petunjuk singkat museum negeri aceh

Transcription

petunjuk singkat museum negeri aceh
1532
RI PENERBITAN
USEUM NEGERI ACEH
N
PETUNJUK SINGKAT
MUSEUM NEGERI ACEH
PROYEK REHABILITASI DAN PERLUASAN MUSEUM
DAERAH ISTIMEWA ACEH
f.lSV* . /i/
SERI PENERBITAN
MUSEUM NEGERI ACEH
8
PETUNJUK SINGKAT
MUSEUM NEGERI ACEH
£
VOOR
£
PROYEK REHABILITASI DAN PERLUASAN MUSEUM
DAERAH I3TBVŒWA A€EH
1 Q8?
-
KATA PENGANTAR
Seri Penerbitan Museum Negeri Aceh nomor 8 ini diterbitkan dengan judul "Petunjuk Singkat Museum Negeri Aceh",
yang disusun oleh team pengelola Museum Negeri Aceh. Hasrat untuk menerbitkan buku petunjuk singkat telah lama direncanakan, namun baru saat ini kami dapat menyajikan kehadapan para pembaca dengan segala kekurangannya.
Buku Petunjuk Singkat Museum Negeri Aceh yang sederhana
ini dimaksudkan sebagai bahan informasi bagi para pengunjung
tentang kehadiran Museum Negeri Aceh sebagai wadah pelestarian dan pementasan warisan budaya Nasional. Buku petunjuk ini tidak menguraikan seluruh koleksi yang dimiliki oleh
Museum Negeri Aceh, tetapi merupakan ringkasan riwayat
perkembangan museum serta potensinya, landasan bagi pengumpulan koleksi, sistimatika tata pameran dan beberapa
koleksi utama yang dapat dijadikan dasar stimulant (ransangan> untuk kemajuan dan pengembangan lebih lanjut bagi
Museum Negeri Aceh.
Dalam era pembangunan sekarang ini kita dihadapkan kepada
kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern dengan
segala akibatnya seperti perobahan dalam bidang sosial dan
politik, pergeseran nilai-nilai kebudayaan dan lain-lain. Namun
prinsip dasar kegiatan museum tidak berobah yaitu memberikan respon terhadap perjalanan sejarah umat manusia pada
umumnya, perkembangan kebudayaan dan perubahan alam
pada khususnya. Museum Negeri Aceh pun diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan serupa.
Kami menyadari bahwa Buku Petunjuk ini masih belum sempurna, baik materi maupun tehnik serta bentuk penyajiannya.
Oleh karena itu saran-saran dari berbagai pihak dalam usaha
perbaikannya sangat kami harapkan. Kepada mereka yang
telah berusaha menyusun naskah buku ini kami menyampaikan terima kasih.
Akhirnya, harapan kami semoga buku ini ada manfaatnya
bagi kita sekalian, terutama bagi para pengunjung Museum
Negeri Aceh.
Banda Aceh, Pebruari
Museum Negeri Aceh
Kepala,
Drs. Zakaria Ahmad
NIP. 130 427 706
1982
DAFTAR
ISI
Halaman :
Pengantar
Daftar Isi
Lokasi Museum Negeri Aceh
Denah Museum Negeri Aceh
6
Riwayat Singkat Museum Aceh
*^.
Sedikit Uraian Mengenai Bentuk Arsitektur Bangunan-bangunan pada Bangunan Museum Aceh
21.
Aceh, Daerah dan Rakyatnya
24.
Sistimatika tata pameran
Foto-foto koleksi
^
2
n
r
Denah Komplek Museum Negeri Aceh
Keterangan :
1. Lonceng Cakra Donya.
2. Gedung Pameran Khusus, Perpustakaan dan Ruang Tata
Usaha.
3. Rumah Aceh.
4. Auditorium.
5. Makam-makam Sultan.
6. Gedung Pameran Tetap.
7. Laboratorium.
8. Ruang Studi koleksi, Preparasi dan Storrage.
9. Rumah Kepala Museum.
6
Menteri P dan K DR. Daoed Joesoef sedang menanda tangani prasati peresmian Museum Negeri Aceh. Di sebelah
kanan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Prof.
A. Madjid Ibrahim dan di sebelah kiri Kepala Kantor
Wilayah Departemen P dan K Propinsi Daerah Istimewa Aceh Drs. Athaillah.
8
Menteri P dan K DR. Daoed Joesoef sesaat melakukan
pengguntingan pita di gedung pameran tetap sebagai pertanda peresmian Museum Negeri Aceh pada tanggal
1 September 1980.
Menteri P dan K DR. Daoed Joesoef dengan didampingi Gubernur Aceh Prof. A. Madjid Ibrahim, Rektor
Universitas Syiah Kuala Prof. DR. Ibrahim Hasan dengan
diantar oleh Kepala Museum Negeri Aceh Drs. Zakaria
Ahmad sedang menyaksikan pameran pada upacara
peresmian Museum Negeri Aceh.
10
Direktur Jenderal Kebudayaan Dep. P dan K Prof.
DR. Haryati Soebadio bersama Menteri P dan K DR.
Daoed Joesoef sedang menyaksikan pameran buku tentang Aceh pada upacara peresmian Museum Negeri
Aceh dengan diantar oleh Kepala Museum Drs. Zakaria
Ahmad.
11
Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. DR. Haryati Soebadio bersama Direktur Permuseuman Drs. Moh. Amir Sutaarga sedang melakukan peninjauan pameran yang didampingi Pimpinan Proyek Museum Drs. Nasruddin
Sulaiman.
12
Gedung pameran tetap Museum Negeri Aceh.
Gedung pameran khusus, perpustakaan dan ruang tata
usaha.
13
RIWAYAT SINGKAT MUSEUM ACEH.
Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia
Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil
dan Militer Aceh Jenderal H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli
1915. Bangunannya merupakan sebuah rumah Aceh (Rumoh
Aceh) yang berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di
arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di
Semarang pada tanggal 13 Agustus — 15 Nopember 1914.
Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang tersebut,
Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi F.W. Stammeshaus, yang pada tahun
1915 menjadi Kurator Museum Aceh yang pertama. Selain
koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi
berupa benda-benda pusaka para pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang paling
lengkap koleksinya.
Sistimatika penataran pameran di Paviliun Aceh pada Pameran
Kolonial tersebut memperlihatkan gambaran mengenai etnografika dan hasil-hasil kesenian, alat-alat pertenunan Aceh dan
hasil-hasilnya yang telah terkenal pada masa itu, senjata-senjata tajam yang diperlengkapi dengan foto-foto cara mempergunakannya. Penanggung jawab koleksi dan penataannya ditangani oleh F.W. Stammeshaus dan Overste Th. J. Veltman
yang dikirim khusus oleh Gubernur Aceh Jenderal H.N.A.
Swart. Disamping pameran tersebut, di muka Paviliun setiap
saat dipertunjukkan tari-tarian Aceh.
Sebagai tanda keberhasilan dalam pameran itu Paviliun Aceh
memperoleh 4 mendali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Ke empat mendali
emas tersebut diberikan untuk : pertunjukan, boneka-boneka
Aceh, etnografika, dan mata uang; perak untuk : pertunjukkan, foto, dan peralatan rumah tangga.
Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke
Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Ide ini diterima oleh
14
Gubernur Swart. Atas prakarsa Stammeshaus Paviliun Aceh itu
dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur
Biang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini
berada di bawah tanggung jawab penguasa sipil dan militer
Aceh dengan kuratornya yang pertama F.W. Stammeshaus.
Setelah Indonesia merdeka Museum Aceh menjadi miliki Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada
Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas
prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan
dari tempatnya yang lama (Biang Padang) ke tempatnya yang
sekarang ini. Setelah pemindahan ini pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat.
Sejalan dengan program Pemerintah tentang pengembangan
Kebudayaan, khususnya pengembangan Permuseuman, sejak
tahan 1974 Museum aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi
bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunanbangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas. Selain
untuk pembangunan sarana/gedung Museum, dengan biaya
Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan,
secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas.
Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala
Daerah Istimewa Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iakandarmuda (Baperis) Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 September 1975 nomor 538/1976
dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Propinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidik15
an dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk
menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Propinsi
baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor : 093/0/
1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah
menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal
1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
DR. Daoed Yoesoef.
Selain Museum Aceh, di Aceh pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda terdapat pula sebuah Museum Militer yang diberi
nama Atjehsch Leger Museum yang didirikan pada tanggal
7 Januari 1937. Museum ini merupakan sebagai Museum
Militer yang pertama di Hindia Belanda. Atjehsch Leger
Museum tidak berusaia lama, karena dengan masuknya tentera Jepang tahun 1942 museum ini tidak dapat diselamatkan
lagi.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Museum Aceh, sesuai
dengan perjalanan sejarahnya, pengelolaannya telah saling
berganti. Hal ini juga disebabkan oleh karena perjalanan
sejarah dari Daerah Aceh pada khususnya dan bangsa Indonesia
pada umumnya. Untuk itu pengelolaan Museum Aceh dapat
disebutkan :
1. Pemerintah Hindia Belanda (31 Juli 1915 - 1942).
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda Museum Aceh
dikelola oleh Pemerintah Belanda yang berada di bawah
tanggung jawab Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya.
