7.033 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 10.05 a 9.08 ab 8.63 ab 7.85 b 1.00 c 1.00 c 1.00 b 1.00 c Herbisida topshot pada berbagai dosis dan waktu aplikasi pada pengamatan 30 HST memperlihatkan efektifitas yang sama dalam mengendalikan gulma E.crusgally, Cyperus Sp. Dan F.miliceae, sedangkan terhadap gulma L.chinensis efektif pada dosis 1250 ml/ha dan 1500 ml/ha pada berbagai waktu aplikasi. Efeketifitas topshot hanya berbeda dengan herbisida Clipper + Clincer dalam mengendalikan E.crusgally. Demikian juga antara herbisida topshot dosis 1000 ml/ha yang diaplikasikan pada 7 HST tidak menunjukkan perbedaan dengan herbisida nominee dosis 300 ml/ha dengan aplikasi 15 HST. Herbisida Ricestar-xtra,Nominee dan Clipper + Clincer memperlihatkan efektivitas yang sama dalam mengendalikan gulma F.miliceae. Herbisida topshot berbahan aktif sihalofop-Butyl 50 g/l/ penoksulam 10 g/l. Herbisida ini bersifat sistemik. Dosis rekomendasi 0,75- 1,5 ltr/ha dengan waktu aplikasi 10-15 HST. gulma sasaran Ludwigia octovalvis, Alternantera philoxeroides, L.chinensis, E.crusgally, Cyperus iria dan Fimbristilis miliceae. Herbisida Clincer berbahan aktif sihalofop, Clipper berbahan aktif penoksulam dan herbsida ricestra-xtra berbahan aktif fenoksaprop –P-Etil. Pengujian di lapangan memperlihatkan bahwa herbisida tersebut efektif dalam mengendalikan beberapa spesies gulma yang tumbuh pada pertanaman padi sawah sistem tabela. Pane dan Sigit (2008) menyatakan bahwa pada pertanaman padi sistem tabela dan pertanaman padi gogo dengan sistem tabela kering (dry seeding) herbisida sihalofop, fenoksaprop-P-etil, oksadyagril, oksadiason dan lain-lain dapat dipakai dalam pengendalian gulma, namun di dalam pemakaiannya perlu diperhatikan dosis, waktu aplikasi dan cara aplikasinya. Kim (1996) dalam Pane dan Sigit (2008) menyarankan bahwa untuk menghindari terjadinya resistensi gulma terhadap herbisida tertentu dianjurkan untuk memakai herbisida yang mempunyai lebih dari satu bahan aktif. Herbisida Topshot tersusun atas dua bahan aktif yaitu sihalofop-Butyl 50 g/l/ penoksulam 10 g/l. Perkembangan teknologi pencampuran herbisida dengan bahan aktif berbeda bertujuan untuk mendapatkan spektrum pengendalian yang lebih luas, serta diharapkan dapat memperlambat timbulnya gulma yang resisten 867 terhadap herbisida, mengurangi biaya produksi, serta mengurangi residu herbisida. Salah satu hal yang harus dicermati dalam pencampuran herbisida adalah apakah campuran tersebut bersifat antagonistik atau tidak. Jika campuran herbisida tersebut bersifat antagonis, maka pengendalian gulma dengan herbisida campuran tersebut tidak akan efektif. Oleh karena itu, suatu campuran herbisida perlu diuji sifat aktivitasnya, dan ini ditentukan oleh jenis formulasi, cara kerja dan jenis-jenis gulma yang dikendalikan (Guntoro dan Fitri, 2013). Periode kritis persaingan gulma pada tanaman padi umumnya terjadi sampai 40 hari pertama dari siklus hidupnya. Pada fase ini kanopi tanaman belum menutup, intensitas cahaya ke permukaan tanah masih tinggi sehingga biji-biji gulma berkecambah dan tumbuh lebih cepat dari tanaman padi. Pertumbuhan gulma pada periode tersebut, biasanya tidak menyebabkan tingkat persaingan dan penurunan hasil yang nyata. Nyarko dan De Datta (1991) menyatakan bahwa gulma jajagoan sangat peka terhadap naungan, sehingga bila kanopi padi menutupi permukaan tanah, maka gulma tersebut akan kalah bersaing dengan tanaman padi. Sebaliknya pada pertanaman padi sistem tabela pertumbuhan gulma akan lebih cepat menyaingi tanaman padi, oleh karena itu diperlukan pemilihan herbisida yang tepat waktu aplikasinya agar pertumbuhan gulma dapat ditekan lebih awal. KESIMPULAN Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat gejala keracunan ringan pada 3- 7 hari dan tidak ada lagi gejala keracunan pada pengamatan 14 dan 28 hari untuk semua dosis dan jenis herbisida yang diaplikasikan baik pada waktu aplikasi 10,12 dan 14 Hari setelah tabela (HST). 2. Di lokasi pengujian desa Tonronge, herbisida Topshot dengan dosis 1000 ml/ha, 1250 ml/ dan 1500 ml/ha yang diaplikasikan pada 7, 10, 12 dan 15 hari setelah tabela (HST) efektif dalam mengendalikan gulma E.crusgally, L.chinensis, Cyperus Sp. F.miliceae, S.zeilanica dan M.vagininalis. 3. Di lokasi pengujian desa Lanrang, herbisida Topshot dengan dosis 1250 dan 1500 ml/ha lebih efektif dalam mengendalikan gulma E.crusgally dan L.chinensis, sedangkan terhadap gulma Cyperus Sp dan F.miliceae efektif dikendalikan dengan herbisida topshot baik dengan dosis 1000, 1250 dan 1500 ml/ha dengan aplikasi 7, 10, 12 dan 15 HST. 4. Herbisida Tigold, Nominee 300 ml/ha, Ricestra-xtra dan herbisida Clipper + Clincer juga efektif dalam mengendalikan gulma E.crusgally, L.chinensis, Cyperus Sp, S.zeilanica, F.miliceae dan M.vaginalis baik di unit percobaan desa Tonronge maupun desa Lanrang. 868 SARAN Herbisida topshot dengan berbagai dosis dan waktu aplikasi yang berbeda menunjukkan efektifitas yang tidak berbeda secara statistik, dosis 1250 ml/ha dengan waktu aplikasi 12 hari setelah sebar (HSS) memperlihatkan efektifitas yang stabil di dua lokasi pengujian sehingga disarankan untuk menggunakan dosis dan waktu aplikasi tersebut. DAFTAR PUSTAKA De Datta, S.K. dan R.W. Herdt. 1983. “Weed Kontrol Technology in Irrigated Rice”. Paper Presented at the Weed Kontrol in Rice Conference. IRRI. Los Banos, Philippines, August 31-September 4, 1981 p.89-108. Guntoro, D. dan T. Y. Fitri. 2013. Aktivitas Herbisida Campuran Bahan Aktif Cyhalofop-Butyl dan Penoxsulam terhadap Beberapa Jenis Gulma Padi Sawah. Bul. Agrohorti 1 (1) : 140 – 148. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Purba, E. 2009. Keanekaragaman Herbisida dalam Pengendalian Gulma Mengatasi Populasi Gulma Resisten dan Toleran Herbisida. Makalah disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Gulma pada Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara, 10ktober,2009. http://www.usu.ac.id. [diakses 14 September 2012]. Pane. 2003. Kendala dan Peluang Tabela di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pane, H. dan S.Y. Jatmiko. 2008. Pengendalian Gulma Pada Tanaman Padi dalam Padi Innovasi Teknologi Produksi, Buku 2, Editor Aan A. Daradjat, Agus Setiyono, A. Karim Makarim dan Andi Hasanuddin. Balai Besar Penelitian Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 267 – 294. Natasomsaran, P. dan K. Moody. 1993. “Weed Management for Rainfed LowLand Rice”. Paper to be Presented at The Secpnd Annual Technical Meeting of the Rainfed Lowland Rice Consortium, Semarang, Indonesia, 10-13 Februari 1993. Nyarko, K. dan De Datta. 1991. A. Handbook for Weed Kontrol In Rice. Manila, Philiphines: IRRI. Weedscience. 2011. Herbicide Resistant Weed Summary http://www.weedscience. org. [September, 2013). Table. 869 FLUKTUASI POPULASI Helicoverpa armigera Hubner SEBAGAI HAMA TANAMAN JAGUNG DI KABUPATEN MAMUJU UTARA SULAWESI BARAT Rahmatia Djamaluddin dan Suriany Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jalan Perintis Kemerdekaan Km,17,5 Sudiang, Makassar Email: [email protected] ABSTRAK Hama utama pada berbagai daerah penghasil jagung adalah lalat bibit Atherigona sp., penggerek batang Ostrinia furnacalis, penggerek tongkol Helicoverpa armigera Hubner, ulat gerayak (Mythimna sp. dan Spodoptera sp.). Penggerek tongkol Helicoverpa armigera Hubner adalah serangga polifag yang sering ditemukan pada pertanaman jagung. Infestasi serangga ini akan menurunkan kualitas dan kuantitas tongkol jagung. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan gambaran populasi penggerek tongkol selama pertumbuhan tanaman pada musim tanam pertama dan kedua untuk menentukan alternatif pengendalian yang efektif dan efisien. Pengkajian ini dilaksanakan di desa Bambakoro, kecamatan Lariang adalah salah satu daerah sentra produksi jagung di kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat pada musim tanam Mei hingga Agustus 2010 (MT I) dan September hingga Desember 2010 (MT II). Pengamatan dilakukan selang seminggu selama pertumbuhan tanaman. Parameter yang diamati yaitu jumlah larva penggerek tongkol jagung Helicoverpa armigara dan musuh alaminya yang ditemukan pada tanaman terutama pada tongkol sebanyak 100 tanaman yang dipilih secara acak.Penggerek tongkol H. armigera ditemukan dua generasi pada pertanaman ini. Populasinya tidak terlalu besar, populasi tertinggi 83 ekor larva per 100 tanaman untuk MT I dan 49 ekor larva per 100 tanaman pada MT II dan ditemukan pada pengamatan kelima (8 MST) dan keenam (9 MST).Musuh alami yang ditemukan pada musim tanam I (Mei – Agustus) puncak populasi musuh alami (Orius sp., Chrysopa sp., dan laba-laba) ditemukan pada minggu ke-8 sedangkan pada musim tanam II (September – Desember) ditemukan populasi Orius sp. dan laba-laba, puncak populasinya pada minggu ke-5 dan Chrysopa sp. pada minggu ke-8. Kata kunci: Fluktuasi, hama tanaman, jagung PENDAHULUAN Kendala biotik dalam produksi jagung meliputi gangguan yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT), salah satunya adalah hama (Subandi et al., 1988). Hama jagung diketahui menyerang pada seluruh fase pertumbuhan tanaman jagung, baik vegetative maupun generative. Hama utama pada berbagai daerah penghasil jagung adalah lalat bibit, Atherigona sp., penggerek batang, Ostrinia furnacalis, penggerek tongkol Helicoverpa armigera, ulat grayak (Mythimna sp., dan Spodoptera sp.), dan tikus (Baco et al., 1988). Hama utama pada tanaman jagung adalah penggerek tongkol Helicoverpa armigera Hubner (Baco dan Tandiabang, 1988; Manti, 1986; dan Anonim, 1989) karena sering dijumpai di lapangan sejak saat tanaman mulai tumbuh sampai dengan stadia pengisian biji pada tongkol dan bunga jantan tidak terbentuk sempurna. 870 Serangga hama ini bersifat polifag yang sering ditemukan pada pertanaman jagung dan dilaporkan bahwa serangga ini merupakan hama utama dari tanaman jagung. Selain tanaman jagung H. armigera juga dapat ditemukan pada tanaman kapas, tembakau, sorgum, kentang, tomat dan kacang-kacangan (Kalshoven, 1981). Di Sulawesi Selatan, hama ini selalu ditemukan dengan densitas populasi yang cukup tinggi pada pertanaman petani di beberapa lokasi pertanaman petani seperti Barru, Soppeng, Wajo, Palopo dan Bulukumba (Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan, 1989). Imago betina H. armigera meletakkan telur pada pucuk tanaman dan bilamana tongkol sudah mulai keluar maka telur tersebut diletakkan pada rambut jagung, sesaat setelah mnetas larva akan menginvasi masuk ke dalam rongkol dan akan memakan biji yang sedang mengalami perkembangan. Infestasi serangga ini akan menurunkan kualitas dan kuantitas tongkol jagung. Penanaman jagung secara monokultur yang dilakukan beruntun dari musim ke musim, memperkecil keragaman organisme dan dapat mengakibatkan ledakan populasi hama, sedangkan pada pertanaman ganda serangan hama lebih rendah karena adanya diversifikasi tanaman. Interaksi organism di dalam pertanaman ganda berlangsung dalam bentuk fisik maaupun interferensi biologis (Emden dan Williams, 1974). Diketahuinya fluktuasi populasi hamatanaman jagung serta faktor utama yang menyebabkannya akan menjadi masukan yang merupakan dasar dalam merakit pengendalian hama tersebut secara efisien. METODOLOGI Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Bambakoro, Kecamatan Lariang, yaitu salah satu sentra produksi jagung di Kabupaten Mamuju Utara provinsi Sulawesi Barat pada MT Mei hingga Agustus 2010 (MT I) dan September hingga Desember 2010 (MT II). Pennaman jagung dilakukan bersamaan dengan petani di sekitarnya dengan menggunakan varietas jagung hibrida Bisi 2. Luas pertanaman petani yang diamati 0,5 ha dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm, dan 2 biji perlubang tanam. Pemupukan dilakukan dengan dosis 200 kg Urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl per ha. Pengamatan dilakukan selang seminggu selama pertumbuhan tanaman. Parameter yang di amati yaitu jumlah larva penggerek tongkol jagung Helicoverpa armigera dam musuh alami yang ditemukan pada tanaman terutama pada tongkol sebanyak 100 tanaman yang dipilih secara acak. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggerek tongkol H. armigera ditemukan dua generasi pada pertanaman ini. Populasinya tidak terlalu besar. Populasi tertinggi hanya 83 ekor larva untuk MT I dan 49 ekor larva pada MT II per 100 tanaman yaitu pada pengamatan kelima (8 MST) dan pengamatan keenam (9 MST). Fluktuasi populasi larva penggerek tongkol yang ditemukan selama MT I dan MT II, disajikan dalam Gambar 1. 871 Kondisi ini kemungkinan besar disebabkan tingginya populsi predator seperti Chrysopa sp., Orius sp. dan laba-laba ( Gambar 2 dan 3). Telur H. armigera yang biasanya diletakkan di rambut jagung terpredasi oleh Orius sp. yang jug selalu ada di rambut jagung. Sedang telur-telur yang diletakkan di permukaan daun atau di batang dimangsa oleh larva dari Chrysopa sp. Gambar 1. Fluktuasi populasi H. armigera pada tanaman jagung 4 12 MST. Serangan penggerek tongkol terjadi baik pada pertumbuhan vegetatif maupun generatif. Pada fase pertumbuhan vegetative hama ini menyerang titik tumbuh, pada serangan yang berat, tanaman akan mati. Pada kajian ini keadaan tidak terjadi karena baik telur maupun larva awal terperadasi oleh Orius sp. yang populasinya cukup tinggi pada awal pertumbuhan. Serangan penggerek tongkol pada umur lanjut hanya menyebabkan kerusakan pada ujung tongkol. Kondisi ini juga terjadi pada musim tanam II (MT II) dan terlihat puncak populasi penggerek tongkol lebih rendah dari puncak populasi penggerek tongkol MT I. Gambar 2. Gambaran populasi musuh alami yang ditemukan di lapang pada MT I ( Mei – Agustus 2010) 872 Gambar 3. Gambaran populasi musuh alami yang ditemukan di lapang pada MT II ( September – Desember 2010). Pada gambar terlihat bahwa populasi laba-laba dan Orius sp. hanya mencapai puncak pada minggu ke-5 (5 MST) sebesar 31 ekor sedangkan Chrysopa sp. pada minggu ke 8 ditemukan 78 ekor larva per 100 tanaman. Kondisi ini kemungkinan besar menyebabkan rendahnya populasi penggerek tongkol karena telur H.armigera yang biasanya diletakkan di rambut jagung terpredasi oleh Orius sp. yang juga selalu ada di rambut jagung. Sedang telurtelur yang diletakkan di permukaan daun atau di batang, dimangsa oleh larva dari Chrysopa sp. Serangan penggerek tongkol terjadi baik pada pertumbuhan vegetatif maupun generatif. Pada fase pertumbuhan vegetatif hama ini menyerang titik tumbuh, pada serangan yang berat tanaman akan mati. Dilain pihak serangan penggerek tongkol pada umur lanjut hanya menyebabkan kerusakan pada ujung tongkol. KESIMPULAN Penggerek tongkol H. armigera ditemukan dua generasi pada pertanaman ini. Populasi tertinggi hanya mencapai 83 ekor per 100 tanaman untuk MT I dan 49 ekor per 100 tanaman pada MT II yaitu pada pengamatan kelima (8 MST) dan keenam (9 MST). Pada musim tanam I ( Mei – Agustus) puncak populasi musuh alami (Orius sp., Chrysopa sp. dan laba-laba) ditemukan pada minggu ke-8 sedangkan pada musim tanam II (September – Deseber) ditemukan populasi Orius sp. dan Laba-laba, puncak populasinya pada minggu ke 5 dan Chrysopa sp. pada minggu ke-8. 873 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1989. Rekomendasi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Baco,D., J. Tandiabang, and W.Wakman. 1988. Pest and Diseases of Maize in Indonesia: Status and Research Needs.Rest.Inst. Of Maize and Other Cereals. Maros. 12 p. Baco,D., dan J. Tandiabang. 1988. Hama Utama Jagung dan Pengendalian Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. P. 185 – 204. Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan, 1989. Rekomendasi Pengendalian Jasad Pengganggu Tanaman di Indonesia. Direktorat Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta. Kalshoven, LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta. 701 p. Manti, I. 1986. Pengaruh Waktu Aplikasi Insektisida Terhadap Hama Jagung di Lundang Sumatra Barat. Pemberitaan Penelitian Sukarami. Badan Litbang Pertanian. Balittan Sukarami. Hal. 20 – 24. Subandi, I., Manwan, and A. Blumenschein. 1988. National Coordinated Research Program on Corn. Central Research Institute for Food Crops. Agency for Agricultural Research and Development. Emden, H.F. van and Williams, G.F. 1974. Insect Stability and Diversity in AgroEcosystems. Ann. Rev. Ent. 19, 455-75. Fox, LR (1975). Factors Influencing Cannibalism, a Mechanism of Population Limitation in The Predator Notonecta hoffmanni. Ecology (In press). Page 13. 874 HASIL BIJI DAN DAYA ADAPTASI GALUR HARAPAN KEDELAI PADA LINGKUNGAN OPTIMAL M. Muchlish Adie, Ayda Krisnawati, dan Didik Harnowo Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jl. Raya Kendalpayak km 8 PO Box 66 Malang Email: [email protected] ABSTRAK Kedelai di lahan sawah masih menjadi penyumbang terbesar terhadap kebutuhan nasional. Sebanyak10 galur kedelai (SHRW60/100H-21-16-33-9; SHRW60/100-36-4745-16; SHRW60/100-37-4-46-17; SHRW60/100-37-4-47-18; SHRW60/100-39-5-48-19; SHRW60/100H-154-131-36-78-1; SHRW60/100H-136-42-160-33; SHRW60/100H-154131-36-78-2; A/W-C-6-60; dan A/W-C-6-62), dan dua varietas pembanding (Burangrang dan Anjasmoro) diuji potensi hasil bijinya di Madiun (2 lokasi), Sragen (2 lokasi), dan Cianjur (2 lokasi) pada MK 2010. Rancangan percobaan yang digunakan di setiap lokasi penelitian adalah rancangan acak kelompok, 12 perlakuan dan setiap perlakuan diulang empat kali. Sidik ragam tergabung diperoleh interaksi yang nyata antara genotipe dan lingkungan (G x L) untuk karakter tinggi tanaman, jumlah polong hampa, berat 100 biji dan hasil biji. Sedangkan lokasi dan galur berpengaruh nyata terhadap sifat umur masak, tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, berat biji/tanaman, berat 100 biji dan hasil biji. Varietas pembanding Burangrang dan Anjasmoro masing-masing mampu berproduksi 2.60 dan 2.30 t/ha, dan dari 10 galur yang diuji, Aochi/W.C.6.62, mampu berproduksi tertinggi yakni 2.45 t/ha. Galur Aochi/W.C.6.62 memiliki hasil biji lebih tinggi dibandingkan varietas Anjasmoro, dan tergolong stabil hasil bijinya. Karakteristik dari galur Aochi/W.C.6.62 adalah memiliki umur masak sebanding dengan Burangrang dan lebih genjah dibandingkan Anjasmoro. Kata kunci: Galur, lahan optimal, daya adaptasi, stabilitas PENDAHULUAN Lahan optimal identik dengan lahan sawah, masih berpotensi sebagai penyumbang terbesar terhadap kebutuhan kedelai nasional dibandingkan dengan kedelai yang dihasilkan dari lahan tegal. Penyebabnya adalah (1) Kedelai di lahan sawah hampir tidak berkendala keharaan tanah, (2) Berdekatan dengan industri berbahan baku kedelaibaik untuk bahan baku pangan maupun pakan, dan (3) Produktivitas per satuan luas relatif tinggi. Pada lahan sawah, kedelai dibudidayakan pada musim terakhir, mengikuti pola tanam padi – padi – kedelai. Varietas kedelai yang diperlukan pada lahan optimal yaitu yang berdaya hasil tinggi dan beradaptasi luas, sehingga dapat dibudidayakan di berbagai agroekosistem. Adaptasi varietas diartikan ragam hasil yang konsisten tinggi pada lintas lokasi sepanjang waktu. Semakin maju usaha perbaikan varietas di suatu negara, semakin spesifik batas adaptasi dari varietas unggul yang dianjurkan. Penggunaan varietas unggul di daerah yang luas dengan agroekologi yang beragam, akan memberikan kerugian akibat adanya adaptasi yang kurang optimal karena tidak termanfaatkannya interaksi genotipe x lngkungan (G x L). 875 Pengujian sejumlah genotipe kedelai di berbagai lingkungan hampir selalu diperoleh interaksi G x L (Alghamdi 2004; Arsyad dan Nur 2006; Krisnawati dan Adie 2008; Jandong et al. 2011). Hal ini mengindikasikan bahwa setiap galur memiliki batas adaptasi, dengan kata lain menunjukkan gagalnya setiap galur untuk berpenampilan konsisten baik, khususnya hasil biji, pada semua lingkungan. Peran genotipe, lingkungan dan interaksinya masih menjadi kajian yang menarik bagi pemulia tanaman, khususnya dalam mempengaruhi hasil biji kedelai. Ashraf (2010) mengidentifikasi lebih pentingnya faktor lingkungan (95,80%)dalam menentukan hasil biji kedelai dibandingkan dengan peran genotipe yang hanya berkonstribusi sebesar 80,84% maupun G x L sebesar 60,86%. Uji daya hasil genotipe kedelai di berbagai sentra produksi di Indonesia, juga menunjukkan bahwa lingkungan, berkonstribusi sebesar 48,8%; lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi G x L sebesar 16% maupun genotipe sebesar 7,4% (Susanto dan Adie 2010). Sedangkan Adie et al. (2013) juga mengindikasikan besarnya peran lingkungan ditunjukkan oleh dugaan komponen ragam lingkungan (δ2L = 0,0604) adalah paling besar, kemudian diikuti oleh besaran ragam galat (δ2E = 0,0470), ragam galur (δ2G = 0,0258) dan yang terkecil adalah dugaan ragam interaksi G x L yakni sebesar δ2GL = 0,0225.Ekspresivitas hasil biji kedelai memang ditentukan oleh interaksi antara genotipe, lingkungan dan pengelolaan tanaman (G x L x M). Beberapa varietas kedelai yang dilepas setelah tahun 2000 di Indonesia memiliki potensi hasil di atas 3 t/ha (Badan Litbang Pertanian, 2011). Potensi hasil diartikan kemampuan maksimum dari suatu varietas yang ditumbuhkan pada lingkungan yang optimal, yang diperoleh saat uji adaptasi galur harapan. Ekspresivitas hasil biji dari varietas, terutama pada skala budidaya oleh petani, selanjutnya ditentukan oleh faktor lingkungan dan pengelolaan tanaman. Rendahnya hasil kedelai sebagaian besar memnag disebabkan oleh faktor lingkungan dan pengelolaan. Tyagi (2013) dari hasil uji daya hasil terhadap 40 genotipe kedelai di delapan lokasi di India berhasil mengidentifikasi bahwa faktor lingkungan paling mennetukan adalah pengolahan tanah dan pemupukan nitrogen. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi daya hasil dan memetakan daya adaptasi dari masing-masing galur harapan kedelai. METODOLOGI Bahan penelitian terdiri dari 10 galur harapan kedelai yaitu SHRW60/100H-21-16-33-9; SHRW60/100-36-47-45-16; SHRW60/100-37-4-4617; SHRW60/100-37-4-47-18; SHRW60/100-39-5-48-19; SHRW60/100H-154131-36-78-1; SHRW60/100H-136-42-160-33; SHRW60/100H-154-131-36-78-2; A/W-C-6-60 dan A/W-C-6-62, dua varietas pembanding yaitu Burangrang (berukuran biji besar berumur genjah) dan Anjasmoro (berukuran biji besar). Penelitian dilakukan di enam sentra produksi kedelai yakni Madiun (2 lokasi), Sragen (2 lokasi), dan Cianjur (2 lokasi), sehingga seluruhnya berjumlah 6 unit penelitian. Penelitian dilakukan pada MK 2010. Rancangan percobaan yang digunakan di setiap lokasi penelitian adalah rancangan acak kelompok, 12 perlakuan dan setiap perlakuan diulang empat kali. Ukuran petak 2,8 m x 4,5 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman per rumpun. Pemupukan dengan 50 876 kg Urea, 100 kg SP36 dan 75 kg KCl per ha diberikan secara sebar merata sebelum tanam. Perawatan benih (seed treatment) dengan Marshal. Lahan yang digunakan adalah lahan sawah bekas tanaman padi, sehingga tanpa dilakukan olah tanah. Tanam dilakukan paling lambat lima hari setelah panen padi, dan sebelum tanam dibuat saluran drainase dan diaplikasikan herbisida. Pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan secara optimal. Data yang diamati adalah hasil biji dan komponen hasil biji. HASIL DAN PEMBAHASAN Sidik ragam tergabung terhadap 12 galur harapan yang diuji di enam sentra produksi diperoleh interaksi yang nyata antara genotipe dan lingkungan (G x L) untuk karakter tinggi tanaman, jumlah polong hampa, berat 100 biji dan hasil biji. Sedangkan lokasi dan genotipe berpengaruh nyata terhadap seluruh sifat yang diamati yakni umur masak, tinggi tanaman, jumlah cabanag, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, berat biji/tanaman, berat 100 biji dan hasil biji (Tabel 1). G x L yang nyata menunjukkan bahwa keragaan karakter tersebut berbeda-beda pada lokasi yang digunakan, atau urutan keunggulan karakter berbeda untuk setiap lokasi. Besaran KK beragam dari 1.13 hingga 35.26%. Nilai KK untukhasilbijiadalah 15.51%. Tabel 1. Sidik ragam tergabung hasil dan komponen hasil dari 12 genotipe kedelai pada enam lokasi, 2010 Sifat Umurmasak (hr) Tinggitanaman (cm) Jumlahcabang/tanaman Jumlahpolongisi/tanaman Jumlahpolonghampa/tanaman Beratbiji/tanaman (g) Berat 100 biji (g) Hasilbiji (t/ha) Lokasi 263.685 2072.761 38.552 2474.933 69.266 118.106 17.887 4.925 Kuadrat Tengah Genotipe ** 54.034 ** ** 485.135 ** ** 2.117 ** ** 383.112 ** ** 17.614 ** ** 40.149 ** ** 81.093 ** ** 1.339 ** tn * dan ** = tidak nyata, nyata p=0.05, nyata p =0.01 GxL 0.806 tn 38.998 ** 0.566 tn 95.140 tn 4.267 * 7.863 tn 2.768 * 0.144 * KK (%) 1.13 11.50 25.26 27.15 32.90 35.26 6.65 15.51 Hasil Biji Lingkungan optimal dipresentasikan sebagai lingkungan budidaya kedelai pada lahan sawah. Pada sebagian besar lahan sawah, kedelai berada dalam pola tanam padi – padi – kedelai. Selama tahun 2010, curah hujan cukup tinggi pada berbagai sentra produksi kedelai di Indonesia. Hasil biji merupakan resultante dari genotipe x lingkungan, dan ditambah dengan faktor pengelolaan (manajemen) tanaman (G x L x M). Rata-rata hasil biji dari 10 galur yang diuji di enam lokasi adalah 1.84 – 2.45 t/ha. Tabel 2 menunjukkan bahwa dua varietas pembanding yaitu Burangrang dan Anjasmoro masing-masing mampu berproduksi 2.60 dan 2.30 t/ha. Dari 10 galur yang diuji, diperoleh bahwa genotipe Aochi/W.C.6.62, mampu menghasilkan produksi tertinggi, yakni 2.45 t/ha. 877 Curah hujan yang tinggi sepanjang tahun berpengaruh terhadap perolehan hasil biji dari genotipe yang diuji. Dari enam lokasi yang digunakan, hanya lokasi di Madiun yang bernilai optimal; sedangkan empat lokasi lainnya berkategori kurang optimal dalam menampilkan hasil biji. Indeks lingkungan sebagai pengukur produktivitas lingkungan, menunjukkan bahwa hanya lokasi Madiun yang bernilai Ij positif (lingkungan produktif) sedangkan yang lain nilai Ij bernilai negatif. Di Sragen, pada lokasi Gondang, hasil tertinggi 2.74 t/ha diperoleh oleh galur Aochi/W.C.6.62, dan varietas pembanding juga mampu berdaya hasil hingga 2.70 t/ha lebih tinggi dari varietas Anjasmoro yang hanya mempu berproduksi 2.13 t/ha. Galur terbaik kedua di lokasi tersebut adalah Aochi/W.C.6.60 (2.33 t/ha). Namun pada lokasi Sambirejo, justru varietas Burangrang mampu berproduk tertinggi yakni 2.38 t/ha dan diikuti oleh varietas Anjasmoro sebesar 2.09 t/ha. Di Sragen; Burangrang mampu berproduksi konsisten tinggi. Pada lingkungan produktif seperti di Madiun, ragam hasil biji dari genotipe yang diuji menjadi beragam. Rata-rata hasil di Pilangkenceng adalah 2.53 t/ha dan di Balerejo rata-rata hasilnya adalah 2.51 t/ha. Di Pilangkenceng, Burangrang berdaya hasil 2.82 t/ha; diikuti oleh Anjasmoro 2.75 t/ha. Dua galur terbaik di lokasi tersebut adalah Shr.W.60/IAC.100-39-5-48-19 (2.74 t/ha) dan Aochi/W.C.6.62 (2.73 t/ha). Di Balerejo; galur Shr.W.60/IAC.100-36-47-45-16, justru mampu memiliki hasil biji tertinggi yaitu 2.70 t/ha; galur Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-7 berdaya hasil sepadan dengan Burangrang yaitu 2.61 t/ha. Konsistensi potensi hasil dari varietas Burangrang juga terjadi pada lokasi Cianjur. Di Ciranjang hasil biji Burangrang adalah 2.79 t/ha diikuti oleh galur Aochi/W.C.6.62 yang mencapai 2.56 t/ha. Baik Burangrang maupun Aochi/W.C.6.62 ternyata konsisten hasilnya di Bojongpicung masing-masing mencapai 2.30 t/ha dan 2.27 t/ha. Pengujian yang dilakukan di enam lokasi, varietas Buragrang memang berdaya hasil tertinggi dan galur Aochi/W.C.6.62 mendekati perolehan hasil biji yang dicapai Burangrang. Tabel 2. Hasil biji dari 12 genotipe kedelai di enam lokasi, 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 878 Genotipe Shr.W.60/G.100 H-21-16-33-9 Shr.W.60/IAC.100-36-47-45-16 Shr.W.60/IAC.100-37-4-46-17 Shr.W.60/IAC.100-37-4-47-18 Shr.W.60/IAC.100-39-5-48-19 Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78 Shr.W.60/G.100 H-136-42-160-33 Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78 Aochi/W.C.6.60 Aochi/W.C.6.62 Burangrang Hasil biji (t/ha) L1 L2 L3 L4 L5 L6 1.52 1.52 1.54 1.53 1.93 2.25 1.51 1.79 2.33 2.74 2.70 1.72 1.58 1.92 1.44 1.61 1.86 1.78 1.57 1.64 1.89 2.38 2.42 2.58 2.42 2.27 2.74 2.52 2.04 2.55 2.55 2.73 2.82 2.43 2.70 2.42 2.44 2.50 2.61 2.57 2.33 2.50 2.51 2.61 1.87 1.80 1.98 1.73 2.01 2.30 1.89 1.93 2.23 2.56 2.79 1.63 1.76 1.63 1.63 1.86 2.08 1.69 1.71 2.07 2.27 2.30 Rata2 1.93 1.99 1.98 1.84 2.11 2.27 1.91 1.98 2.22 2.45 2.60 Lanjutan… No Genotipe 12 Anjasmoro Rata-rata Ij = indeks lingkungan Keterangan: Hasil L3 2.75 2.53 0.40 L1 L2 2.13 2.09 1.96 1.79 -0.17 -0.34 biji (t/ha) L4 L5 2.49 2.36 2.51 2.12 0.38 -0.01 L6 Rata2 1.96 2.30 1.88 2.13 -0.25 L1 = Srimulyo, Gondang, Sragen; L2 = Blimbing, Sambirejo, Sragen L3 = Muneng, Pilangkenceng, Madiun; L4 = Simo, Balerejo, Madiun L5 = Sukaluyu, Ciranjang, Cianjur; L6 = Neglasari, Bojongpicung, Cianjur Stabilitas Hasil Potensi hasil suatu genotipe ditentukan oleh faktor genetik dan kualitas lingkungan. Hamblin et al. (1980), menyatakan bahwa genotipe yang memiliki ragam perubahan fenotipik yang relatif sama dan konsisten berdaya hasil tinggi pada berbagai lingkungan yang berbeda akan dikatakan sebagai genotipe yang stabil. Mekanisme stabilitas secara umum dapat dikelompokkan menjadi empat hal, yaitu heterogenitas genetik, kompensasi komponen hasil, toleransi terhadap cekaman, dan daya pemulihan yang cepat terhadap cekaman. Metode rataan – KK dari Francis dan Kannenberg (1978) identik dengan konsep biologik, atau identik dengan konsep homeostatik (Lin et al. 1986). Francis dan Kannenberg (1978) memetakan hasil biji dan stabilitas hasil biji dari suatu genotipe menjadi empat kuadran yaitu kuadran I (hasil tinggi dan stabil), kuadran II (hasil tinggi tidak stabil)l kuadran III (hasil rendah tidak stabil) dan kuadran IV (hasil rendah stabil). Pemetaan terhadap 12 genotipe yang diuji, diperoleh bahwa enam genotipe berada di kuadran III, artinya berdaya hasil rendah dan tidak stabil hasilnya. Lima genotipe berkriteria berdaya hasil tinggi serta stabil hasil bijinya di enam lokasi. Serta satu genotipe berdaya hasil rendah dan stabil (Tabel 3). Galur Aochi/W.C.6.62 selain berdaya hasil tinggi (2,45 t/ha) juga tergolong stabil. Tabel 3. Stabilitas hasil biji dari 12 genotipe di enam lokasi, 2010 No Genotipe 1 Shr.W.60/G.100 H-21-16-33-9 Hasil Biji (t/ha) 1.93 2 Shr.W.60/IAC.100-36-47-45-16 1.99 22.17 III Hasil biji rendah, tidak stabil 3 Shr.W.60/IAC.100-37-4-46-17 1.98 11.78 III Hasil biji rendah, tidak stabil 4 Shr.W.60/IAC.100-37-4-47-18 1.84 14.29 III Hasil biji rendah, tidak stabil 5 Shr.W.60/IAC.100-39-5-48-19 2.11 15.06 III Hasil biji rendah, tidak stabil 6 Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78 2.27 6.39 I 7 Shr.W.60/G.100 H-136-42-160-33 1.91 11.30 III Hasil biji rendah, tidak stabil 8 Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78 1.98 12.12 IV Hasilbijirendah, stabil 9 Aochi/W.C.6.60 2.22 9.31 I Hasilbijitinggi, stabil 10 Aochi/W.C.6.62 2.45 8.74 I Hasilbijitinggi, stabil 11 Burangrang 2.60 3.88 I Hasilbijitinggi, stabil 12 Anjasmoro 2.30 7.18 I Hasilbijitinggi, stabil 2.13 11.29 Rata-rata KK (%) Kuadran Kriteria 13.26 III Hasil biji rendah, tidak stabil Hasilbijitinggi, stabil 879 Karakter Agronomik Karakter agronomik berupa umur masak, tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, berat biji/tanaman dan bobot 100 biji dari 10 galur harapan serta dua varietas pembanding tertera pada Tabel 4. Ratarata umur masak dari 12 genotipeadalah 79 hari, ukuran bijinya adalah 13.22 g/100 biji dan rata-rata tinggi tanamannya mencapai 42 cm. Varietas Burangrang tergolong berumur genjah (77 hari) dan Anjasmoro tergolong umur masaknya sedang (82 hari). Semua genotipe yang diuji berkriteria genjah. Hal ini disebabkan karena galur yang diuji merupakan hasil seleksi dari galur berumur super genjah dengan kedelai introduksi. Tabel 4. Karakter agronomik dari 12 genotipe kedelai di enam lokasi, 2010 No Galur UM TG JC JPI JPH BJ/T B100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Shr.W.60/G.100 H-21-16-33-9 Shr.W.60/IAC.100-36-47-45s -16 Shr.W.60/IAC.100-37-4-46-17 Shr.W.60/IAC.100-37-4-47-18 Shr.W.60/IAC.100-39-5-48-19 Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78 Shr.W.60/G.100 H-136-42-160-33 Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78 Aochi/W.C.6.60 Aochi/W.C.6.62 Burangrang Anjasmoro 77 77 77 77 77 80 79 80 80 80 77 82 41.15 40.90 43.21 41.38 41.07 37.69 42.79 38.79 40.73 36.09 53.32 46.86 2.21 2.50 2.69 2.44 2.44 2.98 2.56 2.39 2.89 3.19 2.96 2.46 30.83 36.23 37.29 33.67 34.98 32.04 35.08 28.71 33.60 35.04 43.52 40.19 Rata-rata 79 42.00 2.64 35.10 2.73 2.10 2.37 2.25 2.39 1.83 4.75 2.06 2.35 2.68 3.48 3.81 2.64 5.21 6.82 6.89 6.42 6.23 6.47 6.62 5.77 8.17 7.36 9.72 8.86 11.83 12.09 11.82 12.51 11.76 12.94 11.92 13.48 16.26 11.91 15.46 16.62 7.05 13.22 UM = umurmasak (hr); TG = tinggitanaman (cm); JC = jumlahcabang/tanaman; JPI = jumlahpolongisi/tanaman; JPH = jumlahpolonghampa/tanaman; BJ/T = bobot biji/tanaman (g); B100 = bobot 100 biji (g) Tinggi tanaman beragam dari 36.09 – 53.32 cm (rata-rata 42 cm). Burangrang memiliki tanaman tertinggi dari seluruh genotipe yang diuji. Tinggi tanaman seringkali menjadi tolok ukur keoptimalan pertumbuhan tanaman. Burangrang yang pada pengujian ini konsisten berdaya hasil tinggi, memiliki tinggi tanaman dan jumlah polong yang optimal. Di Indonesia, ukuran biji dikategorikan besar jika bobot 100 biji di atas 14 g; dan dikelompokkan sedang jika bobotnya antara 10 – 14 g dan tergolong biji kecil jika bobot 100 bijinya di bawah 10 g. Kecuali Aochi/W.C.6.60 (16.26 g/100 biji), 10 galur yang diuji tergolong berukuran biji sedang, sedangkan dua varietas pembanding tergolong berukuran biji besar. Varietas kedelai berukuran biji besar potensial untuk bahan baku tempe. 880 KESIMPULAN 1. Galur harapan Aochi/W.C.6.62 memiliki hasi lbiji lebih tinggi dibandingkan varietas Anjasmoro. Umur masak Aochi/ W.C.6.62 sebanding dengan Burangrang dan lebih genjah dibandingkan Anjasmoro. 2. Galur Aochi/W.C.6.62 adaptif untuk lahan sawah dan stabilhasilnya di enam sentra produksi kedelai. DAFTAR PUSTAKA Adie, M.M., A. Krisnawati, dan G.W.A. Susanto. 2013. Interaksigalur x lingkungan, potensi hasil dan stabilitas hasil galur harapan kedelai hitam. Akan diterbitkan di Jurnal Biologi. Bogor. Alghamdi, S.S. 2004. Yield Stability of Some Soybean Genotypes Across Diverse Environments. Pak. J. of Biological Sci. 7 : 2109-2114. Arsyad, D. M. dan A. Nur. 2006. Analisis AMMI untuk Stabilitas Hasil Galur-Galur Kedelai di Lahan Kering Masam. Penelitian Pertanian 25 : 78 – 84. Ashraf, M., Z. Iqbal, M. Arshad, A. Waheed, M. A. Glufran, Z. Chaudhry and D. Baig. 2010. Multi-environment Response in Seed Yield of Soybean [glycine max (l.) merrill], genotypes through ggebiplot technique. Pak. J. Bot., 42 : 3899-3905. Badan Litbang Pertanian. 2011. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Malang. 179h. Francis, T.R. and L.W. Kannerberg. 1978. Yield Stability Studies in Short-Season Maize. I. A Descriptive Method for Grouping Genotypes. Can. J. Plant Sci. 58 : 1029 – 1034. Hamblin, J., H.M. Fisher, and H.I. Ridings. 1980. The Choice of Locality for Plant Breeding when Selecting for High Yield and General Adaptation. Euphytica 29:161-168. Jandong, E.A., M.I., Uguru and OB.C.,Oyiga B.C. 2011. Determination of yield stability of seven soybean (Glycine max) genotypes across diverse soil pH levels using GGE biplot analysis. J. of Applied Biosciences 43 : 2924 – 2941. Krisnawati, A. dan M.M. Adie. 2008. Korelasibeberapa stabilitashasilpadabijikedelai. Agritek16 : 160-164. parameter Lin, C.S., Binns M.R., Lefkovitch L.P. 1986. Stability Analysis: Where Do We Stand? Crop Sci., 26: 894–900. Susanto, G.W.A. dan M.M. Adie. 2010. Adaptabilitas Galur Harapan Kedelai di Lingkungan yang Beragam. Penelitian Pertanian 29 : 166-170. Tyagi, S.D., and M. H. Khan. 2013. Genotype x Environment Interaction and Stability Analysis for Yield and Its Components in Soybean [(Glycine max L.) Merrill]. http://www.soygenetics.org. [diakses 1 Mei 2013]. 881 KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA LAHAN SAWAH BUKAAN BARU DI KAB. MAROS PROV. SULAWESI SELATAN Fadjry Djufry dan Ramlan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan KM.17,5 Makassar ABSTRAK Cadangan lahan yang potensial dikembangankan sebagai lahan bukaan baru untuk tanaman pangan di Kabupaten Maros masih cukup besar. Salah upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi dampak konversi lahan-lahan sawah produktif ke lahan non pertanian ialah dengan pengembangan lahan bukaan baru. Penelitian uji adaptasi varietas unggul baru pada lahan sawah bukaan baru dilaksanakan selama enam bulan mulai dari bulan April sampai dengan September 2012. Pengkajian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Pada lahan sawah bukaan baru di Kabupaten Maros, perlakuannya adalah terdiri dari 10 varietas unggul baru padi (Inpari 1, 3, 4, 6, 7, 8, 10, 13, Inpara 1, 2) serta 1 varietas pembanding yaitu Cisantana. Ukuran petak yang digunakan 5 m x 6 m, jarak tanam legowo 2:1 , bibit ditanam tiga batang per rumpun pada umur 25 – 30 hari. Tanaman diberi pupuk urea 200 kg/ha + 100 kg/ha SP-36 + 75 kg/ha KCl. Analisis varians, uji beda, analisis regresi dan analisis kuantifatif. Cakupan analisis meliputi analisis data pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lahan sawah bukaan baru di Kabupaten Maros, varietas padi yang memberikan produksi yang cukup tinggi dan direkomendasikan untuk dapat dikembangkan adalah varietas Inpari 13, Inpari 4, dan Inpari 6 dengan produktivitas masing-masing 3,75; 3,78 dan 4,51t/ha. Kata kunci: Adaptasi, varietas unggul baru padi, lahan sawah bukaan baru PENDAHULUAN Pertambahan jumlah penduduk yang semakin pesat dari tahun ke tahun berimplikasi terhadap kebutuhan bahan pangan yang juga semakin meningkat. Di lain pihak konversi lahan-lahan sawah produktif ke lahan non pertanian seperti pemukiman, perkotaan dan pembangunan infrastruktur serta kebutuhan lainnya tidak dapat dihindari khususnya di wilayah pulau Jawa. Hal ini mendorong pemerintah untuk mencari lahan potensial yang belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan perluasan areal tanam dan pencetakan sawah baru. Pencetakan sawah baru lebih banyak diarahkan ke lahan-lahan kering di luar pulau Jawa, umumnya tergolong lahan-lahan marginal seperti ultisol, oksisol dan inceptisol (Setyorini et al. 2007). Selanjutnya menurut Sudjadi (1984), lahan sawah yang baru dicetak sering dihadapkan pada berbagai permasalahan kesuburan tanah, sehingga produktivitas lahan sawah bukan baru biasanya jauh lebih rendah dari sawah yang telah mapan. Kendala utama pada pada tanah tersebut adala rendahnya pH, kandungan bahan organik dan unsur hara tanah seperti P dan K yang rendah, serta adanya unsur besi yang dapat meracuni tanaman padi. 882 Lahan sawah yang baru dicetak sering dihadapkan pada berbagai permasalahan kesuburan tanah, sehingga produktivitas lahan sawah bukaan baru biasanya jauh lebih rendah dari sawah yang telah mapan. Kendala utama pada pada tanah tersebut adalah rendahnya pH, kandungan bahan organik dan unsur hara tanah seperti P dan K yang rendah, serta adanya unsur besi yang dapat meracuni tanaman padi. Laporan Dinas Pertanian Prov. Sulawesi Selatan (2011), pada tahun 2009 hingga tahun 2011 program pencetakan sawah baru di Sulawesi Selatan terealisasi dan siap tanam seluas 850 ha. Pemanfaatan lahan kering dan rawa untuk usaha pertanian di Indonesia diperkirakan telah dilakukan sudah cukup lama, walaupun lahan yang dimanfaatkan untuk usaha pertanian masih dalam jumlah terbatas. Peningkatan produktivitas padi pada lahan kering bukaan baru dapat dilakukan dengan perbaikan teknologi budidaya dan perluasan areal panen dengan meningkatkan intensitas pertanaman (IP). Dengan penerapan inovasi teknologi, indeks pertanaman padi dapat ditingkatkan menjadi IP 200 dengan pola tanam padi – padi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan teknik budidaya yang tepat yaitu menggunakan varietas unggul yang adaptif, dan penggunaan pupuk sesuai dosis rekomendasi hasil padi dapat ditingkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa potensi untuk meningkatkan produktivitas padi tersebut masih sangat memungkinkan. Berdasarkan hal tersebut di atas dibutuhkan suatu inovasi teknologi sebagai upaya peningkatan produktivitas padi pada lahan-lahan bukaan baru. Ada dua hal yang bisa menjadi pendekatan pada masalah tersebut yaitu perbaikan varietas melalui introduksi varietas unggul baru padi yang adaptif dan perbaikan teknologi budidaya padi di tingkat petani melalui introduksi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi khususnya komponen teknologi pengelolaan hara. Inovasi teknologi teknologi yang relatif murah dan mudah diterapkan oleh petani adalah introduksi varietas unggul baru. Menurut Sembiring (2010), Kementerian Pertanian telah melepas lebih 233 varietas unggul yang terdiri atas 144 varietas unggul padi sawah inbrida, 35 varietas unggul padi hibrida, 30 varietas unggul padi gogo, dan 24 varietas padi rawa. Dalam dua tahun terakhir ini Badan Litbang Pertanian telah melepas varietas baru untuk padi lahan sawah irigasi (Inpari 1-13), varietas unggul padi gogo (Inpago 4-6) dan untuk ekosistim rawa yaitu varietas Inpara 1–6. Varietasvarietas baru tersebut (Inpara 1-6) memiliki beberapa karakteristik diantaranya memiliki toleransi atas rendaman air selama 7–14 hari pada fase vegetatif dengan produktifitas yang lebih tinggi berkisar antara 4–6 t/ha GKG. Varietas Inpari, selain produktivitas tinggi 6-10 ton/ha, juga ketahanan terhadap hama dan penyakit, mutu beras premium dan umur pendek. Sedangkan untuk Inpago memiliki keunggulan yaitu produktivitas yang tinggi > 4 ton/ha, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, toleran kekeringan serta umur lebih pendek. Pengkajian varietas ungul baru padi yang adaptif pada lahan sawah bukaan baru belum pernah dilakukan di Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Gowa dan Maros, sehingga hasil kajian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi varietas unggul baru padi yang adaptif dapat dikembangkan pada lahan-lahan sawah bukaan baru yang dapat meningkatkan produksi > 4 ton/ha GKG. Kajian adaptasi beberapa varietas padi unggul baru 883 diharapkan dapat meningkatkan produksi dan indeks pertanaman padi di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu hasil kajian ini diharapkan dapat menstimulir petani memanfaatkan lahan sawah yang telah dibuka. METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan selama satu musim tanam pada sentra pengembangan tanaman padi di Kabupaten Maros mulai bulan April-September 2012. Pengkajian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Pada lahan sawah bukaan baru di Kabupaten Maros, perlakuannya adalah terdiri dari 10 varietas unggul baru padi (Inpari 1, 3, 4, 6, 7, 8, 10, 13, Inpara 1, 2) serta 1 varietas pembanding yaitu Cisantana. Ukuran petak yang digunakan 5 m x 6 m, jarak tanam legowo 2:1 , bibit ditanam tiga batang per rumpun pada umur 25 – 30 hari. Tanaman diberi pupuk Urea 200 kg/ha + 100 kg/ha SP-36 + 75 kg/ha KCl. Pengkajian dilaksanakan mulai bulan Februari - September 2012. Secara umum tahapan kegiatan meliputi antara lain,1) Sosialisasi pengenalan varietas padi unggul baru di tingkat petani, 2) pembuatan demplot uji adaptasi varietas, 3) temu lapang, 4) apresiasi teknologi penanganan benih, dan 5) monitoring dan evaluasi. Pengkajian menggunakan rakitan-rakitan teknologi spesifik lokasi. Komponen-komponen teknologi yang diterapkan, seperti terlihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 1. No. 1. 2. 3 4. 5. Komponen teknologi yang diterapkan pada padi, di Kab. Maros Tahun 2012 Komponen Teknologi Pengolahan tanah Varietas 4. 5. Kebutuhan benih Pembibitan/pesemaian Jumlah tanaman per lubang tanam Jarak tanam Pemupukan 6. 7. 8. 9. Pengairan Penyiangan Pengendalian hama/penyakit Panen dan Pascapanen Pengelolaan Tanaman Sempurna, dibuat saluran drainase - VUB lahan sawah (Inpari 1, 3, 4, 6, 7, 8, 10, 13, 14, 15, 20, Sidenuk, Cisantana, Ciliwung dan Ciherang) 25-30 kg/ha Pesemaian basah dan kering 1-2 tan/lubang Legowo 2:1 Urea: 200 kg/ha, SP36: 100kg/ha, KCl : 75 kg/ha (Pupuk Nitrogen berdasarkan BWD) Intermitten dan Tata air konservasi Pengendalian gulma terpadu Pengendalian hama terpadu Tepat waktu dan prosessing dengan alat dan mesin Data yang akan diamati meliputi meliputi: data agronomis tanaman dan preferensi petani pada varietas serta data curah hujan selama pengkajian. Data tanaman yang akan dikumpulkan meliputi : 1) Umur berbunga, yaitu jumlah hari sejak sebar sampai saat 90% tanaman berbunga, 2) Jumlah anakan maksimum/rumpun diamati pada 10 tanaman contoh per petak yang dipilih secara acak pada saat tanaman berumur 6 minggu setelah tanam, 3) Tinggi 884 tanaman (35 dan 45 hari setelah tanam), yaitu rata-rata tinggi tanaman dari 10 rumpun tanaman contoh dipilih secara acak, 4) Jumlah malai per rumpun, yaitu rata-rata jumlah malai dari 10 rumpun tanaman contoh yang dipilih secara acak, pengamatan dilakukan menjelang panen, 5) Panjang malai per rumpun diukur pada 10 tanaman contoh dipilih secara acak.dilakukan pada saat menjelang panen, 6) Jumlah biji per malai. 7) Jumlah biji yang hampa per malai, 8) Bobot 1000 butir gabah isi kering pada tingkat kadar air 14%, 9) persentase gabah isi (%), 10) Hasil gabah bersih per plot yaitu hasil gabah yang dipanen dari petak percobaan netto (setelah dikurangi satu baris tanaman pinggir), 11) Jenis dan intensitas serangan penyakit, penilaian serangan hama dan penyakit akan dinyatakan dalam nilai skor sesuai dengan sistim evaluasi baku untuk masingmasing hama dan penyakit tertentu, 12) ketinggian air (cm), dan 13) lama waktu padi terendam (hari). Analisis yang digunakan adalah fasilitas uji: analisis varians, uji beda, analisis regresi, analisis kuantifatif dan analisis finansial B/C Ratio. Cakupan analisis meliputi analisis data pertumbuhan dan produktivitas tanaman, cita rasa, dan tanggapan petani melalui organoleptik. Varietas memperoleh hasil yang tinggi dianggap lebih tahan terhadap perubahan lingkungan atau daya adaptasinya tinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Pertumbuhan Lokasi percobaan di Kabupaten Maros tergolong lahan sawah konversi dari lahan kering yang masih baru. Lahan tersebut baru dikonversi menjadi sawah sekitar 3 tahun. Hal tersebut akan mempengaruhi kemampuan adaptasi pertumbuhan vegetatif dan generatif dari setiap varietas padi. Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan jumlah malaiuji adaptasi varietas pada lahan bukaan baru di Kabupaten Maros disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 menunjukkan terdapat variasi perbedaan tinggi tanaman pada setiap varietas unggul baru (VUB) yang dikaji. Hal ini disebabkan sifat genetik dari masing VUB yang berbeda sehingga menghasilkan tinggi tanaman yang berbeda pula. Tinggi tanaman tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 3 (79 cm) dan terendah oleh varietas Cisantana (62,9 cm). Tinggi tanaman yang dicapai tersebut lebih rendah dari rata-rata tinggi tanaman yang telah dilaporkan (Suprihatno, 2010). Tinggi tanaman padi berkolerelasi positip dengan luas daun tanaman dalam melakukan proses fotosintesis. Menurut Suprapto dan Drajat (2005) bahwa, tinggi tanaman digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, namun pertumbuhan tinggi tanaman yang tinggi belum menjamin hasil yang diperoleh lebih besar. Hal ini sejalan dengan pendapat Blum (1998) yang mengemukakan bahwa tinggi tanaman berkorelasi negatif terhadap hasil. Selanjutnya jumlah anakan menentukan jumlah malai yang dihasikan oleh tanaman (Tabel 3). 885 Tabel 2. Rataan tinggi tanaman, jumlah anakan dan jumlah malai di Kab. Maros Tahun 2012 Perlakuan/ Variates Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan/ rumpun (batang) Jumlah malai/rumpun (rumpun) Inpari 1 Inpari 3 Inpari 4 Inpari 6 Inpari 7 Inpari 8 Inpari 10 Inpari 13 Inpara 1 64,9 79,0 66,8 68.3 61,6 64,2 63,7 71,4 64,9 a a a a a a a a a 11,2 a 12,1 a 11,7 a 9,6 a 10,9 a 9,3 a 10,8 a 10,5 a 9,6 a 10,2 a 9,5 a 10,1 a 10,0 a 10,0 a 10,1 a 9,0 a 8,5 a 8,8 a Inpari 2 Cisantana 65,8 a 62,9 a 8,7 a 9,9 a 9,0 a 9,5 a Keterangan : Angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji Duncan 5 % Jumlah anakan produktif berpengaruh langsung terhadap jumlah malai yang dihasilkan. Makin banyak anakan produktif makin besar jumlah gabah yang akan diperoleh. Rataan jumlah anakan produktif lebih sedikit dan tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata pada setiap varietas yang dikaji. Hal ini disebabkan varietas yang ditanam kurang dapat beradaptasi baik pada kondisi lingkungan tumbuh lahan bukaan baru di Kabupaten Maros. Kemampuan membentuk anakan produktif dipengaruhi oleh interaksi sifat genetik varietas dan lingkungan tumbuhnya (Endrizal dan J. Bobihoe, 2010). Varietas Inpari 3 memperlihatkan rata-rata jumlah anakan produktif (12,1 batang) lebih banyak dibanding varietas lainnya dan terendah varietas Inpara 2 (8,7 batang). Begitupula jumlah malai per rumpun tidak menunjukkan jumlah malai antara varietas. Jumlah malai terbanyak dihasilkan pada varietas Inpara 1 (10,2 rumpun) dan terendah varietas Inpari 13 ( 8,5 rumpun). Komponen Produksi Rataan komponen hasil (panjang malai, jumlah gabah total, presentase gabah isi, presentase gabah hampa, bobot 1000 butir gabah dan hasil t/ha GKP) masing-masing VUB yang dikaji di Kabupaten Maros disajikan pada Tabel 4 dan 5. Panjang malai tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara varietas unggul baru (VUB). Panjang malai tertinggi diperoleh varietas Inpari 10 (24,1) lebih panjang dibanding varietas yang lainnya. Tabel 6 juga menunjukkan perbedaan yang nyata antara varietas pada jumlah gabah total/malai dan presentase gabah isi. Varietas Inpari 13 menghasilkan rata-rata jumlah gabah total terbanyak (114,6) dibanding varietas lainnya. Jumlah gabah total terendah diperoleh pada varietas Inpari 1 (76,6). Selanjutnya varietas Inpari 1 menghasilkan presentase gabah isi lebih besar (92,4) dibanding varietas lainnya. Persentase gabah isi yang terendah diperoleh pada varietas Inpari 7 (72,4). 886 Sedangkan varietas Inpari 13 menghasilkan rata-rata persentase gabah hampa lebih rendah (11,1) dibanding varietas lainnya.. Sedangkan bobot 1.000 butir gabah yang terbesar dicapai oleh varietas Inpari 16 (29 g) dan terendah diperoleh varietas Cisantana (24 g). Besar atau kecilnya gabah dari suatu varietas dapat diukur dari bobot 1.000 butir gabah. Makin berat bobot 1.000 butir gabahnyamengindikasikan bahwa varietas tersebut gabahnya lebih besar. Tabel 3. Rataan panjang malai, jumlah gabah total, presentase di Kab. Maros Perlakuan/ Variates Jumlah Gabah/ Malai (butir) Presentase Gabah isi (%) a a a a 76,6 a 98,1 b 97,3 b 91,2 b 92,43 b 79,19 a 74,5 a 76,8 a Inpari 7 Inpari 8 22,0 a 22,1 a 84,8 a 83,4 a 72,1 a 71,9 a Inpari 10 Inpari 13 Inpara 1 Inpari 2 Cisantana 24,1 23,4 22,2 21,4 22,8 82,2 a 114,6 b 99,7 b 99,9 b 112,1 b 83,9 a 82,6 a 90,1 b 89,2 b 77,48 a Inpari Inpari Inpari Inpari 1 3 4 6 Panjang malai (cm) gabah isi 22,9 22,9 22,7 23,7 a a a a a Keterangan : Angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji Duncan 5 % Hasil tanaman padi dipengaruhi oleh komponen hasil seperti jumlah gabah isi per malai dan bobot 1.000 butir. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Inpari 13 menghasilkan produksi 4,51 t/ha GKP dan berbeda nyata dengan hasil varietas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Inpari 13 dapat beradaptasi baik pada kondisi lahan bukaan baru di kabupaten Maros. Meskipun hasil yang dicapai masih lebih rendah dari potensi hasilnya yaitu 9 t/ha. Hal ini disebabkan varietas Inpari 13 agak tahan terhadap cekaman kekeringan dengan potensi hasil tinggi. Tabel 7. Rataan presentase gabah hampa, bobot 1000 biji dan produksi GKP Kab. Maros Perlakuan/ Presentase Gabah Variates hampa (%) Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari 1 3 4 6 7 Inpari 8 15,8 14,1 15,2 16,6 17,5 a a a a a 16,4 a Bobot 1000 biji Produksi (g) GKP (t/ha) 27,0 26,0 26,0 25,0 26,1 a a a a a 27,0 a 2,96 3,48 3,75 3,78 3,40 a a a a a 2,89 a 887 Lanjutan... Inpari 10 15,1 a 25,8 a 3,67 a Inpari 13 11,1 b 27,3 a 4,51b Inpara 1 13,2 a 25,0 a 3,23 a Inpari 2 16,8 a 25,7 a 3,19 a Cisantana 23,4 a 24,0 a 2,61 a Keterangan : Angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji Duncan 5 % KESIMPULAN 1. Lahan bukaan baru yang ada di kabupaten Maros berpotensi untuk pengembangan varietas unggul baru padi. 2. Lahan sawah bukaan baru di Kabupaten Maros, varietas padi yang memberikan produksi yang cukup tinggi dan direkomendasikan untuk dapat dikembangkan adalah varietas Inpari 13, Inpari 4, dan Inpari 6 dengan produktivitas masing-masing 3,75; 3,78 dan 4,51t/ha. DAFTAR PUSTAKA Distan Sulawesi Selatan. 2011. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Prov. Sulawesi selatan. Sembiring, H. 2010. Ketersediaan Inovasi Teknologi Unggulan Dalam Meningkatkan Produksi Padi Menunjang Swasembada dan Ekspor. Dalam Suprihatno B, et al (eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Padi untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong Ekspor Beras. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Buku 1. Sukamandi. 2010. Setyorini, D, D.A. Suriadikarta, dan Nurjaya. 2007. Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Bukaan Baru. Dalam: Tanah Sawah Bukaan. Dalam F. Agus, et al (eds). Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hal 5-24. Sudjadi, M. 1984. Problem Soils In Indonesia And Their Management. In: Ecology Mangement Problem Soils in Asia. FFTC Book Series. No. FFTC Book Series (27). P. 58-73 Suprihatno. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian. Subang. 888 KERAGAAN HASIL VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) DI KABUPATEN BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO Warda Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo Email: [email protected] ABSTRAK Produksi dan produktivitas padi dari tahun 2006 sampai 2009 di Kabupaten Bone Bolango masing-masing 19.450 ton dan 4,99 t/ha, sementara produksi dan produktivitas jagung masing-masing 14.784 ton dan 4,31 t/ha. Dari data tersebut, tingkat produktivitas tanaman padi dan jagung masih rendah bila dibandingkan dengan potensi hasil masingmasing tanaman tersebut. Program peningkatan produksi padi dan jagung dapat dipacu dengan penerapan teknologi spesifik lokasi sehingga peningkatan produktivitas dan pendapatan petani dapat ditingkatkan. Dalam upaya pengembangan PTT, Kementerian Pertanian meluncurkan program Sekolah Lapang (SL) PTT. Dengan SL-PTT diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan dan penerapan komponen teknologi PTT oleh petani. Tujuan kegiatan adalah mempercepat implementasi dan diseminasi inovasi teknologi pertanian mendukung pembangunan pertanian nasional dan daerah melaui kegiatan program SL-PTT di Kabupaten Bone Bolango. Kegiatan dimulai dari Januari–Desember 2011 secara partisipatif melalui pelaksanaan demplot, kunjungan, wawancara, narasumber, koordinasi dan pertemuan, diskusi dan umpan balik serta penerapan teknologi spesiifik lokasi. Sebanyak 44 unit (60%) pendampingan SL-PTT padi non hibrida. Teknologi tang diterapkan adalah varietas unggul, pemupukan dan sistem tanam. Pada kegiatan demfarm padi sawah di Bone Bolango, hasil VUB padi yaitu Inpari 3: 5,2 t/ha; Inpari 4: 5,15 t/ha; Inpari 6: 5,56 t/ha; Inpari 10: 7,0 t/ha; dan Inpari 13: 6,25 t/ha. Sedangkan hasil VUB pada demplot/display yaitu Inpari 3: 5,7 t/ha; Inpari 4: 6,83 t/ha; Inpari 6: 5,56 t/ha; Inpari 7: 7,8 t/ha; Inpari 8: 7,8 t/ha; Inpari 9: 7,6 t/ha; Inpari 10: 7,0 t/ha; Inpari 11: 5,9 t/ha; dan Inpari 13: 7,64 t/ha. Selain itu pendampingan juga dalam bentuk narasumber pada pelatihan PL III dan distribusi media inovasi teknologi masing-masing leaflet sebanyak 171 eksemplar; booklet sebanyak 157 eksemplar dan poster 114 eksemplar. Hasil padi non hibrida pada kegiatan LL dan SLPTT masing-masing berkisar 5,6–5,8 t/ha dan 5,0–5,2 t/ha. Permasalahan dan kendala utama yang dihadapi adalah musim hujan yang panjang dan curah hujan yang tinggi ( diatas normal) serta serangan OPT. Kata kunci: Padi, varietas, keragaan, PTT PENDAHULUAN Kabupaten Bone Bolango termasuk salah satu sentra produksi tanaman pangan di Provinsi Gorontalo khususnya padi dan jagung. Lua areal sawah irigasi teknis/desa, sawah tadah hujan dan lahan kering (tegalan/ladang) di Kabupaten Bone Bolango masing-masing 1.792 ha, 48 ha dan 16.043 ha (BPS Gorontalo 2008). Sedangkan produksi dan tingkat produktivitas padi dari tahun 2006 sampai 2009 di Kabupaten Bone Bolango masing-masing 19.450 ton dan 4,99 ton/ha, sementara produksi dan produktivitas jagung masing-masing 14.784 ton dan 4,31 ton/ha (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Gorontalo, 2010). Dari 889 data tersebut, tingkat produktivitas tanaman padi dan jagung masih rendah jika dibandingkan dengan potensi hasil masing-masing tanaman tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan swasembada beras dan peningkatan produktivitas jagung di Gorontalo adalah dengan melalui program intensifikasi dan peningkatan indeks pertanaman padi. Program intensifikasi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai dan kacang tanah) dapat dipacu dengan penerapan teknologi spesifik lokasi sehingga peningkatan produktivitas dan pendapatan petani dapat ditingkatkan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas tanaman khususnya tanaman pangan. Diantaranya varietas unggul yang sebagian di antaranya telah dikembangkan oleh petani. Sejalan dengan perkembangan lmu pengetahuan dan teknologi, Badan Litbang Pertanian juga telah menghasilkan dan mengembangkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang ternyata mampu meningkatkan produktivitas padi, jagung dan kedelai dan infisiensi input produksi. Dalam upaya pengembangan PTT, Deptan meluncurkan program Sekolah Lapang (SL) PTT. Dengan SL PTT diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan dan penerapan komponen teknologi PTT oleh petani sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelolah usahataninya untuk mendukung upaya peningkatan produksi dan lebih khusus dalam peningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani padi, jagung dan kedelai. Berbagai program strategis dalam rangka pembangunan petanian nasional dan daerah telah diprogramkan oleh Departemen Pertanian. Program tersebut adalah P2BN, Sl-PTT (padi, jagung, kedelai, kacang tanah), PUAP, Gernas Kakao, pengembangan kawasan hortikultura dan program peningkatan swasembada daging sapi (P2SDS). Semua program strategis Deptan tersebut diimplementasikan di wilayah kerja BPTP. Oleh karena itu keberhasilan program strategis Deptan harus mendapat dukungan dari Balit sebagai penghasil teknologi dan BPTP sebagai ujung tombak Badan Litbang Pertanian di Provinsi. Disadari bahwa keterkaitan dan sinergi antara Balit dan BPTP belum optimal sehingga perlu ditingkatkan. Pendampingan program strategis tersebut diharapkan dapat mempercepat implementasi teknologi spesifik lokasi kepada pengguna/petani yang akhirnya meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Penelitian ini bertujuan untuk mempercepat implementsi dan diseminasi teknologi pertanian mendukung pembangunan pertanian nasional dan daerah melalui kegiatan program SL-PTT di Kabupaten Bone Bolango. Perkiraan manfaat dari penelitian ini adalah terciptanya percepatan implementasi dn diseminasi inovasi teknologi pertanian mendukung pembangunan pertanian nasional dan daerah di Kabupaten Bone Bolango. METODOLOGI Ruang Lingkup Penelitian ini mencakup proses penentuan calon petani dan calon lokasi (CP/CL), koordinasi dengan pemerintah daerah dan provinsi, penentuan dan sebaran 60% pendampingan SL-PTT, penentuan lokasi demplot, efektivitas demplot/uji varietas padi dan jagung, dukungan perbenihan per komoditas 890 (BLBU), efektivitas pelatihan teknis dan penyebarluasan inovasi melalui media cetak dan elektronik, keragaan produktivitas komoditas padi dan jagung, dan juga permasalahan dan tindak lanjut program pendampingan khususnya SL-PTT. Lingkup kegiatan berada di Kabupaten Bone Bolango meliputi 5 Kecamatan, yaitu Kecamatan Suwawa, Tilongkabila, Kabila, Bulango Timur dan Bulango Selatan. Pelaksanaan SL-PTT padi sawah dilakukan pada 74 unit SLPTT dengan pendampingan teknologi oleh BPTP Gorontalo bekerjasama dengan penyuluh (PPL) setempat. Kegiatan pendampingan didampingi dan dikawal oleh LO (Liaisson Officer) dari BPTP Gorontalo. Kegiatan pendampingan SL-PTT meliputi: a. Display varietas unggul baru : merupakan diseminasi varietas-varietas unggul baru produksi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi yang terbaru dan belum pernah di adaptasikan pada SL-PTT tahun sebelumnya. Varietas unggul tersebut akan diintroduksikan pada lahan laboratorium lapang dengan luasan 0,25 ha per LL. b. Demfarm merupakan lahan percontohan komponen teknologi PTT padi dan jagung yang terpilih yang dilaksanakan secara partisipatif bersama petani kooperator. Komponen-komponen teknologi PTT untuk demfarm antara lain: penggunaan varietas-varietas unggul baru yang merupakan hasil preferensi petani dari varietas-varietas Inpari pada SLPTT sebelumnya (2010), yaitu: Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6, Inpari 10 dan Inpari 13. Komponen teknologi PTT yang lain seperti sistem tanam jajar legowo, pemupukan berimbang menggunakan BWD, pupuk organik, efisiensi air dengan alternate wet drying (AWD). Luas lahan laboratorium lapangan/demfarm padi sawah minimal 5,8 ha dengan perlakuan sepenuhnya dibawah pendampingan peneliti dan penyuluh BPTP serta PPL pendamping dari BP3K. Demfarm padi sawah dilakukan di Kecamatan Tilongkabila dan Kabila. c. Sekolah lapang SL-PTT padi sawah : Pada setiap lokasi padi sawah dilakukan sekolah lapang sebagai SL percontohan dengan 8 kali pertemuan yang disesuaikan dengan jadwal tanam di lapangan. d. Penentuan Calon Petani dan Calon Lahan (CPCL) e. Sosialisasi demfarm/padu padan dan kelembagaan f. Pelaksanaan demfarm dan display varietas unggul baru g. Ekspose/temu lapang h. Pelaporan Tahapan Pelaksanaan Kegiatan SLPTT padi dilaksanakan sejak Bulan Maret 2011 sampai Desember 2011. Lokasi kegiatan dilaksanakan di lima kecamatan di Kabupaten Bone Bolango yaitu Kecamatan Suwawa, Tilongkabila, Kabila, Bulango Timur dan Bulango Selatan. Bahan dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Bahan meliputi sarana produksi yaitu benih, pupuk, pestisida dan bahan penunjang lain yang diperlukan telah dipersiapkan sebelumnya, termasuk penunjuk teknis pelaksanaan SL-PTT maupun leaflet teknologi untuk petani. Disamping itu, beberapa peralatan untuk alat penerapan teknologi misalnya BWD, AWD, perangkat PUTS dan PUTK juga dipersiapkan sebelumnya. 891 Lokasi pendampingan SL-PTT 2011 tersebar di lima kecamatan dengan cakupan kegiatan (Tabel 1) sebagai berikut. Tabel 1. Kegiatan serta komoditas pelaksanaan pendampingan SL-PTT 2011 oleh BPTP Gorontalo No Kegiatan 1. Demonstrasi (Demfarm) 2. Uji adaptasi varietas di LL VUB padi unit LL 3. Sosialisasi/padu padan program SL percontohan padi dan jagung Bimbingan Lapang/ Narasumber 1 kali pada setiap lokasi 4. 5. Farm Cakupan Komoditas dan Volume VUB padi Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6, Inpari 10 dan Inpari 13 Keterangan Luasan Demfarm padi sebesar 5,8 ha pada setiap Kabupaten/Kota Luasan uji adaptasi 0,25 ha per LL Sebelum pelaksanaan Demfarm 8 kali pertemuan (minimal) 5 lokasi demfarm Minimal 1 kali setiap lokasi LL di Pengamatan hasil panen dilakukan pada areal Demfarm masing-masing secara ubin 2,5 x 2,5 m, sesuai sistem legowo 2:1 dan 4:1. Hasil timbang dalam bentuk kering panen. Hasil panen masing-masing lokasi maupun masing-masing varietas dibandingkan. Setiap kegiatan usaha tani baik yang teknis maupun non teknis dalam pelaksanaan SL-PTT akan didokumentasikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Lokasi Pendampingan Jumlah lokasi SLPTT di Kabupaten Bone Bolango yang meliputi komoditas padi non hibrida sebanyak 74 unit dengan jumlah pendampingan sebanyak 44 unit (Tabel 2). Sementara sebaran lokasi SLPTT dan pendampingan ditempatkan di lima kecamatan secara proporsional berdasarkan luas lahan, jumlah unit SLPTT dan komoditas utama. Jumlah unit pendampingan demplot varietas unggul baru peer kecamatan untuk tiga komoditas ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Lokasi pendampingan SLPTT di Kabupaten Bone Bolango No. Kecamatan 1. Tilongkabila 2. Kabila 3. Suwawa 892 Lokasi SLPTT (Desa/Kelurahan) Bongoime, Bongopini, Toto Utara, Iloheluma, Permata, Tamboo, Mootilango, Moutong, Tunggulo Poowo, Tumbihe, Oluhuta, Tanggilingo, Padengo, Dutohe, Dutohe Barat, Oluhuta Utara, Poowo Barat, Talango, Toto Selatan Bube Baru, Boludawa, Huluduotamo Sasaran Pendampingan (Desa/Kelurahan) Iloheluma, Moutong Poowo, Padengo Tumbihe, - Lanjutan... 4. Bulango Timur 5. Bulango Selatan Toluwaya, Bulotalangi, Bulotalangi Timur, Bulotalangi Barat Ayula Selatan, Sejahtera, Mekar Jaya, Huntu Utara, Huntu Selatan, Lamahu, Ayula Timur. - Hasil Koordinasi di Tingkat Internal Pemda (Mapping Performance Koordinasi dan Pemecahan Masalahnya) Koordinasi internal di tingkat Pemda Provinsi dan Kabupaten dilakukan sebelum dan saat berlangsung SLPTT. Koordinasi di tingkat provinsi dilakukan untuk mengetahui jumlah unit dan luas SLPTT pada masing-masing kabupaten, menyammakan persepsi pelaksanaan SLPTT, menjalin sinergi antar instansi yang terkait serta pembagian tugas dan tanggung jawab semua pihak yang terkait dan mengetahui perkembangan SLPTT yang sedang berjalan. Sementara koordinasi di tingkat kabupaten dilakukan koordinasi dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan, BPP, POPT dan Koordinator Perbenihan. Koordinasi dilakukan dalam rangka persiapan pendampingan, penetuan CP/CL pendampingan 60% dan lokasi demplot varietas, sosialisasi pelaksanaan SLPTT tingkat kecamatan, perkembangan kegiatan pendampingan dan permasalahannya serta pengumpulan data kinerja SLPTT. Tabel 3. Kinerja koordinasi pendampingan di Kabupaten Bone Bolango No. 1. Kabupaten Bone Bolango Komponen Penilaian Kinerja Koordinasi (Skor 1-3) A B C 3 2 2 Nilai Faktor Kendala - Musim kemarau yang cukup panjang sehingga mempengaruhi jadwal tanam dan pertanaman Skor penilaian: 1=kurang; 2=baik; 3=sangat baik A= Kelengkapan legalitas keterlibatan institusi B= Berfungsinya institusi yang terlibat sesuai fungsi yang telah disepakati bersama. C= Sinergi pelaksanaan di lapangan Pelaksanaan Pendampingan Inovasi Teknologi Efektivitas Demplot/ Demfarm Padi Kegiatan di laboratorium lapang dan demplot difokuskan pada penerapan komponen teknologi PTT berdasarkan hasil pertemuan di tingkat petani dan pemerintah daerah. Pada lahan LL dan demplot varietas disediakan bantuan sarana produksi berupa benih unggul bermutu, pupuk urea, ZA, NPK dan pupuk organik. Bagi petani di areal SL-PTT hanya diberikan bantuan berupa benih 893 unggul bermutu (BLBU). Dengan adanya laboratorium lapang dan demplot diharapkan dapat mempercepat alih teknologi melalui interaksi antara petani peserta SL-PTT dengan petani non peserta SL-PTT. Teknologi yang diterapkan pada setiap demplot varietas berbeda pada setiap kelompok tani dan lokasi SLPTT. Teknologi utama yang diintroduksikan adalah lima varietas unggul baru padi terbaru yaitu Inpari 3, 4, 6, 10 dan 13 khususnya pada kegiatan demfarm seluas lebih kurang 5,5 ha. Selanjutnya teknologi lain yang diterapkan umumnya masih terbatas pada sistem tanam legowo (4:1) dengan jarak tanam 50 cm x 25 cm x 12,5 cm dan pemupukan berdasarkan rekomendasi provinsi dan kabupaten (Tabel 4 dan Tabel 5). Tabel 4. Keragaan pelaksanaan demfarm inovasi komoditas padi No. 1. Nama Lokasi Demfarm Desa Poowo 2. Desa Iloheluma Jenis Inovasi Teknologi Yang Dikenalkan Varietas Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6, Inpari 10 dan Inpari 13; Legowo 4:1 dan pemupukan sesuai rekomendasi Varietas Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6, Inpari 10 dan Inpari 13; Legowo 4:1 dan pemupukan sesuai rekomendasi Luas Demfarm (ha) 3 2,5 Tabel 5. Keragaan pelaksanaan beberapa demplot/display inovasi komoditas padi No. 1. Nama Lokasi Demfarm Desa Poowo 2. Desa Iloheluma 3. Desa Bongopini Jenis Inovasi Teknologi Yang Dikenalkan Varietas Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6, Inpari 10 dan Inpari 13; Legowo 4:1 dan pemupukan sesuai rekomendasi Varietas Inpari 4, Inpari 6, Inpari 10, Inpari 11, Inpari 13; pemupukan sesuai rekomendasi Varietas Inpari 4, Inpari 7, Inpari 8, Inpari 9, Inpari 13, Legowo 2:1 dan pemupukan sesuai rekomendasi Luas Demfarm (ha) 0,2 0,2 0,2 Keterangan: Masing-masing demplot varietas seluas 0,2 ha Dosis pemupukan pada setiap lokasi SLPTT khususnya LL bervariasi. Namun pada umumnya menggunakan dosis rekomendasi. Pada display varietas unggul baru, dosis pupuk yang diberikan berdasarkan hasil uji tanah dengan PUTS yaitu 300 kg/ha phonska dan 210 kg urea/ha. Dampak pelaksanaan demplot PTT dan varietas unggul baru padi non hibrida memperlihatkan hasil yang baik yang ditandai dengan banyaknya petani/pengguna teknologi yang melihat langsung demplot varietas (Tabel 6). Jumlah petani yang berkunjung pada demplot varietas berkisar dari 14 orang sampai 115 orang tergantung pada lokasi demplot dan penampilan tanaman. Pada umumnya petani berinat dan akan melaksanakan hasil demplot dibanding jumlah petani yang berminat namun belum ada kepastian akan menggunakan hasil demplot. Hanya sedikit petani yang menyatakan tidak berminat. Hal ini menandakan bahwa petani lebih tertarik menanam varietas terbaru (Inpari) dibanding varietas yang sudah eksisting disebabkan banyak keunggulan yang 894 dimiliki varietas terbaru. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan demplot adalah benih varietas inpari terbatas, curah hujan tinggi menyebabkan banjir dan serangan OPT tertentu. Uji Varietas Unggul Baru Kegiatan demplot uji varietas dilakukan dengan mengintroduksikan lima varietas baru padi sawah yaitu Inpari 1, Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6, Inpari 7, Inpari 8, Inpari 9, Inpari 10, Inpari 11 dan Inpari 13 yang disesuaikan dengan ketersediaan benih varietas tersebut. Demplot ditempatkan pada SLPTT terpilih dengan luas 0,20 ha. Keragaan hasil kegiatan demplot uji varietas unggul baru padi sawah dapat dilihat pada Tabel 6. Produktivitas varietas padi tersebut bervariasi berdasarkan lokasi demplot dan teknologi budidaya yang diterapkan. Di Kecamatan Kabila, hasil varietas tersebut pada umumnya lebih tinggi dari hasil yang diperoleh di Kecamatan lainnya. Berdasarkan informasi petani dan PPL bahwa kelima varietas padi (Inpari 3, 4, 6, 10 dan 13) dapat dikembangkan ditingkat petani supaya dapat menggantikan varietas padi yang lama dikembangkan oleh petani seperti mekongga, cigeulis dan ciherang. Tabel 6. Keragaan hasil pelaksanaan uji Varietas Unggul Baru (VUB) No. Nama Lokasi Uji VUB VUB yang Diuji Agroeko sistem 1. Desa Poowo Sawah Irigasi 2. Desa Iloheluma Sawah Irigasi 3. Desa Moutong Sawah Irigasi 4. Desa Bongopini Sawah Irigasi Nama VUB Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari Inpari 3 4 6 9 10 13 3 4 6 11 13 1 6 10 4 7 8 9 13 Produktivitas (ton GKP/ha) 5,20 5,15 5,56 6,70 7,00 6,25 5,70 6,00 5,50 5,90 7,64 6,83 7,80 7,80 7,60 5,53 Ciherang Mekongga Tingkat Adaptabilitas (tinggi, sedang, rendah) sedangtinggi Ciherang Mekongga Rendahtinggi Ciherang Mekongga sedang Ciherang Mekongga Sedangtinggi Varietas Pembanding (Eksisting) Dukungan Perbenihan Per Komoditas (Aspek, Distribusi, Mutu Benih, Ketersediaan) Secara umum, dkungan perbenihan pada kegiatan SLPTT di Kabupaten Bone Bolango cukup baik karena sebagian besar benih BLBU dapat tersalurkan ke petani, walaupun masih ada permasalahan yang ditemui seperti tidak tepat 895 varietas seperti permintaan petani, tidak tepat waktu dan mutu benih yang rendah. Hal ini disebabkan oleh intensifnya koordinasi yang dilakukan oleh Pemda dengan pemasok benih BLBU (PT. Pertani dan PT. SHS). Tabel 7. Dukungan perbenihan padi dan jagung hibrida No. 1. 2. Nama Varietas Yang Yang dibutuhkan tersedia Cigeulis, Mekongga Mekongga, Inpari Inpari, IR 64, Tukad Balian Bisi 2, 816, Asia Bisi 2, NT 10 3, Nusantara, SHS 4 Jumlah Benih (Kg) Yang Yang dibutuhkan tersedia 46.250 - 6.750 - Mutu Benih Baik Buruk Baik - Baik - Efektivitas Pelatihan Teknis Selain pengawalan teknologi pada kegiatan LL dan SLPTT, pendampingan kegiatan strategis Kementerian Pertanian juga dilakukan dengan beberapa kegiatan seperti pelatihan dan sebagai narasumber dalam pelatihan PL II di tingkat provinsi dan PL III di tingkat kabupaten. Di tingkat provinsi, peserta difokuskan pada penyuluh pendamping, sedang di Kabupaten difokuskan pada kelompok tani dan petani. Materi yang disampaikan antara lain kebijakan pembangunan pertanian nasional dan provinsi Gorontalo, Metode Pendampingan dan teknologi PTT padi, jagung dan kedelai, pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dan pengelolaan hama dan penyakit padi dan palawija. Tabel 8. Efektivitas pelatihan teknis Tingkat Penyelenggaraan Pelatihan Topik/Materi Pelatihan A. Kabupaten (PL II) - Kebijakan pembangunan pertanian - Pendampingan dan komponen SLPTT padi, jagung dan kedelai - Pengelolaan tanaman terpadu - Pengendalian OPT padi dan plawija B. Kecamatan - Pengelolaan tanaman terpadu - Pengendalian OPT - Pemupukan 896 Sasaran Peserta Pelatihan Jumlah Asal Peserta Institusi (org) Penyuluh 60 Pelaksana SLPTT (Kelompo k Tani) 25 Jumlah peserta pelatihan yang menjadi narasumber di wilayah kerjanya - - Efektifitas Penyebarluasan Inovasi melalui Media Cetak dan Elektronik Di samping sebagai narasumber dan pelaksana pelatihan, pendampingan program strategis Kementrian Pertanian juga dilakukan dengan memperbanyak dan mendistribusikan materi inovasi teknologi atau materi diseminasi kepada stake holder khususnya penyuluh di BP4K dan BP3K se provinsi Gorontalo. Khusus di kabupaten Bone Bolango telah didistribusi leaflet sebanyak 171 eksemplar; booklet sebanyak 157 eksemplar dan poster 114 eksemplar. Tabel 9. Efektivitas penyebarluasan inovasi (VCD) No. Judul Materi 1. 7. Budidaya itik (leaflet) Pengolahan hijauan pakan murah (leaflet) Penggemukan sapi (leaflet) Menetaskan telur (booklet) Analisis sistim usahatani (booklet) Defisiensi hara (poster) Jajar logowo 8. Kalender 2. 3. 4. 5. 6. Jumlah Eksemplar 57 Jumlah Inovasi yang dimuat 2 57 1 57 1 57 1 100 3 57 1 57 1 60 1 Target Penerima Media Informasi Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPSB, SMKN Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPSB, SMKN Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPSB, SMKN Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPSB, SMKN Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPSB, SMKN Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPSB, SMKN Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPSB, SMKN Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPSB, SMKN Perkembangan Produktifitas Keragaan produktivitas padi non-hibrida per kecamatan memperlihatkan variasi yang besar. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan varietas yang ditanam, inovasi teknologi diterapkan, serangan OPT dan faktor musim. Hasil rata-rata produktivitas padi non-hibrida per kecamatan ditampilkan pada Tabel 10. Dari tabel tersebut terlihat bahwa hasil rata-rata pada petak LL, areal SL dan Non-SL memperlihatkan perbedaan yang cukup besar. Hasil pada petak LL lebih tinggi dibanding hasil pada areal SL, begitu juga hasil pada areal SL lebih tinggi dibanding areal Non-SL. Hal ini dapat disebabkan oleh inovasi teknologi lebih banyak pada areal LL, sementara hasil lebih tinggi pada areal SL dibanding areal Non-SL disebabkan oleh petani menerapkan inovasi teknologi sebagai dampak atau hasil dari sekolah lapang. Selain itu, bimbingan dan pendampingan oleh pemda dan pihak terkait (BPTP) lebih intensif pada areal LL dan SL. 897 Tabel 10. Hasil evaluasi produktivitas rata-rata per kecamatan di LL, SL dan NonSL Padi Non Hibrida No. Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. Bulango Timur Bulango Selatan Tilong Kabila Kabila Suwawa Jumlah Unit SL 8 13 27 22 4 Produktivitas (ton GKP/ha) SL LL Non-SL 5,0-5,1 5,7-5,8 5,0-5,1 5,8 5,0-5,1 5,6-5,8 5,0-5,2 5,6-5,8 5,1-5,2 5,7-5,8 - KESIMPULAN Peningkatan produktivitas padi di Kabupaten Bone Bolango dapat dilakukan dengan pendekatan SL-PTT. Salah satu kegiatan pendampingan program SL-PTT yang dapat mempercepat peningkatan produktivitas adalah introduksi/penanaman varietas unggul baru padi menggantikan varietas lama yang umum di tanam petani seperti varietas inpari 3, inpari 4, inpari 6, inpari 10 dan inpari 13 melalui pelaksanaan demfarm dan demplot/display varietas. Meskipun masih ditemui beberapa permasalahan dan kendala terutama musim hujan yang panjang dan curah hujan yang tinggi (pada MT Februari 2011) serta serangan OPT (penggerek batang, kepik hitam, walang sangit dan penyakit hawar daun), namun dengan pendekatan SL-PTT sudah terbukti dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap penigkatan produktivitas padi dan peningkatan pendapatan petani. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo. 2009.Provinsi Gorontalo dalam Angka. BPS Prov. Gorontalo. 2009. Departemen Pertanian. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Jagung. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo. 2010. Data Luas Tanam, Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan Provinsi Gorontalo. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo. 2010 Puslitbang Tanaman Pangan. 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL PTT. Puslitbang Tanaman Pangan dan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 20 hal. 898 KAJIAN EFETIVITAS DAN EFISIENSI PENGGUNAAN BEBERAPA KOMBINASI PUPUK LEPAS LAMBAT PADA PADI SAWAH DI KABUPATEN SIDRAP Nasruddin Razak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jalan Perintis Kemerdekaan Km,17,5 Sudiang, Makassar Email: [email protected] ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas beberapa kombinasi penggunaan pupuk lepas lambat terhadap pertumbuhan dan hasil padi serta efisiensi dan tingkat keuntungan yang diperoleh pada usahatani tanaman padi. dilaksanakan di desa Tonrongge kecamatan Baranti kabupaten Sidrap pada MK 2008/2009. Penelitian menggunakan metode rancangan acak kelompok (RAK) diulang 3 kali. Terdiri dari 14 kombinasi pemupukan sebagai perlakuan. Hasil Kajian menunjukkan tinggi tanaman pada saat panen pada perlakuan K1( cara petani) tertinggi yaitu 110,7 cm diikuti perlakuan K2 (Rekomendasi) 110,3 cm dan C3 110,0 cm. jumlah anakan produktip perrumpun tertinggi pada perlakuan K1 dan D3 dengan jumlah anakan masing-masing 18,3. Hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan K1 sebanyak 6769 kg/ha dan D3 sebanyak 6657 kg/ha kemudian K2 6436 kg/ha tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, Tingkat keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan pada K1 sebanyak Rp. 14.290.500 ,-/ha sedangkan, K2, D3, C3 dan B3 masing-masing melebihi Rp. 13.000.000,/ha. Selebihnya diatas Rp.11.000.000,-/ha dan terendah adalah perlakuan A1 hanya memperoleh keuntungan sebesar Rp. 9.986.800,-/ha. Gross Benefit cost rasio tertinggi pada perlakuan K2 sebesar 3,49 kemudian K1 sebesar 3,38 sedangkan perlakuan lainnya diatas 3,00 – 3,23. Hal ini menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan menguntungkan dan menunjukkan efisiensi usahatani yang tinggi dengan B/C ratio 2,99 – 3,49. Kata kunci : Usahatani padi, pupuk lepas lambat, efektivitas, efisiensi, keuntungan PENDAHULUAN Permintaan terhadap beras terus mengalami peningkatan setiap tahun. Proyeksi permintaan pada 2010 sekitar 41,50 juta ton 9 (Swastika et al., 2002) dan diperkirakan akan meningkat sampai 78 ton pada tahun 2025 (Balai Penelitian Tanaman Padi, 2002), sehingga pada tahun 2010 akan terjadi defisit beras sekitar 12,78 juta ton (13,50% per tahun) apabila tidak dilakukan peningkatan produktivitas . Menurut tim peneliti Badan Litbang Pertanian (1998), konstribusi terbesar dalam permintaan beras adalah melalui peningkatan produktifitas yaitu sekitar 56,80%. Peranan pupuk dalam pengkatan produksi sangat besar terutama unsur hara makro seperti NPK. Partoharjono dan Makmur (1993) menyatakann bahwa hara N,P dan K merupakan hara utama yang diperlukan tanaman padi dan sering menjadi faktor pembatas produksi. Nitrogen bersama unsur unsur lainnya seperti C, H, O, P dan S merupakan komponen pembentuk asam amino Nukleotida dan beberapa senyawa lipid. Menurut Tisdale et al. (1985) nitrogen yang diserap tanaman diubah dalam bentuk NH2+ dan 899 selanjutnya digunakan untuk pembentukan senyawa protein. Protein ini berperan sebagai enzim yang mengontrol proses metabolisme dan asam nukleoprotein yang mengonttrol proses hereditas. Selanjutnya dijelaskan bahwa nitrogen juga berperan dalam penggunaan karbohidratdan bila supalai N berkurang maka karbohidrat akan bertumpuk pada bagian vegetatif sehingga tanaman menjadi kerdil. Menurut Yoshida (1981), salah satu akibat dari kekurangam N adalah berkurangnya jumlah anakan. Penyerapan N terjadi sepanjang pertumbuhan tanaman. Sibberen dan Sharpley (1998) bahwa mobilitas P dalam tanah sangat rendah dibanding unsur lainnya. Dengan demikian hara P perlu ditambahkan kedalam tanah. Mengingat efisiensi pada lahan sawah sangat rendah, yaitu hanya sekitar 15-20% (Soepartini et al., 1994) salah satu peranan penting dari unsur P adalah menghasilkan dan memepercepat pematangan bulir. Selanjutnya dijelaskan Tisdale et al. (1985) sebagian besar unsur P ditemukan sebagai bagian penting dalam biji. Suplai P yang cukup pada awal pertumbuhan sangat penting dalam meletakkan primordia pada bagian reproduktif, memperbesar rasio bulir dan jerami, mendorong pembentukan bunga serta meningkatkan produksi dan peningkatan hasil. Pupuk urea yang banyak digunakan petani saat ini adalah pupuk urea yang sifatnya cepat larut, namun disisi lain banyak yang hanyut, tercuci dan menguap. Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan dan menutupi kekurangan dari penggunaan pupuk yang cepat larut maka PT. Pupuk Kaltim memproduksi beberapa jenis pupuk yang bersifat lepas lambat/slow releas fertilizer (SRF), namun tingkat efektifitasnya terhadap pertumbuhan dan produksi padi serta efisiensi tingkat keuntungan yang diperoleh pada pertanaman padi belum diketahui. Untuk mengetahui efektifitas beberapa kombinasi penggunaan pupuk lepas lambat terhadap pertumbuhan dan hasil padi serta efisiensi dan tingkat keuntungan yang diperoleh pada usahatani tanaman padi. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan pengkajian dilakukan di lahan petani Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap pada MK 2008/2009. Desa Tonrongge Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan. Varietas Mekongga ditanam setelah bibit berumur 18 hari setelah semai. Luas plot yang digunakan adalah 4 m x 5 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, dan aplikasi pupuk lepas lambat SRF D dan H diberikan semua pada saat tanam, sedangkan pemupukan yang digunakan sebanyak seperdua bagian urea, dan semua pupuk SP 36 dan KCl diberikan pada umur 10 hari setelah tanam. Pemupukan yang kedua, sebanyak seperdua bagian urea sisa diberikan pada umur 25 hari setelah tanam. Pengendalian gulma dilakukan sesuai kebutuhan lapangan, sedangkan hama penyakit dikendalikan berdasarkan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT). 900 Para meter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, gabah isi per malai, gabah hampa per malai, bobot seribu biji, hasil gabah dengan kadar air 14%. Untuk mengetahui efesiensi dari usaha padi sawah dilakukan analisis nisbah penerimaan atas biaya produksi (Medialdia, 1999). PxQ Gross B/C Ratio = ∑ Bi Dimana P = Harga produksi (Rp/Kg) Q = Hasil Produksi (Kg/Ha) Bi = Biaya produksi ke-i (Rp/Ha) HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman Pada pengamatan tinggi tanaman pada saat panen menunjukkan bahwa pada perlakuan K1( cara petani) tertinggi yaitu 110,7 cm diikuti perlakuan K2 (Rekomendasi) 110,3 cm dan C3 110,0 cm. Sedangkan perlakuan lainnya mempunyai tinggi tanaman diatas 100 cm namun tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan (tabel 1.). Hal ini menunjukkan pemberian pupuk Nitrogen yang tinggi baik urea, SRF-D dan SRF-H dalam dosis yang tinggi berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Jumlah Anakan Pada pengamatan jumlah anakan produktip perrumpun (tabel 1) menunjukkan bahwa pada perlakuan K1( Cara petani), D3 dengan jumlah anakan masing-masing 18,3 diikuti B3, dan B2 masing-masing sebanyak 17,0 anakan/rumpun, kemudian perlakuan B1 sebanyak 16,7 selanjutnya perlakuan D1 16,0 anakan dan D2, C3 masing-masing 15,7 anakan, perlakuan-perlakuan ini berbeda nyata dengan A1, A2, C1 dan C2. Tabel 1. Rata-rata pertumbuhan tanaman pada beberapa kombinasi pupuk lepas lambat padi sawah di Sulawesi Selatan lokasi Kab. Sidrap MT-II Tahun 2008 – 2009 Kode Perlakuan K1 Cara petani (urea 250, SP-36 150, KCl 50, ZA 50 kg/ha) Rekomendasi (urea 200, SP-36 50, KCl 50 kg/ha) SRF-D 300 kg/ha(1 x aplikasi) SRF-D 400 kg/ha(1 x aplikasi) SRF-D 500 kg/ha( 1 x aplikasi) SRF-D 300,SP-36 50, KCl 50 kg/ha ( 2 x aplk) SRF-D 400, SP-36 50, KCl 50 kg/ha (2 x aplk) SRF-D 500, SP-36 50, KCl 50 kg/ha( 2 x aplk) SRF-H 210, SP-36 50, KCl 50 kg/ha (1 x aplk) SRF-H 280, SP-36 50, KCl 50 kg/ha (1 x aplk) K2 A A A B B B C C 1 2 3 1 2 3 1 2 Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan produktif/rumpun 110,7 tn 18,3 a 110,3 17,0 ab 102,7 105,7 107,0 105,3 107,3 108,3 105,0 107,7 13,7 15,3 15,7 16,7 17,0 17,3 14,0 14,7 c bc abc ab ab ab c bc 901 Lanjutan… Kode C3 D1 D2 D3 KK Perlakuan SRF-H SRF-H SRF-H SRF-H 350, 210, 280, 350, SP-36 SP-36 SP-36 SP-36 50, 50, 50, 50, KCl KCl KCl KCl 50 50 50 50 kg/ha (1 x aplk) kg/ha( 2 x aplk) kg/ha( 2 x aplk) kg/ha(2 x aplik) Tinggi Tanaman (cm) 110,0 105,0 106,0 109,3 1,56 Jumlah Anakan produktif/rumpun 15,7 16,0 15,7 18,3 8,49 abc abc abc a Keterangan : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji berganda Duncan Jumlah Gabah Isi/Malai Pada tabel 2 dapat dilihat Jumlah gabah isi tertinggi diperoleh pada perlakuan C3 119,3., B1 berturut-turut 119,3 dan 117,7 tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali perlakuan D3 sebanyak 95,7 biji. Jumlah Gabah Hampa/Malai Pada pengamatan Jumlah gabah hampa permalai menunjukkan bahwa perlakuan D3 tertinggi yaitu 21,3 biji per malai diikuti perlakuan K1 (cara petani) dan A2 sebanyak 16 dan 15,7 biji/malai, berbeda nyata dibanding dengan perlakuan lainnya. Berat 1000 Biji Hasil pengamatan terhadap berat 1000 biji menunjukkan bahwa perlakuan C3 mempunyai berat 1000 biji tertinggi yaitu 28,4 tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, kecuali K 2 (rekomendasi), A2, C1 dengan berat berturut-turut 27,4, 27,3., 27,1 dan terendah 27,0 gram/1000 biji pada perlakuan B1. Hasil Gabah Kering Pada pengamatan berat gabah kering (k.a. 14 %) pada tabel 6 menunjukkan bahwa hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan K1 (Cara petani) sebanyak 6769 kg/ha dan D3 sebanyak 6657 kg/ha kemudian K2 (Rekomendasi) 6436 kg/ha tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, kecuali perlakuan C2, C1 dan A1 yang memperoleh hasil berturut-turut 5576, 5525 dan terendah 4989 kg/ha. Hal ini menunjukkan bahwa unsur hara nitrogen yang bersumber dari Urea maupun SRF- N, Phosfor dan Kalium dalam jumlah yang cukup sangat berpengaruh terhadap peningkatan hasil padi sawah dilokasi kabupaten Sidrap . Menurut Partoharjono dan Makmur (1993), menyatakan bahwa hara N, P, dan K merupakan hara utama yang diperlukan tanaman padi dan sering menjadi faktor pembatas produksi. Produksi pada perlakuan kombinasi pupuk lambat SRF-D pada perlakuan B1, B2 dan B3 yang diaplikasi dua kali ditambah pupuk SP-36 dan KCl masingmasing 50 kg/ha, lebih tinggi dari pada pemberian pupuk dan dosis SRF-D tunggal yang sama tetapi diaplikasi satu kali pada perlakuan A1, A2 dan A3, dan produksi pada perlakuan kombinasi pupuk lambat SRF-H pada perlakuan D1, D2 dan D3 yang diaplikasi dua kali, lebih tinggi dari pada pemberian pupuk dan dosis yang sama tetapi diaplikasi satu kali pada perlakuan C1, C2 dan C3. Hai ini 902 menunjukkan adanya efektifitas dan efisensi kombinasi penggunaan pupuk lepas lambat pada tanaman padi dengan penambahan pupuk SP-36 dan KCL pada pupuk SRF-D dan jumlah waktu pemberian pupuk pada kedua jenis pupuk lepas lambat yang digunakan (tabel.2). suatu perlakuan dikatakan efektif jika produksi yang dihasilkan lebih tinggi dari pembandingnya (Schemerhon John R. Jr, 1986 dalam Marissa, 2011) dan menurut Hidayat (1986) dalam Marissa (2011) efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh sasaran hasil telah dicapai, semakin besar persentase hasil yang dicapai semakin tinggi efektivitasnya. Tabel 2. Rata-rata hasil dan komponen hasil pada uji efektifitas pupuk SRFN (D & H) padi sawah di Sulawesi Selatan lokasi Kab.Sidrap. MT-II Tahun 2008-2009 Kode Perlakuan K1 Cara petani (urea 250, SP-36 150, KCl 50, ZA 50 kg/ha) Rekomendasi (urea 200, SP-36 50, KCl 50 (kg/ha) SRF-D 300 kg/ha (1 x aplikasi) SRF-D 400 kg/ha (1 x aplikasi) SRF-D 500 kg/ha (1 x aplikasi) SRF-D 300,SP-36 50, KCl 50 kg/ha ( 2 x aplk) SRF-D 400, SP-36 50, KCl 50 kg/ha (2 x aplk) SRF-D 500, SP-36 50, KCl 50 kg/ha ( 2 x aplk) SRF-H 210, SP-36 50, KCl 50 kg/ha (1 x aplk) SRF-H 280, SP-36 50, KCl 50 kg/ha (1 x aplk) SRF-H 350, SP-36 50, KCl 50 kg/ha (1 x aplk) SRF-H 210, SP-36 50, KCl 50 kg/ha( 2 x aplk) SRF-H 280, SP-36 50, KCl 50 kg/ha( 2 x aplk) SRF-H 350, SP-36 50, KCl 50 kg/ha(2 x aplik) K2 A A A B 1 2 3 1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3 KK Jumlah gabah isi/malai 113,7 ab Jumlah gabah hampa/ malai 16,0 ab Bobot 1000 biji (gram) 27,8 ab 6769 a 106,3 ab 13,0 b 27,4 b 6436 ab 105,0 112,7 111,3 117,7 12,0 15,7 9,7 10,0 27,8 27,3 27,8 27,0 4989 5643 6161 5879 ab ab ab a b ab b b ab b ab b Hasil GKG (kg/ha) d bcd abc abc 111,3 ab 12,7 b 27,6 ab 6300 abc 107,3 ab 12,3 b 27,5 ab 6392 abc 100,7 ab 11,0 b 27,1 b 5525 cd 110,7 ab 9,7 b 27,5 ab 5576 cde 119,3 a 12,3 b 27,5 ab 6412 abc 111,7 ab 9,0 b 27,6 ab 6071 abc 99,3 ab 12,3 b 27,5 ab 6155 abc 95,7 b 21,3 a 28,4 a 6657 a 9.68 36,0 1,68 5,34 Keterangan : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji berganda Duncan 903 Tingkat Keuntungan dan Gross B/C rasio Tingkat keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan pada K1 sebanyak Rp. 14.290.500 ,-/ha sedangkan, K2, D3, C3 dan B3 masing-masing melebihi Rp. 13.000.000,/ha. Diikuti berturut-turut oleh perlakuan B2, A3, D1, D2 dan B1 dengan nilai keuntungan melebihi Rp.12.000.000/ha sedangkan perlakuan lainnya masing-masing diatas Rp.11.000.000,-/ha dan terendah adalah perlakuan A1 hanya memperoleh keuntungan sebesar Rp. 9.986.800,-/ha. Gross Benefit cost rasio tertinggi pada perlakuan K2 sebesar 3,49 kemudian K1 sebesar 3,38 dan D1 sebesar 3,23 selanjutnya D3 dan B2 masingmasing sebesar 3,20 sedangkan perlakuan lainnya diatas 3,00. Hal ini menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan menguntungkan secara ekonomi, artinya apabila diinvestasikan dana sebesar Rp. 100,- akan memberikan keuntungan sebesar Rp.300. (tabel. 3) dan kombinasi pemberian pupuk lepas lambat cukup efisien secara ekonomi karena mencakup efisiensi teknis dimana dengan pemberian dua kali dapat meningkatkan B/C ratio dan efisiensi alokatif karena nilai produksi marginal melebihi nilai biaya yang dikeluarkan. Suatu dikatakan efisiensi harga atau efisiensi alokatif kalau nilai dan produk marginal sama dengan biaya produksi yang bersangkutan (titik impas dan efisiensi teknis ditunjukkan akibat pengelolaan yang lebih baik, sedangkan dikatakan efisiensi ekonomi kalau usaha pertanian tersebut mencapai efisiensi teknis dan sekaligus juga mencapai efisiensi alokatif /harga (Soekartawi, 1993). Tabel 3. Jumlah Biaya sarana, tenaga kerja, nilai produksi, keuntungan/ha dan Gross B/F Rasio pada uji efektifitas pupuk SRF-N (D & H) padi sawah di Sulawesi Selatan lokasi Kab. Sidrap. MT-II Tahun 2008 -2009 Kode K1 K2 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3 904 Jumlah biaya (Rp./ha) Sarana Tenaga Total kerja 1.368.000 1.088.000 1.163.000 1.328.000 1.493.000 1.343.000 1.508.000 1.673.000 1.379.500 1.530.000 1.680.500 1.379.500 1.530.000 1.680.500 4.648.500 4.444.500 3.817.200 4.074.900 4.340.500 4.206.000 4.404.000 4.472.900 4.001.700 4.063.500 4.424.100 4.256.800 4.414.500 4.563.000 6.016.500 5.532.500 4.980.200 5.402.900 5.833.500 5.549.000 5.912.000 6.145.900 5.381.200 5.593.500 6.104.600 5.636.300 5.944.500 6.243.500 Nilai produksi (Rp/ha) Keuntungan (Rp./ha) Gross B/C rasio 20.307.000 19.308.000 14.967.000 16.929.000 18.483.000 17.637.000 18.900.000 19.176.000 16.575.000 16.728.000 19.236.000 18.213.000 18.465.000 19.971.000 14.290.500 13.775.500 9.986.800 11.526.100 12.649.500 12.088.000 12.988.000 13.0301.00 11.193.800 11.134.500 13.131.400 12.576.700 12.520.500 13.727.500 3,38 3,49 3,01 3,13 3,17 3,18 3,20 3,12 3,08 2,99 3,15 3,23 3,11 3,20 KESIMPULAN 1. Kombinasi Pemupukan urea , SP-36 kg, KCL dan ZA pada perlakuan cara petani dan sesuai rekomendasi serta kombinasi pupuk lepas lambat efektif meningkatkan produksi padi sawah dibandingkan dengan pemberian Pupuk SRF-D diberikan secara tunggal dan kombinasi pupuk SRF-H tetapi diplikasi hanya 1 kali di Sidrap. 2. Semua perlakuan menunjukkan efisiensi usahatani yang tinggi dengan B/C ratio 2,99 – 3,49, Tingkat keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan pada K1 diikuti K2, D3, C3 dan B3. Gross Benefit cost rasio tertinggi pada perlakuan K2, K1, D1 selanjutnya D3 dan B2. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang) Departemen Pertanian. 1998. Efisiensi Penggunaan Pupuk Dalam Strategi Peningkatan Produksi Menuju Pertanian Tangguh. Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk. Cipayung 16-17 November 1997. Prosiding. Balai Penelitian Tanaman Padi. 2002. Pengelolaan Tanaman Terpadu Inovasi Sistem Produksi Padi Sawah Irigasi (Brosur). Balai Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian. Marissa, S. 2011. Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi kasus : Kabupaten Bogor) (skripsi). Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Medialdia, T. 1999. Total and Analysis of Adaptive Research in Farming System. Paper Presented in International Adaptive Research of Farming System Couse. Farming System and Soil Resource Institute. University of the Philippines Los Banos Collega, Philippines. Partoharjono, S. dan A. Makmur. 1993. Peningkatan Produksi Padi Gogo. Hal 523-459. dalam Ismunadji et al. (ed.). Padi Buku 2. Puslibangtan, Bogor. Sibberen, E. And A.N. Sharpley. 1998. Setting and Justifying upper Critical Limits for Phosphorus in Soil. Pp. 157-176. In Tunny et al. (ed.). Phosphorus Lossfrom Soil to Water. CABI. Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. PT. Raja Grafindo. Jakarta. Soepartini, M., Nurjaya, A. Kasno, S. Ardjakusuma, Moersidi S. Dan J. Sri Adingsi. 1994. Status Hara P dan K serta Sifat-Sifat Tanah sebagai Penduga Kebutuhan Pupuk Padi Sawah di Pulau Lombok. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. Puslittanak, Bogor, 12:23-34. Swastika, D.K.S., P.U. Hadi, dan Nyak Ilham. 2000. Proyeksi Penawaran dan Permintaan Komoditas Tanaman Pangan :2000-10. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 905 Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian. 1998. Laporan Hasil Penelitian Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian dalam Pelita VII. Puslittanak, Bogor. Tisdale, S.L., W.L. Nelson and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. 4 th Edition. Macmillan Publishing Company, New York. Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines. 269 p. 906 KAJIAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU DAN LOKAL PADI GOGO PADA LAHAN KERING DI MALUKU La Dahamarudin dan M.P. Sirappa Staf Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Jln. Chr. Soplanit Rumah Tiga, Ambon 97234 Email :[email protected] ABSTRAK Kajian ini dilaksanakan di desa Sepa, kecamatan Amahai, Maluku Tengah, yang berlangsung dari bulan Mei – Oktober 2012. Kajian bertujuan untuk memeperoleh varietas unggul baru dan lokal padi gogo yang adaptif dan berproduksi tinggi pada lahan kering.Kajian disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan (petani sebagai ulangan). Hasil kajian menunjukkan bahwa varietas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produksi gabah kering giling dengan hasil tertinggi berturut-turut Situ Patenggang(5,47 ton/ha), Inpago 5 (4,65 ton/ha), Inpago 6(4,44 ton/ha), Limboto (3,83 ton/ha), dan Inpago 4 (3,76 ton/ha). Hasil terendah diperoleh pada varietas unggul Gajah Mungkur (2,51 t/ha), Danau Gaung (2,90 t/ha), dan Batu Tegi (2,99 t/ha). Padi lokal Maluku (Fulan Telo Mihat dan Fulan Telo Gawa) hanya mampu memberikan hasil 2,37 – 2,94 t/ha. Kata kunci: Kajian adaptasi, padi gogo, Maluku Tengah, produktivitas. PENDAHULUAN Kontribusi lahan sawah dalam penyediaan pangan, khususnya padi nasional belum mencukupi dalam pemenuhan kebutuhan pangan.Target penyediaan padi nasional tahun 2013sebesar 72,57juta ton GKG dan surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014 (Kementerian Pertanian, 2013; Dirjen Tanaman Pangan, 2013) tidak cukup hanya dengan mengandalkan lahan sawah. Upaya pemenuhan penyediaan padi nasional tersebut selain dari lahan sawah juga melalui pemanfaatan lahan kering dengan beberapa strategi, diantaranya peningkatan IP dan produktivitas. Potensi lahan kering Maluku untuk pengembangan tanaman pangan, termasuk padi gogo sangat luas, yaitu sekitar 718.684 ha, namun pemanfaatannya baru sebagian kecil (2.791 ha) dengan tingkat produktivitas rata-rata 2,26 t/ha (BPS Provinsi Maluku, 2010). Hasil tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan potensi hasil beberapa varietas unggul baru padi gogo (4 7 t/ha) (Badan Litbang Pertanian, 2007; 2008), Permasalahan dalam pemanfaatanlahan kering cukup banyak, diantaranya tingkat kesuburan tanah rendah, rentan dengan OPT, perubahan iklim ekstrim, dan teknik budidaya tanaman masih dilakukan secara tradisional. Upaya peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang cukup komplek. Hal ini selain terkait dengan adanya konversi lahan subur ke non pertanian dengan laju sekitar 110.000 ha/tahun, juga budidaya padi dihadapkan pada perubahan global yang jika tidak diantisipasi dengan baik, stabilitas perberasan nasional akan terganggu. Perubahan itu 907 otomatis merubah pola tanam padi, dan memicu perubahan hidup OPT yang dapat menyebabkan ledakan hama penyakit tanaman padi. Dengan demikian, produksi pangan nasional perlu secara signifikan ditingkatkan agar kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi. Dalam 6 tahun terakhir (2005-2010), BB padi telah merilis 32 varietas unggul baru dengan berbagai keunggulan, misalnya varietas yang adaptif untuk kekeringan dan keracunan Al, toleran dengan OPT utama pada lahan kering, dan berumur genjah. Diharapkan dari varietas tersebut diperoleh varietas unggul baru yang adaptif dan spesifik lokasi dengan produktivitas tinggi pada agroekosistem lahan kering dalam menghadapi perubahan iklim. Selain VUB, beberapa padi varietas lokal juga perlu dikaji potensi dan adaptasinya pada lahan kering untuk mendapatkan varietas lokal yang spesifik lokasi dengan potensi hasil tinggi. Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), varietas unggul merupakan salah satu teknologi PTT yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Kontribusi nyata varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional. Varietas memberikan sumbangan sebesar 56% dalam peningkatan produksi, yang pada dekade 1970-2000 mencapai hampir tiga kali lipat. Oleh karena itu, maka salah satu titik tumpu utama peningkatan produksi padi adalah perakitan dan perbaikan varietas unggul baru (Balitpa, 2004). Selanjutnya Lubis et al. (1999) dan Baehaki (2001), menyatakan varietas unggul baru merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan hasil dan mengantisipasi kegagalan usahatani padi di tingkat petani. Menurut Hapsah (2005), peningkatan produktivitas padi dapat diupayakan melalui penggunaan varietas yang adaptif dengan penerapan inovasi teknologi yang tepat. Untuk mencapai hasil maksimal dari penggunaan varietas unggul baru atau lokal, diperlukan lingkungan tumbuh yang sesuai agar potensi hasil dan keunggulannya dapat terwujudkan (Makarim dan Las, 2005). Menurut Las (2003), varietas memberikan kontribusi yang cukup nyata terhadap peningkatan produksi padi. Hasil kajian FAO yang dilaporkan Las (2003) menunjukkan bahwa secara partial, varietas memberikan kontribusi sebesar 16%, dan jika diintegrasikan bersama dengan komponen teknologi budidaya lainnya, seperti pupuk dan irigasi, peningkatan produksi padi dapat mencapai 75%. Diharapkan dari hasil kegiatan ini akan diperoleh varietas yang mempunyai produktivitas tinggi dan adaptif terhadap cekaman abiotik pada lahan kering dalam menunjang ketersediaan pangan di Maluku. METODOLOGI Waktu dan Tempat Kajian ini dilaksanakan pada lahan kering milik petani yang berlangsung dari bulan Mei – Oktober 2012, di Dusun Simalouw, Desa Sepa,Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. 908 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam kajian ini antara lain: benih padi gogo varietas unggul (Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Gajah Mungkur, Danau Gaung, Situ Patenggang, Batu Tegi, Limboto) dan varietas lokal Maluku yaitu lokal merah (Fulan Telo Mihat) dan lokal putih (Fulan Telo Gawa), pupuk organik, urea, NPK Phonska, Furadan 3G, Regent, Curakron, Emulsifer (Sanvit). METODOLOGI Ukuran petak percobaan yaitu lebar 4 m dan panjang 10 m. Jarak antar petak perlakuan 1,5 m.Perlakuan disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok yang diulang tiga kali (petani sebagai ulangan).Sistem tanam menggunakan model legowo 4:1 dengan jarak tanam (20 cm x 10 cm) x 40 cm. Jumlah benih tiap lubang tanam 3 - 5 butir. Pemupukan P dan K didasarkan atas hasil analisis tanah atau status hara tanah dengan menggunakan perangkat uji tanah kering (PUTK), sedangkan pupuk nitrogen akan dikontrol berdasarkan bagan warna daun (BWD). Pemupukan dasar dilakukan dengan memberikan urea sebanyak 50 kg bersamaan dengan pupuk NPK Phonska pada umur 7-10 hst. Pupuk urea susulan diberikan berdasarkan skala warna daun yang diukur dengan alat BWD pada umur 28 hst dan pengukuran selanjutnya dilakukansetiap 10 - 14 hari. Jika nilai pembacaan BWD < 4 maka takaran urea yang diberikan sekitar 50-100 kg/ha. Pupuk kandang diberikan dengan dosis 4 t/ha pada saat pengolahan tanah terakhir. Pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan dengan menganut prinsip PHT, sedangkan gulma dikendalikan secara mekanis. Peubah yang diamati adalah: Tinggi tanaman, yaitu rata-rata tinggi tanaman dari 5 rumpun contoh, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai tertinggi. Jumlah anakan produktif per rumpun, yaitu rata-rata jumlah anakan dari 5 rumpun contoh, dihitung pada umur 60 hst. Jumlah gabah isi dan gabah hampa, yaitu rata-rata jumlah gabah isi dan hampa dari 5 rumpun contoh. Bobot 1000 butir gabah isi, yaitu bobot 1000 biji gabah pada kadar air 14%. Hasil gabah bersih per petak ubinan, yaitu bobot gabah yang dipanen dari petak ubinanberukuran 2 m x 3 m. Timbang bobot gabah bersih dan lakukan pengukuran kadar air. Konversi hasil gabah per petak ke hasil gabah per hektar pada kadar air 14% berdasarkan rumus : 10.000 100-KA Hasil (t GKG/ha) = --------- x --------- x B LP Dimana : KA LP B 100-14 = Kadar air gabah waktu panen = Luas panen (m2) = Bobot gabah (kg) Analisis data dengan metode menggunakan program SAS, dan untuk mengetahui perbedaan perlakuan dilakukan dengan uji-t (DMRT). 909 HASIL DAN PEMBAHASAN Status Hara Tanah dan Dosis Pupuk Berdasarkan hasil analisis tanah dengan menggunakan PUTK, diketahui bahwa lokasi kajian di desa Sepa, kecamatan Amahai, kabupaten Maluku Tengah memiliki status hara tanah P yang tergolong sedang, K tinggi, pH agak masam, dan C-organik rendah (Tabel 1). Tabel 1. Status hara tanah pada lokasi kajian di Dusun Simalouw, Desa Sepa, KM7 Makariki, Maluku Tengah, 2012 Uraian P K pH Tanah C-Organik Keterangan: 1) 2) Nilai1) Sedang Tinggi Agak Masam Rendah Rekomendasi Pupuk2) (kg/ha) 150 kg SP-36 50 kg KCl 1 ton kapur 2 ton BO/ha Hasil pengukuran dengan PUTK Setyorini et al. (2007) Dosis rekomendasi pemupukan N pada Padi Gogo didasarkan atas penggunaan bahan organik. Jika menggunakan bahan organik, takaran pupuk urea adalah 200 kg/ha, tetapi jika tidak menggunakan bahan organik, dosis urea adalah 250 kg/ha. Sehubungan dengan ketersediaan pupuk tunggal yang tidak tersedia di lapangan saat ini, maka dosis pupuk tunggal dikonversi ke pupuk majemuk. Dengan demikian, dosis pemupukan Padi Gogo di lokasi kajian di Desa Sepa, Kecamatan Amahai, Maluku Tengah adalah sebagai berikut : 200 kg NPK Phonska + 200 kg urea. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Hasil pengamatan pertumbuhan dan hasil tanaman yang meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi dan gabah hampa, bobot 1000 biji dan hasil/ha disajikan pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, dan panjang malai pada kajian beberapa varietas unggul baru dan lokal Padi Gogo umur 2 bulan, 2012 Perlakuan A. Inpago 4 B. Inpago 5 C. Inpago 6 D. Gajah Mungkur E. Danau Gaung F. Situ Patenggang G. Batu Tegi H. Limboto I. Fulan Telo Mihat (lokal merah Maluku) J. Fulan Telo Gawa (lokal putih Maluku) Tinggi Tanaman 115,38 114,20 104,30 97,93 116,30 97,27 111,17 111,98 119,47 125,40 ab abc bcd cd ab d abcd abcd ab a Jumlah Anakan Produktif 9,60 11,13 10,00 6,07 9,37 10,13 8,00 13,07 7,67 7,67 b ab ab c bc ab bc a bc bc Panjang Malai 23,95 21,95 21,18 18,89 20,63 21,74 22,84 22,64 20,23 20,90 ab bcde cde f def cde bc bcd ef a Keterangan: Angka rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α=0.05. 910 Varietas lokal rata-rata mempunyai tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan padi VUB, namun jumlah anakan, panjang malai, jumlah gabah isi/rumpundari varietas lokal lebih rendah dibandingkan padi VUB, sehingga produktivitas padi lokal juga lebih rendah, yaitu 2,37 – 2,94 t/ha (Tabel 2 dan 3). Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan panjang malai pada kajian beberapa varietas unggul baru dan lokal padi gogo umur 2 bulan, 2012 Perlakuan Jumlah Gabah Isi/ Rumpun Jumlah Gabah Hampa/ Rumpun Bobot 1000 Biji (gram) Produksi GKG ton/ha* A. Inpago 4 86,56 b 49,63 b 26,17 ab 3,76 bc B. Inpago 5 68,12 b 21,08 d 20,02 bcd 4,65 ab C. Inpago 6 93,43 a 40,50 bc 19,43 d 4,44 ab D. Gajah Mungkur 64,93 b 36,77 cd 29,04 a 2,51 d E. Danau Gaung 66,04 b 27,88 cd 27,48 ab 2,90 cd F. Situ Patenggang 93,46 b 30,91 cd 23,98 abcd 5,47 a 128,18 a 83,43 a 20,11 cd 2,99 cd 78,77 b 25,85 cd 24,39 abcd 3,83 bc 66,12 b 37,60 bcd 23,48 bcd 2,37 d 80,10 b 39,73 bc 25,41 abc 2,94 cd G. Batu Tegi H. Limboto I. Fulan Telo Mihat (lokal merah Maluku) J. Fulan Telo Gawa (lokal putih Maluku) Keterangan: * Konversi dari hasil ubinan 2 m x 3 m Angka rata-rata pada kolom yang samayang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α=0.05. Beberapa varietas unggul yang mempunyai produktivitas cukup tinggi adalah Situ Patenggang (5,47 t/ha), Inpago 5 (4,65 t/ha), dan Inpago 6 (4,44 t/ha). Ketiga varietas tersebut cukup potensial untuk dikembangkan pada lahan kering selain karena mempunyai produktivitas yang tinggi, juga cukup adaptif terhadap cekaman iklim ekstrim yaitu curah hujan yang tinggi dan serangan hama burung yang agak rendah. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata hasil padi gogo di Maluku sebesar 2,26 t/ha (BPS Provinsi Maluku, 2010). Varietas unggul lainnya mempunyai hasil yang lebih rendah, yaitu Gajah Mungkur, Danau Gaung, Batu Tegi 2,51 t – 2,99 t GKG/ha.Varietas unggul Impago 4 dan Limboto rata-rata memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan varietas lokal Maluku, yaitu 3,76 t – 3,83 t/ha. Hal ini disebabkan terutama karena adanya serangan hama burung yang agak sulit dikendalikan karena serangan terkonsentrasi hanya pada kegiatan kajian adaptasi tersebut. Ini dapat dilihat dari rata-rata bobot 1000 biji yang cukup tinggi dari setiap varietas, namun rata-rata hasil yang dicapai rendah.Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di lokasi KP Makariki menunjukkan bahwa rata-rata hasil gabah yang dicapai pada vareiats Batu Tegi, Situ Patenggang, dan Limboto lebih tinggi dibandingkan hasil kajian ini, masing-masing 3,69 t, 5,02 t, dan 6,03 t GKG/ha (Dahamarudin, 2011), dimana tidak ada serangan burung. 911 Hasil gabah yang rendah dari beberapa varietas unggul yang dikaji diduga selain disebabkan oleh serangan hama burung, juga kondisi iklim yang cukup ekstrim (curah hujan yang tinggi) selama penelitian berlangsung (Tabel 4), terutama pada bulan Juli dimana tanaman sempat tergenang akibat luapan banjir dari sungai.Curah hujan dalam tiga bulan (Juni sampai Agustus) berkisar antara 511,0 - 1.064 mm, jauh di atas rata-rata curah hujan untuk kebutuhan minimum tanaman padi (100 - 200 mm/bulan) (Oldeman dan Darmijati, 1977). Tabel 4. Rata-rata curah hujan dan hari hujan selama penelitian berlangsung, 2012 Uraian CH (mm) HH (hari) 1 62 2 141,5 3 216,3 4 193,5 5 240 13 15 16 11 20 Bulan 6 7 511 1.064 24 28 8 692 9 159 10 54 11 26.5 12 127 24 17 8 5 14 Sumber : Stasiun Pos Makariki, Maluku Tengah, 2012 Varietas lokal Maluku pada pertumbuhan vegetatif cukup baik penampilannya, tapi akibat serangan burung yang cukup tinggi maka hasil yang dicapai rendah.Hasil kajian pemupukan yang dilakukan di KP. Makariki dengan pemasangan jejaring benang di atas pertanaman, rata-rata hasil varietas lokal putih Maluku (Fulan Telo Gawa) sebesar 2,69 t – 4,93 t/ha dan varietas unggul baru Inpago 6 sebesar 3,26 t – 4,86 t/ha (Sirappa dan Dahamarudin, 2013). KESIMPULAN 1. Varietas memberikan pengaruh signifikan terhadap produktivitas padi gogo varietas unggul baru dan lokal Maluku. 2. Hasil gabah tertinggi diperoleh pada varietas Situ Patenggang (5,47 t/ha) dan tidak berbeda nyata dengan Inpago 5 (4,65 t/ha) dan Inpago 6 (4,44 t/ha). 3. Varietas Limboto dan Inpago 4 memberikan hasil 3,83 t/ha dan 3,76 t/ha, sedangkan varietas Fulan Telo Mihat (lokal merah Maluku), Gajah Mungkur, Danau Gaung, Fulan Telo Gawa (Lokal putih Maluku), dan Batu Tegi, masingmasing memberikan hasil 2,37 t, 2,51 t, 2,90 t, 2,94 t dan 2,99 t/ha. 4. Varietas yang mempunyai prospek untuk pengembangan di Maluku adalah varietas unggul baru Situ Patenggang, Inpago 5, Inpago 6, dan Fulan Telo Gawa (lokal putih Pulau Buru, Maluku). DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 2008. Teknologi Padi dan Pemanasan Global. Kerjasama Indonesia-IRRI. Badan Litbang Pertanian. International Rice Risearch Institute. Baehaki, S.E. 2001. Skrining Lapangan terhadap Hama Utama Tanaman Padi. Pelatihan dan Koordinasi Program Pemuliaan Partisipatif (Shuttle 912 Breeding) dan Uji Multi Lokasi. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, 9-14 April 2001. Balitpa. 2004. Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Padi dan Kesejahteraan Petani. Balitpa, Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian. BPS Provinsi Maluku. 2010. Maluku Dalam Angka. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Kerjasama BPS dengan Dahamarudin, La. 2011. Perlakuan Invigorasi Benih Untuk Meningkatkan Viabilitas, Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Padi Gogo (Oryza sativa L.). Thesis Pascasarjana Jurusan Buddaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dirjen Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013. Kementerian Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan. Hapsah, M. Djafar. 2005. Potensi, Peluang, dan Strategi Pencapaian Swasembada Beras dan Kemandirian Pangan Nasional. Hal. 55-70. Dalam B. Suprihatno et al. (ed.) Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Buku Satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Kemeterian Pertanian. 2013. Roadmap Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Menuju Surplus Beras 10 Juta Ton Pada Tahun 2014. Edisi Revisi. Kementerian Pertanian. Las, I. 2003. Peta Perkembangan dan Pemanfaatan Varietas Unggul Padi. Dokumen, Okt. 2003. Lubis, E. Suwarno,dan M. Bustaman. 1999. Genetik Ketahanan Beberapa Varietas Lokal Padi Gogo terhadap Penyakit Blas. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Penelitian Pertanian Tanaman pangan V. 18:2:1999. Puslitbangtan. Makarim, A.K. dan Irsal Las. 2005. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Irigasi melalui Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Hal. 115-127. DalamB. Suprihatno et al. (ed.) Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Buku Satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Oldeman, L.S. dan Darmiyati S. 1977. An Agroclimatic Map of Sulawesi. Contribution No. 33 (1977) 30p. Bogor: Center Res. Inst.For Agr. Setyorini, D., Nurjaya, L.R. Widowati dan A. Kasno. 2007. Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah Kering (Upland Soil Test Kit). Versi 1.0. Balai Penelitian Tanah. BB Litbang SDLP, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Sirappa, M.P. dan La Dahamsrudin. 2013. Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo Varietas Unggul dan Lokal Yang Diberi Pupuk Organik dan Anorganik. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional di BPTP Sulawesi Tengah, 18 Maret 2013 (belum terbit). 