(srap) redd+ kalimantan barat
Transcription
(srap) redd+ kalimantan barat
i Jenis : Dokumen SRAP REDD+ Kalimantan Barat No. Dokumen : F 04/BLHD/XII/2013 Tanggal : 12 Desember 2013 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Saran dan kritik : [email protected] [email protected] [email protected] TIM PENYUSUN Dr. Ir. H. Gusti Hardiansyah, MSc.,QAM Ir. H. Adi Yani, MH Dr. Ir. H. Fahrizal, MP Ir. H. Erianto, MP Ir. Hj. Yuslinda, MH Ir. Michael Jeno, MM Yosef Lego Ngo, S.Hut Ir. Boy D.R. Manuputty Arifin, SP Hendarto, S.Hut., M.Sc Ir. Rifwan Darmawel, SH, MH Yenny, S. Hut, MT Etty Septia Sari, ST, MIL Rosadi, S.Ag, M.Si Zuhry Haryono, S.Hut Ir. Iskandar, AM, M.Si Ir. H. M. Idham Ilyas, S.Pd.I Zailani, B.Sc Sholatiana, SH Asnan Fauzi Irvanto, ST KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dokumen SRAP REDD+ Kalimantan Barat (Kalbar) berhasil dirampungkan. Sebagai kepala daerah, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada seluruh tim penyusunan dokumen. Tentunya, dokumen tersebut sangat berarti bagi Provinsi Kalbar. Dengan dokumen itulah bisa dijadikan acuan atau pedoman untuk mengimplementasikan program REDD+ di Kalbar. Dokumen SRAP REDD+ Kalbar memang sudah lama disiapkan. Tim penyusun telah menghabiskan banyak waktu, tenaga, serta pemikiran. Semuanya berjalan lancar dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Tentunya semua itu dilatarbelakangi oleh semangat ingin menjaga hutan Kalbar agar tetap lestari dan jauh dari upaya deforestasi dan degradasi. Semangat yang telah diperlihatkan tim penyusun merupakan bagian dari upaya mensinergikan pendekatan top-down (RAN GRK; STRANAS REDD+) dengan yang bersifat bottom-up, tidak terkecuali pada tingkat para pengguna sumber daya alam (contoh AMDAL para pemegang izin usaha pemanfaatan dan kegiatan masyarakat) terkait dengan upaya pengurangan emisi. Upaya itu juga memberikan arahan bagi berbagai inisitatif/program kegiatan yang muncul, baik secara lokal atau bahkan internasional (melalui program-program kerja sama internasional yang semakin banyak di Kalbar) terkait dengan pengurangan emisi. Lebih penting lagi, upaya yang dilakukan untuk menyelaraskan upaya vertikal dan horizontal, termasuk yang tertuang dalam berbagai dokumen perencanaan pembangunan ekonomi dan unit manajemen agar lebih memiliki sensitifitas lingkungan menuju satu visi yang sama. Perumusan Visi, Misi dan Tujuan SRAP REDD+ tentu memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalbar (2013-2018), khususnya Visi yang tercantum di dalamnya: “Mewujudkan Masyarakat Kalimantan Barat yang Beriman, Sehat, Cerdas, Aman, Berbudaya dan Sejahtera” Salah satu dari lima Misi RPJMD tersebut adalah: “Melaksanakan pengendalian dan pemanfaatan tata ruang dan tata guna wilayah sesuai dengan peruntukan dan regulasi, guna menghindari kesenjangan wilayah dan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan”. Di dalam dokumen ini, tim penyusun telah mensinergiskan visi, misi, dan program kerja Pemprov. Kalbar dengan program REDD+ Kalbar. Harapannya, program REDD+ merupakan bagian penting bagi Bumi Khatulistiwa. Program tersebut dirancang secara sistematis tentunya dengan harapan tidak hanya bisa menyelematkan hutan melainkan ikut mensejahterakan rakyat di sekitar hutan. Meningkatkan kesejahte raan rakyat merupakan point terpenting dalam mengimplementasikan REDD+. Apalah artinya iii program tersebut bisa diimplementasikan, sementara rakyat justru tidak mendapatkan apa-apa dari program tersebut. Hal tersebut tentunya tidak kita inginkan. Pemprov Kalbar beserta seluruh jajarannya, apa yang tertuang dalam dokumen SRAP REDD+ Kalbar ini bisa mensejahterakan rakyat secara luas. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang ikut andil dalam perampungan penyusunan dokumen SRAP REDD+ Kalbar. Semoga apa yang telah diperbuat memberikan manfaat besar untuk pembangunan Kalbar. Terima kasih atas segala perhatian dan dukungannya. Pontianak, November 2013 Gubernur Kalimantan Barat Drs. Cornelis, MH iv STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT KATA PENGANTAR Untuk mengimplementasikanREDD+ ini, didahului dengan penyusunan dokumen SRAP. Untuk mensosialisasikan draft awal dokumen yang telah disusun kepada, diadakanlah rapat kick off. Rapat ini bersama dengan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Penyusunan Dokumen SRAP REDD+ Kalbar ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+, Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) nomor 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Dengan adanya Dokumen SRAP REDD+ Kalbar ini, artinya Kalbar memiliki dokumen yang siap untuk mengimplementasikan program REDD+. Kalbar tidak lagi meraba-raba dalam menerapkan apa yang tertuang dalam teknis implementasi REDD+. Di dalam dokumen ini, secara umum digambarkan tata cara untuk mengatasi degradasi dan deforestrasi hutan di Bumi Khatuliswa. Ada patokan dan pedoman bagaimana cara implementasi REDD+ di Kalbar di dalam dokumen ini. Kami berharap, lewat dokumen SRAP REDD+ Kalbar ini, upaya untuk menjaga dan melindungi hutan bisa tercapai. Untuk mewujudkan itu semua, memang tidak cukup hanya membuat dokumen, melainkan ada implementasi nyata di lapangan. Kami berharap, semua pihak yang terkait dengan upaya deforestasi dan degradasi hutan di Kalbar bisa menjadikan dokumen ini secara pedoman dan acuan. Untuk mengimplementasikan SRAP REDD+ Kalbar butuh kerja sama dengan semua pihak terkait. Tidak hanya kerja sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se-Kalbar, melainkan juga pemerintah pusat. Selain itu, Pemprov Kalbar perlu bimbingan lebih lanjut dari pemerintah pusat untuk menerapkan apa yang telah tertuang dalam dokumen ini. Terima kasih atas perhatian dan dukungannya. Dokumen tidak ada artinya apabila hanya dibaca, apalagi disimpan di dalam rak. Dokumen baru bisa menjadi berharga dan bernilai apabila isi yang ada di dalamnya bisa diimplementasikan. Pontianak, November 2013 Kepala BLHD Prov. Kalimantan Barat Dr. Ir. H. Darmawan, M.Sc v KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT NOMOR : /BLHD/2013 TENTANG : PENGESAHAN DOKUMEN STRATEGI RENCANA AKSI PROVINSI PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTRASI DAN DEGRADASI HUTAN (SRAP REDD+) PROVINSI KALIMANTAN BARAT GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, Menimbang : a. bahwa hasil pertemuan CoP (Community of Practice) 13 di Bali terkait perubahan iklim untuk mendorong kepada para pihak dalam memulai kegiatan-kegiatan uji coba mekanisme pengurangan emisi dari deforestrasi di negara-negara berkembang serta memperhatikan hasil Konsultasi Nasional Region Kalimantan terkait pengembangan naskah Strategi Nasional REDD di Palangkaraya,14-15 Oktober 2010; b. bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degration (REDD+), mengamanatkan kepada seluruh provinsi untuk membentuk Tim Penyusun Dokumen SRAP REDD+ provinsi; c. bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah membentuk Tim Penyusun Dokumen SRAP REDD+ Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 437/ BLHD/2013; vii d. bahwa Tim Penyusun yang dibentuk telah melakukan penyusunan Dokumen SRAP REDD+ Provinsi Kalimantan Barat yang telah dibahas bersama para pihak yang berkepentingan, yang selanjutnya dokumen tersebut harus disahkan oleh Gubernur; e. berdasarkan pertimbangan sebagaimana huruf a, b, dan c di atas perlu dilakukan pengesahan Dokumen SRAP REDD+ Provinsi Kalimantan Barat dengan keputusan Gubernur. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1106); 2. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai keanekaragaman hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556); 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3557); 5. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401); 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa luas dan yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); viii STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT 7. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4425); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); 10.Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 12.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Peraturan Presiden Republik Indonesia; 13.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah kaca Nasional; 14.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degration (REDD+); 15.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan; 16.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan (REDD); ix 17.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung; 18.Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2008-2013 (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 Nomor 8). 19.Keputusan Gubernur Kalimantan Barat nomor 115/BLHD/2012 tentang Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja REDD+) di Provinsi Kalimantan Barat. MEMUTUSKAN : Menetapkan : x KESATU : Mengesahkan Dokumen Strategi Rencana Aksi Provinsi Pengurangan Emisi Dari Deforestrasi Dan Degradasi Hutan (SRAP REDD+) Provinsi Kalimantan Barat yang telah disusun oleh Tim Penyusun dan telah dibahas bersama oleh para pihak berkepentingan yang dapat dijadikan pedoman dalam pengelolaan pengelolaan hutan lestari melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, sebagaimana tercantum pada lampiran keputusan ini; KEDUA : Dokumen sebagaimana dimaksud pada Diktum kesatu merupakan pedoman yang bersifat dinamis, rasional, adaptif, saling melengkapi, dan sebagai arahan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam melaksanakan rencana aksi pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. KETIGA : Apabila dalam pelaksanaannya terdapat perubahan rencana aksi kegiatan sehingga dokumen sebagaimana dimaksud pada Diktum kesatu tidak sesuai lagi untuk dijadikan acuan pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, maka dapat dilakukan tinjauan kembali melalui pembahasan dengan melibatkan pihak-pihak terkait guna mencari bentuk rencana aksi yang sesuai dan dapat disepakati kembali dan dituangkan dalam dokumen yang telah diperbaiki; KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Ditetapkan di Pada tanggal Pontianak 13 Desember 2013 GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, CORNELIS Tembusan disampaikan kepada : Yth. 1. Menteri Dalam Negeri RI di Jakarta. 2. Menteri Kehutanan RI di Jakarta. 3. Menteri Negara Lingkungan Hidup RI di Jakarta. 4. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) 5. Sekretaris Jenderal Kementerian kehutanan RI di Jakarta. 6. Direktur Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan RI di Jakarta. 7. Direktur Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan RI di Jakarta. 8. Direktur Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan RI di Jakarta. 9. Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak. 10. Kepala BAPPEDA Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak. 11. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak. 12. Kepala Inspektur Wilayah Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak. 13.Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak. xi xii STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT RINGKASAN EKSEKUTIF Ancaman deforestasi dan degradasi hutan makin nyata. Hal tersebut bisa mengancam peningkatan emisi karbon. Bisa juga menimbulkan penurunan kemampuan hutan untuk menyerap dan menyimpan karbon serta gas buang dari industri dan transportasi akan terganggu. Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire perlu upaya untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia sendiri telah berkomitmen pada dunia siap menurunkan emisi gas 26%. Itu dengan upaya sendiri. Apabila ada dukungan dari negara maju, penurunan bisa meningkat menjadi 41% pada tahun 2020. Provinsi Kalimantan Barat juga menyatakan siap menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Potensi kawasan hutan 14.732.098 hektar memiliki peluang besar untuk berkontribusi menurunkan gas emisi. Komitmen kalbar siap berkontribusi sampai 7,8 % dari target nasional (pada tahun 2020, 552,3 juta [BAU] – 253,1 juta [MIT] = 299,2/5 = 59,84 juta tCO2(eq) maka 59,84 juta/767 juta x 100%). Sedangkan untuk manajemen sequestrasi, kalbar berkomitmen menyumbang sampai 13,3 % (hasil analisis SRAP REDD+ Kalbar 2013). Strategi Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Kalimantan barat mengangkat visi “ Menuju Kalimantan Barat Hijau untuk Indonesia dan Kesejahteraan masyarakat” dengan misi mengefektifkan instansi, lembaga, dan organisasi yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan lahan dalam pengurangan emisi, merencanakan dan menata kegiatan yang berbasis hutan dan lahan dalam rangka pengurangan emisi, melaksanakan peraturan/perundangan dan mendorong penegakan hokum di bidang pengelolaan hutan dan penggunaan lahan guna pengurangan emisi. Dalam penyusunan strategi dan rencana aksi telah dipetakan kompleksitas factor penyebab degradasi dan deforestasi hutan yang terjadi di Kalbar yaitu pelepasan kawasan hutan, penebangan kayu, kebakaran hutan dan lahan gambut, dan pinjam pakai kawasan. Instrumen MRV REDD+ yang diterapkan di Kalbar meliputi semua aktivitas (1) penurunan laju deforestasi; (2) penurunan laju degradasi hutan; (3) konservasi karbon; dan (4) peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan hutan lestari dan pengayaan simpanan karbon (missal perlindungan dan penanaman hutan). Prinsip MRV yang digunakan: terbuka (Transparancy), taat azas (Consistency), dapat dibandingkan (Comparability), teliti (Accuracy), lengkap (Completeness), mengacu MRV Nasional. Kelembagaan REDD+ diusulkan ke Pemprov Kalbar dengan membentuk Badan Pengelola REDD+ Kalbar. Tugas utama badan ini adalah mengkoordinasi kegiatan secara tematik, termasuk penyelenggaraanrangkaian kegiatan pengukuran, pelaporan, dan verivikasi, selanjutnya memastikan efektivitas pendanaan REDD+ serta secara berkala melaporkan perkembangan program proyek/kegiatan di daerahnya kepada lembaga REDD+ Nasional. BP REDD+ Kalbar inilah yang nantinya mendelegasikan apa saja informasi, program, pendanaan dari BP REDD+ Nasional. BP REDD+ Kalbar juga menjadi fasilitas untuk pembentukan lembaga serupa di tingkat Kabupaten/Kota. xiii Langkah langkah strategi untuk melindungi hak-hak masyarakat local dalam implementasi REDD+ di Provinsi Kalimantan Barat yaitu dengan memberikan informasi secara transparan, pelaksanaan dan pengawasan pada skala kecil komunitas seperti Dusun dan Desa, melakukan kajian awal terkait pola dan mekanisme local dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik, menyusun standar prinsip dan criteria indicator perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan distribusi manfaat secara partisipatif melalui proses konsultasi dan diskusi bersama masyarakat local, meminta pendapat dan keterlibatan masyarakat pada proses-proses kesepakatan dan perubahan kesepakatan tanpa paksaan pada setiap proses implementasi REDD+, menyusun dan menetapkan standar operasional (SOP) semua pelaksanaan kegiatan yang dilakukan dalam implementasi REDD+. Pada akhirnya, dengan adanya dokumen SRAP REDD+ Kalbar diharapkan dapat memberikan sumbangsih nyata mitigasi perubahan iklim dan penurunan gas emisi. REDD+ bukan sekadar mengejar imbalan insentif karbon, jauh lebih penting adalah demi kehidupan generasi mendatang, menyelematkan lingkungan dari segala kerusakan hutan dan lahan yang bisa menimbulkan peningkatan gas emisi. Dalam posisi ini, apabila SRAP REDD+ Kalbar bisa terwujud, bukan hanya untuk kesejahteraan rakyat Kalbar semata, melainkan untuk kehidupan dunia global ini. xiv STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT DAFTAR ISI Nomor Tubuh Utama Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Singkatan Halaman ii iv vi vii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Dasar Hukum 1.3 Ruang Lingkup 1.4 Metodologi I-1 I–6 I–7 I–8 BAB II PROFIL DAERAH DAN PERMASALAHAN EMISI GRK 2.1 Kondisi wilayah 2.1.1 Kondisi Perubahan Tutupan Lahan 2.1.2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Statusnya 2.2 Degradasi dan Deforestasi 2.2.1 Pelepasan Kawasan Hutan 2.2.2 Penebangan Kayu 2.2.3 Kebakaran Hutan dan Gambut 2.2.4 Pinjam Pakai Kawasan 2.3 Kompleksitas faktor penyebab degradasi dan deforestasi di Indonesia II – 1 II – 3 II – 3 II – 5 II – 7 II – 8 II – 10 II – 12 II – 13 BAB III RENCANA NASIONAL PENGURANGAN EMISI DAN POSISI DAERAH 3.1 Strategi Nasional REDD+ III – 1 3.2 Posisi SRAP REDD+ III – 3 3.3 Kepentingan dan Posisi SRAP REDD+ dalam RAD GRK dan Perencanaan Pembangunan III – 6 3.4 Kesiapan dan Peluang Kalbar dalam Implementasi REDD+ III – 11 BAB IV STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+KALBAR 4.1 Landasan Pikir Pengembangan SRAP REDD+ Kalbar IV – 1 4.2 Metode Penetapan SRAP REDD+ Kalbar IV – 3 4.2.1. Identifikasi isu utama IV – 3 4.2.2. Identifikasi Sebab dan Akar Masalah IV – 8 4.2.3. Penetapan Strategi dan Rencana Aksi IV – 15 4.3 Strategi Pemenuhan Prasyarat Penerapan REDD+ IV – 15 4.4 Strategi Penguatan Kondisi Pemungkin Penerapan REDD+ IV – 20 4.5 Strategi Investasi Rendah Karbon Hutan IV – 29 4.5.1. Program Perbaikan Tata Kelola Hutan Produksi IV – 29 4.5.2. Program Perbaikan Tata Guna Lahan dan Perkebunan Kelapa Sawit IV – 30 4.5.3. Program Perbaikan dan Penguatan Tata Kelola Hutan IV – 31 4.5.4. Program Pencegahan Kebakaran hutan dan lahan Gambut IV – 33 4.5.5. Program Efektifitas Peningkatan Pertanian Berkelanjutan IV – 33 4.5.6. Program Rehabilitasi Lahan Gambut Terdegradasi IV – 34 4.5.7. Program Perbaikan Tata Guna Lahan dan Tata Kelola Pertambangan IV – 35 xv 4.6 4.7 4.8 4.9 Strategi Perhitungan, Pelaporan dan Verifikasi Struktur Kelembagaan Pengelolaan Program 4.7.1. Fungsi Pengumpulan dana dan alokasi 4.7.2. Fungsi Pemantauan dan Evaluasi 4.7.3. Fungsi Kebijakan dan Perencanaan Tata Ruang 4.7.4. Fungsi Pelibatan masyarakat 4.7.5. Fungsi Dukung Sarana dan Prasarana 4.7.6. Fungsi Dukungan Sumber Penghidupan Berkelanjutan Pendekatan pelaksanaan program Kerangka Pengaman Sosial (Safeguard) dan Lingkungan 4.9.1. Penerapan Padiatapa 4.9.2.Memenuhi Prasyarat Kerangka Pengaman Sosial dan Lingkungan BAB V PENGUKURAN, PELAPORAN DAN VERIFIKASI 5.1 Pengembangan Instrumen dan Kelembagaan MRV 5.2 Prosedur Pengukuran Emisi yang digunakan 5.3 Prosedur Menghadapi Verifikasi Emisi Karbon 54 Perhitungan MRV untuk BAU dan Mitigasi 5.4.1. Perhitungan MRV Untuk BAU 5.4.2. Perhitungan MRV untuk Mitigasi dan Manajemen Sequestrasi IV – 35 IV – 36 IV – 38 IV – 39 IV – 39 IV – 40 IV – 40 IV – 41 IV – 41 IV – 42 IV – 42 IV – 43 V–1 V–4 V – 12 V – 13 V – 14 V – 15 BAB VI ARAH DAN PROGAM STRATEGI REDD + KALIMANTAN BARAT 6.1 Strategi Pengembangan Kelembagaan REDD+ dan Sinergi Kebijakan VI – 1 6.2 Pengembangan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berkelanjutan Bagi Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan VI – 8 VI – 9 6.3 Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Hutan 6.4 Mengutamakan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Lokal Dalam Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan dan Distribusi Manfaat REDD+ VI – 9 6.5 Pengembangan Skema-Skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) VI – 10 BAB VII PENUTUP LAMPIRAN xvi STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT DAFTAR TABEL Nomor Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 2.7 Tabel 2.8 Tabel 2.9 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4 Tabel 5.5 Tabel 5.6 Tabel 5.7 Tabel 5.8 Tabel 5.9 Tabel 5.10 Tabel 5.11 Tubuh Utama Perubahan Pandangan Mengenai Penyebab Deforestasi di Indonesia Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan Barat Luas masing-masing kabupaten/kota di Kalbar Perubahan penutupan lahan dari tahun 2006 – 2011 Status fungsi kawasan di Kalimantan Barat Laju deforestasi dan degradasi Hutan Kalbar dari tahun 2006 – 2011 (Hektar) Rerata Laju Per Tahun Degradasi dan Deforestasi Hutan Menurut Kabupaten/Kota Se-Kalbar (Ha/Tahun) Pelepasan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2006-2011 Data produksi kayu bulat tahun 2008 – 2011 Luas kebakaran hutan dan gambut Beberapa kasus rendahnya margin yang diterima produsen Target penurunan emisi nasional Target penurunan emisi dalam RAD GRK Provinsi Kalimantan Barat Pengelompokan isu-isu Utama Sektor Berbasis Lahan di Kalbar Beberapa Sektor, isu, Sebab dan Akar Masalah Detorestasi dan Degradasi di Kalimantan Barat Matrik rencana aksi pemenuhan prasyarat SRAP REDD+Kalbar Matrik Rencana Aksi Penguatan Kondisi Pemungkin SRAP REDD+Kalbar Sub-sistem MRV Provinsi Kalbar Nilai Cadangan Karbon Per Tipe Tutupan Lahan Pool AGB (Above Ground Biomass) Ton/Hektar Matrik Emisi Gambut (Ton/Hektar) Aksi Mitigasi Pada Masing-Masing Kegiatan Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Penurunan Emisi (ton CO2 eq) Pertumbuhan Riap dari Tahun ke Tahun dalam hubungannya dengan sequestrasi CO2 (eq) TPTII C = 141,07 riap = 7,11 ton/ha Pertumbuhan Riap dari Tahun ke Tahun dalam hubungannya dengan sequestrasi CO2 (eq) TPTI C = 97,99 riap = 1,45 ton/ha Sebaran Luas Kegiatan Mitigasi di Tiap-Tiap Kabupaten Sampai Tahun 2020 (Hektar) Luas Hutan Alam Yang Dipertahankan Dengan Management” (Hektar) Kontribusi Kabupaten Terhadap Penurunan Emisi GRK Provinsi Kalbar Pengaruh Kebijakan Moratorium (PIPIB 4) Terhadap Mitigasi Landbase Halaman I–2 I–3 II – 1 II – 3 II – 4 II – 5 II – 6 II – 7 II – 8 II – 11 II – 14 III – 4 III – 4 IV – 4 IV – 9 IV – 17 IV – 21 V–3 V – 14 V – 14 V – 15 V – 17 V – 18 V – 18 V – 19 V – 20 V – 22 V – 23 xvii DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar 1.1 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Tubuh Utama Halaman Diagram Metodologi Perìyusunan SRAP REDD+ Kalbar I – 10 Peta Administrasi Kalimantan Barat II – 2 Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2006 dan 2011 II – 3 Simulasi Membedakan Posisi Degradasi dan Deforestasi II – 5 Dalam Konteks REDD+ Gambar 2.4 Grafik Degradasi dan Deforestasi Masing-Masing Kabupaten/ II – 6 Kota di Kalbar (Hektar/Tahun) Gambar 2.5 Peta Sebaran IUPHHK-HA di Kalimantan Barat II – 9 Gambar 2.6 Peta Sebaran IUPHHK-HT di Kalimantan Barat II – 10 Gambar 2.7 Peta Sebaran Hutan Rawa di Kalimantan Barat II – 12 Gambar 2.8 Faktor penyebab degradasi dan deforestasi di Indonesia II – 13 Faktor penyebab degradasi dan deforestasi di Indonesia Gambar 3.1 Kerangka Strategi Nasional REDD+ dengan Lima Pilar Utama III – 2 Strategi Program (Satgas REDD+ Indonesia, 2012 Gambar 3.2 Kepentingan, Posisi dan Peran SRAP REDD+ Dalam RAD- III – 7 GRK, Perencanaan Pembangunan Daerah dan Stranas REDD+ Gambar 3.3 Posisi SRAP REDD+ dalam Kerangka Perencanaan III – 10 Pembangunan Daerah dan Implementasi RAD GRK Provinsi Kalbar Gambar 4.1 Hubungan antara Visi, Misi dan Tujuan dalarn rangka IV – 2 Menetapkan Strategi dan Rencana Aksi SRAP REDD+Kalbar Gambar 4.2 Klasifikasi Provinsi Berdasarkan Subjek dan Tekanan Atas IV – 8 Kawasan Gambar 4.3 Analisis Tulang Ikan (Fish Bond Analysis) Deforestasi dan IV – 14 Degradasi Hutan di Provinsi Kalbar Gambar 4.4 Struktur lembaga BP REDD+ Kalbar IV – 37 Gambar 5.1 Metode Penghitungan Estimasi di Tingkat Bentang Lahan V–4 Gambar 5.2 Pentahapan Umum Rencana Perhitungan Emisi V–5 Gambar 5.3 Mekanisme Pelaporan Hasil Pemantauan dan Evaluasi Emisi V – 10 Gambar 5.4 Metodologi Perhitungan Untuk MRV Kalbar Antara BAU dan V – 13 Mitigasi Gambar 5.5 BAU Land Base Carbon Stok V – 15 Gambar 5.6 Hasil Mitigasi Baseline V – 16 Gambar 5.7 Mitigasi Landbase + Management Periode I (2011-2015) V – 20 Gambar 5.8 Mitigasi Landbase + Management Periode II (2016-2020) V – 21 Gambar 5.9 Hasil Mitigasi Baseline Dengan Memasukkan Faktor V – 21 “Manajemen” Dalam Perhitungan ABACUS Gambar 5.10 Grafik Kontribusi Kabupaten Terhadap Penurunan Emisi GRK V – 22 Provinsi Kalbar xviii STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT DAFTAR SINGKATAN AMDAL : Analisi Mengenai Dampak Lingkungan APL : Areal Penggunaan Lain ASF: Amazonas Sustainable Foundation BAU: Business As Usual BBM : Bahan Bakar Minyak BKSDA : Badan Konservasi Sumber Daya Alam BLH : Badan Lingkungan Hidup BPKH : Balai Pemantapan Kawasan Hutan BUMN : Badan Usaha Milik Negara CA : Cagar Alam CDM A/R : Clean Develoment Mechanism for Afforestation and Reforestation CER: Certified Emission Reduction COP : Conforence of the Parties CSO: Civil Society Organization DAS : Daerah Aliran Sungai Disbun : Dinas Perkebunan FAO: Food Agriculture Organization FGD: Focused Group Discussion GIS: Geographic Information System GRK : Gas Rumah Kaca G to G : Goverment to Goverment HCFC-22 : Hidrofluorokarbon HCVF : High Conservation Value Forest HHBK : Hasil Hutan Bukan Kayu HL : Hutan Lindung HLKP : Hutan Lahan Kering Primer HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder HMP : Hutan Mangrove Primer HMS : Hutan Mangrove Sekunder HP : Hutan Produksi HPK : Hutan Produksi Konversi HPT : Hutan Produksi Terbatas HKm : Hutan Kemasyarakatan HPH : Hak Penguasaan Hutan HRP : Hutan Rawa Primer HRS : Hutan Rawa Sekunder HT : Hutan Tanaman HTI : Hutan Tanaman Industri ILEM: Intelligent Learning Environment Model IPK : Ijin Pemanfaatan Kayu IPM : Indeks Pembangunan Manusia IPEM: Integrated Power Electronic Module KKI : Komunitas Konservasi Indonesia BAB I xix : Kajian Lingkungan Hidup Strategis LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat LULUCF : Land Use Land Use Change and Forestry MK : Mahkamah Konstitusi MODEF: Mouvement de défense des exploitants familiaux MRV: Measurement Reporting Verification FOB : Free On Board NALEM: Newfoundland and Labrador Econometric Model NAPEM: National Alliance for Photonics Education in Manufacturing PADIATAPA : Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan PES: Payment for Environmental Service PETI : Pertambangan Emas Tanpa Izin PHPL : Pengelolaan Hutan Produksi Lestari PLK : Pertanian Lahan Kering PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur POKJA : Kelompok Kerja PPHBD : Perlindungan dan Pengamanan Hutan Berbasis Desa PUP : Petak Ukur Permanen QA: Quality Assurance QC: Quality Control REDD+: Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus RHL : Rehabilitasi Hutan dan Lahan RL: Reference Level RPJPD : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPPLH : Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah SDH : Sumber Daya Hutan SDM : Sumber Daya Manusia SKAU : Surat Keterangan Asal-Usul SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah SVLK : Sistem Verifikasi Legal Kayu TPA : Tempat Pembuangan Akhir WALHI : Wahana Lingkungan Hidup WUP : Wilayah Usaha Pertambangan WWF: World Wildlife Fund VCS: Verified Carbon Standard ZA : Zwavelzure Ammoniak KLHS xx STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor Kehutanan dalam konteks perubahan iklim termasuk ke dalam sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) adalah salah satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Kehutanan memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Sampai saat ini kontribusi sektor kehutanan dalam emisi GRK cukup besar, yaitu sekitar 47,12 % (KLH, 2009). Besarnya emisi ini, terutama dari deforestasi. Selain dari deforestasi, kontribusi GRK dari sektor LULUCF berasal dari kebakaran lahan gambut dan lahan gambut yang diolah.Beberapa faktor pemicu deforestasi dan degradasi yaitu penebangan liar, kebakaran hutan, dan konversi lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan penutupan lahan dengan cadangan karbon lebih rendah seperti untuk perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah (kabupaten), pertambangan dan pemukiman.Sumber emisi sektor kehutanan selain CO2 adalah N2O dan CH4. Gas-gas ini memiliki potensi pemanasan global yang lebih besar dibandingkan dengan CO2. Sektor kehutanan dan lahan gambut di Indonesia merupakan sektor memiliki potensi besar untuk upaya reduksi emisi karbon. Hal ini mengingat kontribusi emisi sektor ini 60% dari total emisi. Pengurangan emisi ini dilakukan melalui mekanisme untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan serta lahan gambut, upaya konservasi ekosistem, pengelolaan hutan secara lestari, peningkatan cadangan karbon. Pada tataran internasional, mekanisme tersebut dikenal dengan nama Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus (REDD+) yang konsepnya diakui dalam pertemuan antar pihak atau COP13 di Bali tahun 2007. Menurut Ahmad Sumitro (2005) laju kerusakan hutan tropis dimulai dari kerusakan ekosistem hutan (degradasi) dan penggundulan serta perombakan hutan (deforestasi). Kehilangan total terjadi jika hutan alam dikonversi untuk penggunaan lain (Perkebunan, Pertanian) atau sengaja dibakar, baik direncanakan ataupun tidak dirancanakan. Kerugian ekologis dapat terjadi pada hutan yang mengalami degradasi akibat ulah manusia antara lain pembalakan dan pengambilan hasil hutan lain yang destruktif. Dengan demikian, mempertahankan keberadaan hutan (alam) dan menjaga kualitas hutan alam tersebut dari berbagai gangguan menjadi tujuan yang paling mendesak terutama dengan situasi belakangan ini.Tidak dapat dihindari lagi bahwa krisis moneter telah memengaruhi kelangsungan hutan dan kekayaan ekosistem yang dikandungnya.Gangguan atau penyebab rusaknya hutan tropis sudah banyak diteliti oleh berbagai lembaga dengan kesimpulan yang berbeda-beda. Tabel berikut menyajikan adanya perubahan pandangan mengenai penyebab deforestasi di Indonesia sejalan dengan waktu, seperti disajikan pada tabel berikut : BAB I 1 Tabel 1.1 Perubahan Pandangan Mengenai Penyebab Deforestasi di Indonesia Jenis Penyebab Penyebab yang Pelaku mendasari Deforestasi Sumber Petani Rakyat Perkebunan Sistem Transmigran Transmigran dan Tanaman Perladangan Keras spontan Umum Berpindah Industri Perkayuan Pemerintah/ Perkembangan Politik Ekonomi World Bank 1990 FAO 1990 WALHI 1990 Barbier et.al 1993 World Bank 1994 MOF 1995 Dampak dilebihkan Pertumbuhan kepadatan penduduk dianggap penyebab paling penting Dampak dilebihkan Dampak dilebihkan Dampak dilebihkan Ross 1996 Fraser 1996 Koalisi Penguasa Kepadatan Penduduk Dampak dilebihkan Sumber : Occasional Paper CIFOR No. 9 (1) Tahun 1997 Ket : Petak yang diberi warna gelap menunjukkan bentuk pelaku/penyebab yang memegang peran utama dalam deforstasi Tabel di atas menunjukkan adanya pergeseran pendapat tentang penyebab deforestasi. World Bank dan FAO mengatakan Penyebab utamanya adalah perladangan berpindah, WALHI cenderung konsisten yaitu bahwa perusak hutan alam yaitu industri perkayuan. Barbier berpendapat adanya korelasi negatif antara luasanya tutupan hutan dengan kepadatan akibat pertambahan penduduk. Pertambahan jumlah penduduk, ekonomi, industri dan tingkat kesejahteraan hidup akan membuat konsumsi hasil hutan terutama kayu menjadi lebih tinggi sehingga menekan kemampuan hutan agar pertumbuhan dapat mengikuti permintaan. Keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia diharapkan tidak hanya berujung pada manfaat berupa reduksi emisi karbon, akan tetapi juga peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maupun masyarakat di sekitar hutan secara khusus dan keutuhan fungsi ekosistem. Hal ini ditandai oleh tingginya nilai keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnnya. Kemudian, diharapkan menjadi manfaat tambahan (co-benefit) dari implementasi REDD+. Dalam hal ini implementasi REDD+ dipandang sebagai suatu kesempatan dalam rangka transisi menuju Ekonomi Hijau yang rendah karbon. Dengan luas hutan kurang lebih 9, 2 juta hektar dan lahan gambut 1,7 juta hektar, emisi GRK di Kalimantan Barat (Kalbar) diperkirakan signifikan untuk dikelola. Sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi GRK sebesar 26% secara 2 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT mandiri, dan menjadi sebesar 41% dengan bantuan negara lain, maka perlu disusun Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) sektor Kehutanan dan Lahan Gambut di Kalbar. Sektor kehutanan dan lahan gambut di Kalbar berperan penting bagi penyimpanan karbon. Karena itu, apabila ada gangguan (disturbances) akan rentan menjadi sumber emisi karbon. Luas hutan di Kalbar ditetapkan 9,2 juta hektar (SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/2000). Rincian kawasan hutan menurut Surat Keputusan tersebut disajikan pada Tabel berikut : Tabel 1.2 Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan Barat Status Kawasan Cagar Alam Taman Nasional Taman Wisata Alam Suaka Alam Daratan Suaka Alam Perairan Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Hutan Produksi Konversi Jumlah Luas (Ha) 153.225 1.252.895 29.310 22.215 187.885 2.307.045 2.445.985 2.265.800 514.350 9.178.760 Sumber : Peta penunjukkan kawasan hutan dan perairan provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000 Deforestasi dan degradasi hutan yang saat ini secara nasional masih berada pada kisaran 700.000-800.000 hektar per tahun. Penyebabnya tidak hanya illegal logging berlebihan, juga akibat tumpang tindih lahan serta konversi kawasan atau areal berhutan ke sektor-sektor berbasis lahan. Mestinya, fungsi hutan dalam mempertahankan daya dukung lingkungan, keanekaragaman hayati menjadi pertimbangan. Bukan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi berkelanjutan saja, melainkan menjadi jaminan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkup lokal dan nasional, tidak ketinggalan komunitas global. Sebagai catatan, Indonesia memiliki lahan kritis mencapai hampir seluas 60 juta hektare. Tentunya persoalan tersebut menjadi perhatian dalam penyusunan SRAP REDD+ Kalbar. Ancaman deforestasi dan degradasi hutan makin nyata. Hal tersebut bisa mengancam peningkatan emisi karbon. Bisa juga menimbulkan penurunan kemampuan hutan untuk menyerap dan menyimpan karbon serta gas buang dan industri dan transportasi akan terganggu. Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire perlu upaya untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia sendiri telah berkomitmen pada dunia siap menurunkan emisi gas 26%. Itu dengan upaya sendiri. Apabila ada dukungan dari negara lain, penurunan bisa meningkat menjadi 41% pada tahun 2020. Sektor kehutanan menjadi bagian terpenting dalam penurunan gas emisi. Secara nasional penurunan emisi sektor kehutanan ditargetkan 14,0% - 35,8%. Landasan menargetkan sebesar angka tersebut, pertama deforestasi di negara-negara berkembang menyumbang hingga 20% dan emisi Karbon Dioksida (CO2) global. Kedua, karbon BAB I 3 tersimpan di dalam ekosistem hutan (“4.5O0 Gt CO2) atau satu setengah kali lebih besar dari pada yang ada di atmosfir (‘3.000 Gt CO2) (SRAP REDD+ Kaltim, 2013). Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemenpenas/ Bappenas) pasca COP 15 UNFCCC merumuskan Rencana Aksi Nasionat Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) 2010-2020. Pada level provinsi disusun juga Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK. Kebijakan tersebut bersifat menyeluruh, seperti pengelolaan lahan gambut, penanganan limbah, pengembangan program sektor kehutanan, pertanian, industri, transportasi, dan energi. Rupanya, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) melalui Badan Pengelola (BP) REDD+ menyusun Strategi Nasional Pengurangan Emisi dan Deforestasi dan Degradasi Hutan (Stranas REDD+). Untuk implementasinya bagi Kalbar dikenal Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+. Adanya SRAP REDD+ Kalbar memberikan manfaat: 1. Memadukan program RAN GRK; Stranas REDD+ dengan program yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota berkaitan dengan sumber daya alam dalam upaya pelestarian lingkungan dan pengurangan emisi; 2. Menjadi referensi bagi pembuat program di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Kalbar dalam menyusun program berkaitan dengan pengurangan emisi; 3. Mensinergikan RAN GRK, Stranas REDD+ dengan RAD GRK Kalbar dan RPJMD Kalbar dengan visi “Mewujudkan Masyarakat Kalimantan Barat yang Beriman, Sehat, Cerdas, Aman, Berbudaya dan Sejahtera”. Sedangkan salah satu misinya, “Melaksanakan pengendalian dan pemanfaatan tata ruang dan tata guna wilayah sesuai dengan peruntukan dan regulasi, guna menghindari kesenjangan wilayah dan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan”. Landasan utama tersebut menjadi rujukkan untuk untuk merumuskan SRAP REDD+ Kalbar. Visi, misi, dan tujuan SRAP REDD+ Kalbar yang disusun tentunya tidak keluar dari RPJMD Kalbar serta Stranas REDD+. Visi, misi, dan tujuan Stranas REDD+ bertumpu pada pertama, sumber daya alam hutan dan lahan gambut sebagai asetnasional. Kedua, pengelolaan berkelanjutan. Ketiga, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan misinya bertumpu, pertama pada pemantapan fungsi. Kedua, penyempurnaan peraturan perundanganan penegakan hukum, Ketiga, peningkatan kapasitas pengelolaan. Tujuannya Stranas REDD+ terbagi tiga kurun waktu, yaitu Jangka Pendek (2013-2015), Jangka Menengah (2013- 2020), dan Jangka Panjang (2013-2030). Sedangkan untuk SRAP REDD+ Kalbar visinya, “Menuju Kalimantan Barat Hijau untuk Indonesia dan Kesejahteraan Masyarakat”. Untuk misinya sebagai berikut: 1. Mengefektifkan instansi, lembaga, dan organisasi yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan lahan dalam pengurangan emisi; 2. Merencanakan dan menata kegiatan yang berbasis hutan dan lahan dalam rangka pengurangan emisi; 4 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT 3. Melaksanakan peraturan/perundangan dan mendorong penègakan hukum di bidang pengelolaan hutan dan penggunaan lahan guna pengurangan emisi; Untuk tujuannya: 1. Jangka Pendek (2013-2016) - Mengkoordinasikan antarlembaga pemerintah dari tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta lembaga atau organisasi yang berorientasi menjaga lingkungan hidup untuk bersama-sama mendukung pencapaian komitmen Indonesia dalam penurunan emisi 26% secara mandiri dan 41% bila ada bantuan negara lain. - Membentuk Badan Pengelola (BP) REDD+ Kalbar - Menyusun dan merencanakan program kerja BP REDD+ Kalbar - Mensosialisasikan program kerja BP REDD+ Kalbar 2. Jangka Menengah (2013-2020) - Penataan dan pengelolaan tata ruang wilayah berbasis lahan dan gambut - Implementasi program kerja BP REDD+ dalam rangka penurunan emisi - Terlaksana pembangunan Kalbar rendah karbon dan memberikan kontribusi terhadap target nasional dalam penurunan emisi 3. Jangka Panjang (2013-2030) - Hutan dan lahan gambut yang berada di Provinsi Kalbar menjadi kawasan rendah emisi (emiter), menyerap karbon maksimal (sequestration) dan menyimpan karbon maksimal (net carbon sink) pada tahun 2030. - Pembangunan berkelanjutan dengan fungsi dan jasa ekosistem hutan lestari bagi peningkatan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. 