Bencana - Inovasi Online
Transcription
Bencana - Inovasi Online
Vol. 18/XXII/November 2010 io.ppijepang.org PPI JEPANG ISSN 2085-871X KECERDASAN SOLUSI HIDUP Manajemen Bencana Tsunami Mentawai Banjir Khusus Analisis Kejadian dan Proyeksi Kesiapsiagaan 6 Proses, Karakteristik dan Upaya Mengatasinya 14 Sepuluh Esai Terbaik Kompetisi Esai PPIJ 2010 86 Vol. 18/XXII/November 2010 Editori@l Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam Cahyo Budiman (Editor) 1 Topik Utama Tsunami Mentawai 2010: Analisis Kejadian dan Proyeksi Kesiapsiagaan di Masa Depan Abdul Muhari, Fumihiko Imamura, Subandono Diposaptono 6 Banjir: Proses, Karakteristik, Karakteristik, dan Upaya Mengatasinya Mohammad Farid 14 TwoTwo-dimensional Cellular Automata Approach for Disaster Spreading Ahmad Basuki, Kohei Arai 19 Cellular Automata for Micro Traffic Modeling and Simulation Tri Harsono, Harsono Kohei Arai 27 Stres dan Penyakit Kardiovaskuler pada Korban Bencana Alam: Insiden, Patofisiologi, dan Penanganan Udin Bahrudin, Sulistiyati B. Utami 35 Nasional Effects of Land Use Planning in PERPRES 54/2008 on River Discharges Miga Magenika Julian, Fumihiko Nishio, Poerbandono, Philip J. Ward 44 Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha Mustamin Rahim 49 Iptek dan Inovasi InternetInternet-based Lecture on Satellite Imagery Processing and Geographic Information System using Open Source Softwares Fatwa Ramdani 57 Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa untuk Pengeringan Rosela (Hibiscus sabdariffa) Dyah Wulandani, Wulanda Leopold Oscar Nelwan, I Made Dewa Subrata, Edi Sutoyo, Guyup Mahardhika Mahard 61 Kesehatan Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati: Menuju Pengobatan Regeneratif Liver yang Efektif Gana na Adyaksa 67 Catatan Riset Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium pada Bahan Bakar Bekas Reaktor Berpendingin Air Ringan (LWR) Sidik Permana, Permana Azizul Khakim, Deby Mardiansyah 75 Determination of Arsenic in Coal Fly Ash by Graphite Furnace atomic Absorption Spectroscopy for Direct Solid Sampling System Sri Hastuti, Hastuti Shinji Kambara 82 Khusus: 10 Esai Terbaik PPIJ A New Strategy to Ensure the Compatibility between R&D and Societal Demands Arief Yudhanto | First Prize 86 Improvement of Waste Management in Indonesia Bayu Prabowo | Second Prize 89 Towards KnowledgeKnowledge-Driven Nation: An Open Letter to Minister of Research and Technology of Indonesia Radyum Ikono | Third Prize 92 Small, Blue and Beautiful: Beautiful: A Dream for A Better Indonesia without Endangering the Environment Himawan Tri Bayu Murti P. 94 Dealing with the Obstacles in Establishing a Good Participatory Development in Indonesia Novri Susan 96 Entrepreneurship for Better Indonesia Batari Saraswati 98 Innovate or Pirate: Enforcing Intellectual Property Rights among Uncertain Worlds, Worlds, Case Study of Indonesia Lutfah Ariana 100 Can the Economy Grow without Hampering the Environment? Ibnu Susanto 102 Waste Management and WasteWaste-toto-Energy: Energy: Priorities to Overcome Sanitary Problems in Indonesia Aretha Aprilia 105 Towards a Country without Unemployment: The Role of Entrepreneurship Mukhamad Najib 107 Redaksi Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi 109 Dewan Editor Inovasi 112 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online EDITORIAL Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam Cahyo Budiman Editor Inovasi Online Tiga bencana besar menerpa negara kita dalam interval waktu yang relatif pendek. Mulai dari Wasior yang disapu bersih banjir bandang di awal Oktober 2010. Tidak kurang dari 100 orang 1 dinyatakan meninggal dan hampir 500 orang hingga kini dinyatakan hilang terseret banjir. Belum selesai kisah Wasior, perhatian kita dipaksa dialihkan ke sisi barat negeri ini: Mentawai. Tsunami yang dipicu gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter (SR) meluluh-lantakkan pulau kecil ini di malam 25 Oktober 2010. Lebih dari 400 orang dinyatakan tewas dan 500 orang sampai 2 sekarang belum diketahui keberadannya. Selesai? Rupanya belum! Gunung Merapi yang terkenal paling aktif di Indonesia pun tidak mau ketinggalan “bermainmain”. Erupsi (pertama) terjadi hanya berselang sehari pasca bencana di Mentawai disusul kemudian erupsi terbesar sepanjang 100 tahun terakhir di awal November 2010.3 Hampir 500 penduduk di sekitar Merapi tewas akibat bencana ini, belum lagi kerugian materi lainnya yang jumlahnya tentu sangatlah besar. Desa-desa di punggung Merapi yang porak poranda diterjang awan panas (wedhus gembel) dan berselimut debu vulkanik laksana kota hantu dalam film-film horor (Gambar 1). Sungguh satu potret yang begitu mengerikan dan menyedihkan. Gambar 1. Suasana desa di kaki gunung Merapi (foto oleh Fikri Muftih Akbar, Jakarta) Rentetan bencana di atas setidaknya makin menyodorkan tumpukan bukti kepada kita bahwa 4 Indonesia termasuk negara (paling) rawan bencana alam. Lokasinya yang dikepung oleh lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik membuat Indonesia menjadi sasaran empuk bagi bencana gempa bumi berikut “bonusnya”, gelombang tsunami.5 Kondisi ini diperparah dengan posisi Indonesia yang berada di jalur The Pacific Ring of Fire (cincin api pasifik) yang terkenal sebagai jalur rangkaian gunung api paling aktif di dunia. Tidak kurang dari 240 buah gunung berapi berada di Indonesia dimana 70 diantaranya terkategori aktif dan siap menebar bahaya 6 kapanpun bagi masyarakat sekitarnya. Kondisi faktual ini setidaknya membangun kesadaran kolektif bangsa ini tentang perlunya sebuah manajemen penanganan bencana yang apik untuk mengurangi jumlah korban yang jatuh saat bencana itu datang. Di titik inilah, peranan ilmu pengetahuan menjadi penting dalam membangun landasan logis penyusunan manajemen bencana alam di negeri kita (scientificbased disaster management). Relasi ilmu pengetahuan dan bencana alam inilah yang kemudian menjadi sebuah catatan tersendiri yang perlu kita renungkan sebagai bagian dari solusi hujan bencana di Indonesia. Karena tidak bisa dipungkiri, ilmu pengetahuan punya peranan vital dalam memprediksi, menanggulangi dan merehabilitasi wilayah yang terkena bencana alam. Budiman. Editorial: Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam. 1 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 EDITORIAL Menyadari posisi vital ilmu pengetahuan tersebut, “Manajemen Bencana” menjadi tema yang diusung Inovasi Online edisi ke-18 ini. Kajian bencana alam yang terjadi di Indonesia secara ilmiah diulas oleh beberapa penulis dalam edisi ini dirangkai dengan ide-ide bernas mereka dalam upaya menanggulangi bencana serupa di masa mendatang. Edisi ini diharapkan menjadi bagian dari proses desiminasi kajian dan ide-ide tersebut yang penting dalam upaya menata ulang kembali relasi ilmu pengetahuan dan bencana alam. Sorotan relasi kedua hal ini menjadi penting karena adanya kendala di berbagai titik. Rentetan peristiwa bencana alam yang baru saja menimpa negeri ini sangat jelas menunjukkan kendalakendala tersebut. Setidaknya, ada dua kendala besar yang perlu dibenahi bersama dalam menata ulang relasi ilmu pengetahuan dan bencana alam. Pertama, relasi antara local dan expert knowledge. Local knowledge merupakan pengetahuan yang melekat di masyarakat sekitar lokasi bencana yang terbangun atas dasar pengalaman mereka. Ini yang disebut oleh Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, dengan “niteni”. Sebaliknya, expert knowledge dibangun atas dasar serangkaian aktivitas riset yang dilakukan oleh para pakar (ilmuwan). Relasi ideal keduanya tentu saja seharusnya simetris, dimana local knowledge bisa menjadi referensi bagi para pakar untuk menyimpulkan kondisi dan penanganan suatu bencana, begitupun sebaliknya. Resultan antara local dan expert knowledge inilah yang kemudian bisa dijadikan pijakan penyusunan manajemen bencana alam di Indonesia. Sayangnya, dari rentetan bencana alam yang baru saja terjadi di negara kita sangat terangbenderang menunjukkan bahwa hubungan keduanya berada pada posisi asimetris. Meninggalnya (sekitar) 26 orang di Cangkringan, Yogyakarta pada saat gelombang pertama 7 dari erupsi Merapi tidak bisa dipungkiri merupakan bukti hubungan asimetris tersebut. Masyarakat lebih cenderung mempercayai local knowledge mereka sendiri, dan membenturkannya dengan argumen ilmiah dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMBG) tentang zona aman wilayah disekitar Merapi. Hal serupa terjadi ketika gelombang tsunami menerpa Mentawai, bahkan dalam kondisi yang lebih parah. Local knowledge masyarakat Mentawai tidak memadai untuk bisa mendeteksi dan mengenali gejala alam menjelang tsunami menerjang. Hal ini diperparah dengan kurangnya expert knowledge yang bisa memprediksi tsunami itu terjadi secara presisi. Bahkan beredar kabar tentang kegagalan sistem peringatan dini gelombang tsunami (Tsunami Early Warning System/TWES) di sekitar Mentawai yang vital dalam memberikan peringatan dini bagi masyarakat setempat tentang bahaya Mentawai.8 Artikel Abdul Muhari dalam Inovasi Online edisi ke-18 ini secara lugas membahas ketimpangan 9 dua “knowledge” tersebut. Tulisan itu mengingatkan bahwa berharap semata hanya pada kearifan lokal atau local knowledge masyarakat Mentawai bukan hal yang tepat. Sebaliknya, mengandalkan keakuratan sistem peringatan dini tsunami juga hal yang sangat beresiko karena waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan peringatan sampai pada perintah evakuasi akan memakan waktu lebih banyak ketimbang waktu yang tersisa untuk evakuasi itu sendiri. Diperlukan suatu sistem yang memadukan keduanya, dimana kebiasaan merespon gejala tsunami terus digalakkan dengan (misalnya) berlari ke tempat tinggi, sementara di lain pihak perlu terus dilakukan peningkatan efisiensi peringatan dini tsunami. Ini satu contoh saja bagaimana mensimetriskan hubungan antara local dan expert knowledges dalam penanggulangan bencana alam. Sejatinya bukan sekedar edisi kali ini saja Inovasi Online mengangkat kajian ilmiah tentang bencana tsunami di Indonesia dalam kerangka mengembangkan expert knowledge bagi penanganan bencana di masa mendatang. Tulisan Sudarmono di Edisi ke-3, Maret 2005 (3 bulan pasca gempa dan tsunami besar di Nanggroe Aceh Darusalam dan sekitarnya) membangun kesadaran kita tentang pentingnya hutan bakau (mangrove) atau tumbuhan pantai 10 lainnya yang bisa menjadi ‘benteng’ alami di wilayah-wilayah rawan tsunami. Faktanya memang, local knowledge masyarakat pantai belum sepenuhnya menyadari potensi besar Budiman. Editorial: Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam. 2 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 EDITORIAL tanaman tersebut dalam menyelamatkan jiwa penduduk sekitar. Di Edisi yang sama, secara komprehensif, Sutowijoyo menuliskan rangkaian sistem terpadu dalam menanggulangi bencana tsunami (tsunami prevention system) yang terdiri dari: peramalan, peringatan, evakuasi, pendidikan masyarakat, latihan, kebiasaan untuk selalu waspada terhadap bencana dan kesigapan pasca bencana.11 Sistem yang komprehensif ini tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ditopang dengan pola koordinasi yang tertara rapi. Dan harus diakui, “koordinasi” adalah masalah krusial yang tidak bisa dilepaskan dalam manajemen penanganan bencana di Indonesia. Bukankah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dibangun karena kesadaran lemahnya koordinasi dan kompleksnya birokrasi antar unit terkait dalam pengembangan bencana alam? Dalam konteks ini, tidak bisa dipungkiri, Jepang adalah negara yang patut kita tiru. Disinilah tulisan Dahlan Nariman dalam edisi yang sama menjadi sangat menarik ketika memaparkan dengan begitu gamblang pengembangan sistem informasi peringatan bahaya tsunami yang dibangun 12 oleh Pemerintah Jepang. Sistem tersebut menjadi penting karena merupakan “motor” bagi berjalannya koordinasi antar instansi terkait dalam proses penanggulangan bencana. Dalam konteks banjir, artikel Ahmad Basuki di edisi ini menyodorkan teknik prediksi penyebaran suatu bencana banjir dan memetakan daerah berbahaya yang penting dalam proses evakuasi dan penanggulangan bencana tersebut.13 Hal ini dilengkapi dengan tulisan Muhammad Farid dari Disaster Control Research Centre, Tohoku University dengan menyodorkan usaha-usaha yang diperlukan dalam proses mitigasi bencana baik yang bersifat struktural maupun non 14 struktural. Dalam medan tertentu, banjir dan longsor menjadi ‘bencana kembar’ yang kerap datang secara bersamaan. Bencana banjir dan longsor di berbagai daerah di tanah air April 2010 lalu membuktikan kekejaman “dwi tunggal” itu yang tidak hanya menelan kerugian materi tapi juga 15 menyebabkan banyaknya korban jiwa melayang. Local knowledge masyarakat setempat tentu tidak sepenuhnya seragam dalam menyikapi bencana tersebut, apalagi dinamika cuaca yang begitu fluktuatif menyebabkan perlunya penyesuaian local knowledge mereka. Daerah yang dulu mereka anggap aman, belum tentu saat ini bebas dari terjangan banjir. Pun, batasanbatasan pembukaan lahan atau hutan yang saat ini (jangan-jangan) hanya mematok pada standar “asumsi” saja, perlu digeser dengan memadukan expert knowledge yang saat ini terus dikembangkan. Inovasi Online edisi ke-8, November 2006 pernah mengupas bencana longsor ini lewat tulisan Agus Setyawan yang mengingatkan kita bahwa Indonesia “berbakat” untuk terkena longsor karena kondisi alamnya yang begitu menunjang. Untuk itu, perlu ada pendampingan untuk mengembangkan local knowledge masyarakat setempat dalam mengenai tipologi lereng yang rawan longsor, gejala awal longsor, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan. Expert knowledge kemudian menyempurnakannya lewat manajemen mitigasi gerakan tanah, baik skala lokal maupun regional melalui pengembangan teknologi informasi 16 yang baik. Tulisan-tulisan tersebut setidaknya merepresentasikan sebagian dari akumulasi expert knowledge dalam penanganan bencana alam di negara kita. Tinggal kemudian mensinkronisasikannya dengan local knowledge yang ada di masyarakat sekitar sehingga korban yang berjatuhan saat bencana menerjang bisa kita reduksi seminimal mungkin. Kedua, political willingness dalam membangun scientific-based disaster management. Tidak bisa dipungkiri bahwa otoritas politik merupakan penentu akhir bagaimana sebuah manajemen bencana dibangun dan dilaksanakan. Disinilah posisi ilmu pengetahuan terhadap bencana alam ditentukan pada akhirnya. Sayangnya, dari fakta yang terlihat ilmu pengetahuan belum sepenuhnya digunakan dalam penyusunan manajemen bencana alam. Tindakan reaktif lebih kentara terlihat pada saat bencana tersebut muncul. Kita bisa menarik contoh dari kasus pengadaan dan pemanfaatan peta rawan bencana di berbagai daerah. Kompas edisi 19 November 2010 menyebutkan banyak sekali pemerintah Budiman. Editorial: Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam. 3 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 EDITORIAL daerah di lokasi rawan bencana yang mengabaikan peta rawan bencana.17 Padahal tentu saja peta tersebut disusun oleh para pakar yang diarahkan untuk mereduksi jumlah korban yang berjatuhan. Pengabaian peta ini jelas berimplikasi pada banyaknya korban jiwa yang jatuh akibat bencana alam. Urgensi penggunaan dan membudayakan peta rawan bencana ini juga disampaikan oleh I Made Andi Arsana, staf Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada.18 Dalam konteks erupsi Merapi, beliau menuturkan bahwa peta menjadi sangat krusial karena memberikan panduan tentang jarak aman dari amukan lahar dan awan panas. Dalam kondisi seperti itu tentu saja jarak menjadi penting untuk bisa diukur secara tepat, bukan sekedar diperkirakan. Dalam konteks yang lebih luas, peta pun bisa menentukan kebijakan pemegang kekuasaan untuk menetukan wilayah yang perlu dievakuasi dan wilayah yang bisa dijadikan tempat penampungan pengungsi. Abainya otoritas politik dalam memperhatikan ilmu pengetahuan juga terlihat dalam penyikapan hasil analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Bencana banjir yang melanda baik di Jakarta, Wasior, atau bahkan di daerah lainnya tidak lepas dari adanya “pelanggaran” terhadap batas-batas keseimbangan lingkungan di daerah tersebut. Banjir yang tiba-tiba menerjang Wasior tidak bisa hanya menempatkan fakor cuaca sebagai penyebab utama saja. Perlu diakui bahwa eksplorasi alam di daerah tersebut pun bisa jadi merupakan pemicu dari bencana yang telah menewaskan ratusan orang tersebut. Perlu upaya yang serius dalam melaksanakan secara konsisten atau bahkan mengkaji ulang hasil AMDAL dalam pengembangan suatu wilayah atau eksplorasi sumber daya alam di suatu wilayah tertentu. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kalimantan Tengah dalam mengkaji ulang AMDAL usaha perkebunan sawit tahun 2008, yang ditengarai merusak wilayah resapan air di wilayah tersebut, perlu kita apresiasi.19 Dengan kemauan politik yang kuat dalam mengedepankan ilmu pengetahuan sebagai pondasi penyusunan manajemen bencana alam, maka pemerintah pun perlu secara konsisten mendukung berbagai aktivitas riset terkait termasuk melengkapi dan merevitalisasi segala instrumen yang dibutuhkan di dalamnya. Kegagalan sistem peringatan dini gelombang tsunami di Mentawai perlu menjadi catatan penting dalam upaya revitalisasi berbagai instrumen mitigasi bencana alam karena menyangkut nyawa masyarakat banyak di negeri ini. Kita tentu tepat bersyukur dengan lahirnya Undang-undang No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) bisa tersusun dan disahkan sebagai bagian instrumen politik dalam manajemen penanggulangan bencana alam. Meski begitu lambat (3 tahun pasca tsunami Aceh, atau hampir setahun pasca bencana gempa Yogyakarta), tapi perlu kita apresiasi itikad baik otoritas politik negeri kita. Tapi tentu saja, hal ini belumlah cukup mengingat kompleksitas bencana alam di Indonesia. Inovasi Online secara tegas menyoroti hal ini lewat tulisan Heru Susetyo di Inovasi Online edisi 8, November 2006 lalu.20 Berkaca pada Pemerintah Jepang yang begitu tanggap dan waspada lewat “berlapisnya” kebijakan penanggulangan bencana alam yang mereka bentuk, tentu saja Indonesia masih jauh tertinggal. Indonesia perlu membangun kebijakan berlapis yang serupa, mulai dari mengamandemen undang-undang terkait di sektor lain (kehutanan, lingkungan hidup, pertambangan, sumber daya air, dan lainlain), supaya selaras dengan semangat penanggulangan bencana. Ataupun membuat undangundang baru di wilayah yang belum banyak dijangkau selama ini. Jepang misalnya, memiliki UU tentang sungai, tentang banjir, tentang polusi di laut, tanah longsor, hingga penanggulangan bahaya nuklir. Jangan lupakan juga bahwa kita pun memerlukan ratifikasi konvensi tentang status pengungsi 1951 (Convention Relating to The Status of Refugees) karena tidak mustahil (misalnya) korban tsunami terseret ombak hingga masuk wilayah internasional atau wilayah negara lain. Pembenahan-pembahan di wilayah kebijakan ini, tentu erat kaitannya dengan politicall willingness para pemegang kebijakan. Pada akhirnya kita berharap pembenahan dua faktor tersebut bisa merevitalisasi peranan ilmu pengetahuan dalam penanggulangan bencana alam di Indonesia. Kita tentu bermimpi negeri kita memiliki sebuah sistem dan manajemen bencana alam yang apik dan disusun berdasarkan Budiman. Editorial: Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam. 4 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 EDITORIAL kajian yang mendalam. Pada akhirnya, warga negara Indonesia seluruhnya bisa tetap merasa aman meski tinggal di negara yang konon rawan akan bencana. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Poskota. 123 Warga Meninggal, 147 Hilang di Wasior. URL: http://www.poskota.co.id/beritaterkini/2010/10/11/123-warga-meninggal-147-hilang-di-wasior. Diakses tanggal 21 November 2010. Nias Online. Korban Tsunami di Mentawai Lebih dari 400 orang. URL: http://niasonline.net/2010/10/30/korban-tsunami-di-mentawai-lebih-dari-400-orang/. Diakses tanggal 21 November 2010. Tempo Interaktif. Letusan Merapi Terbesar dalam 100 Tahun Terakhir. URL: http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/11/05/brk,20101105-289637,id.html. Diakses tanggal 21 November 2010. Sigap Bencana & Bansos. URL: Indonesia Peringkat Pertama Paling Rawan Bencana Alam, Disusul Bangladesh dan Iran. http://www.sigapbencana-bansos.info/berita/886-indonesia-peringkat-pertamapaling-rawan-bencana-alam-disusul-bangladesh-dan-iran.html. Diakses tanggal 21 November 2010. RRI Bandung. Indonesia Merupakan Pertemuan 3 Lempeng Besar Dunia. URL: http://www.rribandung.info/index.php?option=com_content&task=view&id=2790&Itemid=46. Diakses tanggal 21 November 2010. Warta.com. Rangkaian Gunung Berapi Aktif di Indonesia. URL: www.warta.com/berita.../rangkaiangunung-api-aktif-di-indonesia.html. Diakses tanggal 21 November 2010. Koran Pagi. Korban Gunung Merapi 26 Tewas Termasuk Mbah Maridjan dan Wartawan. URL: http://www.koranpagionline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=808:korbangunung-merapi-26-tewas-termasuk-mbah-maridjan-dan-wartawan&catid=83:sosial&Itemid=491. Diakses tanggal 21 November 2010. Kompas. Sistem Peringatan Dini Tidak Memadai. URL: http://sains.kompas.com/read/2010/10/28/09425938/Sistem.Peringatan.Dini.Tidak.Memadai. Diakses tanggal 21 November 2010. Muhari A, Imamura F, Diposaptono S. Tsunami Mentawai 2010: Analisis Kejadian dan Proyeksi Kesiapsiagaan di Masa Depan. Inovasi Online. 2010; 18:6 -13. Sudarmono. Tsunami dan Penghijauan Kawasan Pantai Rawan Tsunami. Inovasi Online. 2005; 3: 1114. Sutowijoyo AP. Tsunami, Karakteristiknya dan Pencegahannya. Inovasi Online. 2005; 3: 7-10. Nariman D. Sistem Informasi Peringatan Bahaya Tsunami di Jepang. Inovasi Online. 2005; 3: 2-6. Basuki K, Arai K. Two Dimensional Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. Inovasi Online. 2010; 18:19 -26. Farid M. Banjir: Proses, Karakteristik, dan Upaya Mengatasinya. Inovasi Online. 2010; 18:14-18. Bataviase.co.id. Banjir dan Longsor di Berbagai Daerah Telan Korban. http://bataviase.co.id/node/189533 Setyawan A, Wilopo W dan Suparno S. 2006. Mengenal Bencana Alam Tanah Longsor dan Mitigasinya. Inovasi edisi 8. November 2006. Arsana IM. 21010. Memetakan Bencana dan Membudayakan Peta. Detik.com. URL: http://us.detiknews.com/read/2010/11/15/175016/1494927/103/memetakan-bencana-danmembudayakan-peta. Diakses tanggal 21 November 2010. Kompas. Wah Peta Rawan Bencana Dicuekin. URL: http://nasional.kompas.com/read/2010/11/19/21100887/Wah....Peta.Rawan.Bencana.Dicuekin. Diakses tanggal 21 November 2010. Antara Newas. Kalteng Revisi Amdal Perkebunan Penyebab Banjir. URL: http://www.antaranews.com/view/?i=1220471223&c=NAS&s=. Diakses tanggal 21 November 2010. Susetyo H. Menuju Kebijakan Penanggulangan Bencana yang Integratif. Inovasi Online. 2006; 8:3337. Budiman. Editorial: Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam. 5 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA Tsunami Mentawai 2010: Analisis Kejadian dan Proyeksi Kesiapsiagaan di Masa Depan Abdul Muhari,1* Fumihiko Imamura,1 Subandono Diposaptono2** Tsunami Engineering Laboratory, Disaster Control Research Center, Tohoku University, Japan 2 Direktorat Pesisir dan Lautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Republik Indonesia Email: *[email protected], **[email protected] 1 Abstrak Ibarat bahaya laten yang selalu mengintai, tsunami kembali menyerang kawasan pesisir Indonesia. Dibangkitkan oleh gempa dengan Magnitude 7.7 di lepas pantai sebelah barat Kepulauan Mentawai, masyarakat yang tidak mengira bahwa gempa ini akan membawa tsunami dihantam oleh serangkaian gelombang dengan ketinggian rata-rata 5 m. Waktu datang tsunami yang begitu cepat yaitu 14 sampai 18 menit setelah gempa menyebabkan tidak tersedianya waktu yang cukup untuk melakukan evakuasi. Selain itu faktor kurangnya infrastruktur evakuasi dan pengetahuan masyakarakat akan tsunami membawa malapetaka yang akhirnya kembali merenggut korban jiwa dan harta. ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Pendahuluan Senin, 25 Oktober 2010, gempa dengan Magnitude 7.7 (USGS, 2010) mengguncang sebagian besar kawasan pantai Sumatra Barat sampai Bengkulu. Menurut keterangan penduduk di Pulau Pagai Utara, goncangan yang diakibatkan oleh gempa yang berpusat di 180 km selatan Kota Padang ini lebih lemah dibandingkan dengan gempa pada tahun 2007 yang berpusat di lepas pantai Kota Bengkulu. Permasalahannya adalah gempa ini kemudian membangkitkan tsunami yang meluluhlantakkan hampir seluruh kampung di kawasan pesisir barat Pulau Sipora bagian selatan, Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per-tanggal 9 November 2010 menyebutkan bahwa korban meninggal akibat bencana tsunami tercatat 448 orang, dengan menyisakan 7328 orang yang sampai sekarang masih bertahan di pengungsian. Bencana ini mengundang keprihatinan yang mendalam sekaligus pertanyaan krusial yang harus segera ditemukan jawabannya, kenapa begitu banyak korban di Mentawai padahal gempa yang membangkitkan tsunami masih tergolong gempa dengan kekuatan sedang (moderate)? Apa yang menyebabkan kerusakan berskala besar (massive) pada vegetasi pesisir di sebelah barat Pulau Pagai Utara dan Selatan, sehingga tidak mampu melindungi pemukiman yang berada di belakangnya? Bagaimana relevansi efektivitas sistem peringatan dini jika melihat kejadian di Mentawai? Tulisan ini memberikan analisis awal mengenai mekanisme pembangkitan dan penjalaran gelombang tsunami hingga menghantam Kepulauan Mentawai, dengan tujuan memberikan pemahaman akan fenomena yang terjadi dan upaya yang harus dilakukan agar bencana serupa tidak terjadi di masa depan. 2. Gempa dan tsunami Mentawai tahun 2010 Gempa Mentawai terjadi di Barat Daya Pulau Pagai Selatan yang merupakan titik temu dari zona patahan akibat gempa tahun 1797 dan gempa tahun 1833 (Natawidjaja dkk., 2006). Setelah lebih kurang 200 tahun mengumpulkan energi, daerah ini memulai kembali aktivitasnya pada tahun 2000 dengan melepaskan setidaknya 35% dari total moment yang terkumpul di zona patahan akibat gempa tahun 1833 (Abercrombie dkk., 2003). Selanjutnya pada tahun 2007 di segmen yang sama, dilepaskan lebih kurang 25% dari total moment yang tersisa (Konca dkk., Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 6 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA 2008) oleh gempa dengan Magnitude 8.5 (gempa utama) dan Magnitude 7.9 (gempa susulan). Setelah itu relatif tidak ada gempa yang secara signifikan mengurangi energi baik di zona gempa 1833, apalagi di zona gempa 1797. Perkiraan akumulasi energi yang tersimpan di celah seismik ini sebelum gempa Mentawai 2010 menurut Natawidjaja dkk. (2009) berpotensi menghasilkan gempa dengan Magnitudo 8.8 – 8.9. Gambar 1 mengilustrasikan sejarah kejadian gempa dan potensi energi yang masih tersimpan sebelum terjadinya gempa Mentawai. Gambar 1. Sejarah kejadian gempa di kawasan barat Pulau Sumatra Tanda bintang merupakan pusat gempa tahun 2010. Garis putih putus-putus merupakan sejarah patahan ditandai dengan abjad miring (dari Natawidjaja dkk., 2006). Daerah dengan warna merah transparan merupakan zona patahan akibat gempa dalam sepuluh tahun terakhir (dari Sieh dkk., 2008). Daerah dengan warna kuning sampai merah menunjukkan daerah penumpukan energi yang belum terlepas (dari Natawidjaja dkk., 2009). 2.1. Mekanisme pembangkitan tsunami Agar dapat memodelkan proses pembangkitan tsunami, dibutuhkan data parameter gempa yang biasanya diberikan oleh institusi yang bergerak di bidang riset kegempaan seperti USGS, Harvard University (Global CMT) dan Tokyo University (Earthquake Research Institute/ERI). Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 7 TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online Pada beberapa hari pertama akan terdapat perbedaan parameter gempa seperti Magnitude, kedalaman pusat gempa dan parameter lain bergantung pada metodologi dan sumber data yang dimiliki masing-masing institusi. Beberapa hari berikutnya bahkan sampai beberapa bulan setelah gempa, parameter-parameter ini akan terus direvisi sesuai dengan perkembangan data yang didapat setelah gempa. Dalam tulisan ini, parameter gempa yang digunakan adalah data dari Harvard University (Global CMT) karena pada saat analisis dilakukan tidak mengalami perubahan (updating) sehingga proses perhitungan tidak terganggu dengan perubahan data dasar dari waktu ke waktu. Analisis moment tensor yang dilakukan oleh Harvard University (Global CMT, 2010) memberikan informasi bahwa gempa terjadi pada kedalaman 12 km, bidang patahan membentuk sudut 319 jika ditarik dari utara searah jarum jam (strike). Bidang ini bergerak 98 derajat terhadap sumbu horizontal yang sejajar garis pertemuan lempeng (rake), dengan total 27 moment 6.6 x 10 dyne/cm. Dari informasi tersebut, menggunakan hubungan dari Wells dan Coppersmith (1994) dapat dibuat pendekatan parameter pembangkitan tsunami seperti yang diberikan oleh Tabel 1. Tabel 1. Parameter pembangkitan tsunami Mentawai Dimensi sumber tsunami (km) Panjang Lebar 95 50 Kekuatan gempa (Mw) Kedalaman pusat Gempa (km) Rake (°) Dip (°) Strike (°) Slip (m) 7.8 12 98 7 319 5 Hasil model pembangkitan tsunami ini merupakan bentuk awal gangguan di permukaan air akibat gempa yang akan menjalar sebagai gelombang tsunami (Gambar 2). Model ini memperlihatkan bahwa posisi daerah pembangkitan tsunami Mentawai berhadapan langsung dengan bagian barat Pulau Pagai Utara dan Selatan. Hasil ini selanjutnya dimodelkan dengan model penjalaran gelombang tsunami menggunakan dua metode, metode pertama untuk skala model besar menggunakan teori gelombang panjang linear, sedangkan untuk area kecil di sekitar Pulau Pagai Utara dan Selatan dimodelkan dengan teori gelombang perairan dangkal non-linear. Gambar 2. Daerah pembangkitan tsunami Mentawai dalam bentuk kontur muka air. Titik kuning merupakan distribusi gempa susulan sampai hari ketiga setelah gempa utama. 2.2. Penjalaran gelombang tsunami Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 8 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA Di daerah pembangkitan tsunami yaitu daerah laut dalam, digunakan teori gelombang panjang linear dalam koordinat bola dalam model TUNAMI-F1 (Tohoku University Numerical Analisis Model for Investigation of Far-field tsunami, 1). Sedangkan di kawasan perairan dangkal digunakan teori gelombang perairan dangkal non-linear dalam model TUNAMI-N2 (Tohoku University Numerical Analisis Model for Investigation of Near-field tsunami, 2). Setelah melakukan pemodelan, verifikasi hasil model agar bisa dijadikan acuan sangat penting. Untuk kasus tsunami, data yang dapat digunakan sebagai verifikasi model adalah data pengukuran pasang surut di pantai dan/atau dengan data buoy tsunami (alat pendeteksi tsunami yang dipasang di tengah laut). Selanjutnya setelah tersedia data hasil pengukuran tinggi tsunami dari lapangan atau di tempat kejadian, data tersebut juga digunakan untuk memverifikasi model penjalaran dan inundasi tsunami. Dalam tulisan ini, data yang digunakan untuk memverifikasi model besar adalah data dari alat pengukur pasang surut yang bertempat di Teluk Bayur, Padang, Sumatra Barat. Domain model besar, hasil pemodelan dan verifikasinya dengan data pasang surut dapat dilihat pada Gambar 3. Pada gambar diatas, garis merah di kurva verifikasi merupakan hasil model, sedangkan garis hitam merupakan data ketinggian tsunami yang tercatat di alat pengukur pasang surut. Dari hasil verifikasi yang cukup baik, menggunakan sumber tsunami yang sama selanjutnya dilakukan pemodelan dengan domain yang lebih kecil untuk analisis lebih detil. Domain ini menggunakan data batimetri dari DISHIDROS TNI-AL untuk kawasan Mentawai dan data SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) untuk topografi dengan resolusi spasial sekitar 90 m. Hasil perhitungan kemudian diverifikasi ulang dengan menggunakan data hasil pengukuran lapangan. Gambar 3. Domain (atas), hasil model dan verifikasinya (bawah) dengan data pasang surut di Teluk Bayur, Padang. Data investigasi lapangan yang digunakan dalam tulisan ini adalah hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tanggal 5 November sampai 9 November Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 9 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA 2010. Tim yang bekerja sama dengan Port and Airport Research Institute (PARI) Jepang, Saitama University serta National Institute of Land, Infrastructures and Maritime (NILIM) Jepang ini mengukur tinggi aktual tsunami di Pulau Pagai Utara dan Selatan. Hasil kerja tim ini kemudian digabungkan dengan hasil investigasi tim lainnya di bawah kerjasama Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hasil verifikasi model tsunami dengan data lapangan ini dapat dilihat pada Gambar 4. Seperti halnya hasil verifikasi dengan data pasang surut, verifikasi hasil model dengan data lapangan juga menunjukkan keserasian yang cukup baik, artinya hasil pemodelan ini bisa dijadikan acuan untuk analisa lebih lanjut. Gambar 4. Verifikasi hasil model dengan data hasil pengukuran lapangan. (Kolom-bar kuning merupakan hasil pengukuran lapangan dari tim JST-JICA, sedangkan kolom-bar merah merupakan hasil pengukuran lapangan dari KKP – PARI) 2.3. Dampak kehancuran akibat tsunami Hasil model pada Gambar 4 juga memperlihatkan bahwa bagian barat Pulau Pagai Utara dan Selatan yang merupakan daerah dengan tingkat kerusakan terparah dihantam oleh gelombang dengan ketinggian rata-rata lebih dari 5 m. Dengan bantuan citra satelit dan grafik time series gelombang tsunami di beberapa tempat (Gambar 5), terlihat bahwa gelombang tsunami menghantam bibir pantai berulangkali dengan ketinggian yang hampir sama, sehingga mengakibatkan kehancuran fatal bagi apapun yang berada di pinggir pantai. Morfologi pantai yang berlekuk (formasi teluk) berperan besar dalam amplifikasi tinggi gelombang sehingga energi yang menghantam kawasan pantai menjadi lebih besar. Hal lain yang dapat dilihat dari Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 10 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA Gambar 5 adalah waktu tiba gelombang tsunami yang sangat singkat. Gelombang tsunami menyapu pantai hanya 14 sampai 18 menit setelah gempa terjadi, sehingga tidak tersedia waktu yang cukup bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri jika tidak segera bergerak setelah gempa terjadi. Gambar 5. Perhitungan waktu datang dan ketinggian gelombang tsunami beserta citra satelit yang memperlihatkan kehancuran akibat tsunami di beberapa tempat di bagian selatan Pulau Pagai Utara (Citra satelit dari CRISP-NUS) 3. Proyeksi mitigasi di masa depan Kejadian tsunami di Mentawai menyisakan satu tugas besar bagi kita semua, mengingat energi yang tersisa di celah seismik khususnya di bagian utara Mentawai masih sangat besar. Perlu dipikirkan langkah-langkah mitigasi untuk mencegah kerusakan serupa di masa depan. Selain Pulau Siberut dan Sipora yang berhadapan langsung dengan daerah sumber gempa (Gambar 1), dampak tsunami juga akan dialami kota-kota seperti Padang, Pariaman dan Painan. Walaupun sudah cukup banyak kegiatan kesiapsiagaan berbasiskan masyarakat yang dilakukan, integrasi dari keseluruhan kegiatan tersebut menjadi suatu budaya siaga bencana masih patut untuk dipertajam. Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 11 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA Khusus untuk daerah Kepulauan Mentawai, seperti yang telah disebutkan bahwa waktu tiba gelombang tsunami sangat singkat (14 – 18 menit). Dengan kondisi seperti ini, berpatokan pada sistem peringatan dini tsunami nasional akan sangat berisiko, karena waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan peringatan sampai pada perintah evakuasi akan memakan waktu lebih banyak ketimbang waktu yang tersisa untuk evakuasi itu sendiri. Berharap pada kearifan lokal seperti yang dimiliki oleh masyarakat di Pulau Simeulue dengan ‘smong’-nya juga tidak bisa diterapkan dalam waktu singkat karena adanya perbedaan budaya. Masyarakat Mentawai pada dasarnya adalah masyarakat peladang dan peramu yang tinggal lebih jauh ke darat dan bukan suku pesisir yang tinggal di pinggir pantai. Selain itu smong membudaya di Simeulue setelah kejadian tsunami 1907, dimana masih ada generasi sekarang di Pulau Simeulue yang menerima langsung cerita keganasan tsunami dari saksi hidup yang mengalaminya. Sedangkan tsunami terakhir kali menghantam Mentawai pada tahun 1833 sehingga mungkin sejarah kejadian tsunami di daerah ini tidak sampai diturunkan pada generasi sekarang. Untuk itu pendidikan kesiapsiagaan yang berkesinambungan tidak hanya di Mentawai melainkan juga di seluruh pulau-pulau kecil yang rawan tsunami merupakan jalan terbaik. 4. Kesimpulan Analisis kejadian tsunami Mentawai menggunakan simulasi numerik linear maupun non-linear memperlihatkan hasil verifikasi yang baik dengan data pasang surut dan data hasil pengukuran tinggi tsunami aktual di lapangan. Kehancuran massive di kawasan pesisir serta korban jiwa yang relatif besar terjadi di daerah dengan ketinggian tsunami dari 5 – 8m, dan dihantam setidaknya enam kali dengan ketinggian yang hampir sama. Waktu tiba gelombang tsunami di bagian barat Pulau Pagai Utara dan Selatan hanya 14 – 18 menit. Dengan waktu tiba yang sangat singkat ini sulit jika mengandalkan sistem peringatan dini berbasis teknologi. Hal itu dikarenakan konfirmasi terjadi atau tidaknya tsunami bergantung pada buoy dan/atau alat pengukur pasang surut yang jumlahnya tidak sebanding dengan luas wilayah yang rawan tsunami. Ini menyebabkan kejadian tsunami di pulau-pulau kecil yang terletak di antara zona sumber tsunami dan buoy, atau zona sumber tsunami dan alat pengukur pasang surut di pantai akan sulit terdeteksi. Ini yang menjadi alasan kenapa tsunami di Mentawai baru diketahui beberapa jam setelah kejadian. Mengharapkan konfirmasi dari pemerintah setempat apakah terjadi tsunami atau tidak berarti sudah menghilangkan makna dari peringatan dini itu sendiri, karena ketika konfimasi diberikan berarti tsunami sudah menghantam daerah yang bersangkutan. Untuk itu kebiasan untuk merespon gempa dengan berlari ke tempat tinggi segera setelah gempa merupakan jalan terbaik dan perlu dibudayakan. Tsunami Mentawai memberikan pelajaran baru bahwa tidak semua vegetasi pantai mampu melindungi manusia dari terjangan tsunami. Walaupun relatif rapat, vegetasi pantai yang didominasi oleh pohon kelapa di Pagai Utara dan Selatan tidak mampu secara signifikan mengurangi energi tsunami sehingga tetap meluluhlantakkan pemukiman dibelakangnya. Referensi 1. 2. 3. 