913 DEKRIPSI BEBERAPA VARIETAS PADI GOGO LIMBOTO Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Hama Penyakit Cekaman lingkungan Anjuran tanam : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : TB47H-MR-5 Papah Aren/IR36//Dogo Cere 115 – 125 hari Tegak 110 – 132 cm 12 – 18 batang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak Mendatar Bulat besar Kuning bergaris coklat Sedang Tahan Sedang 24 % 28 g 4,5 t/ha 6,0 t/ha Tahan terhadap lalat bibit. Tahan terhadap blas daun dan blas leher Toleran kekeringan dan agak toleran keracunan Al. : Cocok ditanam pada lahan kering (gogo) yang subur dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl. Pemulia : E. Lubis, Murdani Diredja, Suwarno, danW. S. ArdjasaTeknisi : Tusrimin dan Ade Santika Alasan utama dilepas : Padi gogo hasil tinggi, tahan blas dan tolerankekeringan Dilepas tahun : 1999 SITU PATENGGANG Nama seleksi : Asal persilangan : Golongan : Umur tanaman : Bentuk tanaman : Tinggi tanaman : Anakan produktif : Warna kaki : Warna batang : Warna telinga daun : 914 BP1153C-9-12 Kartuna / TB47H-MR-10 Cere 110 –120 hari Tegak 100 –110 cm 10 – 11 batang Ungu tua Hijau tua Kuning kotor Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Indeks glikemik Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Penyakit Sifat khusus : : : : : : : : : : : : : : : Ungu Hijau, tepi daun tua berkilau ungu Bagian atas kasar, bawah permukaan halus Tegak Menyudut 35 – 50 derajat Agak gemuk Kuning kotor Sedang Tahan Sedang 24 % 53,7 27 g 4, 6 t/ha 6,0 t/ha : Tahan blas : Aromatik, respon terhadap pemupukan, mampu dikembangkan di sawah Anjuran tanam : Lahan kering musim hujan, tumpangsari, lahan tipe tanah Aluvial dan Podsolik ketinggian tidak lebih dari 300 m dpl Pemulia : Ismail BP, Yamin S., Z.A. Simanullang, dan Aan A. Daradjat Tim peneliti : Atito D, Husin Toha, Irsal L., dan Mukelar A.Teknisi : U. Sujanang, Karmita, Meru, dan Sukarno Pengusul : Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Alasan utama dilepas : Aromatik, produktivitas tinggi Dilepas tahun : 2003 BATUTEGI Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna helai daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah : : : : : : : : : : : : : : : : : TB154E-TB-2 B6876B-MR-10/B6128B-TB-15 Cere 112 – 120 hari Tegak 120 – 128 cm 8 – 12 batang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak Mendatar Bulat sedang Kuning bersih 915 Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Penyakit Cekaman lingkungan : : : : : : : Sedang Tahan Pulen 22, 3% 25 g 3,0 t/ha 6,0 t/ha : Tahan terhadap blas daun, blas leher, bercak daun coklat : Agak toleran terhadap keracunan Al, dan bereaksi moderat terhadap kekeringan Anjuran tanam : Baik dibudidayakan pada lahan kering subur dan lahan kering Podzolik Merah Kuning(PMK) dengan tingkat keracunan alumuniumsedang, dari dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl. Pemulia : E. Lubis, M. Diredja, W. S. Ardjasa, B.Kustianto dan Suwarno. Teknisi : Tusrimin, Sularjo, Gusnimar dan Ade Santika Alasan utama dilepas : Padi gogo, hasil tinggi, tahan blas, mutu beras baik, nasi pulen Dilepas tahun : 2001 GAJAH MUNGKUR Nomor seleksi Asal Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna helai daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Potensi hasil 916 : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : IRAT 112 Introduksi dari Kenya Cere, kadang-kadang berbulu 90 – 95 hari Tegak 95 – 100 cm 6 – 8 batang Hijau tua Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Licin Tegak - miring Tegak Medium Kuning keemasan Agak tahan Sedang 32, 2 % 36 g 2,5 t/ha Ketahanan terhadap Penyakit Cekaman lingkungan Anjuran tanam Pemulia Tw..Teknisi Dilepas tahun DANAU GAUNG Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna helai daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Penyakit Cekaman lingkungan Anjuran tanam Pemulia Teknisi Dilepas tahun : : : : : : Tahan terhadap blas Cukup toleran terhadap kekeringan Baik ditanam sebagai padi gogo di daerah beriklim kering Z. Harahap, Erwina Lubis, Murdani Diredja, dan Susanto Tusrimin, Sularjo, Gusnimar dan Ade Santika 2001 : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : TB165E-TB-12 ARC10372/B6135//Way Rarem Cere 110 – 116 hari Tegak 130 – 140 cm 14 – 18 batang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak Mendatar Panjang sedang Kuning bersih Sedang Tahan sedang 24 % 27 g 3,4 t/ha 5,5 t/ha : Tahan terhadap blas daun, blas leher, bercak daun coklat : Agak toleran terhadap keracunan Al, toleran terhadap keracunan Fe, dan bereaksi moderat terhadap ekeringan : Baik dibudidayakan pada lahan kering suburdan lahan kering Podzolik Merah Kuning(PMK) dengan tingkat k keracunan alumuniumsedang, baik untuk padi sawah beririgasi di lahan PMK dari dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl. : E. Lubis, M. Diredja, W. S. Ardjasa, Allidawati dan Suwarno. : Tusrimin, Sularjo, Gusnimar dan S. Suharsono : 2001 917 INPAGO 4 Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Jumlah gabah per malai Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Penyakit Cekaman abiotik Anjuran tanam : : : : : : : : : : : : : : : : : TB490C-TB-1-2-1 Batutegi/Cigeulis//Ciherang Cere 124 hari Tegak 134 cm 11 batang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Mendatar Mendatar Lonjong Kuning jerami : : : : : : : : 248 butir Sedang Sedang Pulen 21% 25 g 4,15 t/ha 6,08 t/ha : Tahan terhadap beberapa ras penyakit blas : Toleran terhadap keracunan Al (60 ppm) : Baik ditanam di lahan kering subur, lahankering podsolik merah kuning dengan tingkat keracunan aluminium sedang Pemulia : Erwina Lubis, Aris Hairmansis, B. Kustianto,S. Suharsono, Suwarno Peneliti : Santoso, Anggiani Nasution, Husin M. Toha Teknisi : Padio, Sunaryo, Endang Suparman, A.Santika, Pantja H. Siwi Pengusul : Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Alasan utama dilepas : Tahan beberapa ras blas, toleran Al, mutuberas baik Dilepas tahun : 2009 INPAGO 5 Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman 918 : B11338F-TB-26 : TB177E-TB-28-D-3/B10384E-MR-1-8-3//IR6008023///TB177E-TB-28-D- 3/B10386E-KN-36-2//BL245 : Cere : 118 hari Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Jumlah gabah per malai Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Penyakit Cekaman abiotik : : : : : : : : : : : : : : : Tegak 132 cm 14 batang Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Miring Miring Ramping Kuning Sedang Sedang : : : : : : 148 butir Sangat pulen 18% 26 g 4,04 t/ha 6,18 t/ha : Tahan terhadap beberapa ras penyakit blas : Toleran kekeringan, agak toleran terhadapkeracunan Al (60 ppm) Anjuran tanam : Baik ditanam di lahan kering subur, lahan keringpodsolik merah kuning dengan tingkatkeracunan alumunium sedang Pemulia : Suwarno, E. Lubis, Bambang Kustianto, ArisHairmansis, Supartopo Peneliti : Anggiani Nasution, Santoso, Husin M. TohaTeknisi : Sunaryo, A. Santika, E. Suparman, Subardi,Pantja H. Siwi Pengusul : Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Alasan utama dilepas : Tahan blas, toleran Al dan kekeringan, mutu beras baik, nasi sangat pulen Dilepas tahun : 2009 INPAGO 6 Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang : IR30176-B-2-MR-1 : Introduksi, IRAM2165/NC1281 : Cere : 113 hari : Tegak : 117 cm : 11 batang : Hijau : Hijau 919 Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Penyakit Cekaman abiotik Anjuran tanam : : : : : : : : : : : : : : : Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak-Miring Tegak-Miring Ramping Kuning jerami Sedang Tahan 135 butir 22% 25 g 3,9 t/ha 5,81 t/ha : Tahan terhadap beberapa ras penyakit blas : Agak toleran terhadap keracunan Al (60 ppm) : Baik ditanam di lahan kering subur, lahankering podsolik merah kuning dengantingkatkeracunan aluminium sedang Pemulia : B. Kustianto, E. Lubis, Aris Hairmansis,Supartopo, Suwarno Peneliti : Santoso, Anggiani Nasution, Husin M. TohaTeknisi : Sunaryo, A. Santika, Pardio, E. Suparman,Pantjia H. Siwi Pengusul : Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Alasan utama dilepas : Tahan blas, toleran Al, mutu beras baik Dilepas tahun : 2009 920 KAJIAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) PADA BERBAGAI PEMUPUKAN N DAN JARAK TANAM JAGUNG (Zea mays L.) DALAM POLA TUMPANG SARI DI LAHAN KERING MALUKU TENGAH A. Arivin Rivaie dan Albertus E. Kelpitna Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Jl. Chr. Soplanit, Rumah Tiga – Ambon, Maluku Telp (0911) 322664, Faks (0911) 322542 Email: [email protected] ABSTRAK Integrasi jagung dengan kacang tanah dalam pola tumpangsari sangat bermanfaat karena kacang tanah dapat memfiksasi N dari udara bebas lewat bakteri Rhizobium. Pengaturan jarak tanam pada pola tumpangsari jagung dan kacang tanah sangat penting untuk menghindari kompetisi dalam pengambilan cahaya matahari, air, dan unsur hara termasuk N, salah satu unsur hara makro esensial. Akan tetapi, tumpangsari jagung dengan kacang tanah yang dijumpai ditingkat petani umumnya tidak menggunakan jarak tanam yang teratur. Sehingga berdampak pada rendahnya produksi per satuan luas. Telah dilakukan kajian pola tumpangsari kacang tanah/jagung yang bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemupukan N dan jarak tanam jagung terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah dalam pola tumpangsari pada lahan kering di Desa Makariki, Kecamatan Amahai, Maluku Tengah dari bulan Agustus sampai dengan Desember 2009. Percobaan lapangan disusun dalam Rancangan Petak Terbagi (Split-Plot Design) yang diulang 3 kali. Jarak tanam jagung sebagai petak utama, yaitu: (i) J1 = 80 x 25 cm, 6 baris jagung, 2 baris kacang tanah, (ii) J2 = 160 x 25 cm, 3 baris jagung, 4 baris kacang tanah, dan (iii) J3 = 240 x 25 cm, 2 baris jagung, 6 baris kacang tanah. Dosis N (kg/ha) sebagai anak petak, yaitu: (i) N0 = 0-0-0, (ii) N1 = 45-60-50, (iii) N2 = 90-60-50, (iv) N3 = 135-60-50, dan (v) N4 = 180-60-50. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa (a) Penggunaan jarak tanam jagung J3 (240 x 25 cm) meningkatkan produksi polong kering, (b) Interaksi perlakuan jarak tanam jagung J3 (240 x 25 cm) dengan dosis nitrogen N 3 (300 kg urea/ha) memberikan produksi polong kering tertinggi. Kata kunci: Dosis N, jarak tanam, tumpangsari, jagung, kacang tanah PENDAHULUAN Dalam budidaya tanaman jagung, terdapat ruang kosong yang cukup besar, karena pada umumnya jarak tanam antar barisan tanaman adalah 100 cm atau 75 cm. Dalam rangka memanfaatkan ruang kosong tersebut, sangat tepat jika budidaya tanaman jagung diusahakan secara tumpangsari dengan tanaman lain. Tumpangsari (intercroping) adalah salah satu bentuk dari Multiple Cropping yang batasan pengertiannya adalah penanaman dua atau lebih tanaman secara serempak pada lahan yang sama dalam waktu tertentu. Pilihan tanaman untuk tumpangsari dengan jagung harus mempertimbangkan berbagai faktor antara lain kompetisi terhadap input lingkungan yang dibutuhkan kedua tanaman. Salah satu faktor input lingkungan yang perlu dipertimbangkan adalah aspek cahaya dan nutrisi. Dalam hal ini, pilihan tanaman tumpangsari sedapat mungkin 921 meminimalkan terjadinya kompetisi terhadap cahaya dan nutrisi, misalnya tanaman jagung dengan tanaman kacang tanah (Carr et al., 2004; Agegnehu et al., 2006; Dhima et al., 2007). Pupuk merupakan salah satu input usahatani yang mahal dan penting dalam memperbaiki produksi tanaman sehingga dalam penggunaanya harus tepat dosis agar tanaman dapat melakukan proses metabolisme dengan baik dan menghindari pemborosan serta pencemaran lingkungan. Cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk adalah meningkatkan kepadatan akar yang menyerap pupuk pada tanah lapisan olah melalui sistem tumpangsari. Nitrogen sering juga disebut unsur yang mobil karena mudah menguap, larut, tercuci (leaching) dan hilang masuk bersama air kedalam tanah yang dalam sehingga yang diserap oleh tanaman hanya sedikit. Efisiensi penggunaan pupuk nitrogen untuk tanaman serealia diperkirakan hanya 33% atau pada padi sawah sebesar 40% (Sumarno, 2000; Glass, 2003). Kacang tanah (Arachis hypogea L.) adalah salah satu jenis kacangkacangan sebagai sumber protein nabati yang tinggi setelah kedelai dan sangat penting untuk proses metabolisme tubuh manusia juga sebagai pakan dan bahan baku industri. Integrasi jagung dengan kacang tanah sangat bermanfaat karena kacang tanah dapat memfiksasi N dari udara bebas lewat bakteri Rhizobium sehingga kebutuhan nitrogen dalam bentuk pupuk anorganik dapat ditekan dan tanaman jagung dapat mengambil sisa nitrogen yang tidak diserap oleh kacang tanah (Fujita et al., 1992; Akunda, 2001; Muoneke et al., 2007). Pengaturan jarak tanam pada pola tumpangsari jagung dan kacang tanah merupakan hal yang esensi karena akan terjadi kompetisi dalam pengambilan unsur hara, air, ruang dan cahaya matahari (Akunda, 2001; Prasad and Brook, 2005). Tumpangsari jagung dengan kacang tanah yang dijumpai ditingkat petani umumnya tidak menggunakan jarak tanam yang teratur sehingga berpengaruh terhadap jumlah populasi tanaman dan sulit dalam aplikasi bahan kimia, penyiangan dan panen serta berdampak pada rendahnya produksi per satuan luas (Suyamto, 1993). Jarak tanam yang tepat akan menentukan jumlah populasi tanaman dalam suatu areal dan diperoleh hasil yang maksimal. Populasi yang terlalu banyak akan mengakibatkan tidaknya efisiensi dalam penggunaan ruang, cahaya, air dan unsur hara dalam tanah, sebaliknya populasi yang terlalu sedikit mengakibatkan tidak efisiensi dalam pemanfaatan lahan yang kesemuanya akan menyebabkan menurunnya hasil per satuan luas. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemupukan N dan jarak tanam jagung terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah dalam pola tumpangsari pada lahan kering di Desa Makariki, Kecamatan Amahai, Maluku Tengah. METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan di kebun Percobaan Makariki, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku di Desa Makariki Kecamatan Amahai Maluku Tengah, dari bulan Agustus sampai dengan Desember 2009. Dalam penelitian ini bahan-bahan yang digunakan antara lain : Pupuk urea sebagai sumber N, SP-36, KCl, benih jagung varietas Srikandi Kuning 1, benih kacang tanah lokal merah dan pestisida. Alat yang digunakan yaitu traktor, 922 pacul, meteran, parang, timbangan, ember, hand sprayer, kamera dan alat tulis menulis dan PUTK (Perangkat Uji Tanah Kering). Pengkajian di lapangan dirancang dengan menggunakan rancangan Split Plot Design (Rancangan Petak Terbagi) yang diulang 3 kali dengan dosis nitrogen sebagai anak petak dan jarak tanam jagung sebagai petak utama. Petak utama terdiri atas: (i) J1 = 80 x 25 cm (6 baris jagung : 2 baris kacang tanah), (ii) J2 = 160 x 25 cm (3 baris jagung : 4 baris kacang tanah), dan (iii) J3 = 240 x 25 cm (2 baris jagung : 6 baris kacang tanah). Sedangkan anak petak (N kg/ha) terdiri atas: (i) N0 = 0 – 0 – 0, (ii) N1 = 45 – 60 – 50, (iii) N2 = 90 – 60 – 50, (iv) N3 = 135 – 60 – 50, dan (v) N4 = 180 – 60 – 50. Jumlah satuan percobaan sebanyak 3 x 5 x 3 = 45 dengan luas petak 4,8 x 3 m. Setiap satuan percobaan ditentukan sepuluh tanaman sampel secara acak. Pembersihan lahan dilakukan untuk membersihkan gulma yang ada diareal penanaman kemudian dibajak dengan traktor secara sempurna (2 kali bajak, 1 kali harrow). Lokasi penanaman diploting dengan ukuran petak 4,8 x 3 m sebanyak 36 petak, jarak antar petak 50 cm dan antar ulangan 1,5 m. Penanaman jagung dilakukan dengan cara tugal 2-3 biji/lubang dengan jarak tanam sesuai perlakuan dan jarak tanam kacang tanah 40 x 20 cm secara tugal dengan 2 biji/lubang. Pada umur tujuh hari setelah tanam (hst) tanaman jagung dipupuk dengan dosis 1/3 urea sesuai perlakuan N0 = 0, N1 = 48 g, N2 = 96 g, N3 = 144 g, dan N4 = 192 g/petak serta semua SP-36 dan KCl yang diberikan secara tugal ± 5 cm pada samping tanaman dan pemupukan kedua pada umur 30 hst, yaitu sisa 2/3 urea N0 = 0, N1 = 96 g, N2 = 182 g, N3 = 278 g, dan N4 = 374 g/petak, sedangkan untuk kacang tanah pemupukan dilakukan hanya satu kali pada umur 7-10 hst dengan takaran pupuk urea = 72 g, SP-36 = 64,8 g dan KCl = 72 g/petak yang diberikan secara larikan di samping barisan tanaman. Pemeliharaan meliputi penyulaman yang dilakukan pada umur 7 HST jika ada tanaman yang mati, penjarangan dilakukan dengan mempertahankan 2 tanaman jagung yang sehat per rumpun, penyiraman bila diperlukan, pengendalian gulma dilakukan secara intensif dan pembumbunan kacang tanah pada umur 21 HST. Pengendalian hama dengan perlakuan seed treatment benih jagung yang dicampur dengan perbandingan 1 gram Dithane M 45 dengan 1 kg jagung dan 1 g Sevin dengan 1 kg kacang tanah. Panen dilakukan jika daun telah berwarna kuning dan sebagian telah berguguran yang ditandai dengan polong sudah berisi dan keras. Data hasil pengamatan ditabulasi kemudian diuji secara statistik dengan menggunakan uji F dan bila ada perlakuan yang menunjukan perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan menggunakan uji BNT pada taraf p = 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Kacang tanah Hasil uji beda pengaruh jarak tanam jagung terhadap tinggi tanaman dan luas daun kacang tanah umur 6 MST dapat dilihat pada Tabel 1. 923 Tabel 1. Hasil uji beda pengaruh jarak tanam jagung terhadap tinggi tanaman dan luas daun kacang tanah umur 6 MST Perlakuan J1 J2 J3 B N T = 0.05 Tinggi tanaman (cm) 58.5 a 53.0 b 51.5 c 1.86 Luas daun (mm2) 217 c 249 a 232 b 152 Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda menurut uji BNT pada taraf p = 0.05 Tabel 1 menunjukan bahwa tanaman tertinggi (58.5 cm) dicapai pada perlakuan jarak tanam jagung J1 (80 x 25 cm) dan berbeda nyata dengan perlakuan lain sedangkan luas daun terbesar (249 mm) dicapai pada perlakuan J2 (160 x 25 cm) dan berbeda nyata dengan perlakuan lain. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman kacang tanah yang ditumpangsarikan dengan jagung pada perlakuan jarak tanam jagung J1 (80 x 25 cm) lebih tinggi dengan luas daun yang sempit dibandingkan dengan tinggi tanaman dan luas daun kacang tanah pada perlakuan jarak tanam jagung J2 dan J3 karena pada jarak tanam jagung J1 tanaman kacang tanah berkompetisi dengan jagung dalam memanfaatkan factor-faktor tumbuh terutama cahaya matahari sehingga kacang tanah tumbuh memanjang dengan luas daun yang sempit. Menurut Cahyono (2007), tanaman kacang tanam yang tumbuh di tempat-tempat teduh (naungan) maka tanaman tumbuhnya memanjang, kurus, pucat dan tidak berproduksi karena intensitas cahaya matahari yang kurang menyebabkan laju perkecambahan dan pertumbuhan tanaman menjadi lambat. Uji beda pengaruh jarak tanam jagung terhadap jumlah polong tua, bobot 100 biji dan produksi polong kering ton/ha dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil uji beda pengaruh jarak tanam jagung terhadap polong tua, bobot 100 biji dan produksi polong kering Perlakuan J1 J2 J3 B N T = 0.05 Polong muda 4.2 a 2.4 b 2.3 b 1.13 Polong tua 8.2 c 9.1 b 13.9 a 0.46 Bobot 100 biji (g) 44.5 c 44.8 b 47.3 a 0.43 Produksi t/ha 0. 52 c 0.59 b 1.07 a 0.05 Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda menurut uji BNT pada taraf p = 0.05 Tabel 2 menunjukan bahwa polong muda terbanyak (4.2 polong) dicapai pada perlakuan J1 dan berbeda nyata dengan perlakuan J2 dan J3, polong tua terbanyak (13.9) bobot 100 biji tertinggi (47.3 g) dan produksi polong kering tertinggi (1.07 t) dicapai pada perlakuan jarak tanam J3 dan ketiga variabel tersebut berbeda nyata dengan perlakuan J1 dan J2. Hasil penelitian menunjukan jumlah polong tua, bobot 100 biji, dan produksi polong kering ton/ha dicapai pada perlakuan jarak tanam jagung J3 diikuti dengan J2 dan J1. Hal ini disebabkan tanaman kacang tanah yang tumbuh pada jarak tanam jagung J1 berkompetisis dengan tanaman jagung untuk memanfaatkan faktor tumbuh, sebaliknya tanaman kacang tanah yang tumbuh pada jarak tanam jagung J3 (240 x 25 cm) tidak berkompetisi dengan tanaman jagung sehingga berpeluang untuk memanfaatkan faktor-faktor tumbuh 924 (cahaya matahari, ruang, unsur hara dan air) dengan baik untuk kelangsungan fotosintesis dan fotosintat dapat ditranslokasikan ke bagian-bagian organ tanaman (sink) dengan sempurna dan berdampak pada peningkatan jumlah polong tua, bertambahnya bobot 100 biji dan produksi polong kering ton/ha, hal ini dijelaskan oleh Cahyono (2007), bahwa tanaman kacang tanah dapat berproduksi dengan baik memerlukan panjang penyinaran matahari (fotoperiodisitas) penuh sepanjang hari. Hasil uji beda pengaruh dosis nitrogen terhadap tinggi tanaman dan luas daun kacang tanah terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil uji beda pengaruh dosis Nitrogen terhadap tinggi tanaman dan luas daun kacang tanah umur 6 MST Perlakuan N0 N1 N2 N3 N4 B N T = 0.05 Tinggi tanaman (cm) 53.1 b 54.4 a 56.5 a 52.8 b 54.9 a 1.78 Luas daun (mm2) 20.2 c 22.6 b 23.4 b 23.6 a 24.3 a 1.46 Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda menurut uji BNT pada taraf p = 0.05 Tabel 3 menunjukan tanaman tertinggi dicapai pada perlakuan N2 (56.5cm), N4 (54.9 cm), dan N1 (54.4 cm). Ketiga berbeda nyata dengan perlakuan lain. Luas daun terluas (24.3 mm) dicapai pada N4 dan N3 (23.6 mm) dan berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan dosis Nitrogen yang diaplikasikan untuk tanaman jagung dalam pola tumpangsari dengan kacang tanah dapat menambah tinggi tanaman dan luas daun kacang tanah. Hasil Kacang Tanah Uji beda pengaruh dosis nitrogen terhadap jumlah polong tua, bobot 100 biji dan produksi polong kering ton/ha dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil uji beda pengaruh dosis nitrogen terhadap jumlah polong tua, bobot 100 biji dan produksi polong kering kacang tanah Perlakuan N0 N1 N2 N3 N4 B N T= 0.05 Jumlah polong tua 9.0 c 9.8 b 10.6 a 11.3 a 11.2 a 0.65 Bobot 100 biji (g) 21.8 b 22.1 a 22.4 a 23.6 a 22.7 a 1.67 Produksi (t/ha) 0.35 b 0.36 b 0.35 b 0.95 a 0.37 b 0.048 Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda menurut uji BNT pada taraf p = 0.05 Tabel 4 menunjukan bahwa polong tua terbanyak (11.3 polong) dicapai pada perlakuan dosis nitrogen N3, N4 (11.2 polong) dan N2 (10.6 polong) ketiga parameter tersebut berbeda nyata dengan perlakuan N1 (9.8 polong) dan N0 (9.0 polong). Bobot 100 biji tertinggi dicapai pada perlakuan N4 (22.7 g) diikuti dengan N3 (23.6 g) N2 (22.4 g) dan N1 (22.1 g) keempat parameter tersebut berbeda nyata dengan perlakuan N0 (21.8 g). Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan dosis nitrogen N1, N2, N3, N4 memberikan penambahan 925 jumlah polong tua dan bobot 100 biji hal ini terjadi karena sifat unsure hara nitrogen yang mobil (mudah begerak) tidak diserap oleh tanaman jagung dapat dimanfaatkan oleh tanaman kacang tanah untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut Cahyono (2007), bahwa tanaman kacang tanah yang kekurangan zat hara nitrogen dapat mengakibatkan tanaman tumbuh kerdil, daun berwarna hijau kekuningan dan produksinya rendah. Sedangkan produksi polong kering tertinggi (0.95 ton) dicapai pada perlakuan N3 dan berbeda nyata dengan perlakuan lain. Uji beda pengaruh interaksi jarak tanam jagung dan dosis nitrogen terhadap jumlah polong tua dan produksi polong kering ton/ha dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Interaksi pengaruh jarak tanamn jagung dan dosis nitrogen terhadap polong tua dan produksi polong kering ton/ha Perlakuan J1N0 J1N1 J1N2 J1N3 J1N4 J2N0 J2N1 J2N2 J2N3 J2N4 J3N0 J3N1 J3N2 J3N3 J3N4 BNT 0.05 Jumlah polong tua 7.3 f 7.7 f 8.2 e 9.0 de 8.7 e 7.7 ef 8.2 e 9.6 d 10.3 d 9.8 d 12.1 c 13.6 b 14.2 ab 14.6 a 15.3 a 1.31 Produksi (t/ha) 0.41 h 0.43 g 0.46 g 0.54 f 0.74 d 0.52 fg 0.61 ef 0.57 f 0.54 f 0.69 de 0.92 c 1.12 a 1.07 a 1.14 a 1.12 a 0.08 Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda menurut uji BNT pada taraf p = 0.05 Tabel 5 menunjukan bahwa jumlah polong tua terbanyak (15.3 polong) dicapai pada kombinasi perlakuan J3N4, J3N3 (14.6 polong) dan J3N2 (14.2 polong) ketiga kombinasi perlakuan tersebut (J3N4, J3N3 dan J3N2) berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan yang lain sedangkan produksi polong kering tertinggi (1.14 ton) dicapai pada kombinasi J3N3, J3N1 (1.12 ton/ha) dan J3N4 (1.12 ton/ha) keempat kombinasi tersebut berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa semakin jarak tanam jagung diperluas J3 (240 x 25 cm) dalam pola tumpangsari dengan kacang tanah dan diikuti dengan perlakuan dosis nitrogen N3 (300 kg urea/ha) dan N4 (400 kg urea/ha) untuk tanaman jagung dapat menambah jumlah polong tua dan produksi polong kering ton/ha karena tanaman kacang tanah yang tumbuh pada jarak tanam jagung J3 tidak berkompetisi dengan tanaman jagung dalam memanfaatkan faktor-faktor tumbuh dan unsur hara nitrogen yang tercuci terbawa air dapat diserap oleh tanaman kacang tanah 926 KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian pengaruh pemupukan N dan jarak tanam jagung terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah dalam pola tumpangsari di lahan kering ini dapat disimpulkan bahwa (i) Penggunaan jarak tanam jagung J3 (240 x 25 cm) dapat meningkatkan produksi polong kering (t/ha), dan (ii) Interaksi perlakuan jarak tanam jagung J3 (240 x 25 cm) dengan dosis nitrogen N3 (300 kg urea/ha) dapat meningkatkan produksi polong kering (t/ha). SARAN Disarankan agar dalam praktek tumpangsari jagung/kacang tanah untuk menggunakan jarak tanam jagung J3N3 (240 x 25 cm) dan J2N3 (160 x 25 cm) dan mendapatkan informasi yang lebih lengkap, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kebutuhan pupuk P dan K untuk pola tanam ini. DAFTAR PUSTAKA Agegnehu, G., A. Ghizam and W. Sinebo. 2006. Yield performance and land-use efficiency of barley and faba bean mixed cropping in Ethiopian highlands. Eur. J. Agron. 25: 202-207. Akunda E.M. (2001). Intercropping and population density effects on yield component, seed quality and photosynthesis of sorghum and soybean. J. Food Tech. (Africa) 6: 170-172. Cahyono B. 2007. Budidaya Kacamg tanah. Teknik Budidaya pengolahan. Analisis Usaha Tani. Penerbit Aneka Ilmu. Semarang. Carr, P.M., R.D. Horsley and W.W. Poland. 2004. Barley, oat and cereal-pea mixtures as dryland forages in the Northern Great Plains. Agron. J. 96: 677- 684. Dhima, K.V., A.A. Lithourgidis, I.B. Vasilakoglou and C.A. Dordas. 2007. Competition indices of common vetch and cereal intercrops in two seeding ratio. Field Crop Res. 100: 249-256. Fujita K, Ofosu-Budu K.G., Ogata S. 1992. Biological nitrogen fixation in mixed legume-cereal cropping systems. Plant Soil, 141: 155-175. Glass, A. D. M. 2003. Nitrogen Use Efficiency of Crop Plants: Physiological Constraints upon Nitrogen Absorption. Critical Reviews in Plant Sciences 22: 453-470. Muoneke C.O., Ogwuche M.A.O., Kalu B.A. (2007). Effect of maize planting density on the performance of maize/soybean intercropping system in a guinea savanna agroecosystem. Afr. J. Agric. Res., 2: 667-677. Prasad, R. B. and Brook, R. M. (2005). Effect of varying maize densities on intercropped maize and soybean in Nepal. Experimental Agriculture 41:365–382. 927 Sumarno. 2000. Konsep Usaha Tani Ramah Lingkungan. Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Pusat Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Suyamto, H. 1993. Hara mineral dan pengelolaan air pada tanaman kacang tanah. Dalam A. Kasno, A. Winarto, dan Sunardi (Ed). Kacang tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Malang. p. 108-137. 928 KAJIAN POLA DISTRIBUSI PENERAPAN INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI DI PROVINSI GORONTALO Muh. Asaad, Annas Zubair, dan Zulkifli Mantau Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo Email: [email protected] ABSTRAK Dalam peningkatan produktivitas, inovasi teknologi telah banyak dilakukan, salah satunya adalah terobosan dalam pelaksanaan SL-PTT padi.Tujuan dari kajian ini adalah memetakan dan mengetahui pola distribusi penerapan inovasi PTT padi sawah di Provinsi Gorontalo.Kajian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2011. Lokasi kajian adalah empat Kabupaten di Provinsi Gorontalo, yaitu Kab. Bone Bolango, Kab. Gorontalo, Kab. Gorontalo Utara dan Kab. Boalemo. Data yang dikumpulkan terdiri dari terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa informasi dan atau publikasi dari para stakeholder (instansi terkait), yaitu Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPS, Kecamatan dan Desa. Sedangkan data primer merupakan hasil wawancara terstruktur dan semi terstruktur dari para responden (petani dan PPL) di empat Kabupaten tersebut. Data dianalisis deskriptif dan analisis domain. Hasil kajian menunjukkan bahwa pola distribusi penerapan inovasi teknologi yang diharapkan oleh petani adalah dari BPTP langsung ke petani, sedangkan umumnya pola yang diinginkan oleh para stakeholder harus tetap melewati lembaga penyuluhan kemudian ke penyuluh lapangan untuk selanjutnya disebarluaskan ke tingkat petani. Kata kunci : Pola distribusi, inovasi, spesifik lokasi PENDAHULUAN Salah satu sumber pertumbuhan yang mendukung pengembangan agribisnis yang handal dan potensial ialah inovasi teknologi yang bermanfaat meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas dan pengembangan produk.Hal ini berdampak pada pemacuan pertumbuhan diversifikasi produk, transformasi produk, nilai tambah dan daya saing inovasi teknologi yang vital dalam mendorong perluasan dan diversifikasi agribisnis yang dinamis, efisien dan berdaya saing tinggi. Oleh karenanya inovasi teknologi yang dihasilkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, seyogyanya merupakan : 1) teknologi yang dibutuhkan 2) mempunyai nilai komersial serta 3) memberi nilai tambah (demand driver and market oriented technology) kepada khalayak penggunanya. Upaya memacu produksi dilakukan baik melalui perluasan areal tanam maupun peningkatan produktivitas.Dalam peningkatan produktivitas, inovasi teknologi telah banyak dilakukan. Terobasan dalam peningkatan produktivitas dilakukan Badan Litbang Pertanian melalui pendekatan PTT dimana dalam pendekatan ini menekankan peningkatan produktivitasi dan pendapatan petani dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Dalam implementasinya, PTT memadukan pengelolaan tanaman, tanah, air, iklim dan OPT dalam perakitan paket teknologi. Dalam upaya penyebarluasan pemahaman PTT dengan baik ke tingkat petani, Kementerian Pertanian melakukan program SLPTT. Pelaksanaan SL-PTT mengadopsi program SL-PHT yang telah berhasil dan 929 berkembangan baik dan dengan memadukan pengalaman-pengalaman dalam pelaksanaan pengembangaan inovasi teknologi budidaya terutama pada tanaman padi dan jagung diberbagai lokasi di Indonesia (Badan Litbang Pertanian, 2008). Keberhasilan kegiatan pengkajian BPTP ditentukan oleh tingkat pemanfaatan dan penerapan inovasi oleh pengguna teknologi khususnya masyarakat tani di wilayah kerjanya. Umumnya hasil penelitian Badan Litbang Pertanian baru diketahui oleh 50% penyuluh, setelah dua tahun sejak dihasilkan. Setelah tahun ke-6 hanya 80% penyuluh, akibatnya teknologi yang sampai ke petani akan lebih lama. Salah satu bagian dari mata rantai distribusi inovasi, yaitu sistem penyampaian (Delivery Subsystem) dan sub sistem penerima (Receiving Sub system), diduga merupakan penghambat yang menyebabkan lambatnya penyampaian teknologi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi. Proses inovasi tidak terjadi dalam suatu area yang terisolasi dari lingkungan, tetapi merupakan hasil interaksi yang bersifat sistemik mencakup sistem riset iptek, berbagai unsur lingkungan ekonomi, sistem pendidikan dan pelatihan, sektor publik serta kondisi sosiokultural sebuah masyarakat. Ukuran kinerja sistem inovasi ditentukan dari nilai tambah ekonomi atau sosial (outcome) inovasi. Penciptaan pengetahuan baru merupakan aspek penting dari inovasi, tetapi kinerja sistem inovasi ditentukan oleh keberhasilan dalam difusi dan adopsi pengetahuan baru di seluruh sistem (Kemenristek, 2010). Pola penyampaian inovasi teknologi yang konvensional juga menyebabkan kemandekan penerapan inovasi teknologi seperti digunakannya pola – pola yang top down, orientasi proyek dan non partisipatif.Fenomena ini dapat dilihat dari suatu program yang dianggap proyek oleh petani sehingga selesai program maka selesai pula keterlibatan petani dan tidak berkelanjutan. Oleh karena itu inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan harus memenuhi kriteria antara lain: 1) secara teknis mudah dilaksanakan, 2) secara finansial, menguntungkan dan 3) secara sosial dapat diterima,sehingga pola adopsi dan difusi teknologinya berlangsung cepat. Agar inovasi teknologi yang dihasilkan oleh BPTP Gorontalo dapat dimanfaatkan oleh pengguna akhir dan pengguna antara (stakeholder terkait pada saat yang dibutuhkan) diperlukan suatu kajian tentang pola distribusi penerapan inovasi pertanian spesifik lokasi di provinsi Gorontalo.Tujuan dari kajian ini adalah memetakan dan mengetahui pola distribusi penerapan inovasi PTT padi sawah di Provinsi Gorontal. METODOLOGI Kajian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2011. Lokasi kajian adalah empat Kabupaten di Provinsi Gorontalo, yaitu Kab. Bone Bolango, Kab. Gorontalo, Kab. Gorontalo Utara dan Kab. Boalemo. Data yang dikumpulkan terdiri dari terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa informasi dan atau publikasi dari para stakeholder (instansi terkait), yaitu Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPS, Kecamatan dan Desa. Sedangkan data primer merupakan hasil wawancara terstruktur dan semi terstruktur dari para responden (petani dan PPL) di empat Kabupaten tersebut. 930 Berdasarkan indikator tersebut maka ditentukan 2 Kabupaten yang dikategorikan telah berkembang, yaitu : Kab. Bone Bolango dan Kab. Gorontalo, dan 2 Kabupaten yang dikategorikan kurang berkembang, yaitu : Kab. Gorontalo Utara dan Kab. Boalemo. Selanjutnya lokasi kecamatan yang menjadi sasaran pengamatan ditentukan secara purposive. Selanjutnya untuk sampel responden pada masing-masing kabupaten sebanyak 30 responden, ditentukan secara acak sederhana. Sehingga total responden pada 4 kabupaten tersebut sebanyak 120 responden, terbagi atas 60 responden untuk wilayah yang telah berkembang inovasi teknologinya dan 60 responden lainnya untuk wilayah yang kurang berkembang inovasi teknologinya. Untuk menentukan/memetakan pola distribusi sesuai tujuan pertama, menggunakan analisis deskriptif dan analisis domain. Analisis domain merupakan salah satu instrumen analisis data kualitatif yang dilakukan untuk memperoleh gambaran/pengertian bersifat umum dan relatif menyeluruh tentang apa yang tercakup di suatu fokus/pokok permasalahan yang diteliti (Neuman, 2003). Informan kunci dan responden ditentukan atas pertimbangan sebagai berikut: (1) pelaku yang terlibat dalam alur penyebaran inovasi (pejabat, peneliti, penyuluh, teknisi) baik di BPTP, Dinas terkait, Lembaga pelaksana fungsi penyuluhan kabupaten, dan BPP; (2) petani/anggota kelompok tani yang memiliki pengalaman dalam menerapkan teknologi dan dianggap berhasil, (3) petani/anggota kelompoktani yang memiliki pengalaman menerapkan teknologi dan dianggap kurang berhasil. Pemetaan pola distribusi inovasi pertanian dilakukan berdasarkan pola komunikasi teknologi yang menyangkut alur teknologi mulai dari pencipta teknologi (Balai Komoditas) sampai kepada pengguna akhir teknologi (petani) baik pola yang formal maupun pola informal, metode penyampaian, menggunakan media elektronik, cetak, demfarm, dan demplot serta kemudahan akses inovasi teknologi timbal balik dari peneliti ke petani HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Responden Secara umum karakteristik petani responden dalam penelitian ini terdiri dari umur, pendidikan, penguasaan lahan, pengalaman berusahatani, status anggota keluarga dan struktur pendapatan rumah tangga tani satu tahun terakhir, baik yang berasal dari kegiatan on farm, off farm maupun non farm. Dari 120 orang petani responden diperoleh hasil usia rata-rata sebesar 44 tahun dengan pendidikan terakhir umumnya sekolah dasar (54 persen). Tabel 1 memberikan gambaran umum mengenai kondisi usia para petani responden. Tabel 1. Karakteristik usia petani responden Usia 20 -30 tahun 30 - 40 tahun 40 - 50 tahun 50 - 60 tahun > 60 tahun Total Persentase (%) 10 34 32 15 9 100 931 Berdasarkan Tabel 4 tersebut dapat dikemukakan bahwa kondisi usia para petani responden rata-rata masih pada usia produktif (usia kerja). Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat peluang untuk mengembangkan lagi usahatani yang sudah ada. Faktor pendidikan memegang peranan penting dalam suatu manajerial usaha. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan membaca peluang usaha yang dilakukan masing-masing petani responden. Petani responden pada umumnya hanya tamat SD (54%), kemudian disusul tamat SMP (30%), SMA (14%) dan Perguruan tinggi (2%). Hal ini berpengaruh pada kemampuan dan kesempatan memperoleh alternatif usaha guna pemenuhan pendapatan rumahtangga tani. Di samping itu, terdapat keterbatasan dalam pemilihan atau kemampuan menangkap peluang usaha lain Keseluruhan petani responden melakukan kegiatan usahatani padi dan jagung sebagai sumber pendapatan utama dari sektor on farm, disamping sebagian kecil berusahatani hortikultura, peternakan (sapi, kambing dan ayam) dan perkebunan (kelapa dan kakao). Hal ini didasari pada curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani jagung dan padi sebanyak 8 – 10 jam per hari.Sedangkan pendapatan rumahtangga tani yang berasal dari off farm adalah buruh tani harian dan pengolah hasil pertanian (musiman).Adapun dari sektor non farm, profesi PNS dan atau pegawai tetap lainnya, merupakan sumber pendapatan utama. Hal ini terlihat dari tingginya rata-rata pendapatan per tahun dari sumber pendapatan tersebut (Tabel 2). Tabel 2. Struktur pendapatan petani responden Sumber Pendapatan On Farm : 1. UT Jagung (MT) 2. UT Padi (MT) 3. Perkebunan (bulanan) 4. Peternakan (musiman) 5. UT Hortikultura Off Farm : 1. Buruh tani (bulanan) 2. Pengolah (bulanan) Non Farm : 1. Dagang (mingguan) 2. Industri (musiman) 3. PNS/TNI/POLRI (bulanan) Pendapatan (rata-rata) per periode (Rp) per tahun (Rp) 5,236,645 12,137,886 2,575,000 258,333 416,667 10,473,290 24,275,772 7,900,000 3,100,000 5,000,000 1,089,893 380,000 2,086,315 760,000 175,000 5,000,000 2,366,600 3,000,000 5,000,000 28,400,000 Walaupun berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa secara keseluruhan pendapatan dari usahatani padi sawah paling besar dibanding dengan usahatani lainnya, namun ternyata petani merasa bahwa keuntungan tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga 25 – 50%. Hal ini berdasarkan hasil analisis tabulasi kuisioner mengenai tingkat kepuasan petani dari keuntungan usahatani padi sawah, dimana dari 120 responden, rata-rata menjawab bahwa tingkat 932 kepuasan dari keuntungan usahatani padi sawah masih rendah atau hanya memenuhi kebutuhan hidup keluarga 25 – 50% saja. Tabel 3. Luas kepemilikan lahan usahatani responden No. Luas Lahan (ha) Jumlah Petani (orang) Persentase (%) 1. 2. 3. 4. 5. < 0.25 0.25 - 0.85 1–2 3–4 >4 5 74 36 5 0 4 62 30 4 0 Total 120 100% Berdasarkan Tabel 3, dapat dikemukakan bahwa sebagian besar petani responden di empat kabupaten lokasi penelitian tersebut hanya memiliki lahan usahatani sebesar 0.25 – 0.85 ha atau kurang dari 1 ha. Dari aspek perolehan keuntungan usahatani padi sawah, luasan lahan sekecil ini belum akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan hidup petani. Sehingga hal ini sejalan dengan hasil analisis tingkat kepuasan petani dari keuntungan usahatani padi sawah, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Pola Distribusi Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah. Pelaksanaan SL-PTT Padi Sawah Tahun 2011 di Provinsi Gorontalo tersebar pada 5 Kabupaten dan 1 Kota sebanyak 1124 unit SL-PTT, dengan rincian 74 unit di Kabupaten Bone Bolango, 520 unit di Kabupaten Gorontalo, 160 unit di Kabupaten Boalemo, 132 unit di Kabupaten Pohuwato, 200 unit di Kabupaten Gorontalo Utara, 38 unit di Kota Gorontalo. Pelaksanaan SL-PTT di Provinsi Gorontalo telah memasuki tahun ketiga sejak 2009. BPTP Gorontalo sesuai dengan tugasnya melakukan pendampingan baru pada tahun 2010 berupa display varietas unggul baru padi pada 60 % lokasi LL, penyebaran materi teknologi berupa leaflet, brosur, poster; analisis tanah untuk rekomendasi pemupukan pada 60 % LL; pelatihan-pelatihan baik ke PPL maupun ke petani, serta temu lapang (BPTP Gorontalo, 2010) Seperti diketahui bahwa PTT bukanlah paket teknologi melainkan pendekatan yang sinergi dan terpadu yang didalamnya terdapat muatan komponen teknologi spesifik lokasi, antara lain varietas unggul baru, benih bermutu yang berlabel, system tanam jajar legowo, pemupukan berimbang, PHT, penanganan panen dan pasca panen yang merupakan komponen teknologi dasar disamping komponen teknologi pilihan lainnya seperti penanaman bibit umur muda (15 HST), penanaman bibit 2-3 bibit/lubang, penggunaan BWD, pengairan berselang, penggunaan pupuk organik. Difusi Teknologi PTT Padi sawah yang dilakukan oleh BPTP Gorontalo dilakukan melalui kegiatan pengkajian yang merupakan pengenalan komponen teknologi PTT Padi Sawah tahun 2006 misalnya varietas unggul baru padi Mekongga dan Tukad Balian, serta varietas hibrida Hipa 3, dan Hipa 6 yang sebelumnya tidak pernah dikenal di Provinsi Gorontalo. Selanjutya difusi teknologi PTT dilanjutkan melalui kegiatan Prima Tani Lahan Sawah Irigasi pada tahun 2007 -2009, serta pendampingan SL-PTT Padi Sawah mulai tahun 2010. 933 Tabel 4. Sebaran varietas unggul padi sawah Badan Litbang Pertanian di Provinsi Gorontalo No Jenis Tanaman (Varietas) Kota Gorontalo (Ha) Kab. Gorontalo (Ha) Kab. Boalemo (Ha) Kab. Pohuwato (Ha) Bondoyudo Cibogo Cigeulis Ciherang Ciliwung Cimelati Cisantana Inpari 1 Inpari 3 Inpari 4 Inpari 6 Inpari 8 Inpari 9 Inpari 10 IR 64 Luk Ulo Mekongga Tukad Balian 19 Way Apo JUMLAH % VUB Badan Litbang % Kontribusi BPTP 96,80 111,60 310,50 55 1,80 202,00 - 71,20 16,87 1.061,77 3.311,20 100 70 10 22 7,30 20,00 6.553,78 154,60 36,00 140,00 1.648,00 43,00 6,00 26 17 6 26 26 275,00 48,00 982,00 25,00 215,60 112,65 934,38 1.048,00 15 311 207 20 15 153 475,45 394,75 - 90,72 60,91 40 26,10 96,00 - 777.7 82.7 % 8,61 11.406,73 86.31 % 53,00 3.357 84.3 % 202,45 4.103,85 74.6 % 313.73 17 % 39.22 % 60.33 % 31.51 % 40.48 % 12.3 % 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Kab. Bone Kab. Bolango Gorontalo (Ha) Utara (Ha) 76,50 57,50 157,50 17 134 17 63,00 - Jumlah (Ha) 107,20 405,77 1.574,24 6.422,49 1.048,00 43,00 6,00 41 540 417 47 26 41 175 785,65 68,00 8.291,53 179,60 64,00 328,06 586.5 20.546,54 11.19 % 5.51 % Sumber : Laporan Kegiatan SLPTT BPTP Gorontalo, 2010 Hasil pengamatan lapang (2006-2011) komponen teknologi PTT yang eksis dan difusinya sudah menyebar cukup luas yakni penggunaan varietas unggul baru Mekongga, Tukad Balian, Cigeulis, Ciherang, Inpari 1, Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6, Inpari 8, Inpari 9, Inpari 10 dan Inpari 13 pada SL-PTT tahun 2011 serta komponen teknologi sistem tanam jajar legowo 2:1 dan 4:1. Pada Tabel 22 disajikan data sebaran varietas unggul baru Badan Litbang Pertanian di Provinsi Gorontalo sampai tahun 2011. Potensi lahan sawah di Provinsi Gorontalo adalah 28.254 ha. Dari potensi tersebut seluas 20.546 ha atau 73 % telah ditanami varietas unggul dari Badan Litbang Pertanian. BPTP Gorontalo cukup berperan dalam distribusi inovasi teknologi terutama varietas unggul baru dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dengan memberikan kontribusi sebesar 11.331 ha atau 40,1% khususnya varietas Mekongga, Tukad Balian, Cigeulis dan Inpari. Persentasi sebaran varietas Badan Litbang Pertanian di Provinsi Gorontalo terlihat pada Gambar 1. Dari alokasi distribusi inovasi varietas unggul baru yang di introduksikan oleh BPTP (2006-2011) per kabupaten terlihat bahwa peran BPTP menonjol pada Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato.Hal ini disebabkan kedua Kabupaten ini merupakan binaan BPTP Gorontalo melalui kegiatan Prima Tani, 934 yang didalamnya berisi muatan inovasi PTT Padi Sawah.Sedangkan pada Kabupaten lainnya peran BPTP dalam distribusi inovasi varietas unggul baru dimulai 2010 melalui pendampingan SL-PTT. Gambar 1. Persentase sebaran varietas Badan Litbang Pertanian di Provinsi Gorontalo 935 Gambar 2. Pola Existing distribusi inovasi teknologi PTT Padi Sawah di Provinsi Gorontalo Secara fungsional BPTP melakukan terobosan distribusi inovasi teknologi PTT padi sawah langsung ke kelompok tani melalui Demfarm, Display Varietas, Show Window Padi dan Pelatihan-pelatihan maupun penyebaran media informasi tercetak (buku, poster dan leaflet). Bersamaan itu secara simultan BPTP melakukan pelatihan TOT pada PPL-PPL dari BP3K mengenai PTT Padi sawah.Dalam gambar terdapat alur putus-putus yang menyatakan wilayah distribusi inovasi teknologi PTT padi sawah ditingkat pengguna akhir (petani) melalui POKTAN dalam satu wilayah maupun pokt antar wilayah. Sedangkan hubungan dengan dinas masih sebatas koordinasi program (ditandai dengan anak panah putus-putus). Hal ini karena institusi Dinas tidak berperan sebagai penyelia informasi teknologi, sebab peran tersebut merupakan mandat BP4K (Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Perkebunan dan Kehutanan).Namun dari hasil wawancara diperoleh beberapa saran/ masukan untuk percepatan/ pembaharuan distribusi informasi teknologi ke petani, yaitu : 936 1. Petani dirangsang agar proaktif mencari informasi teknologi pertanian ke sumber-sumber teknologi, seperti BPTP; 2. BPTP secara berkala melakukan kunjungan dan pembinaan pada para PPL di BP3K, agar mereka dapat memperoleh informasi teknologi terbaru dan mampu menghadapi para petani yang kain kritis saat ini. Terlebih untuk para PPL yang baru terangkat atau status kontrak (PTT); 3. Penerapan kembali pola BIMAS perlu dipertimbangkan. Karena dirasakan pada saat pola BIMAS dengan sistem komando, difusi teknologi langsung ke petani lebih cepat, sehingga media informasi teknologi seperti demplot, liflet, liptan, brosur dan buku teknis dapat lebih efektif; 4. Penguatan lembaga BP3K, sebagai lembaga penyuluhan terdepan yang langsung berhadapn dengan para petani. Hal ini sejalan dengan sasaran dalam Revitalisasi Penyuluhan yang dituangkan dalam UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem PenyuluhanPertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP3K) tertanggal 15 November2006. Berdasarkan UU No. 16 tahun 2006 tersebut, maka mulai tahun 2007 program RPP difokuskan untuk mengimplementasikan beberapa subprogram, yaitu: (1) penataan kelembagaan penyuluhan; (2) peningkatankuantitas dan kualitas penyuluh; (3) peningkatan sistem penyelenggaraanpenyuluhan; (4) peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani; dan(5) pengembangan jejaring kerjasama penyuluhan dan agribisnis. 5. Pola ideal adalah dari BPTP BP3K petani. Hal ini dimaksudkan agar supaya lembaga BP3K lebih kuat dan efektif seperti uraian pada poin 4. Disamping itu terdapat sejumlah permasalahan yang perlu menjadi perhatian, yaitu : 1. Penguasaan teknologi informasi oleh para PPL dirasakan masih kurang. Sehingga perlu dilakukan peningkatan melalui pelatihan-pelatihan agar para PPL tersebut dapat selalu mengupdate informasi teknologi pertanian; 2. Setelah era-Bimas, BP3K sebagai ujung tombak penyampaian informasi teknologi pertanian lebih mengedepankan program dibanding karya nyata di lapangan. Sehingga ketika para PPL diperhadapkan langsung dengan petani, sering mereka tidak percaya diri. Untuk itu perlu ditingkatkan intensitas pelatihan bagi para PPL, terutama dalam aspek penguasaan materi dan audiens, serta cara pendekatan/ bersosialisasi atau berinteraksi dengan para petani di lapangan; 3. Efektivitas PL-II dan PL-III dalam program SLPTT belum terlihat, sebab umumnya hanya bersifat satu arah dan terlalu banyak teori. Untuk itu porsi praktek lapang perlu diperbanyak dan diutamakan, agar para PPL lebih terampil dan percaya diri. Pola Distribusi Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah Yang diharapkan (Expectation) Berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder terkait (Dinas, BP4K dan BP3K) diperoleh harapan bahwa sebagai pemegang mandat sumber inovasi teknologi pertanian di daerah, maka BPTP harus lebih berperan aktif dalam 937 melatih para penyuluh dan petani di lapangan. Untuk itu sebaiknya mulai dari PLII dikoordinir langsung oleh BPTP, karena lebih menguasai aspek teknologinya. Gambar 3 memaparkan pola distribusi inovasi yang ideal menurut BPTP agar paket-paket teknologi padi sawah dapat berdifusi secara efektif dan efisien. Berdasarkan pengalaman pendampingan SL-PTT, Prima Tani, dan FEATI di lapangan terjadi inkoordinasi antara BP4K dan Dinas Pertanian Kabupaten, sehingga akselerasi distribusi inovasi teknologi kurang efektif. Hal ini disebabkan program berada pada Dinas Pertanian sedangkan SDM untuk melaksanakan program berada di BP4K. Apabila dilakukan restrukTurisasi birokrasi dengan menempatkan BP4K satu atap dengan Dinas Pertanian maka diharapkan terjadi sinergisme kegiatan, SDM, dan pembiayaan operasional kegiatan. Berdasarkan hasil wawancara pada 120 petani responden di 4 Kabupaten lokasi penelitian diperoleh informasi bahwa umumnya untuk pola distribusi inovasi teknologi yang diinginkan petani responden adalah dari Balit komoditas ke BPTP, melalui PPL dan langsung ke petani. Disamping itu 37% petani responden juga memilih pola yang sudah ada sekarang (Balit-BPTPDinas/Bakorluh-BP4K/BP3K-Poktan-Petani) sebagai pola yang masih efektif saat ini. Sedangkan metode yang efektif menurut pendapat petani responden umumnya adalah dempot (demonstrasi plot) (Tabel 5). Gambar 3. Pola distribusi inovasi teknologi PTT Padi Sawah yang diharapkan di Provinsi Gorontalo 938 Tabel 5. Sebaran pola dan metode distribusi inovasi teknologi PTT Padi Sawah yang diinginkan Petani Responden Pola Distribusi Inovasi yg disukai Jumlah Persentase Media/ Metode Distribusi Inovasi yg Efektif A B C D E 1 2 3 4 5 6 44 37% 35 29% 6 5% 1 1% 34 28% 0 0% 0 0% 1 1% 72 60% 33 28% 14 12% Ket.: A = Balit komoditas – BPTP – Dinas/ Bakorluh – BP4K/BP3K – Penyuluh – Gapoktan/ Poktan – Petani; B = Balit Komoditas – BPTP - Petani; C = Petani – Petani; D = Balit Komoditas – Swasta – Agen/ Distributor – Petani; E = BPTP – Penyuluh – Petani; 1 = Poster, 2 = Liflet, 3 = Buku, 4 = Demplot, 5 = cetakan & demplot, 6 = tidak ada. Simpul Kritis dan Alternatif Kebijakan Distribusi Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah di Provinsi Gorontalo Hasil wawancara dengan stakeholder terkait dengan BP4K,BP3K dan Dinas Pertanian Provinsi maupun Kabupaten, diketahui ada beberapa simpul kritis yang dapat menghambat pola distribusi inovasi teknologi PTT Padi Sawah antara lain : 1. Rasio tenaga PPL Fungsional dan non fungsional yang tidak seimbang, menyebabkan biaya operasional untuk melakukan kunjungan ke petani tidak ada, karena biaya operasional hanya diberikan kepada PPL Fungsional, sementara PPL Fungsional saat ini banyak yang telah pindah sebagai pejabat struktural pada BP4K maupun BP3K sehingga fungsi sebagai Penyuluh Fungsional tidak berjalan. Alternatif kebijakan : a). perlu adanya pengembalian para penyuluh pada fungsinya semula sebagai pejabat fungsional penyuluh, b). Pengangkatan calon penyuluh harus diiringi dengan percepatan penetapannya sebagai penyuluh pertanian definitif, c). Tunjangan fungsional penyuluh pertanian di daerah harus segera direalisasikan dan dimasukkan dalam penganggaran APBD setiap tahunnya. 2. Kurangnya pembekalan maupun pelatihan bagi PPL-PPL baru yang direkrut secara instan sehingga PPL tidak memiliki rasa percaya diri ketika berhadapan dengan petani. Alternatif kebijakan : a). Kebijakan pengiriman PPL baru untuk melanjutkan studi sampai jenjang S1, b). Kontrak mengikat (kedinasan) disertai ancaman sanksi berat jika para PPL yang telah disekolahkan atau dilatih jangka panjang tidak menjalankan fungsi jabatan yang diembannya dengan sebaik-baiknya. 3. Tidak tersedianya dana pembinaan khusus/biaya operasional untuk melakukan aktivitas penyuluhan di lapangan. Alternatif kebijakan : perlu adanya penganggaran dalam APBD atau APBD-P setiap tahunnya. 4. Kurangnya sarana dan prasarana seperti komputer, jaringan internet di BP3K sehingga akses informasi teknologi yang diperoleh penyuluh terbatas. Alternatif kebijakan : a). Kerjasama dengan pihak ketiga dan atau sponsor yang memiliki itikad baik dalam membantu memajukan penyuluhan di daerah, b). Peningkatan kemampuan SDM (PPL) dalam hal informasi teknologi (IT) melalui program-program pelatihan jangka pendek maupun jangka panjang di daerah maupun di luar daerah. 939 Menyangkut kebijakan penyediaan informasi teknologi oleh lembaga penyedia, terdapat beberapa teori menyangkut hal ini. Robey and Zmud (1992); Lindley and Dunn (2000) menyebutkan beberapa diantaranya, yaitu : 1. Model konflik politik, yang mengenalkan konsep dari berbagai tujuan yang diemban oleh beberapa stakeholder terkait. 2. Model ekologi organisasi, yang memperlihatkan format organisatoris sebagai suatu hasil dari kontrol eksternal daripada suatu bentuk keputusan sepihak atau preferensi dari masing-masing anggota organisasi/ lembaga. 3. Model manajerialinovasi, yang mengemukakan bahwa adopsi dari teknologi baru tergantung pada masalah kepedulian dan kebiasaan organisatoris yang menganjurkan/ mendorong pada pengambilan resiko. 4. Model difusi inovasi, yang mengemukakan bahwa penyebarluasan teknologi baru tergantung pada aplikasi petani/ penerima yang disesuaikan dengan konteks kerja mereka. KESIMPULAN 1. 2. 3. Pola distribusi penerapan inovasi teknologi yang diharapkan oleh petani adalah dari BPTP langsung ke petani, sedangkan umumnya pola yang diinginkan oleh para stakeholder harus tetap melewati lembaga penyuluhan kemudian ke penyuluh lapangan untuk selanjutnya disebarluaskan ke tingkat petani. Secara umum faktor usia petani responden masih dikategorikan pada usia produktif (rata-rata 44 tahun), namun faktor pendidikan menjadi faktor pembatas untuk pengembangan atau pemilihan cabang-cabang usaha yang bisa menopang pendapatan rumah tangga tani. Luas kepemilikan lahan yang hanya berkisar 0.25 – 0.85 ha menjadi salah satu faktor pembatas perolehan keuntungan dari kegiatan usahatani padi sawah petani responden. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi. Departemen Pertanian, Badan Litbang pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo. 2010. Laporan Kegiatan Pendampingan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Tahun 2010. BPTP Gorontalo. Kementerian Riset dan Teknologi, 2010. Pedoman Insentif Riset. Edisi 5. Kementerian Riset dan Teknologi & Dewan Riset Nasional, Jakarta. Lindley, D.C.O. and T.Dunn. 2000. Factos Affecting the Use of Information Technology in Thai Agricultural Cooporatives : A Work in Progress. The Electronic Journal of Information System in Developing Countries, 2 (1) : 1 – 15. Neuman, W.L. 2003. Social Research Methods (Fifth edition). Qualitative and Quantitative Approach. Pearson Education, Inc. P : 584. Robey, D. and R. Zmud. 1992. “Research on the Organization of End-User Computing: Theoretical Perspectives from Organizational Science,” Information Technology and People, 6, 1, 11-27. 940 KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL VUB PADI PADA PENDAMPINGAN SL-PTT DI KAB. WAJO, SULAWESI SELATAN Arafah dan M. Amin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan, Km. 17,5 Makassar E-mail: [email protected] ABSTRAK Salah satu inovasi teknologi yang cepat berkembang, namun lambat sampai dilahan petani adalah penerapan varietas unggul baru (VUB). Keragaan pertumbuhan dan hasil VUB padi pada pendampingan SL-PTT Di kab. Wajo, Sulawesi Selatan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui daya adaptasi berbagai VUB terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. Kegiatan dilaksanakan di Desa Mappadaelo Kec. Tanasitolo, Kab. Wajo. Tanam tanggal 7 Juni 2011 dan panen tanggal 20 September 2013. Kegiatan ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 ulangan, ukuran plot 4 x 5 m, susunan perlakuan adalah: Inpari-7, Inpari-8, Inpari-10, Inpari-13 dan Ciherang (pembanding). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil GKP tertinggi diperoleh pada Inpari-10 setinggi 7,70 t/ha, kemudian Inpari-8 setinggi 7,64 t/ha dan hasil GKP terendah adalah varietas Ciherang dengan hasil hanya 7,00 t/ha. Hasil GKP VUB Inpari-7, Inpari-8, Inpari-10 dan Inpari-13 lebih tinggi dibanding varietas pembanding yaitu Ciherang. Kunci: VUB Padi, pertumbuhan dan hasil PENDAHULUAN Salah satu inovasi teknologi yang cepat berkembang, namun lambat sampai dilahan petani adalah penerapan varietas unggul baru (VUB). Hingga saat ini sudah banyak varietas unggul baru padi yang sudah dirakit dan dilepas oleh Badan Litbang Pertanian, tetapi yang digunakan dan dikembangkan petani masih terbatas (Badan Litbang Pertanian, 2007). Oleh karena itu, perlu upaya intensif untuk mensosialisasikan varietas-varietas unggul baru tersebut secara lebih luas kepada pengguna seperti pada loaksi prima tani. Penerapan teknologi merupakan salah satu kunci utama dalam pemanfaatan sumberdaya petani yang terbatas. Dengan penerapan teknologi inovasi tepat guna spesifik lokasi diharapkan dapat dicapai peningkatan produksi dan produktivitas serta peningkatan efisien dan mutu yang selanjutnya akan membawa kepada peningkatan nilai tambah agribisnis bagi kesejahteraan masyarakat (Sudaryanto dan Adnyana, 2002). Penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB) merupakan teknologi andalan yang secara luas digunakan oleh masyarakat, harga murah, dan memiliki kompatibilitas yang tinggi dengan teknologi maju lainnya. Penggunaan varietas unggul tersebut memungkinkan Indonesia dapat mecapai swasembada beras. Maka dari itu, fokus program pemuliaan tanaman masih terus ditingkatkan pada upaya penyediaan varietas unggul yang lebih baik dari varietas yang telah ada (Manwan, 1997). Menurut Baehaki (1996), varietas unggul yang dilepas saat ini baru sekitar 10% dari kebutuhan nasional. Disamping itu, pelepasan varietas unggul 941 masih bersifat nasional dan belum mempertimbangkan kesesuaian lingkungan dan agroekologi spesifik sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas beberapa komoditas pertanian unggulan. Hal ini sangat dirasakan oleh petani dan konsumen. Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Kontribusi nyata varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain tercermin dari pencapaian swasembada beras pada tahun 1984. Hal ini terkait dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh varietas unggul padi, antara lain berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit utama, umur genjah sehingga sesuai dikembangkan dalam ponam tertentu, dan rasa nasi enak (pulen) dengan kadar protein relative tinggi (Suprihatno et al 2007). Berdasarkan hal tersebut diatas dilakukan pengkajian beberapa varietas unggul baru terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah dengan tujuan untuk mendapatkan varietas unggul baru padi yang dapat beradaptasi baik dan memberikan hasil tinggi. METODOLOGI Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Mappadaelo Kec. Tanasitolo, Kab. Wajo. Tanam tanggal 7 Juni 2011 dan panen tanggal 20 September 2013. Kegiatan ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 ulangan, ukuran plot 4 x 5 m, susunan perlakuan adalah: Inpari-7, Inpari-8, Inpari-10, Inpari-13 dan Ciherang (pembanding). Bibit ditanam pada umur 21 hari setelah hambur dengan jumlah bibit 2-3 batang perumpun dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Pemupukan dilakukan berdasarkan hasil analisis tanah dengan PUTS dengan dosis 200 kg Phonska/ha + 200 kg urea/ha. Pemupukan pertama dilakukan pada umur 10 hari setelah tanam dengan dosis 100 kg phonska/ha. Pemupukan kedua dilakukan pada umur 25 hari setelah tanam dengan dosis 100 kg phonska + 100 kg ure/ha. Pemupukan ketiga dilakukan pada umur 40 hari setelah tanam dengan dosis 100 kg urea/ha. Pengendalin gulma dilakukan dengan pemberian herbisida pra tumbuh dan penyiangan tangan sebanyak 2 kali yaitu pada umur 15 hari setelah tanam dan 30 hari setelah tanam. Pengendalian hama penyakit yaitu dengan metode PHT sedangkan pengelolaan air dengan cara intermitten. Adapun data yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman saat panen, jumlah anakan produktif, jumlah gabah permalai, persentase gabah hampa, berat 1000 biji dan hasil gabah kering panen (GKP). Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan uji berganda Duncan (DMRT). HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman Hasil rata-rata pengamatan pertumbuhan tinggi tanaman (Tabel 1) secara statistik menunjukkan, pertumbuhan tinggi tanaman dari berbagai varietas yang ditanam bervariasi antara 101,7 sampai 112,25 cm. Varietas Ciherang memberikan pertumbuhan tinggi tanaman tertinggi yaitu 112,25 cm berbeda nyata dibanding dengan varietas lainnya. Sedangkan terendah adalah varietas 942 inpari-13 dengan tinggi hanya 101,75 cm. Dengan demikian pertumbuhan tinggi bervariasi dari setiap varietas akibat dari faktor genetik dari masing-masing varietas yang berbeda sehingga pertumbuhan di lapangan juga memberikan penampilan yang berbeda. Seperti dikemukakan Sujitno, et al. (2011) bahwa tinggi tanaman dipengaruhi oleh sifat genetik dan kondisi lingkungan timbuh tanaman. Berhubungan dengan tinggi tanaman, petani lebih menyukai tanaman yang tidak terlalu tinggi, hal ini berkaitan dengan tingkat ketahanan tanaman terhadap keadaan cuaca seperti hujan dan angin, dimana tanaman dengan tinggi tanaman lebih tinggi biasanya mudah rebah. Jumlah Anakan Hasil rata-rata pengamatan pertumbuhan jumlah anakan produktif (Tabel 1) secara statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah anakan produktif dari berbagai varietas yang ditanam berbeda nyata. Varietas inpari-10 dan inpari8 memberikan jumlah anakan yang tertinggi yaitu sebesar masing-masing 18,00 batang dan berbeda nyata dibanding dengan varietas inpari-7 dan ciherang, namun tidak berbeda nyata dibanding dengan varietas inpari-13. Jumlah anakan produktif yang paling rendah diperoleh pada varietas inpari-7 yaitu hanya 15 batang per rumpun. Hasil penelitian Krismawati, et al (2011), bahwa jumlah anakan berbeda dari setiap varietas dan daya adaptasi dari varietas yang berbeda dimana ditentukan oleh interaksi antara genotipe dan lingkungan. Sehubungan dengan jumlah anakan ini petani lebih menyenangi tanaman padi dengan jumlah anakan yang sedang dan menjadi produktif semuanya, artinya bahwa jumlah anakan mampu memberikan pertambahan jumlah gabah isi yang lebih banyak dibanding dengan gabah hampa. Jumlah Gabah Permalai Hasil rata-rata pengamatan jumlah gabah per malai (Tabel 1) secara statistik menunjukkan variasi diantara varietas yang ditanam. Varietas inpari-13 memberikan jumlah gabah per malai yang paling banyak yaitu sebesar 138,75 biji dan berbeda nyata dibanding dengan varietas inpari-10 dan ciherang, naumn tidak berbeda nyata dibanding denga varietas inpari-7 dan inpari-8. Sedangkan yang paling rendah diperoleh pada varietas ciherang dan inoari-10 dengan jumlah gabah per malai masing-masing hanya 127,25 dan 130,75 biji. Dengan demikian varietas inpari-13 mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik sehingga dapat membentuk jumlah gabah permalai yang banyak dibanding dengan varietas lainnya. Hal ini berkaitan dengan sifat yang dimiliki varietas inpari-13 yaitu daun yang tegak, berwarna hijau tua dan permukaan daun yang kasar (Suprihatno, et al., 2011), dengan sifat itu menunjukkan kemampuan fotosintesa yang lebih baik (Sirappa, 2007). Persentase Gabah Hampa Hasil rata-rata pengamatan persentase gabah hampa (Tabel 1) secara statistik menunjukkan bahwa persentase gabah hampa yang paling rendah diperoleh pada varietas inpari-10 dan inpari-13 yaitu masing-masing hanya 15,75%, sedangkan yang paling tinggi diperoleh pada varietas ciherang dengan persentase gabah hampa sebanyak 19,50%. Dengan demikian persentase gabah hampa untuk varietas inpari-10 dan inpari-13 cukup baik karena varietas ini 943 berdasarkan diskripsi yang ada menunjukkan adanya ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri (HDB) dimana pada saat musim tanam tersebut serangan HDB cukup tinggi, sebaliknya varietas ciherang memperoleh persentase gabah hampa yang cukup tinggi disebabkan karena adanya serangan penyakit HDB tersebut. Menurut Nafisah et al. (2006). Tingkat keparahan penyakit HDB bisa disebabkan karena tingkat kesuburan lahan sehingga memperoleh kondisi lingkungan mikro yang berbeda. Persentase gabah hampa bisa juga dipengaruhi oleh tidak serempaknya pematangan biji akibat tidak bersamaannya keluar biji, sehingga pada saat dipanen masih ada biji yang belum berisi dengan sempurna dan pada akhirnya akan menjadi biji hampa. Berat 1000 biji Hasil rata-rata pengamatan berat 1000 biji (Tabel 1) secara statistik menunjukkan bahwa varietas inpari-10 mempunayi barat 1000 biji yang paling tinggi yaitu sebesar 26,50 gr dan berbeda nyata dibanding dengan varietas inpari-7 dan inpari-13, namun tidak berbeda nyata dibanding dengan varietas inpari-8 dan ciherang. Dengan demikian varietas inpari-10 memiliki bentuk gabah yang lebih besar dan berisi sehingga bobotnya lebih besar. Hasil Gabah Kering Panen (GKP) Hasil rata-rata pengamatan hasil gabah kering panen (GKP) (Tabel 1) menunjukkan bahwa hasil GKP yang diperoleh bervariasi antara 7,00 t/ha sampai 7.70 t/ha. Hasil GKP yang tertinggi diperoleh pada varietas inpari-10 dengan hasil sebesar 7,70 t/ha, sedangkan yang paling rendah diperoleh pada varietas ciherang dengan hasil GKP hanya mencapai 7,00 t/ha. Tingginya hasil GKP yang diperoleh pada varietas inpari-10 disebabkan karena varietas ini memiliki jumlah anakan yang cukup tinggi dengan berat 1000 biji yang tinggi dan persentase gabah hampa rendah. Hal ini sesuai menurut Abayawickrama et al. (2007), jumlah anakan yang tidak produktif berkorelasi negatif dengan hasil, sedangkan jumlah gabah isi dan jumlah gabah total berkorelasi positif. Karena itu jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi, dan jumlah gabah total per malai merupakan sifat-sifat yang perlu diting-katkan melalui pemuliaan tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa varietas inpari-10 cukup potensial dan beradaptasi baik pada lokasi dimana kegiatan ini dilaksanakan dan memang berdasarkan pendapat dari berbagai petani dan penyuluh yang berkunjung di lokasi kegiatan memberikan respon yang cukup baik terhadap varietas inpari-10. Sedangkan varietas ciherang dengan hasil GKP yang paling rendah yaitu hanya mencapai 7,00 kg/ha disebabkan karena varietas ini persentase gabah hampa yang cukup tinggi sehingga berpengaruh pada hasil GKP yang diper-oleh. Hal ini seperti disampaikan Sutisna (2006) melaporkan bahwa varietas memiliki daya hasil yang berbeda pada keondisi lapang tertentu. 944 Tabel 1. Keragaan pertumbuhan dan hasil VUB padi, Kab. Wajo, MH. 2011 No. Varietas 1. 2. 3. 4. 5. Inpari-7 Inpari-8 Inpari-10 Inpari-13 Ciherang Tinggi tanaman (Cm) 107,75c 104,75c 110,00b 101,75d 112,25a Jumlah anakan (btg) 15,00c 18,00a 18,00a 16,75ab 16,00bc Jumlah gabah/malai (biji) 137,00a 137,75a 130,75b 138,75a 127,25b Persentase hampa (%) 18,00ab 17,25bc 15,75c 15,75c 19,50a Berat 1000 biji (gr) 25,50bc 26,00ab 26,50a 24,75c 26,00ab Hasil GKP (t/ha) 7,10b 7,64a 7,70a 7,50ab 7,00b Keterangan: Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh seperti diatas, maka dapat dibuat kesimpulan seperti berikut: 1. Varietas inpari-10 memeliki pertumbuhan dan daya adapatasi yang lebih baik dibanding dengan varietas lainnya 2. Varietas inpari-10 mampu memberikan hasil yang tertinggi yaitu sebesar 7,70 t/ha dan varietas ciherang memperoleh hasil GKP yang tererndah yaitu hanya 7,00 t/ha 3. Varietas inpari-10 dapat dijadikan acuan untuk pengembangan varietas di lokasi yang ekosistemnya sama atau mendekati lokasi penelitian ini dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA Abayawickrama, A.S.M.T., M. Fahim, D.S. De Z. Abeysiriwardena, K.C. Madhusani and R.M. Dhar-maratne. 2007. Contribution of yield related characters to grain yield improvement ini different age groups of rice (abstrak). News and Events of the Departement of Agriculture, Agriculture News in Sri Lanka. http://www.sgridept.gov.lk/ NEWS/asda.htm=con. Krismawati, A. dan Z. Arifin. 2011. Stabilitas hasil beberapa varietas padi lahan sawah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 14(2): hal: 84-92. Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman umum produksi benih sumber padi. badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Suprihatno, B., A A. Dradjat, Satoto, Baehaki, N. Widiarta, A. Setyono, S.D. Indrasari, O.S. Lesmana dan Hasil Sembiring. 2007. Deskripsi varietas padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian Padi. Sukamandi, Subang Jawa Barat. Baehaki, A. 1996. Prospek Penerapan “Breeder Right” di Indonesia. dalam Yuniarti, A. Djauhari, M.A. Yusran, Baswarsiati dan Rosmahani (Ed). 945 Sujitno, E., T. Fahmi, dan S. Teddy. 2011. Kajian adaptasi beberapa varietas unggul padi gogo pada lahan kering dataran rendah di Kabupaten Garut. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 14(1): hal: 62-69. Sutisna N.E. 2006. Pengaruh sistem ratunisasi dan pemupukan nitrogen terhadap hasil beberapa varietas padi di lahan sawah irigasi. J. Agrivigor 5(3): hal 207-222. Manwan, I. 1997. Regulasi pelepasan varietas komoditas pertanian di indonesia. Peripi Komda Jawa Timur. Balitkabi, Malang. Sirappa, M.P., A.J. Riewpassa, dan Edwen D. Wass. 2007. Kajian pemberian pupuk NPK pada beberapa varietas padi sawah di Seram Utara. Jurna Pengkajian dan Pengembangan Pertanian 10 (1): hal: 48-56. Nafisah, A.A. Daradjat, B. Suprihatno, dan Riny SK. 2007. Heritabilitas karakter ketahanan hawar daun bakteri dari tiga populasi tanaman padi hasil seleksi daur siklus pertama. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 26(2): hal: 100-105. Sudaryanto, T., dan M.O. Adnyana. 2002. Tantangan dan peluang pengkajian teknologi pertanian dalam perspektif agribisnis. Makalah Lokakarya Usahatani Terpadu Berwawasan Agribisnis Mendukung Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian Jawa Barat. 946 KONTRIBUSI PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG USAHA DIVERSIFIKASI PANGAN BERORIENTASI RAMAH LINGKUNGAN DI LUWU TIMUR Herniwati dan Peter Tandisau Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan km 17,5 Makassar Tlp : (0411) 556449 Email : [email protected] ABSTRAK Ketersediaan pangan yang berorientasi ramah lingkungan merupakan isyu penting yang sedang didengungkan pada saat ini. Pemenuhan kebutuhan pangan yang aman dan sehat dengan memanfaatkan sumberdaya lokal perlu mendapat perhatian. Upaya menciptakan ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga. Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Margolembo Kecamatan Mangkutana Kabupaten Luwu Timur dari Januari hingga Desember 2012 Model KRPL didesa Margolembo adalah KRPL Pedesaan yang berorientasi ramah lingkungan melalui pemanfaatan sumber daya pertanian lokal antara lain penggunaan pupuk organik limbah ternak atau tanaman serta penggunaan pestisida nabati. Kelembagaan kelompok KWT Sayur Mandiri Kabupaten Luwu Timu keberadaannya masih muda, kompak, bersemangat dan inovatif, responsif terhadap kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan. Data menunjukkan bahwa rata-rata KEA tiap insani adalah 2.288 (lebih tinggi sari rata-rata Nasional, 2000). Sebagian besar (75%) mengkonsumsi energi > 2000 kkal/orang/hari. Rata-rata skor PPH yang dicapai sekitar 75 dari nilai PPH awal rata-rata sebelum kegiatan adalah 68. Sebagian besar (66%) keluarga mencapai skor PPH >70. Sementara itu rata-rata pengeluaran konsumsi pangan keluarga tercatat Rp 40.360/hr. Umumnya (>90%) pengeluaran konsumsi pangan keluarga antara Rp 20.000 – Rp 40.000/hr. Selanjutnya sumbangan KRPL untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga rata-rata Rp 4.750/hr. Sebagian besar (70%) dapat memenuhi kebutuhan dari KRPL senilai > Rp 3000/hr. Kata kunci : Pangan lestari, ramah lingkungan, kawasan, Luwu Timur PENDAHULUAN Pangan merupakan salah satu faktor penentu utama stabilitas sosial, ekonomi, politik, serta kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Ketahanan pangan (food security) yang kokoh merupakan indikator utama keberhasilan pembangunan. Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Maka terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sasaran ketahanan pangan di Indonesia (Saliem, 2011). Berbagai upaya dilakukan pemerintah dan kalangan terkait untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui diversifikasi pangan, namun pada kenyataannya tingkat konsumsi masyarakat masih bertumpu pada pangan utama beras. Hal itu diindikasikan oleh skor Pola Pangan Harapan belum 947 sesuai harapan, dan belum optimalnya pemanfaatan sumber bahan pangan lokal mendukung penganekaragaman konsumsi pangan (BKP, 2010). Sumberdaya lokal pertanian sangat melimpah. Akan tetapi pemanfaatannya belum optimal. Salah satu sumber daya lokal yang ada di lapangan adalah limbah pertanian berupa limbah ternak serta limbah yang dihasilkan oleh tanaman. Limbah ternak berupa kotoran ternak baik padat maupun cair dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang dapat menjadi faktor utama pertumbuhan tanaman. Manfaat dari penggunaan pupuk organik adalah terwujudnya pertanian ramah lingkungan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang ada (Kementan, 2011) Rachman dan Ariani (2007) menyebutkan bahwa tersedianya pangan yang cukup secara nasional maupun wilayah merupakan syarat keharusan dari terwujudnya ketahanan pangan nasional, namun itu saja tidak cukup, syarat kecukupan yang harus dipenuhi adalah terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga/individu. Berdasar pemikiran tersebut, adalah penting untuk mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Tanpa berpretensi mengabaikan pentingnya ketahanan pangan di tingkat nasional maupun wilayah. Upaya menciptakan ketahanan dan kemandirian pangan yang beroriantasi ramah lingkungan harus dimulai dari rumah tangga. Terkait dengan hal tersebut, pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga. Luas lahan pekarangan secara nasional sekitar 10,3 juta ha atau 14% dari keseluruhan luas lahan pertanian. Lahan pekarangan tersebut merupakan sumber potensial penyedia berbagai jenis bahan (diversifikasi) pangan yang bernilai gizi dan memiliki nilai ekonomi tinggi jika dikelola dengan inovatif. Pemanfaatan pekarangan di setiap daerah bervariasi sesuai dengan tingkat kebutuhan, sosial budaya, pendidikan masyarakat maupun faktor fisik dan ekologi setempat (Rahayu dan Prawiroatmodjo, 2005). Masyarakat di kabupaten Luwu Timur memanfaatkan lahan pekarangan masih didominansi tanaman hias, terutama di daerah perkotaan yang sudah mengerti nilai estetika. Dengan inovasi kreatifitas, lahan pekarangan dapat ditata sedemikian rupa sehingga jenis tanaman apapun bisa memiliki nilai estetika sama dengan tanaman hias dan memiliki multi fungsi sebagai bahan pemenuhan kebutuhan gizi serta sumber pendapatan keluarga. Komitmen pemerintah untuk melibatkan rumah tangga dalam mewujudkan kemandirian pangan tersebut perlu diaktualisasikan dalam bentuk menggerakkan lagi budaya menanam di lahan pekarangan, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Olehnya itu Kementerian pertanian dalam dua tahun terakhir cukup intensif dalam menyusun suatu konsep yang disebut dengan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Pada dasarnya KRPL merupakan suatu himpunan rumah yang mampu mewujudkan kemandirian pangan keluarga melalui pemanfaatan pekarangan (Mardiharini, 2011). Program ini dimaksudkan agar masyarakat dapat melakukan diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal, sekaligus melestraikan tanaman pangan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran, dan meningkatkan pendapatan, serta pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan melalui 948 partisipasi masyarakat. Tujuan dari kegiatan ini adalah memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari yang berorientasi sumber daya lokal ramah lingkungan. Diharapkan dengan kegiatan ini kemampuan keluarga dan masyarakat secara ekonomi dan sosial dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi secara lestari dapat berkembang, menuju keluarga dan masyarakat yang sejahtera. METODOLOGI Lokasi, Koordinat dan Waktu Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Margolembo Kecamatan Mangkutana Kabupaten Luwu Timur dari Januari hingga Desember 2012. Terletak pada koordinat 02o27’9’’ lintang selatan dan 120o43’291” bujur timur. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Untuk merencanakan dan melaksanakan pengembangan Model KRPL, dibutuhkan tahapan kegiatan seperti telah dituangkan dalam Pedoman Umum Model KRLPL (Kementerian Pertanian, 2011), yaitu: Persiapan dan Penetapan lokasi (1) Pengumpulan informasi awal tentang potensi kelompok sasaran, (2) pertemuan dengan dinas terkait untuk mencari kesepakatan dalam penentuan calon kelompok sasaran dan lokasi, (3) koordinasi dengan Dinas Pertanian dan Dinas Terkait lainnya di Kabupaten Luwu Timur, dan (4) memilih pendamping yang menguasai teknik pemberdayaan masyarakat sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pembentukan Kelompok Kelompok sasaran adalah rumahtangga atau kelompok rumahtangga (25 rumah tangga) dalam satu Rukun Tetangga, Rukun Warga atau satu dusun/kampung. Pendekatan yang digunakan adalah partisipatif, dengan melibatkan kelompok sasaran, tokoh masyarakat, dan perangkat desa. Kelompok dibentuk dari, oleh, dan untuk kepentingan para anggota kelompok itu sendiri. Dengan cara berkelompok akan tumbuh kekuatan gerak dari para anggota dengan prinsip keserasian, kebersamaan dan kepemimpinan dari mereka sendiri. Sosialisasi Kegiatan Menyampaikan maksud dan tujuan kegiatan dan membuat kesepakatan awal untuk rencana tindak lanjut yang akan dilakukan. Kegiatan sosialisasi dilakukan terhadap kelompok sasaran dan pemuka masyarakat serta petugas pelaksana instansi terkait. 949 Penguatan Kelembagaan Kelompok Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kelompok yakni: (1) mampu mengambil keputusan bersama melalui musyawarah; (2) mampu menaati keputusan yang telah ditetapkan bersama; (3) mampu memperoleh dan memanfaatkan informasi; (4) mampu untuk bekerjasama dalam kelompok (sifat kegotong-royongan); dan (5) mampu untuk bekerjasama dengan aparat maupun dengan kelompok masyarakat lainnya. Perencanaan Kegiatan Melakukan perencanaan/rancang bangun pemanfaatan lahan pekarangan dengan menanam berbagai tanaman pangan, sayuran, buah dan obat keluarga (toga), ikan dan ternak, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, kebun bibit desa (KBD), serta pengelolaan limbah rumah tangga. Selain itu dilakukan penyusunan rencana kerja untuk satu tahun. Kegiatan tersebut dilakukan bersama-sama dengan kelompok dan dinas instansi terkait. Pelatihan Inovasi Teknologi Pelatihan dilakukan sebelum pelaksanaan di lapang. Jenis pelatihan yang dilakukan diantaranya: teknik budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, dan toga, pembuatan pupuk organik (kompos) dari limbah ternak serta limbah pertanian lainnya, perbenihan dan pembibitan, pengolahan hasil dan pemasaran serta teknologi pengelolaan limbah rumah tangga. Jenis pelatihan lainnya adalah tentang penguatan kelembagaan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh kelompok dengan pengawalan teknologi oleh Peneliti dan Penyuluh. Secara bertahap, dalam pelaksanaanya menuju pada pencapaian kemadirian pangan rumah tangga, diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal, konservasi tanaman pangan untuk masa depan, pengelolaan kebun bibit desa, dan peningkatan kesejahteraan. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Kelompok Wanita Tani Kelompok tani pelaksanaan KRPL di Desa Margolembo Kecamatan Mangkutana adalah Kelompok Tani Wanita (KWT) Sayur Mandiri. Kelompok ini dibentuk tahun 2010, yang cikal bakalnya dari Kelompok Buruh Tani. Pada tahun 2011, KWT ini dibina oleh Pemerintah Daerah (Badan Ketahanan Pangan) Kabupaten Luwu Timur dalam rangka meningkatkan pemanfaatan lahan pekarangan mendukung program ketahanan pangan. Kemudian tahun 2012, BPTP Sulawesi Selatan melanjutkan pembinaan dan pendampingan guna lebih mempercepat penerapan inovasi teknologi guna meningkatkan produktivitas lahan pekarangan dalam rangkah lebih memperkuat ketahanan pangan masyarakat pedesaan. 950 Umumnya, rata-rata keluarga memiliki pekarangan seluas ≥ 300 m2, yang isinya tanaman buah-buahan, perkebunan, sayur-sayuran, ternak, dan lain sebagainya. Keluarga juga umumnya memiliki sawah sebagai sumber utama mata pencahariannya. Kelompok ini hingga kini masih tetap mempertahankan jenis pekerjaan sebagai buruh tani khususnya pada kegiatan penanaman dan panen padi (bekerja berkelompok yang sifatnya borongan, terkoordinir). Jumlah Kepala Keluarga (KK) yang ada dalam KWT sayur mandiri sekitar 30 KK. Keluarga yang potensial ikut KRPL tercatat 25 KK, sementara yang dianggap aktif sebanyak 24 KK. Anggota yang ikut KRPL hingga kegiatan ini berakhir, tidak berkembang, tetap 24 KK. Namun demikian beberapa keluarga berminat untuk ikut berkembang. Penguatan Kelembagaan Kelompok Anggota KWT Sayur Mandiri cukup kompak, bersemangat tinggi untuk maju, dan inovatif. Pertemuan-pertemuan baik rutin maupun insidentil dilakukan guna membicarakan rencana-rencana dan membahas persoalan-persoalan untuk membangun organisasi dan kelompok yang lebih sejahtera. Usia KWT yang masih sangat muda memerlukan bantuan dalam bentuk binaan, modal, dan fasilitas lainnya guna meningkatkan kemampuan kelompok. Dlam rangka penguatan kelompok ini, BPTP membantu menyiapkan sarana, prasarana berupa bibit sayuran, buah-buahan, pupuk organik, tanah humus, pot, alsintan, polybag dan lain-lain. Disamping itu, dibangun KBD (Kebun Bibit Desa), rumah kaca dan penataan kebun bibit desa. Peningkatan kemampuan kelompok dilakukan pula melalui pelatihan inovasi teknologi dan diskusi umpan balik melalui temu lapang. Pelatihan inovasi teknologi dimaksudkan untuk memperkaya pengetahuan dan skill peserta, dan mendorong agar penerapannya lebih cepat. Materi yang diajarkan adalah pembuatan pupuk organik (kompos) dari jerami padi/jagung dan kotoran hewan, pembuatan MOL (mikroorganisme lokal) sebagai dekomposer dan biopestisida, serta budidaya tanaman sayuran. Respon KWT terhadap pelatihan sangat baik, mereka mengharapkan tambahan-tambahan pengetahuan lewat pelatihan-pelatihan berikutnya teristimewa untuk materi budidaya dan pasca panen (kol, bawang merah, pasca panen, salak, dll). Dalam temu lapang, peserta merespon baik dan mengharapkan dukungan dan bimbingan pemerintah berkelanjutan. Masalah yang mereka alami adalah harga sayur (tidak menguntungkan untuk diusahakan), musim kering, pekerjaan sebagai buruh tani (tanam dan panen padi) mengganggu usahatani sayuran (tidak optimal). Pada kondisi seperti tersebut, pengembangan KRPL mengalami gangguan dan kurang berkembang. Maka diharapkan KWT menyesuaikan keadaan, jika harga sayuran rendah, mereka menanam sayuran yang harganya cukup baik (masih menguntungkan). Kekeringan dapat diatasi dengan pemanfaatan air irigasi (jika masih ada saluran) melalui pompa air. Budidaya Tanaman Budidaya tanaman yang dilakukan oleh KWT sayur mandiri desa Margolembo yaitu penanaman di lahan pekarangan yang ditata dalam petakanpetakan kecil. Sayuran yang umum diusahakan adalah sawi, kacang panjang, bayam, kangkung, terong, ketelah pohon, tomat, cabe, ketimun, dan kacang 951 tanah. Dalam setahun ditanam 3 – 4 kali. Mereka memanfaatkan pupuk organik (kompos) yang berasal dari kotoran ternak yang melimpah di daerah tersebut. Masing-masing anggota mengelolah lahan sendiri. Kebun bibit desa dikelola secara bersama (gotong royong). Pengolahan Hasil Pengolahan hasil (pasca panen) terbatas pada komoditas tertentu antara lain kacang tanah (bahan baku kue kering tradisonal Tenteng), bayam (kerupuk bayam), dan ubikayu (kerupuk singkong). Kelompok wanita tani umumnya masih memerlukan binaan untuk pengembangan pengolahan hasil. Dalam suatu pertemuan mereka minta untuk dilatih bagaimana pengolahan hasil salak yang cukup melimpah di desa ini (mis.pembuatan dodol salak, keripik dan lain sebagainya). Pemasaran Hasil Pemasaran hasil produk KWT belum memberikan memuaskan bagi petani. Masing-masing menjual ke pedagang lokal (datang ke lokasi) dan harga ditentukan oleh pedagang (sesuai harga pasar yang dipengaruhi oleh supply setempat). Karena itu sistem pemasaran ke depan perlu perbaikan dan fasilitas pemerintah dengan memuaskan kelompok tani. Karena bila petani tidak puas petani enggan untuk mengembangkan program KRPL. Pola Pangan Harapan (PPH) Data Konsumsi Energi Aktual, PPH, Pengeluaran Konsumsi Pangan Keluarga, dan Pemenuhan Kebutuhan dari KRPL disajikan pada Tabel 1. Data menunjukkan bahwa rata-rata KEA tiap insani adalah 2.288 (lebih tinggi sari rata-rata Nasional, 2000). Sebagian besar (75%) mengkonsumsi energi > 2000 kkal/orang/hari. Rata-rata skor PPH yang dicapai sekitar 75 dari nilai PPH awal rata-rata sebelum kegiatan adalah 68. Sebagian besar (66%) keluarga mencapai skor PPH >70. Sementara itu rata-rata pengeluaran konsumsi pangan keluarga tercatat Rp. 40.360/hr. Umumnya (>90%) pengeluaran konsumsi pangan keluarga antara Rp 20.000 – Rp. 40.000/hr. Selanjutnya sumbangan KRPL untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga rata-rata Rp. 4.750/hr. Sebagian besar (70%) dapat memenuhi kebutuhan dari KRPL senilai > Rp. 3000/hr. Tabel 1. No 1 2 952 Konsumsi Energi Aktual, skor PPH, Pengeluaran Konsumsi Pangan Keluarga, dan Pemenuhan Kebutuhan dari KRPL, Luwu Timur 2012 Uraian Konsumsi Energi Aktual (kkal/kap/hr) Rata-rata < 2000 2000 – 3000 > 3000 Skor PPH Rata-rata < 60 60 – 70 70 – 80 > 80 Nilai 2.288 25% 62% 13% 75 17% 17% 21% 45% Lanjutan... 3 4 Pengeluaran Konsumsi Pangan Keluarga (Rp/hr) Rata-rata < 20.000 20.000 – 40.000 > 40.000 Pemenuhan Kebutuhan dari KRPL (Rp/hr) Rata-rata < 2.000 2.000 – 3.000 3.000 – 5.000 > 5.000 Keterangan: - Data primer setelah diolah, 2012 - Jumlah sampel 24 orang 40.360 8% 50% 42% 4.750 4% 25% 13% 58% KESIMPULAN 1. 2. 3. 4. Model KRPL didesa Margolembo adalah KRPL Pedesaan yang berorientasi ramah lingkungan melalui pemanfaatan sumber daya pertanian lokal antara lain penggunaan pupuk organik limbah ternak atau tanaman serta penggunaan pestisida nabati. Kelembagaan kelompok KWT Sayur Mandiri keberadaannya masih muda, kompak, bersemangat dan inovatif, responsif terhadap kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan. Produk sayuran dan buah-bauahn yang mereka hasilkan merupakan produk organik tanpa menggunakan pupuk dan pestisida anorganik. Kelompok wanita tani masih memerlukan pembinaan, dukungan, bantuan guna meningkatkan kemampuan. Konsumsi energi aktual, skor PPH, pengeluaran konsumi pangan keluarga dan sumbangan pemenuhan kebutuhan pangan dari KRPL tercatat berturut-turut 2.288 kkal/kop/hr, 75, Rp. 40.360 / hr, dan Rp.4.750/hr. Nilai KEA dan skor PPH yang dicapai cukup baik. DAFTAR PUSTAKA Badan Ketahanan Pangan (BKP). 2010. Perkembangan Situasi Konsumsi Penduduk di Indonesia. Kementerian Pertanian, 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta 42 Hlm. Mardharini, M. Ketut, K., Zakiyah, Dalmadi dan A. Susakti. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Balai Besar dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. 953 Rachman, Handewi .P.S. dan M. Ariani. 2007. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program. Makalah pada “Workshop Koordinasi Kebijakan Solusi Sistemik Masalah Ketahanan Pangan Dalam Upaya Perumusan Kebijakan Pengembangan Penganekaragaman Pangan“, Hotel Bidakara, Jakarta, 28 November 2007. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia.` Rahayu, M. & S.Prawiroatmodjo 2005. Keanekaragaman tanaman pekarangan dan pemanfaatannya di Desa Lampeapi, Pulau Wawoni-Sulawesi Tenggara. Jurnal Teknologi Lingkungan 6 (2) : 360-364. Saliem H.P. 2011. Kawasan rumah pangan lestari (KRPL): Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan. 10 hlm. 954 KAJIAN MODEL PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADI DAN HAMA LAINNYA PADA PERIODE VEGETATIF TANAMAN PADI Asriyanti Ilyas dan Baso Aliem Lologau Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar Email: [email protected] ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan model pengendalian hama penggerek batang dan hama lainnya pada fase vegetatif tanaman padi dan untuk mengurangi penggunaan insektisida. Kegiatan dilaksanakan di Desa Melle, Kecamatan Palakka, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, mulai Maret 2012 hingga Desember 2012. Pengkajian didesain dalam 2 perlakuan yaitu pengendalian hama secara terpadu dan pengendalian hama cara petani yang dilaksanakan pada hamparan sawah sekitar 100 ha. Pada setiap hamparan dipilih secara sengaja 20 petani kooperator yang menjadi ulangan perlakuan. Parameter yang diamati adalah kelompok telur, intensitas serangan hama penggerek batang padi dan hama lainnya, populasi hama penggerek batang dan hama utama lainnya serta karakteristik pengendalian hama oleh petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi dan intensitas serangan hama pengerek batang dan hama lainnya sangat rendah, sehingga penyemprotan dengan insektisida yang dilakukan pada pengendalian cara petani hanya membuang waktu, biaya, dan membunuh musuh alami. Populasi musuh alami lebih tinngi daripada populasi serangga mangsanya. Produksi gabah kering panen pada perlakuan PHT sama dengan produksi pada perlakuan cara petani. Kata kunci: Padi, penggerek batang padi, fase vegetatif, Pengendalian Hama Terpadu (PHT) PENDAHULUAN Berbagai jenis penggerek batang padi yang dikenal di Indonesia yaitu: penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas Walker, penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata Walker, penggerek batang merah jambu Sesamia inferens Walker, penggerek batang padi bergaris Chilo suppressalis Walker, penggerek batang padi berkepala hitam Chilo polychrysus Meyrick, dan penggerek batang padi berkilat Chilo auticilius Dudgeon. Di Provinsi Sulawesi Selatan, penggerek batang padi putih merupakan spesies yang dominan dan termasuk hama terpenting kedua sesudah hama tikus (Fachrudin dan Baco, 1973; Baco, 1992; Baco et al., 2007). Di sektor Barat Sulawesi Selatan, penggerek batang lebih dominan pada fase vegetatif di musim kemarau, sedang di sektor Timur lebih dominan di musim hujan (Baco, 1992; Baco et al., 1995; Misnaheti et al., 2010). Hama penggerek batang padi menyerang pada seluruh tingkat perkembangan tanaman padi. Kehilangan hasil oleh serangan penggerek batang sangat bervariasi tergantung intensitas tanaman dan stadia tanaman. Setiap kenaikan 1% sundep dan beluk dapat menurunkan hasil padi masing-masing 0,28% dan 0,62% tetapi kerusakan serangan sundep 30% pada varietas tertentu yang berumur ≤ 40 hari sesudah tanam belum menimbulkan kerugian yang 955 berarti karena masih dapat di kompensasi oleh pertumbuhan tunas baru sedangkan kerusakan yang terjadi pada umur tua (beluk) tidak dapat di kompensasi sehingga menyebabkan kehilangan hasil yang lebih tinggi (Anonim, 1994). Pengendalian hama penggerek batang padi yang dilakukan petani selama ini lebih mengandalkan penggunaan insektisida kimia, karena dapat memberikan respon yang cepat dan dianggap dapat membantu petani dalam mempertahankan hasilnya. Pemakaian insektisida kimia di Indonesia cukup tinggi yaitu mencapai 20.000 ton. Pemakaian insektisida kimia secara berlebih diduga kuat menjadi faktor pemicu meledaknya populasi hama penggerek batang padi. Akumulasi residu insektisida yang sulit terurai di alam berdampak pada matinya agensia-agensia hayati sebagai pengendali hama, punahnya organismeorganisme tertentu, terjadinya kekebalan spesies hama terhadap insektisida, resurgensi hama, dan dapat menyebabkan keracunan pada manusia (Oka dan Bahagiawati, 1991). Berdasarkan dampak negatif yang timbul dari penggunaan insektisida kimia tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian untuk mengetahui model pengendalian penggerek batang yang efektif, serta aman bagi manusia dan lingkungan, dan mengurangi konsumsi insektisida terutama pada fase vegetatif tanaman padi. METODOLOGI Kegiatan pengkajian dilaksanakan di Desa Melle, Kecamatan Palakka, Kabupaten Bone pada bulan Maret sampai dengan November 2012. Bahan yang digunakan yaitu benih padi, pupuk organik, pupuk anorganik, dan insektisida. Sedangkan alat yang digunakan yaitu gelas ukur, botol plastik, tali, terpal, meteran, papan plot, karung, kantong plastik, ATK, dan alat bantu lainnya. Pengkajian terdiri dari 2 perlakuan yang dilaksanakan pada 2 hamparan sawah yang luasnya masing-masing sekitar 100 ha yang berjarak 250 - 500 m satu sama lain. Pada setiap hamparan dipilih secara sengaja 20 petani kooperator yang menjadi ulangan perlakuan. Perlakuan-perlakuan yang diuji adalah: a. Pengendalian Hama Terpadu (PHT), dengan komponen pengendalian adalah: 1. Hambur benih, dilakukan setelah penerbangan imago penggerek batang padi. 2. Sistem tanam, menggunakan jajar legowo 2 : 1 atau 4 : 1. 3. Pemungutan kelompok telur, yang dilakukan pada saat dipersemaian sampai fase primordia. 4. pengendalian menggunakan insektisida berdasarkan ambang kendali hama penggerek batabg padi yakni berdasarkan kerusakan tanaman pada stadia vegetatif adalah 6% dan pada stadia generatif adalah 10%. 956 b. Pengendalian cara petani ( menggunakan insektisda). Perlakuan-perlakuan tersebut di atas disosialisasikan dan didiskusikan dengan masing-masing kelompok petani kooperator yang akan menerapkannya. Parameter yang diamati dalam pengkajian ini adalah: a. Jumlah kelompok telur. Pengumpulan kelompok telur dilakukan setiap minggu mulai dari persemaian sampai tanaman memasuki fase promordia pada 10 tanaman contoh pada setiap perlakuan. Telur penggerek batang yang ditemukan diambil bersama helai daun tempat telur diletakkan dan dimasukkan dalam botol atau tabung reaksi. Dasar botol diberi air secukupnya agar daun tidak mongering sebelum telur menetas. Biasanya setelah 3 - 5 hari telur menetas, telur yang fertile menjadi larva dan telur yang telah teinfeksi parasitoid akan keluar imago parasitoid. Apabila parasitoid yang muncul dilepaskan kembali ke lapangan. b. Populasi hama penggerek batang dan hama lainnya diamati pada 10 tanaman contoh pada setiap perlakuan. c. Intensitas serangan hama penggerek batang padi dan hama lainnya diamati pada 10 tanaman contoh pada setiap perlakuan. Untuk menghitung intensitas serangan (I) menggunakan rumus: Σ tanaman terserang I= x 100 % Σ tanaman yang diamati d. Karakteristik pengendalian hama oleh petani. Data karakteristik petani dikumpulkan melalui survei dengan menggunakan kuisioner kepada 20 orang petani kooperator. e. Produksi gabah kering panen. Data-data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan uji t pada taraf kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Hama Yang Ditemukan pada Pertanaman Padi Berbagai jenis hama yang menyerang tanaman padi, beberapa di antaranya merupakan hama utama yang mampu menurunkan hasil produksi secara drastis, salah satunya Penggerek Batang Padi (Schirpophaga innotata). Namun, pada kondisi agroekosistem yang tidak mendukung perkembangan hama serta perlakuan yang tepat, berbagai jenis hama tersebut tidak mengalami perkembangan yang luas dan selalu berada di bawah ambang kendali selama pertanaman. Berdasarkan hasil pengamatan pada tanaman padi, diperoleh populasi hama yang disajikan pada Tabel 1. 957 Tabel 1. Rata-rata populasi hama pada tanaman padi pada setiap perlakuan Perlakuan Jenis hama PHT Telur Penggerek batang padi Ulat penggulung daun Ngengat hama putih Hama putih palsu Spot telur keong mas Spot Serangan Tikus Wereng hijau Wereng batang coklat Walang. sangit Lalat daun Cara petani Telur Penggerek batang padi Ulat penggulung daun Ngengat hama putih Hama putih palsu Spot telur keong mas Spot Serangan Tikus Wereng hijau Wereng batang coklat Walang. sangit Lalat daun Inpari 6 Populasi hama /10 tanaman pada varietas: Inpari Inpari Cigeulis Ciherang Mekongga 10 16 IR 66 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 - 0,03 0,00 0,22 0,00 0,02 0,00 - 0,00 0,00 0,29 0,00 0,04 0,00 - 0,01 0,00 0,29 0,00 0,01 0,00 - 0,09 0,22 0,15 0,00 0,09 0,00 - 0,00 0,00 0,11 0,00 0,07 0,00 - 0,02 0,00 0,13 0,00 0,00 0,00 - 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00 0,02 - 0,07 0,04 0,18 0,01 0,05 0,02 - 0,05 0,00 0,16 0,01 0,03 0,02 - 0,00 - - 0,00 0,00 0,00 0,00 0,19 - - 0,01 0,00 0,00 0,00 0,17 - - 0,01 0,00 0,00 0,06 0,00 - - 0,00 0,00 0,00 0,03 0,06 - - 0,03 0,00 0,00 0,08 0,03 - - 0,02 0,00 0,00 0,02 0,00 - - 0,00 0,00 0,00 0,03 0,00 - - 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 - - 0,01 0,00 0,04 0,05 0,00 - - 0,01 0,00 0,00 0,02 Sumber: Data primer setelah diolah, 2012 Populasi hama yang ditemukan sangat kecil dan terkendali, baik pada perlakuan PHT maupun pada cara petani. Secara keseluruhan, rata-rata populasi 958 musuh alami lebih tinggi dibanding populasi hama (Tabel 2), sehingga intensitas serangan setiap spesies hama sangat rendah yaitu di bawah 5%. Musuh alami berperan dalam menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan. Hal ini terbukti dari setiap pengamatan dilahan pertanian, beberapa jenis musuh alami selalu hadir dipertanaman. Ekosistem persawahan secara teoritis merupakan ekosistem yang tidak stabil. Kestabilan ekosistem persawahan tidak hanya ditentukan oleh diversitas struktur komunitas, tetapi juga oleh sifat-sifat komponen, interaksi antar komponen ekosistem. Hasil pengkajian habitat menunjukkan bahwa tidak kurang dari 700 serangga termasuk parasitoid dan predator ditemukan di ekosistem persawahan dalam kondisi tanaman tidak ada hama khususnya wereng batang coklat (WBC). Predator WBC, umumnya polifag akan memangsa berbagai jenis serangga (Santosa dan Sulistyo, 2007). Tabel 2. Rata-rata populasi serangga musuh alami pada tanaman padi pada setiap perlakuan Populasi musuh alami/10 tanaman pada varietas: Perlakuan PHT Jenis musuh alami Laba-laba Capung Inpari 6 Inpari 10 Inpari 16 Cigeulis Ciherang Mekongga IR 66 0,31 0,30 0,20 0,30 0,60 0,49 0,08 0,28 0,21 0,34 0,07 0,33 - sp. Coccinelid 0,80 0,01 0,00 0,00 0,05 0,07 0,00 0,00 0,01 0,01 0,00 0,00 - Laba-laba Capung 0,20 0,22 - - 0,16 0,23 0,11 0,24 0,09 0,18 0,21 0,23 sp. Coccinelid 0,00 0,01 - - 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 Cyrtorhynus Cara petani Cyrtorhynus Sumber: Data primer setelah diolah, 2012 Faktor-Faktor Rendahnya Populasi Hama di Pertanaman Padi Populasi musuh alami yang ditemukan, lebih besar dibanding populasi hama, terutama Capung dan Laba-laba. Keberadaan musuh alami di pertanaman padi mampu menurunkan populasi hama, serta didukung rendahnya curah hujan pada musim tanam April – September. Data curah hujan disajikan pada Tabel 3. 959 Tabel 3. Rata-Rata curah hujan di Kecamatan Palakka Kabupaten Bone Musim Tanam 2012 Bulan April Mei Juni Juli Agustus September CH 129 65 38 50 49 - Curah Hujan (CH) dan Hari Hujan (HH) per dekade I II III HH CH HH CH 7 15 4 28 4 12 3 114 2 25 2 1 97 6 9 3 3 - HH 2 5 1 1 - Sumber: Data Dinas Pertanian Kabupaten Bone, 2012 Ketersediaan air pada sawah tadah hujan ditentukan oleh curah hujan dan sawah irigasi ditentukan oleh pengaturan pengairan. Selain rotasi tanaman dan pengaturan waktu tanam, pengaturan pengairan juga dapat menekan populasi hama, terutama dalam areal yang luas (Hendarsih dan Usyati, 2005). Pemilihan waktu tanam tepat dan faktor iklim terutama curah hujan pada kurun waktu tertentu, telah memberikan dampak positif dalam pengendalian hama dan penyakit (Praptana dan Yasin, 2008). Karakteristik Pengendalian Hama Oleh Petani Hasil wawancara menunjukkan bahwa semua petani mengetahui ngengat penggerek batang padi dengan nama lokal pucang-pucang. Mereka juga mengetahui larva dari penggerek batang. Sayangnya 100 persen petani tidak mengetahui pupa dan telur penggerek batang. Setelah diperlihatkan kelompok telur dan membedah kelompok telur, tampak ratusan telur dalam satu kelompok dengan menggunakan loup, baru mereka menyadarinya. Hasil pengamatan menunjukkan, kelompok telur tidak ditemukan selama fase vegetatif tanaman padi. Respon petani terhadap cara pengendalian hama disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Respon petani terhadap komponen pengendalian hama tanaman di Desa Melle, Kecamatan Palakka, Kabupaten Bone. No 1 2 3 4 5 6 7 8 10 Jenis Aktivitas Waktu Tanam Serempak Menanam VUB Padi Sistem Tanam Pindah Jarak Tanam Legowo Jarak Tanam Tegel Frekuensi Pemupukan 2 kali Pergiliran Tanaman Mengetahui Cara Pemanduan Hama Mengenal Telur dan Imago Penggerek Batang Padi Frekuensi Mengumpulkan telur 11 Melakukan Penyemprotan 9 Sumber: Data primer setelah diolah, 2012 960 (%) 90 100 75 15 65 90 70 90 Keterangan 90 50 65 1 – 8 kali dengan temuan rata-rata 1 kelompok telur pada fase generatif Frekuensi penyemprotan 1 – 8 kali Berdasarkan hal tersebut pada petak sawah petani yang didampingi tidak pernah dilakukan penyemprotan insektisida. Pada fase generatif tanaman padi ditemukan populasi wereng coklat dengan kepadatan kurang dari satu ekor per rumpun dan beberapa jenis hama minor lainnya yang ditemukan secara insidentil. Berbagai jenis musuh alami penggerek batang padi maupun musuh alami hama lainnya juga ditemukan meskipun padat populasinya juga cukup rendah. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka tidak perlu dilakukan suatu tindakan pengendalian. Hasil pencacahan terhadap petani yang tidak didampingi, ternyata mereka tetap melakukan penyemprotan dengan 2 - 8 kali selama satu musim tanam. Mereka melakukan penyemprotan karena sudah menjadi kebiasaan dan nampaknya sudah menjadi keharusan apabila mereka telah menemukan populasi hama di sawahnya meskipun dalam keadaan padat populasi yang rendah. Mereka kuatir padat populasi akan berkembang cepat dan terlambat diantisipasi pengendaliannya. Produksi Gabah Kering Panen Produksi gabah kering panen pada perlakuan PHT dalam penelitian ini tidak disemprot insektisida adalah 6,00 t/ha. Produksi ini tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan cara petani yang besarnya 5,9 t/ha yang mendapat pengendalian hama 1 – 8 kali penyemprotan insektisida per musim tanam (Tabel 5). Tabel 5. Rata-rata produksi gabah kering panen Inpari 6 pada setiap perlakuan Perlakuan Produksi (ton/ha) PHT Cara Petani 6,0 a 5,9 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata berdasarkan Uji t 95% KESIMPULAN Populasi dan intensitas serangan hama penggerek batang dan hama lainnya sangat rendah, karena itu dalam penelitian ini belum dapat diketahui efektivitas pengendalian hama penggerek batang dan hama lainnya. Populasi predator seperti laba-laba dan capung lebih tinggi dari pada populasi serangga inangnya. Produksi gabah kering panen pada perlakuan PHT sama dengan perlakuan cara petani. SARAN Sebaiknya kajian ini diulangi pada lokasi yang sering terjadi serangan penggerek batang padi dengan tingkat serangan yang tinggi. 961 UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Djafar Baco yang selalu memberi saran, petunjuk, dan koreksi dalam pelaksanaan penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada saudara Zaenal Nuruddin yang bertugas sebagai teknisi selama pelaksanaan kegiatan ini. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1994. Pengenalan dan Pengendalian OPT padi. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Jakarta. Baco D., M. Yasin, dan Surtikanti. 1995. Penggerek batang padi dan strategi pengendaliannya di Sulawesi Selatan. Dalam Kinerja Pen. Tan. Pangan. p: 528-540. Baco, D. 1992. Komposisi spesies penggerek batang padi di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada Kongres IV PEI Yogyakarta 26-30 Januari 1992: 8p. Fachrudin dan D. Baco. 1973. Pengkajian mengenai populasi penggerek batang padi di Sulawesi Selatan. Dir. Pen dan Peng. Masy. Dirjen Pendidikan Tinggi Dep. P dan K. Proyek 1214. Ent. 5. Fak. Pertanian UNHAS. 33p. Hendarsih dan Usyati, 2005. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi. www.bbpadi.litbang.deptan.go.id. Misnaheti, Baco, D., dan Aisyah. 2010. Tren Perkembangan Penggerek Batang Pada Tanaman Di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 27 Mei 2010. Oka, I, N.. dan Bahagiawti, A.H. 1991. Pengendalian hama terpadu. Badan Pengkajian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor, Padi. Buku III. Hal.653-680. Praptana, R.H. dan Yasin, M. Epidemiologi dan Strategi Pengendalian Penyakit Tungro. Jurnal IPTEK Tanaman Pangan. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Pengkajian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Vol. 3 (2) hlm. 184 – 204. Santosa, S. J. dan Joko Sulistyo. 2007. Peranan Musuh Alami Hama Utama Padi Pada Ekosistem Sawah. INNOFARM: Jurnal Inovasi Pertanian Vol 6 No. 1 2007: 1-10. 962 PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PADI AKIBAT PENGGUNAAN PUPUK NPK 15-10-12 Didik Harnowo dan Q. D. Ernawanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km.4 Malang, Tlp.(0341) 494052, Fax (0341) 471255 Email: [email protected] ABSTRAK Pemupukan yang berlebihan merupakan pemborosan dana, mengganggu keseimbangan unsur hara dalam tanah, dan pencemaran lingkungan. Ketersediaan nitrogen, fosfat dan kalium dalam tanah sering menjadi faktor pembatas utama dalam upaya memperoleh hasil padi yang optimal. Pupuk NPK 15-10-12 merupakan produk baru sebagai alternatif pupuk NPK Phonska 15-15-15 yang telah banyak beredar di pasaran. Tujuan penelitian ini adalah diperolehnya dosis optimum aplikasi Pupuk NPK 15-10-12 pada tanaman padi. Penelitian dilakukan di daerah sentra produksi padi yaitu di desa Karangrejo, kecamatan Gumukmas, Jember, mulai bulan Januari 2013 sampai dengan Mei 2013. Perlakuan terdiri dari berbagai kombinasi dosis pupuk NPK Phonska 15-15-15, NPK 15-10-12, Urea, dan Petroganik (meliputi tujuh perlakuan). Rancangan percobaan acak kelompok 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan 350 kg/ha NPK 15-10-12 yang dikombinasi dengan 200 kg Urea per ha mampu meningkatkan produksi gabah kering panen padi varietas Inpari Sidenuk dengan produktivitas sebesar 7,75 t/ha (tidak berbeda nyata dengan pupuk NPK Phosnka 15-15-15 300 kg/ha, dengan pendapatan sebesar Rp 15.725.000 serta R/C rasio 2,60. Kata kunci : Pupuk NPK 15-10-12, produktivitas padi, Inpari Sidenuk PENDAHULUAN Padi merupakan salah satu komoditas pangan strategis, komoditi ini cukup berprospek dan tetap akan dikembangkan oleh pemerintah. Meningkatnya nilai tambah komoditi padi seiring dengan meningkatnya permintaan dan kebutuhan beras sebagai pangan pokok, mendorong untuk meningkatkan produksi padi. Harapan untuk mencapai swasembada padi pada tahun ini masih jauh dari sasaran, hal ini karena produktivitasnya masih rendah, disamping faktor-faktor lainnya, misal anomali iklim, yang berakibat ledakan serangan OPT. Komoditas padi dikembangkan petani di lahan-lahan sawah intensif, kondisi lahan-lahan sawah tersebut akibat dimanfaatkan secara terus-menerus secara intensif dengan pemakaian pupuk anorganik (baik tunggal maupun majemuk) dengan dosis yang irrasional di sisi lain pemakaian bahan organik (baik pupuk organik, atau berupa serasah hasil panen yang jarang dikembalikan ke tanah ataupun rendahnya pemakaian pupuk kandang atau pupuk hijau) berakibat termarginalnya lahan-lahan tersebut. Irrasionalnya pemupukan padi sawah, karena belum mendasarkan pada kemampuan tanah menyediakan hara dan kebutuhan tanaman secara tepat. Penggunaan pupuk yang efisien pada dasarnya adalah memberi pupuk dalam jumlah, macam, jenis, dan bentuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, 963 dengan cara dan saat pemberian yang tepat sesuai kebutuhan serta sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman padi. Pemupukan yang berlebihan merupakan pemborosan dana, mengganggu keseimbangan unsur hara dalam tanah, dan pencemaran lingkungan (Adiningsih et al., 1989; Moersidi et al., 1991; Rochayati et al., 1991), sedangkan pemberian pupuk yang terlalu sedikit tidak dapat memberikan tingkat produksi yang optimal. Permasalahan kesuburan tanah diantaranya : ketersediaan nitrogen, fosfat dan kalium dalam tanah sering menjadi faktor pembatas utama dalam upaya memperoleh hasil pertanian yang optimal (Tisdale et al, 1985). Upaya untuk mencukupi kebutuhan unsur hara makro tersebut bagi tanaman padi biasanya dipenuhi dari pupuk Urea, ZA, SP-36 dan KCl ataupun pupuk majemuk NPK. Pada beberapa lokasi aplikasi pemupukan hanya menekankan pada pupuk N (Urea, ZA) dengan dosis yang tinggi, pupuk P dengan dosis rendah sampai sedang, dan sebagian besar petani jarang menggunakan pupuk K. Hal ini disebabkan (1) kebutuhan hara N paling besar (2) harga pupuk N paling murah, harga pupuk P maupun K dirasa mahal oleh petani (3) pengaruh pupuk N terhadap keragaan pertumbuhan tanaman secara langsung dan jelas, (4) pupuk N mudah diperoleh. Oleh sebab itu, dengan meningkatnya hasil panen akan diikuti oleh munculnya kekahatan beberapa unsur hara yang tidak pernah diberikan, karena unsur hara dan bahan organik diangkut bersamaan panen (Adiningsih dan Soepartini, 1995). Pupuk NPK 15-10-12 merupakan produk baru pupuk majemuk, diharapkan dapat mengantisipasi kekahatan hara pada tanaman padi. Pengaruh pupuk majemuk ini terhadap pertumbuhan dan produktivitas padi belum diketahui, termasuk perbedaannya dengan pupuk NPK Phonska 15-15-15. Dari dasar pertimbangan di atas, maka perlu dilakukan pengujian penggunaan pupuk NPK 15-10-12 terhadap pertumbuhan dan produktivitas padi. Tujuan pengkajian adalah diperolehnya dosis optimum aplikasi Pupuk NPK 15-10-12 pada tanaman padi. METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di daerah sentra produksi padi, yaitu di Desa Karangrejo, Kecamatan Gumukmas, Kabupaten Jember. Hasil analisis tanah sebelum dilakukan pengkajian disajikan pada Tabel 1. Pelaksanaan mulai bulan Januari 2013 sampai dengan April 2013. Tabel 1. Hasil analisis tanah sebelum dilakukan penelitian di lokasi Desa Karangrejo, Kecamatan Gumukmas, Jember No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Jenis Analisis pH - H2O pH – KCl C - organik ( % ) N - total ( % ) P2O5 ( ppm ) K-tersedia (me/100 g) 7. KTK (me/100 g) 964 Nilai Penetapan 6.24 5.68 2.68 0.20 24.45 0.48 26,72 Status agak masam sedang rendah sedang sedang tinggi Bahan Bahan yang digunakan meliputi : tanaman padi varietas Inpari Sidenuk, pupuk NPK 15-10-12, NPK Phonska 15-15-15, Urea, dan Petroganik. Pestisida sesuai dengan rekomendasi. Metoda Penelitian ini merupakan percobaan lapang yang dilaksanakan pada musim hujan 2013, menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Susunan perlakuan NPK 15-10-12 disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Susunan perlakuan NPK 15-10-12 Kode Perlakuan A B C D E F G NPK 15-15-15 0 300 350 400 0 0 0 NPK 15-10-12 0 0 0 0 300 350 400 Urea 0 200 200 200 200 200 200 Petroganik 0 500 500 500 500 500 500 Pupuk Urea diberikan 3 kali, yaitu yaitu : 1/3 dosis saat umur 7 hari setelah tanam (hst), 1/3 dosis umur 21 hst, dan 1/3 sisa saat 35 hst; pupuk NPK 15-15-15 dan NPK 15-10-12 dan Phonska diaplikasikan 2 kali yaitu 1/2 dosis saat tanam, dan 1/2 dosis saat umur 21 hst. Sedangkan Petroganik sekali, yaitu sebelum tanam. Analisis tanah meliputi: N, P, K, C-organik, pH, KTK dilakukan sebelum dilakukan percobaan. Peubah yang diamati meliputi : tinggi tanaman umur 50 hst, dan saat panen; Bobot 1.000 butir; persentase gabah hampa; bobot gabah kering panen (GKP), dan analisis finansial. HASIL DAN PEMBAHASAN Salah satu faktor lingkungan yang berhubungan dengan pertumbuhanproduksi tanaman padi adalah iklim. Data iklim lokasi pengkajian, yaitu di kecamatan Gumukmas kabupaten Jember, diperoleh di Dinas Pertanian Kabupaten Jember selama 10 tahun terakhir (Dinas Pertanian Kabupaten Jember, 2012). Hasil analisis data curah hujan selama 10 tahun terakhir sejak 2003 sampai 2012, menunjukkan bahwa berdasarkan klasifikasi Oldeman lokasi penelitian di wilayah kecamatan Gumukmas mempunyai curah hujan dengan tipe E3, yaitu dengan < 3 bulan basah (curah hujan > 200 mm/bulan) dan 5 - 6 bulan kering (curah hujan < 100 mm/bulan). Rataan jumlah hari hujan 87 hari, sedangkan rataan curah hujan tahunan sebesar 1293 mm. Hasil analisis tanah Incentisol (Aluvial hidromorf) lokasi pengkajian sebelum dilakukan pengkajian disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan kriteria penilaian status kesuburan tanah (PPT, 1983), maka kesuburan tanah lokasi pengkajian tergolong sedang. 965 Pertumbuhan tanaman padi merupakan salah satu cerminan ketersediaan hara dalam larutan tanah, semakin rendah hara tanah berkorelasi positif dengan semakin rendahnya pertumbuhan tanaman padi. Tanaman padi yang tidak dipupuk sama sekali (perlakuan A) menampilkan tinggi tanaman terendah dan nyata berbeda dengan perlakuan lainnya saat tanaman padi berumur 50 hst dan saat panen. Pemupukan NPK 15-10-12 dengan berbagai dosis tidak berbeda nyata dengan pemupukan Phonska. Peningkatan pemakaian pupuk NPK 15-1012 cenderung diikuti pula dengan peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman padi varietas Inpari Sidenuk walaupun tidak nyata berbeda. Demikian pula dengan peningkatan dosis pupuk NPK Phonska 15-15-15. Namun apabila dibandingkan dengan tanpa pupuk, meningkatan pertumbuhan secara nyata (Tabel 3). Tabel 3. Rataan tinggi tanaman padi varietas Inpari Sidenuk pengaruh pemupukan NPK 15-10-12 di Gumukmas, Jember No. 1 2 3 4 5 6 7 Perlakuan A (Kontrol) B (Rekomendasi) C D E F G Tinggi tanaman (cm) Umur 50 hst Saat Panen 74,5 a 95,9 a 88,5 b 104,5 b 89,9 b 105,7 b 91,4 b 106,3 b 86,1 b 102,2 b 87,2 b 102,6 b 89,7 b 105,1 b Keterangan : Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada taraf 5 % Komponen Produksi Antar dosis penggunaan NPK 15-10-12 tidak berpengaruh nyata terhadap komponen produksi padi varietas Inpari Sidenuk (jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, bobot 1.000 butir, dan produksi GKP). Demikian pula pupuk Phonska 15-15-15. Penggunaan pupuk NPK 15-10-12 tidak berbeda nyata dengan pupuk Phonska pada semua dosis. Namun apabila dibandingkan dengan perlakuan A (tanpa penambahan pupuk) baik dosis Phonska, maupun penggunaan pupuk NPK 15-10-12 menghasilkan komponen produksi nyata lebih tinggi. Pemupukan NPK 15-10-12 dengan dosis tidak meningkatkan jumlah gabah isi/malai, namun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa pupuk; disisi lain pemakaian pupuk NPK 15-10-12 mampu menekan jumlah gabah hampa/malai dibanding dengan tanpa pupuk (Tabel 4). Penggunaan pupuk NPK 15-10-12 meningkatkan produksi gabah kering panen (GKP) dibanding tanpa pupuk, namun peningkatan dosis tidak diikuti oleh meningkatnya produksi GKP. Demikian pula dengan pemakaian pupuk Phonska. Antar dosis pupuk NPK 15-10-12 tidak berbeda nyata dengan pupuk Phonska. Pengaruh positif penggunaan jenis pupuk NPK 15-10-12 terhadap peningkatan produksi GKP diduga disebabkan oleh adanya peningkatan unsur hara N, hara P, dan hara K dalam larutan tanah sehingga meningkatkan ketersediaan ketiga unsur ini bagi tanaman padi. Pupuk NPK 15-10-12 mengadung 15 % N, 10 % P2O5, dan 12 % K2O; sedangkan hasil analisis tanah (Tabel 1) kadar N tergolong rendah, P tergolong sedang dan K sedang; 966 sehingga tanaman padi Inpari Sidenuk merespon positif yang ditunjukkan dengan penambahan tinggi tanaman dan produksi dibandingkan tanpa pemupukan. Tabel 4. Rataan komponen produksi padi Inpari Sidenuk pengaruh penggunaan pupuk NPK 15-10-12 di Gumukmas Jember, 2013 Komponen Produksi Bobot Jml gabah 1.000 butir hamba/malai (g) No. Perlakuan Jml gabah isi /malai Bobot GKP (t/ha) 1 2 3 4 5 6 A (Kontrol) B (Rekomendasi) C D E F 85,57 97,35 98,83 99,89 96,79 97,91 a b b b b b 12,24 b 8,15 a 8,03 a 7,98 a 8,53 a 8,14 a 22,41 a 24,29 b 24,91 b 25,15 b 24,04 b 24,79 b 5,35 a 7,98 b 8,05 b 8,15 b 7,75 b 7,95 b 7 G 97,82 b 8,32 a 25,11 b 7,97 b Keterangan : - Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada taraf 5 %. - Huruf A s/d G sesuai Tabel 2. Analisis Finansial Usahatani Pada analisis finansial diasumsikan bahwa semua beaya lainnya sama kecuali beaya pupuk, sehingga tingkat pendapatan yang diperoleh petani akibat dari perbedaan beaya pupuk. Hasil analisis input-output usahatani padi pengaruh penggunaan pupuk NPK 15-10-12 disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Analisis finansial usahatani padi Inpari Sidenuk pengaruh penggunaan pupuk NPK 15-10-12 di Gumukmas Jember, 2013 Perlakuan Produksi A B C D E F G 5,35 7,98 8,05 8,15 7,75 7,95 7,97 Keterangan : - Beaya Non Pupuk pupuk 250.000 7.680.000 1.260.000 8.710.000 1.375.000 8.710.000 2.250.000 8.710.000 1.140.000 8.710.000 1.235.000 8.710.000 1.330.000 8.710.000 Harga Jual GKP/kg 3.300 3.300 3.300 3.300 3.300 3.300 3.300 Nilai Jual Pendapatan 17.655.000 26.334.000 26.565.000 26.895.000 25.575.000 26.235.000 26.301.000 9.725.000 16.364.000 16.480.000 15.935.000 15.725.000 16.290.000 16.261.000 Beaya non pupuk : meliputi tenaga kerja, bibit, pestisida, sewa lahan, iuran HIPPA Harga jual GKP saat panen Rp 3.300; Harga Urea Rp 1.600, NPK Phonska Rp 2.300. NPK 15-10-12 Rp 1.900 Huruf A s/d G sesuai Tabel 2. 967 Tabel 6. Analisis finansial usahatani padi penggunaan pupuk NPK 15-10-12 dibandingkan dengan rekomendasi di Gumukmas Jember, 2013 Jumlah Satuan 40 kg 6,500 Pupuk Rekomendasi (300 kg Phonska + 200 kg Urea) 260,000 NPK 15-10-12 300 kg 1,900 0 NPK Phonska 300 kg 2,300 690,000 Urea 200 kg 1,600 320,000 320,000 Petroganik 500 kg 500 250,000 250,000 Insektisida 2 lt 130,000 260,000 260,000 Fungisida 1 lt 150,000 150,000 150,000 Beaya Tenaga kerja: Pengolahan tanah Persemaian 28 HOK 20,000 560,000 560,000 12 HOK 20,000 240,000 240,000 Penanaman 34 HOK 20,000 680,000 680,000 Pemupukan 9 HOK 20,000 180,000 180,000 Penyiangan 20 HOK 20,000 400,000 400,000 6 HOK 20,000 120,000 120,000 Pengairan 10 HOK 20,000 200,000 200,000 Pemanenan 48 HOK 20,000 960,000 960,000 4,500,000 4,500,000 200,000 200,000 9,970,000 9,850,000 7,980 7,750 Nilai Produksi 26,334,000 25,575,000 Pendapatan 16,364,000 15,725,000 2.64 2.60 Uraian Bibit Padi PHT Beaya 350 kg NPK 1510-12 + 200 kg Urea 260,000 570,000 Biaya lain-Lain Sewa Lahan Iuran HIPPA Total Biaya Produksi (kg/ha) R/C Ratio 1 MT 1 MT Pemakaian pupuk sesuai rekomendasi (300 kg Phonska + 200 kg Urea per ha) memberikan tingkat pendapatan (Rp. 16.364.000) dengan R/C ratio 2,64; sedangkan penggunaan pupuk NPK 15-10-12 yang memberikan pendapatan tertinggi sebesar Rp. 15.725.000 dengan R/C ratio 2,60 yaitu dosis 350 kg yang dibarengi dengan 200 kg Urea per ha; walaupun produktivitasnya tidak berbeda nyata. 968 KESIMPULAN 1. 2. 