2. Pemerintah Militer Jepang ( 1942 - 1945 ).
Sejak saat pendaratan Jepang di Aceh pada bulan
Maret 1942, Museum Aceh tidak pernah berhenti kegiatannya. Pada masa ini pengelolaan Museum beralih dari
Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Jepang.
3. Pemerintah Daerah Aceh ( 1945 - 1968 ).
Sejak Indonesia Merdeka, museum ini yang dulunya
berada langsung di bawah Pemerintahan jajahan, dengan
sendirinya beralih tanggung jawab kepada Pemerintah
Republik Indonesia yang dalam hal ini Pemerintah Daerah
Istimewa Aceh. Dalam pengelolaan sehari-hari pada masa
ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Aceh Besar.
Setelah terbentuknya Kotapraja Kutaraja (Kotamadya
Banda Aceh sekarang) pengelolaannya dialihkan pula dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar kepada Pemerintah Kotapraja Kutaraja.
Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS),
(1969 - 1980).
Pada tahun 1969 Museum Aceh di pindah dari tempat
yang lama ketempat yang sekarang ini dan sekaligus pengelolaannya berada di bawah Badan Pembina Rumpun
Iskandarmuda. Sesuai dengan hasil keputusan rapat Pengurus Rumpun telah ditunjuk seorang dari pengurus
Pusat untuk memimpin Museum yaitu Drs. Zakaria Ahmad. Museum Aceh di bawah pembinaan Baperis telah
dapat menambah koleksinya terutama melalui kerjasama
dengan beberapa pihak di Negeri Belanda, baik perorangan maupun lembaga resmi seperti Museum. Dengan kerjasama ini telah dikembalikan beberapa koleksi yang berasal
dari Aceh, baik dalam bentuk asli maupun replika.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1980 — sekarang).
Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan seperti tersebut di atas, sejak
1 September 1980 Museum ini langsung berada di bawah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Museum Negeri
Aceh pada saat ini merupakan sebuah unit pelaksana tehnis
di bidang Kebudayaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktorat Jenderal Kebuda-y aan. Sebagai sebuah Museum Negeri di Propinsi mempunyai tugas menyelenggarakan pengumpulan, perawatan,
pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan memberikan bimbingan edukatif kulturil tentang
benda bernilai budaya dan ilmiah yang bersifat regional.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut Museum Negeri Propinsi mempunyai fungsi :
a. melaksanakan pengumpulan, perawatan, pengawetan
dan penyajian benda yang bernilai budaya dan ilmiah;
b. melaksanakan perpustakaan, dokumentasi dan penelitian ilmiah ;
c. memperkenalkan dan menyebarluaskan hasil penelitian
kebudayaan daerah berdasarkan koleksi ;
d. melaksanakan bimbingan edukatif kultural tentang
benda yang bernilai budaya dan ilmiah pengetahuan;
e. melaksanakan urusan tata usaha.
Dalam melaksanakan tugasnya dan menjalankan fungsifungsi seperti tersebut di atas dilaksanakan sepenuhnya oleh
Kepala Museum dibantu oleh Kepala-kepala Seksi yang terdiri
dari Sub Bagian Tata Usaha, Seksi Koleksi, Seksi Konservasi
dan Preparasi, dan Seksi Bimbingan Edukasi.
Dalam melayani masyarakat, Museum Negeri Aceh selain menyelenggarakan pameran tetap, juga menyelenggarakan pameran khusus (temporer), dan pameran keliling.
Pada pameran khusus yang diketengahkan hanya sejenis koleksi saja dengan tujuan agar para pengunjung dapat mengenal
lebih mendalam tentang koleksi yang dipamerkan, baik teknis
pembuatannya, manfaatnya, filsafatnya, nilai seninya dan
aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan koleksi tersebut. Pameran khusus ini diselenggarakan di ruangan pameran
khusus di Museum Negeri Aceh.
Pameran Keliling pada dasarnya sama dengan pameran khusus,
yaitu hanya memamerkan sejenis koleksi juga, tetapi penyelenggaraannya bukan di gedung Museum Negeri Aceh tetapi di
ibukota Kabupaten, terutama Kabupaten yang telah memiliki
Museum Daerah.
Di samping menyelenggarakan pameran-pameran tersebut,
18
Museum Negeri Aceh juga melakukan study koleksi yang
merupakan penelitian secara ilmiah terhadap koleksi-koleksi
yang ada di museum. Hasil penelitian koleksi tersebut diterbitkan dan disebar luaskan dalam bentuk buku-buku ilmiah
"Seri Penerbitan Museum Negeri Aceh". Penelitian terhadap
koleksi museum tersebut dilakukan oleh para ahli dan ilmuan
dalam bidangnya masing-masing.
Buku-buku hasil penelitian yang telah diterbitkan dalam
Seri Penerbitan Museum Negeri Aceh antara lain :
1. Hikayat Aceh,
2. Kesultanan Aceh,
3. Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan Aceh,
4. Cakra Donya, (sebuah lonceng zaman Kesultanan
Aceh),
5. Cap Sikureung (Stempel Kesultanan Aceh),
6. Reuncong (Rencong Aceh).
Dengan penerbitan ini diharapkan agar masyarakat, terutama
para peneliti, mahasiswa dan pelajar dapat memahami dan mengenal masyarakat Aceh secara lebih mendalam baik ditinjau
dari segi sejarahnya maupun dari segi kebudayaannya.
Kegiatan bimbingan edukatif kultural dilakukan melalui ceramah-ceramah baik yang bersifat ilmiah maupun populer.
Ceramah ilmiah diberikan oleh para ahli dan ilmuan dalam
bidangnya masing-masing, sedangkan ceramah populer diberikan oleh petugas museum terutama kepada para pengunjung
yang datang berombongan, para pelajar dan para turis. Bimbingan edukatif kultural juga dilakukan melalui pemutaran
film dokumentasi, slide, dan melalui fasilitas perpustakaan
Museum Negeri Aceh.
19
STRUKTUR ORGANISASI
MUSEUM NEGERI ACEH
Kepala
Drs. Zakaria Ahmad
Subbag Tata Usaha
Pieter Bangun
Seksi Koleksi
Drs. Nasaruddin Sulaiman
Seksi Konservasi
dan Preparasi
Seksi Bimbingan
M. Salim Wahab
T.M. Yunan
SEDIKIT URAIAN MENGENAI BENTUK ARSITEKTUR
BANGUNAN-BANGUNAN PADA BANGUNAN
MUSEUM ACEH
Museum Negeri Aceh pada saat sekarang ini memiliki beberapa buah bangunan gedung, yang masing-masing mempunyai fungsi serta gaya bangunan tersendiri. Untuk menjelaskan
gaya bangunan itu, kita harus menerangkan satu persatu dari
gedung tersebut.
A. R u m o h A c e h .
Gedung Museum Aceh yang lama adalah berbentuk rumoh
Aceh.
Bangunan ini dibuat dalam bentuk arsitektur tradisional Rumoh Aceh, yang merupakan rumah tempat kediaman orangorang Aceh. Rumah Aceh (Rumoh Aceh) terdiri dari serambi
depan, serambi belakang dan ruang tengah, yang dalam bahasa
Aceh disebut "Seuramo keu", "Seuramo likot" dan "Rumoh
inong." Masing-masing ruang tersebut pada rumoh tempat
tinggal mempunyai fungsi tersendiri yaitu : serambi depan
antuk tempat penerimaan tamu, serambi belakang berfungsi
sebagai ruang makan dan dapur, sedangkan rumoh inong atau
ruang tengah sebagai kamar tidur yang disebut jurie. Bentuk
inilah yang dipergunakan sebagai bangunan gedung Museum
lama. Pada bangunan ini di lengkapi dengan bagian-bagian
penting dimiliki oleh sebuah rumah Aceh seperti tolak angin,
pelangan, ukiran-ukiran dan lain-lainnya.
B. Gedung Pameran tetap dan gedung pameran temporer.
Gedung pameran tetap dan gedung pameran sementara
(temporer) adalah dua buah gedung yang dibangun baru. Bangunan ini adalah merupakan paduan antara arsitektur tradisional dengan arsitektur modern. Arsitektur mencoba mengadakan pendekatan antara kedua bentuk arsitektur tersebut
yang diolah sedemikian rupa untuk dapat memenuhi fungsi
dan kebutuhannya. Dengan demikian bentuk bangunan ini
2
merupakan bangunan tradisional yang menyerupai rumah
Aceh yang telah dipermodern.
C. Gedung Auditorium.
Gedung Auditorium yang juga merupakan bangunan baru
sebagai kelengkapan dari bangunan Museum. Pada bangunan
ini arsitek mencoba kembali mengexpose sebuah bentuk
arsitektur tradisional yang merupakan sebuah bangunan
"Balai Gading". Balai gading adalah sebuah bangunan yang
pada zaman Kerajaan Aceh mempunyai fungsi sebagai gedung
tempat bermusyawarah atau bersidang.