4. Abercrombie, R., Antolik, M., and Ekstrom, G. 2003. The June 2000 Mw 7.9 earthquake south of Sumatra; Deformation in the India-Australia plate. Journal of Geophysical Research, 108(B1), 2018. doi:10.1029/2001JB000674. Global CMT. 2010. URL : http://www.globalcmt.org/CMTsearch.html. Diakses pada 27 Oktober 2010. Konca, O., Avouac, J. P., Sladen, A., Meltzner, A. J., Sieh, K., Fang, P., Li, Z., Galetzka, J., Genrich, J., Chlieh, M., Natawidjaja, D. H., Bock, Y., Fielding, E. J., Ji, C., and Helmberger, D. V. 2008. Partial rupture of the locked patch of the Sumatra megathrust during the 2007 earthquake sequence. Nature 456: 631–635. Natawidjaja, D. H., Sieh, K, Chlieh, M., Galetzka, J., Suwargadi, B. W., Cheng, H., Edwards, R. L., Avouac, J. P., and Ward, S. N. 2006. Source parameters of the great Sumatran megathrust earthquakes of 1797 and 1833 inferred from coral microatolls. Journal of Geophys Res. Solid Earth, 111, B06403. doi: 10.1029/2005 JB004025. Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 12 INOVASI online 5. 6. 7. 8. Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA Natawidjaja, D. H., Sieh, K, Kongko, W., Muhari, A., Prasetya, G., Meilano, I., Latief, H., and Chlieh, M. 2009. Scenario for future megathrust tsunami event in the Sumatran subduction zone,” Proc. AOGS meeting, Singapore, 2009. (CD-ROM). USGS, 2010, URL : http://earthquake.usgs.gov/. Diakses pada 27 Oktober 2010. Sieh, K., Natawidjaja, D. H., Meltzner, A. J., Shen, C. C., Cheng, H., Li, K. S., Suwargadi, B. W., Galetzka, J., Phillibosian, Belle., Edwards, R. L. 2008. Earthquake Supercycle Inferred from Sea-Level Change Recorded in the Coral of West Sumatra. Science, 322, 1674–1677 Donald. L. Wells and Coppersmith, K.J. 1994. New empirical relationship among Magnitude, Rupture Length, Rupture Width, Rupture Area, and Surface Displacement. BSSA, 84, 974 – 1002. Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 13 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online TOPIK UTAMA Banjir: Proses, Karakteristik, dan Upaya Mengatasinya Mohammad Farid Disaster Control Research Centre, Tohoku University Email: [email protected] Abstrak Berdasarkan data periode 1975-2001 yang dihimpun Centre for Research on Epidemiology of Disasters (CRED), salah satu bencana alam yang sering terjadi di negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, adalah banjir. Apabila mengadopsi dari ensiklopedia bebas (wikipedia), banjir dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa di mana air menggenangi daratan/lahan yang semestinya kering sehingga menimbulkan kerugian fisik dan berdampak pada bidang sosial dan ekonomi. Kategori banjir sendiri dapat dikelompokkan berdasarkan mekanisme terjadinya yaitu banjir biasa (regular) dan banjir tidak biasa (irregular) dan berdasarkan posisi sumber banjir yaitu banjir lokal dan banjir bandang (flash flood) (Kusuma, 2006). Terkait dengan proses yang ada di alam, banjir tidak terlepas dari siklus hidrologi. Gangguan pada siklus hidrologi akibat intervensi dari manusia dapat menimbulkan banjir. Kajian banjir dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis probabilitas dan analisis hidrograf. Indeks banjir berupa kedalaman, durasi, dan luas genangan merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan potensi banjir di suatu daerah (Kusuma, 2006). Sebagai upaya dalam mengatasi banjir, dilakukan mitigasi banjir yaitu usaha yang dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan banjir meliputi usaha struktural dan usaha non-struktural (Rahayu, 2008). Dalam memaksimalkan mitigasi banjir diperlukan hubungan dan kerjasama yang baik dari semua elemen yang terkait yaitu pemerintah, masyarakat, dan institusi pendukung. ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Pendahuluan Banjir merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di berbagai negara terutama di negara berkembang. Seperti disajikan dalam Gambar 1 yang memperlihatkan sebaran bencana alam di Asia Tenggara dalam periode 1975 – 2001, banjir termasuk yang dominan. Di Indonesia sendiri, tercatat 104 kejadian banjir dalam periode 1980-2008 (Gambar 2). Angka ini adalah yang terbesar apabila dibandingkan dengan frekuensi bencana alam-bencana alam lainnya. Gambar 1. Peta sebaran bencana alam di Asia Tenggara (1975-2001) (Sumber: http://www.cred.be) Farid. Banjir: Proses, Karakteristik dan Upaya Mengatasinya. 14 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online TOPIK UTAMA Gambar 2. Kejadian bencana alam di Indonesia (1980-2008) (Sumber: http://www.preventionweb.net) Berdasarkan definisi dari Multilingual Technical Dictionary on Irrigation and Drainage yang dikeluarkan oleh International Commission on Irrigation & Drainage (ICID), pengertian banjir dapat diberi batasan sebagai laju aliran di sungai yang relatif lebih tinggi dari biasanya; genangan yang terjadi di dataran rendah; kenaikan, penambahan, dan melimpasnya air yang tidak biasanya terjadi di daratan. Secara umum, mengadopsi dari ensiklopedia bebas (wikipedia), banjir diartikan sebagai suatu peristiwa di mana air menggenangi daratan/lahan yang semestinya kering sehingga menimbulkan kerugian fisik dan berdampak pada bidang sosial dan ekonomi. Tulisan ini membahas gambaran mengenai banjir dari sisi proses alamiah dan karakteristiknya. Selain itu juga akan dipaparkan solusi-solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi banjir. 2. Klasifikasi banjir Banjir dapat dikategorikan berdasarkan mekanisme terjadinya dan berdasarkan posisi dari sumber banjir terhadap daerah yang digenanginya (Kusuma, 2006). Berdasarkan mekanisme terjadinya, banjir dapat dibedakan menjadi banjir biasa (regular) dan banjir tidak biasa (irregular). Banjir regular terjadi akibat jumlah limpasan yang sangat banyak sehingga melampaui kapasitas dari pembuangan air yang ada (existing drainage). Banjir irregular terjadi akibat tsunami, gelombang pasang, atau keruntuhan dam (dam break). Berdasarkan posisi sumber banjir terhadap daerah yang digenanginya, banjir dapat dibedakan menjadi banjir lokal dan banjir bandang (flash flood). Banjir lokal didefinisikan sebagai banjir yang diakibatkan oleh hujan lokal sedangkan banjir bandang dapat diartikan banjir yang diakibatkan oleh propagasi limpasan dari daerah hulu pada suatu daerah tangkapan. Umumnya di Indonesia, dilihat dari mekanisme terjadinya, banjir yang terjadi seringkali banjir regular seperti yang terjadi pada akhir bulan Oktober 2010 di Jakarta. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi banjir irregular, contohnya bencana banjir pada akhir bulan Maret 2009 di Situ Gintung akibat keruntuhan dam dan banjir akibat gelombang pasang pada tahun 2007 di Jakarta. Sedangkan berdasarkan posisi sumber banjir terhadap daerah yang digenanginya, banjir di Indonesia termasuk dalam kedua-duanya baik itu banjir lokal maupun banjir bandang. Sebagai contoh banjir lokal adalah banjir yang sering terjadi di kota-kota besar di Indonesia termasuk juga di Jakarta. Sedangkan banjir Wasior di Papua Barat pada bulan Oktober 2010 merupakan salah satu contoh bencana banjir yang termasuk banjir bandang. Farid. Banjir: Proses, Karakteristik dan Upaya Mengatasinya. 15 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online TOPIK UTAMA 3. Gangguan siklus hidrologi Pembahasan mengenai banjir sendiri tidak bisa terlepas dari siklus hidrologi (Gambar 3). Definisi siklus hidrologi yaitu skema yang menggambarkan proses kesetimbangan perubahan fasa air dan pergerakan massa air dari laut, darat, dan atmosfer. Hujan yang turun jatuh dan tertahan pada permukaan tumbuh-tumbuhan (canopy). Proses tertahannya air hujan ini disebut intersepsi. Setelah mengalami intersepsi, hujan jatuh ke daratan. Di daratan, sebagian air hujan akan terserap oleh tanah (infiltrasi). Pergerakan air di dalam tanah (perkolasi) terdistribusi mengisi lapisan akuifer dan mengalir ke tempat lebih rendah sebagai interflow yang kemudian keluar ke permukaan. Air dari proses infiltrasi juga mengalami penguapan (evaporasi) untuk kembali ke atmosfer. Evaporasi terjadi dari air yang berada pada tanah lapisan atas dan juga dari air di dalam tanah yang diserap tumbuhan (transpirasi). Air hujan yang tidak mengalami infiltrasi mengalir sebagai limpasan di atas permukaan (surface runoff), sebagian yang jatuh pada permukaan datar/cekungan akan membentuk tampungan (retensi), sedangkan sebagian lainnya menuju ke daerah yang lebih rendah dan jatuh ke saluran. Air yang berada di tampungan, saluran, dan laut juga akan mengalami evaporasi. Proses evaporasi dilanjutkan dengan proses pendinginan uap air (kondensasi) sehingga mengalami sublimasi kembali menjadi butiran hujan yang selanjutnya kembali turun mengulang proses yang sama seperti telah dijelaskan sebelumnya. Gambar 3. Siklus hidrologi (Sumber: unep.or.jp) Intervensi yang dilakukan oleh manusia menyebabkan terjadinya gangguan pada siklus hidrologi sehingga akan menimbulkan dampak terjadinya banjir. Sebagai contoh intervensi manusia adalah perubahan tutupan lahan (land cover) dari daerah hijau menjadi daerah perkotaan yang sering didefinisikan urbanisasi. Lahan yang tadinya berupa hutan ataupun tanah kosong dan berpotensi sebagai daerah resapan air tergantikan oleh bangunan. Perubahan ini akan mempengaruhi sebagian besar komponen yang ada di dalam siklus hidrologi. Air hujan yang turun langsung menuju ke permukaan sebagai dampak tidak adanya tumbuhan atau pohon yang berperan dalam proses intersepsi. Pada permukaan tanah yang berubah menjadi daerah perkotaan, proses infiltrasi berkurang bahkan tidak ada sama sekali. Gangguan pada komponen intersepsi dan infiltrasi ini mengakibatkan jumlah limpasan Farid. Banjir: Proses, Karakteristik dan Upaya Mengatasinya. 16 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online TOPIK UTAMA permukaan meningkat. Pada kasus curah hujan yang sangat tinggi, jumlah limpasan ini seringkali tidak terakomodir oleh sungai atau saluran yang mempunyai kapasitas yang terbatas sehingga mengakibatkan terjadinya banjir. 4. Tinjauan ilmiah banjir Dalam melakukan kajian terhadap banjir, umumnya digunakan pendekatan dengan menggunakan analisis probabilitias untuk mendapatkan periode ulang debit ekstrim atau biasa disebut debit banjir. Debit banjir adalah besaran debit yang diperlukan untuk memperhitungkan tingkat keamanan bangunan pengendali banjir. Tinggi rendahnya tingkat keamanan ditunjukkan dengan besar kecilnya periode ulang yang digunakan. Oleh karenanya, debit banjir merupakan parameter penting dalam kriteria perencanaan bangunan pengendali banjir dan sistem drainase. Seringkali terjadi salah pengertian terhadap debit banjir. Misalnya suatu bangunan pengendali direncanakan berdasarkan debit banjir dengan periode ulang 25 tahun diartikan bangunan pengendali tersebut dapat mengatasi besaran debit banjir yang terjadi 25 tahun sekali. Definisi sebenarnya dari debit banjir dengan periode ulang 25 tahun adalah debit banjir yang kemungkinan terjadinya dalam setiap tahun sebesar 1/25. Jadi kemungkinan bangunan pengendali tersebut menerima debit yang sama atau lebih dari yang direncanakan adalah sebesar 4% (Siswoko, 2003). Selain pendekatan analisis probabilitas, kajian banjir juga melibatkan analisis terhadap hidrograf banjir dan kapasitas existing drainage. Semakin besar volume hidrograf maka semakin besar pula banjir yang terjadi. Parameter debit puncak pada hidrograf banjir menunjukkan kedalaman dan luas genangan maksimum yang terjadi. Banyak kasus banjir yang terjadi di Indonesia disebabkan existing drainage tidak mampu menahan debit banjir yang terjadi sehingga dalam kaitannya dengan hidrograf banjir, diperlukan suatu upaya untuk memotong debit puncak agar beban banjir dapat dilayani oleh existing drainage. Untuk menentukan potensi banjir terkait dengan besar kecilnya dampak yang ditimbulkan, parameter yang biasa digunakan adalah indeks banjir meliputi kedalaman, durasi, dan luas genangan (Kusuma, 2006). Analisis terhadap indeks banjir selanjutnya diperlukan dalam mengestimasi banyaknya korban dan kerusakan infrastruktur serta pemilihan lokasi evakuasi yang aman dari genangan. . 5. Mitigasi banjir Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai debit banjir yang menjadi kriteria perencanaan suatu bangunan pengendali banjir ataupun sistem drainase, dapat kita simpulkan bahwa suatu daerah tidak akan bisa dikatakan bebas dari banjir karena kemungkinan terjadi debit yang sama atau bahkan melampui debit rencana akan selalu ada dalam setiap tahunnya. Karenanya usaha yang bisa dilakukan dalam mengatasi banjir adalah meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh banjir atau yang lebih dikenal sebagai mitigasi. Usaha-usaha yang dilakukan di dalam mitigasi banjir meliputi usaha struktural dan usaha nonstruktural (Rahayu, 2008). Usaha struktural terkait dengan pembangunan maupun pemeliharaan sarana dan prasarana fisik dari bangunan pengendali banjir seperti saluran, pompa, dan pintu air. Sedangkan yang termasuk usaha non-struktural dalam mitigasi banjir biasanya menyangkut kebijakan seperti pengendalian tata ruang, peningkatan kesadaran masyarakat, dan sistem peringatan dini. Dalam usaha mengurangi dampak yang ditimbulkan banjir, seringkali penanganan masalah banjir ditekankan pada usaha struktural dan dibebankan secara keseluruhan kepada pemerintah. Hal ini tentunya harus dihindari karena masyarakat merupakan elemen penting. Seperti kasus di kota Jakarta, dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan banjir, usaha pemerintah berupa perbaikan sistem pembuangan air, normalisasi saluran, dan pembangunan tanggul, apabila tidak didukung oleh kesadaran masyarakat dalam memeliharanya, maka tidak Farid. Banjir: Proses, Karakteristik dan Upaya Mengatasinya. 17 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA akan berjalan optimal. Dukungan dari masyarakat seperti tidak membuang sampah di sungai/saluran sehingga tidak mengurangi kapasitas tampung akan sangat membantu memaksimalkan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah. Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai banjir adalah salah satu parameter penentu dalam keberhasilan usaha-usaha tersebut. Selain itu juga salah satu elemen yang diperlukan adalah institusi pendukung seperti para ahli dan non government organization (NGO). Hubungan dan kerjasama yang baik dari ketiga elemen ini, pemerintah, masyarakat, dan institusi pendukung, sangat diharapkan demi terwujudnya penanganan yang memberikan dampak seminimal mungkin dari bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh banjir. Sebagai salah satu contoh upaya dalam menjalin hubungan dan kerjasama ketiga elemen ini adalah program peningkatan kapasitas pemerintah daerah bersama masyarakat dalam sistem peringatan dini banjir yang pernah diterapkan di pemerintah DKI Jakarta dengan melibatkan masyarakat dan NGO (ADPC, 2010). Referensi 1. 2. 3. 4. ADPC. Flood Preparedness Initiatives of High-Risk Community of Jakarta. Program for Hydrometeorological Disaster Mitigation in Secondary Cities in Asia. 2010. URL: http://www.adpc.net/v2007/programs/udrm/promise/INFORMATION%20RESOURCES/Safer%20Citi es/Downloads/SaferCities27.pdf, diakses November 21, 2010. Kusuma, M.S.B. An Approach of a Proper Disaster Management, International Symposium on Management System for Disaster Prevention, Kochi University, Japan. March 9-11, 2006. Rahayu, H.P. A Strategy for Flood Risk Reduction in DKI Jakarta, Program for Hydro-meteorological Disaster Mitigation in Secondary Cities in Asia. February 15, 2008. Siswoko. “Flood Plain Management” untuk Mengatasi Ancaman Banjir, Sinar Harapan, 14 Februari, 2003, http://bebasbanjir2025.wordpress.com/artikel-tentang-banjir/siswoko/, diakses November 16, 2010. Farid. Banjir: Proses, Karakteristik dan Upaya Mengatasinya. 18 INOVASI online TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 Two-Dimensional Cellular Automata Approach for Disaster Spreading Achmad Basuki1,2,*, Kohei Arai1,** Departement of Information Science, Saga University, Japan 2 Electrical Engineering, Polytechnic Institute of Surabaya, Indonesia E-mails: *[email protected], **[email protected] 1 Abstract In this paper we present Cellular Automata (CA) - based simulations for natural disaster spreading such as the forest fire, flood and mudflow. The simulations obtain alternative methods because they are simple and easy to develop. They allow for spectacular displays and numerical predictions. These approaches have important implications for probabilistic hazard assessments that often occur in Indonesia. ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Introduction Cellular Automata (CA) based simulations are widely used in a great variety of domains, especially disaster spreading such as the forest fire, flood and mudflow. They allow for spectacular displays and numerical predictions. Each of the three models can be associated with an important natural hazard: the forest fire model with forest fires, the sand-pile model with flood, and the minimization difference model with mudflow. We show that each of the three natural hazards self-organized that are well approximated by probabilistic material moving.4 CA model concerns in the three statements. First statement is how to define the state. The state is the value in each cell or grid on two dimensional CA, which depends on problem statement. Second statement is how to select the neighbor. Basically, we have two kind neighborhood models; Von-Newmann model and Moore model. We can use other neighborhood system depend on system approximation. Third statement is how to define update rule to change the state of all cells or grids in discrete time step. The rule is relation between cell and its neighbors. The advantage of CA model is easy to develop. Because of this advantage, Cellular Automate model is an alternative model for simulating disaster spreading. This model has the chance to develop a simulation module that describe how disaster will spread in some periods, and show the new dangerous area in the future. This module is also used to know how big disaster impact, and it will be the reference to anticipate the bigger impact. Although our model is simple model, it can be adjusted depend on the disaster, topological and land-use information to improve this model, as the real situation and predict the next situation of disaster spreading. 2. 2D CA for forest fire simulation 4 Malamud presented a simple CA approach using programmed model. This model consists of square grid, in which at each time step a tree is randomly dropped on a chosen site. However, this model does not describe how long the tree will be fired, and the influence of wind characteristics, e.g. wind speed and wind direction, is not included. Sullivan presented the influences of wind speed and direction.6 This parameter influences the neighborhood size and 4,6 sparking probability fs. These models do not describe how control time for fired. 4 On the forest fire model , we begin with a square grid of sites; there are blank node, tree and fire. At each time step, some trees around fire will be fired by sparking probability fs, and fire will be stopped by stopping probability fc. Stopping probability fc is fix number depend on tree material that shows how fast the tree will be fired. Sparking probability is variable number depend on material, wind speed and wind direction. Tree material parameter shows possibility Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 19 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA to be fired. Wind speed parameter defines the size of neighbors, and shows that model uses dynamic neighborhood model. Wind direction parameter defines the angle of fire moving. The algorithm of CA for forest fire is as follow: • We begin with a square grid of sites; there are five states: – s=1 blank node – s=2,3 tree (two different types of tree and we can add number of tree types). Malamud et.al4 uses one type of tree. – s=4 fired – s=5 stopped or completed fired • Trees will be fired by sparking probability fs, if there are fire neighbors. • Fire will be stopped by stopping probability fc. In this simulation we have two probabilities function; sparking probability fs and stopping probability fc. These probabilities have different spreading impact. We show two conditions on these probabilities. First condition, fs is low and fc is high as shown in Figure 1. Second condition, we adjust fs is high and fc is low as shown in Figure 2. The first condition has characteristic slow fire-spreading and fast fire-stopping. In this condition, fire spreads slowly because trees are not easy to fire. The other hand the fired areas are small because fire stops quickly. Figure 1 show that fired points are around 11% of total area many fired points in 100 periods (t). Figure 1. Simulation result on low fs and high fc. The second condition has characteristic fast fire-spreading and slow fire-stopping. In this condition the fired areas are big because trees are easy to fire and fire is not easy to stop. Figure 2 show that fired points are around 90% of total area (almost area are fired area) in 100 periods (t). Figure 2. Simulation result on high fs and low fc in some periods. Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 20 INOVASI online TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 The number of fired area by period depends on sparking probability and stopping probability as shown in Figure 3. Different combination of fs and fc has different join point of number of tree and number of fired. Figure 3 show three different lines; red line is number of tree that is not fired yet, green line is number of tree that become fire, and blue line is number of tree that is fired. Figure 3. The number of fired area depends on fs and fc. The one of important parameter in forest fire simulation is wind speed. This parameter influences the neighborhood size and sparking probability fs. Relation of wind speed, 6 neighborhood size and sparking probability, introduced by Sullivan, is defined as shown in Figure 4. It is the “bubble” convection model of wind speed influences in forest fire simulation, because this model assumes that fire component is a bubble model. 2 Figure 4. Schematic of the rising ‘bubble’ model of convection . Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 21 INOVASI online TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 3. 2D CA for flooding simulation 1 On the fluid flow model for flooding, we use Argentini’s model. The state describes number of fluid particles. If fluid particles occupy in one node and no obstacles are in the forward, they will move forward. If fluid particles occupy in one node and there are obstacles in the forward, the will move left-right randomly or stay. The algorithm is written by following (Figure 5). 1) We assume that the time variable is incremented by discrete unitary values, so that ea If ui,j(tk) = p, every molecule in the position (i, j) can move in the new position (i+1, j+r) at the time instant tk+1, where r is an integer randomly selected between the values –1, 0 and 1; 2) If ui+1,j+r(tk+1) > d, where d is the max allowed number of molecules in one single cell (darker tonality of blue in the picture) for advancing to the next row, the molecule will stay in the i-th row and it will move into the position (i,j+r); 3) If ui+1,j+r(tk+1) < 0, in the cell (i+1, j+r) there is an obstacle, therefore no molecule can move into that position; the molecule will stay in the i-th rowand it will move into the position (i,j+r). Figure 5. Rules for fluid dynamic1 Each row of fluid molecules goes forward to the next at the same instant, for every occupied position and for every row of the grid. The rules which form the model of the used cellular automaton are schematically so described. Figure 6 shows the simulation result of Argentini’s model simple fluid dynamic such as water flow. This simulation use plane area and obstacle information. Figure 6. Water-flow simulation1 for simple model of flood simulation The CA model upon described is very elementary and limited, but useful approximation for the computational treatment of fluid dynamic phenomena. We show the relation of density and max_mol (volume in the one place) as nearly logarithmic characteristic as shown in Figure 7. 1 Max_mol is similar with Reynolds Number on fluid dynamic. Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 22 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA Figure 7. The relation of density and max_mol1 This model is simple model for fluid dynamic, and we need some adding rules and input parameters to improve this model to flooding model. Some important data are landscape map, topological and soil data, and land-use map. We need disaster specification data such as water volume and speed. Using these data, the recommended approach of CA model needs floating point of mass transport to improve state model of fluid particles. 4. 2D CA for hot mudflow simulation Hot mudflow disaster is a unique disaster that has some characteristics such as huge mud blows, surface changing, thermal changing and it occurs on the urban area. The combination of 1 7 Argentini’s approach for fluid dynamic and Vicari approach for lava flow is one alternative 2D CA approach to simulate hot mudflow, but it is difficult because quick landscape changing caused by huge volume and occurring on urban area. Figure 8. The extended minimum difference rules We use another approach for hot mudflow; “minimum difference approach”. This approach is one of CA approach to simulate hot mudflow spreading. It obtains a good model to simulate the 5 lava flow with many parameters . In this simulation mud blows from the main crater (big hole), and mud moves to other locations depend on slope difference and mudflow parameters. The amount of mud moving is called as mass transport. We use probability values adjustment pm and pvis to flow some mass from the center cell to its neighbor cells. Controlling of these probability values is suggested to improve the prediction results (Figure 8). Our algorithm is as follow: 1) A is the set of cell not eliminated. Its initial value is set to the number of its neighbors. 2) The average height is found for the set of A of non-eliminated cells: hc m hi i A nA 1 Where: Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 23 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA hc is height of the center cell. hi is height of the non-eliminated neighbor cells. nA is number of non-eliminated neighbor cells. 3) The cells with height larger than average height are eliminated from A. 4) Go to step (2) until no cell is to be eliminated. 5) The flows, which minimize the height differences locally, are such that the new height of the non-eliminated cell is the value of the average height. Figure 9. Simulation result of hot mud flow disaster Our simulation use ASTER/DEM and SPOT 5 imagery data as base landscape map. We use map data on February 2008 as initial, and map data on August 2008 as target map for prediction result. The prediction results show the same location and direction with the real data as shown in Figure 9. In this figure, there are three colored area; the red area is real data, the blue area is simulation result, and the pink area is intersection area between real data and simulation result. The number of pink area shows the performance of simulation. Although Figure 9 shows that the number of intersection area is higher that 90%, but it is not fair because the performance must be determined in the new inundated area only. Because of this concern, the intersection area between prediction result and real data is determined in new inundated area only as shown in Figure 10. Intersection new inundated area of simulation result 2 and real data is 56.54% for 30m resolution DEM . Figure 10. Performance of simulation result on the new inundated area. Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 24 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA The CA approach needs high resolution to improve its performance. Although this approach shows the correct location and direction of new inundated area but the number intersection area depends on resolution of landscape map. Figure 11 shows the relation of intersection area and resolution. Figure 11. Relation between intersection area and resolution One important parameter in this approach is neighborhood model. There are three basic neighborhood model in 2D CA approach as shown in Figure 12; 3×3 von Neumann, 3×3 Moore and 5×5 Moore. Although we use same approach, Moore neighborhood has good performance, but von Neumann neighborhood has poor performance to predict inundated area. Figure 12. Neighborhood model: 3×3 von Neumann (left), 3×3 Moore (middle) and 5×5 Moore (right) The number of neighborhood is one of the important parameters in the proposed model. Figure 13 shows that increasing the number of neighborhood causes increasing prediction performance, but 5x5 Moore model does not show significant improving from 3x3 Moore model. Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 25 INOVASI online TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 90 85 Intersection Area (%) 80 75 70 65 60 55 50 Von Newmann Moore 3x3 Moore 5x5 45 40 200 300 400 500 600 700 Lattice Size (Resolution) 800 900 1000 Figure 13. Influences of neighborhood size on each resolution 5. Conclusion CA approaches are the first and foremost discrete dynamical systems performing parallel computation. They are used in a great variety of cases.3 One virtue of our systematic examination, of what is currently done with CA, is perhaps to shed a new light on the relationships between modeling and computation. By using of CA approaches as modeling tools, we can visualize disaster spreading prediction and determine some dangerous areas around the disaster. It is important to anticipate the bigger impact and damage. References 1. Argentini G. 2003. A first approach for a possible cellular automaton model of fluids dynamic. Computer Science - Computational Complexity, arXiv:cs/0303003v1. 2. Arai K, Basuki A. 2010. A CA Based Approach for Prediction of Hot Mudflow Disaster Area, ICCSA proceeding: 119-129. 3. Douvinet J, Delahaye D, Gaillard D, Langlois P. 2006. Application of cellular automata modelling to analyze the dynamics of hyper-concentrated stream flows on Loamy Plateaux (Paris Basin, North-west France). International Conference on Hydroinformatics Proceeding: 1-8. 4. Malamud BD, Turcotte DL. 2000. CA models applied to natural hazards, IEEE Computing in Science & Engineering, 2(3): 42-51. 5. Negro CD, Fortuna L, Herault A, Vicari A. 2008. Simulations of the 2004 lava flow at Etna volcano using the magflow CA model, Bulletin of Volcanology, Volume 70 (7): 805-812. 6. Sullivan AL, Knight IK. 2005. A hybrid CA/semi-physical model of fire growth. Complexity International 12:64-73. 7. Vicari A, Alexis H, Del Negro C, Coltelli M, Marsella M, and Proietti C. 2007. Modeling of the 2001 Lava Flow at Etna Volcano by a CA Approach”. Environmental Modelling & Software 22: 1465-1471. Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 26 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online TOPIK UTAMA Cellular Automata for Micro Traffic Modeling and Simulation Tri Harsono,1,2,* Kohei Arai1 1 Department of Information Science, Saga University, Japan 2 Electronic Engineering, Polytechnic Institute of Surabaya, Indonesia E-mail: *[email protected] Abstract Cellular Automata is a separating method of variables which has efficient implementation in computer system. Stochastic Traffic Cellular Automata (STCA) is one of its applications for traffic. In this study, we modified STCA by adding the driving behaviors, i.e. agent and a diligent driver, in the car-following model in a micro traffic of vehicle evacuation from disaster area. Based on mean speed, the effectiveness of evacuation time was 6.3% for the density k = 0.6, lane-changing = 0. By diligent driver, the effectiveness of evacuation time was 33.6% for density k = 0.6, lane-changing = 0.2. The effectiveness of evacuation time based on lane-changing was 5.7% for density k = 0.6 and diligent driver = 0.3. In conclusion, by using a modified STCA model, the effectiveness of evacuation time from disaster area can be obtained by adding the diligent driver, mean speed, and lane-changing. ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Introduction The most important thing concerning the evacuation of victims (vehicle) in a disaster is an effective way so that we have the most efficient evacuation time. Using Cellular Automata, we created micro traffic model and simulate it in the case of evacuation the victim (vehicle) from disaster occurred roadway. A Cellular Automata (CA) is a discrete model and has a simple algorithm. Due to discreteness, a CA is extremely efficient in implementation on a computer. CA is studied in computability theory, mathematics, physics, complexity science, theoretical biology and microstructure modeling. For instance Chopard et al. stated that study of CA is considered in the various fields of physics such as reaction-diffusion systems, pattern formation phenomena, fluid flows, fracture processes and road traffic models.4 Cellular automata for traffic road model2 have been called by traffic cellular automata (TCA). One kind of TCA is conducted by Nagel and 1 Schreckenberg in 1992 , named Nagel-Schreckenberg TCA which is more commonly known as the stochastic traffic cellular automata (STCA). In this study we are looking for efficient evacuation time in evacuating victims (vehicle) from a disaster area on the highway. Effectiveness and efficiency of evacuation is indicated by the speed in evacuating victims from the disaster area. If the faster evacuation time is obtained, then more victims can be saved from disaster area. The speed of evacuation time on the disaster occurred highway is dependent on the speed of vehicles available in disaster area. Based on the STCA, we improve the speed of the vehicle by entering parameters diligent and agent driver in the STCA. The main characteristic of them is additional speed that they have. The existence of two new parameters in the STCA will affect the process of getting a faster evacuation time when this modified STCA is used in the evacuation system on the disaster area. By this modified STCA, the effectiveness of evacuation time was gotten in the simulation results. This is shown by the evacuation time in the modified STCA is faster than that in the STCA. Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 27 TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online 2. Driving behaviour 2.1. Driving behaviour: agent driver In the previous work,3 we have proposed the agent rule for the driver and put it into the driving behaviour. We expressed that when disaster occurs, every vehicle on the affected road area has to have a good knowledge of driving behaviour and all vehicles have a good capability of speed control followed by helping each other without any panic. Agent behaviour could be built in some of the vehicles. Each agent has appropriate information of speed control and is situated in each other. Agent leads other vehicles so that traffic speed can be controlled by the agents. In this situation, the following car-following parameter is getting more important. If the following car does not follow the leading agent car, the traffic condition gets worse. This condition is consecutively performed to all vehicles in one lane and parallel to the entire lane. The speed of an agent driver is v ( i , j ) ( t ) c where v(i,j)(t) is current speed and c is density function (a positive integer). Value of c is defined by 1/k, exactly c = Q(1/k) where k is a density and Q is a constant coefficient. We analyzed the relationship between either mean speed v or density function c and the evacuation time T. Relationship between mean speed v and evacuation time T was performed, it was called v-T diagram. When the mean speed v goes down to zero (in the time the density k has increased or pass the jam density), we found the evacuation time increase. We also observed that the evacuation time T decrease by the increase of mean speed v. We conducted this experiment with or without agent in the evacuation simulation. Both of them have the same results (Figure 1a and Figure 1b). (a) (b) Figure 1. Relationship between mean speed and evacuation time. (a) With agent, (b) without agent We had the sense of relation between the density k and the evacuation time T. Both k and T have linear correlation. When the density k goes up, the evacuation time is also going up. Based on the experimental simulation results, we said that in the time c has the small value, the value of the evacuation time T is large. On the other hand, when the value of c is going up, the evacuation time T will goes down to the smaller value. Our experiment results about the value of c and T found the relation between both of them. Based on linear correlation between the evacuation time T and the density k, we calculated density function c (= Q(1/k)). From this correlation we obtained the value of c = Q(1/k) = (12/10)(1/k). By using this value of c, we had the experiment results, relation between density function c and evacuation time T (c-T diagram) as shown in Figure 2. The pattern of their relationship in accordance with the description above. We showed it with and without agent. Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 28 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA Figure 2. Relationship between function of density c and evacuation time (with or without agent) 2.2. Driving behaviour: diligent driver During survey the traffic data on the Sidoarjo Porong roadway, East Java, Indonesia, we have totally 190 data of speed for each kind of cars (all of the vehicles are divided into the four kinds: truck/trailer, bus, public transport, and private car). Based on statistical hypothesis testing (t-student distribution), we found the hypothesis results that for bus, public transportation, and private car are accepted, whereas truck/trailer is rejected. Its means that truck/trailer has different speed behaviour if it is compared by the other cars (bus, public transportation, and private car). Speed of the truck/trailer is lower than that of the others. Many trucks/trailers have the speed is less than or equal to 40 kilometre per hour (km/hr) while for other types (bus, public transportation, and private car), the number of vehicles at speed more than 41 km/hr are greater than the truck/trailer (Figure 3 and Figure 4). We also showed comparison between speed of the trucks/trailers and speed all the vehicles (mean speed of all the vehicles) from time to time consecutively in 190 hours (eight days). Speeds of the trucks/trailers dominantly are lower than that of speed all the vehicles (Figure 5). The numbers of trucks/trailers that have the lower speed are around 81%. In accordance with data analysis results of vehicles speed, we assume diligent driver characteristics and put it into the driving behaviour. Dominantly, trucks/trailers become usual driver, while bus; public transportation; and private car as diligent drivers. In this study, modification of STCA is conducted by taking agent and diligent driver into account. The simulation results found the evacuation time not only in the proposed model of driving behaviour or modified STCA but also in the STCA. Comparison of evacuation time between the modified STCA and the STCA was also performed. Figure 3. Distribution of speed for the truck (trailer) and all kind of the vehicles Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 29 TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online Figure 4. Distribution of speed for all kind of the vehicles: truck/trailer, bus, public transportation, and private car Figure 5. Speed of the trucks/trailers and all vehicles from time to time consecutively in 190 hours (eight days) 3. Stochastic traffic cellular automata (STCA) The original STCA rule has been stated by Nagel et al. including acceleration, braking, 1 randomization, and vehicle movement and run using one lane traffic and close-loop. In this study we used two lane of traffic to extend the STCA by adding the lane-changing model. Based 2 on the lane-changing model in traffic cellular automata stated elsewhere , we took lane-changing into account and inserted it in the STCA. There are two sub steps that are consecutively executed at each time step of cellular automata, (1) lane-changing and (2) car-following. Thus the complete rule of the extension of STCA will become: 1) Acceleration v (i , j ) (t 1) v max and gs (i , j ) (t 1) v (i , j ) (t 1) 1 v ( i , j ) (t ) v (i , j ) (t 1) 1 (1) 2) Braking gs(i , j ) (t 1) v(i , j ) (t ) v(i , j ) (t ) gs(i , j ) (t 1) 1 (2) 3) Randomization (t ) p v ( i , j ) (t ) max[ 0, v (i , j ) (t ) 1] Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. (3) 30 TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online 4) Vehicle movement x ( i , j ) (t ) x (i , j ) (t 1) v ( i , j ) (t ) (4) 5) Lane-changing Determine probability of lane-changing Plc and a = [0 : v] for: gs (i 1, j ) (t 1) v and x( i 2, j , j v) (t 1) 0 (t 1) 0 x( i 2, j a ) (t ) x( i 1, j ) (t 1) (5) Or gs( i 2, j ) (t 1) v and x(i 1, j , j v ) x( i 1, j a ) (t ) x( i 2, j ) (t 1) (6) 6) Car following/vehicle movement: Back to step 4. Thus the original STCA has been stated in Eq. (1) to Eq. (4), while Eq. (5) and Eq. (6) is lane-changing added in the original STCA. 4. Modified stochastic traffic cellular automata 3 We combined the driving behavior agent driver and diligent driver in section 2.2 and input them into the STCA. Furthermore, we call it modified STCA. Thus, the basic difference between the STCA and the modified STCA is in the speed of them. The speed in the STCA based on Eq. (1), while in the modified STCA there is additional speed. Additional speed of an agent driver had been proposed in section 2.1 inserted into the driving behaviour of STCA. In this section, we improved the additional speed of an agent driver. An agent driver has the speed v( i , j ) (t ) [0 : max( v )] otherwise the speed of a diligent driver is v( i , j ) (t ) [0 : min(v , v] . The complete rules of modified STCA considering agent driver and diligent driver have number of step same with the STCA in section 3 and presented as follows: Step (1) to step (3): acceleration, braking, and randomization have same equation model with the original STCA consecutively in Eq. (1) to Eq. (3). Step (4): vehicle movement, it is different with vehicle movement in the STCA. We insert speed of agent and diligent driver into the vehicle movement. The equations of vehicle movement are: If a diligent driver, x (i , j ) (t ) x (i , j ) (t 1) v (i , j ) (t ) [ 0 : min( v , v] (7) x ( i , j ) (t 1) v (i , j ) (t ) [0 : max( v)] (8) else if an agent driver, x ( i , j ) (t ) Step (5): lane-changing have same equation model with the STCA in Eq. (5) and Eq. (6). Step (6) is same instruction like step (6) in the STCA in section 3. Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 31 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online 5. TOPIK UTAMA Simulation results In accordance with simulation results, we wish to show effect of agent and diligent driver toward the evacuation time. We observed consecutively relationship between evacuation time and diligent driver, mean speed, lane-changing. Evacuation time was obtained based on probability of diligent driver. This simulation results using lane-changing equal to zero. Figure 6 shows the comparison of the effect of diligent driver between STCA model and the modified model. When the diligent driver is increased, both the evacuation time in the modified STCA model and the STCA model is decreased. We found that evacuation time is lower in the modified STCA model than that in the STCA model. These conditions occur not only in the agent = 1 but also in the agent = 2 and 3. Figure 6 also gives information that as the number of agent increase, the evacuation time will be decreased. The effect of mean speed with respect to the evacuation time is also obtained (Figure 7). As the mean speed increase, the evacuation time will be decreased not only in the STCA model but also in the modified STCA model. We note that the evacuation time in the modified STCA model is lower than that in the STCA model when the mean speed is increased. The effectiveness of evacuation time in the modified STCA model was 6.3%. For the number of agent increase, we got the evacuation time in the modified STCA model is decreased. Figure 7 also provides a leap of evacuation time from mean speed = 1 to mean speed = 2. It has 44% decrease in the STCA model and 47% in the modified STCA model. Figure 6. Effect of diligent driver in the STCA model and modified STCA model. Density k=0.6, lane-changing = 0. Figure 7. Effect of mean speed in the STCA model and modified STCA model. Density k = 0.6, lane-changing = 0. Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 32 TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online Effect of diligent driver toward the evacuation time using lane-changing equal to zero was found (Figure 6). Furthermore, combination between the diligent driver and lane-changing to get the evacuation time was conducted. Figure 8 stated that using lane-changing = 0.2, density k = 0.6, and diligent driver increase, we get the evacuation time is decreased. It occurs both in the STCA model and the modified STCA model. Evacuation time in STCA model is larger than that in the modified STCA model. We note that by the number of agent driver increase in the modified STCA model, we got evacuation time decrease. By using modified STCA model, we had the effectiveness of evacuation time around 33.6%. Next, we show effect of lane-changing to the evacuation time by using different diligent driver and agent driver. Figure 9 compares the effect of lane-changing in the STCA model and the modified STCA model. For lane-changing 0 to 0.6 and diligent driver 0.3; 0.5; 0.7 (Figure 9a; b; c, consecutively) we got the evacuation time in the modified STCA model is lower than that in the STCA model. One of the effectiveness of evacuation time in the modified STCA model was calculated for Figure 9a, we got it 5.7%. As lane-changing increase, evacuation time will be decreased not only in the modified STCA model but also in the STCA model. In Figure 9, we also found that the evacuation time will be more decreased when the number of agent is larger. Figure 8. Effect of diligent driver in the STCA model and modified STCA model. Density k=0.6, lane-changing=0.2. (a) (b) (c) Figure 9. Effect of lane-changing in the STCA model and modified STCA model. Density k = 0.6. (a) diligent driver = 0.3; (b) diligent driver = 0.5; (c) diligent driver = 0.7 Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 33 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA 6. Conclusion Modification of STCA was performed by adding agent and diligent driver into the vehicle movement of STCA, we called it modified STCA. A comparative simulation study between STCA model and modified STCA model was conducted. By using modified STCA model, we had the effectiveness of evacuation time. Based on mean speed, we obtained the effectiveness of evacuation time 6.3% for the density k = 0.6, lane-changing = 0. By diligent driver, the effectiveness of evacuation time was 33.6% for density k = 0.6, lane-changing = 0.2. On the other hand, we also found the effectiveness of evacuation time based on lane-changing by 5.7% for density k = 0.6 and diligent driver = 0.3. References 1. Nagel K, Schreckenberg M. 1992. A cellular automaton model for freeway traffic. Journal Physics I France, 2(12): 2221-2229. 2. Maerivoet S, De Moor B. 2005. Cellular automata models of road traffic. Physics Reports, 419(1): 1-64. 3. Harsono T, Basuki A, Arai K. 2009. Monte Carlo Simulation of Micro Traffic with Unpredictable Disturbance. Proceedings of Third Asia International Conference on Modelling & Simulation, Bandung – Bali, Indonesia, pp.224-229. 4. Chopard B, Luthi P, Masselot A. 1998. Cellular Automata and Lattice Boltzmann Techniques: An Approach to Model and Simulate Complex Systems. Lecture Notes, Computer Science Department, University of Geneva, Switzerland. Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 34 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online TOPIK UTAMA Stres dan Penyakit Kardiovaskuler pada Korban Bencana Alam: Insiden, Patofisiologi, dan Penanganan Udin Bahrudin*, Sulistiyati B Utami Departemen Jantung dan Pembuluh Darah, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Indonesia; Division of Regenerative Medicine and Therapeutics, Graduate School of Medical Science, Tottori University, Japan *Email korespondensi: [email protected] Abstrak Rangkaian bencana alam yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini mengakibatkan kerugian material dan immaterial yang besar serta berdampak pada kesehatan korban bencana. Stres maupun penyakit kardiovaskuler (jantung-pembuluh darah) terkait stres banyak ditemukan pada korban bencana, baik segera setelah kejadian maupun dalam jangka waktu lama sesudahnya. Stres didefinisikan sebagai kondisi yang dipicu oleh adanya gangguan sistem homeostasis. Respon terhadap stres diatur oleh sistem stres yang terletak di sistem saraf pusat dan organ perifer. Stres dapat menyebabkan kondisi patologis secara akut atau kronik pada individu yang rentan, dengan perantara mediator utama corticotropin-releasing hormone dan norepinephrine. Angka kejadian dan berat ringannya stres pasca trauma/bencana bervariasi, dipengaruhi faktor jenis, skala, dan durasi bencana. Respon emosi terhadap kejadian bencana wajar terjadi, tetapi bila sampai menimbulkan gangguan fungsi perawatan diri dan/atau pekerjaan maka diperlukan bantuan profesional. Respon emosi anak terhadap bencana tergantung dari usia pertumbuhannya dan dipengaruhi oleh respon orang dewasa di sekitarnya. Insiden penyakit kardiovaskuler meningkat terkait dengan kejadian bencana. Kaitan antara stres, otak, jantung-pembuluh darah dapat menjelaskan peningkatan insiden tersebut. Penanganan pasien dengan penyakit kardiovaskuler dengan depresi atau ganggaun psikologis lain memerlukan program manajemen khusus berupa kombinasi terapi medis spesifik sesuai jenis penyakitnya dan psikologis/psikiatris. Kata kunci: Stres, penyakit kardiovaskuler, korban bencana alam ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Pendahuluan Rangkaian bencana alam yang terjadi di Indonesia (Oktober-November 2010), yaitu bajir bandang di Wasior, tsunami di Mentawai, dan erupsi Gunung Merapi telah menelan ratusan korban meninggal, hilang, maupun luka-luka. Kerugian material dan immaterial yang besar berdampak pada kesehatan psikis dan somatis bagi korban bencana dan keluarganya. Tulisan ini menguraikan dampak bencana dari sudut pandang kedokteran/kesehatan dengan fokus pada dampak psikologis dan somatis berupa stres dan penyakit kardiovaskuler (jantungpembuluh darah), yang meliputi patofisiologi, insiden, cara mengenali, dan cara menanganinya. 2. Gangguan homeostasis akibat stres pada korban bencana alam Semua makhluk hidup menjaga keseimbangan dinamis yang kompleks (homeostatis), yang selalu dipengaruhi oleh pengaruh kuat dari dalam maupun luar tubuh (stressor). Sehingga, stres didefinisikan sebagai kondisi di mana homeostasis terganggu atau dinilai terganggu. Respon adaptasi psikologis dan perilaku yang kompleks mengembalikan kondisi stres menjadi 1 homeostasis. Respon terhadap stres diatur oleh sistem stres yang terletak di sistem saraf pusat (otak) dan 1 organ perifer (Gambar 1). Sistem stres pusat meliputi hypothalamic corticotrophin-releasing 35 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 35 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA hormone (HCTH) dan brain-derived norepinephrine. Kelainan sistem stres, misalnya karena stressor yang berlebihan, dapat mengakibatkan gangguan psikologis, hormonal, metabolisme, sistem imun, dan kardiovaskuler (jantung-pembuluh darah). Perkembangan dan tingkat keparahan gangguan sistem stres tergantung faktor genetik, epigenetik, ketahanan individu terhadap stres, terjadinya paparan stressor pada saat masa pertumbuhan, adanya faktor 1,2 lingkungan yang melindungi atau memperberat, serta waktu, berat, dan durasi stres. Gambar 1. Sistem stres dan gangguan pada sistem stres.1 Keterangan lebih lanjut dapat dibaca di teks. Singkatan: ABP, arterial blood pressure; ACTH, adrenocorticotropic hormone; APR, acute-phase reactants; AVP, arginine vasopressin; CRH, corticotropin-releasing hormone; iCRH, immune CRH; E, epinephrine; E2, estradiol; GH, growth hormone; HPA, hypothalamic-pituitary-adrenal; IGF-I, insulin-like growth factor I; IL-6, interleukin 6; LC, locus ceruleus; LH, luteinizing hormone; NE, norepinephrine; T, testosterone; TG, triglycerides Stres dapat menyebabkan kondisi patologis (tidak normal) secara akut (segera) atau kronik (lama dan menetap) pada individu yang rentan.3-6 Patogenesis (proses terjadinya penyakit) dari gangguan akut akibat stres dikaitkan dengan meningkatnya sekresi mediator stres (corticotropin-releasing hormone (CRH)) pada individu yang rentan.2,3,7-10 Sekresi CRH mengakibatkan degranulasi sel mast, dan memicu reaksi alergi pada organ rentan, misalnya pada paru-paru berupa asma atau pada kulit berupa eksim. Peningkatan CRH pada otak menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak dan peningkatan permeabilitas sawar darah otak dengan gejala berupa migraine (karena pelebaran pembuluh darah meningeal otak), panik atau serangan psikotik (karena aktifnya respon takut pada sistem amigdala otak). Gangguan tekanan darah (hipertensi atau hipotensi) disebabkan oleh stres yang menginduksi sistem syaraf simpatis atau parasimpatik secara berlebihan. Patogenesis gangguan kronis akibat stress dapat dijelaskan oleh adanya sekresi CRH berlebihan dan menetap jangka panjang yang mempengarui sistem homestasis. 3,7-9,11 36 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 36 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online TOPIK UTAMA 3. Stres terkait bencana alam 3.1. Insiden Bencana alam dapat menyebabkan dampak serius dan berkepanjangan terhadap kesehatan fisik maupun psikologis pada korban bencana yang selamat.12-14 Stres pasca tauma (posttraumatic stress disorder (PTSD)) merupakan kelainan psikologis yang umum diteliti setelah terjadinya bencana. PTSD dicirikan dengan adanya gangguan ingatan secara permanen terkait kejadian traumatik, perilaku menghindar dari rangsangan terkait trauma, dan mengalami gangguan meningkat terus-menerus.15 Angka kejadian PSTD pada korban yang mengalami bencana langsung yang selamat kurang lebih 30% sampai 40%.12 Pengamatan pada 262 korban tsunami di Aceh menunjukkan bahwa 83,6% mengalami tekanan emosi berat dan 77,1% menunjukkan gejala depresi. Tekanan emosi berat tersebut terkait degan jumlah orang yang meninggal karena tsunami dalam keluarga responden.16 3.2. Tanda-tanda stres terkait bencana alam Secara umum, dampak bencana akan direspon dengan cara yang berbeda oleh tiap korban. Beberapa orang mungkin mengalami dan mengekpresikan reaksi yang sangat kuat, sedangkan lainnya hanya reaksi yang sangat ringan. Ada yang mengalami reaksi segera setelah kejadian, sementara ada pula yang baru mengalami reaksi beberapa hari, minggu, atau bulan setelah kejadian. Reaksi seseorang mungkin pula berubah setiap saat.17 3.2.1. Tanda-tanda stres pada orang dewasa Reaksi emosi terhadap bencana sangat wajar terjadi yang mencakup: perasaan tumpul (mati rasa), sedih, gelisah, marah, berduka, sensitif, pupus harapan, dan kecewa.17 Konsultasi kesehatan mental perlu dipertimbangkan apabila reaksi yang muncul menetap, memburuk, atau mengakibatkan gangguan fungsi perawatan diri ataupun pekerjaan (Tabel 1).18 Tabel 1. Tanda-tanda stres terkait bencana alam 18 - Kesulitan mengkomunikasikan pikiran Kesulitan tidur Kesulitan menjaga keseimbangan dalam hidup mereka Rendahnya ambang frustrasi (mudah frustasi) Meningkatnya penggunaan obat / alkohol Terbatasnya jangka waktu perhatian Rendahnya prestasi kerja Sakit kepala / gangguan pencernaan Gangguan penglihatan / pendengaran Pilek atau gejala seperti flu - Disorientasi atau kebingungan Kesulitan berkonsentrasi Keengganan untuk meninggalkan rumah Depresi, sedih Perasaan putus asa Perasaan (mood) berubah-ubah dan mudah menangis Merasa sangat bersalah dan ragu pada diri sendiri Takut keramaian atau orang asing, menyendiri 3.2.2. Tanda-tanda stres pada anak-anak Bencana alam bisa memicu munculnya rasa ketakutan, kebingungan, dan ketidakamanan pada anak-anak. Beberapa bentuk ketakutan yang dialami oleh sebagian besar anak adalah: (1) kejadian terulang lagi, (2) orang terdekatnya akan meninggal atau terluka, dan (3) mereka ditinggal sendiri atau terpisah dari keluarga. Pada sebagian besar anak, reaksi terhadap bencana alam berlangsung dalam waktu singkat dan merupakan reaksi normal terhadap “kejadian tidak normal”. Sebagian kecil dari mereka dapat mengalami tekanan psikologis berat.19 Reaksi yang umum terjadi pada anak-anak pasca bencana berdasarkan kelompok umur dapat dilihat di bawah.19 a. Lahir s.d. usia 2 tahun. Bayi dapat bereaksi terhadap trauma dengan menjadi sensitif, menangis lebih lama dari biasanya, atau ingin selalu didekap dan digendong. Pada anak yang lebih besar, mungkin mereka akan meninggalkan permainan yang biasanya dilakukan. 37 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 37 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA b. Usia pra-sekolah (3 s.d. 6 tahun). Karena umur dan fisiknya kecil, mereka tidak mampu melindungi diri sendiri maupun orang lain. Sehingga, mereka merasa sangat ketakutan dan tidak aman bila terpisah dari pihak tempat bergangtung. c. Usia sekolah (7 s.d. 10 tahun). Beberapa anak mengingat rincian peristiwa traumatis dengan mendalam dan ingin membicarakannya terus-menerus. Kondisi ini dapat mengganggu konsentrasi anak di sekolah dan prestasi akademisnya dapat menurun. Mereka mungkin mengekspresikan reaksi sedih, takut, takut bencana akan terjadi lagi, rasa bersalah atas tindakannya atau tidak bertindak saat terjadi bencana, marah karena kejadian tidak dicegah, atau fantasi bermain sebagai penyelamat. d. Usia remaja (11 s.d. 18 tahun). Respon mereka lebih menyerupai respon orang dewasa. Mereka dapat terlibat dalam kondisi berbahaya dan mengerjakan pelilaku berisiko, seperti mengemudi sembrono, minum alkohol, atau memakai narkoba. Sebagian dari mereka mungkin menjadi takut meninggalkan rumah atau menghindari tingkat aktifitas yang sebelumnya dikerjakan. Sebagian dari mereka mungkin merasa kewalahan oleh beratnya beban psikologis dan merasa tidak mampu untuk mendiskusikannya dengan orang lain. 3.3. Penanganan stres terkait bencana alam 3.3.1. Mengatasi stres terkait bencana alam pada orang dewasa Cara setiap orang merespon bencana alam bervariasi, dan perlu diingat bahwa cara yang mereka ekspresikan tidak yang ada salah atau benar. Berikut ini adalah cara-cara untuk mengurangi/mengatasi stres terkait bencana:18 a. Membicarakan dengan seseorang tentang perasaan yang dirasakan (marah, sedih, dan perasaan lain), meskipun mungkin sulit. b. Mencari pertolongan dari konselor profesional yang berurusan dengan stres pasca bencana. c. Menghindari sikap membebani diri dengan tanggung jawab atas peristiwa bencana, atau putus asa karena merasa tidak bisa membantu secara langsung dalam kerja menangani bencana. d. Mengusahakan cara penyembuhan secara fisik dan psikologis dengan pola makan sehat, istirahat, olahraga, relaksasi, dan meditasi. e. Menjaga kondisi keluarga dan rutinitas sehari-hari secara normal, membatasi menuntut tanggung jawab pada diri sendiri dan keluarga. f. Meluangkan waktu dengan keluarga dan teman-teman. g. Berpartisipasi dalam acara-acara “kenangan”. h. Bergabung dalam kelompok-kelompok pendukung (keluarga, teman, dan lembaga keagamaan). i. Memastikan dan menyiapkan diri sewaktu-waktu bencana datang lagi dengan persediaan material menghadapi bencana dan memperbarui rencana keluarga menghadapi bencana. 3.3.2. Cara memahami dan membantu anak-anak mengatasi stres terkait bencana alam19 Reaksi anak-anak dipengaruhi oleh perilaku, pikiran dan perasaan orang dewasa. Orang dewasa sebaiknya memotivasi anak dan remaja supaya mengutarakan pikiran dan perasaan mereka tentang kejadian bencana. Klarifikasi kesalahpahaman mereka tentang risiko dan bahaya denga cara mendengarkan apa yang menjadi perhatian mereka dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Pertahankan perasaan tenang dengan meluruskan perhatian dan persepsi anak-anak dan dengan mendiskusikan rencana nyata untuk penyelamatan. Pertanyaan dari anak kecil cukup di jawaban dengan singkat tanpa elaborasi seperti untuk anak yang lebih besar atau remaja. Jika anak kesulitan mengekspresikan perasaannya, arahkan mereka mengungkapkannya dengan cara menggambar atau menceritakan apa yang terjadi. Diperlukan upaya untuk memahami apa yang menyebabkan kecemasan dan ketakutan pada anak. Beberapa saran untuk membantu anak-anak menghadapi bencana tertulis pada Tabel 2. 38 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 38 TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online Tabel 2. Cara membantu meyakinkan anak pasca bencana alam - - - 19 Memastikan adanya kontak personal. Peluk dan sentuh anak-anak. Memberikan informasi dengan tenang, faktual tentang bencana yang baru saja terjadi dan rencana untuk menjamin keselamatannya. Mendorong anak-anak untuk berbicara tentang perasaannya. Menluangkan waktu dengan anak-anak, seperti pada waktu akan tidur. Menjadwalkan kembali rutinitas harian untuk sekolah, bermain, makan, dan istirahat. Melibatkan anak-anak dengan memberikan mereka tugas khusus untuk menumbuhkan perasaan bahwa mereka berperan dalam membantu pemulihan keluarga dan kehidupan masyarakat. Memuji dan mengakui perilakunya yang bertanggung jawab. Memahami bahwa anak-anak memiliki reaksi bervariasi terhadap bencana. Mendorong anak-anak untuk membantu keluarga memperbarui rencana penanggulangan bencana. Konsultasi atau bantuan konselor profesional diperlukan bila stres anak berlanjut, reaksi memburuk, atau jika menyebabkan gangguan perilaku sehari-hari di sekolah, di rumah, atau dalam hal hubungan dengan orang lain. 4. Penyakit kardiovaskuler terkait stres karena bencana alam 4.1. Insiden Data penelitian di tingkat internasional menunjukkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler akibat gempa bumi. Penelitian pada korban gempa bumi di Hanshin-Awaji, Jepang tahun 1995 mengkaji perubahan hemostatik terhadap stres. Peneliti menemukan adanya peningkatan tekanan dan kekentalan darah pada korban gempa. Peningkatan kekentalan darah dicerminkan dari peningkatan hematokrit dan penanda aktifitas pro-koagulasi (fibrinogen, von Willebrand 21 factor, dan D-dimer). Peningkatan emboli paru ditemukan pula pada korban gempa bumi di Nigata Jepang tahun 2004. Seratus ribu penduduk dievakuasi dari rumah, dan kebanyakan dari mereka tidur malam di dalam mobil. Kombinasi stres psikologis dan relatif tidak bergerak di 22 dalam mobil menyebabkan peningkatan drastis insiden emboli paru. Gempa bumi tahun 1994 di Northridge, California juga berdampak pada peningkatan dramatis angka kematian terkait penyakit jantung-pembuluh darah pada hari terjadinya gempa dibandingkan dengan hari yang sama di tahun sebelumnya.23 Data-data tentang dampak gempa bumi terhadap kardiovaskuler tidak semuanya sama. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kekuatan gempa (Skala Richter) dan durasinya, variasi tingkat kerusakan yang disebabkan, dan waktu terjadinya gempa. Gempa yang terjadi tengah malam menyebabkan tekanan psikologis lebih berat.24 Dampak perbedaan waktu “siang malam” terjadinya gempa terhadap tingkat stres ini sangat menarik, mengingat banyak studi menunjukkan bahwa risiko penyakit jantung-pembuluh darah lebih tinggi saat bangun tidur. Terlepas dari jenisnya, apakah gempa bumi, serangan teroris, ataupun ledakan, stressor dapat memicu terjadinya gangguan fungsi jantung. Penelitian pada 200 pasien dengan implantable cardioverter defibrillators (ICDs) menunjukkan adanya peningkatan kejadian episode aritmia yang mengancam jiwa selama sebulan setelah serangan 11 September 2011 di World Trade 25 Center dan Pentagon. 4.2. Patofisiologi Dalam bidang kedokteran, stres merupakan salah satu keluhan pasien yang paling umum. Keluhan stres menonjol dalam bidang kardiovaskuler karena adanya keterkaitan yang sangat jelas antara otak dan jantung-pembuluh darah. Seperti dilukiskan pada Gambar 1, stres berlebihan dapat mengganggu homeostasis sistem stres dan memicu peningkatan mediator stres (CRH dan NE) sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol dan NE dalam sirkulasi darah. Merujuk pada istilah psikoneuroimulogi yang telah lebih dulu dikenal luas, kaitan antara stres (gejala psikologis), otak (sistem stres), dan kardiovaskuler kita sebut dengan istilah psikoneurokardiologi.20 39 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 39 TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online Hipotesis dampak stres akut pada sistem kardiovaskuler dapat dapat di lihat pada Gambar 2. Respon fisiologis jantung dan pembuluh darah terhadap stres akut dapat berupa vasokonstriksi pembuluh darah koroner jantung, disfungsi sistem otonom (simpatis/parasimpatis), aktivasi neuroendokrin, respon peradangan, respon hemodinamik, dan respon penggumpalan darah. Meskipun respon tersebut pada dasarnya fisiologis, tetapi bila melebihi kapasitas tubuh terutama pada individu yang rentan atau memiliki faktor resiko tertentu, dapat menjadi patologis. Respon patologis dapat berupa gangguan sistem konduksi, sirkulasi, ataupun kontraksi jantung, 26 yang secara klinis dapat berupa artimia ventrikel, infark otot jantung, atau nyeri dada (angina). Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan kadar trigliserid dan kolesterol LDL, penurunan kolesterol HDL, peningkatan tekanan darah arterial, dan gangguan penggumpalan darah.1 Laporan penelitian tentang stres kronis terhadap sistem kardiovaskuler cenderung bersifat epidemiologis, tidak proses patofisiologisnya. Topik yang diangkat terkait stres pekerjaan, masalah rumah tangga, atau perlakuan adil adil. Temuannya antara lain berupa peningkatan tekanan darah, fibrinogen, D-dimer, faktor pro-koagulan dan sitokin proinflamasi dalam sirkulasi, dan insiden serta resiko infark miokardium. Peningkatan tekanan darah dikaitkan dengan penurunan sensitifitas reflek tekanan (baroreflex).23 4.3. Hubungan antara penyakit kardiovaskuler dan stres Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengelaborasi hubungan stres baik disebabkan oleh bencana alam maupun sebab lain. Meskipun kaitan langsung sebaigai hubungan sebab-akibat antara stres dan penyakit kardiovaskuler kontroversial, tetapi kaitan keduanya sangat jelas. Stres merupakan faktor resiko yang sangat penting bagi penyakit kardiovaskuler akut maupun kronik (Tabel 3). Kabar baiknya, efek stres dapat dimodifikasi untuk memberikan dampak klinis sesuai yang diharapkan.27 Tabel 3. Korelasi antara gangguan psikologis dan stressor spesifik terhadap sistem kardiovaskuler27 Gangguan psikologis Akibat pada kardiovaskuler Depresi, putus harapan, pandangan pesimis Penyakit jantung iskemik, kematian karena sebab apapun, kematian mendadak Kecemasan kronis Efek residu dari trauma psikologis (contoh: PTSD, siksaan mental atau fisik, kematian pasangan) Penyakit jantung iskemik, atrial fibrilasi, kematian karena sebab apapun, kematian mendadak Penyakit jantung iskemik, kematian karena sebab apapun, kematian mendadak Tipe kepribadian Kepribadian tipe A dan D Penyakit jantung iskemik Pemarah dan perangai bermusuhan Kematian terkait kardiovaskuler Kelainan atau stressor lainnya Emosi mendadak (ketakutan akut, duka, takjub, marah) Status ekonomi rendah, stres terkait pekerjaan, tekanan dari orang lain Gangguan deprivation) tidur (sleep Stunning otot jantung, aritmia ventrikel akut dan kematian mendadak, penyakit jantung iskemik Kematian karena sebab apapun dan karena kardiovaskuler, penyakit jantung iskemik Kematian karena sebab apapun Faktor resiko Obesitas, sindrom metabolik, hipertensi, diabetes, aktifasi platelet, peningkatan konsentrasi protein C reaktif dan sitokin, gangguan variabilitas denyut jantung Hipertensi, gangguan variabilitas denyut jantung Hipertensi dan reaktifitas tekanan darah, variabilitas denyut jantung sepanjang hari dan saat istirahat Peningkatan reaksi tekanan darah terhadap stres emosi Gangguan kadar lemak darah (dyslipidemia), sindrom metabolik, diabetes, hipertensi, gangguan endotel, agregasi platelet, kegagalan fibrinolisis Iskemia otot jantung, peningkatan tekanan darah, perubahan hemostatik, gangguan variabilitas denyut jantung Kagagalan pemulihan denyut jantung setelah latihan fisik, penuruan kapasistas latihan, hipertensi, diabetes, hiperkoagulasi dan gangguan fibrinolisis Peningkatan denyut jantung istirahat, peningkatan tekanan darah, obesitas, resitensi insulin, gangguan variabilitas denyut jantung, peingkatan penanda peradangan, peningkatan faktor-faktor hemostatik PTSD: post-traumatic stress disorder 40 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 40 TOPIK UTAMA Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online 4.4. Penanganan Selain dengan cara penanganan stres terkait bencana seperti telah disebutkan di atas, pengobatan secara medis tentu dibutuhkan sesuai dengan spesifikasi penyakit yang diderita korban bencana. Meskipun belum ada prosedur tetap yang diterapkan secara luas, bentuk pengobatan yang mungkin efektif berupa interaksi dan intervensi langsung dengan pasien yang menunjukkan gejala gangguan psikologis atau memiliki risiko ganggaun psikologis. Beberapa penelitian menunjukkan keefektifan dari kombinasi beberapa bentuk intervensi terhadap pasien kardiovaskuler, termasuk diantaranya konsultasi dengan konselor profesional. Penelitian di Alabama, Amerika Serikat, menemukan bahwa bantuan secara fisik, emosi, dan kognitif melalui percakapan telepon untuk membantu memecahkan masalah (social problemsolving telephone partnerships) kepada perawat/keluarga pasien stroke akan meningkatkan kecenderungan pasein stroke (yang telah pulang dari rumah sakit) dapat bertahan di rumah 28 tanpa perlu perawatan kembali di rumah sakit. Pengobatan psikiatris terhadap pasien dengan gagal jantung kongestif yang mengalami depresi berhasil menurunkan gejala depresi dibandingkan dengan yang tidak diberikan pengobatan.29 Dibandingkan dengan bentuk-bentuk 30 intervensi yang lain, terdapat kecenderungan terhadap program manajemen depresi yang mencakup terapi dengan obat antidepressant baru (lebih aman dan ditoleransi dengan baik) dan progam konseling bagi pasien-pasien dengan perilaku tidak sehat yang menunjukkan gejala depresi atau gejala penyerta yang lain. Stres akut Respon fisiologis kardiovaskuler Vasokonstriksi koroner Disfungsi otonom Activasi Neuroendokrin Respon peradangan Respon hemodinamik Respon protrombotik Efek patofisiologis kardiovaskuler Instabilitas sistem konduksi jantung Iskemia otot jantung Disrupsi plak ateroma Terbentuknya trombus Kejadian klinik kardiovaskuler Takikardia/fibrilasi ventrikel Infark miokardium Angina tidak stabil Gambar 2. Respon fisiologis, efek patologis, dan kejadian klinik kardiovaskuler yang disebabkan stres akut26 Intervensi berupa teknik mereduksi stres dapat dipertimbangkan untuk penanganan pasien kardiovaskuler terkait stres, yaitu: (1) pendekatan aktifitas: latihan fisik (joging, aerobik), rekreasi (hobi, olah raga, traveling), grup aktifitas sosial/keagamaan, (2) pendekatan perilaku: memeriksa tujuan hidup, mengidentifikasi penyebab stres, pengenalan sifat merusak yang menurun, modifikasi perilaku dengan teknik tertentu, (3) latihan relaksasi: meditasi, imaginasi terbimbing, latihan relaksasi otot progresif, hipnosis, (4) biofeedback: pengontrolan tegangan otot, pengontrolan suhu, respon kulis Galvanik, (4) obat-obatan: obat penenang (sedative, tranquilizer), anti-depresan, beta-blocker.31 Obat penyekat beta bekerja dengan menurunkan efek hilir (downstream) aktivasi respon sistem stres, sehingga banyak dipakai pada pasien stres dengan gagal jantung, infark otot jantung, dan aritmia dengan kriteria tertentu.27 41 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 41 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA 5. Penutup Stres maupun penyakit kardiovaskuler terkait stres banyak ditemukan pada korban bencana, baik segera setelah kejadian maupun dalam jangka waktu lama sesudahnya. Telah diuraikan insiden, patofisiologi dan penanganan stres dan kaitannya dengan penyakit kardiovaskuler pada korban bencana. Hal ini dapat menjadi masukan pengetahuan bagi pihak-pihak yang mengelola penanganan korban bencana, baik pengambil kebijakan maupun pelaksana di lapangan seperti dokter, paramedis ataupun petugas/relawan kemanusiaan lainnya. Referensi 1. Chrousos GP. Stress and Disorders of the Stress System. Nat Rev Endocrinol. 2009; 5(7):374-381. 2. Chrousos GP, Gold PW. The concepts of stress and stress system disorders: overview of physical and behavioral homeostasis. JAMA. 1992; 267:1244–1252. 3. Charmandari E, Tsigos C, Chrousos GP. Neuroendocrinology of stress. Ann Rev Physiol. 2005; 67:259-284. 4. Chrousos GP. The hypothalamic–pituitary–adrenal axis and immune-mediated inflammation. N Eng. J Med. 1995; 332:1351-1362. 5. McEwen BS. Physiology and neurobiology of stress and adaptation: central role of the brain. Physiol Rev. 2007; 87:873-904. 6. Chrousos GP, Kino T. Glucocorticoid action networks and complex psychiatric and/or somatic disorders. Stress. 2007; 10:213-219. 7. Karalis K, Sano H, Redwine J, Listwak S, Wilder RL, Chrousos GP. Autocrine or paracrine inflammatory actions of corticotropin releasing hormone in vivo. Science. 1991; 254(5030):421-423. 8. Elenkov IJ, Chrousos GP. Stress hormones, TH1/TH2-patterns, pro/anti- inflammatory cytokines and susceptibility to disease. Trends Endocrinol Metab. 1999; 10:359-368. 9. Elenkov IJ, Kvetnansky R, Hashiramoto A, Bakalov VK, Link AA, Zachman K, et al. Low versus high baseline epinephrine output shapes opposite innate cytokine profiles: presence of Lewis- and Fischerlike neurohormonal-immune phenotypes in humans. J Immunol. 2008; 181(3):1737-1745. 10. Theoharides TC, Singh LK, Boucher W, Pang X, Letourneau R, Webster E, Chrousos G. Corticotropinreleasing hormone induces skin mast cell degranulation and increased vascular permeability, a possible explanation for its proinflammatory effects. Endocrinology. 1998; 139(1):403-13. 11. Theoharides TC, Spanos C, Pang X, Alferes L, Ligris K, Letourneau R, et al. Stress-induced intracranial mast cell degranulation: a corticotropin-releasing hormone-mediated effect. Endocrinology. 1995; 136(12):5745-50. 12. Galea S, Nandi A, Vlahov D. The epidemiology of posttraumatic stress disorder after disasters. Epidemiol Rev. 2005; 27:78-91. 13. Norris FH, Friedman MJ, Watson PJ, Byrne CM, Diaz E, Kaniasty K. 60,000 disaster victims speak. Part I. An empirical review of the empirical literature, 1981–2001. Psychiatry. 2002; 65:207-239. 14. Bland SH, O’Leary ES, Farinaro E, Jossa F, Trevisan M. Long-term psychological effects of natural disasters. Psychosom Med. 1996; 58:18-23. 15. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders, 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric Association; 1994. 16. Souza R, Bernatsky S, Reyes R, de Jong K. Mental health status of vulnerable tsunami-affected communities: a survey in Aceh Province, Indonesia. J Trauma Stress. 2007; 20(3):263-269. 17. Frank C. Coping with mental health problems following disaster, emergency situations. URL: http://theklaxon.com/coping-with-mental-health-problems-following-disaster-emergency-situations accessed on November 19, 2010. 18. Coping with Disaster. URL: http://www.fema.gov/rebuild/recover/cope.shtm accessed on November 19, 2010. 19. Helping Children Cope with Disaster. URL: http://www.fema.gov/rebuild/recover/cope_child.shtm accessed on November 19, 2010. 20. Matsuo T, Suzuki S, Kodama K, Kario K. Hemostatic activation and cardiac events after the 1995 Hanshin-Awaji Earthquake. Int J Hematol. 1998; 67:123-129. 21. Watanabe H, Kodama M, Tanabe N, Nakamura Y, Nagai T, Sato M, et al. mpact of earthquakes on risk for pulmonary embolism. Int J Cardiol. 2008; 129(1):152-154. 22. Leor J, Poole W, Kloner R. Sudden cardiac death triggered by an earthquake. N Engl J Med. 1996; 334:413-419. 23. Dimsdale JE. Psychological stress and cardiovascular disease. J Am Coll Cardiol. 2008; 51(13):12371246. 42 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 42 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA 24. Steinberg JS, Arshad A, Kowalski M, Kukar A, Suma V, Vloka M, et al. Increased incidence of lifethreatening ventricular arrhythmias in implantable defibrillator patients after the World Trade Center attack. J Am Coll Cardiol. 2004; 44(6):1261-1264. 25. Rau H, Brody S. Psychoneurocardiology: psychosomatic and somatopsychic approaches to hypertension research. Integr Physiol Behav Sci. 1994; 29(4):348-354. 26. Bhattacharyya MR, Steptoe A. Emotional triggers of acute coronary syndromes: strength of evidence, biological processes, and clinical implications. Prog Cardiovasc Dis. 2007; 49(5):353-365. 27. Brotman DJ, Golden SH, Wittstein IS. The cardiovascular toll of stress. Lancet. 2007; 370(9592):10891100. 28. Grant JS, Elliott TR, Weaver M, Bartolucci AA, Giger JN. Telephone intervention with family caregivers of stroke survivors after rehabilitation. Stroke. 2002; 33:2060-2065. 