3. Pemakaian pupuk NPK 15-10-12 tidak menyebabkan penurunan pertumbuhan maupun produktivitas padi dibandingkan dengan penggunaan pupuk NPK Phonska 15-15-15. Pemakaian NPK 15-10-12 dengan dosis rendah, sedang, dan tinggi tidak berbeda nyata terhadap produksi padi Inpari Sidenuk pada tanah dengan kadar P, dan K tergolong sedang . Pupuk NPK 15-10-12 dengan dosis 350 kg yang dibarengi dengan pemberian 200 kg Urea per ha dapat digunakan sebagai alternatif pemupukan pada tanaman padi varietas Inpari Sidenuk. DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, S., J. S. Moersidi, M. Sudjadi, dan A.M. Fagi. 1989. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Adiningsih, S., J.S. dan M. Soepartini, 1995. Pengelolaan pupuk pada sistem usahatani lahan sawah. Makalah pada Apresiasi Metodologi Pengkajian Sistem Usahatani Berbasis Padi dengan Wawasan Agribisnis. PSE Bogor, 7-9 September 1995. Dinas Pertanian Kabupaten Jember. 2012. Kompilasi Data Iklim Kabupaten Jember Tahun 2000 - 2012. Moersidi, S., J. Prawirasumantri, W. Hartatik, A. Pramudia, dan M. Sudjadi. 1991. Evaluasi kedua keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. PPT. 1983. Kriteria Kesesuaian Lahan. Pusat Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Rochayati, S., Muljadi, dan J.S. Sri Adiningsih. 1991. Penelitian efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V:107-143. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Tisdale, S.L., W.I. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Mac Millan Publ. Co. New York. 969 OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN DI DESA SALU PAREMANG SELATAN KABUPATEN LUWU Sahardi, Kartika Fauziah, Asryanti Ilyas, dan Dewi Mayanasari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 17,5 Makassar Email: [email protected] ABSTRAK Pemanfaatan pekarangan sebagai Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kabupaten Luwu, belum optimal. Dengan masuknya inovasi teknologi Rumah Pangan Lestari yang prakarsai Badan Litbang Pertanian, lahan pekarangan dapat ditata sedemikian rupa sehingga jenis tanaman apapun bisa memiliki multi fungsi sebagai bahan pemenuhan kebutuhan gizi serta sumber pendapatan keluarga. Tujuan kegiatan ini adalah memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari; Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan limbah jerami menjadi pupuk organik, mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan, mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkat kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri. Kegiatan dilaksanakan di Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, berlangsung mulai Januari hingga Desember 2012, yang berada pada titik koordinat 3o 30’76” LS dan 120o36’59” BT. Hasil kegiatan menunjukkan sebagian besar anggota KRPL mengkonsumsi hasil dari usahatani pekarangannya, dan hanya sedikit yang dijual pada pedagang keliling. Angota kelompok tani responden KRPL dapat menghemat pengeluaran rata-rata sebesar Rp. 190.000/KK/bulan. Terdapat peningkatan rata-rata PPH setelah program KRPL dilaksanakan, yaitu dari 76,55 sebelum RPL dilaksanakan, menjadi 80,86. Kata kunci: Kawasan rumah pangan lestari, pekarangan, penghematan pendapatan. PENDAHULUAN Ketahanan pangan (food security) menjadi fokus perhatian pemerintah saat ini. Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Maka terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia. Presiden RI pada acara Konferensi Dewan Ketahanan Pangan bulan Oktober 2010 di Jakarta juga mengemukakan bahwa ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga. Terkait dengan hal tersebut, pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga (Mardharini et al., 2011). 970 Luas lahan pekarangan secara nasional sekitar 10,3 juta ha atau 14% dari keseluruhan luas lahan pertanian. Lahan pekarangan tersebut merupakan sumber potensial penyedia berbagai jenis bahan (diversifikasi) pangan yang bernilai gizi dan memiliki nilai ekonomi tinggi jika dikelola dengan inovatif. Lahan tersebut sebagian besar masih belum dimanfaatkan sebagai areal pertanaman aneka komoditas pertanian, khususnya komoditas pangan. Perhatian masyarakat terhadap pemanfaatan lahan pekarangan relatif masih kurang, sehingga pengembangan berbagai inovasi yang terkait dengan lahan pekarangan belum banyak dilakukan. Di Sulawesi Selatan, khususnya di kabupaten Luwu, pemanfaatan pekarangan belum optimal dan sebagian besar masih kosong. Dengan inovasi kreatifitas, lahan pekarangan dapat ditata sedemikian rupa sehingga jenis tanaman apapun bisa memiliki nilai estetika sama dengan tanaman hias dan memiliki multi fungsi sebagai bahan pemenuhan kebutuhan gizi serta sumber pendapatan keluarga. Pemanfaatan lahan pekarangan dengan jenis tanaman: pangan, hortikultura, obat-obatan, ternak, ikan dan lainnya, selain dapat memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, juga berpeluang memperbanyak sumber penghasilan rumah tangga, apabila dirancang dan direncanakan dengan baik. Kementerian Pertanian telah menyusun suatu konsep yang disebut dengan “Kawasan Rumah Pangan Lestari” (KRPL), yang dibangun dari kumpulan Rumah Pangan Lestari (RPL). Masing-masing RPL diharapkan memenuhi prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran, dan meningkatkan pendapatan, serta pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan melalui partisipasi masyarakat. Badan Litbang Pertanian melalui 65 Unit Kerja (UK) dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia siap mendukung upaya optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan melalui dukungan inovasi teknologi dan bimbingan teknis. Komitmen pemerintah untuk melibatkan rumah tangga dalam mewujudkan kemandirian pangan, perlu diaktualisasikan dalam bentuk menggerakkan budaya menanam di lahan pekarangan, baik di perkotaan maupun perdesaan. Kegiatan ini bertujuan untuk: memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari; meningkatkan kemampuan keluarga dalam pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan hasil serta limbah rumah tangga menjadi kompos; dan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkat kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri (Kementan, 2011) METODOLOGI Lokasi, Koordinat, dan Waktu Lokasi kegiatan kawasan model rumah pangan lestari (KRPL) adalah Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, yang berada pada titik koordinat 120o 36’ 59” Bujur Timur dan 3o 30’76” Lintang Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan mulai Januari hingga Desember 2012. 971 Tahapan Kegiatan Persiapan Persiapan meliputi : (1) Pengumpulan informasi awal tentang potensi sumberdaya dan kelompok sasaran, (2) Pertemuan dengan dinas terkait untuk mencari kesepakatan dalam penentuan calon kelompok sasaran dan lokasi, (3) Koordinasi dengan Dinas Pertanian dan Dinas Terkait lainnya di kabupaten/kota, (4) Memilih pendamping yang menguasai teknik pemberdayaan masyarakat sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Koordinasi dengan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Luwu, Dinas Pertanian Kabupaten Luwu menyarankan lokasi MKRPL adalah Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, sebab sebagian besar rumah mempunyai lahan pekarangan yang cukup luas dan belum dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, masyarakat setempat juga mudah diajak bekerjasama dan bergotong royong, serta kelompok tani setempat telah dikenal memiliki banyak pengalaman usaha tani dan telah mendapat berbagai penghargaan atas prestasinya dalam bidang pertanian. Dalam koordinasi ini, sekaligus ditentukan sebanyak 25 KK yang akan masuk dalam anggota KRPL. Pembentukan Kelompok Kelompok sasaran adalah rumahtangga atau kelompok rumahtangga dalam satu Rukun Tetangga, Rukun Warga atau satu dusun/kampung. Pendekatan yang digunakan adalah partisipatif, dengan melibatkan kelompok sasaran, tokoh masyarakat, dan perangkat desa. Kelompok dibentuk dari, oleh, dan untuk kepentingan para anggota kelompok itu sendiri. Dengan cara berkelompok akan tumbuh kekuatan gerak dari para anggota dengan prinsip keserasian, kebersamaan dan kepemimpinan dari mereka sendiri. Kelompok Wanita Tani di Desa Salu Paremang Selatan telah lama terbentuk, dengan nama KWT Harapan Sejahtera dengan Ketua: Nurhayati, Wakil Ketua: Sunarti, Sekretaris: Nurlela, Wakil Sekretaris: Musawwara, dan Bendahara: Hj. Bunga. Organisasi ini dilibatkan dalam kegiatan MKRPL dan diharapkan dapat membangun rumah pangan lestari dengan prinsip pemanfaatan pekarangan untuk pemenuhan pangan dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran dan meningkatkan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sosialisasi Dalam kegiatan sosialisasi disampaikan maksud dan tujuan kegiatan dan membuat kesepakatan awal untuk rencana tindak lanjut yang akan dilakukan. Kegiatan sosialisasi dilakukan terhadap kelompok sasaran dan pemuka masyarakat serta petugas pelaksana instansi terkait. Kegiatan sosialisasi dilakukan pada hari Kamis, tanggal 15 Maret 2012 di Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu. Pelaksanaan kegiatan sosialisasi dilakukan oleh Tim MKRPL BPTP Sulawesi Selatan untuk Kabupaten Luwu. Pesertanya diikuti oleh Kepala Desa Salu Paremang Selatan, Staf Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Luwu, Staf Dinas Pertanian Kabupaten Luwu, Ibu-Ibu anggota Kelompok Wanita Tani Harapan Sejahtera, Penyuluh setempat, tokoh masyarakat, dan anggota Kelompok Tani 972 Buah Harapan. Sosialisasi ini dihadiri kurang lebih 70 orang. Adapun acara dalam kegiatan ini, yakni sambutan yang dimulai oleh Kepala Desa Salu Paremang Selatan, dilanjutkan oleh Staf Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Luwu, dan disusul oleh sambutan dari penanggung jawab kegiatan MKRPL Kabupaten Luwu BPTP Sulsel, Dr. Ir. Sahardi, MS., yang menjelaskan tentang MKRPL dan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan. Acara sambutan dilanjutkan dengan diskusi, pembagian kelompok sebanyak 5 kelompok, serta pembagian polybag untuk wadah tanam. Acara ini berlangsung dari jam 09.00 wita sampai jam 13.00 wita, yang dipandu oleh anggota tim MKRPL Kabupaten Luwu dari BPTP Sulsel, Ir. Kartika Fauziah. Penguatan Kelembagaan Kelompok Penguatan Kelembagaan Kelompok dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kelompok: (1) mampu mengambil keputusan bersama melalui musyawarah; (2) mampu menaati keputusan yang telah ditetapkan bersama; (3) mampu memperoleh dan memanfaatkan informasi; (4) mampu untuk bekerjasama dalam kelompok (sifat kegotong-royongan); dan (5) mampu untuk bekerjasama dengan aparat maupun dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Kelompok Wanita Tani (KWT) Harapan Sejahtera merupakan kelompok yang kompak karena adanya hubungan kekeluargaan dan hubungan tetangga. Sehingga interaksi dengan pengurus dengan para anggotanya sangat baik. Dengan adanya kegiatan M-KRPL mulai dari perencanaan tanaman yang ditanam, pembibitan di KBD dan pembagian tanaman kepada setiap anggota berlangsung tertib dan penuh kekeluargaan. Setiap anggota mempunyai catatan mengenai jenis tanaman, tanggal tanam dan panen serta penjualan dan konsumsinya. Kebun Bibit Desa (KBD) KBD merupakan unit produksi benih dan bibit untuk memenuhi kebutuhan pekarangan dalam membangun Rumah Pangan Lestari (RPL) maupun kawasan. KBD ini bertujuan untuk mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfatan pekarangan Pembangunan Kebun bibit desa (KBD) dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu. Pembangunan KBD dilanjutkan dengan pesemaian benih. KWT Harapan Sejahtera sebagai anggota MKRPL secara bergiliran memelihara pesemaian di KBD dan menginformasikan bibit yang sudah bisa dipindahkan ke lapangan, baik ke rak vertikultur, polybag, maupun bedengan. Budidaya Tanaman Pesemaian Pesemaian dilakukan di Kebun Bibit Desa (KBD). Tanah pesemaian terdiri dari campuran tanah olah yang halus dicampur dengan pupuk organik hasil pelatihan dengan perbandingan 1 : 1. KBD menghadap ke timur dengan kemiringan + 45o agar sinar matahari pagi bisa masuk separuhnya dan setelah siang hari diharapkan yang masuk 60 – 70%. Benih tanaman sayuran dan pepaya sebelum disemaikan direndam dulu pada air hangat kuku (+45oC) 973 selama 1 jam dan diangin-anginkan sampai benih tidak lengket lalu benih tersebut disebar merata pada media kemudian ditutup tanah tipis-tipis. Benih tanaman sayuran dipindahkan ke wadah tanam (talang plastik). Bibit tanaman bisa dipindahkan/ditanam di polibag atau rak vertikultur pada fase bibit bedaun antara 4 – 5 helai. Penanaman Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah sub soil (kedalaman 20 cm ) dengan pupuk organik (pupuk kandang dan Petroganik). Media tanam dimasukkan dalam wadah talang, polybag besar atau tetap di bedengan, selanjutnya bibit tanaman dipindahkan pada media tanam yang sudah disiapkan. Penanaman dilakukan sore hari untuk menghindari kelayuan. Pemeliharaan Penyiraman dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari terutama pada satu minggu setelah tanam. Penyulaman dilakukan pada tanaman yang mati, penyiangan dilakukan 1 – 2 minggu sekali tergantung banyaknya gulma yang tumbuh. Pemupukan dilakukan dengan pupuk organik (pupuk kandang). Tanaman sayuran dapat dipanen sesuai umur panen jenis sayuran yang ditanam seperti bayam, kangkung dan sawi bisa dipanen pada umur 40 – 50 hari. Panen dapat dilakukan dengan cara mencabut seluruh tanaman, memotong pangkal batang dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Hasil panen segera dibawa ke tempat teduh agar tidak cepat layu karena terkena sinar matahari. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan utama kelompok wanita tani Harapan sejahtera adalah budidaya sayuran pada lahan pekarangan. Jumlah responden adalah 25 rumah tangga. Sejumlah jenis sayuran yang di usahakan pada lahan pekarang petani responden tersebut seperti tersaji pada Tabel 1. Dari Tabel 1. Nampak bahwa cabe besar ditanam 100 % oleh responden, menyusul tomat, cabe rawit dan terong ditanam 96% responden, sawi ditanam 88% dan kangkung 84% rumah tangga responden. Hasil panen sayuran yang di tanam di pekarangan oleh responden KRPL sebagian besar dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluaga sendiri dan hanya sebagian kecil yang dijual ke pedagang keliling. Menurut Department of Health & Human Services USA, konsumsi pangan berperanan dalam timbulnya 5 dari 10 penyakit penyebab kematian, yaitu jantung koroner, beberapa jenis kanker, stroke, diabetes tipe-2 (non-insulin dependent), dan aterosklerosis. Pola konsumsi pangan berkaitan dengan penyebab utama kematian di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya, yang dikarakterisasi dengan relatif tingginya konsumsi lemak jenuh, kolesterol, natrium, dan gula (refined sugar), serta relatif rendahnya konsumsi lemak tidak jenuh, biji-bijian, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan (Roberfroid, 1999 dalam Muchtadi, 2012). Banyak hasil penelitian menunjukkan konsumsi pangan tertentu atau senyawa bioaktif yang terkandung didalamnya berhubungan dengan penurunan risiko timbulnya penyakit (Hasler, 1998 dalam Muchtadi, 2012). Sebagian besar senyawa tersebut berasal dari pangan nabati, beberapa diantaranya berasal dari pangan hewani atau mikroba (Muchtadi, 2012). 974 Tabel 1. Jenis sayuran yang ditanam anggota KRPL KWT Harapan Sejahtera N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jenis Sayuran Tomat Cabe besar Cabe Rawit (kecil) Terong Sawi Paria Bayam Kangkung Gambas Seledri Daun Bawang Kacang Panjang Timun Pepaya Kelor Jml. Rumah Tangga yang menanam 24 25 24 24 22 14 6 21 17 19 21 12 5 17 3 Sumber: Data Primer setelah diolah, 2012 (%) 96 100 96 96 88 56 24 84 68 76 84 48 20 68 12 Banyak bukti, baik yang berasal dari studi epidemiologis maupun penelitian-penelitian in vitro dan in vivo serta percobaan klinis, mengindikasikan bahwa konsumsi pangan yang berasal dari tanaman dapat mengurangi risiko timbulnya penyakit kronis, terutama kanker. Block et al. (1992) dalam Muchtadi (2012) menyatakan bahwa berdasarkan 200 buah studi epidemiologis memperlihatkan bahwa risiko timbulnya penyakit kanker pada masyarakat yang mengonsumsi sayuran dan buah-buahan dalam jumlah tinggi hanya sekitar setengahnya dibandingkan dengan masyarakat yang kurang mengonsumsi bahan pangan tersebut. Dari data tersebut, terindikasikan bahwa dalam bahan pangan nabati terkandung senyawa lain selain zat-zat gizi, yang dapat mengurangi risiko timbulnya penyakit kanker tersebut. Steinmetz dan Potter (1991) dalam Muchtadi (2012) mengidentifikasi lebih dari selusin kelas bahan kimia yang terkandung dalam tanaman dan dapat aktif secara biologis, yang sekarang dikenal sebagai senyawa fitokimia. Tomat telah menjadi topik banyak penelitian, terutama menyangkut likopen yang merupakan karotenoid utama buah tomat (Gerster, 1997 dalam Muchtadi, 2012), serta peranannya dalam penurunan risiko timbulnya kanker (Weisburger, 1988 dalam Muchtadi, 2012). Dalam suatu penelitian cohort prospektif yang melibatkan lebih dari 47 000 orang laki-laki, ternyata bahwa mereka yang mengonsumsi produk tomat sepuluh kali atau lebih per minggu mempunyai risiko terkena kanker prostat 50% lebih rendah (Giovannuci et al. 1995 dalam Muchtadi, 2012). Penyakit kanker lain yang berhubungan terbalik dengan kadar likopen dalam serum atau jaringan, antara lain kanker payudara, saluran cerna, serviks, kantung empedu dan kulit (Clinton, 1998 dalam Muchtadi, 2012 ) serta mungkin kanker paru-paru (Li et al, 1997 dalam Muchtadi, 2012). Mekanisme yang diusulkan tentang bagaimana likopen dapat mempengaruhi risiko kanker, adalah berhubungan dengan fungsi antioksidannya. Likopen diketahui merupakan "pembersih" (quencher] singlet oksigen yang paling efisien dalam sistem biologis (Di Mascio et al. 1989 dalam Muchtadi, 2012). Fungsi antioksidan likopen dapat juga digunakan untuk menjelaskan hasil- 975 hasil penelitian di Eropa, bahwa kadar karotenoid dalam jaringan adiposa berhubungan terbalik dengan resiko infark miokardial (Kohlmeier dalam Muchtadi, 2012). Komponen sulfur pada bawang-bawangan yang berfungsi untuk mencegah agregasi platelet dan menurunkan kadar kolesterol. serat pangan (dietary fiber) dari berbagai sayuran, buah-buahan, serealia, dan kacangkacangan yang berperan untuk pencegahan timbulnya berbagai penyakit yang berkaitan dengan proses pencernaan; Kurkumin pada rimpang kunyit dan ltumeron pada rimpang temulawak yang berkhasiat untuk pengobatan berbagai penyakit; Selain sayuran dan buah-buahan, terdapat pula ikan yang dipelihara dalam kolam kecil di pekarangan. Ikan mengandung asam lemak omega-3 (n-3) merupakan asam lemak tidak jenuh jamak (poly-unsaturated fatty adds, PUFA). EPA (eikosapentaenoat) dan DHA (dokosaheksaenoat) diperoleh terutama dari minyak ikan (sekarang terdapat pula di pasaran EPA dan DHA yang berasal dari algae mikro). Diduga bahwa "Western Diet" defisien akan asam lemak omega-3 (Simopoulos, 1991 dalam Muchtadi, 2012), menarik perhatian para peneliti untuk rnengetahui peranan asam lemak omega-3 dalam sejumlah penyakit, terutama jantung koroner (PJK), kanker dan peranannya dalam perturnbuhan bayi. Bahwa asam lemak omega-3 mempunyai peranan penting dalam PJK, untuk pertama kali diutarakan pada tahun 1970-an oleh Bang dan Dyerberg, 1972 dalam Muchtadi, 2012 ). Mereka melaporkan bahwa orang Eskimo jarang mengidap PJK, padahal mereka banyak mengonsumsi makanan kaya akan lemak. Kardioprotektif konsumsi ikan telah diobservasi pada beberapa penelitian prospektif (Krumhout et al., 1985 dalam Muchtadi), tetapi tidak terbukti pada penelitian-penelitian lain (Ascherio et al, 1995 dalam Muchtadi, 2012). Hasil negatif dapat dijelaskan bahwa meskipun asam lemak omega-3 dapat menurunkan kadar trigliserida, tetapi asam lemak tersebut tidak dapat menurunkan kadar LDL (Hasler, 1998 dalam Muchtadi, 2012 ). Namun Daviglus et al. (1997) dalam Muchtadi, 2012) menunjukkan konsumsi ikan sebanyak 35 g atau lebih per hari dapat mengurangi risiko kematian akibat infark miokardial. Pola Pangan Harapan (PPH) dan Angka Kecukupan Energi (AKE) Menurut Peraturan Presiden No 22 tahun 2009 adalah Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal. Disamping itu Permentan No. 43 tahun 2009 mengenai Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal. Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan kelompok pangan yang didasarkan pada kontribusi energinya untuk memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas, keragamannya dinyatakan dengan skor PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan bergizi seimbang (skor PPH maksimal 100). Saat ini skor PPH tahun 2010 mencapai 84,5. Sasaran skor PPH : 95,pada tahun 2015 (Anonim, 2012). PPH tidak hanya memenuhi kecukupan gizi, akan tetapi sekaligus mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas dan kemampuan daya beli (Hardinsyah, 1996 dalam Baliwati, 2007). 976 Rata-rata skor awal pola pangan harapan (PPH) sebelum kegiatan MKRPL di Luwu adalah 76,55, dan setelah kegiatan KRPL, skor PPH meningkat menjadi 80,86 dengan rata-rata penghematan sebesar Rp. 190.000/kk/bulan. Setelah panen hasil pekarangan, anggota KRPL mengkonsumsi dan menjualnya sehingga selain meningkatkan PPH juga menambah pendapatan. Skor PPH setelah KRPL lebih tinggi dibanding sebelum KRPL. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan angka kecukupan gizi keluarga (Tabel 2). Tabel 2. Perkembangan M-KRPL Kabupaten Luwu Per November 2012 Jml KK Peserta KRPL 25 Penghematan Pengeluaran RT (Rp./Bulan/KK) Selang Rataan (Range) 150.000 250.000 190.000 Pola Pangan Harapan (PPH) Kelembagaan Pemasaran Sebelum Menerap kan RPL Setelah menerap kan KRPL Jenis Produk Jenis Pasar 76.55 80,86 Sayuran Pedagang Keliling Kisaran Tambahan Pendapatan Keluarga (Rp/KK) Sumber: Data primer setalah diolah, 2012 Konsumsi pangan anggota M-KRPL di Desa Salu Paremang Selatan, terbesar dititikberatkan pada kelompok pangan padi-padian sebagai sumber energi, diikuti sayur dan buah-buahan, dan pangan hewani (Tabel 3). Menurut Kandiana et al. (2009) pola konsumsi masyarakat Sulawesi Selatan untuk sumber karbohidrat dari padi-padian hampir sama dengan gambaran pola konsumsi pangan penduduk Indonesia. Semua sayuran cepat dipanen sehingga cepat pula dikonsumsi atau dijual. Sehingga kontribusi konsumsi lebih cepat dirasakan manfaatnya, baik untuk konsumsi maupun untuk dijual. Dengan adanya hasil panen sayur dan buah rumah tangga kelompok wanita tani Harapan Sejahtera dapat menghemat dan meningkatkan status gizinya. Tabel 3. Hasil perhitungan Skor Angka Kecukupan Energi (Skor AKE) sembilan kelompok pangan pada kegiatan M-KRPL Di Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji Berminyak Kacang2an Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total AKE Rata-Rata 196,8 2,6 84,6 46,5 1,5 20,4 16,9 147,7 13,1 530,0 Nilai Max 578,9 33,8 289,7 522,0 33,4 135,3 109,2 575,9 125,3 2403,4 Nilai Min 34,0 0,0 3,6 0,0 0,0 0,0 0,0 1,4 0,0 38,9 Sumber: Data primer setelah diolah, 2012 977 KESIMPULAN 1. Kelompok wanita tani Harapan Sejahtera Sebagai responden kegiatan M-KRPl menanam sejumlah 15 jenis sayuran, 100% rumah tangga menanam Cabe besar, kemudian disusul tomat, cabe rawit dan terong diusahakan oleh 96% dan 88% menanam Sawi, serta 84% menanam kangkung 2. Hasil panen usahatani pekarangan sebagian besar dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga sendiri dan hanya sebagian kecil yang dijual. 3. Pola Pangan Harapan petani responden meningkat dari 76,55, menjadi 80,86 setelah pelaksanaan kegiatan KRPL dan terdapat penghematan pengeluaran keluarga rata-rata sebesar Rp.190.000/KK/Bulan DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Metode Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Indikator M-KRPL. Salah Satu Badan Ketahanan Pangan. 2012. Metode Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Salah Satu Indikator M-KRPL. Baliwati, Y.F. (editor). 2007. Materi Pelatihan Analisis Ketersediaan Pangan Wilayah berdasarkan Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harian (PPH) (Tingkat I). Edisi Propinsi Jawa Barat. Kandiana, M. Reisi N. dan Ikeu T. 2009. Analisis Situasi Pangan dan Gizi Propisi Sulawesi Selatan Tahun 2005 dan 2007. Jurnal Ilmiah Agropolitan Vol. 2(1):128 – 135. Kementerian Pertanian. 2011. Panduan Umum Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta. Mardharini, M. Ketut, K., Zakiyah, Dalmadi dan A. Susakti. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Balai Besar dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. Muchtadi. 2012. Pangan Fungsional dan Senyawa Bioaktif. Alfabeta, Bandung. 252 hal. 978 PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM PROGRAM KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG USAHA DIVERSIFIKASI PANGAN DI KABUPATEN TAKALAR PROVINSI SULAWESI SELATAN Wanti Dewayani, Amir Syam, Rahmatiah Djamaluddin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 17,5 Makassar Tlp. 0411-556449, Fax 0411-554522 ABSTRAK Di Sulawesi Selatan, khususnya di kabupaten Takalar, pemanfaatan pekarangan belum optimal dan sebagian besar masih kosong. Dengan inovasi kreatifitas, lahan pekarangan dapat ditata sedemikian rupa sehingga jenis tanaman apapun bisa memiliki multi fungsi sebagai bahan pemenuhan kebutuhan gizi serta sumber pendapatan keluarga. Tujuan kegiatan ini adalah memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari; Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan limbah jerami menjadi pupuk organik, mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan, mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkat kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri. Lokasi kawasan model rumah pangan lestarii (KRPL) adalah desa Parangmata, Kecamatan Galesong, Suawesi Selatan. Daerah tersebut berada pada koordinat 119o 22l 47ll Bujur Timur dan 5o 19l 35ll Lintang Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan mulai Januari hingga Desember 2012. Hasil kegiatan menunjukkan Hasil panen sebagian besar anggota KRPL ada yang hanya mengkonsumsi hasil pekarangannya, ada yang selain mengkonsumsi juga sebagian dijual dan ada pula yang menjual semua hasil pekarangannya. Hasil penjualan beberapa jenis sayuran dan buah selama kegiatan MKRPL dengan tambahan pendapatan mulai Rp. 2.333 – Rp. 212.333 per bulan. Pemasaran dilakukan di pasar Terong Makassar. Ada peningkatan Pola Pangan Harian setelah program KRPL dilaksanakan. Skor awal PPH adalah 63,18 dengan rata-rata pengeluaran untuk pangan Rp. 56.750/hari. Setelah kegiatan KRPL, skor PPH meningkat menjadi 71,20 dengan rata-rata pengeluaran pangan Rp. 57.415/hari. Anggota KRPL menghemat pada komoditi sayuran dan buah sebesar Rp. 448.195 per bulan dan umbi (ubi kayu dan ubi jalar) sebesar Rp 113.420/ bulan. Kata kunci : KRPL, pekarangan, penghematan pendapatan PENDAHULUAN Ketahanan pangan (food security) menjadi focus perhatian pemerintah saat ini. Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Atas dasar hal itu, maka terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia. Presiden RI pada 979 acara Konferensi Dewan Ketahanan Pangan bulan Oktober 2010 di Jakarta juga mengemukakan bahwa ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga. Terkait dengan hal tersebut, pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga (Mardharini dkk., 2011). Luas lahan pekarangan secara nasional sekitar 10,3 juta ha atau 14% dari keseluruhan luas lahan pertanian. Lahan pekarangan tersebut merupakan sumber potensial penyedia berbagai jenis bahan (diversifikasi) pangan yang bernilai gizi dan memiliki nilai ekonomi tinggi jika dikelola dengan inovatif. Lahan tersebut sebagian besar masih belum dimanfaatkan sebagai areal pertanaman aneka komoditas pertanian, khususnya komoditas pangan. Perhatian masyarakat terhadap pemanfaatan lahan pekarangan relatif masih kurang, sehingga pengembangan berbagai inovasi yang terkait dengan lahan pekarangan belum banyak dilakukan. Di Sulawesi Selatan, khususnya di kabupaten Takalar, pemanfaatan pekarangan belum optimal dan sebagian besar masih kosong. Dengan inovasi kreatifitas, lahan pekarangan dapat ditata sedemikian rupa sehingga jenis tanaman apapun bisa memiliki nilai estetika sama dengan tanaman hias dan memiliki multi fungsi sebagai bahan pemenuhan kebutuhan gizi serta sumber pendapatan keluarga. Pemanfaatan lahan pekarangan dengan jenis tanaman: pangan, hortikultura, obat-obatan, ternak, ikan dan lainnya, selain dapat memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, juga berpeluang memperbanyak sumber penghasilan rumah tangga, apabila dirancang dan direncanakan dengan baik. Kementerian Pertanian telah menyusun suatu konsep yang disebut dengan “Kawasan Rumah Pangan Lestari” (KRPL), yang dibangun dari kumpulan Rumah Pangan Lestari (RPL). Masing-masing RPL diharapkan memenuhi prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran, dan meningkatkan pendapatan, serta pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan melalui partisipasi masyarakat. Badan Litbang Pertanian melalui 65 Unit Kerja (UK) dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia siap mendukung upaya optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan melalui dukungan inovasi teknologi dan bimbingan teknis. Komitmen pemerintah untuk melibatkan rumah tangga dalam mewujudkan kemandirian pangan tersebut perlu diaktualisasikan dalam bentuk menggerakkan lagi budaya menanam di lahan pekarangan, baik di perkotaan maupun di perdesaan. BPTP Sulawesi Selatan sebagai Unit Kerja Badan Litbang Pertanian telah dan siap berperan aktif dalam pengembangan KRPL di wilayah Sulawesi Selatan. Bentuk dukungan yang akan dilakukan antara lain: (a) Penyusunan Juklak dan Juknis KRPL; (b) Koordinasi dan sosialisasi kegiatan KRPL; (c) Pelaksanaan kegiatan KRPL yang akan berlangsung di 15 kabupaten, dan (d) Upaya pengembangan KRPL di lokasi Lain. Pengembangan Model KRPL bertujuan untuk: 1. Memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari; 2. Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, dan 980 tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan hasil serta pengolahan limbah rumah tangga menjadi kompos; 3. Mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan; dan 4. Mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkat kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri. BAHAN DAN METODE Kegiatan dilaksanakan di desa Parangmata, Kecamatan Galesong, Suawesi Selatan. Daerah tersebut berada pada koordinat 119o 22l 47ll Bujur Timur dan 5o 19l 35ll Lintang Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan mulai Januari hingga Desember 2012. Bahan yang digunakan adalah benih sayuran (tomat, cabai besar dan kecil, kacang hijau, kacang panjang, sawi, mentimun, terong, paria, kelor, seledri, jagung manis dan kangkung darat), buah-buahan (bengkuang, pepaya), ubi-ubian ( ubi kayu, ubi jalar ungu dan putih), tanaman rempah dan obat (jahe (merah, putih), kunyit, lengkuas (merah dan putih) dan sereh), jerami, starter promi, bambu, paku, tali, terpal plastik, benih ikan, rak vertikultur, cangkul, pupuk organik, buku tulis, pulpen, dll. Persiapan Persiapan meliputi : (1) pengumpulan informasi awal tentang potensi sumberdaya dan kelompok sasaran, (2) pertemuan dengan dinas terkait untuk mencari kesepakatan dalam penentuan calon kelompok sasaran dan lokasi, (3) koordinasi dengan Badan Ketahanan Pangan dan Dinas Terkait lainnya di Kabupaten/Kota, (4) memilih pendamping yang menguasai teknik pemberdayaan masyarakat sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, (5) pembentukan kelompkok wanita tani (KWT), sosialisasi dan wawancara dengan anggota KWT sebelum kegiatan dilaksanakan. Pelaksanaan Pelaksanaan meliputi pembuatan kebun bibit desa (KBD), pelatihan pembuatan pupuk organik dari jerami padi sesuai anjuran dengan starter promi, pesemaian di KBD dan penanaman di lahan pekarangan sesuai rekomendasi yang dianjurkan, pengembangan jumlah anggota KWT dan wawancara setelah kegiatan dilaksanakan serta temu lapang. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan observasi langsung dan wawancara semi terstruktur. Data yang dikumpulkan mencakup jenis komditi yang ditanam, jumlah produksi, jumlah yang dikunsumsi, jumlah yang dijual, pengukuran Pola Pangan Harapan (PPH) sebelum dan sesudah kegiatan (Anonim, 2012), lokasi pemasaran hasil, dll. data dianalisa secara deskriptif (Steel and Torrie, 1995). 981 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi dan Pemasaran Hasil panen tanaman pekarangan anggota KRPL ada yang hanya dikonsumsi (tidak dijual) dan ada pula yang menjual dan mengkonsumsi serta ada pula yang menjual semua hasil pekarangannya. Di bawah ini (Tabel 1) hasil penjualan beberapa jenis sayuran dan buah selama kegiatan MKRPL dengan tambahan pendapatan mulai Rp. 2.333 – Rp. 212.333 per bulan. Jenis produk yang dipasarkan adalah sayuran segar dan buah segar. Mereka memasarkan produknya di pasar Terong, salah satu pasar basah di Makassar. Pasar Terong dapat ditempuh selama 1 jam dari lokasi anggota KRPL. Tabel 1. Tambahan pendapatan keluarga responden yang menjual hasil panennya selama kegiatan program M-KRPL No. 1. 2. 3. 7. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Nama Rinawati Saharia Suriani dg. Tayu Kartini dg Kebo Mansia dg. Lu’mu Zaenab dg. Senga Supiani Mariati Jumasia Hj. Sangnging Jumlah Pendapatan keluarga (Rp)/KK Per tiga bulan Per bulan 17.000 5.667 13.500 4.500 50.000 16.667 22.000 7.333 135.000 45.000 637.000 212.333 7.000 2.333 500.000 166.667 23.000 7.666 68.000 22.667 PPH (Pola Pangan Harapan) Pola pangan harapan (PPH) dapat digunakan sebagai ukuran keseimbangan dan keanekaragaman pangan, dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit kebutuhan zat gizi juga terpenuhi. Oleh karena itu skor pola konsumsi pangan mencerminkan mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman konsumsi pangan. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang (Hardinsyah, et.al. 2001 dalam Baliwati, 2007). Pada Tabel 2 terlihat, rata-rata skor awal pola pangan harian (PPH) sebelum kegiatan adalah 63,18 dengan rata-rata pengeluaran untuk pangan Rp. 56.750/hari. Setelah kegiatan KRPL, skor PPH meningkat menjadi 71,20 dengan rata-rata pengeluaran pangan Rp. 57.415/hari. Peningkatan skor PPH sebesar 8,02 sedangkan peningkatan pengeluaran hanya Rp. 665. Hal ini karena sebelum program, anggota KRPL membeli semua kebutuhannya termasuk konsumsi pangan dan tidak ada tambahan pendapatan. Sedangkan setelah panen hasil pekarangannya, anggota KRPL mengkonsumsi dan menjualnya sehingga selain meningkatkan PPH juga meningkatkan pendapatan. Rata-rata PPH setelah panen adalah 71,20. Skor PPH lebih tinggi daripada skor awal sebelum kegiatan KRPL dilaksanakan. Namun skor ini masih di bawah 982 standar (100) demikian pula kualitas pangan belum baik. Konsumsi pangan masih dititiberatkan pada padi-padian sebagai sumber energi, dan masih kurang mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Sehingga hasil panen dari pekarangannya sebagian besar dijual. Menurut Kandiana dkk. (2009) pola konsumsi masyarakat Sulawesi Selatan untuk sumber karbohidrat dari padipadian hampir sama dengan gambaran pola konsumsi pangan penduduk Indonesia. Tabel 2. Daftar pola pangan harapan (PPH) dan pengeluaran konsumsi pangan sebelum dan sesudah kegiatan KRPL di Kabupaten Takalar No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 Total Rata-rata Skor Awal PPH 66.24 56.52 54.013 47.16 73.75 75.38 72 50.29 85.53 59.75 54.365 Pengeluaran (Rp) 37260 118630 56965 59875 57775 40843 40000 45994 81504 46698 38716 694.998 63.18 624.260 56.750 Skor Akhir PPH 84.35 99.78 62.53 100 100 99.32 73.56 63.653 91.5 75.598 81.64 60.07 63.15 61.37 32.68 72.49 26.94 63.58 62.02 62.66 51.5 49.21 100 89 57.97 75.398 86.78 55.26 97.26 62.39 44.48 72.14 2278.277 71.20 Pengeluaran (Rp) 47.674 91.803 30.178 122.620 56.530 247.170 24.575 143.320 39.710 40.628 76.316 25.452 20.730 13.270 8.125 22.187 75.262 13.740 28.040 75.020 13.479 35.360 136.402 106.660 19.348 98.235 53.465 29.730 64.094 38.525 18.950 20.680 1.837.278 57.415 Penghematan dengan pemanfaatan Pekarangan Anggota KRPL menghemat pada komoditi sayuran dan buah sebesar Rp. 448.195 per bulan dan umbi (ubi kayu dan ubi jalar) sebesar Rp 113.420/ bulan (Tabel 3) 983 Tabel 3. Penghematan sayur, buah dan buah anggota KRPL No. Responden Sayur dan Buah (Rp) Ubi jalar dan ubi kayu (Rp) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 26570 19500 10000 31250 19300 6820 500 4200 1000 6990 30000 41000 2250 7550 15000 5750 2500 7000 4750 0 0 0 0 0 2500 12500 0 0 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 11645 1690 27710 15200 2840 500 83700 12760 180 5400 18750 2090 7550 37500 2000 11750 0 0 1000 0 5000 0 0 0 8250 46170 0 0 0 0 3000 0 Rata-rata/hari 14939.83 3780.667 Rata-rata /bulan 448.195 113.420 Jenis tanaman yang ditanam adalah bengkuang, pepaya, kacang hijau, kangkung, kacang panjang, sawi, mentimun, terong, pare, seledri, jagung manis, tomat, lombok besar dan lombok kecil, jahe, kunyit, lengkuas, kelor, sereh, ubi kayu, ubi jalar, dll. Semua sayuran cepat dipanen sehingga cepat pula dikonsumsi atau dijual. Demikian pula dengan ubi jalar dan ubi kayu yang telah ditanam sebelumnya. Sehingga kontribusi konsumsi dan umbi lebih cepat dirasakan manfaatnya, baik untuk konsumsi maupun untuk dijual. Dengan adanya hasil 984 panen sayur, buah, ubi jalar dan ubi kayu, kelompok wanita tani Pangan Lestari dapat menghemat dan meningkatkan status gizinya. KESIMPULAN 1. Hasil panen sebagian besar anggota KRPL ada yang hanya mengkonsumsi hasil pekarangannya, ada yang selain mengkonsumsi juga sebagian dijual dan ada pula yang menjual semua hasil pekarangannya. 2. Hasil penjualan beberapa jenis sayuran dan buah selama kegiatan MKRPL dengan tambahan pendapatan mulai Rp. 2.333 – Rp. 212.333 per bulan. Pemasaran dilakukan di pasar Terong Makassar. 3. Ada peningkatan Pola Pangan Harian setelah program KRPL dilaksanakan. Rata-rata skor awal pola pangan harian (PPH) sebelum kegiatan adalah 63,18 dengan rata-rata pengeluaran untuk pangan Rp. 56.750/hari. Setelah kegiatan KRPL, skor PPH meningkat menjadi 71,20 dengan rata-rata pengeluaran pangan Rp. 57.415/hari. 4. Anggota KRPL menghemat pada komoditi sayuran dan buah sebesar Rp. 448.195 per bulan dan umbi (ubi kayu dan ubi jalar) sebesar Rp 113.420/ bulan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Metode perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Indikator M-KRPL. Salah Satu Baliwati, Y.F. (editor). 2007. Materi Pelatihan Analisis Ketersediaan Pangan Wilayah berdasarkan Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harian (PPH) (Tingkat I). Edisi Propinsi Jawa Barat. Kandiana, M. Reisi N. dan Ikeu T. 2009. Analisis Situasi Pangan dan Gizi Propisi Sulawesi Selatan Tahun 2005 dan 2007. Jurnal Ilmiah Agropolitan Vol. 2(1):128 – 135. Mardharini, M. Ketut, K., Zakiyah, Dalmadi dan A. Susakti. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Balai Besar dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H. 1995. Principles and Procedures of Statistics a Biometrical Approach. Mc.Graw Hill, New York. 985 PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI DESA MATTOMBONG KECAMATAN MATTIROSOMPE KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN Hasnah Juddawi1 dan Suardy Mandung2 Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar 2 Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar Email : [email protected] 1 ABSTRAK Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.Oleh karenanya pemantapan ketahanan pangan dilakukan melalui pemantapan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi keluarga dapat dilakukan melalui pemanfaatkan sumberdaya yang tersedia maupun yang dapat disediakan di lingkungannya. Inovasi teknologi pemanfaatan lahan pekarangan dalam bentuk kawasan rumah panganl estari sebagai model (M-KRPL),sehingga kegiatan ini merupakan sarana komunikasi, evaluasi dan diskusi antara w a n i t a tani,penyuluh,peneliti dan pengambil kebijakan. Program M-KRPL ini dilaksanakan di Desa Mattombong, Kecamatan Mattirosompe, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan, berlangsung dari Januari sampai Desember 2012. Kegiatan ini bersifat partisifatif dan dilaksanakan di 25 pekarangan rumah kelompok wanitatani Mekarsari sebagai petani kooperator, didampingi oleh penyuluh, peneliti dan teknisi BPTP Sul-Sel serta penyuluh kabupaten Pinrang. Hasil yang diperoleh yaitu: Kebutuhan pangan khususnya sayuran dan makanan tambahan dari umbi dapat terpenuhi dari lahan pekarangan.. PPH yang diperoleh sebesar 86,2. dengan sebaran 20 orang (80%) diatas skor PPH provinsi, 3 keluarga binaan (12%) antara skor nasional dan provinsi Sulawesi Selatan dan hanya 2 keluarga binaan (8%) dibawah skor nasional, sehingga pengeluaran rumah tangga dapat berkurang Rp.265.000,- (Rp. 200.000,- – Rp. 250.000,-)/bulan, bahkan keluarga binaan mendapatkan tambahan pendapatan Rp.75.000,- - Rp.100.000,-/bulan. Kata kunci : Lahan pekarangan, ketahanan Pangan, pola pangan harapan PENDAHULUAN Pembangunan ketahanan pangan mempunyai cirri cakupan luas, adanya keterlibatan lintas sektor, multi disiplin serta penekanan pada basis sumberdaya lokal. Salah satu butir pembangunan ketahanan pangan adalah mengembangkan ketersediaan dan mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan berbasis pangan lokal, melalui: (a) menjamin ketersediaan sarana dan prasarana produksi, (b) mengendalikan alih fungsi lahan, (c) melakukan pengkajian dan penerapan berbagai teknologi tepat guna pengolahan pangan berbasis tepungtepungan dan aneka pangan lokal lainnya, (d) menetapkan hari-hari tertentu sebagai hari mengkonsumsi pangan lokal, (e) mendorong berkembangnya 986 kantin/warung desa/sekolah/perguruan tinggi untuk memanfaatkan bahan-bahan pangan lokal. Saat ini konsumsi beras mencapai 139 kg/kapita/tahun. Menurut Wakil Menteri Pertanian, konsumsi ini perlu ditiurunkan, idealnya pada kisaran 90 hingga 100 kg/kapita/tahun, selanjutnya Presiden RI pada acara Konferensi Dewan Ketahanan Pangan di Jakarta International Convention Center (JICC) bulan Oktober 2010, menyatakan bahwa ketahanan pangan nasional harus dimulai darirumah tangga melalui pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternative untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga (Anonim, 2011). Dalam masyarakat perdesaan, pemanfaatan lahan pekarangan untuk ditanami tanaman kebutuhan keluarga sudah berlangsung dalam waktu yang lama dan masih berkembang hingga sekarang meski dijumpai barbagai pergeseran (Saliem, 2011). Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa “ Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin pada tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah, mutu serta aman, merata dan terjangkau”, Atas dasar tersebut, maka terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia (Saliem,2011). Ketahanan pangan (food security) menjadi focus perhatian pemerintah saat ini. Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Atas dasar hal itu, maka terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia. Presiden RI pada acara Konferensi Dewan Ketahanan Pangan bulan Oktober 2010 di Jakarta juga mengemukakan bahwa ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga. Terkait dengan hal tersebut, pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga (Mardharini dkk., 2011). Menurut Rachman dan Ariani (2007) bahwa tersedianya pangan yang cukup secara nasional maupun wilayah merupakan syarat dari terwujudnya ketahanan pangan nasional. Namun itu saja tidak cukup, syarat kecukupan yang harus dipenuhi adalah terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga. Di Sulawesi Selatan, pemanfatan lahan pekarangan masih didominansi tanaman hias, terutama di daerah perkotaan yang sudah mengerti nilai estetika. Dengan inovasi dan kreatifitas lahan pekarangan dapat ditata sehingga memiliki multi fungsi baik sebagai bahan pemenuhan kebutuhan gizi serta sumber pendapatan keluarga. Hal ini terlihat dengan realisasi konsumsi masyarakat yang masih di bawah anjuran pemenuhan gizi yang ditunjukkan melalui indikator skot Pola Pangan Harapan (PPH) nasional masih rendah 75,7 tahun 2009. Tahun 2010 PPH Provinsi Sulawesi Selatan masih 84,5, dan ditargetkan pada tahun 2015 angka PPH mencapai 90 (Badan Litbang, 2011). Guna memenuhi kebutuhan sayur rumah tangga dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan pekarangan dengan diversivikasi komoditi sayuran, melalui pengembangan suatu Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (Model KRPL). Tujuan untuk 987 memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga melalui pemanfaatan lahan pekarangan dan terciptanya kemandirian pangan keluarga diversifikasi pangan berbasis pangan, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, dan peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan M-KRPL dilaksanakan di Desa Mattombong, Kecamatan Mattirosompe, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan, berlangsung dari bulan Januari sampai Desember 2012. Tahapan Pelaksanaan 1. Persiapan, diawali dengan pengumpulan informasi awal tentang potensi sumberdaya dan kelompok sasaran yang dilakukan melalui metode PRA 2. Pembentukan Kelompok, adalah rumahtangga atau kelompok rumahtangga dalam satu Rukun Tetangga, Rukun Warga atau satu dusun/kampung melalui pendekatan partisipatif. 3. Sosialisasi, kegiatan sosialisasi dilakukan terhadap kelompok sasaran dan pemuka masyarakat serta petugas pelaksana, instansi terkait untuk memberi gambaran dan penjelasan mengenai kegiatan M-KRPL. 4. Pengembangan Jumlah Rumah Tangga, melibatkan 25 rumah tangga sebagai pelaksana kegiatan M-KRPL. 5. Penguatan Kelembagaan Kelompok, dilakukan melalui pelatihan. 6. Kebun Bibit Desa (KBD), untuk menunjang ketersediaan bibit telah dibuat. 7. Sistem AgribisnisBudidaya Sayuran, Buah dan Peternakan Unggas Jenis Data dan Informasi yang Dikumpulkan Adapun data yang dikumpulkan meliputi :datakomsumsi energi dalam perhitungan pola pangan harian padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak/lemak, buah biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayuran dan buah, dan nilai rupiah sumber energi pola pangan harian emnggunakan kuisioner. Data yang dikumpulkan dianalisis sederhana untuk melihat penyebaran komsumsi energi keluargadan analisis agribisnis M-KRPL. HASIL DAN PEMBAHASAN PPH (Pola Pangan Harapan) Nilai atau skor PPH yang diperoleh mencerminkan tingkat keragaman konsumsi pangan dalam rumah tangga. Hasil perhitungan PPH untuk Kelompok binaan KWT Mekar Sari sesudah kegiatan M-KRPL dapat dilihat pada Tabel 1.Berdassarkan Tabel 2. Rata-rata Skor PPH yang diperoleh sebesar 86,2. Nilai ini masih lebih tinggi dari perolehan nilai PPH secara nasional tahun 2009 yaitu 75,7 dan nilai PPH Provinsi Sulawesi Selatan 84,5, dengan sebaran 20 orang (80%) diatas skor PPH provinsi, 3 keluarga binaan (12%) antara skor nasional 988 dan provinsi Sulawesi Selatan dan hanya 2 keluarga binaan (8%) dibawah skor nasional, bahkan 4 keluarga binaan (16%) diatas 90,0. Tabel 1. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Kelompok Wanita Tani (KWT) Mekar Sari, peserta M-KRPL Dusun Beru, Desa Mattombong, Kecamatan Mattirosompe Kabupaten Pinrang, 2012 No Nama 1 Timang 2 Darmawati 3 Dada 4 Pa’Bangnga 5 Aminah 6 Maja 7 Manniaga 8 Sunni 9 Hasnah 10 Sri Agustina 11 Bara 12 Andi Wildana 13 Dilla 14 Samma 15 Hasmiati 16 Andi Nuraeni 17 Hj. Hasnah 18 Rahmawati Mustari 19 Aliyah 20 Hj. Nanda 21 Sitti Rahma 22 Hariani 23 Hj.Sirailu 24 Muti 25 Hj. Nurhayati Rata-rata PPH Keterangan: Total AKE 598,1 667,8 720,0 421,3 323,1 527,3 593,7 719,7 247,0 273,5 553,6 447,6 216,3 320,1 464,4 534,3 281,2 257,1 416,7 348,3 433,7 495,1 254,4 162,3 390,9 Skor PPH 86,5 86,5 89,0 86,5 81,7 90,0 97,5 86,2 80,1 89,7 87,5 93,2 86,5 87,5 86,5 96,5 96,2 89,0 86,5 86,5 81,5 86,5 81,5 62,5 65,0 86,2 Keterangan A A A A B A+ A+ A B A A A A A A A+ A+ A A A B A B C C A = Skor > 85,0 = 20 keluarga binaan (80%) B = Skor 76,0 - 84,5 (Sulawesi Selatan) = 3 keluarga binaan (12%) C = Skor < 75,7 (Standar Nasional) = 2 keluarga binaan (8%) Hal ini menunjukkan program M-KRPL dapat meningkatkan keragaman konsumsi pangan terutama kelompok sayur dan buah. Rendahnya nilai PPH yang diperoleh pada 2 keluarga binaan disebabkan karena keluarga binaan MKRPL tersebut belum mengelola pengadaan kebutuhan protein seperti kolam ikan atau ternak ayam. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut mereka masih harus membeli. Faktor lainnya disebabkan oleh jumlah anggota rumah tangga yang banyak sehingga total energi yang diperoleh per individu juga rendah. 989 Tabel 2. PPH berdasarkan Energi Pangan Kelompok Wanita Tani (KWT) Mekar Sari, peserta M-KRPL Dusun Beru, Desa Mattombong, Kecamatan Mattirosompe Kabupaten Pinrang, 2012 No Nama KWT 1 2 1 Timang 2 Darmawati 3 Dada 4 Pa’Bangnga 5 Aminah 6 Maja 7 Manniaga 8 Sunni 9 Hasnah 10 Sri Agustina 11 Bara 12 Andi Wildana 13 Dilla 14 Samma 15 Hasmiati 16 Andi Nuraeni 17 Hj. Hasnah 18 Rahmawati M. 19 Aliyah 20 Hj. Nanda 21 Sitti Rahma 22 Hariani 23 Hj.Sirailu 24 Muti 25 Hj. Nurhayati Rata-rata Energi Skor Maksimum Skor PPH PadiUmbi- Pangan padian umbian hewani 3 138,7 149,1 291,7 120,4 89,5 102,9 165,7 246,3 80,6 180,5 180,5 141,2 109,7 80,6 119,7 85,9 69,3 83,4 101,4 171,6 235,6 60,4 123,0 89,5 260,0 135,1 25,0 25,0 4 38,3 16,4 21,1 15,7 9,5 15,7 18,9 5,4 2,5 2,5 5 283,2 268,2 153,2 130,6 72,6 116,4 102,1 153,5 90,4 49,6 108,8 103,2 51,9 25,8 248,5 162,6 97,4 60,4 195,3 54,2 157,3 331,2 66,3 123,3 24,0 24,0 Minyak Buah/biji Kacang & Berminyak Kacangan lemak 6 7 8 43,5 8,7 43,5 96,0 34,8 8,3 80,0 33,4 54,1 16,7 45,8 130,5 8,3 16,7 35,8 39,3 16,7 1,7 40,0 43,5 52,2 16,7 21,8 8,7 52,6 21,8 57,2 27,1 17,4 17,4 1,7 21,8 73,2 33,5 4,7 9,3 5,0 1,0 10,0 5,0 1,0 9,3 Sumber : Data primer setelah diolah, 2012. Gula 9 4,6 16,0 17,4 0,7 1,1 5,1 1,2 1,2 11,6 0,7 5,1 13,2 5,1 5,1 7,3 3,7 2,2 3,6 2,9 4,6 3,6 1,5 1,5 4,4 2,3 5,0 2,5 2,5 Sayur & Buah 10 127 222,4 175,0 72,3 116,3 172,4 205,5 179,4 26,5 105,5 202,9 148,3 5,5 139,7 67,1 204,5 33,0 72,7 98,3 100,3 36,5 84,6 68,5 46,7 30,4 109,4 30,0 30,0 Lain -lain Total AKE 11 1,2 3,4 0,9 1,3 0,5 0,7 2,7 0,5 0,0 1,3 0,3 0,0 0,5 0,0 0,1 0,6 0,3 0,3 1,3 0,2 0,7 0,0 0,2 0,1 6,1 0,9 0 12 598,1 667,8 720,0 421,3 323,1 527,3 593,7 719,7 247,0 273,5 553,6 447,6 216,3 320,1 464,4 534,3 281,2 257,1 416,7 348,3 433,7 495,1 254,4 162,3 390,9 426,7 100,0 99,3 Agribisnis M-KRPL Program M-KRPL berpeluang sangat besar untuk dikembangkan di Kabupaten Pinrang, hal ini terlihat dari keaktifan dari para peserta binaan dalam merespon kegiatan ini. Diharapkan untuk pengembangan ke depan program ini mampu meningkatkan nilai skor PPH masyarakat secara keseluruhan, tentu dengan dukungan teknologi dan dukungan dari stakeholder yang terkait. Melalui program M-KRPL diharapkan pengeluaran rumah tangga juga akan berkurang terutama pengeluaran yang berhubungan dengan kebutuhan pangan umbiumbian, sayur dan buah serta pangan hewani. Pengeluaran rumah tangga binaan KRPL kabupaten Pinrang dapat dilihat pada Tabel 3a,b dan c. 990 Tabel No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 3a. Pengeluaran Keluarga Binaan 1-10) peserta M-KRPL, Desa Mattombong, Kecamatan Mattirosompe Kabupaten Pinrang, 2012 Uraian Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak lemak Buah (minyak) Kacang2an Gula Sayur / Buah Lain-lain Total Keluarga tani 1 2 11.345 26.845 53.150 48.250 2.375 475 3.750 13.200 19.825 59.375 9.220 21.641 99.665 169.786 3 23.950 6.325 22.300 2.375 10.325 23.180 7.015 95.470 Sumber : Data primer setelah diolah, 2012. 4 9.110 32.000 11.000 600 7.575 10.611 70.896 5 7.230 15.000 1.900 750 900 16.863 3.576 46.219 6 7 8.455 12.685 1.250 22.500 40.355 4.370 2.165 3.000 1.500 458 4.200 960 18.175 16.225 5.650 32.699 67.600 107.047 8 18.915 30.000 7.125 750 960 12.775 5.966 76.491 9 6.230 1.625 15.000 1.500 8.910 15.575 710 49.550 Tabel 3b. Pengeluaran Keluarga Binaan (11-20) peserta M-KRPL Desa Mattombong, Kecamatan Mattirosompe Kabupaten Pinrang, 2012 No Uraian Keluarga tani 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak lemak Buah (minyak) Kacang2an Gula Sayur / Buah Lain-lain Total 11 12 13 14 15 16 17 18 6.230 18.401 43.730 19.730 6.230 11.430 7.030 5.673 28.765 8.533 12.260 15.000 9.092 3.750 39.650 1.750 44.050 15.000 1.525 15.615 358 600 31.675 1.750 49.145 5.025 1.500 4.200 8.325 2.104 51.815 95 400 8.351 21.275 854 89.705 2.375 4.200 3.050 3.733 42.180 2.850 1.500 3.510 9.500 394 27.734 1.188 6.000 11.775 1.069 71.112 475 526 2.920 36.600 8.084 101.435 1.188 572 1.800 9.475 4.330 38.037 1.082 3.000 19.875 5.675 75.538 Sumber : Data primer setelah diolah, 2012. Umumnya kebutuhan untuk umbi-umbian diperoleh dari kebun sendiri, belum dari KRPL karena belum menghasilkan.Kebutuhan sayur keluarga binaan terutama bayam, terong, kangkung, tomat, sawi, kacang panjang dan cabe dari kebun KRPL, sudah terpenuhi, sehingga pengeluaran rumah tangga dapat berkurang Rp.265.000,- (Rp.200.000,- – 250.000,-)/bulan, bahkan keluarga binaan mendapatkan tambahan pendapatan Rp.75.000,- -Rp.100.000,-/bulan. 991 Tabel 3c. Pengeluaran Keluarga Binaan (21-25) peserta M-KRPL Desa Mattombong, Kecamatan Mattirosompe Kabupaten Pinrang, 2012 No Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak lemak Buah (minyak) Kacang2an Gula Sayur / Buah Lain-lain Total Keluarga tani 19 20 21 22 23 24 7.855 14.773 950 10.730 9.000 950 34.345 47.717 - 4.673 1.750 29.571 95 9.665 663 - 7.230 1.188 2.400 18.975 8.690 53.643 3.750 20.388 3.940 48.758 3.000 6.113 4.190 95.365 1.200 21.550 2.488 61.326 1.200 7.500 2.365 21.393 25 Per kapita 54.230 4.000 6.300 3.206 146 4.346 444 16.028 729 21.729 2.222 3.600 1.875 30.125 21.700 1.363 51.935 43.505 140.040 84 19 763 3.740 1.600 14.348 420 93 3.816 18.699 8.002 71.738 Sumber : Data primer setelah diolah, 2012. KESIMPULAN 1. 2. Kebutuhan pangan khususnya sayuran dan makanan tambahan dari umbi dapat terpenuhi dari lahan pekarangan. PPH yang diperoleh sebesar 86,2. dengan sebaran 20 orang (80%) diatas skor PPH provinsi, 3 keluarga binaan (12%) antara skor nasional dan provinsi Sulawesi Selatan dan hanya 2 keluarga binaan (8%) dibawah skor nasional. Kebutuhan sayur keluarga binaan terutama bayam, terong, kangkung, tomat, sawi, kacang panjang dan cabe dari kebun KRPLsudah terpenuhi, sehingga pengeluaran rumah tangga dapat berkurang Rp.265.000,- (Rp.200.000,- – 250.000,-)/bulan, bahkan keluarga binaan mendapatkan tambahan pendapatan Rp.75.000,- - Rp.100.000,-/bulan. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2011. Perkembangan Situasi Konsumsi Penduduk di Indonesia. Badan Ketahanan Pangan (BKP). Jakarta. Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian, 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Besar Pengkajian dan PEngembangan Teknologi Pertanian, Bogor.Kementerian Pertanian, 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta. Mardiharini, M. dkk., 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari.Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. Rachman, H.P.Saliem dan M. Ariani. 2007. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program. Makalah pada “Workshop Koordinasi Kebijakan Solusi Sistemik 992 Ratarata Masalah Ketahanan Pangan Dalam Upaya Perumusan Kebijakan Pengembangan Penganekaragaman Pangan“, Hotel Bidakara, Jakarta, 28 November 2007.Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. Saliem, Handewi P. 2011. Kawasan rumah pangan lestari (KRPL): Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan. 993 PEMANFAATAN UBI KAYU (Cassavas) SEBAGAI BAHAN BAKU KASOAMI BERGIZI PENGGANTI BERAS DI SULAWESI TENGGARA Fathnur dan Edi Tando Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Jl. Prof. Muh.Yamin 89, Puwatu, Kendari Email: [email protected] ABSTRAK Ubi kayu (Cassavas) merupakan salah satu tanaman pangan yang sangat disenangi masyarakat, mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah dan banyak diusahakan petani, lebih murah dari beras. Ubi kayu dapat diolah menjadi Kasoami yang bergizi .Tulisan ini bertujuan untuk mereview pemanfaatkan ubi kayu sebagai bahan baku Kasoami bergizi pengganti beras. Proses pembuatannya tidak rumit. Kasoami juga dapat dimodifikasi rasanya untuk menambah selera masyarakat dengan menambahkan parutan kelapa, kacang merah kukus, kacang merah tepung, dan gula merah.Untuk memperoleh Kasoami dapat diolah sendiri maupun dengan membeli di pasar-pasar tradisional. Ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan Kasoamibergizi yang bisa dikonsumsi masyarakat sebagai pengganti beras..Ubi kayu tanaman yang mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah dan banyak diusahakan petani, terutama di lahan kering yang memiliki kesuburan rendah.Kasoami dapat dibuat sendiri bagi yang sudah terbiasa, bisa juga kita jumpai di pasar-pasar tradisional. Kata kunci : Ubi kayu, Kasoami, gizi PENDAHULUAN Sulawesi Tenggara merupakan daerah produksi ubi kayu. Pada tahun 2009 luas panen ubi kayu 12,353 ha, hasilnya 183,70 ku/ha dan produksinya 226,927 ton. Pada tahun 2010, luas panen ubi kayu 9,556 ha, hasilnya 170,94 ku/ha dan produksinya 163,350 ton (BPS, Sultra 2010). Ubi kayu merupakan salah satu tanaman pangan yang sangat disenangi masyarakat. Ubi kayu tanaman yang mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah dan banyak diusahakan petani, terutama di lahan kering yang memiliki kesuburan rendah (Suharno, et al., 1998). Ubi kayu lebih murah dari beras, sehingga memilih ubi kayu untuk dikonsumsi sebagai pengganti beras merupakan salah satu terobosan dalam diversifikasi pangan (BBP2TP, 2006). Ubi kayu yang masih segar langsung diolah untuk menjadi bahan makanan pokok misalnya Kasoami. Kasoami merupakan salah satu makanan khas Sulawesi Tenggara, yang bahan bakunya dari ubi kayu dengan Indeks Glikemik rendah. Indeks Glikemik (IG) makanan adalah angka yang diberikan kepada makanan tertentu yang menunjukkan seberapa tinggi makanan tersebut meningkatkan gula darah setelah dikonsumsi. Proses pembuatannya sangat sederhana dan tidak sulit (BBP2TP, 2006). Kasoami juga dapat dimodifikasi, dengan berbagai macam rasa untuk menambah cita rasa pada Kasoami itu sendiri sehingga masyarakat bisa 994 mengkonsumsi Kasoami sesuai dengan pilihan rasa yang disenangi. Sebagai contoh Kasoami yang ditambahkan parutan kelapa, kacang merah kukus, kacang merah tepung, gula merah pada parutan ubi kayu yang akan diolah menjadi Kasoami. Tulisan ini bertujuan untuk mereview pemanfaatkan ubi kayu sebagai bahan baku Kasoami bergizi pengganti beras. METODOLOGI Proses pembuatan Kasoami yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Ubi kayu dikupas kulitnya kemudian dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan kotoran yang melekat pada ubi kayu kemudian diparut. 2. Hasil parutan lalu diperas untuk mengurangi kandungan air pada parutan ubi kayu dengan menggunakan kain yang agak tebal sehingga Kasoami bisa awet disimpan beberapa hari untuk dikonsumsi tanpa harus pemanasan lagi. 3. Setelah parutan ubi diperas airnya kemudian dimasukkan dalam cetakan khusus untuk Kasoami yang terbuat dari daun kelapa yang berbentuk kerucut. 4. Masak menggunakan panci khusus untuk memasak Kasoami dengan nyala api yang sedang. Tujuannya agar proses penguapan sempurna sehingga Kasoami benar-benar matang luar dalam dan warnanya tetap sama dengan sebelum dikukus. Sebaiknya menggunakan kompor minyak tanah karena proses penguapan pada kompor minyak tanah bagus untuk memasak Kasoami jika dibandingkan dengan memasak menggunakan kayu bakar, tungku arang, dan kompor gas yang penguapannya terlalu cepat panas. Jika proses penguapan terlalu cepat panas, Kasoami bisa cepat masak, tetapi cuma masak di luarnya saja, sedangkan di dalamnya belum masak. Perlu juga diperhatikan waktu dalam memasak Kasoami. Kasoami jangan terlalu lama dimasak, karena Kasoami yang terlalu lama dimasak, bagian luarnya akan berwarna kuning (warna daun kelapa) yang mengurangi ciri khas Kasoami. Kasoami yang telah masak, bentuknya kerucut dan padat, rasanya juga enak dan agak kenyal. Warna Kasoami yang telah masak tetap putih seperti sebelum dimasak. Kasoami dapat dimakan dengan menu lauk apa saja sesuai selera. Kasoami yang dimodifikasi rasanya, proses pembuatannya sama dengan Kasoami biasa, hanya saja pada proses ini parutan ubi kayu yang sudah diperas airnya ditambahkan parutan kelapa, kacang merah kukus, kacang merah tepung, dan gula merah. Pada Kasoami kacang merah kukus, prosesnya adalah setelah parutan ubi kayu yang sudah diperas airnya ditambahkan kacang merah yang telah dikukus.Kacang merah kukus adalah kacang merah yang telah mendapat beberapa perlakuan yaitu untuk mengurangi kandungan toksin (lectin phytohaemagglutinin) dan gas pada usus yang dihasilkan oleh oligosakarida kacang merah, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan.Sehabis kacang merah direndam, airnya dibuang, rebus dengan air yang banyak dalam panci berpenutup selama 2-3 menit, lalu biarkan selama 2 jam.Buang air rebusan tersebut, tambahkan air hingga kacang merah benar-benar terendam. Sesudah dua jam, buang kembali air itu dan tambahkan lebih banyak air dan biarkan 995 terendam semalam sebelum benar-benar akan di masak. Setelah masak, ditiriskan sampai tidak ada air yang melekat pada kacang merah tersebut, tujuannya jika dicampur pada Kasoami, Kasoami tersebut tidak cepat basi (dapat tahan lama disimpan).Kacang merah kukus yang telah kering airnya di potong kecil-kecil atau dihancurkan kemudian dicampur pada parutan ubi kayu yang telah diperas ubinya.Demikian juga halnya pada Kasoami kacang merah tepung. Hal yang sama pada Kasoamikelapa dan gula merah. Adapun parutan kelapa yang digunakan adalah parutan kelapa yang putih (kelapa yang telah dikerok hitamnya).Untuk penggunaan gula merah sebaiknyagula merah tersebut dipotong kecil-kecil atau dihancurkan. Setelah semuanya dimasak, kemudian dianalisis untuk mengetahui nutrisi pada masing-masing Kasoamidi UPT Laboratorium Dasar Unit Kimia Analitik Universitas Haluoleo 2012. HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrisi Pada Ubi Kayu Komposisi gizi ubi kayu per 100 gr bahan, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.Komposisi gizi ubi kayu per 100 gr bahan Energi (Kal) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr) Ca (mg) P (mg) Fe (mg) Vit. A (RE) Vit. C (mg) Vit. B (mg) Air (gr) BDD (%) Serat kasar (gr) Sumber : Dian Dini, 2011 157 0,8 0,3 34,9 33,0 40,0 0,7 48 30 0,06 60 75 8,45 Kandungan Nutrisi Pada Beras Kandungan nutrisi pada beras per 100 gr, disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Kandungan nutrisi beras per 100 gr Energi (Kal) Karbohidrat (gram) Gula (gram) Serat Pangan (gram) Lemak (gram) Protein(gram) Air (gram) Thiamine (Vit. B1) (mg) dan (%) Riboflavin (Vit. B2) (mg) dan (%) Niacin (Vit. B3) (mg) dan (%) 996 365 79 0,12 1,3 0,66 7,13 11,62 0,070 dan 5 0,049 dan 3 1,6 dan 11 Lanjutan... Pantothenicacid ( Vit. B5) (mg) dan (%) Vit. B6 (mg) dan (%) Folate (Vit. B9) (µg) dan (%) Calcium(mg) dan (%) Iron (mg) dan (%) Magnesium (mg) dan (%) Manganese (mg) dan (%) Phosphorus (mg) dan (%) Potassium (mg) dan (%) Zinc (mg) dan (%) 1,014 dan 20 0,164 dan 13 8 dan 2 28 dan 3 0,80 dan 6 25 dan 7 1,088 dan 54 115 dan 16 115 dan 2 1,09 dan 11 Sumber: Wikipedia, 2012 Tabel 1 dan 2 menunjukkan kandungan gizi ubi kayu yang dibandingkan dengan kandungan beras, sangat baik dan bisa dikonsumsi sebagai pengganti beras. Tabel 3. Kandungan nutrisi pada Kasoami No Kode Sampel 1 Kasoami Murni 2 Kasoami Kelapa 3 Kasoami Kacang Merah Kukus 4 Kasoami Kacang Merah Tepung Parameter Kadar Air Kadar Abu Lemak Protein Karbohidrat Vit. C Energi HCN Kadar Air Kadar Abu Lemak Protein Karbohidrat Vit. C Energi HCN Kadar Air Kadar Abu Lemak Protein Karbohidrat Vit. C Energi HCN Kadar Air Kadar Abu Lemak Protein Karbohidrat Vit. C HCN Satuan % % % % % Mg/As. Askorbat Kal/gram Mg/Kg % % % % % Mg/As. Askorbat Kal/gram Mg/Kg % % % % % Mg/As. Askorbat Kal/gram Mg/Kg % % % % % Mg/As. Askorbat Mg/Kg Uji 1 29,86 0,62 0,35 1,25 67,92 1,32 286,19 8,10 33,69 0,69 15,68 1,67 48,27 2,37 334,70 2,37 36,34 0,82 0,62 7,73 54,49 0,80 250,78 6,50 23,86 3,42 1,48 9,62 61,62 5,38 5,50 Hasil Uji Uji 2 29,84 0,65 0,39 1,00 68,12 1,34 286,66 8,15 32,98 0,63 15,71 1,41 49,27 2,40 341,22 5,05 36,09 0,88 0,80 8,21 54,02 0,80 251,84 6,80 23,32 3,41 1,44 10,40 61,43 5,37 5,70 Uji 3 29,62 0,62 0,33 1,21 68,22 1,35 287,66 8,11 33,42 0,62 15,28 1,54 49,14 2,18 334,58 5,12 36,22 0,88 0,78 8,14 53,98 0,82 251,31 6,52 23,24 3,81 1,43 9,88 61,64 5,42 5,75 997 Lanjutan... No 5 Kode Sampel Kasoami Gula Merah Parameter Kadar Air Kadar Abu Lemak Protein Karbohidrat Vit. C Energi HCN Satuan % % % % % Mg/As. Askorbat Kal/gram Mg/Kg Uji 1 24,52 1,56 8,86 2,42 62,58 0,64 338.80 6,50 Hasil Uji Uji 2 24,47 1,57 8,63 2,71 62,62 0,66 335,41 6,62 Sumber : UPT Laboratorium Dasar Unit Kimia Analitik Universitas Haluoleo, 2012 Uji 3 24,71 1,42 8,29 2,56 63,01 0,63 336,03 6,57 Dari tabel di atas menunjukkan kandungan nutrisi berbeda-beda pada masing-masing Kasoami. Pada Kasoami biasa, kandungan karbohidratnya lebih tinggi dibandingkan dengan Kasoami lainnya, selain itu juga kandungan HCNnya juga tinggi tetapi kandungan lemaknya rendah.Hal ini karena belum ada penambahan bahan lainnya, hanya 100 % ubi kayu. Pada Kasoami kelapa kandungan lemak dan energinya tinggi, hal ini karena kelapa banyak mengandung lemak (kolesterol).Kasoami kelapa sebaiknya cepat dikonsumsi karena kandungan lemaknya tinggi. Pada Kasoami kacang merah kukus, kadar airnya tinggi, hal ini karena mungkin dipengaruhi pada waktu proses pembuatan Kasoami, kacang merah kukus yang tidak terlalu kering airnya waktu ditiriskan. Kandungan protein juga pada Kasoami kacang merah tinggi, karena kacang merah merah mengandung protein dan profil asam amino dalam 100 gram kacang merah yang dimana kandungan protein pada kacang merah hamper sama dengan kandungan protein pada daging,.Walaupun kandungan protein nabati pada kacang merah tergolong protein tak lengkap karena kurang lengkapnya profil asam amino esensial, namun dapat dilengkapi dengan mengkonsumsi bahan karbohidrat misalnya ubi kayu yang diolah menjadi Kasoami kacang merah kukus. Pada Kasoami kacang merah tepung, kadar abunya tinggi yaitu ukuran dari jumlah total mineral berupa komponen anorganik tertentu yaitu Ca, Na, Cl dan K tinggi, dimana kandungan mineral kacang merah mampu mencukupi masing-masing 24 persen kebutuhan harian mineral mangaan, 16 persen kebutuhan mineral besi, 14 persen kebutuhan mineral fosfor, 12 persen kebutuhan mineral potassium dan tembaga, 11 persen kebutuhan mineral magnesium, 7 persen kebutuhan mineral Zinc dan lain-lain sisanya di bawah 3 persen. tetapi kadar airnya rendah. Dengan kadar mineral yang tinggi, kadar abunya juga tinggi yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Kasoami kacang merah kukus juga rendah lemak dan kalori sehingga awet untuk disimpan lama. Kasoami gula merah kandungan mineralnya tinggi, karena gula merah kandungan mineralnya lebih tinggi daripada gula pasir. Kadar abu pada Kasoami gula merah juga tinggi, lemaknya juga tinggi karena gula merah tersebut dari enau pohon kelapa sehingga proteinnya juga tinggi, tetapi rasanya enak dan manis dan banyak disukai masyarakat. Kasoami aman jika dikonsumsi tiap hari karena memiliki Indeks Glikemik yang rendah sehingga kadar gulanya rendah jika dibandingkan dengan nasi, 998 yang dapat mengendalikan rasa lapar dan nafsu makan karena glukosa akan dilepaskan ke dalam darah dengan lambat. Data-data tersebut menunjukkan kandungan gizi pada beberapa Kasoami sangat potensial sebagai pengganti beras untuk dikonsumsi masyarakat. Kandungan HCN juga pada masing-masing Kasoami rendah yaitu kurang dari 50 mg HCN tiap Kg sehingga tidak berbahaya untuk dikonsumsi. Kasoami bisa awet disimpan beberapa hari dan jika akan dikonsumsi tidak lagi melalui proses pemanasan, sehingga bisa dijadikan sebagai bekal makanan pada perjalanan jauh. KESIMPULAN Ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan Kasoamibergizi yang bisa dikonsumsi masyarakat sebagai pengganti beras..Ubi kayu tanaman yang mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah dan banyak diusahakan petani, terutama di lahan kering yang memiliki kesuburan rendah.Kasoami dapat dibuat sendiri bagi yang sudah terbiasa, bisa juga kita jumpai di pasar-pasar tradisional. SARAN Perlunya sosialisasi tentang makanan Kasoami di masyarakat sebagai pengganti beras dalam hal diversifikasi pangan, baik melalui media cetak atau elektronik karena rasanya enak dan kandungan gizinya juga tinggi. DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2006. Prosiding. Seminar Nasional Dan Ekspose Hasil Penelitian, Kendari, Sulawesi Tenggara, 18 -19 Juli 2005 BPS Sultra. 2010. Sulawesi Tenggara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara Kerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I. Provinsi Sulawesi Tenggara. Dini, D. 2011. Kajian Pengelolaan Hasil Pertanian Berbasis Sumber Daya Lokal. Disampaikan Pada Seminar Proposal Rencana Pengkajian Tim Pengkaji (RPTP). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Kendari 2011. Suharno, Djasmi, Rubiyo, dan Purwanto, D. 1998. Budidaya Ubi Kayu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Sulawesi Tenggara. UPT Laboratorium Dasar Unit Kimia Analitik Universitas Haluoleo. 2012. Hasil Analisis Kandungan Nutrisi Pada Kasoami. Wikipedia. 2012. Beras. http://id.wikipedia.org/wiki/beras. [di akses 7 Maret 2012]. 999 PENAMPILAN EMPAT VARIETAS PADI TERHADAP SERANGAN TUNGRO PADA DISPLAY SL-PTT DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH Asni Ardjanhar dan Abdi Negara Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah Jalan Lasoso No. 62.Biromaru, Palu ABSTRAK Upaya pengendalian penyakit Tungro telah banyak dilakukan. Penggunaan varietas unggul yang dianggap paling efektif ternyata tidak mampu menekan meluasnya penyakit tersebut. Demikian pula pergiliran varietas dengan waktu tanam yang tepat masih sulit diterapakan secara meluas. Dengan program SL-PTT padi sawah, merupakan salah satu terobosan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar pada produksi tanaman pangan mendatang termasuk didalamnya padi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan empat varietas yang digunakan pada display SL-PTT padi sawah terhadap serangan Tungro. Penelitian dilaksanakan di Desa Siniu, Kecamatan Siniu Kabupaten Parigi Moutong pada bulan Mei MT 2012 pada display SL-PTT seluas 1 ha, dengan menanam padi varietas Inpari 6, Inpari 11, Inpari 13, dan Inpari 20. Pemeliharan tanaman hingga panen sesuai dengan komponen PTT padi sawah yang diajarkan kepada petani koperator. Penanaman dengan sistem jajar legowo 2:1 dengan umur bibit 2-3 minggu, tanam 1 bibit per lubang. Pengamatan dilakukan dengan menghitung persentase serangan yang menyerang pada setiap varietas, dan produksi maksimal setiap varietas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Penampilan tingkat serangan ke empat varietas Inpari 6, Inpari 11, Inpari 13, dan Inpari 20 bervariasi yaitu serangan terendah 5 %, 10% dan yang tertinggi 15 %. Perbandingan tingkat produksi terlihat bahwa Inpari 11 menghasilkan 4,9 ton/ha GKP, Inpari 6 dan Inpari 13 berproduksi 5,6 ton dan 6,8 ton, dan Inpari 20 hanya berproduksi 3,5 ton GKP (Gabah Kering Panen). Kata kunci: Penampilan, varietas, tungro PENDAHULUAN Pangan khususnya beras merupakan masalah nasional yang selalu meminta perhatian. Walaupun Indonesia sudah pernah swasembada beras, namun untuk mengimbangi laju pertambahan penduduk, masih dibutuhkan tambahan produksi guna memperkuat cadangan beras nasional. Program pemerintah tahun 2011 menyediakan cadangan beras nasional 10 juta ton beras dengan asumsi sama dengan 18 juta ton GKG. Dengan program tersebut pemerintah memantapkan dan melestarikan swasembada beras dengan program intensifikasi dan ektensifikasi, disamping peningkatan produksi komoditas pangan lainnya. Penggunaan Varietas Unggul Baru dalam program SL-PTT Padi, termasuk sarana produksi didalamnya untuk menunjang program tersebut, juga menimbukan masalah tak kunjung mereda, yaitu hama dan penyakit. Salah satu diantaranya penyakit Tungro yang disebabkan oleh virus melalui serangga vektor Nephotettix virescens. Di Indonesia penyakit Tungro mulai mendapat perhatian 1000 sejak tahun 1970 karena menimbulkan kerugian yang cukup besar (Tantera, 1986). Ratusan bahkan ribuan hektar pertanaman padi di beberapa daerah tertentu setiap tahunnya mengalami kerusakan karena serangan Tungro tersebut, hingga tahun 1986 total luas areal yang terserang mencapai 217.923 ha tersebar di 17 provinsi (Manwan et al., 1987). Khusus di Sulawesi Tengah, luas serangan mencapai 127 ha yang tersebar di beberapa kabupaten (Anonim, 2010). Upaya pengendalian penyakit Tungro tersebut telah banyak dilakukan. Penggunaan varietas unggul yang dianggap paling efektif ternyata tidak mampu menekan meluasnya penyakit tersebut. Demikian pula pergiliran varietas dengan waktu yang tanam yang tepat masih sulit diterapakan secara meluas. Program SL-PTT padi sawah, merupakan salah satu terobosan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar pada produksi tanaman pangan mendatang termasuk didalamnya padi. Melalui penerapan SL-PTT, petani akan mampu mengelola sumberdaya yang tersedia (varietas, tanah, air, dan sarana produksi) secara terpadu berdasarkan kondisi spesifik lokasi. Dengan program SL-PTT ini komponen teknologi yang diterapkan salah satunya adalah penggunaan varietas unggul baru, karena salah satu sasaran pelaksanaan SLPTT adalah teradopsinya berbagai alternatif pilihan komponen teknologi PTT Padi oleh petani, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelolah usahataninya untuk mendukung peningkatan produksi nasional. Sehubungan hal tersebut diatas, perlu diamati dan diketahui penampilan empat varietas komponen penggunaan Varietas Unggul Baru Padi yaitu Inpari 6, Inpari 11, Inpari 13, dan Inpari 20 pada display SL-PTT terhadap serangan Tungro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan empat varietas yang digunakan pad display SL-PTT padi sawah terhadap serangan Tungro. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan di Desa Siniu, Kecamatan Siniu Kabupaten Parigi Moutong pada bulan Mei MT 2012 pada display SL-PTT seluas 1 ha, dengan menanam padi varietas Inpari 6, Inpari 11, Inpari 13, dan Inpari 20. Pemeliharaan tanaman hingga panen, sesuai dengan komponen PTT padi sawah yang diajarkan pada petani koperator. Penanaman dengan sistem jajar legowo 2:1, umur bibit 2-3 minggu, dan tanam 1 bibit per lubang. Pengamatan dilakukan dengan rerata produksi setiap varietas dan menghitung persentase serangan Tungro pada setiap varietas, dengan Rumus: a P= X 100 % b Dimana: P = Persentase serangan. a = Jumlah populasi tanaman sampel yang terserang Tungro. b = Jumlah populasi tanaman sampel yang diamati 1001 HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan pengamatan persentase serangan Tungro dilakukan di Desa Siniu, Kecamatan Siniu, tertera pada Tabel 1. dan produksi Tabel 1. Persentase serangan Tungro dan produksi empat varietas padi sawah pada kegiatan display di Kabupaten Parigi Moutong tahun 2012 LOKASI KECAMATAN Siniu DESA Siniu DISPLAY (1 Ha) Padi Sawah VARIETAS Inpari Inpari Inpari Inpari 6 11 13 20 SERANGAN TUNGRO (%) PRODUKSI (TON/HA) GKP 10 5 10 15 6,08 4,96 5,60 3,52 Hasil pengamatan pada Tabel 1 menunjukkan serangan Tungro pada varietas Inpari 6, Inpari 11, Inpari 13 dan Inpari 20 bervariasi, yaitu serangan terendah 5 %, 10% dan yang tertinggi 15 %. Hasil pengamatan saat timbulnya gejala Tungro, ditemukan perubahan warna daun, dari warna hijau menjadi kekuning-kuningan. Perubahan warna daun yang terserang Tungro ini dipengaruhi oleh varietas padi, lingkungan, umur tanaman, dan strain virus (Semangun, 1991). Perbedaan serangan juga disebabkan adanya perbedaan dari masing-masing varietas. Hal ini sejalan dengan pernyataan Agrios (1969), bahwa keberhasilan suatu patogen untuk melakukan inveksi dan berkembang pada jaringan tanaman, sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan faktor biokimia yang dimiliki oleh tanaman tersebut. Virus Tungro di dalam tubuh tanaman menyebabkan tanaman menjadi kerdi, sehingga pertumbuhan terhambat dan perakaran kurang baik. Serangga vektor N.virescens yang sudah terinveksi virus, akan terbang dan hinggap ke tanaman sehat. Pada serangan serius dengan mengisap daun sehat, dapat menyebabkan daun layu, anakan kurang dan mongering, dan akhirnya mati. Menurut Tandiabang (1985), ketahanan suatu varietas unggul terhadap penyakit Tungro menurun setelah serangga vektor penular penyakit Tungro beradaptasi pada varietas tersebut. Taulu et al. (1987) mengemukakan bahwa adaptasi serangga vektor penular Tungro pada suatu varietas unggul terjadi setelah generasi ketiga, dan pada generasi ke enam populasinya sudah mantap dan seragam. Penanaman ganda atau pernanaman padi terus menerus dapat menyebabkan serangga vektor penular penyakit Tungro lebih cepat beradaptasi pada varietas unggul yang ditanam. Makin lama terdapat tanaman inang yang disukai, makin cepat peluangnya mencapai kepadatan yang tinggi dan makin besar pula kemungkinan terjadinya ledakan penyakit virus Tungro. Sebaliknya, pergiliran varietas akan menghambat terbentuknya populasi yang dapat beradaptasi pada varietas unggul yang dianjurkan. Dari kenyataan tersebut diatas, diterapkan konsep pengendalian penyakit Tungro melalui pergiliran varietas berdasarkan tingkat ketahanan agar memberikan hasil yang memuaskan. Namun masih terdapat kendala dan hambatan, antara lain penentuan waktu tanam berdasarkan monitoring populasi serangga vektor penular Tungro dan penyediaan benih yang tahan Tungro. 1002 Gambar.1. Perbandingan Tingkat Seranga Tungro dan Produksi Pada Empat Varietas Padi Sawah Di Display Kabupaten Parigi Moutong, MT Tahun 2012 20 15 10 5 0 Inpari.6 Inpari.11 Inpari.13 Inpari.20 Serangan (%) 10 5 10 15 Produksi (Ton/Ha)GKP 6,8 4,9 5,6 3,53 Varietas Serangan (%) Produksi (Ton/Ha)GKP Gambar. 1 Perbandingan tingkat serangan Tungro dan produksi Tingkat serangan Tungro pada Inpari 11 sebesar 5% dapat menghasilkan 4,9 ton/ha GKP, sedangkan serangan sedikit lebih besar yaitu 10 % pada Inpari 6 dan Inpari 13, dengan produksi 5,6 ton dan 6,8 ton, serta pada Inpari 20 tingkat serangan lebih tinggi yaitu 15 % dan hanya berproduksi 3,5 ton GKP. Dampak serangan Tungro terhadap produksi pada display tidak begitu berdampak menurunkan produksi karena rata-rata serangan tidak begitu parah yaitu antara 5-15%, jika dilihat dari potensi hasil masing-masing varietas yaitu Inpari 6 potensi hasil 12 ton/ha, hasil rata-rata 6,82 ton/ha. Inpari 11 rentan terhadap Tungro potensi hasil 8,8 ton /ha, rata-rata hasil 6,5 ton /ha. Inpari 13 potensi hasil 8 ton/ha, rata-rata hasil 6,6 ton/ha rentan terhadap Tungro, namun di daerah lain, hasil penelitian (Rosida et al., 2011)menyatakan bahwa dari hasil uji ketahanan beberapa Varietas Unggul Baru padi sawah terhadap penyakit Tungro, Inpari 13 dikategorikan sebagai agak tahan terhadap penyakit Tungro. Inpari 20 potensi hasil 8,8 ton/ha, rata-rata hasil 6,4 ton/ha GKG rentan terhadap Tungro (Anonim, 2013). Ketahanan varietas padi terhadap penyakit virus Tungro sangat penting artinya dalam peningkatan produksi, akan tetapi belum ditemukan varietas yang tingkat ketahanannya permanen. Varietas tahan yang dianjurkan selama ini, hanya memiliki sifat ketahanan terhadap serangga vektor wereng daun hijau, bukan terhadap virusnya.Hal ini menyebabkan usaha pengendalian penyakit tidak memberikan hasil yang memuaskan. Menurut Tantera (1982), dalam ketahanan varietas padi terhadap virus Tungro terhadap dua hal yang berbeda, yaitu ketahanan tehadap serangga vektornya dan reaksinya terhadap virus Tungro tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa kedua sifat ketahanan tersebut bebas satu sama lain yang dikendalikan oleh gen yang berbeda. 1003 KESIMPULAN 1. 2. Penampilan tingkat serangan ke empat varietas bervariasi, tingkat serangan terendah pada Inpari 11 sebesar 5 %, pada Inpari 6 dan 13 sebesar 10 %, dan pada Inpari 20 sebesar 15 %. Perbandingan tingkat produksi menunjukkan bahwa Inpari 11 menghasilkan 4,9 ton/ha GKP, Inpari 6 dan Inpari 13 berproduksi masingmasing 5,6 ton dan 6,8 ton GKP, dan Inpari 20 hanya berproduksi sebesar 3,5 ton GKP. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2010. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Sulawesi Tengah. Anonim. 2013. Varietas Inpari 20. Litbang Pertanian http://www.litbang.deptan.go.id. [diakses 09 Juni 2013]. Jakarta. Agrios. 1969. Plant Pathology. Academic Press. Inc. New York. Manwan, I, S. Sama, and S.A. Risvi, 1987. Management Strategy of Control Rice Tungro in Indonesia. In Proceedings of Workshop on Rice Tungro Virus. Ministriy of Agriculture, AARD-MORIF. Rosida, E.N., Komalasari, dan W. Senoaji. 2011. Uji Ketahanan Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah Terhadap Penyakit Tungro. Prosiding Seminar Nasional Penyakit Tungro. Makassar. Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Tandiabang, J. 1985. Tingkat Resistensi Wereng Daun Hijau Nephotettix virescens Distant Terhadap Insektisida pada Daerah Sulawesi Selatan. Tesis. Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. Taulu, L.A, S. Sosromarsono, I. N. Oka and E. Guharja. 1987. Adaptation of Grean Leaf Hopper Nephotettix virescens Distant to Several Varieties of Rice. In Proceeding of Workshop on Rice Tungro Virus, Ministry of Agriculture , AARD-MORIF. Tantera, D.M. 1982. Serangan Penyakit Virus Tungro di Bali. Jurnal Litbang Pertanian Jakarta. Tantera, DM, 1986. Present Status of Rice and Legumes Virus Diseases in Indonesia. Tropical Agric. Recent. Japan. 1004 PENERAPAN MODEL PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU PADI SAWAH DAN JAGUNG LAHAN KERING DI KABUPATEN BULUKUMBA Muhammad Thamrin dan Ruchjaniningsih Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 17,5 Makassar 90221 Email: [email protected]; [email protected] ABSTRAK Pengelolaan tanaman dan sumber daya secara terpadu merupakan suatu pendekatan holistik padi dan jagung yang bersifat partisipatif yang mensinergikan berbagai komponen teknologi dengan kondisi spesifik lokasi sehingga dapat meningkatkan hasil dan efisiensi masukan produksi serta menjaga kelestarian ekologi lingkungan. Kajian bertujuan meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta melestarikan lingkungan produksi melalui pengelolaan lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim secara terpadu. Pengkajian dilaksanakan di kabupaten Bulukumba mulai bulan Januari sampai Desember 2010. Pelaksanaan secara partisipatif dengan melibatkan petani sebagai pelaku utama, poktan, gapoktan dalam menerapkan teknologi. Komponen teknologi yang diimplementasikan pada demplot varietas unggul baru padi meliputi: (a) penggunaan varietas unggul adaptif dan benih berkualitas, (b) perlakuan benih, (c) cara tanam (legowo), (d) penggunaan bahan organik (pupuk kandang/jerami), (e) pemupukan N berdasarkan Bagan Warna Daun, (f) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah melalui uji tanah, (g) pengendalian gulma dengan landak/gosrok), dan (i) pengendalian hama secara PHT. Untuk jagung meliputi: (a) penggunaan varietas unggul hybrid, (b) cara tanam sistem TOT dan olah tanah sempurna, (c) cara tanam (legowo), (d) penggunaan bahan organik (pupuk kandang/jagung), (e) pemupukan berdasarkan status hara tanah melalui uji tanah, (f) pengendalian gulma, hama dan penyakit secara PHT. Hasil yang dicapai adalah 1) sebagian petani belum sepenuhnya melaksanakan PTT sesuai dengan anjuran yang disebabkan petani masih ragu menerima perubahan yang harus dilakukan, terutama dalam cara tanam legowo, pengaturan air dan penggunaan organik (kompos jerami), 2) implementasi model PTT ditingkat petani yang dilaksanakan sesuai anjuran, selain dapat meningkatkan hasil gabah kering giling padi dan produktivitas jagung, juga dapat meningkatkan efisiensi input produksi seperti penggunaan benih, dan pupuk masing-masing 25-35 % untuk padi dan 20-30 % untuk jagung, 3) model PTT padi dan jagung dengan komponen teknologi yang diterapkan dapat diterima secara teknis, sosial dan ekonomi oleh pengguna. Kata kunci: Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), padi, jagung, sawah, lahan kering PENDAHULUAN Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat akibat bertambahnya jumlah penduduk, kualitas lahan menurun, dan tingkat penerapan teknologi masih rendah, maka pemerintah melalui Departemen Pertanian melakukan suatu terobosan pendampingan program strategis dalam peningkatan produksi pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan (Makarim et al., 2008). 1005 Pengelolaan tanaman dan sumber daya secara terpadu yang sering diringkas Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan suatu pendekatan holistik yang semakin populer dewasa ini (Las, 2002). Pendekatan ini bersifat partisipatif yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi sehingga bukan merupakan paket teknologi yang harus diterapkan petani di semua lokasi (Departemen Pertanian, 2008). Pengalaman menunjukkan bahwa Sekolah Lapang Pengendalian Hama secara Terpadu (SL-PHT) dengan belajar langsung di lahan petani dapat mempercepat alih teknologi dan meredam serangan hama dan penyakit tanaman. Keberhasilan SL-PHT yang ditindaklanjuti oleh pengembangan SL-Iklim (SL-I) memberi inspirasi bagi pengembangan PTT melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) dengan mensinergikan dan memperluas cakupan SL-PHT dan SL-I dengan sasaran peningkatan produksi dan efisiensi usahatani. Agar dapat berdaya guna dan berhasil guna, SL-PTT dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan berbagai institusi yang kompeten, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan, dan bahkan tingkat desa (Departemen Pertanian, 2008). Kabupaten Bulukumba sebagai salah satu daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas wilayah 115.467 ha dan terdiri dari 10 kecamatan (BPS Bulukumba, 2009) memiliki potensi yang cukup besar dalam memajukan pembangunan pertanian secara terintegrasi dari semua sektor, berkelanjutan, dan ramah lingkungan tanpa meninggalkan faktor-faktor sosial dan budaya setempat. Potensi Kabupaten Bulukumba terbentang luas mulai dari dataran rendah (garis pantai, sawah irigasi dan tadah hujan) seluas 24.523 ha, dataran medium (lahan perkebunan dan pengembalaan), dan dataran tinggi seluas 91.099 ha, sehingga upaya untuk menciptakan daerah yang mandiri berbasis teknologi dapat dicapai dari daerah ini. Sampai saat ini, komoditi andalan Kabupaten Bulukumba sub sektor tanaman pangan meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu/jalar, dan kacang tanah. Sub sektor hortikultura sayuran meliputi sawi, lombok, terong, dan buahbuahan terdiri dari alpukat, langsat, durian, mangga, dan rambutan. Khusus tanaman pangan, pada tahun 2000 produksi padi mencapai 223.201,50 ton dari luas panen 41.901 dengan produktivitas 5,3 t/ha. Produksi jagung mencapai 136.664 ton dari luas panen 27.721 ha dengan produktivitas 4,9 t/ha, dan produksi kacang tanah mencapai 47.962,60 dari luas panen 5.458 ha dengan produktivitas 0,8 t/ha (Bappeda Bulukumba, 2009). Produktivitas ketiga komoditas tersebut masih sangat rendah dibanding potensi hasilnya sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitasnya masih terbuka luas dengan mengembangkan berbagai inovasi teknologi yang sesuai kondisi setempat. Selain itu, pemanfaatan teknologi spesifik yang berbasis pada masalah atau lokasi yang dihadapi oleh masyarakat tidak hanya dapat meningkatkan produksi dan produktivitas, tetapi juga diharapkan dapat merubah pola perilaku dan berpikir petani dalam berusahatani. Penerapan teknologi spesifik lokasi harus berjalan seiring dengan upaya-upaya untuk memberikan pencerahan pengetahuna petani dalam menumbuhkan sikap kerjasama dan kompetisi yang berjalan seimbang. Basis teknologi produksi harus didekatkan pada masyarakat tani sebagai pihak yang akan memanfaatkan teknologi sehingga transfer atau adopsi teknologi akan lebih cepat sampai pada sasaran dan berhasil guna. 1006 Tujuan pengkajian ini adalah meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta melestarikan lingkungan produksi melalui pengelolaan lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim secara terpadu. METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Bulukumba mulai Januari sampai Desember 2010. Pelaksanaan secara partisipatif dengan melibatkan petani sebagai pelaku utama, poktan, dan gapoktan dalam menerapkan teknologi yang akan didampingi. Peneliti dan penyuluh lebih bersifat sebagai supervisor dalam penerapan teknologi. Pendampingan ini akan dilaksanakan dilahan petani dengan petani kooperator yang ditentukan bersama oleh peneliti, penyuluh, PEMDA setempat serta petani. Dalam kegiatan ini, komponen-komponen teknologi yang ada dirakit menjadi paket teknologi yang spesifik. Ruang lingkup pendampingan SL-PTT meliputi: 1) Pendampingan SL-PTT oleh BPTP dilakukan untuk memberikan dorongan/ motivasi kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam pemanfaatan paket teknologi hasil Litbang Pertanian yang terdiri dari: Benih varietas unggul baru, tanam, Teknologi pupuk organik (dekomposer) dan Alat dan mesin pertanian (penyiang, perontok, APPO). 2) Wujud pendampingan dilakukan melalui: Penyiapan Juknis dan SPO (Standar Prosedur Operasional) untuk setiap teknologi tersebut, penyiapan modul pelatihan SL-PTT untuk PL-1 yang memuat paket teknologi hasil litbang pertanian dan pembuatan demplot atau gelar teknologi di lokasi Laboratorium Lapang (LL) pada setiap unit SL-PTT. Tabel 1. Komponen teknologi dalam kegiatan pendampingan padi dan jagung di kabupaten Bulukumba, 2010 No. Komponen Teknologi VUB LL SL-PTT Non SL-PTT A. Padi: 1. Varietas VUB Ciherang, Inpari 3, 6, 9, 10 Ciherang Ciherang/Ciliung Ciliung yang tidak murni lagi 2. Pesemaian Pesemaian basah, seed treatment Pesemaian basah, seed treatment 3. Jumlah benih 25-30 kg/ha 25-30 kg/ha Pesemaian basah, seed treatment 25-30 kg/ha Pesemaian basah, seed treatment 50-60 kg/ha 4. Umur bibit 15-21 hari 15-21 hari 15-21 hari >1 bulan 5. Jumlah bibit/rumpun Cara tanam 1 – 3 batang 1 – 3 batang 1 – 3 batang 5-7 batang Legowo 2:1 Legowo 2:1 Legowo 2:1 Tegel 8. Pengelolaan air Pemupukan 9. Bahan organik 10 Pengendalian OPT Pengaturan draenase Urea 150 kg/ha (BWD) + Ponska 100 kg/ha 1-2 t/ha kompos pukan PHT Pengaturan draenase Urea 150 kg/ha (BWD) + Ponska 100 kg/ha 1-2 t/ha kompos pukan PHT Pengaturan draenase Urea 150 kg/ha (BWD) + Ponska 100 kg/ha 1-2 t/ha kompos pukan PHT Pengaturan draenase 100 kg/ha + ponska 100 kg/ha Tanpa bahan organik Pengendalian sudah terjadwal 6. 7. 1007 Lanjutan… No. B. Komponen Teknologi Jagung: VUB LL SL-PTT Non SL-PTT 1. Varietas Bima 3, 4, 5 Bisi 2 Bisi 2 Bisi 2 2. 1 2 2 2 3. Jumlah biji/lubang Cara tanam Tugal Alur Alur Alur 4. Pemupukan Urea 100 kg/ha + Ponska 100 kg/ha Ponska 100 kg/ha Ponska kg/ha 5. Bahan organik 1 t/ha - - - 6. Pengendalian OPT PHT PHT PHT Cara petani 100 Ponska kg/ha Jumlah unit pendampingan dan demplot pada SL-PTT Padi sebanyak 198 dan 75, sedangkan pada SL-PTT Jagung sebanyak 84 dan 16. Bahan yang digunakan meliputi benih padi inbrida/hibrida, jagung hibrida/komposit, pupuk, dan pestisida. Tahapan pelaksanaan yaitu a) Koordinasi dengan dinas terkait/pemerintah desa untuk menentukan lokasi, b) Identifikasi wilayah pendampingan, c) Apresiasi program pendampingan, d) Pelaksanaan kegiatan, e) Pengamatan dan pengumpulan data, f) Temu lapang dan g) Pelaporan. Komponen teknologi yang diimplementasikan pada unit pendampingan khususnya demplot varietas unggul baru padi meliputi: (a) penggunaan varietas unggul adaptif dan benih berkualitas, (b) perlakuan benih, (c) cara tanam (legowo), (d) penggunaan bahan organik (pupuk kandang), (e) pemupukan N berdasarkan Bagan Warna Daun, (f) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah melalui uji tanah, (g) pengendalian gulma dengan landak/gosrok), dan (i) pengendalian hama secara PHT. Untuk jagung meliputi: (a) penggunaan varietas unggul hybrid, (b) cara tanam TOT dan olah tanah sempurna, (c) cara tanam (legowo), (d) penggunaan bahan organik (pupuk kandang), (e) pemupukan berdasarkan status hara tanah melalui uji tanah, (f) pengendalian gulma, hama dan penyakit secara PHT. Pendampingan padi diawali dengan pengolahan tanah menggunakan traktor dan hewan (kuda), yaitu bajak satu kali kemudian digaru dan diratakan. Pengolahan tanah diusahakan sampai berlumpur dan rata. Penanaman padi secara tapin dengan tanam legowo 2:1. Pemupukan Urea (150 kg/ha) berdasarkan pada hasil pengamatan dengan menggunakan Bagan Warna Daun/Leaf Colour Chart (BWD/LCC) skala empat yang pengamatannya dimulai pada umur 14 hst dengan interval 7-10 hari. Pemupukan dilakukan pada keadaan sawah macak-macak dengan memberikan urea dua kali, yaitu pada masingmasing 1 dan 4 minggu setelah tanam. Pupuk Ponska diberikan satu minggu setelah tanam. Pengendalian hama dilakukan berdasarkan konsep Pengendelian Hama Terpadu. Untuk kegiatan jagung pengolahan tanah Tanpa Olah Tanah (TOT) dilakukan dengan menyemprotkan herbisida lalu dialur menggunakan ternak atau tugal. Penanaman jagung dengan sistem legowo 2 : 1 jarak tanam (90 x 60 x 20 cm). Pemupukan Phonska berdasarkan hasil uji tanah diberikan pada 7 dan 40 hst. 1008 100 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Daerah dan Agroekosistem Kabupaten Bulukumba dengan luas wilayah 115.467 ha dari 10 kecamatan yang merupakan wilayah yang cukup potensial dalam upaya pengembangan pertanian, peternakan dan perkebunan. Menurut data BPS Kabupaten Bulukumba (2009), potensi lahan berdasarkan agroekosistemnya terbagi atas lahan sawah seluas 20.293,80 ha dan lahan kering seluas 2.164,36 ha. Topografi dan fisiografi kurang lebih 95,38% berada pada ketinggian 0 – 1.000 meter di atas permkaan laut (dpl) dengan tinkat kemiringan tanah 0 – 40o. Keadaan iklim berdasarkan klasifikasi daerah terbagi ke dalam 4 tipe yaitu: iklim A dengan 9 bulan basah meliputi Bulukumba, Kindang dan Gantarang sebahagian; iklim B dengan 7 bulan basah meliputi Kajang, Ujung Loe, Rilau Ale, Kindang dan Gantarang sebahagian; iklim C dengan 5 bulan basah meliputi Kajang, Herlang dan Bontotiro; iklim D dengan 4 bulan basah meliputi Ujung Bulu, Gantarang sebahagian dan Bontotiro. Sedangkan kondisi curah hujan digolongkan atas < 2.000 mm/tahun meliputi Ujung Bulu, Bontotiro, Kajang, Bontobahari dan Gantarang; 2.000 – 3.000 mm/tahun meliputi Gantarang, Bulukumba, Rilau ale, Kajang dan Herlang; > 3.000 mm/tahun meliputi Kindang, Rilau Ale, dan Ujung Loe. Potensi Sumberdaya Lahan dan Tanaman Potensi sumberdaya lahan mencakup lahan kering dan lahan sawah, sedang tanaman meliputi padi dan jagung disajikan pada (Tabel 1 dan 2). Total luas sumberdaya lahan di sepuluh kecamatan adalah 22.458,16 ha terdiri dari lahan kering 2.164,36 ha dan lahan sawah 20.293,80 ha. Kecamatan Kajang, Kindang dan Rilau Ale merupakan 3 kecamatan yang memiliki potensi sumberdaya lahan terluas (200.000 – 300.000 ha), sementara Ujung Loe dan Gantarang menempati posisi dengan sumberdaya lahan dengan luas paling kecil (< 50.000 ha). Tabel 1. Luas areal tanam, luas panen, dan Kabupaten Bulukumba, 2010 No. Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Gantarang Ujung Bulu Ujung Loe Bontobahari Bontotiro Herlang Kajang Bulukumpa Rilau Ale Kindang Jumlah produksi Luas Lahan Luas Luas Lahan Tanam Panen Sawah ..…………………Ha………………… 6,41 8.004,90 13.556 14.805 27,40 310,60 583 583 182,20 2.771,00 5.825 5.660 53,10 154 134 144,60 25,00 210 182 339,00 454 384 1.056,80 1.191.10 4.575 4.774 49,80 2.625,60 8.018 7.370 172,00 3.038,40 7.243 6.428 183,25 1.775,10 1.866 4.720 2.164,36 20.293,80 42.484 45.040 Lahan Kering tanaman padi di Produksi (t) Produktiv itas (t/ha) 87.113 3.078 32.177 664 822 1.827 24.696 36.142 34.750 23.750 245.185 5,88 5,28 5,68 4,88 4,52 4,76 5,17 4,90 5,41 5,07 5,44 1009 Tabel 2. Luas areal tanam, luas panen, dan produksi tanaman jagung di Kabupaten Bulukumba, 2010 No. Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Gantarang Ujung Bulu Ujung Loe Bontobahari Bontotiro Herlang Kajang Luas Lahan (Ha) Luas Luas Tanam Panen Lahan Lahan Kering Sawah ……………………..Ha……………… 6,41 8.004,90 1.399 1.226 27,40 310,60 8 8 182,20 2.771,00 3.976 4.454 53,10 2.945 5.097 144,60 25,00 3.586 5.413 339,00 5.583 5.958 1.056,80 1.191.10 5.155 10.461 8. 9. 10. Bulukumpa Rilau Ale Kindang Jumlah 49,80 172,00 183,25 2.164,36 2.625,60 3.038,40 1.775,10 20.293,80 1.449 169 859 25.129 493 52 962 34.124 Produksi (t) Produk tivitas (t/ha) 4.752 24 18.355 15.367 16.504 27.723 34.908 3,87 2,97 4,12 2,02 3,05 4,65 3,34 1.348 193 2.852 122.027 2,74 3,71 2,97 3,58 Kinerja Model PTT di Tingkat Petani Usahatani Padi Usahatani padi di lokasi SL-PTT maupun non SL-PTT pada umumnya relatif sama, petani belum menggunakan benih unggul dan bermutu karena selama ini petani menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya yang sudah beberapa kali di tanam dalam varietas yang sama. Selain itu benih yang digunakan tidak disortir sesuai dengan perlakuan untuk benih. Penggunaan benih pada petani non SL-PTT lebih banyak (40-50 kg/ha) dibandingkan dengan petani yang menerapkan SL-PTT, karena menurut petani bibitnya tidak cukup jika benih yang disemai sedikit, demikian juga dengan umur bibit, hal ini disebabkan karena penanaman padi petani non SL-PTT dilakukan pada umur tua >30 hari dengan jumlah bibit yang ditanam 5-7 batang per rumpun. Penanaman dengan sistem tanam legowo hanya sebagian kecil diprkatekkan dan kebanyakan menanam dengan sistem tegel. Dalam penerapan sistem tanam legowo, petani agak sulit melakukannya karena disamping belum terbiasa juga biaya tenaga kerja lebih mahal yaitu ada penambahan biaya tenaga kerja Rp. 100.000,- per hektar. Petani di lokasi pendampingan selama ini belum menggunakan bahan organik (pupuk kandang) untuk lahan sawah karena petani belum tahu manfaat dari penggunaan dan sulit mendapatkan pupuk kandang di lokasi Sl-PTT maupun non SL-PTT. Penggunaan pupuk an-organik (Urea, SP36 dan KCl ) belum sesuai dosis bahkan sebagian petani tidak menggunakan pupuk SP 36 dan KCl karena harga kedua pupuk tersebut dirasakan petani sangat mahal, selain itu terkadang sulit didapatkan dipasaran. Pengendalian hama dan penyakit petani sering menggunakan pestisida yang berlebihan tanpa memperhatikan sasaran hama/penyakit dan musuh alami, sehingga mengakibatkan menjadi tidak efektif. Selain itu, petani masih sering menggunakan pestisida yang sudah dicampur dua atau lebih jenis pestisida dan 1010 dosis tinggi sehingga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Menurut petani menggunakan pestisida dengan dosis yang tinggi dapat langsung mengendalikan hama dan penyakit secara cepat dan tidak ada serangan lagi setelah di semprot. Usahatani Jagung Usahatani jagung baik di SL-PTT maupun non SL-PTT pada umumnya di lahan kering dengan teknologi relatif sama, petani pada umumnya menggunakan benih unggul hybrid (Bisi) dan bermutu karena selama ini petani membeli benih jagung langsung dari kios-kios tani, namun sebagian masih ada petani menanam jagung hasil sebelumnya yang sudah beberapa kali di tanam dalam varietas yang sama. Penggunaan benih pada petani non SL-PTT lebih banyak (20-30 kg/ha) dibandingkan dengan petani yang menerapkan SL-PTT, karena menurut petani bibitnya tidak cukup kalau benih yang ditanam hanya 1-2 biji per lubang tetapi menanam 2-3 biji per lubang. Penanaman dengan tanam legowo belum diprkatekkan dan umumnya menanam dengan sistem alur dari bajak kuda dengan jarak tanam 75 cm x 25 cm. Dalam penerapan sistem tanam legowo, petani belum melakukannya karena disamping belum terbiasa juga biaya tenaga kerja lebih mahal yaitu ada penambahan biaya tenaga kerja Rp. 100.000 per hektar. Petani di lokasi pendampingan selama ini belum menggunakan bahan organik (pupuk kandang) untuk lahan kering karena petani belum tahu manfaat dari penggunaan dan sulit mendapatkan pupuk kandang di lokasi Sl-PTT maupun non SL-PTT. Penggunaan pupuk an organik (Urea, SP36 dan KCl ) belum sesuai dosis bahkan sebagian petani tidak menggunakan pupuk SP 36 dan KCl karena harga kedua pupuk tersebut dirasakan petani sangat mahal, selain itu terkadang sulit didapatkan dipasaran. Pengendalian hama dan penyakit belum menerapkan secara PHT, petani sering menggunakan pestisida yang berlebihan tanpa memperhatikan sasaran hama/penyakit dan musuh alami, sehingga mengakibatkan menjadi tidak efektif. Penerapan Teknologi VUB, LL, SL-PTT Padi dengan Pendekatan PTT Hasil pendampingan teknologi menunjukkan bahwa melalui pendekatan model PTT ternyata masih mampu meningkatkan produktivitas hasil panen gabah kering giling (GKG) dari sebelumnya hanya rata-rata 5,44 t/ha (BPS, 2008) menjadi 5,88 t/ha di lokasi pendampingan yang telah menerapkan usahatani padi sawah secara intensif (Tabel 2). Bahkan beberapa varietas unggul baru yang dicobakan menghasilkan produktivitas masing-masing Inpari 3 (6,4 t/ha), Inpari 6 (6,4 t/ha), Inpari 9 (6,7 t/ha), Inpari 10 (6,1 t/ha) dan Ciherang (6,1 t/ha). Pertumbuhan awal padi dari masing-masing varietas menunjukkan keragaan hasil yang cukup baik dan terlihat perbedaan antara pendekatan PTT (VUB, LL, SL-PTT) dan non PTT. Pada fase vegetatif hama yang muncul seperti keong mas, orong-orong, dan sundep tapi intensitas serangan masih rendah dan dapat dengan mudah dikendalikan oleh petani secara manual dan kimiawi. Pada fase generatif penapilan tanaman padi varietas Inpari 3, 6, 9, 10, dan Ciherang dengan pendekatan PTT memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman lebih baik dibandingkan non PTT. Serangan hama walang sangit dan penyakit kresek pada fase generatif masih dalam batas 1011 intensitas rendah sehingga tidak memerlukan pengendalian secara intensif dan cukup dilakukan secara sporadis dengan menyemprotkan insektisida dan fungisida sesuai luas dan keberadaan serangan. Tabel 2. Pertumbuhan dan Produksi Gabah Kering Giling (GKG) beberapa varietas padi di lokasi pendampingan MH 2010 di Kabupaten Bulukumba Uraian Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan Produksi GKG (t/ha) VUB LL*) SLPTT*) Non SLPTT**) 105,7 106,2 94,1 3 6 9 10 103,0 102,2 98,8 101,0 Ciheran g 96,4 10,3 11,4 11,2 11,7 16,2 11,2 11,3 9,8 6,4 6,4 6,7 6,1 6,1 5.9 5.9 5,2 *) LL, SL-PTT=varietas Ciherang **) Non SL-PTT = Ciherang dan /ciliung Hasil pendampingan di lokasi VUB, LL, SL-PTT dan non SL-PTT menunjukkan bahwa dengan pendekatan PTT dapat memberikan hasil yang lebih tinggi untuk semua varietas dibandingkan dengan non SL-PTT. Penerapan Teknologi VUB, LL, SL-PTT Jagung dengan Pendekatan PTT Hasil pendampingan teknologi menunjukkan bahwa melalui pendekatan model PTT ternyata masih mampu meningkatkan produktivitas dari 3,58 menjadi 5,1 – 5,8 ton per hektar. Hasil panen biji kering beberapa varietas jagung di lokasi pendampingan yang telah menerapkan usahatani jagung lahan kering secara intensif (Tabel 2). Tabel 3. Pertumbuhan dan Produksi Biji Kering beberapa varietas jagung di lokasi pendampingan MH 2010 di Kabupaten Bulukumba Uraian Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Tongkol Produksi Biji Kering (t/ha) VUB LL*) SL-PTT*) Non SLPTT**) Bima 3 Bima 4 Bima 5 233,1 221,3 234,4 240,5 236,9 243,9 1,0 5,8 1,0 5,5 1,0 5,1 1,0 5,4 1,0 5,7 1,0 5,1 *) Bisi **) Bisi/Pionir Pertumbuhan awal jagung dari masing-masing varietas menunjukkan keragaan hasil yang cukup baik dan terlihat perbedaan antara pendekatan PTT (VUB, LL, SL-PTT) dan non PTT. Pada fase vegetatif hama intensitas serangan masih rendah dan dapat dengan mudah dikendalikan oleh petani secara manual dan kimiawi. Pada fase generatif penapilan tanaman jagung varietas Bima dan Bisi (LL) dengan pendekatan PTT memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman lebih baik dibandingkan non PTT. 1012 Hasil pendampingan di lokasi VUB, LL, SL-PTT, dan non SL-PTT menunjukkan bahwa dengan pendekatan PTT dapat memberikan hasil yang lebih tinggi untuk semua varietas dibandingkan dengan non SL-PTT. KESIMPULAN 1. Sebagian petani belum sepenuhnya melaksanakan PTT sesuai dengan anjuran yang disebabkan petani masih ragu menerima perubahan yang harus dilakukan, terutama dalam cara tanam legowo, pengaturan air dan penggunaan organik (kompos jerami). 2. Implementasi model PTT ditingkat petani yang dilaksanakan sesuai anjuran, selain dapat meningkatkan hasil gabah kering giling padi dan produktivitas jagung, juga dapat meningkatkan efisiensi input produksi seperti penggunaan benih, dan pupuk masing-masing 25-35 % untuk padi dan 20-30 % untuk jagung. 3. Model PTT padi dan jagung dengan komponen teknologi yang diterapkan dapat diterima secara teknis, sosial dan ekonomi oleh pengguna. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Petunjuk teknis lapang pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bulukumba, 2009. Mencari Format Penelitian Sektor Pertanian di Kabupaten Bulukumba. Makalah disampaikan pada Focus Discussion Group (FGD) Mencari Format Penelitian Sektor Pertanian di Kabupaten Bulukumba. BPS Bulukumba, 2009. Biro Pusat Statistik Bulukumba, Bulukumba dalam Angka. Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2008. Panduan Pelaksanaan. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2008. Panduan Pelaksanaan. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Jagung. Las, I, 2002. Pengembangan intensifikasi padi sawah irigasi berdasarkan PTT. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Usahatani Terpadu Berwawasan Agribisnis Mendukung Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian Jawa Barat. Lembang 16 April 2002. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Makarim, A.K., D. Pasaribu, Z. Zaeni, dan I. Las, 2003. Analisis dan sintesis hasil pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT) dalam program P3T. IAARD. Dept.. of Agriculture. 1013 PENERAPAN MODEL PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) JAGUNG MELALUI DEMONSTRASI TEKNOLOGI DI KABUPATEN BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN Idaryani1, St. Najmah1, dan Astiani Asady2 BalaiPengkajianTeknologiPertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan km. 17,5 Sudiang, Makassar 2 Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutananan Kab. Bone Email: [email protected] 1 ABSTRAK BPTP sebagai unit pelaksana teknis Badan Litbang Pertanian, berperan sebagai pusat komunikasi dan penyedia sumber informasi teknologi serta menciptakan paket teknologi spesifik lokasi bagi pengguna. Uji Coba/demonstrasi plot dilakukan bertujuan untuk menguji teknologi yang dikembangkan/direkomendasikan BPTP ditingkat lapangan sebagai upaya mendukung pengembang model-model sistem usahatani pada suatu wilayah. Demonstrasi PTT jagung dilaksanakan di Kelompok Tani Ajang Kalung, Desa Pongka, Kecamatan Tellu SiattingE, Kabupaten Bone. Metode yang digunakan adalah introduksi konsep PTT jagung yang mencakup 1) penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, 2) penggunaan benih bermutu, 3) penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi, 4) penggunaan bahan organik, 5) pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, serta 6) panen pada waktu yang tepat. Namun pelaksanaan di lapangan tidak semua komponen teknologi tersebut diterapkan oleh petani, tapi disesuaikan dengan kondisi sosial dan tingkat kepercayaan petani terhadap teknologi baru. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi langsung di lapangan dan wawancara semi terstruktur. Data yang dikumpulkan meliputi : kinerja model PTT di tingkat petani, analisa usahatani, respon petani terhadap komponen teknologi, dan penerapan komponen PTT di tingkat petani. Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisa secara deskriptif. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi PTT dapat meningkatkan produktivitas padi 35 %, keuntungan yang diperoleh adalah Rp. 8. 309.000/ha dengan R/C ratio 2,68 dan B/C 1,68. Kata kunci: PTT, ujicoba/demonstrasi, jagung PENDAHULUAN Jagung menempati posisi penting dalam perekonomian nasional karena merupakan sumber karbohidrat dan bahan baku industri pakan dan pangan. Di samping bijinya, biomass hijauan jagung dalam negeri untuk pakan sudah mencapai 4,9 juta ton pada tahun 2005 dan diprediksi menjadi 6,6 juta ton pada tahun 2010 (Ditjen Tanaman Pangan, 2008). Di Indonesia tanaman jagung ditanam pada agroekosistem yang beragam, mulai dari lingkungan berproduktivitas tinggi (lahan subur) sampai lingkungan berproduktivitas rendah (lahan suboptimal dan marginal). Oleh karena itu diperlukan teknologi spesifik lokasi, sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Selama ini komponen budidaya tanaman jagung diterapkan secara parsial, terutama pada lahan yang berproduktivitas rendah, sehingga tidak memberikan dampak yang nyata terhadap peningkatan produksi. Memadukan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang atau bersifat sinergisme 1014 diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi sistem produksi tanaman jagung (Suryana et al., 2008). Penerapan teknologi tepat guna dan spesifik lokasi merupakan salah satu komponen penting untuk meningkatkan hasil juga kualitas suatu komoditas yang diusahakan di suatu daerah. Namun demikian dampak dari penerapan teknologi tidak hanya tersebut di atas, tetapi diharapkan teknologi tersebut dapat menjaga kelestarian lingkungan. Secara umum perekonomian daerah Kabupaten Bone didominasi sektor pertanian, khususnya sub sektor tanaman pangan, selanjutnya sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan dan sub sektor perikanan. Luas panen tanaman jagung di Kabupaten Bone akhir tahun 2007 sebesar 40.370 hektar dengan rata-rata produksi 4,2 ton/ha (BPS Kabupaten Bone, 2008). Kecamatan Tellu SiattingE merupakan salah satu daerah sentra pengembangan jagung di kabupaten Bone dengan luas panen 5.746 ha, rata-rata produksi 5,4 ton/ha. Rendahnya produktivitas tersebut akibat belum banyaknya teknologi hasil penelitian yang sampai ke petani, sehingga petani mengusahakan tanaman ini sesuai dengan kebiasaan petani, serta penggunaan input tidak sesuai rekomendasi, berarti masih ada peluang untuk meningkatkan produksi padi dengan introduksi teknologi dalam budidaya dan pendekatan usaha yang berwawasan spesifik lokasi dengan dimensi agribisnis. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) jagung merupakan strategi pengelolaan tanaman jagung yang mensinergiskan berbagai komponen teknologi yang dapat meningkatkan hasil dan efisiensi masukan produksi serta menjaga kelestarian lingkungan (Badan Litbang Pertanian, 2007). PTT merupakan suatu usaha untuk meningkatkan hasil jagung dan efisiensi masukan produksi dengan memperhatikan penggunaan sumberdaya alam secara bijak. Komponen teknologi PTT yang dianjurkan kepada petani adalah : 1) Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, 2) Penggunaan benih bermutu, 3) Penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi, 4) Penggunaan bahan organik, 5) Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, 6) Panen pada waktunya. Dari semua komponen teknologi yang dianjurkan tidak harus semuanya diterapkan petani secara utuh, tetapi disesuaikan dengan karakteristik biofisik lingkungan, tanaman, kondisi sosial ekonomi dan budaya petani, sehingga diharapkan ada efek sinergisme terhadap pertumbuhan tanaman spesifik lokasi serta dinamis dalam susunan teknologinya karena adanya sistem introduksi inovasi secara berkelanjutan (Makarim, et al., 2003). Berdasarkan hal tersebut maka peningkatan produksi jagung melalui pendekatan PTT perlu dikembangkan untuk diadopsi petani secara cepat dan luas. Salah satu strategi pengembangannya dilakukan melalui percontohan di tingkat petani berupa demonstrasi plot (demplot) dimana hal ini dilakukan di lahan petani danmelibatkan petani secara langsung dalam pelaksanaannya sehingga petani dapat secara langsung memahami dan memberi informasi kepada petani lainnya.Tujuan kegiatan adalah untuk mengetahui tingkat penerapan model PTT jagung melalui demonstrasi plot di Kabupaten Bone. 1015 METODOLOGI Kegiatan demonstrasi dilakukan di Desa Pongka, Kecamatan Tellu SiattingE, Kabupaten Bone yang merupakan salah satu daerah P3TIP/FEATI dan salah satu sentra pengembangan jagung di Kabupaten Bone, yang dilaksanakan oleh Kelompok Tani Ajang Kalung, dengan luas areal 1,5 ha. Petani yang terlibat sebanyak 20 orang, dan dilakukan pada musim tanam II (kemarau). Sebelum melakukan kegiatan terlebih dahulu dilakukan sosialisasi program yang diikuti oleh petani/kelompok tani/FMA, aparat desa, dan aparat dari instansi terkait di lokasi kegiatan. Selain itu juga dilakukan PRA untuk memperoleh data dan informasi tentang usahatani serta kegiatan-kegiatan lain yang akan dilakukan. Metode yang digunakan adalah introduksimetode pendekatan PTT jagung yang mencakup 1) penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, 2) penggunaan benih bermutu, 3) penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi, 4) penggunaan bahan organik, 5) pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, dan 6). panen pada waktu yang tepat. Namun pelaksanaan di lapangan tidak semua komponen teknologi tersebut diterapkan oleh petani, tapi disesuaikan dengan kondisi sosial dan tingkat kepercayaan petani terhadap teknologi baru. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi langsung di lapangan dan wawancara semi terstruktur. Data yang dikumpulkan meliputi : kinerja model PTT di tingkat petani, analisa usahatani, respon petani terhadap komponen teknologi, dan penerapan komponen PTT di tingkat petani. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisa secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja Model PTT di Tingkat Petani Berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan selama jagung tumbuh di pertanaman, tanaman jagung yang ditanam melalui pendekatan PTT (petani koopertaor) menunjukkan pertumbuhan lebih bagus dibandingkan dengan yang ditanam dengan teknologi petani (petani non kooperator). Hal ini disebabkan karena teknologi yang dianjurkan dapat dilakukan petani sesuai petunjuk (yang dianjurkan), sehingga kemungkinan yang akan terjadi dapat diatasi secara cepat. Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang paling utama yang mampu meningkatkan produktivitas tanaman dan merupakan teknologi yang paling mudah diadopsi oleh petani. Varietas unggul mempunyai keuntungan dan kesesuaian yang tinggi dengan tingkat kerumitan yang sangat rendah. Varietas merupakan faktor utama dalam peningkatan produktivitas jagung apabila ditunjang oleh teknologi budidaya lain yang bersifat sinergis terhadap keberhasilan peningkatan produktivitas jagung (Las, 2002). Benih bermutu merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha peningkatan produksi jagung. Benih bermutu ditentukan oleh faktor genetik dan faktor fisik. Faktor genetik benih bermutu dari varietas unggul mempunyai beberapa keuntungan yaitu produksi tinggi, tahan terhadap hama penyakit tertentu, dan respon terhadap kondisi pertumbuhan. Sedangkan faktor fisik yaitu 1016 kemurnian tinggi, prosentase daya tumbuh tinggi, bebas dari kotoran dan biji gulma, bebas dari insek dan hama penyakit, serta kadar air biji rendah. Varietas Bima-3 yang ditanam dengan menerapkan model PTT memperlihatkan pertumbuhan lebih bagus dibandingkan dengan tanaman jagung yang ditanam dengan cara petani (non PTT). Hasil yang diperoleh adalah 7.800 kg/ha, dimana potensi hasil tersebut tidak terlepas dari ketahanan terhadap hama dan penyakit. Varietas Bima-3 tergolong tahan penyakit bulai dan hasilnya dapat mencapai 10 t/ha dengan rata-rata hasil 8,3 t/ha. Pupuk organik memegang peranan penting dalam sistem usahatani, karena kemampuannya dalam memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah. Penggunaan bahan-bahan organik akan menyehatkan tanah, menurunkan tingkat polusi, tanah terlindung dari proses degradasi (Widyarti, 2009). Respon tanaman terhadap pupuk organik ini umumnya lambat karena proses penyediaan hara bertahap melalui proses dekomposisi. Namun demikian, pemberian pupuk organik mampu mengefisienkan penggunaan pupuk an-organik dan meningkatkan produksi sebesar 16-36%. Penerapan inovasi teknologi model PTT dapat meningkatkan produksi jagung dibandingkan dengan pertanaman petani sekitarnya yang tidak menggunakan konsep PTT. Hal ini disebabkan dengan penerapan inovasi teknologi model PTT input yang diberikan sesuai dengan kebutuhan optimum tanaman jagung selama pertumbuhannya. Konsep pengendalian hama terpadu (PHT) memberikan kontribusi dalam pengamanan potensi hasil melalui monitoring secara berkala. Dengan demikian serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya hama dan penyakit dapat dilakukan oleh petani secara lebih dini. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan panen yang tepat waktu dan cara serta penanganan pasca panen yang tepat dapat menghindari kehilangan hasil panen. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa teknologi metode pendekatan PTT dapat meningkatkan produktivitas jagung sebesar 30-35% dibanding non PTT. Analisis Usahatani Untuk mengukur tingkat kemampuan pengembalian atas biaya usahatani jagung, dihitung nisbah penerimaan atas biaya input yang digunakan dimana pendapatan usahatani merupakan selisih antara nilai hasil dan biaya produksi. Analisis usahatani menunjukkan bahwa penerimaan usahatani melalui pendekatan PTT pada tanaman jagung memberikan keuntungan bagi petani. Implementasi model PTT di tingkat petani selain dapat meningkatkan hasil jagung pipilan juga dapat meningkatkan pendapatan petani sekitar Rp. 2.269.000 dibandingkan petani yang tidak menerapkan PTT. Pendapatan bersih, R/C dan B/C diperoleh masing-masing Rp. 13.260.000/ha dengan R/C 2,68 dan B/C 1,68 untuk petani yang menerapkan pendekatan metode PTT dan Rp. 11.050.000/ha dengan R/C 2,10 dan B/C 1, 10 untuk petani dengan usahatani non PTT. Perbedaan pendapatan ini diantaranya dipengaruhi oleh penggunaan input produksi terutama penggunaan benih dan pupuk. Rata-rata efisiensi penggunaan benih mencapai 15% (dari 30 kg menjadi 20 kg), sedangkan untuk penggunaan pupuk terutama pupuk Ponska dari 500 kg menjadi 400 kg. 1017 Tabel 1. Hasil analisis usahatani uji coba/demonstrasi komponen PTT Tanaman Jagung di Desa Pongka, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan Uraian BiayaProduksi - Benih - Pupuk an organik : 1. Urea 2. NPK Ponska - Pupukorganik - Obat-obatan TenagaKerja - Penanaman - Pemupukandanpenyiangan - Panen - Penjemurantongkol - Pengangkutan - Perontokan Total Biaya Hasil (kg/ha) Pendapatanbersih R/C B/C Volume 20 kg HargaSatuan (Rp. 000) Nilai (Rp. 000) 40 800 200 kg 400 kg 1000 kg 1 paket 1,8 2,2 1,0 285,5 360 880 1.000 285,5 10 HOK 10 HOK 10 HOK 10 HOK 20 HOK 5 HOK 25 25 25 25 25 25 7.800 kg 1,7 250 250 250 250 500 125 4.950 13.260 8.309 2,68 1,68, Tabel 2. Hasil Analisis UsahaTani TanamanJagung Non PTT di Desa Pongka, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan Uraian BiayaProduksi - Benih - Pupuk an organik : 1. Urea 2. NPK Ponska - Pupukorganik - Obat-obatan TenagaKerja - Penanaman - Pemupukandanpenyiangan - Panen - Penjemurantongkol - Pengangkutan - Perontokan Total Biaya Hasil (kg/ha) Pendapatanbersih R/C B/C 1018 Volume HargaSatuan (Rp. 000) Nilai (Rp. 000) 30 kg 40 1.200 200 kg 500 kg 750 kg 1 paket 1,8 2,2 1,0 245 360 1.100 750 245 10 HOK 10 HOK 25 25 250 250 10 HOK 10 HOK 20 HOK 5 HOK 25 25 25 25 6.500 kg 1,7 250 250 500 125 5.280 11.050 5.770 2,10 1,10, Tanggapan/Respon Petani Terhadap Model PTT Tanggapan/respon petani diperoleh melalui kuesioner, wawancara pada saat pertemuan lapang, dan temu lapang.yang berisikan perihal tentang kegiatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Jagung. Penerapan suatu teknologi membutuhkan partisipatif kelompok yang menjadi sasaran, karena indikator keberhasilan penerapan teknologi adalah respon yang ditujukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal tersebut akan menunjukkan tingkat manfaat yang dirasakan dan akan diuraikan sebagai berikut: Aspek Teknis Secara teknis pendekatan PTT Jagungmudah dilakukan petani karena penerapan tidak membutuhkan keahlian khusus dan teknik pelaksanaannya hanya memberi pemahaman kepada petanidalam menghitung jumlah kebutuhan berdasarkan kebutuhan riil sesuai luasan yang dimiliki petani dan cara pemberian yang tepat sehingga pupuk terserap oleh tanaman dan tidak banyak menguap khususnya pupuk urea. Aspek Ekonomi Manfaat secara ekonomi yang dapat diperoleh oleh petani kooperator khususnya pada penerapan teknologi dengan pendekatan PTT Jagung adalah meningkatkan pendapatanpetanijagung sebesar 9,1 % dengan persentase peningkatan keuntungan sebesar 18,0 % dengan R/C ratio 2,68 danB/C 1,68. Aspek Sosial Budaya Kelompok Tani/petani Ajang Kalung di Desa Pongka Kecamatan Tellu SiattingEtermasukpetani yang kooperatif, sehingga dalam melakukan penerapan teknologi di lapangankuranglebih90% petani dapat memahami, walaupun sosial budaya masyarakat masihbersifat khas untuk masing-masing kelompok masyarakat, pedesaan atau wilayah. Sosial budaya masyarakat dimanifestasikan dalam tata kerja usaha tani. Pemupukan dengan cara tugal belum sepenuhnya diterima petani, karena masih banyak petani yang memupuk dengan cara menyebar diatas permukaan tanah, sehingga sebagian besar pupuk yang diberikan menguap dan tidak bisa diserap oleh tanaman. Melalui pendekatan PTTpadatanaman jagung dapatdibuktikandenganadanyapeningkatan hasil, sehinggadiharapkan dapat merubah pola pikir petani dan mengadopsi serta menyebar luaskan ke petani/kelompok tani lainnya. Berdasarkan hasil analisis dari beberapa aspek diatas, untuk mengetahui respon petani terhadap komponen teknologi melaluipendekatan PTT pada tanamanjagungdapat dilihat pada Tabel 3.Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa respon petani cukup baik, dimanadari ke 5 komponen yang mendapat tanggapan positif dengan nilai persentase terbesar (rata-rata 89 %)berturut-turut adalah pada penggunaan pupuk organik, varietasunggul, perlakuan benih, jarak tanam, dan dosis pemupukan dengan penggunaan BWD, sementara satu komponen petani menolak (40 %) yakni cara pemberian pupuk dengan ditugal kemudian ditutup dengan tanah. Hal ini disebabkan karena petani jagung di Desa Pongka memupuk jagung dengan cara menghamparkan diatas tanah dekat tanaman jagung tanpa menutup tanah, sehingga petani merasa agak sulit melakukannya karena butuh tenaga dan waktu yang lama. 1019 Tabel 3. Tanggapan dan alasan petani terhadap komponen Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Jagung di Desa Pongka, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan No. Komponen teknologi 1 Varietas Hibrida Bima 3 2 3 Perlakuan benih Jarak tanam/ Jumlah benih Tanggapan Persentase (%) Alasan - Tertarik 90 - Ragu-ragu - Tertarik 10 90 - Menolak - Tertarik 9 95 - Daya tumbuh benih cukupt inggi (95%) - Potensi hasilnya tinggi - Sesuai dengan kondisi wilayah, - Kesulitan memperoleh benih Sulit diperoleh benihnya Serangan Hama dan Penyakit berkurang Obat-obatan mahal - Tanaman teratur - Populasi tanaman bertambah 4 Pupuk An Organik Dosis Cara 5 Pupuk Organik Pemupukan BWD - Menolak 5 - Membutuhkan lama - Tertarik 90 - - Ragu-ragu - Tertarik - Menolak 10 60 40 - Tertarik 100 - Tertarik 70 Mudah dilakukan - Ragu-ragu 30 Tidak punya BWD waktu yang Pertumbuhan tanaman cukup bagus - Efisiensi penggunaan pupuk khususnya N Harga pupuk mahal (P dan K) Pupuk tidak menguap Merepotkan, butuh waktu dan tenaga Pertumbuhan tanaman bagus dan seragam Penerapan Komponen PTT Awalnya petani sebagai pelaku usahatani utama pada lokasi kegiatan tidak semua bersedia mengaplikasikan model PTT pada lahan usahataninya. Hal ini disebabkan karena lingkungan fisik dan kondisi sosial ekonomi petani pada lokasi tersebut serta tingkat kepercayaan petani terhadap teknologi baru belum menyesuaikan. Tingkat kepercayaan petani terhadap berhasil atau tidaknya teknologi baru memegang peranan cukup besar dalam penerapan Model PTT pada tanaman jagung. Secara umum model PTT pada tanaman jagung dapat diterapkan oleh petanidi lokasi kegiatan, baik petani kooperato rmaupun petani non kooperator, walaupun belum sepenuhnya. Hal ini disebabkan karena petani dapat 1020 merasakan hasil yang dicapai dengan model PTT yang dilakukan apabila sesuai dengan kondisi wilayah dan sesuai dengan anjuran petugas. Penerapan model PTT sangat dipengaruhi oleh sifat inovasi dan sifat adopter dari petani, serta prilaku petugas lapang untuk menerima teknologi baru. Penyebaran inovasi teknologi yang lambat di tingkat petani biasanya diduga karena belum adanya metode yang tepat untuk mengakselerasi inovasi teknologi. Untuk mengadopsi suatu teknologi diperlukan upaya akselerasi melalui metode diseminasi yang tepat dan sesuai dengan inovasi teknologi yang akan dikembangkan agar produktivitas meningkat. Selain itu diperlukan implementasi inovasi yang memberikan hasil yang nyata sebagai bukti di lapangan serta kelembagaan yang mendukung terwujudnya sistem dan usaha agribisnis untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Salah satu metode percepatan adopsi dan inovasi teknologi tersebut yaitu dengan melakukan Demonstrasi Plot atauDemplot di tingkatpetani. KESIMPULAN 1. 2. Biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kooperator yaitu Rp. 4.950.500 sedangkan petani non kooperator Rp. 5.280.000, berarti efisiensi dapat dicapai sebesar 3,2 %, persentase peningkatan pendapatan sebesar 9,1 %, serta persentase keuntungan sebesar 18,0%, dengannilai R/C ratio masingmasing 2,7 dan 2,1. Respon petani terhadap teknologi yang di demonstrasikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (1) sosial ekonomi; (2) tingkat pengetahuan dan wawasan;serta(3) kemampuan teknis dalam hal ini keterampilan yang dimiliki petani DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Jagung. Departemen Pertanian. Jakarta. BPS Kabupaten Bone. 2008. Kabupaten Bone Dalam Angka. Kerjasama BPS dengan Bappeda dan Statistik Kabupaten Bone. Ditjen Tanaman Pangan. 2006. Program Peningkatan Produksi Jagung Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Ekspose Inovasi Teknologi. Makassar-pangkep, 15 – 16 September 2006. Las, I. 2002. Pengembangan Intensifikasi Padi Sawah Irigasi Berdasarkan PTT. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Usahatani Terpadu Berwawasan Agribisnis Mendukung Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian Jawa Barat. Lembang 16 April 2002. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 1021 Makarim, A.K., D. Pasaribu, Z. Zaini, dan I. Las. 2003. Analisis dan Sintesis Hasil Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Trpadu (PTT) dalam Program P3T. IAARD Dept of Agriculture. Suryana, A., Suyatmo, Zubachtirodin, Pabbage, S. Saenong. 2008. Pengelolaan Tanaman Terpadu Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Widyarti. 2009. Penggunaan Pupuk Organik Untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Jagung Manis. Penerbit Kanisius, Jogjakarta. 1022 PENGARUH KONDISI SIMPAN DAN PERLAKUAN PRIMING TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR BENIH JAGUNG Patta Sija dan Aisyah Ahmad Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo Jln. Kopi No. 270 Kec. Tilong Kabila Kab. Bone Bolango Gorontalo Email: [email protected] ABSTRAK Penyimpanan jagung yang tepat merupakan bagian integral dalam menjamin pasokan pangan domestik dan mempertahankan kualitas, viabilitas, dan vigor benih. Perlakuan invigorasi benih seed priming dilakukan untuk meningkatkan performa benih selama perkecambahan dan pertumbuhan awal benih. Viabilitas benih jagung (tergolong benih ortodoks) dipengaruhi oleh kondisi simpan, yang meliputi suhu, kelembaban (RH), periode simpan, bahan kemasan, dan kadar air benih. Perlakuan priming sangat bervariasi dalam mempengaruhi vigor dan viabilitas benih jagung serta beberapa karakteristik perkecambahan bergantung pada beberapa faktor yaitu larutan priming, potensi air dari agen priming, durasi priming, suhu, vigor benih dan dehidrasi, serta kondisi penyimpanan benih yang telah diberi perlakuan priming. Makalah ini merupakan suatu tinjauan (review) hasil-hasil penelitian tentang pengaruh kondisi simpan dan perlakuan priming terhadap viabilitas dan vigor benih jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi penyimpanan pada suhu 20°C+45-50%RH aman untuk penyimpanan benih jagung selama satu tahun dengan kadar air kesetimbangan benih masih berada di bawah 11,5% dan viabilitas serta vigor benih masih tinggi. Daya berkecambah benih jagung tetap tinggi selama 15 bulan penyimpanan dalam plastik bening (clear polythene) dengan kadar air 8% lingkungan penyimpanan dengan suhu rata-rata 23,3/15,3°C (siang/malam) dan kelembaban relatif 77%. Penyimpanan benih jagung selama 12 bulan dalam wadah kontainer 1:1 dan 1:2,5 gel/rasio benih menghasilkan nilai tertinggi pada daya berkecambah, laju perkecambahan dan indeks vigor benih jagung. Priming benih jagung menggunakan polietilen glikol atau garam kalium (K2HPO4 atau KNO3) mempercepat perkecambahan dalam germinator dingin (10°C).Presowingseed treatment dengan IAA pada 10 ppm meningkatkan panjang akar, laju perkecambahan, dan vigor benih. Priming dengan air selama 36 jam lebih baik untuk vigor tinggi dan mempercepat perkecambahan. Benih yang direndam dalam GA3 20 ppm selama 30 menit meningkatkan beberapa sifat perkecambahan, tetapi tidak mempengaruhi hasil biji. Kata kunci : Kondisi simpan, priming, viabilitas, vigor, benih jagung PENDAHULUAN Jagung (Zea mays L.) merupakan sumber energi dan protein yang penting dalam diet manusia di seluruh dunia. Penyimpanan tanaman jagung yang tepat memainkan bagian yang integral dalam menjamin pasokan pangan domestik dan juga mempertahankan kualitas dan vigor benih. Faktor-faktor penting yang berpengaruh dalam penyimpanan adalah suhu, kelembaban, Karbon Dioksida (CO2), Oksigen (O2), karakteristik benih, mikroorganisme, serangga, tikus, burung, lokasi geografis dan kondisi ruang simpan (Govender et al., 2008). Dalam kondisi kering, benih jagung dapat disimpan untuk waktu yang 1023 lama asalkan tidak ada investasi serangga atau aktivitas mikroba. Dalam kondisi penyimpanan yang lembab, benih akan cepat mengalami deteriorasi yang dipercepat pada suhu yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan kerugian kuantitatif dan kualitatif. Kerugian kualitatif antara lain perubahan penampilan benih dan hilangnya daya berkecambah (loss of germination) (Rehman, 2006). Di negara-negara subtropis, teknologi yang meningkatkan perkecambahan benih akan memungkinkan tanaman induk menangkap lebih banyak kelembaban tanah, nutrisi, radiasi matahari, dan membantu mencapai sinkronisasi tahap reproduksi yang tinggi dari setiap induk dan matang sebelum terjadinya stress dingin di musim gugur (Subedi dan Ma, 2005). Oleh karena itu, perlakuan invigorasi benih telah dikembangkan untuk meningkatkan performa benih selama perkecambahan dan pertumbuhan awal benih, salah satunya adalah seed priming (Dezfuli et al., 2008). Heydecker et al. dalam Subedi dan Ma (2005) mendefinisikan seed priming sebagai perlakuan pra-semai (pre-sowing treatment) dalam larutan osmotik yang memungkinkan benih menyerap air untuk melanjutkan ke tahap pertama perkecambahan tetapi mencegah tonjolan radikula melalui kulit benih. Sedangkan Taylor et al. dalam Subedi dan Ma (2005) menggunakan istilah yang lebih luas, “seed enhancement”, meliputi presoaking hydration (priming), coating technologies, dan seed conditioning. Oleh karena itu, seed priming dapat dicapai melalui berbagai metode, seperti hydro priming (perendaman di dalam air), osmo priming (perendaman dalam larutan osmotik seperti polietilen glikol, garam kalium, misalnya, KCl, K2SO4), solid matrix priming, dan menggunakan pengatur pertumbuhan tanaman (plant growth regulators/PGRs) (Chiu et al., 2002). Tujuan umum seed priming adalah untuk hidrat sebagian benih ke titik proses perkecambahan dimulai, tetapi belum sempurna. Kebanyakan perlakuan priming melibatkan penyerapan benih dalam jumlah air terbatas, memungkinkan hidrasi yang cukup dan mempercepat proses metabolisme, tetapi mencegah penonjolan radikula. Perlakuan benih biasanya menunjukkan perkecambahan cepat ketika menyerap air pada kondisi lapangan (Ashraf dan Foolad, 2005). Pengaruh Kondisi Simpan terhadap Viabilitas Benih Jagung Kondisi ruang simpan mempengaruhi viabilitas benih yang disimpan, terutama suhu dan kelembaban (RH) ruang simpan merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dalam mempertahankan daya simpan benih. Cara penyimpanan dalam kamar dingin, penyimpanan dalam ruang simpan yang dihumidifikasi, atau penyimpanan dalam wadah kedap uap air atau wadah yang resisten terhadap kelembaban dapat mempertahankan daya berkecambah dan vigor benih. Hasil penelitian Joao Abba dan Lovato (1999), menggunakan dua sub lot benih jagung masing-masing tanpa perlakuan dan perlakuan dengan fungisida (carbendazim + maneb) yang disimpan pada suhu 20°C+ 5-50% RH, 25°C+ 6570% RH dan 30°C+90-95% RH selama 420 hari. Uji kelembaban (moisture test) , uji standar perkecambahan (standard germination/SG), uji dingin (cold test/CT) dan uji pengusangan cepat (accelerated ageing test/AA) dilakukan pada nol hari penyimpanan dan setiap 42 hari. Indeks vigor benih diukur sebagai panjang tanaman sedang (medium plant length/MPL), juga ditetapkan untuk semua tes. 1024 Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kondisi penyimpanan pada suhu 30°C+90-95%RH terbukti mematikan viabilitas benih jagung setelah 42 hari penyimpanan di mana kadar air kesetimbangan benih naik dari 10,5% hingga 17%. Kondisi penyimpanan pada suhu 20°C+45-50%RH terbukti aman untuk setidaknya satu tahun penyimpanan, di mana kadar air kesetimbangan benih masih berada di bawah 11,5% dan viabilitas serta vigor hampir tidak terpengaruh seperti yang ditunjukkan oleh SG dan CT. Sebaliknya, kondisi penyimpanan pada suhu 25°C+65-70%RH terbukti kurang menguntungkan (less favourable). Kadar air keseimbangan benih sekitar 12% untuk benih yang diberi perlakuan dan 13,5% untuk benih tanpa perlakuan, dan vigor benih di CT mulai berkurang masing-masing setelah empat dan tiga bulan. Penurunan viabilitas benih selama periode penyimpanan yang ditunjukkan oleh standar perkecambahan (SG) adalah lebih rendah dari yang ditunjukkan oleh dua tes vigor (CT dan AA). Uji pengusangan cepat (AA) adalah metode yang lebih parah dari uji dingin (CT), tapi lebih mampu membedakan perbedaan-perbedaan dalam vigor benih. MPL juga merupakan indeks vigor yang menarik, mampu membedakan dengan jelas beragam derajat kemunduran pada benih dari lingkungan yang berbeda dan waktu penyimpanan. Perlakuan fungisida menurunkan kadar air keseimbangan benih dalam kedua kondisi penyimpanan yang dipelajari dan meningkatkan perkecambahan vigor. Di wilayah yang ditandai dengan periode suhu udara dan kelembaban relatif lebih tinggi masingmasing 25°C dan 65-70%, seperti di daerah tropis lembab, penyimpanan lebih dari 3-4 bulan dapat membahayakan vigor dan viabilitas benih jagung kecuali benih dikemas dalam bahan yang cukup tahan air. Penggunaan jenis kemasan merupakan faktor lingkungan simpan yang juga mempengaruhi viabilitas benih. Hasil penelitian Mettananda et al. (2001) mengenai pengaruh bahan kemasan dan lingkungan penyimpanan terhadap viabilitas benih disajikan dalam Gambar 1 sampai 4. Mettananda et al. (2001) mengemukakan bahwa daya simpan benih jagung sangat tergantung pada bahan kemasan dan lingkungan penyimpanan. Daya simpan terendah dicatat dari benih yang disimpan dalam karung polipropilen (polypropylene sacks/polysacks) dengan kelembaban 12% sedangkan daya simpan tertinggi pada biji dikemas dalam plastik bening (clear polythene) dengan kadar air 8%. Ini nyata di semua lingkungan kecuali di ruang dingin (18-20°C & 55-60% RH) dimana bahan kemasan tidak memiliki pengaruh dan perkecambahan benih tetap tinggi bahkan hingga 15 bulan penyimpanan (Gambar 1 sampai 4). 1025 Gambar 1. Pengaruh bahan kemasan terhadap daya simpan benih jagung yang disimpan di ruang dingin (PS - Poly-sack, WP –White polythene, CP Clear polythene, M – Moisture). Gambar 2. Pengaruh bahan kemasan terhadap daya simpan benih jagung yang disimpan di Rahangala (PS - Poly-sack, WP –White polythene, CP Clear polythene, M – Moisture). Daya simpan terbaik kedua dicatat dari benih yang disimpan di Rahangala di mana rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban relatif adalah masing-masing 23,3/15,3°C (siang/malam) dan 77% selama periode penyimpanan (Tabel 1). Namun, viabilitas benih yang dikemas dalam poly-sacks dengan kelembaban 12% turun di bawah 80% selama 6 bulan meskipun disimpan di Rahangala (Gambar 2). 1026 Gambar 3. Pengaruh bahan kemasan terhadap daya simpan benih jagung yang disimpan di Kundasale (PS - Poly-sack, WP –White polythene, CP Clear polythene, M – Moisture) Gambar 4. Pengaruh bahan kemasan terhadap daya simpan benih jagung yang disimpan di Peradeniya (PS - Poly-sack, WP –White polythene, CP Clear polythene, M – Moisture Lingkungan di Peradeniya adalah yang terburuk untuk penyimpanan benih (Gambar 4). Benih yang dikemas dalam poly-sacks gagal selama 6 bulan dan dalam white dan clear polythene dengan kelembaban 12% selama 8-10 bulan di lingkungan ini. Namun, benih yang dikemas dalam clearpolythene dengan kelembaban hanya 8% air cukup terkendali untuk tetap viable sampai 13 bulan meskipun disimpan di Peradeniya (Gambar 1 sampai 4). Tabel 1. Data rata-rata temperatur dan RH pada semua lingkungan selama periode penelitian Sumber: Mettananda et al. 2001 1027 Perkecambahan di lapang (field germination) selalu lebih rendah dibandingkan dengan standar perkecambahan di laboratorium (standard laboratory germination). Perbedaan bervariasi antara 4 – 28 % antara perlakuan berbeda (Tabel 2). Selisih tertinggi pada benih dikemas dalam poly-sacks di lokasi Peradeniya sedangkan di ruang dingin perbedaannya minimal. Mettananda et al. (2001), mengamati bahwa penyimpanan selama beberapa bulan pertama tidak banyak perbedaan tetapi telah mencapai maksimum sekitar 10 bulan setelah penyimpanan dan kembali menurun sampai periode 15 bulan (Tabel 2). Tabel 2. Perbedaan antara persentase standar germination dan field germination pada perlakuan yang berbeda di 5, 10, dan 15 bulan setelah memulai percobaan Sumber: Daniel at al., 2009 Keterangan : M = month, WP = Whitepolythene, CP = Clear polythene Hasil penelitian Daniel et al. (2009) menunjukkan bahwa pada percobaan tahun 2005, pengaruh perlakuan penyimpanan dalam kontainer berbeda nyata terhadap perkecambahan, laju perkecambahan (P<0,01) dan indeks vigor kecambah (P<0,05), namun tidak signifikan pada panjang kecambah dan laju pertumbuhan kecambah (P>0,05) (Tabel 3). Tabel 3. Pengaruh perlakuan penyimpanan kering dalam kontainer terhadap perkecambahan benih dan karakteristik vigor kecambah, 2005 Sumber: Daniel et al., 2009 1028 Tren serupa diamati pada percobaan tahun 2006, bahwa hanya terdapat perbedaan signifikan pada laju pertumbuhan kecambah dari benih yang disimpan dalam kontainer dengan lebih banyak silika gel, lot benih terbuka dan lot benih yang disimpan dalam kontainer tanpa silika gel (Tabel 4). Tabel 4. Pengaruh perlakuan penyimpanan kering dalam kontainer terhadap perkecambahan benih dan karakteristik vigor kecambah (2006) Sumber: Achigan et al., 2004 Achigan et al. (2004) juga melaporkan pengaruh perlakuan pengeringan tidak signifikan terhadap panjang kecambah dan berat kering. Namun, diamati bahwa perkecambahan benih, laju perkecambahan benih dan indeks vigor kecambah lot benih yang disimpan pada 1:1 dan 1:2,5 gel/rasio benih adalah yang tertinggi dalam dua percobaan (Tabel 3 dan 4). Pada percobaan tahun 2005, laju perkecambahan benih dan indeks vigor kecambah meningkat dengan meningkatnya gel/rasio benih. Perkecambahan dan semua karakteristik vigor tidak berbeda nyata antara benih yang disimpan secara terbuka dan benih yang disimpan dalam kontainer pada 1:20 dan 0 gel/rasio benih. Pada percobaaan tahun 2006, semua lot benih yang disimpan dalam kontainer dengan silika gel mempunyai nilai variabel viabilitas dan vigor secara signifikan jauh lebih tinggi dari pada lot benih kontrol, tetapi lot benih yang disimpan dalam container pada1:1 dan 1:2,5 gel/rasio benih secara konsisten memiliki nilai vigor tertinggi. Pengaruh Perlakuan Priming terhadap Viabilitas Benih Jagung Beberapa studi tentang efek seed priming pada tingkat perkecambahan dan pertumbuhan jagung telah dilakukan. Basra et al. dalam Subedi dan Ma (2005) menemukan bahwa priming benih jagung menggunakan polietilen glikol atau garam kalium (K2HPO4 atau KNO3) mengakibatkan perkecambahan dipercepat di germinator dingin (10°C) dan juga dilaporkan bahwa peningkatan yang nyata dalam perkecambahan ketika benih jagung diberi pra-perlakuan dengan phthalimide diganti, GA3, dan asam absisi (ABA) telah berkecambah di bawah rezim temperatur sub dan supraoptimal. Di lapangan tempat jagung ditumbuhkan, Kulkarni dan Eshanna dalam Subedi dan Ma (2005) menemukan bahwa presowing seed treatment dengan IAA pada 10 ppm meningkatkan 1029 panjang akar, laju perkecambahan, dan vigor benih, khususnya untuk benih dari lot benih berkualitas rendah. Hartz dan Caprile dalam Subedi dan Ma (2005) menggunakan solid matrix priming pada jagung manis dan menemukan bahwa terdapat peningkatan panjang akar, laju perkecambahan, dan vigor benih dalam kondisi stress dingin, tapi hasilnya tidak konsisten dalam kondisi lapangan. Demikian pula, Chiu et al. (2002) mengamati percepatan perkecambahan pada jagung manis saat priming menggunakan polietilen glikol. Namun demikian, beberapa laporan menunjukkan bahwa tidak ada atau terbatas manfaat dari seed priming. Sebagai contoh, Giri dan Schillinger dalam Subedi dan Ma (2005) mencatat bahwa tidak ada media seed priming yang digunakan (misalnya, air, KCl, dan polietilen glikol) meningkatkan pemunculan hasil biji gandum dan hasil berikutnya yang ditanam sepanjang musim dingin. Demikian pula, Murungu et al. (2004) dalam lingkungan semi kering di Zimbabwe menemukan sedikit atau tidak ada pengaruh seed priming pada jagung. Parera dan Cant-liffedalam Subedi dan Ma (2005) menyatakan bahwa keberhasilan seed priming dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks dari beberapa faktor termasuk jenis tanaman, potensi air dari agen priming, durasi priming, suhu, vigor benih dan dehidrasi, dan kondisi penyimpanan benih yang telah diberi perlakuan priming. Hasil penelitian Chiu et al. (2002) menunjukkan, perlakuan priming nyata terhadap vigor perkecambahan kedua galur inbrida (cv.MO17 dan cv.B73). Respon kedua genotipe untuk teknik priming yang berbeda, kurang lebih sama. Perkecambahan awal dicatat untuk benih yang diberi perlakuan hydropriming ditunjukkan oleh nilai T50 dan MGT (Mean Germination Time) lebih rendah atau nilai GI (Germination Index) lebih tinggi (Tabel 5 dan 6). Benih yang diberi perlakuan hydropriming selama 36 jam memiliki nilai terendah (T50 dan MGT), diikuti oleh 24 jam dan 48 jam perlakuan benih, sedangkan laju perkecambahan terendah yang ditunjukkan oleh nilai T50 dan MGT lebih tinggi dan diamati pada benih yang diberi perlakuan osmopriming dengan larutan PEG-6000. Tabel 5. Pengaruh perlakuan priming pada vigor perkecambahan galur jagung inbrida MO17 Sumber: chiu et al., 2002 1030 Tabel 6. Pengaruh perlakuan priming pada vigor perkecambahan galur jagung inbrida B73 Panjang radikula maksimum cv. MO 17 juga dicatat untuk benih yang diberi perlakuan hydropriming selama 36 jamnamun untuk cv. B73 radikula terpanjang diperoleh dari benih yang diberiperlakuan hydroprimingselama 24 jam diikuti oleh perlakuan 36 jam (Tabel 5 dan 6). Pengaruh seed priming signifikan (P <0,05) diamati pada persentase perkecambahan akhir (final germination) di kedua genotipe. Maksimum perkecambahan akhir terlihat pada benih yang diberi perlakuan hydropriming selama 36 jam, yang secara statistik sama dengan benih cv. MO17 yang di-hydropriming selama 48 jam dan benih cv. B73 yang di-hyropriming selama 24 jam (Tabel 5 dan 6). Panjang maksimum koleoptil yang dicatat pada benih yang diberi perlakuan osmopriming dalam larutan urea selama 96 jam yang diikuti dengan benih yang diberi perlakuan hydropriming selama 36 jam.Perlakuan priming berpengaruh terhadap berat kering benih hanya pada cv. MO17. Namun benih yang lebih berat dicapai oleh hydropriming masing-masing selama 48, 36 dan 12 jam, sedangkan berat kering minimum dicatat untuk benih yang diberi perlakuan osmopriming. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik priming yang berbeda dapat memiliki berbagai efek terhadap perkecambahan benih jagung, dan bagi sebagian besar parameter perkecambahan yang dievaluasi, hydropriming lebih efektif daripada perlakuan osmopriming (PEG dan urea). Secara umum, performa benih yang direndam PEG kurang untuk sebagian besar parameter, mungkin karena potensial osmotik rendah atau periode priming yang panjang Keunggulan hydropriming terhadap perkecambahan mungkin menunjukkan bahwa penerapan perlakuan hydropriming tidak merusak struktur benih atau aktivitas metabolisme, di sisi lain penerapan potensial osmotik untuk perlakuan osmopriming lebih rendah dari potensial kritis yang dibutuhkan dalam rangka untuk menyelesaikan tahap perkecambahan pertama dan kedua tanpa penonjolan radikula. Oleh karena itu dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa priming dengan air selama 36 jam lebih baik daripada menguji media priming lain untuk vigor tinggi dan perkecambahan benih yang cepat. 1031 Hasil penelitian Subedi dan Ma (2005) menunjukkan bahwa perlakuan perendaman benih (seed soaking treatment) tidak berpengaruh terhadap waktu untuk munculnya koleoptil, jumlah antar nodul yang tampak dan daun, serta berat kering daun pada fase 7 daun. Namun, ada efek yang signifikan pada beberapa parameter lainnya (Tabel 7). Tabel 7. Pengaruh seed priming dengan air ledeng, larutan osmo, dan berbagai pengatur pertumbuhan pada parameter yang berbeda diukur dalam rumah kaca-rata-rata jagung yang ditanam lebih dari dua hibrida. Sumber: Subedi dan ma, 2005 Perbedaan ditunjukkan dalam perlakuan benih terutama di antara beberapa perlakuan perendaman, tapi tidak konsisten berbeda dengan perlakuan kontrol tanpa perendaman. Perendaman benih (seed soaking) dengan GA3 20 ppm selama 16 jam secara signifikan mengurangi panjang radikula dan koleoptil, klorofil daun, berat kering batang, dan berat kering seluruh tanaman di fase 7 daun. Sebaliknya, kasus ketika durasi perendaman hanya selama 30 menit, ada beberapa parameter secara signifikan lebih besar dari atau sama dengan kebanyakan perlakuan lainnya (Tabel 7). Seed soaking dengan 2,5% KCl juga secara signifikan mengurangi panjang radikula dan koleoptil, tinggi benih yang muncul, dan panjang batang di fase 7 daun dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Di sisi lain, seed soaking dengan sitokinin dan IAA selama 16 jam meningkatkan tinggi tanaman dan panjang batang dibandingkan dengan perendaman dengan air. Secara umum, performa perendaman air adalah rendah 1032 untuk sebagian besar parameter. Hal ini terbukti dari pot percobaan bahwa meskipun ada perbedaan perlakuan secara signifikan,tetapi tidak ada perlakuan yang dihasilkan berpengaruh lebih besar secara berkelanjutan dalam hal vigor benih dan pertumbuhan dibandingkan dengan perlakuan kontrol tanpa perendaman (Tabel 7). Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa benih jagung yang direndam dengan KCl 2,5% selama 16 jam mengurangi panjang radikula dan koleoptil, sedangkan yang direndam dalam GA3 20 ppm selama 30 menit meningkatkan beberapa sifat perkecambahan, tetapi tidak dapat mempengaruhi hasil biji. KESIMPULAN Kondisi penyimpanan pada suhu 20°C+45-50%RH aman untuk penyimpanan benih jagung selama satu tahun dengan kadar air kesetimbangan benih masih berada di bawah 11,5% dan viabilitas serta vigor benih masih tinggi. Daya berkecambah benih jagung tetap tinggi selama 15 bulan penyimpanan dalam plastik bening (clear polythene) dengan kadar air 8%lingkungan penyimpanan dengan suhu rata-rata 23,3/15,3°C (siang/malam) dan kelembaban relatif 77%. Penyimpanan benih jagung selama 12 bulan dalam wadah kontainer 1:1 dan 1:2,5 gel/rasio benih menghasilkan nilai tertinggi pada daya berkecambah, laju perkecambahan dan indeks vigor benih jagung. Priming benih jagung menggunakan polietilen glikol atau garam kalium (K2HPO4 atau KNO3) mempercepat perkecambahan dalam germinator dingin (10°C).Presowingseed treatment dengan IAA pada 10 ppm meningkatkan panjang akar, laju perkecambahan, dan vigor benih. Priming dengan air selama 36 jam lebih baik untuk vigor tinggi dan mempercepat perkecambahan. Benih yang direndam dalam GA3 20 ppm selama 30 menit meningkatkan beberapa sifat perkecambahan, tetapi tidak dapat mempengaruhi hasil biji. DAFTAR PUSTAKA Achigan, D.E., Dullo, E.M., Sognon ,V., and Engelmann F. 2004. Investigating the Effects of Low Input Drying Procedures on Maize (Zea mays L.), Cowpea (Vigna unguiculata L.) and Bambara Groundnut (Vignasubterranea (L.) Verdc.) Seed Quality in Benin. Plant Gen. Res.Newsletl. 140: 1-8. Ashraf M., and M.R. Foolad. 2005. Pre-sowing Seed Treatment-A Shotgun Approach to Improve Germination Growth and Crop Yield Under Saline and None-Saline Conditions. Advan.Agron. 88: 223-271. Chiu, K.Y., C.L. Chen, and J.M. Sung. 2002. Effect of Priming Temperature on Storability of Primed Sh-2 Sweet Corn Seed. Crop Science 42: 1996– 2003. Daniel, I.O., Oyekale, K.O., Ajala, M.O., Sanni, L.O., and Okelana, M.O. 2009. Physiological Quality of Hybrid Maize Seeds During Containerized-Dry 1033 Storage With Silica Gel.African Journal of Biotechnology Vol. 8 (2), pp. 181-186. Dezfuli, P.M., Zadeh, F.S., and M. Janmohammadi, M. 2008. Influence of Priming Techniques on Seed Germination Behavior of Maize Inbred Lines (Zea mays L.). ARPN Journal of Agricultural and Biological Science 3 (3): 2225. Govender, V., Avelinga, T.A.S., and. Kritzingera, Q. 2008.The effect of Traditional Storage Methods on Germination and Vigour of Maize (Zea Mays L.) From Northern Kwazulu-Natal and Southern Mozambique. South African Journal of Botany74:194-196. Joao Abba, E. and A. Lovato. 1999. Effect of Seed Storage Temperature and Relative Humidity on Maize (Zea mays L.) Seed Viability and Vigour. Seed Sci. & Technol. 27: 101-114. Mettananda, K.A., Weerasena S.L, and Liyanage, Y. 2001.Effect of Storage Environment, Packing Materialand Seed Moisture Content on Storabilityof Maize (Zea mays L.) Seeds. Annals of the Sri Lanka Department of Agriculture 3: 131-142. Murungu, F.S., Chiduza, C., Nyamugafata, P., Clark, L.J., Whalley,W.R., and Finch-Savage, W.E. 2004. Effect of On-Farm Seed Priming On Consecutive Daily Sowing Occasions on The Emergence and Growth of Maize in a Semi-Arid Zimbabwe. Field Crops Research 89: 49–57. Rehman, Z.U. 2006. Storage Effects on Nutritional Quality of Commonly Consumed Cereals. Food Chemistry 95: 53-57. Subedi K.D., and B.L. Ma. 2005. Seed Priming Does Not Improve Corn Yield in a Humid Temperate Environment. Agronomy Journal 97: 211-218. 1034 PENGELOMPOKAN TOLERANSI KEDELAI TERHADAP KEKERINGAN PADA STADIA PERKECAMBAHAN Ayda Krisnawati dan M. Muchlish Adie Jl. Raya Kendalpayak km 8, PO Box 66 Malang 65101 Email: [email protected] ABSTRAK Cekaman kekeringan merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan hasil pada kedelai. Cara cepat untuk mengidentifikasi genotipe toleran kekeringan adalah menggunakan Polyethylene glycol 6000 (PEG 6000). Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pemuliaan Kedelai, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian (Balitkabi) di Malang pada bulan April hingga Agustus 2010 menggunakan98 galur kedelai homosigot, beserta dua pembanding (varietas Detam-1 dan Mallika). Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan dua lingkungan. Lingkungan pertama adalah benih dikecambahkan dengan menggunakan larutan PEG 6000 yang setara dengan tekanan osmotik -0.6 mPA; sedangkan lingkungan kedua merupakan lingkungan optimal dengan menggunakan air suling. Perlakuan terdiri dari 100 galur kedelai homosigot; dengan dua ulangan. Evaluasi toleransi tanaman terhadap kekeringan menggunakan indeks toleransi cekaman (ITC). Hasil penelitian menunjukkan cekaman pemberian PEG, sebagai stimulasi kekeringan, menekan pertumbuhan hipokotil dan panjang akar. Dengan menggunakan kriteria seleksi moderat (toleran) yang diperoleh dengan nilai tengah ditambah dengan satu simpangan, maka didapatkan batas seleksi ITC sebesar 0.24,dan diperoleh sebanyak 14 galur homosigot berkriteria toleran kekeringan pada stadia kecambah. Kata kunci: Kedelai, kekeringan, stadia perkecambahan, PEG PENDAHULUAN Kekeringan menyebabkan perubahan signifikan baik dalam morfologi, fisiologi tanaman maupun biokimia tanaman. Beberapa tanaman memiliki satu set adaptasi fisiologis yang memungkinkan mereka untuk mentolerir kondisi stres air. Tingkat adaptasi terhadap penurunan potensial air yang disebabkan oleh kekeringan dapat bervariasi di antara spesies (Simpan et al., 1995 dalam Almeselmani et al. 2010). PEG banyak digunakan untuk melakukan simulasi kekeringan sejak lama karena senyawa ini bersifat stabil, polimer panjang, non ionic dan larut dalam air (Lawyer 1970; Krizek1985; Santoz-Diaz dan Ochoa-Alejo 1994). Sifat senyawa PEG yang larut dalam air ini dapat menyebabkan penurunan potensial air yang homogen, dimana besar penurunan potensial air bergantung pada konsentrasi dan berat MOLekul PEG. Kondis iseperti ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan simulasi penurunan potensial air. Potensial air dalam media yang mengandung PEG dapat digunakan untuk dapat meniru besarnya potensial air tanah (Michel dan Kaufmann 1973). PEG Sebagai faktor penyebab kekeringan melalui mekanisme pengurangan potensial air yang menyebabkan penurunan pertumbuhan benih berkecambah dan menghambat pertumbuhan bibit (Khahehet al. 2000; Zhu 2006), atau bahkan dapat menghambat perkecambahan 1035 seluruhnya (Hegarty, 1977). Selanjutnya, Dodd dan Donavon (1999) menyatakan bahwa berkurangnya presentase perkecambahan merupakan akibat dari perlakuan PEG yang dapat menurunkan gradient potensial air benih dengan lingkungan/media sekitarnya. Respon yang berbeda antar genotype kedelai terhadap cekaman osmotik PEG menunjukkan adanya variasi genetik yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan varietas kedelai yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Dalam kegiatan pemuliaan ketahanan tanaman kedelai terhadap kekeringan, seleksi terbaik dapat dilakukan melalui pemilihan hasil biji di lapang, namun prosedur seperti ini membutuhkan data dari satu musim pertanaman.Hal ini tidak selalu merupakan pendekatan yang efisien. Salah satu alternatif adalah dengan melakukan skrining dilaboratorium atau rumah kaca menggunakan bibit sebagai bahan uji. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa PEG 6000 dapat menginduksi stress air dan berkorelasi positif dengan yang terjadi dilapang atau rumah kaca (Short et al. 1987). Selanjutnya, kedelai pada cekaman 0,75 MPa memperlihatkan korelasi antara hasil biji/tanaman dengan panjang akar kecambah, indeks vigor, dan daya kecambah (Oemar et al. 1997). Uji toleransi kekeringan yang dilakukan oleh Kpoghomou et al. (1990) terhadap 17 galur kedelai pada stadia perkecambahan menunjukkan bahwa terdapat variabilitas genetic diantara galur yang diuji. Galur kedelai yang mampu tumbuh lebih tinggi memiliki akumulasi bahan kering dan indeks stress perkecambahan yang tinggi. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi toleransi galur-galur homosigot kedelai terhadap cekaman kekeringan menggunakan larutan PEG 6000 (Polyethylene glycol 6000) pada stadia perkecambahan. METODOLOGI Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah98 galur kedelai homosigot, beserta dua pembanding yaitu varietas Detam-1 dan Mallika. Penelitian dilakukan di laboratorium Pemuliaan Kedelai, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) di Malang pada bulan April hingga Agustus 2010. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui tingkat cekaman potensial osmotik dan karakter yang berperan dalam toleransi terhadap kekeringan. Penelitian pendahuluan dirancang dengan menggunakan lima varietas kedelai yang berindikasi peka dan tahan kekeringan. Dari hasil penelitian pendahuluan diketahui bahwa dosis PEG yang paling efektif digunakan sebagai larutan untuk menskrining toleransi kedelai terhadap kekeringan adalah 141.9 gram/1000 cc air suling atau setara dengan 6 bar. Peubah yang efektif sebagai pengukur toleransi terhadap kekeringan adalah kecepatan tumbuh dan panjang akar. Toleransi 100 genotipe kedelai terhadap kekeringan pada stadia perkecambahan dinilai dengan menggunakan larutan osmotikum Polyethylene glycol 6000 (PEG 6000)dengan menggunakan rancangan acak kelompok, dengan dua lingkungan. Lingkungan pertama adalah benih dikecambahkan dengan menggunakan larutan PEG, sebagai simulasi kekeringan pada stadia kecambah menggunakan larutan PEG 6000 yang setara dengan tekanan osmotik -0.6 mPA; sedangkan lingkungan kedua merupakan lingkungan optimal dengan 1036 menggunakan air suling. Perlakuan terdiri dari 100 galur kedelai homosigot; dengan dua ulangan. Setiap perlakuan menggunakan 25 benih dan dikecambahkan pada kotak plastik berukuran 10 cm x 20 cm x 10 cm yang telah diisi larutan osmotikum sesuai taraf perlakuan. Sebelum dilakukan penelitian dilakukan uji daya tumbuh benih untuk mengetahui potensi daya tumbuh sebelum dilakukan penelitian, demikian juga kadar air benih diposisikan sama yakni sekitar 10% basis kering. Penambahan air dilakukan jika terjadi pengurangan air dalam petridish akibat terserap benih, dengan menggunakan aquades sampai batas yang telah ditentukan. Konsentrasi larutan PEG 6000 pada penelitian ini dibuat berdasarkan rumus yang dikemukakan oleh Michel (1973) yaitu : = - (1,18 x 10 -2) C – (1,18 x 10 -4) C C2T Di mana : 2 + (2,67 x 10 -4)CT – (8,39 x 10-7) = Potensial osmotik C = Konsentrasi larutan (g/Kg H20) T = Temperature (OC) Evaluasi toleransi tanaman terhadap kekeringan digunakan indeks toleransi cekaman (ITC) yang disarankan oleh Fernandez (1993) yaitu: Indeks toleransi cekaman (ITC) = HPxHC ; hp 2 Dimana HP adalah tanaman pada kondisi optimal (potensial), HC adalah tanaman pada kondisi cekaman (kekeringan), dan hp adalah rata-rata tanaman pada kondisi optimal. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkecambahan merupakan tahap kritis kehidupan tanaman, dimana ketahanan terhadap kekeringan selama perkecambahan akan menentukan kestabilan pertumbuhan tanaman selanjutnya. Polyethylen glycol merupakan salah satu jenis osmotikum yang biasa digunakan untuk mensimulasi kondisi kekeringan, karena sifatnya yang dapat menghambat penyerapan air oleh sel atau jaringan tanaman. Selainitu, bobot MOLekulnya juga sangat besar (≥4000) sehingga tidak bersifat toksik karena tidak bias diserap oleh jaringan tanaman (Dami dan Hughes, 1997).Hasil pengujian pendahuluan menunjukkan bahwa larutan PEG 6 bar diketahui optimum untuk menentukan tanggap genotype kedelai terhadap kekeringan pada stadia perkecambahan. Paparan data sebagaimana tertera pada Tabel 1, terlihat bahwa cekaman pemberian PEG, sebagai stimulasi kekeringan, menekan pertumbuhan hipokotil dan panjang akar. Panjang hipokotil pada kondisi normal adalah 5,06 cm dan jika ditumbuhkan pada larutan PEG, panjangnya hanya 1,18 cm. Demikian juga pada panjang akar, media PEG menekan pertumbuhan akar menjadi 0,01 cm dibandingkan dengan jika ditumbuhkan pada kondisi normal yang memiliki panjang akar hingga 2,70 cm pada umur 7 hari setelah dikecambahkan. 1037 Terhambatnya pertumbuhan hipokotil maupun akar dalam media PEG diduga terjadi akibat terhambatnya pembelahan sel, pemanjangan sel, ataupun keduanya akibat cekaman kekeringan yang disimulasikan dengan PEG. Hasil yang serupa juga dipaparkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Kosturkova et al. (2008), yaitu adanya penurunan yang linear dan signifikan dalam perkecambahan, panjang tunas dan akar, danberat segar dan beratkering,seiring dengan meningkatnya konsentrasi PEG. Tabel 1. Panjang hipokotil dan panjang akar kecambah pada umur 7 hari dan nilai ITC. Malang, 2010 Galur homosigot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 1038 Ln Panjang Hipokotil (cm) Ls ITC 2.16 3.28 3.04 2.33 3.94 3.66 9.34 4.85 7.72 3.00 4.25 5.54 2.26 1.90 3.30 6.14 1.64 1.30 1.60 1.40 1.48 1.75 2.20 1.98 1.30 1.80 5.25 4.12 11.92 0.67 1.08 1.22 0.67 1.34 1.04 1.58 1.00 2.24 1.60 0.30 0.30 0.87 1.14 1.00 0.70 0.90 1.20 1.30 1.30 0.74 0.50 0.20 1.00 0.50 1.66 1.40 0.90 1.96 0.32 0.20 0.20 0.31 0.17 0.20 0.09 0.16 0.09 0.16 0.22 0.17 0.27 0.21 0.21 0.14 0.28 0.06 0.12 0.05 0.34 0.41 0.41 0.25 0.47 0.04 0.14 0.19 0.07 Lo Panjang Akar (cm) Ls ITC 1.38 1.72 1.36 0.83 1.82 1.60 3.64 2.18 2.92 1.50 1.40 3.04 1.12 1.78 1.56 2.96 1.28 1.38 1.30 0.83 1.50 0.80 0.85 1.53 0.83 1.70 2.30 1.26 5.10 1.30 0.76 0.60 0.67 0.94 0.72 1.20 0.90 2.12 0.86 0.67 0.90 0.80 0.84 0.74 0.13 0.85 1.30 0.96 0.78 0.76 0.60 0.60 0.53 0.76 1.20 1.06 0.82 1.78 0.04 0.32 0.41 0.23 0.27 0.34 0.18 0.27 0.09 0.28 0.37 0.23 0.26 0.30 0.34 0.32 0.26 0.04 0.20 0.07 0.33 0.31 0.35 0.43 0.10 0.17 0.23 0.28 0.13 Lanjutan... Galur Homozigot 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 Ln Panjang Hipokotil (cm) Ls ITC 1.54 10.18 9.84 7.80 1.60 7.32 3.48 1.94 5.00 8.30 5.90 6.40 7.40 7.00 10.30 2.90 6.20 3.90 10.20 4.50 2.50 9.20 5.90 8.22 2.20 1.90 10.86 11.78 8.46 4.78 9.92 5.92 9.74 1.60 1.18 3.33 6.50 2.23 6.10 1.13 1.10 1.10 1.05 1.33 1.00 1.00 0.88 1.20 1.34 1.20 1.00 1.14 2.13 2.44 0.60 0.90 1.24 1.40 0.50 0.97 0.83 0.30 0.60 0.50 1.35 1.50 1.40 1.40 1.80 1.30 1.00 1.38 1.16 1.05 1.43 1.00 1.40 2.20 0.17 0.09 0.09 0.11 0.11 0.12 0.20 0.28 0.15 0.10 0.14 0.13 0.11 0.10 0.07 0.27 0.14 0.17 0.08 0.20 0.24 0.10 0.16 0.11 0.35 0.15 0.08 0.07 0.10 0.13 0.09 0.14 0.09 0.17 0.09 0.17 0.13 0.17 0.10 Lo Panjang Akar (cm) Ls ITC 0.84 4.76 3.98 4.74 1.52 3.50 3.00 0.92 1.38 3.40 2.30 2.74 3.14 2.60 4.20 2.06 1.96 2.22 4.50 2.67 1.68 4.10 2.14 4.88 1.75 1.57 5.02 5.28 4.50 2.68 4.66 3.08 4.16 1.68 5.94 3.40 2.15 2.30 4.42 0.70 1.04 0.80 0.90 1.42 1.04 0.90 0.70 0.70 0.90 1.34 1.30 1.04 1.84 2.34 0.84 0.98 1.24 1.24 0.60 0.84 0.90 0.66 1.18 0.58 1.40 1.54 1.88 1.24 1.80 1.50 0.68 1.24 1.20 1.00 1.60 0.90 1.60 2.16 0.20 0.16 0.20 0.17 0.04 0.20 0.23 0.26 0.36 0.22 0.18 0.19 0.21 0.11 0.11 0.29 0.26 0.20 0.16 0.29 0.30 0.19 0.32 0.16 0.38 0.07 0.14 0.12 0.16 0.12 0.15 0.25 0.17 0.17 0.14 0.16 0.27 0.13 0.12 1039 Lanjutan... Galur Homozigot 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 (Detam1) 100 (Mallika) Ln 3.86 5.00 9.70 7.22 1.25 1.30 9.38 7.96 4.88 8.86 5.46 2.90 7.94 8.36 8.84 4.84 2.02 3.74 1.16 7.34 4.90 1.78 5.30 7.84 3.67 5.02 2.25 4.30 1.43 2.26 9.68 7.42 Rata2 Simp.baku Terendah Tertinggi 5.06 3.00 1.16 11.92 Panjang Hipokotil (cm) Ls ITC 1.60 0.15 2.04 0.12 3.06 0.07 1.46 0.11 1.00 0.16 0.80 0.30 1.50 0.09 1.50 0.10 1.30 0.15 1.40 0.10 0.75 0.16 1.04 0.22 1.26 0.11 1.74 0.09 1.33 0.10 0.75 0.17 1.00 0.25 1.35 0.17 1.10 0.04 1.13 0.12 1.17 0.16 1.18 0.19 1.10 0.15 1.70 0.10 1.33 0.17 2.04 0.12 1.80 0.09 1.15 0.17 0.50 0.45 0.80 0.29 1.00 0.09 1.00 0.12 1.18 0.47 0.20 3.06 0.16 0.08 0.04 0.47 Lo 2.64 3.32 5.76 4.76 2.83 2.00 3.58 3.88 3.23 3.70 2.92 2.18 4.66 4.60 4.42 2.52 2.36 3.82 1.78 4.12 2.98 3.34 2.50 2.98 2.60 1.90 1.84 1.70 1.25 1.38 3.10 2.50 Panjang Akar (cm) Ls 1.88 3.20 3.28 2.74 2.70 1.70 1.26 1.08 0.78 0.80 0.50 1.10 1.16 1.80 0.96 1.13 0.66 1.50 0.96 0.88 1.24 1.30 1.50 1.20 1.28 1.60 1.17 1.48 1.07 0.90 1.24 1.36 ITC 0.11 0.01 0.07 0.09 0.02 0.08 0.18 0.19 0.23 0.21 0.28 0.23 0.16 0.13 0.18 0.22 0.31 0.16 0.26 0.19 0.20 0.18 0.16 0.20 0.20 0.08 0.20 0.08 0.12 0.25 0.19 0.18 2.70 1.28 0.80 5.94 1.17 0.54 0.130 3.28 0.20 0.08 0.01 0.42 Sumber: Analisis data pengujian, 2010 Indeks toleransi cekaman merupakan tolok ukur yang dinilai efektif menilai toleransi suatu sifat terhadap cekaman tertentu, termasuk cekaman kekeringan. Penelitian pada enamgenotipe kedelai di Thailand menunjukkan bahwa Stress Tolerance Index (STI/ITC) lebih tepat untuk memilih kultivar toleran kekeringan karena STI memiliki korelasi yang sangat signifikan dengan hasil biji (r =0,66) dan mampu membedakan genotipe yang berpenampilan baik pada kondisi tercekam kekeringan (Tint et al. 2011). 1040 Rentang nilai ITC untuk peubah panjang hipokotil adalah 0.04 hingga 0.47, dengan rata-rata 0.16. Semakin tinggi nilai ITC menunjukkan semakin toleran terhadap kekeringan. Dengan menggunakan kriteria seleksi moderat (toleran) yang diperoleh dengan nilai tengah ditambah dengan satu simpangan, maka didapatkan batas seleksi sebesar ITC sebesar 0.24. Apabila dibandingkan dengan jika menggunakan seleksi ketat (sangat toleran) yang diperoleh dengan nilai tengah ditambah dengan dua kali simpangan baku, maka akan diperoleh batas seleksi sebesar ITC 0.32. Dengan batas seleksi ITC sebesar 0.24 diperoleh sebanyak 14 galur homosigot berkriteria toleran kekeringan pada stadia kecambah. Nilai ITC varietas pembanding Detam 1 adalah sebesar 0.09 dan nilai ITC untuk varietas Mallika adalah sebesar 1.12, menunjukkan bahwa Mallika berindikasi lebih toleran terhadap kekeringan dibandingkan Detam 1, namun kedua varietas kedelai hitam tersebut, nilai ITCnya masih dibawah rata-rata nilai ITC seluruh galur yang diuji yakni 0.16. KESIMPULAN 1. Penggunaan polyethylene glycol 6000 sebagai larutan osmotikum adalah efektif untuk menguji galur kedelai toleran kekeringan pada stadia perkecambahan. 2. Batas seleksi ITC sebesar 0.24 diperoleh sebanyak 14 galur homosigot berkriteria toleran kekeringan pada stadia kecambah. DAFTAR PUSTAKA Almeselmani, M., A.A. Saud, K. Al-Zubi, F. Hareri, M. Al-Nassan, M.A. Ammar, O. Z. Kanbar, H. Al-Naseef, A. Al-Nator, A. Al-Gazawy and H.A. Al-Sael. 2012. Physiological Attributes Associated to Water Deficit Tolerance of Syrian Durum Wheat Varieties. Experimental of Agriculture and Horticulture. Article ID:1929-0861-2012-08. Academic Research Center of Canada. Dami, I. and H. Hughes. 1997. Effects of PEG-Indicated Water Stress on in Vitro Hardening of “Valiant” Grope. Plant Cell, Tissue, and Organ Culture 47:97-101. Dodd, G.L. and Donovan, L.A., 1999. Water Potential and Ionic Effects on Germination and Seedling Growth of Two Cold Desert Shrubs. Am. J. Bot., 86:1146-1153. Hegarty, T.W., 1977. Seed Activation and Seed Germination Under Moisture Stress. New Phytol., 78:349-359. Khaheh, H., Bingham, M. and Powel, A., 2000. The Effects of Reduced Water Availability and Salinity on The Early Seedling Growth of Soybean. Proceeding of The Third International Crop Science Congress, Humbarg, Germany. 1041 Kosturkova, G., R. Todorova, G. Sakthivelu, M. K. A. Devi,P. Giridhar, T. Rajasekaran, G. A. Ravishankar. 2008. Response of Bulgarian and Indiansoybean Genotypes To Drought Andwater Deficiency In Field And Laboratoryconditions. Gen. Appl. Plant Phsyol. Special Issue 34 (3-4): 239-250. Kpoghomou, B. K., Sapra, V. T. and Beyl, C. A. 1990. Screening for Drought Tolerance: Soybean Germination and its Relationship to Seedling Responses. Journal of Agronomy and Crop Science 164: 153–159. Krizek, D.T. 1985. Methods of inducing water stress in plant. Hort. Sci. 20:10281038. Lawyer, D.W. 1970. Absorption of polyethylene glycol by plant effect on plant growth. New Fisiol. 69: 501-513. Michel, B.E and M.R. Kaufmann. 1973. The osmotic potential of polyethylene glycol 6000. Plant Physiol. 57: 914-916. Santoz-Diaz, M.S. and N. Ocha-Alejo. 1994. PEG tolerant cell clones of chilli pepper: Growth osmotic potentials and solute accumulation. Plant Cell, Tissue, and Organ Culture 37:1-8. Short, K.C., I. Warburton, and A.V. Roberts. 1987. In-vitrohardening of Cultures Cauliflower and Chrysanthemum Plantlets to Humidity. Acta Hor. 2120:324-329. Tint, A.M.M., E. Sarobol, S. Nakasathein and W. Chai-aree. 2011. Differential Responses of Selected Soybean Cultivars to Drought Stress and Their Drought Tolerant Attributions. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 45 : 571 – 582. Zhu, J., 2006. Effects of drought stresses induced by polyethylene glycol on germination of Pinussylvestris var. mongolica seeds from pollination forests on sandy land. Natural and Polination Forests on sandy Land Journal of Forest Research, 11(5);319-328. 1042 PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN MELALUI PEMANFATAN LAHAN PEKARANGAN DI KABUPATEN TORAJA UTARA Nely Lade. S Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar Email: [email protected] ABSTRAK Luas wilayah kabupaten Toraja Utara tercatat 1.151,47 km2 yang meliputi 21 kecamatan. Lahan pekarangan jika dimanfaatkan secara optimal dan intensif melalui pengelolaan sumberdaya alam lokal secara bijaksana, guna menjamin kesinambungan ketersediaan pangan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas, nilai, dan keanekaragaman yang ditata dengan rapi yang dapat memberikan letak kesesuaian dengan pemilihan komoditas yang dapat menjadi sumber dari berbagai jenis bahan pangan yang bernilai gizi tinggi dan dapat memberikan kontribusi bagi rumah tangga secara kontinyu khususnya pemenuhan pola pangan harapan yang efektif, berkualitas. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Balusu, Kecamatan Balusu, dan Lembang Tallang Sura, Kecamatan Buntao, Kabupaten Toraja Utara, pada bulan Februari sampai Desember tahun 2012. Metode pelaksanaan kegiatan adalah survey dan kegiatan on farm.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan pekarangan secara intensif melalui pengelolaan berbagai sumber daya alam dengan mernanam berbagai jenis sayuran, peternakan, perikanan yang dapat memberikan kontribusi dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Pola Pangan Harapan sebelum dan setelah kegiatan MKRPLmemberikan skoor PPh sebelum 65,12 setelah kegiatan, terjadi peningkatan hingga 84,46. Biaya konsumsi pangan harian rumah tangga tani sebelum dan setelah kegiatan M-KRPL terdapat penghematan biaya konsumsi sebesar Rp 2.165. Kata kunci: Pekarangan, ketahanan pangan PENDAHULUAN Ketahanan pangan (food security) menjadi fokus perhatian pemerintah saat ini. Ketersediaan pangan ditentukan oleh dua determinan kunci, yaitu ketersediaan pangan (food availability) dan akses pangan (food access). Tantangan utama dalam peyediaan pangan dihadapkan pada ketersediaan sumber daya lahan yang semakin langka (lack of resources), baik luas maupun kualitas, serta konflik kepentingan (conflict of interest). Kelangkaan tersebut disebabkan semakin meningkatnya penggunaan lahan pertanian ke non pertanian yang bersifat permanen (irreversible) dan multiplikasi. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga, dengan prinsif pemanfaatan pekarangan ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa “ Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin pada tersedianya pangan yang cukup, baik 1043 jumlah, mutu serta aman, merata dan terjangkau”, Atas dasar tersebut, maka terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia (Saliem,2011). Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan, Perpres No. 22, 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal, dan Permentan No. 43, 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal, yang menyatakan bahwa penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu melalui: (a) Pengembangan sistem produksi pangan yang bertumpu pada sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal; (b) Pengembangan efisiensi sistem usaha pangan; (c) Pengembangan teknologi produksi pangan; (d) Pengembangan sarana dan prasarana produksi pangan; dan (e) Mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif (Badan Litbang Pertanian). Pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan bulan Oktober 2010 di Jakarta, Presiden RI mengemukakan bahwa ketahanan dan kemadirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga. Terkait hal tersebut, maka pemanfaatan lahan pekarangan guna pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif perwujudan kemandirian pangan rumah tangga. Alasan pokok pentingnya melakukan pengembangan pedesaan, yaitu : (a) Masih adanya masyarakat yang memiliki kemampuan yang rendah dalam mengakses pangan yang disebabkan oleh keterbatasan penguasaan sumberdaya alam, sehingga kurang mempunyai peluang dalam berusaha di bidang pertanian; (b) Masih adanya kemiskinan struktural, sehingga meskipun telah berusaha tetapi pendapatan yang diperoleh belum memenuhi kebutuhan keluarga; (c) Masih minimnya sarana dan prasrana ( pengairan, jalan desa, sarana usahatani, air bersih, listrik dan pasar ) yang dimiliki; (d) Masih terbatasnya pengetahuan tentang pangan pangan beragam, bergizi dan berimbang; (e) Belum optimalnya fungsi kelembagaan aparat dan masyarakat/kelompok tani; (f) Masih terbatasnya akses masyarakat terhadap lembaga permodalan; (g) Masih rendahnya akses masyarakat desa terhadap lembaga pemasaran; (h) Masih terbatasnya masyarakat terhadap informasi dan teknologi; (i) Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat; (j) Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan (J) Masih tingginya tingkat perilaku atau kebiasaan masyarakat dalam hal adat istiadat (pesta kematian, naik rumah dll) yang sering dilaksanakan. Hal tersebut mendorong terjadinya kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan. Salah satu upaya mengatasi masalah kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan adalah melalui program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL). Pelaksanaan Perpres No. 22 tahun 2009 dan Permentan No. 43 tahun 2009, hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif mewujudkan penyediaan, distribusi, dan konsumsi pangan dari waktu ke waktu dengan memanfaatkan kelembagaan sosial ekonomi yang ada dan dapat dikembangkan di tingkat pedesaan dengan fokus utama adalah rumah tangga pedesaan. Berdasarkan UU. No. 28 Tahun 2008, bagian Utara wilayah kabupaten Tana Toraja dimekarkan menjadi Kabupaten Toraja Utara. Kebanyakan masyarakat Toraja hidup sebagai petani. Letak Astronomis berada pada 20 – 30 1044 LS dan 119o – 120o BT Ketinggian dari permukaan Laut = 150 – 3.083 M terdiri dari : 18.425 Ha pada ketinggian 150 - 500 M = 5,80 % 143.314 Ha pada ketinggian 501 - 1000 M = 44,70 % 118.330 Ha pada ketinggian 1000 - 2000 M = 36,90 % 40.508 ha ketinggian lebih dari 2000 M = 12,60 %. Curah Hujan 1500 mm/tahun s.d >3500 mm/tahun. Jenis Batuan, Sedimen Batuan Gunung BatuanTerobosan. Jenis Tanah, Alluvial Kelabu Brown Forest Mediteran Podsolit Merah Kuning Rupa Bumi : Bergelombang dan bergunung (Anonim, 2013). Kepemilikan lahan pekarangan pada pemukiman di perkotaan berbeda dengan pedesaan. Pemukiman perkotaan cenderung memiliki lahan pekarangan terbuka yang sempit dibandingkan lahan pekarangan yang ada di pedesaan (Nurcahyati, 2012). Ketersediaan lahan pekarangan di pedesaan dapat diklasifikasikan menjadi empat klaster. Klaster pertama yakni lahan pekarangan sangat sempit yaitu rumah tangga tempat tinggal yang tidak mempunyai halaman, karena lahannya yang cukup untuk pembangunan rumah yang luasnya 120m², klaster kedua merupakan lahan pekarangan berklasifikasi sempit yang luasnya ≤ 120 m², klaster ketiga adalah rumah dengan luas lahan berkisar antara 120 – 400 m² hal tersebut merupakan klasifikasi pekarangan sedang, dan klaster keempat merupakan lahan pekarangan dengan luas >400 m² (Nurhayati, 2012). Potensi lahan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal melalui budidaya pertanian sebagai penyedia pangan, sehingga mampu mendukung ketersediaan pangan rumah tangga tani di pedesaan (Ririn,2012). Luas wilayah Kabupaten Toraja Utara tercatat 1.151,47 km2 yang terbagi dalam 151 Desa/Kelurahan, dan 21 Kecamatan. Kabupaten Toraja secara geografis terletak pada 2o40' LS sampai 3o25' LS dan 119o30' BT sampai 120o25' BT. Kabupaten Toraja Utara beribukota di Rantepao, dengan batas wilayah Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Kurra, Kecamatan Bittuang Kabupaten Tana Toraja. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Lamasi, Kecamatan Walenrang, Kecamatan Wara Barat dan Kecamatan Bastem Kabupaten Luwu, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat, Kelurahan Limbongan, Kecamatan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sangalla Selatan, Kecamatan Sangalla Utara, Kecamatan Makale Utara, dan Kecamatan Rantetayo, Kabupaten Tana Toraja (BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2013). Kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, merupakan upaya pemerintah guna meningkatkan Pola Pangan Harapan (PPH) dan mengomptimalisasikan pemanfaatan lahan pekarangan sebagai sumber pangan lokal. Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Pertanian telah menyusun suatu Program Pemerintah yang disebut dengan “Model Kawasan Rumah Pangan Lestari” (M-KRPL), yang dirancang dan didominasi oleh rumah tangga dengan prinsip pemanfaatan lahan pekarangan yang ramah lingkungan guna pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, dan dapat menghemat pengeluaran dan meningkatkan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan marsyarakat pada umumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi Pola Pangan Harapan dan pemanfaatan lahan pekarangan serta pengembangan kegiatan ekonomi produktif keluarga dengan menciptakan lingkungan hijau, bersih, sehat secara mandiri yang pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat secara lestari dalam suatu kawasan. 1045 METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Balusu, Kecamatan Balusu dengan titik koordinat 2057’46” LS dan 119059’9” BT.dan Lembang Tallang Sura’., Kecamatan Buntao’ dengan titik koordinat 302’7” LS dan 119056’56” BT.Kabupaten Toraja Utara, berlangsung bulan Pebruari hingga Desember 2012. Tahapan kegiatan meliputi : a). Persiapan yang meliputi koordinasi dan konsultasi dengan Dinas Pertanian Tingkat II, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian Tingkat II serta Dinas Terkait lainnya, guna memperoleh dukungan dalam pelaksanaan kegiatan, mencari kesepakatan dalam penentuan lokasi kegiatan, Pengumpulan informasi awal tentang potensi kelompok sasaran dan memilih pendamping yang menguasai teknik pemberdayaan masyarakat sesuai kriteria-kriteria yang telah ditentukan; b). Sosialisasi untuk menyampaikan maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut kepada calon rumah tangga/kelompok wanita tani kooperatif untuk menyamakan pemahaman dan kesepakatan awal rencana tindak lanjut kegiatan yang akan dilaksanakan; c). Pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD); d). Introduksi teknologi pemanfaatan pekarangan; e).Survei Pola Pangan Harapan petani kooperator.Data dan informasi yang diperoleh disajikan secara diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Luas wilayah Kabupaten Toraja Utara tercatat 1.151,47 km2 yang meliputi 21 kecamatan. Kabupaten Toraja Utara yang beribukota di Rantepao terletak antara 2° - 3o LS dan 119° - 120° BT, yang berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Sulawesi Barat di sebelah utara dan Kabupaten Tana Toraja di sebelah selatan, serta pada sebelah Timur dan Barat masing-masing berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Provinsi Sulawesi Barat. Karakteristik Petani Pelaksana Kelompok tani pelaksana M-KRPL adalah merupakan Kelompok Wanita Tani Larisya dan Kelompok Wanita Tani Pamisa Penaa’ yang beranggotakan sebanyak 25 kelompok keluarga/rumah tangga, terbentuk sejak tahun 2009. Tabel 1. Karakteristik petani pelaksana kegiatan M-KRPL Kabupaten Toraja Utara No. 1. 2. 3. 1046 Uraian Umur (thn) 15 – 40 ˃ 40 Pendidikan SD SMP SLTA Sarjana Pekerjaan PNS Petani Jumlah (orang) Persentase (%) 18 7 72 28 3 7 12 3 12 28 48 12 1 24 4 96 Lanjutan… No. 4. Uraian Luas Lahan Pekarangan Sempit atau 120 m2 Sedang atau 120 – 400 m2 Luas atau 400 m2 Sumber data :Analisis data primer, 2012 Jumlah (orang) Persentase (%) 2 23 0 8 92 0 Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa anggota KWT pelaksana M-KRPL menunjukkan bahwa rata-rata anggotanya berumur antara 15 – 50 tahun. Sedang tingkat pendidikan terbanyak adalah SLTA yang mencapai 48 %, kemudian SLTA mencapai 12 atau 48 %. Sementara luas lahan pekarangan rata-rata tergolong sedang antar 120 – 400 m2. Pemanfaatan Lahan Pekarangan Lahan pekarangan petani kooperator rata-rata tergolong sedang, luasnya antara 120 - 400 m2. Lahan pekarangan petani tersebut sebagian besar belum dimanfaatkan sebagai areal pertanaman dengan beraneka ragam komoditi pertanian, khususnya sayuran dan buah-buahan yang dapat memberikan pemenuhan gizi keluarga, namun ada pula sebagain yang telah memanfaatkan lahan pekarangan petani dengan menanam berbagai jenis tanaman hias dan buah-buahan tetapi belum ditata dengan baik sehingga belum memberikan nilai estetika. Lahan pekarangan merupakan suatu sumber bahan pangan keluarga jika dimanfaatkan dengan menanam berbagai jenis sayuran, buah-buahan, ikan dan peternakan juga berbagai jenis keperluan bahan pangan keluarga lainnya. Sebagian dari anggota KWT ini, telah mempunyai aktifitas kegiatan PKK dalam pengelolaan hasil seperti : pembuatan keripik pisang, keripik talas, keripik ubi jalar dan ubi kayu, serta pembuatan dampo durian, yang sebagian bahan mentahnya masih diperoleh dari luar. Pemasarannya masih tergantung dari pada pesanan. Kegiatan ini merupakan pembinaan dari Badan ketahananan pangan Kabupaten Toraja Utara. Untuk memperkuat kelembagaan tersebut, dalam kegiatan penelitian ini dirancang sistem guna pemenuhan gizi keluarga yang berbasis sumberdaya lokal berkelanjutan spesifik lokasi. Adapun tahapan kegiatan penelitian tersebut adalah sebagai berikut : a. Pembuatan Kebun Bibit Desa Luas lahan KBD 120 m2, diolah dan diberi pupuk organik. Dibuat berupa bedengan berukuran 8 m x 12 m dan 4 m x 5 m. Jenis tanaman yang disemaikan/dibibitkan pada KBD antara lain : Sawi hijau, cabe besar, paprika, cabe kecil, tomat, caisin, bayam, paria, dan kangkung. Bibit yang disemai di KBD kemudian didistribusikan ke anggota KWT unutk ditanam pada masingmasing lahan pekarangan. Pengelolaan dan pemeliharaan bibit di KBD dilakukan secara gotong royong yang dikoordinir olah ketua KWT. b. Budidaya Tanaman Penanaman pada lahan pekarangan kelompok wanita tani terdiri dari beberapa media diantaranya : menanam benih/bibit pada media pot-pot dan polybang, ember ataupun wadah lainnya yang disusun/ditempatkan 1047 pada rak-rak tanaman yang dibuat, adapun komposisi media tanamnya adalah tanah : pupuk organik dengan perbandingan 2 : 1. Penanaman benih/bibit secara Vertikultur pada pipa paralon dengan ukuran lebar 15 cm, panjang 1,2 m yang disuusn secara bertingkat berselang, pada rak kayu dengan perbandingan media tanamannya tanah dan pupuk organik antara 2 : 1. c. Teknologi Budidaya Penyiapan bibit/benih Benih sayuran yang berukuran kecil disemaikan dalam wadah tray/nampan pesemaian/bak pesemaian dengan media campuran tanah dan pupuk organic 2 : 1, sedangkan benih/bibit yang berukuran stek langsung ditanam di bedengan yang telah di beri pupuk kandang dengan dosis 2 ton/ha pada halaman pekarangan. Penanaman Benih/bibit yang berasal dari KBD ditanam pada media campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 2 : 1 pada pot, polybag, dan sebagainya, kemudian ditata sedemikian rupa. Selanjutnya benih berukuran besar seperti talas dan stek langsung ditanam di bedengan yang telah diberi pupuk organik dengan dosis 2 ton/ha. Pemupukan Pemberian pupuk organik pada saat pengolahan lahan/bedengan atau pengisian media tanam pada pot, polybag dan media vertikultur. Sementara pemberian pupuk NPK disesuaikan dengan kondisi pertanaman. Pengendalian Hama Penyakit Dilakukan dengan cara mekanis apabila masih dibawah ambang, yakni mengamati tanaman secara berkala dan yang terserang H/P maka tanaman dapat dicabut dan dimusnahkan; selanjutnya jika serangan H/P tingkat serangannya tinggi dapat diberantas dengan menggunakan insektisida/fungisida. Panen Cara panen dilakukan sesuai komoditi dan kebutuhan konsumsi rumah tangga petani tersebut ataupun dijual pada pasar setempat/lokal. Pemanfaatan Hasil Panen Pemanfaatan hasil panen dari kegiatan M-KRPL masih sebagai konsumsi kebutuhan pangan rumah tangga peserta M-KRPL, namun sebagian dijual ke pasar lokal atau pasar setempat. d. Pola Pangan Harapan (PPH) Kelompok Binaan masing-masing rumah tangga sebelum dan sesudah kegiatan M-KRPL di Kabupaten Toraja Utara. 1048 Tabel 2. Pola pangan harapan rumah tangga di KRPL perdesaan Kab. Toraja Utara, Tahun 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Sayur dan Buah Kacang-kacangan Minyak dan Lemak Buah/biji berminyak Gula Lain-lain Jumlah Pola Pangan Harapan M-KRPL Sebelum Sesudah 24,76 25,00 1,25 1,79 4,46 22,70 24,16 26,84 3,00 5,27 3,50 3,30 0,31 0,13 1,00 2,11 0,00 0,00 65,12 84,46 Selisih 0,24 0,54 18,24 2,68 2,27 ˗0,20 ˗0,18 1,11 0,00 19,34 Sumber: Analisis data primer, 2012 Dalam pelaksanaan M-KRPL di Kabupaten Toraja Utara, khususnya di Kelurahan Balusu dan Kelurahan Tallang Sura, pola konsumsi pangan harian rumah tangga yang terdiri dari padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah, kacang-kacangan, serta gula, terjadi peningkatan skor PPH dari 65,12 sebelum kegiatan M-KRPL meningkat menjadi 84,46 dibandingkan dengan kelompok pangan lainnya, sehingga terjadi selisih peningkatan skor sebesar 19,34. Hal tersebut disebabkan oleh karena tersediannya pangan di pekarangan serta peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya akan kebutuhan gizi, maka dengan melalui kegiatan M-KRPL, kebutuhan gizi masyarakat dapat terpenuhi. Tabel 3. Biaya pengeluaran pangan harian rumah tangga M-KRPL pedesaan di Kabupaten Toraja Utara Pangan konsumsi Beras Ikan Telur ayam ras Susu Sayur Buah Minyak Goreng Gula pasir/merah Kopi/teh Bumbu Jumlah Biaya Harian Rumah Tangga (Rp) Sebelum Setelah Selisih 5.650 5.800 150 21.100 21.950 850 1.850 1.850 2.255 2.315 60 2.375 3.880 1.505 3.150 3.650 500 2.400 1.815 -585 2.300 2.300 720 720 875 560 -315 42.675 44.840 2.165 1049 KESIMPULAN 1. 2. 3. 4. Berdasarkan data dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : Dengan pemanfaatan lahan pekarangan rumah tangga petani dengan menanamberbagai macam sayuran dan buah guna memenuhi kebutuhan gizi dan konsumsi pangan harian yang berdampak pada penghematan biaya konsumsi harian sebesar Rp. 2.165,Lahan pekarangan rumah tangga petani di Kabupaten Toraja Utara, khususnya di kelurahan Balusu dan kelurahan Tallang Sura, belum di manfaatkan secara optimal yang dapat mendukung ketersediaan pangan rumah tangga. Dengan adanya peningkatan PPH dan biaya penghematan pengeluaran harian rumah tangga pada kegiatan M-KRPL tersebut, maka dalam pengembangan kegiatan M-KRPL dianggap perlu dikembangkan. Kelembagaan kelompok wanita tani kooperator masih perlu pembinaan dan bimbingan baik dalam bentuk penguatan kelembagaan maupun pemasaran hasil. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2013. Gambaran Umum Kabupaten Tana Toraja. http://www.pnpmkabtanatoraja.blogspot.com. [diakses 29 mei 2013). Badan Litbang Pertanian. 2006. Revitalisasi Ketahanan Pangan: Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan. Prosiding. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan Dalam Angka. 2010. http://www.bps.sulsel.go.id. [diakses 29 Mei 2013]. Nurcahyati, E. 2012. Membasngun Kemandirian Pangan Melalui Pemanfaatan Lahan Pekarangan. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Banten. Ririn. 2012. Pemanfaatan Lahan Pekarangan di Kelomspok Wanita Tani Desa Mirigambar Dusun Miridudo Kecamatan Sumbergempol. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sumbergempol. Saliem H.P 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan. 1050 PENINGKATAN KUALITAS GIZI JAMUR TIRAM PUTIH MELALUI FORMULASI SUBSTRAT MEDIA TANAM Abdul Wahab Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Jl.Prof.Muh.Yamin No.89 Puuwatu Kendari Email: sultra.litbang.deptan.go.id ABSTRAK Manfaat penting konsumsi jamur tiram putih bagi tubuh manusia sangat bergantung pada kualitas nutrisi yang dikandungnya. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh beberapa jenis substrat media tumbuh terhadap kandungan gizi jamur tiram. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok terdiri atas empat perlakuan substrat media tumbuh yaitu dedak, ampas tahu, ampas sagu, dan serbuk gergaji sebagai kontrol. Setiap percobaan diulang 4 kali, dan setiap unit perlakuan menggunakan 20 baglog. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum ketiga substrat lokal yang diuji dapat dimanfaatkan sebagai campuran serbuk gergaji dalam produksi jamur tiram dengan komposisi 10 % substrat dari berat baglog, namun demikian substrat dedak lebih mampu meningkatkan kandungan gizi jamur tiram dibandingkan dengan ampas tahu dan ampas sagu. Berdasarkan analisis kandungan hara substrat media tumbuh, dedak lebih mampu menyediakan unsur hara dalam jumlah berimbang untuk pertumbuhan dan perkembangan jamur tiram dibandingkan dengan substrat lainnya. Kata kunci: Dedak, ampas tahu, ampas sagu, jamur tiram, kualitas gizi PENDAHULUAN Jamur tiram merupakan jenis jamur konsumsi yang bernilai ekonomis cukup tinggi. Salah satu spesies jamur tiram yang banyak dibudidayakan adalah Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus), karena di samping lebih mudah budidayanya, jenis ini juga lebih banyak diminati oleh konsumen. Sesuai namanya, Jamur Tiram Putih memiliki tudung berwarna putih, berbentuk bulat dengan diameter tudung berkisar 3 – 15 cm dan tangkai tidak bercabang. Mengkonsumsi jamur tiram dapat memberikan banyak manfaat bagi tubuh, selain berfungsi sebagai bahan makanan, jamur tiram juga merupakan sumber senyawa bioaktif yang dapat digunakan sebagai obat. Jamur tiram dapat memperlancar pencernaan di dalam usus karena memiliki serat tinggi, di samping itu juga bersifat antiviral dan anti kanker. Jamur tiram juga dapat menurunkan kadar gula dalam darah bagi penderita diabetes dan mampu mengontrol kolesterol dalam darah (Lindequies et al., 2005; Sumiati, 2005). Berbagai manfaat positif jamur tiram tersebut tidak terlepas dari nutrisi/gizi yang dikandungnya. Kadar dan komposisi protein jamur tiram sangat lengkap dan lebih tinggi dibandingkan dengan sayuran lainnya seperti asparagus dan kubis, namun kadar lemaknya lebih rendah daripada daging. Jamur tiram juga mengandung sembilan asam amino yang sangat baik bagi kesehatan tubuh seperti metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin, dan fenilalanin. Jamur tiram juga merupakan sumber berbagai vitamin terutama Vitamin B dengan kandungan Thiamin (B1), Riboflavin (B2), Niasin yang sangat 1051 tinggi, Vitamin C, dan Provitamin D yang dapat diubah menjadi Vitamin D dengan bantuan sinar matahari. Selain itu, kandungan gizi jamur tiram juga memiliki berbagai macam mineral yang sangat bermanfaat bagi tubuh kita, yaitu Kalium, Fosfor, Natrium, Kalsium, Magnesium, Besi, Seng, Mangan, dan Tembaga (Isnawan et al., 2003). Mengingat demikian besar manfaat jamur tiram tersebut, maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kandungan gizinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui formulasi media tumbuhnya. Media tumbuh merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan jamur tiram hingga menghasilkan tubuh buah yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Untuk meningkatkan kualitas kandungan gizi jamur tiram, salah satu cara yaitu memperbaiki kualitas substrat dengan inovasi aplikasi bahan suplemen berbahan baku lokal untuk substrat. Substrat harus mengandung selulosa, hemisellulose, lignin, karbohidrat terlarut (glukosa dan sakarin), serta makro elemen penting (N,P,K, dan Ca), mikro elemen esensial (Fe, Mn, Zn, B, Co, Mo, Mg, Cu, dan Ni), dan air 65-70%, serta pH 6 – 7 (Senyah et al., 1989; Shim, 2001). Penelitian bertujuan untuk memperoleh jenis bahan substrat dari suplemen lokal yag dapat meningkatkan kualitas kandungan gizi jamur tiram putih di Sulawesi Tenggara. Dengan aplikasi suplemen yang sesuai, diharapkan kualitas kandungan gizi jamur tiram meningkat. METODOLOGI Penelitian dilakukan di Kabupaten Konawe Selatan mulai Januari sampai Desember 2009. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 ulangan, dan masing-masing ulangan menggunakan 20 baglog. Perlakuan yang diuji adalah media tumbuh menggunakan 3 substrat lokal yaitu dedak, ampas tahu, dan ampas sagu, serta kontrol sebagai perlakuan standar. Biakan murni strain jamur tiram ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA). Biakan murni jamur tiram diperbanyak dengan cara memperbanyak koloni bibit jamur. Selanjutnya bibit jamur dari biakan murni ditumbuhkan ke dalam media induk (mother spawn) berupa bekatul yang dikemas dalam botol. Botol media bibit induk disterilkan menggunakan autoclave pada tekanan (P) 1,5 lb, temperatur 121oC selama 2 jam. Media bibit ini disebut bibit induk Generasi ke-1. Bibit induk yang telah diperoleh, kemudian diperbanyak sekali lagi ke dalam media bibit sebar (spawn substrate) steril (generasi ketiga). Bibit sebar selanjutnya digunakan untuk memproduksi tubuh buah jamur tiram. Caranya yaitu setiap 10 gram bibit sebar diinokulasi ke dalam media tumbuh. Sebelum diinokulasi dengan bibit sebar jamur tiram, media tumbuh untuk produksi jamur tiram yang telah diberi substrat lokal dengan perbandingan 10 dari berat media, dan bahan campuran lainnya kemudian dikemas dalam kantong plastik transparan tahan panas kapasitas 1 kg substrat, dan ujung baglog diikat dengan karet gelang. Substrat dipasteurisasi selama 8 jam pada temperatur 90 oC. Substart yang dikemas dalam kantong plastik disebut baglog. Setelah pasteurisasi, substrat didinginkan sampai mencapai temperatur kamar. 1052 Selanjutnya media tumbuh yang telah disterilkan diinokulasi dengan 10 g bibit sebar, pada bagian ujung baglog disumbat kapas steril dan kemudian diberi cincin paralon penahan kapas dan bagian ujung sisa plastik baglog diikat dengan karet gelang. Pemberian leher baglog yang disumbat kapas bertujuan untuk mengalirkan udara segar dari luar ke bagian dalam substrat secara steril pada saat pertumbuhan selanjutnya. Substrat selanjutnya diinkubasi pada ruangan inkubasi temperatur 24 – 28 oC tanpa cahaya, sampai miselium bibit jamur tiram tumbuh 50 – 60 % pada baglog substrat (3 – 4 minggu setelah inokulasi bibit sebar). Baglog yang telah ditumbuhi miselium, selanjutnya dipindahkan ke dalam rumah jamur. Baglog ditempatkan pada rak-rak bambu dalam rumah jamur dengan posisi berbaring dan ditumpuk sebanyak 3 lapisan baglog per satu lapisan rak. Selanjutnya pada 2-3 minggu setelah baglog diletakkan di dalam rumah jamur, tumbuh bakal tubuh buah jamur tiram berupa butiran kelompok jamur tiram berukuran kecil dan berwarna putih kecoklatan. Baglog dipelihara sampai selesai panen dengan cara menyiram lantai ruang rumah jamur dan baglog dengan air bersih langsung secara basah kuyup menggunakan selang plastik dan melakukan penyemprotan ke ruangan dengan cara menyetel mata sprayer untuk menhasilkan semprotan kabut, dengan tujuan untuk mencapai kelembaban (RH) rumah jamur 98%. Ruang rumah jamur bercahaya remangremang dan berventilasi cukup. Pada budidaya jamur tiram, tubuh buah mulai tumbuh setelah miselium bibit tumbuh memenuhi seluruh media tumbuh pada baglog atau munculnya tubuh buah kecil bersamaan dan berwarna putih kecoklatan dengan pertumbuhan lanjut dari miselium bibit jamur tiram putih. Jamur tiram dipanen setelah tubuh buah yang pertama tumbuh membesar maksimum. Hasil panen yang diperoleh berupa tubuh buah dan media tanam yang digunakan dianalisa kandungan gizi dan kandungan media tanam di Laboratorium Analisis Uniersitas Haluoleo. Parameter yang diamati pada kualitas kandungan gizi meliputi protein, lemak, serat kasar, kadar abu dan kadar air, sedangkan pada media tanam meliputi unsure P, K, Ca, dan Mg. HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrisi Jamur Tiram Hasil analisis kimia terhadap kualitas kandungan nutrisi tubuh buah jamur tiram menunjukkan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan nilai nutrisi dari masing-masing tubuh buah jamur tiram yang ditumbuhkan pada media tumbuh dengan substrat yang berbeda pada hampir semua komponen yang diuji. Pada komponen uji protein, terdapat kecenderungan media dedak yang memberikan nilai lebih tinggi kandungan protein pada tubuh buah jamur tiram, diikuti media ampas tahu, ampas sagu, dan kontrol memiliki nilai terendah (Gambar 1). Hasil uji protein ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh Chang dan Miles (1989) yaitu 10,5%. 1053 Gambar 1. Pengaruh substrat media tumbuh terhadap kandungan protein jamur tiram Demikian pula pada komponen uji lemak, kecenderungan nilai yang lebih tinggi kandungan lemak pada tubuh buah jamur tiram yang perlakukan pada media dedak, diikuti media ampas sagu, ampas tahu, dan nilai terendah kontrol. Berbeda dengan 2 komponen sebelumnya, pada komponen serat kasar, kecenderungan nilai tertinggi kandungannya pada tubuh buah terdapat pada media ampas sagu, sedangkan media lainnya memiliki nilai hampir sama. Sementara itu pada komponen abu, ternyata nilai pada perlakuan media kontrol cenderung lebih tinggi pada tubuh buah jamur, diikuti ampas sagu, dedak dan terendah ampas tahu (Gambar 2). Gambar 2. Pengaruh substrat media tumbuh terhadap kandungan lemak jamur tiram Pada komponen kadar air, media ampas tahu memiliki kecenderungan mengandung kadar air pada tubuh buah jamur tiram yang lebih tinggi, diikuti kontrol, ampas sagu, dan terendah adalah dedak (Tabel 1). Rendahnya kadar air pada tubuh buah jamur tiram pada media tumbuh dedak diduga disebabkan tingginya kapasitas menyerap air pada media tersebut, sehingga air sulit diserap oleh jamur. Pernyataan ini senada yang diungkapkan oleh Widiastuti dan Tri Panji (2008) bahwa kadar air tubuh buah yang dihasilkan dari media serbuk gergaji dengan penambahan substrat nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanpa penambahan substrat. Anonim (2006) melaporkan bahwa jamur tiram segar umumnya mengandung kadar air sebesar 90,7 %. Kadar air tubuh buah yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan yang telah dilaporkan. 1054 Gambar 3. Pengaruh substrat media tumbuh terhadap kadar air jamur tiram Kandungan Unsur Hara Substrat Media Tumbuh Jamur Tiram Hasil analisis kimia terhadap kandungan unsur hara substrat media tumbuh jamur tiram menunjukkan adanya variasi kandungan unsur-unsur yang diuji dari masing-masing media tumbuh yang digunakan. Media ampas tahu dan ampas sagu menyumbang Fosfor (P) dengan tingkat konsentrasi yang sama namun cenderung lebih tinggi dibandingkan media dedak dan kontrol (Tabel 1). Unsur fosfor merupakan bahan utama pembangunan MOLekul Adenosine Tri Phosphate (ATP) dan Adenosine Diphosphat (ADP) yang menghasilkan energi kimia tinggi P (Woodrow dan Rowan 1979 dalam Sumiati, 2009). Selanjutnya P berfungsi mengontrol reaksi berbagai enzim penting pada proses metabolisme dan biokimia tumbuhan, fosforilasi, degradasi phytate, dan transfer energi yang pada akhirnya meningkatkan level P pada DNA dan RNA yang menghasilkan pembelahan dan pembesaran sel. Tidak demikian halnya dengan sumbangan media terhadap unsur Kalium (K), media dedak cenderung menyumbang lebih banyak (1.61%) dibandingkan media-media lainnya, dan sumbangan terendah diberikan oleh ampas tahu (Tabel 1). Yang mana unsur kalium merupakan kation univalent yang berfungsi mengaktifkan berbagai kerja enzim dengan cara menginduksi perubahan protein enzim (Suelter 1970 dalam Sumiati, 2004), sehingga sintesis protein meningkat. Kandungan Unsur P dan K pada media tumbuh mempunyai berbagai fungsi dalam proses metabolism sel tersebut pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan, perkembangan dan bobot serta kualitas jamur tiram. Kalsium dan Magnesium merupakan unsur hara makroelemen sekunder. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa unsur Kalsium (Ca), kecenderungan nilai tertinggi terdapat pada kontrol, diikuti ampas tahu, dan ampas sagu, sedangkan sumbangan terendah diberikan oleh dedak (Tabel 1). Dalam metabolisme sel, kalsium berfungsi dalam perpanjangan serta pembelahan sel (Burstom, 1968; Konno et al., 1984), mengatur permeabilitas dan stabilitas membran, integritas sel (Reiss dan Herth, 1978), dan memperkuat dinding sel (Marme, 1983). Pada unsur Magnesium (Mg), media ampas sagu cenderung menyumbang lebih banyak, diikuti kontrol dan ampas tahu, sedangkan sumbangan terendah diberikan oleh dedak (Tabel 1). Magnesium berperan dalam sintesis protein, mendorong aktivitas enzim, dan memperbaiki kualitas 1055 nutrisi (Sperrazza dan Spremulli 1983) yang pada akhirnya menghasilkan pertumbuhan dan kualitas optimal jamur tiram. Peranan unsur Kalium (K) dalam memperkuat pertumbuhan batang, sangat selaras dengan pernyataan para petani kooperator sebelumnya, bahwa jamur tiram yang dipanen dari media dedak (kandungan K tertinggi) memiliki tekstur tubuh buah yang lebih padat, tidak mudah hancur dan lebih tahan disimpan lama, sedangkan tekstur tubuh buah jamur dari ampas tahu (kandungan K terendah) relatif lebih lembut, mudah hancur dan tidak dapat disimpan lama. Tabel 1. Hasil analisis kimia kandungan unsur hara media tumbuh jamur tiram Media Tumbuh Kontrol Dedak Ampas Tahu Ampas Sagu P (%) K (%) 0.03 0.03 0.04 0.04 0.39 1.61 0.13 0.71 Ca (%) 5.08 2.23 4.62 3.11 Mg (mg/100g) 4.03 2.57 3.79 4.47 KESIMPULAN Secara umum ketiga substrat lokal yang diuji dapat dimanfaatkan sebagai campuran serbuk gergaji dalam produksi jamur tiram dengan komposisi 10 % substrat dari berat baglog, namun demikian substrat dedak lebih mampu meningkatkan kandungan gizi jamur tiram dibandingkan dengan ampas tahu dan ampas sagu. Berdasarkan analisis kandungan hara substrat media tumbuh, dedak lebih mampu menyediakan unsur hara dalam jumlah berimbang untuk pertumbuhan dan perkembangan jamur tiram dibandingkan dengan substrat lainnya. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Profil Jamur. Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Jakarta. Bustrom, H. 1968. Calcium and Plant Growth. Biol. Rev. Cambridge. Philos.Soc. 43:287-316. Chang, S.T. and P.G. Miles. 1989. Edible Mushroom and Their Cultivation. Florida, CRC Press Inc. Isnawan, H.H., N. Widyastuti, Donowati, Jamil, Uswindraningsih. 2003. Teknologi Bioproses Pembibitan dan Produksi Jamur Tiram untuk Peningkatan Nilai Tambah Pertanian. Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri 2003, Vol. II, hal. 123-126. Konno, H., T. Yamaya, Y. Yamasaki, and H. Matsuko. 1984. Pectic Polysaccharide Break-down of Cell Wall in Cucumber Roots Grown with Calcium Starvation. Plant Physiol, 49:265-270. 1056 Lindequies, U., T.H.J. Niedermeyer dan W.D. Julich. 2005. The Pharmacological Potential of Mushroom. Evid. Based complement Alternat. Med., 2(3):285-299. Marme, D. 1983. Calcium Transfort and Function. In: Encyclopedia Of Plant Physiology. New series. Vol. 15 B.Springer-Verlag, Berlin and New York. P:599-625. Reiss, H.D., and W. Herth. 1978. Visualitation Of The Ca2+ Gradient In Growing Pollen Tubers of Lilium longiflorum With Chlorotetracycline Fluorescence. Protoplasma 97:373-378. Senyah, J., R. Robinson, and J. Smith. 1989. The effect of Phosphate on The Development of Phytase in The Wheat Embryo. Physiol. Plant. 20: 1066-1075. Shim, M.S. 2001. Phisiology of Substrate Fermentation and Substrate Making. Mushrooms. 5(2):53-77. Sperrazza, J.M., and L.L. Spremulli. 1983. Quantitation of Cation Binding To Wheat Germ Ribosome: Influence On Sub Unit Association Equilibria and Ribosome Activity Nucleic Acid Res. 11:2665-2679. Sumiati, E. 2005. Teknologi budidaya Jamur Edibel. Leaflet. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. 2 Hlm. Sumiati, E., S. Sastrosiswojo, dan A.W. Hadisuganda. 2004. Identifikasi Permasalahan Budidaya Jamur Edible Komersial. Laporan Survey P. Jawa, Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. In Press. 17 Hlm. Widiastuti, H dan T. Panji. 2008. Produksi dan Kualitas Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) pada Beberapa Konsentrasi Limbah Sludge Pabrik Kertas. Menara Perkebunan, 2008 76(2): 104-116. 1057 PENYEBARAN PENANGKARAN DAN KETERSEDIAN BENIH PADI DI SULAWESI SELATAN Sahardi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan km. 17,5 Sudiang, Makassar Email: [email protected] ABSTRAK Kajian penyebaran penangkaran dan ketersediaan benih padi di Sulawesi Selatan, bertujuan untuk mengetahui peta penyebaran penangkaran dan ketersediaan benih padi untuk mendukung swasembada pangan berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Benih sering menjadi masalah utama dalam usahatani padi. Penyebabnya antara lain terbatasnya ketersediaan benih sumber, yang disebabkan; 1) Kurangnya produsen atau penangkar benih secara lokal, 2) Tingginya resiko dan minimalnya keuntungan usaha perbenihan, dan 3) Kecenderungan petani untuk menggunakan benih seadanya. Karena itu salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan benih bermutu adalah melalui penyediaan benih sumber dan pengembangan penangkaran benih. Kegiatan ini dilaksanakan dari Bulan Mei sampai September 2012 di Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan menggunakan Metode Survey. Data yang dikumpulkan adalah data primer melalui wawancara kelompok penangkar dan petugas pengawas perbenihan dari BPSB, sedangkan data sekunder dari BPSB dan UPTD perbenihan Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Tahun 2012 terdapat 301 penangkar benih padi yang tersebar di 16 kabupaten, dengan tolal produksi gabah calon benih sebesar 32.697,32 ton. Terdapat 82 penyalur/pedagang benih, yang tersebar di 19 kabupaten/kota, dengan jumlah benih yang disalurkan adalah 4.785,36 ton. Kata kunci: Penyebaran, penangkar, benih, padi PENDAHULUAN Ketersediaan Varietas Unggul Baru (VUB) tanaman padi yang berdaya hasil tinggi telah dirilis cukup banyak, namun upaya penangkarannya untuk mendukung ketersediaan benih masih sangat terbatas, terutama pada sentrasentra produksi padi. Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui penyebaran penangkar dan kemampuannya memprodukasi benih, serta dengan mengetahui ketersedian benih dilapangan. Informasi ini dapat mendukung pengambilan kebijakan pengaturan ketersediaan benih sesuai kebutuhan dalam mensukseskan Program Peningkatan 2 juta ton Beras Nasiaonal (P2BN) dan swasembada pangan berkelanjutan. Luas lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian di Sulawesi Selatan mencapai 4,2 juta ha atau 68 % dari luas wilayah, diantaranya untuk pengembangan lahan sawah mencapai 587.328 ha. Produktivitas padi di Sulsel baru rata-rata 4,6 t/ha (Dinas Pertanian Sulsel, 2007). Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas tanaman padi di Sulsel adalah karena penerapan teknologi usahatani (budi daya) yang belum memadai, selain itu juga faktor sosial dan kondisi lahan pertanaman. Salah satu 1058 komponen teknologi budidaya yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman padi adalah benih bermutu. Beberapa keuntungan dari penggunaan benih bermutu, antara lain : a) Menghemat penggunaan benih per satuan luas; b) Respon terhadap pemupukan dan pengaruh perlakuan agronomis lainnya; c) Produktivitas tinggi karena potensi hasil yang tinggi; d) Mutu hasil akan terjamin baik melalui pasca panen yang baik; e) Memiliki daya tahan terhadap hama dan penyakit, umur dan sifatsifat lainnya jelas; dan f) Waktu panennya lebih mudah ditentukan karena masaknya serentak (BPSBTPH IV, 1998). Benih merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya tanaman dan perannya tidak dapat digantikan oleh faktor lain, karena benih sebagai bahan tanaman dan sebagai pembawa potensi genetik terutama untuk varietas-varietas unggul. Keunggulan varietas dapat dinikmati oleh konsumen bila benih yang ditanam bermutu (Padminingsih, 2006). Keunggulan varietas dan mutu benih merupakan justifikasi utama untuk membangun suatu sistem produksi benih bersertifikat (Tripp, 1995). Menurut Sutopo (2004), mutu suatu benih dapat dilihat dari faktor-faktor antara lain kebenaran varietas, kemurnian benih, daya hidup (daya kecambah dan kekuatan tumbuh), bebas dari hama dan penyakit. Sering petani mengalami kerugian yang tidak sedikit, baik dari segi biaya maupun waktu, akibat penggunaan benih yang bermutu rendah. Oleh karena itu, meskipun pertumbuhan dan produksi tanaman sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim dan cara bercocok tanam, tetapi harus diingat pentingnya pemilihan mutu benih yang akan digunakan (Sutopo, 2004). Perbanyakan benih padi dimulai dari penyediaan benih penjenis (BS) oleh Balai Penelitian bidang komoditas, sebagai sumber bagi perbanyakan benih dasar (BD), kemudian benih pokok (BP), dan benih sebar (BR). Kesinambungan alur perbanyakan benih tersebut sangat berpengaruh terhadap ketersediaan benih sumber sesuai dengan kebutuhan produsen/penangkar benih dan menentukan proses produksi benih sebar. Kelancaran alur perbanyakan benih juga sangat menentukan kecepatan penyebaran VUB kepada petani (Badan Litbang, 2007) Pemenuhan permintaan benih padi bersertifikat secara nasional baru mencapai 35 % (BPSPTPH III, 2000), sehingga masih memerlukan usaha perbenihan padi untuk memenuhi permintaan benih tersebut. Secara umum pengetahuan petani dalam teknologi budidaya padi untuk menghasilkan benih dan non-benih tidak dibedakan. Perbedaan tersebut terletak pada prinsip genetisnya, dimana aspek kemurnian genetik menentukan kelulusan dalam sertifikasi (Wirawan dan Wahyuni, 2002). Salah satu cara untuk meningkatkan produksi adalah penggunaan benih bermutu yaitu varietas unggul yang ciri-cirinya antara lain berdaya hasil tinggi, tanaman pendek, daun tegak, jumlah anakan produktif sedang – banyak, tanaman tahan rebah, tahan terhadap hama dan penyakit, tanggap terhadap pemupukan, umur tanaman genjah, rasa nasi sedang-enak (Zaini, dkk., 2004). Sementara sifat-sifat varietas lokal diantaranya adalah berumur panjang (150 – 180 hari), tanaman tinggi (> 150 cm), anakan sedikit (< 8 batang), malai sedang, daun panjang terkulai, berwarna hijau muda, kurang respon terhadap pemupukan terutama nitrogen, dan indeks panen sekitar 0,3 (Donald, 1968 dalam Widyantoro et al., 2004). 1059 Menurut Reano (2001), penggunaan benih yang sehat, berkualitas dan murni dapat meningkatkan hasil sampai 25 %. Sedangkan Shenoy et al. (1988), benih yang kurang sehat memiliki vigor dan daya kecambah yang kurang optimal sehingga dapat menyebabkan penurunan hasil hingga 20 %. Kemurnian suatu varietas merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas benih dan berpengaruh nyata terhadap hasil tanaman (Seshu and Dadlani, 1989; Reano, 2001). Partisipasi petani dalam produksi benih bersertifikat dapat dibina dalam bentuk kerjasama saling menguntungkan dengan produsen/ perusahaan benih (Nugraha, 1996). Penyediaan benih bermutu bagi petani dengan harga terjangkau masih mengalami hambatan. Produsen benih yang pusat produksinya tersebar di berbagai wilayah serta luasnya penyebaran areal tanam petani merupakan kendala dalam pengawasan produksi dan distribusi benih (Pasek Pertanian, 2008). Penyediaan benih dalam jumlah besar secara kontinyu tentu tidak mudah, dibutuhkan dukungan/keterlibatan berbagai pihak. Beberapa permasalahan perbenihan tanaman padi yang ada pada saat ini adalah: (1) Belum semua varietas unggul yang dilepas dapat diadopsi oleh petani/pengguna benih; (2) Ketersediaan benih sumber dan benih sebar secara 6 (enam) tepat belum dapat dipenuhi; (3) Belum optimalnya lembaga produksi dan pengawasan mutu benih; dan (4) Belum semua petani menggunakan benih unggul bermutu/bersertifikat. Oleh karena itu, dengan mengetahui penebaran penangkaran dan kemampuan produksinya, serta mengetahui ketersediaan benih diharapkan pengambil kebijakan dapat mengambil kebijakan yang dapat mengatasi permasalahn tersebut. Olah karenanya, pengkajian tentang penyebaran penangkaran dan ketersedian benih padi di Sulsel perlu dilakukan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui peta penyebaran penangkaran dan ketersediaan benih padi untuk mendukung swasembada pangan berkelanjutan di Sulsel. METODOLOGI Kegiatan ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai September 2012 di 16 Kabupaten Lingkup Propinsi Sulawesi Selatan. Pengumpulan data menggunakan metode survey. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan kelompok penangkar dan petugas pengawas perbenihan dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB), sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti BPSB, IKB, dan UPTD perbenihan provinsi Sulawesi Selatan. Analisis data dengan tabulasi secara sederhana. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Penangkaran Penangkaran benih padi yang terdaftar secara resmi pada Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tahun 2012 adalah sejumlah 301 yang tersebar di 16 Kabuten. Penangkar terbanyak terdapat di Kabupaten Sidrap, sebanyak 42, dengan kapasitas produksi 11.062,14 ton/tahun. Kemampuan produksinya rata-rata 9.218,45 t/tahun, dan produksi gabah calon benih tahun 1060 2012 mencapai 7.374,76 ton. Kabupaten Pinrang dengan 41 penangkar memiliki kapasitas produksi 10.190,88 ton/tahun, kemampuan produksinya mencapai 8.492,40 ton/tahun dan produksi calon benih tahun 2012 mencapai 6.793,92 ton. Kabuaten Maros memiliki 39 penangkar dengan kapasitas produksi 5.620,35 ton/tahun, kemampuan produksinya mencapai 4.683,00 ton/tahun, dan produksi calon benih tahun 2012 mencapai 3.746,40 ton. Sedangkan Kabupaten Bulukumba sebanyak 34 penangkar dengan kapasitas produksi 2.522,95 ton/tahun, kemampuan produksinya mencapai 2.096,28 ton/tahun dan produksi calon benih tahun 2012 mencapai 1.633,02 ton. Terdapat 5 kabupaten yang memiliki penangkar kurang dari 10 yaitu Kabupaten Luwu Utara 2 penangkar, Luwu Timur dan Sinjai masing 6 pengakar, Bone 7 penangkar, dan Luwu 9 penangkar benih padi. Penyebaran penangkaran benih, kapasitas produksi per tahun, kemampuan produksi per tahun dan produksi calon benih tahun 2012 pada setiap Kabupaten di Sulawesi Selatan, secara rinci disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Penyebaran Penangkar, kapasitas produksi, kemampuan produksi dan produksi calon benih T.A. 2012 No Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Bantaeng Barru Bulukumba Gowa Luwu Luwu Utara Luwu Timur Maros Pangkep Pinrang Sidrap Sinjai Soppeng Bone Takalar Wajo Jumlah Jumlah Penangkar 11 19 34 22 9 2 6 39 10 41 42 6 14 7 22 17 301 Kapasitas Prod. (kg/th) 762.220 2.939.340 2.522.950 2.388.600 548.420 173.100 1.138.800 5.620.350 553.700 10.190.880 11.062,15 542.000 1.741,08 1.171.200 3.173.330 5.272.580 48.697.560 Sumber: BPSB Sulsel. Data Diolah, 2012 Kemampuan Prod. (kg/th) 630.700 2.845.700 2.096.280 1.988.000 456.600 144.250 949.000 4.683.000 461.000 8.492.400 9.218.450 452.000 1.450.900 976,00 2.607.250 4.097.150 40.631.080 Prod. Calon benih (ton) 505.560 1.954.310 1.633.020 1.590.400 364.780 115.400 789.200 3.746.400 368.300 6.793.920 7.374.760 361.600 1.160.720 740.800 2.085.550 3.507.720 32.359.360 Ketersediaan Benih Data stok benih pada penangkar benih kabupaten se-Sulawesi Selatan pada bulan Mei 2012 berjumlah 206.895 kg yang terdiri atas kelas FS/BD 4.232,5 kg, kelas SS/BP 21.162,5 kg, dan kelas ES/BR 181.500 kg. Terdapat 11 varietas, 5 varietas dominan yaitu Ciliwung, Cigeulis, Ciherang, Memberamo, dan Inpari 1. Stok benih masing-masing varietas dan kelas benihnya disajikan pada Tabel 2. 1061 Tabel 2. Rekapitulasi stok benih penangkar lainnya bulan Mei 2012 No. Varitas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Ciliwung Cigeulis Ciherang Memberamo Inpari 1 Inpari 9 Situ Bagendit Inpago 4 Cisantana Inpari 7 Situ Patenggang Jumlah Stock Berdasarkan Kelas Benih (kg) FS/BD SS/BP ES/BR 3.032,25 63.000 200 32,50 51.000 100 39.000 32,5 2.000 25.000 400 12.267 3.500 3.000 1.500 1.330,75 1.000 500 4.232,5 21.162,5 181.500 Sumber: UPTD Benih Prov. Sulsel. Data diolah, 2012 Jumlah (kg) 66.032,25 51.232,50 39.000 27.032,5 12.667 3.500 3.000 1.500 1.330,75 1.000 500 206.895 Stok benih yang tersedia di PT. SHS pada bulan Mei 2012 berjumlah 2.559.695 kg, yang terdiri atas benih kelas FS/BD 6.800 kg, kelas SS/BP 54.150 kg dan kelas ES/BR 2.498.745 kg. Lima varietas dominanan yaitu Mekongga, Inpari 7, Ciliwung, Inpari 6, dan Inpari 4, produksi masing-masing varietas seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Rekapitulasi stok opname benih PT. SHS bulan Mei 2012 N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Varitas Mekongga Inpari 7 Ciliwung Inpari 6 Inpari 4 Inpari 13 Situ Bagendit Ciherang Inpari 8 Cigeulis Inpari 9 Way Apo Buru Jumlah Stock Berdasarkan Kelas Benih (kg) FS/BD SS/BP ES/BR 500 468.230 3.000 314.215 800 48.500 265.720 275.860 252.450 225.225 189.450 2.500 178.870 2.650 160.400 142.100 3.000 20.000 6.225 6.800 54.150 2.498.745 Sumber: PT. SHS. Data diolah, 2012 Jumlah (kg) 468.730 317.215 315.020 275.860 252.450 225.225 182.450 181.220 163.050 142.100 23.000 6.225 2.559.695 Bila stock opname benih penagkar dan PT. SHS digabungkan, maka jumlah stock opname benih di Sulawesi Selatan pada bulan Mei 2012 berjumlah 2.766.540,5 kg terdiri atas benih kelas FS/BD 11.032,5 kg, kelas SS/BP 75.263 kg dan kelas ES/BR 2.680.245 kg, dengan 17 varietas (Tabel 4). Sepuluh varietas dominan berturut-turut adalah; Mekongga, Ciliwung, Inpari 7, Inpari 6, Inpari 4, Inpari 13, Ciherang, Cigeulis, Situ Bagendit, dan Inpari 8. Stok masing-masing varietas tersebut tersaji pada Tabel 4. 1062 Tabel 4. Rekapitulasi Stok opname Benih di luar UPBS pada bulan Mei 2012 No Varitas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Mekongga Ciliwung Inpari 7 Inpari 6 Inpari 4 Inpari 13 Ciherang Cigeulis Situ Bagendit Inpari 8 Memberamo Inpari 9 Inpari 1 Way Apo Buru Inpago 4 Cisantana Situ Patenggang Jumlah Stock Berdasarkan Kelas Benih (kg) FS/BD SS/BP ES/BR 500 468230 800 51.532,25 328.720 3.000 1.000 315.215 275.860 252.450 225.225 100 2.500 217.870 200 32,5 193.100 300 189.750 2.650 160.400 32,5 2.000 25.000 3.000 23.500 400 12.267 6.225 1.500 1.330,75 500 11.032,5 75.263 2.680.245 Jumlah (kg) 468.730 381.052,25 318.215 275.860 252.450 225.225 220.220 193.332,5 189.750 163.050 27.032,5 26.500 12.667 6.225 1.500 1.330,75 500 2.766.540,5 Penyaluran Benih Tahun 2012 Penyalur/pedagang benih di Sulawesi Selatan selain PT. SHS dan PT. Pertani, juga terdapat sejumlah 82 penyalur/pedagang benih yang secara resmi terdaftar di BPSB pada Tahun 2013. Penyalur/pedagan tersebut tersebar di 19 Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan. Jumlah benih yang disalurkan pada tahun 2012 adalah 4.785,36 ton (Tabel 5). Tabel 5. Penyebaran penyalur/pedagang benih yang terdaftar pada BPSB TPH diluar PT.SHS dan PT. Pertani TA.2012 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Kabupaten Bantaeng Barru Bulukumba Gowa Luwu Luwu Utara Luwu Timur Maros Pangkep Pinrang Sidrap Sinjai Soppeng Bone Enrekang Wajo Jml. Penyalur/Pedagang 1 2 4 7 2 3 1 2 6 17 2 4 2 11 1 2 Benih yg disalurkan (kg) 33.920 266.970 184.270 118.380 33.000 184.270 80.030 55.000 57.600 296.010 154.270 567.150 329,000 894.02 15.120 129.750 1063 Lanjutan… No. 17 18 19 Kabupaten Jeneponto Palopo Makassar Jumlah Jml. Penyalur/Pedagang 2 3 10 82 Sumber: BPSB Sulsel. Data Diolah, 2012 Benih yg disalurkan (kg) 33.000 850.000 35.000 4.785.360 Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa penyalur/pedagang benih terbanyak di Kabupaten Pinrang yaitu 17, jumlah benih yang disalurkan pada Tahun 2012 adalah 296 ton. Di Kabupaten Bone jumlah penyalur/pedagang benih adalah 11, dengan penyaluran benih tertinggi pada tahun 2012 yaitu sejumlah 894,02 kg, menyusul Kota Palopo memilik 3 penyalur/pedangan dengan jumlah benih yang salurkan 850 ton pada Tahun 2012. KESIMPULAN 1. Tahun 2012 terdapat 301 penakar benih padi yang terdaftara di BPSB, tersebar di 16 Kabupaten dengan tolal produksi gabah calon benih 32.697,32 ton. 2. Jumlah Stok opname benih padi yang terdapat pada PT. SHS dan Penangkar benih lainnya pada bulan Mei 2012 adalah 3. Terdapat 82 penyalur/pedagang benih, yang tersebar di 19 Kabupaten/Kota, dengan jumlah benih yang disalurkan adalah 4.785,36 ton. DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian, 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. BPSBTPH VI, 2000, Inventarisasi Realisasi Luas Penyebaran Varietas Musim Tanam 2000 di Sulsel, Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan VI Maros. ---------------,1998, Benih Bermutu Tanaman Pangan , Sertifikasi Benih Tanaman Pangan VI Maros. Balai Pengawasan dan Distan Sulsel, , 2007. Perkembangan Statistik Tanaman Pangan Tahun 2006. Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. ----------------, 2008. Perkembangan Statistik Tanaman Pangan Tahun 2007. Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Nugraha, Udin.S, 1996. Produksi Benih Kedelai Bermutu melalui system Jabal dan Partisipasi Petani. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol XV Nomor 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Padmaningsih, S. P. 2006, Metode pengambilan Sample dan Pengujian Vibilitas. Pasek Pertanian, 2008. Adopsi dan Dampak Penggunaan Benih Berlabel di tingkat Petani. 1064 Reano, R,A,, 2001, How to Grow a Good Rice Seed Crop Paper Presented at “Rice Seed Health Training Centre, Hield at IRRI”, July – August 31, 2001. Seshu, D,U,, and M, Dadlani, 1998, Role of Women in Seed Management with Special Reference of Rice, International Rice Testing Program, Technical Bulletin No, 5 IRRI, P,O Box 933, Manila, Philippines. Shenoy, Saudhya N, T,R Paris and B, Duff, 1988, Farm Level Harvest and Postharvest Seed Management Practicesof Farm Women in Rice Farmyng System Network Orientation and Planning Workshop, Hield at the IRRI Los Banos, Lagua, Philippines, May 2-11,1988. Sutopo, Lita, 2004. Teknologi Benih. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Tripp, R. 1995. Seed Regulator Frameworks and Resource-Poor Farmers: A Literatur Review. Oversease Development Institute. London. UK. Widyantoro, Suprapto, Firdausil, M. Sabki, Martono, Suranto, M.M. Amin dan Ismail. 2004. Pemuliaan Padi Partisipatif dan Uji Multilokasi Galur-galur Harapan Padi Gogo, Padi Sawah dan Padi Rawa. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Wirawan, B. dan S. Wahyuni. 2002. Memproduksi benih bersertifikat; padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau. Penebar Swadaya, Jakarta, 120 hal. Zaini, Z., Diah W.S., dan M. Syam. 2004. Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Meningkatkan Hasil dan Pendapatan, Menjaga Kelestarian Lingkungan. Petunjuk Lapang. BP2TP, BPTP Sumut, BPTP Nusa Tenggara Barat.Balitpa, International Rice Research Institute.57 hal. 1065 KAJIAN EFISIENSI PEMUPUKAN DAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH PADA LAHAN IRIGASI DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROVINSI MALUKU M. P. Sirappa dan Edwen D. Waas Staf Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Jl. Chr. Soplanit Rumah Tiga, Ambon 97231 E-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian dilaksanakan di Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku dari bulan Juni sampai September 2010. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efisiensi pemupukan dan produktivitas padi pada lahan sawah irigasi dengan pemberian kompos jerami. Luas areal 2 ha dengan melibatkan 4 petani kooperator. Perlakuan pemupukan yang dikaji, yaitu A : Pemupukan N, P, dan K berdasarkan analisis tanah dengan PUTS, B: Pemupukan 100% N, 50% P dan 50% K dari dosis perlakuan A, dan C: Sama dengan perlakuan B + 2 t/ha kompos jerami. Perlakuan disusun dalam rancangan kelompok yang diulang 4 kali (petani sebagai ulangan). Teknologi budidaya padi dilakukan dengan pendekatan PTT. Hasil kajian menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas yang diperoleh 4,66 t GKP dengan kisaran hasil 4,52 – 4,78 t GKP/ha. Rata-rata produktivitas yang diperoleh lebih rendah dari potensi hasil varietas Inpari 1, tetapi lebih tinggi dari hasil petani di sekitar lokasi kajian (2,60 – 3,00 t GKP/ha). Produktivitas yang rendah diduga karena tingginya curah hujan saat penelitian berlangsung sehingga penggunaan pupuk tidak efektif, disamping adanya serangan hama penggerek batang. Perlakuan C memberikan hasil yang lebih tinggi (4,78 t/ha) dibandingkan dengan perlakuan A (4,67 t/ha) dan perlakuan B (4,52 t/ha). Perlakuan B dan C dapat menghemat biaya pemupukan masing-masing sebesar 38% dan 32% dibandingkan dengan perlakuan A dengan biaya produksi gabah sebesar Rp 285/kg dan Rp. 295/kg, jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya produksi pada perlakuan A (Rp. 444/kg). Pengurangan 50% pupuk P dan K dari dosis berdasarkan analisis tanah dengan PUTS, dan penambahan kompos jerami 2 t/ha (Perlakuan C) dapat menghemat biaya pupuk tanpa menurunkan produktivitas padi. Kata kunci: Efisinesi pemupukan, kompos jerami padi, produktivitas, lahan sawah irigasi PENDAHULUAN Beras merupakan makanan pokok lebih dari 95% rakyat Indonesia, sehingga produksi padi ke depan harus terus ditingkatkan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Diperkirakan pada tahun 2020 dibutuhkan sekitar 35,95 juta ton beras dengan asumsi konsumsi 135 kg/kapita (Irianto et al., 2009). Dalam upaya menjaga keamanan pangan khususnya beras, maka peningkatan produksi padi di wilayah-wilayah lainnya di luar pulau Jawa perlu didorong. Menurut Kementerian Pertanian (2013) dan Dirjen Tanaman Pangan (2013), target produksi padi tahun 2014 sekitar 76,57 juta ton GKG dan surplus beras 10 juta ton merupakan tantangan yang memerlukan upaya khusus dan strategi dalam pencapaian target tersebut, antara lain peningkatan produktivitas 1066 melalui penerapan SL-PTT dengan pendekatan kawasan skala luas, terintegrasi dengan dukungan pendampingan dan pengawalan. Irianto (2009) juga mengemukakan bahwa adanya tekanan terhadap sistem produksi padi yang makin berat dan kompleks, menuntut perlu upaya terobosan spektakuler non konvensional untuk mempertahankan dan meningkatkan kapasitas sistem produksi padi nasional sampai dengan tahun 2020. Maluku meskipun tidak termasuk sentra produksi padi nasional, namun saat ini telah menunjukkan peranannya dalam pengembangan padi. Luas areal panen padi sawah di Maluku pada tahun 2008 sekitar 16.240 ha dan produksi 69.773 ton dengan produktivitas rata-rata 4,29 t/ha (Dinas Pertanian Prov. Maluku, 2009), dan pada tahun 2012 luas panen meningkat menjadi 21.769 ha dengan produksi sebesar 90.240 ton dan produktivitas 4,15 t/ha (Dirjen Tanaman Pangan, 2013). Hasil yang dicapai ini masih rendah jika dibandingkan dengan potensi hasil padi sawah varietas unggul baru atau hibrida yang dapat mencapai 10 t/ha dengan penerapan inovasi teknologi (Badan Litbang Pertanian, 2007; 2008). Peningkatkan produktivitas tanaman dan lahan dapat dilakukan melalui penggunaan pupuk anorganik dan organik secara bijak dan rasional dengan memanfaatkan limbah tanaman serta penggunaan varietas unggul baru yang mempunyai potensi hasil tinggi, umur genjah dan adaptif dengan lingkungan. Penerapan teknologi inovasi PTT berdasarkan hasil penelitian selama ini telah mampu meningkatkan produktivitas padi sekitar 38% dengan hasil antara 7 - 8,9 t/ha, dan pendapatan petani sebesar 15% (Badan Litbang Pertanian, 2007). Beberapa dekomposer yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dapat digunakan dalam mempercepat pelapukan limbah jerami 2-4 minggu, diantaranya Promi. Pemanfaatan kembali limbah jerami diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik, terutama pupuk kalium. Menurut Fairhurst dan Witt (2002) dan Makarim et al. (2003) pengembalian kembali 100% jerami padi dapat menghemat penggunaan pupuk kalium sebesar 15-33%. Kim dan Dale dalam Isroi (2009) mengemukakan bahwa potensi jerami padi setara dengan 1,4 kali hasil panennya (GKG) dengan rendemen kompos jerami sekitar 60%. Selanjutnya dijelaskan bahwa kompos jerami memiliki kandungan hara setara dengan 41,3 kg urea, 5,8 kg SP-36 dan 89,17 kg KCl untuk setiap ton kompos atau sekitar 136,27 kg NPK untuk setiap ton kompos. Berdasarkan data luas panen padi nasional tahun 2012 sebesar 13.500.000 ha dan produktivitas rata-rata 5 ton/ha, maka untuk 1 ha sawah dapat menghasilkan sekitar 4,2 ton kompos, sehingga total kompos sekitar 56,70 juta ton. Dengan demikian, potensi hara dari kompos jerami nasional tahun 2012 setara dengan 2,34 juta ton urea, 0,33 juta ton SP-36, dan 5,06 juta ton KCl atau sekitar 7,73 juta ton NPK. Dengan demikian, pengembalian jerami padi ke lahan sawah dalam bentuk kompos secara rutin dapat menghemat biaya dan penggunaan pupuk anorganik dalam jumlah yang cukup besar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi pemupukan dan produktivitas produktivitas padi sawah dengan penambahan kompos jerami pada lahan irigasi di Kairatu, kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. 