1.2. Dasar Hukum Dasar Hukum dalarn rangka penyusunan SRAP REDD+ Kalbar sesuai dengan hierarkinya adalah sebagai benikut: 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria danPengelolaan Sumber Daya Alam jo. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan RakyatSementara dan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik IndonesiaTahun 1960 sampai dengan tahun 2002; 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang PeraturanDasarPokok Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104;Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043); 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekòsistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor S Tahun 1994 Tentang Pengesahan Korivensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Keragaman Hayati; BAB I 5 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1994 tentang PengesahanUnited Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC); 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; 8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran NegaraNomor (3888); 9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286); 10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Protocol Kyoto dalam UNFCCC;.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; 11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421); 12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548); 13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Támbahan Lembaran Negara Nomor 4438); 14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (Lembaran NegaraTahun 2007 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725); 15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-PuIau Kecil (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 84; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739); 16. Undang-Undang Republik Indonesia Meteorologi,Klimatologi dan Geofisika; Nomor 31 Tahun 2009 tentang 17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Tahun 2009Nomor 140); 18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12. Tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan; 19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 6 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Tahun2004 Tentang Perlindungan Hutan; 20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor577); 21. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentangPengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 140,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4578); 22. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentangPembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsidan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737); 23. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2008 tentangTahapan, Tata Cara Penyusunan Pengendalian dan Evaluasi PelaksanaanPembangunan Daerah; 24. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 tentangPenguatan Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah;(26) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentangPengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlestarian Alam (LembaranNegara Tahuri 2012 Nomor 56; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5217; 25. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang RencanaPembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014;(28) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentangPenggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah; 26. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun’2011 tentang RencanaAksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK); 27. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011 tentangInventarisasi Nasional Gas Rumah Kaca; 28. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 29. lnstruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia; 30. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut; 31. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 2006 Tanggal 26 September 2006 Tentang Pemanfaatan Dan Peredaran Kayu BelianDalam Wilayah Provinsi Kalimantan Barat. 32. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan. 1998 BAB I 7 33. Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2009 Tentang Prosedur Tetap Mobilisasi Pengendalian Kebaran Hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat. 34. Surat Keputusan Gubernur No. 35 Tahun 2010 Tentang Pedoman Verifikasi Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa Di Provinsi Kalimantan Barat. 35. Peraturan Gubernur Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Penurunan emisi Gas Rumah kaca Provinsi Kalimantan Barat 36. Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri RI Nomor 660/ 95/ SJ/ 2012, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 0005/ M.PPN/ 01/ 2012 dan Menteri lingkungan Hidup RI Nomor 01/ MenLH/ 01/ 2012 perihal Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) tanggal 11 Januari 2012. 1.3. Ruang Lingkup 1. Penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut 2. Pengoptimalan kadangan karbon melalui konservasi dan pengelolaan hutan, rehabilitasi dan perbaiki kawasan hutan yang rusak. 3. Peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal, kelestarian keanekaragaman hayati, dan produksi jasa ekosistem. 1.4. Metodologi Dalam penyusunan dokumen SRAP REDD+ Kalbar ada beberapa tahapan yang dilakukan. Berawal dari pedoman Stranas REDD+, dari dokumen itulah tim penyusun mempelajari dan merencanakan penyusunan draf Dokumen SRAP REDD+ Kalbar. Sebagai tahapan pertama dilakukan Kick Off penyusunan SRAP REDD+ Kalbar di Hotel Mercure Pontianak, 4 April 2013. Pada tahapan perdana ini mengundang perwakilan instansi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang berhubungan dengan lahan dan gambut yang berkaitan erat dengan penurunan gas emisi. Tidak hanya itu, juga mengundang lembaga atau organisasi swasta yang peduli terhadap kelestarian lingkungan. Pihak UKP4 hadir untuk memberikan panduan dan cara menyusun dokumen SRAP REDD+. Setelah kick off, tim beberapa kali melakukan Focus Discussion Group (FGD) dengan mengundang pakar lingkungan hidup, tata ruang, kehutanan, ahli gambut, pencinta lingkungan, dan sebagainya. Berikutnya dilakukan konsinyuasi untuk mendapatkan masuka dan saran dari berbagai pihak untuk penyempurnaan dokumen. Untuk menguji apa yang telah disusun sementara, lalu digelar public hearing dengan melibatkan para pihak yang mengerti dan memahami persoalan hutan, gambut, emisi, tata ruang, hukum, dan praktisi lingkungan hidup. Itu dilakukan untuk lebih 8 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT memantapkan dokumen yang telah disusun. Dari masukkan dan saran yang didapatkan selama public hearing, tim kemudian mengolah kembali dokumen untuk memasukkan yang belum sempurna, dan membuang apa yang tidak perlu. Usai perbaikan dokumen pasca public hearang, sebagai langkah terakhir, tim menggelar konsultasi publik. Kegiatan ini lebih dimaksudkan untuk mendapatkan saran dan masukkan dari instansi pemerintah terkait se-Kalbar serta penggiat lingkungan hidup yang lebih purna. Bagaimanapun, dokumen SRAP REDD+ Kalbar begitu disahkan akan menjadi pedoman utama bagi seluruh instansi pemerintah maupun swasta dalam upaya menurunkan gas emisi. Untuk itu, dokumen harus bisa mengakomodir segala saran, nasihat, masukkan, serta usulan dari berbagai pihak yang diundang. Harapan terbesar, dokumen yang disusun dalam waktu cukup lama bisa dioperasionalkan atau diimplementasikan dengan mudah oleh semua pihak. Setelah konsultasi publik, tim tinggal melakukan analisis ulang dengan memasukkan saran dan masukkan dari berbagai pihak lewat konsultasi publik itu. Berikutnya adalah penyelesaian dokumen. Apabila dokumen sudah selesai, lalu diserahkan ke pihak UKP4 untuk ditindaklanjuti. Inputs RAD GRK Dan Renbangda Stranas dan Peraturan Kebijakan Nasional 1. Kick Off penyusunan SRAP Arahan SRAP REDD+ 2. FGD Dokumen dan Peraturan Kebijakan Provinsi Draft Dokumen SRAP REDD+ 3. Konsinyuasi 5. Konsultasi Publik Dokumen SRAP REDD+ 4. Public Hearing Inputs Implementasi Program Parapihak Gambar 1.1. DiagramMetodologi Metodologi Perìyusunan Perìyusunan SRAP Kalbar Gambar 1.1. Diagram SRAPREDD+ REDD+ Kalbar BAB I 9 10 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT BAB II PROFIL DAERAH DAN PERMASALAHAN EMISI GRK 2.1. Kondisi Wilayah Propinsi Kalimantan Barat (Kalbar) terletak di bagian barat Pulau Kalimantan atau diantara garis 2o08” LU serta 3o05’ LS serta di antara 108o0’ BT 114o10’ BT pada peta bumi. Berdasarkan letak geografis itu, Kalbar tepat dilalui oleh garis Khatulistiwa (garis lintang 0o) tepatnya di atas Kota Pontianak. Kalbar juga salah satu daerah tropis dengan suhu udara cukup tinggi serta diiringi kelembaban tinggi. Ciri-ciri spesifik lainnya adalah wilayah Kalbar termasuk salah satu propinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara asing, yaitu dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Dengan posisi ini, Kalbar kini merupakan satu-satunya propinsi di Indonesia yang secara resmi telah mempunyai akses darat untuk masuk dan keluar dari negara asing. Sebagian besar wilayah Kalbar merupakan daratan berdataran rendah dengan luas sekitar 146.807 km2 atau 7.53 persen dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas Pulau Jawa. Wilayah ini membentang lurus dari Utara ke Selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar 850 km dari Barat ke Timur. Dilihat dari besarnya wilayah, Kalbar termasuk provinsi terbesar ke empat di Indonesia. Pertama adalah Provinsi Papua (319.036 km2), kedua Provinsi Kalimantan Timur (204.534 km2) dan ketiga adalah Provinsi Kalimantan Tengah (153.564 km2). Batas lengkapnya, untuk bagian utara berbatasan langsung dengan Sarawak Malaysia. Bagian selatan dengan Laut Jawa dan Kalimantan Tengah. Bagian timur Kalimantan Tenga, dan bagian barat Laut Natuna dan Selat Karimata Kalbar memiliki administrasi pemerintahan daerah berjumlah 14 kabupaten/ kota. ta. Kabupaten Ketapang adalah daerah terluas 31.240,74 km2 atau 21,28 persen. Diikuti Kabupaten Kapuas Hulu 29.842 km2 atau 20.33 persen dan Kabupaten Sintang 21.635 km2 atau 14,74 persen. Lebih lengkap luas daerah masing-masing kabupaten/ kota di Kalbar sebagai berikut: Tabel 2.1. Luas Kabupaten/kota di Kalbar Luas Kabupaten/kota Kabupaten Sambas Kabupaten Bengkayang Kabupaten Landak Kabupaten Pontianak Kabupaten Sanggau Kabupaten Ketapang Kabupaten Sintang Kabupaten Kapuas Hulu Kabupaten Sekadau Kabupaten Melawi Luas (Ha) 6.394.70 5.397.30 9.909.10 1.276.90 12.857.70 31.240.74 21.635.00 29.842.00 5.444.30 10.644.00 Persentase terhadap Luas Propinsi (%) 4,36 3,68 6,75 0,87 8,76 21,28 14,74 20,33 3,71 7,25 BAB II 11 Luas Kabupaten/kota Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang Luas (Ha) 4.568.26 6.985.20 107.8 504 Persentase terhadap Luas Propinsi (%) 3,11 4,75 0,07 0,34 Sumber: Kalimantan Barat dalam Angka 2011 Gambar 2.1 Peta Administrasi Kalimantan Barat 12 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT 2.1.1. Kondisi Perubahan Tutupan Lahan Data perubahan penutupan lahan kawasan hutan yang ada di Kalbar didasarkan pada analisis GIS dari tahun 2006-2011 hasil citra satelit pengindraan jauh (balai planologi kehutanan 2005 dan 2010) sebagai berikut: NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Tabel 2.2. Perubahan Penutupan Lahan dari Tahun 2006 - 2011 Tahun (Hektar) PENUTUPAN LAHAN 2006 2011 Air 139,778.96 139,778.96 Bandara 64.30 64.30 Belukar Rawa 775,609.07 773,163.00 Hutan Lahan Kering Primer 2,302,994.15 2,299,181.93 Hutan Lahan Kering Sekunder 2,552,863.79 2,394,571.03 Hutan Mangrove Primer 34.25 34.25 Hutan Mangrove Sekunder 115,387.91 113,822.85 Hutan Rawa Primer 27,997.23 26,766.10 Hutan Rawa Sekunder 1,690,830.15 1,481,308.75 Hutan Tanaman 12,299.73 12,299.73 Perkebunan 429,126.92 799,266.87 Permukiman 38,277.79 38,277.79 Pertambangan 59,884.46 98,071.63 Pertanian Lahan Kering 228,833.62 230,109.62 Pertanian Lahan Kering Campur 5,122,073.48 5,086,358.28 Rawa 122,659.79 121,569.98 Sawah 198,082.10 202,470.88 Semak Belukar 590,542.92 484,915.78 Tambak 7,876.67 9,163.39 Tanah Terbuka 304,415.34 408,437.50 Transmigrasi 12,465.75 12,465.75 14,732,098.39 Grand Total 14,732,098.39 Sumber : Analisis Data Spasial tahun 2012 Gambar 2.2 Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2006 dan 2011 BAB II 13 2.1.2. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Statusnya Berdasarkan fungsi kawasan, Kalbar dibagi dua fungsi kawasan, yaitu fungsi kawasan lindung seluas 3.952.625 Ha atau 43,06%, dan fungsi kawasan budidaya seluas 5.226.135 Ha atau 59,94%. Secara rinci fungsi kawasan yang ada di Kalbar dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.3.Status Fungsi Kawasan di Kalimantan Barat No A B Status Kawasan Kawasan Lindung/Protected Area = 3.952.625 Ha 1. Hutan Cagar Alam/Natural Conservation 2. Hutan Taman Nasional/National Park 3. Hutan Wisata Alam/Nature Tourism Forest 4. Hutan Lindung/ Protected Forest 5. Suaka Alam Laut/Marine Conservation - Daratan/Land - Perairan/Waterworks Kawasan Budidaya/Cultivated Area = 5.226.135 Ha 1. Hutan Produksi Terbatas/ Limited Production Forest 2. Hutan Produksi Biasa/ Common Production Forest 3. Hutan Produksi Konversi/ Convertible Production Forest Jumlah Luas (Ha) 153.275 1.252.895 29.310 2.307.045 22.215 187.885 2.445.985 2.265.800 514.350 9.178.760 Sumber: Kalimantan Barat dalam Angka 2011 Sampai dengan tahun 2011, kegiatan penataan batas kawasan hutan Kalbar telah mencapai 14.428,03 km atau sekitar 74,13 % dari target panjang batas kawasan hutan yang harus ditata batas, yaitu kurang lebih sepanjang 19.462,42 km. Tipe-tipe hutan Kalbar didominansi tipe hutan Meranti (Dipterocarp) dataran rendah, hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan hutan bakau. Total cadangan karbon per hektar, baik Karbon bagian atas tanah (above ground Carbon pool) maupun Karbon bawah tanah (belowground Carbon pool) yang terdapat pada hutan rawa gambut dan hutan bakau lebih besar dibandingkan dengan hutan Meranti dan hutan rawa air tawar. Luas lahan gambut Kalbar kurang lebih 1,7 juta hektar (BPS Kalbar, 2007). Hasil perhitungan spasial menurut citra Landsat, luas gambut di Kalbar diperkirakan hampir 2 juta hektar. Adanya perbedaan luas gambut tersebut kemungkinan kawasan rawa riparian termasuk dalam perhitungan luas gambut menurut citra satelit. Sekitar 70% penyebaran gambut tersebut dalam kawasan DAS Sungai Kapuas, dan sisanya berada dalam kawasan DAS Sungai Sambas, DAS Pawan, DAS Mempawah, dan daerah aliran sungai kecil lainnya. 14 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Penyebaran gambut dapat dibagi menjadi dua yaitu gambut pantai dan gambut pedalaman. Sesuai dengan letak kabupaten dan kota, gambut pantai umumnya terletak pada Kabupaten Ketapang, Kayong Utara, Kubu Raya, Kota Pontianak, Kabupaten Pontianak, Kota Singkawang, Bengkayang, dan Sambas. Gambut pedalaman umumnya terdapat di Kabupaten Sekadau, Melawi, Sintang dan Kapuas Hulu, serta sebagian di Landak dan Bengkayang. 2.2. Degradasi dan Deforestasi Laju deforestasi dan degradasi hutan dikalbar ditunjukkan dengan berbagai macam sebab, implementasi kebijakan yang didorong dengan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya degradasi dan deforestasi hutan Kalbar. Untuk menyamakan persepsi mengenai deforestasi dan degradasi digunakan pendekatan sebagaimana gambar berikut : Gambar 2.3 Simulasi Membedakan Posisi Degradasi dan Deforestasi Dalam Konteks REDD+ Data degradasi dan deforestasi di Kalbar akan menjadi fokus dalam menyusun SRAP REDD+. Berdasarkan peta tutupan lahan tahun 2006 dan 2011 yang telah ditetapkan sebagai dasar untuk penyusunan baseline, diperoleh hasil analisis bahwa laju degradasi dan deforestasi hutan Kalimantan Barat adalah sebagaimana dilihat pada tabel berikut : BAB II 15 Tabel 2.4 Laju Degradasi dan Deforestasi Hutan Kalbar dari Tahun 2006 - Tahun 2011 (Hektar) NO KAWASAN / KABUPATEN A. KAWASAN HUTAN Bengkayang Kapuas Hulu Kayong Utara Ketapang Kota Singkawang Kubu Raya Landak Melawi Pontianak Sambas Sanggau Sekadau Sintang NON KAWASAN HUTAN Bengkayang Kapuas Hulu Kayong Utara Ketapang Kota Singkawang Kubu Raya Landak Melawi Pontianak Sambas Sanggau Sekadau Sintang GRAND TOTAL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 B. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 DEGRADASI PLANNED UNPLANNED 15.137,24 32.011,70 1.187,56 1.095,06 3.193,30 6.778,01 166,21 818,88 7.498,44 3.154,83 97,75 697,36 2.443,42 72,41 2.062,67 342,25 1.932,75 105,67 610,18 326,66 2.956,40 339,77 3.104,82 96,10 112,46 1.111,50 6.844,47 30.735,63 13.581,67 2.737,36 1.861,16 1.964,53 1.301,68 281,12 325,06 5.752,91 1.730,43 158,60 3.747,11 3.599,45 3.609,47 326,97 691,19 154,02 680,67 321,88 4.093,28 974,42 5.805,45 787,16 25,30 1.372,53 2.015,54 45.872,87 45.593,37 TOTAL 47.148,94 2.282,62 9.971,31 985,09 10.653,28 97,75 3.140,77 2.135,08 2.275,00 715,85 3.283,05 3.444,60 208,55 7.955,98 44.317,30 4.598,51 3.266,21 606,18 7.483,34 158,60 7.346,55 3.936,44 845,21 1.002,55 5.067,70 6.592,62 25,30 3.388,07 91.466,23 DEFORESTASI PLANNED UNPLANNED 55.359,26 84.708,90 6.868,73 505,13 3.850,83 7.907,02 13.988,38 823,23 16.986,00 17.931,63 2.856,88 10.972,92 767,95 5.556,48 1.342,92 1.296,18 284,99 1.773,62 4.585,96 17.278,84 3.486,74 5.886,39 38,99 48,51 300,90 14.728,94 252.794,02 96.535,45 34.252,98 5.887,78 10.381,05 1.255,30 10.013,60 6.276,92 112.445,88 20.310,02 85,06 24.862,64 13.013,79 14.450,93 4.953,73 1.824,66 331,66 3.197,28 4.507,95 18.044,91 16.165,11 4.579,98 1.814,80 494,39 18.740,11 21.438,96 308.153,29 181.244,34 TOTAL 140.068,16 7.373,86 11.757,85 14.811,61 34.917,63 13.829,80 6.324,43 2.639,10 2.058,61 21.864,80 9.373,13 87,50 15.029,84 349.329,47 40.140,75 11.636,35 16.290,52 132.755,90 85,06 37.876,43 19.404,66 2.156,32 7.705,22 34.210,02 6.394,78 494,39 40.179,06 489.397,63 GRAND TOTAL 187.217,10 9.656,49 21.729,16 15.796,70 45.570,91 97,75 16.970,58 8.459,51 4.914,10 2.774,46 25.147,85 12.817,72 296,05 22.985,82 393.646,77 44.739,27 14.902,55 16.896,71 140.239,25 243,67 45.222,98 23.341,10 3.001,53 8.707,78 39.277,72 12.987,40 519,69 43.567,13 580.863,87 Sumber : Analisis Data Spasial Penapsiran Citra Landsat 2006 dan 2011 Selanjutnya berdasarkan penapsiran citra landsat dan tabel di atas, untuk mengetahui laju degradasi dan deforestasi baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan per tahun untuk masing-masing Kabupaten/Kota se Kalimantan Barat dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2.5 Rerata Laju Per Tahun Degradasi dan Deforestasi Hutan Menurut Kabupaten/Kota Se-Kalbar (Ha/Tahun) NO KAWASAN / KABUPATEN A. KAWASAN HUTAN Bengkayang Kapuas Hulu Kayong Utara Ketapang Kota Singkawang Kubu Raya Landak Melawi Pontianak Sambas Sanggau Sekadau Sintang NON KAWASAN HUTAN Bengkayang Kapuas Hulu Kayong Utara Ketapang Kota Singkawang Kubu Raya Landak Melawi Pontianak Sambas Sanggau Sekadau Sintang GRAND TOTAL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 B. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 DEGRADASI PLANNED UNPLANNED 3.027,45 6.402,34 237,51 219,01 638,66 1.355,60 33,24 163,78 1.499,69 630,97 19,55 139,47 488,68 14,48 412,53 68,45 386,55 21,13 122,04 65,33 591,28 67,95 620,96 19,22 22,49 222,30 1.368,89 6.147,13 2.716,33 547,47 372,23 392,91 260,34 56,22 65,01 1.150,58 346,09 31,72 749,42 719,89 721,89 65,39 138,24 30,80 136,13 64,38 818,66 194,88 1.161,09 157,43 5,06 274,51 403,11 9.174,57 9.118,67 TOTAL 9.429,79 456,52 1.994,26 197,02 2.130,66 19,55 628,15 427,02 455,00 143,17 656,61 688,92 41,71 1.591,20 8.863,46 919,70 653,24 121,24 1.496,67 31,72 1.469,31 787,29 169,04 200,51 1.013,54 1.318,52 5,06 677,61 18.293,25 DEFORESTASI PLANNED UNPLANNED 11.071,85 16.941,78 1.373,75 101,03 770,17 1.581,40 2.797,68 164,65 3.397,20 3.586,33 571,38 2.194,58 153,59 1.111,30 268,58 259,24 57,00 354,72 917,19 3.455,77 697,35 1.177,28 7,80 9,70 60,18 2.945,79 50.558,80 19.307,09 6.850,60 1.177,56 2.076,21 251,06 2.002,72 1.255,38 22.489,18 4.062,00 17,01 4.972,53 2.602,76 2.890,19 990,75 364,93 66,33 639,46 901,59 3.608,98 3.233,02 916,00 362,96 98,88 3.748,02 4.287,79 61.630,66 36.248,87 TOTAL 28.013,63 1.474,77 2.351,57 2.962,32 6.983,53 2.765,96 1.264,89 527,82 411,72 4.372,96 1.874,63 17,50 3.005,97 69.865,89 8.028,15 2.327,27 3.258,10 26.551,18 17,01 7.575,29 3.880,93 431,26 1.541,04 6.842,00 1.278,96 98,88 8.035,81 97.879,53 Sumber : Analisis Data Spasial Penapsiran Citra Landsat 2006 dan 2011 16 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT GRAND TOTAL 37.443,42 1.931,30 4.345,83 3.159,34 9.114,18 19,55 3.394,12 1.691,90 982,82 554,89 5.029,57 2.563,54 59,21 4.597,16 78.729,35 8.947,85 2.980,51 3.379,34 28.047,85 48,73 9.044,60 4.668,22 600,31 1.741,56 7.855,54 2.597,48 103,94 8.713,43 116.172,77 Berdasarkan tabel 2.5 bahwa laju degradasi dan deforestasi pertahun di Kalimantan Barat rata-rata mencapai angka 116.172,77 Hektar. Untuk lebih jelasnya perincian degradasi dan deforestasi yang terjadi baik di dalam kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan disetiap Kabupaten/Kota dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 2.4 Grafik Degradasi dan Deforestasi Masing-Masing Kabupaten/Kota di Kalbar (Hektar/Tahun) Kabupaten yang menempati posisi degradasi tertinggi sampai terendah dalam kawasan hutan berturut-turut adalah Kabupaten Ketapang, Kapuas Hulu, Sintang, Sanggau, Sambas, Kubu Raya, Bengkayang, Melawi, Landak, Kayong Utara, Pontianak, Sekadau dan Kota Singkawang. Sedangkan Deforestasi tertinggi dalam kawasan hutan adalah Kabupaten Ketapang, Sambas, Sintang, Kayong Utara, Kubu Raya, Kapuas Hulu, Sanggau, Bengkayang, Landak, Melawi, Pontianak, Sekadau, dan Kota Singkawang. 2.2.1 Pelepasan Kawasan Hutan Menurut SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/2000, luas hutan kawasan konversi (HPK) 514.350 Ha. Pada saat ini dapat diasumsikan bahwa kawasan HPK telah menjadi hak badan-badan usaha dan akan dialihfungsikan. Selain itu, sebagian kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) telah dialihfungsikan atau dalam proses alih fungsi menjadi APL. Rencana tata ruang yang sedang disusun, kemungkinan mengakomodasi permintaan alih fungsi kawasan hutan karena tingginya kebutuhan untuk pembangunan ekonomi, terutama pada wilayah administrasi kabupaten hasil pemekaran. Perubahan status kawassan hutan berupa pengurangan luas kawasan hutan, dilalui dengan proses pelepasan kawasan hutan. Pada prinsipnya pelepasan kawasan hutan merupakan proses mengubah peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan untuk keperluan usaha non kehutanan tanpa menyediakan tanah pengganti. Dalam hal ini, mekanisme pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK), yang memang secara ruang dicadangkan BAB II 17 bagi pengembangan areal non kehutanan seperti transmigrasi, permukiman, pertanian, dan perkebunan, dengan ketentuan pada wilayah provinsi yang dilepas kawasannya masih tersisa lebih dari 30% setelah pelepasan kawasan HPK tersebut. Mekanisme pelepasan kawasan hutan dikuatkan dengan surat keputusan dari Menteri Kehutanan. Dalam kurun waktu tahun 2006-2011 kawasan hutan yang telah dilepas mencapai 292.985,20 ha terdiri dari 12 lokasi perusahaan yang tersebar di 4 kabupaten. Sebagian besar pelepasan kawasan hutan berada di Kabupaten Ketapang, yaitu sebanyak 7 lokasi perusahaan dengan luas total mencapai 217.219,00, yang mana seluruh pelepasan kawasan hutan dalam kurun waktu 2006-2011 adalah perubahan kawasan HPK untuk keperluan usaha perkebunan, sebagaimana tersebut pada tabel berikut : Tabel 2.6 Pelepasan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2006-2011 No. A. B. C. D. Kabupaten/Nama Perusahaan Kabupaten Sanggau PT. Sumatera Jaya Agro Kabupaten Ketapang PT. Surya Mukti Perkasa PT. Permata Sawit Mandiri PT. Mustika Agung Sentosa PT. Karya Makmur Langgeng PT. Citra Sawit Cemerlang PT. Mitra Karya Sentosa PT. Bumi Sawit Sejahtera Kabupaten Kubu Raya PT. Pinang Witmas Abadi Kabupaten Kayong Utara PT. Jalin Vaneo PT. Cipta Usaha Sejati PT. Kayung Agro Lestari GRAND TOTAL Luas (Ha) 18.400,00 18.400,00 217.219,00 121.798,60 15.944,40 19.806,00 18.650,00 15.830,00 15.050,00 10.140,00 8.095,00 8.095,00 49.271,20 18.042,40 13.242,10 17.986,70 292.985,20 SK Pelepasan No. 733/Menhut-II/2009 No. 369/Menhut-II/2007 No. 165/Menhut-II/2009 No. 63/Menhut-II/2009 No. 352/Menhut-II/2009 No. 667/Menhut-II/2009 No. 733/Menhut-II/2009 No. 852/Menhut-II/2009 No. 664/Menhut-II/2009 No. 265/Menhut-II/2008 No. 266/Menhut-II/2008 No. 643/Menhut-II/2009 Sumber : BPKH Wil. III (dengan modifikasi) 2.2.2 Penebangan Kayu Penebangan kayu menyebabkan kehilangan karbon dari bagian atas dan bawah tanaman. Jika terjadi pada hutan rawa gambut akan mempercepat emisi karbon dari bahan organik tanah atau gambut. Penebangan kayu di Kalbar secara volume telah sangat berkurang apabila dibandingkan dengan era tahun 1970 sampai 2000. Produksi kayu bulat masih didominansi dari hutan alam dan hanya sebagian kecil berasal dari hutan tanaman. Secara umum, ada kecenderungan tidak tercapainya target produksi oleh perusahaan pemegang izin IUPHHK Hutan Alam. Menurut BPKH Kalbar (2010), realisasi produksi dibandingkan dengan rencana produksi hanya tercapai kurang dari 50%. Produksi kayu bulat tersebut sebagian besar berasal dari Kabupaten Ketapang, Kubu Raya, Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu. Realisasi produksi kayu cenderung lebih rendah dari rencana, dengan kisaran realisai terendah sekitar 11.538 m3 tahun 2011 pada IPK Hutan Rakyat dan yang tertinggi 275.720 m3tahun 2011 pada Hutan Alam di Kalbar. Dapat dilihat pada tabel berikut ini: 18 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Tabel 2.7. Data Produksi Kayu Bulat Tahun 2008 – 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 Sumber Produksi Hutan Alam Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) IPK Hutan Rakyat Hutan tanaman Industri (HTI) Penebangan kayu Belian Izin SKAU Kayu Gergaji Jumlah 2008 284.398 9.436 5.247 452.000 350 26.076 1.735 781.250 Produksi (m3) 2009 2010 183.141 185.570 8.831 8.831 849 291.788 1.534 7.643 554 5.776 202.693 495.841 2011 275.720 785.696 11.538 237.353 8.062 1.320.379 Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, 2012 Umumnya produksi kayu dari hutan alam oleh perusahaan untuk pasar ekspor. Kebutuhan kayu untuk kebutuhan pasar lokal diketahui cukup tinggi, terutama untuk bahan bangunan dan penguatan fondasi dalam pembangunan gedung, perumahan, dan jalan. Tingginya permintaan kayu oleh pasar lokal memicu kegiatan penebangan skala kecil yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, dan secara akumulatif berdampak pada kehilangan karbon dari hutan dan gambut. BAB II 19 Gambar 2.5 Peta Sebaran IUPHHK-HA di Kalimantan Barat 20 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Gambar 2.6 Peta Sebaran IUPHHK-HT di Kalimantan Barat 2.2.3 Kebakaran Hutan dan Gambut Masalah kebakaran hutan dan gambut sering berulang di Kalbar, terutama terjadi pada musim kering, mulai dari Juni sampai akhir Agustus. Kebakaran hutan terluas terjadi pada tahun 1997/1998 ketika terjadi musim kemarau berasosiasi dengan fenomena El Nino. Setelah kejadian El Nino tahun 1997, kebakaran hutan dan gambut BAB II 21 selalu terjadi setiap tahun. Dampak kebakaran hutan dan gambut terhadap emisi karbon sangat penting. Kebakaran secara langsung akan mengubah cadangan karbon menjadi gas-gas rumah kaca. Pada musim kering, pembakaran lahan dapat tidak terkontrol, dan menjadi ancaman bagi lahan-lahan perkebunanan kelapa sawit dan hutan tanaman industri karena kemungkinan terjadi api liar akan membakar areal perkebunan dan HTI. Berdasarkan data pemantauan titik api, pada tahun 2009 terdapat 9.788 buah mencakup 14 kabupaten/kota di Kalbar. Sekitar 56% (4.948 titik api) merupakan titik api pada kawasan hutan. Titik api terbanyak terdapat di Kabupaten Sambas (745 titikapi), 70% diantaranya berada di dalam kawasan hutan. Penyebab kebakaran hutan dan gambut sangat kompleks. Sebagian penyebab adalah kegiatan masyarakat dalam menyiapkan lahan dengan pembakaran, yaitu untuk membersihkan semak belukar dan abu hasil pembakaran bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Penyebab lain adalah perambahan hutan, yaitu pembakaran dilakukan untuk membuka hutan, kemudian ditanami dengan tanaman pertanian (umumnya jagung dan karet) sebagai upaya untuk mengklaim kepemilikan lahan. Pada kasus tertentu, api digunakan sebagai senjata untuk menyelesaikan konflik atas kepemilikan lahan. Perlu juga dicatat bahwa kebakaran hutan dan gambut terjadi pada kawasan Areal Penggunaan Lain (APL), dan kawasan hutan baik hutan produksi maupun konservasi. Adapun luasan kebakaran hutan dan gambut dapat disajikan pada tabel berikut: Tabel 2.8 Luas Kebakaran Hutan dan Gambut Luas Kebakaran (Ha) 2007 2008 2009 2010 Kubu Raya 69 447 428 105 Ketapang 5 10 642 0 Singkawang/Bengkayang 29 94 328 0 Sintang 496 0 848 46 Kapuas Hulu 39 0 0 0 Jumlah 637 550 2.246 151 Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, 2012 Kabupaten Rerata 262 164 113 347 10 896 Tabel 2.4 di atas hanya menggambarkan kebakaran hutan dan gambut yang dicatat oleh Manggala Agni, Kementerian Kehutanan, pada beberapa daerah pengamatan. Kebakaran gambut pada Kabupaten Kubu Raya dan Ketapang umumnya terjadi pada lahan gambut terbuka yang dilakukan oleh petani untuk menyiapkan pertanian tebas bakar secara musiman. Tidak tertutup kemungkinan lahan gambut yang berupa semak belukar ikut terbakar karena kurangnya kontrol dalam membakar gambut yang dilakukan oleh petani. Pada Kabupaten Bengkayang, Kapuas Hulu, dan Sintang, data kebakaran berasal dari lahan gambut dan Kawasan Konservasi, seperti Taman Nasional Danau Sentarum dan Taman Wisata Hutan Baning. Luas kebakaran hutan dan gambut yang terjadi di Kalbar jauh lebih besar dari catatan Manggala Agni tersebut. 22 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Gambar 2.7 Peta Sebaran Hutan Rawa di Kalimantan Barat 2.2.4 Pinjam Pakai Kawasan Untuk kepentingan pertambangan, sebagian kawasan hutan digunakan sebagai areal pertambangan, atau biasa disebut pinjam pakai kawasan. Pinjam pakai kawasan diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2008. BPKH Kalbar (2010) melaporkan terdapat 11 perusahaan swasta mendapatkan izin pinjam pakai kawasan, baik untuk pertambangan dan pembangunan prasarana. BAB II 23 2.3. Kompleksitas Faktor Penyebab Degradasi dan Deforestasi Gejala degradasi dan deforestasi yang sangat parah di Indonesia terjadi akibat akmululasi dan komplikasi berbagai faktor penyebab baik dari luar atau pun dari dalam kehutanan, sebagaimana dapat digambarkan pada pohon masalah sebagai berikut: rendahnya akses terhaap informasi Tata kelembagaan reforma agraris, kejelasan hak lahan, kearifan Lemah inovasi pengembangan industri yang dapat memberi lebih banyak pendapatan dan lapangan kerja Beragam penebangan liar Menurunnya suplai kayu untuk industri pengolahan menurunnya ekonomi lokal Rendahnya pendidikan dan keterampilan Lemahnya keberdayaan Lemahnya atau keliru mengelola pemasaran sehingga margin pemasaran rendah yang diterima negara produsun Ekstraksi sumber daya hutan yang berlebihan untuk lebih besar memperoleh pendapatan dan lapangan kerja Pengelolaan hutan tidak lestari menyebabkan degradasi dan deforestasi dengan kecepatan Lemahnya kewirausahaan Pasar intensif dari barang dan jasa konsumsi asing Iklan intensif dari barang dan jasa konsumsi i Meningkatnya konsumsi butuh pendapatan lebih besar Rendahnya kecepatan rehabilitas dan penanaman hutan Ancaman berat bagi kelangsungan ekonomi, lingkungan, dan keamanan dunia yang saling bergantung Gambar 2.8 Faktor penyebab degradasi dan deforestasi di Indonesia Terlihat dari gambar di atas, ada delapan faktor penyebab terjadinya degradasi dan deforestasi di Indonesia. Delapan penyebab itu sebagai berikut: 1. Rendahnya akses masyarakat terutama di wilayah pelosok (hinterland) terhadap informasi, baik secara kuantitas, kualitas, dan ketepatan waktu. Itu semua merupakan modal yang sangat diperlukan untuk mampu mengajukan tawaran yang benar. Secara kuantitas artinya jenis dan jumlah atau kelengkapan, secara kualitas artinya kesahihan dan ketelitian. Sedangkan secara ketepatan waktu artinya mendapat informasi pada waktu dan tempat yang tepat. Peluang untuk meningkatkan akses informasi dari hari ke hari semakin terbuka dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi. 24 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT 2. Rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan, baik dalam bidang yang umum maupun yang khusus bidang kehutanan. Kebanyakan masih berpendidikan setaraf sekolah dasar dengan keterampilan setaraf petani kecil tradisional. Kondisi yang rendah ini paling sesuai diperankan pada pertanian tradisional dan kehutanan skala kecil. 3. Lemahnya kewirausahaan, sebagai akibat terlalu lamanya masa penjajahan kolonial Belanda yang mewariskan budaya feodal. Kebanyakan masyarakat merasa rendah diri, merasa puas dan aman dengan hanya menjadi buruh, tidak banyak berharap menjadi pelaku usaha (baik pemiliki maupun pengelola). Sikap dan perilaku seperti itu telah sangat menghambat masyarakat untuk “menjadi tuan di negeri sendiri”. Dari warisan budaya tersebut komplikasi berikutnya adalah suka memberi peluang bagi masuknya agen-agen kekuatan usaha asing. 4. Rendahnya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan yang berkaitan dengan tatanan ideologi dan kelembagaan kehutanan yang tidak menganggap keberadaan masyarakat sebagai sumber daya yang dapat dipadukan, tetapi sebagai penghambat atau pengganggu. Masalah yang berkaitan dengan hal itu kemudian adalah munculnya ketidakjelasan atau kekaburan dalam berbagai hal, seperti hak-hak atas lahan, reforma, agraria, model pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau kolaboratif, dan lain-lain. 5. Struktur dasar yang tidak sempurna, sering kali berupa dasar monpsonistik (lawan dari mopolistik) dari produk hasil hutan. Dengan struktur pasar seperti itu telah menjadikan terlalu kecilnya bagian dari margin perdagangan yang diterima oleh pihak produsen, sehingga produsen tidak cukup berdaya untuk memelihara kebelanjutan usahanya. Tabel 2.9 Beberapa Kasus Rendahnya Margin yang Diterima Produsen Tahun 1976 Kasus Iuran hasil atau royalti sebesar US$ per m3 kayu bulat kepada pengusaha HPH hanyalah seperempat dari nilai rente ekonomi yang semestinya 1980 Harga ekspor kayu lapis (plywood) hanyalah sepertiga dari harga kayu lapis di pasar dunia. 2004 Harga sejenis papan partikel (particle board) FOB hanya seperempat dari harga produk yang sama di gudang pelabuhan eropa. Kecilnya bagian margin yang diterima menyebabkan produsen tidak hanya lemah dalam menemukan inovasi dan mengembangkan industri hilir yang bernilai lebih tinggi dan memberi lapangan kerja yang lebih besar, yang lebih buruk lagi adalah terjadinya ekstrasi sumber daya dala bentuk bahan mentah yang semakin berlebihan. 6. Iklan barang dan jasa konsumsi mewah dari luar negeri yang sangat intensif dan menggoda, menumbuhkan budaya konsumerisme dan menimbulkan permintaan yang lebih besar. Untuk menutup permintaan yang besar itu, maka ekstraksi sumber daya dalam bentuk bahan mentah kembali menjadi jawaban dan itu berarti melanggar batas kelestarian. Bisnis kehutanan dan sumber daya alam terbarukan BAB II 25 lainnya berbeda dengan bisnis pada umumnya, yakni dibatasi oleh kecepatan ekstraksi tertentu agar dapat lestari. Jika pemanfaatannya lebih besar dari kecepatan ekstraksinya, maka akan menyebabkan kerusakahan bahkan kehancuran dalam bentuk degradasi dan deforestasi. 7. Penebangan liar (illegal logging). Pengelolaan hutan yang tidak lestari di satu sisi telah menurunkan kapasitas produksi kayu untuk memenuhi permintaan industri yang justru bertambah besar, di sisi lain juga menurunkan kegiatan ekonomi lokal secara keseluruhan. Kejadian di kedua sisi itu telah mendorong munculnya beragam wujud penebangan liar yang semakin memperparah degradasi dan deforestasi. 8. Rendahnya kemajuan dan kecepatan rehabilitasi hutan dan pembangunan hutan tanaman bukan disebabkan oleh rendahnya potensi modal untuk invetasi, tapi masih terlalu menguntungkannya investasi pemanenan di hutan alam, bahkan dengan adanya pembalakan liar, ketergantungan terhadap hutan alam itu semakin sulit ditinggalkan. Kecuali dengan cara memberi kepercayaan kepada masyarakat dan pengusaha lokal, rehabilitasi hutan dan pembangunan hutan tanaman tetapi tidak cukup menarik bagi pengusaha besar kehutanan. 9. Faktor-faktor penyebab tersebut sangat nyata berkontribusi terhadap kerusakan dan hilangnya hutan khususnya di Indonesia umumnya dan Kalbar khususnya. Kerusakan dan kehilangan hutan tropika sangat besar diyakini tetapi menjadi ancaman besar bagi keberlanjutan ekonomi, lingkungan bahkan keamanan dunia. 