29. Nelson EA, Jordan DM 2nd. Preliminary results of a pilot program on depression in patients with congestive heart failure. Psychol Rep. 2001; 88:42-44. 30. Cassano P, Fava M. Depression and public health: an overview. J Psychosom Res. 2002; 53:849-857. 31. Rosch PJ. Effects of stress on the cardiovascular system. Physician & Patient. 1983 2(11):30-44. 32. Cassano P, Fava M. Depression and public health: an overview. J Psychosom Res. 2002; 53:849-857. 43 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 43 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL Effects of Land Use Planning in PERPRES 54/2008 on River Discharges Miga Magenika Julian1,2*, Fumihiko Nishio2, Poerbandono3, Philip J. Ward4 1 Study Program of Geodesy and Geomatics Engineering, Institute of Technology Bandung, Indonesia 2 Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Japan 3 Faculty of Earth Science and Technology, Institute of Technology Bandung, Indonesia 4 Institute for Environmental Studies, Faculty of Earth and Life Science, VU University Amsterdam, the Netherlands *Email: [email protected] Abstract In 2008, a presidential regulation number 54 (Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 Perpres 54/2008) that regulates uses of land for various degrees of utilization and conservation across Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak and Cianjur (Jabodetabekpuncur) was issued. Perpres 54/2008 is a reference for the implementation of development related to water and soil conservation, the availability of ground water and surface water, flood prevention, and economic development for the welfare of the community. This study was intended to investigate the effects of land use planning in Perpres 54/2008 on river discharges based on spatial simulation of the Ciliwung and Cisadane watersheds. Three evaluation points for each watershed were investigated: downstream, middle and upper watersheds. Here, we simulated the river discharge at 100m×100m resolution with land use data in year 2007. A calibrated spatial water balance model named Spatial Tools for River Basins and Environment and Analysis of Management Option (STREAM) was used for river discharge simulation. The inputs of this model were climate data (precipitation and temperature), land use and topography. Two scenarios of land use were used, the actual land use condition (i.e. year 2007) and planned land use according to Perpres 54/2008. Based on Perpres 54/2008 simulation scenario, if land use planned in Perpres 54/2008 have successfully implemented, it can reduces river discharge by 0.1% to 5.6%. ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Introduction In 1995, the population in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (Jabodetabek) has 1 reached more than 20 million and is still rising since then. The rate of population growth in Jabodetabek throughout 1980 to 1995 was 69.5%. This leads to conversion of forest and agricultural zone into residential that decreases infiltration rate and causes fresh water to more easily flow to the sea. In 2008, a presidential regulation number 54 (Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 - Perpres 54/2008) was issued. It is a presidential regulation that regulates uses of land for various degrees of utilization and conservation across Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak and Cianjur (Jabodetabekpuncur). Perpres 54/2008 is a reference for the implementation of development related to water and soil conservation, the availability of ground water and surface water, flood prevention, and economic development for the welfare of the community. Land use planning covering Jabodetabek appeared in this Perpres (see Figure 1). This study was intended to investigate the effects of land use planning in Perpres 54/2008 on river discharges based on spatial simulation of the Ciliwung and Cisadane watersheds. Three evaluation points for each watershed were investigated (see Figure 1): downstream, middle and upper watersheds. The similar study, which was applied at 1km x 1km resolution and using actual 2 land use data year 2004, has successfully done and documented in. Here, we simulated the river discharge at 100m×100m resolution with updated land use data (i.e. year 2007). Julian, Nishio, Poerbandono, Ward. Effects of Land Use Planning in Perpres 54/2008. 44 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL Figure 1. Study site 2. Material and Method A calibrated spatial water balance model named Spatial Tools for River Basins and Environment 3,4 and Analysis of Management Option (STREAM) was used for river discharge simulation. The inputs of this model were climate data (precipitation and temperature), land use and topography. The ASTER Global Digital Elevation Model (GDEM) was used to delineate model of river network. Climate data (monthly average precipitation and temperature) were provided by Climate Research Unit (CRU) (CRU CL 2.1), University of East Anglia, Norwich, United Kingdom.5 The prevailing rainfall climate (and air temperature) was represented by monthly climatology datasets at 10’ 10’ latitude/longitude spatial resolution. These were mean monthly magnitudes interpolated from data sets of station means for the period of 1961 to 19905. Two scenarios of land use were used, the actual land use condition and planned land use according to Perpres 54/2008. The actual land use was generated on the basis of interpretation of MODIS imagery from year 2007. Look-up tables (Tables 1 and 2) were used to estimate maximum soil water holding capacity (Smax) and crop coefficient (k) according to land use data. Table 1. Maximum soil water holding capacity (Smax) in mm/meter depth of soil, look-up6 1 No. IGBP land cover legend 1 Evergreen needleleaf forest 2 Evergreen broadleaf forest 3 Deciduous needleleaf forest 4 Deciduous broadleaf forest 5 Mixed forest 6 Closed shrublands 7 Open shrublands 8 Woody savannas 9 Savannas 10 Grasslands 11 Permanent wetlands 12 Croplands 13 Urban and built-up 14 Cropland/natural vegetation mosaic 15 Snow and ice 16 Barren or sparsely vegetated 17 Water bodies also 1 International Geosphere-Biosphere Project S max 270 270 270 270 270 180 127 280 296 150 246 170 305 102 060 Corresponds to soil type Loam Loam Loam Loam Loam Sandy loam Loamy sand Loam/silt loam Silt loam Loamy sand/sandy loam Very fine sand loam Sandy loam Clay loam Sand - Julian, Nishio, Poerbandono, Ward. Effects of Land Use Planning in Perpres 54/2008. 45 INOVASI online NASIONAL Vol. 18 | XXII | November 2010 Table 2. Crop coefficient (k), look-up7 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 3. Land Use Category Urban and built-up land Dryland cropland and pasture Irrigated cropland and pasture Mixed dryland/irrigated cropland and pasture Cropland/grassland mosaic Cropland/woodland mosaic Grassland Shrubland Mixed shrubland/grassland Savannah Deciduous broadleaf forest Deciduous needleleaf forest Evergreen broadleaf forest Evergreen needleleaf forest Mixed forest Water bodies Herbaceous wetland Wooded wetland Barren or sparsely vegetated Herbaceous tundra Wooded tundra Mixed tundra Bare ground tundra Snow or ice k 0.8 1.0 1.0 1.0 0.9 1.0 0.8 0.8 0.8 0.6 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 0.3 1.1 1.1 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.0 Result Figure 2 and 3 show the map of Smax and k distribution according to actual land use and land use planning in Perpres 54/2008, respectively. The red boundary indicates the coverage area of Perpres 54/2008. From Figure 2 and 3, major improvement of Smax and k was seen in the western, southern and eastern parts of Perpres 54/2008 covered area. The differences between land use planning in Perpres 54/2008 and actual land use are increasing respectively by 2.02% in Smax and 0.03% in k factor. It indicates that land uses according to Perpres 54/2008 with respect to the actual land use could improve maximum soil water holding capacity and crop coefficient. According to these maps, as well as constant topography and monthly climatology precipitation and temperature maps, computation of river discharge was carried out. 305 (a) Actual 0 (in mm) (b) Perpres 54/2008 Figure 2. Smax map Julian, Nishio, Poerbandono, Ward. Effects of Land Use Planning in Perpres 54/2008. 46 INOVASI online NASIONAL Vol. 18 | XXII | November 2010 1.1 0 (b) Perpres 54/2008 (a) Actual Figure 3. k map Figure 4 shows the simulated discharges across selected evaluation points in the Ciliwung and Cisadane watersheds. Higher discharge usually occurred from January to April. We can see that the simulated discharges decrease under Perpres 54/2008 scenario, with the largest decrease in the downstream area. The summary of computation is given in Table 3. The decreases in discharge were 0.1%, 0.8% and 2.2% for the upper, middle and downstream of Ciliwung, and 4.4%, 4.7% and 5.6% for the upper, middle and downstream of Cisadane, respectively. The overall effect of land use planning according to Perpres 54/2008 reduces river discharge by 0.1% to 5.6%. 100 Actual 100 Perpres 54/2008 20 3 3 40 80 Discharge (m /s) Discharge (m /s) 60 60 40 20 0 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2 3 4 5 6 7 1 3 75 50 7 8 9 10 11 12 Perpres 54/2008 Actual 125 3 100 75 50 100 75 50 25 0 0 6 6 Perpres 54/2008 0 5 5 150 25 25 4 4 Perpres 54/2008 Discharge (m /s) Discharge (m /s) 100 3 3 (c) Upper of Ciliwung (CL-3) 125 125 2 2 Month 150 Actual 3 9 10 11 12 (b) Middle of Ciliwung (CL-2) 150 Discharge (m /s) 8 Month (a) Downstream of Ciliwung (CL-1) 1 40 0 1 Month Actual 60 20 0 1 Perpres 54/2008 Actual 80 3 Discharge (m /s) 80 100 Perpres 54/2008 Actual 7 8 9 10 11 12 Month 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 (d) Downstream of Cisadane (CS-1) (e) Middle of Cisadane (CS-2) 5 6 7 8 9 10 11 12 Month Month (f) Upper of Cisadane (CS-3) Figure 4. Simulated discharges in selected evaluation points Julian, Nishio, Poerbandono, Ward. Effects of Land Use Planning in Perpres 54/2008. 47 INOVASI online NASIONAL Vol. 18 | XXII | November 2010 3 Table 3. Simulated discharges in selected evaluation points (in m /s) Watershed Ciliwung Cisadane 4. Location Scenario Jan Downstream Actual Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Mean 90.5 74.0 72.3 71.6 58.0 36.8 33.0 34.9 39.2 45.8 51.6 61.9 55.8 (CL-1) Perpres 93.3 73.0 70.9 70.1 56.4 35.2 31.6 33.3 37.6 43.7 49.7 59.9 54.6 Middle Actual 31.2 26.4 28.2 29.1 24.3 15.0 13.5 15.3 17.0 20.9 23.4 27.5 22.6 (CL-2) Perpres 33.2 26.2 28.0 28.8 23.9 14.5 13.1 14.8 16.6 20.3 23.0 27.1 22.5 Upper Actual 12.9 10.4 12.5 12.4 11.8 6.7 6.9 6.7 9.0 9.6 12.0 12.0 10.2 (CL-3) Perpres 13.6 10.4 12.4 12.3 11.7 6.6 6.8 6.6 8.9 9.5 11.9 11.9 10.2 Downstream Actual 149.3 127.5 132.9 142.3 120.2 82.5 74.0 85.3 93.0 105.4 114.5 123.1 112.5 (CS-1) Perpres Middle Actual 90.6 74.3 86.6 94.4 83.8 56.9 53.6 61.6 70.8 76.3 85.6 84.0 76.5 (CS-2) Perpres 85.8 71.7 83.4 91.2 80.2 53.6 50.0 58.2 66.9 72.5 81.5 80.2 72.9 Upper Actual 22.7 18.3 21.8 23.4 21.4 13.8 13.3 14.2 17.2 18.4 22.0 21.2 19.0 (CS-3) Perpres 21.8 17.7 21.0 22.6 20.6 13.1 12.5 13.4 16.2 17.6 21.0 20.3 18.2 Δ (%) -2.2 -0.8 -0.1 -5.6 143.5 122.8 127.3 136.4 113.7 76.5 67.8 79.2 86.1 98.2 106.5 116.2 106.2 -4.7 -4.4 Conclusion Investigation the effects of land use planning in Perpres 54/2008 on river discharges was discussed. Successful implementation of all designated land uses according to Perpres 54/2008 with respect to the actual land use could improve maximum soil water holding capacity and crop coefficient. These respectively lead to improvement of infiltration and evapotranspiration in this area. Based on Perpres 54/2008 simulation scenario, if land use planned in Perpres 54/2008 have successfully implemented, it can reduces river discharge by 0.1% to 5.6%. The decrease of river discharges here are still less comparable to the increasing discharge in the period of 1981 to 8 2006 with respect to the period of 1961 to 1980 by 11% to 19%. References 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Cybriwsky R, Ford LR. 2001. City profile Jakarta, Cities; 18(3): 199-210. Poerbandono, Ward PJ, Julian MM, Harto AB. 2009. Spatial simulation of watershed response across Jakarta to the prevailing rainfall climate according to effective enforcement of Perpres 54/2008, International Conference on Regional Development, Environment and Infrastructures "Trend, Issues and Challenges Confronting Regional Development, Infrastructure and Environment in Developing Countries", Bandung, Indonesia. Aerts JCJH, Kriek M, Schepel M.1999. STREAM, Spatial Tools for River Basins and Environment and Analysis of Management Options: ‘Set Up and Requirements’. Physics and Chemistry of the Earth Part B; 24(6): 591-595. Poerbandono R, Ward PJ, Julian MM. 2009. Set Up and Calibration of a Spatial Tool for Simulating River Discharge of Western Java in Recent Decades: Preliminary Results and Assessments. ITB Journal on Engineering Science; 41(1): 50-64. New M, Lister D, Hulme M, Makin I. 2002. A high-resolution data set of surface climate over global land areas. Climate Research; 21. Belward AS. 1996. The IGBP-DIS global 1km land cover data set (DISCover) - Proposal and implementation plans. IGBP-DIS Working Paper Number 13, Toulouse, France. van Deursen WPA, Kwadijk JCJ. 1994. The impacts of climate change on the water balance of the Ganges-Brahmaputra and Yangtze basin. Resource Analysis Report; RA/94-160. Julian MM, Nishio F, Poerbandono, Ward PJ. 2010. Simulation of River Discharges in Major Watersheds of North-Western Java from 1901 to 2006. The 4th Indonesia Japan Joint Scientific Symposium 2010, Bali, Indonesia. Julian, Nishio, Poerbandono, Ward. Effects of Land Use Planning in Perpres 54/2008. 48 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online NASIONAL Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha Mustamin Rahim Teknik Arsitektur, Universitas Khairun Ternate, Indonesia Graduate School of Engineering, Gifu University, Japan Email korespondensi: [email protected] Abstrak Studi ini meneliti bentuk, karakteristik, dan filosofi arsitektur tradisional Moloku Kie Raha di wilayah Maluku Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis kualitatif melalui pendekatan arsitektural dan historis. Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha menggunakan analogi tubuh manusia sebagai filosofi bangunan yang terdiri atas tiga bagian utama yaitu kaki, badan, dan kepala. Studi ini menunjukkan bahwa ada perbedaan bentuk dan karakteristik rumah-rumah tradisional di setiap wilayah Maluku Utara. Namun demikian, rumah-rumah tradisional ini memiliki persamaan filosofi. Bahan bangunan yang digunakan adalah bahan alami yang mudah diperoleh di lingkungan sekitar bangunan. ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Pendahuluan Kekayaan budaya merupakan aset nasional Indonesia yang tidak ada duanya di dunia. Salah satu khazanah budaya yang menonjol adalah bangunan tradisional yang bentuknya beragam, arsitekturnya indah, dan setiap bangunan merepresentasikan kebudayaan daerah tertentu. Arsitektur tradisional merupakan identitas budaya suatu suku bangsa karena di dalamnya terkandung segenap perikehidupan masyarakatnya. Arsitektur tradisional ini berkaitan erat dengan hunian atau tempat tinggal beserta bangunan pelengkapnya, seperti lumbung, tempat pemujaan, dan bangunan tambahan lainnya. Bangunan hunian didirikan menurut konsep, nilai 1 dan norma-norma yang diwariskan nenek moyang. Namun demikian, seiring dengan perkembangan teknologi, karya arsitektural masa kini berkembang ke arah arsitektur modern. Perkembangan ini menyebabkan arsitektur tradisional mengalami transformasi yang cenderung meninggalkan keaslian, keunikan, dan keindahannya. Transformasi ini dialami oleh rumah tradisional Siko dan Pacei di Maluku Utara. Saat ini bangunan aslinya tidak ditemukan lagi. Oleh sebab itu, pelestarian arsitektur tradisional perlu dilakukan. Maluku Utara yang terdiri dari gugusan pulau dan dihuni berbagai suku mempunyai bangunan tradisional yang khas. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bentuk rumah tradisional yang unik di setiap wilayahnya, misalnya rumah adat Sasadu atau rumah adat Folajikusesurabi. Kedua rumah adat ini merupakan bagian dari arsitektur tradisional Moloku Kie Raha. Moloku Kie Raha adalah nama adat dari Maluku Utara yang mengandung makna persaudaraan empat kerajaan, 2 yaitu kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat dan juga beberapa penelitian sebelumnya ada indikasi bahwa meskipun bangunan tradisional di setiap wilayah itu memiliki ciri khas masing-masing, bangunan tradisional ini tetap memiliki persamaan filosofi.3-7 Oleh karena itu, rumah-rumah tradisional ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Makalah ini akan menjelaskan secara teoritis bentuk dan konstruksi yang khas dari arsitektur tradisional Moloku Kie Raha. Meskipun istilah Moloku Kie Raha merupakan nama adat, namun artikel ini akan memakai istilah tersebut sebagai representasi arsitektur tradisional di Maluku Utara. Ini merupakan upaya melestarikan (1) nilai-nilai budaya setempat, (2) konsep Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 49 NASIONAL Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online persaudaraan yang terkandung di dalam istilah Moloku Kie Raha, dan (3) arsitektur tradisional yang beragam dengan konsep filosofi bangunan yang tunggal. 2. Bentuk bangunan Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha memiliki bentuk yang khas di setiap daerah sesuai keadaan alam dan budaya masing-masing suku bangsa. Namun demikian, arsitektur tradisional ini masih memiliki kesamaan, yaitu sebagai perwujudan bentuk tubuh manusia yang terbagi dalam tiga bagian utama4-6 sebagai berikut: Kepala: bagian atap bangunan diibaratkan kepala manusia (lihat Gambar 1). Kepala manusia merupakan bagian tertinggi dan paling penting peranannya dalam struktur tubuh manusia. Keindahan penampilan seseorang juga tercermin dari bagian kepala, yaitu muka. Karakteristik ini dijadikan landasan filosofi pada bagian atap bangunan arsitektur tradisional Moloku Kie Raha dengan menganggap bahwa kepala bangunan sebagai bagian yang paling tinggi kedudukannya dan harus dihormati. Kepala atau atap harus menampilkan bentuk yang khas, dan mengandung nilai-nilai yang sakral. Badan: badan bangunan diibaratkan badan manusia. Badan bangunan merupakan inti bangunan yang meliputi dinding dan ruang yang terdiri dari sistem konstruksi, bahan, ornamen, dan pola penataan ruang. Kaki: pondasi bangunan diibaratkan kaki manusia yang harus mampu menjadi tumpuan dalam kondisi apapun. Kaki bangunan meliputi sistem struktur dan bahan pondasi. Gambar 1. Filosofi tubuh manusia pada bangunan. 5 Dalam rumah adat Sasadu, misalnya, kepala bangunan dianalogikan sebagai perahu kesultanan (kagunga), dan di kedua ujung bubungan terdapat najung perahu (kalulu) sebagai haluan atau buritan. Bagi masyarakat setempat perahu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan sejarah perkembangan daerahnya karena perahu merupakan kendaraan perang untuk melawan musuh, kendaraan utama untuk mencari nafkah di laut, alat transportasi antarpulau, bahkan pada kondisi-kondisi tertentu perahu merupakan rumah sementara. Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha juga menggunakan bagian-bagian tubuh manusia dewasa sebagai sistem satuan ukuran (measurement unit system), seperti tapak kaki, jengkal tangan, depa, dan tinggi badan. Sistem satuan ukuran ini masih digunakan hingga saat ini. Jika satuan ukuran ini diubah ke satuan Sistem Internasional agak sulit mendapatkan ukuran yang Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 50 NASIONAL Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online tepat karena sistem ukuran berdasarkan tubuh manusia sangat dipengaruhi oleh postur seseorang. Namun, sebagai perkiraan 1 kaki setara dengan 30 cm; 1 jengkal setara dengan 22.5 cm; 1 depa setara dengan 150 cm; tinggi badan diasumsikan 165 cm. Pola keruangan umumnya terdiri atas ruang penerima tamu, kamar tidur, dan penyimpanan benda-benda pusaka atau adat. Umumnya dapur berada terpisah dari bangunan utama. Pada rumah Fala Kancing di Ternate, penempatan kamar tidur di sebelah kiri melambangkan letak jantung manusia yang berada di dada kiri.4 Bangunan tempat tinggal umumnya konsentris, yaitu terdiri dari bagian inti di tengah (bilik dalam) dan bagian luar yang mengelilingi bagian inti (bilik luar).3 Jumlah tiang rumah tradisional Moloku Kie Raha menunjukkan status sosial penghuninya. Misalnya rumah-rumah tradisional di Ternate, rumah yang memiliki 8 tiang pada bagian teras (bagian depan rumah) menandakan bahwa penghuni rumah berasal dari keluarga sultan, rumah yang memiliki 6 tiang menandakan rumah para jogubu (perdana menteri dan panglima dalam kesultanan), dan yang bertiang 4 menandakan rumah para fanyira (ketua adat 8 atau marga/kepala kampung). Ornamen atau ragam hias bangunan lebih banyak ditemukan pada bagunan yang digunakan untuk upacara adat seperti pada rumah tradisional Sasadu. Pada tiang ruamah adat Sasadu terdapat ukiran bermotif hewan (kura-kura, ular, dan ikan) dan tumbuhan (bunga dan dedaunan). Rumah keluarga Sultan Ternate juga mempunyai ornamen di atas pintu dan 4 jendela berupa ukiran motif bunga. 3. Konstruksi bangunan 3.1. Pondasi Rumah tradisional Moloku Kie Raha umumnya menggunakan pondasi susunan batu (sengkedan) dan pondasi kayu yang ditinggikan di atas umpak batu. Jenis pondasi yang digunakan disesuaikan dengan lokasi bangunan dan kondisi lahan. Di daerah pegunungan, pondasi rumah umumnya menggunakan pondasi kayu dengan umpak batu utuh. Kayu yang ditinggikan di atas batu ini menciptakan lantai yang tinggi sehingga dapat membentuk rumah panggung. Maksud penggunaan jenis pondasi ini adalah untuk menyesuaikan dengan kontur tanah yang miring dan perlindungan terhadap ancaman binatang buas. Sedangkan di daerah landai, lembah, atau tepi pantai pondasinya menggunakan susunan batu tanpa perekat (spesi). Lantai bangunan dengan pondasi jenis ini tidak ditinggikan (lihat Gambar 2a) karena lebih praktis, dan kondisi lahannya juga tidak berkontur. Pada perkembangan selanjutnya, seperti yang ditampilkan dalam Gambar 2b, pondasi yang menggunakan batu kali dengan perekat dari kelero, yaitu berupa campuran hasil pembakaran batu kapur atau batu karang. Dinding terbuat dari campuran kerikil, pasir, dan kalero. Bagian tengah dinding terdapat tulangan dari bilahbilah bambu. 4 (a) (b) Gambar 2. Bentuk pondasi bangunan: (a) sistem sengkedan tanpa perekat, (b) pondasi batu kali dengan perekat. Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 51 NASIONAL Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online 3.2. Badan bangunan Badan bangunan rumah tradisional Moloku Kie Raha meliputi dinding dan ruang bangunan yang mencakup konstruksi, bahan, dan ornamen. Konstruksi dindingnya berupa rangka (skeleton) yang menggunakan sambungan sistem pasak atau pengikat dari tali ijuk. Ada juga yang menggunakan rangka sistem bongkar pasang (knock-down) sehingga memungkinkan untuk dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Dinding terbuat dari anyaman bambu atau susunan batang ijuk dengan posisi vertikal seperti terlihat pada Gambar 3a. Setiap lembaran dinding diperkuat dengan tiang kayu atau bambu (lihat Gambar 3b). Bahan dinding dari bambu yang mengunakan sambungan kombinasi antara pasak dan ikatan gumutu (tali ijuk) dapat ditemukan pada rumah Fala Boga di Ternate. (a) (b) Gambar 3. Material dinding: (a) batang ijuk, (b) anyaman bambu. Struktur rumah tradisional di pulau Ternate menggunakan struktur rangka kaku yang diperkuat dengan pasak disebut Fala Kancing (fala: rumah, kancing: terkancing). Penggunaan rangka kaku yang diperkuat dengan pasak juga ditemukan pada rumah-rumah di pulau Tidore (fola ijo, fola lamo, dan folajikusesurabi), pulau Halmahera, dan pulau-pulau lainnya.4 Di samping itu, ada juga struktur rumah yang menggunakan sambungan tanpa pasak tetapi memakai sistem sambungan yang dimodifikasi menggunakan pen (lihat Gambar 4), seperti rumah tradisional Sasadu di Halmahera Barat. Gambar 4. Sistem sambungan kayu.1 3.3. Atap Bentuk atap rumah-rumah tradisional bervariasi, di daerah Ternate dikenal dengan nama Fala Boga yang berarti rumah beratap patah atau bengkok (lihat Gambar 5a). Ini berbeda dengan atap rumah adat Sasadu, atap merupakan perwujudan perahu kesultanan (kagunga) dan terdapat najung perahu (kalulu) pada kedua ujung bubungan (lihat Gambar 5b−d). Atap rumah bangsawan daerah Ternate lebih tinggi daripada atap rumah rakyat biasa, rumah rakyat biasa ketinggian tiang rajanya tidak lebih dari ¼ lebar bangunan, seperti pada Fala Kancing. Tiang Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 52 NASIONAL Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online raja memliki makna dan arti bagi masing-masing daerah, pada rumah Fala Kancing terdapat 4 tiga buah tiang raja sebagai simbol hubungan kepada Tuhan dan kepada kedua orangtua. Struktur rangka atap umumnya menggunakan kayu, namun ada pula yang menggunakan bambu dengan sistem rangka yang menyatu dengan rangka dinding. Bahan penutup atap menggunakan daun sagu atau ijuk. Helai-helai daun sagu disusun dan ditekuk secara sederhana pada sebilah bambu yang telah dikeringkan sehingga membentuk persegi panjang 4,5 menyerupai bentuk sisir. Bentuk ini memberikan kesan yang berirama, alami dan indah. Panjang atap daun sagu adalah satu depa atau sekitar 1.5 meter. (a) (b) (c) (d) Gambar 5. Bentuk ornamen dan rangka atap: (a) rangka atap rumah tradisional Ternate, (b) bubungan atap Sasadu, (c) ornamen Kalulu pada atap Sasadu, (c) atap lancip Sasadu 4. Tinjauan teoretis rumah tradisional Moloku Kie Raha Ada banyak jenis rumah tradisional di Maluku Utara, diantaranya rumah adat Sasadu, Folajikusesurabi, Falagaku dan Falakancing (Ternate), Siko, Pacei, Taraudu, Dokiri, Katana, dan Galela . Namun demikian, tulisan ini hanya akan menjelaskan dua rumah tradisional Moloku Kie Raha, yaitu rumah adat Sasadu dan Folajikusesurabi. Rumah ini memiliki bentuk yang khas dan keduanya masih tetap mempertahankan keaslian arsitekturnya. Dari pembahasan dua rumah adat ini memberikan gambaran tentang penggunaan analogi tubuh manusia dalam filosofi bentuk bangunannya dapat teridentifikasi. 4.1. Rumah adat Sasadu Rumah adat Sasadu terdapat di Kabupaten Halmahera Barat. Rumah ini berfungsi sebagai tempat musyawarah. Sebelum membangun rumah ini ada syarat-syarat yang harus disepakati oleh raja, para Soa, dan pemangku adat, yaitu: a. Penentuan lokasi: lahan bangunan harus berada pada tanah milik desa sendiri dengan areal yang cukup luas; terletak pada pusat pemukiman penduduk; tanah ini disebut ririon. b. Orientasi bangunan: harus memanjang dari timur ke barat sesuai dengan orientasi matahari. c. Bentuk bangunan: dalam penentuan ukuran panjang dan lebar rumah harus mengikuti ketentuan khusus yang telah disepakati bersama. Denah rumah adat Sasadu berbentuk segi-delapan dengan tipe memanjang dan agak bundar. Rumah ini terbagi atas dua bagian, yaitu ruang samping yang mengelilingi ruang tengah berbentuk segi-delapan (lihat Gambar 6a) dengan 12 tiang utama dan ruang tengah berbentuk persegi panjang dengan 8 tiang utama. Lantai rumah adat Sasadu terbuat dari timbunan tanah yang dipadatkan dengan susunan batu kali sebagai penahan tanah berbentuk segi delapan. Gambar 6b memperlihatkan potongan melintang dan nama bagian-bagian rumah adat Sasadu. Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 53 NASIONAL Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online (a) (b) Gambar 6. (a) Denah tipe memanjang, (b) potongan melintang rumah adat Sasadu. Satuan ukuran yang digunakan adalah depa, yaitu rentangan tangan orang dewasa dari ujung jari tengah tangan kiri hingga ujung jari tengah tangan kanan (1 depa ≈ 1.5 m). Ukuran panjang dan lebar harus ditambah dengan ukuran yang ganjil misalnya 1, 3, 5, 7, atau 9. Penambahan ukuran ganjil ini merupakan kepercayaan masyarakat setempat agar kehidupan masyarakat desanya tetap berkesinambungan dalam wujud keturunan dan rejeki. Bahan bangunan yang digunakan berasal dari bahan alami yang mudah didapatkan disekitar lokasi bangunan, tiiang terbuat dari kayu, rangka atap terbuat dari bambu (Gambar 7a), alas lantai (degu-degu) juga terbuat dari bambu (Gambar 7b), dan penutup atap terbuat dari dari daun rumbia, serta tali 3-7 ijuk sebagai pengikat. (a) (b) Gambar 7. Konstruksi rumah adat Sasadu: (a) rangka atap dan kuda-kuda, (b) alas lantai atau degu-degu (foto oleh Suharto, 2008) Bentuk bangunan berbentuk geometris segi-delapan dengan bagian tertinggi berbentuk pelana, bagian tertinggi yang terletak di tengah bangunan mengindikasikan bahwa bilik dalam merupakan bagian yang terpenting dari rumah adat Sasadu7 (lihat Gambar 8). Bagian atas rumah adat Sasadu mempunyai dua susunan atap dengan kemiringan yang berbeda. Pertama, atap luar mengelilingi bangunan segi delapan dengan kemiringan sekitar 15°. Kedua, atap utama pada bagian tengah bangunan berbentuk segitiga sama kaki dan tinggi lancip. Pada kedua ujung bubungan atap terdapat hiasan najung perahu (kalulu). Hal ini menggambarkan bahwa arsitektur rumah adat Sasadu merupakan arsitektur masyarakat perahu.6 Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 54 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online NASIONAL Gambar 8. Dua tipe atap rumah adat Sasadu (foto oleh Suharto, 2008) 4.2. Rumah adat Folajikusesurabi Gambar 9 memperlihatkan denah dan bagian depan salah satu rumah tradisional di Desa Gurabunga, Tidore. Rumah ini dibangun dan digunakan dengan cara yang sama sejak beberapa generasi dari Soa Sowohi (pemimpin kampung) yang disebut Folajikusesurabi. Fola berarti rumah, jiku berarti sudut, dan surabi berarti serambi atau teras. Jadi, Folajikusesurabi berarti rumah tinggal yang memiliki serambi atau teras. Rumah ini mempunyai empat sudut yang disebut mabuku. Penekanan pada jiku atau mabuku bermakna bahwa adanya pembatasan empat bidang untuk penghidupan batin dan keagamaan. Bagian-bagian rumah adat Folajikusesurabi melambangkan anatomi tubuh manusia, yaitu: a) Atap melambangkan kepala manusia. b) Tiang rumah melambangkan kapita (pengawal) dari lima marga atau kelima rumah adat tersebut. c) Jendela melambangkan keterbukaan dan kemurahan hati. d) Pintu melambangkan baju panjang (jubah) yang biasa dipakai oleh sultan. e) Dinding melambangkan badan manusia. f) Tiang raja melambangkan sifat tegas dari sang pemimpin. g) Pondasi melambangkan kaki manusia. Gambar 9. Denah dan bagian depan rumah adat Folajikusesurabi (foto oleh Heri Purnomo, 2009). Tipologi bagunan persegi empat yang terdiri dari bangunan induk dan dapur dibangun bersambung. Luas rumah induk adalah 13.56 x 9.90 m2 dan dapur 9.90 x 7.00 m2. Di wilayah setempat tipologi bangunan ini dikenal sebagai Goakalaguti, yang artinya sistem gunting atau bangunan tanpa tiang nok. Rumah adat ini berfungsi sebagai tempat pengobatan supranatural dan penyembahan yang bersifat magis. Denah ruang terdiri atas (1) teras, (2) ruang tamu sebagai tempat untuk menerima tamu kehormatan, Salai Jin (tarian Jin), dan bermusyawarah, Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 55 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online NASIONAL (3) dua kamar tidur, (4) ruang Puji (tempat penyimpanan peralatan upacara adat), dan (5) ruang 5,9 dapur. Bahan bangunan sebagian besar menggunakan bambu yang dipakai untuk pondasi, dinding, plafon dan rangka atap. Tetapi ada juga rumah menggunakan pondasi batu kali yang langsung ditumpuk tanpa campuran, serta tiang terbuat dari kayu. Pada perkembangan berikutnya beberapa rumah adat yang telah direnovasi menggunakan campuran semen untuk pembuatan pondasi, di atas pondasi diletakkan bambu sebagai sloef untuk penopang dinding, rangka atap dari bambu utuh, tali ijuk digunakan sebagai pengikat, dan bahan penutup atap dari daun sagu. Ukuran yang digunakan sesuai bagian tubuh manusia dewasa baik perempuan maupun lakilaki (tapak kaki, jengkal tangan, dan depa). Denah bangunan harus berukuran ganjil, misalnya panjang 7 depa + sejengkal tangan + satu tapak kaki, lebar 5 depa + sejengkal tangan + 1 tapak kaki. Kadang-kadang untuk ukuran panjang ditambah 1 jengkal laki-laki dan untuk ukuran 5,9 lebar 1 jengkal perempuan. Ada lima rumah adat Folajikusesurabi di Desa Gurabunga yang dibuat berdasarkan marga: a) b) c) d) e) Fola Sowohi, berarti rumah pemimpin adat Tidore, Fola Tosofu, berarti rumah pemimpin yang menguasai Tasawuf, Fola Toduho, berarti rumah pemimpin yang menguasai laut, Fola Mahifa, berarti rumah pemimpin yang mengenal Marifat, Fola Tosofu Makene, berarti rumah pemimpin yang menguasai ilmu Fiqh. 5. Kesimpulan Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha menggunakan analogi tubuh manusia sebagai filosofi bangunan yang terdiri atas tiga bagian utama yaitu kaki, badan, dan kepala, serta menggunakan anatomi tubuh manusia dewasa sebagai satuan ukuran seperti tapak kaki, jengkal, depa dan tinggi badan. Sistem konstruksi bangunan menggunakan konstruksi sederhana berupa pondasi sengkedan dan kayu diatas umpak batu, dinding menggunakan rangka (skeleton) dan sistem knock-down, sedangkan sistem sambungannya menggunakan pasak atau ikatan tali ijuk. Bahan bangunan menggunakan bahan alami yang mudah didapatkan dari lingkungan sekitarnya seperti kayu, bambu, daun rumbia atau sagu, tali ijuk, batu kali, pasir, dan kalero. Studi ini masih perlu dilanjutkan dengan mengkaji lebih detail setiap rumah tradisional yang ada sebagai upaya konservasi dan pelestarian bangunan tradisional Moloku Kie Raha. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Arsitektur Tradisional Ternate - Tidore dan Halmahera (Studi Analisa Konstruksi Tradisional). URL: http://busranto.blogspot.com/2007/04/arsitektur-tradisional-ternate-dan.html, diunduh pada 10 Juni 2010. Moloku Kie Raha. URL: http://melayuonline.com, diunduh pada 10 Juni 2010. Mursyid, A. 1979. Arsitektur Tradisional di Halmahera dan Sekitarnya. PT. Atelier Enam, Jakarta. Ibrahim M dan Rahim M. 2009. Tipologi Arsitektur Tradisional Daerah Maluku Utara. Proceeding SENVAR 10, Manado, Indonesia. Team Survey. 1998. Laporan Apresiasi Arsitektur Daerah Maluku, Proyek Penyusunan Pedoman Arsitektur Daerah Maluku, Buku I, dan Buku II, Dinas Pekerjaan Umum, Provinsi Dati I Maluku. Sjah N. 2005. Rumah Adat Sasadu sebagai Wujud Refleksi Budaya Masyarakat Maluku Utara. Tesis Master, Universitas Parahyangan, Bandung. Laporan Pra-Penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia. Jurusan llmu-ilmu Sejarah Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1978-1979. Aroma Budaya Ternate, Jakarta: LIPI, 1979. Rahim M dan Paputungan S. 2009. Studi Arsitektur Tradisional Rumah Adat Tidore Maluku Utara, Jurnal Rekanologi, Fakultas Teknik Universitas Khairun Ternate, Vol. 3, No. 6. Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 56 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI Internet-based Lectures on Satellite Imagery Processing and Geographic Information System using Open Source Softwares Fatwa Ramdani Geo-environment, Institute of Geography, Earth Science Department Graduate School of Science, Tohoku University E-mail: [email protected] Abstract In the field of remote sensing and geographic information system (GIS), it recently becomes easier to find and download satellite imagery from official data provider (websites) freely. However, the aggravating circumstance is that the satellite imagery processing and GIS commercial software are expensive. This paper attempts to give solution for this problem. At present, many choices of open source software and online software tools are available, which are easy to download from internet, and easy to use. We deliver a lecture on satellite imagery processing and GIS based on the availability of internet connection and open source softwares. The study case is urban growth with road network as driving force from the development of transportation access. To obtain the optimum level in giving lecture, statistical analysis is carried out by incorporating six variables, namely optimum duration, subject matter, illustration and description, feedback, planning the lesson and material, and lesson quizzes at three different durations (45, 60 and 90 minutes). We find that the most optimum duration in giving lecture using internet connection and open source software is 90 minutes provided only single subject matter is given. This method is also found to be simple. Keywords: Lecture, Satellite imagery processing, GIS, Internet, Open source, ILWIS 3.6, MapWindow, Google Earth, kml2shapefile. ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Introduction Information and communication technology have been growing rapidly during the last two decades. The dot com bust after the second millennium (year 2000) resulted many opportunities for advanced spatial analyses. In recent times, free of charge satellite imagery can be found and downloaded easily from official data provider or website. For example, Google Earth becomes the easiest and accessible geographic information on the internet. We can access the information from computer, mobile phone and tablet PC. We can use Google Earth as navigator 2 to find the way. We can draw, measure, and do geo-tagging photos as we like. We can explore the information at many scales: ocean, remote island, astronomy, or even street view. Unfortunately, commercial softwares for processing the remote sensing (e.g. satellite imagery) as well as geographic information system (GIS) remain relatively expensive. In fact, the utilization of remote sensing and GIS has been shifted from professional user to nonprofessional user. Nowadays, all users could find and satisfy their needs by utilizing online or offline GIS technology. Users face an abundance of open source software and online software tools. Users can easily download the software from the internet, and use the software immediately. One of the user-friendly open source GIS softwares is ILWIS 3.6. ILWIS is an acronym for Integrated Land and Water Information System. It is developed and distributed by International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation (ITC), Enschede, the Netherlands. ILWIS 3.6 has several advantages and capabilities: (a) It can be executed under various operating systems, e.g. Linux, UNIX, Mac OSX, Windows, (b) It supports numerous vector, Ramdani. Internet-based Lecture on Satellite Imagery. 