1067 METODOLOGI Kajian dilakukan di lahan sawah irigasi di Kairatu, kabupaten Seram Bagian Barat. Kegiatan berlangsung dari bulan Juni sampai September 2010. Teknologi budidaya padi dilakukan dengan pendekatan PTT dengan melibatkan petani secara langsung. Luas lahan kajian seluruhnya 2 ha dengan melibatkan 4 petani kooperator dengan luas lahan masing-masing 0,5 ha. Kegiatan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan 4 ulangan (petani sebagai ulangan). Jumlah perlakuan pemupukan yang dikaji sebanyak 3 perlakuan yang dilakukan oleh petani. Ketiga perlakuan pemupukan yang dikaji adalah A= Pemupukan N, P, K berdasarkan analisis tanah dengan PUTS, B = Pemupukan 100% N, 50% P, 50% K dari dosis perlakuan A, dan C= Sama dengan perlakuan B + kompos jerami 2 t/ha. Varietas yang digunakan dalam kajian ini adalah Inpari-1. Jumlah bibit yang ditanam 1 - 3 bibit per lubang dengan umur bibit muda (< 21 hari). Dosis pemupukan didasarkan atas hasil pengukuran PUTS. Dosis pupuk N, P, K berdasarkan analisis tanah dengan PUTS adalah 250 kg urea, 150 kg SP-36 dan 150 kg KCl/ha. Pemupukan dasar dilakukan pada umur 10 hst dengan memberikan 50 kg urea, seluruh pupuk SP-36 dan setengah dosis KCl, dan pupuk urea susulan diberikan berdasarkan skala warna daun yang diukur dengan alat BWD pada fase anakan aktif (21-28 hst) dan primordia (35-40 hst), sedangkan setengah bagian pupuk susulan KCl diberikan pada fase primordia. Jika nilai pembacaan BWD < 4 maka takaran urea yang diberikan sekitar 75-100 kg dan 100-125 kg/ha, masing-masing untuk fase anakan aktif dan primordia. Pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan dengan menganut prinsip PHT (Departemen Pertanian, 2007; Anonim, 2008), yakni berdasarkan monitoring. Pengomposan limbah jerami padi dilakukan dengan menggunakan dekomposer Promi. Peubah yang diamati dari pertanaman adalah : Tinggi tanaman, yaitu rata-rata tinggi tanaman dari 10 rumpun contoh tiap perlakuan, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai tertinggi (saat panen). Jumlah malai per rumpun, yaitu rata-rata jumlah malai dari 10 rumpun contoh tiap perlakuan. Jumlah gabah isi dan gabah hampa, yaitu rata-rata jumlah gabah isi dan hampa dari 10 rumpun contoh tiap perlakuan. Bobot 1000 biji gabah Hasil gabah bersih per petak dan per hektar. Analisa data dilakukan dengan metode statistik, menggunakan System SAS versi 6.12 dan perbedaan antar perlakuan dengan uji Duncan. Efisiensi biaya pupuk dihitung dengan mengurangkan total biaya pemupukan pada perlakuan pemupukan rekomendasi dikurangi dengan total biaya pada perlakuan pemupukan yang dikaji dibagi dengan total biaya pemupukan rekomendasi dikalikan dengan 100 persen, atau efisiensi biaya pupuk = ( biaya pemupukan A – biaya pemupukan B atau C) / biaya pemupukan A) x 100%. Demikian juga efisiensi biaya produksi gabah dihitung dengan mengurangkan biaya produksi gabah pada perlakuan pemupukan 1068 rekomendasi dikurangi dengan biaya produksi gabah pada perlakuan yang dikaji dibagi dengan biaya produksi gabah perlakuan pemupukan rekomendasi dikalikan dengan 100 persen. HASIL DAN PEMBAHASAN Iklim dan Pola Tanam Iklim di Kabupaten Seram Bagian Barat adalah iklim laut tropis dan iklim musim, karena letak wilayah Seram Bagian Barat di dekat daerah katulistiwa dan dikelilingi oleh laut luas. Oleh karena itu iklim disini sangat dipengaruhi oleh lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim yaitu musim Barat atau Utara dan Musim Timur atau Tenggara. Pergantian musim selalu diselingi oleh musim pancaroba. Musim pancaroba merupakan transisi dari kedua musim tersebut. Musim Barat umumnya berlangsung pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sedangkan pada bulan April merupakan masa transisi ke musim Timur. Musim Timur berlangsung pada bulan Mei sampai dengan bulan Oktober disusul oleh masa pancaroba pada bulan Nopember yang merupakan transisi ke musim Barat. Curah hujan dan hari hujan di kabupaten SBB disajikan pada Tabel 1. Hasil wawancara dengan ketua Gapoktan, PPL desa Waimital dan beberapa ketua kelompok tani bahwa MT-1 biasanya pada bulan Januari dan MT2 pada bulan Juni selanjutnya setelah panen pada MT-2 lahan dalam keadaan bero, seperti pada Gambar 1. Pengolahan tanah umumnya menggunakan hand traktor, sistem pengairan bergilir, varietas yang digunakan ada beberapa jenis seperti, Cisantana, Ciherang, Mekongga, dan Cigeulis. Dalam musim tanam pertama tahun 2010, varietas yang ditanam adalah Cisantana dan pada MT 2, adalah varietas Inpari-1. Cara tanam menggunakan sistem tabela dimana penggunaan benih dapat mencapai 60-70 kg/ha, pupuk yang digunakan kombinasi NPK Phonska 100 kg/ha dengan urea 150 kg/ha, pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida Ally yang dikombinasikan dengan cara manual, pengendalian ulat grayak dengan menggunakan Dursban dan Bassa, walang sangit dengan Decis, pengendalian penyakit HDB (Hawar Daun Bakteri/kresek) dengan Score. Produktivitas padi masih rendah berkisar antara 3 - 5 t/ha GKP tergantung verietas yang digunakan. Tabel 1. Curah Hujan dan hari Hujan di Kabupaten Seram Bagian Barat (2005 – 2010) Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus 2005 CH HH (mm) (hari) 86 48 364 188 103 267 508 82 13 3 14 20 21 20 22 8 2006 CH HH (mm) (hari) 147 209 77 107 147 946 174 32 20 16 14 19 15 30 18 14 2007 CH HH (mm) (hari) 50 153 79 171 153 631 109 156 12 15 13 20 15 24 23 20 2008 CH HH (mm) (hari) 153 127 219 229 227 553 650 1.070 20 15 26 19 22 21 30 30 2009 CH HH (mm) (hari) 237 133 136 214 98 208 191 91 20 14 11 20 17 14 26 10 2010 CH HH (mm) (hari) 172 13 126 97 300 525 506 573 1069 13 5 14 9 28 27 27 26 Lanjutan... Bulan September Oktober Nopember Desember Rerata Sumber Keterangan 2005 CH HH (mm) (hari) 87 303 108 229 198 8 24 11 7 14 2006 CH HH (mm) (hari) 105 5 77 91 176 15 4 12 14 16 2007 CH HH (mm) (hari) 324 222 74 182 192 19 19 17 10 17 2008 CH HH (mm) (hari) 219 317 83 217 339 25 26 16 21 23 2009 CH HH (mm) (hari) 18 72 118 93 134 10 8 9 6 14 2010 CH HH (mm) (hari) 325 92 110 290 262 : Stasiun Klimatologi Kairatu (2010); BPS Kab. SBB (2011) : CH = Curah Hujan HH = Hari Hujan Pola tanam : Padi Sawah Padi Sawah Bero Gambar 1. Grafik curah hujan dan pola tanam yang umum di Kab. Seram Bagian Barat Status Hara Tanah Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) adalah suatu alat untuk analisis kadar hara tanah secara langsung di lapangan dengan relatif cepat, mudah, dan murah. Prinsip kerja PUTS adalah mengukur kadar hara N, P, dan K tanah dalam bentuk tersedia, yaitu hara yang larut dan atau terikat lemah dalam kompleks jerapan koloid tanah. Kadar atau status hara N, P, dan K dalam tanah ditentukan dengan cara mengekstrak dan mengukur hara tersedia di dalam tanah. Oleh karena itu, pereaksi atau bahan kimia yang digunakan dalam alat uji tanah ini terdiri atas larutan pengekstrak dan pembangkit warna. Bentuk hara yang diekstrak dengan PUTS untuk nitrogen adalah NO3-N dan NH4-N, untuk fosfat adalah orthophosphate (PO43-, HPO4=, dan H2PO4-) dan kalium adalah K+. Pengukuran kadar hara dilakukan secara semi kuantitatif dengan metode kolorimetri (pewarnaan). Hasil analisis N, P, dan K tanah selanjutnya digunakan sebagai kriteria penentuan rekomendasi pemupukan N, P, dan K spesifik lokasi untuk tanaman padi sawah. Fosfor (P) dalam tanah terdiri dari P-anorganik dan P-organik yang berasal dari bahan organik dan mineral yang mengandung P (apatit). Unsur P dalam tanah tidak bergerak (immobile), P terikat oleh liat, bahan organik, serta oksida Fe dan Al pada tanah yang pHnya rendah (tanah masam dengan pH 45,5) dan oleh Ca pada tanah yang pH-nya tinggi (tanah netral dan alkalin dengan pH 7-8). Tanah mineral yang disawahkan pada umumnya mempunyai pH netral 1070 29 23 23 20 20 antara 5,5-6,5 kecuali untuk tanah sawah bukaan baru, sehingga ketersediaan P tidak menjadi masalah. Akibat pemupukan fosfat (P) dalam jumlah besar dan kontinyu di tanah sawah intensifikasi selama bertahun-tahun, telah terjadi penimbunan (akumulasi) fosfat di dalam tanah. P tanah yang terakumulasi ini dapat digunakan kembali oleh tanaman apabila reaksi tanah mencapai kondisi optimal pelepasan P tersebut. Fosfor berperan penting dalam sintesa protein, pembentukkan bunga, buah dan biji serta mempercepat pemasakan. Kekurangan P dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, anakan sedikit, lambat pemasakan dan produksi tanaman rendah. Kebutuhan tanaman akan hara P dapat dipenuhi dari berbagai sumber antara lain TSP, SP-36, DAP, P-alam, NPK yang pada umumnya diberikan sekaligus pada awal tanam. Kalium (K) dalam tanah bersumber dari mineral primer tanah (feldspar, mika, vermikulit, biotit, dll), dan bahan organik sisa tanaman. K dalam tanah mempunyai sifat yang mobile (mudah bergerak) sehingga mudah hilang melalui proses pencucian atau terbawa arus pergerakan air. Berdasarkan sifat tersebut, efisiensi pupuk K biasanya rendah, namun dapat ditingkatkan dengan cara pemberian 2-3 kali dalam satu musim tanam. Kalium dalam tanaman berfungsi mengendalikan proses fisiologis dan metabolisme sel, meningkatkan daya tahan terhadap penyakit. Kekurangan hara kalium menyebabkan tanaman kerdil, lemah (tidak tegak), proses pengangkutan hara, pernafasan, dan fotosintesis terganggu, yang pada akhirnya mengurangi produksi. Pada tanaman padi, sebagian hara K dapat digantikan oleh jerami padi yang dikembalikan sebagai pupuk organik. Kadar K dalam jerami umumnya 1 % sehingga dalam 5 ton jerami terdapat sekitar 50 kg K setara dengan pemupukan 95 kg KCl/ha. Pengembalian jerami dalam bentuk segar maupun dikomposkan di lahan sawah harus digalakkan, karena selain mengandung unsur K juga mengandung unsur hara lain seperti N, P, Ca, Mg dan unsur mikro, hormon pengatur tumbuh serta asam-asam organik yang sangat berguna bagi tanaman. Penambahan jerami dan bahan organik lain dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah dan keragaman hayati/biologi tanah yang secara tidak langsung dapat meningkatkan dan mengefisienkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Hasil pengukuran status hara tanah pada lokasi pengkajian menunjukkan bahwa N tergolong tinggi, P dan K tergolong rendah. Rekomendasi pupuk SP-36 (kg/ha) untuk padi sawah yang mempunyai potensi hasil 5 - 7 t GKG/ha pada status P tanah rendah adalah 100 kg SP-36/ha. Karena yang ditanam adalah padi VUTB dengan potensi hasil sebesar > 7 t GKG/ha, maka rekomendasi pupuk SP-36 harus dikalikan dengan faktor koreksi sebesar 1,2 (dengan asumsi potensi hasil padi VUB 20% lebih tinggi dari VUB biasa), sehingga dosis pupuk SP-36 yang digunakan harus 150 kg/ha. Demikian juga rekomendasi pupuk KCl (kg/ha) untuk padi sawah yang mempunyai potensi hasil 5 - 7 t GKG/ha pada status K tanah rendah adalah 100 kg KCl/ha (jika tanpa pengembalian jerami) atau sekitar 75 kg KCl/ha (pengembalian jerami). Karena varietas yang ditanam adalah padi VUB dengan potensi hasil sebesar > 7 t GKG/ha, maka rekomendasi pupuk KCl harus dikalikan dengan faktor koreksi sebesar 1,2 (dengan asumsi potensi hasil padi VUB 20% lebih tinggi dari VUB biasa), sehingga dosis pupuk KCl adalah 150 kg/ha (tanpa pengembalian jerami) atau sekitar 50-100 kg KCl/ha (pengembalian jerami). 1071 Pengomposan Jerami Padi dengan Promi Pupuk organik dalam bentuk yang telah dikomposkan atau yang masih segar berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta sebagai sumber hara tanaman. Secara umum kandungan hara dalam pupuk organik tergolong rendah dan agak lambat tersedia, sehingga diperlukan dalam jumlah cukup banyak. Bahan pupuk organik yang segar selama pengomposan akan terjadi proses dekomposisi yang dilakukan oleh beberapa mikroba, baik dalam kondisi aerob maupun anaerob. Sumber bahan kompos antara lain berasal dari limbah organik sisa tanaman, seperti jerami padi. Tingkat kematangan dan kestabilan kompos menentukan kualitas kompos yang dihasilkan, dengan rasio C/N < 25. Untuk mempercepat proses pengomposan, beberapa dekomposer yang dapat digunakan antara lain promi. Mikroba yang terkandung dalam promi adalah Trichoderma harzianum DT38, T. Pseudokoningii DT39, Aspesgillus sp. dan fungi pelapuk putih, yang bermanfaat dalam mempercepat pengomposan, sebagai biofertilizer dalam memacu pertumbuhan dan meningkatkan hasil tanaman serta melarutkan P yang terikat, dan sebagai biofungisida dalam mengendalikan penyakit tanaman. Beberapa kelebihan dari dekomposer promi selain mudah dan murah, antara lain adalah: (a) dapat langsung diaplikasikan ke tanah sebagai pupuk, (b) memperkaya kompos dengan mikroba, dan (c) mempercepat proses pengomposan limbah tanpa perlu pencacahan limbah terlebih dahulu dan tanpa pembalikan (kompos siap panen dalam 2-4 minggu). Hasil pengomposan limbah jerami dengan menggunakan Promi dalam kajian ini berjalan cepat, dan dalam waktu 3 minggu bahan pengomposan sudah matang dan siap digunakan. Dalam pengomposan limbah jerami dengan menggunakan Promi sebagai bioaktifator, faktor kelembaban memegang peranan penting. Aplikasi kompos dilakukan pada saat atau sebelum pengolahan tanah, diperlukan terutama untuk tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah. Takaran kompos yang digunakan minimal 2 t/ha. Kandungan hara dari kompos jerami padi adalah 0,5 – 0,8% N, 0,15 - 0,26% P2O5, dan 1,2 - 1,7% K2O. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Secara visual terlihat bahwa warna daun tanaman yang diberi pupuk kompos jerami lebih hijau dibandingkan warna daun tanaman yang tidak diberi bahan organik. Kondisi tanaman padi cukup baik bila dibandingkan dengan tanaman yang ada disekitarnya, walaupun terdapat serangan hama terutama penggerek batang (sundep dan beluk). Hasil pengamatan petugas hama dan penyakit di lapang menunjukkan bahwa terdapat beberapa hama penting yang menyerang pertanaman padi di Kairatu (Tabel 2), termasuk pada lokasi kajian efisiensi pupuk. 1072 Tabel 2. Keadaan serangan OPT di Kairatu, Seram Bagian Barat, TA. 2010 Jenis OPT* 01 04 05 06 07 11 21 Juli Minggu Minggu I – II III – IV Luas Inten- Luas Inten(ha) sitas (ha) sitas (%) (%) 10,5 3,71 150,5 9,15 3,5 0,05 5,0 0,21 0 0 0 0 17,5 0,12 Agustus Minggu Minggu I – II III - IV Luas Inten- Luas Inten(ha) sitas (ha) sitas (%) (%) 160,5 5,48 486,0 26,31 185,5 12,44 242,5 18,80 13,5 1,78 28,5 3,03 250,5 5,34 365,5 11,27 0 0 0 0 0 0 10,5 0,73 76,50 3,66 87,0 7,61 September Minggu Minggu I – II III – IV Luas Inten- Luas Inten(ha) sitas (ha) sitas (%) (%) 594,5 14,36 247,5 13,36 0 0 375,5 7,20 150,5 3,25 83,5 3,20 0 0 - Sumber: Pengamat hama dan penyakit Kab. SBB Keterangan: * 01: penggerek batang; 04: tikus; 05: ulat grayak; 06: hama putih palsu; 07: walang sangit; 11: blas, 21 lainnya Penggerek batang merupakan hama dominan dan endemik, menyusul tikus dan hama putih palsu. Upaya yang dilakukan petani terhadap pengendalian hama penggerek batang adalah pemberian Furadan dan penyemprotan insektisida Montaf dan Rudal. Melalui pengendalian yang intensif, serangan hama penggerek batang dapat ditekan, sehingga pertumbuhan tanaman dapat pulih kembali. Hasil diskusi dengan petani peserta dan petugas lapang bahwa kondisi curah hujan yang tinggi menyebabkan aplikasi insektisida yang dilakukan kurang efektif. Kondisi cuaca saat ini sulit diprediksi, yang biasanya di bulan Agustus sudah memasuki musim kemarau, namun pada tahun ini curah hujan masih tinggi, seperti terlihat pada Gambar 2. Gambar 2. Grafik curah hujan saat kajian berlangsung tahun 2010 Hasil pengukuran terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif/rumpun pada fase masak fisiologis (umur 80 hst) menunjukkan bahwa perlakuan D dan C, yaitu penggunaan bahan organik dari kompos jerami setara dengan dosis 2 t/ha yang dikombinasikan dengan seluruh N dan setengah dosis rekomendasi P dan K, rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan 1073 produktif/rumpun lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (pemupukan N, P, dan K dosis rekomendasi) atau perlakuan B (pemupukan N sesuai rekomendasi, P dan K setengah dosis rekoemndasi) dan tanpa pemberian bahan organik. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif/rumpun tertinggi diperoleh pada perlakuan C adalah 97,09 cm dan 16,41 anakan, sedangkan terendah pada perlakuan B (91,94 cm dan 14,63 anakan), seperti pada Tabel 3. Panjang malai, jumlah gabah/malai (gabah isi dan gabah hampa/malai), dan bobot 1000 butir gabah disajikan pada Tabel 3. Perlakuan C (penggunaan pupuk P dan K setengah berdasarkan analisis tanah dengan PUTS dan pemberian kompos jerami 2 t/ha) memberikan rata-rata panjang malai tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun tidak berbeda nyata. Demikian juga terhadap jumlah gabah/malai (jumlah gabah isi dan gabah hampa/malai). Rata-rata jumlah gabah/malai dan jumlah gabah isi/malai terbanyak diperoleh pada perlakuan C dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, namun jumlah gabah hampa dan bobot 1000 butir tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Tabel 3. Rata-rata komponen pertumbuhan dan hasil tanaman pada perlakuan pemupukan, TA. 2010 Parameter Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan Produktif/Rumpun Panjang Malai (cm) Jumlah Gabah/Malai Jumlah Gabah Isi/Malai Jumlah Gabah Hampa/Malai Bobot 1000 Butir Gabah (gram) Hasil Ubinan 5 m x 5 m (kg) Hasil (t/ha *) Keterangan : A 96,44 a 15,38 a 23,76 a 108,00 b 100,00 b 8,00 b 28,00 a 11,68 ab 4,67 ab Perlakuan B 91,94 b 14,63 a 23,73 a 106,00 b 96,00 b 10,00 ab 27,00 a 11,29 b 4,52 ba C 97,09 a 16,41 a 24,35 a 116,00 b 105,00 a 11,00 a 28,00 a 11,96 a 4,78 a Rataan Umum 95,16 15,47 23,95 110,00 101,33 9,67 27,67 11,64 4,66 Rata-rata dari 4 petani kooperator A = 250 kg urea + 150 kg SP36 + 150 kg KCl (PUTS) B = 250 kg urea + 50% SP36 + 50% KCl C = B + 2 ton kompos jerami - Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada 5% uji Duncan * Konversi dari hasil ubinan Hasil ubinan 5 m x 5 m dan hasil per hektar dari perlakuan pemupukan disajikan pada Tabel 3. Rata-rata hasil gabah yang diperoleh keempat petani dari 3 perlakuan adalah 4,52 – 4,78 t GKP/ha, lebih tinggi dibandingkan dengan hasil rata-rata yang diperoleh petani di luar kajian, yaitu 2,60 – 3,00 t GKP/ha. Namun jika dibandingkan dengan rata-rata hasil Inpari 1 berdasarkan deskripsi (7,30 t/ha), maka rata-rata hasil yang diperoleh petani pada kajian ini lebih rendah (4,66 t/ha). Hal ini diduga selain karena adanya serangan hama penggerek batang, juga karena tingginya curah hujan selama kegiatan berlangsung sehingga pupuk yang diberikan tidak efektif diserap oleh tanaman. Hasil gabah yang diperoleh pada setiap perlakuan dan petani disajikan pada Gambar 3. 1074 Pada Gambar 3 terlihat bahwa hasil gabah tertinggi (4,78 t/ha) diperoleh perlakuan C yaitu pemupukan 250 kg urea + 75 kg SP-36 dan 75 KCl/ha ditambah dengan kompos jerami 2 t/ha meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (dosis pemupukan berdasarkan analisis tanah dengan PUTS), tetapi berbeda nyata dengan perlakuan B (4,52 t/ha), yaitu pemupukan P dan K setengah dosis tanpa kompos jerami. Pada perlakuan C, penambahan pupuk organik yang bersumber dari kompos jerami diduga cukup untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman, meskipun hasil yang diperoleh masih di bawah potensi hasil padi Inpari-1. Bahan organik pada umumnya tidak berpengaruh langsung terhadap hasil tanaman, tetapi lebih pada perbaikan hara tanah. Menurut Sisworo (2006), pengembalian jerami padi, baik dalam bentuk segar maupun yang telah dikomposkan nyata meningkatkan serapan N, meskipun tehadap hasil gabah belum tentu berpengaruh nyata. Gambar 3. Rata-rata hasil gabah petani kooperator (Perlakuan A, B, dan C) vs petani non kooperator Las et al. (1999) menyatakan bahwa dalam meningkatkan produksi padi, perlu dilakukan pelestarian lingkungan produksi, termasuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah dengan memanfaatkan jerami padi. Penambahan bahan organik merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman antara lain dapat meningkatkan efisiensi pemupukan (Adiningsih dan Rochayati, 1988). Hasil penelitian penggunaan bahan organik seperti kompos, dapat meningkatkan produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan serta mengurangi kebutuhan pupuk, terutama pupuk kalium. Thamrin (2000); Arafah dan Sirappa (2003) melaporkan bahwa penggunaan bahan organik, seperti kompos jerami, dapat meningkatkan hasil gabah secara nyata dibandingkan dengan tanpa pemberian bahan organik. Menurut Adiningsih (1984), pengembalian jerami ke lahan sawah sebanyak 5 t/ha selama 4 musim tanam, dapat meningkatkan hasil gabah dan dapat menyumbang hara Kalium sekitar 170 kg K. Efisiensi biaya pemupukan pada padi sawah irigasi di Kairatu, kabupaten Seram Bagian Barat sebesar 32 – 38 %. Perlakuan B, yaitu pengurangan 50% dosis pupuk P dan K dapat menghemat biaya pupuk sebesar Rp. 787.500 atau sekitar 38 % dengan produktivitas yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan pemupukan berdasarkan hasil analisis tanah dengan PUTS (Perlakuan A). 1075 Demikian juga pada perlakuan C, yaitu pengurangan 50% dosis pupuk P dan K dan penambahan kompos jerami 2 t/ha dapat menghemat biaya pemupukan sebesar Rp. 667.500 (32%) dengan produktivitas tertinggi (4,78 t/ha), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan A, namun berbeda nyata dengan perlakuan B (Tabel 4). Biaya produksi gabah tertinggi (hanya memperhitungkan biaya pupuk) diperoleh pada perlakuan A (Rp. 444/kg), menyusul pada perlakuan C (Rp. 294/kg), dan biaya produksi gabah terendah pada perlakuan B (Rp. 285/kg). Efisiensi biaya produksi gabah pada perlakuan B dan C, masing-masin sebesar 36% dan 34% dibandingkan dengan perlakuan A (Tabel 4). Tabel 4. Biaya produksi dan efisiensi pemupukan pada kajian pemupukan di Kairatu, TA. 2010 Uraian Urea SP-36 KCl Dekomposer Promi Total biaya pemupukan Efisiensi biaya pupuk (%) Hasil (t/ha) Biaya produksi gabah/kg Efisiensi biaya produksi gabah (%) A Volume (kg) 250 150 150 0 4,67 - Nilai (Rp) 500.000 675.000 900.000 0 2.075.000 444 - Perlakuan B Volume Nilai (Rp) (kg) 250 500.000 75 337.500 75 450.000 0 0 1.287.500 37,95 4,52 285 35,81 C Volume (kg) 250 75 75 2 4,78 - Nilai (Rp) 500.000 337.500 450.000 120.000 1.407.500 32,17 294 33,78 Keterangan: A, B dan C (lihat Tabel 3) KESIMPULAN 1. Kisaran hasil yang diperoleh pada penelitian ini 4,52 – 4,78 t GKP/ha (ratarata 4,66 t GKP/ha), lebih rendah dari potensi hasil varietas Inpari 1, tetapi lebih tinggi dari rata-rata hasil petani di sekitar lokasi kajian (2,60 – 3,00 t GKP/ha). 2. Efisiensi biaya pemupukan dari perlakuan B sebesar 38 % dan perlakuan C sebesar 32% dibandingkan dengan perlakuan A, sedangkan biaya produksi gabah masing-masing sebesar Rp 444/kg untuk perlakuan A, Rp. 285/kg untuk perlakuan B, dan Rp. 295/kg untuk perlakuan C. 3. Pengurangan 50 % dosis pupuk P dan K dari dosis berdasarkan analisis tanah dengan PUTS dan penamabahan kompos jerami 2 t/ha (Perlakuan C) memberikan produktivitas tertinggi (4,78 t/ha) dengan efisiensi biaya pemupukan sebesar 32 % dan biaya produksi gabah sebesar Rp 295/kg. 4. Penggunaan kompos jerami padi dengan activator promi dapat menghemat pemakaian pupuk P dan K sebesar 50% dari dosis rekomendasi tanpa menurunkan produktivitas padi. 1076 DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, Sri J. 1984. Pengaruh Beberapa Faktor terhadap Penyediaan Kalium Tanah Sawah Daerah Sukamandi dan Bogor. Disertasi Pascasarjana IPB Bogor. Adiningsih, Sri J. dan Sri Rochayati. 1988. Peranan Bahan Organik dalam Meningkatkan Efisiensi Pupuk dan Produktivitas Tanah. Hal. 161-181. Dalam M. Sudjadi et al. (eds). Pros. Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk. Puslittan. Bogor. Anonim. 2008. Implementasi Pengendalian Hama-Penyakit-Gulma Terpadu. DalamI Modul Pelatihan TOT SL-PTT Padi Nasional, Sukamandi, 24-29 Maret 2008. Kerjasama Direktorat Budidaya Serealia-Dirjen Tanaman Pangan, Pusat Pengembangan Pelatihan Pertanian-Badan SDM Pertanian, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi-Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian, Departemen Pertanian. Arafah dan M.P. Sirappa. 2003. Kajian Penggunan Jerami dan Pupuk N, P, dan K pada Lahan Sawah Irigasi. BPTP Sulawesi Selatan. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan 4 (1):15-24. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 37 Hal. Badan Litbang Pertanian. 2008. Teknologi Padi dan Pemanasan Global. Kerjasama Indonesia-IRRI. Badan Litbang Pertanian. IRRI. 26 Hal. BPS Kab. Seram Bagian Barat. 2011. Kabupaten Seram Bagian Barat Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statiktik Kabupaten Seram Bagian Barat. Departemen Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.40 hal. Dinas Pertanian Provinsi Maluku. 2009. Program dan Anggaran Pembangunan Pertanian Provinsi Maluku Tahun 2009. Bahan Presentasi pada Rapat Teknis Evaluasi TA.2008 dan Perencanaan TA. 2009 Dinas Pertanian Provinsi Maluku, 10-13 Maret 2009. Dirjen Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013. Kementerian Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan. 134 hal. Fairhurst, T.H. & C. Witt. 2002. Rice : A Practical Guide to Nutrient management. Potash & Potash Institute, Potash & Potash Institute of Canada, and IRRI. Irianto, S. Gatot. 2009. Genjot Produksi dengan IP Padi 400. Sinar Tani Edisi 410 Pebruari 2009 No.3289 Tahun XXXIX. Irianto, S. G. Abdulrachman, H. Sembiring, Hendarsih, M. Yamin Samaullah, dan P. Sasmita. 2009. Peningkatan Produksi Padi Melalui Pelaksanaan IP Padi 400. Pedum IP Padi 400. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian. 47 hal. 1077 Isroi. 2009. Hasil Analisa Kompos Jerami dan Nilai Haranya. http://www.isroi.wordpress.com/2009/05/13/hasil-analisa-komposjerami-dan-nilai-haranya. [diakses 13 Mei 2013]. Kementerian Pertanian. 2013. Roadmap Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Menuju Surplus Beras 10 Juta Ton pada Tahun 2014. Kementerian Pertanian. 76 hal. Las, I., A.K. Makarim, Sumarno, S. Purba, M. Mardiharini, dan S. Kartaatmadja.1999. Pola IP Padi 300: Konsepsi dan Prospek Implementasi, Sistem Usaha Pertanian Berbasis Sumber Daya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Makarim, A.K., I N. Widiarta, Hendarsih S. & S. Abdulrachman. 2003. Panduan Teknis Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. Departemen Pertanian. Sisworo, W.H. 2006. Swasembada Pangan dan Pertanian Berkelanjutan Tantangan Abad Dua Satu: Pendekatan Ilmu Tanah Tanaman dan Pemanfaatan Iptek Nuklir. Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta. Thamrin. 2000. Perbaikan Beberapa Sifat Fisik dan Typic Kanhapludults dengan Pemberian Bahan Organik pada Tanaman Padi Sawah. Skripsi, Faperta, Universitas Padjajaran Bandung (Tidak Dipublikasikan). 1078 PERANAN DAN NILAI ANTHESIS SILKING INTERVAL (ASI) TERHADAP PRODUKTIVITAS JAGUNG Maintang Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar ABSTRAK Di Indonesia jagung (zea mays L) merupakan sumber karbohidrat kedua setelah padi. Jagung merupakan tanaman yang menyerbuk silang secara alami, namun demikian penyerbukan buatan baik penyerbukan sendiri maupun penyerbukan silang sering dilakukan dalam rangkaian kegiatan untuk penciptaan varietas unggul. Keberhasilan penyerbukan buatan sangat terkait dengan nilai ASI (anthesis Silking Interval). ASI adalah selisih antara keluarnya rambut dan masaknya serbuksari pada malai. Nilai ASI mencerminkan sinkronitas antara bunga jantan (serbuk sari) dan bunga betina (putik). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara waktu penyerbukan terhadap hasil adalah berkorelasi negatif, artinya jika penyerbukan terjadi pada saat nilai ASI 0-5 hari hasil yang dicapai lebih tinggi dan hasil akan semakin menurun dengan semakin besarnya nilai ASI. Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti cekaman air, lahan tidak subur, tanah masam dapat berpengaruh terhadap nilai ASI. Kata kunci: Anthesis Silking Interval (ASI), produktivitas jagung PENDAHULUAN Jagung merupakan komoditas palawija utama di Indonesia dengan luas antara 42-50 % dari luas panen palawija dan merupakan tanaman kedua setelah padi. Kebutuhan jagung terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan bertumbuhnya berbagai industri makanan berbahan baku jagung serta industri pakan ternak. Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode eksploitasi potensi genetik tanaman untuk mendapatkan kultivar atau varietas unggul baru yang berdaya hasil dan berkualitas tinggi pada kondisi lingkungan tertentu. Proses pemuliaan tanaman jagung erat kaitannya dengan penyerbukan buatan baik penyerbukan sendiri (persilangan dalam) atau penyerbukan silang. Hal ini karena Jagung merupakan tanaman yang menyerbuk silang secara alami. Tanaman jagung bersifat protandrus yaitu tepung sari terlepas dari malai sebelum periode rambut-rambut putik pada tongkol siap untuk diserbuki. Hal ini yang sering menjadi kendala dalam melakukan kegiatan penyerbukan buatan pada tanaman jagung, terutama untuk mendapatkan serbuksari yang masih viabel pada saat penyerbukan.Umumnya jagung yang tumbuh pada lingkungan optimal selang waktu keluarnya serbuksari dan terbentuknya rambut adalah 2- 4 hari dan pada kondisi yang demikian hasil yang dicapai sangat maksimal.Sebaliknya pada kondisi lingkungan yang tidak optimal dijumpai periode yang lebih panjang antara terbentuknya serbuksari dan keluarnya rambut. Praktis kondisi demikian akan menurunkan hasil. 1079 ASI (Anthesis Silking Interval)adalah selisish antara umur saat tanaman jagung berbunga betina (berambut) dengan berbunga jantan (pollen shed). ASI merupakan salah satu kriteria utama disamping hasil dalam seleksi famili jagung dan dalam perakitan varietas, nilai ASI yang rendah atau kurang dari empat hari adalah kriteria yang ideal untuk memperoleh famili terbaik.Semakin rendah nilai ASI semakin superior tanaman dan tinggi produktivitasnya.ASI yang kecil menunjukkan terdapat sinkronisasi pembungaan, yang berarti peluang terjadinya penyerbukan sempurna sangat besar.Semakin besar nilai ASI semakin kecil sinkronisasi pembungaan dan penyerbukan terhambat sehingga menurunkan hasil.Cekaman abiotis umumnya mempengaruhi nilai ASI, seperti pada cekaman kekeringan dan temperatur tinggi.Nilai 1 sampai 3 hari merupakan nilai terbaik untuk varietas unggul dan memberikan hasil maksimal pada jagung.Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ASI yang lebih dari tujuh atau delapan hari tidak diperoleh hasil. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara waktu penyerbukan terhadap hasil adalah berkorelasi negative artinya jika penyerbukan terjadi 0 – 5 hari setelah serbuksari terlepas dari anther, hasil yang dapat dicapai 3,5 ton/ha dan penyerbukan setelah 5 hari hasil akan menurun sampai 1,5 ton/ha (Beck et al,1956). Jugensheimer (1985) mengemukakan bahwa nilai ASI (Anthesis Silking Interval) dari setiap famili dalam suatu populasi mempunyai korelasi positif terhadap parameter umur panen, tinggi tanaman, tinggi tongkol dan hasil. Selanjutnya vassal et al,1991 mengemukakan bahwa nilai ASI pada galur murni 0- 2 hari dapat diperoleh hasil 3,8 -4,5 ton/ha. Makalah ini memuat informasi tentang karakteristik bunga tanaman jagung, hubungannya dengan nilai anthesis silking inerval (ASI) terhadap keberhasilan proses penyerbukan dan produksi pada tanaman jagung. KARAKTERISTIK BUNGA JAGUNG Jagung disebut juga tanaman berumah satu (monoeciuos) karena bunga jantan dan betinanya terdapat dalam satu tanaman.Bunga betina, tongkol, muncul dari axillary apices tajuk.Bunga jantan (tassel) berkembang dari titik tumbuh apikal di ujung tanaman.Pada tahap awal, kedua bunga memiliki primordia bunga biseksual. Selama proses perkembangan, primordia stamen pada axillary bunga tidak berkembang dan menjadi bunga betina.Demikian pula halnya primordia ginaecium pada apikal bunga, tidak berkembang dan menjadi bunga jantan. Anther dan Serbuksari Bunga jantan pada malai berada di puncak batang yang umumnya disebut tassel.Ketika bunga jantan masak, anther dikeluarkan dari bulir dan serbuksari dikeluarkan melalui lubang pada ujung anther. Masing-masing kuntum/bulir mempunyai dua bunga dan anther mekar dari bunga yang pertama kemudian diikuti dari bunga yang kedua pada hari yang sama atau hari berikutnya. Ketika lubang anther terbuka serbuksari boleh jadi dihamburkan seluruhnya hanya dalam beberapa menit atau pada periode yang lebih lama yang ditentukan oleh suhu, kelembaban, pergerakan udara dan 1080 genotype.Terlepasnya serbuksari satu malai dapat berubah-ubah dari 1 – 2 hari atau lebih dari 2 hari dalam satu minggu (Russel dan Hallauer, 1980). Umumnya sebuah tassel dapat menghasilkan 60 juta serbuksari (Lovelles, 1989). Serbuksari biasanya terlepas 1-3 hari sebelum rambut telah keluar dari tongkol pada tanaman yang sama dan biasanya berlanjut selama periode 3- 4 hari setelah rambut pada tanaman siap untuk diserbuki. Suhu tinggi dan cekaman kekeringan selama periode penyerbukan dapat sangat mengurangi pembuahan (Poelman, 1987).Anther mekar dan mengeluarkan sekitar 3 jam setelah matahari terbit dan berlanjut 1 sampai 3 jam, suhu dingin dan kelembaban yang tinggi menyebabkan penyebaran serbuksari terlambat sampai tengah hari dan berlanjut sampai sore (Russel dan Hallauer, 1980). Di bawah kondisi yang mengutungkan serbuksari dapat hidup selama 1218 jam, tetapi dapat mati dalam beberapa jam karena kepanasan. Panas, angin kering dapat merugikan malai oleh karena serbuksari tidak dapat terlepas atau dapat mengurangi kelembaban rambut sehingga serbuksari tidak dapat berkecambah atau jika dapat berkecambah gagal untuk mempertahankan pertumbuhan tabung sari.Serbuksari dapat dipelihara agar tetap hidup selama 710 hari dengan mengoleksi malai yang sebelumnya baru melepaskan serbuksari dan menyimpannya di pendinginan (Poehlman, 1987). Serbuksari yang berada dalam kantong persilangan di lapangan sampai 30 jam (Moentono,1988). Silk/Rambut Bunga betina tumbuh dibagian bawah dari tanaman dalam bentuk bulir majemuk atau disebut tongkol yang tertutup rapat oleh upih daun yang disebut kulit ari.Muncul dari ujung tongkol dijumpai sejumlah besar rambut putik. Sewaktu reseptif rambut sutera ini lengket, sehingga serbuksari dari arah manapun yang tertiup kearah rambut ini melekat (Lovelles, 1989) Rambut yang keluar dari ujung tongkol adalah kepala putik yang fungsional.Rambut yang pertama muncul biasanya dari dasar tongkol.Laju keluarnya rambut dikontrol oleh suhu, pH tanah dan kesuburan tanah.Keluarnya rambut secara sempurna dapat terjadi 2-3 hari dibawah kondisi lingkungan yang memungkinkan atau dapat mencapai 5-7 hari pada suhu dingin. Di bawah cekaman kondisi lingkungan pertumbuhan rambut dapat berhenti sama sekali (Russel dan Hallauer, 1980). Putik menjadi reseptif segera setelah muncul dari pucuk tongkol. Lama masa reseptifnya untuk setiap putik ditentukan oleh waktu yang dibutuhkan untuk semua rambut keluar dari pucuk dan waktu untuk tetap reseptif setelah muncul. Everest (1958) dalam Russel dan Hallauer (1980) melaporkan bahwa dibutuhkan waktu 5-6 hari untuk semua rambut keluar dari tongkol. Masa reseptif putik sampai 10 hari telah dilaporkan oleh Walden dan Everet (1961), tetapi turun dengan cepat setelah 10 hari. Suhu tinggi dan kelembaban rendah dapat menurunkan masa subur putik. Pembentukan set biji yang terbaik terjadi saat penyerbukan 3-5 hari setelah munculnya rambut yang pertama keluar (Hallauer dan Sears dalam Russel dan Hallauer, 1980). Dasar buah (kuntum) tersusun pada tongkol yang muncul berpasangan masing-masing terdiri dari satu fertile dan satu steril, hal ini yang akan menentukan jumlah baris pada tongkol. Kedua ovule dapat berkembang pada 1081 varietas tertentu.Pembuahan ovule penyerbukan (Poelman, 1987). biasanya terjadi 12-28 jam setelah ANTHESIS SILKING INTERVAL (ASI) Anthesis Silking Interval (ASI) merupakan salah satu kinerja seleksi dalam memilih famili/populasi. ASI adalah selisih antara periode keluarnya bunga betina (silking) terhadap bunga jantan (pollen shed). Semakin tinggi nilai ASI makin tidak sinkron pembungaan, praktis tidak aka nada hasil karena tidak terjadi sinkronisasi penyerbukan.Sebagian besar galur murni dan hibrida bersifat protandrus artinya menyebarkan serbuksari satu atau dua hari sebelum keluar rambut tongkol. Periode keluarnya malai adalah periode kritis sampai rambut (putik) siap untuk diserbuki. Beberapa faktor lingkungan yang kurang mengutungkan seperti cekaman air, lahan tidak subur, atau cahaya yang kurang dapat menunda keluarnya rambut dua atau tiga minggu dan dapat mengurangi set biji sebab ketidakcukupan pollen yang hidup (viabel) pada waktu keluarnya rambut (silking). Pada kondisi cekaman yang hebat tongkol tidak menghasilkan biji.Faktor- faktor yang menyebabkan tenggang waktu antara pelepasan tepungsari dan keluarnya kepala putik dapat berpengaruh jelek terhadap penyerbukan dan berpengaruh pada pembentukan biji dan berdampak pada berkurangnya hasil.Demikian pula defisiensi hara dapat memperlambat pertumbuhan tongkol, sehingga berpengaruh terhadap anthesis silking interval (ASI) se-hingga perbedaan ASI bertambah besar).Bertambah besarnya perbedaan “anthesis silking interval” (ASI) dapat berpengaruh terhadap pembentukan biji. Kurangnya tepung sari, dan menurunnya viabilitas tepung sari merupakan penyebab utama penurunan hasil biji. Karagaman Nilai ASI ASI adalah salah satu komponen atau parameter yang dilihat dalam setiap perakitan varietas atau dalam setiap kegiatan penelitian jagung. Nilai ASI terkait dengan keberhasilan proses penyerbukan dan pembuahan pada jagung yang berimplikasi pada hasil dan produktivitas jagung. Dari beberapa kegiatan penelitian yang dilakukan memperlihatkan nilai ASI yang berbeda-beda, baik pada kondisi normal maupun pada kondisi tercekam biotik dan abiotik. Salah satu populasi POOL-2.C7 yang mempunyai nilai ASI kurang dari 6 hari maka kultivar hanya memberikan hasil 1,0 t/ha, dan setelah 8 hari kultivar tersebut tidak dapat memberikan hasil. Famili S1 dari populasi Tuxpeno segnia C6 menunjukkan hasil tertinggi pada saat terbentuknya serbuksari yang disertai dengan keluarnya rambut (ASI=0) sampai selang ASI 1 hari. Hasil semakin rendah dengan pertambahan nilai ASI dan saat ≥ 6,0 diduga tidak akan terjadi proses pembuahan (Yasinet al, 1997). Penelitian pengaruh waktu penyerbukan terhadap keberhasilan pembuahan jagung pada populasi SATP-2(S2)C6 telah dilakukan, dengan interval waktu penyerbukan pada saat nilai ASI = 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Dari hasil penelitian terlihat bahwa populasi SATP-2(S2)C6 memberikan rata-rata jumlah biji, bobot biji pipilan kering, panjang tongkol dan bobot tongkol kupasan basah 1082 yang lebih tinggi pada penyerbukan yang dilakukan pada saat selisih waktu 1 hari antara malai berserbuksari dan rambut siap untuk diserbuki (ASI=1), dibandingkan dengan penyerbukan yang dilakukan pada saat nilai ASI=2, 3, 4,5 dan 6. Berdasarkan model regresi non linear diduga bahwa bobot biji pipilan kering tertinggi pada saat nilai ASI=1 dan bobot semakin berkurang pada saat nilai ASI= 2, 3, 4, 5 dan pada saat nilai ASI> dari 6 hari diduga sudah tidak ada hasil. Penelitian telah dilakukan untuk megetahui model exponensial Asi family S1 pada lingkungan tercekam abiotik (Yasin et al, 2007). Hasil penelitian tersebut diperoleh data umurberbunga betina, berbunga jantan serta hasil bobot biji (kw/ha)pada kadar air 15% untuk seleksi dilahantercekam kekeringan, dan seleksi pada lahan kahat hara diPMK.Sesuai formula untuk menghitung koefisien ASI (x) terhadaphasil y (kw/ha) diperoleh : y = 31,912e-0,295x untuk lahankekeringan, dan dilahan kahat hara PMK : y = 129,412e-0,450x, dengan nilai masing-masing R2 = 75,52% dan 79,14%.Berdasarkan model ini terlihat bahwa pada lahan tercekam kahathara PMK, potensi hasil famili S1 dari AMATL(S1)C2 lebih tinggidari famili S1 Pool-2(S1)C8, atau jika terjadi prosespenyerbukan yang bersamaan antara keluarnya rambut danserbuksari (x=0) maka hasil bobot biji AMATL(S1)C2 lebih tinggidari Pool-2(S1)C8. Hal ini dibuktikan dengan memberi nilai asi(x)=0 diperoleh nilai dugaan α pada model untuk populasiAMATL(S1)C2 di lahan RYP lebih tinggi nilainya dibanding Pool2)S1)C8 dilahan kering (129,41 dan 31,912). Selanjutnya dapatdiketahui bahwa pada kondisi yang sangat tercekam (ASI=6hari) dugaan hasil bobot biji (ў) dilingkungan kahat hara PMKlebih tinggi 3,21 kw/ha dibanding pada lingkungan kekeringanatau terdapat selisih hasil 59,0%. Westgate, (1996) bahwa nilaimaksimum dari hasil bobot biji diperoleh saat ASI pada kisaran0-4 hari. Selanjutnya Bolanos dan Edmeades, (1996) bahwakoefisien determinasi diperoleh R2=70,0% dengan hasilmaksimal 4,0 t/ha pada famili S1-S3 jika ASI=0. Hasil analisisdari Claure, (1996) bahwa galur S3 dapat dicapai 6,2-6,4 t/ha jikakisaran nilai ASI = 2,0-3,0 hari. Berdasarkan penelitian ini dapatdiketahui bahwa untuk setiap pertambahan nilai ASI perharimaka dugaan hasil bobot biji (ў) selalu lebih tinggi pada family yang tercekam kahat hara PMK dibanding cekaman kekeringan,dan jika ASI >6,0 hari diduga sudah tidak ada hasil. Edmeadeset al., (1996) menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif ASIterhadap hasil pada lingkungan tercekam kekeringan dengannilai R2=0,60. Hal ini dapat diartikan bahwa cekaman kekeringanlebih banyak menurunkan hasil bobot biji jagung dibanding cekaman pada kahat hara PMK. Penelitian lain pada Jagung berbiji putih Anoman-1 diseleksi untuk adaptifdi lahan kering beriklim kering.diperoleh nilai ASI (anthesis silking interval) lebihrendah dari 5 hari(Anonim, 2012). Penelitian seleksi anthesis silking interval pada beberapa populasi lini inbred jagung untuk mempertahankan kelestarian mereka diperoleh hasil antara lain Anthesis-Silking Interval (ASI) terbaik antara 4 – 7 h. ASI >7 h akan menghasilkan tongkol yang Iebih kecil dan tidak sempurna pembentukan bijinya (Saiful Hakim, 2004). ASI merupakan kriteria seleksi dalam merakit varietas untuk sifat toleran kekeringan.Semakin tinggi nilai ASI semakin rendah hasil karena tidak terjadi sinkronisasi berbunga. Beck at al, (1956) dalam Musdalifah Isnaeniet al, (2008) mengemukakan bahwa nilai ASI -1,0 sampai +3,0 hari memberikan hasil 1083 maksimal pada jagung. ASi negatif diartikan bahwa rambut terlebih dahulu siap diserbuki sebelum tersedia bunga jantan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa berdasarkan hasil penelitian pada pendugaan nilai daya gabung jagung hibrida toleran kekeringan diperoleh nilai ASI berkisar antara 4- 8 hari. KESIMPULAN ASI adalah selisih antara keluarnya rambut dan masaknya serbuksari pada malai.Nilai ASI mencerminkan sinkronitas antara bunga jantan (serbuksari) dan bunga betina (putik). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara waktu penyerbukan terhadap hasil adalah berkorelasi negatif, artinya jika penyerbukan terjadi pada saat nilai ASI 0-5 hari hasil yang dicapai lebih tinggi dan hasil akan semakin menurun dengan semakin besarnya nilai ASI. Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti cekaman air, lahan tidak subur, tanah masam dapat berpengaruh terhadap nilai ASI. DAFTAR PUSTAKA Anonim.2012.Varietas Jagung Adaptif pada Lahan Kering Beriklim Kering.Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Tanaman Pangan Indonesia, 2010. http:pustaka.litbang,deptan.go.id. Diakses tanggal 20 Januari 2012. Beck.D., J. Betran., M. Banziger., G. Edmeades., J. M. Ribaut., M. Willcox., S. K. Vasal., and A. Ortega. 1956. Progressin Developing Drought and Low Soil Nitrogen Tolerance in Maize., 51st Annual Corn & Sorghum Research Conference. CIMMYT El Batan. Mexico. p. 85. Bolanos.J., and G. O. Edmeades. 1996. The Importance of the Anthesis Silking Interval in Breeding for DroughtTolerance in Tropical Maize. Proceedings of a Symposium.Developing Drought and Low N Tolerant Maize.March 2529, 1996.CIMMYT El Batan. Mexico. p.355 Claure, T. 1996.Mejoramiento de Maiz Para Tolerancia Sequia en el Chaco de Bolivia.Proceedings of a Symposium.Developing Drought and Low N Tolerant Maize. March 25-29, 1996. CIMMYT El Batan. Mexico. p.447 Jugenheimer R.W., 1985. Corn Improvement Seed Production and Uses. Evaluating Inbred Lines. Rober E.Kringer Publisher Company. Malabar Florida. P.142. Lovelles A.R. 1989. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik (2) Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta. Moentono M.D. 1988.Pembentukan dan produksi Varietas Hibrida. Subandi dkk (eds) Jagung.Puslitbangtan, Bogor. Dalam Musdalifah Isnaeni, S. Sujiprihati, F. Kasim, 2008. Pendugaan Daya Gabung Jagung Hibrida Toleran Kekeringan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan p.27.Vol.03. 1084 Poehlman M.1987. Breeding Field Crops.Third Edition.An Avi Book. Nostrand Reinhold. New York. P.45. Van Russel W.A. A.R. Hallauer. 1980. Corn. Edited By W.R.Fehr and H.H.Hadley Publisher Madison, Wisconsin, USA. Saiful Hakim. 2004.Seleksi Anthesis Silking Interval pada Beberapa Populasi Lini Inbred Jagung Untuk Mempertahankan Kelestarian Mereka. Laporan Penelitian Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. http:repository.unila.ac.id. Diakses 19/12/2011. Yasin HG., Roy Efendi, Made J. Mejaya. 2007. Model Exponensial ASI Famili S1 Jagung pada Lingkungan Tercekam Abiotik.www.Litbang.deptan.go.id. Diakses 20/1/2012. Informatika Pertanian. Vol 16, 2007. Yasin H.G. M.A.Barata, A.Marpe dan F.Kasim. 1997. Karakter Genotype Jagung Untuk Ketahanan Terhadap Kekeringan.Prosiding Jagung Maros 11-17 Nopember 1997. Westgate. M. E. 1996. Physiology of Flowering in Maize:Identifying Avenues to Improve Kernel Set During Drought.Proceedings of a Symposium. Developing Drought andLow N Tolerant Maize. March 25-29, 1996. USDAARS.North Central Soil Conservation Research Lab. Morris.MN. USA. CIMMYT El Batan. Mexico. p.137. 1085 STRATEGI PERCEPATAN DISTRIBUSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI MELALUI UNIT PENGELOLA BENIH SUMBER DI SULAWESI TENGAH Muh. Afif Juradi, Soeharsono dan Asni Ardjanhar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah Jln. Lasoso No. 62 Biromaru email: [email protected] ABSTRAK Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian.Kontribusi varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi telah terbukti nyata melalui keberhasilan pencapaian swasembada beras pada tahun 1984. BPTP Sulawesi Tengah melalui Unit Pengelola Benih Sumber sudah berjalan sejak tahun 2006-2009 dan 2011-2012, selama 6 tahun Unit Pengelola Benih Sumber sudah memproduksi benih sumber dan benih sebar dengan total 57.337 kg, dengan rincian kelas FS 22.843 (39,83 %), SS 18.175 kg (31,70 %) dan ES 16.319 kg (28,46 %). Varietas unggul baru yang dihasilkan selama ini didasarkan pada spesifik lokasi namun petani lebih menyukai varietas Mekongga, Ciliwung, Cisantana dan Cigeulis.Penyebaran varietas unggul baru (VUB) mencakup semua Kabupaten di Sulawesi Tengah, melalui kegiatan SL-PTT, diseminasi, kerjasama dengan penangkar, bantuan dan penjualan. Melalui kegiatan Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) diharapkan dapat membantu Pemerintah daerah Sulawesi Tengah mensosialisasikan varietas unggul baru hasil rakitan Badan Litbang Pertanian di daerah dan pengembangan UPBS ke depan perlu dukungan pihak terkait, kelancaran benih BS dan FS dari BB Padi dan menjalin hubungan kerjasama dengan BBI maupun BBU di daerah, penangkar baik pemula maupun penangkar yang sudah maju. Kata kunci: Penangkaran benih, varietas unggul padi, percepatan PENDAHULUAN Benih merupakan salah satu komponen produksi yang mempunyai kontribusi cukup besar dalam peningkatan produktivitas padi. Beberapa manfaat penggunaan benih bermutu yaitu kemurnian genetik terjamin, pertumbuhan benih seragam, menghasilkan bibit yang seragam, menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak, masak dan panen serempak, produktivitas tinggi sehingga meningkatkan pendapatan petani (BPTP Jateng, 2008). Varietas unggul berperan memberikan manfaat teknis dan ekonomis yang banyak bagi perkembangan suatu usaha pertanian, diantaranya pertumbuhan tanaman menjadi seragam sehingga panen menjadi serempak, rendemen lebih tinggi, mutu hasil lebih tinggi dan sesuai dengan selera konsumen, dan tanaman akan mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap gangguan hama dan penyakit dan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungan sehingga dapat memperkecil penggunaan input seperti pupuk dan pestisida. Dalam suatu sistem produksi benih pertanian baik yang ditujukan untuk memenuhi konsumsi sendiri maupun yang berorientasi komersial diperlukan adanya ketersediaan benih dengan varietas yang berdaya hasil tinggi dan mutu yang baik. Daya hasil yang tinggi serta mutu yang terjamin pada umumnya 1086 terdapat pada varietas unggul. Namun manfaat dari suatu varietas akan dirasakan oleh petani atau konsumen apabila benih tersedia dalam jumlah yang cukup dengan harga yang sesuai. Dalam pertanian modern, benih berperan sebagai delivery mechanism yang menyalurkan keunggulan teknologi kepada petani dan konsumen lainnya. Salah satu yang berpengaruh dalam peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan adalah penggunaan benih varietas unggul bermutu yang didukung oleh penerapan teknologi sesuai dengan anjuran. Oleh karena itu, ketersediaan benih bermutu terus diupayakan mengingat manfaat dari penggunaan benih tersebut. Sejak tahun 2006, Badan Litbang Pertanian, melalui BPTP sebagai unit Pelaksana Teknis (UPTD) terdepan di daerah, melakukan pengembangan dan pembinaan penangkaran benih padi untuk mendukung industri benih padi melalui pembentukan Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) disetiap BPTP. Selanjutnya UPBS diharapkan mampu menyediakan benih bermutu sesuai kebutuhan daerah, mensosialisasikan varietas unggul baru (VUB) yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian dan mendapatkan umpan balik mengenai preferensi pengguna. BPTP Sulawesi Tengah tahun 2006-2009 dan 2011-2012 melalui kegiatan Unit Pengelola benih Sumber (UPBS) sudah memproduksi benih di Kebun Percobaan Sidondo (kebun percobaan milik BPTP) yang sekaligus dijadikan lokasi UPBS, selain itu di lahan petani/mitra/ penangkar, petani yang dibina merupakan petani/penangkar pemula maupun penangkar yang sudah berpengalaman memproduksi benih sumber. Untuk menjamin ketersediaan benih kelas BS dan FS diharapkan BB Padi sedapat mungkin menyediakan benih kelas BS dan FS untuk digunakan di tiap-tiap BPTP.Alur pendistribusian benih sesuai dengan pengklasifikasian kelas benih (Tabel 1). Tujuan penulisan makalah ini adalah Untuk mengetahui tingkat distribusi varietas unggul baru (VUB) di tingkat petani dan mengetahui tingkat produktivitas varietas Unggul baru. Sedangkan keluarannya adalah diketahuinya tingkat distribusi varietas unggul baru (VUB) di tingkat petani dan diketahuinya tingkat produktivitas varietas unggul baru. METODOLOGI Ruang Lingkup Lingkup dan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan pada penelitian bersifat survei. Kegiatan ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap desk studi dan tahap penelitian lapangan. a. Tahap Desk Studi Pada kegiatan ini dilakukan studi pengumpulan dan analisis data sekunder dari beberapa sumber yang berkaitan dengan kegiatan perbenihan padi sawah. Adapun data sekunder meliputi: kondisi kelembagaan petani penangkar dan ketersediaan sarana dan prasarana. b. Tahap Penelitian Lapangan Penelitian lapangan dilakukan dengan metode survei berupa pengamatan kondisi perbenihan dan kapasitas produksi 1087 c. Pengumpulan Data Data di kumpulkan terdiri atas 2 jenis yaitu : sekunder dan data primer. Data sekunder di peroleh melalui instansi terkait dan data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dilapangan dan wawancara petani yang terpilih. HASIL DAN PEMBAHASAN BB Padi-Sukamandi KP Sidondo/BPTP Sulawesi Tengah NS/Benih Inti BS/Benih penjenis BBI/BBU Provinsi/Kabupaten FS/Benih Dasar Penangkar Benih SS/Benih Pokok Petani ES/Benih Sebar Gambar 1. Alur pendistribusian benih sesuai dengan pengklasifikasian kelas benih Selama ini alur kelas benih sering terputus dikarenakan sebagian besar petani memperbanyak label kelas tinggi namun setelah di prosesing benihnya langsung digiling, seharusnya benih tersebut masih diperbanyak. Alasan petani dengan memproduksi benih kelas tinggi pertumbuhan tanaman seragam dibanding kelas benih yang rendah pertumbuhan tanaman tidak seragam, olehnya itu petani menyukai label yang tinggi seperti kelas BS dan FS untuk diperbanyak. Untuk menjamin kelancaran penyediaan benih di suatu daerah harus ada aturan baku, terkait produsen benih di daerah seperti Balai-Balai Benih (BBI) dan Balai Benih Utama (BBU), penangkar, BUMN sampai ke petani agar tugas pkok dan fungsi masing-masing produsen tidak tumpang tindih. Selama ini di Balai-balai Benih memproduksi label FS yang seharusnya BBI/BBU memproduksi label SS, sedangkan UPBS memproduksi label FS, selain itu petani juga memproduksi benih kelas FS yang benih sumbernya mereka datangkan dari Balai Besar Padi Sukamandi. 1088 Benih Penjenis/Breeder seed Benih Dasar/Foundation seed Benih Pokok/Stock seed Benih Sebar/Extantion seed Petani Gambar 2. Alur perbanyakan benih System Monogeneration Flow (Olivia C.R, 2005) Dalam memproduksi benih sumber maupun benih sebar BPTP Sulawesi Tengah bekerjasama dengan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Sulawesi Tengah dalam melakukan pendampingan dan pengawasan benih mulai dari penentuan lokasi, pengawasan dilapangan sampai uji benih di laboratorium. Perbanyakan benih sumber menitikberatkan pada seleksi tanaman (rouging), tujuannya adalah menyeleksi tanaman dengan cara membuang tanaman tipe simpang (off type) agar tidak tercampur dengan varietas yang lain (CVL), yang memiliki ciri-ciri menyimpang dari varietas yang diperbanyak. Salah satu syarat dari benih bermutu adalah memiliki tingkat kemurnian genetik yang tinggi (Juknis UPBS, 2013).Oleh karena itu rouging perlu dilakukan dengan benar dan dimulai fase vegetatif sampai akhir pertanaman. Tabel 1. Benih Sumber yang Dihasilkan Sidondotahun 2006-2012. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Oleh Varietas Kelas FS Mekongga Ciapus IR 70 Cisantana Ciherang Ciliwung Cibogo Cigeulis Gilirang Membramo Cimelati Celebes Pepe 2006 2007 2008 756 1151 1200 756 1204 646 720 800 - 300 - 425 900 230 - Kebun Percobaan Produksi (kg) 2009 2011 2025 1550 1400 1825 - (KP) 2012 - 1089 Lanjutan ... No. 14. 15. 16. 17. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. Varietas Way Apo Buru Inpari 13 Inpari 14 Inpari 15 Total Kelas SS Cibogo Gilirang Ciapus Inpari 9 Inpari 7 Cigeulis Inpari 14 Inpari 15 Total Kelas ES Inpari 10 Inpari 4 Total 2006 7.233 2007 300 Produksi (kg) 2008 2009 2550 1.555 9.350 120 1200 550 1.870 - - - - - 2011 1880 1.880 2012 1850 675 2.525 - 1330 2175 625 4.130 4425 1500 5.925 - 1102 1.102 5819 5.819 Tabel 2. Produksi Benih Sumber yang Dihasilkan Oleh Penangkar Binaan UPBS Sulawesi Tengah Tahun 2011-2012 Musim/ Varietas Tahun 2011 Inpari 7 Inpari 10 Cigeulis Jumlah Tahun 2012 Inpari 4 Inpari 20 Jumlah Kab. Sigi1 Produksi benih (kg) Kab. Donggala2 Kab. Parigi3 1.075 1.075 1.100 1.102 625 625 7.725 7.725 Sumber : BPTP Sulteng, 2011-2012 1 sistem bagi hasil 70:30 2 sistem bagi hasil 50:50 3 sistem bagi hasil 50:50 Total 2.202 2.175 1.102 625 3.902 2.775 5.950 8.725 10.500 5.950 16.450 Pola Kerjasama Antara Petani/Mitra Dengan UPBS BPTP Sulawesi Tengah Pembinaan penangkaran benih tidak hanya terbatas pada penangkar pemula tetapi kerja sama dilakukan pada penangkar yang telah eksis. Dalam membina penangkar BPTP membuat aturan main yang disepakati oleh penangkar yang dituangkan dalam surat perjanjian kerja sama, yaitu penangkar yang dibina diberikan bantuan saprodi (benih, pupuk, insektisida, herbisida dan upah). Setelah panen penangkar mengembalikan berupa benih sesuai perjanjian sebelumnya, yakni bagi hasil 70:30 atau 50:50. Benih tersebut dijual diperuntukkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak oleh BPTP dan benih 1090 berbantuan kepada petani untuk memperkenalkan varietas unggul baru (VUB) hasil rakitan Badan Litbang Pertanian. Tabel 3. Lokasi Pembinaan Penangkar Benih Padi Sawah Berbasis Komunitas di Sulawesi Tengah Tahun, 2007. No. Petani penangkar Varietas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Klota Desa Baya Ruslan Cisantana Mekongga Ciapus Cisantana Mekongga Ciapus Ciherang Luas (ha) 2 2 1 2 2 1 3 8. Ruslan Cisantana 2 9. Eka wardana Ciherang 4 10. Eka wardana Ciapus 4 11. Ketut Ciapus 0,5 12. Klota sukses Cisantana 0,5 13. Klota sukses Ciapus 0,5 14. 15. 16. Klota Pasanggani Klota ingin maju Klota ingin maju Ciapus Cisantana Ciapus 1 0,5 0,5 Rasyid Lokasi Kerjasama Desa Baya Desa Baya Desa Baya Tonggolobibi Tonggolobibi Tonggolobibi Desa Lantapan Desa Lantapan Parigi Moutong Parigi Moutong Desa Torue Primatani Primatani Primatani Primatani Primatani Primatani Primatani Desa Tolongano Desa Tolongano Limboro Desa Sirenja Desa Sirenja Banggai Banggai Banggai Donggala Donggala Donggala Toli-Toli Primatani Toli-Toli Primatani Moutong Primatani Moutong Primatani Moutong P4M1 Parigi Parigi Parigi P4M1 P4M1 Klintan Klintan Temu lapang Salah satu tujuan UPBS adalah memperkenalkan VUB yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian ke pengguna melalui kegiatan temu lapang bersama kelompok tani, petani kooperator, pengawas BPSB, penyuluh, gapoktan, Dinas Pertanian Provinsi, Dinas Pertanian Kabupaten, penyebaran VUB di tingkat petani di lakukan dengan memberikan benih secara gratis, secara tidak langsung BPTP sudah memperkenalkan varietas hasil Litbang Pertanian kepada pengguna. Di samping itu BPTP melakukan pemberian benih secara gratis juga benih tersebut dijual ke Dinas-dinas pertanian kabupaten, kelompok tani, maupun penangkar yang membutuhkan hasil dari penjualan tersebut di setor ke kas Negara (PNBP). Dalam kurun waktu 2006-2012 UPBS BPTP Sulawesi Tengah sudah memproduksi benih sumber dari berbagai macam varietas. Tahun 2007 BPTP telah melakukan perbanyakan benih sumber diantaranya : Cibogo, Mekongga, Cigeulis, Gilirang, Ciapus, Tahun 2008 adapun varietas yang diperbanyak adalah: Cisanatana, Ciapus dan gilirang. Tahun 2009 varietas yang diperbanyak adalah : Membramo, Cimelati, Celebes, Pepe dan Way Apo Buru, Tahun 2010 tidak melakukan kegiatan perbanyakan benih sumber, Tahun 2011 varietas yang 1091 diperbanyak adalah : Inpari 9, Inpari 13, Inpari 10, Inpari 6, Inpari 7 dan Cigeulis, Tahun 2012 ada 4 varietas yang diperbanyak seperti : Inpari 4, Inpari 14, Inpari 15 dan Inpari 20. Masalah Pendistribusian Perbenihan di Lapangan Masalah dalam pendistribusian benih padi bervariasi menurut komponen perbenihannya. Pra penangkar menilai bahwa harga calon benih terlalu rendah dan disamakan dengan gabah yang akan dikonsumsi, disamping tidak ada penggolongan status mutu calon benih mereka oleh pedagang yang mengolah dan membeli calon benihnya. Pengadaan calon benih padi juga terbatas karena ketersediaan benih sumber yang terbatas pula. Pedagang yang mengolah benih dan penangkar benih mempermasalahkan keterlambatan label yang kadangkadang terjadi oleh BPSB sehingga memperlambat pendistribusian benih, disamping sulitnya memperoleh sumber benih sehingga sulit pula untuk memenuhi permintaan pasar akan benih. Pendistribusian benih dalam hal ini KUD juga menghadapi masalah berupa keterbatasan kemampuan professional dalam pemasaran benih (Mugnisjah dan Setiawan, 1995). Menurut Roesmiyanto et al (2000), bahwa masalah yang dihadapi kelompok tani penangkar benih adalah : (a) keterbatasan modal kelompok untuk membeli hasil panen petani anggotanya dan fasilitas pengolahan benih; dan (b) kondisi sosial ekonomi anggota kelompok yang sangat beragam. Dengan demikian, sebagian anggota menunda penjualan hasil menunggu pengolahan benih dan sebagian lainnya menjual langsung setelah panen untuk padi konsumsi. Kendala yang lain yang dihadapi adalah petani enggan menjadi penangkar benih karena tidak memiliki lantai jemur, gudang serta keterbatasan modal untuk prosesing. Untuk itu, diperlukan suatu cara atau kebijakan dalam pengembangan teknologi perbenihan mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan hingga pemasaran yang disertai dengan pengawasan dan pembinaan secara kontinu dan berkelanjutan. Solusi lain ditawarkan adalah untuk meningkatkan kapasitas produksi benih pemerintah harus memberikan bantuan berupa alat prosesing, lantai jemur, dan gudang minimal tiap kecamatan harus ada untuk mempermudah akses bagi penangkar sehingga keuntungan yang diperoleh dapat meningkat, di sisi lain jarak yang jauh akan meningkat biaya transportasi sehingga memperkecil keuntungan yang diperoleh (Juradi et al, 2011). KESIMPULAN Perbanyakan benih sumber padi berdasarkan pemilihan lahan spesifik lokasi dan berdasarkan preferensi konsumen, seperti Inpari 6 (Memberamo) dan Inpari 13 namun dari sekian varietas yang diperbanyak, petani masih menyukai varietas eksisting seperti Ciliwung, Cintanur, Cisantana, Ciherang dan Cigeulis. Produksi tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, rendemen tinggi, alasan petani menyukai varietas eksisting, disisi lain varietas Inpari memiliki produktivitas tinggi namun rentan terhadap hama penyakit dan rendemen rendah. Peran UPBS di daerah sangat diharapkan mensosialisasikan varietas unggul baru hasil rakitan Badan Litbang Pertanian. 1092 DAFTAR PUSTAKA Olivia Costavina R. 2005. Analisis Usahatani Padi Sawah. Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar, Makassar. Mugnisjah dan Setiawan. 1995. Produksi Benih. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Bogor, 129 hal. Juradi, M. A. Sukarjo dan Syafruddin. 2011. Kapasitas Produksi Benih Padi Sawah Dan Permasalahannya Di Sulawesi Tengah. Unpublish. Petunjuk Teknis. 2013. Unit Pengelola Benih Sumber. Lingkup Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Roesmiyanto, S. Yuniastuti, Suyamto, F. Kasijadi, Suhardjo,B. Siswanto, G. Effendi, Suwarno dan B. Suwandi. 2000. Pengkajian Sistem Usahatani Perbenihan Kedelai di Lahan Sawah Jawa Timur. Laporan akhir Tahun 2000. BPTP Karangploso. 28 hal. 1093 POTENSI SUMBERDAYA DAN PILIHAN KOMODITAS PERTANIAN DI KABUPATEN JENEPONTO (Hasil PRA M-P3MI di Kab.Jeneponto) M.Basir Nappu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km.17,5 Sudiang, Makassar Tlp. : (0411) 556449, Fax. : (0411) 554522 ABSTRAK Badan Litbang Pertanian mulai tahun 2011 mencanangkan Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (M-P3MI) sebagai program pembangunan pertanian melalui spectrum diseminasi multi chanel (SDMC). M-P3MI dilaksanakan pada lokasi pengembangan, diawali dengan pelaksanaan PRA (Participatory Rural Appraisal) atau Pemahaman Pedesaan secara Partisipatif. Dengan pelaksanaan PRA diperoleh informasi yang akurat dan lengkap, baik data bio-fisik desa, sosial ekonomi, preperensi petani dan pemerintah setempat, sehingga dapat dipahami masalah yang dihadapi masyarakat desa khususnya pembangunan pertanian. Luas wilayah kelurahan Tolo Utara 7,59 km2 yang dimanfaatkan untuk : lahan sawah 57,57 ha, tegalan/kebun 650,0 ha, dan pemukiman 51,47 ha. Potensi sumber daya air yang dimiliki yaitu air permukaan dan air tanah. Komoditas utama yang diusahakan petani adalah jagung, komoditas pendukung ubi kayu, cabai dan ternak. Pendapatan yang diperoleh petani dari usahatani jagung sebanyak Rp. 14.710.000,- per musim tanam dan pendapatan dari usahatani ubi kayu Rp. 8.375.000,- Inovasi yang dapat dilakukan adalah teknologi budidaya jagung dan ubi kayu, pengolahan hasil jagung dan ubi kayu, teknologi budi daya pakan, pengolahan pakan, dan pengolahan pupuk organik. Dampak dari inovasi yang dilakukan adalah peningkatan produktivitas jagung dan ubikayu, aktivitas kelembagaan dan kegiatan agribisnis meningkat,serta pendapatan rumah tangga petani meningkat dari 100% menjadi 175 %. Kata kunci : M-P3MI, PRA, inovasi teknologi, inovasi kelembagaan PENDAHULUAN Pembangunan sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan perdesaan karena merupakan prasyarat bagi upaya peningkatan pendapatan masyarakat petani melalui optimalisasi penggunaan sumberdaya pertanian (Syam, 2006). Dari hasil ini diharapkan tercapai kondisi sosial ekonomi yang lebih baik, peningkatan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi di perdesaan untuk tercapainya kesejahteraan petani. Dukungan teknologi pertanian dalam arti luas untuk pengembangan pertanian di perdesaan telah tersedia melalui jasa penelitian maupun pengkajian yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Sebagian teknologi tersebut telah tersebar di tingkat pengguna dan stakeholder, namun pengembangannya ke target area yang lebih luas perlu dilakukan upaya percepatan (Ruslan, 2006). Badan Litbang pertanian sejak tahun 2005, telah mengembangkan program rintisan dan akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian melalui PRIMA TANI, yang sekaligus berperan menampung umpan balik guna 1094 perbaikan program penelitian kedepan.Program tersebut sebagai implementasi paradigma baru Badan Litbang Pertanian yaitu, penelitian untuk pembangunan (research for development). Pada tahap implementasi program, Badan Litbang Pertanian memposisikan diri sebagai the driving force karena terintegrasi langsung sebagai elemen esensial dari system percepatan inovasi (Anonim, 2006a). Sampai saat ini, program tersebut telah mampu menyebarkan inovasi teknologi ke tingkat pengguna dan pengambil kebijakan di daerah. Sejumlah inovasi diantaranya telah digunakan sebagai tenaga pendorong utama pertumbuhan dan pengembangan usaha agribisnis di perdesaan. Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (M-P3MI) dilaksanakan pada lokasi pengembangan komoditas, diawali dengan pelaksanaan PRA (Participatory Rural Appraisal) atau pemahaman pedesaan secara partisipatif. PRA pada dasarnya ditujukan untuk mengidentifikasi jenis-jenis inovasi tehnologi dan inovasi kelembagaan agribisnis yang perlu dilaksanakan. Inovasi teknik dan inovasi kelembagaan agribisnis disesuaikan dengan potensi sumber daya yang tersedia dan permasalahan yang dihadapi praktisi agribisnis terutama petani (Anonim, 2006). Inovasi yang dimaksud meliputi beberapa bidang, yaitu: (1) Bidang produksi, pengadaan sarana produksi, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran komoditas terpilih yang akan dikembangkan; (2) Bidang pemanfaatan limbah pertanian untuk pembuatan pupuk organik dan pakan ternak; (3) Bidang pemanfaatan sumber daya lahan dan air secara optimal; dan (4) Bidang konservasi tanah dan air. Melalui PRA diperoleh informasi yang akurat dan lengkap, baik data bio-fisik desa, sosial ekonomi, preperensi petani dan pemerintah setempat sehingga dapat dipahami masalah yang dihadapi masyarakat desa, khususnya pembangunan pertanian. Hasil PRA yang diperoleh yakni informasi tentang potensi yang tersedia dan masalah yang dihadapi masyarakat desa di lokasi M-P3MI, mengidentifikasi permasalahan serta alternatif pemecahannya melalui pemilihan inovasi teknologi dan inovasi kelembangaan agribisnis yang sesuai dengan potensi sumberdaya yang dimiliki. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan PRA dilaksanakan di kelurahan Tolo Utara, kecamatan Kelara, kabupaten Jeneponto, berlangsung mulai bulan April sampai Juni 2011. Pemilihan lokasi berdasarkan data sekunder yang diperoleh dan kesepakatan dengan Dinas Pertanian Kabupaten Jeneponto. Lokasi tersebut berada pada zona Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Kering. Informasi yang dikumpulkan Jenis informasi sebagai berikut: dan sumber data yang dikumpulkan, diklasifikasikan 1095 (a) Jenis tanaman dan ternak yang diusahakan petani beserta peranannnya terhadap pendapatan rumah tangga, potensi pasar, pemanfaatan limbah yang dihasilkan, kesesuaian agroklimat. Di kabupaten dan kecamatan data sekunder diperoleh pada Biro Pusat Statistik dan Bappeda. Data Program pembangunan pertanian diperoleh pada Dinas Pertanian kabupaten, untuk mengetahui kebijakan pembangunan pertanian. (b) Potensi sumberdaya lahan, air, manusia, dan infrastruktur menurut blok hamparan lahan; data ini diperoleh dari Bappeda kabupaten Jeneponto. Tujuannya adalah untuk mengetahui pemanfaatan lahan, ketersediaan air, dan potensi sumber daya manusia. (c) Kinerja teknologi dan kinerja hasil kegiatan agribisnis di bidang usahatani/produksi, input usahatani, pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil. Data ini dapat diperoleh pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Dinas Pertanian. (d) Kinerja kelembagaan agribisnis dalam rangka mengkaji peluang inovasi kelembagaan. Kelembagaan agribisnis meliputi seluruh elemen lembaga agribisnis mulai dari pengadaan sarana input usahatani, hingga pemasaran hasil, dan lembaga pendukung agribisnis. POTENSI SUMBERDAYA Karakteristik Bio-Fisik Kabupaten Jeneponto memiliki potensi sumber daya lahan yang cukup luas. Berdasarkan jenis penggunaan tanah (land use), terluas adalah tegalan/kebun tercatat 34.154,14 ha atau 45,56 %, kemudian persawahan 20.014,08 ha atau 26,69 %, hutan negara 9.842,65 ha atau 13,12 %, pemukiman 4.892,27 ha atau 6,52 %, tambak 1.624,95 atau 2,16 %, kolam/empang 748 ha atau 0,99 %, perkebunan 534,42 ha atau 0,71 %, ladang/huma 313,63 ha atau 0,42 %, dan penggunaan lainnya tercatat 2,854,85 ha atau 3,81 % (BPS, 2010). Luas wilayah kelurahan Tolo Utara mencapai 759,65ha, atau 7,59 km2 merupakan kelurahan terluas ketiga setelah kelurahan Tolo Timur, dan desa Samataring atau 13 % dari luas wilayah kecamatan Kelara 43,95 km2. Terletak 3 km dari ibukota kecamatan Kelara dan 17 km dari ibukota kabupaten Jeneponto, sedangkan jarak dari ibukota Propinsi Sulawesi Selatan kurang lebih 110 km. Waktu tempuh ke ibukota kabupaten kurang lebih 15 menit, dan ibukota Propinsi 140 menit. Kelurahan ini terdiri dari 7 dusun dengan batasbatas, sebagai berikut : sebelah Utara desa Rumbia kecamatan Rumbia, sebelah Selatan kelurahan Tolo kecamatan Kelara, sebelah Barat desa Garing, kabupaten Gowa dan sebelah Timur kelurahan Tolo Timur kecamatan Kelara. Sumber Daya Lahan dan Air Potensi sumber daya lahan berdasarkan penggunaannya yaitu : (1) lahan sawah 57,57 ha; (2) lahan kebun/tegalan 650,61 ha; dan (3) lahan pemukiman 51,47 ha. Sumber daya air di kelurahan Tolo Utara berasal dari air permukaan dan air tanah, tetapi belum dikelola secara optimal sehingga ketersediaan air pada 1096 musim kemarau belum sesuai dengan kebutuhan. Lingkungan Bolombonga terdapat sumber air tanah sebanyak 22 buah, lingkungan Tompo Kelara terdapat 1 buah sumur dengan sistem pompanisasi, dan lingkungan Parang Labbua’ ada 1 buah sumur. Bendungan sungai Kelara yang terdapat di lingkungan Tompo Kelara tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat kelurahan. Hal ini disebabkan sungai tersebut berada pada kondisi yang sangat curam dan sulit dijangkau. Sedangkan sungai Canda hanya tersedia air pada musim hujan. Saluran air yang tersedia hanya kebutuhan untuk mengairi sawah pada musim hujan. Luas pekarangan tercatat rata-rata 10 x 25 m2 dan 15 x 30 m2, dalam pencatatan profil kelurahan luas pekarangan seluruhnya berjumlah 12,50 ha. Dalam blok pekarangan penduduk mengusahakan industri rumah tangga seperti usaha kerajinan 11 orang dan industri rumah tangga 14 orang, selain itu masyarakat memelihara ternak, juga ada beberapa komoditas yang menonjol seperti jambu air, pisang, jeruk, mangga dan pepaya. Sedangkan ternak yang dipelihara di blok pekarangan adalah kuda, kambing, itik, dan ayam buras. Blok kebun merupakan hamparan luas, batas-batas pemilikan kebun adalah batu gunung yang disusun. Status lahan pada umumnya lahan milik yang digarap sendiri dengan status pemilikan belum bersertifikat. Karakteristik Sosial Ekonomi Jumlah penduduk kelurahan Tolo Utara sebanyak 3.923 jiwa (BPS, 2010). Total rumah tangga yang ada di kelurahan Tolo Utara 891 KK, dengan jumlah rumah tangga petani 510 KK, rata-rata setiap rumah tangga berjumlah 4 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk mencapai 615 jiwa/km, merupakan kelurahan terpadat ketiga setelah kelurahan Tolo dan kelurahan Tolo Timur dari 10 desa/kelurahan yang ada di kecamatan Kelara. Sumber mata pencaharian penduduk tersebar pada sub sektor pertanian tanaman pangan 920 orang, sub sektor peternakan 988 orang, sub sektor pertambangan galian 28 orang, sub sektor industri kecil/kerajinan 55 orang dan sektor jasa perdagangan 36 orang. Penduduk dengan usia kerja berjumlah 2.324 orang, yang sudah bekerja 2.131 orang dan yang belum bekerja 302 orang. Persentase jumlah penduduk menurut mata pencaharian adalah pertanian 90 %, pegawai negeri 2 % dan lain – lain 8 %. PENGEMBANGAN KOMODITAS Beberapa komoditas yang dominan dan mempunyai peluang untuk dikembangkan melalui inovasi teknologi antara lain : padi, jagung, ubi kayu, kedelai, kelapa dalam, jambu mete, tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan, serta pada sub sektor peternakan, yaitu kuda, kambing, ayam ras, ayam kampung dan itik. Hasil penelitian Unhas, (2006) menunjukkan bahwa dari 16 komoditas yang dikembangkan petani, ada lima komoditas yang memiliki areal pengembangan di atas 2000 ha, yaitu padi, jagung, ubi kayu, kedelai, dan mangga. Dari lima komoditas jagung memiliki areal terluas (27.342 ha), kemudian padi (14.232 ha), mangga (12.148 ha), dan ubi kayu (5.508 ha). Uraian masing – masing komoditas, sebagai berikut: 1097 1. Jagung termasuk komoditas andalan tanaman pangan kabupaten Jeneponto. Areal pengembangannya tersebar pada 11 kecamatan. Luas areal pengembangan jagung termasuk varietas Srikandi Kuning mencapai di atas 3000 ha berada pada lima kecamatan, yaitu kecamatan Bonto Ramba (3.910 ha), Bangkala (3.654 ha), Batang (3.339 ha), Bangkala Barat (3.306 ha), dan Kelara (3.115 ha). Sedangkan di bawah 3000 ha terletak di kecamatan Tamalatea (2.299 ha), Rumbia (2.689 ha), Arungkeke (1.084 ha), Turatea (1.995 ha), dan kecamatan Binamu (1.951 ha). Dari 10 kecamatan terdapat 113 desa/kelurahan yang mengembangkan jagung berkisar 23 – 1.434 ha atau rata-rata 242 ha per desa/kelurahan. Dari total luas pertanaman jagung tersebut, produksi yang dicapai 93.372.538 kg. Produksi tertinggi kecamatan adalah Turatea (16.567.684 kg), Bangkala Barat (15.976.000 kg), dan Kelara (15.569.072 kg). Rata-rata produksi yang dicapai per kecamatan 826.306 kg, dengan produktivitas rata-rata 3,4 t/ha (Kanro, Taufik dan Rajab, 2006). 2. Padi merupakan komoditas kedua setelah jagung yang banyak diusahakan petani. Kecamatan Turatea paling luas mengusahakan padi yaitu 3.213 ha, sementara kecamatan lainnya hanya berkisar 513 – 1.848 ha atau rata-rata 125 ha per desa/kelurahan. Total produksi padi yang dicapai 60.812.244 kg, dengan produksi tertinggi kecamatan Turatea 15.673.755 kg dan produktivitas rata-rata 3,5 t/ha. 3. Ubi kayu termasuk jenis komoditas potensial dan andalan kabupaten Jeneponto. Tiap kecamatan terdapat areal pengembangan ubi kayu, dengan luas rata-rata 48,7 ha/desa/kelurahan. Tanaman ini banyak diusahakan di kecamatan Bangkala dan Binamu yakni di atas 1000 ha, kecamatan lainnya hanya berkisar 100 – 900 ha. Produksi ubi kayu yang dicapai 51.266.622 kg, tersebar pada 10 kecamatan. Produksi tertinggi di kecamatan Bangkala Barat (11.935.000 kg) dan terendah di kecamatan Arungkeke (317.103 kg) dengan produktivitas rata-rata 5,6 t/ha. 4. Populasi ternak di kabupaten Jeneponto selama 5 tahun terakhir (20052010) mengalami peningkatan, masing-masing sapi 1,17 %, kuda 2,749 %, dan kambing 1,17 %. Di kelurahan Tolo Utara, sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian diklasifikasikan menurut sub-sektor, antara lain : (1) tanaman pangan/palawija, padi, jagung, ubikayu dan kacang hijau. Luas tanam padi 10 ha dengan produksi 39,20 t (produktivitas pada tingkat kecamatan Kelara 3,9 t/ha). Luas tanam jagung 502 ha, dengan total produksi 1.623 t (produktivitas 3,5 t/ha); ubi kayu 175 ha dengan produksi 1.211 t (produktivitas rata-rata 6,9 t/ha); kacang hijau 75 ha dengan produksi 54 t (produktivitas 0,7 t/ha). Tanaman hortikultura yang ada di kelurahan Tolo Utara, antara lain cabe, sawi dan bawang merah. Luas tanam cabe 16 ha dengan produksi 9,6 t (produktivitas 0,6 t/ha);sawi 3 ha dengan produksi 1,35 t (produktivitas 0,45 t/ha); bawang merah 8 ha dengan produksi 5,60 t (produktivitas 0,70 t/ha). Sedangkan, tanaman buah-buahan yakni mangga dan sirsak, tanaman ini tersebar di kebun-kebun petani tetapi pada umumnya belum produktif. Data statistik pada tingkat kecamatan menunjukkan bahwa jumlah tanaman mangga mencapai 120.736 pohon, yang berproduksi baru 63.211 pohon dengan produksi 1098 sekitar 650 t. Selanjutnya, tanaman sirsak tercatat 13.468 pohon, namun data produksinya belum tercatat. Komoditas sub sektor peternakan yang ada, yakni ayam buras 6.586 ekor, itik 424 ekor, kambing 461 ekor, kuda 399 ekor, sapi 436 ekor. Komoditas peternakan tersebut tersebar di rumah tangga petani, bukan dalam bentuk skala usaha. Pemilikan ternak kuda dan sapi dimanfaatkan sebagai ternak kerja. Ratarata pemilikan ternak kuda dan sapi per rumah tangga masing -masing 0,76 ekor dan 0,85 ekor. Jumlah pemilik ternak : ayam buras 426 orang, itik 19 orang, kambing, 189 orang, kuda 212 orang, dan sapi 123 orang. Pada musim hujan daya dukung pakan ternak kambing, sapi dan kuda masih tersedia dan mencukupi kebutuhan ternak. Memasuki musim kemarau pakan ternak sangat terbatas, dan tidak tersedia pakan hijaun. Kebutuhan pakan untuk ternak tersebut diperoleh dari kabupaten terdekat (kabupaten Bantaeng dan Takalar). Ketersediaan pakan dari limbah tanaman pertanian di kelurahan Tolo Utara sebenarnya bisa mencukupi pada saat musim kemarau jika dilakukan pengolahan limbah tanaman, seperti pembuatan pakan dari jerami padi, jagung, dan kacang-kacangan lainnya. POLA PEMANFAATAN LAHAN Penggunaan lahan sebagian besar untuk kegiatan pertanian yaitu tegalan/kebun, persawahan, dan lahan pekarangan. Usahatani tanaman pangan/palawija merupakan andalan sumber pendapatan keluarga. Sistem pertanaman monokultur jagung dengan tanaman sisipan ubi kayu dan kacangkacangan. Pola tanam yang berlaku yaitu jagung1-ubikayu, dan jagung jagung/kapas. Jagung1-ubikayu ditanam bulan Desember dan jagung2 atau kapas ditanam pada akhir bulan April. Petani mempunyai alternatif memilih komoditas yang akan ditanam pada bulan April yaitu jagung2 atau kapas. Pada lahan yang miring ditanam jambu mente atau kemiri. Kalender musim yang dilakukan petani biasanya sangat terkait dengan pola curah hujan (Sub Dinas Pengairan Kab. Jeneponto, 2006). Pola curah hujan dan kelender musim dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Pola curah hujan, kalender musim, dan kegiatan usahatani Variabel Bulan 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 Pola Curah Hujan Kalender Musim Musim hujan Musim kemarau 1099 08 Lanjutan... Bulan Variabel 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 08 07 Pola Tanam Jagung Jagung/Ubikayu Jagung/Kapas, Kc. Hijau Kegiatan pada Lahan Usahatani : Suami x x Istri Anak x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x Kegiatan Lain: x x x Produktif Suami x x x x x x Istri x x x Anak Keterangan : xx menunjukkan tingkat kesibukan pada bulan tertentu ANALISIS USAHATANI Petani umumnya menjual hasil di desa kepada pedagang pengumpul yang ada di desa tersebut. Sebagian besar petani menjual dengan cara tunai, walaupun ada sebagian kecil yang dibayar kemudian. Ada sebagian petani yang mendapat pinjaman modal kepada pedagang desa dan membayarnya dengan hasil panen (yarnen) pada tingkat harga yang berlaku saat itu dengan tingkat keuntungan 10-15 % (Taufik, 2003). Jagung sebagai komoditas utama di kelurahan Tolo Utara, ditanam pada bulan Desember dan panen pada awal bulan April. Komponen biaya usahatani jagung yang dikeluarkan petani yaknibiaya tenaga kerja Rp 1.150.000, dan biaya sarana produksi Rp 2.340.000,- sehingga total biaya yang dikeluarkan Rp 3.490.000,-. Penerimaan usahatani mencapai Rp 18.200.000,- dengan perhitungan produktivitas 7 t/ha dan harga yang berlaku pada saat panen Rp 2.600,-/kg. Dengan demikian petani hanya memperoleh keuntungan Rp 14.710.000,- (sebelum Prima Tani, tingkat keuntungan yang diperoleh petani hanya Rp 500.000,-. 1100 x x x Ubi kayu ditanam pada saat tanaman jagung berumur 20 hari atau awal bulan Nopember, sehingga pertanaman ubikayu tersebut kelihatan saat jagung telah dipanen. Panen ubikayu dilakukan pada bulan Juli. Setelah dipanen, ubikayu diolah menjadi gaplek. Biaya usahatani yang dikeluarkan adalah biaya cabut, kupas dan biaya angkut, sehingga total biaya yang dikeluarkan oleh petani Rp 1.625.000,- Produktivitas ubikayu mencapai 10 t/ha. Harga gaplek yang berlaku ditingkat petani Rp 1.000/kg. Total penerimaan petani dari hasil ubi kayu mencapai Rp 10.000.000, sehingga keuntungan yang diperoleh Rp 8.375.000,-. Komoditas cabai merupakan tanaman alternatif, jika petani tidak menanam jagung maka pilihannya adalah menanam cabai besar atu cabai kecil (rawit). Komponen biaya usahatani cabai terdiri atas biaya sarana produksi Rp 1.183.000,- dan biaya tenaga kerja Rp 1.680.000,-, sehingga total biaya pengeluaran petani sebanayak Rp 2.863.000,-. Tingkat produktitas rata- rata yang dicapai petani cabai adalah sekitar 700 – 1.000 kg/ha. Pada analisis ini kalkulasi produktivitas 700 kg, dengan harga yang berlaku pada saat panen adalah Rp 20.000,- berarti dalam 1 hektar diperoleh penerimaan sebanyak Rp 14.000.000,- sehingga tingkat keuntungan petani adalah Rp 11.137.000,-. Usaha penggemukan ternak kambing, termasuk salah satu aktivitas yang umum dilakukan masyarakat di keluarahan Tolo Utara. Usaha ini berlangsung secara turun- temurun oleh keluarga tani. Dalam satu keluarga rata-rata memiliki 3-5 ekor. Kegiatan usaha penggemukan ternak kambing sebanyak 5 ekor bibit betina dengan harga Rp 500.000,-/ekor, pejantan Rp 700.000,-/ekor ditambah biaya-biaya lainnya (pakan, obat-obatan, dan kandang) sehingga total pengeluaran kurang lebih Rp 4.015.000,-. Melalui pemeliharaan selama sembilan bulan mampu menghasilkan 10 ekor anak, masing-masing 2 ekor jantan dan 8 ekor betina, dan dalam jangka tiga bulan anaknya sudah bisa dijual sesuai harga di atas dengan total penerimaan Rp 5.400.000,-. Dengan demikian keuntungan yang dapat diperoleh petani selama tiga bulan sebanyak Rp 1.385.000,-. PILIHAN KOMODITAS DAN ANALISIS MASALAH Ada dua komoditas utama yang berkembang di kelurahan Tolo Utara, yaitu jagung dan ubi kayu. Pendapatan yang diterima petani dari hasil usahatani kedua komoditas tersebut masih rendah, hal ini disebabkan rendahnya produktivitas, ternak kerja kurang, banyak lahan bero, dan tanaman sela belum produktif. Produktivitas jagung baru sekitar 3,5-3,8 t/ha, sedangkan ubi kayu hanya 16,2 t/ha. Masalah ini secara teknis erat kaitannya dengan penerapan teknik budidaya yang belum memadai, antara lain belum berkembangnya penggunaan varietas unggul baik yang bersari bebas maupun hibrida, petani belum melakukan pemupukan sesuai rekomendasi dan teknologi pemupukan anjuran. Ubi kayu dibudidayakan hanya sebagai tanaman sampingan, pertanaman yang dilakukan petani hanya untuk konsumsi sendiri, pengolahan hasil belum dilakukan, serta masalah harga yang berlaku di tingkat petani sangat rendah. Akar permasalahannya adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap petani yang masih kurang. Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi teknologi yang dapat menambah pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani terkait dengan 1101 pengembangan komoditas jagung dan ubi kayu serta komoditas penunjang lainnya. Kebutuhan inovasi teknologi pengembangan komoditas jagung dan ubi kayu serta komoditas penunjang lainnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan inovasi teknologi komoditas utama dan penunjang di Kelurahan ToloUtara, Kec. Kelara, Kab. Jeneponto, 2006. Komoditas Jagung Paket Teknologi yang Ditawarkan 1. Varietas Unggul 2. Pengolahan tanah 3. Penanaman 4. Pemupukan: Pemupukan I Pemupukan II 5. Penyiangan : Penyiangan I Penyiangan II Alat penyiangan 6. Panen Mangga dan Sirsak Ternak 1102 Sumber Teknologi Hibrida /komposit atau jagung bersari bebas Ternak kerja (kuda) Jarak tanam : 75 x 20 cm, 1 tanaman/lubang BPTP SulSel, Balitserial Maros 75 Urea + 100 SP36+ 50 KCl + 50 ZA kg/ha diberikan pada saat tanaman berumur 0-14 HST. 175 Urea kg/ha 30 HST umur 14 HST umur 45 HST Bajak oleh ternak kerja 8. Pemasaran Dilakukan secara serentak setelah klobot berwarna coklat Pengupasan,pemipilan, Pengeringan, dan Pengolahan hasil Kelembagaan 1.Pola tanam 2.Pengolahan hasil 4 baris jagung 1 ubikayu Gaplek BPTP Sul-Sel Juice/pure BPTP Sul-Sel, Balit Pasca Panen Bgr BPTP Sul-Sel, Balitnak Ciawi, Bogor 7. Pasca panen Ubi kayu Implementasi Teknologi/Kelembagaan Pengolahan buah 1. Introduksi ternak 2. Budidaya pakan 3. Pengolahan pakan 4. Pengolahan pupuk organic Kuda Gamal dan rumput gajah Pengeringan limbah tanaman Limbah ternak KESIMPULAN 1. Luas wilayah kelurahan Tolo Utara 7,59 km2 yang dimanfaatkan untuk lahan sawah 57,57 ha, tegalan/kebun 650,0 ha, dan pemukiman51,47 ha. Potensi sumber daya air yang dimiliki yaitu air permukaan dan air tanah. 2. Komoditas utama yang diusahakan petani adalah jagung, komoditas pendukung ubi kayu, cabai dan ternak. Pendapatan yang diperoleh dari usahatani jagung sebanyak Rp. 14.710.000,- per musim tanam dan pendapatan dari ubi kayu Rp. 8.375.000,-. Ternak kuda yang dipelihara hanya untuk ternak kerja dan transportasi. 3. Inovasi yang akan dilakukan adalah teknologi budaya jagung dan ubi kayu, pengolahan hasil jagung dan ubi kayu, teknologi budi daya pakan, pengolahan pakan, dan pengolahan pupuk organik. 4. Dampak dari inovasi yang dilakukan adalah peningkatan produktivitas jagung dan ubikayu, peningkatan aktivitas kelembagaan, kegiatan agribisnis meningkat, dan pendapatan rumah tangga petani meningkat dari 100 % menjadi 175 %. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Petunjuk Teknis Participatory Rural Appraisal (PRA). Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PrimaTani). Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Anonim. 2006a. Pedoman Umum Primatani. Depatemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta, September 2006. BPS. 2010. Jeneponto dalam Angka. Kerjasama BAPPEDA-BPS. Kanro, MZ., M. Taufik, A. Rajab. 2006. Srikandi Kuning Varietas Jagung Bersari Bebas Berpotensi Unggul di Kabupaten Jeneponto.Laporan Hasil Pengkajian BPTP Sulawesi Selatan. Ruslan HS. 2006. Dukungan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Revitalisasi Pertanian.Makalah Seminar Nasional. Bappeda Prop. Sul-Sel. Syam, A. 2006. Sambutan Gubernur pada Acara Pembukaan Seminar Nasional di Singgasana Hotel, Makassar. Sub Dinas Pengairan Kabupaten Jeneponto,2006. Stasion E & P Curah Hujan di Kelurahan Tolo dan Sekitarnya. Taufik, M. 2003. Kinerja Pembiayaan Agribisnis di Indonesia. Prosiding Penerapan Teknologi Spesifik Lokasi dalam Mendukung Pengembangan Sumber daya Pertanian, BPTP Kalimantan Timur. Unhas. 2006. Laporan Analisis Komoditas Unggulan Berbagai Sektor Ekonomi di Kabupaten Jeneponto. Kerjasama Bappeda Kabupaten Jeneponto dengan Lembaga Penelitian UNHAS. 1103 PREFERENSI PETANI TERHADAP BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI RAWA DI KECAMATAN MENGGALA TIMUR KABUPATEN TULANG BAWANG PROVINSI LAMPUNG Kiswanto dan Fauziah Yulia Adriyani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung Jl. ZA Pagar Alam No. 1A Rajabasa Bandar Lampung ABSTRAK Penggunaan varietas unggul baru (VUB) padi spesifik lokasi lahan rawa sebagai salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas tanaman terkendala karena tidak semua VUB dapat diterima oleh masyarakat setempat. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui VUB yang sesuai dengan pilihan petani untuk dikembangkan di lahan rawa lebak di Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung. Penelitian menggunakan metode wawancara terstruktur dan survei.Data primer yang diperoleh dari pengamatan lapangan serta wawancara terstruktur dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan, data ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Responden berjumlah30 orang yaitu petani kooperator dan non kooperator disekitar lokasi pengkajian introduksi VUB di Desa Cempaka Dalam, Kecamatan Manggala Timur, Kabupaten Tulang Bawang. Wawancara dilakukan setelah selesai pengkajian yaitu bulan November 2012, untuk mendukung hasil wawancara dilakukan pengamatan/survei pertumbuhan VUB oleh responden.Data yang diamati meliputi preferensi petani terhadap 17 atribut dari penampilan pertumbuhan, hasil, rasa, tekstur, warna dan aroma nasi VUB yang diuji (Banyuasin, Inpara 2 dan Inpara 5).Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani memilki preferensi sangat suka terhadap varietas Inpara 2 dan Banyuasin mencapai 42,75 %, suka 55,69 % dan kurang suka 1,57 %. Atribut yang berpengaruh cukup besar terhadap preferensi petani adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, produktivitas, rasa nasi, tekstur nasi, dan ketahanan hama penyakit. Kata kunci : Preferensi, padi rawa, VUB PENDAHULUAN Sektor pertanian di Indonesia mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Kebutuhan rakyat Indonesia akan beras sangat besar karena beras merupakan bahan pangan pokok rakyat Indonesia. Meningkatnya kebutuhan beras tersebut membuat pemerintah berupaya untuk meningkatkan produktivitas melalui ekstensifikasi dan intensifikasi tanaman. Usaha ekstensifikasi dan intensifikasi tidak terlepas dari penggunaan teknologi unggulan. Diantara teknologi yang dihasilkan melalui penelitian, varietas unggul sangat menonjol peranannya baik dalam usaha ekstensifikasi maupun intensifikasi. Pada usaha ekstensifikasi yaitu dengan perluasan areal pertanaman, varietas unggul diutamakan pada varietas yang sudah beradaptasi dengan baik. Sedangkan pada usaha intensifikasi penggunaan varietas unggul diutamakan pada varietas yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit. Beberapa varietas unggul baru (VUB) dengan potensi hasil tinggi dan memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit utama yang dihasilkan oleh 1104 Badan Litbang Pertanian adalah Inpara 2, Inpara 5, Banyuasin. Penggunaan kultivar padi unggul merupakan teknologi yang handal dalam meningkatkan produksi pangan, karena teknologi tersebut lebih aman dan lebih ramah terhadap lingkungan serta murah harganya bagi petani. Permasalahan dalam pengembangan varietas unggul baru adalah tidak semua varietas unggul baru tersebut disukai oleh petani. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan pengkajian terhadap beberapa hal dari VUB baru yang disukai petani terutama di daerah pengembangan atau sentra produksi. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui varietas unggul baru yang dapat diterima oleh petani dan dapat dikembangkan di lahan rawa lebak di Tulang Bawang Provinsi Lampung serta mengetahui tingkat kesukaan petani terhadap varietas unggul yang diintroduksikan dan sejauh mana tingkat kinerja atribut dapat memenuhi kebutuhan dari responden. METODOLOGI Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei. Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli s/d November 2012 di Desa Cempaka Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung yang merupakan lokasi pengkajian optimalisasi lahan rawa dan adaptasi beberapa VUB Padi. Data primer yang diperoleh dari pengamatan lapangan serta wawancara terstruktur dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan. Data yang diamati meliputi karakteristik responden dan tingkat kesukaan petani terhadap VUB yang diuji (Inpara2, Inpari 5 dan Banyuasin).Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Untuk mengetahui preferensi petani terhadap beberapa VUB padi rawa yang diadaptasikan telah dilakukan survey kepada 30 responden yaitu petani kooperator pengkajian optimalisasi lahan rawa yang menanam beberapa VUB dan petani non kooperator disekitar lokasi pengkajian. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Rogers (2003), mendefinisikan difusi sebagai proses yang melibatkan (1) inovasi, (2) komunikasi, (3) waktu, (4) anggota sistem sosial. Keberhasilan difusi suatu inovasi tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik inovasi itu sendiri yaitu (keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat dicoba/diterapkan dan dapat diamati) tetapi juga oleh anggota sistem sosial yang dalam pembangunan pertanian adalah petani. Karakteristik petani pelaksana demfarm memiliki pengaruh yang penting dalam penerapan suatu inovasi teknologi. Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan dan penguasaan lahan. 1105 Tabel 1. Karakteristik responden No 1 2 3 4 Uraian Umur Petani (th) Jumlah Anggota Keluarga (org) Pendidikan Penguasaan Lahan (ha) Analisis deskriptif Rata-rata 45,1 2,7 Nilai max 70 4 Nilai min 28 1 variance 151,679 1,113 sd 12,3 1,1 6,7 0,475 9 1 4 0,25 2,148 0,023 1,5 0,152 Sumber: Data primer, 2012 Umur Pengukuran umur dengan menghitung usia petani sejak lahir hingga saat pengumpulan data. Kematangan seseorang (fisik, biologis, dan psikologis) dapat dilihat dari beberapa kriteria Salah satunya adalah dengan melihat umur.Umur sangat mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk mencoba, menilai dan menerapkan suatu inovasi teknologi. Umur petani selain dapat mempengaruhi kemampuan fisik dalam melaksanakan usahataninya, juga dapat berpengaruh terhadap penerapan teknologi yang dianjurkan. Semakin tinggi umur petani sampai batas tertentu, maka kemampuan untuk bekerja akan meningkat sehinggga produktivitasnya meningkat, dan selanjutnya semakin tua umur maka kekuatan fisik menurun dan produktivitasnya juga menurun. Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa umur petani rata-rata 45,1 tahun dan sebagian besar berada pada kisaran 32,8-57,4 tahun (45,1±12,3). Pada umur tersebut dapat dikatakan bahwa petani kooperator masih dalam kisaran usiamuda dan produktif, sehingga memiliki kemampuan fisik yang cukup baik untuk melaksanakan kegiatan usahatani. Jumlah Anggota Keluarga Jumlah tanggungan keluarga dalam suatu keluarga merupakan beban keluarga untuk penyediaan segala kebutuhan hidup, tetapi di sisi lain merupakan sumber tenaga kerja untuk melaksanakan kegiatan usahatani. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata tanggungan keluarga petani kooperator adalah 2,7 jiwadengan kisaran 1,6-3,8 jiwa (2,7±1,1). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga relative sedang dan berpotensi dalam penyediaan tenaga kerja untuk mengelola usahataninya dengan baik sesuai dengan luasan lahan yang dikuasainya. Dari sisi lain dengan jumlah tanggungan keluarga yang relative sedang tersebut erat kaitannya dengan faktor umur, dimana umur petani sebagian besar relatif muda. Pendidikan Formal Pendidikan formal merupakan usaha dalam mengembangkan potensi diri menuju sumberdaya manusia yang lebih baik dari segi ilmu pengetahuan, penguasaan teknologi serta pembentukan karakter yang baik.Tingkat pendidikan formal merupakan faktor penting untuk mengetahui tingkat sumber daya manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional 1106 pola berfikir dan daya nalarnya.Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden petani memiliki pendidikan selama 5,2-8,1 tahun (6,7±1,5) atau Sekolah Dasar (SD)-Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pendidikan responden terendah adalah 4 SD dan tertinggi adalah tamat SMP.Berdasarkan kondisi tersebut maka peningkatan kapasitas petani dalam menerima inovasi baru melalui pendidikan non formal seperti pelatihan perlu mendapat prioritas agar menunjang dalam meningkatkan pengelolaan usahatani padi. Menurut Slamet (2003), pemberdayaan anggota kelompoktani dan keluarganya haruslah menggunakan landasan falsafah kerja meningkatkan potensi dan kemampuan sehingga mampu mandiri dalam mengelola usahataninya. Penguasaan Lahan Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting bagi petani. Pada umunya petani memiliki lahan usahatani baik untuk tanaman pokok maupun tanaman lainnya, selain mengelola tanaman pokok mereka juga mengusahakan tanaman lain seperti tanaman sayuran. Berdasarkan tabel 1, menunjukkan bahwa luas rata-rata pemilikan lahan usahatani 0,475 ha/kk, dengan kisaran 0,323-0,627 ha/kk (0,475±0,152). Hal ini berkaitan dengan ratarata jumlah anggota keluarga yang relatif kecil sehingga ketersediaan tenaga untuk mengelola lahan cukup tersedia. Penampilan Fisik VUB Padi Rawa dan Preferensi Petani Penampilan luar (fenotipe) suatu varietas pada kenyataannya tidak semua menunjukkan kesamaan saat ditanam di wilayah yang berbeda, beberapa fenotipe memiliki keragaan.Menurut Ghafoor dan Siddiqui (1977), interaksi antara genotip dan lingkungan merupakan masalah utama bagi pemulia tanaman dalam usaha mengembangkan kultivar hasil seleksinya, karena ada beberapa genotip yang menunjukkan reaksi spesifik terhadap lingkungan tertentu.Beberapa kultivar atau galur yang diuji di berbagai lokasi ternyata kemampuan daya produksinya berbeda pada setiap lokasi pengujian. 1107 Tabel 2. Penampilan fisik beberapa VUB padi rawa di lokasi pengkajian. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Penampilan fisik Persentase pertumbuhan bibit dipersemaian (%) Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan (anakan/rumpun) Ketahanan terhadap hama dan penyakit Toleransi terhadap cekaman banjir dan kekeringan Bentuk tanaman Tingkat kerontokan Bentuk gabah Panjang malai (cm) Jumlah gabah per malai Jumlah gabah hampa Produktivitas (t/ha) Tekstur nasi Warna nasi Aroma nasi Sumber: Data primer, 2012 Inpara 2 95 Varietas Unggul Baru Inpara 5 Banyuasin 95 95 90-100 16-17 55-70 15 90-100 17-18 Tahan terhadap HDB Toleran Tidak tahan terhadap HDB Tidak toleran Tahan terhadap HDB Toleran tegak Sedang lonjong 24,82 167,10 tegak Sedang lonjong - Tegak Sedang Lonjong 17,33 138,67 5,82 pulen putih wangi 5,74 Pulen Putih Wangi Pertumbuhan bibit di persemaian untuk semua VUB termasuk baik karena 95% benih mampu tumbuh dengan baik di persemaian.Hal ini disukai oleh petani karena dengan tingginya daya tumbuh benih menyebabkan jumlah benih dapat ditekan.Selain faktor genetik, pertumbuhan benih juga dipengaruhi oleh lingkungan. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa VUB Inpara 2 memiliki tinggi tanaman dengan kisaran 90-100 cm dengan 15-17 anakan per rumpun; Inpara 5 memiliki tinggi tanaman dengan kisaran 55-70 cm dengan 15 anakan per rumpun; Banyuasin memiliki tinggi tanaman dengan kisaran 90-100 cm dengan 17-18 anakan per rumpun. Tingginya keragaman jumlah anakan per rumpun antar menunjukkan adanya pengaruh lingkungan yang cukup besar.Berdasarkan kisaran tinggi tanaman masing-masing VUB, responden lebih banyak yang menyukai VUB Inpara 2 dan Banyuasin yang terlihat lebih seragam dibandingkan dengan Inpara 5. Berdasarkan kisaran jumlah anakan yang dimiliki masing-masing VUB, responden lebih menyukai VUB Banyuasin dan Inpara 2yang memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan Inpara 5. Serangan patogen yang menyebabkan hawar daun bakteridi lokasi pengkajian menyebabkan VUB Inpara 5 paling terkena dampak serangan bahkan gagal panen sedangkan VUB Inpara 2 dan Banyuasin lebih tahan. Tingginya tingkat serangan HDB pada VUB Inpara 5 menyebabkan petani kurang menyukai varietas ini dibandingkan dengan VUB Inpara 2 dan banyuasin. Oleh karena itu, preferensi hanya dilakukan untuk VUB Inpara 2 dan Banyuasin. 1108 Gambar 1. Kondisi serangan HDB pada VUB Inpara 5 Kerontokan gabah merupakan salah satu pertimbangan petani dalam memilih suatu varietas padi. Gabah yang sulit dirontok kurang disukai oleh petani karena akan menimbulkan masalah dalam merontokkan baik dengan threser maupun secara manual (gebod). Sedangkan gabah yang mudah rontok juga kurang disukai oleh petani karena akan menimbulkan masalah apabila tanaman telat dipanen yaitu banyaknya gabah yang rontok sebelum dipanen atau dengan kata lain meningkatkan potensi kehilangan hasil. Bentuk gabah semua VUB relatif seragam yaitu berbentuk lonjong.Bentuk gabah lonjong disukai oleh petani karena bentuk ini menunjukkan rasa nasi yang pulen (tidak pera).Berdasarkan deskripsi beberapa varietas dalam Deskripsi Varietas Padi (2010), diketahui bahwa sebagian besar VUB yang dihasilkan memiliki tekstur nasi yang pulen.Hal ini menunjukkan bahwa pemuliaan padi diarahkan pada pembentukan varietas yang memiliki rasa nasi yang pulen sehingga lebih mudah diterima oleh petani sebagai salah satu keuntungan relatif dari varietas tersebut. Untuk mengetahui preferensi petani terhadap varietas unggul Inpara 2 dan Banyuasin telah dilakukan survey kepada responden 30 orang yaitu petani kooperator dan non kooperator (petani) disekitar lokasi pengkajian. Jumlah atribut yang akan dibahas ada tujuhbelas atribut yang dijadikan pertimbangan para petani, sebagaimana disajikan pada Tabel 3. 1109 Tabel 3. Preferensi petani terhadap varietas Inpara 2 dan Banyuasin di lahan rawa Kabupaten Tulang Bawang, Tahun 2012 . Preferensi Petani (%) No Uraian 1. 6. Pertumbuhan bibit di persemaian Tinggi tanaman Jumlah anakan produktif Ketahanan terhadap hama penyakit Ketahanan thd cekaman banjir atau kekeringan Bentuk tanaman 7. 8. Umur tanaman Tingkat kerontokan 9. 10 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Bentuk gabah Panjang malai Jumlah gabah per malai Jumlah gabah hampa Produktivitas Rasa nasi Tekstur nasi Warna nasi Aroma nasi 2. 3. 4. 5. Rat-rata Sangat suka Suka Kurang suka Tidak suka Sangat tidak suka 53,33 100,00 100,00 60,00 46,67 0,00 0,00 40,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 100,00 0,00 0,00 0,00 66,67 33,33 0,00 0,00 0,00 26,67 0,00 73,33 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 46,67 20,00 66,67 40,00 100,00 0,00 0,00 46,67 0,00 53,33 80,00 33,33 46,67 0,00 93,33 93,33 53,33 100,00 0,00 0,00 0,00 13,33 0,00 6,67 6,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 42,75 55,69 1,57 0,00 0,00 Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa petani memilki preferensi sangat suka terhadap varietas Inpara 2 dan Banyuasin mencapai 42,75 %, suka 55,69 % dan kurang suka 1,57 %. Sedangkan petani yang berpreferensi tidak suka dan sangat tidak suka terhadap varietas Inpara 2 dan Banyuasin tidak ada (0 %). Atribut yang berpengaruh cukup besar terhadap preferensi petani adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, produktivitas, rasa nasi, tekstur nasi, dan ketahanan hama penyakit. Akan tetapi atribut yang sangat disukai dan dianggap sangat penting oleh petani adalah tinggi tanaman cukup dan berpotensi tidak roboh jika ditanam pada musim rendeng, jumlah anakan produktif cukup banyak dan produktivitasnya tinggi. 1110 KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis preferensi petani terhadap VUB padi rawa, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Petani memilki preferensi sangat suka terhadap varietas Inpara 2 dan Banyuasin mencapai 42,75 %, suka 55,69 % dan kurang suka 1,57 %. Atribut yang berpengaruh cukup besar terhadap preferensi petani adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, produktivitas, rasa nasi, tekstur nasi, dan ketahanan hama penyakit. 2. VUB padi rawa Inpara 5 memiliki tingkat ketahanan HPT yang rendah serta tidak toleran terhadap kondisi kekeringan pada lahan rawa sehingga tidak sesuai untuk dikembangkan di lahan rawa lebak yang memiliki kondisi lingkungan yang sama dengan di kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung. 3. VUB padi rawa yang diterima oleh petani berdasarkan atribut yang berpengaruh cukup besar adalah Inpara 2 dan Banyuasin. DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Ghafoor, A.A., and K.A. Siddiqui. 1977. Stability parameters of wheat mutants. Envi.and Exp. Botany 17: 13–18. Puslitbangtan. 2009. Masalah Lapang Hama Penyakit Hara pada Padi. Slamet M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. 1111 RESPON TIGA VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH TERHADAP SERANGAN TIKUS Rattus argentiventer PADA DISPLEY SLPTT DI SULAWESI TENGAH Abdi Negara, Asni Ardjanhar dan Saidah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah Jalan Lasoso. 62 Biromaru Palu email: [email protected] ABSTRAK Tikus (Rattus argentiventer Rob) merupakan hama utama penyebab kerusakan padi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon tiga varietas padi Unggul baru yang disenangi tikus agar ke depan bisa digunakan tanaman sebagai tanaman perangkap. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2012 di sentra produksi padi lahan sawah sering terserang hama tikus di Desa Dolago, Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong. Di lahan petani dengan luasan 1 ha, dengan menanam padi vareietas unggul baru yakni Inpari 13, inpari 15 dan Inpari 20. Pengamatan meliputi Persentase Serangan, Serta pengamatan komponen hasil yaitu, hasil panen ubinan. Hasil penelitian. Persentase serangan tikus pada tiga varietas unggul baru bervariasi. Varietas Inpari 13 Persentase serangan 30 % lebih rendah jika dibanding pada Inpari 15 yaitu 35 % dan Inpari 20 persentase serangannya 45 %. Hasil panen ubinan pada tiga varietas unggul baru bervariasi yaitu Inpari 13 menghasilkan 8,20 ton/ha GKP, varietas Inpari 15 menghasilkan 7,30 ton/ha GKP dan varietas Inpari 20 menghasilkan 6,64 ton/ha GKP Kata kunci : Respon, varietas unggul baru, hama tikus. PENDAHULUAN Tikus (Rattus argentiventer Rob) merupakan hama utama penyebab kerusakan padi di Indonesia. Pada lima tahun terakhir ini, kerusakan yang ditimbulkan selalu menempati urutan pertama dibanding hama padi lainnya (BPS, 2007). Pada usaha tani kecil, tikus sawah dilaporkan menyebabkan kehilangan hasil sekitar 5 - 10% pertahun. Khususnya Sulawesi Tengah serangan hama tikus 2 tahun terakhir menempati urutan pertama yakni luas serangan 742 ha setelah hama penggerek batang padi dan di banding hama padi lainnya, dengan intensitas serangan dalam kategori ringan, berat dan puso (Gambar 1). 1112 Gambar 1. Luas serangan OPT padi tiga bulan terakhir pada MT. 2011 (ha) Provinsi Sulawesi Tengah Sumber: Balai Proteksi Sulteng, 2012 Data yang diperoleh serangan hama tikus di Kabupaten Parigi Moutong 226 ha MT 2010 termasuk urutan keempat dibanding kabupaten lainnya di Sulawesi Tengah (Gambar 2). Pada Lokasi penelitian ini hampir dikategorikan serangan tikus termasuk endemik karena setiap musim tanam, hama ini selalu ada, disebabkan habitat yang mendukung perkembangan tikus tersebut dan waktu tanam yang tidak teratur. Gambar. 2. Luas serangan OPT tikus Kabupaten Parigi Moutong pada MT. 2010 (ha) Provinsi Sulawesi Tengah Sumber: Balai Proteksi Sulteng, 2012 Menurut Sudarmadji et al (1997), salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan biakan tikus adalah ketersediaan pakan. Tikus sawah ini memilih pakan yang berkualitas dan bernilai gizi yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang biak memenuhi kebutuhan hidupnya, dari berbagi hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus jenis Rattus argitiventer pakan utama yang paling 1113 disukai adalah padi, terutama pada saat tanaman fase bunting dibanding fase vegetativ lainnya karena fase ini pakan yang tersedia dapat memenuhi kebutuhan gizi tikus tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon tiga varietas unggul baru padi sawah yang disenangi tikus agar ke depan bisa digunakan sebagai tanaman perangkap. METODOLOGI Kegiatan dimulai dengan inventarisasi hamparan lahan sawah yang intesitas serangan hama tikus tinggi. Kegiatan dilakukan pada MT 2012 bulan Mei sampai Oktober 2012 dilahan petani dengan luasan 1 ha, dengan menanam padi varietas padi unggul baru yakni Inpari 13, Inpari 15 dan Inpari 20. Ketiga varietas tersebut ditanam bersamaan. Kegiatan dilaksanakan di sentra produksi padi lahan sawah sering terserang hama tikus di Desa Dolago, Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Pengamatan meliputi, komponen hasil yaitu; hasil panen ubinan (kg/ha/GKP) serta Pengamatan Persentase Serangan dilakukan terhadap tingkat kerusakan tanaman padi didalam plot tanaman dihitung dengan rumus. Jumlah anakan terserang tikus Persentase Serangan (%) =------------------------------------------------- X 100% Jumlah semua anakan/rumpun sampel HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini untuk tahap awal berdasarkan pertemuan dengan kelompok tani di Desa Dolago berdasarkan kesepakatan jadwal tanaman dilaksanakan pada bulan Mei 2012 . Tabel.1 Persentase serangan tikus (%) pada tanaman padi vareitas unggul baru, Desa Dolago, Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong MT. 2012 Varietas Inpara 13 Inpari 15 Inpari 20 Intensitas (%) 30 35 45 Persentase serangan tikus pada 3 varietas bervariasi. Varietas Inpari 13 Persentase serangan 30 % lebih rendah jika dibanding pada Inpari 15 yaitu 35 % dan Inpari 20 persentase searangan 45 %. Hasil tinjauan lapangan yang menyebabkan bervariasi persentase serangan pada varietas mungkin disebabkan karena lokasi penanaman vareietas-varietas ini berdekatan dengan hutan semak belukar, sehingga tikus yang bersarang disekitar semak belukar tersebut lebih dekat tikus mendapat makanan. Diduga varietas varietas-varietas ini mengeluarkan aroma sehingga tikus tertarik untuk datang cari makan karena 1114 tikus ini koperatif sesuai nalurinya mencari makan yang bergizi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dimungkinkan pula mencium aroma padi yang dikeluarkan pada tanaman padi yang mulai bunting. Menurut Brooks and Rowe (1979) melaporkan bahwa aktivitas tikus setiap hari meliputi mencari makan, minum dan kawin hunting untuk pengenalan kawasan, dia sangat mengenali lingkungannya, terutama pada habitat yang tesedia air, pakan dan sarang untuk tempat berlindung dan istirahat. Hasil penelitian Suripto et al (2002), menunjukkan bahwa habitat tikus pada spesies Rattus argentiventer sangat spesifik ditemukan pada habitat padi sawah dan padi rawa. Sejalan dengan hasil kajian Abdi Negara (2009), bahwa tikus spesies Rattus argentiventer pada habitat padi ditemukan 100 % spesies Rattus argentiventer tanpa ada spesies lainnya walaupun habitatnya perdekatan dengan perkebunan kakao. Ruang gerak atau habitat tikus menunjukkan bahwa setiap spesies mempunyai habitat yang spesifik, jika habitatnya tidak tersedia pakan yang memadai, sangat memungkinkan untuk bermigrasi ketempat lain dengan habitat yang sama untuk mencari pakan untuk kelangsungan hidupnya. Tingkat kerusakan serangan tikus pada varietas Inpari 13 adalah 30 %, Inpari 15 persentase serangan 35 % dan varietas Inpari 20 persentase serangan 45 %. Hal ini mungkin disebabkan tikus yang sudah menyerang varietas Inpari 20 tikus tersebut bermigrasi ke hamparan lainnya Semakin tinggi tingkat kepadatan populasi pada suatu hamparan, semakin tinggi pula tingkat serangannya karena terjadi kompetisi untuk memperebutkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Disamping itu rendahnya populasi berkaitan dengan rendahnya intensitas serangan, hal ini mungkin disebabkan semakin beragamnya aktifitas pengendalian tikus oleh petani dari saat sebelum pertanaman hingga panen, menyebabkan populasi tikus tertekan. Hal ini akan mengurangi tingkat populasi tikus pada masa selanjutnya, dan secara langsung dapat mengurangi tingkat serangan tikus. Tabel 2. Hasil panen (kg/ha) pada tanaman padi sawah Kabupaten Parigi Moutong MT. 2012 Varietas Inpara 13 Inpari 15 Inpari 20 Hasil Panen Ubinan (ton/ha) 8,20 7,30 6,64 Rerata Hasil (ton/ha GKG) 6,60 6,10 6,40 Potensi Hasil (ton/ha GKG) 8,00 7,50 8,80 Hasil panen ubinan pada 3 varietas bervariasi yaitu Inpari 13 menghasilkan 8,20 ton, varietas Inpari 15 menghasilkan 7,30 ton dan varietas Inpari 20 menghasilkan 6,64 ton. Hal tersebut menunjukkan bahwa varietasvarietas tersebut walaupun terserang hama tikus dengan kisaran 30-45%, namun hasil ubinannya lebih baik dan diatas hasil rerata dan potensi hasil. 1115 Tabel 3. Komponen teknologi yang diterapkan pada kegiatan display di Kabupaten Parigi Moutong, 2012. Kecamatan Desa Parigi Selatan Dolago Kelompok Tani Mega Buana Display Komoditas Padi sawah - Sumber: SK Dinas Pertanian Kab. Parigi Moutong, 2012 - Komponen Teknologi yang Diterapkan Penggunaan VUB Benih Bermutudan berlabel PembuatanPesemaian Pengolahan Tanah Tanam Umur Muda (17-21 hari) Jajar Legowo 2:1 Pemupukan Pengendalian OPT Pengendalian Gulma Panen dan Pasca Panen Melihat potensi hasil masing-masing varietas yakni Inpari 13, Inpari 15 dan Inpari 20 yakni rerata 8,00 ton/ha, 7,50 ton/ha dan 8,80 ton/ha GKP jika keadaan tanaman optimal, sehingga penerapan komponen teknologi SLPTT yang diterapkan pada lokasi tersebut tertera pada Tabel 3. Menurut Rusdi Lape (2012), masalah/kendala yang dihadapi petani untuk menerapkan (adopsi) teknologi cukup beragam pada setiap wilayah Kabupaten Parigi Moutong, berdasarkan hasil survey dilapangan dengan metode PRA telah ditemukan beberapa permasalahan/kendala sebagai berikut. Berdasarkan hasil PRA bahwa permasalahan/kendala yang ditemui di lapangan cukup variatif, antara lain: (1). Rendahnya produktivitas di tingkat petani, tingginya tingkat serangan hama, masih banyak petani menggunakan varietas lokal/tidak berlabel, petani belum menerapkan teknologi PTT secara penuh, debet air masih sangat kurang dan rusak, tenaga Penyuluh masih sangat terbatas dan peran dan fungsi kelompok tani belum maksimal. (2). Terjadi ledakan beragam hama yang menyerang tanaman padi yang ditanam pada bulan Pebruari-Maret 2012 pada kegiatan SL-PTT dan Non SL-PTT. Akibat serangan hama dapat menyebabkan beberapa lahan mengalami kegagalan panen (60-70%). Jenis varietas padi yang ditanam antara lain: varietas Ciherang, Cigeulius, Mekongga dan Shinta Nur. KESIMPULAN 1. 2. Persentase serangan tikus pada tiga varietas unggul baru bervariasi. Varietas Inpari 13 Persentase serangan 30 % lebih rendah jika dibanding pada Inpari 15 yaitu 35 % dan Inpari 20 persentase searangan 45 %. Hasil panen ubinan pada tiga varietas unggul baru bervariasi yaitu Inpari 13 menghasilkan 8,20 ton/ha GKP, varietas Inpari 15 menghasilkan 7,30 ton/ha GKP dan varietas Inpari 20 menghasilkan 6,64 ton/ha GKP 1116 DAFTAR PUSTAKA Abdi Negara. 2009. Tingkat Serangan Hama Tikus Dengan Menggunakan TBS Kabupaten Parigi Moutong. Seminar Nasional 2004. BPTP Bali. Brook, J. E; and F.P. Rowe. 1979. Commensal Rodent Control. WHO/ VBC/79:726. Rusdi Lape. 2012. Laporan SLPTT Padi Sawah Kabupten Parigi Moutong. BPTP Sulawesi Tengah. Sudarmadji dan Rochman. 1997. Populasi Tikus Sawah Rattus argentiventer di Berbagai Tipe Habitat Ekosistem Padi Sawah. Prosiding III. Seminar Nasional Biologi XV. Suripto. B.A., A. Seno, dan Sudarmaji. 2002. Jenis-Jenis Tikus (Rodentia: Muridae) dan Pakan Alaminya di Daerah Penelitian Sekitar Hutan di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Journal Perlindungan Tanaman Indonesia. 8:1. p.63-74. 1117 ANALISIS POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DAN PENGHEMATAN BELANJA PANGAN MELALUI PEMANFAATAN PEKARANGAN (Studi Kasus KWT Flamboyan Kabupaten Gowa Sulsel) Arini Putri Hanifa dan Fadjry Djufry Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan KM.17,5 Makassar ABSTRAK Berdasarkan data Susenas, masih terdapat ketimpangan pada pola konsumsi pangan penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok. Perbaikan pola konsumsi pangan dan gizi melalui peningkatan keragaman pangan salah satunya dapat diwujudkan melalui pendekatan dimensi fisik. Perwujudan dimensi fisik berupa optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara terpadu yang mengarah pada pemenuhan gizi dan penghematan belanja pangan keluarga. Pelaksanaan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari KWT Flamboyan secara umum diterima dan diakui manfaatnya oleh anggota. Tingkat keragaman konsumsi pangan berubah melalui peningkatan konsumsi buah/sayur dan pangan hewani. Skor PPH meningkat sebesar 7,5% menjadi 82,6% pasca implementasi MKRPL. Selain itu, terjadi penghematan belanja pangan dari pemanfaatan pekarangan, yang berkisar Rp.60.000-Rp.300.00 per bulan. Kata kunci : Pola pangan harapan, tingkat keragaman pangan, pemanfaatan pekarangan PENDAHULUAN Pola konsumsi pangan penduduk Indonesia menurut Susenas 2010 masih terdapat ketimpangan, karena (1) tingginya konsumsi padi-padian (2) kurangnya konsumsi pangan hewani, (3) rendahnya konsumsi umbi, sayur dan buah serat aneka kacang. Hasil Susenas 2011 menunjukkan bahwa karakteristik pola konsumsi pangan di Indonesia antara lain konsumsi kacang-kacangan 54%, umbi-umbian 35,8%,sayur/buah 63,3% dan pangan hewani 62% sementara kontribusi pangan olahan makin meningkat. Ketergantungan terhadap beras sebagai makanan pokok masih tinggi, sementara pemanfaatan pangan lokal sumber karbohidrat seperti umbi-umbian, sagu, sukun, masih rendah. Bahkan yang mengkhawatirkan adalah pergeseran pola konsumsi ke pangan olahan berbahan baku terigu, sementara gandum tidak dibudidayakan di Indonesia. Upaya perbaikan konsumsi pangan dan gizi perlu segera dilakukan melalui 3 pendekatan, yaitu (1) dimensi fiisk berupa penyediaan pangan sumber karbohidrat non beras/non terigu, protein, vitamin, mineral, lemak (2) dimensi ekonomi berupa peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengakses pangan (3) dimensi kesadaran gizi berupa aspek edukasi/promosi gizi. Perwujudan dimensi fisik dapat dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan sesuai lima fungsi pokok pekarangan yaitu sebagai (1) lumbung hidup (2) warung hidup (3) bank hidup (4) apotek hidup (5) estetika. Pengembangan pekarangan secara terpadu akan mengarah pada pemenuhan gizi dan pendapatan keluarga. Luas lahan pekarangan di Indonesia mencapai 1118 10,3 juta ha. Apabila pekarangan tersebut dimanfaatkan secara optimal, maka permasalahan pemenuhan pangan kemungkinan besar dapat dikurangi (Sastro, 2011). Optimalisasi pemanfaatan pekarangan dilakukan melalui pemberdayaan wanita. Hal ini dapat ditempuh dengan pendekatan dimensi kesadaran gizi yang berupa edukasi/promosi gizi pada kelompok PKK, wanita tani dan sebagainya. Mengingat total rumah tangga di Indonesia mencapai 40 juta, peran wanita sangat berarti dalam menyediakan makanan bergizi dan pengaturan belanja pangan. Pemanfaatan pekarangan dilakukan melalui budidaya beragam tanaman seperti umbi, sayur, buah, serta ternak untuk menyediakan pangan bergizi keluarga. Jika tiap rumah tangga memanfaatkan pekarangannya dalam suatu kawasan diharapkan akan terbentuk sebuah kawasan mandiri pangan. Pendekatan dilakukan dengan mengembangkan pertanian berkelanjutan antara lain dengan membangun kebun bibit dengan memperhatikan tanaman spesifik lokasi dan pengelolaan yang berprinsip pada kearifan lokal setempat. Model Kawasan Rumah Pangan Lestari adalah salah satu program Kementerian Pertanian untuk mendukung program diversifikasi pangan dan menyokong ketahanan pangan nasional melalui ketahanan pangan rumah tangga. Sulawesi Selatan menginisiasi MKRPL sejak 2012 di 15 kabupaten dan diperluas menjadi 24 kabupaten di tahun 2013. Satu dari 24 kabupaten tersebut adalah Kabupaten Gowa. Percontohan model optimalisasi pemanfaatan pekarangan diharapkan dapat diduplikasi dan diadopsi sehingga program ini makin meluas dan membudaya di masyarakat. METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan di Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa. Lokasi pengkajian ditentukan secara sengaja yakni di Dusun Sugitanga II yang merupakan lokasi MKRPL BPTP Sulawesi Selatan. Waktu pengkajian adalah bulan Maret-Desember 2013. Percontohan terfokus pada satu kelompok wanita tani yang terdiri dari 30 KK. Tahapan kegiatan mengikuti petunjuk pelaksanaan MKRPL (Mardiharini, 2013). Pengambilan data dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan secara langsung terhadap semua tahap pelaksanaan KRPL. Penghitungan skor PPH serta penghematan belanja dilakukan melalui wawancara terstruktur dengan kuisioner. Data kemudian dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kelompok Wanita Tani Diketuai oleh Suharni Dg. Ngani, KWT Flamboyan dibentuk pada 12 Maret 2013 berlokasi di Dusun Sugitanga II Desa Pa’bentengan Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Sebagai KWT bentukan baru, masih memerlukan pembinaan dan penguatan kelembagaan maupun kualitas sumber daya manusia. Secara umum karakteristik individu KWT Flamboyan dapat dilihat pada Tabel 1. 