Balai gading juga berfungsi sebagai gedung Dewan Perwakilan
Rakyat pada masa itu.
D. Bangunan Pintu gerbang dan pagar.
Pintu gerbang masuk ke Komplek Museum Negeri Aceh
ada dua buah yaitu di depan Museum (bagian Barat) dan di
bagian Selatan. Motif dari bentuk bangunan pintu gerbang
juga mempunyai corak arsitektur tradisional, yang berbentuk
"Kulak Kama" (Mahkota) sebagai penutup kepala.
Pada masyarakat Aceh bentuk tersebut banyak di pergunakan
sebagai ukiran hiasan pada "ujong tameh puntong" (ujung
tiang putus) pada bangunan-bangunan rumah Aceh.
Pagar pekarangan yang tersebut dari besi di bagian depan
komplek Museum mempergunakan motif bungong awan-awan
(bunga mega). Motif ini sangat digemari oleh masyarakat
Aceh. Hal ini terlihat dengan banyaknya dipergunakan motif
ini untuk ornamen-ornament pada hiasan-hiasan rumah seperti
pada ukiran tulak angin, daun pintu, peulangan, teralis-teralis
pada serambi ddan lain-lain.
Inilah beberapa gaya dari bangunan-bangunan pada Museum
Negeri Aceh, baik bangunan lama maupun bangunan baru yang
kesemuanya dipadukan dengan bentuk arsitektur tradisional
yang disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya masing-masing.
22
Dari bangunan-bangunan gedung yang telah ada dengan luas
seluruhnya 2.134 m2 yang dibangun di atas tanah milik Negara
seluas 9.400 m2, dana yang telah dipergunakan baik untuk
pembangunan fisik, pengadaan koleksi, fungsionalisasi dan
lain-lain kegiatan melalui Proyek Pelita telah berjumlah Rp.
670.978.000,-
III. ACEH, DAERAH DAN RAKYATNYA.
A. GEOGRAFI.
1. Lokasi dan Luasnya.
Propinsi Daerah Istimewa Aceh adalah Propinsi yang
letaknya paling ujung sebelah Barat dari Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Disebelah Utara Wilayah
Propinsi ini terdapat jalur perdagangan Internasional
yang cukup ramai yaitu Selat Malaka.
Batas-batas dapat disebutkan sebagai berikut :
— Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka dan
— Sebelah Selatan berbatas dengan Propinsi Sumatera
Utara dan Samudera Indonesia.
— Sebelah Barat berbatas dengan Samudera Indonesia.
— Sebelah Timur berbatas dengan Selat Malaka dan
Propinsi Sumatera Utara.
Luas Propinsi Daerah Istimewa Aceh seluruhnya adalah
55.390 km persegi, dimana 72,5% terdiri dari hutan
belantara dan belukar, 8% berupa padang rumput dan
alang-alang, 11,5% merupakan daerah pertanian dan perkebunan sedangkan selebihnya yaitu 8% berupa daerah
campuran.
Dataran rendah yang luas terletak di bagian Utara dan
Timur. Di pantai Barat terdapat dataran rendah yang
sempit. Daerah pedalaman dan bagian Selatan pada
umumnya merupakan daerah pegunungan dan dataran
tinggi. Daerah pegunungan ini diperkirakan 75% dari
luas dari seluruh wilayah Aceh, sedangkan dataran rendah hanya 25% dari luas wilayah.
2. Gunung-gunung, sungai-sungai dan danau-danau.
Dataran Aceh merupakan bagian dari Bukit Barisan
yang membentang dari ujung Utara sampai ujung Selatan. Lanjutan Bukit Barisan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagian besar terletak dibagian Selatan dan
Barat.
Dari pegunungan ini sebagian besar sungai24
sungai utama di Aceh bersumber. Sungai-sungai yang
utama dan besar mengalir ke pantai Utara dan Timur.
Gunung-gunung yang terdapat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh antara lain : Seulawah Agam (1.806 m),
Gunung Singgah mata, Gunung Abong-abong (3.015 m),
Gunung Geurendong, Gunung Bendahara (3.050 m) dan
Gunung Leuser (3.512 m). Gunung Leuser selain sebagai Gunung tertinggi di Aceh juga merupakan cagar
alam yang utama di Aceh.
Sungai-sungai yang terdapat di Aceh antara lain :
Krueng Aceh, Krueng Baro, Krueng Peusangan, Krueng
Jambo Aye, Sungai Tamieng, Sungai Singkil, Krueng
Woyla.
Adapun danau yang utama di Aceh adalah Danau Laut
Tawar yang terletak di Takengon Ibu Kota Kabupaten
Aceh Tengah. Selain danau Laut Tawar terdapat pula
sebuah danau di Pulau Weh (Sabang) bernama danau
Aneuk Laot. Kedua danau yang terdapat di Aceh ini
merupakan tempat yang menarik bagi objek pariwisata.
3. Flora dan Fauna.
Propinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Hutan dan
Daerah Pegunungan yang masih cukup luas terdapat
berbagai jenis flora dan fauna.
Jenis-jenis flora yang terdapat di Aceh antara lain ;Merante, Seumatok, Damar laut, Merbau, Kayu kapur, rotan, Bambu, Pandan, Rumbia, Nipah, Kelapa, Kurakura, tokek dan lain-lain. Barang-barang seperti Belibis,
Balam, Burung hantu, Murai, Perling, Blatuk, Enggang,
Puyuh, Elang (berbagai jenis) dan lain-lain.
4. Iklim dan keadaan tanah.
Di Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada umumnya
dikenal 2 (dua) musim yang menonjol yaitu musim
barat yang biasanya banyak turun hujan dan angin kencang, dan musim Timur yang biasanya Kemarau dan berangin lembut.
25
Musim kemarau biasanya jatuh pada bulan-bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni dan Juli; sedangkan
musim hujan biasanya jatuh pada bulan-bulan Agustus,
September, Oktober, November dan Desember.
Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang terdiri dari Daratan
Pulau Sumatera' maupun Pulau-pulau kecil yang termasuk wilayahnya pada umumnya terdiri dari permukaan
tanah yang baik dan subur. Dataran rendah dapat ditumbuhi segala jenis tanaman tropis; sedangkan dataran
tinggi yang dingin di Kabupaten Aceh Tengah banyak
ditumbuhi pohon pinus selain tanaman sayuran seperti
kol, wortel, jeruk, kentang dan lain-lain.
5. Perhubungan.
Sarana Perhubungan yang dimiliki di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sama halnya dengan di daerah-daerah
lainnya di Indonesia dapat dibagi kedalam perhubungan
darat, laut dan udara. Kesemua sarana perhubungan
dewasa ini telah dapat dipergunakan baik yang menghubungkan antara Kabupaten maupun antar Propinsi,
walaupun untuk beberapa daerah Kabupaten karena
Geografinya tidak memiliki perhubungan laut. Adapun
sarana dan fasilitas perhubungan yang terdapat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dapat disebutkan sebagai
berikut :
a. Hubungan darat .
Kereta Api : Kereta api di Aceh telah ada sejak
tahun 1876. Panjang jalan kereta api ini adalah
470 km yang menyusur pantai utara Aceh dari
Banda Aceh sampai Besitang Sumatera Utara.
Pada saat ini kereta api praktis tidak dipergunakan
lagi.
Jalan Raya : Di Propinsi Daerah Istimewa Aceh,
terdapat jalan raya sepanjang 5.596.620 km. Jalan
raya ini terdiri dari 489.400 km sebagai jalan Ne26
gara, 1.350.070 km sebagai jalan Propinsi dan
3.757.150 km sebagai jalan Kabupaten dan Kotamadya. Jalan Negara yang menghubungkan Propinsi
Daerah Istimewa Aceh dengan Propinsi Sumatera
Utara, sedangkan jalan Propinsi menghubungkan
daerah Kabupaten-Kabupaten yang kondisinya dapat dikatakan telah baik. Demikian pula halnya dengan jalan Kabupaten yang menghubungkan setiap
Kabupaten dengan daerah-daerah Kecamatan telah
dapat dipergunakan.
Hubungan Laut :
Mengenai hubungan Laut ini sangat ditentukan oleh
Pelabuhan-pelabuhan. Adapun pelabuhan utama di
Aceh adalah : Sabang (Pelabuhan Bebas) yang terletak di Pulau Weh dan merupakan pelabuhan Alam
yang cukup baik di Aceh.
Ulee Lheue. Pelabuhan ini hanya 5 Km dari Banda
Aceh. Dahulunya adalah satu-satunya pelabuhan
bagi Banda Aceh. Pelabuhan Ulee Lheue sekarang
ini hanya melayani angkutan Ulee Lheue dengan pelabuhan bebas Sabang.,
Malahayati (Krueng Raya). Pelabuhan ini letaknya
31 Km dari Banda Aceh. Pelabuhan ini dibuat sebagai pengganti Pelabuhan Ulee Lheue yang dianggap sudah tidak memenuhi syarat lagi. Sejak tahun
1976 pelabuhan ini sudah mulai berfungsi. Selain
pelabuhan Ulee Lheue yang disebutkan di atas masih
terdapat pelabuhan-pelabuhan lain yaitu Lhok
Seumawe dan Kuala Langsa di pantai Utara dan
Meulaboh, Tapaktuan, Susoh, Singkil dan Sinabang
di pantai Barat.