26 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT BAB III RENCANA NASIONAL PENGURANGAN EMISI DAN POSISI DAERAH 3.1. Strategi Nasional REDD+ Pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan politik terkait pelaksanaan perjanjian iklim global dengan berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% dari skenario pembangunan Business as Usual (BAU) pada tahun 2020 dengan sumber pendanaan mandiri. Persentase itu akan bertambah 41% jika mendapatkan sumber pendanaan internasional. Indonesia berencana untuk memenuhi komitmen tersebut seiring dengan usaha untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi 7% per tahun. Dalam kerangka mewujudkan komitmen tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Peraturan Presiden No 71/2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Selanjutnya, skema REDD+ merupakan skema yang akan diterapkan dalam mendukung pencapaian target penurunan emisi berbasis lahan sebagaimana ditetapkan dalam RAN-GRK, khususnya dalam bidang kehutanan, lahan gambut dan pertanian. Pada bagian dokumen sebelumnya telah disinggung bahwa unsur utama dalam upaya penurunan emisi adalah mengelola perubahan dari bidang atau sektor berbasis penggunaan lahan, antara lain kehutanan, lahan gambut, perkebunan, pertanian pangan, dan pertambangan dengan upaya pengembangan Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+) serta Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ Provinsi (SRAP). Stranas REDD+ dan SRAP REDD+ dikaitkan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservasi karbon, pemanfaatan hutan secara lestari dan peningkatan cadangan karbon atau disebut dengan REDD+. Maksud dari penyusunan Strategi Nasional REDD+ adalah: (1). Menyiapkan dan melaksanakan sistem kelembagaan efektif; (2). Memberi dasar dan arahan bagi sistem tata kelola dan peraturan yang terintegrasi; (3). Membangun proses dan pendekatan yang sistematis dan terkonsolidasi bagi upaya-upaya penyelamatan hutan alam Indonesia beserta isinya; dan (4). Memberikan acuan bagi pengembangan investasi dalam bidang pemanfaatan lahan hutan dan lahan bergambut baik untuk komoditi kehutanan dan/ atau pertanian serta jasa lingkungan termasuk penyerapan dan pemeliharaan cadangan karbon. BAB III 27 Gambar 3.1 Kerangka Strategi Nasional REDD+ dengan Lima Pilar Utama Strategi Program (Satgas REDD+ Indonesia, 2012 Lima pilar strategi program utama Stranas REDD+, yakni kelembagaan dan proses, kerangka hukum dan peraturan, program-program strategis, perubahan paradigm dan budaya kerja; dan pelibatan para pihak. Kelima pilar itu diharapkan dapat mencapai tujuan pelaksanaan REDD+: 1. Menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dari sektor penggunaan lahan dan perubahannya serta kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry, LULUF) 2. Meningkatkan simpanan karbon 3. Meningkatkan kelestarian keanekaragaman hayati dan terpeliharanya jasa lingkungan 4. Pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi ekonomi hutan. Kelima pilar tersebut saling terintegasi dalam upaya mencapai tujuan Stranas REDD+. Implementasi pilar-pilar strategi secara utuh akan dijalankan pada akhir tahun 2012 sampai 2030 dan ditargetkan siap menjalankan pembayaran kinerja penurunan emisi terverifikasi mulai pada tahun 2012. Pada tataran sub-nasional di Kalbar, kelima pilar program dalam Stranas REDD menjadi rujukan yang dijabarkan lebih terperinci dan operasional dalam Strategi dan Aksi Provinsi REDD+ untuk implementasi REDD+ sesuai dengan karakteristik wilayah dan permasalahan deforestasi dan degraradasi hutan Kalbar. Sesuai dengan amanat Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011, maka provinsi diwajibkan untuk menyusun 28 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT RAD-GRK, maka perlu dipastikan konsistensi antara RAD GRK berbasis lahan dengan SRAP untuk pelaksanaan REDD+. Dalam jangka panjang SRAP REDD+ Kalbar dihubungkan dengan penciptaan kondisi pemenuhan prasyarat dan penguatan kondisi pemungkin, serta pencarian dan penyelesaian sumbat masalah yang menghambat keberhasilan penerapan skema REDD+ (troubleshooting/debottlenecking). Secara bersamaan menetapkan kegiatan pengembangan ekonomi berbasis sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan penghidupan masyarakat yang berkelanjutan. Dalam jangka panjang, provinsi mengembangkan pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dengan mempertimbangkan pelestarian fungsi bentang alam (landskap) bagi daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pelaksanaan Stranas REDD+ dijalankan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan kesiapannya dan dipandu oleh Dokumen Rencana Aksi Nasional untuk REDD+ dan Dokumen Rencana Bisnis Nasional untuk REDD+ yang dibangun berdasarkan Dokumen Stranas REDD+. Ketiga dokumen ini menjadi menjadi acuan dalam penyusunan Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Kalbar. SRAP REDD+ Kalbar akan menjadi pendukung utama dan menguatkan pelaksanaan RAD-GRK Kalbar yang telah disusun dan ditetapkan oleh Peraturan Gubernur. 3.2. Posisi SRAP REDD+ Posisi REDD+ khususnya bidang berbasis lahan seperti kehutanan dan lahan gambut menjadi strategis dalam pencapaian target penurunan emisi pada RAN GRK. Hal ini mengingat diberikan porsi tanggung jawab penurunan emisi lebih besar dibandingkan bidang lainnya. Dari total emisi Indonesia pada tahun 2020 sebesar 2,95 Giga ton C02e , maka 51,2 % atau 1,51 Giga ton C02e berasal dari emisi hutan dan lahan gambut. Dalam kondisi Business As Usual dengan target penurunan emisi 26% pada tahun 2012 - 2014, dari total target penurunan emisi dalam RAN-GRK sebesar 0,767 Giga ton C02e , maka 87,6% atau 0,672 Giga ton C02e target penurunan emisi diharapkan dari sektor kehutanan dan lahan gambut. Lihat Tabel 3.1 Dalam RAD-GRK Kalbar, jumlah total target penurunan emisi dalam kondisi business un usual pada tahun 2010 sampai 2020 sebesar 0,0624 Giga ton C02e, diantaranya 0,04 Giga ton C02e atau 64,1% pada bidang kehutanan dan lahan gambut. Pada Tabel 3.1, ditampilkan kondisi Business As-Usual bidang berbasis lahan atau upaya REDD+ seperti kehutanan, gambut dan pertanian memiliki kontribusi terbesar dalam target penurunan emisi yaitu 89,9 % diikuti bidang –bidang pengelolaan limbah 8%; energi dan transportasi 5% dan industri 0,4%. Memperhatikan target/ rencana atau kontribusi yang diharapkan dalam penurunan dari sektor berbasis lahan (REDD+) maka secara jelas dapat dilihat posisi strategis SRAP dengan upaya REDD+ dalam memberikan kontribusi penurunan emisi RAN-GRK. BAB III 29 Tabel 3.1 Target Penurunan Emisi Nasional Sumber: Perpres 61/2011 tentang RAN GRK Sedangkan target penurunan emisi di Kalbar dalam kondisi Bussines As Usual komulatif untuk semua sektor sampai dengan tahun 2020 adalah 568.496.242,92 Ton CO2-eq. Sektor berbasis lahan menyumbang emisi 533.589.632,72 Ton CO2-eq atau 93,84 % dari total semua sektor. Berdasarkan target nasional total emisi Bussines As Usual (BAU) adalah 2,950 Gton CO2-eq pada tahun 2020. Kalbar pada tahun 2020 berkontribusi 113.699.248,4 Ton CO2-eq atau 3,85 % dari target nasional. Sesuai dengan Peraturan Gubernur No. 27 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah penurunan emisi Gas Rumah Kaca Kalbar dapat ditampilkan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Target Penurunan Emisi Dalam RAD GRK Kalbar Sektor/Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut 30 Jumlah Penurunan Emisi Rencana Aksi Mitigasi Dari Baseline di Tahun 2020 Ton CO2-Eq (26%) 533,6 Jt (BAU) - 309,96 Jt Penambahan tutupan lahan, Pemantapan kawasan hutan melalui (mitigasi) = 223,64 Jt/5=44,73 revisi RTRWP yang rigit dengan mempertahankan Kawasan Jt konservasi dan hutan lindung gambut, Pencegahan deforestasi dan alih fungsi hutan gambut, Mencegah konversi hutan primer 44,73 jt/767jt x 100% = 5,83 % dan sekunder menjadi areal penggunaan lain, Rehabilitasi hutan dan pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan HTI, HTR, OBIT, HKM, Hutan Desa, RHL, KPHP, RE dan lain sebagainya, Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan, Pengendalian ilegal logging STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Sektor/Bidang Jumlah Penurunan Emisi Dari Baseline di Tahun 2020 Ton CO2-Eq (26%) Rencana Aksi Mitigasi Mempertahankan tutupan lahan yang berupa hutan, Melakukan perencanaan hutan yang baik, Pembatasan penggunaan lahan untuk pemukiman, Rehabilitasi lahan, Pembangunan hutan kota, Rehabilitasi lahan kritis/berpontesi kritis, Menjaga muka air tanah pada areal gambut (50-60 cm). Sektor Pertanian dan Peternakan 19,3 Jt (BAU)/5 = 3,86 Jt 18,9 Jt (mitigasi)/5 = 3,78 Jt 3,86 Jt – 3,78 Jt = 0,07 Jt 0,07 Jt/8 Jt x 100% = 8,75 % Sektor Industri 8,7 Jt (BAU)/5 = 1,74 Jt 0 Jt (Mitigasi) – 1,74 Jt = 0 Jt Menanam kacangan penutup tanah yang terbaik, Melakukan pemupukan yang tepat, Pengendalian hama dan penyakit yang terintegrasi, Pengendalian bahaya kebakaran, Pemanfaatan kotoran ternak untuk biogas, Pemamfaatan kotoran ternak untuk kompos Usulan Aksi Mitigasi Sektor Industri dapat dilakukan dengan produksi bersih Tidak berkontribusi Sektor Transportasi 2,48 Jt (BAU)/5 = 0,49 Jt 2,17 Jt (mitigasi) /5 = 0,43 Jt 0,49 Jt – 0,43 Jt = 0,06 Jt 0,06 Jt/38 Jt x 100% = 0,16 % Sektor Energi 3,5 Jt (BAU)/5 = 0,7 Jt 24,7 Jt (mitigasi)/5 = 4,94 Jt 0,7 Jt – 4,94 Jt = -4,24 Jt (menunjukkan tidak ada emisi dari bahan bakar fosil) Sektor Limbah 0,86 Jt (BAU)/5 = 0,172 Jt 0,183 Jt (mitigasi)/5 = 0,036 Jt 0,172 Jt – 0,036 Jt = 0,136 Jt Split Penggunaan Kendaraan Pribadi Menjadi Angkutan Umum, Smart/ Eco Driving Unmotorized Priority, Usulan Aksi mitigasi lain pada sector transportasi diantaranya adalah manajeman parkir, integrasi tataruang dengan transportasi dan lain sebagainya Penggunaan lampu LED untuk Rumah Tangga, Pengunaan Panel Surya Alternatif energy terbarukan Sampah organic dibuat kompos, Penerapan prinsip reduce reuse recycle (3R) Green consumer, Waste to energy 0,136 Jt/48 jt x 100%= 0,28 % Sumber : RAD GRK Provinsi Kalimantan Barat 2012 3.3. Kepentingan dan Posisi SRAP REDD+ Dalam RAD GRK dan Perencanaan Pembangunan Dalam RAN-GRK diusulkan rencana aksi mitigasi di lima bidang prioritas yakni pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, serta pengelolaan limbah. Guna mencapai target penurunan emisi di seluruh wilayah Indonesia, diamanahkan dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 untuk seluruh provinsi menyusun RAD-GRK yang ditetapkan dan dikoordinir pelaksanaannya oleh Gubernur. Di sektor berbasis lahan (kehutanan, pertanian) serta wilayah berlahan gambut yang relatif luas di Kalbar, posisi SRAP REDD+ sangat menentukan keberhasilan BAB III 31 implementasi RAD GRK dalam pencapaian target penurunan emisi provinsi. SRAP REDD+ Kalbar perlu dikembangkan. Apabila ditelaah, terdapat tiga aspek penting yang dapat dikontribusikan kepada RAD GRK, RAN GRK serta Stranas REDD+, yakni: 1. Skenario mitigasi dari sektor/bidang pemanfaatan lahan (kehutanan, pertanian dan lahan gambut) di daerah yang berpotensi menghasilkan emisi. Dengan pengelolaan yang baik pada sektor-sektor berbasis lahan ini dapat menyerap dan menyimpan karbon dan menghasilkan manfaat dampingan berupa kelestarian keanekaragaman hayati, pemanfaatan ekonomi, dan pengurangan kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Perbaikan tata kelola sumber daya masyarakat, dan meningkatkan hak-hak kelola masyarakat; 2. Usulan aksi mitigasi dari sektor/bidang pemanfaatan lahan, disesuaikan dengan karakteristik serta kapasitas (sumberdaya manusia, finansial, dan sebagainya) di daerah; 3. Implementasi aksi mitigasi, pengukuran, pelaporan dan verifikasi (Measurement, Reporting and Verification/MRV) dari pelaksanaan mitigasi sektor-sektor berbasis lahan. Lihat Gambar 3.2 menyajikan kepentingan, posisi, dan peran SRAP REDD+ dalam RAD-GRK, perencanaan pembangunan daerah dan Stranas REDD+. Secara keseluruhan SRAP REDD+ Kalbar dapat memberikan masukan tentang para pihak (dinas, kelompok, pihak-pihak berkepentingan lainnya) yang perlu untuk dilibatkan dalam perencanaan hingga implementasi dan MRV dari upaya mitigasi emisi dari sektor-sektor berbasis lahan (kehutanan, pertanian, perkebunan dan lahan gambut). Gambar 3.2 Kepentingan, Posisi dan Peran SRAP REDD+ Dalam RAD-GRK, Perencanaan Pembangunan Daerah dan Stranas REDD+ 32 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT SRAP REDD+ disusun pada tingkat provinsi. Dalam implementasinya melibatkan seluruh pemerintahan kabupaten/kota atau pemangku kepentingan. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu: 1. SRAP REDD+ adalah masukan kebijakan dalam Perencanaan Pembangunan. Kegiatan pembangunan harus terintegrasi dari pusat hingga ke daerah sampai kawasan perdesaan dengan masyarakatnya. 2. Wilayah administrasi provinsi memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam untuk didistribusi dan diberikan kepada daerah otonom terendah tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007; 3. Setiap Kabupaten/Kota telah membentuk Satuan Kerja Perangka Daerah (SKPD) sesuai kebutuhan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007; 4. Pemerintah Kabupaten/Kota lebih memahami ketimbang Pemerintah Provinsi tentang karakteristik dan kapasitas daerah dalam rangka implementasi dan MRV REDD+; Program nasional tentang penanggulangan perubahan iklim didasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan, yaitu UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perpres Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, dan Perpres Nomor 71 tahun 2011 tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Peraturan tersebut mengamanatkan bahwa inventarisasi permasalahan perubahan iklim serta pengembangan program-program penanggulangan untuk diintegrasikan ke dalam Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah Nasional/ Daerah (RPJMN/D). Rencana Strategi REDD+ dikembangkan untuk menjadi acuan utama pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan perubahan iklim dalam bidang kehutanan, lahan gambut, dan pemanfaatan lahan. Selain itu, UU Nomor 32 tahun 2009 memberikan perintah dan mandat kepada Kepala Daerah untuk menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Propinsi (RPPLHP). Dokumen RPPLHP ini sangat strategis bagi perencanaan pembangunan di daerah, sebab berbagai proses perencanaan pembangunan daerah (RPJPD maupun RPJMD) harus mengacu kepada RPPLH ini. Secara lebih spesifik Pasal 10 ayat (5) UU Nomor 32 tahun 2009, menegaskan RPPLH Provinsi ini akan menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi. RPPLH Provinsi disusun dengan memperhatikan RPPLH Nasional, inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan inventarisasi tingkat ekoregion. Pelaksanaan RPPLH Provinsi akan diatur dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi. RPPLH Provinsi memuat rencana tentang: (a). pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam; (b). pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; (c). pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan (d). adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. BAB III 33 Dalam perencanaan pembangunan daerah, baik di tingkat Provinsi ataupun di Kabupaten/Kota) dikenal Rencana Pembangunan jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang berjangka waktu 20 (dua puluh) tahun; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berdurasi 5 (lima) tahun; dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang merupakan rencana tahunan. Ditingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) juga ada Rencana Strategis (Renstra) berdurasi 5 (lima) tahun serta Rencana Kerja (Renja) berjangka waktu 1 (satu) tahun. Berdasarkan uraian diatas, bahwa kerangka perencanaan pembangunan menempatkan Dokumen RPJMD pada posisi yang paling strategis, merupakan rujukan bagi rencana tahunan atas penjabaran rencana jangka panjang, dan sekaligus menjadi rujukan atau pedoman dari sektor/ bidang dalam merumuskan rencana strategis pembangunan. Pelaksanaan skema REDD+ tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh aturan perundang-undangan, kebijakan dan kinerja dari seluruh sektor pembangunan berbasis lahan. Strategi Nasional REDD+ dibangun berdasarkan pemahaman atas seluruh aturan perundang-undangan sektor dan non sektor yang berimplikasi pada pengelolaan hutan dan lahan, serta realitas tata kelola dan pengelolaan (governance and management) hutan, lahan gambut dan keseluruhan pemanfaatan lahan di Indonesia. Pelaksanaan REDD+ secara efektif, diperlukan penciptaan pemenuhan prasyarat atau pra-kondisi dan penguatan kondisi pemungkin yang menyangkut penataan kembali sistem tata kelola dan sistem pengelolaan keseluruhan sektor pembangunan berbasis penggunaan lahan. Sebagai acuan utama pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan perubahan iklim dalam bidang kehutanan dan pemanfaatan lahan, Strategi Nasional REDD+ memuat mandat untuk melakukan perbaikan dan penyelarasan seluruh aturan perundang-undangan dan sistem kelembagaan sektor dan non sektor yang terkait dengan tata kelola dan pengelolaan hutan dan pemanfaatan lahan. Dengan mempertimbangkan jangka waktu SRAP REDD+ yang relatif panjang (hingga tahun 2030) memiliki tujuan antara, yaitu jangka pendek (2014) dan jangka menengah (2020), maka posisi SRAP REDD+ menjadi sangat penting sebagai pedoman dalam pengembangan rencana pembangunan lima tahunan, baik pada tingkat daerah maupun SKPD. Dalam konteks perubahan iklim dan khususnya pengurangan emisi juga ada RAN/RAD GRK yang bersifat lebih luas (dari sisi sektor/bidang, maka dalam rangka memelihara harmonisasi antar lembaga dan sekaligus pendekatan yang lebih sistimatis, maka SRAP REDD+ Kalbar berfungsi memberi penguatan input terhadap pencapaian target penurunan emisi. Gambaran posisi SRAP REDD+ yang dikembangkan di Provinsi Kalbar seperti pada Gambar 3.3. Proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah, dokumen SRAP REDD+ Kalbar perlu diintegrasikan dan diarusutamakan dalam proses formal pembangunan daerah. Berbagai dokumen rencana pembangunan daerah tersebut merupakan dokumen legal, mengikat dan memperoleh pendanaan secara rutin dari pemerintah. Proses integrasi dan pengarusutamaan bisa dilakukan secara simultan dalam berbagai 34 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT sarana seperti penyusunan RPJMD, Konsultasi Publik RKPD, Musrenbang, reses, dan dengar pendapat (hearing) dari para wakil rakyat daerah, dan penyusunan program CSR (Corporate Social Responsibility/Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) dari berbagai dunia usaha yang ada di daerah. Perencanaan Pembangunan Provinsi Kalbar RPJP 2013-2028 RPJMD 2013-2018 RKPD 2013-2028 MITIGASI EMISI GRK Perkebunan, Kehutanan dan Lahan Gambut Pertanian, Energi, Transportasi dan Industri Pengolahan Limbah RENSTRA 2013-2018, 2018-2023, 2023-2028 MRV EMISI GRK NASIONAL RENJA 20132018 MRV EMISI GRK KALBAR MRV EMISI GRK KALBAR Gambar 3.3 Posisi SRAP REDD+ dalam Kerangka Perencanaan Pembangunan Daerah dan Implementasi RAD GRK Provinsi Kalbar Guna mendapatkan capaian hasil maksimal dan efektif, pelaksanaan SRAP REDD+ ini akan dilakukan penguatan fungsi-fungsi koordinasi tematik antar kementerian/ lembaga pemerintah dan antara pusat dengan daerah. Kemudian melakukan koordinasi dalam pencarian sumber dan penyelesaian masalah (troubleshooting/ debottlenecking) yang menyangkut kewenangan antar kementerian dan lembaga pada tataran pemerintah pusat dan daerah yang terkait pelaksanaan program REDD+. Lalu, dibuka opsi bagi adanya kelembagaan (baru) yang bisa menanganinya, meski kemungkinan bersifat fungsional dan/atau bersifat sementara dan hanya memfasilitasi saja. Tentu hal ini menimbulkan tambahan biaya dan membutuhkan sumber daya manusia handal. Tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan informasi data dasar untuk mendukung penerapan REDD+. REN Hal terpenting berkaitan dengan integrasi SRAP REDD+ sebagai tujuan pembangunan di sektor lingkungan hidup (pro-environment) adalah jaminan bahwa tujuan akhir dari pembangunan daerah untuk menurunkan kemiskinan (pro-poor), penciptaan lapangan kerja (pro-job) melestarikan fungsi ekosistem dan lingkungan hidup (pro-environment), serta mendukung pertumbuhan ekonomi daerah (progrowth) tetap tidak akan terganggu. Lebih jelasnya SRAP REDD+ Kalbar dalam empat pilar pembangunan itu sebagai berikut: 1. Pro-Poor, upaya penurunan emisi program REDD+ akan mensejahterakan masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut; BAB III 35 2. Pro-Growth, program REDD+ akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan terutama di daerah lahan hutan dan gambut; 3. Pro-environment, program REDD+ dirancang untuk melestarikan lingkungan dengan upaya penurunan emisi dengan pencegahan aksi deforestasi dan degradasi dari lahan hutan dan gambut; 4. Pro-Job, tidak hanya bisa menumbuhkan ekonomi, menjaga lingkungan, mengurangi angka kemiskinan, program REDD+ dirancang untuk menyediakan lapangan kerja. Masyarakat di sekitar hutan dan gambut diberikan lapangan kerja agar tumbuh kesadaran untuk tidak melakukan kegiatan yang bisa menaikkan gas emisi. 3.4. Kesiapan dan Peluang Implementasi REDD+ Menyongsong implementasi REDD+ di Kalbar, ada beberapa kesiapan atau pra kondisi dan peluang yang dilakukan antara lain: 1. Adanya niat baik, komitmen, kemauan, dan komunikasi terbuka antara pemerintah daerah, sektor swasta, masyarakat lokal dengan lembaga-lembaga non pemerintah untuk berdialog terbuka dan bekerjasama dalam memersiapkan implementasi skema REDD+; 2. Provinsi Kalbar sebagai bagian dari provinsi-provinsi berhutan di Indonesia secara tegas telah diikutsertakan pada rencana nasional dalam mengawal isu pengurangan emisi global. Selama beberapa tahun terakhir melalui satuan tugas Pokja REDD+, Kalbar aktif juga pada forum Nasional di Aceh dan pada tahun 2009 bersama Gubernur California USA dan beberapa Gubernur lainnya di Indonesia, Gubernur Kalbar ikut menginisiasi berdirinya forum Internasional GCF (Governor’s Climate and Forest) task for Indonesia. 3. Gubernur Kalbar ikut dalam pertemuan High Level Meeting di COP 15, Kopenhagen Denmark bersama Presiden SBY. Kalbar mendukung komitmen Presiden RI untuk menurunkan emisi GRK 26 % di bawah proyeksi GRK pada tahun 2020 berdasarkan sekenario Bussines As Usual (BAU). 4. Provinsi Kalbar telah diberi kepercayaan dan dukungan oleh Pemerintah Pusat c.q Satgas REDD+ Nasional/UKP4 sebagai salah satu provinsi percontohan dari 11 provinsi berhutan di Indonesia untuk mempersiapkan dan melaksanakan REDD+ di masa depan; 5. Adanya dukungan dan komitmen pemerintah provinsi terkait upaya mitigasi perubahan iklim, seperti penyusunan dan penetapan RAD-GRK, pembentukan Komisi Daerah REDD+, penyusunan strategi pembangunan kesejahteraan rendah karbon; 6. Tersedianya contoh-contoh pengembangan dan hasil kerja di lapangan terkait persiapan dan implementasi REDD+ yang sudah dan masih berjalan dan dapat 36 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT dijadikan model penerapan skema REDD+ di masa depan, seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di Kapuas Hulu, Sintang dan Ketapang; Kabupaten Konservasi di Kapuas Hulu; RIL (Redused Impact Logging) dan HCVF (High Conservation Value Forest) di HPH/HTI; RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) di Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit; Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Kabupaten Sanggau, Sintang, Landak dan Kubu Raya; Hutan Kemasyarakatan (HKM) melalui Social Forestry Development Project (SFDP-Germany); hutan desa yang telah diusulkan di Kabupaten Ketapang, Kayong Utara, Sintang dan Kapuas Hulu; kerja sama pengelolaan sumber daya hutan inisiatif trilateral yang melibatkan Negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darusalam dalam program HoB ( Heart of Borneo); program Low Emission Development (LED) IFACTS-USAID; JICA melalui program Forest Fire Prevention dan IJ-REDD+; FLEGT Support Project kerja sama Negara Eropa dan Indonesia meliputi Illegal Logging Respons Center; WWF dan ITTO dalam bentuk Borneo Biodiversity Expedition Community Based Transboundary Management Plan; FFI-IP Orang Hutan Protection and Monitoring Unit bekerja sama dengan LSM Yayasan Palung dan Yayasan ASRI; Sylva Indonesia Untan dengan Arboretum sebagai pusat Biodiversity dan ruang terbuka hijau dijantung kota Pontianak; hutan adat/tembawang/hutan keramat/kawasan perkuburan tersebar di kabupaten Sintang, Kapuas Hulu; agroforestri masyarakat, kawasan restorasi ekosistem, kawasan Demonstratition Activities REDD+ tingkat tapak; 7. Adanya peluang bagi masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan sebagai berperan serta pro-aktif serta penerima manfaat langsung maupun tidak langsung dalam mekanisme implementasi REDD+; 8. Provinsi Kalbar telah membentuk Kelompok Komisi Daerah REDD+ melalui Keputusan Gubernur SK No. 115/BLHD/2012 tentang pembentukan Kelompok kerja pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (POKJA REDD+) tanggal 18 Januari 2012. Tupoksinya; a Menghimpun dan melakukan analisis terhadap data serta informasi berkaitan dengan program REDD+ di Kalbar; b Melakukan sosialisasi REDD+ dan komunikasi bersama semua pihak baik yang ada dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup teknis terkait kehutanan dan lingkungan hidup serta para pihak (swasta, LSM, dan masyarakat) dan donor (nasional dan internasional) yang bergerak dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta isu degradasi dan deforestrasi hutan (REDD+) di Kalbar; c Bersama-sama semua pihak di Kalbar baik Pemda, Kabupaten/Kota, pihak swasta, LSM, masyarakat serta donor (nasional dan internasional) yang bergerak dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta isu degradasi dan deforestrasi hutan (REDD+) untuk mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dan target Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca hingga 26% pada Tahun 2020 ; BAB III 37 d Melakukan telaah dan kajian dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta isu degradasi dan deforestrasi hutan (REDD+) bersama Pemerintah Kabupaten/Kota, serta semua pihak (swasta, LSM, masyarakat serta donor (nasional dan internasional) dalam membantu Pemerintah Kalbar dalam menyusun dan memutakhiran data induk (baseline) yang bertautan dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta isu degradasi dan deforestrasi hutan (REDD+) di lingkup Kalbar; e Menjadi simpul komunikasi bersama Pemerintah Kalbar dalam mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dan target Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca hingga 26% pada Tahun 2020; 9. Adanya praktik-praktik dan dukungan tingkat local dalam pengelolaan sumber daya alam hutan berbasis masyarakat atau CBFM/Community Based Forest Management yang masih berlangsung saat ini dan berpotensi besar sebagai modal social untuk penerapan REDD+ dalam konteks mitigasi perubahan iklim melalui penyimpanan karbon hutan adapun bentuknya adalah sebagai berikut: a. Hutan Adat Istilah hutan adat di Kalbar agak berbeda, antara lain Hutan Rimba di Desa Nanga Jelundung Kabupaten Sintang, Hutan Lindung/Lolong Kampong di Desa Nanga Sungai Seria Kabupaten Sintang, Hutan Rimba di Desa Nanga Siyai Kabupaten Sintang, Hutan Adat/Hutan Mancung dan Natai Rapit di Desa Landau Garong Kabupaten Melawi, Gurung Bulai di Desa Lintah Kabupaten Melawi, Kawasan Hutan Primer/Tuaan Henung, Tuaan Melung dan Tuaan Busaang di Desa Datah Diaan Kabupaten Kapuas Hulu, Hutan Lindung Adat/ Toan Adat di Desa Labian Kabupaten Kapuas Hulu, Kampong Galao/Hutan Cadangan Adat dan Kampong Embor Kerja/Hutan Produksi Adat di Desa Manuai Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu. Secara umum, hutan adat menurut pemahaman masyarakat adat dayat setempat merupakan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat secara terbatas. Apabila masyarakat ingin mengambil hasil hutan harus mendapat persetujuan dari ketua adat dan atau aparat daerah. Masyarakat dapat memanfaatkan kawasan ini untuk berburu, mencari bahan bangunan, rotan, obat-obatan, akar, dan umbut. Hasil-hasil sumber daya alam berupa kayu-kayu yang diambil dari hutan adat tidak boleh diperjualbelikan dan hanya digunakan untuk kebutuhan warga setempat. Penebangan dan pengambilan kayu dilakukan dalam kelompok atau tidak boleh dilakukan sendiri-sendiri. Khusus untuk pohon tapang (pohon madu), tengkawang, durian, belian tidak boleh ditebang. Kepemilikan pohon tengkawang, durian dan tapang tetap pada pemilik pertama dan dapat diwariskan. b. Tembawang Tembawang merupakan kawasan kumpulan pohon buah-buahan baik yang berasal dari bekas kampung yang telah ditinggalkan maupun lokasi yang sengaja ditanam pohon buah-buahan. Kepemilikan tembawang dalam budaya 38 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT masyarakat adat dayak bisa secara kolektif berdasarkan garis keturunan maupun perseorangan/keluarga. Pemanfaatan kawasan tembawang dilakukan secara terbatas. Anggota masyarakat atau pemilik tembawang hanya diperbolehkan mengambil buah-buahan, tanaman obat, madu, anggrek dengan tidak merusak atau menebang pohon dan kelestarian kawasan tembawang bersangkutan. Masyarakat setempat juga bebas berburu binatang liar di kawasan ini. Penebangan pohon tengkawang, durian, tapang dan pohon-pohon tertentu juga dilarang sehingga menjadikan kawasan tembawang tetap eksis. Kawasan tembawang ini tidak boleh dikelola dijadikan ladang atau dibuka untuk perkebunan. Perusakan terhadap kawasan ini akan dikenai sanksi adat “salah basa”. Hasil studi yang dilakukan oleh EC-Indonesia FLEGT Support Project (2008) memberikan gambaran keberadaan tembawang pada masyarakat adat dayak, yaitu di Desa Menua Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu, yang terdapat 3 jenis tembawang atau Temawai menurut bahasa setempat, sebagai berikut: - Temawai Rumah Panjae, yaitu perkampungan yang dihuni beberapa tahun dan kemudian ditinggalkan dan berpindah ke tempat lainnya. Bekas kawasan ini ditumbuhi jenis tanaman buah-buahan (durian, rambutan, langsat, asam, pinang, cempedak, rambai, rotan, tengkawang, dan tanaman bumbu-bumbuan lainnya). - Temawai Dampa’ (sementara), yang merupakan lokasi bekas perkampungan Rumah Panjae namun sifatnya sementara karena masyarakat pindah dari perkampungan tersebut akibat suatu kejadian yang tidak mereka duga. - Temawai Langkao Umai, yang merupakan tempat bekas mendirikan pondok ladang. Disekitar pondok ladang biasanya ditanami tanaman sayursayuran, bumbu-bumbuan, pisang, dan lain-lain kadang-kadang lokasi ini di ladangi kembali. c. Hutan Keramat atau Kawasan Pekuburan Hutan keramat merupakan lokasi yang dianggap angker yang dihuni oleh hantu-hantu atau merupakan lokasi pekuburan tua. Jika lokasi keramat diganggu maka menurut kepercayaan masyarakat adat, pelakunya maupun warga kampung akan mendapat bala atau musibah. Beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan keramat di dalam masyarakat adat dayak Provinsi Kalimantan Barat antara lain adalah Tana Pana dan Tana Mali di Desa Nanga Jelundung Kabupaten Sintang, Kawasan Rimba/Toan Samangat di Desa Labian Kabupaten Kapuas Hulu, Kawasan Keramat/Pendam/Lolong Mali di Desa Nanga Sungai Seria Kabupaten Sintang, Kampong Taroh di Desa Menua Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu. Secara ekologis, fungsi kawasan ini adalah sebagai sumber kekayaan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati, melindungi tanah dan air, menghasilkan produk hutan non kayu seperti gaharu, rotan, akar-akaran, damar, buahbuahan, tanaman obat-obatan, kayu bangunan, binatang liar, sumber mata air, bagian dari sistim budaya khususnya masyarakat hukum adat dan mengatur iklim. Dengan demikian, masyarakat sangat berkepentingan untuk menjaga BAB III 39 dan mempertahankannya. Kawasan ini hanya dapat dimanfaatkan oleh warga dengan seizin pengurus adat dan aturan yang sudah disepakati. Di kawasan hutan adat ini masyarakat tidak boleh menggarap, berladang, dan mengambil kayu. Masyarakat boleh memasuki kawasan ini hanya untuk keperluan yang berhubungan dengan adat kebiasaan. d. Bawas tua, bawas muda (Tajak bio/jamis) Merupakan lokasi persawahan dan pemukiman yang dikerjakan oleh masyarakat adat. Kawasan Umai atau Huma di dalam kawasan ini terdiri dari bawas tua atau bawas muda merupakan lahan ladang yang sedang diberakan atau sedang didiamkan untuk menunggu siklus berladang, yang dapat berupa danum dan tanah Kerapa atau ladang payak. 10. Adanya praktik sanksi adat terhadap pelanggaran di kawasan hutan untuk mengawal dan memonitor (safeguard monitoring) dalam rangka memastikan jasa lingkungan dan biodifersiti kawasan hutan adalah sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat adat. Sanksi-sanksi terhadap pelanggaran aturan adat dayak di Kalbar juga memiliki persamaan antar kelompok masyarakat adat, diantaranya dengan menyerahkan denda yang dapat berupa padi ataupun penyerahan benda lainnya. Sanksi yang diberikan berbeda untuk setiap pelanggaran yang terjadi. Itu tergantung di daerah mana pelanggaran itu terjadi. Semakin keramat atau semakin sakral kawasan hutan tersebut, sanksi yang diberikan akan semakin berat. Beberapa bentuk sanksi yang diberikan apabila terjadi pelanggaran di kawasan hutan adat di Kalbar antara lain sebagai berikut: a. Pelanggaran di Kawasan Hutan Adat Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran dalam pengambilan kayu, gaharu, rotan, anggrek, obat-obatan, keladi hutan dan segala kekayaan yang terkandung di dalam kawasan hutan adat. Itu dilakukan oleh anggota masyarakat lokal atau masyarakat luar desa tanpa izin dari Ketua Adat (Penggawa) atau Kepala Desa. Perbuatan itu dianggap sebagai pencurian dan dikenakan hukuman dua ulun. Satu ulun kira-kira setara dengan harga 1 gram emas di pasaran. Sedangkan di sebagian masyarakat adat Kabupaten Kapuas Hulu denda adat adalah Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) - Peralatan kerja disita. Barang-barang yang telah ditebang, diambil tidak boleh dibawa pelaku dan disita menjadi milik desa. - Pohon-pohon yang telah ditebang atau dirusak harus diganti dengan sejumlah uang yang akan diperhitungkan sesuai harga pasaran. Perlatan kerja akan dikembalikan kepada pemiliknya jika denda adat sudah dibayar. - Di sebagian masyarakat adat Kabupaten Kapuas Hulu, para pekerja kayu dilarang memakai atau mendatangkan pekerja dari luar. Jika melakukan pelanggaran dikenai denda adat Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Pekerja luar wajib diberhentikan seketika, juga dari denda adat yang terkumpul, 30% menjadi hak lembaga adat. 40 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT b. Pelanggaran di Kawasan Tembawang Bentuk sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran adat yang ditetapkan di kawasan tembawang adalah: - Penebangan atau pembakaran pohon buah yang dilindungi seperti tengkawang, tapang, durian dan pohon-pohon yang dianggap bernilai ekonomis yang dilakukan oleh bukan pemilik dianggap sebagai perbuatan perusakan milik orang lain. Pelakunya akan dikenai sanksi adat 6 (enam) ulun dan 8 (delapan) ulun jika ada kuburan. Setiap pohon yang dirusak akan dibayar sesuai dengan kondisinya yang dikaitkan dengan masa produktif pohon yang bersangkutan. Sedangkan di sebagian masyarakat adat Kabupaten Melawi, pelaku akan dikenai sanksi adat 40-60 real permas. Setiap pohon yang dirusak akan dibayar sesuai dengan kondisinya yang dikaitkan dengan masa produktif pohon yang bersangkutan. - Jika pelaku mempergunakan alat seperti parang, kampak, beliung atau chain saw, alat-alat tersebut disita sebagai barang bukti. - Buah atau pohon yang telah ditebang, tidak tidak boleh dibawa oleh pelaku dan tetap menjadi hak si pemilik tembawang (gupung buah). c. Pelanggaran di Kawasan Keramat Sanksi-sanksi bagi para pelaku yang merusak kawasan keramat adalah sebagai berikut: - Pelaku di hukum 8 ulun atau setara dengan Rp 1.600.000 (satu juta enam ratus ribu rupiah) sebagai perbuatan perusakan barang keramat atau sebesar Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah) di sebagian masyarakat adat Kabupaten Sintang. - Pelaku diwajibkan mengadakan upacara adat “tolak bala” agar penduduk terhindar dari mara bahaya karena kemarahan penghuni tempat keramat. Menurut pengalaman penduduk setempat, jika seseorang merusak tempattempat keramat umurnya tidak panjang. Kematiannya dapat disebabkan berbagai hal seperti sakit mendadak, jatuh, terluka atau dipatok oleh binatang berbisa. Dari beberapa bentuk kesepakatan terhadap pengelolaan hutan di masyarakat adat dayak di Kalbar dapat diketahui bahwa masyarakat adat memiliki “kearifan tradisional” (indigenous wisdom), yang merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia di dalam komunitas ekologis. Hal ini dapat diartikan bahwa masyarakat adat tidak hanya berpusat pada hubungan antar manusia dengan manusia, tetapi juga antara manusia dengan alam. Melalui kearifan tradisional ini, masyarakat adat menerapkan aturan adat dan larangan serta sanksi yang sudah ada sejak jaman leluhur mereka dan mereka yakini sebagai pedoman untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka miliki sehingga kehidupan mereka berjalan dengan damai dan sejahtera. Seringkali larangan-larangan tersebut sulit untuk dijelaskan secara ilmiah, tetapi karena sudah menjadi hal yang diwariskan mereka tetap BAB III 41 patuh menjalankannya. Masyarakat hukum adat yang bermukim di sekitar hutan memiliki pandangan bahwa hutan adalah bagian dari kehidupan mereka, dimana manusia adalah merupan bagian dari alam dan alam selalu bertindak jujur dan adil. Persepsi masyarakat adat dayak di Kalbar terhadap hutan yang berada di lingkungan mereka, berdasarkan hasil studi dari EC-Indonesia FLEGT Support Project (2008), antara lain adalah: - Keberadaan mereka di suatu wilayah bukanlah atas kemauan mereka sendiri tetapi karena warisan dari leluhur. Itu membuat mereka merasa berhak untuk mengelola sumberdaya alam yang ada di sekitar tempat tinggal. - Mereka sangat tergantung terhadap hasil hutan kayu dan non kayu untuk memenuhi kebutuhan primer, sandang, dan papan mereka, sehingga agar kehidupan mereka tetap berlangsung baik mereka akan berusaha untuk menjaga kelestarian hutan. - Hutan merupakan kawasan religi dan budaya, juga tempat tinggal arwah nenek moyang mereka. Apabila mereka merusak hutan adat, artinya mereka juga merusak tempat tinggal arwah nenek moyang yang dipercaya sebagai dewa pelindung mereka. Dengan adanya persepsi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya keberadaan masyarakat adat pada dasarnya bukan lah sebagai perusak hutan tetapi pemelihara hutan. Secara tidak langsung, hukum adat yang sudah lama tumbuh di masyarakat dayak memiliki peran penting menjaga lingkungan kawasan hutan. Sanksi adat yang diterapkan memiliki pengaruh efektif bagi siapa saja untuk tidak melakukan pengerusakkan hutan beserta isinya. Kearifan lokal tersebut tentunya sangat menunjang untuk implementasi REDD+ di Kalbar. 42 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT BAB IV STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+KALBAR 4.1. Landasan Pikir Pengembangan SRAP REDD+ Kalbar SRAP REDD+ Kalbar menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pencapaian visi “Mewujudkan Masyarakat Kalimantan Barat yang Beriman,Sehat, Cerdas, Aman, Berbudaya dan Sejahtera”. Initertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah Kalbar. Pencapaian visi tersebut dijabarkan pada misi kesepuluh RPJMDKalbar, yaitu melaksanakan pengendalian dan pemanfaatan tata ruang dan tataguna wilayah sesuai dengan peruntukan dan regulasi, gunamenghindari kesenjangan wilayah dan terwujudnya pembangunanyang berkelanjutan. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Kalbardikembangkan berdasarkan Visi, Misi dan Tujuan(Pendek, Menengah, dan Panjang) yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Visi SRAP REDD+Kalbar adalah“Menuju Kalimantan Barat Hijau Untuk Indonesiadan Kesejahteraan Masyarakat”. Tata kelola Sumberdaya Hutan dan Lahan di Kalbar yang Mampu Menyelaraskan Fungsi Lingkungan dan Manfaat Ekonomi BagiKesejahteraan Masyarakat”.Substansi inti dan visi tersebut) diharapkan dapat menyelaraskan sasaran yaitu fungsi lingkungan dan manfaat ekonomi yang pada akhirnya menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Substansi inti tersebut tergambar dalam Misi SRAP REDD+ berkaitan dengan aspek-aspek (1) Strukturdan fungsi kelembagaan pengelolaan hutan pada seluruh tingkatan; (2) Perencanaan pembangunan berbasis sumberdaya hutan; (3) Peraturan perundangan dan hukum bekaitan dengan pengelolaan hutan; serta (4) Kapasitas pengelola sumberdaya hutan. Keempat substansi di atas sudahdijabarkan dalam Tujuan SRAP REDD+ baik pendek 2013-2016, menengah 2013-2018 maupunpanjang 20132028 yang selanjutnya menjadi landasan penetapan strategi serta rencana aksi. BAB IV 43 Gambar 4.1. Hubungan antara Visi, Misi dan Tujuan dalam rangka Menetapkan Strategi dan Rencana Aksi SRAP REDD+Kalbar Persoalan lahan (land base development) masalah serius yang setiap tahun mengalami dinamika. Pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan sering berhadapan dengan masyarakat terkait lahan tersebut. Untuk itu, pembangunan berbasis lahan terkait visi dan misi di atas, perlu dirancang secara sistematis dan terprogram dengan baik. Beberapa kasus di Kalbar sering terjadi konflik antara masyarakat di sekitar lahan dengan pihak yang ingin memanfaatkan lahan tersebut. Ada persepsi yang sering ditemukan terkait masalah lahan tersebut. Pihak yang menggunakan lahan (pemerintah, perusahaan) berpegang pada aturan (hukum positif) yang kadang tidak diketahui secara merata oleh masyarakat sekitar lahan. Sementara masyarakat hanya berpegang pada adat istiadat (hukum adat) yang juga tidak dipahami secara menyeluruh oleh pemerintah maupun pihak perusahaan. Beda pemahaman ini sering menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Lahan yang kadang sudah dibebaskan saja (sah secara hukum positif) sering muncul persoalan di kemudian hari. Persoalan lahan memang harus clean (bersih) dulu ketika ingin memulai SRAP REDD+ Kalbar. Jika belum clean, akan sangat sulit untuk mewujudkan SRAP REDD+ di tengah masyarakat. Justru akan muncul banyak konflik. Apalagi program REDD+ ini lebih banyak bersifat top down ketimbang buttom up. Walau demikian, sebuah upaya baru diketahui hasilnya apabila sudah dilaksanakan. Sebuah rencana baru bisa ada hasilnya apabila seluruh program bisa diimplementasikan. Berangkat dari persoalan tersebut, SRAP REDD+ Kalbar langkah strategis yang mesti dilakukan untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan di atas adalah sebagai berikut: 1. Sosialisasi intensif. Pendekatan dengan masyarakat di sekitar hutan dan lahan mutlak dilakukan. Ajak masyarakat untuk untuk saling memahami apa sebenarnya REDD+ tersebut, berikan penjelasan mengenai hak dan kewajiban mereka. Butuh 44 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT waktu lama untuk melakukan itu semua, tidak bisa dengan satu atau dua kali pertemuan, melainkan harus intensif agar masyarakat benar-benar memahaminya. 2. Peningkatan Kapasitas. Mengajak masyarakat sekitar hutan dan lahan untuk meningkatkan kapasitas mengenai REDD+. Perlu ada pelatihan-pelatihan terkait implementasi REDD+. Dengan demikian, ketika program dilaksanakan, mereka sudah mengetahui apa yang mesti dilakukan. 3. Sinkronisasi Status Lahan. Persoalan lahan sering bermasalah akibat data yang dimiliki pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sering berbeda. Dalam hal ini perlu dilakukan sinkronisasi data lahan dengan melibatkan masyarakat. 4. Peningkatan Kesejahteraan. Akhir dari REDD+ adalah kesejahteraan masyarakat. Untuk apa program digarap berbiaya tinggi, kalau tidak memberikan kesejahteraan masyarakat. Perlu dilakukan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah program REDD+ yang akan dilaksanakan. Sebagai contoh, insentif yang akan diberikan kepada masyarakat atas jasa terhadap pengurangan deforestasi dan degradasi hutan bisa memberikan kesejahteraan untuk masyarakat. 4.2. Metode Penetapan SRAP REDD+ Kalbar Setelah ke empat hal utama dan substansial di atas dirasakan bisa dijamin untuk bisa diterapkan atau dilaksanakan, langkah berikutnya perlu merancang metode untuk penerapan SRAP REDD+ Kalbar tersebut. Motede merupakan sebuah cara untuk mencapai visi, misi, dan tujuan agar berjalan sesuai rencana dak tidak keluar dari apa yang telah ditetapkan. Sebagai langkah pertama yang mesti dilakukan melakukan identifikasi isu utama. Upaya ini dilakukan agar setiap persoalan atau masalah yang akan muncul bisa diidentifikasi secara jelas. Isu berkaitan dengan lingkungan hidup di Kalbar memang cukup banyak. Dari isu mengenai kerusakan hutan dan lahan sampai isu untuk memperbaiki atau memperbaiki apa yang telah rusak. Belum lagi persoalan konflik sering mengemuka dan mendapat perhatian media. Sebagai contoh, isu pemberian izin areal perkebunan kepala sawit. Pemerintah daerah yang memiliki instrumen berbagai persyaratan sebelum izin dikeluarkan, dengan mudah mengeluarkan perizinan. Begitu izin keluar, pihak yang mendapatkan izin mulai melaksanakan apa yang telah direncanakan. Begitu mau melakukan penggarapan lahan, muncul persoalan masyarakat tidak terima. Ternyata ada tumpang tindih lahan. Masyarakat memperlihatkan bukti lain soal kepemilikan lahan. Kalau sudah demikian masalahnya, yang muncul adalah konflik. Izin merupakan dokumen negara yang tidak mudah untuk dicabut atau dianulir. Sebab, untuk mengeluarkan sebuah izin sudah melewati proses cermat, teliti, panjang, dan mengeluarkan biaya. 4.2.1. Identifikasi Isu Utama Berikut ini sejumlah isu utama yang berhasil diidentifikasi. Bukan cuma diidentifikasi melainkan berhasil juga dikelompok berdasarkan sektor-sektornya: BAB IV 45 46 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT 1 No Kehutanan Sektor 1,7,8,9 1,4,6,7, 8,9,10 Pelaku Tidak Direncanakan Direncanakan kunci 1.Permukiman dan lahan garapan, Konflik 1,2,3,4,5, 1.Konversi Hutan Alam 6,7,8,9,10 Tenurial berdasarkan jumlah dan dan lahan gambut di sebaran desa terhadap kawasan hutan hutan produksi menjadi perlu dicermati karena sebagian besar Perkebunan, pemukiman, keberadaannya sudah ada sebelum infrastruktur jalan, NKRI. Berdasarkan BPS 2007 ada 1530 pertambangan dan desa yang tersebar di dalam kawasan pertanian (Food Estate, hutan 119 desa (7,8%) ; di tepi kawasan Transmigrasi, Tambak) (9 hutan 524 desa (34,3%); di luar kawasan Kabupaten) hutan 887 desa (57,9%). ( 12 Kabupaten) 2.Luas wilayah desa di sekitar kawasan 7,9,10 2.Pengambilan kayu alam hutan mengcover 14,2 juta hektar. untuk kebutuhan bahan Diketahui rata-rata desa yang berada di baku industri pulp, chip, kawasan hutan memiliki wilayah yang sawmill dan wood working lebih luas dibandingkan dengan desa (14 Kabupaten/kota) yang berada di luar kawasan hutan yaitu sekitar 17.967 Ha berbanding 7.687 Ha. Dengan keterbatasan aksesibilitas satu dengan yang lainnya. ( 12 Kabupaten) 3.Kebakaran hutan dan lahan yang 4,6,7,8, terjadi akibat proses alami misalkan 9,10 pada waktu musim kemarau panjang (El-Nino) terutama di lahan gambut (KKR,KTP,KKU,STG,KH, Kab.PTK) Isu Utama 3.Kurang berhasil efektivi1,4,9 tas pengelolaan kawasan hutan lindung, hutan Konservasi, Taman Nasional, Cagar Alam, Restorasi Ekosistem, HTR, Hkm (9 Kabupaten) 4.Menurunnya status 1,2,3,4,5, 4.Illegal logging atau Perambahan fungsi kawasan hutan (12 6,7,8,9,10 Hutan di kawasan hutan Produksi, Kabupaten) Konservasi, Hutan Lindung, Restorasi Ekosistem oleh penduduk pendatang (12 Kabupaten) 2.Kurangnya keberhasilan penanaman dalam reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan. (12 Kabupaten) 1.Pemberian IUPHHK-HA dan HTI (Kab. STG, KH, Melawi, KTP, KKR, SGU, SKD, BKY) Direncanakan Pelaku kunci 1,6,7,8, 9,10 Degradasi Tabel 4.1. Pengelompokan isu-isu Utama Sektor Berbasis Lahan di Kalbar Deforestasi Pelaku Pelaku Tidak Direncanakan kunci kunci 1,2,3, 1.Perambahan 1,4,8, 9,10 5,6,7, Hutan dan 8,9,10 illegal logging di kawasan hutan konservasi, Hutan Lindung, Taman Nasional, Hutan Produksi oleh penduduk lokal. (9 8,9,10 Kabupaten) BAB IV 47 Pertanian Lahan Basah (Gambut/ Mangrove) Perkebunan 3 3 Sektor 2 No 2.Pemanfaatan lahan berhutan untuk pertanian tebas dan bakar (Slash and Burn Agriculure) (12 Kabupaten) 1.Alih fungsi hutan bakau untuk tambak udang dan ikan (6 Kabupaten 1.Ekstensifikasi Kemandirian Pangan (Food Estate) (3 Kabupaten) Direncanakan 1,2,3,4, 6,7,8 2,4,9,10 Pelaku kunci 2,3,4,6, 7,8,9,10 Tidak Direncanakan Degradasi Pelaku kunci Isu Utama 1,2,3, 6,7,8 1,6,7,8 2.Pembuatan kanal di lahan gambut oleh perusahaan HTI dan Perkebunan Sawit. (9 Kabupaten) 1. Konversi Lahan berhutan ke perkebunan sawit skala besar oleh pemilik HGU (12 Kabupaten) 2,4,6,7, 8,10 1.Pengembangan food estate untuk swasembada pangan dan perluasan infrastruktur terkait MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia Koridor Kalimantan) (9 Kabupaten) Direncanakan 2.Perambahan Hutan oleh masyarakat pendatang (6 Kabupaten) 1.Konversi lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, karet karet, kopi, tebu dll oleh masyarakat lokal/ pendatang (14 Kabupaten/ Kota) 1.Kebakaran Lahan hutan dan gambut (9 Kabupaten) Deforestasi Pelaku Tidak Direncanakan kunci 1,2,3,6,7, 8,9,10 4,6,7,8, 9,10 4,6,7,8, 9,10 Pelaku kunci 48 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Pekerjaan Umum Tata Ruang Lain-lain 6 7 8 Pelaku kunci 1,3,4,5, 6,7,8 Keterangan: 1. Kementrian kehutanan 2. Kementrian pertanian 3. Kementrian pekerjaan umum 4. Kementrian lingkungan hidup 5. Kementrian energi dan sumber daya mineral 6. Pemerintah provinsi Transmigrasi 5 Direncanakan Pertambangan Izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan bauksit, batu bara, kaolin, emas, kuarsa (13 Kabupaten) Sektor 4 No 7. 8. 9. 10. Pemerintah kabupaten Swasta Penduduk lokal Penduduk migran Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) (12 Kabupaten) Tidak Direncanakan Degradasi Pelaku kunci 4,5,6,7, 8,9,10 Isu Utama 1. Pemekaran wilayah kabupaten/provinsi yang sudah tercatat dalam PROLEGNAS (14 Kabupaten/Kota) 1,3,4,6,7, 1.Perubahan peruntukan/ alih fungsi hutan yang sah melalui RTRWK/RTRWP 2.Pengembangan ekonomi wilayah budidaya non kehutanan dalam kawasan strategis nasional perbatasan 6,7,9,10 6,7,9,10 1,3,4,6, 7,8, 1,2,3,4,5, 6,7,8,9,10 1. Pengembangan infrastruktur jalan di kawasan perbatasan yang melewati kawasan hutan (9 Kabupaten) 1. Konversi hutan yang dialokasikan untuk program transmigrasi dan kawasan terpadu mandiri (4 Kabupaten) 1. Ekspansi dan konversi hutan untuk pertambangan bauksit, batu bara, kaolin, emas, kuarsa (13 Kabupaten) Direncanakan Deforestasi Pelaku Tidak Direncanakan kunci 1,3,4,5, 6,7,8 Pelaku kunci Berdasarkan identifikasi isu utama di atas, tingkat deforestasi dan degradasi hutan di Kalbar terbilang tinggi. Lebih jelasnya bisa dilihat dalam quadran di bawah ini. KORPORASI/PEMERINTAH MASYARAKAT Kalbar Gambar 4.2. Klasifikasi Provinsi Berdasarkan Subjek dan Tekanan Atas Kawasan 4.2.2.Identifikasi Sebab dan Akar Masalah Beberapa sektor dan isu-isunya yang menjadi penyebab serta akar masalahterjadinya deforestasi dan degradasi hutandi Kalbar berhasil diidentifikasi. Deforestasi dan degradasi hutan bukanlah persoalan baru, tetapi sudah dihadapi sejak puluhan tahunlalu.Akan tetapi isu tersebut terus berlangsung hingga kini. Sebagai contoh di Kabupaten Melawi Kalimantan Barat dengan ibukota Nanga Pinoh, sebelum pemerintah melarang praktik ilegal logging (IL), praktik tersebut sangat marak. Kota Nanga Pinoh sebelumnya sangat ramai. Aktivitas ekonomi ramai. Para pendatang dari segala penjuru daerah di Kalbar banyak mendatangi kota tersebut. Siang dan malam Kota Nanga Pinoh ramai dengan para pendatang yang banyak menjalankan bisnis kayu batangan (log). Tingkat hunia hotel juga tinggi. Untuk saat itu, Kota Nanga Pinoh menjadi hidup karena maraknya bisnis ilegal logging. Pada saat itu, isu kerusakan hutan menjadi sangat kuat, namun sangat sulit dihentikan. Ketika pemerintah mengetatkan ilegal logging, perlahan namun pasti praktik ilegal logging menjadi terhenti. Banyak pelaku ilegal logging yang diproses secara hukum. Banyak juga kayu ileggal logging yang disita oleh pihak kepolisian. Di satu sisi, kerusukan hutan bisa ditekan. Namun, di sisi lain, aktivitas ekonomi yang awalnya marak, menjadi melambat. Kota Nanga Pinoh untuk saat ini tidak seramai dulu. Sebuah dilema yang patut untuk dipikirkan ketika REDD+ diimplementasikan. Identifikasi sebab dan akar masalah dilakukan dalam upaya penghilangan penyumbatan (debottlenecking). Strategi dan atau rencana aksi yang hanya berbasis pada sebab, seringkali hanya menjawab kenampakannya (appearance) saja, bukan pada BAB IV 49 substansi (substance). Akibatnya, solusi yang ditawarkan tidak tuntasmenyelesaikan persoalan deforestasi dan degradasi hutan.Lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.2. Beberapa Sektor, Isu, Sebab dan Akar Masalah Deforestasi dan Degradasi diKalimantan Barat 50 No Isu Sebab Akar Masalah (1) (2) (3) (4) 1 Kehutanan 1.1 Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pemukiman dan Lahan Garapan a. Laju pertumbuhan penduduk b. Kebutuhan tempat tinggal/rumah c. Kebutuhan lahan garapan, kebutuhan sandang pangan dan papan a. Hak milik atas tanah dan hutan belum tuntas bagi semua pihak b. Pengawasan & Penegakan hukum masih lemah c. Open acess bagi sumberdaya hutan d. Tata ruang yang belum detail dan belum operasional 1.2 Pengembangan ekonomi wilayah budidaya non kehutanan a. Ketergantungan masyarakat terhadap impor bahan pangan dan sandang b. Keterbatasan lahan pertanian masyarakat c. Keterbatasan kapasitas perencana daerah meliputi informasi, SDM, teknologi dan finansial a. Paradigma pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi b. Tata ruang yang belum detail dan belum operasional 1.3 Pengembangan ekonomi wilayah budidaya non kehutanan dalam kawasan strategi nasional perbatasan a. Selama ini pembangunan di wilayah perbatasan dengan Malaysia sangat jauh tertinggal dalam segala aspek b. Ego sektoral pemerintah pusat tanpa mendengar aspirasi daerah otonom di perbatasan c. Keterbatasan kapasitas perencana daerah menyangkut informasi, SDM, teknologi dan finansial a. Paradigm pembangunan Nasional hanya terfokus pada pulau Jawa b. Kurangnya informasi, training dan SDM yang visioner c. Koordinasi antar kementrian tidak berpihak kepada masyarakat diperbatasan 1.4 Perambahan hutan di kawasan konservasi, kawasan lindung, Taman Nasional dan kawasan restorasi ekosistem a. Terbukanya Akses jalan/ transportasi untuk kegiatan ekonomi b. Kebijakan politik kepala daerah yang mempromosikan kelapa sawit dan atau hasil tambang sebagai komoditas unggulan selain kayu c. Permintaan global atas CPO, Kopi Bubuk dan karet tinggi d. Keterbatasan lahan untuk pertanian dan permukiman e. Belum terbangunnya kelembagaan untuk lokasi alternative penanaman bagi masyarakat a. Tata ruang yang belum detail dan belum operasional b. Penegakan hukum yang masih lemah c. Hak atas tanah dan hutan yang belum tuntas bagi semua pihak d. Belum tersedianya lembaga BLU (Pelayanan Keuangan) e. Beleum tersedianya lembaga resolusi konflik diluar hukum posistif 1.5 Kebakaran hutan dan lahan a. Intruksi zero burning untuk aktifitas penyiapan lahan HTI dan perkebunan kelapa sawit tidak berhasil guna b. Terjadinya musim kemarau panjang/elnino a. Penegakan hukum yang lemah b. Perusahaan ingin menekan biaya operasional penyiapan lahan c. Kurangnya sosialisasi pada tingkat tapak STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT No Isu Sebab Akar Masalah (1) (2) (3) (4) 1.6 Illegal loging dan illegal trading a. Deman kayu yang didorong oleh pasar b. Tingkat ekonomi masyarakat yang rendah dan tidak ada pilihan sumber penghidupan masyarakat c. Penegakan hukum yang lemah d. Ego sektoral e. Vonis hukum yang ringan tidak memiliki efek jera f. Adanya mafia cukong kayu a. Open acess sumber daya hutan b. Hak atas tanah dan hutan yang belum tuntas bagi semua pihak c. Berkembangnya KKN dijajaran opnum yudikatif 1.7 Reboesasi dan rehabilitasi hutan dan lahan a. Dana DR tidak dialokasikan kembali ke asaol sumber hutan yang sudah ditebang b. Birokrasi perizinan yang rumit c. Kawasan hutan tredegradasu berada dalam wilayah konsesi d. Jenis yang ditanam tidak unggul dan tidak sesuai dengan tapak a. Adanya peraturan PNBP untuk DR sehingga sulit kembali ke hutan b. Kepastian kawasan/ tenurial c. kelembagaan RHL yang lemah dan kurang akuntabel 1.8 Eksploitasi berlebihan dalam IUPHHK-HA dan HTI a. kurangnya komitmen pelaku usaha terhadap PHPL b. lemahnya pengawasan c. penebangan diluar blok RKT d. IHMB (Inventarisasi Hutan Berkala Menyeluruh) tidak dilaksanakan e. Biaya transaksi tinggi karena oknum birokratnya bermental KKN a. Antar Mereka lebih senang ber KKN b. Kontrak karya dan system perizinan perlu direvisi akibat wanprestasi c. Pengawasan yang lemah 2 Pertanian 2.1 Konversi lahan a. Keterbatasan lahan tak berhutan untuk berhutan untuk food estate pertanian pangan (Food b. Alih fungsi lahan produktif untuk Estate) kepentingan sektor ekstraktif a Kebijakan investasi skala besar yang tidak terkontrol b Posisi tawar masyarakat lokal yang lemah c Tata ruang yang belum detail,belum operasional, dan belum konsisten 2.2 Pertanian tebas bakar a. Keterbatasan lahan tak berhutan untuk pertanian tebas bakar b. Perubahan social budaya di masyarakat, baik internal (kelembagaan) maupun akibat migrasi dan pertambahan penduduk, dan lain-lain. c. Rendahnya adopsi teknologi pertanian tanpa bakar a. Belum adanya kepastian hak dan ruang kelola masyarakat b. Kelembagaan resolusi konflik belum terbangun c. Pengembangan ekonomi rakyat belum menjadi prioritas kebijakan 3 Perkebunan 3.1 Ekspansi Sawit a. Konversi hutan dan lahan produktif/ rentan menjadi lahan sawit b. Tidak adanya batasan luasan perizinan c. Kebijakan politik kepala daerah yang mempromosikan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan d. Permintaan sawit besar e. Masyarakat acuh atau mendukung perkebunan f. Masyarakat tidak berdaya a Inkonsisten perizinan dengan kesesuaian lahan dan kawasan yang dilindungi b Open access terhadap hutan c Hak atas tanah dan hutan yang belum tuntas bagi semua pihak d Korupsi perizinan e Ekonomi masyarakat sekitar yang rendah BAB IV 51 52 No Isu Sebab Akar Masalah (1) (2) (3) (4) 4 Pertambangan 4.1 Ekspansi KP/PKP2B a Konversi hutan dan lahan produktif/ rentan menjadi tambang b Tidak adanya batasan luasan perizinan c Permintaan bahan tambang besar d Tambang menjadi penopang ekonomi nasional e Masyarakat acuh atau mendukung perkebunan f Masyarakat tidak berdaya a. Inkonsisten perizinan dengan kesesuaian lahan dan kawasan yang dilindungi b. Open access terhadap hutan c. Hak atas tanah dan hutan yang belum tuntas bagi semua pihak d. Korupsi perizinan e. Ekonomi masyarakat sekitar yang rendah 5 Transmigrasi a Konversi hutan yang dialokasikan untuk peruntukan non sektor kehutanan b Keterbatasan kapasitas perencanaan daerah meliputi informasi, SDM, teknologi dan financial anggaran a Belum diterapkan KLHS program strategis b Paradigm pembangunan berorientasi pada pertumbuhan c Tata ruang yang belum detail dan tidak operasional d Penegakan hukum lemah 6 Pekerjaan umum a Pembuatan infrastruktur jalan darat melalui kawasan hutan b Konversi lahan produktif/hutan untuk pengembangan infrastruktur c Migrasi dan pertambahan penduduk d AMDAL (kawasan) belum diterapkan secara komprehensif a Belum diterapkan KLHS program strategis b Paradigm pembangunan berorientasi pada pertumbuhan c Tata ruang yang belum detail dan tidak operasional d Penegakan hukum lemah e Pembangunan hanya mengejar peningkatan pertumbuhan ekonomi f Open access 7 Tata ruang a Alih fungsi hutan yang sah melalui RTRWP/Kabupaten a Belum diterapkan KLHS program strategis b Paradigm pembangunan berorientasi pada pertumbuhan c Tata ruang yang belum detail dan tidak operasional d Penegakan hukum lemah 8 Lain-lain Pemekaran wilayah provinsi dan atau kabupaten yang sudah tercatat dalam prolegnas a. Demi pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. b. Tata ruang yang belum detail dan operasional c. Tuntutan masyarakat perbatasan STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Penetapan Strategi dan Rencana AksiDari hasil identifikasi akar masalah dapat ditetapkan strategi dan rencana aksi yang diperlukan untuk menyelesaikan akar masalah tersebut. Untuk pengembangan SRAP REDD+ Kalbardidasarkan pada hasil konsultasi aktif yang menghasilkan input dan konfirmasi. Diharapkan dalam implementasinya didukung oleh partisipasi aktif 14 kabupaten/kota se-Kalbar. Tidak mungkin implementasi REDD+ hanya berdasarkan kemauan Pemprov. Kalbar. Bisa terwujud nyata bila mendapatkan dukungan dari semua pemerintahan kabupaten/kota. Dalam uraian selanjutnya di bawah ini akan dijelaskan secara lebih terperinci mengenai Strategi dan Rencana Aksi REDD+ di Provinsi Kalbar. Berdasarkan hasil identifikasi yang terangkum dalam Tabel 4.2, akar masalah dari terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Kalbar sebagian besar lebih berorientasi pada kelemahan tata kelola sumber daya hutan dan lahan gambut, kelembagaan dan kebijakan, dari pada aspek-aspek teknis atau persoalan yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) langsung dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Strategi dan Rencana Aksi dikembangkan agar dapat dinyatakan menjadi hal yang tidak biasa (Bussines As Unusual). Hal inilah yang dalam bagian terdahulu disebut sebagai pencarian dan penyelesaian sumber masalah atau pembuka sumbat masalah (debottlenecking). Dapat diperkirakan, Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ akan berisi banyak hal yang membutuhkan peran lembaga dan/atau pihak yang relatif lebih independen dan professional, bukan bagian dari birokrasi pemerintahan atau bisa saja tetap SKPD terkait dengan dengan kemauan serius untuk mentransformasi diri dengan mengubah paradigma serta budaya kerja secara nyata. Berikut ini penetapan strategi dan rencana aksi untuk sektor kehutanan dan lahan gambut: GAMBUT Pembuatan Kanal di lahan gambut PERTANIANA Pemanfaatan Lahan Berhutan untuk Kebakaran Lahan Gambut Alih Fungsi Hutan Mangrove untuk Ekstensifikasi kemandirian KEHUTANAN Luas Wilayah Desa di sekitar Kawasan Perambahan Hutan/Ilegal Konversi hutan alam Konversi Lahan Berhutan dan Lahan Gambut Direncanakan Penambangan Emas Pengembangan Infrastruktur Tanpa Izin (PETI) Jalan di kawasan perbatasan Konversi Lahan Hutan Pengembangan Untuk Perkebunan Pinjam Pakai Kawasan Hutan Ekonomi Wilayah Untuk Pertambangan Bauksit DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DIRENCANAKAN/TIDAK DIRENCANAKAN / Pemekaran wilayah LAIN-LAIN PERKEBUNAN PERTAMBANGAN Gambar 4.3 Analisis Tulang Ikan (Fish Bond Analysis) Deforestasi dan Degradasi Hutan di Provinsi Kalbar BAB IV 53 Tabel 4.3. Penetapan Strategi dan Rencana Aksi Sektor Kehutanan dan Gambut ISU STRATEGI Penggunaan kawasan Rasionalisasi tata hutan untuk pemukiman ruang/eclave dan lahan garapan - - - Pengembangan ekonomi wilayah budidaya non kehutanan dalam kawasan strategi nasional perbatasan Perambahan di kawasan hutan, ilegal logging, dan ilegal mining, serta ekploitasi lahan gambut Kebakaran Hutan dan Lahan 54 Mengurangi dampak sosial dan lingkungan - - RENCANA AKSI Melaksanakan perubahan peruntukan dengan di-encalve atau regrouping. Pencacangan kawasan untuk PHBM (hutan desa, HKM). Percepatan dan perbaikan proses pengukuran kawasan hutan dan lahan gambut Pelaksanaan KLHS Pembangunan jalan paralel dan atau pelabuhan laut di perbatasan memetong kawasan hutan. Penguatan ekonomi - Pengembangan jaminan berkelanjutan lokal usaha ekonomi lokal berbasis lahan hutan dan gambut - Pengembangan teknologi pendukung yang berbasis kearifan lokal. - Perlindungan pasa terhadap komoditas pasar. - Pembangunan aloevera centre di kawasan gambut Penguatan - Meningkatkan kapasistas penyuluh/juru kelembagaan damai resolusi konflik tenurial resolusi konflik - Pembentukan dan pengembangan tenurial kelembanggaan juru runding/arbitrase oleh para pihak - Mengembangkan data satu atap, satu - Harominisasi data, satu peta (one plane one map) data dan peta - Pemanfaatan - Pengembangan aksesibilitas transparansi kawasan hutan terhadap data dan informasi oleh para pihak - Pemanfaatan lahan gambut Kepastian hak - Pemetaan partisipasi tingkat desa tenurial - Percepatan dan perbaikan proses pengukuhan kawasan hutan dan gambut Penyiapan sistem - Diversifikasi sumber mata pencaharian/ pengaman sosial pekerjaan ke sektor non kayu safeguard - Pengembangan kritria dan indikator Padiatapa Membangun - Mengindentifikasi hotspot dan faktor database kebakaran penyebab kebakaran hutan dan lahan dan pemadaman gambut, serta identifikasi titik areal untuk kebakaran serta RHL database RHL - Membuat peta kebakaran dan peta RHL STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Membangun kelembanggaan kebakaran dan penanaman Eksploitasi berlebihan di - Moratorium IUPHHK-HA dan HTI perizinan/ kawasan gambut (PIPIB) - Penguatan sistem PHPL dan SPLK - Membangun mekanisme keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan gambut serta penanganan RHL di DAS kritis - Evaluasi perizinan IUPHHK - HA dan IUPHHK – HTI - Melaksanakan perbaikan tata kelola IUPHHK – HA dan HTI - Penguatan sistem PHPL dan SPLK 4.3. Strategi Pemenuhan Prasyarat Penerapan REDD REDD+ sebagai sebuah mekanisme internasional yang akan diterapkan di Indonesia. Ini memerlukan perhatian khusus pada beberapa hal yang menjadi persyaratan penerapan REDD+. Persyaratan dilakukan agar REDD+ dapat berjalan efektif, efisien, dan berkeadilan. Persyaratan tersebut bersumber, baik dari mekanisme yang disepakati di tingkat internasional maupun dari kebijakan, situasi dan kondisi internal yang telah disiapkan Pemerintah Indonesia. Terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam penerapan REDD+, yaitu pemenuhan prasyarat pelaksanaan REDD+ yang telah dibahas dalam pertemuanpertemuan resmi di tingkat internasional. Prasyarat atau perangkat pelaksaaan REDD+ yang harus disiapkan adalah: 1. Pembuatan peraturan terkait pelaksanaan REDD+ 2. Pembangunan metodologi REDD+, termasuk di dalamnya penetapan Tingkat Emisi Referensi (Reference Emission Level/REL) di REL/RL di tingkat sub-nasional, serta sistem Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV), termasuk penanganan pengalihan emisi (displacement of emission); 3. Kelembagaan dan mekanisme finansial termasuk di dalamnya mekanisme distribusi dan insentif manfaat dari hasil pelaksanaan REDD+. Strategi ini akan dilaksanakan secara lintas sektor guna mempersiapkan dan membangun fondasi kebijakan dan kelembagaan REED+ di provinsi yang kokoh dan memiliki kapabilitas dalam mengelola proses perencanaan dan mengkoordinasikan pelaksanaan seluruh kegiatan REDD+ secara penuh lingkup provinsi. Pengembangan, perubahan dan/atau penyempurnaan syarat yang harus dipenuhi bidang/sektor berbasis lahan itu guna mencegah, menanggulangi mengendalikan sampai menghentikan deforestasi dan degradasi hutan beserta dampak yang ditimbulkannya. Itu semua sebagai Prasyarat (pre-requirements). Lingkup SRAP REDD+ Kalbar untuk prasyarat cukup luas, mulai dari yang bersifat kongkret seperti kelembagaan dan pendanaan, distribusi manfaat, pelibatan para pihak, hingga pengembangan metodologi MRV. Meskipun sebagai prasyarat penerapan REDD+, tidak berarti bahwa implementasi SRAP REDD+ berjangka pendek. BAB IV 55 Beberapa rencana aksi dilakukan hingga jangka menengah atau bahkan jangka panjang (2030), menyesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan, khususnya di setiap lokasi yang berbeda. Pada umumnya SRAP Prasyarat tidak teridentifikasi secara sektoral pada saat pembahasan isu utama, melainkan berlaku secara umum merujuk pada hasil dinamika perundingan-perundingan iklim global dan Stranas REDD+ yang telah ditetapkan. Strategi pemenuhan prasyarat penerapan REDD+ diuraikan secara lengkap sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.3 Tabel 4.3. Matrik Rencana Aksi Pemenuhan Prasyarat SRAP REDD+ Kalbar Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi Indikator Kinerja Pilar Tata Waktu Pendek Menengah Panjang Lokasi Instansi Masih lemahnya kapasitas kelembagaan untuk percepatan penanganan REDD+ daerah Menguatkan peranan Penguatan peranan dan dan ruang lingkup tugas ruang lingkup tugas Komisi REDD+ Kalbar Komisi REDD+ Kalbar pada tahun 2013 P1 Membentuk dan Adanya lembaga REDD di memfungsikan lembaga tingkat provinsi dengan REDD+ Provinsi Kalbar Peraturan Gubernur pada tahun 2013 √ 7 A,B,C, D,E,F Masih lemahnya kerangka hukum penerapan SRAP REDD+ Kalbar Memperkuat kerangka Penguatan kerangka hukum dan pedoman hukum dan pedoman penerapan SRAP REDD+ penerapan REDD+ pada tahun 2013 Mempercepat pembentukan landasan hukum dan pedoman yang kuat untuk pelaksanaan REDD+ P2 Tersedianya Peraturan Gubernur tentang SRAP REDD+ Kalbar pada tahun 2013 A,B,C, D,E,F √ 7 √ 7 F,G √ 7 F,G Belum tersedianya mekanisme pendanaan berkelanjutan dan pembagian manfaat dan insentif yang adil dalam implementasi REDD+ 56 Menyusun mekanisme pendanaan berkelanjutan dan pembagian manfaat dan insentif Tersedia mekanisme pendananaan dan pembagian manfaat pada tahun 2014 Mengembangkan skema penggalangan sumber dana dan melakukan upaya penggalangan dana secara progresif Tersediannya skema penggalanagan dana SRAP REDD+ pada tahun 2014 P1 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi Indikator Kinerja Mengembangkan formulasi dan mekanisme pasar karbon sukarela atau pembayaran berbasis kinerja Adanya formulasi dan mekanisme pasar karbon sukarela dan pembayaran berbasis kinerja pada tahun 2013 Mengembangkan skema investasi dan distribusi dana dan manfaat yang diterima kepada para pemangku kepentingan Tersedianya skema investasi dan distribusi dana dan manfaat pada tahun 2013 Membentuk dan mengembangkan metodologi MRV Tersedianya metodologi MRV yang kredibel, lengkap, akurat, dapat diperbandingkan pada tahun 2014 Menyusun metodologi MRV berbasis ilmiah Adanya metodologi MRV yang rasIonal dan terukur pada tahun 2013 Menyusun petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penetapan REL dan sistem MRV Tersedianya dokumen Juklak dan Juknis penetapan REL dan sistem MRV pada tahun 2013 Pengembangan jejaring MRV Terjaminnya kelancaran koordinasi dan komunikasi MRV Mengembangkan dan penerapan informasi Satu Atap, Satu Data dan Satu Peta untuk perencanaan tata guna lahan, keruangan dan MRV REDD+ Tersedianya sistem dan data spasial yang akurat, lengkap dan kredibel pada tahun 2014 Keterangan : Tata waktu Pendek : 2013-2018 Menengah : 2015-2030 Panjang : 2020-2030 Lokasi 0 : Pemerintah Provinsi 1 : Kapuas Hulu 2 : Sintang 3 : Sekadau 4 : Melawi 5 : Sanggau 6 : Landak 7 : Pontianak 8 : Kota Pontianak 9 : Ketapang Pilar Tata Waktu Pendek Menengah Panjang Lokasi Instansi √ 7 F,G √ 7,15 F,G √ 7,15 G,A,E,H,F √ 7,15 G,F,A,E √ 7,15 G,F √ 7 G P1 10 : Kayong Utara 11 : Kubu Raya 12 : Kota Singkawang 13 : Bengkayang 14 : Sambas 15 : semua Kabupaten/ Kota 16 : Pemerintah Pusat Instansi : A : Bidang Kehutanan B : Bidang Perkebunan C : Bidang Pertambangan dan Energi D : Bidang Pertanian E : Lingkungan Hidup F : Bidang Perencanaan Pembangunan G : Komisi Daerah/Lembaga REDD H : Perguruan Tinggi Pilar P1 : Kelembagaan dan Proses P2 : Kerangka Hukum/ Peraturan P3 : Program-Program Strategis P4 : Perubahan Budaya Kerja dan Paradigma P5 : Pelibatan Para Pihak BAB IV 57 4.4. Strategi Penguatan Kondisi Pemungkin Penerapan REDD+ REDD+ pada dasarnya merupakan pendekatan kebijakan dan aksi yang dilakukan melalui penanganan penyebab dari deforestasi dan degradasi hutan (deforestation driver) serta kegiatan yang menghasilkan pengurangan emisi, peningkatan dan stabilisasi stok karbon hutan. Tingkat keberhasilan intervensi kebijakan dan aksi penanggulangan dari sumber asal emisi atau pemicu (driver) dari deforestasi dan degradasi hutan dan dari sumber penyimpan karbon (sink) yang akan mencerminkan tingkat kondisi pemungkin tercipta. Intervensi kebijakan dan aksi diperlukan untuk menciptakan kondisi pemungkin penerapan REDD+ Sebagian pihak berpendapat bahwa prasyarat (pre-requirement) dan kondisi pemungkin (enable condition) sama.Pra syarat kondisi pemungkin merupakan penciptaan dan perbaikan berbagai aspek atau elemen di bidang/sektor berbasis lahan dapat mempercepat, memperlancar implementasi berbagai upaya dalam rangka mencegah, menghentikan menanggulangi dan mengendalikan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.Dalam konteks REDD+ juga sebagai upaya peningkatan penyerapan dan penyimpanan karbon. Kondisi pemungkin sudah berkaitan dengan sektor-sektor pembangunan utama yang dipertimbangkan menjadi sumber deforestasi dan degradasi hutan. Kondisi pemungkin berkaitan dengan kebijakan atau peraturan dan perencanaan, atau sumber-sumber rujukan untuk implementasi program sektor. Sebagian dari rujukan tersebut menjadi sumber langsung atau tidak langsung terjadinya isu deforestasi dan degradasi hutan. Titik berat intervensi program terletak pada Strategi Penguatan Kondisi Pemungkin. Strategi ini dilaksanakan secara lintas sektor guna menjawab penyelesaian permasalahan-permasalahan yang menjadi akar masalah dari penyebab dan pendorong terjadinya kegiatan perusakan hutan sebagai sumber emisi.Strategi penguatan kondisi pemungkin penerapan REDD+ secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.4 58 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Tabel 4.4 Matrik rencana aksi penguatan kondisi pemungkin SRAP REDD+KALBAR Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi Indikator Kinerja Pilar Tata Waktu Pendek Menengah Panjang Lokasi Instansi 1,2,4,9,10 A,G 16 A 1,2,4,9,10 A 1,2,5, 13,14 A,B,F,G 1,2,5, 13,14 F Sektor kehutanan I.1. Penggunaan kawasan hutan untuk pemukiman dan lahan garapan S.1 .Rasionalisasi tata ruang/enclave P2 A.1.Melaksanakan perubahan peruntukan dengan di enclave atau regrouping Adanya pergub/perbup tentang hal tersebut A.2.Pencadangan Kawasan Untuk PHBM (hutan desa, HKM) Adanya penerbitan kepmenhut baru tentang pencadangan tersebut √ A.3.percepatan dan perbaikan proses pengukuran kawasan hutan Adanya pelibatan para pihak dalam pengukuran kawasan hutan √ I.2. dan I.3 pengembangan ekonomi wilayah budidaya non kehutanan dan atau dalam kawasan strategi nasional perbatasan S.1. Mengurangi dampak social dan lingkungan Rekomendasi perbaikan kebijakan A.1. pelaksanaan KLHS Pembangunan wilayah budidaya non kehutanan dan atau kawasan strategis nasional perbatasan √ P3 √ √ A.2 . pembangunan jalan parallel dan atau pelabuhan laut di perbatasan memotong kawasan hutan √ √ √ I.4 dan I.6 Perambahan di kawasan hutan, illegal logging dan illegal reading S.1. Penguatan ekonomi lokal P3 A.1.Pengembangan jaminan keberlanjutan usaha ekonomi local berbasis lahan dan hutan Adanya Pergub dan Perbub tentang jaminan tersebut A.2.Pengembangan teknologi pendukung yang berbasis kearifan lokal Diimplementasikan teknologi tersebut oleh komunitas √ A.3.Perlindungan pasar Adanya jaminan stabilitas terhadap komoditas lokal pasar untuk komoditas tersebut S.2. Penguatan Kelembagaan Resolusi Konflik Tenurial 1,2,3,4, A,B,D,F,G 5,6,7,9, 10,11,13, 14 √ √ √ √ √ √ 15 G 15 G,A,B,D P1 BAB IV 59 Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi Indikator Kinerja Pilar A.1.Meningkatkan Kapa- Dilaksanakan training sitas penyuluh/juru damai melalui NGO, akademisi resolusi konflik tenurial dan masyarakat adat Pendek Menengah Panjang √ Konflik menurun A2.Pembentukan dan pengembangan kelembagaan juru runding/arbitrase dengan menerapkan prinsip PADIATAPA S.3.Harmonisasi data dan peta pemanfaatan kawasan hutan Tata Waktu √ Lokasi Instansi 15 A,B,C,D, E,F,G,H 15 A,B,C,D, E,F,G,H 15 A 15 A,B,C,D, E,F,G,H √ P2 A.1.Mengembangkan Adanya Pergub/Perbup pusat data satu atap satu tentang peta kompredata satu peta (one plane hensif one map) √ A2.pengembangan Adanya website dari aksesibilitas transparansi institusi terkait terhadap data dan informasi oleh para pihak √ √ √ A.1.Pemetaan partisipatif Menurun jumlah kasus tingkat desa tumpang tindih dan konflik lahan √ √ √ A,B,C,D, 1,2,3,4, E,F 5,6,7,9, 10,11,13, 14 A.2.Percepatan dan perbaikan proses pengukuhan kawasan hutan √ √ √ 1,2,3,4, 5,6,7,9, 10,11,13,14 A 15 A,B,C,D, E,F,G,H 15 A,B,C,D, E,F,G,H 1,2,3,4, 5,6,7,9, 10,11,13, 14 A,B,D, E,F S.4.Kepastian hak tenurial P2 Adanya pelibatan para pihak S.5. Penyiapan system pengaman social safeguard P5 A.1.dipersifikasi sumber Pengangguran berkurang mata pencaharian/pekerjaan ke sektor non kayu A.2.Pengembangan criteria dan indicator PADIATAPA Tersosialisasinya secara merata di masyarakat √ √ √ I.5 dan I.7 Kebakaran Hutan dan Lahan S.1.Membangun data base kebakaran dan pemadam kebakaran serta data base RHL 60 P4 A.1.Mengidentifikasi hotspot dan factor penyebab kebakaran hutan serta mengidentifikasi titik areal untuk RHL Adanya peta rawan kebakaran dan peta realisasi RHL A.2.membuat peta kebakaran dan peta RHL Peta terintegrasi dengan koordinat GPS di lapangan dan bias diakses di Website √ √ STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT √ √ 1,2,3,4, A,B,D, E,F 5,6,7,9, 10,11,13, 14 Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi Indikator Kinerja S.2.Membangun kelembagaan kebakaran dan penanaman A.1.membangun mekanisme keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan penanganan RHL di DAS kritis Pilar Tata Waktu Pendek Menengah Panjang Instansi P1 Adanya partisipasi masyarakat terhadap isu anti kebakaran hutan dan semangat menanam untuk rehabilitasi hutan. √ √ 1,2,3,4, A,B,D, E,F 5,6,7,9, 10,11,13, 14 √ I.8. Eksploitasi berlebihan di IUPHHK-HA dan HTI S.1.Moratorium perizinan/ kawasan gambut (PIPIB) 1,2,3,4, 5,9,11 A 15 A,F 1,2,3,4, 5,6,7,9, 10,11,13, 14 A 15 A,F 1,2,3,4, 5,6,7,9, 10,11,13, 14 A,D,F 1,2,3,4, 5,6,7,9, 10,11,13,14 A,D,F P2 A.1.Evaluasi perizinan Penundaan izin baru di IUPHHK-HA dan IUPHHK- kawasan gambut dan HTI dievaluasi setiap 6 bulan √ A.2.Melaksanakan perbai- Tidak ada HPH/HTI yang kan tata kelola IUPHHK- menunggak kewajiban HA dan HTI √ S.2.Penguatan system PHPL dan SPLK A.1.Penguatan system PHPL dan SPLK Lokasi √ P4 Adanya peningkatan unit management yang lulus dalam rangka PHPL dan SPLK √ √ √ Sektor pertanian I.1.Konversi lahan hutan untuk food Estate dan pertanian berladang berpindah S.1.Pemberdayaan ekonomi lokal P3& P2 A.1.Peluang agro forestry Adanya keterlibatan madan silvo forestry syarakat desa one village one product A.2.Akses kredit modal bagi petani Perambahan kawasan hutan menurun √ √ √ √ √ 1,2,3,4, 5,6,7,9, 10,11,13, 14 A √ √ 1,2,3,4, 5,6,7,9, 10,11,13,14 B Sektor perkebunan I.1. ekspansi perkebunan kelapa sawit S.1. Pemberdayaan ekonomi lokal A.1.Penyediaan jaminan permodalan lewat bank dan pemasaran P3 Adanya jaminan permodalan bagi masyarakat BAB IV 61 Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi Indikator Kinerja Pilar A.2.Perlindungan market Jaminan stabilitas harga terhadap komoditas lokal pasar S.2.Pengetatan mekanisme izin perkebunan Tata Waktu