57 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI raster and database formats as well as functionalities, (c) It provides a continuously growing number of capabilities and functions, (d) It can be used to visualize, manage, edit, analyze data, and (e) It can be used to compose printable maps. Integrated raster and vector approach and user-friendliness make it particularly suitable for natural resources management. A software known to view GIS data, which is also free to use and distribute, can also be downloaded from the internet. For instance, MapWindow. Unlike other free tools, MapWindow is not merely data viewer: it is an extensive GIS. It means that we can write plug-in, add additional functionalities (models, special viewers, hot-link handlers, data editors, etc.) and pass along these functionalities to the clients and the end-users. MapWindow includes standard GIS data visualization features as well as input database attribute table editing, shapefile editing, and grid 1 importing and conversion. The objective of this paper is two-fold. First, it attempts to optimize two open source softwares, namely ILWIS 3.6 and MapWindow GIS, during internet-based lecture of imagery processing and GIS. Second, it aims to gain an optimum level of students’ satisfaction in receiving internetbased lecture specifically on imagery processing and GIS. 2. Procedures Prior to optimization process, a good internet connection is necessary. Optimization can be performed by following procedures: 1) Prepare spatial data set, i.e. Landsat ETM+ satellite imagery. It can be downloaded freely from http://glovis.usgs.gov.2 User can then decide the area of interest and store the area to the work folder. 2 2) Launch ILWIS 3.6, that can downloaded from http://52north.org, and install it to the computer. User can then convert the data into ILWIS format and make it RGB (RedGreen-Blue) or combination of natural colors. At this point, user is ready to distinguish land use (land cover) from the Landsat ETM+ satellite imagery. In the case whereby user wants to study the urban growth with respect to time, three different acquisition time of Landsat ETM+ satellite imagery can be downloaded. 3 3) User can update the road network by opening Google Earth (http://www.google.com/) and zoom-in to the area of interest. Using add path tools at Google Earth (GE) toolbar, user can write ‘name’ and start to digitize. After that, user can find the road network layer in the left side of GE. This layer is then right-clicked. User can select ‘copy’. 4 4) Launch kml2shapefile obtained from http://www.zonums.com/online/kml2shp.php, right click or use ctrl+v in the work window; export the data and store them in the work folder. 5 Then, open MapWindow that can be downloaded from http://www.mapwindow.org/ and install it. User loads the time series satellite imagery and the road network. User makes a layout map with cartography design and present it in *.pdf format (the CutePDFWriter 6 can be downloaded from http://www.filehippo.com/). User can also print out the map and present it as hardcopy. 5) After the installation and processing have been performed, the questionnaire can be distributed to the students. In present case, it aims at collecting the information from thirty students on their satisfaction in receiving the lecture on satellite imagery processing and GIS based on the internet and open source softwares. Statistical data is analyzed to measure the satisfaction level. Six variables are used to measure the optimum satisfaction levels, they are optimum duration, subject, illustration and description, feedback, lesson or material plans, and quiz. 3. Result We used overlay analysis in MapWindow to monitor the urban growth with road network as a driving force from the development of transportation access. Using this relatively simple method the development of transportation access can be considered as one of the determining factors Ramdani. Internet-based Lecture on Satellite Imagery. 58 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI for urban growth (e.g. physical and human capitals, natural resources, labor, advanced technology and good strategy for policy of economics). However, this paper does not discuss other determining factors since the objective is to optimize open source softwares of ILWIS 3.6 and MapWindow GIS. In terms of students’ satisfaction in receiving the internet-based lectures, the statistical analysis was carried out. Figure 1 shows the sastifaction level agains the criteria such as optimum duration, subject, illustration and description, feedback, lesson or material plans, and quiz. Based on Figure 1, lecturing in 90 minutes produces highest optimum duration, quizz, planning the lesson and material and feedback. Figure 1. Satisfaction levels of six parameters surveyed from thirty students in receiving internet-based lecture on satellite imagery and GIS. The benefits of using open source software are low cost, easy to convert, capability to provide geospatial analysis (union, clip, dissolve), easy conversion of JPG format file and/or PDF, and very user-friendly interface. The open source software is ultimately easy to use even for first user of GIS. Environment management and human-environment interaction analysis are much easier using the open source software. The difficulties of ILWIS 3.6 and MapWindow GIS are, however, in the cartographic rules and design. These softwares are also found to be unstable in personal computer with low specification. It is recommended to provide minimum 2GB of random access memory (RAM), good processor and high performance graphic card. 4. Conclusion Rich functions of ILWIS 3.6 and MapWindow GIS for satellite imagery display and processing and other GIS work were observed. The disadvantage of these softwares is that they require a fast and stable internet connection to download satellite imagery, and to install the open source software during online installation. Giving lectures is found to be influenced by micro-teaching abilities such as communication and experience rather than technological assistance. In other words, the availibility of hardware, software and brainware should be supported by personal ability in giving lecture. Ramdani. Internet-based Lecture on Satellite Imagery. 59 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI Figure 2. MapWindow GIS screenshoot References 1. USGS Global Visualization Viewer. URL: http://glovis.usgs.gov/, accessed on July 30, 2010. 2. 52 North - Initiative for Geospatial Open Source Software GmbH. URL: http://52north.org/downloads/ilwis, accessed on July 30, 2010. 3. Google Earth. URL:http://earth.google.com/intl/ja/download-earth.html, accessed on July 30, 2010. 4. Zanum Solution. Free Software Tools. URL:http://www.zonums.com/online/kml2shp.php, accessed on July 30, 2010. 5. MapWindow GIS V48RC1. URL:http://www.mapwindow.org/downloads/index.php?show_details=1, accessed on July 30, 2010. 6. FileHippo.com – Download Free Software. URL:http://www.filehippo.com/jp/download_cutepdf_writer/, accessed on July 30, 2010. Ramdani. Internet-based Lecture on Satellite Imagery. 60 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa untuk Pengeringan Rosela (Hibiscus sabdariffa) Dyah Wulandani,1 Leopold Oscar Nelwan,1 I Made Dewa Subrata,1 Edi Sutoyo,2 Guyup Mahardhika2 1 Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 2 Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Indonesia Email korespondensi: [email protected] Abstrak Di daerah pedesaan di Indonesia, pada umumnya pengeringan produk rempah-rempah dan biji-bijian dilakukan dengan cara menghamparkan produk di atas tanah. Kendala yang dialami petani dengan cara ini adalah ketika cuaca mendung, pengeringan produk terpaksa berhenti, akibatnya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan produk kering menjadi lebih lama. Hal tersebut dapat berdampak negatif pada mutu produk kering yang dihasilkan, yaitu mudah terkontaminasi oleh jamur. Pengering berenergi surya dan biomassa didesain untuk membantu petani mengatasi permasalahan tersebut, sekaligus menghemat penggunaan energi. Pengering ini berupa bangunan berdinding transparan dengan rak-rak di dalamnya, dilengkapi dengan kolektor surya, tungku berbahan bakar biomassa dan kipas bertenaga listrik. Uji coba alat untuk mengeringkan 32 kg kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa) dari kadar air 90% bb sampai 12% bb, memberikan nilai efisiensi pengeringan sebesar 30%, dengan waktu pengeringan 28 jam pada kondisi cuaca cerah (radiasi surya rata-rata 458 W/m2) dan suhu pengeringan 43 oC, kelembaban udara 52% serta laju massa biomassa (kayu bakar) sebesar 2.5 kg/jam. Berdasarkan analisis ekonomi yang dilakukan, pengering berenergi surya dan biomassa untuk mengeringkan kelopak rosela segar dengan kapasitas penuh (200 kg) layak untuk dioperasikan. ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Pendahuluan Rosela (Hibiscus sabdariffa) adalah salah satu jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk obat-obatan. Manfaat rosela sebagai tanaman herbal telah dibuktikan secara ilmiah. Prenesti et al. menemukan kandungan pholyphenol dalam teh rosela yang berfungsi sebagai antioksidan.1 Antioksidan banyak digunakan dalam makanan suplemen/kesehatan yang berfungsi sebagai zat anti penuaan dan zat pencegah dari beberapa penyakit, seperti demam, sariawan, melancarkan pembuluh darah dan mengendalikan tekanan darah. Manfaat lain rosela adalah seratnya dapat melancarkan buang air besar. Rosela dapat dinikmati dalam berbagai bentuk makanan, seperti selai untuk olesan roti, jelly (manisan), atau menjadi minuman seperti jus dan teh. Rosela kering pada umumnya dimanfaatkan sebagai teh rosela. Tujuan pengeringan rosela adalah untuk mendapatkan cita rasa teh dan agar aman disimpan. Kendala utama para petani atau pedagang pengumpul produk kering (termasuk rosela, cengkeh, pala, kapulaga, dan biji-bijian lainnya) adalah masalah cuaca. Secara konvensional, pengeringan dilakukan dengan menjemur produk basah di atas nampan-nampan bambu dan diletakkan di bawah terik matahari. Di saat mendung dan hujan, pengeringan terpaksa dihentikan. Kebanyakan produk dalam kondisi ini menjadi rusak karena ditumbuhi jamur dan akhirnya harga jual produk jatuh atau bahkan tidak memiliki harga jual sama sekali. Pengering berenergi surya dan biomassa diharapkan dapat mengatasi permasalah di atas dan memenuhi kebutuhan petani atau pengusaha pengeringan produk pertanian dan perkebunan. Dengan peralatan yang sederhana, kedua sumber energi (surya dan biomassa) ini dapat dimanfaatkan pada pengeringan produk pertanian. Energi surya dan biomassa merupakan Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 61 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI sumber energi alami dan pemanfaatan kedua jenis sumber energi ini untuk pengeringan memberikan keuntungan karena mudah diperoleh, terutama di Indonesia sebagai negara tropis dan penuh dengan anekaragam jenis tanaman. Kombinasi surya dan biomassa pada pengering memberikan manfaat ganda di samping sebagai energi penyedia saat cuaca cerah dan mendung juga sebagai salah satu upaya dalam penghematan penggunaan energi. Penggunaan kolektor surya sebagai alat pengonversi energi surya untuk pengeringan merupakan cara efektif untuk mengumpulkan panas surya. Tipe kolektor datar yang menyatu dengan bangunan pengering dapat menghemat penggunaan lahan.2 Tulisan ini membahas tentang kinerja pengering berenergi surya dan biomassa untuk kelopak rosela. Pengering ini diharapkan memberikan pilihan bagi petani atau pedagang pengumpul produk-produk pengeringan dan meningkatkan nilai tambah produk pengeringannya. 2. Pengering berenergi surya dan biomassa Alat pengering ini terdiri dari beberapa bagian utama yaitu bangunan berdinding transparan, tungku, kolektor surya, kipas bertenaga listrik dan rak pengering. Desain pengering diperlihatkan pada Gambar 1. Pengering memiliki kapasitas 200 kg kelopak rosela segar dengan tebal tumpukan atau lapisan 40 mm (satu lapis kelopak rosela). Besarnya kapasitas alat pengering sangat tergantung pada jenis produk dan tebal lapisan produk yang dikeringkan. Gambar 1. Alat pengering berenergi surya dan biomassa Komponen-komponen utama alat pengering adalah: (a) Bangunan pengering berdinding transparan berfungsi sekaligus sebagai kolektor dan untuk melindungi produk dari hujan atau kotoran/gangguan hewan pemakan produk. Bangunan pengering memiliki dimensi: tinggi 3 m, panjang 4.5 m dan lebar 1.9 m. (b) Tiang utama bangunan terbuat dari besi berongga ukuran 50 mm x 50 mm, agar alat dapat menopang seluruh beban yang terpasang. Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 62 INOVASI online IPTEK DAN INOVASI Vol. 18 | XXII | November 2010 (c) Rak pengering terbuat dari aluminium berlubang yang berguna untuk meletakkan komoditi. Rak berdimensi: panjang 0.6 m dan lebar 0.5 m. Apabila pengering digunakan untuk produk pangan (seperti manisan buah, dendeng daging dan lain-lainnya), perlu menggunakan bahan baja tahan karat yang aman untuk produk pangan (Gambar 2a). (d) Kolektor surya dengan penyerap (absorber) berupa pelat besi (tebal 0.3 mm) yang terintegrasi sebagai bagian dari komponen lantai dan dinding penukar panas. Pelat dicat warna hitam buram (tidak mengkilat) untuk meningkatkan daya absorpsinya dalam mengumpulkan panas. Dinding transparan merupakan bagian dari kolektor yang berfungsi memerangkap panas matahari untuk kemudian diserap oleh absorber. (e) Tungku sebagai pemanas tambahan terletak di bagian bawah (tengah-tengah) bangunan pengering, berkapasitas 0.008 m3 atau 10 kg bahan bakar kayu (Gambar 2b). (f) Penukar panas berada di tengah bangunan, sebagai komponen penyalur energi panas baik yang berasal dari tungku maupun kolektor, digunakan pipa berukuran 25.4 mm (1 inci). (g) Kipas inlet untuk meniupkan dan mendistribusikan udara pengering ke seluruh rak pengering berjumlah empat buah (masing-masing berdaya 80 W) dan berada di belakang penukar panas. (h) Lubang outlet berada di samping kanan dan kiri pengering berjumlah empat buah dengan bukaan yang dapat diatur sesuai kebutuhan. Outlet berguna untuk mengeluarkan uap air yang berasal dari produk selama pengeringan berlangsung. (a) (b) Gambar 2. Bagian alat pengering: (a) rak produk, (b) tungku 3. Metodologi Uji kinerja pengering berenergi surya dan biomassa untuk pengeringan rosela dilakukan pada 3 kondisi pengeringan yang berbeda untuk memperoleh kinerja pengering pada berbagai kondisi cuaca yang berbeda, yaitu uji siang hari tanpa beban (Percobaan 1), uji malam hari tanpa beban (Percobaan 2) dan uji siang dengan beban 32 kg kelopak rosela segar (Percobaan 3). Bagian dari tanaman rosela yang dikeringkan adalah kelopak bunganya. Rosela segar diperoleh dari Laboratorium Lapang Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rosela masak memilki warna merah keunguan (Gambar 3a). Rosela dipisahkan dari bijinya (Gambar 3b), lalu kelopaknya dikeringkan di dalam alat pengering. Kadar air awal kelopak rosela diukur menggunakan metode pengeringan oven3 pada suhu 70 oC selama 24 jam. Radiasi surya diukur untuk memperoleh data kondisi cuaca saat pengeringan Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 63 INOVASI online IPTEK DAN INOVASI Vol. 18 | XXII | November 2010 berlangsung. Suhu yang diukur meliputi: udara pengering, udara lingkungan, produk, udara di dalam tungku, dan penukar panas. Suhu udara pengering merupakan rata-rata dari enam titik pengukuran, yaitu pada posisi rak paling atas, rak tengah dan rak paling bawah, masing-masing pada pengering sebelah kiri dan kanan. Parameter pengeringan yang dianalisis terdiri dari efisiensi pengeringan dan konsumsi energi per kilogram uap air dari produk. Efisiensi pengeringan adalah rasio energi yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu udara pengering terhadap energi yang disediakan dari listrik, biomassa, dan surya. Konsumsi energi per kilogram uap air dari produk adalah rasio energi yang disediakan dari listrik, biomassa, dan surya terhadap massa air yang diuapkan produk selama proses pengeringan. (a) (b) Gambar 3. Rosela: a. rosela masak, b. rosela dan biji 4. Hasil pengujian alat pengering Data hasil pengujian alat pengering pada ketiga kondisi yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Percobaan 1 dan 2 ditujukan sebagai percobaan pendahuluan untuk mengetahui kinerja secara umum, sebelum beban diberikan. Percobaan 1 dilakukan pada kondisi cuaca mendung yang ditunjukkan oleh rendahnya radiasi surya (95 W/m2), dibandingkan dengan rata-rata radiasi surya harian di Indonesia2 540 W/m2. Berdasarkan hasil kedua percobaan tersebut, ditemukan bahwa operasi siang hari lebih efisien dibandingkan pengeringan malam hari. Seperti terlihat pada Tabel 1, efisiensi pengeringan pada Percobaan 1 lebih besar dibandingkan dengan efisiensi pengeringan pada Percobaan 2. Hal ini dipengaruhi oleh tingginya kebutuhan energi pengeringan pada malam hari untuk menaikkan suhu udara lingkungan (dari 24oC menjadi 52oC) dan untuk menurunkan kelembaban udara lingkungan (dari 97% menjadi 60%). Percobaan 1 dan Percobaan 2 menghasilkan nilai keragaman suhu ruang pengering, masing-masing 3.3oC dan 6oC. Untuk mendistribusikan suhu udara pengering agar lebih merata di seluruh bagian produk, maka pada Percobaan 3 (siang hari dengan beban) diberikan dua kipas tambahan pada bagian outlet (kanan dan kiri pengering) dengan daya masing-masing 60 W dan laju aliran udara pengering 0.39 kg/detik. Suhu udara di atas rak produk menjadi lebih seragam dengan nilai keragaman suhu 1.9oC. Keseragaman suhu sangat penting untuk mendapatkan kadar air produk kering yang seragam, yang merupakan salah satu parameter mutu utama produk kering. Untuk menurunkan kadar air kelopak rosela dari 90% bb menjadi 12% bb dibutuhkan waktu 28 jam (penjemuran konvensional memerlukan waktu lebih dari 30 Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 64 INOVASI online IPTEK DAN INOVASI Vol. 18 | XXII | November 2010 jam) dengan efisiensi pengeringan mencapai 30%. Sebagai perbandingan, Othman et al.4 menghasilkan efisiensi pengering surya kolektor pelat datar, pada kisaran 20% sampai 60%. Konsumsi energi pengeringan kelopak rosela mencapai 49 MJ/kg uap. Besarnya nilai konsumsi energi ini disebabkan oleh kehilangan panas yang besar pada dinding tungku. Untuk itu diperlukan isolasi pada dindingnya. Tabel 1. Hasil pengujian pengering untuk pengeringan kelopak rosela C C % % W/m2 o C Uji siang tanpa beban (Percobaan 1) 60 31 40 75 95 3.3 Nilai Uji malam tanpa beban (Percobaan 2) 52 24 60 97 0 6 Uji siang dengan beban (Percobaan 3) 43 32 52 67 459 1.9 kg/jam MJ MJ jam % 5 174.0 578.6 6 30 9 56.0 350.0 2 16 2.5 425.9 1388.9 28 30 Parameter Satuan Suhu ruang pengering Suhu lingkungan Kelembaban udara pengering Kelembaban lingkungan Iradiasi surya Keragaman suhu ruang pengering Laju pembakaran kayu bakar Energi yang dibutuhkan Energi yang disediakan Waktu percobaan Efisiensi pengeringan o o W/m2: Watt/meter persegi, MJ: mega Joule Warna merah hasil seduhan teh, seperti yang terlihat pada Gambar 4, dari kelopak rosela kering memiliki mutu yang dapat diterima secara komersial. Warna merah ini menunjukkan khasiat zat antioksidan yang terkandung di dalamnya.5 Semakin pudar warna merah teh hasil seduhan semakin berkurang pula khasiat zat antioksidannya. Seduhan kelopak rosela kering di dalam air panas (80oC) memerlukan waktu 3 menit. Gambar 4. Seduhan teh rosela Berdasarkan analisis ekonomi menggunakan metode NPV (net present value) dan analisis BEP (break even point), pengering berenergi surya dan biomassa untuk pengeringan kelopak rosela (kapasitas 200 kg) layak secara ekonomi dengan biaya pokok pengeringan Rp 866,00 per kilogram kelopak rosela segar. Pengembalian modal terjadi pada awal tahun kedua. Data dan hasil analisis ekonomi disajikan pada Tabel 2. Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 65 INOVASI online IPTEK DAN INOVASI Vol. 18 | XXII | November 2010 Tabel 2. Data dan hasil analisis ekonomi pengeringan kelopak rosela Parameter Modal awal alat pengering Harga kelopak rosela segar tanpa biji Harga rosela kering Rendemen Kapasitas alat pengering Jumlah operasi pengeringan per tahun Biaya tetap (biaya penyusutan, pemeliharaan alat) Biaya operasional (pekerja, listrik, transport, kemasan) Biaya pokok pengeringan Periode pengembalian modal Satuan Rp Rp/kg (basah) Rp/kg (kering) % kg/operasi pengeringan Rp/tahun Rp/kg produk basah Rp/kg produk basah Tahun Nilai Parameter 40,000,000 15,000 155,000 11 200 131 4,816,000 682 866 1 4. Penutup Pengering berenergi surya dan biomassa dengan desain dan operasi yang sederhana ini diharapkan menjadi salah satu pilihan bagi petani dan pedagang pengumpul produk-produk kering hasil pertanian. Pengering dengan bangunan transparan dan sistem pengumpul panas surya yang terintegrasi di dalamnya, ditambah dengan pemanas tambahan berupa tungku biomassa menghasilkan efisiensi pengeringan 30%. Hasil uji coba alat menggunakan bahan kelopak rosela memberikan hasil yang dapat diterima secara komersial. Penambahan isolasi pada tungku diperlukan untuk mencegah kehilangan panas, sehingga konsumsi energi menjadi berkurang. 5. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional atas dana penelitian yang diberikan melalui Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch 1 Nomor: 160/SP2H/PP/DP2M/V/2009. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. Prenesti E., Berto S., Daniele P. G., and Toso S. 2007. Antioxidant power quantification of decoction and cold infusions of Hibiscus sabdariffa flowers. Food Chemistry 100: 433–438. Kamaruddin A., Tambunan A.H., Thamrin, Wenur F., dan Dyah W. 1994. Optimasi dalam perencanaan alat pengering hasil pertanian dengan energi surya. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Bogor. Clements, J.M. 2008. Analysis of Food Product. Department of Food Science, University of Massachusetts, Amherst. URL: http://www-unix.oit.umass.edu/~mcclemen/581Toppage.html, diakses tanggal 18 Nopember 2010 Othman, M.Y.H., Sopian, K., Yatim, B., Daud, W.R.W. 2006. Development of advanced solar assisted drying systems. Renewable Energy 31: 703–709. Fitriani, V. 2008. Khasiat kuntum Rosela. Rosella, Si Merah yang Kaya Antioksidan. Kualitas Rosela Bisa Diukur dari Warna Merah Seduhannya. URL: http://portalsehat.com/2008/08/kualitas-rosela-bisa-diukur-dari-warna-merah-seduhannya/, diakses tanggal 10 Agustus 2009. Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 66 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online KESEHATAN Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati: Menuju Pengobatan Regeneratif Liver yang Efektif Gana Adyaksa Bagian Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Indonesia Department of Genetic Medicine and Regenerative Therapeutics Graduate School of Medicine, Tottori University, Japan E-mail: [email protected] Abstrak Pengobatan regeneratif dengan sel punca menjadi harapan untuk mengobati penyakit yang tidak bisa disembuhkan seperti sirosis hati. Proses diferensiasi sel punca menjadi bagian yang sangat penting dalam usaha mewujudkan harapan tersebut. Berbagai metode diterapkan untuk meningkatkan efektivitas diferensiasi sel punca menjadi sel hati fungsional. Karakteristik fungsional seperti ekspresi gen spesifik sel hati dan ekskresi albumin telah dapat ditunjukkan oleh sel hati hasil diferensiasi dari sel punca. Kata kunci: Sel punca, diferensiasi, sel hati, pengobatan regeneratif. ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Pendahuluan Hati merupakan salah satu organ vital tubuh manusia yang memiliki berbagai fungsi penting seperti pengeluaran empedu, metabolisme gula, dan metabolisme obat. Pada penyakit sirosis hati atau penyakit hati kronis lainnya, hati telah kehilangan kemampuan untuk melakukan perbaikan atau regenerasi sel, sehingga hampir tidak mungkin bagi penderita chronic liver 1 disease (penyakit hati kronis) untuk bisa sembuh. Sampai saat ini, harapan untuk bisa sembuh dari penyakit tersebut adalah dengan cara transplantasi/cangkok hati. Namun transplantasi hati bukanlah prosedur yang mudah untuk dijalani, berbagai kendala seperti proses seleksi yang sangat ketat, biaya yang sangat besar, reaksi penolakan, serta ketersediaan donor hati membuat transplantasi hati sangat sulit dilakukan. Untuk itu diperlukan terobosan pengobatan baru yang memberikan harapan bagi kesembuhan penderita penyakit hati kronis selain dengan transplantasi hati. Usaha untuk mengobati penyakit hati kronis dengan transplantasi sel hati pernah dicoba dengan membiakkan sel hepatosit dewasa. Namun usaha tersebut ternyata tidak berhasil karena sel hepatosit dewasa sangat sulit untuk diperbanyak dan mengalami perubahan kariotip saat dibiakkan.2,3 Pengobatan dengan sel punca (stem cell) saat ini menjadi harapan baru sebagai pengobatan regeneratif. Sel punca adalah sel yang belum berdeferensiasi, yang memiliki potensi tinggi untuk menjadi sel spesifik yang memiliki fungsi khusus, seperti menjadi sel saraf, sel hati, dan sel jantung. Selain itu, sel punca memungkinkan dibiakkan dengan tanpa batas dan tanpa mengalami perubahan sifat. Dengan kelebihan tersebut, sel punca diharapkan menjadi sumber sel hati fungsional yang dapat digunakan untuk pengobatan peyakit hati.4 Untuk itu, proses mendiferensiasikan sel punca menjadi sel hati fungsional menjadi tantangan besar bagi dunia kedokteran. Usaha untuk meningkatkan efektivitas diferensiasi sel punca menjadi sel hati inilah yang saat ini sedang terus dikembangkan. Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 67 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online KESEHATAN 2. Sel punca dan berbagai sumbernya Sel hati dapat dikembangkan dari sel punca. Ada berbagai macam jenis dan pembagian sel punca, dengan karakteristik masing-masing. Beberapa jenis sel punca yang umum adalah: 2.1. Sel punca embrionik Sel punca embrionik (embryonic stem cell) adalah sel punca yang didapatkan dari lapisan dalam dari blastocyst, yaitu embrio manusia yang masih terdiri dari beberapa sel.5 Sel punca ini memiliki sifat pluripoten (pluripotent), yaitu potensi untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel dari 3 jenis lapisan tubuh, yaitu ektoderm (berkembang menjadi sel kulit dan sel saraf), mesoderm (berkembang menjadi sel otot dan tulang), dan endoderm (berkembang menjadi organ dalam seperti hati, usus, dan lain-lain). Sel punca embrionik diakui sebagai sel punca yang paling efektif untuk pengobatan regeneratif, karena selain bersifat pluripoten, sel ini juga memiliki 6 kemampuan menyuplai sel untuk berdiferensiasi yang tak terbatas. Namun karena diambil dari embrio, yang artinya pengambilan sel punca ini akan merusak/mematikan embrio, maka sel punca embrional ini terbentur dengan masalah etik. 2.2. Sel punca mesenkimal Sel punca mesenkimal (mesenchymal stem cell) adalah sel punca yang memilki sifat multipotent, yang dapat berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel seperti sel tulang, sel otot, 7-9 dan sel lemak (turunan dari mesoderm). Sel punca mesenkimal ini dapat diperoleh dari sumsum tulang, darah tepi, darah tali pusat dan plasenta, tulang trabekuler, jaringan lemak, dan cairan sinovial.10,11 Perkembangan hingga kini menunjukkan bahwa sel punca mesenkimal yang diperoleh dari sumsum tulang, tali pusat (baik darah maupun matriksnya), serta jaringan lemak dapat berdeferensiasi tidak hanya menjadi turunan mesoderm tetapi juga dapat berdiferensiasi menjadi sel hati.12,13 Theise dkk. mendeteksi sel hepar (hepatosit) yang mengandung kromosom Y pada perempuan yang menerima terapi sel punca sumsum tulang dari donor laki-laki.14 Adanya interaksi selular antara sumsum tulang dan bakal sel hati saat hepatogenesis ini membuat sel punca mesenkimal potensial untuk dideferensiasikan menjadi sel hati. Selain itu, sumber sel punca mesenkimal ini relatif mudah didapat dan tidak terbentur masalah etik, sehingga menjadi harapan besar untuk pengobatan regeneratif penyakit hati. 2.3. Induced pluripotent stem cell Sel punca ini diperoleh dari sel dewasa, baik dari orang yang sehat maupun pasien, yang diprogram ulang dengan memasukkan gen pluripotensi seperti Oct4, Sox2, Klf4 , dan c-Myc melalui vektor virus ke dalam sel dewasa, sehingga akhirnya sel tersebut memiliki sifat pluripoten seperti halnya sel punca embrionik. Sel punca ini menjadi harapan besar dalam dunia pengobatan regeneratif karena selain dapat berdiferensiasi menjadi berbagai sel spesifik, juga dapat dijadikan model untuk mempelajari peyakit (disease modelling) dan pengaruh obat terhadap sel manusia, dan tentu saja tidak terbentur dengan masalah etik.15 Namun demikian, karena pembuatan sel punca ini membutuhkan transduksi gen dengan vektor virus, proses ini membutuhkan biaya besar dan waktu yang lama, serta dikhawatirkan dapat memicu terjadinya mutasi oleh karena terjadi perubahan permanen pada genome. Oleh karena itu, saat ini telah dikembangkan pula teknik pembuatan induced pluripotent stem cell tanpa vektor virus, sehingga diharapkan akan menjadi sumber pengobatan regeneratif yang lebih 16,17 aman dan ekonomis. 3. Diferensiasi sel punca menjadi sel hati Proses diferensiasi menjadi sel hati merupakan proses yang sangat komplek. Mekanisme hepatogenesis atau pembentukan sel hati ini secara umum terbagi menjadi 3 fase, yaitu (1) Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 68 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online KESEHATAN perubahan dari endoderm menjadi bakal sel hati (hepatoblast), (2) differensiasi bakal sel hati, 18 dan (3) pertumbuhan dan pembentukan sel hati fungsional. Proses diferensiasi sel punca menjadi sel hepatosit dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya: 3.1. Induksi dengan senyawa kimia Proses diferensiasi sel punca menjadi endoderm dan sel hati bisa dilakukan melalui induksi senyawa kimia tertentu.19,20 Senyawa kimia ini dapat mempengaruhi ekspresi gen, transduksi sinyal, serta metabolisme sel punca sehingga akhirnya memicu proses diferensiasi. Senyawa kimia yang digunakan sangat spesifik, dan didapatkan dengan cara seleksi dari ribuan jenis senyawa kimia. Selain efektivitas untuk menginduksi, toksisitas senyawa tersebut juga diseleksi. Dari hasil seleksi didapatkan beberapa kandidat senyawa kimia yang diprediksi efektif untuk menginduksi, kemudian senyawa kimia tersebut dicoba diinduksikan ke sel punca dan dievaluasi efektivitas diferensiasi yang terjadi, hingga akhirnya terpilih senyawa kimia yang dinilai efektif untuk menginduksi diferensiasi sel punca menjadi endoderm atau sel hati (Gambar 19 1). Gambar 1. Skema seleksi senyawa kimia untuk induksi deferensiasi endoderm.19 3.2. Induksi dengan transfeksi gen Dalam proses hepatogenesis, para ilmuwan telah mempelajari gen-gen atau protein-protein tertentu yang berperan dominan sebagai stimulator hepatogenesis dan morfogenesis, 21 diantaranya yaitu HNF4-α dan FoxA2. Kemudian para ilmuwan mencoba untuk meng-overekspresikan gen-gen tersebut dengan cara mentransduksikan gen tersebut ke dalam sel punca pada lokus tertentu melalui vektor virus, sehingga gen tersebut akan diekspresikan sel punca dalam jumlah besar dan berdiferensiasi menjadi sel hati. Metode over-ekspresi gen ini sangat efektif untuk memacu diferensiasi sel punca menjadi sel hati. Chen dkk. melaporkan bahwa sel hati yang didapatkan dengan over-ekspresi HNF4-α (AdIEHNF-4) pada sel punca mesenkimal mampu mengekspresikan gen-gen spesifik hati 22 dengan tingkat lebih baik dibandingkan dengan sel yang tidak ditransfeksi (AdIE) (Gambar 2). Namun demikian, seperti halnya pada induced pluripotent stem cell, metode ini membutuhkan biaya besar dan waktu yang lama, serta dikhawatirkan dapat memicu terjadinya mutasi. Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 69 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KESEHATAN Gambar 2. Pengaruh induksi gen HNF4-α pada ekspresi gen spesifik hati : albumin, tyrosineaminotransferase (TAT), dan glucose 6-phosphatase (G6P)22 Hingga saat ini sudah banyak dilakukan penelitian terkait indentifikasi gen, modifikasi metode transfeksi, lokus transfeksi gen, serta metode regulasi ekspresi gen. Selain mentransfeksikan gen untuk di-over-ekspresi, peneliti juga memanfaatkan gen pelapor (reporter gene) untuk dapat menyeleksi ekspresi sel secara lebih akurat, sehingga didapatkan sel yang berdiferensiasi dengan tingkat kemurnian tinggi.23 Ekspresi gen yang ditransfeksikan pun dapat diatur melalui sistem regulasi tetracycline (tet-regulation).24,25 Dengan berbagai metode tersebut, didapatkan diferensiasi sel punca menjadi sel hati yang semakin baik. 3.3. Kultur dalam 3D scaffold system Proses diferensiasi dilakukan dalam media kultur rangka 3 dimensi yang terbuat dari biomaterial khusus, dengan ditambahkan beberapa faktor pertumbuhan dan penginduksi. Kelebihan dari media kultur ini adalah media scaffold (rangka 3 dimensi) ini dapat menyerupai kondisi sebenarnya di dalam tubuh (in vivo).26,27 Rangka 3 dimensi ini memungkinkan pertumbuhan dan orientasi sel yang lebih baik, serta pori-pori yang tersedia dalam sistem ini menyediakan ruang yang baik untuk remodelling jaringan (Gambar 3). Sehingga dengan kelebihan-kelebihan dari sistem ini, akan didapatkan diferensiasi sel punca yang lebih baik dan jumlah yang lebih banyak. Kazemnejad dkk. melaporkan sel hati hasil diferensiasi pada media kultur 3 dimensi ini mampu mengasilkan albumin lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan diferensiasi pada media 26 kultur 2 dimensi (Gambar 4). Gambar 3. Foto mikroskop elektron dari media kultur 3D scaffold. (A) Saat sebelum ditanami sel punca, (B) Interaksi antara sel punca mesenkimal dengan nanofiber scaffold saat sebelum diferensiasi, (C) Saat setelah diferensiasi.26 Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 70 Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online KESEHATAN Gambar 4. Tingkat ekskresi albumin sel hati hasil diferensiasi pada media kultur 3D dan 2D.26 Selain metode tersebut di atas, masih ada beberapa metode lain dalam diferensiasi sel punca. Untuk mencapai diferensiasi yang efektif beberapa penelitian menggunakan kombinasi dari beberapa metode. 4. Aplikasi klinis sampai saat ini Sel hepatosit yang diperoleh dari sel punca telah dapat menunjukkan karakteristik fungsional dari sel hati. Karakteristik tersebut diantaranya diukur dari ekspresi gen spesifik sel hati, sel hepatosit yang dihasilkan dari sel punca mampu mengekspresikan gen-gen spesifik dari hati sebagaimana yang diekspresikan oleh sel hati. Oleh Toubou dkk., sel hati hasil diferensiasi dari sel punca embrionik hari ke-16 (d16) mampu mengekspresikan gen-gen spesifik sel hati, 28 sebagaimana yang diekspresikan oleh sel hati fetus dan manusia dewasa (Gambar 5). Selain itu sel-sel tersebut pun mampu mengekskresikan albumin, menyimpan glikogen dan mensekresi urea, seperti halnya sel hati fungsional. Dari berbagai penelitian, tingkat diferensiasi dari sel punca menjadi sel hati telah mencapai hingga 80%. Namun demikian, metode untuk meningkatkan efektivitas diferensiasi dan jumlah sel hati masih harus terus dikembangkan , 29 karena setidaknya dibutuhkan 10 miliar sel hati murni untuk sekali pengobatan klinik. Gambar 5. RT-PCR gen spesifik sel hati hari ke-16 (d16). hESC, sel punca embrionik; HFH,sel hati fetus manusia; HAH, sel hati manusia dewasa.28 Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 71 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KESEHATAN Hingga kini, aplikasi pengobatan sel punca pada penderita penyakit hati kronis masih sangat terbatas. Salah satu diantaranya adalah Terai dkk. yang melaporkan bahwa terjadi peningkatan fungsi liver pada 9 pasien sirosis hati setelah diberikan terapi sel punca dari sumsum tulang.30 Setelah 24 minggu terapi, terjadi peningkatan rerata albumin dan protein total secara bermakna (Gambar 6). Gambar 6. Grafik tingkat albumin serum dan protein total pada pasien sirosis hati setelah terapi sel punca 30 sumsum tulang. 5. Penutup Sel hati dapat dikembangkan dari berbagai macam sumber sel punca, dan berbagai penelitian untuk meningkatkan efektivitas diferensiasi sel punca menjadi sel hati terus dilakukan. Dengan hasil yang telah dicapai sejauh ini, maka harapan akan pengobatan regeneratif yang efektif dengan sel punca semakin besar. Namun demikian, karena sebagian besar penelitian ini dilakukan in vitro, serta sebagian pula dilakukan pada percobaan binatang, maka diperlukan kajian atau penelitian lebih lanjut sebelum dilakukan uji klinis pada manusia. Referensi 1. Heidelbaugh JJ, Bruderly M. Cirrhosis and chronic liver failure: part I. Diagnosis and evaluation. Am Fam Physician. 2006; 74:756-762. 2. Delgado JP, Parouchev A, Allain JE, Pennarun G, Gauthier LR, Dutrillaux AM, et al. Long-term controlled immortalization of a primate hepatic progenitor cell line after Simian virus 40 T-Antigen gene transfer. Oncogene. 2005; 24:541–555. 3. Han B, Lu Y, Meng B, Qu B. Cellular loss after allogenic hepatocyte transplantation. Transplantation. 2009; 87:1-5. 4. Lorenzini S, Gitto S, Grandini E, Andreone P, Bernardi M. Stem cells for end stage liver disease: how far have we got? World J Gastroenterol. 2008; 14(29):4593-4599. 5. Zandstra PW, Nagy A. Stem cell bioengineering. Annu Rev Biomed Eng. 2001; 3:275-305. 6. O. Zern MA. Cell transplantation to replace whole liver transplantation. Gastroenterology. 2009; 136(3):767-769. 7. Ronzière MC, Perrier E, Mallein-Gerin F, Freyria AM. Chondrogenic potential of bone marrow- and adipose tissue-derived adult human mesenchymal stem cells. Biomed Mater Eng. 2010; 20(3):145158. 8. Kocaefe C, Balci D, Hayta BB, Can A. Reprogramming of human umbilical cord stromal mesenchymal stem cells for myogenic differentiation and muscle repair. Stem Cell Rev. 2010; 6(4):512-522. 9. Morganstein DL, Wu P, Mane MR, Fisk NM, White R, Parker MG. Human fetal mesenchymal stem cells differentiate into brown and white adipocytes: a role for ERRalpha in human UCP1 expression. Cell Res. 2010; 20(4):434-444. 10. Karahuseyinoglu S, Cinar O, Kilic E, Kara F, Akay GG, Demiralp DO, et al. Biology of stem cells in human umbilical cord stroma: in situ and in vitro surveys. Stem Cells. 2007; 25(2):319-331. 11. Shimomura T, Yoshida Y, Sakabe T, Ishii K, Gonda K, Murai R, et al. Hepatic differentiation of human bone marrow-derived UE7T-13 cells: Effects of cytokines and CCN family gene expression. Hepatol Res. 2007; 37(12):1068-1079. Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 72 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KESEHATAN 12. Yoshida Y, Shimomura T, Sakabe T, Ishii K, Gonda K, Matsuoka S, et al. A role of Wnt/beta-catenin signals in hepatic fate specification of human umbilical cord blood-derived mesenchymal stem cells. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2007; 293(5):G1089-1098. 13. Ruiz JC, Ludlow JW, Sherwood S, Yu G, Wu X, Gimble JM. Differentiated human adipose-derived stem cells exhibit hepatogenic capability in vitro and in vivo. J Cell Physiol. 2010; 225(2):429-436. 