Pelabuhan-pelabuhan ini berada dalam kondisi yang
belum memadai. Akan tetapi tetap berfungsi sebagai
prasarana angkutan hasil-hasil daerah dana angkutan
penumpang.
Disamping pelabuhan-pelabuhan yang disebutkan di
atas masih ada sebuah pelabuhan yang cukup baik
yaitu yang terdapat di Biang Lancang Aceh Utara.
Pelabuhan ini khusus untuk keperluan pengangkutan
LNG (Liquified Natural Gas),
c. hubungan Udara :
Pelabuhan-pelabuhan Udara di Propinsi Daerah Istimewa Aceh :
Biang Bintang. Lapangan Udara Biang Bintang letaknya 16 km dari Banda Aceh. Pelabuhan udara ini
baru dapat menampung pesawat jet Fokker milik
GIA dan penerbangan "Merpati".
Cot Bak U. Sabang. Dapat menampung jenis pesawat
"Hercules" atau jenis lain yang kecil karena lapangan masih berupa rumput.
Malikussaleh di Aceh Utara. Lapangan ini dibangun
oleh Pertamina sebagai kebutuhan dalam rangka
Proyek LNG (Liquified Natural Gas).
Cut Nyak Dhien. Lapangan Udara ini merupakan
lapangan udara perintis di Meulaboh, Aceh Barat.
Cut Ali. Lapangan Udara ini juga sebagai lapangan
udara perintis terletak di Tapaktuan Kabupaten
Aceh Selatan.
Lasikin-Sinabang. Pelabuhan ini sebagai lapangan
udara perintis di Pulau Simeulu Aceh Barat.
B. PENDUDUK.
Berdasarkan hasil sensus yang dilakukan pada tahun
1980 jumlah penduduk dalam Propinsi Daerah Istimewa
Aceh sebanyak 2.610.926 Jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 4.150 terdiri dari Warga Negara Asing.
Penyebaran penduduk di Aceh tergantung sangat pada
keadaan wilayah. Wilayah yang subur dan mempunyai
dataran rendah yang luas, lebih rapat penduduknya di28
bandingkan dengan wilayah yang bergunung-gunung dan
mempunyai dataran rendah yang sempit. Daerah pantai
utara dan Timur mempunyai penduduk yang rapat dibandingkan dengan daerah Barat dan Selatan serta daerah Pegunungan di pedalaman. Kenaikan penduduk di Aceh di
taksir 2,5% setahun. Menurut sensus tahun 1971 berpenduduk 2.008.747 jiwa dan sekarang ini sudah lebih dari
2,6 juta seperti tertera di atas.
Perincian penduduk menurut Daerah Tingkat II di Propinsi
Daerah Istimewa Aceh adalah seperti tertera di bawah ini :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
gh.
i.
J-
Kabupaten Aceh Selatan
Kabupaten Aceh Tenggara
Kabupaten Aceh Timur
Kabupaten Aceh Tengah
Kabupaten Aceh Barat.
Kabupaten Aceh Besar
Kabupaten P i d i e
Kabupaten Aceh Utara
Kotamadya Banda Aceh
Kotamadya Sabang
Tuna Wisma dan anak kapal
Jumlah
275.458.159.248423.362163.339.288.388236.254343.530625.260.71.86823.8213982.610.926.-
Sebagai bahasa percakapan sehari-hari pada umumnya suku
bangsa tersebut mempergunakan bahasa daerahnya masingmasing, yaitu :
—
—
—
—
—
—
—
—
Suku
Suku
Suku
Suku
Suku
Suku
Suku
Suku
bangsa Aceh berbahasa Aceh.
bangsa Gayo berbahasa Gayo.
bangsa Alas berbahasa Alas.
bangsa Pulo berbahasa Pulo.
bangsa Kluet berbahasa Kluet.
bangsa Singkil berbahasa Singkil
bangsa Tamiang berbahasa Tamiang.
bangsa Aneuk Jamee berbahasa Aneuk Jamee.
PEMERINTAHAN :
Sistim dan perkembangan pemerintahan Daerah Aceh
sejak awal kemerdekaan secara garis besarnya adalah sebagai
berikut :
Pada tanggal 19 'Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan bahwa Wilayah Republik Indonesia dibagi atas delapan propinsi yang masing-masing
dipimpin oleh seorang Gubernur. Setiap propinsi dibagi atas
Keresidenan. Pada saat itu, Aceh merupakan salah satu
Keresidenan dari Propinsi Sumatera.
Pada tanggal 26 Agustus 1947 dengan Keputusan Wakil
Presiden, sesuai dengan situasi negara gawat akibat agresi
Belanda, Daerah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah Militer, dibawah pimpinan seorang
Gubernur Militer.
Pada tahun 1948 Aceh kembali menjadi salah satu Keresidenan dari Propinsi Sumatera Utara di samping Tapanuli
dan Sumatera Timur.
Pada akhir tahun 1949 Aceh menjadi Propinsi tersendiri
yang wilayahnya meliputi Keresidenan Aceh dahulu ditambah dengan sebagian dari daerah Kabupten Langkat
dan Tanah Karo.
Ketika pengakuan kedaulatan oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949 dan terbentuknya Negara Republik Indonesia
Serikat, Propinsi Aceh termasuk wilayah Negara Republik
Indonesia yang pada saat itu merupakan salah satu negara
bagian dari Republik Indonesia Serikat.
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1950, Aceh kembali menjadi salah
satu keresidenan dari Propinsi Sumatera Utara. Hal ini bertentangan dengan keinginan rakyat Aceh dan telah menyebabkan kekecewaan yang mendalam.
Setelah pemerintah menyadari akan hal tersebut, maka pada
tahun 1956 dibentuklah Propinsi Otonom aceh. Kemudian
sesuai dengan tuntutan Rakyat Aceh dalam rangka pemulihan keamanan dan kestabilan Nasional, maka pada tanggal
26 Mei 1959 Aceh menjadi "Daerah Istimewa", dengan
otonomi yang seluas-luasnya dalam bidang Agama, Pendidikan, dan Adat istiadat.
Secara struktur administratif pemerintahan Daerah Istimewa
Aceh sama dengan propinsi-propinsi lainnya, yaitu terdiri
dari Daerah Tk. I yang dipimpin oleh Gubernur, Daerah
Tk. II yang dipimpin oleh Bupati dan/atau Walikota, dan
Wilayah Kecamatan yang dipimpin oleh Camat.
Sesudah Kecamatan terdapat daerah wilayah Kemukiman
yang dipimpin oleh Imuem Mukim (Kepala Mukim). Dibawah kemukiman terdapat Gampong (Kampung/Desa)
yang merupakan lembaga pemerintahan terendah yang dipimpin oleh seorang Keuchik atau Geuchik (kepala kampung).
Keuchik merupakan pelaksana pemerintahan dan adat dalam wilayah gampong (desa) nya yang dibantu oleh perangkat desa yang terdiri dari :
— Wakil (Wakil Keuchik)
— Teungku Meunasah (yang mengurus soal-soal keagamaan)
- Keujruen (yang mengurus soal pertanian/persawahan)
— Ketua Muda (yang mengurus masalah Kepemudaan)
— Bileue (penjaga meunasah merangkap muazzin).
Selain perangkat desa tersebut dalam sebuah kampung terdapat juga Tuha Peuet (Tua yang empat). Tuhan Peuet ini
terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka di kampung tersebut
yang merupakan penasehat atau tempat keuchik bermusyawarah sebelum mengambil suatu keputusan penting.
Imuem Mukim merupakan kordinator gampong-gampong.
Imuem Mukim dibantu oleh perabot mukim yang disebut
Tuha Lapan (Tua yang delapan) yang terdiri dari para cerdik pandai di kemukiman tersebut. Setiap kemukiman di
Aceh terdapat sekurang-kurangnya sebuah mesjid yang dipimpin oleh seorang Imuem Mesjid.
31
Daerah Istimewa Aceh terbagi dalam 10 Daerah Tingkat II
yang terdiri dari 2 Kotamadya dan 8 Kabupaten, yaitu :
— Kotamadya Banda Aceh (ibu kota Propinsi) dengan ibukota Banda Aceh.
— Kotamadya Sabang dengan ibukota Sabang.
— Kabupaten Aceh Besar dengan ibukotanya Banda Aceh.
— Kabupaten Pidie dengan ibukotanya Sigli.
— Kabupaten Aceh Utara dengan ibukotanya Lhok Seumawe.
— Kabupaten Aceh Tengah dengan ibukotanya Takengon.
— Kabupaten Aceh Timur dengan ibukotanya Langsa.