Pendek Menengah Panjang Lokasi Instansi √ √ 1,2,3,4, 5,6,7,9, 10,11,13,14 B P2 A.1. Identifikasi dan pengolahan HCVF dalam AMDAL Memperkuat aturan AMDAL √ √ 1,2,3,4, 5,6,7,9, 10,11,13,14 B,E A.2. Transparansi perizinan bupati melalui website Dapat diakses dengan mudah √ √ 1,2,3,4, 5,6,7,9, 10,11,13,14 B,F 2,4,5,6, 9,10,11, 12,13,14 C 2,4,5,6, 9,10,11, 12,13,14 C 2,4,5,6, 9,10,11, 12,13,14 C,E 2,4,5,6, 9,10,11, 12,13,14 C 2,4,5,6, 9,10,11, 12,13,14 C,F,H 15 A,B,C,D, E,F 15 A,B,C,D, E,F Pertambangan I.1.Eskspansi Kuasa Pertambangan, baik Bauksit S.1.perbaikan peraturan terkait WUP A.1.Adanya PADIATAPA dalam WUP P2,P5 Tereklusif dalam aturan WUP A.2.Perizinan yang efektif Dapat diakses dengan dan transparan melalui semua pihak Website A.3.Menintegrasikan HCVF dalam AMDAL √ Adanya revisi peraturan criteria dan indicator kesesuaian lahan pada tahun 2012 S.2.pengembangan program CSR berkualitas √ √ √ √ √ P3 A.1.CSR memberdayakan masyarakat Garis kemiskinan menurun A.2.CSR untuk menunjang infrastruktur ekonomi rakyat dan pendidikan generasi muda Jalan tidak rusak akses jalan tidak rusak dan beasiswa dari tingkat SD sampai S1 √ √ √ √ Pekerjaan umum dan tata ruang I.6 dan I.7.RTRWP belum disyahkan oleh kemenhut S.1.memberikan penjelasan secara umum dan alasan perubahan fungsi terkait P2 Mencapai permufakatan terbaik untuk kepentingan publik A.1.Pelaksanaan KLHS Rekomendasi perbaikan strategis dan mengurangi dampak social dan lingkungan yang mungkin terjadi √ √ Sektor lainnya 62 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT √ √ √ Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi Indikator Kinerja I.8.Pemekaran wilayah provinsi dan atau kabupaten yang sudah terdaptar dalam PROLEGNAS S.1.pemerataan pembangunan dan kesejatah teraan Pilar Tata Waktu Pendek Menengah Panjang Lokasi Instansi 1,2,5,9 F 1,2,5,9 F P1 dan P5 Masyarakat sejahtera Adanya dukungan mayA.1.Membangun mekanisme keterlibatan ma- oritas masyarakat syarakat dalam mensukseskan prihal tersebut √ √ √ √ Keterangan : Tata waktu Pendek : 2013-2018 Menengah : 2015-2030 Panjang : 2020-2030 Lokasi 0 : Pemerintah Provinsi 1 : Kapuas Hulu 2 : Sintang 3 : Sekadau 4 : Melawi 5 : Sanggau 6 : Landak 7 : Pontianak 8 : Kota Pontianak 9 : Ketapang 10 : Kayong Utara 11 : Kubu Raya 12 : Kota Singkawang 13 : Bengkayang 14 : Sambas 15 : semua Kabupaten/Kota 16 : Pemerintah Pusat Instansi : A : Bidang Kehutanan B : Bidang Perkebunan C : Bidang Pertambangan dan Energi D : Bidang Pertanian E : Lingkungan Hidup F : Bidang Perencanaan Pembangunan G : Komisi Daerah/Lembaga REDD H : Perguruan Tinggi Pilar P1 : Kelembagaan dan Proses P2 : Kerangka Hukum/ Peraturan P3 : Program-Program Strategis P4 : Perubahan Budaya Kerja dan Paradigma P5 : Pelibatan Para Pihak 4.5. Strategi Investasi Rendah Karbon Hutan Strategi Investasi Rendah Karbon Hutan bertujuan mengembangkan model pengurangan emisi dan peningkatan stok karbon pada beberapa jenis pengelolaan hutan, lahan non hutan dan lahan gambut di Kalbar, sesuai dengan skala sumber daya yang tersedia.Tujuan penciptaan pijakan bagi upaya pengurangan emisi yang lebih substansial dengan investasi lebih lanjut. Pembelajaran yang menarik adalah Indonesia tampaknya tidak dapat memenuhi proporsi target pengurangan emisinya secara signifikan dengan memperluas areal penanaman pohon dalam kerangka reboisasi dan rehabilitasi lahan di kawasan hutan ataupun di luar kawasan hutan. Besarnya upaya yang dituntut dan berbagai masalah yang dijumpai dalammencapai target saat ini, target penanaman yang lebih sederhana, tidak memberikan harapan baik bagi masa depan.Penanaman pohon merupakan bagian inti dari strategi pengurangan emisi karbon. LULUCF untuk mengurangi emisi di Kalbar dapat lebih dioptimalkan pemanfaatannya untuk mencapai pengurangan emisi yang lebih besar dan berbiaya murah. Beberapa peluang intervensi rendah karbon menawarkan sinergi yang potensial antara pembangunan berkelanjutan, pengurangan kemiskinan dan mitigasi perubahan iklim, dan harus diprioritaskan dalam program REDD+ di Kalbar.. BAB IV 63 Intervensi rendah karbon dari sektor LULUCF di Kalbar menawarkan beberapa peluang dalam mencapai pengurangan emisi yang signifikan melalui mekanisme lain. Besarnya kontribusi diindikasikan oleh besarnya pengurangan emisi yang dapat dicapai dengan menghilangkan keberadaan sumber emisinya dengan : a). menghentikan kebakaran lahan gambut, b) menghentikan pengeringan lahan gambut dan, c) menghentikan deforestasi dan emisi dari perubahan pemanfaatan lahan dan kehutanan. Di tingkat tapak, investasi rendah karbon akan memberikan penekanan pada sektor utama yaitu sektor kehutanan (hutan produksi, hutan konservasi dan hutan lindung) dan lahan gambut serta sektor penunjang (perkebunan dan pertanian, pertambangan). Program penurunan emisi melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan dilaksanakan melalui intervensi pada pemanfaatan lahan pada areal berhutan dan lahan gambut. Program penurunan emisi akan dilaksanakan melalui perbaikan pengelolaan hutan produksi dan Hutan Tanaman Industri dan lahan gambut. Sedangkan program peningkatan stok karbon akan dilakukan konservasi hutan, restorasi ekosistem, dan rehabilitasi hutan dan lahan serta lahan gambut yang terdegradasi.Strategi Investasi Rendah Karbon Hutan akan mencakup program dan kegiatan indikatif sebagai berikut: 4.5.1. Program Perbaikan Tata Kelola Hutan Produksi Kalbar akan membangun kerja sama dengan para pemegang IUPHHK- Hutan Alam dan IUPHHK- Hutan Industri untuk menuju praktik pengelolaan kayu rendah emisi, dan memberikan bantuan baik dari aspek hukum maupun aspek teknis. Pengusahaan hutan alam akan menjadi target untuk memenuhi persyaratan sertifikasi pemerintah dalam pengelolaan hutan lestari (SVLK) dan diharapkan dapat memperoleh sertifikat Forest Stewardship Council (FSC) yang dilakukan atas inisiatif sendiri. Pembentukan dan memfungsikan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model Hutan Produksi untuk meningkatkan dan memperjelas peran dan tanggung-jawab pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan di tingkat tapak untuk lebih dapat mengendalikan deforestasi dan degadasi hutan. Peluang dan sumber daya memungkinkan, areal hutan dan lahan gambut yang mempunyai nilai konservasi tinggi akan didorong untuk dikelola secara lestari. Bukan untuk tujuan produksi kayu dan penanaman hutan industri melainkan menjadi kawasan dengan fungsi restorasi ekosistem dan fungsi perlindungan jasa lingkungan lainnya. Kegiatan pengembangan Hutan Tanaman Industri akan diarahkan untuk lebih mengoptimalkan areal hutan yang telah terdegradasi berat terutama pada areal areal yang terbuka dan semak belukar serta perencanaan yang melindungi kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi. Para pelaku hutan tanaman industri lebih didorong untuk melakukan pembangunan hutan tanaman ramah lingkungan dan sosial antara lain melalui pembukaan lahan tanpa bakar, pengolahan lahan yang dapat mengurangi resiko erosi dan pemadatan tanah dan resolusi penyelesaian sengketa lahan dengan masyarakat setempat. 64 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Untuk mendukung terlaksananya program ini, diperlukan kegiatan berikut: 1. Mengidentifikasi dan mendapatkan komitmen dari para pemegang izin konsesi yang akan terlibat dalam visi “Menuju Kalimantan Barat Hijau Untuk Indonesia Dan Kesejahteraan Masyarakat”. 2. Mengidentifikasi dan mendorong dikembangkannya kegiatan-kegiatan pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan produksi; 3. Memberikan dukungan teknis bagi upaya perolehan sertifikasi SVLK dan FSC; 4. Menggalang dukungan kebijakan dari pemerintah pusat bagi praktik-praktik RIL dalam tata kelola hutan produksi; 5. Menggalang dukungan dan mendapatkan komitmen dari owner/pemilik izin konsesi dan komitmen komitmen perubahan tata kelola di tingkat mitra produksi bagi pelaksanaan praktik-praktik RIL dalam tata kelola hutan produksi ; 6. Membantu perolehan akses pendanaan yang lebih baik bagi para pemegang izin konsesi yang berkomitmen memperbaiki tata kelolanya; 7. Mengkaji dan menginisiasi peluang bagi pengembangan kawasan dengan fungsi restorasi ekosistem atau fungsi perlindungan lainnya. 4.5.2. Program Perbaikan Tata Guna Lahan dan Perkebunan Kelapa Sawit Kalbar Hijau akan membantu memetakan lokasi-lokasi penanaman yang paling sesuai bagi pengembangan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Kemudian akan dipadukan ke dalam keputusan rencana tata guna lahan. Kalbar Hijau akan mendorong terbentuknya kesepakatan untuk relokasi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri dari lahan yang berhutan ke areal yang telah terdegradasi pada kawasan Areal Penggunaan Lain non-hutan. Program ini akan dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi produksi kelapa sawit dan hutan tanaman industri, mengurangi dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan, dan meningkatkan manfaat bagi masyarakat. Kalbar Hijau juga akan mendorong pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk membangun kesadaran dan mendukung pembangunan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri lestari. Untuk mendukung terlaksananya program ini, diperlukan kegiatan-kegiatan utama berikut: 1. Melakukan kajian dan analisis atas potensi tata guna lahan yang paling sesuai secara sosial ekologis bagi pengembangan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri; 2. Bekerja sama dengan pemegang izin HGU, IUPHHK- Hutan Tanaman Industri dan pemerintah daerah untuk mengkaji kemungkinan klasifikasi ulang dan pengalihan pengembangan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (land swap) ke lahan kritis atau terdegradasi, khususnya bagi areal yang ijinnya belum disetujui atau belum berproduksi; menghindari konversi hutan dan lahan gambut menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan swait 3. Memberikan dukungan teknis dan peningkatan kapasitas bagi para pengelola kebun dalam upaya pemenuhan kriteria ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Round Table Sustaianable Palm Oil); BAB IV 65 4. Mengembangkan kerjasama perusahaan kebun dengan berbagai pihak untuk memperkecil dampak ekologis dari sistem produksi; 5. Mengembangkan forum atau ruang diskusi terkait isu kelapa sawit dan hutan tanaman industri di tingkat provinsi. 4.5.3. Program Perbaikan dan Penguatan Tata Kelola Hutan Pembalakan liar dan perambahan hutan untuk perluasan penanaman komoditas komersial merupakan ancaman utama bagi kawasan hutan lindung, hutan restorasi dan hutan Taman nasional. Kalbar Hijau akan mendorong terbangunnya rencana konservasi hutan terpadu bagi semua area hutan lindung, yang bertujuan bagi peningkatan stok karbon, konservasi keanekaragaman hayati, serta penyediaan jasa lingkungannya. Upaya konservasi pada kawasan hutan indung termasuk upaya perlindungan bagi kawasan dengan ekosistem khusus seperti ekosistem hutan gambut, hutan karst dan hutan mangrove yang mempunyai nilai konservasi sosial, budaya, dan lingkungan yang tinggi. Kalbar hijau akan mendorong penyempurnaan peraturan maupun kebijakan di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional bagi upaya konservasi hutan lindung, hutan desa, hutan Taman Nasional, Hutan Restorasi Ekosistem dan lahan gambut. Kalbar hijau juga akan mengembangkan strategi dan langkah-langkah nyata bagi penjaminan pendanaan berkelanjutan upaya konservasi hutan lindung, hutan desa, hutan taman nasional dan hutan restorasi ekosistem dan lahan gambut. Untuk mendukung terlaksananya program ini, diperlukan kegiatan berikut: 1. Perumusan dan pengembangan kerangka kerja kebijakan, hukum, dan kelembagaan pengelolaan hutan lindung; 2. Pengembangan kegiatan-kegiatan pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan lindung ; 3. Pengkajian kawasan hutan lindung dan lahan hutan rawa gambut terutama pada kawasan dengan tingkat keanekaragam hayati, simpanan karbon dan nilai hidrologi tinggi, serta mengidentifikasi wilayah yang mengalami keterancaman cukup besar; 4. Pemetaan pola intervensi, mitra, tanggung jawab pengelolaan, struktur insentif, mekanisme hukum, sumber pendanaan dan jadwal pelaksanaan bagi penyusunan rencana dan strategi konservasi terpadu kawasan hutan lindung; 5. Pemetaan program-program yang bisa dilakukan untuk pengurangan emisi dan penambahan stok karbon pada kawasan hutan lindung; 6. Pengembangan model pengelolaan hutan lindung, hutan konservasi dalam KPHP, KPHL, KPHK, dan RE model di Kalbar; 7. Optimalisasi upaya konservasi khususnya pada kawasan lindung dan kawasan hutan lindung yang memiliki ekosistem rawa gambut, mangrove dan karst didalamnya; 8. Penyusunan strategi dan langkah-langkah nyata bagi upaya penjaminan pendanaan yang berkelanjutan konservasi hutan lindung, taman nasional dan hutan restorasi ekosistem; 66 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT 9. Penetapan zonasi pengelolaan Taman Nasional, Hutan Lindung dan Hutan Restorasi ekosistem yang sudah dijadikan kawasan budidaya dan pemukiman penduduk; 10. Penguatan pengendalian dan pengawasan kawasan hutan Taman Nasional, hutan lindung dan hutan restorasi ekositem dengan mengembangkan pengelolaan berbasis resort (resort-based management); 11. Perbaikan lahan terdeforestasi dan terdegradasi di Kawasan Taman Nasional, Hutan Lindung, Hutan Restorasi Ekosistem dan hutan rawa gambut; 12. Peningkatan upaya konservasi di kawasan hutan dan gambut dengan cara pembuatan kanal; 13. Sosialisasi terhadap hewan yang dilindungi agar tidak muncul konflik dengan masyarakat sekitar hutan; 14. Integrasi rencana pembangunan daerah dengan pelestarian Taman Nasional, Hutan Lindung dan Hutan Restorasi Ekositem; 15. Optimalisasi sistem pendeteksi kebakaran hutan dan peringatan dini kebakaran hutan 16. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dan gambut terhadap bahaya kebakaran; 17. Supremasi hukum terhadap pelaku ilegal logging, perdagangan hewan yang dilindungi. 18. Penanaman kembali hutan tanah mineral yang terdegradasi di daerah aliran sungai yang paling kritis. 19. Mendorong penerapan model Padiatapa/FPIC sebagai kepastian pola kemitraan dan akses terhadap keuntungan yang adil dan setara dalam implementasi REDD+. 4.5.4.Program Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut Kebakaran gambut merupakan sumber utama emisi di Indonesia, khususnya selama tahun-tahun El Niño. Kebakaran hutan sebagian besar bersumber dari kegiatan manusia antropogenik dan dapat dikurangi dengan menindaklanjuti penyelesaian konflik lahan lokal dan meningkatkan kemampuan di daerah untuk pengelolaan kebakaran yang lebih baik Menghentikan kebakaran ini akan menurunkan emisi nasional sebesar 23–45%. . Meningkatkan investasi ini dan mempercepat peningkatan kemampuan lokal dapat mewujudkan pengurangan emisi. Menghentikan pengeringan lahan gambut juga akan berdampak pada mengurangi tarjadinya kebakaran lahan gambut. Pada saat permukaan gambut menjadi kering, menyusut dan menjadi padat dan mudah terbakar serta sulit dipadamkan apinya. Pencegahan pembakaran hutan memiliki potensi terbesar untuk menurunkan emisi. Penurunan emisi dapat dicapai melalui mengurangi emisi dari pembakaran hutan dengan melarang pembakaran sebagai alat untuk persiapan lahan, menyediakan teknologi yang tepat dan praktis (dan dimungkinkan pula insentif finansial) untuk pembersihan lahan manual, mengembangkan sistem-sistem peringatan dini yang sesuai berdasarkan status risiko kebakaran dan deteksi kebakaran berbasis lapangan, memperkuat pasukan pemadam kebakaran, memastikan pelaksanaan yang kuat dan BAB IV 67 denda yang besar untuk pelanggaran aturan, den membangun kesadaran publik akan akibat-akibat ekonomi dan sosial dari kebakaran hutan di provinsi. Berikut ini kegiatan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut: 1. Optimasilisasi sistem pendeteksi kebakaran hutan dan lahan gambut. Kemudian, optimalisasi sistem peringatan dini kebakaran dengan melibatkan masyarakat. 2. Peningkatan kemampuan dan kewaspadaan masyarakat setempat, khususnya di lahan gambut dalam pencegahan dini kebakaran hutan; 3. Peningkatan penanganan kapasitas penanganan kebakaran hutan di tanah mineral dan lahan gambut 4. Penetapan dan penegakan hukum peraturan daerah tentang larangan pembakaran hutan dan lahan untuk masyarakat, perusahaan perkebunan, dan perusahaan pertambangan. 4.5.5. Program Efektivitas Peningkatan Pertanian Berkelanjutan Penurunan emisi yang disebabkan oleh deforestasi hutan dapat dicapai melalui dua pendekatan berbeda. Pendekatan pertama adalah pendekatan REDD+. Pendekatan ini menargetkan para pemilik lahan dan membayar mereka untuk tidak memulai kegiatan ekonomi, seperti mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, perkebunan kopi, perkebunan karet dan tanaman pertanian lainnya. Pendekatan ini memerlukan biaya yang relatif tinggi, misalnya: sekitar Rp. 2,7 juta tCO2e yang terhindari dalam kasus kelapa sawit. Pendekatan kedua dengan mengurangi emisi dari deforestasi hutan melalui alokasi lahan yang lebih efisien dan lestari. Sebagai contoh dengan menggunakan lahan yang telah rusak dan bukan lahan hutan untuk lahan pertanian baru dan dengan membatasi atau menghentikan ekspansi pertanian ke lahan gambut yang lebih dalam lagi. Pendekatan ini juga akan menekankan peningkatan produktivitas pertanian pada lahan-lahan yang ada melalui pelatihan para petani atas teknik-teknik intensifikasi pertanian dan dengan melakukan diversifikasi terhadap pilihan tanaman. Sementara kegiatan-kegiatan ini juga membutuhkan biaya, tetapi diasumsikan jauh lebih rendah daripada membayar pemilik lahan atas penghasilan mereka yang tidak mereka terima. Keuntungan lainnya adalah bahwa kegiatan-kegiatan ini akan membantu mempertahankan atau meningkatkan pembangunan ekonomi di Kalbar. Memastikan alokasi lahan merupakan tantangan tersendiri. Isu-isu bersifat lintas yurisdiksi kepemilikan lahan dan perencanaan tata ruang. Peningkatan kolaborasi antar pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota akan menjadi penting untuk memperbaiki perencanaan tata ruang dan harus didukung oleh analisis teknis mendetil. Informasi ini kemudian perlu dikonsolidasi menjadi satu sistem penetapan kepemilikan lahan untuk mendaftar akta-akta dan wilayah-wilayah peta, dengan dukungan pelibatan masyarakat yang kuat. Serupa dengan kasus pencegahan pembakaran, potensi pengurangan teknis maksimum untuk menurunkan emisi yang disebabkan oleh deforestasi hutan melalui penggunaan lahan yang lebih efektif dan alokasi lahan lebih tinggi daripada estimasi potensi yang digunakan. 68 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Kegiatan-kegiatan utama: 1. Peningkatan kolaborasi antar pemerintah untuk memperbaiki perencanaan tata ruang 2. Analisis teknis alokasi kesesuaian lahan dan menilai potensi manfaat ekonomi penggunaan jenis-jenis lahan berbeda untuk kegiatan-kegiatan yang berbeda 3. Membangun sistem penetapan kepemilikan lahan untuk mendaftar akta-akta dan wilayah-wilayah peta, dengan dukungan pelibatan masyarakat yang kuat 4. Pelatihan petani tentang teknik-teknik intensifikasi pertanian dan diversifikasi tanaman 4.5.6.Program Rehabilitasi Lahan Gambut Terdegradasi Mengurangi emisi lahan gambut melalui reboisasi dan rehabilitasi fungsi hidrologi lahan gambut yang rusak harus dilakukan. Para pendukung kunci akan menetapkan pedoman untuk proses-proses pembasahan kembali rawa gambut. Ini dalam upaya penambatan kanal, mensponsori riset lokal terhadap manfaat dan biaya proses-proses rehabilitasi gambut alternatif. Dengan potensi untuk menciptakan pusat keungulan lokal, dan berkoordinasi dengan pemerintah nasional untuk memastikan bahwa emisi gambut dimasukkan ke dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim internasional. Pencegahan dan pengelolaan kebakaran efektif dan upaya-upaya untuk mendorong proses-proses reboisasi harus melengkapi aksi-aksi tersebut supaya upaya tersebut dapat berkelanjutan dalam jangka panjang. Kegiatan-kegiatan utama: 1. Riset manfaat dan pembiayaan rehabilitasi lahan gambut; 2. Penetapan pedoman pembasahan kembali (peat reweting) dan konservasi hutan rawa gambut; 3. Pelaksanaan pembasahan kembali (peat reweting) dan konservasi di lokasi lahan hutan rawa gambut dengan penambatan kanal (canal blocking); 4. Mendorong keterlibatan Pemerintah Provinsi ke dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim, agar emisi karbon lahan gambut dimasukan 4.5.7. Program Perbaikan Tata Guna Lahan dan Tata Kelola Pertambangan Lokasi pertambangan umumnya terletak di lokasi terfokus dengan luasan areal ekspoloitasi yang relatif kecil. Tetapi kawasan eksplorasi pertambangan dapat berlipat ganda dari luasan eksploitasinya. Dengan menggunakan teknologi dan perencanaan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih baik sebenarnya dampak negatif pertambangan dapat ditekan serendah mungkin dan sektor pertambangan dapat dilakukan dengan rendah emisi. BAB IV 69 Untuk mendukung terlaksananya program ini, diperlukan kegiatan-kegiatan utama berikut: 1. Penetapan pengaturan daerah mengenai “Zona Larangan Pertambangan”dengan menghindari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di kawasankawasan bernilai konservasi tinggi untuk keanekaragaman hayati, simpanan karbon dan sumber penghidupan masyarakat; 2. Peningkatan reklamasi hutan bekas pertambangan melalui verifikasi lapangan di area eks pertambangan dan penindakan hukum yang tegas dan konsiten terhadap setiap pelaku pelanggaran yang terbukti melanggar ketentuan reklamasi areal bekas pertambangan 3. Penyempurnaan peraturan daerah terkait pemberian izin kuasa pertambangan di lahan hutan gambut lebih 3 meter, perlindungan lahan gambut di konsesi pertambangan dan kewajiban reklamasi paska pertambangan. 4.6. Strategi Perhitungan, Pelaporan, dan Verifikasi Aspek pengukuran, pelaporan dan pelaksanaan verifikasi berbagai upaya pencegahan/ penanggulangan/pengendalian deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan kemampuan penyerapan/peningkatan karbon (SRAP MRV/ measurement,reporting and verification). MRV menjadi penting karena akan menentukan apakah upaya yang dilakukan dalam rangka mitigasi emisi akan dihargai dengan insentif positif atau kompensasi. Sistem MRV REDD+ yang akan diterapkan di Kalbar meliputi semua aktifitas MRV yang terkait dengan (1) penurunan laju deforestasi; (2) penurunan laju degradasi hutan; (3) konservasi karbon; dan (4) peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan hutan lestari dan pengayaan simpanan karbon. Pengukuran dan pelaporan yang dilaksanakan diharapkan mampu mendukung pelaksanaan dari strategi nasional REDD+ menuju pencapaian standar internasional secara bertahap. Sistem MRV akan dimanfaatkan pula untuk berperan sebagai pendeteksi dini perubahan hutan. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pembangunan kehutanan merupakan sektor utama sebagai muara dari terjadinya emisi karbon. Sektor kehutanan mempunyai posisi strategis dalam upaya penanganan emisi karbon – gas rumah kaca (GRK) di Kalbar. Hasil kajian yang telah dilakukan juga mengindikasikan bahwa lahan gambut dan LULUCF merupakan penyebab utama dari emisi karbon di Kalbar. 4.7. Struktur Kelembagaan Pengelolaan Program Mencapai keberhasilan pertumbuhan ekonomi rendah karbon akan memerlukan transformasibesar. Itu baik dalam pemerintahan maupun dalam masyarakat luas. Dari sudut pandang kelembagaan, dukungan terhadap pertumbuhan rendah karbon memerlukan pendekatan lintas sektor. Selain itu, adanya kepastian akses terhadap 70 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan program ambisius dan mendesak ini juga penting untuk keberhasilan. Provinsi Kalbar kembali dihadapkan tantangan prioritas penting dan sumber daya yang terbatas, terutama, terbatasnya ketersediaan pemilik keahlian manajemen yang diperlukan untuk melaksanakan perubahan. Banyak instansi pemerintah menghadapi tantangan-tantangan termasuk perubahan iklim. Pemerintah kemudian membentuk unit-unit baru seperti unit penurunan emisi melalui skema REDD+.Provinsi Kalbar dalam kaitan ini akan membentuk Badan Pengelola REDD+ dengan kewenangan, ruang lingkup tugas dan fungsi organisasi yang masih terbatas. Badan Pengelola REDD+ Kalbar nantinya difungsikan untuk mengorganisasikan perencanaan dan pelaksanaan Kalbar hijaudengan membentuk unit kerja baru khusus dengan memberikan kewenangan, tanggung-jawab, fungsi dan tugasnya yang diperluas. Peninjauan kembali terhadap unit-unit pelaksana dalam dan luar negeri menyingkapkan beberapa pelajaran bagi Kalbar dalam mengembangkan mekanismemekanisme kelembagaannya sendiri untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan strategi pertumbuhan rendah karbon. Struktur pengelolaan program dirancang dengan memperhatikan kebijakan nasional terkait REDD+. Diharapkan program itu dapat mendukung pelaksanaan strategi pembangunan rendah emisi yang terkoordinasi dan efektif, tanggap atas berbagai masukan dari kelompok-kelompok pemangku kepentingan, menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana. Dalam jangka panjang mampu membangun kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia tangguh serta pendanaan berkelanjutan bagi pelaksanaan Kalbar hijau. Petikan pelajaran-pelajaran internasional dan dalam negeri tentang mengorganisir unit kerja khusus seperti Badan Pengelola REDD+ Kalbar adalah sebagai berikut: 1. Harus memiliki hubungan langsung dan dengan mandat yang jelas dari tingkatpemerintahan tertinggi di daerah (Gubernur); 2. Perlu melibatkan representatif dari berbagai tingkat pemerintahan; 3. Hubungan dan hak-hak pengambilan keputusan harus ditetapkan secara jelas yang diatur dalam Peraturan Gubernur; 4. Segala pembiayaan dibebankan pada anggaran daerah, hibah, dan bantuan internasional; 5. Mengembangkan manajemen kinerja yang tepat atas beberapa hasil prioritas. Lembaga baru ini perlu menjalankan enam fungsi untuk mendukung kesejahteraan rendah karbon sebagaimana tersaji pada Gambar 4.4. Fungsi-fungsi unit kerja baru mencakup : 1. Pengumpulan Dana dan Alokasi; menarik pembiayaan internasional untuk perjanjian REDD+, VER dan CDM dan mengelola dan mendistribusikan finansial secara transparan, adil, dan efisien ; BAB IV 71 2. Pemantauan dan Evaluasi: menetapkan garis dasar tingkat provinsi dan standar yang tepat untuk pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV); 3. Kebijakan dan Perencanaan Tata Ruang: mengembangkan tanggapan pengaturan untuk mendukung pengurangan karbon dan menciptakan peluang akan sumber penghidupan yang berkelanjutan. Hal-hal ini mencakup optimisasi alokasi lahan melalui perencanaan ruang dan penyelesaian perselisihan kepemilikan dan pengelolaan lahan berhutan dan lahan gambut . 4. Pelibatan Masyarakat: mengembangkan proses-proses untuk melibatkan masyarakat lokal, termasuk pembentukan dewan-dewan masyarakat lokal untuk memberikan masukan strategi dan memastikan ijin yang bebas biaya dan diinformasikan, mendorong perubahan perilaku menuju praktik-praktik yang berkelanjutan dan membangun penyelenggaraan masyarakat lokal. 5. Dukungan Prasarana dan Sarana: mengembangkan prasarana teknologi dan sistem. Misalnya: informasi pasar, suplai pemadam kebakaran, pendidikan, kesehatan) dan prasarana keras misalnya: listrik, jalan untuk mendukung kegiatan penurunan emisi dan sumber penghidupan yang berkelanjutan; 6. Mendukung sumber penghidupan yang berkelanjutan: mengembangkan strategistrategi untuk mendukung pertumbuhan dan menarik investasi untuk prioritasprioritas pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan. GUBERNUR BP REDD+ KALBAR Pengumpulan Dana dan Alokasi Pemantauan dan evaluasi Kebijakan dan perencanaan tata ruang Pelibatan Masyarakat Sarana dan Prasarana Sumberdaya Penghidupan Berkelanjutan Gambar 4.4 Struktur lembaga BP REDD+ Kalbar 4.7.1. Fungsi Pengumpulan Dana dan Alokasi Tiga fungsi terkait finansial penting untuk keberhasilan strategi pertumbuhan rendah karbon. Pertama, di samping anggaran pendapatan daerah, penting untuk menarik pembiayaan internasional untuk menyokong inisiatif - inisiatif pengurangan emisi di Kalbar. Kedua, model pembagian penghasilan harus ditetapkan agar dapat mengalokasi dana ke berbagai unit kerja lain yang semuanya untuk implementasi program REDD di lapangan.Ketiga, finansial harus dikelola dan didistribusikan secara adil dan transparan Pendanaan dari pasar-pasar karbon internasional akan memakan waktu terlalu lama untuk membantu Kalbarmenurunkan emisi karbon sampai tahun 2030. Dalam jangka waktu pendek, selain dari dana pendapatan daerah, pendanaan sementara bisa 72 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT dicarikan lewat Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia/Indonesian Climate Change Trust Fund, Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan/Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), Program UN-REDD, kemungkinan instrumen pendanaan FREDDI (Fund for REDD+ Indonesia) yang akan dibentuk atau program-program bilateral penting lainnya untuk menyokong upaya-upaya Kalbar untuk menciptakan kesiapan REDD+. Model pembagian penghasilan spesifik perlu disempurnakan dalam koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Kementerian Keuangan dan Kementerian Kehutanan, yang telah menguraikan beberapa pedoman untuk proyek-proyek REDD+. Dalam menetapkan model pembagian finansial, beberapa prinsip perancangan penting harus dipertimbangkan: 1. Adanya jaminan masyarakat lokal menerima insentif. Mengubah perilaku masyarakat di sekitar hutan agar tidak melakukan pengerusakan bukan pekara mudah. Perlu adanya skema pemberian insentif atas setiap upaya untuk mengurangi emisi karbon. 2. Membangun fondasi sumber penghidupan berkelanjutan: Masyarakat di sekitar hutan harus memiliki fondasi sumber penghasilan agar keberlangsungan hidup mereka menjadi terjamin, seperti memanfaatkan sumber daya hutan untuk peningkatan pendapatan. 3. Membuat struktur insentif dan kerangka kerja dengan melibatkan sektor swasta: Pemberian insentif untuk masyarakat lokal di sekitar hutan merupakan perkara sensitif. Untuk itu perlun dibuatkan struktur pemberian insentif yang jelas dan transparan agar tidak menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Kemudian, dalam kerangka kerja perlu melibatkan sektor swasta agar cepat dan efektif. Sementara itu, pedoman untuk menarik, mengelola, dan mengolokasikan dana yang didapat hendaknya; - - - - - Menjamin masyarakat lokal menerima insentif melalui pembayaran untuk skema kinerja; Insentif yang didapatkan benar-benar memberikan bukti nyata untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan; Pengelolaan dana harus transparan, penuh integritas, jelas, dan bertanggung jawab agar menimbulkan kepercayaan masyarakat dan pihak pemberi dana; Dalam pengambilan keputusan untuk penggunaan dana mengedepankan asa musyawarah; Membuat aturan dasar dalam pengalokasikan insentif untuk masyarakat; 4.7.2. Fungsi Pemantauan dan Evaluasi Pada unit kerja ini sangat diperlukan penggunaan sistem MRV. Itu mencakup menyempurnakan estimasi awal skenario emisi provinsi tanpa tindakan pengurangan menetapkan angka-angka dasar, seperti angka penurunan deforestasi hutan untuk menilai upaya-upaya penurunan emisi dan mengembangkan sistem-sistem untuk memantau dampak. Penurunan angka deforestasi hutan yang dicapai merupakan dasar bagi penggalangan atau pemberian insentif positif. BAB IV 73 Dalam menurunkan biaya transaksi dan meningkatkan kemungkinan proyekproyek karbon menarik pembayaran pasar karbon internasional, pemerintah menggunakan metodologi yang telah teruji secara independen dan menetapkan pendekatan tingkat provinsi. Prinsip-prinsip pedoman untuk pemantauan dan evaluasi: 1. Penetapan metodologi biaya transaksi berbiaya rendah untuk proyek penurunan emisi tingkat provinsi. 2. Pengembangan pendekatan-pendekatan pengukuran sesuai dengan kemampuan secara bertahap. 4.7.3. Fungsi Kebijakan dan Perencanaan Tata Ruang Berdasarkan data historis peningkatan tahunan, di tahun 2020, diperkirakan 1.2 juta hektar ditujukan khusus untuk produksi kelapa sawit di Kalbar. Sementara lebih kurang 1.8 juta hektar menjadi lahan non-hutan. Alasan utama lahan-lahan ini tidak digunakan untuk penanaman saat ini adalah isu-isu kepemilihan lahan dan sosial yang tidak pasti di wilayah-wilayah ini. Isu kepemilikan lahan yang bersifat lintas yurisdiksi dan perencanaan tata ruang, kolaborasi antara pemerintah nasional dan kabupaten/ kota menjadi penting. Di samping itu, setiap kolaborasi perlu didukung dengan analisis teknis rinci yang dapat memberikan penilaian akurat alokasi lahan saat ini dan menilai potensi manfaat ekonomi menggunakan jenis-jenis lahan untuk berbagai kegiatan untuk menginformasikan perencanaan tata ruang. Informasi ini kemudian perlu dikonsolidasi menjadi satu sistem pemberian hak atas tanah untuk mendaftar akta dan wilayah peta. Meskipun teknologi merupakan hal penting untuk proses ini, pengalaman di berbagai negara menegaskan bahwa pemberian hak atas tanah dan perencanaan tata ruang campuran yang rumit, permasalahan historis, sosial, ekonomi, juga politik. Dengan demikian penting untuk membangun dukungan masyarakat yang erat untuk mendukung inisiatif. Setiap inisiatif dihubungkan dengan pendekatan pelibatan masyarakat. Ini penting dalam upaya penyelesaian lahan, mengembangkan kapasitas kelembagaan di tingkat lokal, menjamin proses dilakukan secara adil dan transparan, dan secara jelas menyampaikan manfaat-manfaatnya ke masyarakat lokal. Instansi pemerintah yang mengurusi masalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) juga perlu diperkuat dan diperluas. Dengan demikian bisa memberikan pertimbangan yang cermat atas masalah-masalah lingkungan hidup sebelum izin-izin dikeluarkan, dan diperluas agar mencakup fokus khusus pada emisi karbon dan lahan gambut. Kajian Lingkungan Hidup Strategis perlu diterapkan dalam proses perizinan pemanfaatan lahan yang berskala besar untuk menghentikan atau mengurangi dampak lingkungan dan sosial. Prinsip-prinsip pedoman untuk kebijakan dan perencanaan tata ruang: 1. Kajian Lingkungan Hidup Strategis diterapkan dalam proses perizinan yang menggunaan skala luas, seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan batubara, pembangunan infrastruktur fisik skala besar, hutan tanaman industri; 74 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT 2. Peran Amdaldisempurnakan dan diperluas untuk memberikan analisis terhadap masalah-masalah lingkungan hidup lebih cermat dan memasukkan fokus khusus pada emisi karbon dan lahan gambut; 3. Melakukan koordinasi secara intensif kepada masyarakat lokal baik sebelum maupun sesudah dalam perencanaan tata ruang dan pemberian hak atas tanah; 4. Penggunaan teknologi agar dapat menilai dengan tepat biaya dan manfaat ekonomi dari keputusan-keputusan alokasi lahan; 5. Akses terhadap informasi pemberian hak atas tanah dipermudah. 4.7.4. Fungsi Pelibatan Masyarakat Dalam setiap implementasi REDD+ di lapangan harus melibatkan masyarakat lokal. Melibatkan masyarakat lokal merupakan hal utama dan tidak boleh diabaikan. Apalagi kalau menyangkut pemberian izin lahan maupun dalam penataan ruang wilayah. Prinsip-prinsip pedoman untuk pelibatan masyarakat: 1. Penerapan Free and Prior Informed Consent (FPIC) atau Padiatapa, yaitu persetujuan dengan pemberitahuan awal dan bebas dari masyarakat lokal untuk berperan serta dalam proyek-proyek penurunan emisi karbon berbasis lahan; 2. Penerapan PRISAI (Prinsip Kriteria Safaguard Indonesia) dalam kegiatankegiatan penurunan emisi berbasis lahan; 3. Lembaga desa diperkuat untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk terlibat dan mengambil manfaat dari proyek-proyek penurunan emisi karbon. 4.7.5. Fungsi Dukungan Sarana dan Prasarana Implementasi SRAP REDD+Kalbar mutlak harus didukung dengan penyediaan sarana dan prasarana. Tanpa dukungan tersebut akan sangat sulit untuk diwujudkan. Dalam hal ini, perlu ada kerja sama atau koordinasi antara unit kerja di BP REDD+ Kalbar dengan instansi pemerintah lainnya yang berhubungan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Misalnya, masalah listrik tentu melakukan upaya dukungan dengan pihak PLN. Masalah jalan melakukan upaya dukungan dengan Dinas Pekerjaan Umum, dan sebagainya. Melibatkan pihak swasta atau bantuan luar negeri juga sangat dibutuhkan untuk penyediaan sarana dan prasarana REDD+. Namun, prinsip yang harus diperhatikan di unit kerja ini adalah: 1. Masyarakat lokal dilibatkan dalam penyediaan sarana dan prasarana agar bisa memberikan manfaat yang akurat; 2. Transparansi dan integritas dalam pengadaan prasarana melalui audit internal dan eksternal, dan memperkenalkan mekanisme-mekanisme untuk menjamin integritas para pejabat pengadaan; dan 3. Memasukkan rencana-rencana untuk memperbaiki layanan sosial penting. BAB IV 75 4.7.6. Fungsi Dukungan Sumberdaya Penghidupan Berkelanjutan Pembangunan ramah lingungan yang berkelanjutan (suistainable) menjadi hal utama dalam hal ini. Setiap upaya yang dilakukan unit kerja ini harus berpikir bahwa apapun yang dilakukan lokasi lahan hutan dan gambut harus berkelanjutan. Bila tidak berkelanjutan, dikhawatirkan upaya yang telah dilakukan menjadi terputus. Untuk itu diperlukan dukungan sumber daya penghidupan agar skema SRAP REDD+ Kalbar bisa berkelanjutan dan bisa mencapai target penurunan gas emisi secara signifikan. Prinsip utamanya: 1. Peningkatan sumber daya manusia bagi pelaksana SRAP REDD+ Kalbar agar memahami secara mendalam prinsip-prinsip pembangaun berkelanjutan; 2. Peningkatan pengetahuan masyarakat lokal di sekitar lahan hutan dan gambut mengenai pembangunan yang berkelanjutan agar skema REDD+ bisa dengan mudah diimplementasikan. 