14. Theise ND, Nimmakayalu M, Gardner R, Illei PB, Morgan G, Teperman L, et al. Liver from bone marrow in humans. Hepatology. 2000; 32(1):11-16. 15. Lengner CJ. iPS cell technology in regenerative medicine. Ann N Y Acad Sci. 2010; 1192:38-44. 16. Okita K, Nakagawa M, Hyenjong H, Ichisaka T, Yamanaka S. Generation of mouse induced pluripotent stem cells without viral vectors. Science. 2008; 322(5903):949-953. 17. Okita K, Hong H, Takahashi K, Yamanaka S. Generation of mouse-induced pluripotent stem cells with plasmid vectors. Nat Protoc. 2010; 5(3):418-428. 18. Kung JW, Currie IS, Forbes SJ, Ross JA. Liver development, regeneration, and carcinogenesis. J Biomed Biotechnol. 2010; 2010(ID 984248):1-8. 19. Borowiak M, Maehr R, Chen S, Chen AE, Tang W, Fox JL, et al. Small molecules efficiently direct endodermal differentiation of mouse and human embryonic stem cells. Cell Stem Cell. 2009; 4(4):348358. 20. Sharma NS, Wallenstein EJ, Novik E, Maguire T, Schloss R, Yarmush ML. Enrichment of hepatocytelike cells with upregulated metabolic and differentiated function derived from embryonic stem cells using S-NitrosoAcetylPenicillamine. Tissue Eng Part C Methods. 2009; 15(2):297-306. 21. Lemaigre FP. Mechanisms of liver development: concepts for understanding liver disorders and design of novel therapies. Gastroenterology. 2009; 137(1):62-79. 22. Chen ML, Lee KD, Huang HC, Tsai YL, Wu YC, Kuo TM, et al. HNF-4α determines hepatic differentiation of human mesenchymal stem cells from bone marrow. World J Gastroenterol. 2010; 16(40):5092-5103. 23. Wallenstein EJ, Barminko J, Schloss RS, Yarmush ML. Transient gene delivery for functional enrichment of differentiating embryonic stem cells. Biotechnol Bioeng. 2008; 101(5):859-872. 24. Sprengel R, Hasan MT. Tetracycline-Controlled Genetic Switches. Handb Exp Pharmacol. 2007; (178):49-72. 25. Ishii K, Yoshida Y, Akechi Y, Sakabe T, Nishio R, Ikeda R, et al. Hepatic differentiation of human bone marrow-derived mesenchymal stem cells by tetracycline-regulated hepatocyte nuclear factor 3beta. Hepatology. 2008; 48(2):597-606. 26. Kazemnejad S, Allameh A, Soleimani M, Gharehbaghian A, Mohammadi Y, Amirizadeh N, et al. Biochemical and molecular characterization of hepatocyte-like cells derived from human bone marrow mesenchymal stem cells on a novel three-dimensional biocompatible nanofibrous scaffold. J Gastroenterol Hepatol. 2009; 24(2):278-287. 27. Lin N, Lin J, Bo L, Weidong P, Chen S, Xu R. Differentiation of bone marrow-derived mesenchymal stem cells into hepatocyte-like cells in an alginate scaffold. Cell Prolif. 2010; 43(5):427-434. 28. Touboul T, Hannan NR, Corbineau S, Martinez A, Martinet C, Branchereau S, et al. Generation of functional hepatocytes from human embryonic stem cells under chemically defined conditions that recapitulate liver development. Hepatology. 2010; 51(5):1754-1765. 29. Dalgetty DM, Medine CN, Iredale JP, Hay DC, Progress and future challenges in stem cell-derived liver technologies. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2009; 297(2):G241-248. 30. Terai S, Ishikawa T, Omori K, Aoyama K, Marumoto Y, Urata Y, et al. Improved liver function in patients with liver cirrhosis after autologous bone marrow cell infusion therapy. Stem Cells. 2006; 24(10):2292-2298. Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 73 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium pada Bahan Bakar Bekas Reaktor Berpendingin Air Ringan (LWR) Sidik Permana,1,2* Azizul Khakim,3 Deby Mardiansyah4 Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 2Japan Atomic Energy Agency, 3 Tokyo Institute of Technology, Japan, 4Tokai University, Japan *Email korespondensi: [email protected] 1 Abstrak Kekritisan dan pembiakan bahan bakar pada sebuah reaktor merupakan sebuah topik utama dalam isu bahan bakar yang berkesinambungan dan keamanan energi begitu pula berkaitan dengan permasalahan non-proliferasi nuklir. Evaluasi pada karakteristik melekat (intrinsic properties) isotop plutonium seperti menaikan nilai materi penghalang (material barrier) dari plutonium bernomor massa genap (Pu-238, Pu-240, Pu-242) yang berhubungan dengan tingkat peluruhan panas atau decay heat (DH) dan netron fisi spontan atau spontaneous fission neutron (SFN) isotop-isotop plutonium tersebut adalah satu yang menjadi isu hangat dalam rangka meningkatkan level kesulitan secara teknis atau material penghalang dalam pembuatan senjata nuklir. Telah dilakukan evaluasi berdasarkan parameter iradiasi bahan bakar atau burnup dan waktu peluruhan yang mempunyai efek pada komposisi materi penghalang isotop plutonium di dalam komposisi bahan bakar bekas light water reactor (LWR) atau reaktor berpendingin air ringan. Parameter utama untuk materi penghalang isotop plutonium adalah menggunakan aktivitas decay heat (DH) dan spontaneous fission neutron (SFN). Komposisi dari DH dan SFN bervariasi dan sensitif terhadap komposisi isotop plutonium khususnya berkaitan dengan komposisi isotop plutonium dengan nomor massa genap seperti Pu-238, Pu-240 dan Pu-242. Komposisi DH yang tinggi diperlihatkan oleh Pu-238 dan tingginya komposisi SFN diperoleh oleh tingginya kontribusi dari Pu-240 diikuti oleh Pu-242 dan Pu-238. Burnup yang tinggi secara efektif menaikan level dari komposisi DH dan SFN dan waktu luruh yang lebih lama akan mengakibatkan meningkatnya komposisi SFN karena kebergantungannya pada semua isotop plutonium bernomor massa genap yang memberikan kontribusi yang lebih tinggi untuk waktu paruh yang lebih lama. Waktu paruh yang lebih lama mengurangi komposisi DH disebabkan kebergantungannya pada kontribusi Pu-238 yang memberikan lebih sedikit kontribusi DH untuk waktu paruh yang lebih lama. ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Pendahuluan Berbagai upaya dalam rangka meningkatkan penggunaan bahan bakar nuklir secara optimal, meminimalkan sampah bahan bakar nuklir secara efektif dan mengurangi risiko dari proliferasi bahan nuklir telah dilakukan dalam beberapa dekade saat ini. Isu berkaitan dengan nuklir proliferasi semakin hangat terutama semenjak diterbitkannya proposal Presiden Amerika Serikat Obama dalam rangka mengurangi senjata nuklir dan memperkuat keamanan nuklir dan nuklir 6 non-proliferasi di dunia. Penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan sipil seperti pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dimulai pertama kalinya oleh pemerintah rusia di daerah Obninsk, pada 27 Juni 1954 dengan daya 30 MW dan dimulai secara intensif setelah konferensi genewa “On the peaceful uses of atomic energy” yang di sponsori oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 1955. PTLN didunia sampai 2006 berjumlah 442 buah yang sedang beroperasi secara komersial di lebih dari 30 negara dengan total daya yang dihasilkan 370 GWe dan berkontribusi 16% terhadap energi dunia. Jumlah reaktor nuklir komersial untuk energi di atas belum termasuk reaktor nuklir untuk tujuan riset dan pengembangan di pusat riset dan pengembangan, industri dan universitas. Saat ini sediktinya ada sekitar 27 PLTN baru yang dalam tahap pembangunan. Pertemuan Paris ministerial conference, Maret 2005, tersiratkan 8 negara baru memberikan Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 75 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET sinyal positif bagi penggunaan teknologi nuklir diantaranya Maroko, Indonesia, Iran, Poland, Turki, Bangladesh, Mesir and Vietnam. Lebih dari 30 negara lainnya sudah menyatakan tertarik untuk menggunakan teknologi Nuklir dalam pertemuan tersebut. Produksi material nuklir secara intensif dijaga dan dimonitor oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dengan harapan untuk mengurangi potensi risiko pemanfaatan bahan bakar nuklir bukan untuk tujuan damai karena adanya indikasi atau potensi penggunaan bahan bakar bekas dari reaktor sipil untuk produksi senjata nuklir. Komposisi material tersebut berasal dari komposisi plutonium yang dapat diproduksi dari reaktor berpendingin air ringan (light water reactors (LWR)) maupun reaktor cepat (fast reactor (FR)). Kualitas bahan bakar fisil plutonium seperti Pu-239 dapat dilihat dari tingginya faktor pelipatgandaan neutron atau tingkat kekritisan dan juga kemampuan dari pembiakan bahan bakar. Pada saat yang sama, Pu-239 mempunyai kualitas yang baik untuk dipakai sebagai bahan senjata nuklir. Berkaitan dengan hal tersebut, menjaga dan meningkatkan kapasitas Pu-239 untuk kritikalitas reaktor dan pembiakan bahan bakar harus dilakukan, akan tetapi pada saat yang bersamaan pula material tersebut harus dijaga agar jangan sampai digunakan untuk hal yang bukan tujuan damai. Ada dua tipe material dan cara pemanfaatan bahan bakar nuklir untuk dijadikan bahan bakar senjata. Material dan cara pemanfaatnya adalah uranium-235 (U-235) dengan cara pengayaan sampai di atas 95% dengan batas ambang masa kritisnya adalah sekitar 50 Kg, dan bahan Pu-239 yang bisa diambil dari daur ulang bahan bakar bekas dengan batas masa kritisnya adalah 10 Kg. Nilai batas masa signifikan untuk plutonium yang berpotensi digunakan untuk 1 senjata nuklir adalah 8 Kg menurut ketentuan IAEA. Untuk reaktor sipil diharuskan pengayaan dibawah batas 20 % U-235 yang didefinisikan sebagai pengayaan uranium tingkat rendah (low enriched uranium). Di atas nilai itu sudah masuk kategori high enriched Uranium atau pengayaan uranium tingkat tinggi, meskipun untuk kategori pengayaan senjata diatas 90 % U-235. Terkait komposisi plutonium yang dapat dipergunakan senjata nuklir berdasarkan komposisinya masih belum dijelaskan secara detail oleh IAEA kecuali untuk kadar komposisi Pu-238 di atas 80% dapat dikategorikan aman untuk tidak dilakukan inspeksi dari IAEA. Salah satu cara untuk menjaga material tersebut dari pemanfaatan senjata nuklir yang berkaitan dengan karakteristik melekat (instrinsic property) plutonium adalah dengan meningkatkan kadar material penghalang atau material barrier isotop plutonium tersebut, terutama dengan meningkatkan komposisi dari isotop plutonium bernomor massa genap (Pu-238, Pu-240 dan 2,4,7 Pu-242). Pendekatan ini dipilih berdasarkan tingginya intensitas peluruhan panas atau decay heat (DH) dan netron fisi spontan atau spontaneous fission neutron (SFN) isotop-isotop plutonium tersebut yang telah digunakan sebagai sebuah parameter untuk meningkatkan level nonproliferasi nuklir pada bahan bakar plutonium. Kadar DH bisa digunakan untuk meningkatkan pemanasan internal yang menyebabkan bahan senjata tersebut mengalami pelelehan sebelum dibentuk jadi senjata. Sedangkan kadar SFN ditujukan untuk meningkatkan potensi ledakan initial dalam proses pembuatan senjata, sehingga pembentukan senjata tersebut menjadi lebih sulit. Tujuan dari investigasi ini adalah mengukur sejauh mana efek dari iradiasi atau burnup pada bahan bakar dan waktu luruh terhadap level material penghalang atau material barrier untuk komposisi isotop plutonium pada komposisi bahan bakar bekas dari tipe reaktor berpendingin air ringan. 2. Metode analisis Parameter dasar dalam investigasi ini berdasar pada perilaku atau komposisi bahan bakar LWR untuk burnup yang berbeda dengan variasi waktu peluruhan berdasar pada proses cooling time atau waktu pendinginan bahan bakar bekas setelah dikeluarkan dari reaktor. Nilai iradiasi bahan bakar atau burnup yang digunakan bervariasi yaitu burnup 33 GWd/t sebagai nilai burnup standar bagi tipe LWR yang telah dipergunakan secara komersial, kemudian burnup 50 GWd/t dan 60 GWd/t. Dua nilai burnup terakhir ini, digunakan untuk mengevaluasi nilai burnup yang lebih tinggi khususnya bagi jenis reaktor yang lebih maju. Komposisi bahan bakar juga dianalisis setelah bahan bakar dikeluarkan dari reaktor berdasarkan beberapa waktu luruh dari 1 tahun sampai 30 tahun proses waktu pendinginan. Untuk menganalisis burnup dan waktu peluruhan 3 komposisi bahan bakarnya, kami menggunakan kode komputer ORIGEN untuk mensimulasi kebergantungan proses reaksi berantai masing-masing bahan bakar terhadap waktu baik pada Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 76 INOVASI online CATATAN RISET Vol. 18 | XXII | November 2010 saat proses iradiasi direaktor maupun saat terjadinya proses waktu pendinginan setelah bahan bakar tersebut dikeluarkan dari reaktor. Suplai bahan bakar untuk tipe LWR ini menggunakan bahan bakar dengan pengayaan uranium U-235 yang bervariasi berdasarkan nilai burnup, yaitu 3.2% pengayaan U-235 untuk 33 GWd/t, 4.15 % untuk 50 GWd/t, serta 4.7 % untuk nilai burnup 60 GWd/t. 2.1. Vektor komposisi isotop plutonium Untuk mengevaluasi material penghalang isotop plutonium atau tingkat non-proliferasi nuklir pada plutonium, salah satu pendekatannya adalah dengan mengamati dan mengevaluasi vektor komposisi (VecPui ) dari masing-masing isotop plutonium ( Pu i ). Hal ini berarti bahwa setiap komposisi isotop plutonium menjadi sebuah nilai fraksi atau persentase dari total plutonium ( Putotali ). Analisis ini dipakai untuk mengevaluasi sejauh mana tingkat komposisi plutonium berdasarkan persentase masing-masing isotop plutonium terhadap total plutonium. Komposisi yang dapat dapat digunakan untuk kategorisasi level plutonium seperti kategori komposisi plutonium untuk senjata nuklir, komposisi plutonium untuk reaktor, bahan bakar MOX 1,7 dan lainnya. Vektor komposisi isotop plutonium dievaluasi berdasarkan persamaan sebagai berikut: n Pu i (1) Pui Pu tot (2) Pu total i 1 VecPui 2.2. Analisis peluruhan panas (decay heat) dan nuklir fisi spontan (spontaneous fission neutron) Seperti telah disinggung dalam penjelasan dibagian sebelumnya bahwa parameter utama dalam mengevaluasi material penghalang plutonium ini adalah berdasarkan pada aktivitas DH dan komposisi dari SFN. Komposisi-komposisi DH dan SFN bervariasi dan hal itu sensitif terhadap komposisi isotop plutonium khususnya terhadap komposisi isotop-isotop plutonium dengan 5 nomor massa genap seperti Pu-238, Pu-240 dan Pu-242. Komposisi DH dan SFN digunakan untuk menaikan tingkat kesulitan secara teknis pembuatan senjata nuklir yang disebabkan oleh tingginya rasio pemanasan internal untuk melelehkan bahan senjata nuklir dan juga pre-initiation dari senjata ledak yang tinggi. Persamaan-persamaan yang dipakai untuk mengevaluasi komposisi DH dan SFN yang berdasar pada komposisi plutonium adalah sebagai berikut: n DHtotal DHi xVecPui (3) i 1 n SFNtotal SFN i xVecPui (4) i 1 Total komposisi dari DH dan SFN didapat dari akumulasi komposisi kontribusi masing-masing isotop plutonium yang didapat dari persamaan (3) dan (4). Komposisi-komposisi ini akan dievaluasi sebagai sebuah fungsi dari waktu. Fungsi waktu tersebut berdasarkan fungsi dari iradiasi atau burnup dan waktu peluruhan setelah bahan bakar itu dikeluarkan dari reaktor dengan menggunakan beberapa tipe pengayaan uranium (U-235) berdasar pada target beberapa nilai burnup. Kontribusi DH dan SFN dari setiap individu isotop plutonium berasal dari komposisi murni (komposisi 100%) masing-masing isotop plutonium berdasarkan Tabel 1. Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 77 INOVASI online CATATAN RISET Vol. 18 | XXII | November 2010 Tabel 1. Properti material isotop plutonium Isotop plutonium Pu-238 Pu-239 Pu-240 Pu-241 Pu-242 Peluruhan panas (W/kg) 560 1.9 6.8 4.2 0.1 1 Netron fisi spontan (n/s/kg) 2.6 x 106 1 2.2 x 10 9.1 x 105 4.9 x 101 6 1.7 x 10 3. Hasil dan diskusi Investigasi terhadap komposisi aktinida tipe LWR dilakukan selama proses reaktor beroperasi dan proses waktu pendinginan terjadi setelah bahan bakar bekas tersebut dikeluarkan dari reaktor. Pada bagian ini, akan diperlihatkan dan didiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan tren perilaku bahan bakar dan level komposisi yang akan difokuskan pada komposisi-komposisi isotop plutonium. Analisis juga telah dilakukan berdasar pada efek dari waktu iradiasi atau lamanya proses burnup dan waktu peluruhan terhadap komposisi vektor plutonium yang tentunya sensitif dengan proses tersebut. Beberapa nilai burnup digunakan untuk analisis ini, yang berkaitan erat dengan bahan bakar yang tentunya berbeda untuk setiap nilai burnup. Nilai burnup yang tinggi seiring dengan waktu iradiasi yang lama dan sebanding dengan tingginya pengayaan U-235 yang diperlukan. Tingginya pengayaan uranium untuk burnup yang tinggi diperkirakan dapat mempengaruhi komposisi dari aktinida didalam reaktor khususnya berkaitan dengan komposisi plutonium. Komposisi material penghalang berdasarkan pada analisis komposisi decay heat dan spontaneous fission neutron akan dijelaskan juga pada bagian ini. 3.1. Komposisi vektor iotop plutonium Hasil yang diperoleh untuk komposisi isotop plutonium diperlihatkan pada Gambar 1 sebagai fungsi dari waktu peluruhan untuk nilai burnup 33 GWd/t. Setelah reaktor berhenti dan bahan bakar bekas tipe LWR dikeluarkan dari reaktor, kemudian analisis perubahan perilaku bahan bakar bekas itu akan dilakukan seiring dengan waktu peluruhan berdasarkan proses waktu pendinginan yang terjadi. Pada Gambar 1 dijelaskan bahwa komposisi plutonium yang diperoleh mengalami perubahan yang relatif kecil seiring dengan perubahan waktu peluruhan kecuali untuk komposisi Pu-241 yang mengalami penurunan komposisi secara signifikan seiring bertambahnya waktu peluruhan dikarenakan waktu paruh dari Pu-241 yang relatif pendek yaitu sekitar 14,4 tahun. Isotop plutonium yang lainnya mengalami sedikit kenaikan komposisinya kecuali pada Pu-238 yang mengalami kenaikan sampai sekitar 2 tahun peluruhan dan kemudian mengalami penurunan komposisi seiring bertambah lamanya waktu peluruhan. Komposisi plutonium yang diperoleh dari tipe burnup yang berbeda-beda diperlihatkan pada Gambar 2a dan 2b sebagai fungsi dari waktu peluruhan untuk masing-masing isotop plutonium dengan nomor massa genap dan ganjil. Tingginya nilai komposisi dari isotop plutonium bernomor massa genap didapatkan dari tingginya nilai burnup yang digunakan hal ini diperlihatkan pada Gambar 2a untuk masing-masing isotop plutonium Pu-238, Pu-240 dan Pu-242. Nilai tertinggi dari komposisi plutonium diperlihatkan oleh Pu-239 sekitar antara 57% pada saat reaktor tersebut berhenti dan meningkat menjadi 64% saat waktu peluruhan mencapai 30 tahun untuk tipe burnup 33 GWd/t dan komposisi tersebut akan berkurang seiring dengan tingginya nilai burnup yang dipakai. Pu-240 menempati komposisi tertinggi dari komposisi isotop plutonium bernomor massa genap diikuti oleh komposisi Pu-242 dan Pu-238. Komposisi Pu-240 mengalami kenaikan dari 23% naik menjadi 27% saat 30 tahun peluruhan dan seiring dengan tingginya burnup yang dipakai, komposisi isotop plutonium bernomor massa genap juga akan mengalami kenaikan. Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 78 INOVASI online CATATAN RISET Vol. 18 | XXII | November 2010 100 Isotopic Pu Compositions [Pu wt %] Pu-239 Pu-240 Pu -24 1 10 Pu-242 Pu-238 0 1 5 10 15 20 25 30 35 Decay Time [Years] Gambar 1. Vektor komposisi isotop plutonium 30 70 Pu-240 60 Isotopic Plutonium Compositions [% wt Pu] Isotopic Plutonium Compositions [% wt Pu] 25 20 LWR 33 LWR 50 LWR 60 15 10 Pu-242 Pu-239 50 40 LWR 33 LWR 50 LWR 60 30 20 Pu-241 5 10 Pu-238 0 0 5 10 15 20 Decay Time [Years] (a) 25 30 35 0 0 5 10 15 20 25 30 35 Decay Time [Years] (b) Gambar 2 (a) Komposisi nomor massa genap plutonium berdasarkan burnup yang berbeda, (b) komposisi nomor massa ganjil plutonium untuk burnup yang berbeda Untuk kasus nomor massa genap plutonium sebagai fisil plutonium, burnup yang tinggi dapat mengurangi komposisi Pu-239 karena banyaknya Pu-239 melakukan fisi untuk menjaga kekritisan reaktor, sementara komposisi Pu-241 menjadi bertambah seiring dengan bertambahnya nilai burnup dikarenakan bertambahnya komposisi Pu-241 dari Pu-240 karena penangkapan netron sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2a dan 2b. Seiring dengan bertambahnya nilai waktu peluruhan atau proses waktu pendinginan (cooling time), komposisi Pu-239 mengalami penambahan sementara Pu-241 mempunyai kondisi yang sebaliknya yaitu berkurang untuk jangka waktu proses pendinginan yang lama. Peningkatan kompisisi Pu-239 disebabkan peluruhan dari Cm-243 and berkurangnya Pu-241 dikarenakan isotop ini mengalami peluruhan menjadi Am-241. Meningkatnya komposisi nomor massa genap plutonium akan berakibat pada meningkatnya level dari materi pengahalang, sementara potensi secara teknologi untuk menggunakan fisil plutonium sebagai bahan pembuat senjata bisa dikurangi dengan berkurangnya komposisi dari fisil plutonium. Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 79 INOVASI online CATATAN RISET Vol. 18 | XXII | November 2010 3.2. Komposisi peluruhan panas dan nuklir fisi spontan Analisis level material penghalang yang berkaitan dengan aspek intrinsik nuklir non-proliferasi akan difokuskan pada komposisi decay heat dan spontanoeus fission neutron yang akan dijelaskan dan didiskusikan pada bagian ini. Pengaruh waktu pendinginan terhadap decay heat dan spontaneous fission neutron untuk nilai burnup yang berbeda diperlihatkan pada Gambar 3a dan 3b. Komposisi decay heat yang tinggi diperlihatkan oleh Pu-238 disebabkan oleh besarnya nilai DH dalam komposisi 100% Pu-238 yang diperlihatkan pada Tabel 1 dibandingkan dengan nilai DH isotop plutonium lainnya. Berkaitan dengan komposisi spontaneous fission neutron, Pu-240 mempunyai kontribusi tertinggi diikuti oleh kontribusi Pu-242 dan juga Pu-238. Pengaruh nilai burnup terhadap peningkatan level DH dan SFN diperlihatkan pada Gambar 3b. Gambar tersebut memperlihatkan komposisi yang lebih tinggi bagi DH dan SFN didapat dari nilai burnup yang lebih tinggi. Lamanya waktu peluruhan atau waktu pendinginan berpengaruh pada peningkatan nilai SFN dikarenakan kebergantungan SFN pada kontribusi semua nomor massa genap plutonium yang diperoleh lebih besar kontribusi SFN-nya pada saat waktu peluruhan lebih lama. Komposisi DH akan mengalami penurunan setelah melewati waktu peluruhan tertentu dan akan terus berkurang seiring dengan bertambahnya waktu peluruhan, hal ini dapat diketahui dari kebergantungan komposisi DH terhadap kontribusi Pu-238 yang memperlihatkan profil yang sama, yakni komposisi Pu-238 mengalami penurunan pada saat waktu peluruhan lebih panjang. 100 10 6 10 5 10 4 100 6 10 Total Pu-240 Pu-242 Pu-240 1 Pu-239 Pu-24 1 1000 0.1 100 Pu-239 0.01 60 GWd/t 50 GWd/t Total Decay Heat [W/kg] Decay Heat [W/kg] Pu-238 Total Spontaneous Fission Neutron [n/s/kg] Pu-238 Total Spontaneous Fission Neutron [n/s/kg] 10 33 GWd/t 60 GWd/t 50 GWd/t 10 Pu-242 0.001 0 5 10 33 GWd/t Pu-24 1 15 20 25 Decay Time [Years] 30 1 35 10 0 5 5 10 15 20 25 Decay Time [Years] 30 10 35 Gambar 3. (a) Komposisi peluruhan panas (decay heat) dan netron fisi spontan (spontaneous fission neutron) pada isotop plutonium, (b) Total komposisi peluruhan panas dan netron fisi spontan plutonium untuk burnup yang berbeda 4. Kesimpulan Artikel ini menjelaskan analisis pada material penghalang isotop plutonium yang berasal dari bahan bakar bekas LWR sebagai fungsi dari nilai burnup dan waktu peluruhan setelah bahan bakar dikeluarkan dari reaktor. Tingginya komposisi plutonium dengan nomor massa genap dapat diperoleh dari kenaikan nilai burnup, sementara komposisi fisil Pu-239 berkurang seiring bertambahnya burnup karena banyaknya komposisi fisil Pu-239 yang digunakan untuk Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 80 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET melakukan fisi dalam rangka memperoleh nilai burnup yang lebih tinggi. Tingginya komposisi DH dapat dilihat dari komposisi Pu-238 dan untuk komposisi dari SFN dapat diperkirakan dari kontribusi semua isotop plutonium bernomor massa genap. Dalam hal komposisi SFN, kontribusi yang paling tinggi diperlihatkan Pu-240 disusul kemudian Pu-242 dan Pu-238. Untuk menaikan komposisi DH dan SFN secara efektif dapat dilakukan dengan menaikan nilai burnup. Semakin lama waktu peluruhan, komposisi SFN yang lebih tinggi akan dihasilkan karena kebergantungannya terhadap kontribusi dari masing-masing plutonium bernomor massa genap, sementara komposisi DH mengalami penurunan setelah mencapai komposisi optimal pada waktu peluruhan tertentu dan terus mengalami penurunan apabila waktu peluruhan diperpanjang. Profil DH ini sangat bergantung pada kontribusi Pu-238, yang memperlihatkan bahwa komposisi Pu-238 mengalami penurunan saat waktu peluruhan diperpanjang. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. International Atomic Energy Agency. 1972. 34p. IAEA Information Circular No: INFCIRC/153. (corrected). Kessler G. Plutonium denaturing by Pu-238. Nucl Sci and Eng. 2007; 155:53-73. Ludwig BS, Croff AG.ORIGEN 2.2 Isotope generation and depletion code matrix exponential method. Oak Ridge National Laboratory. 2002. Pellaud B. Proliferation aspects of plutonium recycling. J Nucl Mater Managements. 2002; XXXI(1):30-38. Permana S, Suzuki M. Basic evaluation on material attractiveness of isotopic plutonium barrier. Progress in Nuclear Energy. 2010; (in submission). Remarks by President Barack Obama, on April 5, 2009. URL: http://www.whitehouse.gov/the_press_office/Remarks-By-President-Barack-Obama-In-Prague-As-De livered/ accessed on November 23, 2010. Saito M. Multi-component self-consistent nuclear energy system for sustainable growth. Progress in Nuclear Energy. 2002; 40(3-4): 365-374. Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 81 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET Determination of Arsenic in Coal Fly Ash by Graphite Furnace Atomic Absorption Spectroscopy for Direct Solid Sampling System Sri Hartuti*, Shinji Kambara Graduate School of Engineering, Gifu University 1-1 Yanagido, Gifu 501-1193, Japan * E-mail: [email protected] Abstract The discharge of fly ash from coal combustion process has become a matter of concern in the world over last few decades. Arsenic (As), one of the most highly toxic chemical contained in coal fly ash, gives negative impacts on human health and global environment. Graphite furnace atomic absorption spectroscopy (GF-AAS) method has been proposed for direct determination of element in solid sample since its appearance as a good alternative to wet methods of analysis in many matrices. Determination of arsenic concentration in coal fly ash was conducted by atomic absorption spectrometer in the wavelength 193.7 nm; slit width and lamp current of Hollow Cathode Lamp are 0.8 nm and 6.0 mA, respectively. The integration time was 4.5 s. The steps of the furnace program were run in drying, pyrolysis, auto zero, atomize, and cleanout step in corresponding temperatures. The Calibration curve was constructed directly and the concentrations of samples obtained automatically on output device by the data system. Three samples of coal fly ash (sample 1, 2, 3) were imported from distinct Indonesian coal mines. The result obtained for sample 1, 2 and 3 were 19.69, 13.58 and 3.539 mg/kg, respectively. These results showed that the GF-AAS can be used for direct solid sample to determine the concentration of arsenic in coal fly ash. The results will serve as a preliminary investigation to study the leaching process of total arsenic in coal fly ash from distinct coal mines in Indonesia. Keywords: Arsenic determination; Graphite furnace-AAS; Solid sampling ©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Introduction Direct analysis of solid samples using graphite furnace atomic absorption spectroscopy (SSGFAAS) method has been proposed for direct determination of elements in solid sample since its appearance can be of a better alternative to the wet method of analysis, which involves timeconsuming sample dissolution steps1. The main advantages of SS-GFASS method are low detection limits, minimum amount of sample manipulation, relatively simple and time required to 2 obtain results is minimum . The drawbacks of SS-GFAAS are, however, associated with increasing interferences, difficulties in calibration and sample inhomogeneity at the micro levels 3 required . Coal, as a kind of fossil fuel that is cheaper than oil, is mainly used as fuel for thermal power generation in Japan, China, Indonesia, India and Vietnam. The coal combustion process will generate coal ash (fly ash) and discharge hazardous trace elements, such as arsenic, lead, mercury, and chromium. This discharge has become a matter of concern in the world over last few decades. For the sake of environmental conservation in Asia, many studies of mercury4, 5 6 lead and chromium analysis have been conducted in recent years, and the analytical methods had been established. However, analytical method associated with much interference in analyzing arsenic (As) due to the volatility system and compounds of arsenic element has not been established yet. Hastuti & Kambara. Determination of Arsenic in Coal Fly Ash. 82 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET Arsenic, as one of the most highly toxic chemical contained in coal fly ash, is a semi-metal element. As is commonly found as arsenide. In arsenate compounds, it is odorless, tasteless, and notoriously poisonous metalloid. Furthermore, it is dangerous for the environment due to many allotropic forms contained. According to EU regulation (98/83/EC) and a provisional guideline of WHO, the critical concentration of Arsenic on human health effect (in drinking water) is 10 µg/L. Arsenic in aquatic eco-system occurs in distinct oxidation states depending on potential redox values. Its solubility in water depends on oxygen concentration, the presence of 7 sulfur and ferric hydroxides, and biomethylation processes . Arsenic is easily accumulated in sediments by chemical and physical binding or by adsorption onto organic and inorganic particles. The present paper focuses on the use of SS-GFAAS as a validation technique for arsenic determination in coal fly ash. Total As content in coal can be a good indicator for contamination. Its determination can be carried out directly on the solid phase by means of spectroscopic techniques, such as X-ray fluorescence (XRF) or ICP Atomic Emission Spectroscopy (ICP-AES). The further target of this paper is to develop analytical methods for chemical form of arsenic toxicity, and to reveal the amount of arsenic from fly ash emitted to the environment through studying the leaching process of total arsenic in coal fly ash. 2. Experimental 2.1. Instrumentation A single-beam atomic absorption spectrometer (model novAA400, Analytik Jena) was used in the measurements. This instrument is equipped with a monochromator Czerny-turner-design mounting with a plain holographic grating system 1800 lines/mm which covers a wavelength range from 185 to 900 nm. The spectrometer combines a new transverse-heated graphite furnace atomizer with high-aperture optics and fast background compensation based on an optimised deuterium hollow cathode lamp. The optic system provides efficient background compensation by means of transillumination of equal absorption volumes for both measurement and correction. Solid and liquid sample introduction modes are possible with a quick change and realignment of the system. For solid samples, we used a Sartorius microbalance and pyrolytically-coated platform boats were used as sample carriers. 2.2. Standards and reagents Standard Solutions for Calibration, As (III) were prepared from As2O3 in NaOH.HCl (Nacalai Tesque, INC.), Solvent for As (III) was prepared from HNO3 60% (Nacalai Tesque, INC.) and distilled water. Matrix modifier was prepared from Palladium (Pd(NO3)2). Three samples of coal fly ash (sample 1, 2, 3) were imported from distinct Indonesian coal mines (Kalimantan Island, Indonesia). 2.3 Methods Determination of arsenic concentration in coal fly ash was conducted by atomic absorption spectrometer (novAA 400, Analytik Jena) in the wavelength 193.7 nm; slit width and lamp current of Hollow Cathode Lamp are 0.8 nm and 6.0 mA, respectively. The integration time was 4.5 s. The steps of the furnace program were run as described in the Table 1. Hastuti & Kambara. Determination of Arsenic in Coal Fly Ash. 83 INOVASI online CATATAN RISET Vol. 18 | XXII | November 2010 Table 1. Optimized furnace program No. 1 2 3 4 5 6 7 Steps Drying Drying Drying Pyrolysis Az* Atomize Cleanout Temp (oC) 90 105 120 1200 1200 2600 2700 Rate (oC/s) 30 10 10 100 0 1000 1000 Hold (s) 5 20 20 60 6 4 10 Gas Inert. Max Max Max Max Middle Middle Max *Auto zero 3. Results and Discussion 3.1 Results Sample 1 Sample 2 Sample 3 Sample 1 : Abs = 0.01159 ; Conc. = 19.69 mg/kg Sample 2 : Abs = 0.01145 ; Conc. = 13.58 mg/kg Sample 3 : Abs = 0.09142 ; Conc. = 3.539 mg/kg (a) (b) Figure 1. (a) Calibration curve, as indicated by black line, is for direct solid sample determination of arsenic by GF-AAS; green lines indicate limits of scattered data. (b) Peak shapes of arsenic in Sample 1, 2, and 3 from distinct coal (fly ash) mines; red line indicates as signal; blue line indicates background signal. Hastuti & Kambara. Determination of Arsenic in Coal Fly Ash. 84 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET 3.2 Discussion 3.2.1 Optimization of instrumental parameters for solid sample introduction The second most sensitive wavelength for As was selected because of the relatively high content of arsenic element in coal fly ash and in the CRM (certified reference material). For the short wavelength (193.7 nm), the sample was all atomized (perfectly 100% as indicated by the instrument sensitivity) but the high interferences were generated. As for the long wavelength (197.2 nm), the sample was partly atomized (53%), and the interferences generated were low. To get an optimum result, the authors choose the second wavelength in order to get relatively high content of coal fly ash. To minimize the high interferences (e.g. due to other elements in coal) in the second wavelength, the measurement of background (e.g. other element effect) was used and appeared in the output. The selection of wavelength in present experiment is applicable to general case. Optimization of furnace program was focused on the pyrolisis and atomization steps for each hold time. The gas flow of Argon was also studied. For pyrolisis the temperature used was o o 1200 C, whilst for atomization the temperature used was 2600 C. The criteria considered for establishing the parameters was a low background signal that did not disturb the measurement and a good sensitivity for the signal peak of the analyte. 3.2.2 Establishment of quality parameters for solid sample introduction Calibration curve as shown in Figure 1 was constructed by running a series of calibration standards through the instrument. The instrument recorded the absorption generated by a given concentration. By plotting the absorption versus the concentrations of the standards, a calibration curve could be plotted to determine the concentration sample. The calibration curve was constructed directly and the concentrations of samples obtained automatically in the output device by the data system. As shown in Figure 1, the result obtained for sample 1, sample 2, and sample 3 were 19.69 mg/kg, 13.58 mg/kg, and 3.539 mg/kg, respectively. 4. Conclusion Graphite furnace atomic absorption spectroscopy (GF-AAS) can be used for direct solid sample to determine the concentration of arsenic in coal fly ash. Analysis obtained in solid sample makes the technique useful for environmental purposes. The results will serve as a preliminary investigation to study the leaching process of total arsenic in coal fly ash from distinct coal mines in Indonesia. 5. References 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sahuquillo A, Rauret G, Rehnert A, Muntau H. 2003. “Solid sample graphite furnace atomic absorption spectroscopy for supporting arsenic determination in sediments following a sequential extraction procedure”. Analytica Chimica Acta. 476: 15-24. Kurfurst U. In: Solid sample analysis: direct and slurry sampling using GF-AAS and ETV-ICP. Kurfurst U (Editor). Berlin: Springer, 1998. Brown AA, Lee M, Küllemer G, Rosopulo A. 1987. Analytical Chemistry. 328: 354. Resano M, Briceño J, Belarra MA. 2009. Direct determination of Hg in polymers by solid samplinggraphite furnace atomic absorption spectrometry☆: A comparison of the performance of line source and continuum source instrumentation. Spectrochimica Acta Part B. 64: 520–529. Chen J, Xiao S, Wu X, Fang K, Liu W. 2005. Determination of lead in water samples by graphite furnace atomic absorption spectrometry after cloud point extraction. Talanta. 67: 992–996. Silva FA, Cilene C, Padilha F, Pezzato LE, Barros MM, Padilha PM. 2006. Determination of chromium by GFAAS in slurries of fish feces to estimate the apparent digestibility of nutrients in feed used in pisciculture. Talanta. 69: 1025–1030. J.W. Moore JW, S. Ramamoorthy D. 1984. In: Heavy metals in natural waters: applied monitoring and impact assessment. Berlin: Springer. Hastuti & Kambara. Determination of Arsenic in Coal Fly Ash. 85 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 First Prize A New Strategy to Ensure the Compatibility between R&D and Societal Demands Arief Yudhanto Tokyo Metropolitan University, Tokyo, Japan Corresponding e-mail: [email protected] "… Tell me any stories but politics." – Soekarno in a Biography As Told to Cindy Adams Everyone loves a story. Here I have one. A story from Sumber Canting While sitting in front of a personal computer, most of us would have thought that the age of darkness is no more. Sadly, it is not true. Two hundred families living in Sumber Canting village, located in the eastern Java (Figure 1), could tell us more about darkness; something which should not have occurred anymore in this era. It is certainly something to dodge. Nevertheless, the families have been living without electricity for life until a neighboring village generously supplies 10 kilowatt. Each family could then switch on light bulbs. A mosque can eventually send forth a gleam. But when the neighbor requires more electricity, they would cut off the supply. They leave no choice for Sumber Canting but to agree. Hence, the darkness prevails. Figure 1. Sumber Canting village indicated by ‘A’ in the map is located in the eastern part of Java island, Indonesia (source: http://maps.google.com). Sumber Canting reflects poverty in the year of 2010. It is the year when Ministry of Research and Technology Republic of Indonesia has to pick some of 564 research proposals submitted 1 by universities and institutes across the country. As the fingers crossed, a glimpse into their titles suggests that virtually ten percent aimed to investigate electricity generators, such as wind turbine, solar panels, fuel cell, biomass, etc. This fraction marks a good sign: researchers seem to know what society demands. Yudhanto. A New Strategy to Ensure the Compatibility between R&D and Societal Demands. 