— Kabupaten Aceh Tenggara dengan ibukotanya Kutacane
— Kabupaten Aceh Barat dengan ibukotanya Meulaboh.
— Kabupaten Aceh Selatan dengan ibukotanya TapakTuan.
Di bawah Daerah Tingkat II terdapat 129 Kecamatan, 594
Kemukiman, dan 5462 Gampong (Kampung/Desa).
Lambang Daerah Istimewa Aceh disebut Pancacita yang melambangkan 5 cita, yaitu :
1. Keadilan, dilambangkan dengan gambar dacin (timbangan).
2. Kerukunan, dilambangkan dengan gambar Kubah Mesjid
3. Kemakmuran, dilambangkan dengan gambar padi, kapas, lada, dan cerobong asap pabrik.
4. Kepahlawanan, dilambangkan dengan gambar rencong.
5. Kesejahteraan, dilambangkan dengan gambar buku dan
kalam.
Lambang Pancacita dilukiskan pada dasar yang berbentuk
Kopiah Meukutop (kopiah Aceh) bersegi lima, yang melambangkan falsafah Negara, Pancasila, sehingga mengandung
pengertian bahwa Pancacita terletak di dalam wadah Pancasila.
32
D. KEBUDAYAAN DAN ADAT-ISTIADAT.
Sebenarnya kalau kita berbicara tentang kebudayaan
sekaligus telah mencakup adat-istiadat. Hal ini adalah disebabkan adat-istiadat itu merupakanbagian dari kebudayaan.
Akan tetapi karena adat-istiadat di Aceh sangat erat kaitannya dengan agama (Islam) yang jelas bukanlah kebudayaan
maka masalah adat-istiadat ini kita uraikan tersendiri.
Pepatah Aceh dalam hal yang menyangkut agama dan adatistiadat ini terkenal "Hukom ngon adat, lage zat ngon sipheut" (Hukum dengan adat seperti zat dengan sifatnya,
tidak terpisah). Selanjutnya pepatah ini dikuatkan dengan
pepatah lain yang berbunyi "Adat bak Poteu Meureuhom
Hukum Bak Syiah Kuala". Dengan demikian kekuasaan
adat ada pada Sultan dan Hukum (agama) berada di tangan
Ulama.
Bagi masyarakat Aceh adat dianggap sebagai suatu usaha untuk lebih menguatkan atau menambah syiar bagi agama Islam. Hal ini terbukti dengan begitu banyaknya upacara adat
yang disangkutkan dengan agama atau upacara agama keagamaan baik berupa peringatan hari-hari besar Islam.
Setiap acara keagamaan baik berupa peringatan hari-hari
besar Islam ataupun lain-lain seperti masalah harta pusaka,
perkawinan, tata pergaulan dalam masyarakat diatur oleh
ketentuan adat sejauh tidak menyimpang dari akidah agama.
Kalau kita berbicara dengan perkembangan kebudayaan di
Aceh, secara tegas dapat dikatakan bahwa Aceh termasuk
Wilayah Indonesia yang kaya budaya. Kekayaan ini meliputi seluruh aspek baik material maupun spirituil. Menurut
catatan dari hasil inventarisasi dan reinventarisasi yang sudah dilakukan di Aceh terdapat lebih dari 200 buah objek
kepurbakalaan yang terdiri dari Mesjid Kuno, Tugu kuno,
Benteng kuno, Makam-makam kuno dan perpustakaan
kuno. Dalam buku-buku sejarah pernah disebutkan bagaimana Sultan Ali Mughayatsyah, Sultan Al-Qahar, Sultan
Saidil dan Sultan Iskandar Muda membuat kapal-kapal
untuk melengkapi armadanya guna menyerang Portugis.
33
Kapal-kapal ini disebut cukup besar-besar. Hanya sayang
sekali sisa ini secara fisik tidak ditemukan lagi. Mungkin
saja karena terbuat dari kayu sehingga tidak mampu bertahan lama. Yang bersisa hanyalah berupa Mesjid-mesjid,
Benteng-benteng dan lain-lain yang ikut mengagumkan kita.
Kita katakan mengagumkan adalah karena dari salah satu sisa yang terdapat sekarang ini ditemui sebuah kuburan yang
batunya lebih dari 12 ton beratnya.
Disamping sisa warisan masa lampau, untuk keperluan hidup
sehari-hari rakyat Aceh telah pula membuat bermacam-macam alat keperluan. Keperluan itu meliputi rumah tempat
tinggal, alat-alat pertanian, alat penangkapan ikan dan lain
sebagainya. Alat-alat itu sudah cukup berarti untuk membantu mereka dalam menempuh hidup dari waktu kewaktu.
Diantara alat-alat spisifik Aceh itu ialah :
Rumah Aceh.
Mengenai bentuk, fungsi dan kegunaannya telah dijelaskan
dalam bentuk-bentuk arsitektur yang terdapat pada bangunan Museum Negeri Aceh, yaitu pada bahagian terdahulu.
Rencong.
Rencong adalah sejenis senjata khas Daerah Aceh. Demikian
khasnya sehingga julukan untuk Daerah Aceh selain disebut
"Serambi Mekkah" terkenal pula sebagai "Tanah Rencong".
Dalam masyarakat Aceh rencong bernilai sebagai benda
pusaka yang dipergunakan oleh seluruh masyarakat terutama kaum pria. Kenyataan membuktikan bahwa pria Aceh
hampir tak dapat dipisahkan, karena kemana saja mereka
pergi selalu membawa rencong. Ada tiga fungsi rencong dalam penggunaannya sehari-hari;
Pertama, rencong sebagai senjata dalam perkelahian maupun
peperangan
Kedua, rencong sebagai alat perhiasan sehari-hari bagi pria
Aceh.
34
Ketiga, rencong sebagai alat-alat perkakas, misalnya dalam
perbuatan rumah.
Rencong telah dikenal sejak berdirinya Kerajaan Aceh kirakira abad ke-I 3. Dalam evolusi mencapai kesempurnaan seperti yang kita lihat sekarang ini rencong banyak berorientasi pada kepercayaan Islam.
Bagian-bagian dari rencong mulai dari gagang sampai ke
ujung yang runcing mempunyai bentuk-bentuk tertentu,
sehingga memperlihatkan suatu kombinasi yang menarik
yang merupakan penjelmaan dari kata-kata "Bismillah"
dalam aksara Arab :
Mengenai penggolongan rencong dalam beberapa jenis didasarkan pada bentuk gang atau sumbunya. Bentuk gang
inilah yang memberikan keistimewaan yang tidak kita
jumpai pada senjata tajam lainnya. Gagang yang melengkung sangat memantapkan pegangan sipemakai rencong
sehingga tak mudah terlepas. Hal inilah yang menyebabkan rencong dikenal sebagai senjata sakti yang ampuh dalam
perang kemerdekaan maupun dikala melawan Jepang, Belanda dan Portugis dahulu.
Pada waktu ini rencong selain sebagai benda pusaka yang
bernilai bagi masyarakat Aceh, kita kenal pula sebagai benda
souvenir. Ada rencong yang gangnya dibuat dari tanduk,
gading atau gang yang dibalut dengan suasa atau emas.
Jenis-jenis rencong yang dikenal dalam masyarakat Aceh
yaitu rencong Meupucok, rencong meucugek, rencong
pudoi dan rencong meukuree.
Selain rencong masih terdapat juga senjata tajam jenis
lainnya seperti peudeung (pedang), parang dan lain-lain.
Pemberian nama terhadap sebilah pedang di dasarkan kepada bentuk gagang ataupun bentuk gagang ataupun bentuk matanya. Nama yang diberikan berdasarkan bentuk
gagang yaitu Ulee iku mie, ulee babah buaya, ulee lungke
rusa, ulee tumpang beuenteueng, ulee meuapet, dan lainlain. Sedangkan nama berdasarkan bentuk mata disebut
peudeueng on jok, peudeung on teubee.
35
PERHIASAN
Memakai perhiasan merupakan hal yang lazim kita lihat disetiap masyarakat, demikian pula di masyarakat Aceh. Ada di
antara perhiasan itu hanya dipakai pada waktu tertentu saja
misalnya upacara perkawinan ataupun upacara resmi lainnya.
Berbagai di antara perhiasan orang Aceh telah merupakan perhiasan tradisional yang telah diwariskan secara turun temurun,
diantaranya ada yang sangat langka ditemukan.
Bilakah waktunya perhiasan-perhiasan ini mulai dikenal dalam
masyarakat Aceh belum dapat dipastikan. Dilihat dari penggunaan maupun bentuk perhiasan ini beraneka ragam. Jenisjenis perhiasan pada umumnya dipergunakan oleh wanita yang
biasa kita lihat di daerah-daerah bagian Utara, Barat dan Timur
Propinsi Daerah Istimewa Aceh adalah sebagai berikut :
— Perhiasan yang digunakan di rambut disebut "coelok ok"
atau coelok langoy,
— Perhiasan yang digunakan di dahi bentuknya seperti mahkota disebut "patham dhoi",
— yang digunakan di telinga disebut Subang dan anting-anting gluenyocng (anting-anting telinga),
— perhiasan yang digunakan di leher disebut taloe takue (tali
leher) dan kiah takoe,
— perhiasan yang digunakan di dada antara lain kawet bajee,
berbentuk bulan sabit, bertali emas disematkan di baju di
dada bagian kanan.