4.8. Pendekatan Pelaksanaan Program Untuk implementasi SRAP REDD+ Kalbar tidak bisa dilakukan dalam waktu yang pendek. Sesuai dengan perencanaan telah diatur skema implementasi mulai dari perencanaan jangan pendek, menengah, dan panjang. Dalam mewujudkan rencana tersebut diperlukan tahapan-tahapan agar bisa dijalankan secara sistematis dan terukur. Hal paling mendasar untuk implementasi skema tersebut adalah kesiapan dana. Harus ada komitmen dana baik dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Itu kalau penurunan emisi karbon dengan upaya sendiri. Kalau ada komitmen dana dari negara luar, tentunya bisa menambah target penurunan gas emisi. Tahapan I, Penyiapan Infrastuktur SRAP REDD+ Kalbar (2013-2016). Pada tahapan ini upaya yang mesti dilakukan adalah sebagai berikut: - - - - Mengkoordinasikan antarlembaga pemerintah dari tingkat provinsi dan kabupaten/ kota serta lembaga atau organisasi yang berorientasi menjaga lingkungan hidup untuk bersama-sama mendukung pencapaian komitmen Indonesia dalam penurunan emisi 26% secara mandiri dan 41% bila ada bantuan negara lain. Membentuk Badan Pengelola (BP) REDD+ Kalbar Menyusun dan merencanakan program kerja BP REDD+ Kalbar Mensosialisasikan program kerja BP REDD+ Kalbar Tahapan II, Implementasi Program SRAP REDD+ Kalbar (2013-2020). Pada tahapan ini seluruh program kerja yang telah direncanakan dan disosialisasikan ke masyarakat saatnya untuk diimplementasikan. Lebih jelasnya tahapan II ini hal yang mesti dilakukan adalah sebagai berikut: - - 76 Penataan dan pengelolaan tata ruang wilayah berbasis lahan dan gambut Implementasi program kerja BP REDD+ dalam rangka penurunan emisi STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT - Terlaksana pembangunan Kalbar rendah karbon dan memberikan kontribusi terhadap target nasional dalam penurunan emisi Tahapan III, Evaluasi dan Pemaksimalan SRAP REDD+ Kalbar (2013-2030). Pada tahapan ini dilakukan evaluasi secara menyeluruh setiap program SRAP REDD+ Kalbar untuk mengetahui apa dampak atau pengaruh bagi lingkungan dan masyarakat. Apalabila ada kekurangan tentunya dilakukan skema perbaikan. Apabila ada kemajuan sesuai visi dan misi tentu harus dilakukan pemaksimalan program tersebut. Hal yang ingin diwujudkan dari tahapan III adalah: - - Hutan dan lahan gambut yang berada di Provinsi Kalbar menjadi kawasan rendah emisi (emiter), menyerap carbon maksimal (sequestration) dan menyimpan karbon maksimal (net carbon sink) pada tahun 2030. Pembangunan berkelanjutan dengan fungsi dan jasa ekosistem hutan lestari bagi peningkatan ekonomidaerah dan kesejahteraan masyarakat. 4.9. Kerangka Pengaman Sosial dan Lingkungan 4.9.1. Penerapan Padiatapa Implementasi SRAP REDD+ Kalbar bisa mendapatkan kredibilitas lokal, harus mengakui hak masyarakat adat dan lokal yang menggantungkan diri pada wilayah hutan. Setiap program yang akan dilaksanakan mutlak harus melibatkan masyarakat di sekitar hutan atau gambut. Hal ini untuk mencegah terjadinya konflik dan program REDD+ bisa dilaksanakan sesuai skema yang telah ditentukan. Untuk itu, implementasi program ini terlebih dahulu melewati Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa). Prinsip Padiatapa atau Free, Prior and Informed Consent (FPIC) merupakan prasyarat yang harus dipenuhi dalam implementasi REDD+. Prinsip ini telah dicantumkan dalam kesepakatan COP XVI UN-FCCC di Cancun, Mexico, Desember 2010 (Annex 1 dari Decision CP.16 Cancun Agreement). Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati yang mencantumkan prinsip Padiatapa. Padiatapa dapat digambarkan sebagai pembentukan keadaan yang memungkinkan masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk melaksanakan hak dasar mereka. Ini guna merundingkan isi kebijakan program dan kegiatan yang dibawa oleh pihak/orang luar yang berdampak langsung pada penghidupan atau kesejahteraan mereka. Dalam hubungannya dengan REDD+, sebelum program diimplementasikan melakukan proses Padiatapa di area tersebut. Dengan kata lain, tidak ada pemberian ijin tanpa didahului dengan pelaksanaan Padiatapa. FPIC sendiri adalah prinsip yang menegaskan adanya hak masyarakat adat dan atau masyarakat lokal untuk menentukan bentuk kegiatan pada wilayah mereka. Secara lebih rinci dapat dirumuskan sebagai hak masyarakat adat dan atau komunitas lokal untuk mendapatkan informasi (Informed) sebelum (Prior) sebuah program BAB IV 77 atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah adat atau kelola mereka. Berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan (Free) menyatakan setuju (consent) atau menolak. Dengan kata lain sebuah hak masyarakat adat dan atau masyarakat lokal untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan, terlebih dahulu mendapatkan pengakuan dari masyarakat itu sendiri. Tujuan penerapan instrumen Padiatapa adalah sebagai berikut: 1. Adanya kepastian partisipasi masyarakat adat dan masyarakat lokal; 2. Adanya perlindungan hak-hak masyarakat adat serta masyarakat lokal; 3. Sebagai penentuan nasib sendiri, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, hak atas informasi, hak atas pembangunan dan hak atas pengetahuan lokalnya; 4. Sebagai pedoman mengenai prosedur dan mekanisme untuk mendapatkan Padiatapa dari masyarakat adat; 5. Sebagai kepastian pola kemitraan dan akses terhadap keuntungan yang adil dan setara dalam implementasi REDD+. Tujuan Padiatapa di atas akan disulit diwujudkan apabila tidak ada keseriusan dari kedua belah pihak. Untuk itu dalam penerapan Padiatapa harus diwujudkan secara sungguh-sungguh prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, inklusivitas, integritas, partisipasi, dan kebebasan. Dengan adanya prinsip tersebut, Padiatapa akan sangat mudah diwujudkan. 4.9.2.Memenuhi Prasyarat Kerangka Pengaman Sosial dan Lingkungan Program REDD+ adalah kesepakatan internasional mengenai mekanisme insentif dari negara-negara yang mau menjaga kelestarian hutan dan lingkungan demi mengurangi emisi karbon global. Agar bisa terlibat dalam skema REDD+ ini, negaranegara calon penerima insentif harus membangun lembaga REDD+ di tingkat nasional dan sub nasional. Salah satu pilar dari kelembagaan REDD+ ini adalah tersedianya instrumen pendanaan dan mekanisme pemantauan. Instrumen pendanaan REDD+, selain harus memenuhi standar akuntabilitas dan transparansi, harus juga dipastikan tidak akan mendatangkan dampak negatif dari sisi sosial dan lingkungan. Untuk memenuhi prasyarat itu, instrumen pendanaan membutuhkan kerangka pengamanan selanjutnya disebut dengan “safeguards” atau Kerangka Pengaman), agar REDD+ bisa berjalan. Kerangka Pengaman REDD+ dimajukan karena adanya berbagai kekuatiran global muncul berkenaan dengan kemungkinan adanya dampak negatif kegiatan REDD+. Dampak-dampak negatif seperti konversi hutan alam menjadi hutan tanaman industry, perkebunan kelapa sawit atau bentuk pemanfaatan lainnya yang mempunyai keanekaragaman hayati yang rendah dan mengarah kepada kerusakan ekosistem dan kehilangan keanekaragaman hayati, hilangnya kawasan-kawasan tradisional yang mengarah pada penggusuran masyarakat adat, hilangnya hak-hak masyarakat terhadap 78 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT lahan, wilayah dan sumberdaya, serta memunculkan terjadinya korupsi, nepotisme dan kolusi baru dalam penerapan REDD+. Kerangka Pengaman(Safeguards) merupakan upaya dini untuk memastikan bahwa sebuah program mau pun proyek REDD+ ini tidak melawan atau menyimpang dari tujuannya sendiri yaitu merugikan manusia dan lingkungan. Keberadaan safeguards mencirikan tata kelola instrumen pendanaan REDD+ yang baik dan berstandar tinggi. Bila berhasil diwujudkan, ini akan menjadi daya tarik yang kuat bagi pemberi donor dan juga sektor swasta yang ingin berinvestasi pada kegiatan REDD+. COP-16 UN-FCCC telah mengamanatkan kepada negara berkembang yang akan melaksanakan REDD+ agar membangun sistem penyediaan informasi tentang pelaksanaan ‘safeguards’ REDD+ yang tertuang pada Annex 1 Paragraph 2 decision 1/CP. 16. COP-16 mengamanatkan bahwa dalam aksi REDD+ setiap negara perlu mendorong diterapkannya ‘Safeguards’ sebagai berikut : a b c d e f g Melengkapi atau konsisten dengan tujuan program kehutanan nasional, konvensi dan kesepakatan internasional terkait; Struktur tata-kelola hutan nasional yang transparan dan efektif, mempertimbangkan peraturan-perundangan yang berlaku dan kedaulatan negara yang bersangkutan; Menghormati pengetahuan dan hak ‘Indigenous Peoples’ dan masyarakat lokal, dengan mempertimbangkan tanggung-jawab, kondisi dan hukum nasional, dan mengingat bahwa Majelis Umum PBB telah mengadopsi Deklarasi Hak ‘Indigenous Peoples’; Partisipasi stakeholders secara penuh dan efektif, khususnya ‘Indigenous Peoples’ dan masyarakat lokal; Konsisten dengan konservasi hutan alam dan keaneka-ragaman hayati, menjamin bahwa aksi REDD+ tidak digunakan untuk mengkonversi hutan alam, tetapi sebaliknya untuk memberikan insentif terhadap perlindungan dan konservasi hutan alam dan jasa ekosistem, serta untuk meningkatkan manfaat sosial dan lingkungan lainnya; Aksi untuk menangani resiko-balik (reversals); Aksi untuk mengurangi pengalihan emisi. Rencana-rancana aksi yang tertuang dalam SRAP REDD+ Kalbar dalam implementasinya nanti akan merujuk dan memenuhi prasyarat Kerangka Pengaman Sosial dan Lingkungan. Sistem Kerangka Pengaman ini akan menjadi rujukan dalam implementasi SRAP REDD+ Kalbar, apabila nantinya telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.Kerangka pengamanan sosialakan menjadi salah satu instrumen kerja yang terintegrasi dalam instrumen pendanaan REDD+ dalam Lembaga REDD+ Nasional. Berdasarkan penjelasan diatas, maka SRAP REDD+ Kalbar dalam implementasi akan memenuhi prinsip-prinsip yang telah tertuang dalam Kerangka Pengaman Sosial, yaitu : a b Memastikan status hak atas tanah dan wilayah; Melengkapi atau konsisten dengan target pengurangan emisi, konvensi dan kesepakatan internasional terkait; BAB IV 79 c d e f g h i j 80 Memperbaiki tata kelola kehutanan; Menghormati dan memberdayakan pengetahuan dan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal ; Partisipasi para pemangku kepentingan secara penuh dan efektif dan mempertimbangkan keadilan gender; Memperkuat konservasi hutan alam, keanekaragaman hayati, jasa ekosistem ; Aksi untuk menangani resiko-balik (reversals); Aksi untuk mengurangi pengalihan emisi; Manfaat REDD dibagi secara adil ke semua pemegang hak dan pemangku kepentingan yang relevan; Menjamin Informasi yang transparan, akuntabel dan terlembagakan; STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT BAB V PENGUKURAN, PELAPORAN DAN VERIFIKASI 5.1. Pengembangan Instrumen dan Kelembagaan MRV Ketika lembaga REDD+ sudah terbentuk, kemudian sudah dilakukan implementasi program di lahan hutan dan gambut, ada satu instrumen yang mesti dilakukan. Instrumen tersebut adalah MRV (Measurement, Reporting, Verification). Program dari SRAP REDD+ Kalbar harus terukur, bisa dilaporkan, dan bisa diverikasi. Semua itu untuk akuntabilitas atau pertanggungjawaban atas setiap program kerja yang dilakukan. Dengan adanya instrumen tersebut akan menguatkan kepercayaan negaranegara pemberi dana. Membangun sistem pengukuran (Measurement), yang dapat dilaporkan (Reportable) dan dapat diverifikasi (Verifiable) adalah sebuah keharusan bagi implementasi SRAP REDD+ Kalbar. Skema REDD+ adalah sebuah mekanisme insentif positif atas pengelolaan hutan yang berkelanjutan dengan memberikan kompensasi atas berkurangnya emisi yang terjadi dari penurunan laju deforestasi, degradasi hutan, konservasi, pengelolaan hutan lestari dan pengayaan atau peningkatan cadangan karbon. Dengan adanya sistem ini setiap pengurangan dan peningkatan stok karbon di hutan dapat diukur secara akurat, dan dapat dijadikan dasar untuk memberikan imbalan (reward) atas pencapaian kinerja penurunan emisi. Penerapan REDD+ di Provinsi Kalbar akan meliputi kawasan yang luas, berbagai tipe tutupan lahan serta proses-proses kompleks pertukaran informasi dari banyak pihak. Dengan demikian dibutuhkan suatu sistem untuk mengetahui besarnya emisi dan serapannya. Pemberdayaan pengembangan MRVmerupakan pilar yang penting dalam kegiatan REDD+. Melalui proses ini efektivitas upaya dan efisiensi biaya pengurangan emisi akan terukur secara kuantitatif, dan pembagian manfaat akan terlaksana secara adil. Hasil dari proses MRV adalah dasar pembayaran atas output atau kinerja yang akan dilakukan oleh lembaga pendanaan atau pembeli. MRV merupakan rangkaian kegiatan untuk mengukur, melaporkan dan melakukan verifikasi pencapaian penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari REDD+ secara berkala, sahih, akurat, terbandingkan, lengkap, konsisten dan transparan. Sistem MRV merupakan garansi bagi komitmen negara-negara peratifikasi UN-FCCC, lembaga pendanaan , investor keuangan atau pembeli (buyers) dalam implementasi REDD+. Target dari sistem MRV ini adalah inventarisasi gas rumah kaca dari kegiatan REDD+ yang dilaporkan ke Sekretariat UNFCCC.. Instrumen MRV REDD+ yang akan diterapkan di Kalbar meliputi semua aktivitas (1) penurunan laju deforestasi; (2) penurunan laju degradasi hutan; (3) konservasi karbon; dan (4) peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan hutan lestari dan pengayaan simpanan karbon (misal perlindungan dan penanaman hutan). Pengukuran BAB V 81 dan pelaporan yang dilaksanakan diharapkan mampu mendukung pelaksanaan dari Stranas REDD+ maupun SRAP REDD+ menuju pencapaian standar internasional secara bertahap. Instrumen MRV akan dimanfaatkan pula untuk berperan sebagai pendeteksi dini perubahan hutan. Instrumen MRV Kalbar , berdasarkan pelakunya direncanakan akan dijalankan dengan dua mekanisme, yaitu mekanisme pengukuran-pelaporan dan mekanisme verifikasi. Mekanisme pengukuran pelaporan emisi dilakukan oleh lembaga tersendiri. Hal yang diukur semua kegiatan yang menyebabkan pelepasan dan penyerapan gas rumah kaca (GRK) di sektor kehutanan dan gambut. Sedangkan mekanisme verifikasi akan dilaksanakan oleh lembaga penilai verifikasi independen mampu yang bersertifikat dan diakui baik nasional maupun internasional. Untuk menjamin standar kualitas, instrumen MRV Kalbar akan menggunakan prinsip-prinsip dasar IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), sebagaimana tercantum dalam Gambar 5.1. di bawah sedangkan penjelasan atas masing-masing prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 1. Terbuka (transparency): Informasi tersedia dengan mudah, terbuka dan mudah di akses untuk keperluan kaji ulang (review and check and recheck) dan verifikasi. Dokumentasi disusun dengan mudah, sehingga pihak yang tidak melaksanakan inventarisasi dapat memahami bagaimana inventarisasi GRK dilaksanakan dan dapat menilai apakah apakah metode yang digunakan memenuhi standar IPCC; 2. Taat azas (consistency): Inventarisasi dilakukan secara periodik. Perbedaan emisi yang dihasilkan antar inventarisasi benar-benar menggambarkan perbedaan emisi dalam periode bersangkutan, bukan disebabkan metode pengukuran yang berbeda. Demikian pula halnya dengan pengukuran tren emisi, metode yang digunakan bersifat konsisten. 3. Dapat diperbandingkan (comparability): metodologi yang digunakan bersifat umum. Definisi , klassifikasi, tabel-tabel dan panduan mengacu pada ketentuan IPCC dan harus dapat dipakai untuk menghasilkan produk yang sifatnya dapat dibandingkan dan dapat direplikasi (replicable). 4. Teliti (accuracy): tingkat akurasi dan ketidakpastian (uncertainty) dari data harus diketahui dan dinyatakan. Estimasi emisi sebisa mungkin tidak berlebihan dan tidak kekurangan (over- dan under-estimate). Ketelitian data merupakan unsur penting yang terkait dengan efektivitas penurunan emisi. 5. Lengkap (completeness): data, sumber data, metode sampling dan pengumpulan data, analisa, asumsi, bersifat menuju kelengkapan sesuai Tier yang diacu. Kelengkapan informasi ini mencakup cadangan karbon di semua komponen ekosistem, baik yang di atas tanah (batang, ranting, daun) dan di bawah tanah (akar), serta biomassa yang telah terurai sebagian atau seluruhnya (nekromassa, serasah, gambut). 6. Secara strategis sistem MRV direncanakan mengacu kepada Sistem MRV Nasional dan kebutuhan provinsi, kabupaten dan kota. Sistem MRV Provinsi Kalbar akan dbagi menjadi 5 (lima) Sub-sistem berdasarkan cakupan, tujuan khusus, kegiatan 82 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT teknis, data, informasi dan analisa yang terlibat serta lembaga-lembaga khusus yang terkait. Lihat Tabel 5.1 Dalam implementasinya sub-sub sistem ini saling berhubungan satu dengan lainnya dan terintegrasi. Tabel 5.1 Sub-sistem MRV Provinsi Kalbar Sub-Sistem Deskripsi Sub-Sistem 1. Sub-sistem Monitoring Deforestasi Merupakan bagian yang berkoordinasi dengan sub-sistem monitoring deforestasi yang dikembangkan ditingkat Nasional. Hasil pemantauan ditingkat daerah disampaikan ke nasional sebagai masukan. Hasil pemantauan yang dilakukan ditingkat nasional dan disampaikan ke tingkat provinsi, bersama dengan hasil pemantauan mandiri akan ditindaklanjuti melalui pemeriksaan lapangan (ground thrusting) oleh tingkat provinsi dan kabupaten. 2. Sub-Sistem monitoring perubahan tutupan lahan Sub-sistem ini juga merupakan bagian yang berkoordinasi dengan tingkat nasional. Sub-sistem ini mebutuhkan kemampuan melakukan interpretasi citra satelit, klasifikasi tutupan lahan, pengetahuan dan pemahaman local. Hasil tersebut akan dimonitor dengan ground truthing. 3. Sub-sistem factor emisi Sub sistem faktor emisi bertujuan untuk mengkompilasi dan menghitung nilai-nilai karbon accounting yang meliputi cadangan karbon serta sserapan CO2 pada berbagai tutupan lahan tingkat keakurasian nilai-nilai yang selama ini yang digunakan sebagai factor-faktor emisi karbon. Nilainilai ini akan diperoleh, terutama dari dinas instansi yang terkait yaitu dinas Kehutanan, perkebunan, dan pertambangan yang mempunyai kawasan kelola yang luas. 4. Sub-sistem database terrestrial dan spasial Sub-sistem ini mendukung 3 sub-sistem lainnya melalui pengembangan database karbon hutan dan potensi kehutanan, database persamaan alometrik, dan database spasial dari semua tipe tutupan lahan 5. Sub-sistem Informasi Safeguard Sub-sistem informasi ini dibutuhkan agar program reduksi emisi dapat berlangsung dan agar tujuan REDD+ tidak merugikan masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan. System ini akan memberikan masukan informasi yang bersifat terkini (real time) kepada unit pengendali pembangunan untuk dapat dilakukan pendampingan dan konsultasi dengan unit manajemen (penanggung jawab kawasan) terkait terutama untuk memperbaiki pengelolaan kawasan agar program penurunan emisi dapat berhasil. Sistem ini akan menerapkan infrastruktur data spasial daerah (IDSD) yang didukung IDSN di tingkat pusat 5.2. Prosedur Pengukuran Emisi yang Digunakan Prosedur yang diterapkan untuk memperkirakan nilai emisi dilakukan dengan menggabungkan informasi tentang besarnya aktivitas manusia yang terjadi (disebut data kegiatan atau DA, activity data) dengan koefisien pengukur pelepasan/penyerapan emisi per unit kegiatan (Faktor Emisi atau FE , Emission Factor). Pada REDD+, Data Aktivitas didekati dengan luas perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi dalam satu periode waktu dan dihitung dalam hektar. Faktor emisi yang digunakan adalah besarnya pelepasan atau serapan emisi dari kawasan yang tersebut Secara umum persamaan dasar perhitungan emisi seperti tertera pada Gambar 5.1. BAB V 83 dengan menggabungkan informasi tentang besarnya aktivitas manusia yang terjadi (disebut data kegiatan atau DA, activity data) dengan koefisien pengukur pelepasan/penyerapan emisi per unit kegiatan (Faktor Emisi atau FE , Emission Factor). Pada REDD+, Data Aktivitas didekati dengan luas perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi dalam satu periode waktu dan dihitung dalam hektar. Faktor emisi yang digunakan adalah besarnya pelepasan atau serapan emisi dari kawasan yang tersebut Secara umum persamaan dasar perhitungan emisi seperti tertera pada Gambar 5.1. EMISI Perubahan cadangan c pada tingkat bentang lahan ton c/th = DATA AKTIFITAS Data kuantitatif luas perubahan pemanfaatan lahan x FAKTOR EMISI Perubahan cadangan C karena perubahan pemanfaatan lahan, ton/ha/th, Gambar 5.1 Metode Penghitungan Estimasi di Tingkat Bentang Lahan Gambar 5.1 Metode Penghitungan Estimasi di Tingkat Bentang Pada Gambar 5.2. di Lahan bawah ini akan ditampilkan tahapan-tahapan Rencana Pada Gambar 5.2. di bawah ini akan ditampilkan tahapan-tahapan Rencana Kegiatan untuk penghitungan Data Aktifitas dan Faktor Emisi. Pada masing-masing Kegiatan untuk penghitungan Data Aktifitas dan Faktor Emisi. Pada masingtahapan akan dibangun sistem Kontrol Kualitas (QualityBARAT Control) dan pada waktu STRATEGI RENCANA AKSI PROVINSI masingDAN tahapan akan dibangun sistem KALIMANTAN Kontrol Kualitas (Quality Control) dan bersamaan materimenyusun untuk bahan pemeriksaan dalam Jaminan Kualitas padamenyusun waktu bersamaan materi untuk bahan pemeriksaan dalam Jaminan (Quality Kualitas Assurance). (Quality Assurance). Pengukuran emisi Pengukuran terestrial Pengukuran spasial Pengukuran emisi Teknik sampling Pengukuran emisi Bentuk dan ukuran plot Pengukuran emisi Variabel pengukuran Pengukuran emisi Persamaan alometrik V–4 Penentuan uncertanty Biomassa pertutupan lahan Perhitungan emisi total Penentuan uncertanty Penentuan uncertainty 84 Gambar5.2 5.2Pentahapan PentahapanUmum Umum Rencana Rencana Perhitungan Gambar PerhitunganEmisi Emisi Rincian penjelasan dari Pentahapan Umum yang disajikan dalam Gambar penjelasan dari Pentahapan Umum yang disajikan dalam Gambar 5.2 5.2 Rincian di atas, adalah sebagai berikut : di atas, adalah sebagai : Provinsi A. Penentuan Databerikut Aktivitas 1. Mengukur dinamika perubahan pemanfaatan lahan dengan menggunakan citra A. Penentuan Aktivitas Provinsi satelit yangData diambil pada awal dan akhir periode. Citra satelit yang digunakan adalah citra dengan resolusi yang sampai lahan resolusidengan tinggi. menggunakan Tipe-tipe 1. Mengukur dinamika perubahan sedang pemanfaatan pemanfaatan lahan dan luasnya diukur melalui analisis citra. Analisis citra satelit yang diambil pada awal dan akhir periode. Citra satelit yang dilakukan pada ke dua citra. Klasifikasi pemanfaatan lahan dari citra digunakan dengan adalah citra dengan resolusi yang sedang sampai (supervised resolusi tinggi. dilakukan menggunakan klasifikasi terbimbing classification). 2. TipeRENCANA pemanfaatan lahan yang digunakan sesuai STRATEGI DAN AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARATdengan Pedoman IPCC 2006 yaitu : Lahan Hutan (Forest Land), Lahan Kebun/Pangan (Cropland), Lahan berrumput (Grassland), Lahan Basah (Wetlands), Pemukiman (Settlements) dan Lahan lain yang tidak termasuk dalam kategori butir sebelumnya (Other Land). Selain itu digunakan pula klasifikasi pemanfaatan lahan dari Kementerian Kehutanan yang berjumlah 23 kelas dengan memperhatikan Tipe-tipe pemanfaatan lahan dan luasnya diukur melalui analisis citra. Analisis dilakukan pada ke dua citra. Klasifikasi pemanfaatan lahan dari citra dilakukan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing (supervised classification). 2. Tipe pemanfaatan lahan yang digunakan sesuai dengan Pedoman IPCC 2006 yaitu : Lahan Hutan (Forest Land), Lahan Kebun/Pangan (Cropland), Lahan berrumput (Grassland), Lahan Basah (Wetlands), Pemukiman (Settlements) dan Lahan lain yang tidak termasuk dalam kategori butir sebelumnya (Other Land). Selain itu digunakan pula klasifikasi pemanfaatan lahan dari Kementerian Kehutanan yang berjumlah 23 kelas dengan memperhatikan Standar Nasional Indonesia (SNI 7645:2010) yang disusun berdasarkan sistem klasifikasi UNFAO dimana kelas lahan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bervegetasi dan tak bervegetasi. Perubahan tipe Pemanfaatan Lahan diperoleh dengan teknik overlay (tumpang susun) antara citra saat awal dan saat akhir suatu periode. Dari matrik klasifikasi akan dapat diketahui besarnya luas tipe pemanfaatan lahan yang berubah. Dari matrik ini, akan diperoleh beberapa perubahan yang tak mungkin terjadi dalam satu periode waktu, misalnya Lahan Pertanian (Crop Land) yang menjadi Hutan Primer dalam waktu 5 tahun. 3. Melakukan pemeriksaan lapangan (ground check) terhadap hasil klasifikasi untuk mencari kesesuaian penafsiran citra dengan kondisi lapang. Perbedaan penafsiran antara hasil interpretasi dengan kondisi lapang akan digunakan sebagai nilai uncertainty kesesuaian lapang. Uncertainty dari ground check akan digabungkan dengan nilai dari proses stratifikasi komputer. 4. Uncertainty dari proses stratifikasi computer dan dari kesesuaian lapang digabungkan dengan teknik error propagation. Penentuan uncertainty akan dilakukan dengan teknik Monte Carlo Simulation , sesuai dengan IPCC Guidelines 2006 untuk Tier 2 dan Tier 3. Hasilnya akan digunakan sebagai nilai uncertainty dari Data Aktifitas. B. Proses Penentuan Faktor Emisi di tingkat Provinsi 1. Stratifikasi dan Penentuan Luas. Teknik untuk stratifikasi dan penentuan luas adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam aspek teknis untuk memperoleh Daya Aktivitas (activity data). Stratifikasi akan dilakukan berdasarkan Klasifikasi tutupan lahan dari IPCC yang kemudian dirincikan dengan Klassifikasi Kementerian Kehutanan dan SNI 7645:2010. 2. Penentuan aspek-aspek teknik sampling a. Sampling biomassa dilakukan untuk setiap stratum dan tiap tipe karbon pool. Pembuatan stratum dalam teknik sampling bertujuan agar variabel yang diinginkan di dalam sebuah stratum kurang lebih seragam (Cochran, 1977) dan JOPP (2001). Berdasarkan hal ini maka distribusi plot-plot sampel dalam sebuah stratum dapat dilakukan secara sistematik dengan awal teracak (systematic random sampling with random start). Desain BAB V 85 sistematik akan menjamin bahwa semua areal dalam stratum terwakili dan teknis lapangan mudah dilakukan. Koordinat dari semua plot sampel harus dicatat menggunakan koordinat global misalnya UTM (Universal Transverse Mercator) yaitu format data lokasi tampilan pada GPS, peta ataupun kompas. b. Penentuan jumlah plot sampel dapat dilakukan berdasarkan nilai keragaman variabel yang diinginkan (Snedecor and Cochran, 1971) yaitu biomassa dan tingkat ketelitian yang ingin diperoleh. Keragaman biomassa dapat diperoleh dari informasi survey lain atau melakukan survey awal dengan tujuan untuk menghitung keragaman biomassa. Setelah jumlah plot diperoleh, maka posisi plot kemudian disebarkan dalam bentuk kuadrat, atau dalam bentuk jalur berplot pada tipe lahan kering dan bentuk lingkaran pada tipe lahan basah seperti mangrove, rawa dan gambut (Boone, 2011). c. Selanjutnya aspek-aspek teknik sampling yang diterapkan akan bersesuaian dengan SNI Pengukuran Cadangan Karbon. C. Penentuan Bentuk dan Ukuran Plot 1. Secara umum mengacu kepada IPCC, tentang LULUCF dan SNI 7724:2011. Pada hutan alam bentuk plot adalah persegi panjang dan tersarang, dimana pohon berukuran besar diukur pada plot yang besar sedang pohon yang berukuran kecil diukur pada plot kecil. Contoh plot semacam ini digunakan pada RACSA (Aini et el., 2010) atau pada Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (Departemen Kehutanan, 2009) serta Manuri dkk, 2011. Hal ini penting mengingat bahwa distribusi ukuran (diameter) di hutan alam berbentuk J-terbalik. Contoh bentuk plot sampel yang dapat digunakan adalah bentuk plot untuk pengukuran biomassa / karbon dari Kementerian Kehutanan. Luas plot minimal di hutan alam adalah 0,2 Ha. Sedangkan ukuran plot yang digunakan pada areal hutan sekunder akan berbeda tergantung jenis vegetasi yang mendominasi suatu kawasan yaitu makin tinggi rataan tinggi pohon maka luasan plot akan semakin besar (JOPP, 2001). Sedangkan pada lahan basah luasan plot akan semakin besar manakala pada kawasan hutan tersebut ditumbuhi vegetasi yang semakin jarang. 2. Untuk plot di hutan tanaman atau kebun , luas plot disesuaikan dengan ukuran/ umur tanaman. Makin tua tanaman, makin besar ukuran plot. Untuk hutan tanaman yang berumur 5 tahun ke atas, luas plot minimal 0,09 ha (30 m x 30 m). D. Penentuan Variabel yang Diukur (Biomassa, DOM, Tanah) Pengukuran biomassa dalam plot dilakukan pada semua carbon pool yaitu biomassa, bahan organik mati dan tanah (IPCC Vol.4, 2006). Variabel pohon yang diukur dalam plot adalah diameter acuan (diameter pada ketinggian 1,3 m) dari atas tanah dan identifikasi jenis. Variabel ini nantinya akan dikonversikan ke biomassa melalui persamaan- persamaan alometri. Ukuran pohon mati berdiri maupun rebah yang ada di dalam plot juga diukur dan tingkat pembusukannya di estimasi. 86 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Tumbuhan bawah yang ada dalam plot , sampel tanah dan juga serasah, langsung ditimbang dan kemudian diambil sampel untuk pengukuran kandungan karbon di laboratorium. Kandungan biomassa bawah tanah dilakukan dengan menggunakan nilai default atau pengukuran langsung kalau kondisinya memungkinkan. Dengan perhitungan standar, dari pengukuran semua variabel ini diperoleh nilai kandungan Carbon per plot yang kemudian dikonversikan ke biomassa per hektar. Contoh teknis pengukuran biomasa untuk hutan Tropis dan berbagai tipe lahan baik primer maupun sekunder disajikan Brown, 1997, JOPP, 2001, Hairiah, dkk, 2011. Selain itu SNI 7724:2011 tentang Pengukuran dan penghitungan cadangan karbon dan SNI tentang Pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based forest carbon accounting) serta penyusunan persamaan alometrik. E. Pembuatan Persamaan Alometrik Bersamaan dengan pembuatan plot sampel dalam inventarisasi dilakukan pula pengukuran-pengukuran untuk membuat persamaan alometri. Pembentukan persamaan-persamaan ini dilakukan untuk semua bio-ecoregion, mengingat kondisi wilayah yang berbeda-beda. Pengukuran dilakukan dengan destructive sampling, dengan tujuan untuk mendapatkan data : jenis kayu, diameter acuan, tebal kulit, panjang kayu komersial (merchantable length), tinggi total, volume tajuk, tinggi tunggak dan berat kayu/ satuan volume dan berat kulit/ satuan volume untuk setiap pohon sampel. Dari pengukuran ini bisa dihitung biomassa pohon. Data diameter acuan kemudian dihubungkan dengan biomassa untuk memperoleh persamaan alometrik biomassa. Selain itu data volume individu kayu tebangan juga dihubungkan dengan biomassa untuk memperoleh persamaan alometri volume komersil biomasa. Persamaan alometri disusun untuk jenis atau kelompok jenis dengan karakter yang sama. Contoh teknis penyusunan persamaan alometri disajikan dalam Diana dkk (2002), Basuki dkk (2006), Manuri dkk (2011) dan secara nasional berdasarkan SNI 7725:2011 tentang Penyusunan Persamaan Alometrik untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan Berdasarkan Pengukuran Lapangan. F. Perhitungan Biomassa/Karbon Stok 1. Tahapan berikutnya adalah menghitung biomassa plot berdasarkan data jenis dan diameter dari inventarisasi dan persamaan alometri untuk jenis yang bersangkutan. Biomassa plot ini kemudian dikonversikan sesuai ukuran plot menjadi nilai biomassa per hektar. Dari nilai biomassa per hektar dapat dicari nilai statistik rataan dan confidence intervalnya sesuai dengan tingkat kepercayaan yang diinginkan. Biomassa total dapat diperoleh dengan perkalian biomassa per hektar dengan luas stratum. 2. Untuk stratum yang tidak berubah, misalnya lahan hutan yang tetap menjadi lahan hutan di periode akhir, ada serapan emisi akibat pertumbuhan vegetasi. Hal ini berlaku untuk setiap stratum bervegetasi. Besarnya serapan ini dapat BAB V 87 dihitung dari kandungan karbon yang diserap melalui proses fotosintesa selama periode waktu yang ditentukan. 3. Citra satelit dapat digunakan untuk menghitung biomassa hutan dengan lebih detail, kalau asumsi ada hubungan yang erat antara nilai spektral citra dengan biomassa terpenuhi. Untuk itu diperlukan membangun sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara biomassa dengan nilai spektral citra. Kalau hubungannya cukup kuat, maka model dapat digunakan untuk menduga biomassa keseluruhan areal. Kalau hubungannya tidak kuat, maka nilai rataan biomassa per hektar dari inventarisasi digunakan sebagai nilai rataan stratum. G. Perhitungan Faktor Emisi 1. Ada dua metode untuk menghitung faktor emisi yaitu metode Stock Difference dan metode Gain-Loss. Metode Stock Difference menghitung pelepasan/ serapan emisi berdasarkan cadangan karbon di tiap stratum pada saat awal dan pada saat akhir kegiatan. Dengan demikian untuk metode ini diperlukan dua kali pengukuran. Untuk mengetahui emisi, plot-plot sampel diukur ulang. Desain pengukuran berulang ini dilakukan mengikuti metode Continuous Forest Inventory (Loetsch, et al, 1973). Perbedaan biomassa menunjukkan adanya emisi atau serapan. Besarnya emisi/ serapan dinyatakan dalam satuan ton ha-1 karbon dan kemudian dikonversikan menjadi satuan ton ha-1 CO2 . 2. Metode Gain-Loss menghitung pelepasan/serapan emisi berdasarkan perbedaan cadangan karbon ketika satu tipe lahan (di saat awal) berubah menjadi tipe yang lain di saat akhir. Dengan demikian metode Gain-Loss membutuhkan hanya sekali pengukuran cadangan karbon di tiap tipe pemanfaatan lahan – sepanjang ada data citra pada awal dan akhir periode 3. Data dan informasi dari proses ini harus didokumentasikan dan disampaikan ke Lembaga yang menangani MRV REDD+ di Provinsi. Data harus direkam dalam bentuk digital, data ini dan semua proses harus dicantumkan dengan jelas dalam dokumen pengantar. 4. Banyaknya kandungan karbon per satuan luas (dengan satuan ton/hektar) pada masing-masing tipe tutupan lahan akan diambil dari data plot inventarisasi di masing-masing stratum. Data yang digunakan adalah luas plot dan data pohon berupa diameter dan jenis pohon. Data diameter pohon akan dihitung menjadi kandungan karbon dengan persamaan alometri. Persamaan alometri dalam hal ini adalah persamaan statistik yang dapat digunakan untuk mengestimasi Biomassa (berat kering semua bagian pohon) berdasarkan diameter dan jenis pohon. Nilai Carbon diestimasi sebagai 0,5 dari Biomassa. H. Perhitungan Tingkat Emisi 1. Pelepasan/Serapan CO2 Provinsi Kalbar dihitung dengan menggunakan Tier (Tingkat Kerincian) 1, Tier 2 atau Tier 3. Untuk mencapai ini, akan dicari sebaran distribusi dari Data Aktifitas berdasarkan nilai rataan dan uncertainty dan sebaran distribusi diperoleh dengan menggunakan Simulasi Monte Carlo. 88 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Hal yang sama diterapkan pula pada Faktor Emisi. Perkalian antara distribusi Data Aktifitas dan Faktor Emisi akan menghasilkan sebuah sebaran distribusi pelepasan/serapan emisi. 2. Emisi dihitung dengan memperhatikan prinsip konservatif yang secara sederhana bermakna bahwa nilai estimasi tidak boleh terlalu besar (over estimate), juga tidak boleh terlalu kecil (under estimate). Sebagai contoh nilai estimasi serapan CO2 tidak boleh terlalu besar, tetapi nilai estimasi pelepasan CO2 ke udara tidak boleh terlalu kecil. Kuantifikasi tidak boleh terlalu besar menggunakan batas bawah estimasi dengan tingkat kepercayaan 95%, sedang pernyataan tidak boleh terlalu kecil menggunakan batas atas estimasi dengan tingkat kepercayaan 95%. I. Penghitungan Pengitungan Reference Emission Level (REL) Tingkat emisi referensi (reference emission level/REL) adalah basis untuk mengukur pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam suatu batas geografis dan periode waktu tertentu,ditetapkan berdasarkan data historis, dengan memperhitungkan potensi emisi yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan di masa mendatang. REL merupakan jumlah emisi kotor yang dihasilkan oleh suatu daerah selama kurung waktu tertentu yang menjadi referensi. REL merupakan bagian penting dari sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi atau MRV (measuring, reporting and verfication). Nilai REL menjadi dasar untuk dilakukan penilaian apakah terjadi pengurangan emisi atau hal sebaliknya justru terjadi peningkatan emisi setelah implementasi REDD+ sebagai aksi mitigasi. Karena itu metode yang digunakan untuk menghitung REL harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan dapat dilakukan pengujian atau verifikasi. Selain itu data input harus memiliki validitas yang tinggi. Untuk kondisi Indonesia, dengan pendekatan penerapan nasional-sub nasional, maka terdapat 3 (tiga) metode penetapan REL/RL yang dapat digunakan yaitu : a. Historical Emission seperti yang dilakukan oleh Santilli et al, 2005; Mollicone et al, 2007; Strassburg et al, 2009. Penentuan emisi dari metode ini didasarkan bahwa kejadian masa lalu akan bersfat statis kedepan sehingga sejarah emisi dari masa lalu akan diekstrapolasi. b. Adjusted Historical Emission. Penentuan REL pada metode ini bahwa emisi masa lalu dapat digunakan untuk menetukan REL tetapi perlu dipertimbangkan faktor-faktor yang mendrive kejadian emisi masa lalu seperti kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. Metode ini telah digunakan oleh Amano et al., 2008). c. Forward Looking. Penentuan REL pada metode ini didasarkan pada analisis terhadap faktor yang sifatnya memperbesar kejadian deforestasi/kerusakan hutan serta faktor yang berpotensi mengendalikan kejadian tersebut. Metode ini menjadikan sejarah emisi tidak terlalu penting dketahui. Metode tersebut telah digunakan antara lain, oleh Petrova et al. 2007. BAB V 89 Ketiga metode ini memiliki satu kesamaan, yakni membutuhkan input tentang data aktivitas dan faktor emisi dari masing masing aktivitas. Untuk mendapatkan data aktivitas dilakukan dengan analisis tutupan lahan sedangkan data faktor emisi diperleh dari hasil penelitian. Penentuan emisi dilakukan dengan pendekatan perubahan stock karbon pada periode referensi. Bila terjadi peningkatan stock karbon dari periode sebelumnya maka kategorinya adalah squentration, sebaliknya bila terjadi pengurangan stock karbon maka dinyatakan sebagai emisi. Nilai cadangan (stock) karbon merupakan nilai akumulasi dari cadangan karbon dari keseluruhan data aktivitas, sedangkan cadangan karbon diperoleh dari perkalian antara luasan akctivitas dengan faktor emisi. Penentuan aktviti data dan perubahannya dilakukan melalui analisis perubahan tutupan lahan dengan menggunakan analisis peta Citra Satelit. Secara umum kerangka konstruksi metode perhitungan REL disajikan pada Gambar 5.3. Gambar 5.3. Mekanisme Pelaporan Hasil Pemantauan dan Evaluasi Emisi Pemantauan dan evaluasi emisi hasil dari perhitungan emisi karbon yang dimasukkan harus sama dengan sumber emisi karbon yang digunakan untuk penetapan REL/RL. Pemantauan emisi karbon meliputi: 1. Pemantauan perubahan penutup lahan yang mengacu pada IPCC Guideline for National Greenhouse Gas Inventories dan SNI 7645:2010, Klasifikasi Penutup Lahan; 2. Pemantauan Perubahan Cadangan Karbon mengacu pada SNI 7724:2011, Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon dan SNI 7725:2011, Penyusunan Persamaan Alometrik untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan berdasarkan pengukuran lapangan; 90 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT 3. Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon mengacu pada IPCC Guideline for National Greenhouse Gas Inventories; 4. Evaluasi Berkala dari Hasil Perhitungan Faktor Emisi Bersih (nett) mengacu pada IPCC Guideline for National Greenhouse Gas Inventories. Hasil-hasil estimasi emisi yang diperoleh dari inventarisasi Karbon harus dilaporkan ke Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Provinsi Jambi , Lembaga REDD+ Daerah serta Lembaga-lembaga terkait di tingkat Nasional. Laporan akan menyajikan metodologi dan asumsi yang digunakan, pengumpulan data, penentuan metode estimasi, data aktifitas, faktor emisi, estimasi nilai uncertainty, probability density function dan parameter lain – tergantung Tier (tingkat kerincian yang digunakan). Selain itu, pelaksana dan penanggung jawab setiap kegiatan akan dimasukkan dalam laporan. Laporan inventarisasi juga menyajikan hasil-hasil pelaksanaan kontrol kualitas, penjamin kualitas, penentuan kegiatan utama dan penjelasan rinci tentang perhitungan emisi masing-masing bidang. Satuan emisi yang digunakan dalam Laporan untuk menyatakan berat CO2 adalah Gg (Gigagram, ton). Untuk beberapa gas atau gabungan gas dinyatakan dalam bentuk Gg CO2-equivalent. Beberapa variabel yang diukur membutuhkan konversi, semua konversi ini dijelaskan sedetail mungkin. Untuk lingkup Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan , gas-gas yang dicari adalah CO2, CH4 , N2O , NOx dan CO. Laporan disusun dengan memperhatikan prinsip kelengkapan. Untuk menjamin prinsip ini tabel-tabel laporan akan mencantumkan semua Gas Rumah Kaca yang masuk dalam lingkup Kehutanan. GRK yang tidak mempunyai nilai akan dijelaskan dengan notasi-notasi sesuai dengan acuan dari IPCC. Notasi-notasi yang digunakan adalah sebagai berikut: a. NE (not estimated): Emisi dan atau serapan emisi terjadi tetapi tidak diukur; b. IE (included elsewhere): Emisi dan atau serapan untuk aktifitas yang bersangkut di estimasi tetapi tidak ditampilkan dalam kategori yang bersangkutan. Kategori dimana emisi atau serapan disertakan, harus dijelaskan; c. C (confidential information): Emisi dan atau serapan dihimpun dan disertakan di tempat lain dalam inventarisasi, karena pelaporan secara terpisah akan membuka informasi rahasia; d. NA (Not applicable): aktifitas atau kategori ada tetapi emisi dan serapan dianggap tidak pernah terjadi. Sel-sel pelaporan semacam ini biasanya dikaburkan cetakannya; e. NO (Not occurring): aktifitas atau prosesnya tidak ada dalam lokasi. Pelaporan juga akan menyajikan data time series yang diperoleh dalam inventarisasi tahunan, kalau data tersebut tersedia. Secara umum tabel-tabel pelaporan inventarisasi terdiri dari: 1) Tabel-tabel ringkasan dan tabel ringkasan singkat. Tabel-tabel ini disusun oleh pelaksana untuk menyajikan pelaporan menyeluruh untuk tahun BAB V 91 2) 3) 4) 5) yang bersangkutan. Ada dua kelompok tabel yaitu Tabel A berisi tabel-tabel ringkasan, dan tabel B yang berisi tabel-tabel ringkasan singkat. Tabel-tabel per bidang dan Tabel Background. Tabel-tabel bidang melaporkan emisi atau serapan emisi, untuk semua aktifitas. Tabel background melaporkan data aktifitas dan emisi terkait untuk memenuhi prinsip transparansi dan informasi yang konsisten. Tabel-tabel Antar Bidang (cross sectoral). Tabel-tabel ini berisi laporan tentang emisi tidak langsung Tabel-tabel berisi Trend Emisi per GRK. Tabel-tabel ini berisi dinamika emisi dari tahun ke tahun selama periode proyek. Tabel-tabel uncertainty dan tabel kategori kunci. Untuk memudahkan penggabungan, tabel-tabel laporan ini mengikuti struktur IPCC Guideline 2006, yaitu Format semua Tabel di atas tercantum pada IPCC Guidelines 2006, Semua proses, variabel dan nilai-nilai yang digunakan dalam estimasi (khususnya hal-hal yang menyangkut data aktifitas dan faktor-faktor emisi, serta estimasi uncertainty) dicantumkan detail sehingga perhitungan dapat direkonstruksi untuk keperluan verifikasi. Semua tabel laporan yang disusun juga dicantumkan sebagai bagian tak terpisah dari Laporan. Nilai estimasi yang diperoleh akan dibandingkan dengan nilai nasional dan penjelasan jika terdapat perbedaan yang signifikan, kalau ada akan dijelaskan penyebabnya. Nilai-nilai yang akan disertakan meliputi data aktifitas, factor emisi dan referensi yang digunakan. Semua dokumen yang digunakan akan diarsipkan untuk memudahkan pengujian ulang atau verifikasi. Pendokumentasian material akan dibuatkan sistemnya, sehingga memudahkan akses bagi siapapun yang berkepentingan. 5.3 Prosedur Menghadapi Verifikasi Emisi Karbon Verifikasi adalah sekumpulan kegiatan dan berbagai prosedur yang dilakukan sepanjang persiapan, pelaksanaan dan pelaporan inventarisasi untuk menggambarkan level reliabilitas sebuah inventarisasi. Verifikasi dapat dilakukan dengan metode dan data independen, termasuk diantaranya penggunaan nilai-nilai yang diperoleh dari lembaga lain yang melakukan hal yang sama. Verifikasi dimaksudkan untuk mendukung transparansi, konsistensi, dapat diperbandingkan, lengkap/menyeluruh, dan akurasi. Kegiatan verifikasi akan dilakukan oleh pihak independen di luar Lembaga MR (Pengukuran dan Pelaporan) dan dalam pelaksanaannya harus menyertakan pihak pelaksana inventarisasi. Semua upaya untuk meningkatkan kualitas inventarisasi seharusnya tercatat dan keberadaanya akan didokumentasikan Lembaga Pelaksana. Materi yang disiapkan Lembaga Pelaksana meliputi penilaian menyeluruh tentang kelengkapan dan kualitas inventarisasi dari sumber-sumber emisi GRK. Topik yang dibahas meliputi: metode, nilai emisi yang diperoleh, asumsi tentang data aktifitas dan faktor-faktor emisi. 92 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Persiapan tentang metode untuk keperluan verifikasi adalah jika metode tersebut diulang, seharusnya mendapatkan hasil yang sama. Metode ini seharusnya akan menghasilkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan hasil jika menggunakan metoda lain. Nilai yang diperoleh juga akan dibandingkan dengan nilai emisi yang telah pernah STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI KALIMANTAN BARAT diukur di tempat lain atau di begara lain. Hasil perbandingan ini disiapkan sebagai bahan menghadapi verifikasi. Dengan demikian semua proses pelaksanaan dan materi harus disiapkan dengan terperinci. Hal-hal lain yang perlu disiapkan untuk menghadapi Inventarisasi., 2) adalah Proses proses-proses klasifikasi dan: bahan-bahan dalam analisis citra satelit kegiatan verifikasi 1) Perhitungan statistik dan penarikan untuk Data Aktifitas., 3) 3. Kesetaraan estimasi nilai-nilai darianalisis studi kesimpulan dalam Inventarisasi., 2) Prosesnilai klasifikasi dandengan bahan-bahan dalam yang relevan. Kesetaraan dengan hasil-hasildengan nasional atau citra satelit untuk4). Data Aktifitas., nilai 3) 3. estimasi Kesetaraan nilai estimasi nilai-nilai internasional dari studi yang relevan. 4). Kesetaraan nilai estimasi dengan hasil-hasil nasional atau internasional 5.4. Perhitungan MRV untuk BAU dan Mitigasi 5.4. Perhitungan MRV untuk BAU dan Mitigasi BAU MITIGASI Peta Penutupan Lahan Peta Eksisting Perkebunan Peta Penunjukan Kawasan Peta Sebaran Gambut Gambar 5.4 Metodologi Perhitungan Untuk MRV Kalbar Antara BAUAntara dan Mitigasi Gambar 5.4 Metodologi Perhitungan Untuk MRV Kalbar BAU dan Mitigasi Berdasarkan proses perhitungan sebagaimana pada gambar 5.4 menggunakan input-input seperti peta penutupan lahan, peta eksisting penunjukkan Berdasarkan proses perhitungan sebagaimana pada kawasan gambar hutan 5.4 dan sebaran gambut yang diproses melalui serangkaian analisis penapsiran citra menggunakan input-input seperti peta penutupan lahan, peta eksisting landsat dengan memanfaatkan softwere Argis, Exel, dan ABACUS. Berdasarkan peta penunjukkan kawasan hutan dan sebaran gambut yang diproses melalui citra tahun 2006analisis dan 2011 kita memperoleh BAU (Bussinis Ussual) yang kemudian serangkaian penapsiran citra landsat dengan As memanfaatkan softwere dengan rencana aksi dimana semua dimasukkan Argis,intervensi Exel, danprogram ABACUS. Berdasarkan peta citra parameter tahun 2006 dan 2011dalam kita memperoleh BAU (Bussinis As Ussual) yang kemudian dengan intervensi program rencana aksi dimana semua parameter dimasukkan dalam softwere ABACUS yang dikembangkan oleh ITB dan ICRAF diperoleh kemudahan untuk BAB V menghitung net emisi komulatif, sequestrasi komulatif hingga tahun 2020. Asumsi yang dipergunakan dalam proses perhitungan ini diantaranya adalah sebagaimana dituangkan pada tabel berikut. 93 softwere ABACUS yang dikembangkan oleh ITB dan ICRAF diperoleh kemudahan untuk menghitung net emisi komulatif, sequestrasi komulatif hingga tahun 2020. Asumsi yang dipergunakan dalam proses perhitungan ini diantaranya adalah sebagaimana dituangkan pada tabel berikut: Tabel 5.2 Nilai Cadangan Karbon Per Tipe Tutupan Lahan Pool AGB (Above Ground Biomass) Ton/Hektar 5.4.1. Perhitungan MRV Untuk BAU Asumsi yang dibangun dalam pengolahan ABACUS terkait dengan pool carbon BGB (Below Ground Biomass) sesuai dengan urutan perubahan tutupan lahan dapat dilihat pada tabel berikut: 94 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Tabel 5.3 Matrik Emisi Gambut (Ton/Hektar) BDR BLR HLKP HLKS HMP HMS HRP HRS HT AIR KBN PMK TBG PLK PLKC RW SWH SMB TBK TT TRN BDR 9.5 9.5 16.0 19.0 22.5 32.0 9.5 16.0 3.0 9.5 22.5 BLR HLKP HLKS HMP HMS HRP HRS 19.0 9.5 19.0 25.5 28.5 32.0 41.5 19.0 25.5 9.5 12.5 19.0 9.5 32.0 - HT AIR 25.5 16.0 25.5 32.0 35.0 38.5 48.0 25.5 32.0 16.0 19.0 25.5 38.5 - KBN 28.5 19.0 28.5 35.0 38.0 41.5 51.0 28.5 35.0 19.0 22.0 28.5 41.5 PMK 32.0 22.5 32.0 38.5 41.5 45.0 54.5 32.0 38.5 22.5 25.5 32.0 45.0 TBG 41.5 32.0 41.5 48.0 51.0 54.5 64.0 41.5 48.0 32.0 35.0 41.5 32.0 54.5 PLK 19.0 9.5 19.0 25.5 28.5 32.0 41.5 19.0 25.5 9.5 12.5 19.0 9.5 32.0 PLKC 25.5 16.0 25.5 32.0 35.0 38.5 48.0 25.5 32.0 16.0 19.0 25.5 16.0 38.5 RW 9.5 9.5 16.0 19.0 22.5 32.0 9.5 16.0 3.0 9.5 22.5 SWH 12.5 3.0 12.5 19.0 22.0 25.5 35.0 12.5 19.0 3.0 6.0 12.5 3.0 25.5 SMB TBK 19.0 9.5 19.0 25.5 28.5 32.0 41.5 19.0 25.5 9.5 12.5 19.0 32.0 - TT - TRN 32.0 22.5 32.0 38.5 41.5 45.0 54.5 32.0 38.5 22.5 25.5 32.0 22.5 45.0 Selanjutnya BAU Landbase Carbon stok dapat dilihat pada gambar 5.5 berikut Gambar 5.5. BAU Land Base Carbon Stok Grafik diatas menunjukkan BAU Landbase komulatif sampai dengan tahun 2020 adalah 552,29 juta tonCO2(eq). Ini berarti emisi BAU landbase Kalbar pada periode P2 ( 2016-2020) per tahunnya pada akhir tahun 2020 adalah 110,45 juta tonCO2 (eq). Kita ketahui rencana penurunan 26% emisi nasional sektor kehutanan dan lahan gambut adalah 1,51 Giga ton CO2 (eq) pada tahun 2020 atau kontribusi Kalbar adalah sebesar 7,3% dari target Nasional tersebut. 5.4.2. Perhitungan MRV untuk Mitigasi Berdasarkan pola ruang, Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) Revisi 4, Rencana Jangka Panjang Kehutanan, Rencana Makro Perkebunan, pembangunan sektor berbasis lahan lainnya (pertambangan, pertanian, transmigrasi, PU, lahan basah mangrove, pemekaran wilayah) merupakan faktor-faktor yang menentukan dalam BAB V 95 adalah 552,29 juta tonCO2(eq). Ini berarti emisi BAU landbase Kalbar pada periode P2 ( 2016-2020) per tahunnya pada akhir tahun 2020 adalah 110,45 juta tonCO2 (eq). Kita ketahui rencana penurunan 26% emisi nasional sektor kehutanan dan lahan gambut adalah 1,51 Giga ton CO2 (eq) pada tahun 2020 atau kontribusi Kalbar adalah sebesar 7,3% dari target Nasional tersebut. 5.4.2. Perhitungan MRV untuk Mitigasi Berdasarkan pola ruang, Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) Revisi 4, Rencana Jangka Panjang Kehutanan, Rencana Makro Perkebunan, pembangunan sektor berbasis lahanproses lainnyaFocus (pertambangan, perhitungan untuk mitigasi Kalbar. Dalam diskusi penyusunan rencana pertanian, transmigrasi, PU, lahan basah mangrove, pemekaran wilayah) merupakan faktoraksi Kalbar bahwa ada dua kegiatan inti aksi mitigasi yaitu kegiatan membangun Hutan faktor yang menentukan dalam perhitungan untuk mitigasi Kalbar. Dalam proses Tanaman Industri (HTI) dan Kegiatan Perkebunan (kopi, kelapa sawit, karet, lada dan Focus diskusi penyusunan rencana aksi Kalbar bahwa ada dua kegiatan inti aksi lain sebagainya). Adapun rencana mitigasi masing-masing Kabupaten/Kota mitigasi yaitu kegiatan membangun Hutantersebut Tanaman Industri (HTI) dan Kegiatan dapat dilihat pada tabel berikut: Perkebunan (kopi, kelapa sawit, karet, lada dan lain sebagainya). Adapun rencana mitigasi tersebut masing-masing Kabupaten/Kota dapat dilihat pada tabel berikut. 5.4 Aksi Mitigasi Pada Masing-Masing Kegiatan TabelTabel 5.4 Aksi Mitigasi Pada Masing-Masing Kegiatan KABUPATEN Bengkayang Kapuas Hulu Kayong Utara Ketapang Kota Singkawang Kubu Raya Landak Melawi Pontianak Sambas Sanggau Sekadau Sintang Grand Total Forest Plantation & Enhancement Cultivation Crop Development 10,077 306,322 429 38,313 54,971 77,750 9,862 114,922 57,326 55,991 47,591 38,007 5,130 162,305 29,013 93,673 17,502 4,245 23,907 119,877 60,887 74,843 725,962 676,980 Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar V–15 Tabel diatas menunjukkan kegiatan mitigasi pada Hutan Tanaman sebesar 725.962 hektar sampai tahun 2020 sedangkan pada perkebunan sebesar 676.980 hektar sampai tahun 2020. Hasil analisis proses ABACUS untuk hasil mitigasi baseline adalah sebagai berikut: Gambar 5.6 Hasil Mitigasi Baseline 96 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Gambar 5.6 dapat diasumsikan BAU landbase komulatif sebesar 552,29 juta tonCO2(eq) pada tahun 2020 hasil mitigasi komulatif yang diperoleh sebesar 253,10 juta tonCO2 (eq) atau sebesar 54,17%. Ini bearti ditahun 2020 kemampuan mitigasi Kalbar adalah 552,29-253,10=299,19/5 tahun = 59,84 juta ton CO2 (eq). Target Nasional penurunan emisi pada 26% adalah 0,672 Giga tonCo2 (eq), Kalbar mampu berkontribusi sebesar 59,84/672x100%= 8,9%. Adapun kontribusi masing-masing Kabupaten/Kota terhadap penurunan emisi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.5 Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Penurunan Emisi (ton CO2 eq) Forest Plantation Cultivation Crop Natural Forest Grand Total Development & Enhancement Management KABUPATEN Bengkayang Kapuas Hulu Kayong Utara Ketapang Kota Singkawang Kubu Raya Landak Melawi Pontianak Sambas Sanggau Sekadau Sintang Grand Total 10,077 306,322 429 38,313 54,971 77,750 9,862 114,922 57,326 55,991 47,591 38,007 5,130 162,305 29,013 93,673 17,502 4,245 23,907 119,877 60,887 74,843 56,317 1,579,243 149,342 276,528 1,359 106,658 60,681 199,602 630 44,294 28,224 31,656 454,159 113,985 1,617,250 154,472 745,155 1,788 173,984 209,326 294,854 4,875 78,063 263,023 149,870 584,994 725,962 676,980 2,988,696 4,391,638 Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar Tabel diatas dapat diasumsikan bahwa kontribusi mitigasi emisi terbesar yaitu kabupaten ketapang dengan kontribusi sebesar 16,96%, kemudian selanjutnya berturutturut diikuti oleh kabupaten Kubu Raya, Sambas, Kapuas Hulu, Kayong Utara, Landak, Bengkayang, Sintang, Pontianak, Melawi, Kota Singkawang, Sekadau, Kota Pontianak, dan Kabupaten Sanggau. Kontribusi mitigasi kehutanan memiliki prinsip untuk melestarikan hutan. Pada prinsipnya dalam kehutanan emisi GRK menghitung kelas tutupan lahan. Kelas tutupan lahan yang tidak berubah diasumsikan 0 emisi dan mitigasi, kegiatan dibidang kehutanan seperti konservasi, tata batas, patroli, dan pamhut merupakan suatu strategi dan aksi nyata dalam pengamanan hutan dari degradasi dan deforestasi baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan. Kondisi pernyataan terakhir pada prinsipnya merupakan kegiatan melindungi dan mempertahankan existing tegakan hutan di lapangan. Ini berarti dalam tahun berjalan dan jangka panjang meningkatkan pertumbuhan riap sekaligus meningkatkan sequestrasi tonC/hektar. Dari beberapa penelitian kita ketahui bahwa stok karbon pada berbagai tutupan lahan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan riap tegakannya. Pada hutan alam logged over (bekas tebangan) lebih dari 10 tahun, diperoleh informasi sebagai berikut: BAB V 97 Tabel 5.6 Pertumbuhan Riap dari Tahun ke Tahun dalam hubungannya dengan sequestrasi CO2 (eq) TPTII C = 141,07 riap = 7,11 ton/ha Sumber : Hardiansyah 2011 Tabel 5.7 Pertumbuhan Riap dari Tahun ke Tahun dalam hubungannya dengan sequestrasi CO2 (eq) TPTI C = 97,99 riap = 1,45 ton/ha Sumber : Hardiansyah 2011 98 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Informasi di atas jika diterapkan ke dalam analisis pengolahan data softwere ABACUS harus dipertimbangkan, karena kita ketahui saat ini sistem ABACUS hanya menghitung dari sisi pool karbon yang ada tanpa mempertimbangkan faktor sequestrasi dari pertumbuhan riap tegakan hutan yang dipertahankan sebagaimana di satu kabupaten mengedepankan visi Kabupaten Konservasi di kawasan hutan Taman Nasional, Hutan Lindung atau Cagar Alamnya. Untuk mempertimbangkan kegiatan mitigasi yang lebih komprehensip disetiap kabupaten/kota se-Kalbar dilakukan analisis tambahan yaitu kegiatan melindungi dan mempertahankan existing tegakan hutan di lapangan. kegiatan dibidang kehutanan seperti konservasi, tata batas, patroli, dan pamhut merupakan suatu strategi dan aksi nyata dalam pengamanan hutan dari degradasi dan deforestasi. Kami mengistilahkannya dengan Natural Forest “Management”. Sebaran kegiatan mitigasi tersebut selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5.8 Sebaran Luas Kegiatan Mitigasi di Tiap-Tiap Kabupaten Sampai Tahun 2020 (Hektar) KABUPATEN Bengkayang Kapuas Hulu Kayong Utara Ketapang Kota Singkawang Kubu Raya Landak Melawi Pontianak Sambas Sanggau Sekadau Sintang Grand Total Forest Plantation & Enhancement Cultivation Crop Development Natural Forest Management Grand Total 10,077 306,322 429 38,313 54,971 77,750 9,862 114,922 57,326 55,991 47,591 38,007 5,130 162,305 29,013 93,673 17,502 4,245 23,907 119,877 60,887 74,843 56,317 1,579,243 149,342 276,528 1,359 106,658 60,681 199,602 630 44,294 28,224 31,656 454,159 113,985 1,617,250 154,472 745,155 1,788 173,984 209,326 294,854 4,875 78,063 263,023 149,870 584,994 725,962 676,980 2,988,696 4,391,638 Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar Dari tabel tersebut terlihat bahwa selain kegiatan HTI dan perkebunan ada faktor “management” yang dilakukan oleh masing-masing Kabupaten/Kota sebesar 2.988.696 Hektar. Untuk rincian luas hutan alam yang dipertahankan dengan “management” dapat dilihat pada tabel di bawah ini. BAB V 99 Tabel 5.9 Luas Hutan Alam Yang Dipertahankan Dengan Management” (Hektar) LAND KAWASAN HUTAN (Ha) CA HL SAD TN COVER HLKP 68,689.50 1,001,031.46 0.00 866,385.05 HLKS 9,525.50 637,742.41 15,805.97 80,924.80 HMS 0.00 60,704.82 770.52 75.49 HRP 0.00 3,225.68 0.00 0.00 HRS 13,849.11 118,327.18 0.00 88,028.89 TOTAL 92,064.12 1,821,031.55 16,576.48 1,035,414.23 Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar Keterangan: HLKP : Hutan Lahan Kering Primer HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder HMS : Hutan Mangrove Sekunder HRP : Hutan Rawa Primer HRS : Hutan Rawa Sekunder TWA 0.00 22,468.11 356.67 0.00 784.55 23,609.33 TOTAL (Ha) 1,936,106.01 766,466.80 61,907.49 3,225.68 220,989.74 2,988,695.71 CA : Cagar Alam HL : Hutan Lindung SAD : Suaka Alam Darat TN : Taman Nasional TWA : Taman Wisata Alam Berdasarkan rencana aksi mitigasi landbase + “Management” dengan dibantu oleh iterasi proses ABACUS diperoleh untuk masing-masing periode I (2011-2015) dan periode II (2016-2020) adalah sebagaimana ditampilkan dalam dua gambar berikut ini Gambar 5.7 Mitigasi Landbase + Management Periode I (2011-2015) 100 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Gambar 5.8 Mitigasi Landbase + Management Periode II (2016-2020) Adapun output hasil mitigasi baseline dengan memasukkan faktor “manajemen” dalam perhitungan ABACUS adalah sebagai berikut: Gambar 5.9 Hasil Mitigasi Baseline Dengan Memasukkan Faktor “Manajemen” Dalam Perhitungan ABACUS Berdasarkan analisis ABACUS di atas bahwa Kalimantan Barat secara tekhnikal dengan kemampuan sendiri mampu menurunkan emisinya hampir 92,4% ditahun 2020 dengan catatan kegiatan mitigasi melalui perlindungan dan mempertahankan “Management” Bussines Un-ussual di kawasan Cagar Alam (CA), Hutan Lindung (HL), Suaka Alam Darat (SAD), Taman Nasional (TN), dan Taman Wisata Alam (TWA). BAB V 101 Adapun rekapitulasi kontribusi Kabupaten terhadap penurunan emisi GRK Provinsi Kalbar dalam skenario BAU, Mitigasi, dan Mitigasi + “Management dapat dilihat secara jelas pada tabel dan grafik berikut. Tabel 5.10 Kontribusi Kabupaten Terhadap Penurunan Emisi GRK Provinsi Kalbar MITIGASI BAU MITIGASI + MANAJEMEN INIT KAB NET EMISI % NET EMISI NET EMISI % NET EMISI KONTRIBUSI NET EMISI % NET EMISI KONTRIBUSI 1 Bengkayang BKY 32,638,858 5.91% 19,880,121 7.85% 2.31% 13,468,731 32.10% 3.47% 2 Kapuas Hulu KHL 54,940,093 9.95% 28,245,462 11.16% 4.83% (29,609,069) -70.58% 15.31% 3 Kayong Utara KKU 30,630,621 4 Ketapang KTP 144,240,289 NO KABUPATEN 5,419,083 2.14% 4.56% 712,699 1.70% 5.42% 26.12% 50,549,273 5.55% 19.97% 16.96% 5,791,363 13.80% 25.07% 5 Kota Pontianak PNK 90,217 0.02% 6 Kota Singkawang SKW 1,131,803 0.20% 7 Kubu Raya KKR 93,519,287 16.93% 19,143,838 7.56% 8 Landak LDK 36,955,014 6.69% 22,701,590 8.97% 9 Melawi MLW 11,081,789 2.01% 6,716,900 10 Pontianak PTK 13,778,218 2.49% 6,645,408 11 Sambas SBS 56,865,149 10.30% 25,984,635 12 Sanggau SGU 28,760,819 5.21% 31,158,599 0.57% 373,970 0.00% 0.02% 0.15% 0.14% 0.00% 0.02% 251,090 - 0.60% 0.16% 13.47% 11,131,980 26.53% 14.92% 15.59% 5.51% 2.58% 6,539,868 2.65% 0.79% (3,463,131) -8.25% 2.63% 2.63% 1.29% 6,542,652 15.59% 1.31% 10.27% 5.59% 21,487,059 51.22% 6.41% 12.31% -0.43% 10,911,629 26.01% 3.23% 13 Sekadau SKD 3,151,000 2,581,302 1.02% 0.10% (8,762,906) -20.89% 2.16% 14 Sintang STG 44,510,068 8.06% 33,704,304 13.32% 1.96% 6,951,922 16.57% 6.80% KALBAR KB 552,293,226 100.00% 253,104,486 100.00% 54.17% 41,953,886 100.00% 92.40% Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar Gambar 5.10 Grafik Kontribusi Kabupaten Terhadap Penurunan Emisi GRK Provinsi Kalbar Berdasarkan tabel dan grafik tersebut diatas bahwa posisi Kabupaten Kapuas Hulu sangat menarik perhatian kita karena mempunyai sequestrasi terbesar dibandingkan kabupaten lainnya yaitu 29,61 juta ton CO2 (eq) ini menunjukkan keberhasilan sebagai kabupaten konservasi yang mampu mempertahankan hutan alam (Taman Nasional dan Hutan Lindung). 102 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT 5.4.3. Pengaruh Kebijakan Moratorium (PIPIB 4) Terhadap Mitigasi Landbase Selanjutnya dengan memanfaatkan database yang sudah ada dan mengintegrasikan rencana peta indikatif penundaan izin baru revisi ke-4 di wilayah Kalimantan Barat diperoleh hasil sebagaimana dalam tabel berikut: Tabel 5.11 Pengaruh Kebijakan Moratorium (PIPIB 4) Terhadap Mitigasi Landbase Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar Kebijakan moratorium sebagaimana tertuang pada peta PIPIB rev.4 tidak banyak mempengaruhi terhadap rencana capaian penurunan emisi GRK melalui mitigasi landbase. Dengan mengakomodir kebijakan moratorium, rencana mitigasi diperkirakan dapat terealisir sebesar 99,51% terdiri dari pelestarian hutan 100%, pembangunan hutan 99,35%, dan pembangunan perkebunan 99,26%. Artinya bahwa pengaruh kebijakan moratorium di kawasan hutan produksi berpengaruh hanya 0,65%. Sedangkan pada kawasan APL perkebuanan pengaruh kebijakan moratorium berpengaruh hanya 0,74%. BAB V 103 104 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT BAB VI ARAH DAN PROGRAM STRATEGI REDD+ KALIMANTAN BARAT Arah dan Program Strategi REDD + Kalbar disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2011-2015 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, dengan memperhatikan rancangan RTRW Kalbar dan RPJM Nasional Tahun 2009-2014. Arah dan Program Strategi REDD+ Kalbar dimaksudkan untuk dapat memberi pedoman bagi pelaku pembangunan (Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Dunia Usaha dan Masyarakat) dalam pelaksanaan proses pengurangan emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan. Arah dan Program Strategi REDD + Kalbar juga sebagai pedoman dalam penyusunan Rencana Strategis (Renstra) bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi. Ini supaya terwujud proses pembangunan yang bersinergi. Di samping itu, Arah dan Program Strategi REDD+ Kalbar dimaksudkan juga sebagai pedoman bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten/ Kota, dalam rangka mewujudkan pembangunan terpadu di lingkup Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, lintas sektor dan wilayah. Penyusunan Arah dan Program Strategi REDD + Kalbar didasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kawasan secara makro (bersifat eksternal) maupun mikro wilayah (bersifat internal) berdasarkan isu-isu strategis yang berhubungan dengan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Kerangka strategi REDD + Kalbar dibangun untuk mencapai tujuan jangka panjang yang dijabarkan sebagai berikut : (1) Menurunkan emisi GRK yang berasal dari sektor penggunaan lahan dan perubahannya serta kehutanan (Land Use, Land Use Change, and Forestry/LULUCF); (2) meningkatkan simpanan karbon ;(3) meningkatkan kelestarian keanekaragaman hayati; dan (4) meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi ekonomi hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Program Strategi REDD + Propinsi Kalimantan Barat menekankan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang tertuang dalam bentuk kebijakan strategis pengelolaan sumber daya alam Kalbar. Untuk mewujudkan kebijakan strategis tersebut dalam konteks REDD+ Kalbar, metode pendekatan yang direncanakan adalah (1) Pendekatan Kelembagaan, (2) Pendekatan sosial budaya, (3) Pendekatan multipihak , (4) Pendekatan ekonomi. Keempat pendekatan tersebut diimplementasikan dalam strategi sebagai berikut : BAB VI 105 6.1. Strategi Pengembangan Kelembagaan REDD+ dan Sinergi Kebijakan 6.1.1. Pengembangan Kelembagaan REDD+ Kelembagaan atau institusi merupakan salah satu komponen dan prasyarat utama dalam implementasi REDD+. Sistem Kelembagaan REDD + dirancang dengan mengutamakan asas-asas tata kelola yang baik, inklusif dengan memastikan partisipasi dari para pemangku kepentingan, efisiensi serta akuntabilitas. Seluruh isu dan permasalahan berkaitan dengan REDD+, sebenarnya merupakan bagian integral dari tugas pokok dan fungsi beberapa satuan kerja pemerintah daerah yang telah ada. Karena hal ini berkaitan dengan komitmen nasional dan kontribusi terhadap kepentingan global, maka kegiatan berkenaan dengan REDD+ mencuat menjadi suatu urusan yang memerlukan kewenangan dan tanggung jawab suatu lembaga tersendiri. Hal ini diperlukan agar strategi yang telah dikembangkan dapat dilaksanakan dengan baik dan keluar dari rutinitas pelaksanaan urusan sebagaimana biasa (business as usual, BAU). Strategi pengembangan institusi pengelola REDD+ yang paling mendasar adalah institusi apapun yang akan dikembangkan, kesemuanya harus bersifat ad hoc (temporer) atau sementara saja sampai satu saat REDD+ menjadi bagian integral dari tata kelola pemerintahan di setiap level. Namun demikian, dikaitkan dengan sistem pemerintahan yang ada, maka kelembagaan REDD+ harus mempunyai status hukum yang tetap dan mengikat, sehingga siapapun yang menjadi Kepala Daerah dan atau Kepala Unit/Satuan Kerja/Lembaga REDD+ yang dibentuk, tidak akan ada perubahan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan maupun tanggung jawab lembaga. Sehingga, secara bertahap dan konsisten strategi REDD+ dapat diimplementasikan dengan baik. Untuk itu, status lembaga REDD+ yang dipandang sesuai adalah badan yang memiliki kewenangan dan fungsi koordinasi dengan karakteristik jabatan-jabatan fungsional dan struktur kelembagaan yang memerlukan tenaga profesional. Pada tingkat nasional untuk mendukung implementasi REDD + ini dibentuk tiga lembaga, yaitu Lembaga REDD+; Instrument Pendanaan REDD+, serta institusi Koordinasi dan Sistem Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi REDD+ yang disebut institusi MRV REDD+. Dengan demikian pada tingkat provinsi juga dapat membentuk lembaga REDD+ untuk menyusun dan menjalankan SRAP yang diturunkan dari strategi nasional REDD+. Untuk mengimplementasikan REDD+ di Kalbar diperlukan bentukbentuk kelembagaan sebagai berikut: A. Kelembagaan REDD+ Propinsi Diusulkan Lembaga REDD+ provinsi nantinya bernama Badan Pengelola REDD+Kalbar. Kenapa pakai Badan Pengelola (BP), ini mengacu pada BP REDD+ yang ada di pusat. Tugas utama BP REDD+ Kalbar mengkoordinasikan kegiatan secara tematik, termasuk (1) penyelengggaraan rangkaian kegiatan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi peneurunan emisi (2) memastikan efektivitas pendanaan REDD+: dan (3) secara berkala melaporkan perkembangan program proyek/ kegitanan di daerahnya kepada lembaga REDD+ nasional. 106 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Kabupaten/kota juga dapat membentuk lembaga REDD+ untuk melakukan koordinasi secara konsisten dan efisien dengan semua pemrakarsa kegiatan REDD+ di tingkat kabupaten, dan secara berkala melapor kepada tingkat Provinsi. Data dan informasi mengenai perkembangan kegiatan proyek program REDD+ menjadi landasan bagi data yang terdapat pada lembaga REDD+ di tingkat provinsi dan nasional. BP REDD+ Kalbar didirikan dengan instrumen hukum, melapor dan bertanggung jawab secara langsung kepada Gubernur. Lembaga REDD+ provinsi dipimpin oleh seorang Kepala Badan. Tugas utama badan pengelola ini: - - Mengawasi dan mengendalikan percepatan perbaikan sistem tata kelola hutan dan lahan bergambut yang memungkinkan penurunan deforstasi dan degradasi hutan. Memastikan pelayanan pembiayaan yang efektif dan distribusi manfaat yang adil bagi pihak-pihak yang menjalankan program/proyek/kegiatan REDD+ sesuai dengan pemenuhan persyaratan integritas sistem pelaksanaan REDD+. Mandat dari lembaga REDD+ dikembangkan untuk menjalankan fungsifungsi strategis serta dalam format koordinasi tematik dan koordinasi pengaruh yang beroriantasi pada pengefektifan fungsi-fungsi operasional dan koordinasi yang sudah ada diantara berbagai satuan perangkat dinas provinsi. Adapun mandat lembaga tersebut meliputi: - Menyiapkan regulasi - Memfasilitasi pengembangan program REDD+ - Mengendalikan percepatan perbaikan sistem tata kelola hutan dan lahan gambut. - Memfasilitasi pengembangan kemampuan untuk memastikan distribusi manfaat REDD+ yang adil - Mengendalikan tata niaga emisi karbon yang berasal dari skema REDD+ - Memfasilitasi pembentukan institusi MRV REDD+, mengesahkan aturan aturan terkait sistem pengukuran, pelaporan, verifikasi serta sertifikasi penurunan emisi, pemeliharaan dan peningkatan cadangan karbon sera mengawasi pelaksanaanya. - Memfasilitasi pembentukan instrumen pendanan REDD+ dan menetapkan ketentuan berkaitan dengan pembayaran berbasis kinerja. - Memfasiltasi pengembangan instrumen Kerangka Pengaman (Safeguards), pembangunan sistem informasi pelaksanaan safeguards untuk REDD+ (SIS REDD+), pembentukan komite pengawas pelaksanaan Kerangka Pengaman (Safeguard comitee), mengesahkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan sistem integritas untuk bidang keuangan, sosial dan lingkungan hidup unutk pelaksanaan proyek. BAB VI 107 - Mengefektifkan fungsi-fungsi koordinasi tematik antar perangkat satuan dinas dan antar Provinsi ke Kabupaten, serta melakukan koordinasi dalam pencarian sumber dan penyelesaian masalah yang menyangkut kewenangan antar perangkat dinas terkait dengan pelaksanaan REDD+. - Melakukan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program antar sektor dan instansi, dan atar provinsi dan kabupaten/kota. Terutama terkait dengan penataan ruang dan perizinan pemanfaatan lahan. - Menyusun rencana dan melaksanakan koordinasi penegakan hukum untuk perlindungan hutan dan lahan gambut, terutama tapi tidak terbatas pada halhal yang mencakup pemabalakan liar (illegal loging) pemanfaatan lahan dan penggunaan api dalam pembukaan lahan. - Mendukung dan mengkoordinasikan dukungan bagi pelaksanaan implementasi REDD+ di tingkat Kabupaten/kota, penyediaan prakondisi untuk pelaksanaan REDD+. - Pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia dan perangkat operasional penyelenggaran urusan REDD+. Kelembagaan REDD+ juga mendukung pelaksanaan program REDD+ di Kabupaten/kota yang punya potensi besar dalam pelaksanaan program REDD+ - Mengkordinasikan pelaksanaan Inpres No. 10 tahun 2011, tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola Hutan Alam Primer dan lahan Gambut yang diterbitkan pada tanggal 20 Mei 2011. - Mengkoordinasikan upaya-upaya penyelesaian sistem insentif untuk memastikan sinergi antar kebijakan/pogram pemerintah terkait pelaksanaan REDD+. Lembaga REDD+ akan mengkoordinasikan poses peninjauan ulang (Review) atau mengusulkan berbagai mekanisme transfer fskal dari pusat ke daerah dan ke kabupaten. - Mengkoordinasikan pelaksanaan berbagai kewenangan yang akan dilimpahkan kepada lembaga REDD+ provinsi sesuai dengan kesiapan kapasitasnya. B. Instrumen Pendanaan Pembentukan Instrumen Pendanaan REDD+ difasilitasi oleh BP REDD+. Instrumen Pendanaan bekerja berdasarkan potensi dana yang berasal dari berbagai sumber, potensi pengguna dan penggunaan yang beragam, dan tata kelola yang multi-pihak. Instrumen keuangan khusus ini dibangun dengan tujuan: a. Mendukung pengembangan program/proyek/kegiatan REDD+ sesuai dengan potensi reduksi emisi dari pengelolaan lahan berhutan dan/atau bergambut; b. Menyediakan mekanisme penyaluran dana yang kredibel secara internasional bagi calon donor dan investor yang tertarik untuk mendorong dan/ atau mendapatkan manfaat dari program/proyek/kegiatan REDD+; 108 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT c. Mendorong efisiensi pemanfaatan dana dan keadilan distribusi manfaat dari pengembangan program/proyek REDD+; d. Memastikan kepatuhan atas pelaksanaan ketiga unsur kerangka pengaman (safeguards) yaitu fiduciary, sosial dan lingkungan hidup. Agar dapat menjalankan perannya sebagai lembaga pendanaan REDD+ yang efektif, Instrumen Pendanaan REDD+ mengemban mandat sebagai berikut: 1. Mengelola dana REDD+ secara independen, professional, dan kredibel di luar sistem keuangan pemerintah (APBN) berdasarkan standar kerangka pengaman dan akuntabilitas yang diterima secara global. Untuk dana publik yang berasal dari APBN atau pemerintah negara sahabat kepada pemerintah RI (G to G), pengelolaannya dilakukan secara onbudget, off-treasury atau dicatat dalam APBN melalui mekanisme Dana Perwalian. 2. Memobilisasi dana dari berbagai sumber publik dan swasta di dalam dan luar negeri melalui fund raising secara sistematis, terprogram, dan profesional. Pengembangan dana juga dapat memanfaatkan berbagai instrumen pasar karbon, pasar komoditas, serta pasar uang dan modal. Rencana mobilisasi dana pendukung kegiatan REDD+ melalui pengembangan akses ke pasar karbon dan sumber-sumber pendanaan lain dirumuskan dalam dokumen Rencana Bisnis yang mengacu pada dokumen Strategi Nasional REDD+ ini. 3. Menyiapkan mekanisme pendanaan (penyaluran dana) untuk: a. Mendukung pelaksanaan Strategi Nasional REDD+. b. Mendukung kegiatan Lembaga REDD+ dalam menjalankan koordinasi kegiatan REDD+ dan melaksanakan fungsi-fungsi yang dimandatkan. c. Pemberian input untuk pengembangan tapak kegiatan/proyek/ program REDD+ yang secara langsung dan tidak langsung menghasilkan penurunan emisi GRK. d. Membiayai investasi kegiatan penyiapan prakondisi (misalnya penuntasan tata ruang, pelaksanaan SVLK di tingkat provinsi) atau pembangunan infrastruktur (misalnya large scale canal blocking) yang secara langsung berkontribusi pada usaha penurunan emisi dan/ atau pelaksanaan proyek REDD+. e . Membayar kinerja Pemerintah Daerah/LSM/masyarakat maupun kelompok lain atas capaian/output dalam menyiapkan kondisi yang memungkinkan (enabling condition) tercapainya hasil penurunan emisi di wilayah cakupan, baik untuk kegiatan strategis maupun pembuatan kebijakan pendukung. BAB VI 109 f. Membayar kinerja pelaksana kegiatan/proyek/program yang sudah terdaftar atas hasil penurunan emisi yang sudah diverfikasi. g. Pemberian insentif atas terpenuhinya suatu tingkat kepatuhan tertentu terhadap kebijakan Pemerintah, misalnya tercapainya pengesahan RTRW oleh DPR. h. Mendukung program/kegiatan pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan yang secara langsung mendukung kegiatan REDD+. i. Mengelola dana pendamping (matching fund) atas komitmen investasi REDD+ yang dilakukan pemerintah daerah atau investor swasta. 4. Memastikan adanya protokol fiduciary safeguards dan pelaksanaannya pada tahap sebelum program/proyek REDD+ disetujui. 5. Memastikan pelaksanaan dan dipenuhinya persyaratan keseluruhan kerangka pengaman, baik fiduciary, maupun sosial dan environmental safeguards di tingkat program/proyek/kegiatan sebelum pencairan dana. 6. Menyelaraskan aturan-aturan pelaksanaan pendanaan dan pembayaran yang terkait dengan pengembangan aturan-aturan penyelenggaraan pasar karbon. Untuk menjaga kredibilitas Instrumen Pendanaan REDD+, dibangun mekanisme pertanggungjawaban (accountability) yang memungkinkan instrumen ini beroperasi secara transparan. Audit keuangan independen oleh lembaga auditor terbaik dilakukan secara berkala. Laporan keuangan Instrumen Pendanaan REDD+ dan laporan hasil audit disampaikan kepada Lembaga REDD+ provinsi dan disebarluaskan kepada publik. Kepala Lembaga REDD+ meneruskan laporan ini kepada Lembaga REDD + Nasional, untuk keperluan akuntabilitas dana-dana yang berasal dari APBN dan/atau hibah dicatat sebagai penerimaan Negara. C. Institusi Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (MRV) MRV adalah rangkaian kegiatan pengukuran (measurement), pelaporan (reporting) dan verifikasi (verification) capaian penurunan emisi, pemeliharaan dan peningkatan cadangan GRK dari kegiatan/proyek/program REDD secara berkala. Hasil dari proses MRV adalah dasar pembayaran atas output/kinerja dari Instrumen Pendanaan REDD+ kepada pelaksana kegiatan/ proyek/program. Pembentukan Institusi MRV difasilitasi oleh Lembaga REDD+. Institusi MRV dibangun untuk mengembangkan kebijakan, standar, serta mekanisme kerja MRV yang sesuai dengan keputusan-keputusan UNFCCC untuk disahkan oleh Lembaga REDD+, serta mengkordinasikan kegiatan MRV. Institusi MRV beroperasi secara independen di bawah koordinasi Lembaga REDD+. 