1119 Tabel 1. Karakteristik individu kelompok wanita tani Flamboyan Sugitanga II Uraian Umur Pendidikan terakhir Pekerjaan dusun Jenis Jumlah (orang) Persentase (%) 20-30 31-40 41-50 >60 Tidak sekolah SD SMP SMA/K Petani Ibu Rumah Tangga 3 8 17 2 1 17 4 8 1 29 10,0 26,7 56,7 6,6 3,3 56,7 13,3 26,7 3,3 96,7 Sumber : Data primer yang diolah Tabel 1 menunjukkan bahwa anggota KWT Flamboyan separuhnya (56,7%) berusia 41-50 tahun. Usia tersebut tergolong usia yang tidak muda, hal ini akan berkaitan dengan pola pikir dan produktivitas kerja mereka. Usia termuda adalah 28 tahun, dan yang tertua 72 tahun. Dari segi pendidikan 56,7% merupakan lulusan SD, dan pendidikan tertinggi adalah SMA/K (8%). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan para anggota tidak cukup tinggi, yang menggambarkan tingkat adopsi mereka terhadap teknologi, terlebih kisaran umur yang tidak lagi dikategorikan muda. Sipahutar dan Istina (2010) juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi sikap dan kemampuannya dalam menyerap inovasi. Berlatar belakang usia dan pendidikan tersebut, perlu pendekatan pola diseminasi visual yang konkrit berupa praktek langsung. Meski hampir seluruh anggota berprofesi sebagai ibu rumah tangga (96,7%) namun selama kegiatan berjalan masih menemui kesulitan dalam pengumpulan anggota dengan alasan kesibukan di sawah/ladang karena kepala keluarga berprofesi sebagai petani. Kendala dalam pengumpulan massa turut menghambat berjalannya kegiatan sesuai jadwal program. Kegiatan gotong royong untuk Kebun Bibit Desa (KBD) juga terkendala dengan kesibukan masing-masing anggota. Implementasi MKRPL KWT Flamboyan Pada pertanaman musim pertama, yakni bulan Maret 2013, tanaman yang disemai di KBD berasal dari pengadaan bibit hibrida yang dibeli di toko pertanian. Benih terdiri dari: bayam, sawi, kangkung, seledri, tomat, mentimun, parai, cabai keriting, cabai rawit, labu, kacang panjang. Musim tanam selanjutnya benih diperoleh dari Kebun Bibit Induk (KBI). Benih terdiri dari jagung pulut, kacang tanah, kedelai, rosela, bunga matahari, cabai keriting, cabai hijau, cabai rawit, cabai toraja, terung hijau, papaya merah delima, bayam, kangkung. Preferensi anggota terhadap benih terutama pada benih cabai, tomat, dan terong ungu. Selain dari benih yang telah disediakan, beberapa anggota menanam tanaman lain atas inisiatif sendiri misalnya kemangi, sereh, kelor, singkong, ubi jalar, rambutan, markisa, wijen, bawang merah. Luasan pekarangan yang dimiliki anggota tergolong menengah dan luas, mengingat lokasi di perdesaan yang umumnya masih memiliki pekarangan yang 1120 lapang. Pekarangan yang lapang ini umumnya dimanfaatkan sebagai lantai jemur, tempat berkumpul (saung/bale), tempat parkir, dan tempat melepas ternak untuk mencari makan. Pasca sosialisasi MKRPL mulai adanya penataan pekarangan. Tiap anggota menyisihkan luasan pekarangan sekitar 3x4 m atau lebih untuk selanjutnya dipagari dan ditanami. Pemagaran merupakan upaya menghindarkan kerusakan pertanaman dari ternak yang berkeliaran. Pengandangan ternak jarang dilakukan masyarakat setempat karena membatasi ruang gerak ternak untuk mendapatkan makanan. Meski beberapa daerah telah mengeluarkan peraturan daerah tentang pengandangan ternak dan unggas, namun penegakan aturan masih lemah. Pola budidaya yang dilakukan menggunakan teknik vertikultur (talang), polybag, pot serta ditanam langsung di tanah dengan membuat bedengan. Sebagian anggota belum menerapkan pola tanam khusus untuk pekarangannya, tanaman bercampur di pekarangan tanpa pertimbangan agronomis. Sedikit dari anggota KWT yang sudah menerapkan pola tanam tumpang sari dengan baik dengan bedengan terawat. Untuk mewujudkan kemandirian pangan kawasan, perlu pengaturan pola tanam dan rotasi tanaman. Aspek diversifikasi tanaman termasuk integrasi tanaman-ternak juga perlu diperhatikan. Dengan upaya tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi kesejahteraan keluarga, minimal melakukan penghematan belanja pangan. Pola Pangan Harapan Salah satu parameter sederhana yang dipakai untuk menilai tingkat keragaman pangan dan mutu gizi, ketersediaan dan konsumsi pangan di suatu wilayah adalah Pola Pangan Harapan (PPH) (Baliwati, 2009). Peningkatan kualitas gizi dan keragaman pangan melalui PPH telah dicanangkan sebagai salah satu substansi utama dalam program ketahanan pangan 2010-2014, dan ditargetkan skor PPH nasional tahun 2014 adalah 93,3 (Anonim, 2010). Dalam struktur perhitungan skor PPH yang ditetapkan Departemen Pertanian, komponen bahan sayuran dan buah mempunyai bobot/ rating tertinggi, dengan sumbangan skor PPH maksimal 25 (Baliwati, 2009). Meski belum mampu mencapai PPH ideal ataupun skor PPH nasional tahun 2013 (91,5), kegiatan MKRPL di lokasi ini mampu meningkatkan skor PPH dan merubah tingkat keragaman konsumsi pangan (Tabel 2). Tabel 2. Tingkat keragaman konsumsi pangan KWT Flamboyan Kelompok pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur/buah Total PPH sebelum MKRPL 24.14 0.80 17.56 4.20 1.00 6.50 1.54 19.36 75.10 Sumber : Data primer yang diolah PPH sesudah PPH ideal 24.71 1.50 19.10 4.32 1.00 7.14 1.63 23.24 82.60 25 2.5 24 5 1 10 2.5 30 100 1121 Skor PPH sebelum implementasi MKRPL 75,10 meningkat menjadi 82,60 sesudah pelaksanaan kegiatan. Implementasi MKRPL mengubah beberapa skor kelompok pangan yang diuraikan di Tabel 2. Perubahan skor terbesar ada pada kelompok sayur/buah yang meningkat hampir 4%. Selain sayur/buah, kelompok umbi-umbian, kacang-kacangan, dan pangan hewani juga meningkat. Peningkatan konsumsi buah/sayur dimungkinkan karena akses yang mudah dari segi jarak maupun biaya. Sayur/buah diperoleh dari pekarangan sendiri, demikan halnya dengan pangan hewani (bagi yang memiliki kolam/unggas). Meski bukan pencapaian tinggi, namun perubahan skor ke arah yang lebih baik merupakan sinyal positif dari manfaat MKRPL. Harapan pengurangan konsumsi padi masih jauh dari perkiraan, karena peran umbi-umbian sebagai alternatif karbohidrat belum digiatkan. Untuk mencapai kualitas konsumsi pangan yang lebih baik, perlu dtingkatkan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, buah/biji berminyak, gula serta sayur dan buah, atau dikenal dengan penganekaragaman konsumsi secara horizontal. Selain itu, peningkatan kualitas konsumsi pangan juga dapat dicapai melalui penganekaragaman vertikal, yaitu konsumsi aneka pangan sumber karbohidrat dan olahannya (jagung dan olahannya, sorgum, dan jenis serealia lainnya), aneka sumber protein dan olahannya (aneka pangan hewani dan kacang-kacangan), serta aneka sumber vitamin dan olahannya (beragam sayur dan buah). Dengan demikian, peningkatan konsumsi kelompok pangan sumber tenaga, pembangun, dan pengatur perlu diiringi penurunan konsumsi beras (BKP, 2012). Penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi dipengaruhi oleh banyak faktor, baik itu faktor internal seperti pendapatan, preferensi, keyakinan (budaya dan religi), serta pengetahuan gizi, maupun faktor eksternal seperti agro-ekologi, produksi, ketersediaan, dan distribusi, keanekaragaman pangan, serta promosi/iklan (Baliwati, 2009; Suryana, 2009). Hal ini berarti bahwa kinerja skor PPH yang mencerminkan keanekaragaman konsumsi pangan, keseimbangan dan mutu gizi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Penghematan Belanja Pangan Implementasi MKRPL diakui nilai manfaatnya oleh anggota KWT yang telah melaksanakan kegiatan ini. Manfaat yang dirasakan salah satunya adalah pengehamatan belanja pangan bulanan. Sayuran yang biasanya dibeli di tukang sayur atau pasar dapat diperoleh sejangkauan tangan. Bagi pemilik kolam atau unggas mendapatkan nilai tambah karena penghematan menjadi lebih besar. Pengelompokan penghematan yang dilakukan anggota KWT Flamboyan dapat dilihat di Gambar 1. 15 10 5 Penghematan per bulan 0 <100,000 100,000- 150,001- >200,000 150,000 200,000 Gambar 1. Grafik penghematan belanja pangan KWT Flamboyan pasca MKRPL 1122 Dari grafik tersebut, tercatat 10 responden (33,3%) mampu berhemat < Rp.100,000 per bulan, dengan asumsi penghematan per hari sebesar Rp.2,000-3,000 (harga seikat sayur). Selanjutnya, 12 responden (40%) berhemat sebesar Rp. 100,000-150,000 per bulan, 5 responden (16,7%) berhemat Rp. 150,001-200,000 per bulan, dan sisanya (10%) berhemat lebih dari Rp. 200,000. Penghematan tertinggi mencapai Rp.300,000 ditemui pada responden yang melakukan budidaya ikan di pekarangannya, dengan asumsi alokasi belanja ikan Rp.10,000 dapat dihemat. Dengan adanya penghitungan belanja pangan bulanan, responden yang merupakan anggota KWT semakin tersadar akan manfaat penerapan rumah pangan lestari. Hal ini menyebabkan beberapa anggota tergerak untuk melakukan diverfisikasi komoditas yang ditanam, dan berencana membuat kolam ikan. Kultur masyarakat lokal Sulawesi selatan umumnya menyertakan ikan dalam menu pangan harian. Ikan lebih sering dikonsumsi sehari-hari dibandingkan pangan hewani lain. Oleh karenanya, keberadaan kolam di tiap rumah tangga akan berdampak signifikan pada penghematan belanja pangan sekaligus meningkatkan kualitas konsumsi pangan. Upaya memasyarakatkan KRPL melalui penyuluhan kepada warga, yang difokuskan kepada para wanita melalui PKK atau wanita tani. Kesadaran gizi dan promosi diverfisikasi pangan dapat dimulai sejak dini melalui edukasi di sekolah, salah satunya dengan pembuatan kebun sekolah. Dukungan, komitmen dan fasilitasi dari tokoh masyarakat dan pengambil kebijakan, terutama pemerintah daerah diperlukan untuk mendorong implementasi model inovasi. Melalui gerakan massif di semua wilayah dengan komoditas sesuai potensi lokal, bukan tidak mungkin bahwa pengembangan MKRPL menjadi suatu solusi untuk mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga di Indonesia. KESIMPULAN 1. Implementasi MKRPL oleh KWT Flamboyan merubah tingkat keragaman pangan melalui peningkatan konsumsi sayur.buah sebesar 3,88%. 2. Skor PPH awal 75,1% meningkat menjadi 82,6% pasca implementasi MKRPL, skor ini 90,27% dari target skor PPH nasional tahun 2013 (91,5%). 3. Pemanfaatan pekarangan dapat menghemat pengeluaran belanja pangan mulai Rp. 60,000 hingga Rp. 300,000 per bulan. DAFTAR PUSTAKA Badan Ketahanan Pangan. 2012. Roadmap Diversifikasi Pangan 2011-2015. Kementerian Pertanian. Jakarta. Baliwati, Yayuk F. 2009. Pola Pangan Harapan (PPH) : Indikator Situasi Konsumsi Dan Ketersediaan Pangan Wilayah. Hlm. MIII1-12. Dalam : Modul Pelatihan Analisis Situasi dan Perencanaan Ketersediaan Pangan Wilayah (Tingkat I). KERJASAMA Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jatim dengan Dept. Gizi Mayarakat Fak. Ekologi Manusia IPB. 1123 Mardiharini, M, K. Kariyasa, Zakiah, Dalmadi dan Agung Susakti. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor Nugrayasa, Oktavio. 2013. Pola Pangan Harapan Sebagai Pengganti Ketergenatungan Pada Beras. http://www.setkab.go.id/artikel-7199-polapangan-harapan-sebagai-pengganti-ketergnatungan-pada-beras.html Diakses tanggal 7 Februari 2013. Sastro, Y. 2011. Budidaya Sayuran di Pekarangan Sempit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta Sipahutar, D dan I. N Istina. 2010. Motivasi Petani Terhadap Agribisnis Pertanian di Kabupaten Kampar (Studi Kasus Primatani Kabupaten Kampar) hlm.698704. Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi di Perdesaan. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. 1124 TINGKAT SERANGAN PENGGEREK BATANG PADI PADA SISTEM TANAM PINDAH DAN TANAM BENIH LANGSUNG DI SULAWESI TENGGARA Cipto Nugroho, Idris dan Didik Raharjo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Jl. Prof. M. Yamin No.89 Puuwatu, Kendari Email : [email protected] ABSTRAK Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama di Sulawesi Tenggara. Luas serangannya dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan angka yang cukup tinggi. Di Sulawesi Tenggara, sistem tanam padi yang umum dilakukan adalah sistem tanam pindah (tapin) dan sistem tanam benih langsung (tabela). Bahkan penggunaan sistem tabela semakin meningkat terutama pada daerah dengan kepemilikan lahan yang luas dan jumlah tenaga kerja yang terbatas. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui tingkat serangan penggerek batang padi pada sistem tapin dan tabela di Sulawesi Tenggara. Pengkajian dilaksanakan secara partisipatif dengan petani pada MT II (musim kemarau) tahun 2009 di lahan sawah petani, Kabupaten Konawe. Petak pengamatan pada sistem tanam pindah dan tanam benih langsung masing-masing berjumlah 8 petak (16 petani kooperator). Tingkat serangan diamati pada fase vegetatif (45 HSS) dan fase generatif (95 HSS). Pada sistem tapin, sampel berjumlah 20 rumpun per petak pengamatan yang dipilih secara acak dengan pola W. Pada sistem tabela, sampel dipilih secara acak dengan ukuran 1 m x 1 m. Parameter yang diamati yaitu jumlah anakan, anakan terserang, anakan produktif, dan anakan produktif terserang. Hasil panen diubin dengan ukuran 3 x 4 m. Dinamika populasi penggerek batang selama satu musim diamati melalui tangkapan pada perangkap feromon seks. Hasil kajian menunjukkan intensitas serangan penggerek batang padi pada sistem tabela (4,01%) lebih tinggi daripada sistem tapin (3,44 %) pada saat fase vegetatif namun tidak berbeda nyata, sedangkan pada fase generatif intensitas serangan pada sistem tapin (1,94%) lebih tinggi dari pada sistem tabela (0,97%) namun juga tidak berbeda nyata diantaranya. Kehilangan hasil pada sistem tapin (2,16%) lebih tinggi dibandingkan sistem tabela (1%) namun tidak berbeda nyata. Populasi penggerek batang padi dapat ditekan dengan penanaman secara serempak. Kata kunci : Penggerek batang padi, tingkat serangan, tapin, tabela PENDAHULUAN Penggerek batang padi merupakan hama utama kedua setelah tikus di Sulawesi Tenggara. Berdasarkan data Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikuktura Sulawesi Tenggara diketahui luas serangan pada tahun 2009 dan 2010 mencapai 12.743 ha dengan luas serangan terbesar di tiga sentra produksi padi yaitu Kabupaten Konawe (6.749 ha), Kolaka (3.552 ha), dan Konawe Selatan (1.409 ha). Menurut Chen (2008), bahwa kehilangan hasil panen akibat serangan penggerek batang padi kuning di Asia berkisar antara 2 – 5%. Oleh karena itu serangan penggerek batang di Sulawesi Tenggara mengakibatkan kerugian kurang lebih Rp. 5,2 milyar/tahun dengan asumsi kehilangan hasil sebesar 3,5% dan harga gabah kering panen Rp. 3000,-/kg. 1125 Penggerek batang padi menyerang tanaman dari persemaian hingga fase pengisian gabah. Empat spesies penggerek batang padi yang paling dominan di Indonesia adalah penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas), penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata), penggerek batang padi bergaris (Chilo suppressalis), dan penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens) (Hendarsih dan Usyati, 2008). Gejala serangan keempat jenis penggerek batang padi tersebut sama pada tanaman padi. Serangan pada fase vegetatif yaitu larva batang anakan sehingga aliran hara ke bagian atas tanaman akan terhambat sehingga tanaman akan mati. Sedangkan pada saat fase generatif, larva memotong batang anakan yang akan bermalai sehingga aliran hasil asimilasi terhambat dan mengakibatkan gabah tidak terisi (hampa). Tanaman padi dengan anakan yang banyak lebih toleran terhadap serangan penggerek batang padi, namun demikian hingga kini belum ada varietas yang tahan dan masih dalam tahap penelitian (Hendarsih dan Usyati, 2008). Di Sulawesi Tenggara, sistem tanam padi yang umum dilakukan adalah sistem tanam pindah (tapin) dan sistem tanam benih langsung (tabela). Bahkan penggunaan sistem tabela dengan pipa paralon berjarak tanam semakin meningkat terutama pada daerah dengan kepemilikan lahan yang luas dan jumlah tenaga kerja yang terbatas. Penggunaan sistem tabela berjarak tersebut mendukung salah satu komponen pengendalian penggerek batang padi yaitu waktu tanam yang serempak. Pada luasan ± 300 ha, penanamam padi dapat diselesaikan dalam jangka waktu 14 – 21 hari dengan menggunakan sistem tabela. Penanaman serempak akan mengkondisikan ketersediaan sumber makanan penggerek batang padi dalam waktu yang terbatas. Selain itu dengan sistem tabela, waktu tanam akan lebih tepat berdasarkan monitoring populasi dengan menggunakan perangkap lampu atau feromon sex (Hendarsih dan Usyati, 1999). Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika populasi dan tingkat serangan penggerek batang padi pada sistem tapin dan tabela di Sulawesi Tenggara. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan pada agroekosistem sawah irigasi di Desa Karandu dan Bendewuta, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Penelitian dilaksanakan secara partisipatif dengan petani pada MT II (musim kemarau) tahun 2009 di lahan sawah petani. Petak pengamatan pada sistem tanam pindah dan tanam benih langsung masing-masing berjumlah 8 petak (16 petani kooperator). Tingkat serangan diamati pada fase vegetatif (35 HSS) dan fase generatif (95 HSS). Pada sistem tanam pindah, sampel berjumlah 20 rumpun per petak pengamatan yang dipilih secara acak dengan pola W. Pada sistem tanam benih langsung, sampel dipilih secara acak dengan ukuran 1 m x 1 m. Parameter yang diamati yaitu jumlah anakan, anakan terserang, anakan produktif, dan anakan produktif terserang. Hasil panen diubin dengan ukuran 3 x 4 m. Tingkat serangan dan kehilangan hasil dihitung dengan rumus. Tingkat serangan = (jumlah anakan yang rusak / jumlah anakan 20 rumpun) x 100 % Kehilangan hasil = (jumlah anakan produktif rusak / jumlah anakan produktif 20 rumpun) x 100 1126 Untuk mengetahui dinamika populasi penggerek batang selama satu musim pengamatan maka dipasang tiga perangkap feromon seks. Perangkap dibuat dari ember plastik tertutup dan dilobangi di kedua sisi dengan diameter 10 cm. Feromon seks digantung menggunakan tali nilon pada ketinggian 20 cm dari atas penutup perangkap. Bagian bawah ember diisi dengan air sabun dengan kedalaman 10 cm. Perangkap dipasang menggunakan penyangga kayu. Feromon seks diganti setiap 2 minggu dan air sabun dalam perangkap diganti setiap minggu setelah dilakukan pengamatan. Tangkapan mingguan penggerek batang jantan dipantau selama musim dan dikelompokkan ke dalam dua fase pertumbuhan padi (vegetatif dan generatif). HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Populasi Dinamika populasi penggerek batang padi pada saat pengkajian selama bulan November 2008 sampai dengan bulan Maret 2009 tersaji pada gambar 1. Sesuai dengan jadwal tanam kelompok tani, penanaman padi mulai dilaksanakan pada bulan Januari 2009 baik pada sistem tanam pindah (tapin) dan sistem tanam benih langsung (tabela). Umur bibit pada sistem tapin rata-rata 21 hari setelah semai (HSS). Dari gambar 1 dapat dilihat bahwa puncak penerbangan pertama ngengat penggerek batang padi pada lokasi tapin telah ada pada minggu ke-2 bulan Desember 2008, sedangkan pada lokasi tabela, puncak penerbangan pertama ngengat penggerek batang padi pada minggu ke-3 bulan Desember 2008. Gambar 1. Pola tangkapan Penggerek Batang Padi (Scirphopaga innotata) dengan menggunakan feromon sex pada sistem tanam pindah dan tanam benih langsung di Kabupaten Konawe, MK 2008 – 2009. Pada sistem tapin, penanaman pertama memasuki 35 HSS atau minggu ke2 bulan Januari 2009 terjadi puncak populasi kedua. Hingga pertanaman memasuki akhir fase vegetatif atau kurang lebih 50 HST (minggu ke-2 bulan Februari 2009), populasi ngengat penggerek batang padi menunjukkan trend penurunan. Populasi ngengat penggerek batang padi menunjukkan trend kenaikan pada saat pertanaman padi mulai memasuki fase generatif (minggu ke- 1127 3 bulan Februari 2009). Kenaikan populasi penggerek batang padi pada fase generatif dan hingga akhir pertanaman tersebut diduga disebabkan waktu tanam yang tidak serempak dalam satu hamparan. Selisih waktu tanam antara pertanaman pertama sampai pertanaman terakhir mencapai 2 bulan sehingga sumber makanan bagi populasi penggerek batang padi pada puncak penerbangan pertama selalu tersedia. Pada saat fase generatif terjadi akumulasi perkembangbiakan penggerek batang padi sehingga populasi meningkat. Pada sistem tabela, puncak penerbangan ngengat penggerek batang padi terjadi 2 kali pada fase vegetatif yaitu pada minggu pertama bulan Februari 2009 (±35 HSS) dan minggu ke-4 bulan Februari 2009 (±56 HSS). Pada saat pertanaman padi memasuki fase generatif, populasi penggerek batang padi menunjukkan trend menurun. Fenomena ini diduga karena waktu tanam dalam satu hamparan serempak sehingga ketersediaan sumber pakan terbatas. Kondisi ini memungkinkan populasi ngengat penggerek batang pada puncak penerbangan pertama hanya berkembang pada fase vegetatif sehingga terjadi penurunan populasi pada saat memasuki fase generatif. Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi Hasil kajian menunjukkan intensitas serangan penggerek batang padi pada sistem tabela (4,01%) relatif lebih tinggi daripada sistem tapin (3,44 %) pada saat fase vegetatif, namun demikian tidak terdapat beda nyata diantara keduanya. Hal ini disebabkan populasi penggerek batang padi tertangkap perangkap feromon sex lebih tinggi pada sistem tanam tabela dibandingkan sistem tanam tapin (Gambar 1). Kerusakan yang ditimbulkan pada saat fase vegetatif masih dapat dikompensasi dengan pembentukan anakan baru. Menurut Hendarsih dan Usyati (2008), kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang padi pada fase vegetatif tidak terlalu besar karena padi masih dapat membentuk anakan baru. Rubia et al (1990), menyebutkan bahwa kompensasi kehilangan hasil akibat penggerek batang padi bisa mencapai 30%. Tabel 1 . Tingkat serangan penggerek batang padi, kehilangan hasil dan produktivitas padi varietas Cisantana dengan sistem tanam pindah dan tanam benih langsung, Kabupaten Konawe MK 2009. Sistem Tanam Tapin Tabela Intensitas serangan 35 HSS (%) 95 HSS (%) 3,44 a 1,94 a 4,01 a 0,97 a Kehilangan hasil (%) 2,16 a 1,00 a Produktivitas (kg/ha) GKG 2452 a 3448 b Angka pada lajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf BNT 0,5% Pada fase generatif, intensitas serangan pada sistem tapin (1,94%) relatif lebih tinggi dari pada sistem tabela (0,97%) namun juga tidak berbeda nyata diantaranya. Penurunan intensitas serangan pada sistem tabela diduga disebabkan puncak populasi terjadi pada fase vegetatif dan kemudian terjadi trend penurunan populasi pada saat memasuki fase generatif. Kondisi tersebut didukung dengan waktu tanam yang cukup serempak dengan selisih waktu penanaman pertama sampai penanaman terakhir ±1 bulan. Sedangkan pada 1128 sistem tapin, intensitas serangan penggerek batang padi yang relatif lebh tinggi diduga disebabkan pertanaman yang tidak serempak. Hal ini terlihat adanya trend kenaikan populasi penggerek batang padi pada saat pertanaman memasuki fase generatif (Gambar 1). Kerusakan pada fase generatif termasuk kerusakan mutlak karena dapat mengurangi jumlah malai. Pada saat fase generatif, larva menggerek batang padi sehingga hasil asimilasi tidak dapat didistribusikan ke malai sehingga malai menjadi hampa. Menurut Pathak dan Khan (1994), kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang pada fase generatif sebesar 1 – 3%. Berdasarkan kajian diketahui kehilangan hasil pada sistem tapin (2,16%) lebih tinggi dibandingkan sistem tabela (1%) namun tidak berbeda nyata. Kehilangan hasil tersebut berbanding lurus dengan intensitas serangan dan populasi penggerek batang padi pada saat fase generatif. Produktivitas yang dicapai sistem tapin lebih rendah dibandingkan dengan sistem tabela. Faktor yang turut berkontribusi terhadap produktivitas tersebut adalah kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang padi. KESIMPULAN Sistem tanam tabela memungkinkan waktu tanam dilaksanakan secara serempak dan disesuaikan dengan puncak penerbangan pertama ngengat penggerek batang pada wilayah dengan keterbatasan tenaga kerja dan kepemilikan lahan yang luas. Keserempakan tanam pada sistem tabela menyebabkan penurunan populasi penggerek batang padi pada fase generatif sehingga intensitas serangannya relatif lebih rendah dibandingkan sistem tapin. Oleh karena itu kehilangan hasil panen akibat serangan penggerek batang padi dapat diminimalkan. DAFTAR PUSTAKA Chen, Y. 2008. The Unsung Heroes of the Rice Field. Rice Today January–March. IRRI. p.30–31. Hendarsih, N. dan N. Usyati. 1999. The Stemborer Infestation on Rice Cultivars at Three Planting Times. Indonesian Journal of Agricultural Science. Vol 6(2). pp : 39 – 45. Hendarsih, N. dan N. Usyati. 2008. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi. Padi : Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. Editor : Aan A. Daradjat, Agus Setyono, A. Karim Makarim, Andi Hasnuddin. LIPI Press. Jakarta. Hal : 327 – 349. Pathak M.D. and Z.R. Khan . 1994. Insect Pests of Rice. IRRN. ICIPE. p.1–12. Rubia E.G. et al. 1990. Simulation of Rice Yield Reduction Caused by Stemborer. IRRN, 15(1):34. 1129 UJI ADAPTASI DAN DAYA HASIL GALUR HARAPAN PADI SAWAH DI KABUPATEN BARRU SULAWESIS SELATAN Sahardi1 dan Iswari S. Dewi2 Peneliti dan Teknisi BPTP Sulawesi Selatan, Jl. Perintis Kemerdekaan KM 17,5 Makassar. Telp. 0411-556449, Fax. 0411 554522 2 Peneliti BB Biogen Bogor. Jl. Tentara Pelajar No. 3 A Bogor 16111. Telp. 0251-8337975, Fax. 0251-8338820 1 ABSTRAK Penelitian Uji Adaptasi dan Daya Hasil Galur Harapan Padi Sawah Tipe Baru di Kabupaten Baru Sulawesi Selatan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi dan daya hasil galur harapan padi sawah tipe baru di Kabupaten barru Sulawesi Selatan. Kegiatan ini berlansung dari bulan April sampai bulan Agustus 2012. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok, dimana setiap perlakuan di ulang 4 kali. Terdapat 7 galur harapan padi sawah tipe baru yang di uji dan 3 varietas pembanding. Galur-Galur tersebut ditanam pada petak percobaan berukuran 4 m X 5 m. Jarak tanam 25 cm X 25 cm. Galur harapan yang di uji yaitu; BIO-MF115, BIO-MF116, BIO-MF125, BIO-MF 130, BIO-MF 133, BIO-MF 151, dan BIO-MF 153, sedangkan varietas pembanding adalah Fatmawati, Ciherang dan Inpari 13. Hasil penelitian menunjukkan bahwa galur harapan padi sawah tipe baru BIO-MF115 memberikan daya adaptasi dan daya hasil yang tertinggi. Hasil yang diperoleh mencapai 7,4 GKG/ha, sama dengan hasil Inpari13 sebagai pembanding. Produksi yang terendah dihasilkan oleh galur BIO-MF 151, yaitu 6,0 t/ha Kata kunci: Adaptasi, galur, padi, tipe baru PENDAHULUAN Komoditas padi merupakan komoditas strategis yang memiliki sensivitas politik, ekonomi dan kerawanan social yang tinggi. Peran strategis beras dalam perekonomian nasional adalah : (1) usahatani padi menyediakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 21 juta rumahtangga petani; (2) merupakan bahan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia yang jumlahnya sekitar 225 juta jiwa, dengan pangsa konsumsi energi dan protein yang berasal dari beras diatas 55 persen; dan (3) sekitar 30 persen dari totral pengeluaran rumahtangga miskin dialokasikan untuk beras (Sudaryanto dan Adang, 2003). Pelandaian produktivitas padi di lahan sawah irigasi dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain, penurunan kandungan bahan organik, penurunan penambatan N2 udara pada lahan sawah, penurunan kapasitas penyediaan hara, N, P dan K dalam tanah, penimbunan senyawa toksik bagi tanaman (H2S), asam-asam organik, ketidak seimbangan penyediaan hara, kahat hara mikro (Cu, Zn, Fe dan S), penyimpangan iklim, tekanan biotik dan kemampuan genetik varietas terbatas (Puslitbangtan, 2000). Lahan sawah di Sulawesi Sulawesi Selatan cukup luas untuk pengembangan padi berdasarkan AEZ sawah irigas dan tadah hujan adalah kurang lebih seluas 586.000 ha. Produktivitas padi sawah di Sulawesi Selatan rata-rata 4,9 t/ha gkg (BPS, 2010). Sementara hasil kegiatan PTT padi di 1130 Sulawesi Selatan diperoleh berkisar antara 6,5 – 8,3 t/ha (Arafah et al., 2003). Dengan demikian cukup banyak peluang untuk meningkatkan produktivitas melalui perbaikan teknik budidaya termasuk penggunaan varietas unggul baru agar sesuai untuk agroekologi spesifik. Pembentukan ataupun perakitan varietas unggul spesifik lokasi akan terwujud apabila tersedia galur-galur harapan hasil persilangan ataupun galur harapan hasil introduksi (Drajat, 2001). Banyak varietas unggul yang telah dihasilkan Badan Litbang, namun kurang berkembang dan kurang dimanfaatkan petani, Secara teknis hal tersebut disebabkan Karena banyak Kelemahan dari varietas unggul yang ada saat ini di petani, antara lain, kurang tahan terhadap hama seperti wereng coklat, tungro, kesenjangan hasil pada musim hujan dan kemarau relatif tinggi. (Simanulang et al., 1995). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi dan daya hasil galur harapan mutan padi tipe baru di khususnya di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. METODOLOGI Kegiatan ini dilaksanakan di Kabupaten Barru, berlansung dari bulan April sampai bulan Agustus 2012. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok, dimana setiap perlakuan di ulang 4 kali. Terdapat 7 galur harapan padi sawah tipe baru (PTB) yang di uji dan 3 varietas pembanding. Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna. Galur-Galur tersebut ditanam pada petak percobaan berukuran 4 m X 5 m. Umur bibit 21 hari setelah semai, Jumlah bibit 2 batang/rumpun, Jarak tanam 25 cm X 25 cm. Takaran pupuk 200 kg Urea, 300 kg NPK. Pemukan urea dilakukan 3 kali. Aplikasi pertama (pupuk dasar) saat tanam 20% diberikan bersamaan dengan keseluruhan NPK, pemupukan Urea ke dua 40% pada saat 4 minggu setelah tanam (MST) dan pemupukan ke tiga 40% pada saat 7 MST. Galur harapan yang di uji yaitu; BIO-MF115, BIO-MF116, BIO-MF125, BIO-MF 130, BIO-MF 133, BIO-MF 151, dan BIO-MF 153, sedangkan varietas pembanding adalah Fatmawati, Ciherang dan Inpari 13. Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh perlakuan dengan uji Berganda Duncan pada taraf 5 %. Analisis adaptabilitas galur yang diuji menggunakan metode Ebrhart dan Russell (1966). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap umur taman berbunga 50% menunjukkan bahwa varietas pembanding Inpari 13 dan Ciherang palaing cepat dan berbedanyata dengan galur lainnya, kecuali galur BIO-MF-115 yang berbuga pada umur rata-rata52,5 hari setelah semai. Galur BIO-MF-115 yang paling cepat dipanen yaitu 96,3 hari, diikutu varietas Inpari 13, namun hanya berbeda nyata dengan galur BIO-MF-153 dan varietas Fatmawati. Untuk tinggi tanaman varietas ciherang yang palinggi yaitu 108,8 cm, secara statistic berbeda nyata dengan galur lainnya, kecuali galur BIO-MF-115, BIO-MF-116 dan BIO-MF-125, sedangkan galur yang paling pendek adalah BIOMF-153 yaitu tingginya rata-rata 101 cm, secara rinci tersaji pada Tabel 1. 1131 Tabel 1. Rata-rata umur berbunga 50%, umur panen dan tinggi tanaman galur harapan mutan padi tipe baru di Kab. Barru 2012 No Galur/varietas Umur Berbunga 50% Umur Panen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 BIO-MF 115 BIO-MF 116 BIO-MF 125 BIO-MF130 BIO-MF 133 BIO-MF 151 BIO-MF 153 FATMAWATI CIHERANG INPARI 13 CV (%) 52,5 bc 60,5 a 58,0 a 59,5 a 57,0 ab 59,0 a 60,7 a 58,0 a 51,0 c 49,0 c 6,0 96,3 b 103,8 ab 106,2 ab 108,2 ab 107,8 ab 112,3 a 112,0 a 110,3 ab 110,0 ab 102,5 b 15,4 Tinggi Tanaman (cm) 105,5 ab 106,2 ab 106,5 ab 103,8 bc 103,5 bc 103 bc 101 c 107,5 ab 108,8 a 107,0 ab 3,0 Hasil analisi terhadap pengamatan jumlah anakan produktif menunjukkan bahwa varietas pembanding Ciherang memberikan jumlah anakan terbanyak yaitu rata-rata 17,7 anakan per rumpun, hasil tersebut berbeda nyata dengan seluruh galur yang diuji. Galur mutan yang diuji menghasilkan anakan produktif berkisar 11,7 – 13,7 anakan per rumpun, hasil tersebut menurut B. Suprihatno dkk 2011 sesuai dengan jumlah rata-rata anakan peroduktif pdi tipe baru yaitu berkisar 8-14 batang per rumpun. Hasil pengamatan terhadap panjang malai munujukkan bahwa seluruh galur yang yang diuji menghasilkan malai yang panjang dan berbeda nyata dengan varietas pembanding Chireang dan Inpari 13, kecualai varietas Fatmawati. Panjang malai galur yang diuji berkisar 29,5 Cm – 30,0 Cm, sedangkan Inpari 13 hanya 25,3 Cm. Demikian pulah dengan jumlah gabah per malai seluruh galur yang di uji menghasikah jumlah gabah yang banyak dan berbeda nyata dengan jumlah gabah yang dihasilkan oleh varietas pembanding Inpari 13 dan Ciherang. Galur-galur yang di uji menghasilkan jumlah gabar berkisar 286,3 -319,2 per malalai, sedangkan varietas Inpari 13 dan Ciherang menghasilkan gabah permalia masing-masing 165,7 dan 149,7 (Tabel 2). Tabel 2. Rata-rata jumlah anakan produktif, panjang malai dan jumlah gabah per malai galur harapan mutan padi tipe baru di Kab. Barru 2012. No Galur/Varietas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 CV (%) BIO-MF 115 BIO-MF 116 BIO-MF 125 BIO-MF130 BIO-MF 133 BIO-MF 151 BIO-MF 153 FATMAWATI CIHERANG INPARI 13 13,5 1132 Jumalah Anakan Produktif 13,7 bc 11,7 c 11,7 c 13,4 bc 13,9 bc 12,6 c 12,8 c 12,3 c 17,7 a 16,1 ab 4,2 Panjang Malai (Cm) 30,0 a 29,8 a 29,7 a 29,8 a 29,9 a 29,5 a 29,6 a 30,1 a 26,8 b 25,3 b 9,0 Jumlah Gabah/Malai 297,7 a 319,2 a 297,9 a 293,1 a 286,3 a 302,7 a 299,2 a 300,8 a 149,7 b 165,7 b Persentase gabah hampa pada Galur yang di uji sangat tinggi yaitu berkisar 40,4% – 53,5%. Hasil analisis statistic menunjukkan bahwa galur BIOMF 125 dan BIO-MF 133 memberikan gabah hampai sampai 53,5% dan berbeda nyata dengan varietas Ciherang yang kehampaannya hanya rata-rata 32,2%, sedangkan varietas Fatmawati juga kehampaannya cukup tinggi yaitu rata-rata 48,2%. Untuk bobot gabah 1000 butir galur BIO-MF 133 yang tertinggi yaitu rata-rata 22 gr, namun hanya berbeda nyata dengan varietas Ciherang (Tabel 3). Produksi gabah kering giling tertinggi di peroleh pada galur BIO-MF 115 yaitu 7,4 t/ha, hasil tersebut sama dengan produksi Inpari 13 sebagai varietas pembanding yaitu 7,4/ha. Hasil dari varietas dan galur tersebut secara statistik berbedanyata dengan galur dan varietas lainnya. Galur lain yang memberikan produksi cukup tinggi adalah BIO-MF 116 dengan produksi 6,6 ton GKG/ha. Secara rinbci hasil pengamatan terhadap persentase gabah hampa, bobot gabah 100 butir dan Produksi gabah kering giling disajikan pada Tabel 3. Dilihat dari produksi GKG, maka ada 2 galur harapan padi tipe baru yang dinilai cukup adaptif diwilayah Kabupaten barru yaitu galur BIO-MF 115 dan BIO-MF 116. Ke dua galur harapan tersebut berpotensi untuk diuji lebih lanjut untuk melihat potensi hasilnya pada beberapa lokasi. Menurut Las et al (2004), varietas unggul berdaya hasil tinggi merupakan salah satu titik tumpu peningkatan produksi padi nasional. Hingga saat ini diakui bahwa varietas unggul mampu meningkatkan produktivitas paling spektakuler dibandingkan komponen produksi lainnya (Anwari dan Rudy Suhendy, 1993). Umur tanaman berpengaruh terhadap produktivitas. Umur optimum suatu varietas untuk dapat berpotensi hasil tinggi adalah 120 hari di daerah tropis. Menurut Yoshida (1976) umur varietas yang lebih pendek potensi hasilnya rendah karena tidak mempunyai cukup waktu untuk tanaman menggunakan sinar matahari dan hara di dalam tanah, tidak cukup waktu pertumbuhan vegetatifnya untuk hasil yang maksimum. Namun Menurut Buang Abdullah (2004), umur varietas padi 100-130 hari diharapkan sudah dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. Tabel 3. Rata-rata Gabah Hampa (%), Bobot 1000 butir dan Produksi (t/ha) Gabah per Malai Galur Harapan Mutan Padi Tipe Baru di Kab. Barru 2012 No Galur/Varietas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 BIO-MF 115 BIO-MF 116 BIO-MF 125 BIO-MF130 BIO-MF 133 BIO-MF 151 BIO-MF 153 FATMAWATI CIHERANG INPARI 13 CV (%) Gabah Hampa (%) 45,2 b 40,4 bc 53,5 a 48,7 ab 53,5 a 47,9 ab 47,2 ab 48,2 ab 32,2 d 35,1 cd 10,1 Bobot 1000 Butir Gabah (g) 21,5 ab 21,5 ab 21,3 ab 21,0 ab 22,0 a 21,0 ab 21,3 ab 21,8 ab 20,8 b 21,0 ab 3,4 Produksi GKG (t/ha) 7,4 a 6,6 b 6,3 bc 6,6 b 6,1 bc 6,0 c 6,3 b 6,4 bc 6,4 bc 7,4 a 5,7 1133 KESIMPULAN 1. Galur-galur matan yang di uji rata-rata menghasilkan malai yang panjang dengan jumlah yang banyak permalai yailu berkisar 286,3 – 319,2, namun persentase gabah hampa yang cukup tinggi yaitu berkisar 40-4% - 53,5% 2. Terdapat 2 galur harapan padi tipe baru yang beradaptasi baik dengan daya hasil yang cukup tinggi di Kabupaten Barru yaitu Galur BIO-MF 115 dan BIOMF 116 DAFTAR PUSTAKA Anwari dan R. Suhendi. 1993. Uji Multilkasi Galur Harapan Padi Gogo. BPTP Nura Tenggara Barat. Laporan Hasil Kegiatan Arafah, Muslimin, Nasruddin, Amin, Syamsul Bahri dan St. Najmah. 2003. Kajian Teknologi Bercocok Tanam Padi lahan Sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan.Laporan Akhir Kegiatan BPS. 2010. Sulawesi Selatan dalam Angka. Selatan. Badan Pusat Statistik Sulawesi Buang Abdullah. 2004. Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUTB Lainnya. Panduan Pelatihan. Pemasyarakatan dan Pengembangan Padi Varietas Unggul Tipe Baru. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Drajat, A.A. 2001. Program pemuliaan partisipatif (suttle breeding dan uji multilokasi). Bahan Lokakarya Pernyelarasan Perakitan Varietas Unggul Komoditas HortikulturaMelalui Penerapan Suttle Breeding. Puslitbanghort, Jakarta, 19-20 April 2001. Eberhart, S. A., and W. A. Russel. 1966. Stability parameters for comparing varieties. Crop Sci. 6 : 36 – 40. Las, I., I.N. Widiarta, dan B. Suprihatno. 2004. Perkembangan varietas dalam perpadian nasional. Dalam Makarim, et al. (penyunting). Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan Bogor: 1-26 hlm. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. 2000. Antisipasi Penerapan Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) dalam Penyelenggaraan Pemuliaan Partisipatif Puslittan, Bogor. Simanulang, ZA., Tjubaryat dan E. Suamadi. 1995. pemanduan beberapa sifat baik IR64. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balitpa, Sukamandi. Sudaryanto T., dan A. Agustina. 2003. Peningkatan Daya Saing usahatani Padi: Aspek Kelembagaan. Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1 No. 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi Pertanian, Bogor. Yoshida and Parao, F.T. 1976. Climate Influence on Yield and Yield Component of Lowland Rice in Tropics. Proc. Of Symposium on Climate and Rice. IRRI, Los Banos, Philippines. 1134 UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADI GOGO TAHAN KERACUNANAN ALUMINIUM (Al) DENGAN PRODUKTIVITAS DI ATAS 5 TON/HA GABAH KERING GILING Suriany Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar ABSTRAK Uji adaptasi varietas unggul baru padi gogo tahan keracunan Al untuk mendapatkan produktivitas di atas 5 t/ha gabah kering giling (GKG) dilaksanakan di lahan kering podsolik merah kuning (PMK) di Kabupaten Wajo, Kecamatan Gilireng, Desa Passalloreng di Kelompok Tani Mulamenre dan Kelompok Tani MaccolliloloE pada pertanaman musim kemarau Oktober – Maret 2010. Sebanyak 8 varietas yang diuji yaitu Cigeulis, Limboto, Towuti, Situ Patenggang, Inpari 1, Danau Gaung, IR 42 dan Situ Bagendit sebagai control. Metode penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) diulang tiga kali. Data agronomi dianalisis dengan uji BNT. Ukuran plot 4 m x 5 m. Jarak tanam 20 cm x 20 cm. Benih ditanam dengan tugal sebanyak 5 – 6 biji tanaman per rumpun. Serangan hama, penyakit, dan pertumbuhan gulma dikendalikan secara kimiawi dan mekanis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Lokasi 1 pada Kelompok Tani Mulamenre varietas yang menghasilkan gabah kering giling di atas 5 t/ha yaitu Danau Gaung dan Towuti, sedangkan untuk lokasi 2 di Kelompok tani MaccolliloloE tidak ada varietas yang menghasilkan gabah kering giling diatas 5 t/ha. Kata kunci : Padi gogo, keracunan Al, produktvitas, podsolik merah kuning PENDAHULUAN Sulawesi Selatan mempunyai lahan kering (pekarangan kebun + lading + penggembalaan) seluas 913,972 ha (Distan Sulawesi Selatan, 2008). Lahan tersebut berpotensi cukup besar untuk dikelola menjadi lahan pengembangan usahatani padi gogo yang dapat meningkatkan kemampuan dan volume produksi padi tiap tahun di Sulawesi Selatan. Salah satu jenis tanah di lahan kering di Sulawesi Selatan adalah podsolik merah kuning (Distan Sulawesi Selatan, 2004) yang mempunyai kemasaman tanah yang tinggi (pH rendah), kadar Al dan Fe tinggi (Hardjowigeno, 1987). Tanaman yang keracunan Al akan mengalami kekahatan unsure hara N, P, K, Ca, dan Mg sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil dan tidak menghasilkan organ tanaman yang bernilai ekonomis. Tanaman toleran keracunan Al akan mampu mengubah pH tanah disekitar daerah perakaran sehingga unsure-unsur hara P dan K yang diperlukan dapat dipenuhi (Lubis et al., 2008). Lahan kering di kawasan beriklim basah seperti Indonesia umumnya didominasi jenis tanah ultisol dan oxisol (podsolik merah kuning) yang bereaksi masam (pH rendah) sehingga efesiensi pemupukan menjadi rendah karena N dan K dari pupuk mudah tercuci, sedangkan P akan terfiksasi oleh Fe dan Al (Mulyani et al., 2001). Pada tahun 2005 realisasi tanam padi gogo baru mencapai luas 4.802 ha dengan produktivitas rendah rata-rata 3,0 t/ha gabah kering giling (Distan Sulawesi Selatan, 2008). Pusat pengembangan padi gogo di Sulawesi Selatan 1135 antara lain di Kabupaten Jeneponto, Takalar, Gowa, Bone, Enrekang, Wajo, Luwu, Palopo dan Luwu Utara. Pengembangan padi gogo di lahan kering hanya dilakukan satu kali tanam per tahun. Varietas unggul padi gogo yang dikembangkan selama ini berpotensi hasil 6 – 7 t/ha GKG (BBLITPA, 2009 dan Departemen RI., 2008). Sesuai potensi yang ada maka daerah ini dapat menghasilkan gabah kering sebanyak 2. 741. 916 t per tahun untuk tanaman padi gogo di lahan kering sehingga sangat mendukung suksesnya program pemerintah daerah Sulawesi Selatan untuk surplus beras sebanyak 2 juta ton mulai tahun 2009. Proporsi pengembangan padi gogo yang baru mencapai areal 1% tersebut sangat rendah dibandingkan dengan areal padi sawah, menunjukkan masih kurangnya perhatian pemerintah daerah mengembangkan padi gogo sebagai salah satu program pemanfaatan lahan kering yang tersebar luas di daerah ini untuk produksi bahan makanan pokok. Ada beberapa faktor penyebab sehingga masyarakat belum banyak tertarik dalam mengelola lahan kering untuk padi gogo antara lain adalah 1). ketersediaan inovasi teknologi budidaya dan varietas unggul baru padi gogo yang relative masih terbatas dibandingkan dengan padi sawah 2). Sosialisasi teknologi pengembangan padi gogo belum intensif 3). Daya tarik kinerja dan produktivitas usahatani padi sawah sudah sangat baik sehingga menarik hampir seluruh perhatian petani dan pemerintah untuk ikut mengembangkan usahatani padi sawah tersebut dan melupakan pengelolaan lahan kering yang sangat potensial untuk padi gogo 4). Organisasi kelembagaan kelompok tani padi gogo belum berkembang dan 5) Adanya kendala abiotik pengelolaan lahan kering untuk padi gogo seperti kekurangan air, tingkat kesuburan tanah yang rendah, kemasaman yang tinggi (pH rendah), dan seringnya ditemukan unsur-unsur beracun seperti Aluminim (Al) dan besi (Fe) dengan kadar yang tinggi dalam tanah sehingga menghambat pertumbuhan dan tingkat produktivitas tanaman. Toha (2007) mengemukakan bahwa lahan kering umumnya memiliki produktivitas rendah, ketersediaan hara dalam tanah rendah, dicerminkan oleh komposisi mineral pasir yang umumnya miskin cadangan mineral, kecuali mineral resisten seperti kuarsa. Faktor karakter tanah yang mengandung unsur beracun seperti Al dan Fe yang tinggi serta pH masam yang sulit diperbaiki dapat dikelola dengan menggunakan varietas toleran dan kondisi tanahnya seperti uraian diatas. Kementerian Pertanian sudah melepas banyak varietas unggul baru padi gogo yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap keracunan Al dan Fe pada lahan-lahan kering bereaksi masam sebagaimana halnya padi gogo toleran terhadap penyakit tertentu pada agroekosistem lahan kering seperti penyakit blas daun dan leher malai, hama wereng coklat, hama lalat bibit, serta toleran kekeringan. Untuk itu diteliti adaptasi varietas unggul baru padi gogo tahan keracunan Aluminium (Al) di Sulawesi Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi keragaan daya adaptasi dan tingkat produktivitas 1 - 2 varietas unggul baru padi gogo toleran keracunan Al di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan dan sosialisasi varietas unggul baru untuk mendukung pengembangan usahatani padi gogo spesifik lokasi. Sedangkan keluaran yang diharapkan yaitu keragaan varietas unggul baru padi gogo toleran keracunan Al dengan tingkat produktivitas > 5 1136 t/ha gkg mendukung pelepasan dan pengembangan varietas unggul baru padi spesifik lokasi dan teridentifikasinya minimal 1-2 varietas unggul baru padi gogo toleran keracunan Al yang mempunyai produktivitas >5 t/ha gkg. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Wajo, Kecamatan Gilireng, Desa Pasalloreng. Penetapan lokasi tersebut dilakukan berdasarkan hasil analisis tanah di laboratorium sebelum tanam untuk mengetahui kadar Al (Tabel 1). Tabel 1. Hasil analisis laboratorium tanah untuk kadar Aluminium (Al) pada uji adaptasi varietas unggul baru padi gogo tahan Al di Desa Passalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten, Sulawesi Selatan, 2010. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Unsur yang dinalisis Kejenuhan Al (%) Kejenuhan Basa (%) KTK Efektif (me/100 g) Ca Mg K Na Desa Passalloreng 22 sedang 40 Sedang 9.86 7 Sedang 2 Sedang 0,2 Rendah 0.65 sedang Keriteria penilaian sifat fisik dan kimia tanah didasarkan pada buku petunjuk teknis evaluasi lahan, Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 1993, dan Ilmu Tanah karangan Sarwono Hardjowigeno, 1987. Kegiatan dilaksanakan pada pertanaman musim kering (MK) September Januari 2010. Lahan lokasi penelitian sebelum tanam terlebih dahulu dibersihkan dari berbagai rumput dan semak. Tidak ada pengolahan tanah (TOT). Penanaman dilakukan dengan tanpa olah tanah (TOT) pada tanggal 27 Septemberr 2010 di kelompok tani Mula Menre, dan tanggal 3 Oktober 2010 di kelompok tani MaccolliloloE. Benih padi ditanam dengan cara tugal. Jarak tanam seluas 20 cm x 20 cm, menggunakan benih sebanyak 5 biji per lubang tugal dengan kedalaman 3 cm. Penyulaman dilakukan paling lama 15 hari setelah tumbuh (HSTb). Jumlah varietas unggul baru padi gogo tahan Al yang diuji sebanyak 8 varietas yaitu 1). Situ Bagendit (Pembanding), 2). Situ Patenggang, 3). Limboto, 4). Danau Gaung, 5). Towuti, 6). IR42, 7). Inpari 1, dan 8). Cigeulis. Varietas tersebut mempunyai potensi hasil 5,5 sampai 10 t/ha gkg dan berumur 105 sampai 135 hari setelah semai (BBLITPA, 2009 dan Departemen RI, 2008). Tanaman dipupuk dengan dosis 150 kg Urea + 50 kg SP18 + 200 kg Phonska 15-15-15 per hektar. Cara pemupukan dilakukan dengan larikan diantara dua baris tanaman. Pengendalian hama/penyakit dilakukan berdasarkan prinsip pengelolaan hama terpadu (PHT). Pengedalian gulma dilakukan setiap saat dengan cara manual. Kegiatan ini bertepatan pada musim kemarau sehingga curah hujan sangat sedikit. Kebutuhan air selama pertumbuhan tanaman dipenuhi dengan cara penyiraman secara manual setelah air dari sungai 1137 ditampung dalam sebuah embun plastik. Panen dilakukan setelah gabah matang 90% dengan kulit gabah berwarna kuning. Metode penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan diulang 3 (tiga) kali. Luas plot penelitian 4 m x 5 m. Jarak antar plot perlakuan 50 cm dan jarak antar ulangan 75 cm. Data dianalisis dengan uji BNT. Parameter yang diamati meliputi gejala keracunan Al berdasarkan buku standard evaluation system for rice (SES) dan buku panduan pengelolaan hara tanaman padi. Tingkat keracunan Al dibagi dalam 5 skor/tingkatan masingmasing skor 1 toleran , skor 3 agak toleran, skor 5 sedang, skor 7 agak rentan, skor 9 rentan (IRRI and IRTP., 1988 dan CC., 2007). Data agronomi yang diamati meliputi tinggi tanaman (cm , jumlah malai/rumpun , jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah hampa/malai, bobot 1000 butir gabah kering kadar air 14% (g), dan hasil gabah kering giling (gkg) kadar air 14 % (t/ha). Dilakukan pula pengamatan terhadap serangan hama/penyakit, curah hujan dan suhu selama penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan vegetatif tanaman pada semua lokasi kurang optimal/lambat karena tidak ada curah hujan yang cukup mengairi tanaman selama pertumbuhan dari sejak tanam sampai panen. Selama pertumbuhannya tanaman mendapatkan air dengan cara menyiram 2 kali seminggu. Pemberian air dengan cara menyiram dilakukan sepanjang pertumbuhan tanaman sampai panen. Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau (MK) Oktober - Maret. Musim hujan berlangsung pada periode April – September setiap tahun. Menanam padi gogo diluar musim hujan sangat berisiko karena tanaman kekurangan air. Meskipun demikian, dengan cara menyiram tanaman tetap dapat tumbuh dan setiap varietas menampilkan karakter masing-masing. Beberapa varietas yang menampilkan morfologi yang bagus dan disukai petani karena yakin akan berkembang dengan baik pada musim hujan. Di lokasi kelompok tani Mula Menre, tinggi tanaman berkisar 72 – 128 cm, jumlah malai per rumpun 10-19 batang, jumlah gabah isi per malai 51 – 92 biji, jumlah gabah hampa per malai 27- 46%, bobot gabah kering 1000 butir 20 g – 25 g, dan hasil gabah kering kadar air 14% sebanyak 2,4 t – 5,1 t/ha. Di kelompok tani Maccolli loloE, tinggi tanaman berkisar 58 – 102 cm, jumlah malai per rumpun 7-15 batang, jumlah gabah isi per malai 45-77 biji, jumlah gabah hampa per malai 23-44%, bobot gabah kering 1000 butir 19 g – 22 g, dan hasil gabah kering kadar air 14% sebanyak 1,5 t – 3,7 t/ha (Tabel 2-7). Tinggi Tanaman (cm) Kecuali varietas Limboto dan IR 42 yang lebih pendek, tinggi tanaman untuk semua varietas lainnya relatif normal masih berada pada kisaran minimal dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh dengan kondisi air yang cukup tersedia (BBLITPA, 2009). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa di kelompok tani Mula Menre tinggi tanaman varietas towuti 103 cm, situ patenggang 115 cm, dan danau gaung 128 cm adalah nyata lebih tinggi 1138 dibandingkan dengan varietas Situ Bagendit sebagai pembanding dengan tinggi 91 cm. Tinggi tanaman 72 cm pada IR 42 nyata paling rendah. Di kelompok tani Maccolliloe, tinggi tanaman varietas Cigeulis 95 cm, Towuti 97 cm, Situ Patenggang 102 cm, dan Danau Gaung 110 cm adalah nyata lebih tinggi dibandingkan dengan 85 cm pada varietas Situ Bagendit (Tabel 2). Tabel 2. Hasil rata-rata tinggi tanaman (cm) pada uji adaptasi varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, MK. April - September 2010. No Varietas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Cigeulis Limboto Towuti Situ Patenggang Inpari 1 Danau Gaung IR 42 Situ Bagendit (Pembanding) KK (%) x) xx) tn) Kel. Tani Menre 100 91 103 115 92 128 72 91 11 Mula tn tn * ** tn ** ** - Kel. Tani MaccolliloloE 95 * 88 tn 97 ** 102 ** 87 tn 110 ** 58 ** 85 14 Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95% uji BNT Berbeda sangat nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 99% uji BNT Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95 % uji BNT Kedua lokasi menggunakan varietas Situ Bagendit sebagai pembanding karena varietas tersebut sering ditanam setiap musim tanam di kedua kelompok tani lokasi peneltian. Pertumbuhan varietas Situ Bagendit pada kedua lokasi kurang optimal dan tinggi tanaman yang ditampilkan lebih pendek dibandingkan dengan pertumbuhan normal dengan tinggi 99 – 105 cm (BBLITPA, 2009). Ini menunjukkan bahwa varietas Situ Bagendit kurang toleran kekeringan dibandingkan dengan beberapa varietas lainnya yang tanamannya lebih tinggi. Jumlah Malai Per Rumpun (batang) Varietas di kelompok tani Mula Menre yang menghasilkan jumlah malai paling banyak adalah Situ Bagendit sebanyak 19 batang dan paling sedikit adalah Danau Gaung dan IR 42 sebanyak 10 batang per rumpun. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kecuali varietas Danau Gaung dan IR42 yang jumlah malainya jauh lebih rendah sebanyak 10 batang, semua varietas lainnya mempunyai jumlah malai sebanyak 12 – 18 batang yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Situ Bagendit dengan jumlah malai sebanyak 18 batang. Di kelompok tani MaccolliloloE varietas Danau Gaung dan IR42 juga menghasilkan jumlah malai sedikit sebanyak 7 - 8 batang per rumpun, sedangkan seluruh varietas lainnya menghasilkan malai sebanyak 11 – 15 batang yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan jumlah malai 14 batang pada varietas Situ Bagendit (Tabel 3). 1139 Tabel 3. Hasil rata-rata jumlah malai per rumpun (batang) pada uji adaptasi varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, MK. April - September 2012. No Varietas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Cigeulis Limboto Towuti Situ Patenggang Inpari 1 Danau Gaung IR 42 Situ Bagendit (Pembanding) KK (%) x) xx) tn) Kel. Tani Menre 15 15 18 12 16 10 10 19 15 Mula tn tn tn tn tn ** ** - Kel. Tani MaccolliloloE 13 tn 12 tn 15 tn 10 tn 11 tn 7 ** 8 ** 14 10 Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95% uji BNT Berbeda sangat nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 99% uji BNT Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95 % uji BNT Sebagian besar varietas yang diuji pada kedua lokasi penelitian mempunyai jumlah malai yang normal kecuali Danau Gaung dan IR42 yang jumlahnya sangat sedikit (BBLITPA, 2009). Varietas Danau Gaung dan IR 42 tidak toleran dengan kekeringan. IR42 menghasilkan jumlah malai yang jauh lebih rendah dibandingkan potensinya yang dapat mencapai sebanyak 20 - 25 batang per rumpun (BBLITPA, 2009). Varietas IR42 hanya direkomendasikan untuk pengembangan padi sawah bukan padi gogo. Motivasi penggunaan IR42 dalam penelitian adalah karena potensi hasilnya yang tinggi sebanyak 7 t/ha dan sejarah masa lalu sebelum menjadi peka penyakit tungro yang selalu menghasilkan gabah paling tinggi dan dikembangkan luas oleh petani dalam setiap musim tanam serta dalam periode waktu bertahun-tahun. Jumlah Gabah Isi Per Malai (biji) Jumlah gabah isi per malai paling banyak di Kelompok Tani Mula Menre adalah 92 biji per malai pada varietas Danau Gaung, disusul 83 biji pada varietas Situ Patenggang, dan 79 biji pada Limboto. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ketiga varietas tersebut memberikan jumlah gabah isi per malai yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah gabah isi per malai sebanyak 59 biji pada varietas Situ Bagendit. Di Kelompok Tani Maccolliloloe seperti pada Kelompok Tani Mula Menre, varietas Danau Gaung menghasilkan jumlah gabah isi per malai terbanyak 77 biji, disusul Limboto dan Situ Patenggang 66 biji yang kesemuanya berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Situ Bagendit dengan jumlah gabah isi sebanyak 57 biji per malai (Tabel 4). 1140 Tabel 4. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. x) xx) tn) Hasil rata-rata jumlah gabah isi per malai (biji) pada uji adaptasi varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, MK. April - September 2010. Varietas Cigeulis Limboto Towuti Situ Patenggang Inpari 1 Danau Gaung IR 42 Situ Bagendit (Pembanding) KK (%) Kel. Tani Mula Menre 54 tn 79 ** 51 * 83 ** 59 tn 92 ** 52 * 59 19 Kel. Tani MaccolliloloE 49 * 66 * 45 ** 66 * 50 * 77 ** 46 ** 57 14 Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95% uji BNT Berbeda sangat nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 99% uji BNT Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95 % uji BNT Hasil penelitian mengindikasikan bahwa jumlah gabah isi per malai varietas Danau Gaung, Limboto dan Situ Patenggang tersebut sudah cukup potensial untuk menghasilkan produktivitas lebih kurang 5 t/ha gabah kering giling dengan menyesuaikan jarak tanam rapat. Sutaryo dan Samaullah (2008), melaporkan hasil penelitiannya bahwa varietas Memberamo di lahan sawah mempunyai jumlah gabah isi per malai sebanyak 97 biji, malai 16 batang, dan bobot 1000 butir gabah 28,3 g dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm memberikan hasil gabah kering giling sebanyak 5,3 t/ha. Jumlah Gabah Hampa Per Malai (%) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas yang mempunyai jumlah gabah hampa per malai yang paling rendah di Kelompok Tani Mula Menre adalah varietas Situ Bagendit dan Inpari 1 sebanyak 27 % yang tidak berbeda nyata dengan varietas IR 42 sebanyak 29 %. Jumlah gabah hampa sebanyak 33 - 46 % pada varietas lainnya nyata lebih tinggi. Sama halnya Di kelompok MaccolliloloE, varietas yang gabah hampanya nyata paling rendah sebanyak 23 % adalah Situ Bagendit dibandingkan dengan gabah hampa sebanyak 32 – 44 % pada varietas lainnya (Tabel 5). 1141 Tabel 5. Hasil rata-rata jumlah gabah hampa per malai (%) pada uji adaptasi varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, MK. April - September 2010 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. x) xx) tn) Varietas Cigeulis Limboto Towuti Situ Patenggang Inpari 1 Danau Gaung IR 42 Situ Bagendit (Pembanding) KK (%) Kel. Tani Mula Menre 36 ** 33 ** 41 ** 43 ** 27 tn 46 ** 29 tn 27 17 Kel. Tani Maccolliloloe 42 32 42 44 34 34 33 23 25 * * * * * * * - Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95% uji BNT Berbeda sangat nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 99% uji BNT Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95 % uji BNT Tingkat kehampaan gabah per malai sangat berpengaruh terhadap penilaian atau kesukaan petani terhadap suatu varietas. Varietas yang dianggap bagus antara lain jika dalam satu malai sedikit atau tidak ditemukan gabah hampa dipangkal malai meskipun terlihat bahwa panjang malai varietas tersebut mungkin pendek. Komponen ini akan menentukan penilaian terhadap komponen-komponen lainnya, atau dengan kata lain varietas yang sedikit atau tidak ada gabah hampa dalam satu malai mengindikasikan varietas tersebut kemungkinan mempunyai komponen-komponen hasil lainnya yang bagus dan dapat mendukung dihasilkannnya potensi hasil gabah yang tinggi dan berkualitas. Jumlah gabah hampa sekitar 20% adalah ideal dan cukup potensial untuk mendukung dihasilkannya produktivitas tanaman yang tinggi, asalkan komponen-komponen hasil lainnya optimal seperti jumlah rumpun minimal 160 ribu per hektar, jumlah gabah isi per malai dan malai per rumpun yang tinggi, serta bobot 1.000 butir gabah diatas 20 g. Salah satu tujuan pemupukan berimbang dan pengairan yang cukup adalah mendukung inisiasi malai secara maksimal. Bobot 1000 Butir Gabah Kering Kadar Air 14% (g) Varietas yang mempunyai bobot gabah 1000 butir paling tinggi di kelompok tani Mula Menre adalah Towuti dan Danau Gaung dengan bobot 25 g, menyusul Limboto dan Situ Patenggang 24 g yang kesemuanya berbeda nyata dibandingkan dengan Situ Bagendit dengan bobot 20 g. Di Kelompok Tani MaccolliloloE varietas Towuti dan Danau Gaung yang mempunyai bobot 1000 butir paling tinggi sebanyak 22 g dan berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Situ Bagendit dengan bobot 19 g. Seluruh varietas lainnya dengan bobot 20-21 g tidak berbeda nyata (Tabel 6). 1142 Tabel 6. Hasil rata-rata bobot gabah kering 1000 butir (biji) pada uji adaptasi varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, MK. April - September 2010. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. x) xx) tn) Varietas Cigeulis Limboto Towuti Situ Patenggang Inpari 1 Danau Gaung IR 42 Situ Bagendit (Pembanding) KK (%) Kel. Tani Mula Menre 22 tn 24 ** 25 ** 24 ** 22 tn 25 ** 22 tn 20 8 Kel. Tani Maccolliloloe 20 21 22 20 20 22 20 19 tn tn * tn tn * tn 12 Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95% uji BNT Berbeda sangat nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 99% uji BNT Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95 % uji BNT Varietas Towuti dan Danau Gaung selalu unggul pada semua lokasi yang berarti beradaptasi dengan baik sehingga bobot gabahnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Meskipun demikian sesungguhnya semua varietas mempunyai potensi bobot gabah yang lebih tinggi 23-28 g (BBLITPA, 2009) dibandingkan dengan hasil penelitian yang lebih rendah 2-28%. Faktor kekeringan selama penelitian yang menyebabkan inisiasi gabah tidak optimal atau tidak sempurna sehingga banyak menimbulkan gabah menjadi hampa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanaman pada musim hujan dengan curah hujan yang cukup beberapa diantara varietas tersebut terindikasi dapat menampilkan pertumbuhan dan bobot gabah yang tinggi untuk menunjang produktivitas tanaman yang tinggi. Hasil Gabah Kering Giling Kadar Air 14% (t/ha) Varietas yang mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi di Kelompok Tani Mula Menre adalah Towuti dan Danau Gaung sebanyak 5,1 t/ha gabah kering giling (gkg), disusul Situ Patenggang dan Inpari 1 masing-masing 4,6 dan 4,5 t/ha gkg. Varietas lainnya mempunyai hasil 3,6 – 3,7 t/ha gkg yang kesemuanya tidak berbeda nyata dibandingkan dengan hasil sebanyak 4,2 t/ha gkg pada pembanding varietas Situ Bagendit, kecuali varietas IR42 yang mempunyai hasil nyata paling rendah sebanyak 2,4 t/ha gkg. Di kelompok tani MaccolliloloE varietas Limboto mempunyai produktivitas tertinggi sebanyak 3,7 t/ha gkg disusul Towuti sebanyak 3,4 t/ha gkg kemudian varietas lainnya sebanyak 2,5 – 2,7 t/ha gkg yang semuanya tidak berbeda nyata dibandingkan dengan hasil 3,2 t/ha gkg pada varietas Situ Bagendit sebagai pembanding. Hanya varietas IR42 yang mempunyai hasil nyata lebih rendah sebanyak 1,5 t/ha gkg. (Tabel 7). 1143 Tabel 7. Hasil rata-rata gabah kering giling (gkg) kadar air 14% (t/ha) pada uji adaptasi varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, MK. April - September 2010. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. x) xx) tn) Varietas Kel. Tani Mula Kel. Tani MaccolliloloE Menre Cigeulis 3.7 tn 2.7 tn Limboto 3.6 tn 3.7 tn Towuti 5.1 tn 3.4 tn Situ Patenggang 4.6 tn 2.6 tn Inpari 1 4.5 tn 2.3 tn Danau Gaung 5.1 tn 2.7 tn IR 42 2.4 ** 1.5 ** Situ Bagendit (Pembanding) 4.2 3.2 KK (%) 14 15 Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95% uji BNT Berbeda sangat nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 99% uji BNT Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan 95 % uji BNT Semua varietas hanya mampu memberikan produktivitas 20 - 70% dari potensi hasil . Varietas Towuti dan Danau Gaung di Kelompok Tani Mula Menre dan Limboto serta Towuti di Kelompok Tani Maccolliloloe terindikasi beradaptasi dengan baik di kedua lokasi penelitian. Penanaman pada musim hujan dengan curah hujan tinggi dan mencukupi kebutuhan optimum tanaman akan dapat menghasilkan produktivitas tanaman yang tinggi sesuai potensi varietas masingmasing. Keracunan Aluminium (Al) Tingkat keracunan Al terlihat pada beberapa varietas (Tabel 8). Tabel 8. Skor tingkat keracunan Al beberapa varietas, pada uji adaptasi varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, MK. April - September 2010 No Varietas Kel. Tani Mula Menre Kel. Tani Maccolliloloe 1. 2. 3. Cigeulis Limboto Towuti 3 3 3 3 4. 5. 6. 7. 8. Situ Patenggang Inpari 1 Danau Gaung IR 42 Situ Bagendit (Pembanding) 3 7 3 3 7 3 Gejala keracunan Al pada beberapa varietas yang terserang dicirikan dengan klorosis antar tulang daun, warna daun berwarna kuning kemerahmerahan, pertumbuhan akar lambat, tanaman kerdil (CC, 2007). Uji coba 1144 pemberian larutan Al pada beberapa galur-galur padi menunjukkan pertumbuhan akar yang pendek bagi galur rentan keracunan Al (Lubis et al., 2008). Hasil penelitian yang dilakukan pada kedua lokasi memperlihatkan ada gejala keracunan Al tetapi tidak berat sehingga tanaman masih dapat menghasilhan buah atau gabah. Keracunan Al menyebabkan tanaman mengalami penurunan kualitas dan kuantitas pertumbuhan dan produktivitasnya karena kekurangan unsur hara esensial N, P, K, Ca, dan Mg dalam larutan tanah (Lubis et al., 2008). KESIMPULAN 1. Varietas unggul baru padi yang menghasilkan produktivitas di atas 5 t/ha gabah kering giling (gkg) di kelompok tani Mula Menre adalah Towuti dan Danau Gaung sebanyak 5,1 t/ha gkg. Di kelompok tani MaccolliloloE, semua varietas mempunyai produktivitas dibawah 5 t/ha gkg. 2. Gejala keracunan Al terlihat pada varietas Cigeulis, Inpari 1, IR42 dan Situ Bagendit. DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBLITPA). 2009. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Creative Commons (CC). 2007. International Rice Research Institute (IRRI), International Plant Nutrition Institute (IPNI), and International Potash Institute (IPUI). Panduan Praktis Pengelolaan Hara Padi. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulawesi Selatan. 2008. Statistik Pertanian 2007. Laporan Tahunan. Lubis, E., R. Hermanasari, Sunaryo, A. Santika, dan E. Suparman. 2008. Toleransi Galur Padi Gogo Terhadap Cekaman Abiotik. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Buku 2. Mulyani, et al. 2001.Internatioanl Rice Research Institute (IRRI) and International Rice Testing Program (IRTP), 1988. Stándar Evaluatin System for Rice. Sutaryo, B., Dan M.Y. Samaullah. 2008. Penampilan Hasil dan Komponen Hasil Beberapa Galur Padi Hibrida Japonica. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Prosisiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2bn. Buku 2. 961 halaman. 1145 UJI PEMANFAATAN BEBERAPA SUBSTRAT LOKAL SEBAGAI MEDIA TUMBUH JAMUR TIRAM Abdul Wahab1 dan Gusti Ayu Kade Sutariadi2 Balai Pengkaian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara 2 Pengajar Jurusan Agroteknolog, Faperta Universitas Haluoleo 1 ABSTRAK Salah satu jenis jamur edible yang banyak berkembang di masyarakat adalah jamur tiram. Media tanam merupakan salah satu masalah yang muncul dalam budidaya jamur tiram. Tujuan kajian ini adalah menguji beberapa substrak lokal sebagai media tumbuh jamur tiram. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 ulangan masing-masing ulangan menggunakan 20 baglog. Dengan perlakuan 3 substrat lokal yaitu dedak, ampas tahu, dan ampas sagu, serta kontrol sebagai perlakuan standar. Hasil yang diperoleh dari kajian ini adalah substart lokal dedak berpengaruh nyata terhadap percepatan waktu panen tubuh buah jamur tiram yang terjadi 85 hari setelah inokulasi, dan produksi jamur tiram segar yang tertinggi yang ditumbuhkan juga pada substrat pemberian dedak yaitu rata-rata 250 gram /kg substrat dengan jumlah tudung sebanyak 35 buah. Kata kunci : Jamur tiram, media tanam, substrak lokal. PENDAHULUAN Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu dari puluhan jamur edible yang dibudidayakan petani/pengusaha, bernilai ekonomi, potensi, dan prospek sebagai sumber pendapatan. Pasar masih terbuka lebar baik untuk tujuan domestik maupun ekspor. Jamur tiram dipasaran dalam bentuk segar dengan harga jual relative stabil Rp 9000 sampai Rp 10.000. Dibandingkan dengan harga jual jenis sayuran lainnya, seperti cabai, tomat, kubis, dan lain-lain yang selalu mengalami fluktuasi harga yang tajam setiap waktu, serta sulit untuk memprediksi harga jual yang stabil,maka harga jual jamur ini stabil setiap waktu. Jamur tiram juga berfungsi sebagai sumber senyawa bioaktif yang dapat digunakan sebagai obat (Lindequies at el ,2005; Sumiati, 2005) . Jamur tiram selain sebagai bahan makanan yang memiliki gizi tinggi dan bioaktif untuk obat, biasa juga digunakan sebagai penghasil enzim ligninolitik yang penggunaannya digunakan pada industry pulp dan kertas, remediasi daerah bekas tambang, penjernihan air (water clean up), dan biodeguming serat rami (Jeffries dan Viikari, 1996), biosensor untuk senyawa fenol dan oksigen, reaksi katoda dalam sel biofuel (Bulter et al ,2003), dan degradasi hidrokarbon aromatic polisiklik (Baldrian et al, 2000). Masalah yang terungkap pada budidaya jamur tiram yaitu produktiiatas rendah. Penyebabnya antara lain (1) substrak media produksi tidak diperbaiki, (2) bibit yang diperoleh dari sumber yang sama dengan strain yang sama tidak unggul, (3) bibit kadaluarsa, (4) tidak melakukan pembaharuan bibit, (5) tempat budidaya jamur kurang higienis, karena itu terjadi kontaminasi pada substrat berkisar antara 5-20% (Sumiati et al ,2004). 1146 Media tumbuh jamur merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan jamur tiram hingga menghasilkan tubuh buah yang bernilai ekonomis. Untuk meningkatkan produktivitas jamur tiram, salah satu cara yaitu memperbaiki kualitas substrat dengan inovasi aplkasi bahan suplemen yang berbahan baku lokal untuk substrat, maka substrat harus mengandung selulosa, hemisellulose, lignin, karbohidrat terlarut (glukosa dan sakarin), serta makro lemen penting (N,P,K, DAN Ca), mikroelemen essensial (Fe, Mn, Zn, B, Co, Mo, Mg, Cu, dan Ni), dan iar 65-70% seta pH 6-7 (Senyah et al, 1989; Shim, 2001). Pada umumnya substrat yang digunakan sebagai bahan baku media tumbuh jamur tiram adalah dedak. Sebagai konsekuensi akan timbul masalah jika suatu saat terjadi kekurangan stok dedak, oleh karena itu perlu dikaji berbagai substrat alternatif. Untuk mengantisipasi semakin langkanya bahan suplemen berupa bekatul, kegiatan penelitian ini diuji/dikembangkan beberapa substrat lokal sebagai bahan baku alternatif pembuatan media tumbuh jamur tiram. Penelitian bertujuan untuk memperoleh jenis bahan suplemen lokal alternative yang sesuai untuk substrak jamur tiram, murah, dan mudah mendapatkannya. Dengan aplikasi suplemen yang sesuai, diharapkan hasil bobot jamur tiram meningkat. METODOLOGI Penelitian dilakukan di lahan petani di Kabupaten Konawe Selatan dari Bulan Januari sampai Desember 2009. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 ulangan masing-masing ulangan menggunakan 20 baglog. Dengan perlakuan 3 substrat lokal yaitu dedak, ampas tahu, dan ampas sagu, serta kontrol sebagai perlakuan standar. Biakan murni strain jamur tiram (Pleurotus ostreatus) ditumbuhkan pada media potato dextrose agar (PDA). Biakan murni jamur tiram diperbanyak dengan cara memperbanyak koloni bibit jamur. Selanjutnya bibit jamur dari biakan murni ditumbuhkan ke dalam media induk (mother spawn) berupa bekatul yang dikemas dalam botol. Botol media bibit induk distrilkan menggunakan autoklaf pada tekanan (P) 1,5 lb, temperature 121oC selama 2 jam. Media bibit yang telah ditumbuhi miselium jamur tiram disebut bibit induk generasi ke-1. Bibit induk yang telah diperoleh, kemudian diperbanyak sekali lagi ke dalam media bibit sebar (spawn substrate) steril (generasi ketiga). Bibit sebar selanjutnya digunakan untuk memproduksi tubuh buah jamur tiram. Caranya yaitu setiap 10 gram bibit sebar diinokulasi ke dalam substart. Sebelum diinokulasi dengan bibit sebar jamur tiram, substrat untuk produksi jamur tiram yang telah diberi suplemen, dan bahan campuran lainnya kemudian dikemas dalam kantong plastik transparan tahan panas kapasitas 1 kg substrat, dan ujung baglog diikat dengan karet gelang. Substrat dipasteurisasi selama 8 jam pada temperature 90oC. Substart yang dikemas dalam kantong plastik disebut baglog. Setelah selesai pasteurisasi, substrat didinginkan sampai mencapai temperature kamar. 1147 Selanjutnya substrat diinokulasi dengan 10 g bibit sebar, pada bagian ujung baglog disumbat kapas steril dan kemudian diberi cincin paralon penahan kapas dan bagian ujung sisa plastik baglog diikat dengan karet gelang. Pemberian leher baglog yang disumbat kapas bertujuan untuk mengalirkan udara segar dari luar ke bagian dalam substrat secara steril pada saat pertumbuhan selanjutnya. Substrat selanjutnya diinkubasi pada ruangan inkubasi temperatur 24-28 oC tanpa cahaya, sampai miselium bibit jamur tiram tumbuh 50-60% pada baglog substrat (3-4 minggu setelah inokulasi bibit sebar). Baglog yang telah ditumbuhi miselium, selanjutnya dipindahkan ke dalam rumah jamur, Baglog ditempatkan pada rak-rak bambu dalam rumah jamur dengan posisi berbaring dan ditumpuk sebanyak 3 lapisan baglog per satu lapisan rak. Selanjutnya pada 2-3 minggu setelah baglog diletakkan di dalam rumah jamur, tumbuh bakal tubuh buah jamur tiram berupa butiran kelompok jamur tiram berukuran kecil dan berwarna putih kecoklatan. Baglog dipelihara sampai selesai panen dengan cara menyiram lantai ruang rumah jamur dan baglog dengan air bersih langsung secara basah kuyup menggunakan selang plastik dan melakukan penyemprotan ke ruangan dengan cara menyetel mata sprayer untuk menhasilkan semprotan kabut, dengan tujuan untuk mencapai kelembaban (RH) rumah jamur 98%. Ruang rumah jamur bercahaya remangremang dan berventilasi cukup. Pada budidaya jamur tiram, tubuh buah mulai tumbuh setelah miselium bibit tumbuh memenuhi seluruh substrat pada baglog atau munculnya tubuh buah kecil bersamaan dan berwarna putih kecoklatan dengan pertumbuhan lanjut dari miselium bibit jamur tiram putih. Jamur tiram dipanen setelah tubuh buah yang pertama tumbuh membesar maksimum. Panen dilakukan dengan cara mencabut tubuh buah sampai akarnya. Parameter yang diamati meliputi waktu panen, tinggi batang, diameter batang, diameter tudung, jumlah tudung, dan rata –rata bobot panen per baglog. Data uji pemanfaatan beberapa subtrat lokal sebagai media tumbuh jamur tiram terhadap pertumbuhan dan hasil jamur tiram dianalisis secara statistik menggunakan software Program SAS (Statistical Analysis System). Parameter yang dipengaruhi nyata oleh perlakuan, diuji lebih lanjut dengan DMRT (Duncan Multiplication Range Test) taraf uji 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Waktu Panen Jamur Hasil DMRT pengaruh perlakuan media tumbuh terhadap waktu panen jamur disajikan pada Tabel 2. Uji coba pemanfaatan beberapa substrat lokal sebagai media tumbuh ternyata memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap waktu panen jamur tiram. Dibandingkan dengan kontrol sebagai perlakuan standar, penggunaan media ampas tahu lebih mampu mempercepat pertumbuhan dan perkembangan miselium jamur sehingga lebih awal menghasilkan tubuh buah. Pengaruh media ampas tahu tidak berbeda nyata secara statistik dengan media dedak, yang juga mampu mempercepat waktu panen jamur tiram (Tabel 2). Hal ini senada yang dilaporkan oleh Suprapti 1148 (1988), bahwa penambahan substrat dedak dapat meningkatkan pertumbuhan miselium jamur dan mendorong pembentukan tubuh buah. Tinggi Batang dan Diameter Batang Selain mempercepat waktu panen, penggunaan media ampas tahu juga lebih mampu memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan tubuh buah jamur tiram. Hal ini nampak dari kedua peubah yang digunakan yaitu tinggi dan diameter batang, namun pengaruhnya tidak berbeda nyata dengan penggunaan media dedak (Tabel 2). Sementara itu tinggi dan diameter batang terendah terdapat pada media ampas sagu yang pengaruhnya tidak berbeda dengan kontrol. Tabel 2. Rata-rata waktu panen, tinggi batang dan diameter batang jamur tiram pada beberapa perlakuan media tumbuh Media Tumbuh Waktu Panen (hari) Kontrol 106.79 a Tinggi Batang (cm) Diameter Batang (cm) 1.86 b 0.70 b Dedak 85.71 bc 2.83 a 0.91 ab Ampas Tahu 74.48 c 2.59 a 1.17 a Ampas Sagu 98.02 ab 2.15 b 0.83 b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT =0.05 Diameter Tudung Penggunaan media ampas tahu juga lebih mampu menampilkan performa tubuh buah yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol, namun efeknya tidak berbeda secara signifikan dengan penggunaan dedak. Peningkatan diameter tudung pada perlakuan tersebut mencapai 55% dibandingkan dengan kontrol. Sementara itu diameter tudung terendah terdapat pada kontrol yang efeknya berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya (Tabel 3). Jumlah Tudung dan Bobot Panen per Baglog Berbeda dengan peubah sebelumnya, pada peubah jumlah tudung, ternyata penggunaan media dedak memberikan hasil yang lebih baik dan berbeda nyata dengan kontrol dan media ampas sagu, namun tidak berbeda dengan media ampas tahu. Peningkatan jumlah tudung pada perlakuan tersebut mencapai 150% dibandingkan dengan kontrol. (Tabel 3). Demikian pula pada peubah bobot panen, media dedak lebih mampu menampilkan hasil yang lebih baik dan berbeda nyata dengan kontrol dan media ampas sagu, namun tidak berbeda dengan media ampas tahu. Peningkatan bobot panen per baglog pada perlakuan tersebut mencapai 390% dibandingkan dengan kontrol. (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena kandungan nutrisi yang ada pada substark dedak lebih kaya dibandingkan dengan substrak yang lainnya. Happy Widiastuti et al (2007), mengungkap bahwa dedak merupakan sumber vitamin B kompleks yang umum digunakan dalam budidaya jamur tiram. Vitamin B kompleks sangat diperlukan 1149 dalam pembentukan miselium dan tubuh buah jamur. Selain itu Ikasari dan Mitcchell (1994), menambahkan bahwa dedak padi dikenal kaya akan protein, karbohidrat, dan lemak, sumber vitamin B1,B2, B3, biotin, asam pantotenat, dan besi. Tabel 3. Rata-rata diameter tudung, jumlah tudung dan bobot panen jamur tiram pada beberapa perlakuan media tumbuh Media Tumbuh Diameter Tudung (cm) Jumlah Tudung (buah) Rata-rata Bobot Panen (g) Kontrol 4.89 c 14 b 51 b Dedak 6.63 ab 35 a 250 a Ampas Tahu 7.59 a 22 ab 167 a Ampas Sagu 6.48 b 13 b 90 b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT =0.05 Walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata antara penggunaan dedak dan ampas tahu terhadap bobot panen jamur, namun secara ekonomis penggunaan dedak lebih menguntungkan. Menurut petani kooperator (berdasarkan hasil wawancara tim peneliti secara pribadi), jamur tiram yang dipanen dari media dedak memiliki tekstur tubuh buah yang lebih padat, tidak mudah hancur dan lebih tahan disimpan lama, sedangkan tekstur tubuh buah jamur dari ampas tahu relatif lebih lembut, mudah hancur dan tidak dapat disimpan lama. Di samping itu, menurut mereka, dedak lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan ampas tahu. Oleh karena itu dalam kegiatan lanjutan (usaha budidaya jamur tiram secara mandiri) petani kooperator lebih memilih menggunakan dedak sebagai bahan media tumbuh jamur tiram. KESIMPULAN Ketiga substrat lokal yang diuji dapat dimanfaatkan sebagai substrat pada medium produksi jamur tiram. Substart lokal dedak berpengaruh nyata terhadap percepatan waktu panen tubuh buah jamur tiram yang terjadi 85 hari setelah inokulasi, dan produksi jamur tiram segar yang tertinggi yang ditumbuhkan juga pada substrat pemberian dedak yaitu rata-rata 250 gram /kg substrat dengan jumlah tudung sebanyak 35 buah. DAFTAR PUSTAKA Baldrian, p., C. Wiesche, J. Gabriel, F. Nerud dan F. Zadrazil. 2000. Influence of cadmium and mercury on activities of ligninolytic enzymes and degradation of polycyclic aromatic hydrocarbons by Pleurotus ostreatus in soil. Appl. Environ. Microbiol., 66. 2471-2478. 1150 Bulter, T., M. Alcalde, V. sieber, P. Meinhold. 2003. Fungtional expression of a fungal laccase in Saccharomyces cerevisiae by directed evolution. Appl. Environ. Microbiol., 69, 987-995 Happy Widiastuti, Siswanto dan Suharyanto. 2007. Optimalisasi pertumbuhan dan aktivitas enzim ligninolitik omphalina sp dan Pleurotus ostreatus pada fermentasi padat. Menara perkebunan , 2007, 75(2), 93-105 Ikasari, L. dan D.A. Mitchell. 1994. Protease production by Rhizopus oligosporus in solidstate fermentation. World J. Microbiol Biotechnol., 19, 171-175. Jeffries, T.W. dan L, Viikari. 1996. Enzymes for pulp and paper processing. Washington American chemical society, 326p. Lindequies, U., T H J Niedermeyer dan Wolf Dieter Julich. 2005. The Pharmacological potential of mushroom. Evid. Based complement Alternat. Med., 2(3):285-299. Senyah, J., R. Robinson, and J. Smith. 1989.The effect of Phosphate on the development of Phytase in the Wheat Embryo. Physiol.Plant. 20: 10661075. Shim, M.S. 2001. Phisiology of substrate fermentation and substrate making. Mushrooms 5(2):53-77. Sumiati, E. 2005. Teknologi budidaya Jamur Edibel. Leaflet. Balai Penelitian Tanaman sayuran Lembang. 2 Hlm Sumiati., S.Sastrosiswojo, dan A.W.Hadisuganda. 2004. Identifikasi Permasalahan Budidaya Jamur Edible Komersial. Laporan Survey P. Jawa, Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. In Press. 17 Hlm. Suprapti, S. 1988. Budidaya Jamur Perusak Kayu I. Pengaruh Penambahan Dedak Terhadap Produksi Jamur Tiram . J. Penelit. Hasil Hutan, 5 (6), 337-339. 1151 VARIABILITAS HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADA VARIETAS PADI MEMBERAMO DI PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN Baso Aliem Lologau Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian Variabilitas Hama dan Penyakit Tanaman pada Varietas Padi Memberamo di Pantai Barat Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengetahui spesies hama dan penyakit yang dominan pada pertanaman padi di musim hujan dan di musim kering. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Lamalaka, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng pada pertanaman musim hujan (MH) yaitu mulai bulan Oktober 2010 sampai Maret 2011 dan pada pertanaman musim kering (MK) yaitu April sampai September 2011. Pengamatan hama dan penyakit dilakukan dalam tiga petak pengamatan. Petak pengamatan seluas 0,25 ha dipilih secara purposive dalam satu hamparan lahan. Dalam tiap petak pengamatan diambil 3 unit contoh pengamatan secara acak sistematik yang masingmasing terletak di garis diagonal petak pengamatan. Pada setiap unit contoh pengamatan diamati 10 rumpun tanaman padi yang ditentukan secara acak sistematik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi spesies hama dan penyakit yang menyerang di pertanaman musim hujan adalah hama Penggerek batang (Scirpophaga innotata) dengan tingkat populasi 3,33-4,33 larva/10 rumpun, Wereng hijau (Nephotettix virescens Distant) dengan kepadatan populasi 3,33 ekor/10 rumpun, dan Kepinding tanah (Scotinophara coarctata), dengan kepadatan populasi 2,67 ekor/10 rumpun, serta penyakit hawar daun bakteri (Xanthomonas campestris) dengan intensitas serangan 9,0 11,25%, sedangkan pada pertanaman padi di musim kering ditemukan Penggerek batang (kepadatan populasi 2,37 – 3,33 ekor/10 rumpun), Wereng hijau (kepadatan populasi 5,33 ekor/10 rumpun), dan penyakit Hawar daun bakteri (intensitas serangan 8,0 – 15,0%). Komposisi spesies predator Coccinella (Cirtorhinus sp), Laba-laba Lycosa, Capung ditemukan di musim hujan dan musim kering. Pada musim kering ditemukan juga Paedorus fuscifes. Produksi gabah kering panen di musim hujan dan di musim kering masing-masing 6,39 dan 7,50 t/ha. Kata kunci: Kelimpahan, hama, penyakit, padi PENDAHULUAN Sulawesi Selatan termasuk daerah penghasil utama padi di Indonesia yang mempunyai lahan sawah seluas 576.964 ha dengan rata-rata produksi sekitar 5,03 t/ha (Anonim, 2010). Produksi tersebut masih lebih rendah dibanding produksi yang dicapai hasil penelitian Badan Litbang Pertanian sekitar 6,0-9,0 t/ha (Badan Litbang Pertanian, 2008). Adanya kesenjangan hasil tersebut antara lain disebabkan oleh serangan hama dan penyakit pada varietas padi yang mungkin telah patah sifat ketahanannya. Setiap varietas yang dilepas telah diuji sifat ketahanannya terhadap hama dan penyakit tertentu. Apabila varietas tersebut ditanam terus menerus makan sifat ketahanannya dapat terpatahkan oleh hama da penyakit. Varietas memberamo tahan terhadap serangan wereng coklat biotipe 1 dan 2 dan agak tahan wereng coklat biotipe 3, tahan hawar daun 1152 bakteri strain III dan agak tahan tungro dengan potensi hasil 7,5 t/ha (Suprihatno, 2009). Sedangkan tingkat produktivitas rata-rata ditingkat petani hanya berkisar 4 – 5,5 t/ha. Pencapaian tingkat produktivitas ini dipengaruhi antara lain oleh serangan hama dan penyakit tanaman. Dalam agroekosistem tanaman padi terdapat berbagai habitat serangga fitofaga (hama) dan habitat serangga carnivora (musuh alami), serta habitat fitopatogen. Serangga hama yang sering ditemukan pada pertanaman padi di Sulawesi Selatan antara lain adalah penggerek batang, wereng coklat, wereng hijau, walang sangit, lalat padi, kepinding tanah, dan ulat grayak. Sedangkan jenis penyakit padi adalah hawar daun bakteri, blas, tungro, bercak daun Cercospora, dan hawar pelepah. Kelimpahan serangga fitofaga pada tanaman padi dipengaruhi oleh kualitas nutrisi tanaman itu sendiri, seperti kandungan nitrogen jaringan dan metabolit sekunder (Awmack dan Leather, 2002), serta aktivitas memangsa dan memarasit dari musuh alaminya. Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui spesies hama dan penyakit yang dominan pada pertanaman padi di musim hujan dan di musim kering. METODOLOGI Penelitian dilakukan di lahan petani di Kelurahan Lamalaka, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng pada pertanaman musim hujan (MH) yaitu mulai bulan Oktober 2010 sampai Maret 2011 dan pada pertanaman musim kering (MK) yaitu April sampai September 2011. Pengamatan hama dan penyakit dilakukan dalam petak pengamatan. Dalam satu hamparan pertanaman padi Varietas Memberamo dipilih 3 petak pengamatan secara purposive yang luasnya masing-masing 0,25 ha. Dalam tiap petak pengamatan diambil 3 unit contoh pengamatan (a, b, dan c) secara acak sistematik yang masing-masing terletak di garis diagonal petak pengamatan (Gambar 1). Pada setiap unit contoh pengamatan diamati 10 rumpun tanaman padi yang ditentukan secara acak sistematik. Pengamatan dimulai pada rumpun tanaman yang pertama ditentukan secara acak, kemudian untuk pengamatan rumpun tanaman ke-2 sampai ke-10 ditentukan dengan menggunakan masing-masing interval 5 langkah dari rumpun tanaman sebelumnya. 1153 a b c Gambar 1. Penyebaran unit contoh pengamatan dalam petak pengamatan. Pengamatan populasi hama, intensitas serangan hama dan penyakit, serta populasi musuh alami dilakukan setiap 10 hari yang dimulai pada umur tanaman 10 hari setelah tanam (hst). Selain itu diamati pula hasil panen gabah kering panen pada setiap petak pengamatan. Perhitungan intensitas serangan hama penggerek batang dan tikus (yang merusak tunas dan malai), dan walang sangit (gabah), dan penyakit blas dan busuk leher (leher malai dan batang), tungro, kerdil rumput (rumpun), bercak coklat (gabah), kerdil hampa (malai) yang menyebabkan kerusakan mutlak pada tanaman menggunakan rumus: dimana I = intensitas serangan (%), a = jumlah tanaman atau bagian tanaman yang terserang, dan b = jumlah tanaman atau bagian tanaman yang tidak terserang. Perhitungan intensitas serangan hama seperti hama wereng batang coklat (rumpun) dan walang sangit (malai), dan penyakit blas, bakteri hawar daun, bakteri daun bergaris, bercak coklat, bercak daun coklat bergaris (daun), dan bakteri hawar pelepah daun (pelepah daun) yang menyebabkan kerusakan tidak mutlak pada tanaman menggunakan rumus: I= x 100% dimana I = intensitas serangan (%), n = jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati dari tiap kategori serangan, v = nilai skala pada tiap kategori serangan, Z = skala kategori serangan tertinggi, dan N = Jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati. Nilai kategori serangan oleh hama dan penyakit menggunakan skala kerusakan yaitu: skala 0 = tidak ada serangan (sehat), skala 1 = 0 - 25% luas bagian tanaman yang rusak, skala 2 = >25 - 50% luas bagian tanaman yang rusak, skala 3 = >50 - 75% luas bagian tanaman yang rusak, dan skala 4 = >75 - 100% luas bagian tanaman yang rusak. Data-data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. 1154 HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Hama dan Penyaki Tanaman Variasi spesies hama dan penyakit tanaman pada pertanaman musim hujan mirip dengan pertanaman musim kering. Spesies hama dan yang menyerang di pertanaman musim hujan adalah hama Penggerek batang (Scirpophaga innotata), Wereng hijau (Nephotettix virescens Distant), dan Kepinding tanah (Scotinophara coarctata), serta penyakit Hawar daun bakteri (Xanthomonas campestris), sedangkan pada pertanaman padi di musim kering ditemukan Penggerek batang, Wereng hijau, dan penyakit Hawar daun bakteri (Tabel 1). Pada tabel tersebut tampak bahwa hama dan penyakit yang dominan menyerang tanaman padi pada musim tanam hujan (MH) dan musim tanam kering (MK) adalah hama pengerek batang dan penyakit hawar daun bakteri. Tabel 1. Keragaan serangga hama dan penyakit tanaman padi pada pertanaman musim hujan dan pertanaman musim kering. Pertanaman pada Musim Hujan (MH) Umur (hst) 10 20 30 40 50 60 70 Jenis Penggerek batang Penggerek batang Wereng hijau Kepinding tanah Penggerek batang - Populasi Intensitas serangan ...Ekor/10 rumpun... % 3,33 3,67 3,33 2,67 4,33 - 7,50 10,00 9,00 - Pertanaman pada Musim Kering (MK) Jenis Populasi Intensitas serangan ...Ekor/10 rumpun... % Penggerek batang 2,37 7,50 Penggerek batang Wereng hijau Penggerek batang Hawar daun bakteri 5,67 5,33 3,33 - 10,00 8,20 8,00 80 Hawar daun bakteri - 9,00 Hawar daun bakteri - 10,64 90 Hawar daun bakteri - 11,25 Hawar daun bakteri - 14,27 Hawar daun bakteri - 15,00 100 - - - Hal ini menunjukkan bahwa hama dan penyakit tersebut diatas berpotensi menyebabkan kerusakan tanaman padi baik di musim hujan maupun di musim kering, sehingga dapat direncanakan strategi pengendaliannya secara preemptif dan secara responsif. Fonemena ini sesuai yang dilaporkan oleh Baco (1992) bahwa penggerek batang padi putih merupakan spesies dominan dan termasuk hama terpenting kedua sesudah hama tikus di Sulawesi Selatan. Di sektor Barat Sulawesi Selatan, 1155 penggerek batang lebih dominan pada fase vegetatif di musim kemarau, sedang di sektor Timur lebih dominan di musim hujan (Baco, 1992; Baco et al., 1995; Misnaheti et al., 2010). Namun demikian, terdapat perbedaan dominasi penggerek batang dengan lokasi penelitian di Kabupaten Bantaeng. Serangan penggerek batang di Kabupaten Bantaeng dominan terjadi pada fase vegetatif tanaman di musim hujan dan di musim kemarau yang disebabkan karena wilayah ini beriklim peralihan antara sektor barat dengan sektor timur. Pada awal fase pertumbuhan vegetatif, tanaman padi telah mulai terserang hama penggerek batang pada umur 20 hst di pertanaman musim hujan dengan tingkat populasi 3,33 larva/10 rumpun dan intensitas serangan 7,50%. Sedangkan di pertanaman musin kering, penggerek batang mulai ditemukan pada umur 30 hst dengan tingkat populasi 2,37 larva/10 rumpun dan intensitas serangannya mencapai 7,50%. Serangan hama penggerek batang berlangsung sampai umur 70 hst. Kehadiran wereng hijau dan kepinding tanah hanya melakukan serangan insedentil (hama kadang-kadang) dan bahkan wereng hijau ini tidak menularkan virus tungro karena tidak ditemukan adanya gejala tungro pada tanaman padi. Serangan penyakit hawar daun bakteri terjadi pada fase generatif tanaman baik di musim hujan maupun di musim kering. Bahkan intensitas serangan penyakit ini pada musim kering (8,0 - 15,0%) lebih tinggi dari musim hujan (9,0 – 11,0%). Hal ini disebabkan pada musim kering di daerah ini mempunyai kelembaban yang tinggi karena masih mendapat hujan peralihan dari sektor timur dan lahan sawah yang selalu digenangi air karena khawatir terjadi kekurangan air. Komposisi Musuh Alami Spesies predator yang ditemukan pada tanaman padi mulai umur 20 sampai 70 hst pada pertanaman musim hujan adalah Coccinella (Cirtorhinus sp), Laba-laba Lycosa, Capung. Sedangkan di musim kering terdapat predator yang sama pada musim hujan dan juga ditemukan Paedorus fuscifes. Tingkat populasi gabungan dari predator yang bersifat polifag ini bervariasi antara 2,33 – 6,33 ekor/10 rumpun tanaman padi pada setiap pertambahan umur tanaman 10 harian (Tabel 2). Tabel 2. Keragaan musuh alami pada pada pertanaman musim hujan dan pertanaman musim kering. Umur tanaman (hst) 10 20 30 40 50 1156 Pertanaman pada Musim Hujan (MH) Jenis Populasi ...Ekor/10 rumpun... Laba-laba, Capung 4,33 Coccinella, Laba5,67 laba, Capung Laba-laba 2,33 Pertanaman pada Musim Kering (MK) Jenis Populasi ...Ekor/10 rumpun... Coccinella, Laba2,67 laba, Capung Laba-laba, Capung 6,33 - Lanjutan… Umur tanaman (hst) 60 70 Pertanaman pada Musim Hujan (MH) Jenis Populasi ...Ekor/10 rumpun... Laba-laba, Capung 6,33 - - Pertanaman pada Musim Kering (MK) Jenis Populasi ...Ekor/10 rumpun... Coccinella, Laba-laba, 3,67 Paedorus Laba-laba, capung 4,67 Hubungan antara populasi hama dengan populasi predatornya pada pertanaman musim hujan dan musim kering menunjukkan pola regresi kuadratik dengan koefisien determinasi masing-masing R2 = 0,94 dan R² = 0,92 (Gambar 1). Pertanaman Musim Hujan Pertanaman Musim Kering Gambar 1. Hubungan antara populasi hama dan predator pada pertanaman padi musim hujan dan musim kering. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi predator sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi hama. Peningkatan populasi hama akan diikuti dengan peningkatan populasi predator sampai pada tingkat kelimpahan populasi optimum, selanjutnya populasi hama dan predator menurun karena terjadinya persaingan untuk memperoleh makanan didalam spesies predator yang sama maupun dengan spesies predator lainnya. Keragaman dan komposisi arthopoda seperti predator pada Tabel 2 ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah ketersediaan nutrisi (Forkner dan Hunter, 2000). Matson (1980) melaporkan bahwa kandungan nutrisi dalam serangga mangsa berpengaruh terhadap pertumbuhan serangga predator yaitu merangsang bertambahnya ketahanan tubuh, pertumbuhan, reproduksi, dan kelangsungan hidupnya. 1157 Produksi Gabah Pengamatan produksi padi menunjukkan bahwa produksi Gabah Kering Panen (GKP) pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena pada musim kering terjadi lama dan intensitas penyinaran matahari yang lebih baik sehingga proses fotosintesis berlangsung lebih optimal bila di bandingkan pertanaman padi di musim hujan. Tabel 3. Produksi gabah kering panen di musim hujan dan di musim kering. Produksi GKP ....t/ha... 6,39 6,50 Musim Tanam Musim Hujan Musim Kemarau KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hama pengerek batang padi dan penyakit hawar daun bakteri yang dominan menyerang pertanaman padi di musim hujan sama dengan di musim kering. 2. Komposisi spesies predator pada musim hujan dan musim kering adalah Laba-laba Lycosa, Capung dan Coccinella (Cirtorhinus sp), tetapi pada musim kering terdapat pula predator Paedorus fuscifes. Kelimpahan populasi predator sangat dipengaruhi oleh kelimpahan populasi mangsanya dengan R2 = 0,94 di musim hujan dan R² = 0,92 di musim kering. 3. Produksi gabah kering panen di musim kering lebih tinggi daripada musim hujan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada saudara Supardi dan Sadorra, masing-masing sebagai teknisi pada BPTP Sulswesi Selatan atas partisipasinya selama pelaksanaan kegiatan ini. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Sulawesi Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. Awmack, C. S. dan S. R. Leather. 2002. Host Plant Quality and Fecundity In Herbivorous Insects. Annual Review of EntoMOLogy 47:817-44. Baco D., M. Yasin, dan Surtikanti. 1995. Penggerek batang padi dan strategi pengendaliannya di Sulawesi Selatan. Dalam Kinerja Pen. Tan. Pangan. p: 528-540. Baco, D. 1992. Komposisi spesies penggerek batang padi di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada Kongres IV PEI Yogyakarta 26-30 Januari 1992: 8p. 1158 Badan Litbang Pertanian. 2008. Varietas unggul baru padi. Laporan Tahunan. Forkner, R. R. E., and Hunter, M. D. 2000. What goes up must come down. Nutrient addition and predation ressure on oak herbivores. Ecology 81: 1588-1600. Matson, J.W. 1980. Herbivory in relation to plant nitrogen content. Annual Review of Ecological System 11 : 119 – 161. Misnaheti, Baco, D. dan Aisyah. 2010. Tren Perkembangan Penggerek Batang Pada Tanaman Di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 27 Mei 2010 Suprihatno, B., A. A. Daradjat, Satoto, Baehaki S.E., I. N. Widiarta, A. Setyono, S. Dewi Indrasari, Ooy S. Lesmana, dan H. Sembiring. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1159 INVENTARISASI, IDENTIFIKASI, DAN TINGKAT SERANGAN HAMA PENYAKIT TANAMAN SAYURAN DAN BUAH DALAM KEGIATAN M-KRPL DI KABUPATEN LUWU SULAWESI SELATAN Asriyanti Ilyas dan Sahardi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Sudiang, Makassar Telp: 081354687497. E-mail: [email protected] ABSTRAK Salah satu OPT penting pada tanaman tomat ialah kutu kebul, Bemisia tabaci Genn. (Ordo Hemiptera: Famili Aleyrodidae), yang merupakan vektor penyakit virus kuning Begomovirus (bean golden mosaic virus). Di Indonesia, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan begomovirus pada tanaman tomat di daerah Bogor dan sekitarnya dapat mencapai kurang lebih 50 - 70%. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui jenis hama atau penyakit dengan tingkat serangan tertinggi dan mengetahui intensitas gejala penyakit Virus Kuning pada tanaman tomat. Kegiatan dilaksanakan di Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, mulai Januari hingga Desember 2012. Bahan-bahan yang digunakan yaitu tanaman hortikultura yang terdiri dari 3 kelompok, yaitu Kelompok Buah 8 jenis tanaman (tomat, cabe besar, cabe kecil, terong, paria, gambas, timun, dan pepaya), Kelompok Daun 5 jenis tanaman (bayam, sawi, kangkung, seledri, dan daun bawang) dan Kelompok Polong-Polongan 1 jenis tanaman (kacang panjang). Setiap jenis tanaman terdiri dari 25 ulangan, sehingga total terdapat 350 unit pengamatan. Pengamatan jenis hama dan penyakit, gejala serangan, dan tingkat serangan dilakukan secara visual pada setiap tanaman pada umur empat minggu dan delapan minggu, dikumpulkan, dicatat, didokumentasikan dalam bentuk foto, dan diidentifikasi. Pengamatan intensitas gejala serangan penyakit virus kuning pada tanaman tomat dihitung menggunakan rumus intensitas gejala virus (Green et al. 2005). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di antara 14 jenis tanaman sayuran dan buah yang ditanam pada program M-KRPL di Kabupaten Luwu, intensitas serangan tertinggi adalah penyakit Virus Kuning yang dibawa oleh hamaB. tabaci pada tanaman tomat, dengan tingkat serangan 75 %. Kata kunci: Tomat, Bemisia tabaci, Begomovirus, Virus Kuning PENDAHULUAN Tanaman hortikultura mendapat banyak gangguan hama dan penyakit. Pada peningkatan budidaya tanaman hortikultura, masalah penyakit tumbuhan akan semakin menonjol, baik pada tanaman yang tumbuh di lapang, maupun pada hasil yang disimpan maupun diangkut. Perkembangbiakan hama penyakit umumnya sangat bergantung pada kondisi iklim mikro (iklim sekitar), seperti temperatur, kelembaban, intensitas cahaya, peredaran udara, dan faktor musuh alami (Masmawati, 2007). Tomat (Lycopersicum esculentum L.)merupakan salah satu komoditi hortikultura sayuran unggulan di Indonesiakarena nilai ekonomi dan kandungan gizinya(Hasanudin 2006).Permintaan tomat di beberapa negara terus meningkat dari waktu kewaktu sejalan dengan meningkatnya rata-rata konsumsi tomat 1160 danmeningkatnya jumlah penduduk.Pada tahun 2004 luas pertanaman tomat diIndonesia mencapai 52.719ha dengan produktivitas 118,9 ku/ha dan produksi 626.872 ton. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan produksi pada tahun2003 yaitu sebesar 657.459 ton dan produktivitas 173,3 ku/ha, sedangkan luaspertanaman tomat hanya 47.884 ha (Direktorat Jenderal Bina Produksi Holtikultura 2005). Tanaman tomat sebagai salah satu tanaman hortikultura, tidak luput dari masalah hama dan penyakit. Salah satu OPT penting pada tanaman tomat ialah kutu kebul, Bemisia tabaciGenn. (Ordo Hemiptera: Famili Aleyrodidae). Bemisia tabaci dapat menimbulkan kerusakan secara langsung dan tidak langsung.Secara tidak langsung, B. tabaci merupakan vektor penyakit virus kuning (Bellows et al. 1994; Setiawati et al. 2011). Setiawati et al. (2011) melaporkan bahwa berdasarkan hasil wawancara degan petani tomat, kehilangan hasil akibat serangan B. tabaci dan penyakit virus kuning berkisar antara 20 – 100 persen. Begomovirus (bean golden mosaic virus) penyebab penyakit virus kuning dilaporkan sebagai salah satu virus yang berperanmenyebabkan penurunan produksi yang sangat besar di banyak daerah tropis dan subtropis. Di Indonesia,beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa seranganbegomoviruspadatanaman tomat di daerah Bogor dan sekitarnyadapat mencapai kurang lebih 50-70% (Sudionoet al.2004; Aidawati dan Hidayat, 2002). Hasil penelitian Mehtaet al. (1994) dan Aidawati (2006) menunjukkan bahwapersentaseseranganbegomovirusmeningkat dengan meningkatnya jumlah serangga vektornya, yaitu B.tabaciatau di Indonesia dikenal dengan nama kutukebul. Luas panen tanaman tomat di Kabupaten Luwu pada tahun 2010 adalah 316 ha, dengan produksi mencapai 791 ton atau rata-rata 2,50 ton/ha (BPS Provinsi Sulsel, 2011). Produksi tomat yang dihasilkan juga sangat dipengaruhi oleh faktor iklim setempat. Adapun kondisi iklim di Kabupaten Luwu adalah secara umum Kabupaten Luwu beriklim tropis basah, terbagi atas 2 musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Intensitas curah hujan termasuk sedang.Curah hujan berkisar antara 2000 – 4000 mm/tahun. Suhu udara ratarata berkisar antara 30,60oC – 31,60oC pada musim kemarau dan antara 25 oC – 28oC pada musim penghujan (Portal Resmi Kabupaten Luwu, 2013). Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui jenis hama atau penyakit dengan tingkat serangan tertinggi dan mengetahui intensitas gejala penyakit Virus Kuning pada tanaman tomat. Kegiatan dilaksanakan di Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, mulai Januari hingga Desember 2012. METODOLOGI Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, yang berada pada titik koordinat 120o 36’ 59” Bujur Timur dan 3o 30’76” Lintang Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan mulai Januari hingga Desember 2012. Bahan-bahan yang digunakan yaitu tanaman sayuran hortikultura yang terdiri dari 3 kelompok tanaman sayuran hortikultura, yaitu Kelompok Buah 8 jenis tanaman (tomat, cabe besar, cabe kecil, terong, paria, gambas, timun, dan 1161 pepaya), Kelompok Daun 5 jenis tanaman (bayam, sawi, kangkung, seledri, dan daun bawang) dan Kelompok Polong-Polongan 1 jenis tanaman (kacang panjang). Setiap jenis tanaman terdiri dari 25 ulangan, sehingga total terdapat 350 unit pengamatan. Pengamatan jenis hama dan penyakit, gejala serangan, dan tingkat serangan dilakukan dengan pengamatan secara visual pada setiap tanaman pada umur empat minggu dan delapan minggu, dikumpulkan, dicatat, didokumentasikan dalam bentuk foto, dan diidentifikasi. Pengamatan intensitas gejala serangan penyakit virus kuning pada tanaman tomat dihitung menggunakan rumus intensitas gejala virus (Green et al. 2005): Σ (n x v) I= x 100 % NxV Dimana: I = Intensitas gejala serangan n = Jumlah tanaman yang termasuk ke dalam skala gejala tertentu v = Nilai skala gejala tertentu N = Jumlah tanaman yang diamati V = Nilai skala keparahan yang diamati Adapun skala keparahan gejala diklasifikasikan sebagai berikut: 0 = Tanaman sehat tidak menuinjukkan gejala serangan 1 = Tanaman menunjukkan gejala kuning dan mosaik ringan 2 = Tanaman bergejala kuning dan mosaik sedang 3 = Tanaman bergejala kuning dan mosaik berat 4 = Tanaman bergejala kuning, malformasi, tanaman kerdil Kategori serangan OPT pada suatu areal pertanaman berdasarkan ketentuan BIMAS dapat digolongkan sebagai berikut: Ringan : < 15 % Sedang :>15 %- 25 % Berat : > 25 %- 50 % Sangat Berat: 50%- 75 % Puso : > 75 % (gagal) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Inventarisasi hama/penyakit pada tanan sayuran dan buah yang ditanam pada kegiatan M-KRPL di Luwu tahun 2012 diketahui bahwa dari 14 tanaman sayur dan buah yang ditanam terdapat 9 jenis tanaman yang terserang hama dan penyakit dan 5 jenis tanaman yang bebas. Tanaman yang terserang penyakit yaitu: Tomat, Cabe besar Cabe Rawit/kecil, Terung, Paria, Kangkung, Gambas, Kacang panjang dan Pepaya. Tingkat serangan berpariasi dari ringan sampai berat.Secara rinci intensitas serangan hama/penyakit masing-masing jenis tanaman seperti tersaji pada Tabel 1.Juga dapat 5 jenis tanaman bebas dari serangan hama dan penyakit yaitu taman Sawi, Bayam, Daun Bawang, Seledri dan Timun. 1162 Tabel 1. Hasil inventarisasi hama dan penyakit tanaman hortikultura pada program M-KRPL di Dusun Toangkajang Desa Saluparemang Selatan Kecamatan Kamanre Kabupaten Luwu Tahun 2012. No 1. Tanaman Tomat 2. Cabai Besar 3. Cabai Kecil 4. Terung 5. 6. Sawi Paria 7. 8. Bayam Kangkung 9. Gambas 10. 11. Seledri Daun bawang Kacang panjang 12. 13. 14. Timun Pepaya Gejala Serangan Hama/Penyakit Daun mosaik kuning-hijau, kecilkecil dan keriting, buah sedikit dan kecil. Bercak daun coklat tua sampai hitam dengan lingkaran sepusat seperti papan sasaran Bercak kuning pada daun dengan batas kurang jelas. Bercak sisi bawah daun berlapis beledu ungu kehijauan. Gejala mosaik dan berkerut pada daun, tanaman kerdil, buah sedikit dan kecil. Gejala mosaik dan berkerut pada daun, tanaman kerdil, buah sedikit dan kecil. Sisa-sisa epidermis daun bagian atas, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja. Virus Kuning oleh Vektor B. tabaci. Cendawan Alternaria Daun mengkerut, pucuk mengeriting dan melingkar, pertumbuhan tanaman terhambat atau kerdil. Sisa-sisa epidermis daun bagian atas, transparan dan tinggal tulang-tulang daun. Bekas gorokan pada daun memanjang, berkelok-kelok dan transparan. Kutu daun berkelompok di bawah permukaan daun, menghisap cairan daun muda (pucuk). Eksudat yang dikeluarkan kutu mendorong tumbuhnya cendawan embun jelaga pada daun dan menghambat proses fotosintesa. Bintik-bintik kuning yang jelas pada daun pepaya menyebabkan daun menjadi belang. Tgkt. Sera ngan (%) 75 Kategori 10 Ringan Cendawan 15 RinganSedang Virus kuning oleh vector B. 20 Sedang Virus kuning oleh vector B. 5 Ringan Ulat grayak (Spodoptera litura) 10 Ringan Kutu daun (Aphis gossypii Glover) 5 Ringan Ulat grayak (Spodoptera litura) Hama ulat penggorok daun (Liriomyza sp.) - 5 Ringan 48 Berat - - Kutu Daun 5 Ringan Bercak cincin (Papaya ringspot virus) 3 Ringan Fulvia fulva tabaci tabaci Sangat Berat 1163 Gejala penyakit dengan tingkat serangan tertinggi terjadi pada tanaman tomat, yaitu sebesar 75 % dengan kategori serangan sangat berat, yang meningkat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Berdasarkan hasil identifikasi gejala serangan, diperoleh data bahwa penyakit yang menyerang adalah penyakit Virus Kuning yang ditularkan oleh vektor serangga Bemisia tabaci Genn.Virus ditularkan oleh kutu putih atau kutu kebul (Bemisia tabaci) secara persisten, yang berarti selama hidupnya virus terkandung di dalam tubuh kutu tersebut.Virus tidak ditularkan lewat biji dan juga tidak ditularkan lewat kontak langsung antar tanaman. Setiawati et al. (2011) menyatakan bahwa insiden gejala dan serangan penyakit virus kuning meningkat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman dan berkorelasi positif dengan populasi B. tabaci. Aidawati (2006) menyatakan bahwa spesies dan keanekaragaman Begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat sangat tinggi dan penyebarannya di lapangan sangat ditentukan oleh aktivitas serangga vektor kutukebul, B. tabaci. Gejala serangan virus kuning pada tanaman tomat yang diamati adalahpada daun terjadi bercak-bercak hijau muda atau kuning yang tidak teratur.Bagian yang berwarna lebih muda tidak dapat berkembang secepat bagian hijau yang biasa sehingga daun menjadi berkerut atau terpuntir, buahnya sedikit dan kecil, dan tanaman menjadi kerdil.Hal ini sejalan dengan pernyataan Aidawati (2011), bahwa pengamatan dilakukan berdasarkan pada gejala infeksi Begomovirusyang berupa daun mengecil, menguning,cupping, keriting daun, dantanaman menjadi kerdil. Salah satu faktor penentu tingginya tingkat gejala serangan virus kuning yang dibawa oleh B. tabaci adalah kondisi iklim lokal.Kabupaten Luwu beriklim tropis basah, terbagi atas 2 musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau.Intensitas curah hujan termasuk sedang.Curah hujan berkisar antara 2000 – 4000 mm/tahun. Masmawati (2007) menyatakan bahwa faktor iklim sangat berperan terhadap perkembangbiakan hama, diantaranya adalah temperatur, kelembaban, kadar air, cahaya, dan aerasi. Beberapa faktor laintingginya persentaseinfeksi begomoviruspada tanaman tomat mungkin disebabkan sumber inokulum dan vektor penyakit tersebut selalu ada di areal pertanaman. Menurut Nakhla dan Maxwell (1998)dalam Aidawati (2011), beberapa faktor yang mendukung penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Begomovirusadalah populasi vektor yang tinggi, kultivar tomat yang rentan, penanaman tomat yang secara terus menerus, migrasi vektor dari tanaman yang ada didekatnya daninfeksi tomat dipersemaian yang tidak dilindungi. Pemerintah telah menetapkan Pengendalian Hama Terpadu sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman.Pasal 20 ayat 1, Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang berdasar pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Dalam pelaksanaannya, PHT merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat (petani) dan pemerintah (pasal 20 ayat 2). Pengendalian penyakit yang dianjurkan adalah dengan menerapkan Manajemen Kesehatan Tanaman, artinya tanaman harus dikelola agar selalu tetap sehat, karena tanaman yang sehat akan lebih tahan terhadap infeksi virus. Beberapa rekomendasi pengendalian yang ramah lingkungan disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut (Untung, 1993). 1164 Tabel 2. Beberapa rekomendasi pengendalian virus ramah lingkungan No. 1. 2. 3. Obyek Tanah Bibit Pesemaian 4. 5. Pestisida Lingkungan sekitar tanaman. 6. Penanaman Pengendalian Pemupukan berimbang, pembalikan tanah. Penggunaan bibit sehat Pengerudungan dengan kain kasa; tempat pesemaian jauh dari sumber penyakit. Penggunaan pestisida nabati Sanitasi lingkungan di sekitar pertanaman termasuk menghilangkan gulma dan eradikasi tanaman sakit sejak awal pertumbuhan Mengatur waktu tanam agar tidak bersamaan dengan tingginya populasi serangga penular, jarak tanam yang tidak terlalu rapat, dan pergiliran tanaman dengan tanaman yang bukan inang dari virus maupun serangga. KESIMPULAN 1. Terdapat 14 jenis tanaman yang diusahakan pada kegiatan M-KRPL di Kabupaten Luwu, 9 diantaranya terserang hama/penyakit dengan intesitas rendah sampai tinggi 2. Tanaman Tomat mendapat intensitas serangan penyakit tertinggi yaitu penyakit Virus Kuning yang mencapai tingkat serangan 75%. DAFTAR PUSTAKA Aidawati, N. dan Hidayat S.H., 2002. Deteksi Dan Identifikasi GeminivirusPadaTanaman Tomat Menggunakan TeknikPolimerase Chains Reaction[makalah khusus]. Bogor:Program Pascasarjana,Institut Pertanian Bogor. Aidawati N, 2006. Keanekaragaman Begomovirus pada Tomat dan Serangga Vektornya, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae), serta Pengujian Ketahanan Genotipe Tomat terhadap Strain Begomovirus. Repository of Bogor Agriculture University.http://repository.ipb.ac.id. (7 Juni 2013). Bellows, JR. T.S, Perring T.M., Gill R.J., and Headrick DH. 1994. Description of ASpecies ofBemisia(Homoptera: Aleyrodidae). Ann. EntoMOLogy Society Am. 87: 195 – 206. BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Sulawesi http://www.bps.sulsel.go.id. (8 Juni 2013). Selatan, 2011. Direktorat Jenderal Bina Produksi Holtikultura. 2005. Luas Panen, Rata-Rata Hasil dan Produksi Tanaman Hortikultura di Indonesia. Jakarta: Departemen Pertanian.http://database.deptan.go.id (8 Juni 2013). Green, S.K., W.S. Tsai, S.L. Shih, Y.C. Huang, and L.M. Lee., 2005. Diversity of Begomoviruses of Tomato and Weeds in Asia, InYeh Ku, Wang, and Chang (Eds.) Proceeding of The International Seminar on Whitley 1165 Management and Control Strategy. Taichung, Taiwan. Oct. 3 – 8, 2005. P. 19 – 66. Hasanudin A. 2006. Inovasi Teknologi Unggulan Pertanian Mendukung PrimaTani.Workshop Pemantapan Pelaksanaan Prima Tani 2006.Bogor, 510 Maret 2006.http://www.litbang.deptan.go.id/varietas. (7Juni 2013). Masmawati, 2007.Infestasi Serangga Hama Pada Perbedaan Struktur Fisik dan Komposisi Bahan Kimia.Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sulawesi Selatan.Hal. 54 – 63. Mehta PJ, Wayman JA, Nakhla MK, Maxwell DP. 1994. Transmission of tomato yellow leaf curl Gemini virusbyBemisia tabaci(Homoptera ; Aleyrodidae).Journal Econ.EntoMOLogy.87: 1291-1297. Portal Resmi Kabupaten Luwu, 2013.http://www.kabupaten_luwu.go.id.8 Juni 2013. Sudiono, Hidayat SH, Suseno R, Sosromarsono S. 2004. Penggunaan Teknik PCR dan RFLP untuk Deteksi dan Analisis Virus Gemini pada Tanaman Tomat yang Berasal dari Berbagai Daerah di Jawa Barat dan Lampung. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika4(2): 89-93. Setiawati, W., N. Gunaeni, Subhan, dan A. Muharram, 2011.Pengaruh Pemupukan dan Tumpangsari Antara Tomat dan Kubis Terhadap Popoulasi Bemisia tabaci dan Insiden Penyakit Virus Kuning pada Tanaman Tomat. Jurnal Hortikultura. 21(2): 135-144. Untung, K., 1993. Pengantar Pengelolaan Terpadu. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. 1166 SURVEI INTENSITAS SERANGAN Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense) PENYEBAB PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA BEBERAPA VARIETAS PISANG (Musa spp.) DI KABUPATEN BONE, SULAWESI SELATAN Astiani Asady1 dan Idaryani2 Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Bone 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan 1 ABSTRAK Salah satu kendala yang mengancam produksi pisang di dalam negeri adalah serangan penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense (E.F.Smith) Snyd dan Hans. (Foc).Cendawan ini merupakan patogen tulartanah yang paling ganas menyerang tanaman pisang di dunia, baik perkebunan pisang tradisional maupun komersil. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui intensitas serangan penyakit layu Fusarium pada beberapa sentra pertanaman pisang di Kabupaten Bone; (2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya intensitas serangan penyakit layu Fusarium pada beberapa sentra pertanaman pisang di Kabupaten Bone. Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Desember 2009. Metode penelitian adalah survei dan pengamatan lapangan untuk mengumpulkan data mengenai kondisi pertanaman dan praktik budidaya yang dilakukan oleh petani serta mengitung intensitas serangan penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas serangan tertinggi pada jenis tanaman pisang kepok di Kecamatan Amali (66,67%), sedangkan intensitas serangan terendah dari jenis tanaman pisang barangan di Kecamatan Ulaweng (3,33%). Perbedaan intensitas serangan penyakit layu Fusarium diduga dipengaruhi oleh kondisi pertanaman maupun praktek budidaya yang dilakukan oleh petani. Kata kunci : Fusarium, pisang, Kabupaten Bone PENDAHULUAN Pisang (Musa spp.) adalah salah satu komoditas buah paling penting di dunia dan dikonsumsi oleh penduduk dari 125 negara. Total produksi pisang dunia setiap tahun mencapai 80 juta ton dengan nilai lebih dari US$ 8 milyar. Kurang lebih 90% dari total produksi tersebut dikonsumsi dan diperdagangkan secara lokal oleh masing-masing negara penghasilnya, serta 11% dari 80 juta ton tersebut diperdagangkan secara ekspor (Nasir, 2007). Di Indonesia luas lahan kebun pisang yang ada sampai pada tahun 2001 mencapai luasan 760.923 ha dengan produksi sebesar 4.300.422 ton. Sebaran daerah produksi berada di hampir seluruh wilayah di Indonesia, dan daerah sentra produksi yang tertinggi berada di Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah) yaitu sebesar 57%. Daerah lainnya berada di pulau Sumatera (antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung) sebesar 17 %, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 12%, dan Sulawesi (Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara) sebesar 8%. Sampai tahun 2004 luas panen pertanaman pisang di Indonesia mencapai 300.000 ha dengan produksi sebesar 4.400.000 ton. Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi pisang di Indonesia dengan potensi luas lahan sebesar 35.035 ha (Anonim, 1167 2005). Total dari produksi pisang yang dihasilkan Indonesia, kurang lebih 90% digunakan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, sedangkan sisanya ditujukan untuk memenuhi permintaan pisang luar negeri (Anonim, 2002). Khusus di Kabupaten Bone, komoditas pisang memanfaatkan lahan seluas 7.783 ha dengan produksi sebesar 99.979 kuintal. Adapun wilayah pengembangan komoditas pisang pada tahun 2006 di Kabupaten Bone adalah: Kecamatan Lamuru, Ulaweng, Lappariaja, Amali, Tellu SiattingE dan Dua BoccoE dengan jumlah petani sebanyak 617 kepala keluarga. Jangkauan wilayah pemasaran untuk komoditas pisang adalah pasar lokal, antar kecamatan dan antar desa dalam kabupaten. Beberapa jenis pisang yang banyak dibudidayakan dan dikembangkan di Kabupaten Bone adalah pisang kepok, pisang barangan, pisang susu, dan pisang raja. Kendala utama yang kini dihadapi di beberapa sentra produksi pisang dalam 10 tahun terakhir adalah serangan layu Fusarium yang mengakibatkan kerusakan cukup luas dan sulit ditanggulangi. Kemampuan untuk mengendalikan layu pisang relatif masih terbatas, baik dari segi pengetahuan, keterampilan, maupun kemampuan finansial. Apabila kita asumsikan bahwa tanaman yang terserang tersebut akan rusak dan mengakibatkan kegagalan panen, maka secara finansial/ perhitungan ekonomi, petani akan menderita kerugian sebesar ± 18 milyar rupiah (estimasi harga pisang Rp. 10.000,- per tandan) (Anonim, 2002). Layu Fusarium atau penyakit layu Panama atau penyakit Panama yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) adalah salah satu penyakit utama pisang yang menghancurkan pertanaman pisang bukan hanya di Indonesia, dan di beberapa negara penghasil pisang dunia seperti India, Cina dan Philipina. Penyakit ini menyerang semua kultivar pisang komersial di dunia. Menurut beberapa laporan, kerusakan pertanaman pisang di Taiwan, Malaysia, Indonesia, Vietnam dan Cina disebabkan oleh ras 4. Penyakit layu tersebut telah dilaporkan menyebar luas di benua Asia, Amerika (Latin) dan Australia. Itulah sebabnya, layu Fusarium pada tanaman pisang yang sangat merugikan secara ekonomis berada pada skala paling atas di antara kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit pisang berbahaya lainnya (Hermanto et al., 2007). Di Sulawesi Selatan, menurut laporan BPTPH (2005), berdasarkan data historis selama kurun waktu 5 tahun (2000-2004), kumulatif jumlah rumpun pisang yang terserang penyakit layu Fusarium mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, namun jumlah kabupaten/kotamadya yang melaporkan keberadaan penyakit tersebut mengalami peningkatan, dan pada tahun 2004 sudah 23 kabupaten (82%) dari 28 kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan sudah melaporkan keberadaan penyakit layu di beberapa lokasi pertanaman pisang. Di Kabupaten Bone sendiri, berdasarkan data dari Koordinator PHP Kabupaten Bone, dari 27 kecamatan yang ada di Kabupaten Bone, 16 kecamatan sudah melaporkan keberadaan penyakit layu Fusarium dengan intensitas serangan yang cukup tinggi bahkan sampai mengalami puso. Tujuan Penelitian adalah mengetahui intensitas serangan penyakit layu Fusarium dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya intensitas serangan penyakit layu Fusarium pada beberapa sentra pertanaman pisang di Kabupaten Bone. 1168 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Desember 2009 di Kecamatan Amali, Ulaweng, Tanete Riattang Barat, Barebbo, dan Tellusiattinge, yang merupakan daerah sentra pertanaman pisang di Kabupaten Bone. Metode a. Penentuan Lokasi Survei dan Pengamatan Penentuan lokasi survei dan pengamatan dilakukan berdasarkan pada daerah endemik penyakit layu Fusarium pada sentra pertanaman pisang di Kabupaten Bone (informasi dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Bone). Dari tiap lokasi (hamparan) ditentukan satu plot wilayah pengamatan (menggunakan teknik pengambilan sampel secara Purposive Sampling). Dari plot tersebut dilakukan penghitungan intensitas serangan penyakit (IP), serta pengambilan sampel tanaman pisang yang bergejala penyakit layu Fusarium. b. Penghitungan Intensitas Serangan Penyakit Penentuan intensitas serangan dihitung dengan mengamati pertanaman pisang yang bergejala penyakit layu Fusarium (rumpun) pada plot pengamatan yang telah ditentukan, kemudian dihitung dengan menggunakan rumus : a IP = x 100 % a + b Keterangan : IP = intensitas serangan penyakit a = jumlah rumpun yang diamati yang bergejala layu Fusarium b = jumlah rumpun yang diamati c. Survei dan Pengamatan di Lapangan Survei dan pengamatan di lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Metode yang digunakan adalah observasi langsung untuk mencatat hasil pengamatan terhadap kondisi fisik lapangan (kondisi pertanaman dan praktik budidaya). Juga digunakan teknik wawancara langsung kepada petani pemilik/penggarap lahan maupun informasi kunci lainnya (aparat desa, pengurus kelompoktani, PPL, PHP, dan staf instansi terkait). Data sekunder juga dibutuhkan untuk kelengkapan data yang akan diperoleh melalui penelusuran berbagai informasi dari berbagai sumber yang relevan, berupa hasil studi terdahulu (jika ada), maupun laporan yang terkait, serta data-data yang tersedia pada instansiinstansi terkait, seperti : curah hujan, kelembaban, suhu, kondisi lokasi (topografi, jenis tanah, posisi lokasi, dan sebagainya). 1169 Analisa Data Data hasil pengamatan disajikan dalam bentuk tabulasi. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis melalui tahapan penjabaran (deskriptif) dan penjelasan (eksplanatori) terkait dengan intensitas serangan penyakit layu Fusarium dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit (sistem budidaya dan kondisi pertanaman). HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Intensitas Serangan Layu Fusarium Survei dan pengamatan dilakukan di 5 kecamatan di Kabupaten Bone, yaitu Kecamatan Amali (Desa Wellulang), Kecamatan Ulaweng (Desa Jompi’e dan Desa Pallawa Rukka), Kecamatan Tanete Riattang Barat (Kelurahan Watang Palakka), Kecamatan Barebbo (Desa Congko), dan Kecamatan Tellu Siattinge (Desa Patangnga), dengan 4 jenis tanaman pisang, yaitu pisang kepok, pisang raja, pisang susu, dan pisang barangan. Hasil survei dan pengamatan dilanjutkan dengan penghitungan intensitas serangan penyakit (IP) sehingga diperoleh data seperti berikut ini : Tabel 1. Intensitas serangan penyakit layu fusarium (IP) pada beberapa jenis pisang di lokasi Survei dan Pengamatan Kode Lokasi A B C D E F G Nama Lokasi (Kecamatan/Desa) Kec. Tellu Siattinge/Desa Patangnga Kec. Amali / Desa Wellulang Kec. T.R. Barat / Kel. Wt. Palakka Kec. Ulaweng / Desa Jompi’e Kec. Ulaweng / Desa Pallawa Rukka Kec. Amali / Desa Wellulang Kec. Barebbo / Desa Congko Jenis Pisang Kepok IP (%) 46,67 Kepok Kepok Barangan Barangan 66,67 60 6,67 3,33 Susu Raja 33,33 10 Hasil survei dan pengamatan yang dilakukan pada lokasi pertanaman beberapa jenis pisang di Kabupaten Bone menunjukkan adanya intensitas serangan penyakit layu Fusarium yang berbeda-beda pada setiap lokasi survei tersebut (Tabel 1). Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang juga berbeda dari tiap lokasi pengamatan. Pada lokasi pengamatan B dan C menunjukkan IP yang cukup tinggi (lebih dari 60%). Hal ini diduga disebabkan karena pada lokasi tersebut ditanami jenis pisang kepok yang rentan terhadap penyakit layu Fusarium. Selain itu juga didukung oleh faktor ekologi yang hampir sama pada kedua lokasi tersebut yang sesuai dengan perkembangan pathogen dengan kondisi lahan yang tidak terpelihara yang banyak ditumbuhi gulma, pertanaman yang rapat dan tidak teratur, tanaman yang tidak terawat tanpa pemeliharaan secara teratur, terutama dalam hal pemupukan dan pengendalian OPT. Juga didukung dengan penggunaan bibit yang berasal dari kebun sendiri yang kemungkinan besar sudah terinfeksi penyakit layu Fusarium. 1170 Ketiga lokasi pengamatan lainnya menunjukkan IP yang cukup rendah (kurang dari 10%) meskipun kondisi pertanaman kurang bersih sampai bersemak. Hal ini diduga karena pada lokasi pengamatan D dan E merupakan lokasi pertanaman yang masih baru sehingga perkembangan penyakit belum meluas, juga dengan pengaturan jarak tanam yang cukup baik. Menurut Agrios (1996), epidemi suatu penyakit tumbuhan berkembang akibat kombinasi antara tumbuhan inang yang rentan, patogen yang virulen, dan kondisi lingkungan yang menguntungkan seperti suhu, kelembaban, angin, cahaya, pH tanah, hara tanah dan berbagai faktor lingkungan lainnya. Tingkat ketahanan tanaman sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya intensitas serangan suatu penyakit. Suhardiman (2002) mengemukakan bahwa pisang raja merupakan klon yang penyebarannya meluas dari Malaysia, Indonesia, sampai Pasifik, dan resisten terhadap penyakit layu Fusarium (panama). Sedangkan menurut Sobir (2006), pisang kepok merupakan salah satu jenis pisang yang rentan terhadap penyakit layu Fusarium dan penyakit darah. 2. Kondisi Pertanaman Pisang Hasil survei dan pengamatan di lapangan tentang kondisi pertanaman pisang disajikan pada tabel berikut : Tabel 2. Kondisi lahan pertanaman pisang pada lokasi survei Kode Lokasi Status tanaman Pisang A Tan. Sampingan B Tan. Sampingan Tan. Sampingan Tan. Sampingan E Kondisi lahan Semi bersih Kondisi Pertanaman Topografi Draenase Datar Tidak ada Semak Datar Tidak ada Semak Datar Tidak ada Berumput Datar Tidak ada Tan. Sampingan Bersih Datar Tidak ada F Tan. Sampingan Berumput Datar Tidak ada G Tan. Sampingan Semak Datar Tidak ada C D Kerapatan tanaman Tidak rapat, tidak teratur Rapat, tidak teratur Rapat, tidak teratur Agak rapat, tidak teratur Tidak rapat, tidak teratur Agak rapat, tidak teratur Agak rapat, tidak teratur Kondisi pertanaman yang rata-rata tidak terpelihara sehingga banyak ditumbuhi gulma yang dapat menjadi sumber inokulum pada pertanaman pisang berikutnya atau tanaman pisang lainnya. Diketahui bahwa banyak gulma yang dapat terserang oleh penyakit layu Fusarium sehingga 1171 kemungkinan dapat menjadi sumber inokulum pada pertanaman pisang. Foc dapat hidup pada akar rumput-rumputan dan gulma tanpa menyebabkan tanaman tersebut menjadi layu. Sifat ini disebut sebagai host intermediate (inang sementara). Menurut Gonsalves dan Ferreira (1993), inang sementara Foc antara lain Paspalum fasciculatum, Panicum purpurascens, Ixophorus unisetus, Asparagus spp., dan Commeli sp. 3. Praktek Budidaya Hasil survei dan pengamatan praktek budidaya pertanaman pisang pada beberapa lokasi pengamatan disajikan pada tabel berikut : Tabel 3. Kode Lokasi Hasil survei dan pengamatan praktek budidaya tanaman pisang pada beberapa lokasi pengamatan A Pola Tanam Polikultur B Polikultur C Polikultur D Polikultur Tan. Lain Kakao, kelapa Kakao, kelapa Kakao, kelapa Jagung E Polikultur Jagung F Polikultur Kakao G Polikultur Kakao, ubi jalar Asal Bibit Kebun sendiri Kebun sendiri Kebun sendiri Luar daerah Luar daerah Kebun sendiri Kebun sendiri Praktek Budidaya Pemupu Penyia kan ngan Tidak ada ada Peng. OPT Tidak ada Penjarang an Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Hal yang sangat mempengaruhi perkembangan serta intensitas serangan penyakit layu Fusarium pada lokasi survei dan pengamatan adalah praktek budidaya petani. Dimana pada umumnya hampir tidak ada pemeliharaan, terutama penyiangan, pemupukan, dan pengendalian OPT. Hal ini disebabkan karena tanaman pisang umumnya diusahakan sebagai tanaman sampingan sehingga pemeliharaannya kurang diperhatikan. Pemilihan bibit tanaman pisang yang akan ditanam juga sangat menentukan perkembangan penyakit layu Fusarium pada beberapa lokasi pengamatan. Hampir semua bibit yang digunakan pada pertanaman pisang tersebut berasal dari lahan sendiri, atau dari daerah lain tanpa memperhatikan kualitas bibit tersebut. Bibit yang digunakan hanya memperhatikan penampakan luarnya, tetapi tidak memperhatikan induk asal bibit, apakah bebas penyakit atau tidak, terutama penyakit layu Fusarium dan penyakit darah. Penampakan yang sehat secara visual, bukan berarti bibit tersebut bebas dari kedua jenis penyakit tersebut. Faktor kerapatan tanaman juga sangat mempengaruhi intensitas serangan penyakit. Diketahui bahwa penyakit layu Fusarium merupakan pathogen tular tanah, dimana salah satu cara perpindahan patogen dari tanaman sakit ke tanaman lain yang sehat adalah akibat persentuhan akar 1172 antara tanaman didalam tanah akibat jarak antar rumpun yang tidak teratur dan terlalu rapat. Pada lokasi pengamatan menunjukkan jarak antar rumpun yang sangat rapat dan tidak teratur sehingga sangat membantu perkembangan penyakit. Menurut Nasir (2007), jarak tanam untuk tanaman pisang yaitu 3 m x 3 m sehingga dalam satu hektar dapat ditanami 1.111 batang tanaman pisang. Selanjutnya Nasir (2002) menyatakan bahwa dalam kebun, sebaran penyakit antara lain akan terjadi karena sentuhan sesama akar dalam tanah. Sebaran ini akan meluas secara radial, dengan tanaman sakit berada di pusat lingkarannya. Sebaran ini akan semakin cepat bila tanah miskin dan kondisi tanaman lemah. Sedangkan menurut Sinaga (2002), penularan tanaman terjadi melalui akar lateral yang berkembang dari bagian akar yang dewasa. Infeksi terjadi melalui luka segar dari akar utama. Anakan bisa terinfeksi melalui akar induknya. Sekali patogen berada dalam xylem akar, dia akan berkolonisasi pada xylem dan mencapai parenkim. Pengamatan dilakukan pada awal musim kemarau. Kondisi demikian sangat mempengaruhi perkembangan penyakit layu Fusarium sehingga gejala penyakit lebih nampak. Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh keberadaan mikroorganisme non patogen didalam tanah sekitar perakaran tanaman (rizosfer) menjadi lebih berkurang karena beberapa diantaranya tidak dapat bertahan pada kondisi panas akibat kemarau. Pada lokasi pengamatan A, meskipun ditanami dengan jenis pisang yang sama, yaitu pisang kepok, tetapi menunjukkan IP (lebih dari 40%) yang lebih rendah dibanding dengan lokasi pengamatan B dan C. Begitu juga dengan lokasi pengamatan F (lebih dari 30%) yang memiliki IP lebih rendah, meskipun ditanami dengan jenis pisang yang berbeda yaitu pisang susu, tetapi jenis pisang ini juga cukup rentan terhadap penyakit layu Fusarium. Hal ini diduga karena kondisi pertanaman yang cukup bersih, juga pertanaman yang tidak terlalu rapat. Ketiga lokasi pengamatan lainnya menunjukkan IP yang cukup rendah (kurang dari 10%) meskipun kondisi pertanaman kurang bersih sampai bersemak. Hal ini diduga karena pada lokasi pengamatan D dan E merupakan lokasi pertanaman yang masih baru sehingga perkembangan penyakit belum meluas, juga dengan pengaturan jarak tanam yang cukup baik. Dari hasil pengamatan pada beberapa lokasi tersebut menunjukkan bahwa perkembangan penyakit layu Fusarium selain dipengaruhi oleh tanaman yang rentan serta faktor lingkungan yang mendukung, juga sangat dipengaruhi oleh kondisi pertanaman dan praktik budidaya yang dilakukan oleh petani, terutama dalam hal pemeliharaan tanaman dan penggunaan bibit. 1173 Gambar 1. Pertanaman Pisang Susu di Kecamatan Amali dan Pisang Raja di Kecamatan Barebbo Gambar 2. Pertanaman Pisang Barangan di Kecamatan Ulaweng dan Pisang Kepok di Kecamatan Tellusiattinge Usaha pengendalian yang telah dilakukan sampai saat ini adalah dengan membongkar dan memusnahkan tanaman yang terserang, kemudian lahan dibebaskan dari tanaman pisang selama tiga tahun, namun cara ini sangat merugikan. Pengendalian dengan kimia juga telah diuji. Hasil penelitian Nasir, Jumjunidang, dan Harlion (1992) dalam Karsinah et al. (1999) menunjukkan pemberian fungisida Benomyl dan Mencozeb melalui tanah yang dikombinasikan dengan pengapuran dan pemupukan sebelum tanam, tidak dapat mengendalikan penyakit layu Fusarium. Pengendalian dengan penanaman varietas resisten terhadap penyakit layu Fusarium merupakan salah satu alternatif pengendalian yang dianjurkan, namun belum diperoleh kultivar yang tahan terhadap penyakit ini (Karsinah et al.,1999). Usaha pengendalian preventif dapat dilakukan dengan perbaikan drainase, sanitasi lahan, penanaman varietas resisten, dan desinfeksi terhadap bibit (Suhardiman, 2002). Menurut Sinaga (2002) dalam Riyadi (2007), strategi pengendalian yang paling memungkinkan untuk mengatasi masalah layu Fusarium adalah melalui pendekatan berbasis ekologi dengan pengendalian hayati secara langsung atau tidak langsung. Selanjutnya dikatakan bahwa, tiga pendekatan umum dalam pengendalian hayati patogen tanaman yaitu : mengendalikan populasi inokulum patogen, melakukan proteksi terhadap infeksi, dan melakukan proteksi silang atau induksi resisten. Metode pengendalian yang dapat dilakukan untuk penyakit yang sistemik dan monosiklik terutama dengan menekan inokulasi awal, misalnya dengan penggunaan bibit sehat, karantina, dan menggunakan tanaman tahan. 1174 Cara pengendalian lain yang mungkin diupayakan adalah dengan mengendalikan nematoda penyebab luka, atau dengan pengendalian hayati melalui agens antagonis atau modifikasi lingkungan untuk mengaktifkan agens antagonis yang ada. Penelitian in vitro menunjukkan kemungkinan penggunaan agens antagonis (Gliocladium sp., Trichoderma sp., Chaetomium sp., dan Pseudomonas sp.). Hal ini menjanjikan karena agens antagonis yang dianjurkan ini dapat bersifat hiperparasit, berkompetisi, lisis, dan antibiosis terhadap Foc (Susana dan Sinaga, 2000 dalam Riyadi, 2007). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil survei dan pengamatan pada 5 kecamatan sentra tanaman pisang di Kabupaten Bone menunjukkan intensitas serangan penyakit layu Fusarium yang berbeda, dimana intensitas serangan tertinggi pada jenis tanaman pisang kepok di Kecamatan Amali (66,67%), sedangkan intensitas serangan terendah dari jenis tanaman pisang barangan di Kecamatan Ulaweng (3,33%) 2. Perbedaan intensitas serangan penyakit layu Fusarium diduga dipengaruhi oleh kondisi pertanaman maupun praktek budidaya yang dilakukan oleh petani Saran Teknologi sistem budidaya tanaman pisang yang lebih baik perlu diberikan untuk menunjang program pengendalian penyakit layu Fusarium khususnya di Kabupaten Bone. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1996. Plant Pathology. Penerjemah : Munzir Busnia dalam Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 713 Hal Anonim, 2002. Apresiasi Penerapan Pengolahan Tanaman Terpadu / Teknologi Maju Pisang. Download dari www.google.com pada tanggal 10 Maret 2011. Anonim, 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Pisang. Download dari www.litbangdeptan.go.id. Pada tanggal 20 Mei 2010. Anonim, 2007. Efektivitas Formulasi Bacillus Subtilis dan Pseudomas Fluorescens. Download dari www.hdl.handle.net.123456789.13949. Pada tanggal 07 Desember 2010. BPTPH Prop. Sulawesi Selatan. 2005. Laporan Tahunan BPTPH Prop. Sulawesi Selatan 2004. Gonsalves A.K., dan Stephen K. Ferreira, 1993. Fusarium oxysporum. Department of Plant Pathology, CTAHR. University of Hawaii at Manoa. 1175 Hermanto C, Sutanto A, Jumjunidang, Edison HS, Danniels JW, O’Neil W, Sinohin VG, MOLina AB, dan Taylor AB., 2007. Incidence and Distribution of Fusarium Wild Disease in India, in Van Den Bergh Proceeding International ISHS. Promusa Synposium on Global Perspektive on Asian Challenges. ISHS Act Hortikulture. 829 p Karsinah, Widaranti, A.W. Djajati, L. Sulistyowati, 1999. Patogenetas Beberapa Isolad Jamur Fusarium Oxysporum f.sp cubense pada beberapa Varietas Tanaman Pisang. Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI. Mataram 27-29 September 1999. Nasir, 2002. Strategi Jangka Pendek Menahan Laju Perluasan Serangan Penyakit Layu Pisang. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Penyakit Layu Pisang di Padang. Nasir, 2007. Karakterisasi Ras Fusarium Oxysporum f.sp. cubense dengan Metode Vegetative Compatibility Group Test dan Identifikasi Kultivar Pisang yang Terserang. Jurnal Hortikultura. Volume 13, nomor 4, halaman 267-284. Ryadi, 2007. Pola Sebaran dan Perkembangan Penyakit Layu Fusarium pada Pisang Tanduk, Rajasere, Kepok, dan Barangan. J. Hort. 12(1) : 64-70 Sinaga M. S., 2002. Biokontrol sebagai Salah Satu Penyakit Secara Terpadu. Bogor. Makalah disampaikan dalam Seminar Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia Cabang Bogor. Faperta-IPB. Sobir, 2006. Teknik Pengujian In Vitro Ketahanan Pisang terhadap Penyakit Layu Fusarium menggunakan Filtrate Toksin di Kultur Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Jurnal Hortikultura 15(2). P : 135-139. Suhardiman, 2002. Kultivar Pisang Komersial yang Diserang oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense Ras 4 di Sumatera dan Jawa Barat. Makalah dalam Kongres Nasional XVII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bandung, 6-8 Agustus 2002. 1176 PENGARUH KONSENTRASI DAN INTERVAL WAKTU PEMBERIAN LARUTAN HARA HYPONEX TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PAPRIKA (Capsicum annum var. grossum) 1 2 Herman1 dan Andi Satna2 Dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Makassar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Berlangsung mulai Januari sampai April 2010. Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan hara dan interval waktu pemberian pupuk Hyponex terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman paprika. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk percobaan faktorial dua faktor yang disusun menurut Rancangan Acak Kelompok (RAK). Faktor pertama adalah Konsentrasi larutan hara Hyponex (K) terdiri dari 1 g/ liter air, 2 g/ liter air dan 3 g/ liter air, sedangkan faktor kedua adalah Interval waktu pemberian larutan hara (I) yang terdiri dari interval 5 hari, interval 10 hari dan interval 15 hari. Hasil percobaan menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk hiponex 2 g/liter air memberikan hasil terbaik pada tinggi tanaman (18,74 cm), jumlah daun (59,56 helai), jumlah cabang vegetatif (6,06), jumlah cabang generatif (3,39), waktu berbunga (67,08 hari), jumlah buah per tanaman (3,67 buah), berat per 10 buah tanaman (705,33 g), persentase buah jadi (35,53%), berat buah per hektar (82, 98 kg). Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari memberikan hasil terbaik pada tinggi tanaman (21,23 cm), jumlah daun (63,17 helai), jumlah cabang vegetatif (6,83), jumlah cabang generatif (3,56), waktu berbunga (63,75 hari), jumlah buah per tanaman (5,00 buah), berat per 10 buah tanaman (754,26 g), persentase buah jadi (40,33%), berat buah per hektar (88,74 kg).Tidak terdapat interaksi antara konsentrasi pupuk dengan interval pemberian pupuk Hyponex. Kata kunci : Paprika, pupuk Hyponex, konsentrasi, interval. PENDAHULUAN Paprika (Capsicum annum var. grossum) merupakan jenis cabai yang bentuknya sedikit berbeda dan buahnya besar. Paprika masih digolongkan ke dalam jenis cabai Eropa (Sweet pepper) yang berasal dari Amerika yang dikenal sejak masa Colombus. Perkembangannya menyebar ke Eropa dan ditanam secara komersial dilakukan sesudah perang dunia II. Di Indonesia benihnya masih didatangkan dari Taiwan dan Jepang (Setiadi, 2005). Tanaman paprika merupakan salah satu jenis atau spesies dari tanaman cabai, dimana sebagian besar masyarakat di dunia hampir dapat dipastikan telah mengenal cabai. Paprika merupakan jenis cabai yang rasanya manis dan kurang pedas yang lazimnya disebut sweet pepper (Pracaya, 2005). Cabai paprika merupakan salah satu komoditi sayuran yang mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Saat ini belum menjadi kebutuhan rutin sehari-hari seperti halnya cabai merah. Konsumennya terbatas pada hotel, restoran, pasar swalayan dan juga perusahaan-perusahaan catering, meski demikian paprika masih merupakan jenis tanaman yang dicari dan mempunyai peluang pasar yang bagus. 1177 Menurut Harjono (1995), kandungan gizi paprika perseratus gram buah hijau segar terdiri atas : 0,9 g protein; 0,3 g lemak; 4,4 karbohidrat; 7,0 mg kalsium; 23,0 mg fosfor; 0,4 mg besi; 540 SI vitamin A; 22,0 mg vitamin B1; 0,02 mg vitamin B2; 160 mg vitamin C. Paprika seperti halnya jenis cabai lainnya digunakan untuk berbagai keperluan. Jenis cabai besar ini tergolong masih asing di Indonesia dan dapat dipastikan bahwa masyarakat mengetahui seluk beluk tanaman ini masih termasuk cara budidayanya memerlukan perhatian intensif. Untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang baik, perlu adanya keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan tanaman akan unsur hara. Pemupukan yang cukup seimbang salah satu usaha yang diharapkan dapat menunjang pertumbuhan vegetatif dan generative, (Lingga dan Marsono, 2004). Tanaman secara umum membutuhkan hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang untuk tumbuh normal. Pemupukan merupakan salah satu usaha yang dimaksudkan untuk mensuplai unsur hara sehingga tetap tersedia bagi pertumbuhan tanaman. Dengan pemupukan kadar hara dalam tanah dapat ditingkatkan guna memenuhi kebutuhan hara tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh baik dan berproduksi tinggi Ada beberapa jenis larutan hara yang biasa digunakan dan telah dikembangkan yaitu berupa pupuk majemuk yang mengandung unsur hara makro maupun mikro, beberapa contoh nutrient jadi antara lain megaflor, hyponex, vitablom, Gandasil, dan supergrow (Prihmantoro dan Indriani, 1996). Pemupukan secara tepat dan teratur merupakan salah satu tindakan untuk memperoleh pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Oleh karena itu pemberian pupuk dapat menyediakan unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Respon tanaman terhadap pemberian pupuk akan meningkat bila menggunakan jenis pupuk, dosis, waktu dan cara pemberian yang tepat (Sosrosoedirdjo, Rifai, Iskandar, 1990). Hyponex (20 – 20 – 20) mengandung unsur-unsur N 20%, P 20% dan K 20%, Unsur lainnya yaitu B, Fe, Zn, Ca, Co, Cu, Mg,Mn, Mo, dan S (Setyamidjaja, 1986). Pemberian unsur hara harus sesuai dengan jumlah dan interval waktu pemberian hara yang tepat. Pemberian unsur hara yang tepat dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan produksi. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka dilakukan percobaan mengenai pengaruh konsentrasi dan interval waktu pemberian larutan hara hyponex terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman paprika (Capsicum annum var. grossum). 1178 METODOLOGI Penelitian ini di Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Sulawesi Selatan berlangsung mulai Januari sampai April 2010. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih Paprika, Hyponex, air, tanah, pupuk kandang dan fungisida Dithane M-45, sedangkan alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah polybag ukuran 17 × 25 cm, hand sprayer, label, gembor, tali, mistar, gunting, dan alat tulis menulis. Dilaksanakan dalam bentuk percobaan faktorial dua faktor yang disusun menurut Rancangan Acak Kelompok (RAK). Faktor pertama adalah konsentrasi larutan hara Hyponex (K) dan faktor kedua adalah Interval waktu pemberian larutan hara (I). Perlakuan terdiri dari : 1. Konsentrasi Hyponex (K) K1 = 1 g/l air K2 = 2 g/l air K3 = 3 g/l air 2. Interval waktu pemberian (I) I1 = interval 5 hari I2 = interval 10 hari I3 = interval 15 hari Kombinasi perlakuan yang dicobakan adalah sebagai berikut : K1I2 K2I1 K3I1 K1I2 K2I2 K3I2 K1I3 K2I3 K3I3 Setiap perlakuan diulang tiga kali dalam kelompok dan setiap ulangan terdiri dari dua unit, sehingga keseluruhan terdapat 54 tanaman. Pembuatan Persemaian Tanaman paprika diperbanyak dengan benih. Benih yang digunakan adalah benih unggul yang telah diperjualbelikan dipasaran. Sebelum benih disemai, terlebih dahulu benih direndam dalam air selama 30 menit, agar perkecambahan benih lebih cepat. Benih disemaikan dalam wadah persemaian dengan media yang terdiri atas tanah, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan volume 1 : 1 : 1. Persiapan Pembibitan Bibit yang digunakan berasal dari benih yang telah disemaikan. Dua minggu setelah penebaran, benih sudah tumbuh. Bibit tersebut dipilih berdasarkan keragaman tumbuhnya, antara lain berbatang tegak dan kuat serta terhindar dari serangan hama dan penyakit. Setelah berumur kurang lebih tiga minggu dipersemaian dan telah berdaun 3 – 4 helai, selanjutnya tanaman muda tersebut dipindahkan pada polybag. Penanaman Media yang digunakan terdiri dari campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1. Sebelum melakukan penanaman, bibit yang akan digunakan diseleksi terlebih dahulu yang mana baik tumbunya akan dipindahkan ke tempat penanaman atau polybag Bibit yang dipilih kemudian dipindahkan kedalam wadah yang telah disiapkan dan setiap wadah ditanami satu bibit. 1179 Sebelum diberikan perlakuan tanaman dibiarkan beradaptasi selama seminggu dan selama ini tanaman hanya disiram dengan air. Setelah proses adaptasi maka pemberian hyponex sesuai perlakuan dilaksanakan. Pemberian Hara Setelah tanaman berumur tujuh hari, aplikasi pemberian larutan hara dilakukan. Pemberian Hyponex dilakukan dengan interval waktu lima hari, sepuluh hari dan lima belas hari. Dengan cara menyemprot permukaan tanaman serta permukaan media tumbuh dengan konsentrasi sesuai perlakuan yaitu 1 g/liter air, 2 g/liter air dan 3 g/liter air. Pemeliharaan Penyiraman dengan air dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore setiap hari pada awal pertumbuhan, untuk mencuci sisa-sisa garam-garam mineral yang mengendap pada media. Penyiangan dilakukan jika ada gulma yang tumbuh. Untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman paprika digunakan pestisida. Panen Panen paprika dilakukan dengan memetik buah yang masih hijau tetapi telah berukuran maksimal. Kriteria buah yang siap panen adalah buahnya yang berukuran besar, saat memetik buah paprika dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan pisau yang tajam agar tangkai buah tidak rusak. HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman Tinggi tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 1a dan 1b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman paprika Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman (cm) paprika Konsentrasi Hyponex 1g/liter air (k1) Interval Pemupukan 5 hari (i1) 10 hari (i2) 15 hari (i3) 12,10 17,00 Rata-rata NP BNT0,05 13,73 14,28c 1,89 a 2g/liter air (k2) 14,67 25,49 16,07 18,74 3g/liter air (k3) 13,13 21,20 15,27 16,53b 21,23a 15,02b Rata-rata 13,30b NP BNT0,05 1,89 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada taraf uji BNT=0,05 1180 Tabel 1 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter (k2) menghasilkan rata-rata tanaman tertinggi (18,74 cm) dan berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1) dan 3 g liter air (k3). Interval pemberian pupuk hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata tanaman tertinggi (21,23 cm) dan berbeda nyata dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2). Jumlah Daun Jumlah daun tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 2a dan 2b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun tanaman paprika. Tabel 2. Rata-rata jumlah daun (helai) tanaman paprika Konsentrasi Hyponex 1g/ liter air (k1) Interval Pemupukan 5 hari (i1) 10 hari (i2) 15 hari (i3) 52,33 61,83 Rata-rata NP BNT0,05 55,83 56,67c 1,18 a 2g/liter air (k2) 54,17 65,17 59,33 59,56 3g/liter air (k3) 52,83 62,50 59,17 58,17b 53,11c 63,17a 58,11b Rata-rata NP BNT0,05 1,18 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada taraf uji BNT=0,05 Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2) menghasilkan rata-rata jumlah daun tanaman terbanyak (59,56 helai) dan berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1) dan 3 g/liter air (k3). Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata jumlah daun tanaman terbanyak (63,17 helai) dan berbeda nyata dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2). Jumlah Cabang Vegetatif Jumlah cabang vegetatif tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 3a dan 3b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval pemupukan Hyponex sangat berpengaruh nyata, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang vegetatif tanaman paprika. 1181 Tabel 3. Rata-rata jumlah cabang vegetatif tanaman paprika Konsentrasi Hyponex 1g/liter air (k1) Interval Pemupukan 5 hari (i1) 10 hari (i2) 15 hari (i3) 3,17 5,67 Rata-rata NP BNT0,05 4,67 4,50c 0,42 a 2g/liter air (k2) 4,33 7,83 6,00 6,06 3g/ liter air (k3) 3,33 7,00 5,67 5,33b Rata-rata 3,61c 6,83a 5,44b NP BNT0,05 0,42 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada taraf uji BNT=0,05 Tabel 3 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2) menghasilkan rata-rata jumlah cabang vegetatif tanaman terbanyak (6,06) dan berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1) dan 3 g/liter air (k3). Interval pemberian pupuk hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata jumlah cabang vegetatif tanaman terbanyak (6,83) dan berbeda nyata dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2). Jumlah Cabang Generatif Jumlah cabang generatif tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 4a dan 4b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah cabang generatif tanaman paprika. Tabel 4. Rata-rata jumlah cabang generatif tanaman paprika Konsentrasi Hyponex 1g/liter air (k1) Interval Pemupukan 5 hari (i1) 10 hari (i2) 15 hari (i3) 2,00 2,67 Rata-rata NP BNT0,05 2,67 2,44b 0,55 a 2g/ liter air (k2) 2,33 4,67 3,17 3,39 3g/liter air (k3) 2,33 3,33 2,67 2,78b Rata-rata 2,22c 3,56a 2,83b NP BNT0,05 0,55 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada taraf uji BNT=0,05 Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2) menghasilkan rata-rata jumlah cabang generatif tanaman terbanyak (3,39) dan berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/ liter air (k1) dan 3 g/liter air (k3). Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata jumlah cabang generatif tanaman terbanyak (3,56) dan berbeda nyata dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2). 1182 Waktu Berbunga Waktu berbunga tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 5a dan 5b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap waktu berbunga tanaman paprika. Tabel 5. Rata-rata waktu berbunga (hari) tanaman paprika Konsentrasi Hyponex 1g/liter air (k1) Interval Pemupukan 5 hari (i1) 10 hari (i2) 15 hari (i3) 78,73 67,00 Rata-rata NP BNT0,05 71,83 72,52b 3,09 a 2 g/liter air (k2) 74,33 59,00 67,92 67,08 3 g/ liter air (k3) 74,50 65,25 70,17 69,97ab Rata-rata 75,85a 63,75b 69,97c NP BNT0,05 3,09 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada taraf uji BNT=0,05 Tabel 5 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2) menghasilkan rata-rata waktu berbunga tanaman tercepat (67,08 hari) dan berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1), tetapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 3 g/ liter air (k3). Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata waktu berbunga tanaman tercepat (63,75 hari) dan berbeda nyata dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2). Jumlah Buah Jumlah buah per tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 6a dan 6b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah buah pertanaman. Tabel 6. Rata-rata jumlah buah per tanaman paprika Konsentrasi Hyponex 1g/liter air (k1) Interval Pemupukan 5 hari (i1) 10 hari (i2) 15 hari (i3) 1,67 4,33 Rata-rata NP BNT0,05 2,67 2,89c 0,53 a 2 g/liter air (k2) 2,33 5,33 3,33 3,67 3 g/liter air (k3) 2,50 5,33 5,00 4,28b Rata-rata 2,17a 5,00b 3,67c NP BNT0,05 0,53 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada taraf uji BNT=0,05 Tabel 6 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2) menghasilkan rata-rata jumlah buah per tanaman terbanyak (3,67 buah) dan berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1) dan konsentrasi 3 g/liter air (k3). Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) 1183 menghasilkan rata-rata jumlah buah per tanaman terbanyak (5,00 buah) dan berbeda nyata dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2). Berat Per 10 Buah Berat per 10 buah dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 7a dan 7b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap berat per 10 buah tanaman. Tabel 7. Rata-rata berat per 10 buah (g) tanaman paprika Konsentrasi Hyponex 1 g/liter air (k1) Interval Pemupukan 5 hari (i1) 10 hari (i2) 15 hari (i3) 548,10 711,67 Rata-rata NP BNT0,05 605,43 621,73b 47,33 a 2 g/liter air (k2) 637,67 808,33 670,00 705,33 3 g/liter air (k3) 621,30 742,77 633,33 665,80ab Rata-rata 602,36b 754,26a 636,26b NP BNT0,05 47,33 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada taraf uji BNT=0,05 Tabel 7 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2) menghasilkan rata-rata berat per 10 buah tanaman terberat (705,33 g) dan berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1), tetapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 3 g/ liter air (k3). Interval pemberian pupuk hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata berat per 10 buah tanaman terberat (754,26 g) dan berbeda nyata dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2)Persentase Buah Jadi Persentase buah jadi tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 8a dan 8b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap persentase buah jadi tanaman. Tabel 8. Rata-rata persentase buah jadi (%) tanaman paprika Konsentrasi Hyponex 1 g/liter air (k1) Interval Pemupukan 5 hari (i1) 10 hari (i2) 15 hari (i3) 19,83 36,17 Rata-rata NP BNT0,05 25,50 27,17b 4,65 a 2 g/liter air (k2) 28,77 45,83 32,00 35,53 3 g/liter air (k3) 27,08 39,00 28,33 31,47ab Rata-rata 25,23b 40,33a 28,61b NP BNT0,05 4,65 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada taraf uji BNT=0,05 Tabel 8 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2) menghasilkan rata-rata persentase buah jadi tanaman tertinggi (35,53%) dan 1184 berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1), tetapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 3 g/ liter air (k3). Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata persentase buah jadi tanaman tertinggi (40,33%) dan berbeda nyata dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2). Berat Buah Per Hektar Berat buah per hektar dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 9a dan 9b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap berat buah per hektar. Tabel 9. Rata-rata berat buah (kg) tanaman paprika per hektar Konsentrasi Hyponex 1 g/liter air (k1) 5 hari (i1) 64,48 Interval Pemupukan 10 hari (i2) 15 hari (i3) 83,73 Rata-rata NP BNT0,05 71,23 73,15b 5,57 a 2 g/liter air (k2) 75,02 95,10 78,82 82,98 3 g/liter air (k3) 73,09 87,38 74,51 78,33ab Rata-rata 70,87b 88,74a 74,85b NP BNT0,05 5,57 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada taraf uji BNT=0,05 Tabel 9 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2) menghasilkan rata-rata berat buah per hektar terberat (82, 98 kg) dan berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1), tetapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 3 g/liter air (k3). Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata berat buah per hektar terberat (88,74 kg) dan berbeda nyata dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2). Konsentrasi Pupuk Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pupuk Hyponex 2 g/liter air air memberikan hasil yang lebih baik pada komponen pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang vegetatif, jumlah cabang generatif, jumlah buah, berat per 10 buah, persentase buah jadi dan berat buah per hektar dibandingkan penggunaan dosis 1 dan 3 g/liter air. Hal ini diduga konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air air merupakan konsentrasi optimal untuk memberikan pengaruh terbaik pada pertumbuhan vegetatif maupun generatif tanaman. Konsentrasi optimal berarti konsentrasi dimana kebutuhan tanaman sesuai dengan yang diberikan sehingga tanaman memberikan respon yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian konsentrasi yang lebih rendah dari kebutuhannya atau konsentrasi yang melewati kebutuhannya. Sebagai pupuk majemuk, pemberian Hyponex dengan konsentrasi sesuai akan menyebabkan unsur-unsur hara yang terkandung di dalam pupuk dapat diserap dengan jumlah atau kadar yang lebih optimal dibandingkan konsentrasi lainnya sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan vegetatif tanaman lebih baik, hal ini dapat dilihat dari tinggi tanaman, jumlah daun, serta jumlah cabang vegetatif. Menurut 1185 Harjadi (1993), dengan tersedianya unsur hara yang lengkap dengan jumlah masing-masing unsur hara sesuai dengan kebutuhan tanaman akan dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan bagian-bagian vegetatif tanaman. Tersedianya unsur-unsur hara dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan menyebabkan proses pembelahan sel berjalan optimal sehingga jumlah sel meningkat dan selanjutnya disusul aktivitas pemanjangan sel serta pembesaran sel-sel baru yang menyebabkan laju pemanjangan batang (tinggi tanaman) menjadi pesat, disusul pembentukan cabang serta daun yang pesat. Gardner dkk., (1991) meyatakan bahwa pertumbuhan tinggi batang terjadi di dalam meristem interkalar dari ruas. Ruas itu memanjang sebagai akibat meningkatnya jumlah sel dan terutama karena adanya pemanjangan sel yang dapat menyebabkan peningkatan sampai 25 cm atau lebih. Lebih lanjut dikatakan bahwa bila laju pembelahan dan pembesaran sel serta pembentukan jaringan berjalan baik maka pembentukan cabang-cabang serta daun akan lebih cepat pula. Aktifnya proses pembelahan sel terjadi karena ketersediaan unsur hara dalam keadaan optimal akibat pemberian konsentrasi yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Harjadi (1993) bahwa ketersediaan unsur hara yang cukup dan seimbang menyebabkan proses pembelahan sel berlangsung lebih cepat sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik. Pemberian unsur hara melalui pemupukan dengan konsentrasi optimal adalah upaya untuk mengefektifkan unsur-unsur hara. Pemberian pupuk dengan konsentrasi yang tepat akan mampu mencukupi kebutuhan hara bagi tanaman. Unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman harus berada dalam kondisi yang berimbang sehingga penyerapan hara oleh tanaman lebih efektif. Menurut Harjadi (1993), penempatan pupuk yang tepat dengan konsentrasi yang tepat merupakan faktor penting dalam pemupukan. Kemampuan tanaman dalam menyerap hara akan menambah kekuatan tumbuh bagi tanaman dan apabila unsur-unsur tersebut bekerja secara optimal maka pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih baik. Pertumbuhan vegetatif yang lebih baik selanjutnya akan menyebabkan tahapan generatif (produksi) lebih baik pula. Tanaman yang lebih tinggi ditandai dengan pembentukan cabang yang lebih banyak, jumlah cabang yang banyak akan memungkinkan tempat tumbuh daun lebih banyak pula. Jumlah daun tanaman berkaitan erat dengan peningkatan laju fotosintesis. Semakin banyak distibusi daun pada tanaman dan dengan semakin leluasa bidang permukaan daun tersebut menyerap cahaya berarti semakin banyak bidang permukaan tanaman yang dapat melangsungkan fotosintesis dengan asumsi daun yang terdistribusi merata pada batang tanaman bebas dalam menerima cahaya atau tidak saling menutupi (mutual shading). Dufrene (1990) dalam Subronto dan Muluk (1991), menyatakan bahwa banyaknya cahaya yang diabsorpsi oleh tanaman tergantung dari luas daun dan cepat atau lambatnya daun saling menutupi. Efisiensi pengalihan energi surya menjadi bahan kering banyak pula tergantung pada bentuk pertajukan tanaman. Kandungan utama unsur hara makro yakni N, P dan K dalam pupuk Hyponex akan lebih berfungsi secara optimal jika diberikan dalam konsentrasi optimal pula, dalam hal ini pemberian dengan 2 g/liter air dianggap sebagai 1186 konsentrasi paling optimal dibandingkan konsentrasi lainnya yang dicobakan, sehingga pertumbuhan vegetatif dapat berjalan lebih optimal dan lebih cepat serta stabil memasuki tahap generatif (reproduksi). Hal ini dapat dilihat dengan waktu berbunga yang lebih cepat (Tabel 5). Peran-peran unsur makro didalam pupuk dengan konsentrasi 2 g/liter air lebih terlihat dengan banyaknya jumlah bunga yang dapat menjadi buah (Tabel 8), dimana jumlah bunga yang bertahan dan tidak gugur lebih banyak, dan berkembang menjadi buah. Unsur yang dimaksud terutama K. Lingga (1991), menyatakan bahwa kalium sangat erat kaitannya dengan kualitas tanaman. Jumlah kalium yang terserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+ lebih besar dibandingkan dengan unsur kimia lainnya yang berbentuk kation. Kalium dalam tubuh tanaman sangat mempengaruhi enzim yang menentukan fotosintesis, respirasi metabolisme karbohidrat dan translokasi serta berperan memperkuat tubuh tanaman agar daun, bunga dan buah tidak mudah gugur. Semakin meningkat laju fotosintesis, laju penimbunan cadangan makanan (asimilat) akan meningkatkan hasil dan kualitasnya. Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya jumlah buah (Tabel 6) yang terbentuk disebabkan jumlah cabang generatif atau cabang-cabang yang menghasilkan bunga (Tabel 4), selain itu yang juga disebabkan karena tingginya persentase bunga yang berhasil menjadi buah. Salisbury dan Ross (1995), menyatakan bahwa kapasitas fotosintesis meningkat dengan bertambahnya jumlah daun. Gardner dkk., (1991) menambahkan bahwa semakin tinggi hasil fotosintesis, semakin besar pula penimbunan cadangan makanan yang ditranslokasikan ke organ hasil dengan asumsi bahwa faktor lain seperti cahaya, air suhu dan hara dalam keadaan optimal. Selanjutnya buah yang dihasilkan menjadi lebih berat (Tabel 7 dan Tabel 9). Komponen yang bersama-sama menentukan berat bahan kering yang tertimbun dalam bagian tanaman yang secara ekonomi berguna adalah ukuran luas permukaan fotosintesis yang menghasilkan berat kering, laju kegiatannya, pembagian hasil fotosintat kepada organ-organ hasil dan lamanya waktu penimbunan berlangsung (Goldswothy dan Fisher, 1992). Tanaman yang diberikan larutan pupuk melebihi konsentrasi 2 g/ liter air yakni 3 g/liter air nampaknya tidak lagi mendorong pertumbuhan lebih aktif, tetapi sebaliknya konsentrasi tersebut mulai menekan laju pertumbuhan tanaman, hal ini dapat dilhat dengan semakin menurunnya tingkat pertumbuhan tanaman dibandingkan konsentrasi 2 g/liter air. Sebaliknya pada konsentrasi yang lebih rendah (1 g/liter air) belum cukup untuk mendorong pertumbuhan secara optimal sehingga pertumbuhan/produksi juga tidak diperoleh secara optimal. Suseno (1981), menyatakan bahwa untuk pertumbuhan tanaman yang optimal diperlukan adanya keseimbangan unsur-unsur hara. Selanjutnya Setyamidjaja (1986), menambahkan bahwa efesiensi pemupukan yang optimal dapat dicapai apabila pupuk diberikan dalam jumlah yang sesuai kebutuhan tanaman, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Bila pupuk diberikan banyak, maka larutan tanah akan terlalu pekat sehingga dapat mengakibatkan tanaman keracunan. 1187 Interval Pemupukan Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa interval pemberian pupuk hyponex selama 10 hari memberikan hasil yang lebih baik pada komponen pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang vegetatif, jumlah cabang generatif, jumlah buah, berat per 10 buah, persentase buah jadi dan berat buah per hektar dibandingkan interval 5 dan 15 hari. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian unsur hara dengan interval 10 hari selain karena lebih efisien dalam penggunaan pupuk juga cukup untuk menunjang tersedianya unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Tanaman cabai paprika memberikan respon pertumbuhan yang optimum pada interval pemupukan 10 hari sehingga interval tersebut dianggap merupakan interval yang tepat untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Pemberian unsur hara yang tepat akan mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan produksi dan dengan waktu pemberian pupuk yang tepat dapat lebih mengefisienkan ketersediaan unsur hara. Disamping itu pertumbuhan tanaman yang baik juga didukung oleh keadaan tanah yang baik sehingga tanaman dapat tumbuh optimum. Hubungan antara tanah dan tanaman merupakan suatu sistem yang dinamis, dimana tanaman memiliki kemampuan untuk menyesuaikan pertumbuhannya dengan kondisi unsur hara dalam tanah. Kondisi unsur hara dalam tubuh tanaman merupakan interaksi dari pemberian hara dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman. Menurut Sugito dan Maftuchah (1993), menyatakan bahwa hasil analisis tanaman tidak hanya menggambarkan keadaan unsur hara pada suatu saat, tetapi menggambarkan juga ketersediaan unsur hara selama periode pertumbuhan tanaman sampai bagian tanaman yang bersangkutan diambil contohnya. Interval pemupukan 10 hari sangat membantu tanaman dalam penyerapan unsur hara khususnya bagi pertumbuhan tanaman cabai paprika pada fase vegetatif, sebab pada fase ini tanaman membutuhkan unsur hara yang cukup dan tidak berlebihan untuk pertumbuhan dan perkembangannya, selanjutnya pertumbuhan pada fase ini akan menentukan hasil tanaman pada fase berikutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwidjoseputro (1990), bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang optimal dibutuhkan unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Pemberian unsur hara baik makro maupun mikro dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Pemberian unsur hara dengan interval 5 hari juga memberikan hasil yang baik, namun kurang optimum dan penggunaan pupuk pun kurang efisien dibandingkan dengan interval 10 hari. Hal ini bisa disebabkan karena pemberian unsur hara pada tanaman lebih sering sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Lakitan (1995), bahwa apabila unsur hara tidak seimbang dan berlebihan dapat menyebabkan stress bagi tanaman yang berakibat terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selanjutnya Sandra (2005), menambahkan bahwa pemupukan yang terus-menerus dapat berakibat fatal karena tanaman tidak diberi kesempatan untuk menumbuhkan tunas baru, tetapi yang terjadi justru daun-daun tua dipaksa untuk berfotosintesis dan akibatnya sel-sel tua pada tanaman akan mati karena tunas-tunas mudanya tidak kunjung tumbuh. Demikian pula dengan interval 15 hari. 1188 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2) menghasilkan rata-rata tanaman tertinggi (18,74 cm), jumlah daun tanaman terbanyak (59,56 helai), jumlah cabang vegetatif tanaman terbanyak (6,06), jumlah cabang generatif tanaman terbanyak (3,39), waktu berbunga tanaman tercepat (67,08 hari), jumlah buah per tanaman terbanyak (3,67 buah), berat per 10 buah tanaman terberat (705,33 g), persentase buah jadi tanaman tertinggi (35,53%), berat buah per hektar terberat (82, 98 kg). 2. Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan rata-rata tanaman tertinggi (21,23 cm), jumlah daun tanaman terbanyak (63,17 helai), jumlah cabang vegetatif tanaman terbanyak (6,83), jumlah cabang generatif tanaman terbanyak (3,56), waktu berbunga tanaman tercepat (63,75 hari), jumlah buah per tanaman terbanyak (5,00 buah), berat per 10 buah tanaman terberat (754,26 g), persentase buah jadi tanaman tertinggi (40,33%), berat buah per hektar terberat (88,74 kg). 3. Tidak terdapat interaksi antara konsentrasi pupuk dengan interval pemberian pupuk Hyponex Pada penelitian ini Sebaiknya Konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air serta Interval pemberian pupuk hyponex selama 10 hari yang digunakan karena memberikan hasil yang terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman paprika. Diharapkan penelitian lebih lanjut terus dilakukan untuk mendukung hasil tersebut di atas. DAFTAR PUSTAKA Dwijosaputro, D., 1990. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia, Jakarta. Gardner, F., RB Pearce., R. L Mitchell. 1991. Physiology Of Crop Plants (Fisiologi Tanaman Budidaya : Terjemahan Herawati Susilo). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Goldsworthy, P.R., dan N.M Fisher. 1992. The Physiology Of Tropical Field Crops (Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik, Terjemahan Tohari). Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Harjadi, S, S. 1993. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. Harjono, I. 1995. Budidaya Paprika. CV Aneka Surakarta Lakitan, B., 1995. Jakarta. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada, Lingga, P. dan Marsono, 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya, Jakarta. Pracaya, 2005. Bertanam Lombok. Kanisius. Yogyakarta 1189 Prihmantoro, H., dan Y. H. Indriani, 1996. Memupuk Tanaman Buah. Penebar Swadaya. Jakarta Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Plant Physiology. (Terjemahan : Diah R. Lukman dan Sumaryono). ITB, Bandung. Sandra, E., 2005. Membuat Anggrek Rajin Berbunga. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta. Setiadi, 2005. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta Setyamidjaja, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan. CV. Simplex. Jakarta Sosrosoedirdjo, S., B. Rifai,, Iskandar S.P., 1990. Ilmu Memupuk. Jilid I. CV. Yasaguna. Jakarta. Subronto dan Muluk, H. 1991. Kajian Fisiologis dalam Rangka Mencari Tanaman Kelapa Sawit Yang Produktif. Bull. PPM Vol. 22, No. 1. Sugito,Y. dan Maftuchah, 1993 . Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Dan KCl Terhadap Pertumbuhan, Hasil Dan Kualitas Jahe Muda (Zingiber officinale Rose). Juirnal AGRIVITA, Vol. 18. No. 2. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dan Muhammadiyah, Malang. 1190 PENINGKATAN KUALITAS JERUK SIEM MELALUI APLIKASI TEKNOLOGI PRAPANEN Muhammad Taufiq Ratule dan Abdul Wahab Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara ABSTRAK Sulawesi Tenggara merupakan salah satu penghasil jeruk di Indonesia Timur. Namun demikian, kualitas jeruk yang dihasilkan masih rendah sehingga harga yang diperoleh petani rendah, kurang diminati konsumen serta kurang bersaing di pasar domestik. Kualitas jeruk yang rendah diindikasikan dengan rasa, warna dan aroma tidak menarik. Penyebab rendahnya kualitas jeruk disebabkan karena aplikasi teknologi penjarangan buah, pemupukan dan pengendalian hama/penyakit tidak dilakukan dengan sempurna. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari pengaruh penjarangan buah, pemupukan dan pengendlian hama/penyakit terhadap peningkatan kualitas jeruk siem Konawe Selatan. Penelitian ini dilakukan di desa Atari Jaya,Kec. Lalembu Kabupaten Konawe Selatan berlangsung mulai Januari 2010 sampai Desember 2010. Perlakuan yang diuji yaitu 1) Aplikasi teknologi prapanen penjarangan buah, pemupukan dan pengendalian hama/penyakit; dan 2) Kontrol. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK), diulang sebanyak tiga kali. Parameter yang diamati adalah rasa, warna, dan aroma buah serta persentase brix. Hasil uji menunjukkan bahwa aplikasi teknologi prapanen (penjarangan buah, pemupukan, dan pengendalian hama/penyakit berbedaan nyata pada persentase brix (7.65%) dengan kontrol (6.41%). Sedangkan parameter rasa (80%), warna (60%), dan aroma (80%) lebih disukai pada perlakukan yang diaplikasikan dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa kualitas jeruk siem dapat diperbaiki melalui aplikasi teknologi prapanen, seperti penjarangan buah, pemupukan, dan pengendalian hama/penyakit. Kata kunci: Jeruk Siem, Penjarangan Buah, Pemupukan, Pengendalian Hama/Penyakit, Kualitas. PENDAHULUAN Jeruk merupakan komoditas unggulan daerah strategis di Sulawesi Tenggara. Jenis jeruk yang umum dibuidayakan di Sulawesi Tenggara adalah keprok siam dan keprok siompu. Namun demikian, keprok siam merupakan jeruk yang paling luas diusahakan oleh petani di daerah ini, meskipun keprok siompu lebih unggul. Kualitas jeruk siem yang dihasilkan sangat rendah sehingga harga yang diperoleh petani sangat rendah, kurang diminati konsumen serta kurang bersaing di pasar domestik. Kualitas jeruk siam yang rendah diindikasikan dengan rasa, warna daging buah, dan aroma serta persentase brix.. Hal ini disebabkan karena praktek prapanen, khususnya pemangkasan, pemupukan, penjarangan buah, dan pengendalian hama/penyakit tidak dilakukan secara sempurna. Dilain pihak sudah ada hasil penelitian yang telah dilakukan dari BPTP Sultra tentang aplikasi komponen teknologi pra-panen diantaranya pemangkasan dan penjarangan buah; pemupukan;, pengairan; dan pengendalian hama dan penyakit 1191 menunjukkan peningkatan produksi dan kualitas jeruk keprok siompu (Abdul Wahab dan Muh. Taufiq Ratule, 2010). Masalah yang sering muncul dalam agribisnis jeruk di Sulawesi Tenggara khususnya jeruk siam diantaranya adalah rendahnya kualitas buah jeruk sehingga harga yang diperoleh petani rendah. Salah satu cara mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan kegiatan pra panen. Beberapa kegiatan pra panen yang dapat dilakukan adalah pemupukan, pemangkasan, penjarangan buah dan pengendalian hama/penyakit. METODOLOGI Penelitian dilakukan di desa Atari Jaya Kecamatan Lalembu Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara berlangsung mulai bulan Januari 2010 sampai Desember 2010. Bahan dan alat yang digunakan meliputi; pupuk (Urea, SP-36, dan KCl), gunting pangkas, pacul, ember, kantong panen, hand spayer, refraktometer, buret, gelas ukur, pisau, timbangan, perlengkapan uji organoleptik, sikat dan alat tulis. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), terdiri dari 2 perlakuan; yaitu 1) Aplikasi Paket Teknologi Pra Panen (pemupukan berdasarkan analisa tanah (Urea, SP36, dan KCl), pemangkasan, penjarangan buah dan pengendalian hama/penyakit), dan 2) kontrol (tanpa perlakuan). Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Parameter yang diamati adalah rasa, warna, dan aroma buah serta persentase brix.. Data ditabulasi dan dianalisa secara statistik menggunakan Anova dan uji lanjut menggunakan Uji BNT. HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Brix Hasil analisa statistik pada hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan teknologi pra-panen secara signifikan meningkatkan persentase brix (7,65a) dibandingkan dengan kontrol (6,41b) (Gambar 1). Pengujian kandungan gula ini sangat penting dilakukan untuk menjaga kualitas jeruk siem yang berkembang di Sulawesi Tenggara. Seperti yang dikemukakan oleh Etty Septia Sari (2011) bahwa pentingnya pengujian kandungan gula pada jeruk sebagai jaminan kualitas rasa. 7,65 a 6,41 b Gambar 1. Persentase brix pada perlakuan teknologi pra-panen dan kontrol 1192 Rasa Dibandingkan dengan tanpa perlakuan (kontrol), perlakuan teknologi prapanen memperlihatkan bahwa pada parameter rasa 80% panelis menyatakan suka dan 20% menyatakan netral(Gambar 2). Gambar 2. Hasil Uji organolaptik rasa pada perlakuan teknologi pra-panen dan kontrol Warna Perlakuan aplikasi teknologi pra-panen pada hasil uji organolaptik warna memperlihatkan 60% panelis menyatakan suka dan 40% menyatakan netral sedangkan control panelis mengungkapkan 60% netral dan 40% tidak suka (Gambar 3). Gambar 3. Hasil uji organoleptik warna pada perlakuan teknologi pra-panen dan kontrol Aroma Hasil uji organoleptik aroma menunjukkan bahwa aplikasi teknologi prapanen 80% disukai panelis dan 20 % dikategorikan panelis netral, sedangkan perlakuan kontorl 100% panelis menyatakan netral (Gambar 4). 1193 Gambar 4. Hasil uji organoleptik Aroma pada perlakuan teknologi pra-panen dan kontrol Teknologi pra-panen dalam peningkatan kualitas jeruk siem merupakan suatu paket teknologi yang terdiri atas pemangkasan, penjarangan buah, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit. Penggunaan teknologi pra-panen yang efektif sebagai pemicu menigkatnya kualitas jeruk. Salah satu komponen teknologi pra-panen yaitu pemangkasan dan penjarangan buah. Manfaat pemangkasan dan penjarangan antara lain akan mengurangi persaingan hasil fotosintesis di antara daun dan buah, dan persaingan antara buah dan buah, serta mengurangi insiden penyakit. Dalam penelitian ini diduga dengan pemangkasan dan penjarangan buah meningkatkan persentase brix, dan mempengaruhi komponen kualitas buah jeruk yang lain (rasa, warna dan aroma). Hal ini sama yang diungkapkan Ruswandi, et al (2007) bahwa pemangkasan secara berkala dan penjarangan buah meningkatkan produktivitas dan kualitas jeruk. Ditambahkan oleh Sumpena (1998) bahwa pemangkasan ruas batang pada tanaman wortel yang disisakan 5 ruas, dapat menghilangkan pengaruh dominasi ujung tanaman sehingga memberikan hasil yang lebih baik pada beberapa komponen hasil. Pada umumnya fotosintesis bersih maksimum meningkat selama pengembangan daun dan akan mencapai maksimum tepat setelah pengembangan daun penuh. Pada fase generatif hampir seluruh hasil fotosintesis akan digunakan oleh bunga dan buah yang sedang berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan daun yag maksimal akan menyebabkan bunga dan buah berkembang dengan baik (Sutapradja, 2008). Selain itu teknik pemangkasan akan mengubah lingkungan mikro serta mengurangi munculnya persaingan penggunaan fotosintesis antara buah dengan pucuk (Mangal et al 1981). Apabila pertumbuhan daun yang berlebihan dipangkas, peredaran udara di sekitar kanopi bertambah baik, kedaan ini akan mengurangi kelembaban mikro di sekitar tanaman dan seterusnya akan mengurangi insedin penyakit (Mangal et al 1981). Komponen lain dari teknologi pra-panen yang mempunyai peran penting dalam peningkatn produksi yaitu pengaplikasian pemupukan. Wang (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh 6 faktor lingkungan, yaitu : cahaya, bantuan mekanik, suhu, udara, air dan unsur hara. Sedangkan 1194 Mori (1999) mengungkapkan bahwa untuk kelangsungan hidup tanaman membutuhkan 16 unsur hara. Salah satu unsur penting yang dibutuhkan tanaman adalah nitrogen, dimana nitrogen merupakan komponen paling besar penyusun pupuk urea. Nitrogen merupakan komponen dasar dalan sintesis protein dan penyusun klorofil. Selain itu, nitrogen penting untuk reaksi enzimatik pada tanaman, karena semua enzim tanama adalah protein. Nitrogen juga penting sebagai komponen beberapa vitamin, seperti biotin, tiamin, niasin, dan riboflavin (Dou, 2004). Seperti halnya nitrogen, fosfor berperan penting dalam proses metabolism tanaman yang keberadaannya tidak dapat digantikan oleh unsur hara lain. Fosfor merupakan komponen penting asam nukleat, karena itu menjadi bagian essensial untuk semua sel hidup. Fosfor sangat penting untuk perkembangan akar, pertumbuhan awal akar tanaman, luas daun, dan mempercepat panen (Subhan,et al., 2009). Selain nitrogen dan fosfor tanaman juga membutuhkan unsur kalium. Kalium mempunyai peran dalam metabolisme air dalam tanaman, adsorpsi hara, pengaturan pernapasan, transpirasi, kerja enzim, dan translokasi karbohidrat, membentuk batang yang lebih kuat, dan sangat berpengaruh terhadap hasil tanaman baik kuantitas maupun kualitasnya (Silver-Young, 1999). Pemberian pupuk dalam penelitian ini didasarkan pada hasil analisa tanah. Keuntungan utama dari penerapan pupuk yang tepat adalah petani dapat memupuk lebih efisien karena jenis dan dosis pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan kondisi tanah (Sumarno, 2004). Pengelolaan pupuk yang tepat pelu disesuaikan dengan karakteristik tanah dan kebutuhan hara tanaman. Pemupukan yang akurat dengan mempertimbangkan: (1) jumlah unsure hara yang diberikan kepada tanaman cukup dan berimbang sesuai dengan tingkat kesuburan tanah dan keperluan tanaman untuk suatu target produksi tertentu, (2) setiap jenis pupuk harus memiliki kualitas baik dan ramah lingkungan, (3) pemberian nya menurut kaidah lima tepat, yaitu tepat jenis pupuk, kombinasi hara, dosis, waktu dan cara aplikasinya (Santoso, 2005). Selain pemangkasan, dan pemupukan, pemeliharaan (penjarangan, pengairan, pengendalian hama penyakit dan manajemen kebun), juga sangat menentukan produksi dan mutu buah (Davtyan et al,2003; Poerwanto et al, 2002; Sumarno, 2004). Aplikasi teknologi pra-panen yang lain diterapkan dalam peneltian ini adalah pengendalian hama dan penyakit. Buah yang diamati secara keseluruhan pada perlakuan tidak memperlihat adanya serangan hama dan penyakit. KESIMPULAN DAN SARAN Aplikasi teknologi prapanen (pemangkasan, penjarangan buah, dan pemupukan serta pengendalian hama penyakit) dapat meningkatkan kualitas jeruk siem, baik rasa, warna, maupun aroma. Teknologi pra-panen sangat berpotensi sebagai alternative dalam peningkatan kualitas jeruk siem, sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk mengevaluasi keefektifan dari setiap komponen teknologi pra-panen. 1195 DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab, dan Muh.Taufiq Ratule, 2011. Aplikasi Teknologi Pra Panen Untuk Perbaikan Kualitas Jeruk Siompu. Makalah disampaikan pada workshop. Davtyan, A.,D. Xuecheng, E. Sembiring, F.Mengistu, I.Vorster, and Y.G.A. Bashir, 2003. Toward a competitive jeruk production. Enhanching production and institutional factors for quality jeruk production in the North Sumatra highlands, Indonesia. ICRA-BPTP Sumut. Dou, Hy., 2004. Effect Of Cutting Application On Tomato To Growth And Yield. 515p. Etty Septia Sari, 2011. Pentingnya pengujian kandungan gula pada jeruk Pontianak (Citrus nobilis Var. Microcarpa) sebagai jaminan kualitas rasa. Unit PSMB Dinas Perindag, Pontianak Kalbar. Mangal, J., Las Sindhu, and V.C.Pandy, 1981. Effect of Staking and pruning on growth and yield of tomato varieties Indian. J. Agric. Res. 15(2):122129. Mori, S. 1999. Tresh Elementh Effect To Growth And Yield Of Tomato. Plant Biol, J.2:750-3 Poerwanto, R., S. Susanto, dan S.S. Harjadi, 2002. Pengembangan jeruk unggulan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Pengembangan Jeruk dan Pameran Buah Jeruk Unggulan di Bogor, 1011 Juli 2002. Ruswandi, A., Muharam,A., Ridwan Hilmi, Sabari, Dan Rofik S.B. 2007. Tingkat Adopsi Teknologi Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat (PTKJS). Prosiding Seminar Nasional Jeruk , Yogyakarta. Hlm 75 – 86. Santoso, J. 2005. Formulasi pupuk dan pengembangan DSS pemupukan jeruk keprok. Balai Penelitian Tanah Bogor. Badan Litbang Pertanian. Silver- Young I., 1999. Growth ,Nitrogen, And Potassium Accumulation To Weed Suspension By Fall Cover Crops Following Early Havest Of Vegetables. Hort. Sci.33(1):160-163. Subhan,N., Nurtika, dan Gunadi N., 2009. Respon Tanaman Tomat Terhadap Penggunaan Pupuk Npk 15-15-15 Pada Tanah Latosol Pada Musim Kemarau. J.Hort. 19(1):40-48. Sumarno, 2004. Program peningkatan mutu buah jeruk Indonesia. Makalah disampaikan pada Semiloka Jeruk Nasional III di Makassar, 6-8 Agustus 2004. Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Direktorat Tanaman Buah dan Masyarakat Jeruk Indonesia. Sumpena, 1998. Pengaruh jumlah tandang bunga pada batang dan satu cabang terhadap hasil dan viabilitas benih. J. Agrotropika. III(1):21-28. Sutapradja, H. 2008. Pengaruh pemangkasan pucuk terhadap hasil dan kualitas benih lima kultivar mentimun. J. Hort. 18 (1):16-20. Wang, C.Y., 2000. Physiological And Biochemical Response Of Plant To Solar Radiations And Water Strees. Hort. Science J. 17:179-186. 1196 RESPON PETANI TERHADAP PENGGUNAAN PUPUK NPK SUPER DAN HAYATI ECOFERT PADA TANAMAN KENTANG MELALUI DEMONSTRASI PLOT (DEMPLOT) DI GOWA SULAWESI SELATAN Nurjanani dan Sri Sasmita Dahlan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl .PerintisKemerdekaan Km. 17,5 Makassar ABSTRAK Pupuk merupakan salah satu penyebab penurunan produksi tanaman kentang (Solanum tuberosum). Pupuk organik yang mengandung mikroba (pupuk hayati) dari penggunaan pupuk kimia. Pupuk hayati adalah kelompok fungsional mikroba tanah yang dapat berfungsi sebagai penyedia hara dalam tanah, sehingga dapat tersedia bagi tanaman. Demplot ini bertujuan untuk memperkenalkan dan mendemonstrasikan budidaya kentang menggunakan pupuk NPK Super dan pupuk hayati Ecofert melalui penerapan secara langsung di tingkat petani, serta menghimpun respon petani terhadap demonstrasi plot berkaitan dengan teknologi yang didemonstrasikan. Demplot dilaksanakan di Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, pada bulan Juni hingga Oktober 2012. Teknologi yang didemonstrasikan adalah aplikasi pupuk NPK Super 450 kg/ha dan Ecofert 40 kg/ha, dan cara petani sebagai pembanding. Hasil demonstrasi plot dapat disimpulkan bahwa (1) Pemberian pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk hayati Ecofert 40 kg/ha pada tanaman kentang, memberikan hasil 35,38 t/ha dengan pendapatan bersih 245.457.000 atau R/C ratio 4,69. Sedangkan cara petani memberikan hasil 32,09 t/ha dengan pendapatan bersih 195.450.000 atau R/C ratio 3,64, (2) Pemberian pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk hayati Ecofert 40 kg/ha pada tanaman kentang meningkatkan jumlah produksi sebesar 3.286 kg (9,28%) atau meningkatkan pendapatan sebesar Rp 50.007.000 (20,57%), (3) Respon petani terhadap aplikasi pupuk NPK super dan Pupuk hayati Ecofert sangat baik, karena secara teknis praktis, mudah diaplikasikan, murah, kebutuhan per hektar sedikit (efisien), dan kebutuhan tenaga kerja sedikit, serta secara ekonomi meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Kata kunci : Respon petani, pemupukan, Npk Super, Hayati Ecofert, kentang PENDAHULUAN Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra pengembangan kentang di Kawasan Timur Indonesia yang tersebar di dataran tinggi wilayah Kabupaten Bulukumba, Gowa, Bantaeng , Jeneponto, Luwu Utara, Sinjai dan kabupaten Bone.Produksi kentang di Sulawesi Selatan dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami penurunan yang dapat dilihat secara berturut – turut 2008 produksi kentang mencapai 20.589 ton kemudian mengalami penurunan produksi pada tahun 2009 menjadi 9.089 ton, dan pada tahun 2010 masih mengalami penurunan produksi menjadi 7.627 ton (BadanPusatStatistik, 2011). Penyebab penurunan produksi kentang antara lain karena masalah pupuk. Pupuk organik yang mengandung mikroba (pupuk hayati) dapat dijadikan sebagai alternative dari penggunaan pupukkimia. Bahan organic diketahui dapat memperbaiki sifat kimia, fisika, dan biologi tanah. Kandungan bahan organik 1197 yang rendah di dalam tanah merupakan salah satu kendala dalam penyediaan air, udara, dan unsure hara bagi tanaman sehingga menghambat pertumbuhan dan mengurangi hasil tanaman. Sebaliknya, kandungan bahan organic dalam tanah yang cukup tinggi akan membuat kondisi tanah menjadi kondusif untuk pertumbuhan akar tanaman. Dengan demikian, serapan hara oleh tanaman, baik yang berasal dari tanah maupun yang berasal dari pupuk, lebih efekif sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman lebih baik dan penggunaan pupuk lebih efisien. Hal ini sangat penting terutama untuk tanaman kentang mengingat tanaman kentang menghasilkan umbi di dalam tanah. Jadi, tanaman kentang menghendaki tanah yang subur dan gembur untuk pembentukan dan perkembangan umbinya. Salah satu usaha untuk memanfaatkan bahan organic sebagai sumber energy utama bagi pertumbuhan tanaman kentang adalah pemberian pupuk hayatie cofert. Pupuk hayati merupakan harapan baru pertanian berwawasan lingkungan. Pupuk hayati adalah kelompok fungsional mikroba tanah yang dapat berfungsi sebagai penyedia hara dalam tanah, sehingga dapat tersedia bagi tanaman (Simanungkalit et al., 2006). Pupuk hayati berguna memperbaiki kesuburan tanah, Tidak meninggalkan residu pada hasil tanaman, dapat meningkatkan kesehatan tanah, memacu pertumbuhan tanaman dan meningkatkan produksi tanaman. Ecofert adalah pupuk hayati ramah lingkungan untuk tanaman non legume. Formula ecofert merupakan kombinasi beberapa mikroba pilihan (Bacillus subtilis, B. flexus, P. mendocina, dan Aspergillus niger), bahan pembawa (carier) yang mudah beradaptasi dan bekerja efektif pada tanah. Ecofert dengan formulasi granula berwarna abu-abu memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) Meningkatkan tersedianya nutrient N dan P, (2) memacu pertumbuhan tanaman, dan (3) meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, (4) meningkatkan efisiensi pemupukan. Penggunaan pupuk hayati ecofert diharapkan mampu menambah N dan melarutkan P agar tersedia bagi tanaman, sehingga penggunan pupuk kimia dapat dikurangi akibat aktivitas mikroba optimal dan fungsi tanah sebagai media tumbuh tanaman semua optimal.Pengujian pupuk NPK Super dan pupuk hayati Ecofert telah dilakukan. Nurjanani et. al. (2011) melaporkan bahwa pemberian pupuk NPK Super 300-450 kg/ha dan penambahan Ecofert 20-40 kg/ha pada budidaya tanaman kentangdengan keuntungan maksimal dengan nilai R/C ratio 2,68-2,98. Berdasarkan hasil penelitian penggunaan pupuk hayatie cofert produksi PT. Pupuk Kaltim oleh Balai PengkajianTenologi PertanianTahun 2011, makaperlumemperkenalkan dan memperagakannya ditingkat petani melalui kegiatan demonstrasi plot, dengan demikan petani tidak saja melihat dan melakukan akan tetapi merasakan manfaat langsung sehingga bertambah keyakinan dan kepercayaannya yang pada akhirnya akan mendorong minat untuk mencoba dan menerapkannya. 1198 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Demplot aplikasi pemupukan NPK Super dan pupuk hayati Ecofert telah dilaksanakan di lahan petani di wilayah pengembangan kentang yaitu di Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggi Moncong, kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, pada ketinggian 1.200 m dpl. Kegiatan dimulai pada bulan Juni hingga Oktober 2012. Luas lahan yang digunakan adalah 0,5 ha, yang terbagi masingmasing 0,25 ha untuk pemupukan NPK super 450 kg/ha dan Ecofert 40 kg/ha dan 0,25 ha untuk perlakuan petani (NPK dipasaran 1.000 kg/ha + pupuk kandang 20 t/ha). Pelaksanaan Demplot Tanah diolah sempurna lalu diratakan. Setelah rata dibuat plot sesuai perlakuan. Aplikasi pupuk hayati Ecofert dilakukan satu minggu sebelum penanaman kentang. Demikian pula aplikasi pupuk kandang, juga dilakukan satu minggu sebelum penanaman. Aplikasi NPK Super dengan dosis 450 kg/ha dilakukan satu kali pada masa tanam. Benih umbi kentang varietas Granola generasi ke tiga (G3) dengan volume 70 g per umbi ditanam pada lubang tanam dengan jarak 70 x 30 cm. Kentang ditanam secara double row satu umbi per lubang. Jarak antar petak 50 cm, panjang petakan sesuai dengan kondisi lahan. Luas lahan untuk demplot pupuk NPK Super dan Ecofert, dan cara petani masing-masing 0,25 ha. Setiap petak ditanami 5.400 populasi (400 kg) umbi kentang. Sehingga total luas lahan yang diperlukan adalah 0,5 hektar. Tanaman kentang dipelihara secara intensif. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan pestisida selektif dan efektif secara bijaksana (pendekatan PHT). Jenis fungisida yang digunakan berdasarkan urutan fungisida bersifat sistemik (S) dan bergantian dengan fungisida kontak (K), dengan urutan S-K-K-K-S-K-K-K-S dst. jika diperlukan. Sedangkan untuk mengendalikan lalat pengorok daun (Liriomyza huidobrensis) digunakan insektisida anjuran yaitu Abamektin. Jika tidak ada hujan, dilakukan penyiraman menggunakan sprinkle sesuai kebutuhan tanaman. Teknik Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hasil Demplot aplikasi pemupukan NPK Super dan pupuk hayati Ecofert dengan parameter pengamatan terdiri dari : keragaan pertumbuhan tanaman kentang, hama dan penyakit, produksi, serta respon petani dalam penerapan teknologi pemupukan kentang menggunakan pupuk NPK Super dan pupuk hayati Ecofer yang diperolehmelalui wawancara langsung dengan responden menggunakan alat bantu kuesioner. Analisis Data Analisis deskriptif untuk melihat tingkat kepuasan petani terkait preferensinya dan hasil karakterisasi teknologi yang didemonstrasikan sedangkan data keragaan pertumbuhan, produksi dan pendapatan usahatani dianalisis dengan menggunakan Uji T dan R/C Ratio. 1199 Uji T menggunakan Rumus: atau No sampel (n) n1 .. .. .. ni T hitung < T tabel (0.05 , T hitung > T tabel (0.05 , Ecofert Cara Petani Di = Xi-Yi (X) (Y) X1 Y1 .. .. .. .. .. .. Xi Yi db(n-1)) Tidak beda nyata db(n-1)) Beda nyata ( )2 Hipotesis H0 = Penambahan pupuk hayati Ecofert, produksinya sama dengan cara pemupukan petani H1 = Penambahan pupuk hayati Ecofert meningkatkan produksi 10 – 25% dibandingkan dengan cara pemupukan petani R/C = NPT/BT keterangan: Dimana: R/C > 1, usahatani secara ekonomi R/C = Nisbah penerimaan dan menguntungkan biaya R/C = 1, Usahatani secara ekonomi NPT = Nilai produksi total (Rp/ha) berada pada titik impas (BEP) BT = Nilai biaya total (Rp/ha) R/C < 1, Usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Responden Karakteristik petani perlu menjadi pertimbagan dalam proses transfer teknologi karena kondisi internal tersebut berperan dalam berbagai proses yang dilalui seseorang dalam berinteraksi dengan hal-hal inovatif. Adapunkarakteristikpetanipada pelaksanaan demonstrasi aplikasi pupuk NPK Super dan pupuk hayati Ecofert pada tanaman kentang menurut umur dan pendidikan disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. 1200 Tabel 1. Distribusipetanimenurut umur pada kegiatan demonstrasi aplikasi NPK Super dan pupuk hayati Ecofert pada tanaman kentang di Desa Pattapang, Kecamatan Tinggi Moncong, Kab.Gowa 2012 No. 1. 2. 3. 4. Umur (tahun) Jumlah Petani Prosentase (%) < 30 31-40 41-50 51-60 Jumlah 1 27 1 1 30 3,33 90,00 3,34 3,33 100 Sumber : Hasil olahan data primer, 2012 Petani masih tergolong usia produktif, 93% masih muda (< 32 tahun) dan hanya 7% yang berusia >40 tahun. Secara fisik mereka memiliki kemampuan untuk mengelola usahatani dengan baik, namun usia tidak menjamin keterampilan seseorang dalam berusahatani, sehingga perlu intervensi teknologi yang berdaya guna dan pengambilan keputusan yang tepat. Tingkat pendidikan formal merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kapasitas sumber daya manusia. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat adopsi pertanian berjalan secara tidak langsung, kecuali bagi mereka yangbelajarsecaraspesifiktentanginovasibarutersebut. Tingkat pendidikan petani petani pada kegiatan Demplot kentang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Distribusi petani menurut tingkat pendidikan pada kegiatan demonstrasi aplikasi NPK Super dan pupuk hayati Ecofert pada tanaman kentang di Desa Pattapang, Kecamatan Tinggi Moncong, Kab.Gowa 2012 No. 1. 2. 3. Pendidikan SD SLTP SLTA Jumlah Petani 25 4 1 Prosentase (%) 83,34 13,33 3,33 Jumlah 30 100 Sumber : Hasil olahan data primer, 2012 Pada Tabel 2. terlihat bahwa tingkat pendidikan petani mayoritas masih rendah yaitu hanya menamatkan pendidikan pada sekolah dasar. Faktor pendidikan ini sangat berpengaruh terhadap kapasitas mereka dalam memahami informasi teknologi yang diterima, terutama dalam hal kemampuan mereka menginterpretasi informasi teknologi yang diterima. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan komunikasi dengan menggunakan bahasa sederhana, sehingga penyampaian informasi teknologi mudah dipahami oleh petani. Salah satu cara transfer teknologi yang efektif adalah melalui demonstrasi teknologi yang dilaksanakan langsung di lahan petani dan oleh petani. Respon Petani Terhadap Aplikasi NPK Super dan Pupuk Hayati Ecofert Penerapan suatu teknologi membutuhkan partisipasi kelompok yang menjadi sasaran, karena indikator keberhasilan penerapan teknologi adalah respon yang ditunjukkan petani baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Respon 1201 petani ditentukan oleh tingkat manfaat yang dirasakan baik dari aspek teknis ekonomi dan sosial budaya, maupun berdasarkan sifat inovasinya yang akan diuraikan sebagai berikut: Aspek Teknis Secara teknis aplikasi pupuk NPK Super dan pupuk hayati Ecofert mudah dilakukan, praktis, tidak membutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk mengaplikasikannya. Khusus untuk Ecofert jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk kandang, aplikasi ecofert sebanyak 40 kg/ha jauh lebih ringan dibandingkan pengangkutan dan penebaran pupuk kandang sebanyak 700 karung/ha. Secarateknishasil yang diperoleh pada Demplotaplikasi pupuk NPK Super dan pupuk hayati Ecofert terhadap pertumbuhan tanaman, hama penyakit dan produksi jika dibandingkan dengan cara petani sebagaiberikut : Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan tinggi tanaman kentang pada demplot aplikasi pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk hayati Ecofert 40 kg tidak berbeda nyata dengan pertumbuhan tinggi tanaman kentang pada demplot tanaman cara petani (NKP di pasaran 1.000 kg/ha dan pukan 20 t/ha). Namun pertumbuhan lebar kanopi tanaman kentang pada perlakuan pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk hayati Ecofert 40 kg/ha berbeda nyata dengan lebar kanopi perlakuan cara petani (Tabel3). Secara visual tanaman kentang yang dipupuk dengan NPK Super dan Ecofert memiliki warna daun hijau tua (gelap), lebih lebar, subur, dan anak daun terbentuk sempurna, serta umur tanaman lebih panjang (± 100 hari), sehingga umbi berkembang sempurna. Tanaman yang dipupuk sesuai kebiasaan petani memiliki warna daun hijau muda (pucat), dan anak daun tidak terbentuk, serta umur tanaman hanya ± 80 hari. Tabel 3. Rataan tinggi dan lebar kanopi tanaman kentang pada plot Demplot Ecofert dan Cara Petani Perlakuan NPK Super 450 kg/ha + Ecofert 40 kg/ha Cara Petani (NPK 1.000/ha + pukan ayam 20 t/ha T hitung T table 0,05 Tinggi tanaman (cm) 37 HST 60 HST Lebar Kanopi (cm) 37 HST 60 HST 30,20 a 39,5 a 49,65 a 61,00 a 26,00 a 36,8 a 41,60 a 49,00 b 0,94 2,31 0,76 2,31 1,71 2,31 2,47 2,31 Keterangan: Angka yang diikutu huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berdeda nyata menurut hasil uji T pada taraf 0,05 HST = Hari setelah Tanam Hama dan penyakit Berdasarkan pengamatan pada umur 45 hari setelah tanam, tanaman kentang sudah terserang hama pengorok daun (Liriomyzahuidobrensis) dan penyakit busuk daun (Phytohthora infestans). Serangan P. infestans lebih ringan pada tanaman yang dipupuk dengan NPK Super dan ecofert dibandingkan tanaman dengan perlakuan cara petani. Hal ini disebabkan pupuk hayati Ecofert diduga menghasilkan zat anti patogen tular tanah. Namun karena pada saat 1202 kegiatan berlangsung masih sering hujan, sehingga petani masih melakukan penyemprotan untuk mencegah perkembangan penyakit.Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan insektisida Abamektin dan fungisida Mankozeb. Penyemprotan fungisida dilakukan sebanyak 6 - 8 kali selama kegiatan berlangsung.Di samping mengurangi intensitas penyakit busuk daun, penambahan ecofert dapat mengurangi persentase tanaman layu karena bakteri. Layu bakteri pada pertanaman yang menggunakan ecofert hanya ± 2,0% sedangkan pada pertanaman yang dikelola dengan cara petani, serangan layu bakteri mencapai 13,46%. Hal ini dapat disebabkan formula ecofert mengandung beberapa mikroba (Bacillus subtilis, B. flexus, P. mendocina, dan Aspergillus niger), yang bersifat antagonis terhadap pathogen tular tanah sehingga bisa menekan perkembangan P. infestansdan bakteri penyebab layu. Produksi Produksimerupakan tujuan akhir dari setiap usahatani. Produksi umbi kentang disajikan pada Tabel 4. Produksi umbi yang dicapai pada demplot aplikasi NPK Super dan Ecofert tidak berbeda nyata dengan produksi yang dicapai pada demplot cara petani. Produksi umbi tersebut diklassifikasikan kedalam umbi benih dan umbi konsumsi. Umbi kentang yang dihasilkan masih generasi ke empat (G-4), sehingga masih tergolong kedalam benih sebar. Berdasarkan rataan presentase umbi konsumsi dan umbi benih pada tanaman sampel, maka pada demplot NPK Super dan Ecofert tercatat umbi konsumsi sebanyak 21,864 t/ha (61,80%), sedangkan umbi benih sebanyak 13,516 t/ha (38,2%). Tabel 4. Rataan produksi umbi kentang pada demplot Aplikasi NPK Super dan Ecofert dan cara petani. Perlakuan Berat umbi g/ rumpun Provitas (t/ha) Prosentase umbi Konsumsi % NPK Super 450 kg/ha + Ecofert 40 kg/ha Cara Petani 680,40 a 35,38 a 61,80 Jumlah (t/ha) 1,864 617,20 a 32,09 a 59,40 19,061 T hitung T tabeL 0,05 1,61 2,31 1,61 2,31 Benih % 38,20 Jumlah (t/ha) 13,516 40,60 13,029 Keterangan: Angka yang diikutu huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berdeda nyata menurut hasil uji T pada taraf 0,05 Pada demplot cara petani,banyaknya umbi konsumsi tercatat 19,061 t/ha (59,40%), sedangkan umbi benih tercatat 13,029 t/ha (40,60%). Persentase umbi benih sangat mempengaruhi pendapatan petani, karena harga jual umbi benih tiga kali lipat dari harga umbi konsumsi. Aspek Ekonomi Berdasarkan hasil analisis ekonomi, pendapatan yang diperoleh petani pada perlakuan aplikasi NPK Super 450 kg/ha dan ecofert 40 kg/ha adalah sebesar Rp. 245.457.000 dengan R/C ratio 4,69 lebih besar dibandingkan cara petani dengan 1203 pendapatan hanya sebesar 195.450.000 dengan R/C ratio 3,64 (Tabel 5). Besarnya pendapatan yang diterima petani dapat mencapai ratusan juta rupiah disebabkan produksi umbi kentang masih tergolong klas benih sebar, sehingga harga jualnya masih tinggi dan sebagian besar produksi memang disimpan untuk dijual sebagai benih. Manfaat secara ekonomi yang diperoleh petani kooperator adalah peningkatan jumlah produksi sebesar 3.286 kg dengan presentase peningkatan sebesar 9,28%. Demikian pula keuntungan yang diperoleh terdapat selisih sebesar Rp 50.007.000, dengan prosentase peningkatan 20,57%. Selain itu, petani kooperator mendapat penghematan biaya dari penggantian NPK di pasaran dengan NPK Super dan penggunaan pupuk kandang sebanyak 700 karung menjadi ecofert 40 kg dengan nilai penghematan sebesar Rp. 5.690.000. Tabel 5. Analisis usahatani kentang menggunakan NPK Super + pupuk hayati Ecofert dan cara Petani (1 ha) di Kelurahan Pattapang, kec. Tinggi Moncong, Kab. Gowa, Tahun 2012. No Uraian 1 I. 1. 2. 2 Biaya Sarana Produksi Bibit Kentang G-3 Pupuk: - NPK Super - NPK Ponska - Ecofert - Pupuk Kandang Pestisida - Fungisida 3. II. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. - Insektisida - Perekat Jumlah Biaya sarana Biaya Tenaga kerja Pengolahan tanah Perataan Tanah Penanaman/pemupuka n Penyiangan/pembumb unan I Penyiangan/pembumb unan II Pengendalian Hama/Penyakit Pemanenan Pengangkutan Hasil Jumlah Biaya TK 1204 Vol 3 NPK Super + Ecofert Harga Jumlah (Rp) Satuan (Rp.) 4 5 Vol 6 2000kg 18.000 36.000.000 18.000 36.000.000 450kg 0 40 kg 0 2.300 0 6.000 0 1.035.000 0 240.000 0 0 1050 kg 0 700 krg 0 2300 0 6500 0 2.415.000 0 4.550.000 4.128.000 8 l 18 l 65.00080.000 650.000 35.000 34 kg 8 l 18 l 65.00080.000 650.000 35.000 4.128.000 50 OH 30 OH 60 OH 30.000 30.000 30.000 1.500.000 900.000 1.800.000 50 OH 30 OH 60 OH 30.000 30.000 30.000 1.500.000 900.000 1.800.000 30 OH 30.000 900.000 30 OH 30.000 900.000 30 OH 30.000 900.000 30 OH 30.000 900.000 32 OH 30.000 960.000 32 OH 30.000 960.000 30 OH 700 krg 30.000 10.000 900.000 7.000.000 15.760.000 30 OH 640 krg 30.000 10.000 900.000 6.400.000 15.520.000 34 kg 5.200.000 560000 47.163.000 200kg Cara Petani Harga Jumlah Satuan (Rp) (Rp.) 7 8 5.200.000 560000 52.853.000 Lanjutan... NPK Super + Ecofert No Uraian Vol 1 2 3 III 1. 2. 3. 4. IV. 1. 2. V. VI. Biaya Lain-Lain Sewa Tanah per musim Hand sprayer Drum Plastik 200 liter Karung Jumlah biaya Lain-lain Total Biaya Produksi (I+II+III) Produksi/Penerimaan Umbi Konsumsi Umbi Benih Pendapatan R/C Ratio Harga Satuan (Rp.) 4 Cara Petani Jumlah (Rp) Vol 5 6 Harga Satuan (Rp.) 7 2.000.000 2 buah 400.000 3 buah 60.000 700 buah 10.000 21.864 13.516 5.000 15.000 19.064 13.030 Respon petani terhadapsifat inovasi teknologi yang telah didemonstrasikan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Respon petani terhadap penggunaan pupuk NPK Super dan Ecopert berdasarkan sifat inovasi pada kegiatan Demplot Aplikasi pemupukan NPK Super dan Ecofert pada tanaman kentang di Kel. Pattapang, kec.Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa, Tahun 2012 - Persentase banyaknya orang (%) NPK Super + Ecofert Mudah diaplikasikan Mudah diperoleh Mengurangipenggunaan tenaga kerja 90,00 30,00 90,00 Meningkatkan produksi Mengurangi penyakit layu dan busuk daun Dapat menghemat Tidak bertentangan kebiasaan Berminat menggunakan 75,00 Sumber : Hasil Olahan Data Primer 800.000 180.000 640.000 3.580.000 71.993.000 262.174.000 3.500 66.724.000 15.000 195.450.000 195.450.000 3,64 Respon Petani Berdasarkan Sifat Inovasi Sifat Inovasi 8 2.000.000 800.000 2 buah 400.000 180.000 3 buah 60.000 700.000 640 buah 1.000 3.680.000 66.603.000 312.060.000 109.320.000 202.457.000 245.457.000 4,69 Jumlah (Rp) 30,00 90,00 70,00 50,00 Berdasarkan data pada Tabel 6, respon petani terhadap aplikasi NPK Super dan Ecofert cukup baik terutama terhadap sifat inovasi mudah diaplikasikan, mengurangi penggunaan tenaga kerja, dan dapat menghemat. Namun baru 50% responden berminat untuk menggunakan dengan alasan 1205 produk belum ada di pasaran. Respon petani paling rendah terhadap mengurangi penyakit layu dan busuk daun Phytophthota karena petani takut gagal panen, sehingga petani masih mengandalkan penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil demonstrasi plot aplikasi pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk Hayati Ecofert 40 kg/ha pada tanaman kentang dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemberian pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk hayati Ecofert 40 kg/ha pada tanaman kentang, memberikan hasil 35,38 t/ha dengan pendapatan bersih 245.457.000 atau R/C ratio 4,69. Sedangkan cara petani memberikan hasil 32,09 t/ha dengan pendapatan bersih 195.450.000 atau R/C ratio 3,64. 2. Pemberian pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk hayati Ecofert 40 kg/ha pada tanaman kentang meningkatkan jumlah produksi sebesar 3.286 kg (9,28%) atau meningkatkan pendapatan sebesar Rp50.007.000 (20,57%). 3. Respon petani terhadap aplikasi pupuk NPK super dan Pupuk hayati Ecofert sangat baik, karena secara teknis praktis, mudah diaplikasikan, murah, kebutuhan per hektar sedikit (efisien), dan kebutuhan tenaga kerja sedikit, serta secara ekonomi meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Pupuk NPK Super dan pupuk hayati Ecofert perlu di uji di beberapa sentra produksi kentang, selain untuk mendapatkan rekomendasi dosis penggunaan yang tepat untuk masing-masing daerah, juga memperkenalkan produk tersebut ke petani atau stakeholder lainnya. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Humic Acid harapan baru pertanian berwawasan lingkungan. http: //duniapetani,blogspot,com/2009/07/humic-acid-harapan-baru pertanian. html (diakses Kamis 31 Maret 2011) Kusumo, S. 1977. Pengaruh dosis pupuk DAP dan TSP terhadap hasil kubis dan kentang. Bul. Penel. Hort. 5(1):3-6 Nainggolan, P. 1991. Pengaruh kalium dan busukan ikan terhadap produksi kentang. J. Hort. 1(4):8-13. Nurtika dan A. Hekstra. 1975. Pengaruh pemupukan NPK terhadap produksi kentang, kubis, dan kacang jogo. Bul.Penel. Hort. 3(4):33-45. Simanungkalit, R.D.M, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, W. Hartatik. 2006. Pupuk organik dan pupuk hayati. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. 1206 STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JERUK BESAR DI SULAWESI SELATAN Nurdiah Husnah dan Nurjanani Balai Pegkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRAK Pengembangan komoditas hortikultura dapat menciptakan kegiatan ekonomi yang efektif dan efisien, namun membutuhkan intensitas, kuantitas dan kualitas kegiatan yang memadai berbasis pada kesamaan kondisi agroekosistem, yang perlu disinergikan melalui kegiatan pengkajian. Salah satu tanaman hortikultura yang berpotensi untuk dikembangkan dan dikaji karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi adalah tanaman jeruk besar atau jeruk pamelo. Jenis jeruk ini telah menjadi salah satu komoditi perdagangan Internasional. Tujuan pengkajian yang dilakukan adalah mengidentifikasi masalah dan merumuskan strategi pengembangan agribisnis jeruk besar di Sulawesi Selatan. Kajian ini dilakukan di Kabupaten Pangkep sebagai sentra produksi jeruk besar di Sulawesi Selatan dengan menggunakan metode survey. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling sebesar 10% dari populasi, yang terdiri dari petani, petani penangkar, dan pedagang. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dan pengamatan langsung yang dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa strategi yang dapat dikembangkan dalam agribisnis jeruk besar di Sulawesi Selatan antara lain (1) pengembangan kapasitas sumberdaya; dan (2) pengembangan kelembagaan pendukung. Kata kunci : Strategi, agribisnis, jeruk besar PENDAHULUAN Pengembangan komoditas hortikultura dapat menciptakan kegiatan ekonomi yang efektif dan efisien, namun membutuhkan intensitas, kuantitas dan kualitas kegiatan yang memadai berbasis pada kesamaan kondisi agroekosistem, yang perlu disinergikan melalui kegiatan pengkajian. Salah satu tanaman hortikultura yang berpotensi untuk dikembangkan dan dikaji karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi adalah tanaman jeruk besar atau jeruk pamelo. Jenis jeruk ini telah menjadi salah satu komoditi perdagangan Internasional. Jeruk besar (Citrus maxima. Merr) yang lazim disebut dengan nama Jeruk Pemelo merupakan salah satu komoditas buah yang sudah dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat, dan umumnya diusahakan di lahan tegalan atau pekarangan (Dirjen BPH, 2005). Buah Jeruk Besar mempunyai potensi untuk dikembangkan mengingat iklim yang sesuai untuk komoditas jeruk dan peluang pasar domestik maupun ekspor. Populasi tanaman Jeruk Besar semakin berkurang dari tahun ke tahun karena keterbatasan bibit yang bermutu dan budidaya tanaman belum dilaksanakan secara intensif. Standar konsumsi buah yang ditetapkan Food and Agriculture Organization of United Nation (FAO), yakni sebesar 65,75 kg per kapita per tahun, sementara konsumsi buah masyarakat Indonesia masih rendah yaitu 32,67 kg per kapita per tahun (Kompas, 2010). Jika 10% saja dari jumlah 1207 standar FAO tersebut adalah buah jeruk, yaitu sebanyak 6 kg per kapita per tahun, maka dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa akan dibutuhkan 1.422.000 t/tahun. Jika produktivitas jeruk nasional sekitar 20 t/ha, maka dibutuhkan kebun jeruk seluas 71.110 ha. Kebutuhan 1.422.000 t/tahun sanggup dipenuhi 2.131.768 t. Jadi seharusnya Indonesia masih bisa melakukan ekspor sebesar 709.768 t. Namun pada tahun 2010 lalu, Indonesia masih impor jeruk 160.000 t dan terus meningkat di tahun 2012 menjadi 179.000 t (Dirjen Hortikultura, 2012). Berdasarkan fenomena tersebut, kiranya sangat mungkin untuk memperbaiki sistem agribisnis jeruk besar, karena pada dasarnya pengembangan sistem agribisnis diharapkan mampu mengatasi segala ancaman, tantangan dan hambatan yang akan terjadi agar dapat menjadi leading sector, selain itu strategi pengembangan agribisnis memerlukan pendekatan yang komprehensif mulai dari sektor hulu sampai ke sektor hilir (Nasution, 2004). Sejalan dengan Saliem (2002) bahwa pengembangan agribisnis bertujuan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan tercapainya pemerataan dalam mewujudkan stabilitas pembangunan. Oleh karena itu telah dilakukan kajian sistem agribisnis jeruk besar di Kabupaten Pangkep melalui identifikasi masalah dalam sistem agribisnis jeruk besar dan strategi pengembangan agribisnis jeruk besar ke depan. METODOLOGI Pengkajian dilakukan di Kabupaten Pangkep, pada bulan April September 2012. Kegiatan ini meliputi beberapa tahapan antara lain (1) persiapan; (2) pengumpulan data eksisting sistem agribisnis jeruk besar; (3) focus group discussion (FGD) dengan petani, dan petani penangkar, pedagang pengumpul dan pedagang antar pulau; (4) identifikasi masalah dalam sistem agribisnis jeruk besar dan (5) merumuskan strategi pengembangannya. Sampel ditentukan secara sengaja (purposive sampling) meliputi : petani, petani penangkar, pedagang pengumpul, pedagang antar pulau, dan pedagang kios. Data yang dikumpulkan meliputi data primer, meliputi masalah dan strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan sistem agribisnis jeruk besar dan didukung oleh data sekunder, meliputi hasil kajian pustaka, laporan-laporan yang relevan dengan materi pengkajian. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner, kemudian dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran sistem agribisnis jeruk besar mulai hulu sampai hilir. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Masalah dalam Agribisnis Jeruk Besar 1) Subsistem hulu agribisnis jeruk besar Sub sistem hulu dalam agribisnis jeruk besar yang meliputi penyediaan bibit untuk pertanaman jeruk besar, baik yang berskala kecil maupun besar (berorientasi agribisnis), harus diawali dengan pembibitan. Keberhasilan pengusahaan tanaman jeruk besar ditentukan oleh tersedianya bibit bermutu, 1208 yaitu bibit yang bebas penyakit, murni, identik dengan induknya, tidak cacat serta penangkarannya telah dilakukan dengan benar dan tepat melalui program sertifikasi bibit (Dirjen PHP, 2005). Bibit yang baik adalah bibit yang berasal dari okulasi dan sambung pucuk. Bibit tersebut merupakan gabungan bibit semai dan cabang entris dari varietas unggul, yang produksi dan mutu buahnya baik. Dengan bibit asal okulasi dan sambung pucuk akan diperoleh tanaman yang berakar kuat, tumbuhnya subur, buahnya banyak dan mutu buahnya tinggi. Dalam agribisnis jeruk besar di lokasi kajian menunjukkan bahwa usaha pembibitan yang dikelola belum menggunakan teknologi sesuai SOP pembibitan jeruk, sementara pasar bibit jeruk besar di lokasi kajian belum menuntut kualitas yang tinggi namun lebih pada pemenuhan kuantitas dan keberlanjutan produksi (Syamsinar, 2009). Terdapat beberapa varietas yang diproduksi sebagai bibit antara lain varietas merah, varietas putih dan varietas gula-gula, permintaan pasar bibit masih bervariasi. Untuk memenuhi permintaan dinas terkait, produksi bibit mayoritas varietas merah, namun untuk permintaan petani tingkat lokal didominasi varietas merah, disusul varietas gula-gula dan varietas putih. Pada lahan pembibitan digunakan teknologi penyambungan (grafting) yang merupakan salah satu perbanyakan vegetatif, yang menggabungkan batang bawah dan batang atas dari tanaman berbeda, sehingga tercapai persenyawaan dan kombinasi ini akan terus tumbuh membentuk tanaman baru. Teknik penyambungan ini biasa kita terapkan untuk beberapa keperluan yaitu membuat bibit tanaman unggul, memperbaiki bagian-bagian yang rusak dan juga untuk membantu pertumbuhan tanaman. Dengan mengadakan penyambungan kita mengharapkan agar bibit yang kita hasilkan akan lebih unggul dari tanaman asalnya (Batang bawah dan batang atas). Adapun masalah yang dihadapi pada sub sistem hulu dalam agribisnis jeruk besar meliputi : Kurangnya minat petani dalam melakukan usaha penangkaran Kurangnya dukungan teknologi dalam melakukan pembibitan Kelangkaan kualitas sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan memadai dalam menerapkan teknologi serta pengetahuan manajemen mutu. Serangan penyakit yang dapat mempengaruhi proses produksi Musim yang tidak menentu, yang akan menurunkan tingkat produksi benih. Kurangnya kegiatan dan pengetahuan untuk menyiasati pasar (market intelligence) 2) Subsistem on farm agribisnis jeruk besar Subsistem produksi/usahatani (on-farm agribusiness), kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan oleh subsistem agribisnis hulu untuk menghasilkan produk pertanian primer. Termasuk ke dalam subsistem usahatani ini adalah usahatani jeruk besar. Dalam sub sistem on farm ini petani merupakan pelaku utama memiliki peran yang sangat besar meliputi kegiatan budidaya mulai dari persiapan lahan sampai pada kegiatan panen. Hasil survey yang dilakukan dalam agribisnis jeruk besar menunjukkan bahwa petani dalam mengelola usahataninya sudah mulai menerapkan teknologi yang di anjurkan meskipun masih belum maksimal. Oleh karena itu masih perlu dilakukan pendampingan dalam menerapkan teknologi agar bisa mencapai hasil yang maksimal. 1209 Varietas yang digunakan petani pada umumnya adalah varietas merah gula-gula dengan karakteristik antara lain : (1) daya simpan yang cukup lama; (2) kulitnya tipis; (3) rasanya manis; (4) buahnya kecil. Jarak tanam yang digunakan pada umumnya 7 x 7 m dengan kedalaman lubang tanam 50 x 50 cm dan aplikasi pupuk kandang. Teknologi pemeliharaan yang dilakukan antara lain pemupukan urea dan pengendalian hama dan penyakit. Sementara teknologi panen cukup maksimal dilaksanakan dengan memperhatikan syaratsyarat panen antara lain buah tidak boleh jatuh dan tidak boleh basah karena akan mempengaruhi kualitas dan daya simpan buah jeruk besar (Setiawan, 1995). Hasil produksi jeruk besar yang diperoleh petani rata-rata 100 – 150 buah per pohon, sehingga dengan jarak tanam tersebut petani responden memperoleh produksi 20.000 – 30.000 buah per hektar. Adapun masalah yang dihadapi responden dalam pengelolaan usahatani jeruk besar adalah sebagai berikut : Kurangnya informasi teknologi yang dapat diakses Kurang intensifnya pendampingan dalam penerapan teknologi Terbatasnya pengetahuan tentang diversifikasi produk Tidak melakukan pengendalian dan pemberantasan hama dan penyakit Kualitas produk masih relatif rendah Harga jeruk besar yang diterima petani masih relatif rendah 3) Subsistem hilir agribisnis jeruk besar Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), berupa kegiatan ekonomi yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir, beserta kegiatan perdagangan di pasar domestik maupun di pasar internasional. Permasalahan utama yang terjadi pada subsistem ini adalah mengenai pemasaran dan keterbatasan modal (Dirjen PHP, 2005). Dalam memasarkan jeruk besar biasanya kemampuan petani terbatas, petani memiliki akses yang terbatas terhadap informasi pasar terutama mengenai permintaan dan harga, hal ini dikarenakan banyaknya pihak yang terlibat dalam proses pemasaran, misalnya pedagang pengumpul di hulu lebih banyak jika dibandingkan dengan pedagang menengah dan besar sehingga kecenderungan untuk menekan harga sangat tinggi, sehingga pemasaran jeruk besar lebih cocok dikatakan pasar monopsoni, yaitu pasar yang dikuasai oleh pembeli baik dalam menentukan harga maupun kualitas jeruk besar, posisi tawar petani dalam hal ini sangatlah rendah. Mutu produk yang dihasilkan petani pun di bawah standar pasar dan jumlah yang dihasilkan sangat berfluktuasi. Petani belum sadar akan spesifikasi mutu produk dan jarang melakukan pengolahan dan pemilahan hasil untuk meningkatkan kualitas hasil (Syamsinar, 2009). Sehingga dilapangan sangat sulit utuk menentukan jenis jeruk besar, standar kualitas dan harga yang layak sehingga menguntungkan kedua belah pihak yaitu konsumen dan produsen. Uraian tentang permasalahan dalam sub sistem hilir agribisnis jerukl besar adalah sebagai berikut : Petani berada di posisi yang lemah dalam menentukan harga Petani menjual jeruk besar dalam bentuk segar dan tidak melakukan grading Petani tidak mengetahui spesifikasi mutu produk yang di minta oleh pasar Petani tidak mengetahui standar, kualitas dan harga yang layak 1210 4) Subsistem penunjang agribisnis jeruk besar Subsistem lembaga penunjang (off-farm), seluruh kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga transportasi, lembaga pendidikan, dan lembaga pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter, perdagangan internasional, kebijakan tata-ruang, serta kebijakan lainnya). Subsistem pendukung dalam hal ini mencakup kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah terhadap jeruk besar saat ini masih terkait dengan budidaya tanaman secara umum belum dibuat secara spesifik. Peraturan-peraturan tersebut masih sebatas membahas ketentuan-ketentuan bagaimana melakukan budidaya dan penjualan skala besar, tapi belum ada yang mengarahkan kepada skala kecil. Kebijakan terkait jeruk besar ini harus didukung oleh semua pihak tidak hanya kementrian pertanian melainkan pihak lain seperti kementrian perkoperasian (terkait kebijakan perkoperasian), Kementrian Perekonomian terkait dengan pengusahaan dan perkreditan termasuk didalamnya melibatkan perbankan, Kementerian Perdagangan dan Pemerintah Daerah penghasil jeruk besar. Beberapa masalah terkait dengan sub sistem penunjang agribisnis jeruk besar adalah sebagai berikut : Kelembagaan petani yang ada masih sangat lemah secara administratif karena tidak ada legalitas hukum. Kapasitas penyuluh sebagai sumber teknologi dan merupakan sasaran antara dalam transfer teknologi masih perlu ditingkatkan. Dukungan kelembagaan penelitian yang masih kurang dalam pengembangan agribisnis jeruk besar. Dukungan kelembagaan informasi teknologi yang masih kurang dalam berbagai bentuk media komunikasi. Dukungan kelembagaan permodalan yang masih sangat kurang dari perbankan untuk meningkatkan kinerja usahatani jeruk besar. Dukungan kelembagaan pemerintah dalam menyiapkan dan memfasilitasi prasarana petani penangkar, petani produsen, pedagang pengumpul dan pedagang besar dalam pengembangan agribisnis jeruk besar. Strategi Pengembangan Agribisnis Jeruk Besar 1) Pengembangan kapasitas sumberdaya Pengembangan sumberdaya pelaku utama dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan terhadap para pihak terkait antara lain: Pelatihan, dapat dilakukan secara swadaya atau mengirimkan peserta ke lembaga penyelenggara formal. Magang yaitu belajar sambil bekerja pada suatu lembaga usaha yang lebih maju. Studi banding yaitu melakukan kunjungan lapangan pada wilayah lain yang terdapat kegiatan semacam. Penyuluhan yaitu upaya merubah perilaku masyarakat agar tahu, mau dan mampu melaksanakan usaha budidaya sesuai kaidah-kaidah. Pendampingan adalah proses belajar bersama antara pendamping dengan petani untuk memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi. 1211 Sasaran pengembangan sumberdaya petani meliputi berbagai pihak yang terkait melalui pengembangan kapasitas yang meliputi : Untuk meningkatkan kemampuan petani dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan dalam hal teknis budidaya dan pasca panen, manajemen usaha. Hal ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan pelatihan sesuai dengan kebutuhannya. Untuk meningkatkan kemampuan penyuluh dilakukan melalui pelatihan, studi banding, kursus penyegaran, penerbitan buku pedoman-pedoman, sosialiasi kebijakan dan program dan lain-lain. Upaya tersebut diharapkan dapat mengubah perilaku penyuluh yang bersifat menggurui dan memberikan rekomendasi kearah perilaku untuk siap belajar bersama, memfasilitasi dan memandirikan petani/kelompok tani. Para peneliti didorong untuk melakukan penelitian dan ujicoba tentang halhal yang bersifat terapan utamanya dalam rangka pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para petani. Pelaku bisnis/pedagang perlu didorong untuk melakukan kemitraan dengan kelompoktani dengan prinsip keterkaitan dalam kebutuhan yang saling memerlukan, saling menguntungkan dan saling ketergantungan. Dalam hal ini dapat dilakukan sosialisasi kebijakan dan program dan pola-pola kemitraan yang mungkin diterapkan. Birokrasi perlu melakukan upaya pemberdayaan melalui peningkatan pembinaan agar bertindak sesuai kewenangannya dalam hal regulasi, supervisi dan fasilitasi. Pemberdayaan LSM sebagai mitra sejajar pemerintah, agar memberikan masukan yang bersifat membangun dan secara konstruktif dapat bekerjama dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan untuk kemandirian petani. 2) Pengembangan kelembagaan pendukung Pengembangan Kelembagaan untuk menjamin keberhasilan dan keberlanjutan agribisnis jeruk besar mendukung pengembangan kawasan hortikultura perlu dilakukan pengembangan kelembagaan petani melalui langkahlangkah sebagai berikut : Mendorong petani untuk membentuk kelompok. Pembentukan kelompok ini berdasarkan atas kepentingan dan kebutuhan bersama anggota kelompok yang saling percaya sehingga petani dapat bekerjasama secara berkelompok untuk tumbuh menjadi kelompok swadaya. Menumbuhkan gabungan kelompok atau asosiasi Kelompok-kelompok yang sudah tumbuh didorong agar bekerjasama dengan kelompok lain dalam bentuk organisasi yang lebih besar yang disebut gabungan kelompok atau asosiasi. Terbentuknya gabungan kelompok/ asosiasi atas dasar kebutuhan atau kepentingan kelompok itu sendiri. biaya produksi. Menumbuhkan lembaga ekonomi formal Gabungan kelompok/asosiasi didorong agar mau dan mampu menjadi satu lembaga ekonomi yang formal dan yang paling tepat adalah koperasi. Agar tumbuh keswadayaan petani dan mampu berusaha dalam sistem pasar maka tabungan kelompok perlu ditingkatkan. 1212 Pengembangan kemitraan dalam rangka memperkuat usaha diperlukan adanya kemitraan antara usaha ekonomi skala usaha kecil dan menengah dengan usaha besar. Peningkatan daya saing dengan memperkuat daya saing produksi harus dibangun melalui pendekatan sistem agribisnis yang efisien. Ciri usaha agribisnis yang efisien adalah usaha yang mampu memproduksi barang atau jasa yang bermutu tinggi, dalam jumlah besar, terjamin kontinuitas produksi dengan biaya produksi yang relatif rendah. Pengembangan pasar dapat dilakukan melalui penyelenggaraan beberapa kegiatan antara lain pameran, temu usaha, promosi, pembangunan jejaring kerja antar stakeholders. KESIMPULAN DAN SARAN Masalah dalam agribisnis jeruk besar untuk mendukung pengembangan kawasan hortikultura pada beberapa subsistem hulu, on farm dan hilir dapat diidentifikasi antara lain : (1) belum maksimalnya dukungan teknologi; (2) perlu peningkatan keterampilan teknis petani; (3) dukungan informasi teknologi relatif rendah; (4) pendampingan yang masih kurang intensif; (5) masih rendahnya bargaining position; (6) belum dilakukan grading; (7) kelembagaan petani yang belum memiliki legalitas hukum; dan (8) kurangnya pengetahuan tentang spesifikasi mutu produk dan (9) market intelligence rendah. Strategi pengembangan agribisnis jeruk besar yaitu pertama pengembangan kapasitas sumberdaya yang meliputi (1) pelatihan; (2) magang; (3) studi banding; (4) penyuluhan; (5) pendampingan dan kedua pengembangan kelembagaan pendukung yang meliputi (1) pembentukan kelompok; (2) menumbuhkan gabungan kelompok atau asosiasi Kelompokkelompok; (3) menumbuhkan lembaga ekonomi formal; (4) pengembangan kemitraan; (5) peningkatan daya saing; (6) pengembangan pasar. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, 2005., Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jeruk. Kementerian Pertanian. Jakarta Direktorat Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2005. Road Map Program Pengembangan Agroindustri Perdesaan Jeruk (Citrus Sp). Kementerian Pertanian. Jakarta. Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012,. Keterpaduan Program dan Kegiatan Pengembangan Kawasan Hortikultura Di Kabupaten/Kota Tahun 2013. Disampaikan pada Musrenbangtan Nasional Jakarta, 23-24 Mei 2012. Kementerian Pertanian. Jakarta. Kompas, 2010. Konsumsi Buah Masyarakat Sangat Rendah. http://kesehatan.kompas.com/read/2010/06/27/13245684/Konsumsi.Bu ah.Masyarakat.Sangat.Rendah. Diakses 23 Juli 2011. 1213 Nasution, 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Nurjanani, Nurdiah Husnah, Ramlan, Fadjry Djufry,. 2012. Kajian Agribisnis Jeruk Besar di Kabupaten Pangkep. Laporan Hasil Kegiatan Pengkajian TA. 2012. BPTP Sulawesi Selatan. Saliem, dkk. 2002. Efisiensi dan Daya saing Hortikultura. Prosiding Efisiensi dan Daya saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah (Penyunting Handewi P. Saliem, Edi Basuno, Bambang Sayaka, dan Wahyuning K. Sejati). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Available from URL: http://www.ipard.com/art_perkebun di akses 12 September 2009 Setiawan, 1995. Usaha Pembudidayaan Jeruk Besar. PT.Penebar Swadaya. Jakarta. Syamsinar, 2009,. Analisa Tingkat Kelayakan Usahatani Jeruk Pamelo Di Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Maros. 1214 UJI DAYA HASIL BEBERAPA VARIETAS CABAI PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN JENEPONTO M. Basir Nappu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl.Perintis Kemerdekaan km 17.5, Makassar ABSTRAK Permintaan cabai terus meningkat setiap tahun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya berbagai industri makanan yang membutuhkan bahan baku cabai. Salah satu komponen penting yang berperan dalam peningkatan produksi adalah penggunaan varietas unggul. Perakitan varietas dalam negeri diharapkan mampu menghasilkan varietas unggul baru yang sesuai ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Kajian bertujuan untuk mengetahui daya hasil dan kemampuan adaptasi beberapa varietas unggul cabai yang ditanam pada lahan kering di kabupaten Jeneponto. Pengkajian dilaksanakan pada lahan kering di kelurahan Tolo Utara, kecamatan Kelara, Kabupaten Jeneponto, berlangsung Nopember 2008 - April 2009. Kajian disusun dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan melibatkan 3 orang petani kooperator sebagai ulangan dan 3 Varietas (Tombak, Lembang-1 dan Tanjung-2) sebagai perlakuan. Data yang dikumpulkan adalah keragaan tanaman dan analisis usahatani. Data dianalisis sidik ragamnya, jika berbeda nyata dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan. Kelayakan usahatani dianalisis dengan R/C ratio. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa cabai merah varietas Tombak, Tanjung-2 dan Lembang-1 cocok untuk dikembangkan pada lahan kering di kelurahan Tolo Utara, Kec. Kelara, Kabupaten Jeneponto dengan capaian hasil masing-masing 6.01 t/ha, 5.72 t/ha dan 5.50 t/ha. Pengembangan ketiga varietas tersebut layak secara teknis dan ekonomis dengan nilai B/C masing-masing 3.14, 2.94 dan 2.10. Kata kunci: Daya hasil, cabai, varietas PENDAHULUAN Cabai merah (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Cabai termasuk komoditas unggulan nasional dan sumber vitamin C (Duriat 1995; Kusandriani dan Muharram 2005; Wahyudi dan Tan 2010 dalam Taufik (2011). Konsumen Cabai tersebar merata dari kalangan atas sampai lapisan terbawah. Hingga tidak mengherankan kebutuhan akan cabai tidak pernah surut, bahkan cenderung meningkat setiap tahun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya berbagai industri makanan yang membutuhkan bahan baku cabai (Suwandi, et al., 1995). Tingginya permintaan cabai tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan industri (Lukmana, 1994), ekspor ke mancanegara seperti Malaysia dan Singapura ( Setiadi, 1994; Sembiring, 2009). Cabai dapat dikonsumsi dalam bentuk segar, kering atau olahan. Hartuti dan Asgar (1994) menyatakan, saat ini cabai banyak dipergunakan sebagai bahan baku industri dan diperdagangkan dalam bentuk kering (awetan). Cabai dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi. Di Sulawesi Selatan tanaman ini sudah lama diusahakan, tetapi tingkat produktivitas yang dicapai masih rendah 4,393 ton/ha jauh dibawah potensi hasil yang sebenarnya (10,89 – 12,32 ton/ha)(Armiati et al., 1993). Hal ini disebabkan 1215 keterbatasan dalam hal penerapan teknologi budidaya. Pada umumnya petani masih menggunakan varietas lokal yang ditanam secara terus menerus serta sehingga kualitas benih cabai yang ditanam masih rendah. Selain itu komponen teknologi budidaya seperti menggunakan varietas unggul, pemupukan berimbang serta pemeliharaan secara intensif , penggunaan mulsa, pengendalian hama/penyakit dan gulma secara terpadu belum sepenuhnya diterapkan oleh petani. Kabupaten Jeneponto didominasi oleh lahan kering yang luasnya mencapai sekitar 40.702 ha atau setara 50,91 % total luas kabupaten. Luas lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan sekitar 26.272 ha atau sekitar 32,86% dari luas total Kabupaten Jeneponto. Pola distribusi dan jumlah curah hujan tahunan Kabupaten Jeneponto ter-golong kering dihampir semua kecamatan (kecuali Kecamatan Rumbia, Kelara dan sebagian Bangkala). Dengan demikian Kabupaten Jeneponto termasuk tipe iklim basah sampai kering. Jenis tanah yang dominan adalah ustropepts dengan luas sebaran sekitar 43.450 ha yang diikuti oleh tanah dystropepts dan haplustuls masing-masing dengan luas sekitar 14.475 ha dan 11.495 ha. Tanah ustropepts yang luasnya dominan merupakan tanah yang tergolong muda dengan tingkat kesuburan tanahnya tergantung dari bahan induk yang biasa juga disebut tanah alluvial (Nurland, 2011). Topografi Kabupaten Jeneponto pada bagian utara terdiri dari dataran tinggi dengan ketinggian 500 sampai dengan 1400 meter diatas permukaan laut, bagian tengah dengan ketinggian 100 sampai dengan 500 meter dari permukaan laut, dan pada bagian Selatan meliputi wilayah dataran rendah dengan ketinggian 0 sampai dengan 150 di atas permukaan laut. Tanaman cabai sudah lama dikenal dan diusahakan oleh petani di Kabupaten Jeneponto, namun luas lahan yang ditanami masih kurang dari 100 ha (Nurland, 2011). Salah satu komponen penting yang berperan dalam peningkatan produksi adalah penggunaan varietas unggul. Berbagai varietas unggul beredar dipasaran yang biasanya merupakan varietas unggul dari luar negeri. Untuk memenuhi permintaan cabai yang terus meningkat, maka perakitan varietas dalam negeri diharapkan mampu menghasilkan varietas unggul baru yang sesuai ditanam di berbagai daerah di Indoneisa. Salah satu benih unggul cabai merah produksi dalam negeri telah dihasilkan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) adalah varietas Lembang-1 dan Tanjung2. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui daya hasil dan kemampuan adaptasi beberapa varietas unggul cabai yang ditanam pada lahan kering di kabupaten Jeneponto. METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan di Kelurahan Tolo Utara, Kecamatan Kelara, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Waktu pelaksanaan Nopember 2008 April 2009. Kajian disusun dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan melibatkan 3 orang petani kooperator sebagai ulangan. Kegiatan menggunakan 3 perlakuan yaitu (1) Varietas Lembang 1, (2) varietas Tanjung 2, dan (3) Varietas Tanduk. varietas cabai Lembang 1 dan Tanjung 2 diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) di Lembang dan varietas Tombak diproduksi oleh swasta. 