Ganceng, bentuknya seperti bulan sabit dihubungkan dengan rantai dan digantungkan pada leher hingga biasanya
terletak di dada.
Seurapi, berbentuk bintang, biasanya disematkan di dada
bahagian kiri.
Semplek, perhiasan berbentuk bintang dan dirangkaikan
dengan rantai yang digantungkan pada kedua pundak dengan cara menyilang (simplah) di atas bahagian dada dan
bahagian belakang. Boh Ca' ie, bentuknya seperti laba-laba
36
disematkan pada baju di dada sebelah kiri atau kanan.
Bah keuralep, bentuknya seperti kecoa, disematkan di
dada.
Semua perhiasan yang digunakan di dada ini dibuat dari
emas, tapi ada juga yang dari perak dan suasa.
— Perhiasan yang digunakan di pinggang disebut taloe pending atau taloe keuing (ikat pinggang), berbentuk lempengan-lempengan logam yang digabungkan, terbuat dari
perak, suasa dan emas.
— perhiasan yang digunakan di tangan terdiri dari gleung
jaroe (gelang tangan), dibuat dari emas, perak dan suasa
di pakai pada tangan kanan atau kiri. Taloe jaroe (tali
jari), dipakai di atas tangan. Sawe, dipakai pada tangan
kanan bawah dibuat dari emas,
— yang digunakan di jari terdiri dari euncin (cincin), bentuknya bermacam-macam, terbuat dari emas, perak atau
suasa. Euncin droo geunteun cincin yang dihiasi dengan
butir-butir permata kecil. Euncin cap, sejenis cincin stempel,
— yang digunakan di kaki disebut gleung gaki (gelang kaki),
berbentuk lingkaran dipakai dipergelangan kaki, dibuat
dari emas, perak atau tembaga, sedangkan berat perhiasan
antara 5 sampai 8 bunkai atau 270 hingga 432 gr, tetapi
ada juga yang sampai VA Kg.
Gelang kaki biasanya dipakai oleh anak-anak perempuan
hingga ia meningkat dewasa (gadis).
Weeng teubee
Weeng teubee yaitu sejenis alat tehnologi tradisional yang
dipergunakan untuk menggiling tebu. Weeng teubee terdapat
dua jenis ada yang kecil dan ada yang besar. Jenis yang kecil
biasanya ditarik dengan tangan manusia jika sedang memeras
air tebu dan ukuran besar ditarik dengan kerbau.
37
Peuneurah
Salah satu alat tehnologi tradisional lainnya disebut peuneurah. Peuneurah bermakna alat untuk memeras minyak kelapa. Kelapa yang telah dikukur, lalu diperas untuk beberapa
hari yang kemudian dijemur. Mula-mula minyaknya diambil
yang diperas dengan tangan dan kemudian bila tidak sanggup
lagi diperas dengan tangan haruslah dipergunakan "Peuneurah"
sebagai alat pemerasnya.
Jeungki
Alat tehnologi tradisional bidang pertanian yang terdapat
di Aceh terutama adalah jeungki. Fungsi utama dari jeungki
adalah alat untuk menumbuk padi atau memproses padi menjadi beras yang sudah siap untuk dimasak menjadi nasi. Disamping itu oleh karena bentuknya, jeungki dapat pula dipergunakan sebagai alat penumbuk bahan-bahan yang lain seperti menumbuk tepung, eunping, sagu, kunyit, ketumbar dan lain-lain.
Perkembangan Kebudayaan dari segi etika dan tata cara pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat yang lazim dipatuhi di
Aceh juga mempunyai corak tersendiri. Sebagian besar tata
cara pergaulan dalam masyarakat diatur sesuai dengan ajaran
Islam. Ketetapan tambahan dari adat dilakukan sejauh tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Perkembangan kebudayaan dari sudut kesenian di Propinsi
Daerah Istimewa Aceh juga mempunyai Situ bentuk perkembangan yang khusus. Untuk melihat hasil-hasil kesenian yang
terdapat di Aceh dapat digolongkan ke dalam :
1. Seni Rupa :
Yang dapat digolongkan dalam seni rupa adalah seni bangunan, seni pahat, seni lukis, seni kerajinan dan seni
dekoratif.
a. Seni Bangunan, hasil utama seni bangunan Aceh adalah
Rumoh Aceh. Rumoh Aceh dibuat tinggi di atas tanah. Di bangun di atas sejumlah tiang-tiang besar yang
tempat tegaknya beraturan. Denahnya berbentuk segi
38
empat. Tinggi lantainya 2 sampai 21/2 meter. Rumoh
Aceh membujur lurus dari Timur ke Barat. Maksudnya
menunjukkan arah kiblat. Selain Rumoh Aceh, seni
bangunan Aceh yang lainnya berupa Mesjid-mesjid,
Bale Pengajian, Menasah dan lain-lain. Mesjid yang ada
di Aceh pada masa dulu umumnya dibuat dengan atap
yang bertingkat-tingkat seperti umumnya mesjid di
wilayah Indonesia yang lain. Pada waktu akhir-akhir
ini mesjid di Aceh sudah banyak dipengaruhi oleh ciriciri bangunan mesjid Timur Tengah dan India yakni
berkubah bawang dan pintunya berbentuk lengkung.
Bangunan Meunasah dahulunya juga dibuat berbentuk
Rumah Aceh. Untuk membedakan dengan rumah
kediaman, pada meunasah diperlengkapi dengan perlengkapannya seperti kolam air, beduk, juga meunasah membujur dari Utara ke Selatan.
b. Seni Pahat. Seni pahat yang banyak berkembang di
Aceh adalah berupa ukiran-ukiran Kaligrafi yakni
menstilir huruf Arab dari ayat-ayat Al-Quran ke dalam
bentuk yang indah. Ukiran kaligrafi ini banyak dijumpai pada mesjid-mesjid, pintu-pintu rumah, makam-makam kuno, mimbar-mimbar mesjid dan lain-lain. Diantara mimbar mesjid yang terukir indah terdapat pada
mimbar mesjid "Indrapurwa" Kecamatan Peukan
Banda Aceh Besar pada mimbar mesjid "Meudinah" di
Meureudu, Pidie. Sedangkan ukiran pada kuburan sangat banyak dijumpai dan yang terkenal terdapat pada
makam Sultanah Nahrisah di Pasai, Aceh Utara yang
diukir di atas marmar.
Selain berbentuk kaligrafi ukiran lainnya adalah berbentuk arabesk yaitu berupa daun-daunan yang diukir
pada dinding, pintu atau bagian-bagian lainnya dari
rumah Aceh atau Mesjid.
c. Seni lukis. Perkembangan belum dapat dikatakan menonjol. Hal ini mungkin disebabkan sarana untuk ini
dari zaman dahulu tidak memadai. Lukisan-lukisan
yang sering dijumpai umumnya berupa hiasan tumpal,
anyaman, pinggir awan yang dilukiskan pada bagianbagian tertentu dari kitab-kitab suci dan lain-lain.
d. Seni dekoratif. Seni dekoratif atau seni ragam hias
Aceh yang paling menonjol adalah seni kerajinan emas,
anyaman tikar dan tirai. Seni dekoratif lainnya terdapat dalam bentuk tirai langit-langit ataupun rumbai.
Tirai biasanya dibuat dari kain yang berwarna dasar
keras seperti merah, hijau, biru tua dan kuningan. Kain
rumbai yang dijahit dipinggir langit-langit berbentuk
seperti kembang yang dibuat dari sisa-sisa jahitan.
2. Seni Gerak :
Seni ini pada umumnya berupa tari-tarian. Namun ada
pula yang berupa seni bela diri seperti pencak silat.
Sesuai dengan kepercayaan Masyarakat Aceh seni tari ini
ditinjau dari latar, belakang dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu berlatar belakang adat dan agama serta
berlatar belakang mithe dan legentde.
Yang berlatar belakang adat dan agama antara lain :
Seudati, Saman, Meusaukat, Likok Aceh, Ular-ular lembing, peulebat.
Yang berlatar belakang mithe dan legende antara lain :
Tari Guel, Bines, Pho, Alée tunjang.
. Adapun seni bela diri berupa silat daerah /ang sangat menonjol adalah Aceh Selatan dan Pulau Simeulu. Akan
tetapi pada akhir-akhir ini hampir merata seluruh Aceh
terutama sejak dijadikan sebagai sa olah raga yang dipertandingkan.
3. Seni Suara :
Seni suara dapat dibagi atas tiga bagian yakni, seni suara Vokal, seni instrumental dan seni sastra.
a. Seni suara Vokal di Aceh biasanya bernafaskan Islam.