110 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Tujuan sistem MRV REDD+ adalah mendukung pelaksanaan REDD+ melalui mekanisme pengukuran dan pelaporan kinerja penurunan emisi GRK oleh pelaksana kegiatan/proyek/program, serta mekanisme verifikasi independen yang sejalan dengan perkembangan metodologi dan modalitas yang diputuskan UNFCCC. Dengan pendekatan ini, proses verifikasi akan menghasilkan penurunan emisi tingkat nasional terverifikasi (verified national-level emission reduction) dan penurunan emisi tingkat sub-nasional yang terverifikasi (verified sub-national level emission reduction). Untuk mengambil manfaat dari potensi perkembangan pasar karbon sukarela (voluntary carbon market), mekanisme verifikasi oleh pihak ketiga independen yang terakreditasi akan dikembangkan. Verifikasi oleh pihak ketiga yang independen akan menghasilkan Penurunan Emisi Terverifikasi atau Verified Emission Reduction (VER). Jika verifikasi dilakukan untuk tujuan sertifikasi oleh lembaga sertifikasi emisi yang sudah terakreditasi, lembaga sertifikasi akan menerbitkan Certified Emission Reduction (CER). Penurunan emisi terverifikasi baik pada tingkat nasional maupun sub-nasional, serta VER/CER, adalah dasar pembayaran kinerja bagi penerima manfaat finansial untuk kegiatan/proyek/program REDD+. Untuk kelengkapan dan kapasitas lembaga, maka peningkatan perangkat, fasilitas dan sumber daya manusia sangat krusial dan secara kronologis menduduki otoritas utama dalam mendorong implementasi strategi REDD+ yang ada. Adanya Pusat Pelatihan dan Laboratorium MRV REDD+ sebagai contoh, merupakan suatu institusi kunci yang diperlukan lembaga REDD+ untuk berfungsi dengan baik. Pusat Pelatihan ini sekaligus dapat menjadi pusat pengembangan IPTEK (REDD+ Center of Excellence) yang terakreditasi, sehingga layak memberikan pelatihan berbagai level dan bersertifikat bagi para pemangku kepentingan dari dalam dan luar daerah, misalnya bagi tenaga teknis lembaga finansial untuk menilai kelayakan kredit (credible dalam arti bankable) industri kecil dan menengah yang mengolah dan memasarkan produk hijau (green products); hasil pengelolaan sumber daya hutan dan lahan. Dalam konteks ini juga, kemampuan dan kelayakan mengeluarkan sertifikasi produk hijau juga harus menjadli bagian dari misi Badan REDD+ yang terbentuk. Contoh lain adalah integrasi Strategi REDD+ dan Strategi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pernbangunan Ekonorni Indonesia (MP3EI) di mana Kalimantan diarahkan sebagai pusat pengembangan karet dan sawit sebagai koridor ekonomi Kalimantan, dan Kalbar termasuk kepada koridor itu, berarti berbagai hal dapat dilakukana melalui Badan REDD+ untuk pencapaian tujuan secara terpadu, misainya Center of Excellence teknologi Percepatan Perbenihan Tanaman Perkebunan dan tanaman Industri berbasis masyarakat, hal mana selaras antara strategi REDD+ dan strategi MP3EI. Secara khusus selain Lembaga MRV, institusi lain yang perlu dikembangkan adalah lembaga yang berkaitan dengan pengembangan dukungan teknis finansial (al. untuk menangani insentif kredit, subsidi suku bunga, asuransi atas kerja, usaha dan kesehatan) dan suatu Lembaga yang bersifat CSO (Civil Society Organization) BAB VI 111 lembaga masyarakat madani. Untuk memadukan kebersamaan mencapai tujuan keberadaan REDD+ di Kalbar. Bercermin dari Brasil, the Amazon Fund bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain seperti the institute for Conservation and Sustainable Development of Amazonas, the Amazonas Sustainable Foundation (ASF) maupun the Amazon Institute of People the Environment of Amazon dalam mengurangi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Membangun kemitraan merupakan hal yang sangat penting bagi strategi pengembangan kelembagaan. Ini tidak sekadar menyangkut pendanaan, tetapi kerja sama teknis bilateral dan unilateral, agar implementasi REDD+ di Kalbar memberikan sumbangan berarti secara global sesuai dengan status sebagai salah satu provinsi (pilot province) yang akan mengimpementasikan REDD+. Negaranegara sahabat yang berkenan membantu Kalbar dalam status ini dapat menjadi bagian dari international advisory board terhadap lermbaga REDD+ yang dibentuk, memberikan bantuan konsultan ahli dalam aktivitas implementasi REDD+ seperti penguasaan Iptek, monitoring sumber daya hutan dan gambut, riset dan pengembangan produk hijau, sertifikasi hijau dan pemasaran produk barang dan jasa lingkungan ke negara atau asosiasi negaranya (misalnya pasar Uni Eropa). Negara atau lembaga kerja sama internasional diperbolehkan untuk memberikan bantuan teknis dan keuangan untuk bekerja sama dengan tim ahli pendukung Lembaga REDD+. Dalam konteks yang lebih luas, kerja sama Kalbar dengan pihak luar, untuk memberikan pembelajaran (lessons learnt) tentang apa yang sedang berkembang dan dikembangkan agar dapat ditularkan pada provinsi lain di Indonesia atau negara-negara bagian lain yang berminat. 6.1.2. Sinergi Kebijakan Dalam Mendukung Implementasi REDD+ Pada umumnya segala kebijakan REDD+ berorientasi kepada upaya-upaya pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, penguatan stok karbon, pengembangan kegiatan konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari; di mana keseimbangan yang diharapkan adalah terjaganya pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan penurunan angka kemiskinan. Walaupun tampaknya ada kontradiktif, tetapi keselarasan pertumbuhan ekonomi dan penurunan emisi karbon hutan melalui implementasi REDD+ bukanlah sesuatu yang mustahil. Karena peta jalan (roadmap) yang dikembangkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Propinsi (SRAP) REDD+ didasarkan pada kajian pengalaman-pengalaman di Kabupaten/Kota baik yang dilakukan pemerintah maupun oleh lemabaga non pemerintah LSM dan dalam berbagai aspek yang diramu dan dipadukan dalam suatu strategi dan rencana aksi provinsi. Berbagai regulasi pengelolaan sumber daya hutan yang tidak sinkron perlu dikaji ulang dan dikonsultasikan kepada para pemangku kepentingan, baik para pelaku usaha, masyarakat awam maupun akademisi dan peneliti. Sehingga diperoleh gambaran komprehensif atas isu yang kelihatannya bertentangan dan saling melemahkan, antara pendekatan konservasi dan perlindungan dengan pendekatan penggunaan dan permanfaatan (usage and utilization). Ketidakharmonisan berbagai peraturan telah dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk memuluskan perolehan perijinan dan 112 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT kegiatan eksploitasi sumber daya alam dalam bidang kehutanan, pertambangan dan perkebunan. Proses kaji ulang regulasi dan ketaatan terhadap tatanan yang ada akan membuka peluang untuk lahirnya ketentuan baru yang responsif dan agresif. Untuk mengisi senggang waktu lahirnya ketentuan baru secara nasional, pemerintah daerah dapat membuat peraturan gubernur (Pergub) atau peraturan daerah (Perda) sebagai pedoman implementasi REDD + di lapangan. Untuk efektif dan untuk mencegah keberlanjutan dampak dari kebijakan yang tidak harmonis, maka strategi sinkronisasi kebijakan ini sangat berkaitan erat dengan strategi moratorium. 6.2. Pengembangan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berkelanjutan Bagi Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Masyarakat memiliki ketergantungan dan saling keterikatan dengan kawasan hutan. Di Kalbar terdapat 518 Desa dan 57,7% di antaranya berinteraksi langsung dengan kawasan hutan, di mana hampir 90% mata pencaharian masyarakat adalah petani. Fakta ini menunjukkan dukungan terhadap pengamanan dan perlindungan kawasan hutan harus beriringan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Berdasarkan kajian potensi pengembangan hutan desa, terdapat dua bentuk interaksi kegiatan ekonomi dengan kawasan hutan. Pertama, menjaga hutan. Praktikpraktik lokal menjaga daerah hulu air merupakan upaya menjamin ketersediaan air untuk irigasi areal persawahan sekaligus upaya memastikan ketersediaan kebutuhan pangan lokal. Kedua, memanfaatkan hutan. Memanfaatkan hasil hutan kayu untuk kebutuhan lokal dan memanfaatkan hasil parak yang terdiri dari berbagai jenis komoditas, di mana sebagian besar parak berada dalam kawasan hutan. Implementasi REDD+ harus mengakomodir ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan dan menjaminkan pola-pola pemanfaatan berkelanjutan berdasarkan pengetahuan lokal tetap berjalan. Kemudian, memberikan dukungan terhadap pengembangan sumber-sumber mata pencaharian yang berorientasi pada pengembangan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Pengembangan energi terbarukan sebagai bagian jasa lingkungan, dukungan infrastruktur untuk menjamin ketersedian air. Memastikan praktik-praktik pengelolaan parak tetap berjalan dengan memberikan dukungan terhadap pengkayaan dan peningkatan kapasitas pengelolaan parak. Jika implementasi REDD+ tidak memberikan kepastian pengelolaan sumber-sumber mata pencaharian dan menawarkan alternatif pengembangan untuk penghidupan ekonomi yang layak pada masyarakat lokal, REDD+ hanya akan menunda deforestasi dan degradasi saja. Agar kelola sumber daya alam sesuai dengan kearifan lokal masyarakat dan secara berkelanjutan, perlu diatur tata guna lahan dalam tataran mikro atau desa. Masyarakat Kalbar sebenarnya memiliki kearifan lokal dalam menetapkan pola keruangan wilayah desanya. Namun, kearifan tersebut masih banyak yang belum terakomodir dalam desain RTRW yang dibuat selama ini. Pelibatan masyarakat dalam proses tersebut masih belum BAB VI 113 optimal. Untuk itu ke depan, perlu dibuat tata ruang secara detail di masing-masing desa. Penataan ruang berbasis desa ini menjadi prioritas dalam implementasi REDD+. Karena akan menjadi basis bagi perbaikan tata kelola di masa yang akan datang. Dalam penyusunan tata ruang di tingkat desa tersebut, masalah-masalah batas wilayah desa, kecamatan dan kabupaten/kota serta propinsi menjadi prioritas yang perlu segera diselesaikan untuk meminimalisir konflik. Pendekatan yang digunakan dalam penataan ruang basis desa ini juga harus menyeimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi dan ekologis dalam kerangka peraturan perundangan yang berlaku. Hasil penataan ruang tingkat desa ini harus disinkronisasikan dengan pola tata ruang di tingkat kecamatan, kabupaten/kota dan propinsi. Oleh karena itu, basis tata ruang yang sudah didetailkan di tingkat desa dijadikan dasar sebagai pertimbangan kaji ulang tata ruang. Selain penataan ruang pada basis desa untuk menjamin keberlanjutan, juga perlu diupaya percepatan pemulihan sumber daya alam yang telah rusak untuk mengembalikan fungsi sosial, ekonomi dan ekologisnya bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk memulihkan sumber daya alam terutama hutan dan lahan yang telah menurun kualitasnya, diperlukan upaya-upaya percepatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) pada hutan dan lahan kritis. Upaya yang dilakukan dapat berupa penanaman kembali melalui reboisasi dan penghijauan, reklamasi, rehabilitasi mangrove, dan lain sebagainya serta konservasi tanah dan air melalui pembangunan dam, embung, sumur resapan dan lain sebagainya. Upaya RHL harus dilaksanakan dengan basis DAS yang melibatkan peran aktif masyarakat desa dalam kelembagaan-kelembagaan yang efektif. Kelembagaankelembagaan yang berperan dalam RHL seperti lembaga masyarakat yang mendapatkan hak kelola hutan, kelompok-kelompok tani, organisasi pemuda, organisasi wanita, dan lain sebagainya. Terhadap perusahaan-perusahaan yang mendapatkan areal konsesi mengelola hutan dan lahan, juga dilakukan kendali yang efektif untuk menjamin bahwa upaya RHL dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mereka juga harus didorong melakukan upaya-upaya RHL dan membantu masyarakat dalam pemulihan lingkungan di sekitarnya. 6.3. Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Hutan Pengelolaan sumber daya alam di Kalbar didasarkan pada kearifan lokal yang ada dan berkembang di tengah masyarakat. Sebagai basis dalam pengelolaan, kearifan lokal yang ada juga perlu didukung dengan kajian ilmiah yang komprehensif dan holistic. Hal ini tentunya akan menjadi instrumen penguat bahwa kearifan lokal menjadi keunggulan pengelolaan hutan di Kalbar. Untuk mendapatkan basis pengelolaan hutan yang secara ilmiah direkomendasikan dengan bertanggung jawab, perlu dilaksanakan berbagai penelitian 114 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan pengelolaan. Hasil-hasil penelitian tersebut dapat dihubungkan satu dengan yang lainnya sehingga ada link and match antara lembaga-lembaga penelitian, pemerintah dan masyarakat. Penelitian dan Pengembangan ini juga diarahkan agar Kalbar mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang lebih implementatif terutama terkait dengan praktik-praktik kelola hutan hujan tropis yang lebih baik. Pemerintah Propinsi Kalbar perlu mendorong ini sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam implementasi program dan kegiatan yang terkait dengan implementasi REDD+. 6.4. Mengutamakan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Lokal Dalam Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan dan Distribusi Manfaat REDD+ Pengalaman menunjukan bahwa pengambilan keputusan dalam semua proses kebijakan terkait lahan tampa memposisikan masyarakat sebagai subjek utama cenderung memicu konflik yang tidak berkesudahan. Konflik batas kawasan hutan, konflik horizontal (antar masyarakat ) dan vertikal (masyarakat dengan swasta dan pemerintah ) terjadi karena kebijakan menyebabkan sumber-sumber mata pencaharian, tempat hidup dan penghidupan masayarakat dikalahkan oleh kepentingan pemanfaatan sumber daya alam ekploitatif. Sebaliknya pengalaman juga mengajarkan ketika keputusan dan kebijakan pembangunan dilakukan dengan memposisikan masyarakat sebagai aktor utama memberikan dampak keharmonisan karena semua pihak merasa beruntung dan memperoleh manfaat secara proporsional. Implementasi REDD+ di Provinsi Kalbar tidak ditujukan menjadi sumber konflik baru bagi masyarakat, tetapi implementasi REDD+ dimaksudkan mampu memperkuat pertanggungjawaban dalam pengelolaan untuk kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Implementasi REDD+ tidak hanya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga melindungi dan memberdayakan individu atau komunitas yang berkaitan dengan REDD+. Langkah-langkah untuk melaksakan strategi untuk melindungi hak-hak masyarakat lokal dalam implementasi REDD+ di Provinsi Kalbar adalah: 1. Memberikan informasi secara transparan dan bertanggung jawab mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pada skala kecil komunitas seperti Dusun dan Desa 2. Melakukan kajian awal terkait pola dan mekanisme lokal dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik 3. Menyusun standar, prinsip dan kriteria indikator perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan distribusi manfaat secara partisipatif melalui proses konsultasi dan diskusi bersama masyarakat lokal 4. Meminta pendapat dan keterlibatan masyarakat pada proses-proses kesepakatan dan perubahan kesepakatan tampa paksaan pada setiap proses implementasi REDD+ BAB VI 115 5. Menyusun dan menetapkan standar operasional (SOP) semua pelaksanaan kegiatan yang dilakukan dalam implementasi REDD+ 6.5. Pengembangan Skema-Skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan upaya menjadikan masyarakat sebagai aktor utama di dalam pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Menempatkan masyarakat pada posisi utama merupakan keharusan yang tidak bisa ditunda di dalam pengelolaan sumber daya hutan di Kalbar. Sebab, banyak praktik yang membuktikan ketika kawasan hutan dikelola oleh masyarakat justru keberanjutannya bisa dibuktikan. Misal, berkembangnya konsep parak, rimbo larangan, hutan Desa, rimbo ulayat dan lainnya yang terbukti tetap eksis hingga saat ini. Berbagai kajian yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian yang kredibel menyatakan bukti-bukti di berbagai belahan dunia menunjukkan sumber daya hutan yang dikelola oleh masyarakat berada dalam status yang lebih baik dan lebih lestari dibandingkan yang dikelola baik oleh swasta maupun oleh negara Bagi masyarakat Kalbar, sumber daya hutan merupakan salah satu faktor terpenting, hutan bagian dari sistem hidup dan kehidupan. Hutan sebagai penyedia bahan-bahan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, obat-obatan, pendapatan keluarga, hubungan religi, ketentraman dan lainnya. Hutan sebagai benteng untuk melindungi dari bencana ekologi seperti banjir, galodo, longsor dan lainnya. Masyarakat mengelola hutan agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya. Pemerintah Kalbar berkomitmen mendorong pengelolaan sumber daya alam berbasis desa. Di sektor kehutanan Pemerintah Daerah Kalbar sudah menyusun Peta Jalan 250.000 - 500.000 Ha kawasan Hutan dikelola bersama masyarakat dari tahun 2012 - 2017. Dukungan untuk tercapainya target Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, pemerintah menyediakan pusat layanan melalui pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Perhutanan Sosial yang difungsikan sebagai pusat data dan layanan fasilitasi dalam pengelolaan hutan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Upaya pengelolaan hutan bersama masyarakat sebagai basis dalam implementasi REDD+ di Kalbar dikembangkan dengan cara sebagai berikut: 1. Mendorong koordinasi dan konsolidasi aktor pendukung perluasan skema pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara sistemik di Propinsi Kalbar. 2. Melakukan kajian potensi sosial dan potensi kawasan serta pengumpulan data di tingkat Desa, kecamatan dan kabupaten. 3. Sosialisasi dan membangun kesepakatan bersama masyarakat terkait kelembagaan, wilayah Desa dan mekanisme pengelolaan, 4. Melakukan pemetaan pertisipatif untuk kejelasan wilayah kelola sesuai dengan perencanaan pada tingkat mikro 116 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT 5. Memperkuat pusat data, layanan dan infrastruktur pemebrdayaan pengelolaan hutan bersama masyarakat pada tingkat provinsi dan kabupaten 6. Koordinasi dan pengawalan proses usulan pencadangan areal kelola masyarakat di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional 7. Fasilitasi masyarakat dalam menyusun dan implementasi rencana kelola hutan dan pengembangan sumber pendapatan Berbagai upaya untuk menjalankan strategi pengelolaan hutan bersama masyarakat sekaligus beriringan dengan upaya penguatan kapasitas masyarakat, pemerintah daerah dan stakeholder terkait dalam memperkuat praktek dan implementasi di tingkat tapak (grass root). Disamping itu untuk areal-areal yang memang dijaga secara ketat dalam bentuk kawasan konservasi dan lindung, perlu upaya-upaya yang konkret. Perlindungan terhadap arealareal yang secara adat dan Negara dilindungi telah dilakukan sesuai dengan kearifan lokal yang dimiliki. Sebenarnya masyarakat Desa telah memiliki aturan tertulis dan tidak tertulis terhadap pengelolaan kawasan dilindungi tersebut. Namun u p a y a yang dilakukan tersebut perlu diperkuat dan diperluas. Pemerintah Propinsi Kalbar telah mengembangkan implementasi Perlindungan dan Pengamanan Hutan Berbasis Masyarakat (PPHBM). Dalam tataran konsep, PPHBM membentuk kader-kader perlindungan hutan di masing-masing Desa. Namun dalam tataran implementasi, operasionalisasi kader-kader tersebut masih belum optimal. Penguatan kelembagaan kader-kader PPHBM ini perlu dipertegas kembali. Artinya kelembagaan kader PPHBM ditetapkan sebagai salah satu instrumen yang penting keberadaannya di tiap Desa dan mendapatkan dukungan penuh dari seluruh pihak dalam peraturan dan kebijakan yang memadai. BAB VI 117 118 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT BAB VII PENUTUP Untuk memastikan SRAP REDD+ dapat berjalan sesuai yang diharapkan, diperlukan keseriusan pemerintah pusat maupun daerah. Kemudian, harus didukung oleh masyarakat secara luas, pihak swasta, dan elemen lain yang peduli terhadap upaya penurunan gas emisi. Tak ada artinya program dirancang melewati berbagai seminar, lokakarya, diskusi intensif, kalau tidak mendapatkan respons luas dari masyarat terutama di sekitar hutan dan lahan gambut. Namun, upaya untuk menurunkan gas emisi sudah dicanangkan pemerintah. Tentunya tidak boleh surut ke belakang atau pesimis menghadapi masyarakat. Semua pasti ada jalan keluarnya asal mau berbuat. Program REDD+ harus membangkitkan keyakinan baru. Upaya konservasi hutan kali ini akan berhasil. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan terbesar antara REDD+ dengan prakarsa konservasi sebelumnya. REDD+ yang digagas ini berlandaskan pada imbalan berbasis kinerja. Lembaga donor internasional, dana atau pasar akan memberi imbalan atas upaya nasional dan lokal berdasarkan hasil kinerja yang diraih dalam menurunkan emisinya. Pendekatan insentif positif berupa imbalan berbasis kinerja ini memberi dorongan kepada Pemerintah Provinsi Kalbar untuk melaksanakan REDD+ secara efektif dan efisien. Suatu keniscayaan REDD+ akan berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Sektor gambut dan LULUCF (Land use, Land Use Change, Forestry) sejauh ini adalah kontributor emisi terbesar terhadap emisi Kalbar. Upaya serius pada sektor ini melalui penerapan skema REDD+ di Provinsi Kalbar merupakan tindakan strategis. Disamping itu memberikan sumbangsih berarti dalam upaya mitigasi perubahan iklim global dan Pemerintah Indonesia yang telah menjanjikan pada masyarakat dunia untuk menurunkan emisi sebesar 26% - 41 % pada tahun 2020. Sektor kehutanan dan lahan gambut diharapkan berkontribusi paling tidak sebesar 87% dari total penurunan emisi Gas Rumah Kaca secara nasional. Hal ini tidaklah mudah untuk dapat dipenuhi. Terlebih pada periode yang sama setiap daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dituntut untuk dapat membiayai aktivitas pembangunan ekonomi dengan kekuatan dan potensi yang dimilikinya sendiri. Tidak dimungkiri daerah kaya sumber daya hutan dan sumber daya alam lainnya, tentulah mengandalkan pada eksploitasi kekayaan sumber daya alam tersebut. Risiko emisi karbon juga tidak mungkin terelakkan. Meskipun demikian Provinsi Kalbar telah bertekad serta bersungguh-sungguh untuk memberikan kontribusi besar dan nyata untuk segera mewujudkan penurunan emisi lewat SRAP REDD+. Untuk implementasi SRAP REDD+ Kalbar pastilah tidak mudah. Akan ada sejumlah kendala dan tantangan yang bakal dihadapi. Tantangan pertama sebelum itu diimplementasikan adalah memberikan pemahaman kepada setiap pihak. Pengurangan BAB VII 119 emisi yang menjadi ikon utama REDD+ itu merupakan upaya meningkatkan kapasitas penyerapan dan penyimpanan karbon. Bukanlah semata-mata dikarenakan insentif positif yang akan diterima dari pihak manapun, tetapi justru pada kepentingan menghindarkan kehancuran lingkungan. REDD+ menjadi momentum paling tepat untuk melakukan perbaikan atas kesalahan pengelolaan hutan, lahan, dan lahan gambut selama ini. REDD+ dirancang melewati berbagai kajian dan penelitian dari pakar lingkungan hidup. Tidak ada yang salah dalam setiap programnya. Semuanya semata-mata ingin menyelematkan lingkungan terutama hutan dan gambut dari kehancuran yang bisa memicu meningkatnya gas emisi. Tentunya, REDD+ memberikan bisa memberikan keuntungan dengan berbagai perspektif. Selaras dengan visi Gubernur Kalbar yang lebih utama mengedepankan kesejahteraan masyarakat kemudian aspek lainnya. Berikut adalah sisi social, budaya ekologi dan ekonomi : 1. Dari sisi sosial, SRAP REDD+ Kalbar hanya dapat diimplementasikan atas partisipasi semua pihak meliputi lembaga-lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, akademik serta tidak terkecuali masyarakat lokal dan masyarakat adat di sekitar hutan. Program tersebut akan menguatkan tatanan sosial yang akan memberikan rasa tanggung jawab bagi siapa saja untuk menjaga dan melestarikan lingkungan dan ikut berpartisipasi menurunkan gas emisi. 2. Dari sisi budaya, program SRAP REDD+ Kalbar tidak akan mengusik budaya masyarakat, justru sebaliknya semakin menguatkan. Masyarakat adat yang banyak dibahas di bab sebelumnya membuktikan kearifan lokal sangat efektif untuk menjaga hutan. Budaya turun-temurun tersebut menjadi alasan besar untuk memasukkan sisi budaya memberikan manfaat besar bagi implementasi SRAP REDD+ Kalbar. 3. Dari sisi ekologi, implementasi SRAP REDD+ Kalbar secara nyata akan memperlambat laju deforestasi dan degradasi hutan di provinsi/kabupaten/kota. Itu berarti memberikan garansi lebih besar bagi upaya pelestarian potensi, fungsi dan manfaat sumber daya alam. Lebih penting bisa melindungi ekologi yang ada di dalam hutan maupun lahan gambut. 4. Dari sisi ekonomi, haruslah dipandang sebagai upaya menghindarkan eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam di Kalbar dan bisa memanfaatkan hasil hutan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Komoditas hutan bernilai tinggi bila dimanfaatkan dengan benar tanpa harus mengeksploitasi secara berlebihan bisa mensejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Tantangan berikut mengenai political will (kemauan politik) Pemerintah Provinsi Kalbar. Apakah SRAP REDD+ itu dipandang perlu atau sebaliknya. Jika itu dipandang perlu, disarankan Pemprov. Kalbar membuat sebuah badan bagian dari SKPD. Alasannya, pemerintah pusat sudah membuat Badan Pengelola REDD+. Supaya sinergis dan memiliki efektivitas dan efisiensi, alangkah baiknya Pemprov. Kalbar juga membuat Badan Pengelola REDD+ Kalbar. 120 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Harus diakui untuk membuat sebuah badan baru, memang tidak gampang. Harus melewati serangkaian proses politik yang cukup panjang dan memakan waktu dan biaya. Walau demikian, bukan berarti upaya untuk mengimplementasikan SRAP REDD+ Kalbar tidak bisa tanpa badan yang baru. Tetap bisa dilakukan dengan cara memberikan kewenangan ke badan yang berhubungan dengan lingkungan hidup seperti Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD). BLHD bisa saja diberikan kewenangan penuh untuk mengimplementasikan SRAP REDD+. Jika skema ini tidak banyak memerlukan banyak waktu dan biaya. Namun, semuanya tergantung pada political will Pemprov. Kalbar. Dokumen SRAP REDD+ Kalbar hanya memungkinkan dilaksanakan, bilamana daerah beserta para pihak yang terkait termasuk masyarakat di dalamnya memiliki komitmen tinggi untuk mewujudkannya. Kemudian, harus konsisten dan siap menghadapi konsekuensi yang timbul, termasuk dalam hal penyediaan dukungan politik, administrasi dan keuangan. Begitu pula Pemerintah Pusat beserta seluruh institusi yang terlibat dan berkepentingan harus terus memberikan dukungan nyatanya. Beberapa rencana aksi dalam dokumen ini secara gampang menunjukkan bahwa persoalan deforestasi dan degradasi hutan sebagian besar justru pemecahannya harus dimulai dari tataran pemerintah pusat Tantangan lainnya adalah pendekatan REDD+ juga harus menggairahkan dan memadukan tindakan lintas instansi dan kelompok pemangku kepentingan. Barangkali segi paling inovatif REDD+ dibandingkan dengan pendekatan masa lalu ialah bahwa negara perlu melihat jauh ke depan dan mempertimbangkan seluruh kebijakan dan lembaga yang mempengaruhi cadangan karbon hutan. Pendekatan REDD+ yang terbatas pada sektor kehutanan saja tidak akan memadai. Apa pun mengenai penyebab deforestasi dan degradasi menyimpulkan bahwa kebijakan dan tindakan REDD+ perlu melampaui sektor kehutanan. Artinya, perencanaan, penganggaran, dan pengaturan pembangunan lintas sektor harus dipadukan dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. 7.1. Antisipasi dan Harapan Memperhatikan SRAP REDD+ Kalbar dan tantangan yang besar dalam implementasinya, maka dibutuhkan kesungguhan dan kreativitas dari lembaga utama yang mengawalnya. Apabila Pemprov. Kalbar bisa merealisasikan terwujudnya Badan Pengelola REDD+ Kalbar tentunya itu sebuah harapan besar. Artinya, Pemprov Kalbar telah membuktikan keseriusannya untuk menurunkan gas rumah kaca dan mendukung komitmen Pemerintah Pusat. Dala ini diperlukan profesionalitas atau sumber daya manusia andal yang mengerti terhadap persoalan penurunan gas rumah kaca, lingkungan hidup, dan sebagainya. Melalui Badan Pengelola (BP) REDD+ Kalbar, upaya penurunan gas emisi bisa dievaluasi, diaudit, dan diberikan rekomendasi. Setiap program yang akan BAB VII 121 diimplementasikan lewat badan tersebut bisa dilakukan evaluasi secara regular, untuk melihat apakah program itu memberikan hasil atau tidak. Itu kalau Kalbar memiliki BP REDD+. Seandainya, tidak dibentuk BP REDD+ lalu dimasukkan ke bagian dari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) BLHD, di dalamnya ada bagian yang khusus mengurusi REDD+. Pada prinsipnya tidak ada masalah. Cuma, ketika itu di bawah BLHD, peruntukkan anggaran tidak besar. Kalaupun ada sumbangan dari pihak ketiga, misalnya bantuan dari luar negeri, akan melewati berbagai persyaratan yang rumit untuk bisa langsung masuk ke BLHD. Semuanya tergantung political will Pemprov. Kalbar. Mengingat dimensi ruang dan waktu dari dokumen SRAP REDD+ Kalbar ini adalah masih relatif luas dan panjang, dikhawatirkan tidak operasional, BP REDD+ perlu mendorong dan memfasilitasi Pemeritahan Kabupaten/Kota membentuk badan tersendiri atau menguatkan badan yang sudah ada. Dengan demikian SRAP REDD+ bisa dilakukan secara serempak dan massal. Kolaborasi penurunan gas emisi tidak mungkin hanya satu provinsi saja, misalnya Kalbar sendiri. Pemerintah Pusat harus melakukan kolaborasi dengan seluruh pemerintah provinsi lain khususnya di Pulau Kalimantan untuk sama-sama mengimplementasikan SRAP REDD+. Kalau hanya Kalbar sendirian, dikhawatirkan muncul kebocoran kualitas emisi. Untung saja, Provinsi Kalimantan Tengah sudah memulai program tersebut bahkan dijadikan pilot project. Kemudian, menyusul Kalimantan Timur. Alangkah baiknya, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara juga ikut bersama-sama untuk mewujudkan SRAP REDD+. Bila perlu kalau memang ada kemampuan diplomasi, ikut mengajak Negara Bagian Sarawak Malaysia, Sabah, dan Brunei Darussalam ikut terlibat dalam proyek SRAP REDD+ ini. Persoalannya, akibat dari efek gas rumah kaca itu bukan hanya menimpa daerah yang memiliki kerusakan hutan, melainkan berdampak luas pada dunia. Negara mana saja bisa terkena dampak dari efek gas rumah kaca tersebut. Pemerintah Provinsi Kalbar meyakini bahwa peluang keberhasilan saat ini dan akan datang akan lebih besar dengan SRAP REDD+. Alasan utamanya: Pertama, walaupun sebagian besar tindakan REDD+ hampir sama, ada unsurunsur yang sunguh-sungguh baru yaitu imbalan berbais kinerja. Imbalan internasional dan nasional akan semakin dikaitkan dengan kinerja dan hasil yang terukur, sehingga mengubah insentif bagi semua pemangku kepentingan dengan cara yang belum pernah dicoba sebelumnya pada skala nasional maupun provinsi. Kedua, sebagian masyarakat internasional telah menunjukkan kemauan kuat untuk memberi imbalan kepada REDD+. Lebih banyak pendanaan kemungkinan berasal dari sumber dana publik dan barangkali dari penjualan kredit REDD+ di pasar karbon internasional, bergantung pada kesimpulan dari perjanjian UNFCCC dan keputusan Uni Eropa dan setiap negara mengenai penyertaan kredit REDD+ sebagai penggantian kerugian. Besarnya pembiayaan dapat mencukupi untuk memberi imbalan jerih payah keseimbangan ekonomi politis pengelolaan hutan dari yang mendorong deforestasi dan degradasi ke cara-cara lainnya yang mendukung pelestarian dan pemulihan hutan. 122 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Ketiga, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia yang menunjukkan kemauan kuat untuk mengatasi masalah deforestasi dan degradasi hutan, dan untuk memperlakukan REDD+ menjadi bagian pembangunan ekonomi berkarbon rendah. Kecocokan antara “kesediaan masyarakat internasional untuk membayar” dan “kesediaan nasional dan/ atau untuk menjalankan” ini sangat penting bagi keberhasilan REDD+, baik di ajang perundingan maupun pelaksanaannya. Keempat, banyak organisasi dan perorangan sedang mengamati REDD+, dan mewaspadai kemungkinan dampak yang merugikan dalam hal keefektifan, efisiensi dan kesetaraan dalam penerapan skema REDD+. Pelaku sektor swasta juga peka terhadap risiko ini yang terkait dengan nama baik mereka atas keterlibatan dalam REDD+. Perhatian yang lebih daripada sebelumnya ini seharusnya membantu membatasi salahurus dana REDD+ dan korupsi, dan memberi peringatan dini atas dampak merugikan bagi masyarakat dan ekosistem alamiah yang rentan. Berbagai bukti ilmiah menunjukan bahwa REDD+ memang dapat diwujudkan di lembaga nasional/daerah, kebijakan dan kegiatan di tingkat tapak. Sekarang hanya tinggal kemauan politik dari pemerintah daerah maupun pusat. Itupun juga sangat tergantung pada bantuan internasional yang memang dijanjikan. Pada akhirnya, dengan adanya dokumen SRAP REDD+ Kalbar diharapkan dapat memberikan sumbangsih nyata mitigasi perubahan iklim dan penurunan gas emisi. REDD+ bukan sekadar mengejar imbalan insentif, jauh lebih penting adalah menyelematkan lingkungan dari segala kerusakan hutan dan lahan yang bisa menimbulkan peningkatan gas emisi. Dalam posisi ini, apabila SRAP REDD+Kalbar bisa terwujud, bukan hanya untuk rakyat Kalbar semata, melainkan untuk dunia ini. BAB VII 123 124 STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT Lampiran Lampiran 1 Tabel. 1. Kerjasama Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di Provinsi Kalimantan Barat No 1 Instansi Kerjasam/Kegiatan Dep. Kehutanan, Dinas Social Forestry Development Program (SFDP) – Kehutana, Provinsi & GTZ Jerman Kabupaten Forest Fire Prevention Project (JICA) The Heart of Borneo Initiative 3 4 TN Gunung Palung TN Betung Kerihun Pemkab Kapuas Hulu 1990-2000 2006-2009 2006- sekarang EC-Indonesia FLEGT Support Project 2006-2011 Germany Development Service (DED) 2010-2011 KPHP 29 realisasi model 3 unit(Kapuas Hulu, Sintang, Ketapang), KPHL, KPHK. 2 Tahun 2010-sekarang Forest Fire Prevention Project (JICA) 2001-1006 Uni Eropa - Illegal Logging Response Center 2003-2006 FFI-IP - Orangutan Protection and Monitoring Unit LSM (Yayasan Palung, Yayasan ASRI) 2004-2006 Transboundary conservation (ITTO) 1994 ITTO Borneo Biodiversity Expedition 1997 Community Based Transboundary Management Plan (ITTO-WWF) 2001 - 2005 Inisiasi DA REDD oleh Kemenhut dan Financial Coorporation (KFW) 2009-sekarang Inisiasi KPH dan Reference Emission Level - GIZ Forclime II 2009-sekarang Biodiversity & Community Development in HoB – GIZ Forclime III 2009-sekarang 5 TN Danau Sentarum UK-ITMFP Wetlands International LSM (WWF, Dian Tama, Riak Bumi, Titian, PRCF, dll) 1992-1996 6 Pemkab Ketapang Low Emission Development Program (LED) IFACTS - USAID 2011 7 APHI, UGM, UNTAN, PT. TPTJ-Silin (Silvikultur Intensif) Suka Jaya Makmur 8 Kab. KKR, Kapuas Hulu, Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran kab. Sintang dan WWF hutan dan lahan, pembentukan Masyarakat Peduli Api di 4 desa di dalam dan sekitar TNDS, introduksi persiapan lahan tanpa membakar di 4 kelompok petani perempuan di Kab Kubu Raya, penguatan petani sawit swadaya, Restorasi di koridor labian-leboyan, Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum, KSK Koridor, efektivitas pengelolaan taman nasional (TNBK, TNDS, TNBBBR), KPH Model Kapuas Hulu, Hutan Desa (Desa Rasau dan Jasa, Kab Sintang), 2005 2011-sekarang 9 Kabupaten Kapuas Hulu P 56/2006 Pasal 3 ayat 2. Penataan zona dan GIZ taman nasional didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan budaya. 2006 – sekarang Penyamaan persepsi tentang (a) hak masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan dasar (b) pola pomanfaatan masyarakat dan aturan lokal. Memfasilitasi penyusunan Perda Masyarakat Adat (UU 41/1999 ps 67 ayat 2). Memfasilitasi pengelolaan kolaboratif TN bersama Pemda, masyarakat dan LSM / KSM. Menghubungkan desa dengan pengelolaan kawasan hutan produksi terdekat. Penguatan kapasitas masyarakat (pendapatan, kelembagaan konservasi, pendidikan lingkungan hidup). Membangun metode monitoring dengan indikator yang disepakati bersama 10 IFAC - Ketapang, Kayong Lokakarya tahap Awal KLHS dan Pembangunan Utara, Melawi, Sekadau rendah emisi (LEDS), Sustainable Livelihood dan Sintang Assessment, 2011-sekarang USFS General & Programatic Training (Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan) 11 BLHD dan Universitas Penyusunan RPPLH dan KLHS Tanjungpura 2011 12 PT. Cipta Usaha Sejati dan Program HCVF (Higt Conservation Value Universitas Tanjungpura Forest) Nilai Konservasi Tinggi 2013 13 Pemprov dan JICA 2013 IJ-REDD+ (Kab. Kubu Raya, Kab. Ketapang, Kab. Kayong Utara) Lampiran 2. Presentasi Konsultasi Publik SRAP REDD+ Kalbar DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Peluang Dan Mekanisme Perdagangan Karbon Hutan BadanPusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat Jl. Sutan Syahrir No. 24/42 Pontianak 78116 Telp. (0561)735345 Fax. (0561) 732184, Email :bps6100@ bps.go.id Bappeda Prov. Kalbar, 2010. Penyusunan Updating Neraca Sumber Daya Alam Spasial Provinsi Kalimantan Barat. --------, 2011.Kalimantan Barat DalamAngka 2009. --------, 2011.Kalimantan Barat DalamAngka 2010. --------, 2011.Kalimantan Barat DalamAngka 2011. Draft 1 Revisi Tanggal 23 September 2010, Strategi Nasional REDD+. Dishut Prov. Kalbar, 2008. Rencana Strategis Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat 2008 – 2013. Disbun Prov. Kalbar, 2008. Rencana Strategis Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat 2008 – 2013. Dudung Darusman, 2012. Kehutanan dan Keberlanjutan Indonesia. IPB Press. Bogor. Gusti Hardiansyah. 2011. Potensi Pemanfaatan Sistem TPTII Untuk Mendukung Upaya Penurunan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) Studi Kasus Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma di Kalimantan Tengah. Disertasi S3 IPB. (Tidak Dipublikasikan). Inpres Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Kepres Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Indrarto, G.B., Murharjanti, P., Khatarina, J., Pulungan, I., Ivalerina, F., Rahman, J., Prana, M.N., Resosudarmo, I.A.P. dan Muharrom, E. 2013 Koteks REDD+ di Indonesia: Pemicu, Pelaku dan Lembaganya. Working Paper 105. CIFOR, Bogor, Indonesia. Peraturan Di Bidang Perencanaan Kawasan Hutan, 2010. Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementrian Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti, Blok I Lantai 2 Jalan Jenderal Gatot Subroto Jakarta. Sumitro Achmad. 2005. Ekonomi Sumber Daya Hutan. Debut Press. Jogjakarta Susilo Arifin H, dkk. 2009. Analisisi Lanskap Agroforestry. Konsep, Metode, dan Pengelolaan Agroforestry skala Lanskap dengan studi kasus Indonesia, Filipina, Laos, Thailand, dan Vietnam. Bogor. Strategi Nasional REDD+ Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, Juni 2012. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Implementasi REDD+ Kaltim UN-REDD Programme. 2012. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan, dan REDD+ 2012 di Indonesia. Yayasan Resourch Development Center. 2009. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan Dalam Isu PerubahanIklim. Gedung Manggala Wanabhakti. Jakarta http://kalbar.bps.go.id/flippingbook/kalbar%20da%202012%20y/
Similar documents
redd+ indonesia newsletter - United Nations in Indonesia
Tahun 2014 merupakan tahun penentu untuk REDD+ di Indonesia. Badan Pengelola REDD+, yang baru terbentuk pada bulan Januari tahun ini, memainkan peran pendorong dalam memperluas dan memperdalam prog...
More information