1216 Bedengan dibuat berukuran lebar 1 m. Diantara bedengan dibuat saluran air dengan lebar 0.5 m. Setiap bedengan terdiri dari 2 baris tanaman. Jarak tanam 50 x 70 cm. Dosis pupuk yang diberikan 150 kg Urea/ha, 100 kg SP 36/ha, 100 kg KCl/ha dan 10 ton pupuk kandang/ha. Pupuk Urea diberikan dua kali, yaitu pada umur 14 hari setelah tanam bersamaan dengan pupuk SP 36 dan KCl, sedangkan Urea kedua pada umur 30 hst. Pupuk kandang diberikan sebelum penanaman sebanyak 400 gr/lubang. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara terpadu. Panen cabai dilakukan pada saat buah mencapai matang optimum secara periodik berdasarkan kematangan buah. Peubah yang diamati adalah keragaan pertumbuhan tanaman dan komponen hasil meliputi: (1) tinggi tanaman umur 30 dan 60 hst, (2) jumlah cabang, (3) umur tanaman berbuah (hari), (4) umur tanaman panen (hari), (5) jumlah buah/tanaman, (6) panjang buah (cm), (7) bobot 10 buah (gr), (8) bobot buah/tanaman (gr) dan (9) produksi/ha (ton). Data dianalisis sidik ragam (Anova). HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tanaman Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan antar varietas terhadap komponen pertumbuhan. Pengamatan 30 dan 60 HST, varietas Tombak memperlihatkan tinggi tanaman yang lebih besar dan berbeda nyata dengan varietas Tanjung 2 dan Lembang 1. Kisaran tinggi tanaman antara 35,23 cm 57,76 cm (Tabel ). Kisaran tinggi tanaman cabai dikelompokkan menjadi lima kelas, yaitu : sangat pendek, pendek, sedang, tinggi, dan sangat tinggi (IPGRI, AVDRC dan Catie (1995) dalam Haryati dan Nurawan (2011). Lebih lanjut dilaporkan bahwa untuk di Indonesia tipe ideal tinggi tanaman cabai merah diduga antara sedang sampai tinggi. Tabel 1. Pengaruh varietas terhadap komponen pertumbuhan cabai merah (Capsicum annuum L). Varietas Tanjung 2 Lembang 1 Tombak Tinggi tan 30 hst (hr) 35,23 a 44,57 b 57,76 c Tinggi tan 60 hst (hr) 63,43 a 72,43 b 87,97 c Jumlah Cabang 25,43 a 38,53 c 28,47 b Umur tan Berbuah (hr) 43,67 a 51,00 b 64,00 c Umur tan Panen (hr) 68,00 a 76,00 b 85,67 c Angka dalam satu lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %. Jumlah cabang merupakan salah satu karakter penunjang hasil cabai merah, karena akan berpengaruh terhadap jumlah buah per tanaman. Jumlah cabang terbanyak pada varietas Lembang 1 (38,53) berbeda nyata dengan varietas Tombak (28,47) dan Tanjung 2 (25,43). Di samping kesesuaian ekologi budidaya, tanaman sayuran berbeda menurut periode tumbuh dan umur panen. Menurut Hartuti dan Sinaga (2006) umur panen cabai sangat bervariasi tergantung jenis cabai dan lokasi penanaman. Cabai dapat dipanen pada umur 60-75 hari setelah tanam untuk yang ditanam pada dataran rendah dan pada umur 3-4 bulan untuk yang di 1217 dataran tinggi. Cabai dipanen setelah buahnya 75 % berwarna merah. Hasil pengkajian menunjukkan varietas Tanjung 2 berbuah paling cepat (43,67 hari) diikuti Lembang 1 (51,00 hari) dan Tombak (64,00 hari) demikian pula umur panen paling cepat pada varietas Tanjung 2 (68,00 hari) diikuti Lembang 1 (76,00 hari) dan Tombak (85,67 hari). Varietas Tanjung 2 dan Lembang 1 merupakan varietas yang lebih genjah dilihat dari waktu berbuah yang lebih cepat, sehingga umur tanaman panen kedua varietas tersebut juga lebih awal dibanding dengan Tombak. Umur panen yang lebih cepat sejalan dengan karakter umur berbunga yang cepat. Hilmayanti et al. (2006) Dalam Syukur dkk, 2010 menyatakan bahwa dalam rangka perbaikan hasil panen, maka perbaikan karakter umur berbunga melalui program pemuliaan juga perlu dilakukan. Karakter umur berbunga awal (genjah) merupakan salah satu karakter unggul dari suatu tanaman. Hal ini sejalan dengan Permadi dan Kusandriani (2006) yang menyatakan bahwa cabai yang dipanen lebih cepat akan menguntungkan petani. Penampilan tanaman tergantung pada genotipe, lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh dan interaksi antara genotipe dan lingkungan. Perbedaan pertumbuhan antar varietas menunjukkan adanya perbedaan kemampuan masing-masing varietas dalam menyerap setiap unsur yang diperlukan dalam pertumbuhan seperti unsur hara, sinar matahari dan faktor lingkungan lainnya. Varietas unggul telah melalui beberapa proses seleksi sebelum dilepas sehingga secara genetik telah memiliki potensi tumbuh yang baik demikian pula dengan potensi hasil yang tinggi. Namun demikian faktor lingkungan sangat mempengaruhi pencapaian potensi genetiknya. Lingkungan yang mendukung akan memberikan penampilan sifat terbaik, sebaliknya lingkungan yang kurang menunjang dapat menyebabkan potensi genetik suatu tanaman tidak dapat dicapai secara optimal. Cabai merupakan tanaman yang memiliki daya adaptasi yang luas. Cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dari tanah berpasir sampai berkilat asalkan terdapat aerasi dan drainase yang baik tanah yang paling ideal untuk tanaman cabai adalah tanah yang mengandung cukup bahan organik dan mempunyai pH sekitar 6.0-6.5. Berdasarkan deskripsinya varietas Lembang-1 dan Tanjung-2 memiliki daya adaptasi yang luas sehingga cocok ditanam pada dataran rendah maupun dataran tinggi (Puslithorti, 2011). Curah hujan yang tinggi dan iklim yang basah dapat menyebabkan tanaman cabai terserang penyakit. Sebaliknya, curah hujan yang rendah dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman cabai terhambat dan dapat mempengaruhi ukuran buah. Intensitas curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman adalah 600-1250 mm per tahun. Cabai sensitif terhadap sinar matahari yang terik tetapi menghendaki penyinaran penuh sepanjang hari. Cabai rentan terhadap hujan yang terlalu deras dan cuaca yang mendung. Namun demikian cabai toleran terhadap naungan hingga 45 %. Suhu udara yang optimal bagi pertumbuhan cabai adalah 16-32 oC. (Wijoyo, 2008). Komponen Hasil Tanaman Terdapat perbedaan dari ketiga varietas terhadap komponen hasil tanaman (Tabel 2). Jumlah buah per tanaman paling banyak pada varietas Tombak (83,67) berbeda nyata dengan varietas Tanjung 2 (64,33) dan Lembang 1 (74,00), demikian pula panjang buah, varietas Tombak paling 1218 panjang (15,67 cm) berbeda nyata dengan Tanjung 2 (12,60 cm) dan Lembang 1 (13,07 cm). Sedangkan bobot 10 buah dan bobot buah per tanaman serta produksi ton/ha tertinggi pada varietas Tombak dan berbeda nyata dengan Tanjung 2 dan Lembang 1. Produksi Varietas Tombak (6,01 t/ha) diikuti Tanjung 2 (5,72 t/ha) dan Lembang 1 (4,50 t/ha). Tabel 2. Pengaruh varietas terhadap komponen hasil cabai Varietas Tanjung 2 Lembang 1 Tombak Jlh buah per Tanaman 64,33 a 74,00 b 83,67 c Panjang buah (cm) 12,60 a 13,07 b 15,67 c Bobot 10 buah (gr) 127,87 b 37,55 a 153,03 c Bobot buah per tan (gr) 655,37 b 244,71 a 763,73 c Produksi ton per ha (t/ha) 5,72 b 4,50 a 6,01 c Keterangan: Angka dalam satu lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 persen menurut DMRT. Produktivitas cabai varietas Tombak lebih tinggi dibanding dua varietas lainnya. Berdasarkan deskripsinya, potensi hasil varietas tombak dapat mencapai 20 ton /ha serta tahan terhadap penyakit antraknosa. Varietas ini merupakan hasil introduksi dari Thailand. Varietas Lembang-1 memiliki potensi hasil 5.6-19 ton/ha dan agak toleran terhadap penghisap daun (trips) dan agak tahan terhadap penyakit antraknosa. Sedangkan varietas Tanjung-2 memiliki potensi hasil 18 ton/ha (Puslithorti, 2011). Varietas yang memberikan hasil yang mendekati atau tidak jauh berbeda dengan potensi hasil yang dimiliki secara genetik dapat dikategorikan sebagai varietas yang memiliki adaptasi dan stabilitas hasil yang baik. Stabilitas di definisikan sebagai kemampuan dari suatu genotipe untuk menghindari perubahan hasil yang besar dari berbagai lingkungan. Dengan demikian stabilitas dan adaptasi suatu varietas sangat ditentukan oleh interaksi antara genotipe dan lingkungan (curah hujan, tanah, suhu, sinar matahari). Tipe iklim Kabupaten Jeneponto termasuk tipe iklim basah sampai kering dan jenis tanah yang dominan adalah tanah alluvial dengan pH tanah 5-7 (Nurland, 2011). Kecamatan Kelara termasuk salah satu kecamatan yang pola distribusi dan jumlah curah hujan tergolong basah dan Jenis tanah andosil. Secara umum agroklimat di kabupaten Jeneponto mendukung pengembangan tanaman cabai. Melalui penerapan teknologi budidaya secara intensif seperti penggunaan mulsa dan pengapuran untuk tanah-tanah yang berpH masam-agam masam, peluang pencapaian produksi sesuai dengan potensi genetiknya dapat tercapai. Analisis Usahatani Cabai Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang diharapkan dapat meningkatkan produksi dan memberikan pendapatan yang lebih besar. Berdasarkan analisis usahatani (Tabel 3), pendapatan tertinggi diperoleh dari varietas Tombak yaitu sebesar Rp. 31.919.000 per hektar, diikuti Tanjung 2 Rp. 29.889.000 per hektar dan Lembang 1 Rp. 21.349.000 per hektar dengan R/C ratio berturut-turut 3,1, 2,9 dan 2,1. Perbedaan keuntungan dari ketiga varietas tersebut disebabkan oleh tingkat produktivitas, sehingga semakin tinggi produktivitas yang dicapai semakin besar. Dari hasil analisis ekonomi, R/C ratio 1219 dari ketiga varietas menunjukkan angka lebih dari satu. Hal ini berarti bahwa semua varietas ungggul cabai yang diuji dapat memberikan keuntungan. Tabel 3. Analisis pendapatan usahatani cabai No 1. 2. 3. 4. 5. Uraian Total Biaya Produksi (Rp) Produksi Pendapatan Keuntungan R/C Tombak 10.151.000 6.01 31.919.000 21.768.000 3.14 Tanjung-2 10.151.000 5.72 29.889.000 19.738.000 2,94 Lembang-1 10.151.000 4.50 21.399.000 11.198.000 2.10 Menurut Brown ( 1983 ), R/C ratio dapat digunakan untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu teknologi untuk diaplikasikan. Semakin tinggi nilai R/C ratio, maka teknologi semakin layak untuk diaplikasikan dan dianjurkan ke petani. Faktor yang mempengaruhi pendapatan dan R/C ratio dari suatu usahatani meliputi tingkat produktivitas hasil, faktor produksi dan harga. KESIMPULAN 1. 2. 3. Cabai merah varietas Tombak, Tanjung-2 dan Lembang-1 cocok untuk dikembangkan pada lahan kering di kelurahan Tolo Utara, Kec. Kelara, Kabupaten Jeneponto dengan capaian hasil masing-masing 6.01 t/ha, 5.72 t/ha dan 5.50 t/ha. Pengembangan ketiga varietas tersebut layak secara teknis dan ekonomis dengan nilai B/C masing-masing 3.14, 2.94 dan 2.10. Produktivitas ketiga varietas tersebut masih dapat ditingkatkan sesuai potensi genetiknya melalui penerapan teknik budidaya secara intensif. DAFTAR PUSTAKA Armiati, Agussalim, Cicu, L. Hutagalung dan St. Norma, 1993. Penanaman cabai, Tomat, Kubis, Kentang dan Kacang Panjang pada Lahan Diantara Mangga. Laporan Hasil Penelitian T.A 1992/1993 Sub Balithorti Jeneponto. Brown, N. L., 1983. Farm Budget From Farm Income Analysis to Agricultural Project Analysis. The John Hopkin University Press. Haryati Yati dan Agus Nurawan, 2011. Pengkajian Budidaya Cabai Merah Varietas Prabu di Kabupaten Cirebon. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol 14(3). Hal: 191-196. Hartuti, N., R.M. Sinaga. 2006. Aspek panen dan pascapanen cabai. hal. 66-81. Dalam A. Santika (Ed.). Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya, Jakarta Hartuti, N. Dan Asgar.1994. Kualitas Bahan Baku dan Hasil Olahan Cabai di tingkat industri komersial dan rumah tangga di Bandung. Buletin Penelitian Hortikultura 26(2):96-103. Lukmana, A., 1994. Agroindustri Cabai Selain Untuk Keperluan Pangan. Ibid. 1220 Nurland, Farida. 2011. Studi zonasi Pengembangan Komoditas Unggulan Kabupaten Jeneponto. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. Vol.8 Nomor 1. Puslithorti, 2011. Unit Produksi Benih Sumber Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. http:upbs.puslithorti.net. Diakses 9 Nopember 2012. Permadi, A.H., Y. Kusandriani. 2006. Pemuliaan tanaman cabai. hal. 22-35. Dalam A. Santika (ed.). Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya, Jakarta. Setiadi, T., 1994. Pemasaran Cabai. Ibid. Suwandi, Nani Sumarni, dan Farid A.Bahar. 1995. Aspek Agronomi Cabai. Dalam Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya, hal 53-65. Sembiring N.N. 2009. Pengaruh Jenis Bahan Pengemas terhadap Kualitas Produk Cabai Merah (Capsicum annuum L). Tesis. Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Syukur Muh, Sriani Sujiprihati, Rahmi Yunianti dan Darmawan Asta Kusumah, 2010. Evaluasi Daya Hasil Cabai Hibrida dan Daya Adaptasinya di Empat Lokasi dalam Dua Tahun. Jurnal Agronomi Indonesia 38 (1) : 43 - 51 (2010) Taufik, M., 2011. Analisis Pendapatan Usaha Tani Dan Penanganan Pascapanen Cabai Merah. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2). Hal: 66-72. Wijoyo Padmiarso M, 2008. Taktik Jitu Menanam Cabai di Musim Hujan. Bee Media Indonesia, Jakarta 1221 APLIKASI MANAJEMEN KEBUN DALAM USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN LUWU Kartika Fauziah, Nurdiah Husnah, Sahardi Mulia Dan Farida Arief Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Telp. 08124223598; email : [email protected] ABSTRAK Paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dikaitkan dengan terbitnya isu manajemen lingkungan yang menekankan pada pengelolaan sumber daya alam yang efektif dan efisien dengan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan di sekitarnya. Perawatan (pemeliharaan kebun kakao) tersebut mencakup pemangkasan, sanitasi, panen sering dan pemupukan. Pada kegiatan sanitasi sekaligus dapat dilakukan pembuatan pupuk organik dikebun sehingga penggunaan pupuk an organik dapat berkurang dan kebun menjadi bersih. Kebun kakao yang terawat dengan baik akan mendapatkan hasil yang baik pula, dan merupakan suatu upaya melestarikan lingkungan yang berkelanjutan. Oleh karena itu perlu upaya untuk mensosialisasikan penerapan manajemen pemeliharaan kebun kakao yang benar kepada petani. Kegiatan ini merupakan kegiatan on farm yang mengintroduksi teknologi pemeliharaan kebun kakao dengan pendekatan partisipatif. Waktu pelaksanaan kegiatan pada bulan Januari - Desember 2011 berlokasi di Desa Jambu, Kec. Bajo, Kab. Luwu. Petani pelaksana adalah FMA Jambu. Ruang lingkup kegiatan meliputi ; sosialisasi, FGD, aplikasi teknologi, pengamatan, analisis data, temu lapang dan pelaporan. Data dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan langsung, kemudian data dianalisis dengan analisis statistik sederhana untuk melihat kelayakan teknis teknologi dan analisis deskriptif terkait karakterisasi teknologi yang didemonstrasikan. Hasil yang diperoleh adalah (1) produksi bunga, pentil dan buah meningkat setelah dilakukan aplikasi teknologi; (2) sebelum aplikasi teknologi ditemukan penyakit kanker batang dan helopelthis ± 10%, akan tetapi setelah dilaksanakan aplikasi teknologi penyakit tersebut tidak ditemukan lagi; (3) komponen teknologi yang diminati petani 100% adalah teknologi pemangkasan, pemupukan dan cara pemupukan. Sedangkan komponen teknologi pembuatan pupuk organik (68%), pembuatan lubang/rorak (55%). Kata kunci : Aplikasi, manajemen kebun, kakao PENDAHULUAN Tanaman kakao (Theobroma cacao L) merupakan komoditas perkebunan yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Luas areal pertanaman kakao di Sulawesi Selatan hingga tahun 2007 mencapai 250.855 ha, dengan produksi total 117.119 ton atau rata-rata 0,677 ton/ha (DIRJENBUN, 2009). Kabupaten Luwu merupakan salah satu sentra utama penghasil kakao di Sulawesi Selatan. Dengan luas lahan mencapai 37.662 ha dengan produksi pada tahun 2006 mencapai 31.543 ton dan terus menurun hingga pada tahun 2008 hanya mencapai 20.200 ton (Dirjen Perkebunan, 2010). Hal ini disebabkan oleh tingginya serangan OPT (PBK, Busuk Buah dan VSD) pada kebun petani. Tingginya serangan ini juga disebabkan oleh kurang terawatnya kebun kakao petani. 1222 Perawatan (pemeliharaan kebun kakao) tersebut mencakup pemangkasan, sanitasi, panen sering dan pemupukan. Pada kegiatan sanitasi sekaligus dapat dilakukan pembuatan pupuk organik dikebun sehingga penggunaan pupuk an organik dapat berkurang dan kebun menjadi bersih. Kebun kakao yang terawat dengan baik akan mendapatkan hasil yang baik pula, dan merupakan suatu upaya melestarikan lingkungan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi berikutnya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain pembangunan berkelanjutan memanfaatkan sumberdaya secara bijaksana, sehingga sumberdaya tersebut tidak habis dan dapat dinikmati oleh generasi seterusnya (Santoso, 2009). Dalam era millennium ini, telah berkembang paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dikaitkan dengan terbitnya isu manajemen lingkungan yang menekankan pada pengelolaan sumber daya alam yang efektif dan efisien dengan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan disekitarnya. Paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut memiliki tiga pilar utama, yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Secara ekonomi, pembangunan agribisnis /agroindustri harus dapat menciptakan pertumbuhan yang tinggi untuk mrncapai kesejahteraan, khususnya bagi stakeholder agribisnis/agroindustri. Secara ekologi, pembangunan tersebut hendaknya menekan seminimal mungkin dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan pengelolaan sumber daya alam. Secara sosial, memberikan kemanfaatan pada masyarakat luas. Paradigma global di atas juga harus diantisipasi oleh para stakeholder agribisnis dan agroindustri, mengingat dalam konteks yang lebih luas (Kristanto, 2004). Oleh karena itu perlu upaya untuk mensosialisasikan penerapan manajemen pemeliharaan kebun kakao yang benar kepada petani. METODOLOGI Kegiatan ini merupakan kegiatan on farm yang mengintroduksi teknologi pemeliharaan kebun kakao dengan pendekatan partisipatif. Waktu pelaksanaan kegiatan pada bulan Januari - Desember 2011 berlokasi di Desa Jambu, Kec. Bajo, Kab. Luwu. Petani pelaksana adalah FMA Jambu. Ruang lingkup kegiatan meliputi ; sosialisasi, FGD, aplikasi teknologi, pengamatan, analisis data, temu lapang dan pelaporan. Data dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan langsung, kemudian data dianalisis dengan analisis statistik sederhana untuk melihat kelayakan teknis teknologi dan analisis deskriptif terkait karakterisasi teknologi yang didemonstrasikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja Teknis Teknologi Manajemen Kebun Kakao Teknologi yang akan di introduksi sebelumnya di sosialisasikan dalam suatu forum pertemuan yang dihadiri oleh petani, penyuluh dan peneliti sebagi nara sumber. Dalam kegiatan ini dicapai kesepakatan tentang jenis dan macam 1223 teknologi yang akan didemonstrasikan sesuai dengan kondisi spesifik lokasi dan kemampuan petani untuk menerapkan teknologi. Apabila kita mengharapkan petani mengadopsi teknologi tersebut, harus diyakini bahwa teknologi tersebut benar-benar diinginkan oleh petani dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi petani. Selanjutnya akan diuraikan karakteristik teknologi yang diintroduksi berdasarkan komponen-komponen aktivitas yang menjadi bagian dari teknologi tersebut, dalam tabel berikut ini : Tabel 1. No 1. Karakteristik teknologi introduksi pada demonstrasi pemeliharaan kebun kakao di Kabupaten Luwu, 2011. Paket/Komponen Teknologi Pemangkasan/ Cara pemangkasan yang benar 2. Pembuatan lubang / rorak 3. Pembuatan pupuk organik langsung dikebun 4. Pemupukan / cara pemupukan 5. Pengendalian Hama dan Penyakit teknologi Karakter Teknologi Introduksi Kelebihan Kekurangan Membuang bagian yang tidak Membutuhkan produktif waktu untuk memangkas Mengatur pertunasan, bunga dan buah Mempermudah panen dan perlindungan tanaman Membuat kebun menjadi bersih Membutuhkan waktu dan Menjadi tempat pembuatan pupuk organic tenaga untuk membuat lubang/rorak Tidak perlu membeli pupuk organik Butuh biaya untuk Dapat langsung dimanfaatkan tanaman membeli decomposer Membuat tanah menjadi lebih subur Pupuk tidak terbuang karena di Butuh waktu timbun lebih banyak dalam Tanaman menjadi lebih baik memupuk Mengendalikan serangan PBK dan VSD Meningkatkan produksi Butuh biaya membeli pestisida Sumber : Hasil Olahan Data Primer Suatu teknologi yang ditawarkan akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar, dibandingkan teknologi lama, maka adopsi akan berjalan lebih cepat. Untuk itu dapat dilakukan dengan cara membandingkan kelebihan dan kekurangan teknologi introduksi dengan teknologi yang sudah ada, kemudian identifikasi teknologi dengan biaya rendah atau teknologi yang produksinya tinggi. Berdasarkan uraian tabel karakterisasi teknologi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa kelebihan atau keunggulan teknologi yang diintroduksi relatif lebih besar dibanding dengan kekurangannya, sehingga diyakini bahwa teknologi tentang manajemen pemeliharaan kebun kakao akan lebih mudah untuk diadopsi oleh petani karena memiliki lebih banyak keuntungan utamanya untuk meningkatkan produksi dan memperbaiki kesuburan tanah. 1224 Efektivitas Teknologi Manajemen Kebun Kakao Data hasil pengamatan produksi sebelum dan sesudah aplikasi teknologi disajikan pada tabel berikut : Tabel 2. Data produksi sebelum dan sesudah aplikasi teknologi pada demonstrasi teknologi pemeliharaan kebun kakao di Kab. Luwu, 2011. Uraian Bunga Pentil Buah Sebelum aplikasi 21 7 5 Sesudah aplikasi 62 10 8 Sumber : Hasil Olahan Data Primer Gambar 1. Grafik data produksi sebelum dan sesudah aplikasi teknologi Dari tabel dan grafik diatas dapat dilihat bahwa produksi bunga, pentil dan buah meningkat setelah dilakukan aplikasi teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa apabila petani melakukan teknologi pemeliharaan kebun kakao yang benar maka produksinya akan meningkat. Untuk data pengamatan intensitas serangan hama penyakit, untuk hama PBK dan penyakit VSD belum ditemukan baik sebelum maupun sesudah aplikasi teknologi. Hal ini disebabkan karena tanaman yang ada di kebun demplot adalah tanaman baru yang berasal dari bibit sambung pucuk dan berumur 1,5 tahun sehingga serangan hama PBK dan VSD belum ada. Meskipun begitu sebelum aplikasi teknologi ditemukan penyakit kanker batang dan helopelthis ± 10%, akan tetapi setelah dilaksanakan aplikasi teknologi penyakit tersebut tidak ditemukan lagi. Hal ini juga menunjukkan bahwa serangan hama dan penyakit akan berkurang apabila teknologi pemeliharaan kebun kakao yang benar dilakukan. Pada tabel berikut akan disajikan efektivitas daripada teknologi yang telah diberikan 1225 Tabel 2. No 1. 2. Persentase efektivitas teknologi pada demonstrasi pemeliharaan kebun kakao di Kab. Luwu, 2011. Jenis Teknologi Pemangkasan Pembuatan pupuk organik Pembuatan lubang / rorak Pemupukan / cara pemupukan 3. 4. Tidak berminat 0 0 teknologi Efektivitas Teknologi (%) Berminat tapi belum Berminat dan akan akan menerapkan menerapkan 0 100 32 68 0 45 55 0 0 100 Sumber : Hasil Olahan Data Primer Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa 100% petani berminat dan akan menerapkan teknologi pemangkasan dan pemupukan/cara pemupukan di kebunnya. Bagi mereka teknologi ini sudah mereka lakukan di kebun sebelumnya walaupun caranya belum benar, sehingga dengan teknologi cara pemangkasan dan pemupukan yang benar mereka akan lebih mudah untuk menerapkan teknologi ini dikebunnya. Sedangkan untuk teknologi pembuatan pupuk organik (68%) dan pembuatan lubang/rorak (55%) petani berminat dan akan menerapkan dikebunnya sedangkan 32% untuk pembuatan pupuk organik dan 45% untuk pembuatan lubang/rorak menyatakan berminat tapi belum akan menerapkan dikebunnya. Alasan mereka belum menerapkan dikebunnya adalah karena teknologi tersebut membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga. Beberapa harapan yang diinginkan oleh petani setelah kegiatan demplot berakhir diantaranya adalah : 1. Kegiatan demplot ini hendaknya berlanjut di tahun yang akan datang. 2. Untuk demplot berikutnya disarankan untuk kegiatan pengendalian hama dan penyakit tanaman kakao. 3. Bimbingan teknologi diharapkan terus berlanjut sehingga produksi kakao dapat meningkat terus. 4. Kegiatan demplot tidak hanya dilakukan pada satu lokasi tapi pada beberapa lokasi sehingga teknologi yang diberikan dapat lebih cepat teradopsi. KESIMPULAN 1. 2. 3. Produksi bunga, pentil dan buah meningkat setelah dilakukan aplikasi teknologi. Serangan hama dan penyakit akan berkurang apabila teknologi pemeliharaan kebun kakao yang benar dilakukan. Komponen teknologi yang diminati petani 100% adalah teknologi pemangkasan, pemupukan dan cara pemupukan. Sedangkan komponen teknologi pembuatan pupuk organik (68%), pembuatan lubang/rorak (55%) dan akan menerapkan dikebunnya. 1226 DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian, 1999. Panduan Umum Pelaksanaan Penelitian, Pengkajian dan Diseminasi Teknologi Pertanian. Deptan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. BPS Kabupaten Luwu, 2006. Kabupaten Luwu dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu. Dinas Perkebunan, 2009. Pemulihan Produksi dan Kualitas Kakao untuk Mendukung Rencana Pengembangan Industri Pengolahan Kakao. Pemerintah Sulawesi Selatan. Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008. Pedoman Umum Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional 2009-2011. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010. Departemen Pertanian, Jakarta. Statistik Perkebunan 2008-2010. http://pertanian-centre.blogspot.com/2008/10/budi-daya-tanaman-kakao.html http://www.mail-archive.com/[email protected]/ msg00037. Htm 1227 KAJIAN PEMANFAATAN KOMPOS PUPUK KANDANG PADA PEMBIBITAN TEBU GENERASI 2 (G2) ASAL KULTUR JARINGAN Peter Tandisau dan Herniwati Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan km 17,5 Makassar Tlp : (0411)556449 email : [email protected] ABSTRAK Kajian Pemanfataan Kompos Pupuk Kandang pada Pembibitan Tebu Generasi 2 (G2) asal Kultur Jaringan. Tujuan Pengkajian yaitu menghasilkan paket teknologi spesifik lokasi pemanfaatan kompos pupuk kandang dalam pengelolaan bibit tebu Generasi 2 (G2) asal kultur jaringan pada pembibitan Kebun Bibit Datar yang mampu meningkatkan jumlah dan kualitas bibit untuk Kebun Tebu Giling di Sulawesi Selatan Kegiatan ini berifat kajian yang ruang lingkupnya meliputi pada media pembibitan, dan aplikasi perlakuan kompos pupuk kandang pada Kebun Bibit Datar. Kajia.n dilaksanakan di Kabupaten Takalar, merupakan pusat pengembangan tebu (Pabrik Gula), berlangsung April – Oktober 2012. Perlakuan disusun dalam RAK dengan 5 perlakuan, 5 ulangan. Perlakuan terdiri dari aplikasi kompos, pupuk kandang, pupuk majemuk NPK, dan kombinasinya. Parameter yang diamati antara lain komponen pertumbuhan bibit mencakup jumlah batang, diameter batang, bobot batang, jumlah mata tunas, serta tinggi tanaman. Data diolah dan dianalisis dengan sidik ragam dan selanjutnya perbedaan perlakuan diuji dengan DMRT. Selain itu juga dianalisis secara ekonomis. Data lain yang diperlukan adalah data analisis kadar hara tanah dan kompos sebelum perlakuan. Perlakuan aplikasi pupuk anorganik tunggal 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha (P3) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan produksi bibit tebu. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kompos pupuk kandang 2 – 5 ton/ha belum mampu memberikan pengaruh yang efektif terhadap pertumbuhan dan produksi bibit tebu. Untuk memenuhi kebutuhan hara N, maka disarankan untuk memberikan kompos pupuk kandang 25 – 30 ton/ha. Akan tetapi jika diterapkan pemupukan berimbang maka dosis tersebut dapat dikurangi dan diimbangi dengan pemberian pupuk anorganik sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kebutuhan hara P dan K pada lokasi penelitian tergolong tinggi sehingga penambahan hara P dan K perlu dipertimbangkan. Kata kunci : Kompos, pupuk kandang, kultur jaringan, tebu. PENDAHULUAN Gula tebu merupakan bahan pangan penting dan merupakan salah satu komoditas strategi dalam kancah perekonomian Indonesia. Sampai saat ini gula masih memerlukan perhatian besar pemerintah karena produksi dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Guna memenuhi kebutuhan gula dalam negeri diupayakan pemerintah melalui impor. Dengan semakin tingginya harga gula dunia dan kebutuhan gula yang terus meningkat akan berdampak negatif terhadap ketahanan devisa. Pada tahun 2007, Indonesia tercatat mengimpor gula sebanyak 3,03 juta t dengan nilai US $ 1,05 miliar (Candra, et.al, 2010) untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah terus berupaya keras meningkatkan produksi gula guna memenuhi kebutuhan tersebut dengan mecanangkan program swasembada gula pada tahun 2014 (Haryono, 2011). 1228 Salah satu daerah penghasil gula tebu di Indonesia adalah Sulawesi Selatan yang diharapkan dapat member kontribusi dalam peningkatan produksi gula di Indonesia. Tiga hal penting yang harus dilakukan untuk mencapai swasembada gula yaitu peningkatan produktivitas, peningkatan rendemen, dan perluasan areal. Kondisi pertebuan (gula) saat ini adalah sebagai berikut : luas aeal kebun 433.000 ha, produktivitas tanaman 78,2 t/ha, rendemen gula 6,48%, dan produksi habrur 2,39 juta ton. Kebutuhan gula tahun 2014 diperkirakan sekitar 5,7 juta ton. Jika produktivitas dan rendemen relatif tetap maka untuk memenuhi kebutuhan gula diperlukan perluasan areal hingga satu juta ha sehingga butuh perjuangan ekstra keras membuka area (hutan) setara ± 570.000 ha. Cara yang dapat diupayakan dalam rangka mengurangi pembukaan lahan adalah meningkatkan produktivitas tebu dan rendemen masing-masing menjadi 87,5 t/ha dan 8,5%. Peluang peningkatan produktivitas dan rendemen tebu cukup besar. Beberapa varietas unggul tebu telah tersedia dengan potensi hasil > 100 t/ha dan potensi rendemen > 10% (Haryono, 2011; Purwono, 2011). Salah satu faktor penting penopang peningkatan produksi dan produktivitas gula (tebu) adalah penyediaan varietas dan bibit unggul bermutu (Purwono, 2011). Pengadaan bibit tebu dalam skala besar, cepat dan murah sangat diperlukan. Pengadaan bibit seperti itu hanya dapat dicapai melalui Teknik Kultur Jaringan (Mariska dan Rahayu, 2011). Perbanyakan cara kultur jaringan pada tebu telah banyak diterapkan di manca negara. Badan Litbang Pertanian juga sudah mulai memperbanyak tanaman tebu asal kultur jaringan pada berbagai varietas unggul yang direkomendasikan. Sehubungan dengan itu perlu disiapkan teknologi spesifik lokasi pengelolaan bibit tebu asal kultur jaringan. Salah satunya adalah pemanfaatan sumberdaya lokal pupuk organik (pupuk kandang) perlu mendapat perhatian karena berperan penting dalam perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Hsieh dan hsieh, 1990; Seybol et.al, 1997; Six et al, 2012) dalam rangka mendukung lingkungan tumbuh bibit yang kondusif sehingga meningkatkan kualitas pertumbuhan bibit tebu di pembibitan. Gula merupakan kebutuhan pokok masyarakat, sumber kalori yang relatif murah. Konsumsi gula di Indonesia cenderung meningkat tiap bulan baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun memenuhi konsumsi industry. Dengan demikian untuk memenuhi pasokan diperoleh diperoleh melalui impor yang volumenya beberapa tahun terakhir > 1 juta ton pertahun dengan nilai ± AS $500 juta, suatu nilai yang cukup besar, menguras devisa (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2010). Tebu merupakan tanaman sumber bahan baku utama gula. Masalah utama perkebunan saat ini antara lain adalah produktivitas dan rendemen rendah, masing-masing 70 – 80 t/ha dan ≤ 7 %, sementara potensi hasil ≥100 t/ha dan ≥10%. Penyebab rendahnya produktivitas dan rendemen diantaranya adalah kurang optimalnya pengelolaan tanaman di on farm, utamanya penggunaan dan ketersediaan bibit yang bermutu belum terjamin. Bibit tebu bermutu saat ini sudah merupakan kebutuhan dasar karena dirasakan mampu memberi nilai tambah (peningkatan hasil) sampai 30% bagi petani kebutuhan bibit tebu bermutu untuk cukup besar. Oleh karena itu bibit tebu bermutu perlu disiapkan dalam skala besar, cepat dan murah. Kondisi ini dicapai hanya melalui perbanyakan kultur jaringan. Bibit tebu hasil kultur jangan sifat genetiknya tetap 1229 sama dengan varietas induknya (asli), sehat dan cepat berkembang. Bibit tebu kultur jaringan perlu pengelolaan yang baik di pembibitan agar mutunya tetap terjamin sampai ke pertanaman kebun tebu giling. Pemanfaatan bahan organik (pupuk kandang) dalam pengelolaan kebun pembibitan tebu diharapkan dapat menjamin mutu bibit tebu generasi berikutnya. Pupuk kandang banyak tersedia (melimpah) di lapang. Proses pengomposan pupuk kandang sederhana dan cepat dapat dilakukan dengan bantuan decomposer (mikroorganisme) yang sudah banyak beredar dan tersedia, serta mudah dan murah. Melalui pemanfaatan pupuk kandang dalam pengelolaan bibit tebu generasi G2 kultur jaringan pada pembibitan Kebun Bibit Datar (KBD) diharapkan mampu memperbaiki kualitas tanah, selanjutnya akan menopang perbaikan kualitas bibit untuk kebun Tebu Giling (Seybold, 1997; Tisdale et.al, 1993). Tujuan pengkajian yaitu menghasilkan paket teknologi spesifik lokasi pemanfaatan kompos pupuk kandang dalam pengelolaan bibit Generasi 2 (G2) asal kultur jaringan pada pembibitan Kebun Bibit Datar (KBD) yang mampu meningkatkan jumlah dan kualitas untuk Kebun Tebu Giling (KTG) di Sulawesi Selatan. METODOLOGI Kajian ini dilaksanakan di Desa Lantang Kecamatan Polongbangkeng Selatan Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, berlangsung mulai bulan Januari hingga Desember 2012. Rancangan Pengkajian Kegiatan ini bersifat kajian dengan komponen teknologi yang dikaji yaitu perlakuan pemupukan dan kompos di kebun bibit datar (KBD). Untuk media tanam : kompos pupuk kandang + tanah dengan perbandingan 2 : 1. Selanjutnya dilakukan transplanting ke kebun bibit datar dengan kombinasi perlakuan pupuk anorganik dan kompos sebagai berikut : 1. Kompos pupuk kandang 5,0 t/ha 2. Kompos pupuk kandang 2,0 t/ha + 300 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha + 50 kg KCl/ha 3. 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha 4. NPK (Pupuk Majemuk 20 : 10 : 10) 1200 kg/ha 5. Kompos pupuk kandang 5,0 t/ha + 200 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha Kegiatan ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok yang terdiri dari 4 perlakuan dengan 5 kali ulangan dengan jarak tanam 25 x 35 cm. Prosedur pelaksanaan kegiatan adalah sebagai berikut (Sugiyarta, 2011) : Persiapan media tanam : tanah, kompos, pupuk dan bahan tanam G2 varietas PS 864 Penanaman bibit di Polybag Pemeliharaan dederan di Polibag Transplanting (umur 6 – 8 minggu) Persiapan kebun bibit Penanaman 1230 Pemeliharaan tanam di kebun bibit Panen (umur 6 bulan) Pengumpulan/Pengolahan dan Analisis Data Parameter yang akan diamati, meliputi jumlah anakan (batang), diameter batang, bobot bagian atas tanaman, serta tinggi tanaman. Selain itu juga akan dianalisis kadar hara tanah dan kompos. Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan sidik ragam, sedangkan pengaruh perbedaan antar perlakuan diuji dengan Duncan Multiple Range Test. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tanah Lokasi Penelitian Produktivitas tebu sangat dipengaruhi oleh kesuburan lahan. Permasalahan teknis yang terjadi pada lahan kering adalah rendahnya produktivitas yang diakibatkan oleh daya dukung lahan yang kurang mendukung pertumbuhan tanaman. Karakteristik lahan di lokasi penelitian berdasarkan hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah bersifat agak masam, C-Organik dan N rendah, sementara P, K, Ca dan Mg kadarnya sedang hingga tinggi. Analisis tanah tersaji secara lengkap pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik tanah lokasi kajian, Takalar 2012. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Parameter pH, H2O pH, KCl C-Organik, % N-Total, % C/N P2O5, HCl 25%; mg/100 g K2O, HCl 25% P2O5, Bray I; mg/100 g K2O, Bray I Kation – dd (me/100 g) Ca Mg K Na KTK;me/100g KB (%) Sumber : Hasil analisis laboratorium tanah, 2012 Nilai 5,72 4,99 1,38 0,20 6 58 80 65 255 Keterangan Masam 8,67 6,51 0,55 0,05 19,05 83 Sedang Tinggi Sedang Sangat Rendah Sedang Sangat Tinggi Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Karakteristik Kompos Pupuk Kandang Hasil analisis kadar hara kompos pupuk kandang yang dipakai tercantum dalam Tabel 2. Kualitas kompos yang digunakan dalam kajian sesuai dengan standart mutu pupuk organik SNI 19-7030-2004. Nilai Rasio C/N (9) menunjukkan bahwa kompos tersebut telah matang, telah mengalami proses pengomposan yang baik, sehingga siap untuk di aplikasikan sebagai pupuk organik. 1231 Tabel 2. Kadar hara kompos pupuk kandang, Takalar 2012 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Parameter N- total, % P2O5,% K2O, % C – Organik, % C/N ratio Ca, % Mg, % Nilai 1,32 1,94 3,05 11,31 9 1,90 0,67 Sumber : Hasil analisis laboratorium tanah, 2012 Keterangan SNI 19-7030-2004 SNI 19-7030-2004 SNI 19-7030-2004 SNI 19-7030-2004 Siap Pakai Sesuai SNI 19-7030-2004 Sesuai SNI 19-7030-2004 Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Komponen Pertumbuhan dan Produksi Hasil analisis sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji bergandan Duncan untuk mengatahui tingkat efisiensi pemupukan terhadap komponen pertumbuhan dan produksi bibit tebu asal kultur jaringan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengamatan komponen pertumbuhan dan produksi tebu, Takalar 2012 Parameter Tinggi Tanaman (cm) Jumlah anakan (btg) Diameter Batang (cm) Berat Segar Bagian atas tanaman (kg) P1 178,0 b 16,5 c 2,45 b 1,88 c P2 180,0 b 19,5b c 2,50 b 1,99 c Perlakuan P3 223,5 a 28,3 a 2,78 a 3,33 a P4 206,0 a 27,5 a 2,30 b 2,70 b P5 175,5 b 22,3 b 2,43 b 1,85 c Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT-0,05. Tinggi Tanaman Hasil analisis statisik data tanaman menunjikkan bahwa tinggi tanaman pada perlakuan yang diberi 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha (P3) lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali dengan perlakuan NPK (Pupuk Majemuk 20 : 10 : 10) 1200 kg/ha (P4). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik baik pupuk tunggal maupun pupuk majemuk mampu menyediakan hara pada fase pertumbuhan. Jumlah Anakan Hasil analisis statisik data tanaman menunjukkan bahwa jumlah anakan pada perlakuan 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha (P3) berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali dengan perlakuan P4 (NPK (Pupuk Majemuk 20 : 10 : 10) 1200 kg/ha). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk tunggal dan pupuk NPK majemuk mampu memberikan pengaruh terbaik terhadap jumlah anakan tebu yang terbentuk. Diameter Batang Hasil analisis statisik data tanaman menunjukkan bahwa diameter batang pada perlakuan 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha (P3) memiliki diameter paling tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik tunggal lebih efektif dalam mempengaruhi diameter batang tebu. 1232 Berat Segar Tanaman Hasil analisis statisik data tanaman menunjukkan bahwa berat segar tanaman pada perlakuan 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha (P3) memiliki diameter paling tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk tunggal lebih efektif memberikan pengaruh terhadap produksi bibit tebu. Berdasarkan parameter-parameter tanaman yang diamati menunjukkan bahwa pemberian kompos pupuk kandang 2 – 5 ton/ha belum mampu memberikan pengaruh yang efektif terhadap komponen pertumbuhan dan produksi bibit tebu. Hal ini dikarenakan karena dosis kompos pupuk kandang tersebut walaupun telah dikombinasikan dengan ¼ dosis rekomendasi pupuk anorganik belum mampu memenuhi kebutuhan hara tebu utamanya hara N. Jika dihitung secara detail, untuk hara N, kebutuhan tebu akan hara N adalah 270 kg/ha atau 600 kg Urea/ha. Sedangkan 5 ton pupuk kandung mengandung 66 kg N atau sebanding dengan 147 kg Urea sehingga diperlukan tambahan 20 ton pupuk kandang agar dapat memenuhi kebutuhan N tebu mengingat N yang terkandung di lokasi penelitian termasuk dalam kategori rendah. Untuk hara P, berdasarkan analisis tanah, kandungan hara P di lokasi penelitian tergolong tinggi. Sehingga penambahan unsur P ke dalam tanah tidak terlalu diperlukan lagi. Demikian juga dengan status unsur hara K dalam tanah yang cukup tinggi. Penambahan hara K kedalam tanah perlu dipertimbangkan untuk dilakukan. Selain itu kondisi lingkungan pertanaman utamanya kebutuhan air yang kurang tersedia saat pertanaman juga memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan produksi bibit tebu. Lokasi penelitian merupakan lahan kering dengan sistem pengairan tadah hujan sehingga sumber air sangat tergantung curah hujan. Selama pertumbuhan tanaman merupakan musim kemarau yang berkapanjangan sehingga kondisi tanah dan tanaman sangat kering. KESIMPULAN DAN SARAN 1. 2. 3. 4. Perlakuan aplikasi pupuk anorganik tunggal 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha (P3) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan produksi bibit tebu. Pemberian pupuk kompos pupuk kandang 2 – 5 ton/ha belum mampu memberikan pengaruh yang efektif terhadap pertumbuhan dan produksi bibit tebu. Untuk memenuhi kebutuhan hara N, maka disarankan untuk memberikan kompos pupuk kandang 25 – 30 ton/ha tanpa pupuk anorganik. Akan tetapi jika diterapkan pemupukan berimbang maka dosis tersebut dapat dikurangi dan diimbangi dengan pemberian pupuk anorganik sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kebutuhan hara P dan K pada lokasi penelitian tergolong tinggi sehingga penambahan hara P dan K perlu dipertimbangkan. 1233 DAFTAR PUSTAKA Chandra, I., P. Siswanto, M. Syukur, dan W. Rukmini, 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Haryono, 2011. Arahan Kepala Badan Litbang Pertanian. Teknis Pembibitan Tebu, 23 – 25 Mei 2011. Bogor Materi Bimbingan Hsieh, S.C. and C.F.Hsieh, 1990. The Use of Organic Matter in Crop Production. Paper presented at Seminar on the Use of Organic Fertilizers in Crop Production Suweon, South Korea, 18-24 June 1990. Mariska, I., dan S. Rahayu, 2011. Pengadaan Bibit Tanaman Tebu melalui Kultur Jaringan. Materi Bimbingan Teknis Pembibitan Tebu, 23 – 25 Mei 2011. Bogor Purwono, 2011. Keragaan Varietas dan Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Tanaman Tebu. Materi Bimbingan Teknis Pembibitan Tebu, 23 – 25 Mei 2011. Bogor Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2010. Perkebunan Outlook Komoditas Pertanian- Seybold, C. A., M.J. Mansbach, D.L. Karlen and H.H. Rogers, 1997. Quantification of Soil Quality. p 387- 404. In R. Lal (Ed.). Soil Processeses and Carbon Six, J.C. F., K. Denef, S.M. Ogle, J.C.Sa, and A. Albrech, 2002. Soil Organic Matter, Biota and aggregation in temperate and tropical soil. Effect of No Tillage. Agronomie 22: 755-775 Sugiyarta, E., 2011. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kebun Bibit dengan Sumber Benih Bagal Mikro Generasi 2 (G2) Kultur Jaringan. Materi Bimbingan Teknis Pembibitan Tebu, 23 – 25 Mei 2011. Bogor Sutanto, R., 2002. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan & Pengembangan, Yogyakarta. 219 hal. Tisdale, S.L., W.L. Nelson, J. D. Beaton, and J.L. Halvlin, 1993.Soil Fertility and Fertilizers. Fifth Edition. Macmillan Pub. Co. New York, Canada, Toronto, Singapore, Sidney. p. 462-607 1234 KAJIAN PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LADA DI SULAWESI TENGGARA Rusdi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Jl. Prof. Muh. Yamin No.89 Puuwatu-Kendari 93114 E-mail : [email protected] ABSTRAK Kajian tentang penerapan komponen teknologi peningkatan produktivitas lada dilaksanakan di Desa Aopa kecamatan Angata Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara, berlangsung mulai Januari 2011 sampai Desember 2012. Kajian bertujuan untuk mengetahui efektifitas penerapan 7 komponen teknologi lada, yaitu : VUB, pembibitan dengan Screen house, pemupukan dengan kompos Trichoderma, penataan kanopi tanaman lada, pemangkasan tiang panjat, drainase dan penanggulangan gulma terhadap pertumbuhan dan produktivitas lada. Hasil kajian secara deskriptif menunjukkan bahwa, prosentase pertumbuhan stek lada dalam Screen house dari VUB Natar-1dan jenis lada Lokal lebih tinggi 56% dan 40% dibanding VUB Petalin-1, Petalin2, Chunuk dan LDK hanya 5%. Persentase pertumbuhan dari setiap varietas/jenis lada di lapangan setelah 2 tahun percobaan sekitar 158 pohon (17%), dengan pertumbuhan vegetatif (tinggi rata-rata 80 cm), jumlah tanaman mulai berbunga yaitu varietas LDK (42.8%), Natar-1 (28.6%), Petalin-1 dan Petalin-2 (14.3%), sedangkan Chunuk dan lada Lokal belum berbunga. Respon petani terhadap penerapan 7 komponen teknologi yang diintroduksikan rata-rata 89.3% menerima, 7.9% ragu-ragu dan 2.8% menolak untuk menerapkan. Kata kunci : Produktivitas, lada , respon, petani. PENDAHULUAN Tanaman lada (Piper nigrum L) adalah tanaman perkebunan yang bernilai ekonomis tinggi. Tanaman ini dapat mulai berbuah pada umur tanaman berkisar antara 2-3 tahun (Badan Litbang Pertanian, 2008). Seperti halnya di Lampung, juga di Sulawesi Tenggara komoditas ini banyak diusahakan petani dalam bentuk perkebunan kecil yang diusahakan secara turun temurun. Areal lada di Sulawesi Tenggara seluas 12806 ha dengan produksi 2733 ton, atau produktivitas 450 kg/ha (BPS Sultra, 2011). Produksi yang dicapai masih tergolong rendah dibanding dari potensi produksi dari beberapa varietas lada unggul misalnya Natar-1 yang dapat mencapai 4,0 t/ha (Kemala, 2006). Dari areal 12806 ha tersebut, sekitar 89.3 % berada di tiga sentra produksi lada Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Konawe Selatan, Kolaka dan Konawe. Khusus Kabupaten Konawe Selatan, terdapat tiga sentra produksi yang tersebar di Kecamatan Landono, Mowila, dan Angata dengan produksi rata-rata 1,8 t/ha (BPS Sultra, 2011). Akibat merebaknya penyakit busuk pangkal batang sejak tahun 2000 silam, menyebabkan produktivitas lada pada ketiga sentra tersebut turun hingga 60 – 90 % dari produktivitas sebelumnya. Jika dibandingkan dengan data 2011 berarti produktivitas lada di Kabupaten Konawe 1235 Selatan pernah mencapai 2,88 – 3,42 t/ha sebelum merebaknya penyakit busuk pangkal batang (Anonimous, 2012). Keinginan petani untuk menanggulangi penyakit busuk pangkal batang sangat tinggi, namun teknologinya belum sampai ke tingkat petani. Satu-satunya upaya petani dalam mempertahankan eksistensi lada di kawasan ini adalah mengganti tanaman yang mati dengan bibit lada baru. Teknik penyadiaan bibit bermutu untuk mengganti tanaman yang mati di tingkat petani belum ditemukan secara khusus. Petani memperoleh bibit dari hasil panen sendiri atau dari petani lain yang tidak terjamin mutunya karena diambil dari tanaman yang lokasinya endemik phytophthora penyebab penyakit busuk pangkal batang. Menurut Manohara et al. (2004), upaya yang dapat dilakukan untuk menekan patogen penyebab penyakit busuk pangkal batang adalah kombinasi perlakuan teknik budidaya yang sehat dan aplikasi agensia hayati Trichoderma. Pengendalian dengan cara tersebut relative aman dari sisi ekologi dan hampir bisa dilakukan oleh semua kelompok tani. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penerapan 7 komponen inovasi teknologi lada, yaitu : penggunaan varietas unggul, pembibitan dengan Screen house, pemupukan dengan kompos Trichoderma, penataan kanopi tanaman lada, pemangkasan tiang panjat, drainase dan penanggulangan gulma terhadap pertumbuhan dan produktivitas lada. METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan di Desa Aopa Kecamatan Angata Kabupaten Konawe Selatan, berlangsung dari Januari 2011 hingga Desember 2012 (2 tahun). Varietas lada yang dikaji adalah varietas yang mempunyai referensi keunggulan, terdiri dari Petaling-1, Petaling-2, Natar-1, Chunuk, LDK diintroduksi dari BALITRO dan varietas/jenis lada Lokal yang eksis ditanam oleh petani setempat. Pembibitan/persemaian stek lada dengan media tanam tanah sub soil yang diinokulasi dengan jamur Trichoderma sp. (Ditjenbun, 2004) dalam polybag yang ditempatkan dalam Screen house berukuran 60 m2. Sedangkan untuk penanaman di lahan petani menggunakan lubang tanam berisi kompos Trichoderma sp. Untuk mengetahui efektivitas dari penerapan komponen teknologi, dilakukan pengambilan data agronomis pada sampel tanaman yang dibibitkan dalam Screen house dan sampel tanaman hasil transplanting setelah 2 tahun tanam di lapangan, dan pengambilan data respon dari hasil wawancara 30 responden petani pengguna teknologi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menghubungkan data kuantitatif dari variabel hasil pengamatan agronomis dan respon petani terhadap keunggulan dari masing-masing komponen teknologi yang diterapkan. 1236 HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Stek lada dalam Pembibitan (Screen House) Pertumbuhan stek lada dari varietas yang di introduksi dan lokal disajikan pada Tabel 1 berikut. Pada Tabel 1 nampak bahwa jenis lada Lokal dan varietas Natar-1 menunjukkan prosentase tumbuh yang lebih baik dibandingkan dengan varietas lainnya. Hal ini disebabkan karena lada lokal, selain telah lama beradaptasi pada kondisi iklim dan tanah khususnya di Kecamatan Angata, juga dapat menyesuaikan dengan kondisi suhu dan media tanam dalam Screen house, dimana pada siang hari berkisar antara 25-32 oC. Hal yang sama, juga pada varietas Natar-1 memperlihatkan daya adaptif yang lebih kuat dibanding varietas lainnya. Tabel 1. Hasil pengamatan pertumbuhan stek lada umur 1 bulan semai di desa Aopa Kecamatan Angata 2011 Varietas Tanam daya Natar -1 Petaling -1 Petaling -2 Cunuk LDK Lokal 613 672 418 328 418 576 Jumlah bibit/stek Tumbuh 343 39 64 28 4 326 Persentase (%) Tumbuh 56,0 5,80 15,31 8,54 0,96 60,0 Identifikasi Perkembangan Pohon Induk Tanaman Lada Perkembangan pohon induk lada di Desa Aopa yang ditanam pada akhir tahun 2011 telah memperlihatkan pertumbuhan yang aktif pada akhir tahun 2012 (Tabel 2). Pada Tabel 2 nampak bahwa pertumbuhan dari varietas Natar-1 lebih aktif dibanding varietas lainnya, baik dari segi populasi yang tumbuh maupun dari segi pertumbuhan vegetatif dengan tinggi tanaman rata-rata 78,5 cm. Secara keseluruhan, rata-rata tinggi tanaman adalah 80 cm, dan beberapa diantaranya sudah mulai berbunga. Pada Tabel 2 mengindikasikan bahwa tanaman yang belum berbunga namun memperlihatkan pertumbuhan yang aktif, dapat dipangkas pucuk untuk memacu pembentukan percabangan yang lebih banyak untuk menghasilkan sulur-sulur panjat yang nantinya dapat dijadikan bibit stek. Hal ini sesuai menurut Badan Litbang Pertanian (2008), bahwa untuk menghasilkan tanaman lada yang dapat tumbuh baik, sebaiknya menggunakan bahan tanaman yang berasal dari sulur panjat. Setek lada dari sulur panjat yang baik diperoleh dari tanaman lada yang belum berproduksi pada umur fisiologis bahan setek 6-9 bulan, pohon induk dalam keadaan pertumbuhan aktif dan tidak berbunga atau berbuah. 1237 Tabel 2. Hasil identifikasi pertumbuhan/perkembangan pohon induk lada di Desa Aopa 2012 Varietas Jumlah tanaman (pohon) Rata-rata tinggi tanaman (Cm) Jumlah tanaman mulai berbunga (pohon) Petaling-1 Petaling-2 Natar-1 Cunuk LDK Unggul Lokal 150 180 220 100 100 200 85 84 87 83 70 73 5 5 10 15 - Respon Petani Terhadap Penerapan Komponen Teknologi Respon petani terhadap penerapan komponen teknologi pengendalian penyakit pada tanaman lada tertera pada Tabel 3 berikut. Pada Tabel 3 nampak bahwa beberapa teknologi yang diintroduksikan dapat diterima, namun sebagian masih ragu-ragu dan sebagian kecil masih menolak. Teknologi pembibitan dengan menggunakan Screen house dapat diterima karena menurut petani teknologi tersebut merupakan metode baru yang cukup efektif untuk pembibitan, proses pembuatannya sederhana, bahan bakunya tersedia di Toko-toko Tani dan harganya terjangkau oleh petani. Varietas introduksi dinilai mempunyai mutu yang baik karena berasal dari Balitri, dimana lembaga tersebut dinilai mempunyai kredibilitas yang telah dikenal petani dalam hal penyediaan bibit-bibit unggul tanaman industri seperti lada. Tabel 3. Respon petani terhadap komponen teknologi pengendalian penyakit pada tanaman lada di desa Aopa kecamatan Angata kabupaten Konawe Selatan No. 1 2 3 4 5 6 7 Komponen Teknologi VUB Pembibitan dengan Screen house Pemanfaatan kompos Trichoderma Pemangkasan/penataan kanopi tanaman lada Pemangkasan/penataan tanaman pelindung Gamal Saluran (drainase) Penanggulangan gulma Menerima 100 100 100 85 Respon (%) Ragu-ragu 0 0 0 10 Menolak 0 0 0 5 90 10 0 60 90 25 10 15 0 Respon petani terhadap teknologi pemanfaatan kompos berbahan jamur Trichoderma dapat diterima karena teknologi tersebut mudah dikerjakan, bahan baku pencampur seperti dedak atau bekatul, alang-alang dan serbuk gergaji tersedia di lokasi. Selain itu, sumber bibit/starterTrichoderma ada lembaga pemerintah yang menyediakan yakni Laboratorium Lapangan Dinas Perkebunan Sulawesi Tenggara dengan harga yang terjangkau oleh petani. Dengan dukungan bahan organic dari hasil pangkasan tanaman pelindung, pemakaian kompos Trichoderma di pertanaman lada lambatlaun akan menyebarkan jamur 1238 Trichoderma karena bahan organic tersebut akan menjadi inang untuk berkembang biak jamur Trichoderma, sehingga ke depan tanaman lada petani akan bebas dari pathogen penyakit busuk pangkal batang. Secara teknis aplikasi Trichoderma cukup satu kali dalam dua tahun, sehingga petani menilai hal ini bahwa tingkat keefektifan jamur Trichoderma cukup lama. Dengan demikian tenggang waktu untuk persiapan pengadaan kembali kompos tersebut secara ekonomi terjangkau oleh petani. Pada Tabel 3 nampak bahwa 10% petani ragu-ragu melakukan penataan kanopi tanaman lada, hal ini karena petani belum terbiasa dengan teknik pelaksanaannya. Sementara 5% petani menolak melakukan pemangksaan/penataan kanopi tanaman karena beranggapan bahwa jika hal itu dilakukan akan mengurangi produksi karena bagian tanaman yang dipangkas atau dihilangkan kemungkinannya akan menghasilkan buah. Rata-rata petani telah melakukan pemangkasan tanaman pelindung karena telah paham terhadap nilai positif dari hasil intersepsi intensitas cahaya matahari ke tanaman guna pertumbuhan dan perkembangan organ vegetative dan reproduktif tanaman. Terdapat kurang lebih 60% petani menerapkan saluran drainase (parit) pada lahan usahataninya, terutama pada lahan-lahan yang letaknya lebih rendah, atau pada lahan dengan topografi yang rata, dimana kerapkali terjadi genangan air ketika curah hujan tinggi. Sementara itu terdapat 15% petani menyatakan ragu-ragu membuat parit karena beranggapan akan terjadi pelukaan pada akar tanaman lada ketika penggalian/pemaculan tanah. Hal ini tergambar karena dari sebagian lahan petani menerapkan cara tanam dengan pola segitiga (2 m x 2 m x 2 m) , jarak atau spasi antar barisan tanaman kurang jelas sehingga menyulitkan didalam mengarahkan parit. Sedangkan 5% petani yang tidak/menolak membuat parit karena lahannya pada posisi kemiringan. Penerapan penanggulangan gulma dilakukan secara manual atau tanpa menggunakan herbisida. Dimana terdapat 90% petani beranggapan bahwa jika menggunakan herbisida, jamur Trichoderma yang sudah dilepas dan berkembang di lahan bisa mati, padahal jamur tersebut yang diinginkan berkembang. Penanggulangan gulma yang dilakukan secara manual yaitu menggunakan parang atau mesin pemotong rumput. Pemakaiannya secara hatihati, tidak sampai melukai tanaman. Sementara itu 10% petani masih ragu-ragu mengendalikan gulma secara manual karena dianggap cukup menyita waktu dan tenaga kerja. KESIMPULAN Penerapan komponen teknologi varietas unggul lada, pembibitan dengan menggunakan Screen house, pemakaian pupuk organik (kompos) berbahan baku jamur Trichoderma dan pengelolaan kebun yang sehat dapat meningkatkan produktivitas lada. Respon petani cukup tinggi terhadap penerapan komponen teknologi yang berarti bangkitnya kembali pertanian lada di Kabupaten Konawe Selatan khususnya dan Sulawesi Tenggara umumnya. 1239 DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 2012. Laporan Akhir Kegiatan Demonstrasi Teknologi Lada Mendukung Kegiatan FMA di Kabupaten Konawe Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008. Teknologi Budidaya Lada. Seri buku inovasi : BUN/16/2008. ISBN : 978-979-1415-37-8. BPS Sulawesi Tenggara, 2011. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2010. Ditjenbun, 2004. Perbanyakan Jamur Trichoderma,sp Skala Petani. Kemala,S. 2006. Strategi Pengembangan Sistem Agribisnis Lada Meningkatkan Pendapatan Petani. Prospektif Vol.5 no.1. : 47 – 54 Untuk Manohara, D., D. Wahyuno dan R. Noverita, 2008. Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Lada dan Strategi Pengendaliannya. Balai Penelitian Rempah dan Obat, Bogor. 1240 KAJIAN PENYARUNGAN BUAH KAKAO YANG DILAKUKAN PETANI DALAM PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO (Conopomorpha cramerella Snellen) Rahmatia Djamaluddin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRAK Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) Conopomorpha cramerella merupakan hama utama pada tanaman kakao yang dapat menimbulkan kerusakan yang sangat besar dan dapat menimbulkan masalah yang sangat serius bagi perkakaoan di Indonesia. Kehilangan hasil akibat serangan hama PBK dapat mencapai 64,90% hingga 82,20%. Pengkajian penyarungan buah kakao sebagai suatu metode pengendalian hama PBK (penggerek buah kakao) yang telah dilaksanakan di desa Bambadaru kecamatan Tobadak kabupaten Mamuju, pada bulan Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui penyarungan buah kakao terhadap tingkat serangan PBK dan pengaruhnya terhadap busuk buah. Hasil pengkajian menunjukkan, penyarungan buah kakao yang berukuran panjang 7-10 cm, terhindar dari serangan hama PBK dan apabila tidak dilakukan penyrungan buah, intensitas serangan mencapai 37,18%. Penyarungan buah kakao tidak mempengaruhi terjadinya busuk buah selama penyarungan dilakukan. Kata kunci: Penyarungan buah kakao, tingkat serangan hama PBK. PENDAHULUAN Hama Penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella merupakan hama utama pada tanaman kakao yang dapat menimbulkan kerusakan yang sangat besar dan dapat menimbulkan masalah yang sangat serius bagi perkakaoan di Indonesia. Wardoyo, 1980 mengemukakan bahwa kehilangan hasil akibat serangan hama PBK dapat mencapai 64,90% hingga 82,20%. Berbagai metode pengendalian hama PBK yang pernah diterapkan bagi petani kakao melalui sekolah lapang antara lain, rampasan buah kakao dan panen buah kakao saat masak awal yang diikuti dengan pembenaman kulit buah kakao. Kedua cara tersebut nampaknya kurang berhasil karena tingkat kedisiplinan petani dalam melakukan metode tersebut tidak optimal dan melakukan kegiatan lain di luar usahatani kakao. Sistem Pemangkasan Eradikasi (SPE) pernah disarankan saat munculnya serangan di Sulawesi Tengah (Sulistyowati dan Prawoto, 1993). Metode ini Nampaknya masih diragukan efektifitasnya Karena serangan ulang tidak dapat dihindari, apalagi jika hamparan pertanaman kakao tidak tidak dilakukan SPE secara menyeluruh.Selain itu buah kakao yang belum terserang akan menjadi korban dan menunggu masa berbuah berikutnya yang cukup lama sehingga metode ini tidak disarankan untuk pertanaman kakao rakyat. Hama PBK termasuk serangga hama yang masih sulit dikendalikan apabila telah menyerang buah kakao karena setelah telur diletakkan di kulit buah dan menetas langsung masuk dan berkembang ke dalam buah. Oleh karena itu 1241 pengendalian dengan menggunakan insektisida dan musuh alami tidak akan efektif (Wardoyo,1980 dan 1981). Dengan demikian maka pengendalian hama PBK yang dapat diharapkan adalah mencegah terjadinya serangan PBK pada buah kakao. Metodepenyarunagan buah kakao dengan menggunakan sarung plastik, merupakan metode untuk mencegah serangga dewasa PBK meletakkan telurnya pada buah kakao. Menurut Morsamdono dan Wardoyo (1984) dan Sjafaruddin, 2005 mengemukakan bahwa buah kakao yang telah disarungi bebas dari serangan hama PBK. Namun demikian metode ini masih mengandalkan penggunaan insektisida sebagai metode pengendalian yang mampu mengendalikan OPT (organisme pengganggu tanaman). Selain itu petani juga masih sulit melakukan penyrungan buah kakao yang letaknya terlalu tinggi. Anggapan itu sudah terjawab karena ditemukannya alat penyarungan buah kakao dengan menggunakan pipaparalon yang mudah di buat dan digunakan oleh petani (Mustafa, 2003 dan Sjafaruddin et al., 2005). Anggapan petani terhadap buah kakao yang disarungi, menyebabkab buah kakao mudah terserang oleh penyakit busuk buah serta menghambat perkembangan buah. Dengan demikian pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyarungan buah kakao terhadap tingkat serangan hama PBK dan pengaruhnya terhadap penyakit busuk buah. METODOLOGI Lokasi Pengkajian Pengkajian dilaksanakan di desa Bambadaru, kecamatan Tobadak, kabupaten Mamuju Sulawesi Barat pada bulan Maret 2010 hingga Agustus 2010. Lahan yang digunakan adalah lahan kelompok tan (klp. Gunung Jaya) yang beranggotakan 25 orang dengan luas lahan sekitar 25 ha. Sosialisasi dan Diskusi Kelompok Tentang Penyarungan Buah Kakao Bagi Petani Sebelum kegiatan dilaukan di lapangan, diperlukan kesepakatan dan pemahaman tentang penyarungan buah kakao dalam mengatasi kehilangan hasil akibat serangan hama PBK. Dalam sosialisasi ini dilkukan juga diskusi, selain untuk menerima umpan balik juga jdiharapkan pemahaman petani dapat lebih jelas dalam melakukan aplikasi penyarungan buah kakao. Penjelasan yang disampaikan kepada petani antara lain: Buah Kakao yang disarungi berukuran panjang 7 cm hingga 10 cm dan setiap petani melakukan pada masing-masing 10 tanaman. Plastik berukuran 15 cm x 25 cm yang digunakan untuk menyarungi buah kakao. Ketebalan plastik yang digunakan adalah 0,02 mm. Untuk buah kakao yang tidak dijangkau dengan tanaman digunakan alat penyarungan buah kakao yang terbuat dari pipa paralon yang berdiameter 2,0 inci. Panjang pipa tersebut adalah 2 meter. Untuk pembuatan alat penyarungan dan cara memotong plastik roll untuk sarung buah kakao, dilakukan praktek pembuatan dan cara menggunakannya. 1242 Kegiatan Lapangan Setiap petani melakukan penyarungan masing-masing di lahan pertanaman kakao miliknya sesuai dengan kesepakatan dalam sosialisasi sebelumnya. Sesuai kesepakatan sebelumnya, maka setiap petani menggunakan tanamannya sebanyak 10 tanaman untuk penyarungan buah kakao dan 10 tanaman lainnya dijadikan sebagai pembanding. Sebelum dilakukan penyarungan diharapkan para petani melakukan sanitasi terhadap buah-buah kakao yang telah terserang penyakitbusuk buah. Sanitasi dimaksudkan agar tidak terjadi sumber inokulum bagi buah kakao pada 10 tanaman yang mendapat perlakuan penyarungan. Penyarungan buah kakao dilakukan pada buah kakao yang berukuran panjang 7 cm – 10 cm dengan menggunakan plastik 15 cm x 25 cm. Ketebalan plastik yang digunakan adalah 0.02 mm. Untuk buah kakao yang tidak dijangkau dengan tangan digunakan alat penyarungan buah kakao yang terbuat dari pipa paralon yang berdiameter 2.0 inci. Panjang pipa tersebut adalah 2 meter. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu diskusi kelompok dan wawancara pada penyuluh pertanian dan ketua kelompok tani,sedang wawancara anggota kelompok tani dilakukan dirumah masing-masing anggota. Waktu wawancara diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu pekerjaan rutin petani dan bersedia memberikan informasi terhadap permasalahan dalam penyarungan buah kakao. Kemudian untuk memperkuat rumusan hasil diskusi dan wawancara, dilakukan kunjungan lapang untuk melihat aplikasi penyarungan buah kakao yang dilakukan petani. Data yang diperlukan adalah buah-buah kakao yang disarungi dan yang tidak disarungi. Data yang terkumpul dianalisa secara deskriptif dan perkiraan kerugian apabila tidak dilakukan pengendalian. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah petani melakukan penyarungan buah kakao di lahannya masingmasing diperoleh tingkat kesalahan dalam melakukan penyarungan buah kakao sesuai ketentuan yang aman dan terhindar dari serangan PBK yang disajikan pada table 1 sebagai berikut. Tabel 1. Jumlah buah kakao yang disarungi petani Ukuran buah yang disarungi (cm) 5–7 7 – 10 10 – 12 Jumlah Jumlah Petani (org) Jumlah buah yang disarungi 21 25 18 416 974 548 1.938 Dari table tersebut terlihat bahwa petani melakukan penyarungan buah kakao mulai dari ukuran panjang buah 5 cm hingga 12 cm. Berdasarkan hasil wawancara masing-masing petani mengemukakan bahwa semua buah yang disarungi man dari serangan PBK. Olehnya itu semua buah kakao berukuran 5 1243 cm – 7 cm dan 10 cm – 12 cm yang telah disarungi, diberi tanda atau label untuk mengetahui dampak hasil penyarungan saat panen mendatang. Hal ini dimaksudkan agar menjdi pembelajaran dan memberikan pemahaman bagi petani bagaimana pentingnya penyarungan buah kakao yang berukuran 7 cm – 10 cm. Tabel 2. Hasil panen buah kakao yang disarungi dan kontrol Uraian Kontrol Jumlah buah yang disarungi Jumlah buah yang dipanen Jumlah buah layu/busuk (%) Intensitas serangan PBK (%) 5–7 416 317 23.80 - 7 - 10 974 974 - 10 - 12 548 548 2.64 2.127 1.598 24.87 37.18 Tabel 2 memperlihatkan bahwa penyarungan buah kakao mampu mengatasi serangan PBK hingga 2.64% jika dibandingkan dengan tanpa penyarungan buah sebesar 37,18%. Hal ini berarti pengendalian hama PBK dengan penyarungan buah kakao berukura 7 cm – 10 cm mampu memperkecil serangan hama PBK. Buah-buah kakao yang berukuran panjang 10 cm – 12 cm masih terserang PBK karena diasumsikan telah terinfeksi terlebih dahulu sebelum penyarungan dilakukan. Dilain pihak pengaruh penyarungan buah kakao tidak memberikan pengaruh pada busuknya buah, namun terlihat adanya buah kakao yang disarungi membusuk/layu terutama pada buah kakao berukuran panjang 5 cm – 7 cm. Hal tersebut diasumsikan akibat pengaruh fisiologi tanaman seperti yang terlihat juga pada buah kakao yang tidak disarungi. 60 50 40 30 Tanpa Penyarungan 20 Penyarungan 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Gambar 1. Intensitas serangan hama PBK pada buah yang disarungi dan kontrol Berdasarkan hasil pengamatan kerusakan biji akibat serangan PBK berdasarkan jumlah biji rusak dibagi dengan jumlah biji seluruhnya, diperoleh intensitas serangan PBK setelah dikalikan dengan 100%. Pada gambar 1 disajikan intensitas serangan PBK pada perlakuan penyarungan dan kontrol sebagai berikut. Buah kakao yang disarungi diharapkan tidak terinfeksi dan terserang hama PBK, namun kenyataannya ditemukan intensitaas serangan walaupun cuku rendah dibanding buah kakao yang tidak disarungi. Pada table 2 terlihat bahwa buah kakao yang disarungi terserang oleh hama PBK pada panjang buah kakao yang disarungi lebih 10 cm. Hal ini diasumsikan bahwa sebelum disarungi sudah 1244 terinfeksi lebih awal oleh hama PBK, sehingga setelah disarungi larva berkembang terus dalam buah kakao. Melihat rata-rata intensitas serngan hama PBK pada buah kakao yang disarungi 2,64% dan pembendingnya (kontrol) mencapai 37,18%. Dilain pihak produksi yang dicapai pada tahun 2009 sebesar 13.289 ton maka kehilangan hasil panen apabila tidak dilakukan pengendalian mencapai 4.940,9 ton. Apabila harga kakao Rp. 10.000 per kg, maka kerugian mencapai Rp. 49 milyar. KESIMPULAN Penyarungan buah kakao yang berukuran panjang 7 cm – 10 cm, terhindar dari serangan hama PBK dan apabila tidak dilakukan penyarungan buah, intensitas serangan mencapai 37,18% Penyarungan buah kakao tidak mempengaruhi terjadinya busuk buah selama penyerungan dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Musamdono dan S. Wardoyo,1984. Kemajuan dalam Percobaan Perlindungan Buah Cokelat dengan Kantong Plastik dan Serangan Acrocercops cramerella Sn. Menara Perkebunan. 52 (4): 93 – 96. Mustafa B. 2003. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) dengan Metode Penyelubungan (kondomisasi) Buah Kakao Muda. Makalah Seminar “ Sosialisasi Peningkatan Produktivitas, Mutu dan Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao” Assosiasi Kakao Indonesia. Lampung 6 Mei 2003. Sulistyowati,E. dan A.A. Prawoto, 1993. Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di Sulawesi Tengah dan Uji Coba Sistem Pemangkasan Eradikasi (SPE) untuk Penanggulangannya. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember. 15 : 20 – 28. Sjafaruddin, Muhammad, Ramlan, Djafar Baco, Muhammad Zain Kanro, Rahmatia Djamaluddin, Nurdiah Husnah, Armiati,Nurjanani, Hatta Muhammad dan Ruchjaniningsih. 2005 Laporan Pengkajian Aplikasi Teknologi PHT dalam Rangka Meningkatkan Produksi dan Pendapatan Petani Kakao di Sulawesi Selatan. Wardoyo S. 1980 The Cocoa Pod Borer. A Mayor Hindrance to Cocoa Development. Indonesia Agricultural Research Development Journal (2) 1 – 4. Wardoyo S. 1981. Strategi Penelitian dan Pemberantasan Penggerek Buah Cokelat. Menara Perkebunan. 49(3) 69 – 74. 1245 PEMANFAATAN TANAMAN SELA DI LOKASI PEREMAJAAN TANAMAN PERKEBUNAN M. Basir Nappu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan KM.17,5 Sudiang, Makassar ABSTRAK Upaya meningkatkan produktivitas tanaman kakao dilakukan melalui rehabilitasi tanaman, baik melalui sambung samping atau penanaman baru. Dalam masa rehabilitasi tersebut terdapat tenggang waktu ± 3-4 tahun hingga tanaman menghasilkan. Diharapkan melalui introduksi tanaman sela pada areal tanaman perkebunan yang diremajakan dapat menjadi sumber pendapatan pengganti bagi petani. Kajian dilaksanakan pada lahan petani yang telah merehabilitasi perkebunan kakao berumur > 15 tahun melalui peremajaan tanaman yakni penanaman kakao baru. Pertanaman kakao tersebut telah berumur ± 1 tahun yang pertumbuhannya relatif kurang seragam, dengan jarak tanam 4 m x 4 m. Kegiatan berlangsung mulai bulan Januari hingga Desember 2008 di desa Kamanre, kecamatan Kamanre, kabupaten Luwu. Perlakuan yang dikaji terdiri atas 3 jenis tanaman sela di antara kakao yakni jagung : varietas Sukmaraga, dan varietas Bisi-2, padi gogo : varietas Situ Patenggang, dan varietas Situ Bagendit, dan kacang hijau varietas Gelatik. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok. Setiap jenis tanaman sela masing-masing ditanam pada lahan sekitar 0.1 ha atau 0,5 ha per petani dan diulang pada 4 petani, sehingga luas areal penanaman lebih kurang 2,0 ha. Pengamatan dilakukan terhadap semua tanaman sela dan tanaman pokok kakao, meliputi komponen pertumbuhan, komponen hasil dan produksi tanaman sela. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan sidik ragam dan selanjutnya dilakukan uji beda ratarata dengan uji jarak berganda-Duncan. Berdasarkan hasil kajian diperoleh bahwa pemanfaatan lahan dengan tanaman sela di antara kakao yang diremajakan umur ± 1 tahun tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao. Pertumbuhan dan hasil tanaman sela tidak berbeda antar varietas. Namun demikian, tanaman sela mengalami penurunan hasil akibat rendahnya tingkat kerapatan populasi tanaman. Tanaman sela, kacang hijau (var. Gelatik) dan jagung var. Bisi-2 dan Sukmaraga sesuai ditanam bersama kakao selama belum berproduksi atau kanopi tanaman kakao saling menutupi. Pendapatan dari tanaman sela tertinggi diperoleh dari tanaman kacang hijau var. Gelatik mencapai Rp. 2.291.780/ha, sedangkan dari jagung var. Bisi-2 dan var. Sukmaraga masing-masing Rp. 1.687.040 dan Rp. 1.558.320 per hektar. Nilai pendapatan pengganti ini mencapai ± 10 % dari pendapatan kakao. Kata kunci : Tanaman sela, peremajaan, kakao, tanaman perkebunan, pengganti . pendapatan PENDAHULUAN Potensi lahan perkebunan yang ada saat ini cukup luas, mencapai sekitar 14,4 juta hektar (BPS, 1998) dan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan sekitar 1,9 juta hektar per tahun. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan penting di Sulsel. Komoditas ini memainkan peranan besar terhadap tatanan perekonomian baik regional maupun nasional, sumbangannya terhadap PDRB, kesempatan kerja, perolehan devisa, dan penggerak roda 1246 perekonomian terhadap sektor-sektor lain (Herman, 2000). Luas pertanaman kakao di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat mencapai ± 290.000 hektar dan produksi sekitar 250.000 t, pemasukan devisa ± $ 200 juta (Rp. 1,8 T), suatu jumlah yang cukup besar (Manwan, 2002, Dinas Pertanian Propinsi Sulsel, 2002). Produktivitas tanaman kakao di Sulawesi Selatan sejak tahun 2000 terus menurun dari 1,5 – 2,0 t/ha menjadi 600 – 800 kg/ha. Salah satu penyebabnya adalah karena tanaman yang ada saat ini sebagian besar sudah berumur > 15 tahun. Upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kembali produktivitas tanaman kakao adalah dengan rehabilitasi tanaman, baik melalui penanaman baru atau sambung samping. Dalam masa rehabilitasi tersebut terdapat tenggang waktu ± 3-4 tahun hingga tanaman menghasilkan. Penanaman tanaman sela pada waktu tersebut merupakan salah satu cara untuk mengoptimalkan lahan selama masa rehabilitasi atau peremajaan tanaman. Komoditas tanaman semusim seperti, jagung, padi gogo, kacang hijau, dan kedelai dapat diusahakan sebagai tanaman sela. Jagung atau padi gogo sebagai tanaman sela berpeluang ditanam pada setiap pembukaan kebun baru atau peremajaan tanaman sampai tahun ke-4 (Sumitro, 1991). Dengan demikian, sebelum atau setelah tanaman perkebunan menghasilkan, lahan kosong di antara tanaman tersebut dapat dimanfaatkan dengan menanam tanaman semusim. Introduksi tanaman sela dapat memberikan beberapa manfaat yaitu : (a) pemanfaatan lahan lebih efisien, (b) kebun dan tanamannya lebih terpelihara dengan baik (c) tersedianya bahan pangan bagi petani (d) sebagai sumber pendapatan petani sebelum tanaman utama menghasilkan. Tahir dan Hamadi (1985) mengemukakan bahwa pemanfaatan lahan di antara tanaman berumur panjang dengan tanaman semusim dapat menghemat penggunaan pupuk, mengurangi biaya penyiangan dan meningkatkan pendapatan petani. Beets dan William (1984) menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pertanaman sistem tumpangsari, di antaranya adalah sifatsifat dari tanaman yang ditumpangsarikan yaitu bukan merupakan inang dari hama/penyakit yang sama, tidak berkompetisi dalam hal penggunaan hara, air, dan cahaya matahari, mempunyai sifat perakaran yang berbeda dan saling menguntungkan. Menurut Newman (1986), penganekaragaman tanaman melalui tanaman sela harus mempertimbangkan kegunaan bagi petani, produksi, penggunaan lahan yang berkelanjutan dan efisien. Hasil pengkajian Silalahi, dkk. (1999) menunjukkan bahwa tumpangsari kentang, buncis, atau cabai pada tanaman jeruk yang belum menghasilkan tidak nyata berpengaruh pada tanaman jeruk. Pada tanaman jeruk yang telah menghasilkan, tumpangsari cabai akan menghasilkan pertumbuhan jeruk yang lebih baik dibanding dengan kentang atau buncis. Demikian pula pada tanaman lain, seperti anggur (Yuniatuti dkk., 1986), sirsak (Hutagalung dkk., 1995; Ramlan dkk., 1998), kelapa (Pusat Penelitian Perkebunan, 2005), penanaman tanaman sela tidak mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman utama bahkan menguntungkan. Berdasarkan hal tersebut dilakukan pengkajian penanaman tanaman semusim sebagai tanaman sela pada rehabilitasi tanaman perkebunan kakao, sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi pendapatan pengganti bagi petani selama tanaman utama belum berproduksi. 1247 METODOLOGI Waktu dan Tempat Kajian dilaksanakan pada lahan petani yang telah merehabilitasi perkebunan kakao berumur tua (> 15 tahun) melalui peremajaan tanaman yakni penanaman kakao baru. Lokasi kajian di desa Kamanre, kecamatan Kamanre, kabupaten Luwu, salah satu sentra pengembangan kakao di Sulawesi Selatan, dengan ketinggian tempat > 100 m dpl. Kegiatan berlangsung mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2008. Rancangan Pengkajian Kajian dilakukan pada lahan pertanaman kakao muda umur ± 1 tahun yang pertumbuhannya relatif kurang seragam, dengan jarak tanam 4 m x 4 m. Perlakuan yang dikaji terdiri atas 3 jenis tanaman sela di antara kakao yakni jagung : varietas Sukmaraga (komposit) dan varietas Bisi-2 (hibrida); padi gogo : varietas Situ Patenggang, dan varietas Situ Bagendit, serta kacang hijau varietas Gelatik. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah Rancangan Acak Kelompok. Setiap jenis tanaman sela masing-masing ditanam pada lahan sekitar 0.1 ha atau 0,5 ha per petani dan diulang pada 4 petani, sehingga luas areal penanaman lebih kurang 2,0 ha. Perlakuan tanaman sela yang dikaji dan teknologi budidaya yang diintroduksikan disajikan pada Tabel 1. Tanaman sela jagung, padi gogo dan kacang hijau masing-masing ditanam dengan jarak 100 cm dari barisan tanaman kakao muda. Jarak tanam untuk jagung bersari bebas 75 cm x 40 cm, jagung hibrida 90 cm x 40 cm, pagi gogo 20 cm x 20 cm, dan kacang hijau 40 cm x 15 cm. Sedangkan, jarak tanam kakao adalah 400 cm x 400 cm, sehingga di antara barisan tanaman kakao dapat ditanami 3-4 baris untuk tanaman jagung bersari bebas - jagung hibrida, 10 baris padi gogo, dan 5 baris kacang hijau. Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan pada sepuluh tanaman untuk kakao dan dua puluh tanaman untuk tanaman sela jagung, padi gogo, dan kacang hijau. Teknologi budidaya, khususnya pemupukan selain diaplikasikan pada tanaman sela juga dilakukan pada tanaman pokok kakao dengan dosis sebanyak 50 g urea, 25 g SP-36, dan 45 g KCL per pohon. Pupuk diberikan ke dalam lubang yang dibuat secara melingkar mengikuti radius kanopi kakao, kemudian ditutup tanah. Di samping itu, pemeliharaan tanaman pada kakao meliputi penyiangan dan pembumbunan, serta pengendalian hama dan penyakit yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. 1248 Tabel 1. Jenis tanaman sela dan teknologi yang diintroduksikan No 1. 2. 3. 4. Teknologi Introduksi Benih Jumlah (kg/ha) Varietas Pengolahan tanah Penanaman Cara tanam Jarak tanam Pemupukan Jenis/Dosis (kg/ha) 5 6. Pemeliharaan Penyulaman Jenis tanaman sela Padi Gogo 20 Gelatik Sempurna 30 Situ Patenggan, Situ Bagendit Sempurna Tugal (2 biji/lbg) 75 cm x 40 cm Tugal (1 tan/lbg) 90 cm x 40cm Tugal (2 biji/lbg) 40 cm x15 cm Tugal (2 biji/lbg) 20 cm x 20) cm Urea 300 (3x) SP-36 100 (1x) KCL 100 (2x) Tugal ditimbun I : 7 – 10 hst II : 25 – 30 hst III : 40 – 45 hst Urea 350 (3x) SP-36 100 (1x) KCL 100 (2x) Tugal ditimbun I : 7 – 10 hst II : 25 – 30 hst III : 40 – 45 hst Urea 50 (3x) SP-36 75 (1x) KCL 50 (1x) Tugal ditimbun I : 7 – 10 hst II : 25 – 30 hst Urea 150 (2x) SP-36 75 (1x) KCL 50 (1x) Tugal ditimbun I : 7 – 10 hst II : 25 – 30 hst III : 40 – 45 hst - - Pengendalian hama/penyakit - 1 minggu stlh tanam 10 hst Herbisida dan manual Insektisida Waktu Panen Biji Masak Fisiologis (Kadar air 36 – 40 %) Cara Panen Petik, pisahkan kelobot Pasca Panen Kacang Hijau 20 Bisi-2 Sempurna Penjaranganan Penyiangan Panen - Jagung Hibrida 20 Sukmaraga Sempurna - 7. Cara Waktu Jagung Bersari Bebas Jemur dengan tongkol - 1 minggu stlh tanam 10 hst Herbisida dan manual Insektisida Biji Masak Fisiologis (Kadar air 36 – 40 %) Petik, pisahkan kelobot Jemur dengan tongkol - 1 minggu st lh tanam - 1 minggu sth tanam - 10 hst Herbisida dan manual - 10 hst Herbisida dan manual - Insektisida - Insektisida Biji Masak Fisiologis Butir Padi Masak kuning Tebas tan/sabit Tebas/sabit Jemur dengan batang Jemur (gabah) 1249 Pengumpulan Data Pengamatan dilakukan terhadap semua tanaman sela dan tanaman pokok kakao, meliputi komponen pertumbuhan, komponen hasil dan produksi tanaman sela. Data pengamatan terhadap masing-masing tanaman yakni, Jagung : tinggi tanaman, panjang tongkol, jumlah biji/tongkol, bobot 1000 biji dan hasil biji kering; Padi Gogo : tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah berisi, dan gabah hampa/malai, bobot 1000 biji dan hasil gabah kering panen; Kacang Hijau: tinggi tanaman, jumlah polong/tanaman dan hasil biji kering; Kakao : tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah cabang kakao. Analisis Data Data yang dikumpulkan dianalisis dengan sidik ragam dan selanjutnya dilakukan uji beda rata-rata dengan uji jarak berganda-Duncan dan Uji –t. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Pertumbuhan Tanaman Kakao Pengaruh tanaman sela terhadap pertumbuhan tanaman kakao dilihat dari tinggi tanaman dan diameter batang, disajikan pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Pertumbuhan tinggi tanaman kakao di lokasi peremajaan yang ditanami tanaman sela Tanaman sela dan kakao Jagung Var. Bisi-2 Jagung Var. Sukmaraga Padi gogo var. St. Patenggang Padi gogo var. St. Bagendit Kacang hijau Kakao monokultur KK(%) 30 73,50d 101,00b 96,00c 95,00c 144,00a 94,75c 3,90 Tinggi tanaman kakao (cm) pada umur (hst) tanaman sela 60 90 106,50c 124,25 c 122,00b 135,00b c 108,00 119,00d 109,00c 149,00a 103,00c 3,10 118,00d 152,00a 119,00d 2,90 120 145,25b 144,50b 145,50b 146,25b 157,75a 142,00b 4,90 Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan Tabel 3. Pertumbuhan diameter batang kakao di lokasi peremajaan yang ditanami tanaman sela Tanaman sela dan Kakao Jagung var. Bisi-2 Jagung var. Sukmaraga Padi gogo var. St. Patenggang Padi gogo var. St. Bagendit Kacang hijau Kakao monokultur KK(%) Diameter batang kakao (cm) pada umur (hst) tanaman Sela 60 90 120 1,45c 1,93c 2,38b 1,76b 2,28b 2,30b ab c 1,83 2,00 2,20c ab c 1,82 1,91 2,25c a a 1,96 2,63 2,75a ab c 1,85 2,00 2,25c 4,60 3,40 3,20 Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan 1250 Berdasarkan data pada Tabel 2 dan 3, tampak bahwa perkembangan tinggi dan diameter batang tanaman kakao secara statistik terdapat perbedaan nyata mulai umur 30 hari setelah tanam (hst) hingga umur 120 hst dari tanaman sela untuk semua jenis. Tinggi tanaman kakao yang dintroduksi tanaman sela umur 30 hst bervariasi 73,50 – 144,0 cm dan pada umur 120 hst tinggi tanaman kakao mencapai 142,0 – 157,75 cm. Sedangkan, pertumbuhan diameter batang kakao juga bervariasi 1,45 – 1,96 cm sejak tanaman sela berumur 60 hst dan 2,2 – 2,75 cm pada umur 120 hst. Namun demikian, pada dasarnya perbedaan tersebut diduga terjadi bukan karena perbedaan pengaruh perlakuan jenis tanaman sela yang diintroduksikan. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebelum introduksi tanaman sela, individu tanaman kakao yang berumur ± 1 tahun sudah memperlihatkan pertumbuhan tinggi tanaman yang bervariasi. Karena itu, keragaman tumbuh antar individu kakao tetap tampak mulai umur 30 hst hingga 120 hst tanpa pengaruh langsung dari tanaman sela. Kondisi ini juga tampak sama pada kakao yang tanpa tanaman sela (monokultur). Hal penting yang dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3, yakni adanya pertambahan tinggi dan diameter batang tanaman kakao yang tumbuh sangat aktif selama ± 3 bulan bersama tanaman sela semua jenis. Hingga umur 120 hst, kakao yang ditanami kacang hijau menunjukkan pertumbuhan tanaman kakao mencapai 157,75 cm dan diameter batang 2,75 cm tertinggi dibandingkan pola tanam sela lainnya. Keragaan pertumbuhan dalam hal pembentukan cabang tanaman kakao, disajikan pada Tabel 4. Data pada Tabel 4 menggambarkan bahwa introduksi tanaman sela tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah cabang yang terbentuk pada tanaman kakao. Jumlah cabang kakao baru sekitar 2,08 – 2,38 pada saat tanaman sela berumur 30 hst dan meningkat menjadi 2,80 – 3,15 pada umur 120 hst. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan di antara pertanaman kakao muda dengan tanaman sela belum mengganggu pertumbuhan kakao. Kondisi tersebut juga didukung oleh perakaran (akar lateral) kakao muda yang belum melebar sehingga tindakan pengolahan tanah, seperti pembumbunan pada tanaman sela tidak merusak akar tanaman kakao. Tabel 4. Pertumbuhan jumlah cabang kakao di lokasi peremajaan yang ditanami tanaman sela. Tanaman sela dan kakao Jagung var. Bisi-2 Jagung var. Sukmaraga Padi gogo Var. St. Patenggang Padi gogo var. St. Bagendit Kacang hijau Kakao monokultur KK(%) 30 2,25a 2,38a 2,10a Jumlah cabang kakao pada umur (hst) tanaman sela 60 90 a 2,50 2,75a a 2,51 2,74a a 2,30 2,50a 120 2,98b 2,80ab 3,15a 2,30a 2,40a 2,65a 3,10a 2,25a 2,08a 10,00 2,46a 2,2a 11,90 2,64a 2,53a 8,20 2,93ab 3,13a 9,00 Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan. 1251 Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sela Jagung Pada pertanaman kakao yang diremajakan, tanaman sela jagung yang dicobakan terdiri atas jagung hibrida varietas Bisi- 2 dan jagung bersari bebas varietas Sukmaraga. Keragaan pertumbuhan tinggi tanaman, komponen hasil, meliputi panjang tongkol, jumlah biji per tongkol dan bobot 1000 biji serta hasil biji kering jagung, disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Pertumbuhan dan hasil tanaman sela peremajaan tanaman perkebunan kakao Tanaman sela jagung Var. Bisi-2 Var. Sukmaraga KK (%) Tinggi tanaman (cm) 245,87a 242,34a 6,57 jagung di lokasi Panjang tongkol (cm) Jumlah biji/tongkol Bobot 1000 biji (g) Hasil biji kering (kg/ha) 17.10 a 16.19a 9,28 438,03a 425,11a 7,80 372,67a 314,11a 14,06 3601,7a 3273,60a 16,11 Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan. Berdasarkan analisis statistik terlihat bahwa data komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil tanaman sela jagung tidak berbeda nyata antara kedua varietas yang dicobakan. Secara visual penampakan tinggi tanaman (245,87 cm) jagung Bisi-2 lebih tinggi dari jagung Sukmaraga (242,34 cm). Selain itu Bisi-2 memiliki panjang tongkol 17,10 cm, jumlah biji/tongkol 458,03 dan bobot 1000 biji 372,67 g. Sedangkan hasil biji kering jagung Bisi-2 mencapai 3,6 t/ha relatif lebih tinggi dari Sukmaraga 3,3 t/ha. Hasil jagung dari kedua varietas tersebut masih jauh dari potensinya yang dapat mencapai 8,5 dan > 10 t/ha masing-masing untuk Sukmaraga dan Bisi-2 bila ditanam secara monokultur. Rendahnya hasil yang dicapai diduga terkait dengan berkurangnya kerapatan populasi per satuan luas tanaman jagung sebagai tanaman sela di antara kakao yang diremajakan. Menurut Harjadi (1979), untuk mendapatkan hasil yang tinggi harus ada perimbangan antar fase vegetatif dengan fase reprodutif. Perimbangan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, panjang hari, serta kepadatan populasi (Arnon, 1972). Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa kedua varietas jagung, Bisi-2 dan atau Sukmaraga dapat tumbuh dan berkembang serta memberikan hasil relatif sama dalam pertanaman kakao yang diremajakan. Padi Gogo Padi gogo varietas Situ Bagendit dan Situ Patenggang sesuai deskripsinya merupakan jenis padi gogo yang memiliki beberapa karakter tumbuh berbeda, namun keduanya termasuk golongan cere, bentuk tanaman tegak, dan umur tanaman sama yakni 110 – 120 hari serta sesuai ditanam pada lahan kering, musim hujan. Ke dua varietas padi gogo tersebut ditanam sebagai tanaman sela pada pertanaman kakao muda yang diremajakan. Data dan hasil pengamatan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi gogo disajikan pada Tabel 6. 1252 Tabel 6. Pertumbuhan dan hasil tanaman peremajaan tanaman perkebunan sela padi gogo di lokasi Tanaman sela Padi Gogo Varietas St.Bagendit Varietas St. Patenggang Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif Gabah berisi/malai (%) Gabah hampa/malai (%) Bobot 1000 biji (g) Hasil GKP (kg/ha) 100,82b 4,12b 61,77a 38,28a 39,44a 634,70a 105,62a 5,11a 65,05a 34,95b 36,73a 797,40a Uji-t * * ns * * * Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji-t Berdasarkan hasil analisis lanjutan terhadap tinggi tanaman dari dua varietas padi gogo yang ditanam sebagai tanaman sela menunjukkan bahwa varietas Situ Patenggang lebih tinggi dibandingkan Situ Bagendit. Perbedaan tinggi tanaman antar varitas tersebut lebih banyak ditentukan oleh perbedaan faktor genetis masing-masing, mengingat pengaruh lingkungan relatif sama. Pada Tabel 6 tampak pula jumlah anakan produktif lebih banyak dihasilkan varietas Situ Patenggang dibandingkan Situ Bagendit. Anakan produktif berkaitan dengan jumlah malai yang dihasilkan dan sekaligus berpengaruh terhadap produksi gabah tiap rumpun. Hal lainnya yang turut menentukan tingkat produktivitas padi gogo adalah komponen hasil seperti, jumlah gabah berisi per malai dan bobot 1000 biji ternyata tidak berbeda antar varietas. Namun demikian prosentase gabah hampa per malai nyata lebih tinggi 38,28% pada varietas Situ Bagendit. Prosentase gabah berisi, di samping dipengaruhi oleh sifat genetis varietas juga sangat ditentukan oleh tingkat serangan hama, seperti penggerek batang dan walang sangit. Dalam kajian ini kendala utama yang dihadapi adalah serangan hama penggerek batang padi dan walang sangit, meskipun pada areal kajian belum pernah ditanami padi dan jauh dari sawah. Dari kenampakan larva dan pupa nya, jenis penggerek batang yang menyerang adalah Chilo sp yang hanya mempunyai tanaman inang padi sawah (Soejitno, 1991). Gejala tanaman yang diserang adalah mati pucuk (gejala sundep) dan malai kering berwarna putih sebelum bulir-bulirnya berisi (gejala beluk). Larva hama ini menggerek batang dari bagian atas ke arah pangkal batang. Kehilangan hasil akibat hama penggerek batang mempunyai hubungan linier dengan gejala beluk, yaitu tiap 1% beluk akan menurunkan hasil 2 – 3% (Soejitno, 1991). Selanjutnya hama walang sangit merupakan hama padi yang penting pada tanaman yang telah berbunga (Suharto dan Siwi, 1991). Serangan sebelum periode matang susu mengakibatkan gabah hampa. Tanaman inang hama walang sangit antara lain Panicum crusgalli L. Scop dan Paspelum dilatanum Poir. Selain walang sangit masih dapat hidup pada Echinoela crusgalli dan E. colonum. Walang sangit lebih mudah dikendalikan dengan insektisisa dari pada penggerek batang. Berdasarkan banyaknya pucuk yang mati serta bulir yang hampa akibat serangan penggerek batang dan walang sangit, kehilangan hasil dalam kegiatan ini diperkirakan sekitar 50% karena penggerek batang tidak dapat dikendalikan secara baik. Hasil gabah kering panen (GKP) padi gogo varietas Situ Bagendit 1253 dan Situ Patenggang tidak berbeda nyata, 643,70 dan 797,40 kg/ha (Tabel 6). masing-masing hanya mencapai Kacang Hijau Keragaan pertumbuhan tanaman kacang hijau, disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Tampak bahwa kacang hijau yang tumbuh pada berbagai lingkungan pola tanam belum banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah polong per tanaman. Keterangan : A = Kacang hijau/ kakao muda B = Kacang hijau/ tan. lain C = Kacang hijau monokultur Gbr 1. Tinggi tanaman kacang hijau tanaman pada berbagai pola tanam. Gbr 2. Jumlah polong pada berbagai pola tanam Pada pola monokultur (C), rata-rata tinggi tanaman kacang hijau mencapai 45 cm, sedangkan bila kacang hijau sebagai tanaman sela dalam pertanaman kakao muda (A) atau jagung/tanaman lain (B) masing-masing sekitar 44,67 dan 49,13 cm (Gbr. 1). Demikian pula dalam hal pembentukan polong, untuk monokultur kacang hijau jumlah polong rata-rata 10,7 pertanaman, sedangkan pola tanam di antara tanaman kakao muda atau jagung/tanaman lain berturut-turut 9,45 dan 9,30 per tanaman (Gbr. 2). Kondisi pertumbuhan tersebut menggambarkan bahwa kacang hijau sebagai tanaman sela yang ditanam secara teratur dan seimbang di antara tanaman pokok, pertumbuhannya tidak berbeda dengan kacang hijau monokultur. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan kacang hijau dan atau jagung sebagai tanaman sela cukup sesuai selama kakao yang diremajakan belum berproduksi atau kanopi tanaman kakao saling menutupi, mungkin sampai tanaman berumur ± 4 tahun. Menurut Beets dan William (1984), penggunaan jarak tanam teratur dimaksudkan untuk menghindari kompetisi antar tanaman terutama dalam hal penggunaan unsur hara, air, dan cahaya matahari. Dalam kajian ini, kacang hijau ditanam dengan jarak 40 cm X 15 cm dan ditempatkan pada jarak 100 cm dari barisan tanaman kakao. Rata-rata hasil biji kacang hijau yang dicapai pada berbagai pola tanam (sebagai pembanding), disajikan pada Gambar 3. Terlihat bahwa kacang hijau 1254 yang ditanam secara monokultur mampu memberikan hasil rata-rata 1 500 kg/ha (Sutarman dan Hakim, 1985), kemudian kacang hijau di antara setiap barisan jagung mencapai sekitar 1 330 kg/ha (Rajit, 1993). Sedangkan, hasil kacang hijau sebagai sebagai tanaman sela diantara pertanaman kakao muda hanya sebanyak 678,63 kg/ha. Hasil ini menunjukkan terjadi penurunan sekitar 45 % dari pola monokultur. Kurangnya hasil tanaman sela dalam pola bersama kakao muda tersebut diduga berkaitan dengan rendahnya tingkat kerapatan populasi tanaman kacang hijau. Pada kajian ini populasi kacang hijau yang digunakan kurang dari 333 333 tanaman per hektar (jarak tanam 40 cm X 15 cm, masingmasing dua tanaman per lobang tugal). Di antara setiap barisan tanaman kakao muda hanya terdapat lima baris kacang hijau. Sedangkan hasil penelitian Sutarman dan Hakim (1985) menyebutkan populasi dari pertanaman monokultur bisa mencapai 666 666 tanaman per hektar atau jarak tanam ganda 50 cm X (20 cm X 15 cm). Keterangan : A = Kacang hijau/kakao muda B = Kacang hijau/tan. lain C = Kacang hijau monokultur Gambar 3. Hasil tanaman kacang hijau pada berbagai pola tanam Analisis Pendapatan Tanaman Sela Analisis dilakukan dengan cara membandingkan perolehan pendapatan dari tiap jenis tanaman sela yang diintroduksikan. Pendapatan merupakan selisih antara total penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan. Penerimaan diperoleh dari nilai harga jual sejumlah hasil masing-masing tanaman sela. Sedangkan, komponen biaya meliputi harga benih, pupuk, pestisida/herbisida, tenaga kerja dan lain-lain. Besaran nilai hasil, biaya produksi, nilai penerimaan dan pendapatan disajikan pada Tabel 7. 1255 Tabel 7. No Analisis pendapatan tanaman tanaman perkebunan kakao Uraian sela di lokasi peremajaan Tanaman Sela 1 Hasil (kg/ha) Jagung Bisi-2 S.maraga 3.601,70 3.273,60 2 B.Prod.(Rp/ha) 500.000 300.000 300.000 300.000 2.00.000 Benih 935.000 870.000 480.000 480.000 350.000 Pupuk 100.000 100.000 100.000 100.000 50.000 1.000.000 1.000.000 1.060.000 1.060.000 1.080.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 Jumlah Biaya 2.635.000 2.370.000 2.040.000 2.040.000 1.780.000 3 Penerimaan (Rp/ha) 4.322.040 3.928.320 1.416.140 1.754.280 4.071.780 4 Pendapatan (Rp/ha) 1.687.040 1.558.320 - 623.860 -285.720 2.291.780 Pestisida/herbi. Tenaga kerja Padi gogo S.bagendit S.patenggang 643,70 797,40 K.hijau 678,63 Lain-lain Catatan : Harga jual : Jagung - Padi (GKP) Kacang Hijau Upah tenaga kerja = = = = Rp. 1.200/kg Rp. 2.200/kg Rp. 6.000/kg Rp.20.000/hari Penggunaan berbagai jenis tanaman sela pada perkebunan kakao yang diremajakan memberikan tingkat pendapatan yang bervariasi. Secara umum, produktivitas setiap jenis tanaman sela mengalami penurunan per satuan luas, dibandingkan bila ditanam monokultur. Karena itu, besaran nilai yang dihasilkan dapat mempengaruhi pendapatan. Pendapatan tertinggi yang dihasilkan dari tanaman sela adalah kacang hijau disusul jagung. Secara parsial, pendapatan yang diperoleh dari tanaman kacang hijau mencapai Rp. 2.291.780/ha. Besaran nilai ini dapat dianggap sebagai pendapatan pengganti dari tanaman kakao yang diremajakan. Dengan asumsi produktivitas kakao saat ini ≤ 1,0 t/ha dan harga tertinggi sebesar Rp. 15.000/kg, tingkat pendapatan kakao kurang dari Rp. 15.000.000./ha. Berdasarkan asumsi di atas, maka pendapatan pengganti yang dihasilkan kacang hijau mencapai >10 % dari pendapatan kakao. Pendapatan yang diperoleh dari tanaman jagung varietas Bisi-2 dan Sukmaraga masing-masing sebesar Rp. 1.687.040. dan Rp. 1.558.320. per hektar. Nilai pendapatan pengganti tersebut juga mencapai ± 10 % dari pendapatan kakao. Untuk tanaman padi gogo, produktivitas tanaman cukup rendah akibat adanya serangan hama penggerek batang dan walang sangit. Karena nilai penerimaan yang dihasilkan lebih kecil dari biaya produksi mengakibatkan pendapatan tanaman sela padi gogo bernilai negatif. 1256 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pemanfaatan lahan dengan tanaman sela di antara kakao yang diremajakan umur ± 1 tahun tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao. 2. Pertumbuhan dan hasil tanaman sela tidak berbeda antar varietas. Namun demikian, tanaman sela mengalami penurunan hasil akibat rendahnya tingkat kerapatan populasi tanaman 3. Tanaman sela, kacang hijau (var. Gelatik) dan jagung var. Bisi-2 dan var. Sukmaraga sesuai ditanam bersama kakao selama belum berproduksi atau kanopi tanaman kakao saling menutupi. 4. Pendapatan tanaman sela tertinggi diperoleh dari tanaman kacang hijau var. Gelatik mencapai Rp. 2.291.780/ha, sedangkan dari jagung var. Bisi-2 dan var. Sukmaraga masing-masing Rp. 1.687.040 dan Rp. 1.558.320 per hektar. Nilai pendapatan pengganti ini ± 10 % dari pendapatan kakao. Saran 1. Guna meningkatkan pendapatan pengganti dari tanaman sela, pola jagung + kacang hijau di antara kakao yang diremajakan dapat dikaji lebih lanjut. 2. Agar kakao tumbuh dan berkembang normal penggunaan tanaman penaung sementara seperti pisang (jarak tanam 6 m x 6 m) setelah kakao berumur 9 – 12 bulan dan selama tanaman kakao belum menghasilkan sangat dianjurkan. DAFTAR PUSTAKA Arnon, 1972. Crop Production in Dry Region. Volume 11. Systematic Treatment of Princippal Crops. Leonard Hill, London. P. 261-344 Beets, C. dan William. 1984. Multiplecropping and Tropical Farming System. Gower Publ. Co. Ltd, Engiand. BPS. 1998. Indonesia dalam Angka 1998. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Dinas Pertanian Sulsel, 2002. Laporan Tahunan 2001. Dinas Pertanian Propinsi Sulsel. Harjadi,S.S. 1979. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia, Jakarta. p. 105-109 Herman, 2000. Peranan dan Prospek Pengembangan Komoditas Kakao dalam Perekonomian Regional Sulsel. Warta Puslit Koka. 16 (1) 21-23. Hutagalung, L.,M. Thamrin, Armiati dan M. A. Mustaha. 1995. Pengaruh Mulsa dan Rotasi Tomat dengan Sayuran lain pada Lahan di antara Kombinasi Mangga, Pisang dan Sirsak. J. Hort. 5 (3) : 57-69. Manwan, I. 2002. Cocoa pod Borer in South Sulawesi. The Status Control Measure and its Constrain. Paper Presented at the Third Intern. Cocoa Conf. And Cocoa Dinner Makassar, October 24-25, 2002. Newman, S. M. 1986. A pear and vegetable interculture system : Land Equivalent Ratio, Light, Use Eficiency and Productivity. Expl. Agric. 22 (4) :383-392. 1257 Rajit, B.S., 1993. Uji Paket Teknologi Budidaya Kcang Hijau Padi Daerah Potensial Untuk Pengembangan. Buku Teknologi Untuk Menunjang Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan Bogor, Balittan Malang. Ramlan dan Nurjanani. 1998. Pemanfaatan Llahan Di antara Tanaman Sirsak Muda dan Tanaman Cabai, Kacang Panjang, Tomat, Kubis dan Bawang Merah. Dalam: Pros Sem. Holtikultura. IPPTP. Hlm. 229-239. Silalahi. F.H., R. Sitepu, E. Bangun, dan E. Sembiring. 1999. Pengkajian Teknologi Tumpangsari Tanaman Hortikultura dan Jeruk Siem Berastagi. J. Pengkajian dan Peng. Tek. Pert. 2 (1) : 23-28 Soenardi dan M. Romli. 1994. Pola Tanam Wijen dan Palawija untuk Peningkatan Penerimaan Petani. Pembr. Littri 20 (1-2) : 1-5. Soejitno, J., 1991. 1991. Bionomi dan Pengendalian Hama Penggerek Padi, p.713 – 736. In Edi Soenarjo, D.S. Damardjati dan M. Syam (Eds.) Padi Buku 3. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan Bogor Suharto, H dan S.S. Siwi, 1991. Walang dan Hama Minor Lain, p. 737 – 750. In Edi Soenarjo, D.S. Damardjati dan M. Syam (Eds) Padi Buku 3. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan Bogor Sumitro, A. 1991. Evaluasi Lingkungan Pemukiman Transmigrasi Pola Hutan Tanaman Industri (Studi kasus di proyek hutan tanaman industri). Bulletin Ilmiah Instiper 2 (2) : 1-15 Tahir, M. dan Hamadi. 1985. Tumpang hilir. CV. Yasaguna, Jakarta. Thong, K.C. and W.L. Ng, 19778. Growth Monocrop and Nutrients Composition of Cocoa Plants on Inland Malaysian Soils. 1978 International Conference on Cocoa and Coconut, Kualalumpur Valmayor, R.V., T.C. Tabora, J.R. Ramirez, W.A. Herrera and A.B. Asencion, 1974. The Natural Distribution of The Root System of Citrus, Lanzones, and Cocoa. The Philippine Agriculture, 58, 244 – 262 Yunuastuti, S., Soegito, dan E. Ismiati. 1986. Usaha penggunaan tanaman sela pada anggur. Hortikultura 20 : 670-672. 1258 PENGEMBANGAN TEKNIK SAMBUNG PUCUK (BUD GRAFTING) SEBAGAI ALTERNATIF PILIHAN PERBANYAKAN BIBIT KAKAO SECARA VEGETATIF DI KORIDOR IV SULAWESI Jermia Limbongan dan Fadjry Djufry Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan KM17,5 Sudiang Makassar 90242 ABSTRAK Perbanyakan bibit kakao secara vegetatif bertujuan untuk mendapatkan bibit kakao yang bermutu tinggi baik kuantitas maupun kualitasnya.Pemilihan teknik perbanyakan bibit kakao yang sesuai tergantung dari ketersediaan entres, tingkat kemampuan SDM, tingkat keberhasilan sambungan dan jumlah kebutuhan bibit, serta ketersediaan fasilitas penunjang. Beberapa alternatif pilihan yang tersedia antara lain, setek,okulasi, sambung pucuk , sambung samping dan somatik embriogenesis. Teknik perbanyakan vegetatif yang paling banyak dilakukan para petani kakaodi Koridor IV Sulawesiadalah sambung pucuk. Teknik ini mudah dilakukan, bahan-bahan yang digunakan mudah didapat dan harganya murah, serta keuntungan yang diperoleh dari usaha perbenihan sebesar Rp. 26.250.500 per 10.000 bibit dengan tingkat kelayakan (B/C) sebesar 1,4. Kata kunci : Kakao, vegetatif, sambung pucuk, entres PENDAHULUAN Sulawesi merupakan salah satu koridor ekonomi penting untuk pengembangan perkebunan dan industri kakao di Indonesia. Menurut Menko Perekonomian Republik Indonesia, daerah ini memiliki area kakao sebesar 58% dari total area kakao di Indonesia atau sekitar 838.037 ha, dengan rata-rata produksi berkisar 0,4-0,6 ton/ha dari potensi sebesar 1-1,5 ton/ha (Coordinating Ministry For Economic Affairs Republic of Indonesia, 2011) Pengembangan kakao didaerah ini didukung oleh sistem pengadaan bibit melalui dua cara yaitu dengan teknik perbanyakan generatif menggunakan biji dan teknik perbanyakan vegetatif menggunakan bahan tanam entres. Kelemahan pengembangan bibit secara generatif menurut hasil penelitian Limbongan (2012) di beberapa daerah pengembangan kakao di Sulawesi adalah petani sering membawa biji kakao dari luar pulau Sulawesi misalnya dari Jawa, dan Kalimantan sehingga memungkinkan penularan hama penyakit dari kedua pulau tersebut ke Sulawesi. Kelemahan lain dari teknik perbanyakan bibit secara generatifialahwaktu yang digunakan lebih lama karena benih kakao harus dikecambahkan terlebih dahulu, kemudian dibibitkan sekitar enam bulan sebelum bibit tersebut ditanam. Menurut Winarno,(1995) perbanyakan bibit secara generatif mempunyai beberapa kelemahan antara lain terjadinya segregasi yang mengkibatkan keragaman hasil biji. Petani kakao di beberapa daerah pengembangan semakin menyadari kondisi tersebut dan untuk menghindarinya mereka melakukan perbanyakan bibit kakao secara vegetatif antara lain melalui teknik sambung samping, teknik 1259 sambung pucuk, setek, okulasi, bahkan beberapa tahun terakhir mulai diperkenalkan perbanyakan kakao melalui teknik somatik embriogenesis (SE). Perbanyakan bibit secara vegetatif biasa disebut klonalisasi karena menggunakan bahan tanam klonal berupa entres yang berasal dari klon unggul. Klonalisasi dapat dilakukan misalnya dengan teknik okulasidi pembibitanmaupun teknik sambung samping tanaman kakao dewasa di lapangan (Rubiyo, 2001).Keuntungan dari teknik klonalisasi di pertanaman yaitu mendapatkan tanaman baru tanpa melakukan penyulaman sehingga tidak perlu membongkar tanaman yang sudah ada (Limbongan et al., 2010). Perbanyakan bibit kakao secara vegetatif memiliki beberapa keuntungan antara lain tidak terjadinya segregasi sehingga hasilnya tidak mengalami keragaman yang tinggi, dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam waktu relatif singkat, dapat memanfaatkan klon unggul lokal sebagai sumber entres sehingga dapat mencegah penyebaran hama dari satu tempat ke tempat lainnya, mudah dilakukan oleh petani, dan tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Limbongan, Lologau, Nappu, Gaffar Thahir, dan N. Lade (2012); Limbongan, dan M. Taufik (2011) di beberapa lokasi pengembangan kakao di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa perbanyakan vegetatif menghasilkan tanaman yang secara genetik sama dengan induknya, dan diperoleh pertanaman kakao yang seragam baik produktivitasnya maupun mutu hasilnya. Hal lain yang juga menjadi alasan digunakannya teknik perbanyakan vegetatif adalah sulitnya untuk mendapatkan pasokan benih. Salah satu pengalaman yang dikemukakan oleh Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (2008)bahwa untuk mendukung pengembangan areal kakao di Indonesia seluas 200.000 ha sampai tahun 2010 yang lalu diperlukan bibit kakao sebanyak 75 juta bibit per tahun. Sedangkan pada waktu yang samaIndonesia hanya mampu menyediakan 57 juta bibit kakao sehingga masih kekurangan 18 juta bibit kakao. Kalau kondisi ini berlangsung terus diperkirakan Indonesia pada satu saat akan mengalami krisis kakao yang berakibat pada menurunnya produksi dan tidak lagi memposisikan negara kita sebagai salah satu dari tiga negara penghasil kakao terbesar di dunia. Informasi yang disampaikan dalam tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk memperluas wawasan dan pengetahuan tentang teknologi perbanyakan bibit kakao secara vegetatif serta bermanfaat sebagai petunjuk bagi para pengguna teknologi untuk mendapatkan bibit kakao yang berkualitas tinggi sertadihasilkan dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat. Beberapa Teknik Perbanyakan Vegetatif Tanaman Kakao Perbanyakan tanaman dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara generatif (sexual) dan vegetatif (asexual). Perbanyakan vegetatif misalnya penyambungan (grafting), okulasi (budding), setek (cutting), cangkok (airlayering) dan dengan berkembangnya teknologi kultur jaringan, telah ditemukan perbanyakan tanaman secara micropropagationmisalnya teknik somatik embriogenesis. (Gambar 1) 1260 Perbanyakan Tanaman Sexual Biji Asexual Cutting Grafting Layer/Succer Micropropagation Gambar 1. Skema beberapa teknik perbanyakan tanaman (dikutip dari Limbongan dan Limbongan, 2012) Hasil penelitian Nappu et al. (2012) mengenai persentase tanaman kakao yang dihasilkan dari perbanyakan secara vegetatif (somatik embryogenesis, sambung pucuk, sambung samping, okulasi, dan setek) yang tumbuhdi lahan sepuluh orang petani di kabupaten Luwu dan sepuluh orang petani di Luwu Utara dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata hasil pengamatan persentase tanaman kakao yang tumbuh di pertanaman sampai dengan tahun ke 3 Lokasi dan Tahun ke Kab. Luwu Tahun kesatu Tahun kedua Tahun ketiga Jumlah Tanaman Kab.Luwu Utara Tahun kesatu Tahun kedua Tahun ketiga Jumlah Tanaman Persentase Tanaman kakao yang tumbuh di pertanaman Somatik Sambung Sambung Okulas Embriogenesi Samping Setek pucuk i s 96,2 66,0 51,3 96,4 88,5 80,3 94,5 94,5 94,5 1.060 590 345 100,0 78,1 62,3 96,8 94,2 83,9 80,3 76,1 76,1 633 155 132 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Sumber : Nappu et al. (2012) Setek Teknologi setek (cutting) adalah menumbuhkan bagian atau potongan tanaman kakao dalam media tanah, sehingga menjadi tanaman baru.Pembibitan secara setek dimulai dengan memilih pohon induk sebagai sumber bahan tanam (entres). Setelah setek diberi hormon perangsang tumbuh akar ditempatkan dalam peti pembibitan atau bedengan yang telah diisi pupuk organik dicampur tanah sambil dijaga tempetatur dan kelembaban lingkungannya, penyinaran yang cukup. Setelah setek tersebut menghasilkan akar, kemudian dipindahkan kedalam wadah lain yaitu polybag yang sudah diisi campuran tanahdan pupuk organik untuk menjalani stadia hardening pertama. Pada stadium ini tanaman masih perlu mendapat perhatian yang sangat hati-hati terutama dalam hal 1261 pemberian air, cahaya dan temperatur.Setelah berumur 5-6 bulan bibit tersebut sudah siap dipindahkan ke pertanaman ( Prawoto, 2008). Pada beberapa negara, produksi biji kakao yang diperoleh melalui setek tergantung dari keterampilan dan perhatian penuh dari pelaksana perbanyakan vegetatif. Hasil penelitian Inter American Cacao Center memperlihatkan bahwa produksi biji kering klon kakao ICS 1 yang diperbanyak melalui benih adalah 458 kg/ha/tahun sedangkan melalui setek sebesar 1.190 kg/ha/tahun. Penelitian yang sama pada klon ICS 95 diperoleh 526 kg/ha/tahun dari tanaman semaian dan 1.318 kg/ha/tahun dari tanaman setek (Urquhart, 1956). Petani di Indonesia jarang menggunakanteknik ini karena memerlukan entres yang lebih banyak dan juga memerlukan biaya tambahan untuk pembelian zat pengatur tumbuh (ZPT) untuk merangsang pertumbuhan akar. Okulasi Teknologi okulasi (budding) dilakukan dengan mengambil potongan kecil kulit batang yang mengandung satu tunas vegetatif diambil dari entres dan ditempelkan pada batang bawah. Biasanya mata tunas yang digunakan untuk okulasi diambil disekitar pangkal daun, diantara tangkai daun (petiole) pada batang. Kenyataan menunjukkan bahwa penempelan mata tunas yang benar akan bertumbuh dengan baik bila ditempatkanpada posisi yang benar pada batang bawah (Wiesman, 2002). Perbanyakan tanaman kakao dengan menggunakan teknik okulasi, sebaiknya dilakukan pada saat tanaman pada stadium pertumbuhan generatif. Dengan menggunakan teknik ini akan dihasilkan tanaman yang cepat berbunga dan berbuah.Keuntungan teknik okulasi adalah entres yang digunakan lebih sedikit karena hanya satu tunas yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu bibit tanaman.Selain itu, pelaksanaan lebih cepat dan ekonomis apabila tersedia batang bawah yg banyak. Berbagai variasi dari metode ini adalah modifikasi Forket, metode T (T-budding), metode T terbalik, metode Jendela (Patch budding), dan okulasi hijau (Green budding).(Limbongan dan Limbongan., 2012). Pada Tabel 1 terlihat bahwa tidak ditemukan pertanaman yang berasal dari bibit okulasi dan setek baik di Luwu maupun di Luwu Utara.Hal ini menunjukkan bahwa petani lebih tertarik untuk melaksanakan perbanyakan bibit secara sambung pucuk dibanding okulasi dan setek. Sambung Pucuk Teknologi sambung pucuk (bud grafting) adalah penggabungan dua individu klon tanaman kakao yang berlainan menjadi satu kesatuan yang utuh dan tumbuh sebagai satu tanaman baru.Teknik ini menggunakaan bibit kakao sebagai batang bawah disambung dengan entres yang berasal dari kakao unggul sebagai batang atas. Bibit batang bawah siap disambung pada umur 2,5 – 3 bulan. Dari Tabel 1 dapat pula disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan sambungan yang dicapai petani kakao menggunakan teknik sambung pucuk bisa mencapai 85% di kabupaten Luwu dan 88% di kabupaten Luwu Utara.Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Limbongan dan Taufik (2011) di kabupaten Luwu dan Luwu Utara yang menyimpulkan setiap kelompok penangkar bibit kakao memiliki rata-rata 70% bibit asal sambung pucuk, 0% asal okulasi, 20% asal sambung samping dan 10% asal biji dan SE. Keuntungan yang diperoleh petani 1262 dari hasil penjualan bibit sambung pucuk cukup besar misalnya hasil pengamatan Cocoa Sustainability Partnership (2012) yang menyatakan bahwa biaya yang diperlukan untuk menghasilkan satu bibit menggunakan tenaga buruh dengan kapasitas pembibitan 1000 bibit sebesar Rp. 2.050,- Dengan harga lokalRp. 4.500,- per bibit, maka dapat diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.450,- per bibit. Sambung Samping Teknologi sambung samping (side-cleft-grafting) yaitu teknik yang digunakan untuk merehabilitasi tanaman kakao yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Teknik ini dilakukan dengan cara menyambungkan entres kakao unggul (sebagai batang atas) pada tanaman kakao dewasa yang tidak produktif (sebagai batang bawah). Teknik ini hanya digunakan untuk merehabilitasi tanaman kakao yang sudah tua dan sudah tidak produktif lagi, dan bukan untuk perbanyakan bibit. Hasil pengamatan persentase sambung jadi pada beberapa lokasi pengembangan juga dipengaruhi oleh kemampuan petani melakukan sambungan.Hasil penelitian yang dilakukan Limbongan et al. (2010) di kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan menyimpulkan adanya perbedaan tingkat keberhasilan sambungan yang dicapai oleh petani yang melakukan sambungan.Persentase sambung jadi yang dicapai petani dengan pengalaman menyambung selama 1-3 tahun bervariasi antara 53-74 %. Minat petani di kabupaten Luwu (Tabel 1) untuk melakukan sambung samping cukup besar dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Sulawesi. Hasil biji kering yang dihasilkan dari sambung samping pada klon ICS 60 mencapai 2,34 ton/ha/tahun hampir sama dengan hasil penelitian Salim et al. (2008) yang mencapai 2,5 ton/ha/tahun. Somatik Embriogenesis Somatik embriogenesis adalah proses menumbuhkan sel somatik dalam kondisi terkontrol, yang selanjutnya berkembang menjadi sel embriogenik. Setelah melewati perubahan morfologi dan biokimia akan terbentuk embrio somatik (Von Arnold, 2008).Teknik ini juga dapat menyediakan bibit dalam jumlah besar, sehingga dapat mengatasi masalah dalam penyediaan kecambah. Dengan demikian, somatik embriogenesis berperan penting dalam perbanyakan klonal kakao, karena dapat menghasilkan tanaman yang secara genetik sama dengan induknya dan secara morfologi normal. Walaupun teknik somatik embriogenesis masih dilakukan dalam bentuk uji coba namun teknologi ini memiliki prospek jangka panjang ke depan karena memiliki keunggulan- keunggulan dibanding tanaman asal benih, okulasi ortotrop, okulasi plagiotrop, dan setek. Tanaman hasil somatik embriogenesis memiliki tajuk sempurna, berakar tunggang, pertumbuhan tanaman seragam, vigor sempurnah, masa tanaman belum menghasilkan 4 bulan lebih cepat, relatif tahan kekeringan, dan mampu berproduksi tinggi (Winarsih et al. 2002). Menurut Lembaga Riset Perkebunan (2008) panen pertama, dapat dilakukan pada umur 3 tahun setelah tanam, dengan produksi 500 kg/ha/tahun.Hasil ini lebih tinggi 500% dibandingkan dengan hasil tanaman asal benih.Dengan demikian, selisih hasil ini sudah dapat menutupi perbedaan harga 1263 bibit asal somatik embriogenesis dan yang berasal dari benih. Hasil akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman, mencapai 1.680 kg/ha/tahun pada umur 5 tahun setelah tanam. Dengan demikian, tanaman kakao asal somatik embriogenesis tidak hanya memiliki sifat yang sama dengan induknya, tetapi juga lebih unggul dibandingkan dengan bibit konvensional yang selama ini digunakan di seluruh dunia. Namun ada beberapa kelemahan dari bibit SE yang masih perlu disempurnahkan seperti hasil penelitian Limbongan et al. (2011) di kabupaten Luwu dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan yang menyimpulkan bahwa peremajaan tanaman dengan menggunakan klon unggul hasil SE (somatik embriogenesis) 70-80% petani menganggap bahwa klon unggul hasil SE kurang beradaptasi di lapangan. Ditemukan juga beberapa kelemahan misalnya tanaman mudah tumbang, jorget tinggi (rata-rata 1,5 meter) mudah terserang penyakit VSD, tingkat kematian tanaman dilapangan cukup tinggi, buah dan biji kecil. Berbagai Pertimbangan Pemilihan Teknologi Perbanyakan Vegetatif Tanaman Kakao Untuk keberhasilan implementasi teknik perbanyakan vegetatif tanaman kakao, perlu dilakukan pemilihan teknik perbanyakan vegetatif tertentu yang lebih sesuai dan menguntungkan bila dilakukan pada kondisi tertentu. Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing teknik perbanyakan vegetatif yang perlu dipertimbangkan pada saat pemilihan teknik perbanyakan misalnya: tanaman asal setek (cutting) lebih cepat berbunga dan berbuah, tetapi bentuknya pendek dan percabangannya rendah sehingga mempersulit pengelolaan kebun. Kelebihannya adalah populasi tanaman yang dihasilkan betul-betul klonal sehingga sangat bermanfaat untuk bahan penelitian dan pengembangan kebun benih (Hartman et al. 1997). Pada kondisi dimana ketersediaan bahan tanam berupa entres kurang jumlahnya, maka sebaiknya memilih teknik okulasi karena dengan teknik ini jumlah entres yang digunakan lebih sedikit dibandingkan dengan teknik sambung pucuk. Apabila sasaran rehabilitasi adalah tanaman kakao dewasa yang tidak produktif karena umur tua atau karena memang berasal dari klon yang tidak produktif, maka pilihan jatuh pada teknik sambung samping. Kelebihan teknik ini adalah karena pekebun tidak perlu membuat pesemaian baru atau membongkar tanaman tua tersebut, tetapi hanya menyambungkan entres kakao unggul sebagai batang atas pada batang kakao yang tidak produktif sebagai batang bawah.Dengan teknik ini, tanaman lebih cepat meng