86 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 However, in reality, researchers and societal demands often have no direct relevance. In other words, researchers may not know who exactly needs their invention, whilst society may not know whom should they consult for technological assistance. What invention and to whom the invention should be delivered are still dubious. Even if the invention exists, private sectors pour little funding and build less cooperation with universities or institutes. Also, the tax system may inhibit the invention of technologies since importing them is more economical. These shortcomings consequently cause uncommon goal, less incentive and immense discouragement. A new strategy A new strategy is proposed to fix the connection between research and development (R&D) and demand. The strategy includes resource integration of government, university, industry2 and research institutes in the form of R&D Hub, and feedback collection from society to R&D Hub 3 via a new entity called Researcher in Residence (RiR). The strategy is illustrated in Figure 2. Industry University R&D HUB SOCIETY Government Research Institutes Researcherin-Residence Figure 2. The schematic describes the relationship between research and development hub (R&D Hub) and society. University, industry, government, research institutes and researcher-in-residence supply ideas into R&D Hub. R&D Hub is an integrated agency to house experts from university, industry, government and research institutes. The hub has two goals: commercial (as in Business Technology Center and Business Incubation Center), and social (which is done by nurturing knowledge-based economy). In practice, the hub is (1) to consolidate invention, innovation and discovery; (2) to build strong co-operation among research stakeholders; (3) to apply newly-developed concept 4 such as ‘Lead Market’ that aims to create new market for emerging technologies; (4) to administer research funding and encourage private sectors to invest more; (5) to deploy technology in the society; (5) to identify the global trend of research; (6) to persuade regulations, law and policy via Intellectual and Property Rights; (7) to coach university to become marketfriendly, and to understand the technological needs of small medium enterprises; (8) to train scientist and researchers to become technopreneur. Researcher-in-resident (RiR) is a scientific personnel assigned to collect facts in a specific area. Its task is to convey messages from society to R&D Hub. Practically, RiR has to identify problems, resources, potentials, limitation and financial strength of area in need. Upon the completion of each mission, RiR has to report the findings to the R&D Hub, and to recommend Yudhanto. A New Strategy to Ensure the Compatibility between R&D and Societal Demands. 87 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 some alternatives compatible with the area. After implementation, RiR will periodically monitor the technology. How the strategy may work As exemplified, Sumber Canting has electricity deficiency problem. But, one of its potentials is wind energy. RiR can study whether installing a wind turbine is feasible by measuring actual wind speed in the area. Current data shows that the wind speed can be as low as 1.7 m/s, 5,6 which is insufficient to rotate the wind turbine sold in Indonesian market today. If wind turbine is to be pursued, RiR can advise R&D Hub to research and develop a special airfoil or blade design to accommodate such low wind speed. RiR can also investigate the feasibility of microhydro or solar cell. In general, RiR must identify demand directly from society, while R&D Hub ensures that university, government and industry can contribute. In Indonesian context, R&D Hub can prioritize research projects of energy, defense, communication technology, agriculture, biotechnology, medicine, transportation, and advanced materials. Remarks The proposed strategy is merely a concept; a concept that integrates triple helix and researcher in residence; a concept that seeks to answer the demand; a concept that nurtures our conscience: thinking about people, inventing technology, helping the people with technology. Once this concept becomes reality, a village like Sumber Canting is dark no more. That is the day when compatibility is no longer an issue. References 1. 2. 3. 4. 5. 6. Ministry of Research and Technology of Republic of Indonesia. Short List of Proposals for Incentive Programs Year 2010, Selection Year of 2009. Etzkowitz H. The Triple Helix of University-Industry-Government Implications for Policy and Evaluation. Stockholm: Science Policy Institute, Working Paper 2002.11, pp. 2-4, 2002. The term ‘Research in Residence’ is inspired by the scheme funded by Research Councils UK to place PhD and postdoctoral researchers across secondary school to make science, technology, engineering and math relevant and exciting for young people. URL: http://www.researchersinresidence.ac.uk/cms/, accessed on August 19th, 2010 Lead Market is an experimental concept advocated by former Finnish Prime Minister Esko Aho. Moran N, Hudson RL. Innovation: The Demand Side (The Science|Business Roundtable in Paris), pp. 9 – 11, 8 December 2006. URL: http://sciencebusiness.net, accessed on August 19th, 2010 Wind speed is sampled in Besuki area, north of Sumber Canting, in August 17th 2010. URL: http://www.wunderground.com, accessed on August 17th, 2010. Small wind turbine with power capacity of 1kW made in Indonesia costs around US$4000 each, excluding installation fees. URL: http://windturbin.blogspot.com, accessed on August 16th, 2010 Yudhanto. A New Strategy to Ensure the Compatibility between R&D and Societal Demands. 88 INOVASI online KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Vol. 18 | XXII | November 2010 Second Prize Improvement of Waste Management in Indonesia Bayu Prabowo Tokyo Institute of Technology, Tokyo, Japan Corresponding e-mail: [email protected] Current waste management in Indonesia Any waste pertaining matters in Indonesia are regulated by “The Act of The Republic of 1 Indonesia Number 18 Year 2008 Regarding Waste Management”. According to the act , waste management should be conducted based on the principles of responsibility, sustainability, profitability, safety and economic value. As for the objective, waste management is done to increase public health and environmental quality, and to transform the waste into energy source. If we look further into the Waste Management chapter of the Act, it can be seen that there are strong and clear guidance about the way to properly manage the waste. Nevertheless, because the Act no.18 year 2008 has just been implemented recently, the implementation of waste management especially for municipal solid waste is still very far from the waste management system that is described in the Act. For the industrial solid waste, which is more homogeneous and separated, treatment and recycle are not big problems. More than 85% of the industrial solid waste is recycled. Nevertheless, for municipal solid waste that is heterogeneous and mixed, the treatment methods still posses many problems. As shown in Figure 1, from around 169 million ton per year municipal solid waste input (source: Waste Statistic of Indonesia 2008), most the waste are improperly treated by open dumped (68.6 %), burned (7.1%), or thrown to river (3.6%). Only less than 17% are properly treated by land filled and composted. Waste management in Indonesia currently remains far from the principles and objectives which have been described in the act. 2 Figure 1. Waste treatment percentage in Indonesia. Before proposing the improvement of waste management system, it is better to analyze the current condition in order to make the improvement can be smoothly implemented without any conflicts. These are some main characteristics of the municipal waste management system in Indonesia: • The waste is mixed: no waste type separation from household Indonesia. All of the types of waste such as the plastic, metal, and organic material are put together. Prabowo. Improvement of Waste Management in Indonesia. 89 INOVASI online • • • KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Vol. 18 | XXII | November 2010 Involve many workers: separation mostly done at the final step before the waste sent to the final dumping area that sequires many workers as scavenger. The scavengers separate the recyclable materials from the organic materials and sell it to recycling company. From the economical side, the existence of scavengers is beneficial. Nevertheless, because their working environment, it is very poor from the health and social point of view. Low-level technology: waste treatment in Indonesia remains utilizing low-level technology because of low level of worker’s education and low financial support from state government (Figure 2). No problem with area availability: most cities have a quite large area for waste treatment because the initial design of the waste treatment system is landfill which required large area. Many unpopulated sub-urban areas are also still available in the most cities in Indonesia. (a) (b) (c) Figure 2. Waste treatment: (a) open dumped, (b) river dumped, and (c) open burned Improvement proposal Related to those condition and main characteristics, an improvement shall be done step by step and accommodate as much as possible the occupancy of the people who is depending their life to the current waste treatment system. In order to make a better and useful waste management system, I propose two step of improvement. The first 10 to 15 years is revitalization step and after 15 years is the advance step. 1. Revitalization step: There should be a revitalization of landfill system which now already shifted to open dumping. All of the waste treatment site should implement the land fill system with these main parameters: compaction, land covering, methane gas capturing, leachate treatment system, and plants planting. I still propose land fill system because it is suitable to the current characteristics of waste treatment in Indonesia, especially regarding involvement of many workers and low technology requirement. Another thing that should be done is the waste separation system from the household and public area. This separation will make it easier for the recycle and landfill operation and the most important thing is it can reduce the number scavenger in final treatment area. Land fill area itself is a big a complex area, so that the ex-scavenger workers can be allocated for supporting worker in land fill operation such as worker for leachate and gas pipe installation control and maintenance, compaction tractor operator, plant the trees, or the cleaning service for the treatment are itself. By doing this system, the welfare of the worker can be improved and the can be step by step introduced to a higher level of waste treatment technology. This condition is good for the preparation of the next step implementation. 2. Advanced step: In this step, the waste treatment is more objective to the utilization of waste as an energy source but not forgetting about the other objective to keep the public health and environment quality. The suitable treatment system for this step is incineration and hydrothermal treatment. Prabowo. Improvement of Waste Management in Indonesia. 90 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Those systems can convert the waste to energy optimally without any harm to the environment. The important thing for this is step is the skilful workers and relatively big investment needed. So the preparation of this step has to be done at least 5 years before the implementation. By this system the environmental and public health concern as well as to utilize waste as energy source can be implemented. References 1. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. URL: http://www.menlh.go.id/Peraturan/UU/UU18-2008.pdf, accessed on August 5th, 2010. 2. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Statistik Persampahan Indonesia Tahun 2008. URL: http://www.menlh.go.id/dokumen_sampah/Statistik%20Persampahan%20Indonesia%20200 th 8.pdf, accessed on August 5 , 2010. Prabowo. Improvement of Waste Management in Indonesia. 91 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Third Prize An Open Letter to the Minister of Research and Technology of Indonesia: Towards a Knowledge-driven Nation Radyum Ikono University of Tsukuba, Ibaraki, Japan Corresponding e-mail: [email protected] Dear Mr. Minister, I am writing this letter as a future leader of our nation who believes that we, Indonesia, will be able to excel, to lead the world, with research and technology as the forefront 'force' for it to be true. I hope this humble letter will help you to condense the idea to bring Indonesia towards knowledge-driven nation! Dear Mr. Minister, We know that today, we live in an era where competition among individuals become so harsh that in order to survive, one needs to always be aware of other's advancement. To illustrate this, take an example: a swimmer. He can't just be proud by advancing 2 seconds in every training. He always needs to compare his record progress with other swimmers' record in a wider view. The same goes for nations. I suggest that we can concur with a perspective given in a book written by Lester Thurow, "The Future of Capitalism" : today, knowledge and skills now stand alone as the only source of competitive advantage.1 So, the economic growth of a nation is no longer affected greatly from the availability of land, natural resources, or labors, but it is pretty much driven by the advancement in science and technology, that is often termed as knowledge based economy (KBE).2 Singapore can be a good example of how KBE has changed this nation. Billions dollars spent in the building of many research institutes, broadband installment, technopreneurship start-ups funding, and many more, has shown how a knowledge based progression can bring Singapore 3 today become the top 3 country in the global competitiveness index. Another model can be seen from Finland with its Nokia. The decision to invest billions dollars in the cellular phone has boosted Nokia Corporation’s net sale into almost 12 times just in about 10 years, that finally 2 contribute to the economic growth of Finland. Dear Mr. Minister, I hope from the passages above we can clearly observe that one of the requirements for a nation to excel can be derived by its ability for bringing research and technological advancement into market. Now we shall come back to our country and see deeply, how Indonesia today still lacks of such: the technological readiness for market penetration. There are so many researchers in Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – LIPI (Indonesian Institute of Science) or renowned universities like Universitas Indonesia (UI), and Institute Teknologi Bandung – ITB (Bandung Institute of Technology), also with so revolutionary inventions, but still there are only few that can 4 go into industries and at the end contribute to the Indonesia's economic growth. Dear Mr. Minister, Firstly, our companies' mindset today are still: "Is it made by other countries? Oh from UI (or ITB)? No, thanks." This kind of conception is still very commonly found today. And more excitingly, there are some local products that even more expensive than foreign made. So, to think objectively, we can't condemn the company to have such kind of attitude. Secondly, there is lack of coordination and socialization between what the researchers do and what the people in industries expect. These are the points where sometimes there are thousands Ikono. An Open Letter to the Minister of Research and Technology of Indonesia. 92 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 of good inventions by our scientists but there are no companies want to invest on those products, simply because it is not inside their long term plan. Dear Mr. Minister, Let me suggest several ideas for you to solve above problems. Firstly, Department of Research and Technology (DRT) should be the one who actively bridges the needs of the scientists and the entrepreneurs. The problems are 'simply' there is not enough mediation between both elements. The mediation will greatly help to match the strategic plan of DRT and the department of trade and industry. So, for instance, one of the 7 DRT's targets of technological advancements is drug development. With such mediation, industries can hopefully observe the feasibility to invest in drug industry as one of their target. And also, DRT can help to mediate to socialize on what the research institutes or universitites have produced in recent years and what is its potentials in market. DRT also has to direct the scientists to do market-based research, so that what scientists develop will be useful in the context of market today. Now we move on to the role of government as a whole. The next solution is to encourage a "love local products" campaign. Let's see how Malaysia treats their Proton as a nation symbol. It is surprising to see that almost all government-related people use Proton as their official cars. Even citizens in all areas in Malaysia are so proud to use this brand. One of the key behind this is the 5 government intervention to give a significant subsidy for those who use Proton. I believe that we can adapt the same concept as what Malaysia do. We can give, for instance, a significant subsidy for a company who wants to use local product developed by LIPI. And of course, in the long run, we can also use the same concept as Malaysia has done; to do local product campaign by using it in every sectors of our life. Dear Mr. Minister, I hope with this very short simple letter, we can together bring our nation to a brighter future. Maybe it is not a dream in 2034 to see an automotive company "Bimantara", airplane industry "Perkutut", watch product "Arlojee", and many more to come. Towards knowledge-driven nation, with bismillah. With warm regards, Radyum Ikono References 1. 2. 3. 4. 5. Thurow, L. C. 1997. The Future of Capitalism. New York: William Morrow and Company. Zuhal. 2010. Knowledge and Innovation, Platform Kekuatan Daya Saing. Jakarta: Gramedia. Schwab, K. 2010. The World Economic Forum: Global Competitiveness Report 2009-2010. URL: http://www.weforum.org/pdf/GCR09/GCR20092010fullreport.pdf, accessed on November 26, 2010. Koran Jakarta. 2010. Mensinergikan ilmuwan dengan pelaku usaha. URL: http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=57817, accessed on November 26, 2010. New Straits Times. 2010. Proton does Malaysia Proud. URL: http://www.nst.com.my/nst/articles/ProtondoesMalaysiaproud/Article/, accessed on November 26, 2010. Ikono. An Open Letter to the Minister of Research and Technology of Indonesia. 93 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Small, Blue and Beautiful: A Dream for a Better Indonesia without Endangering the Environment Himawan Tri Bayu Murti P. Kyushu University, Japan Corresponding e-mail: [email protected] In the final days of what seems the now ancient history of 1968 a photograph from space called "Earthrise" flashed around the globe. In one of those instant moments, Indonesians, along with everyone had the chance to see the Earth in a different sort of light. Looking at this inspiring picture, I thought about how the inspiration from the picture might help us build a better Indonesia. As the spacemen spoke of the view of the earth that they saw, they spoke of seeing our home the earth as small and blue and beautiful. I am sure we can build a better Indonesia if we take some of these ideas and let that image not only inspire us, but move us towards some changes. Small The first word of the ‘Earthrise’ describes the world that is small. Of course, Indonesia with more than 17,000 islands and 230 millions of population is not a small country, but across the globe, the future seems to belong to the smaller focused projects. There will always be a need in a diverse nation such as ours for national government and for coordination across regions and provinces. But increase the future seems to be with the smaller or medium enterprises. Sometimes, these are art of larger corporate undertaking but those engaged have a direct sense of engagement and involvement. Business models, that emphasis direct local engagement, appear to gain wide spread support. At an international level Mohammad Yunus and Grameen bank won a Nobel Prize by showing that supporting and backing poor individual entrepreneurs is successful and profitable. Hence, strengthening small and medium enterprises will significantly affect national economic stability and growth. Mentioning this possible small action for a better Indonesia, some programs have been initiated by conducting collaborative works between universities and some small and medium enterprises in Indonesia. In 2009, an international acknowledgement, Mondialogo Engineering Award, has been achieved by one of the programs represented by engineering students of Chemical Engineering Department, Gadjah Mada University entitled "Zero waste Production System in 1 Small/Medium Industrial Cluster as the Core of Sustainable Innovative Villages". Again, working at the local level, students work with communities engaging at the village level to identify need and key engineering projects that are sustainable. This is an outstanding model and over time will be repeated in many locations. There is a lot of early work going on in this area worldwide, where social objectives are central to the establishment and operation of hundreds of successful enterprises. From the statistical report, it is found that in Europe, 99% of all firms are SMEs employing about 65 million of 2 people. India, which is one of the most progressive Asian countries with similar characteristics 3 as Indonesia, accounts to have SMEs of about 39% of the manufacturing sectors. Furthermore, it is estimated that SMEs account over 90% of all business sector worldwide. Thus, social business models based on SMEs have unlimited potential in a future Indonesia. Blue and Beautiful When we heard about ‘Blue and Beautiful’, it must refer to the environment. This ‘Blue and Beautiful’ is in accordance with the sustainable development conception that is recently concerned and defined clearly in the Brundtland Report,3 well known as Our Common Future that “Sustainable development is defined as development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Himawan. Small, Blue and Beautiful: A Dream for a Better Indonesia without Endangering the Environment 94 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 The 2009 Mondialogo Engineering Award winning program showed that a process plant can provide more economical benefits without further endangering the environment. A comprehensive process results some more value-added products in order to eliminate the possible waste created. However, the involvement of well educated people (represented by those from the universities), government and the SMEs as the core of the small strengthening business will ease the success of the program. Designing program will be specific of each SMEs that depends on the characteristic of the area and business cores. Instead of the zero waste process, self-supplied energy could also possibly be obtained due to the geographical condition at where the business operated with water potential and abundance availability of the sun light, not yet mentioning other possible energy resources that provide less risk for the destruction of the environment. In the future of Indonesia, maintaining, protecting and enhancing the quality of the environment need to become a number one priority in the progressive development of economy. By keeping the environment, it is not only ensuring the fulfillment of our needs but also our future generation. In addition, the Earthrise of blue and beautiful maintained regardless to the increase of the economical growth emphasizing on SMEs will provide other benefit which is our tourism, as it has been generally stated that Indonesia is one of heavenly places in equator. Conclusion When ‘Earthrise’ was first seen, for so many people, it was a new and breathtaking vision. It was a way of seeing the world that is entirely new at the same time, but in so many ways it is a new view of our old Earth. As we look at the future of Indonesia, ‘Earthrise’ has much to offer that we can glimpse a new Indonesia within that breathtaking image. We can help building a future Indonesia that is small and blue and beautiful by strengthening the SMEs with a sustainable approach. Thus, in order to make the future of Indonesia in the image of ‘Earthrise’ which is small and blue and beautiful, all of our strength, talent, and energy will be required as well as collaborative works among all components. Somehow, is this what we owe to our beloved country, Indonesia, isn't it? References 1. 2. 3. 4. Wikipedia: Mondialogo award. URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Mondialogo_Engineering_Award, accessed on August 24th, 2010. European statistics homepage. URL: http://epp.eurostat.ec.europa.eu/, accessed on August 24th, 2010. Ministry of Micro, Small and Medium Enterprises (Government of India) homepage. URL: http://msme.gov.in/, accessed on August 24th, 2010 Bruntland, G. (Editor). 1987. Our common future: The world commission on environment and development. Pages 1-17.Oxford: Oxford University Press. New York. Himawan. Small, Blue and Beautiful: A Dream for a Better Indonesia without Endangering the Environment 95 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Dealing with the Obstacles in Establishing a Good Participatory Development in Indonesia Novri Susan Doshisha University, Kyoto, Japan Corresponding e-mail: [email protected] Indonesian democracy has promoted national development program at district level (kabupaten/kota) under the Law No.32/2004 on local autonomy. Local autonomy aims to give more opportunities for local population to influence the development program based on their needs. Therefore the development program should be planed and implemented by the local population’s participation which is known conceptually as participatory development. However during the local autonomy era since 1999, the quality of participatory development has been remaining bad in which people’s needs have been not reflected in the development plan. Indeed this paper aims to understand obstacles in establishing a good participatory development in the era of local autonomy and a strategy to deal it. The Obstacles of Undergoing Participatory Development The main reason of the participatory development is that communities are assumed to be better than a central government or an external donor not only to set up priorities, identify deserving beneficiaries, design projects, select techniques and inputs, but also to enforce rules, monitor 1 behavior, and verify actions. The participatory development has been adopted in Indonesia by providing legal frameworks of participation, namely Law No.18/1997 juncto UU No.34/2000, Law No.41/1999, Law No.10/2004, and Law No.32/2004. However, the legal frameworks of establishing the participatory development, some social and political conditions remain stay as obstacles in establishing a good participatory development. In many cases of the participatory development implementation, there is a low skill of 1-3 bureaucracy in facilitating public participation process. Beside the problem of low skill, NGOs and local population often see that there is still lack of commitment in engaging a good 4 participatory development by local government. Furthermore, another problem from bureaucracy or political leaders is about “elite captures” in any development program signed by the high level of corruption.1 Komisi Pemberantasan Korupsi (Commission for eradicating corruption) reported that until 2009 there have been 19 mayors (bupati/walikota) and 5 governors put in the court due to corruption crime. Most of them were accused of manipulating APBD for their vested interests. At the same time, particularly in rural areas of Indonesia, there are a low quality of local population’s participation even the legal procedural of participatory development is already 5 provided. This phenomenon is influenced by two major conditions namely the low level of human and social capital. Human capital is related to the level of education which the local population in rural areas averagely only reach primary education or elementary school (Sekolah Dasar). At the same time, the social capital of local population has not been established strongly yet. It is related to the social networks of local population to be a collective action in participatory 5 development. Based on those facts, there are some obstacles found to create a good participatory development: 1) the low skill and lack of commitment of bureaucracy to facilitate the participatory development, 2) the “elite capture” which the vested interest of political elites shape the form of development program in order to gain own interests, and 3) the quality of local population’s participation in the deliberation process. Susan. Dealing with the Obstacles in Establishing a Good Participatory Development in Indonesia. 96 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Starting Point to Solve the Obstacles National development will reach a better achievement if there is an effort to enhance the quality of participatory development. Hence, the three obstacles in establishing a good participatory development need to be solved systematically. A comprehensive strategy is required from multi stakeholders such as local government, private sectors, and civil society organizations (CSOs). However, there should be a starting point to undertake a strategy in creating a good quality of participatory development. Nordtveit mentions that civil society organizations such as NGOs, mass media and social organizations have a strategic role on improving the quality of 6 participatory development. Because CSOs is the middle class which is able to make an intensive interaction to both government and local population. Therefore CSOs’ roles can be the starting point to solve the obstacles in creating a good participatory development. In addition, the civil society organizations can take two main roles on solving the obstacles. First role is to monitor and control actively the local government behavior and policy in formulating and implementing a development program. Second role is to give an extensive support to local population such as giving a capacity building program of local population relates to participatory development. Basically, Indonesian CSOs have taken those roles both on monitoring or controlling the government and supporting the local populations. However, CSOs at local level particularly in rural areas is weaker rather than CSOs in urban 7 areas to succeed their roles on solving the obstacles. For that reason, it is important for CSOs in urban areas to transfer their knowledge and skill to CSOs in rural areas. In order for a development program to reflect the societal needs of population, the obstacles in establishing a good participatory development have to be solved. Even CSOs can play the strategic roles on solving those obstacles; the good political will of local government to establish the good participatory development is obviously needed. Hence, the Indonesian national development can realize its goal to improve society’s prosperity based on the societal needs. References 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Platteau, J. P. 2004. Pitfalls of participatory development, pp.128. URL: http://unpan1.un.org/, accessed on August 24th, 2010. Maesaroh. 2003. Kebijakan desentralisasi dan pemberdayaan birokrasi lokal. URL: http://eprints.undip.ac.id/, accessed on August 26th, 2010. Atmoko. 2007. Partisipasi publik dan birokratisme pembangunan. URL: http://resources.unpad.ac.id/, accessed on August 25th, 2010. Suarawarga. 2008. Abaikan aspirasi, program pembangunan belum Sentuh kebutuhan Masyarakat. th URL: http://berita.suarawarga.info/, accessed on August 25 , 2010. Maulana, F. 2009. Pemanfaatan modal sosial masyarakat pada Program Pembangunan Gampong (PPG) Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana USU Medan. URL: http://repository.usu.ac.id/, accessed on August 25th, 2010. Nordtveit, B.H. 2009. Constructing development: Civil society and literacy in a time of globalization. Hong Kong: Springer. Lumbanraja, V., Nasution, A., and Rangkuti, R. 2006. Pemberdayaan aparat desa dalam mewujudkan th otonomi masyarakat. URL: http://repository.usu.ac.id/, accessed on August 22 , 2010. Susan. Dealing with the Obstacles in Establishing a Good Participatory Development in Indonesia. 97 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Entrepreneurship for Better Indonesia Batari Saraswati Tokyo Institute of Techonology, Tokyo, Japan Corresponding e-mail: [email protected] Sri, who just graduated from one of the well-known private universities in the capital city, is now waiting for a job vacancy opening in companies. She with other 200 students from the same major share one dream future, working in big companies. She graduated from a faculty which receives more than 1,000 new students every year. Roughly, in every 3 months, there are 200 students graduated from this faculty. There are hundreds universities in our country and all of them continuously produce fresh-graduate. Since the number of vacancies available in companies remains stagnant, it can be imagined how many people are out in the street fighting for job and monthly salary. With this phenomenon keeps going on, our country ended up with one problem, unemployment. Unemployment is listed as one of the biggest problem faced by developing countries. According to the Central Inteligence Agency (CIA) World Factbook,1 Indonesia was listed as 77th in world unemployment rank. The unemployment rate in our country has decreased in the past year, from 8.4% in 2008 to 7.7% in 2009. There is no doubt that this is an improvement, but the unemployment level of 7.7% from 200 million people is not satisfactory. National government has proposed answers to this problem. Labor-intensive (padat karya) industry has been a main weapon of government to overcome this problem for years. While this 2 policy could help decrease unemployment temporarily, yet it is not a long-term reliable solution. Another policy that should be applied by government is promoting entrepreneurship. Entrepreneurship is more than simply ‘starting a business’. The definition of entrepreneurship is a process through which individuals identify problems and opportunities, and then take action to identify the solutions and the customers who will pay to have those problems solved.3 Along with this proposed idea, the next question that might be aroused: Is entrepreneurship really an answer for unemployment? The discussion about relationship between unemployment and entrepreneurship has been started way back at least from Oxenfeldt (1943) who pointed out that individuals confronted with unemployment and low prospects for wage employment turn to 4 self-employment as a viable alternative. Statistically speaking, there are many evidences that prove entrepreneurship can be an answer to unemployment problem. Audretsch et al. (2000) 5 shows that an increase in the number of business owners reduces the level of unemployment. New-firm startups hire employees, resulting in subsequent decreases in unemployment, as stated in Picot et al. (1998) and Pfeiffer and Reize (2000).6,7 However, things certainly are not as neat as those written in literature and journals. While the idea might be very good in papers, the execution in reality requires more efforts. What kind of entrepreneurship is suitable for low and middle-income people in Indonesia? Also, the ultimate question, how to motivate people to be an entrepreneur? Small Firms Entrepreneurship Small firms sector is considerably a promising solution for solving unemployment issue in Indonesia. The modern sector of medium and large firms was the focus of government policy for the past 20 years, but small-scale factories that employed from 5 to 19 workers were proved to be far more numerous and supplied the majority of jobs in Indonesia. A review of the available Badan Pusat Statistik’s data showed that small-scale industries employed 3.9 million workers in 1986, compared with 1.7 million employees of medium and large-scale firms.8 The number changes throughout time, but the pattern remains stands. Saraswati. Entrepreneurship for Better Indonesia. 98 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Government support is utterly needed to deliver this solution. Low-rate loan to support new businesses is one beneficial policy. In addition to that, tax reduction policy for those who own small firms can also be a great encouragement. Entrepreneur: To be or not to be? Shifting people’s enthusiasm from working for big companies to entrepreneur is also a challenging task to do. Sri and other university fresh-graduate can be an example of how reluctant young people nowadays with entrepreneurship idea. They, who have proper education, should be a mover for those who have not. This issue can be resolved by encouraging entrepreneurship idea to young generation since early level of education. There are number of ways to do this, such as by integrating entrepreneurship into education systems, legislating to encourage risk-taking, and national campaigns. Teachers and lecturers in school should no longer pass an idea ‘only working in good companies can ensure you bright future’. Being self-employed or entrepreneur is equally promising as working in big multinational companies Creative and innovative thinking should be encouraged by executing business-plan competition, start-up coaching clinic as early as high school level. One of great example of 9 the implementation is as showed by the Global Entrepreneurship Week in United Kingdom. Their catchy tagline spreads and encourages people: “It’s time kids could say, ‘when I grow up I want to be an entrepreneur’ ”. Introduce various success stories of entrepreneurs. This is important to build a role model framework in young generation’s mind and motivate them. Conclusions This essay presents two points about entrepreneurship in Indonesia. Small firms sector should be the main focus of entrepreneurship execution in Indonesia since it absorbs more labors. Given entrepreneurship's potential to support economic growth, it is also the policy goal of government to develop a culture of entrepreneurial thinking. Like old-proverb said, everything big should always start by small steps. We have to think about the effect of entrepreneurship, starting from the small scale. One person can be an enormous effect for the family and surroundings by starting a business, and it eventually creates a better Indonesia for everyone. References 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. CIA World Fact Book. URL: http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html, th accessed on August 29 2010. Jonathan Temple. 