Hal ini tidak lain karena seni suara tradisional pada lazimnya sebagai ungkapan perasaan terhadap kepercayaan dan agama yang sangat meluap-luap. Seni Vokal
40
di Aceh berasal dari zikir Pujian kepada Tuhan atau
Nabi.
Disamping itu ada pula seni vokal berbentuk pembacaan syair/pantun yang di Aceh disebut "baca Hikayat"
dan "Meunasib".
Pembacaan Hikayat sering dilakukan di Meunasahmeunasah dan Meunasib biasanya pada sesuatu pertunjukan seperti pasar Malam. Dalam bentuk yang
terakhir ini dilakukan sekurang-kurangnya dua orang
secara bersahutan.
Seni Instrumental. Seni instrumental ialah seni suara
yang menggunakan alat-alat yang memperdengarkan
suara seperti alat tiup alat gesek dan alat pukul. Instrumen tradisional yang bernada lengkap tidak terdapat di
Aceh. Yang ada hanyalah alat-alat musik ritmis seperti
Gendang, Rapai dan Suling. Dalam bentuk komposisi
hanya di Aceh Tenggara tetapnya Kutacane berkembang canang kecapi. Tetapi belum diketahui dengan jelas dari mana asal usul canang kecapi tersebut. Di Aceh
Besar terdapat alat musik tiup yang disebut "Seureune
Kale". Dewasa ini permainan seureune kale sudah dikembangkan untuk mengiringi tari-tarian daerah.
Seni Sastra. Untuk melihat perkembangan seni sastra
di Aceh perlu kita lihat perkembangan kedua jenis
sastra ini :
— Bentuk Prosa :
Bentuk prosa dalam bahasa Aceh jarang sekali ditemui. Bentuk prosa yang berkembang di Aceh
dari waktu ke waktu adalah dalam bahasa Melayu
berhuruf Arab. Di Aceh bahasa ini dikenal dengan
sebutan bahasa "Jawoe" (Jawi ?). Bahasa jawo ini
hampir merupakan bahasa tulisan yang terdapat dalam lingkungan Kraton Aceh masa lalu. Isinya
biasanya surat-menyurat Kerajaan mengenai Kerajaan dan mengenai Ke Agamaan. Bentuk prosa ini
telah melahirkan kitab-kitab terkenal mengenai
ilmu pengetahuan agama, filsafat, Kenegaraan dan
Adat-istiadat. Tokoh-tokoh penulis terkenal antara
lain :
— Syekh Syamsuddin As-Sumatrani.
Nama lengkapnya ialah Syekh Syamsuddin Bin
Abdullah Assamathani yang lahir di Pasai dan
wafat tahun 1630 pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda. Buku-buku karangan beliau antara
lain :
1.
2.
3.
4.
5.
Miratul Mukminin.
Al-Haraqah.
Miratul Iman.
Miratul Qulub.
Tanbihllah.
— Nuruddin Arraniry.
Beliau lahir di Gujarat, India. Nama lengkapnya
Syekh Nuruddin Ibnu Hasany Ibnu Muhammad
Arraniry.
Buku-buku karangan beliau antara lain :
1. Siratul Mustaqim.
2. Bustanusalatin.
3. Saduddin Masyud al Fatsazmi.
4. Durrat al Farid bi Syariful Aqaid.
— Syekh Abdurrauf Singkel.
Nama sebenarnya Abdurrauf bin Ali al - Jawi il
Fansuri as Singkili.
Buku-buku beliau yang terkenal antara lain :
1.
2.
3.
4.
Bayan Tajalli.
Kifayat al Muhtayin.
Mandat Al Muhtadin.
Miratul Tullab fi tasyal Mahrifatul Ahkam
Asyyar.
5. Hudayah Balighah Ala Jumat al Muhamsamah.
42
— Hamzah Fansuri.
Ia hidup sekitar abad ke 16 dan 17. Selain menulis
puisi berupa syair-syair ia juga menulis dalam bentuk prosa. Tulisannya juga dalam bahasa Jawo,
antara lain :
1. Sainatul Muwahhidin.
2. Asrar Al - Arif in fi Bayani, ilmu assuluqi wal
tauhid.
3. Syarah rubai Hamzah Fansuri.
— Tengku Chik Kuta Karang.
Nama aslinya Syekh Abbas Ibnu Muhammad. Beliau hidup pada pertengahan terakhir abad ke 19.
Karya-karya beliau yang terkenal antara lain :
1. Tazkiratul Rakidin.
2. Maw'idhat al - Ikhwan.
— Bentuk Puisi :
Bentuk Puisi adalah seni sastra yang berkembang
dengan sangat subur di Aceh. Kalau bentuk prosa
belum ditemukan dalam bahasa Aceh, maka bentuk puisi ini hampir seluruhnya dalam bahasa
Aceh, dengan huruf Arab. Yang tertulis dalam bahasa Jawo adalah karya pujangga Hamzah Fansuri
berupa syair-syair antara lain :
1.
2.
3.
4.
Syair
Syair
Syair
Syair
Dagang.
Burung Pingai.
Perahu.
Sidang Fakir.
Tulisan-tulisan berbentuk puisi dalam bahasa
Aceh yang telah dapat diketahui sampai sekarang
ini lebih dari 200 buah. Yang paling terkenal diantaranya adalah hikayat "Pran Sabi" yang ditulis
oleh Ulama besar Tengku Chik Pante Kulu. Tengku
Chik Pante Kulu hidup pada akhir abad ke 19.
43
Buku "Hikayat Prang Sabi" karangan beliau sangat
menggugah semangat rakyat Aceh melawan Belanda. Oleh karena itu Pemerintah Kolonial Belanda
menetapkan buku itu sebagai bacaan terlarang.
Diantara hikayat-hikayat, kisah-kisah, silsilah-silsilah, haba-haba, Risalah-risalah dan panton-panton
terkenal adalah :
Hikayat :
—
—
—
—
—
—
—
—
—
—
Hikayat
Hikayat
Hikayat
Hikayat
Hikayat
Hikayat
Hikayat
Hikayat
Hikayat
Hikayat
Malem Diwa.
Indra Bangsawan.
Abu Syamah.
Abdo Mulok.
Abu Nawaih.
Banta Ahmad.
Beuransah.
Banta Ali.
Meudeuhak.
Jaka Bodo.
Kisah :
—
—
—
—
—
—
—
Kisah
Kisah
Kisah
Kisah
Kisah
Kisah
Kisah
Peudeuman hudep.
Nasib sengsara.
Bungong Keumang.
Seuramoe Makah.
Keuneubah Jameuen.
Syuhada Jameuen Nabi.
Si Dara Laknat.
Haba:
—
—
—
—
44
Haba
Haba
Haba
Haba
Ni Keubayan.
Simeuseukin.
Bate meutungkop.
Raja Jameuen.
Kitab :
— Kitab tambeh tujoh blah.
— Kitab Munayat.
— Kitab Nadlam Sipheut.
— Kitab Ratep Inong.
Risalah :
— Risalah
— Risalah
— Risalah
— Risalah
Hiem.
Abdoraman Abdokarim.
Bijeh.
Narit Geutanyo.
Panton :
— Panton Aneuk miet.
— Panton Nasehat.
— Panton Ureueng Tuha.
Setelah kita melihat puisi-puisi di atas maka hampir semua
isinya berupa sejarah nasehat, legende dan mithe.
Hikayat yang berisikan fabel atau cerita binatang sangat sedikit. Cerita berisikan fabel yang ditemukan antara lain hikayat
peureulieng. Hikayat Peulandok Pance, dan Hikayat Rubek
Peulandok.
Walaupun demikian tidaklah berarti dalam masyarakat Aceh
tidak tersebar cerita-cerita binatang. Cerita binatang biasanya
diceritakan secara lisan dari mulut ke mulut. Cerita ini sangat
mengasyikkan bagi pendengarnya terutama anak-anak. Di
menasah-menasah atau surau pada saat menjelang tidur selalu
diceritakan oleh orang tua-tua. Nenek-nenek sering pula
mendongeng kepada cucunya.
45
SISTIMATIKA PAMERAN DI MUSEUM NEGERI ACEH :
Kehadiran Museum Negeri Aceh merupakan salah satu
usaha ke arah melengkapi sarana Pembinaan Kebudayaan Nasional. Melalui Museum Negeri Aceh diharapkan dapat turut
serta menjaga nilai-nilai budaya untuk menghindari cepatnya
proses lepas akar serta kepunahan kepribadian bangsa.
Dengan difungsikannya museum ini pada tanggal 1 September
1980 usaha tersebut telah mulai dirintis antara lain dengan kegiatan pameran tetap, pameran khusus dan pameran keliling.
Pada pameran tetap benda-benda koleksi yang dipamerkan
dikelompokkan dalam berbagai aspek yang meliputi :
—
—
—
—
—
—
Lingkungan alam,
Kebudayaan Prasejarah,
Kebudayaan Islam,
Kelompok Ethnis,
Kebudayaan Tradisional,
Sejarah.
Kelompok lingkungan alam menggambarkan wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh dengan menunjukkan pembagian
wilayah Administratif Pemerintahan Kabupaten/Kotamadya,
kota-kota serta perkembangannya, relief lingkungan dan kekayaan alam yang merupakan sumber potensi daerah, seperti
mineral, batu-batuan, gas alam, uan lain-lain, baik yang telah
diolah maupun yang belum. Dalam kelompok ini juga dipamerkan kehidupan fauna dan flora di Daerah Istimewa Aceh. Kelompok lingkungan alam ini ditempatkan di lantai pertama.
Kelompok Kebudayaan Prasejarah memperlihatkan peninggalan tertua di daerah Aceh, walaupun sisa-sisa peninggalan ini
tidak banyak dijumpai. Salah satu peninggalan prasejarah di
daerah Aceh adalah "Bukit Kerang" yang terdapat di sepanjang pantai timur Aceh, mulai dari Lhoksemawe sampai ke
perbatasan Propinsi Sumatera Utara. Bukit Kerang ini menunjukkan berakhirnya sistim hidup berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain. Kelompok ini dalam tata pameran
Museum Negeri Aceh dijumpai di lantai pertama.
46
Kelompok Kebudayaan Islam menggambarkan kehidupan
masyarakat Aceh yang sejak masuknya kebudayaan Islam
telah mengisi seluruh aspek kehidupannya. Namun demikian
tidak seluruh peninggalan Islam di Daerah Aceh dipamerkan
di sini. Yang dipamerkan adalah identitas Islam yang menonjol dan mewakili peninggalan Islam di daerah ini. Salah satu diantaranya adalah seni membuat batu nisan yang menunjukkan
kekhususan kebudayaan Islam di daerah ini. Dari seni membuat batu nisan ini dapat dilihat pengaruh Islam yang luas dalam perkembangan seni ukir, seni pahat, seni kaligrafi, dan
ragam-ragam hias dengan motif perpaduan antara daun-daunan, bunga-bungaan dan lain-lain. Semua unsur seni tersebut
terlihat pada batu-batu nisan yang tersebar di seluruh Aceh;
baik yang terbuat dari perunggu, batu pualam, daunpun yang
terbuat dari jenis batu lainnya. Kelompok kebudayaan Islam
ini dapat dijumpai pada lantai pertama gedung pameran
tetap Museum Negeri Aceh.
Kelompok ethnis memperlihatkan kepada pengunjung kelompok-kelompok adat dan bahasa yang terdapat di Daerah
Istimewa Aceh. Berdasarkan penelitian, di Daerah Aceh terdapat delapan kelompok ethnis yang masing-masing mempunyai adat-istiadat dan bahasanya sendiri.
1. Aceh; kelompok ethnis tersebar yang mendiami hampir
seluruh Daerah Aceh.
2. Gayo; kelompok ethnis yang mendiami daerah Kabupaten
Aceh Tengah dan sebagian daerah Kabupaten Aceh Tenggara.
3. Alas; kelompok ethnis yang mendiami daerah Kabupaten
Aceh Tenggara.
4. Tamiang ; kelompok ethnis yang mendiami beberapa kecamatan di daerah Aceh Timur yang berbatasan dengan
Sumatera Utara.
5. Aneuk Jamee ; kelompok ethnis yang mendiami daerah
pesisir pantai Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh
Selatan.
6. Kluet; kelompok ethnis yang mendiami Kecamatan Kluet
Utara dan Kecamatan Kluet Selatan di Kabupaten Aceh
Selatan.
7. Pulo ; kelompok ethnis yang mendiami Pulau Simeulue,
Kabupaten Aceh Barat dan Pulau-pulau Banyak Kabupaten
Aceh Selatan.
8. Singkil ; Kelompok etnis yang mendiami Singkil Hulu Kabupaten Aceh Selatan.
Identitas kelompok-kelompok ethnis ini diperlihatkan dalam
bentuk pakaian daerah masing-masing; namun belum semua
kelompok ethnis tersebut dapat dipamerkan pakaiannya. Kelompok ethnis ini dapat dilantai pertama gedung pameran
tetap.
Kelompok Kebudayaan Tradisional memperlihatkan kelengkapan kebutuhan kehidupan masyarakat secara keseluruhan
yang meliputi perhiasan, senjata, alat-alat rumah tangga, mata
pencaharian, permainan rakyat, teknologi tradisional, kesenian, dan kehidupan keagamaan.
Benda-benda perhiasan yang dipamerkan meliputi perhiasan
yang dipakai oleh wanita sejak dari kanak-kanak sampai orang
dewasa, seperti gelang kaki, gelang tangan, penghias kepala
dan perhiasan-perhiasan lainnya. Demikian pula dengan perhiasan yang dipakai oleh kaum lelaki.
Senjata tradisional meliputi senjata tusuk dan senjata telak.
Senjata tusuk terdiri dari rencong dalam berbagai bentuk,
siwah dan lain-lain. Senjata tetak terdiri dari berbagai bentuk
pedang.
Peralatan rumah tangga yang dipamerkan dalam pameran tetap Museum Negeri Aceh yaiu jenis-jenis lampu tradisional
yang menggunakan minyak kelapa, baik yang dibuat dari
tanah liat maupun dari logam, benda-benda yang digunakan
dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat seperti tempat
sirih dari tembaga, suasa, dan emas; alat-alat untuk meminang,
upacara perkawinan, dan lain-lain.
Selain itu dalam kelompok kebudayaan tradisional ini juga
48
dipamerkan benda-benda peralatan dapur dan benda-benda
permainan rakyat, seperti gasing, layang-layang, sepak raga,
dan lain-lain.
Dalam bidang mata pencaharian dipamerkan cara-cara pengolahan sawah dan ladang yang disertai dengan alat-alat pertanian dan hasil-hasilnya, sistim perburuan, perikanan, pengangkutan, dan perdagangan, serta alat-alat dan benda-benda yang
menyangkut dengan bidang masing-masing.
Dalam teknologi tradisional dipamerkan peralatan, proses
pembuatan dan hasilnya, seperti pembuatan gula tebu, minyak
kelapa, benda kayu dan logam.
Dalam bidang kesenian/kerajinan tradisional dapat dilihat
peralatan, proses pembuatan dan hasil-hasilnya dengan menggunakan peralatan tradisional di bidang pertenunan, tembikar,
seni kerajinan perak, seni musik, dan lain-lain. Kelompok kebudayaan tradisional ini ditutup dengan gambaran perkembangan Islam di Daerah Aceh. Kelompok ini dapat dilihat
pada lantai dua, lantai tiga, dan sebagian lantai empat pada
gedung pameran tetap.
Kelompok terakhir yang dipamerkan Museum Negeri Aceh
adalah kelompok sejarah yang menggambarkan pertumbuhan,
perkembangan, dan aktifitas kerajaan Aceh dahulu dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pada kelompok ini
diperlihatkan benda-benda peninggalan sejarah, mata uang
Kerajaan Aceh, keramik asing. Bagian terakhir dalam kelompok ini diperlihatkan perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan Tanah Air.
49
50.
Bukit kerang merupakan sisa peninggalan prasejaran
yang terdapat di Aceh.
Lempengan emas yang terdapat pada kerenda mayat,
hasil ekskapasi yang dilakukan di Taman Gunongan
Banda Aceh.
51
Kupiah meukutob.
52
Patham dhoi- (perhiasan wanita yang dipergunakan di
kepala).
Gleueng jaroe (gelang tangan).
53
Gleueng gaki (gelang kaki).
Culok ok atau culok langeoy (tusuk kunde).
54
Ganceng Ihee (perhiasan yang digunakan di dada).
Talo taku (kalung).
55
Seurapi.
56
Kiah taku (perhiasan yang dipakai di leher).
Keureusang (bros) yang dipakai oleh wanita di dada.
57
M$ $ 0
ft
Berbagai jenis perhiasan wanita.
v
5g
?
Cupeng (penutup kemaluan anak perempuan yang masih
kecil).
*
Rincong meupucok.
Rincong meucugek.
59
_
r
Rincong meutampok yang digagangnya terbuat dari
emas dan sarung dari kayu.
60
Panyot dong (lampu minyak kelapa).
62
Jenis-jenis labu (kendi).
63
Keukarah, berfungsi sebagai tempat sirih.
Bola keranjang.
64
Peuneurah (alat untuk memeras minyak kelapa).
Weeng teube (alat penggilingan tebu).
65
Teupeuen ija (alat tenun kain).
Jangkat (sejenis alat pengangkut).
66.
Karya seni pahat.
Motif-motif lukisan.
67
Al Qur'an tulisan tangan.
*
:
:
j
;
*
,
:
:
: .
1
; : : .
1
,
;
lil
u
^fû
i
f
Mata uang emas
f'
t *
14L
Salah satu keramik.
69
i*
Bendera yang dipergunakan di dalam perang rakyat
Aceh melawan Belanda.
Panji-panji perang yang dipergunakan dalam perang Cut
Ali di Bakongan.
70.
Peudeueng meutampok.
Sejenis meriam hasil kerja sama tehnik antara Kerajaan
dengan Turki.
71
^34lQ?4