2001. Growing into Trouble: Indonesia after 1966. University of Bristol: Department of Economics. Watson, Greg. URL: http://www.gregwatson.com/entrepreneurship-definition/, accessed on August th 29 2010 Oxenfeldt, A. 1943. New Firms and Free Enterprise. Washington, D.C: American Council on Public Affairs. Audretsch, D. B. and Thurik A. R. 2000. Capitalism and democracy in the 21st century: from the managed to the entrepreneurial economy. Journal of Evolutionary Economics 10: 17-34. Picot, G, Manser, M. E., and Lin, Z. 1998. The Role of Self-Employment in Job Creation In Canada and the U.S. OECD-CERF-CILN International Conference on Self-Employment, Burlington, Ontario, Canada. Pfeiffer, F. and Reize, F. 2000. Business start-ups by the unemployed: an econometric analysis based on firm data, Labour Economics 7(5): 629-663. Frederick, W. H. and Worden, R. L. 1993. Indonesia: A Country Study. Washington: GPO for the th Library of Congress.URL: http://countrystudies.us/indonesia/71.htm, accessed on August 29 2010. Global Entrepreneurship Week United Kingdom. URL:http://www.gew.org.uk/, accessed on August th 29 2010. Saraswati. Entrepreneurship for Better Indonesia. 99 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Innovate or Pirate: Enforcing Intellectual Property Rights among Uncertain World, Case Study of Indonesia Lutfah Ariana National Graduate for Policy Studies, Tokyo, Japan Corresponding e-mail: [email protected] Introduction In recent decade, Intellectual Property Rights (IPR) has become an emerging issue in international communities including Indonesia. Every country has tried to manage and emphasize the importance of IPR protection either physically or non-physically. In the middle of globalization era, IPR issue needs to be seriously concerned because it closely related to many factors such as giving “rights” to the IPR owner, law enforcement, economic value, and some possibility of duplication or piracy that has been easily practiced as technological development progress. As a developing country trying to build economic performance, Indonesia has been faced the complexity problems of IPR. In one side, Indonesia has signed the international agreement of IPR and should fully committed to all its regulation; on the other side, the economic, social, cultural condition of its societies are not capable enough to fully support the IPR enforcement in the country (Sardjono, 2006). Globalization has brought Indonesia to the crossroads between need and reality. This is no more evident than in the area of Intellectual Property Laws. The strong commitment of Indonesia’s involvement in international community can be seen from its membership of WTO Agreement in 1994 (Kusumadara, 2005) and its participation in ASEAN Framework Agreement on Intellectual Property Cooperation in 1995 (Zamroni, 2005). Indonesia made a commitment to adjust its national law to these international agreements that can fully benefit for societies. Recently, there has been some improvement in law reform and enforcement in Indonesia, but in 1 the field of intellectual property laws, the law enforcement remains weak and ineffective. The weak protection of IPR has resulted on the emerging case of piracy on computer software and made national information technology (IT) industry loss of benefit. In 2003, the level of software piracy reached 88% accounted for US$ 157 million loss. In music industry, Record Industrial Association in Indonesia announced that 70% from four million cassettes and disks published in 2 domestic market is resulted from piracy. Arising problem on piracy has recorded Indonesia into 3 Priority Watch List that has been published by United State Trade Representative. How to deal with the uncertainty? It has been realized that there is a dilemma. The formulation of IPR laws in Indonesia can be considered as the transplantation of foreign law into the Indonesian legal system (Sardjono, 2006). Similar to the transplantation of a human organ, if it is suitable and acceptable by the receiving body, the transplantation will have a healing effect. On the contrary, if the human body rejects the transplant organ, the result can be more fatal for the patient. In other words, if the transplanted IPR laws and regulations are compatible with the Indonesian legal system, they are likely to bring benefit to the nation. However, if they are not suitable, a greater damage is likely to be done. The police as law enforcement authorities admitted that the enforcement of intellectual property laws must be in line with the poor economic conditions suffered by various small vendors. They understand that those people sell pirated and fake goods as well as rent pirated products mostly to survive the economic hardship that hits Indonesia. The police avoid shutting and cracking-down their business to prevent them shifting to other types of more serious crimes, such as, stealing, robbery, gambling, and drug dealing (Kusumadara, 2005). Ariana. Inovate or Pirate: Enforcing Intellectual Property Rights 100 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Finally, we come up with a question, why is Indonesia implementing IP laws while it has been proven that the implementation of laws do not fully benefit to the majority of its people? Mostly people will respond that we have to do so in order not to be excluded from international community, not isolated from the flow of global trade, which will ultimately bring a large benefit for the entire people. That is what Indonesia needs right now. The way forward: Is anti-IPR necessary? In development economics, the processes and institutions involved in catch-up has been a central issue especially for developing countries. In one side, a pro-IPR view would suggest the importance of IPR in catching-up technological progress by encouraging research and development activities. On the other side, an anti-IPR view considered IPR protection makes domestic industries difficult to adjust the lag-behind of technology or to imitate the new technology. However, IPR regime is complex, because it may affect imports, licensing, and FDI in developing countries that finally it will influence the speed of catch-up capability of the country concerned.4 The failure of the implementation of intellectual property laws in Indonesia gives a lesson that there has been mismatch between: (1) the developed countries’ idea of the value and concept of IPR, (2) the Indonesian government’s political interest in reforming IP laws, and (3) the reality in the cultural, economic, and technological development among Indonesian people that cause them to ignore the existence of IP laws. Other possible strategies arise as the growing issue of National Innovation System to promote IPR as protection for indigenous knowledge of local people that can generate economic and social benefit. In this case, government is expected to have a strong commitment in generating the role of research and development (R&D) institutions by increasing R&D budget. The way forward to eradicate the flood of piracy product in the market can be realized by giving subsidy or incentive to people who want to access educational link and IP products. References 1. 2. 3. 4. 5. General Directorate of Intellectual Property (Ditjen HAKI). 2010. Annual Report on Patent Statistic. www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=20323, accessed on July 17, 2010. Oemar, S. 2003. Indonesia masuk priority watch list USTR: Penegakan hukum HAKI lemah. Bisnis Indonesia, February 02, 2009. http://web.bisnis.com/artikel/2id1983.html , accessed on July 17, 2010. International Intellectual Property Alliance. 2005. Identification of Countries Under Section 182 of the Trade Act of 1974. Request for Public Comment on "Special 301 Out-of- Cycle Review: Indonesia". 70 Fed. Reg. 56963. pp.4. Odagiri, H. 2008. IPR and Catch Up: An International Comparative Study and Japan's experience. Keynote address for Applied Econometrics Association Meeting, December 19-20, 2008, at Hitotsubashi University, Tokyo. Zamroni. 2005. Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Ekonomi Kelembagaan: Kebocoran Ekonomi dan Konsep Penanggulangannya. pp. 92. Ariana. Inovate or Pirate: Enforcing Intellectual Property Rights 101 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Can the Economy Grow without Hampering the Environment? Ibnu Susanto Osaka University, Japan Corresponding e-mail: [email protected] Global warming and depletion of the ozone layer, land degradation by agriculture, industrial and household pollution, depletion of subsoil resources by mining, and loss of habitat and biodiversity from deforestation, are conspicuous examples of the impacts of economic activity on the environment. Many indicators have been advanced to confirm it. Solution for this problem is that we have to go back to the nature by applying the principles of industrial ecology (IE) on all economic activities. A basic premise of IE is that we should model our systems like natural systems. They are sustainable because many biological ecosystems in natural systems are effective in recycling resources. In mimicking nature, we will maximize the use of waste and minimize the harmful of waste. There are various definitions of IE. A simple definition of IE is to discover how to make sustainable for economic and environmental development with an integrated system approach and the potential benefits of synergistic interactions among the various components of economic activity. One element of IE field is eco-industrial parks (EIP). The EIP concept refers to situations in which a number of different companies, usually in close proximity each other, exchange a variety of waste outputs for reducing resource consumption via reusing and recycling (closed loop system). At present, industry acts more as a collection of open loop system rather than closed loop system, extracting materials and fossil energy from nature, processing them, and dumping unwanted waste back into nature (open loop system). EIP is a new paradigm for changing the nature of industrialization, from Industrial traditional methods to a fully industrial ecology (from open loop system to close loop system). The President's Council on Sustainable Development defined EIP as an industrial system of planned materials and energy exchanges that seeks to minimize energy and raw materials use, minimize waste, 1 and build sustainable economic, ecological and social relationships. See Figure 1 for more clarity on each definition aforementioned. Figure 1. Definitions of natural ecosystem, industrial ecology, and eco-industrial park. Susanto. Can the Economy Grow without Hampering the Environment? 102 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 After three decades of spectacular growth, China passed Japan in the second quarter to become the world’s second-largest economy behind the United State.2 I argue that the success of China is not separated from their success in implementing the EIP concept on the development of industrialization systems in their country. An example of the EIPs’ successful in China is the Tianjin Economic-Technological Development Area (TEDA). TEDA as one of the top three national EIPs in China was established in 1984 with industrial output value was 2 million yuan. In December 2007, TEDA had registered 4485 foreign investment company with a total cumulative investment was US$ 40 billion since 1984. In 2008, the total gross of industrial 3 output value of TEDA was 373 billion yuan. Figure 2. Evolution of the implementation of the EIP concept in China. *)UNEP is the United Nations Environment Programme. **) SEPA is the State Environmental Protection Administration, based on National People’s Congress in Beijing in March 2008, SEPA status was raised to the Ministry of Environmental Protection.3 Figure 2 describes the Chinese government has endeavored in developing industrialization systems. They has been succeed to have 24 industrial parks as the National Trial EIPs as of December 2007. Based on report of Central Bureau Statistics of Indonesia, three main sectors that have biggest role in the distribution of gross domestic product (GDP) by economic sector of business in the year 2009 are industrial sector (24.9%), agricultural sector and trade (15.9%), and hotels and restaurants sector 4 (13.7%). The data shows that the largest contribution in the distribution of Indonesia's GDP is industrial sector. On the other hand, economic progress in the industrial sector has a negative impact on the environment when environmental management systems are not put in place. In my views, development of industrialization system in Indonesia has not been according with the methods and techniques of environmental oriented. Therefore, Indonesia has to immediately do corrective actions to prevent further environmental damage. The best way that should be done by Indonesia is learn and implement international best practices in sustainable industrialization system that were implemented in other countries. Indonesia can learn from China as one of the developing countries that has implemented the EIP concept and has achieved their success in economic and environmental issues. Based on a brief description above about the evolution of implementing the EIP concept in China, lessons learn that can be taken for Indonesia is described in Table 1. Susanto. Can the Economy Grow without Hampering the Environment? 103 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Table 1. Lessons from the implementation of the EIP concept in China. Ideally, we should implement the principles of EI in all economic activities but with respect to data of Central Bureau Statistics of Indonesia, this essay focus on economic activities in industrial sector as a priority. I acknowledge that implementing the EIP concept is not easy, because it requires multidiscipline approach, such as "industrial ecology” itself, business disciplines (production, marketing, economy), engineering, organization science, case studies, etc., and it also has to consider the social, political, cultural, and ethical dimensions. However, this concept is one of the best solutions for better Indonesia because the EIP approach has been proven to be vital for the economic growth of developed and developing countries. I believe with potential existing resources, Indonesia can implement this concept successfully. References 1. 2. 3. 4. The President's Council on Sustainable Development (PCSD)'s website. 1997. Eco-Industrial Park Workshop Proceedings October 17-18, 1996, Virginia. URL: http://clinton3.nara.gov/, accessed on August 28th, 2010. Barboza, D. 2010. China Passes Japan as Second-Largest Economy. URL: http://www.nytimes.com/, accessed on August 29th, 2010. Shi, H., Chertow, M., and Song, Y. 2009. Developing country experience with eco-industrial parks: a case study of the Tianjin Economic-Technological Development Area in China. Cleaner Production; 18: 191-199. Badan Pusat Statistik Indonesia. 2010. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Berita Resmi Statistik th No.12/02/Th.XIII, 10 Februari 2010. URL: http://www.bps.go.id/, accessed on August 29 , 2010. Susanto. Can the Economy Grow without Hampering the Environment? 104 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Waste Management and Waste-to-Energy: Priorities to Overcome Sanitary Problems in Indonesia Aretha Aprilia Department of Socio-Environmental Energy Science, Kyoto University, Japan Corresponding e-mail: [email protected] The exponential rise of municipal solid waste (MSW) that leads to severe sanitary problems is long overdue and become an incessant issue in Indonesia. The magnitude of the problem is signified by the production of nearly 10 million tons of waste per annum in the major urban centers, which increases 2-4 percent annually. It is predicted that by 2019, the volume of waste 1 in Jakarta will exceed the design capacity of Bantar Gebang landfill. The discourse which is put at the centre of this essay relates to the existing policies on energy and waste management in Indonesia that correspond to the urgent need of energy generation from waste. The purpose of this essay is to identify the current policies on energy and waste management in order to recognize the policy gaps in the promotion of clean energy from waste and propose the policy instruments that can be taken into account to improve the current policies. 2 Indonesia has large new and clean energy potential, which includes 50 gigawatt of biomass. With regard to energy from waste, currently the government is targeting 26 megawatt by 2013, 3 whereas at the moment 2 megawatt of energy has been generated. The main constituent of waste generated in Indonesia is organic wastes with over 70 percent, which is potential for 4 energy generation. National Energy Policies and Potentials for Waste-to-Energy The government has issued several key regulations, consisting of Presidential Decree No.5/2006, on the National Energy Policy, Law No.30/2009 on Electrification, Law No.30/2007 on Energy, Law No.15/1985 on electricity, Government Regulation No.03/2005, No.26/2006 regarding the supply and usage of electricity, and Blueprint of National Energy Management 2005-2025. The current overall development of clean and renewable energy is regulated by the Presidential Decree No.5/2006 on National Energy Policy. This decree states that the contribution of new and renewable energy in the 2025 is estimated at 17%, which comprised of 5% biomass, geothermal, nuclear, hydro, and wind. Organic municipal waste is identified as one of the potential source of biomass energy. The government will take measures to add the capacity of biomass of 180 MW by 2020-2024.2 However, specific regulations regarding waste-to-energy are not yet in place.5 The government allocates IDR 144 billion for energy subsidies out of the total IDR 1,13 trillion of 6 National Budget in 2010, which implies 12.6 percent of the total budget. The verity leads to the difficulties in the penetration of clean energy technologies to the market. The removal of subsidies and price caps for conventional energy source is long overdue and prerequisite for the attempt to promote clean energy. The problem is, however, rather complex due to the large portion of Indonesians that still live in poverty. The removal of subsidies for energy would mean the increase of goods and services, which will affect affordability. Hence the adjustment of subsidies should be done in small portion initially, which will be increased gradually before the subsidy is completely removed. It is also strongly recommended that the subsidy is imposed for clean energy to allow market penetration. Aprilia. Waste Management and Waste-to-Energy. 105 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Waste Management Policies: Instruments for Improvements The master plan of waste management is mainly based on two major laws: Law no. 18 year 2008 and the National Regulation no. 21/PRT/M/2006 on National Policy and Strategies for the Development of Waste Management System. The existing laws raised ambiguity with regard to the priorities in waste management that put waste-to-energy and waste minimization as main emphasis. Waste minimization would imply the reduction of feedstock for energy generation, which would be counter-productive to the waste-to-energy applications. Thus it is only recently that the Cleansing Department established the waste hierarchy, which puts waste minimization and prevention as the top priority.1 Therefore the laws and regulations should clearly indicate waste minimization as the priority for waste management and the remaining portion that would end up in the landfill can be used for energy generation both through methane capture and incineration. In order to achieve the goals on optimal waste minimization, retribution can be imposed with volume-based pricing, which implies that the disposal fee is set on a per unit volume basis. Another plausible instrument is refundable deposit systems, of which the initial charge to cover the expenses of disposal that can be refunded upon the return of products for recycling. The individuals or communities that are active to significantly reduce the wastes may also be offered incentives, both for composting and recycling activities. In general terms, the objectives that are established by the regional policies in Indonesia should be accompanied with quantifiable scenarios that include ‘SMART criteria’ (Specific, Measureable, Achievable, Realistic, and Time-bound). These criteria will be useful for evaluation and the policies will translate itself into guidelines for proper waste management and waste-to-energy implementation. References 1. 2. 3. 4. 5. 6. Cleansing Department. 2010. Modul 1: Master plan of Waste Management in Jakarta (Master plan Persampahan di Jakarta). Ministry of Energy and Mineral Resources. 2008. Indonesia’s Renewable Energy Potential. URL: http://www.esdm.go.id/, accessed on August 10th, 2010. Koran Suara Pembaruan. 2010. Bekasi Membutuhkan Sampah. URL: http://www.suarapembaruan.com/, accessed on August 10th, 2010. United Nations Environment Programme, International Environmental Technology Centre. (2002). State of Waste Management in South East Asia. URL: http://www.unep.or.jp/ietc/publications/spc/State_of_waste_Management/2.asp, accessed on August th 5 , 2010. International Energy Agency. 2008. Energy Policy Review of Indonesia. URL: http://www.iea.org/, accessed on August 23th, 2010. Government of Indonesia. 2010. Law of Republic of Indonesia No.2/2010 on Amendment of Law No.47/2009 on National Budget and Expenditures fiscal year 2010. URL: http://www.esdm.go.id/prokum/uu/, accessed on July 2th, 2010. Aprilia. Waste Management and Waste-to-Energy. 106 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Towards a Country without Unemployment: The Role of Entrepreneurship Mukhamad Najib The University of Tokyo, Japan Corresponding e-mail: [email protected] “People who have a good life are usually those who always give the beneficence to others. Entrepreneurial activities provide good opportunities for us to help more people by providing employment. This is a matter of principle; because it causes people no longer dependent.”1 Sixty five years after the independence, Indonesia has not been able to carry out the mandate of independence in terms of promoting general welfare. Government efforts in developing education do not imply a lot on the resolution of unemployment and poverty problems. Every time the students finish their education this nation also adds a long list of unemployment. The statistics showed that the unemployment level of university graduates reached 385,400 people in February 2005, and the level increased to 409,000 in February 2007. The unemployment level kept increasing until February 2008 (624,200 people). It made into a total number of 9,259,000 people in February 2009. This number consists of unemployment at university level (626,600 people), diploma level (486,400 people), vocational high school (Sekolah Menengah Kejuruan) 2 (1,337,600 people), and combination of junior high, elementary and pre-schools. Many schools promise that their graduates will be ready to work. But, the promise is becoming less meaningful since, in fact, the job opportunities do not grow in line with the growing number of graduates of educational institutions in our country. As a consequence, the growth of educated unemployment is faster than the growth of the new jobs. Of course, the government is not the only one that is responsible for the unemployment. Every citizen needs to participate in reducing poverty and unemployment. The basic function of education is aimed for creating human beings who are able to resolve their own problems and the problems surrounding them. The best way to encourage educated people to help the government in solving the unemployment is to give them the opportunity to help themselves. With the knowledge they have, the educated people can be part of a solution instead of a new problem for the government and the society. Being an entrepreneur is one of the solutions. Someone who wants to work for him or herself is considered to be an entrepreneur. The word ‘entrepreneur’ originates from French word entreprendre, which means "to undertake". In business context, entrepreneur means to start a business. The Merriam-Webster Dictionary presents definition of an entrepreneur as one who organizes, manages, and assumes the risks of a business. Many researches showed positive relationship between entrepreneurship and economic growth. For instance, Schumpeter suggested that entrepreneur is the engine of economy and national competitiveness. Schumpeter argued that the entrepreneur is an innovator, one that introduces new technologies into the workplace or market, increases efficiency, productivity or generates 3 new products or services. In relation with the alleviation of unemployment, we have many examples how entrepreneurship play an important role. Small and medium enterprises (SMEs) are example for implementation of entrepreneurial spirit. Nowadays, the number of SMEs in Indonesia is about 51.3 million units. SMEs are the dominant player in Indonesian economy since they comprise 99.9% of total economic players. They are able to absorb as many as 90,896,270 out of 93,491,243 national 4 workers (97.22%). We can imagine if 20% of 51.3 million units of SMEs recruit one employee: unemployment will disappear in a crack. Najib. Towards a Country without Unemployment: The Role of Entrepreneurship. 107 INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010 Nowadays, there are a lot of education institutions that only offers programs to prepare student to become a worker. With such kind of education, it is not surprising if the mindset embedded in the mind of the students is how to get a job as soon as possible after they leave the school. It is because they think that getting a job is a symbol of a success. When unemployment rate grows faster than the number of new jobs, the nation does not need graduates who are only ready for the job, but also independent. In other words, the nation needs graduates who are ready to resolve the problems of their own and their environments by creating new jobs. Many ways can be done to make new entrepreneurs. One of the ways is to provide apprenticeship for young entrepreneurs. In this apprenticeship process, prospective entrepreneur is not treated as a worker, but as an owner (or a person in charge) of the business instead. One can also take an initiative, and start a small undertaking alone or with some partners. A success criterion is this: someone knows how to create and run the business. The business idea should be feasible; hard work and some “entrepreneurial DNA” must be nurtured. If as many as 620,000 unemployed graduates can be trained as entrepreneurs, and each graduate can employ five people, more than three million unemployed can be reduced in a short time. Creating new entrepreneur should be accompanied by efforts to improve the performance of existing entrepreneurs (SMEs), where the number reaches 51.3 million units. If 20% of SMEs are able to improve their performance, i.e. each SME is able to recruit a new workforce, it is not impossible that this country would get rid of unemployment, and the state without unemployment will be a reality. References 1. 2. 3. 4. I heard such statement from my friend who chosed to become an enterpreneur rather than a government employee (pegawai negeri sipil or PNS). Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan. Badan Pusan Statistik. 2009. URL: http://dds.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=4 accessed on August 10, 2010 Schumpeter, J.A. Economic theory and entrepreneurial history. In: Explorations in enterprise. Aitken, H.G.J. (Editor). Cambridge, MA: Harvard University Press. 1965: 45-64. Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia. Rencana strategis 2010-2014. URL: http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=category&id=20:rencana-strat egis-2010-2014&Itemid=82 accessed on August 10, 2010. Najib. Towards a Country without Unemployment: The Role of Entrepreneurship. 108 Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi (font: Arial 12 points, bold) Nama penulis-1, nama penulis-2, dst (font: Arial 10.5 points, bold) Afiliasi penulis (font: Arial 10 points) Korespondensi: [email protected] (font: Arial 10 points, italic) Abstrak (font: Arial 10 points, bold) Abstrak harus ditulis dalam text box ini tidak lebih dari 250 kata. Isi abstrak antara lain ruang lingkup penelitian (apa yang akan anda sampaikan, ukur, analisis dan lainnya), metode penelitian, hasil analisis dan kesimpulan secara singkat. Sertakan maksimal lima kata kunci untuk mempermudah pencarian. Kata kunci: artikel, abstrak, kata ©2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1. Inovasi (font: Arial 10 points, bold) Majalah INOVASI (ISSN: 0917-8376) diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (http://www.ppi-jepang.org/) sebagai majalah ilmiah semi-populer berkala dan bersifat on-line untuk menyajikan tulisan-tulisan berbagai topik, seperti IPTEK, sosial-politik, ekonomi, pendidikan, dan topik humaniora lainnya. Majalah INOVASI berfungsi sebagai media untuk mengartikulasikan ide, pikiran, maupun hasil penelitian dalam rangka memperkaya wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan. Website Inovasi: http://io.ppijepang.org/ 2. Kategori artikel Majalah INOVASI menerima naskah baik yang bersifat ilmiah populer maupun ilmiah non-populer dengan kategori sebagai berikut: 2.1. Artikel populer Berisi tentang ide-ide atau gagasan baru yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Ditulis dalam bahasa Indonesia dengan ejaan yang disempurnakan (EYD) dan tidak lebih dari 6000 karakter atau maksimal 4 halaman. 2.2. Artikel non-populer Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan dan tidak akan dipublikasikan di media lainnya. a. Maksimal 9000 karakter atau tidak lebih dari 6 halaman dan ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris. b. Judul harus menggambarkan isi pokok secara ringkas dan jelas serta tidak melebihi 10 kata. c. Struktur naskah terdiri atas Pendahuluan, Uraian Isi (metode dan pembahasan), kesimpulan dan daftar pustaka. Judul bab tidak harus seperti struktur naskah tersebut, misal: I. 109 d. e. f. g. Pendahuluan, II. Uraian… Akan tetapi dapat disesuaikan, misal: Perspektif Pertanian 5 tahun masa reformasi (mewakili pendahuluan)… dst. Huruf pertama setiap kata dalam judul bab harus ditulis dengan huruf kapital Pendahuluan berisi latar belakang/masalah, hipotesis, pendekatan dan tujuan yang hendak dicapai. Uraian isi terdiri dari judul bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dan informasi yang tersedia. Apabila naskah ini menyampaikan hasil penelitian yang khas, judul bab dalam uraian isi dapat terdiri dari Bahan dan Metode serta Hasil dan Pembahasan. Sangat disarankan jika dalam uraian isi/pembahasan bersifat kuantitatif. Misal: A lebih besar 10% daripada B, bukan A lebih besar dari B. Kesimpulan memuat secara singkat hasil yang telah diuraikan sebelumnya. Dapat dibuat dengan menggunakan penomoran atau dalam satu paragraph. 3. Format penulisan artikel Ukuran kertas: A4; Margin atas: 3.5 cm; margin kiri, kanan dan bawah: 3 cm; tulisan: 1 kolom; spasi: tunggal; jenis huruf: Arial; ukuran: 10 points. Judul, nama penulis, afilisasi penulis dan alamat email ditulis dalam 1 kolom (center). Judul ditulis dengan font Arial, 12 points, bold, huruf kapital. Nama penulis ditulis dengan font Arial, 10.5 points, bold. Afiliasi penulis ditulis dengan font Arial, 10 points. Alamat email ditulis dengan font Arial, 10 points, italic. Satuan ditulis dalam unit satuan internasional (SI Unit) misalnya meter atau milimeter, kg atau gram, Newton dan lainnya. Pemisahan desimal untuk dimensi berat, tinggi dan waktu ditulis menggunakan titik (.) misalnya 3.4 m. Tanda koma (,) digunakan untuk memisahkan desimal pada besaran mata uang (misalnya : Rp 1,005,500,00) 4. Penulisan gambar/ilustrasi Gambar harus disertakan dengan resolusi tinggi supaya mempermudah pengamatan. Gambar/Ilustrasi diberi nomor dan judul singkat. Sumber kutipan dicantumkan dengan jelas (jika gambar/ilustrasi merupakan hasil kutipan). Judul diletakkan di bawah gambar/ilustrasi dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan setiap kata diawali dengan huruf besar, kecuali kata-kata seperti, dan, atau, dalam, kata depan, yang, untuk. Gambar harus didiskusikan dalam teks utama (gambar berperan dalam mempermudah penyampaian gagasan dan paparan). Gambar 1. Kata “gambar” harus ditulis dengan huruf biru untuk memudahkan pencarian dari teks utama 5. Penulisan tabel Judul tabel diletakkan di atas tabel dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan ditulis mengikuti aturan seperti penulisan Judul Gambar. Catatan mengenai isi tabel (misal “sumber” atau satuan) dapat diletakkan dibawah tabel. 110 Tabel 1. Kata “tabel” harus ditulis dengan huruf biru Frekuensi Standard Deviasi (cm/s) (kHz) N=10 N=12 76.8 6.723 4.751 104.6 3.375 2.112 205.1 2.418 1.869 Sumber: Inovasi Online 6. Pengiriman naskah Naskah dikirim melalui elektronik mail dalam bentuk attachment file MS Word (*.doc atau *.docx) atau ke alamat redaksi INOVASI online sebagai berikut: [email protected] Referensi Referensi diketik dengan menggunakan font 9. Referensi setiap sumber harus dirujuk dan disusun berdasarkan urutan pemunculan dalam naskah dengan menuliskan angka arab dalam format subscript tanpa tanda kurung, ditulis setelah tanda titik. Misalnya: “Majalah Inovasi Online merupakan majalah ilmiah yang diterbitkan PPI Jepang.1” - Cara penulisan referensi dari majalah ilmiah Urutan penulisannya mulai dari nama pengarang (diakhiri tanda ”titik”), judul (diakhiri tanda ”titik”), nama majalah (diakhiri tanda ”titik”), tahun terbit (diakhiri tanda ”titik koma”), volume dan bila ada diikuti nomor (nomor ditulis dalam tanda kurung, tanpa spasi setelah volume, kemudian diakhiri tanda ”titik dua”), halaman (diakhiri tanda ”titik”). Penulisan nama pengarang dimulai dari ”nama akhir (nama keluarga)” diikuti inisial ”nama awal” dan bila ada inisial ”nama tengah” tanpa tanda ”koma” ataupun ”titik” di antara ”nama keluarga” dan inisial ”nama awal” maupun ” nama tengah”. Bila jumlah nama pengarah tujuh atau kurang, ditulis semua; tetapi bila lebih dari tujuh, maka cukup ditulis enam nama pertama diikuti kata ”dkk.” (bila artikel ditulis dalam Bahasa Inggris maka ditulis ”et al.”). Contoh: 1. 2. 3. Bucchi A, Plotnikov AN, Shlapakova I, Danilo P Jr, Kryukova Y, Qu J, et al. Wild-type and mutant HCN channels in a tandem biological-electronic cardiac pacemaker. Circulation. 2006. 114(16): 992-999. Cai J, Lin G, Jiang H, Yang B, Jiang X, Yu Q, Song J. 2006. Transplanted neonatal cardiomyocytes as a potential biological pacemaker in pigs with complete atrioventricular block. Transplantation. 81:1022-1026. Sudaryanto A, Kartono M. Petunjuk penulisan ilmiah. Inovasi Online. 2010; 9:6-9. - Cara penulisan referensi dari buku Urutan penulisannya mulai dari nama pengarang (diakhiri tanda ”titik”), judul (diakhiri tanda ”titik”), nama buku (diakhiri tanda ”titik”), nama editor buku, dikuti kata ”(Ed.)” yang merupakan kependekan dari ”Editor” (diakhiri tanda ”titik”), nama kota penertbitan (diakhiri tanda ”titik dua”), nama penerbit (diakhiri tanda ”titik”), tahun terbit (diakhiri tanda ”titik dua”), halaman (diakhiri tanda ”titik”). Contoh: 4. Basuki A. Panduan penulisan untuk majalah ilmiah. Dalam: Strategi menulis. Suryanegara L, Junaidi B (Ed.). Jakarta: Gramedia. 2010: 16-20. - Cara penulisan referensi dari laman internet Referensi yang berasal dari laman internet (website) harus menyertakan uniform resource locator (URL) dan tanggal referensi tersebut diakses. Nama judul artikel dan (bila ada) nama penulis dicantumkan. Contoh: 111 5. Maryadi J. Arsitektur Tradisional Ternate - Tidore dan Halmahera (Studi Analisa Konstruksi Tradisional). URL: http://busranto.blogspot.com/2007/04/arsitektur-tradisional-ternate-dan.html diakses tanggal 10 Juni 2010. Contoh, bila artikel ditulis dalam Bahasa Inggris: 6. Arsitektur tradisional, perkembangan dan analisis. URL: http://busranto.blogspot.com/2007/04/arsitektur-tradisional-ternate-dan.html accessed on June 10, 102010. 112 DEWAN EDITOR Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online Dewan Editor Inovasi Penanggung Jawab Fithra Faisal Hastiadi Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Jepang Waseda University Editor Utama Udin Bahrudin Tottori University Universitas Diponegoro Editor Joni Jupesta Retno Ninggalih United Nations University, Tokyo Sendai, Tohoku Arief Yudhanto Nirmala Hailinawati Tokyo Metropolitan University Tokyo Institute of Technology Cahyo Budiman Brian Wasita Osaka University Institut Pertanian Bogor Tottori University Universitas Sebelas Maret Maharani Hapsari Haryanto Nagoya University Universitas Gadjah Mada Kanazawa University STIK Muhammadiyah Pontianak Pandji Prawisudha Vita Paramita Tokyo Institute of Technology Tottori University Universitas Diponegoro Teguh Dartanto Oce Madril Nagoya University Universitas Indonesia Nagoya University Universitas Gadjah Mada Editor Bahasa Indonesia Dina Faoziah Tokyo University of Agriculture and Technology Layout & Cover Arief Yudhanto Dewan Editor 112 DEWAN EDITOR Vol. 18 | XXII | November 2010 INOVASI online Produksi Bayu Indrawan Retno Ninggalih Tokyo Institute of Technology Sendai, Tohoku Foto Cover Muhammad Kunta Biddinika Tokyo Institute of Technology Fikri Muftih Akbar Fotografer freelance | fikrimuftihakbar.tumblr.com | Jakarta Reviewer Tamu IGB Baskara Nugraha, Ph.D. Agustan, Ph.D. University of Electro-Communications, Tokyo Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Republik Indonesia Dr. Eng. Abu Khalid Rivai Tri Harsono Japan Atomic Energy Agency Saga University, Japan Sukmayati Rahmah, MT dr. Gunadi, Ph.D. Universitas Islam Negeri, Malang Universitas Gadjah Mada Dewan Editor 113 Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia