(srap) redd+ kalimantan barat

Transcription

(srap) redd+ kalimantan barat
i
Jenis
:
Dokumen SRAP REDD+
Kalimantan Barat
No. Dokumen
:
F 04/BLHD/XII/2013
Tanggal
:
12 Desember 2013
STRATEGI DAN RENCANA AKSI
PROVINSI (SRAP) REDD+
KALIMANTAN BARAT
Saran dan kritik :
[email protected]
[email protected]
[email protected]
TIM PENYUSUN
Dr. Ir. H. Gusti Hardiansyah, MSc.,QAM
Ir. H. Adi Yani, MH
Dr. Ir. H. Fahrizal, MP
Ir. H. Erianto, MP
Ir. Hj. Yuslinda, MH
Ir. Michael Jeno, MM
Yosef Lego Ngo, S.Hut
Ir. Boy D.R. Manuputty
Arifin, SP
Hendarto, S.Hut., M.Sc
Ir. Rifwan
Darmawel, SH, MH
Yenny, S. Hut, MT
Etty Septia Sari, ST, MIL
Rosadi, S.Ag, M.Si
Zuhry Haryono, S.Hut
Ir. Iskandar, AM, M.Si
Ir. H. M. Idham
Ilyas, S.Pd.I
Zailani, B.Sc
Sholatiana, SH
Asnan Fauzi Irvanto, ST
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa, dokumen SRAP REDD+ Kalimantan Barat
(Kalbar) berhasil dirampungkan. Sebagai kepala daerah, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada
seluruh tim penyusunan dokumen. Tentunya, dokumen
tersebut sangat berarti bagi Provinsi Kalbar. Dengan
dokumen itulah bisa dijadikan acuan atau pedoman untuk
mengimplementasikan program REDD+ di Kalbar.
Dokumen SRAP REDD+ Kalbar memang sudah lama disiapkan. Tim penyusun
telah menghabiskan banyak waktu, tenaga, serta pemikiran. Semuanya berjalan lancar
dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Tentunya semua itu dilatarbelakangi
oleh semangat ingin menjaga hutan Kalbar agar tetap lestari dan jauh dari upaya
deforestasi dan degradasi.
Semangat yang telah diperlihatkan tim penyusun merupakan bagian dari upaya
mensinergikan pendekatan top-down (RAN GRK; STRANAS REDD+) dengan yang
bersifat bottom-up, tidak terkecuali pada tingkat para pengguna sumber daya alam
(contoh AMDAL para pemegang izin usaha pemanfaatan dan kegiatan masyarakat)
terkait dengan upaya pengurangan emisi. Upaya itu juga memberikan arahan bagi
berbagai inisitatif/program kegiatan yang muncul, baik secara lokal atau bahkan
internasional (melalui program-program kerja sama internasional yang semakin banyak
di Kalbar) terkait dengan pengurangan emisi.
Lebih penting lagi, upaya yang dilakukan untuk menyelaraskan upaya vertikal dan
horizontal, termasuk yang tertuang dalam berbagai dokumen perencanaan pembangunan
ekonomi dan unit manajemen agar lebih memiliki sensitifitas lingkungan menuju satu
visi yang sama. Perumusan Visi, Misi dan Tujuan SRAP REDD+ tentu memperhatikan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalbar (2013-2018),
khususnya Visi yang tercantum di dalamnya: “Mewujudkan Masyarakat Kalimantan
Barat yang Beriman, Sehat, Cerdas, Aman, Berbudaya dan Sejahtera” Salah satu dari
lima Misi RPJMD tersebut adalah: “Melaksanakan pengendalian dan pemanfaatan tata
ruang dan tata guna wilayah sesuai dengan peruntukan dan regulasi, guna menghindari
kesenjangan wilayah dan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan”.
Di dalam dokumen ini, tim penyusun telah mensinergiskan visi, misi, dan program
kerja Pemprov. Kalbar dengan program REDD+ Kalbar. Harapannya, program REDD+
merupakan bagian penting bagi Bumi Khatulistiwa. Program tersebut dirancang secara
sistematis tentunya dengan harapan tidak hanya bisa menyelematkan hutan melainkan
ikut mensejahterakan rakyat di sekitar hutan. Meningkatkan kesejahte raan rakyat
merupakan point terpenting dalam mengimplementasikan REDD+. Apalah artinya
iii
program tersebut bisa diimplementasikan, sementara rakyat justru tidak mendapatkan
apa-apa dari program tersebut. Hal tersebut tentunya tidak kita inginkan. Pemprov
Kalbar beserta seluruh jajarannya, apa yang tertuang dalam dokumen SRAP REDD+
Kalbar ini bisa mensejahterakan rakyat secara luas.
Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang ikut andil
dalam perampungan penyusunan dokumen SRAP REDD+ Kalbar. Semoga apa yang
telah diperbuat memberikan manfaat besar untuk pembangunan Kalbar. Terima kasih
atas segala perhatian dan dukungannya.
Pontianak,
November 2013
Gubernur Kalimantan Barat
Drs. Cornelis, MH
iv
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
KATA PENGANTAR
Untuk mengimplementasikanREDD+ ini, didahului
dengan penyusunan dokumen SRAP. Untuk mensosialisasikan
draft awal dokumen yang telah disusun kepada, diadakanlah
rapat kick off. Rapat ini bersama dengan Unit Kerja Presiden
Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Penyusunan Dokumen SRAP REDD+ Kalbar ini
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2011
tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+,
Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan
Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi
Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) nomor 30/Menhut-II/2009
tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan.
Dengan adanya Dokumen SRAP REDD+ Kalbar ini, artinya Kalbar memiliki
dokumen yang siap untuk mengimplementasikan program REDD+. Kalbar tidak lagi
meraba-raba dalam menerapkan apa yang tertuang dalam teknis implementasi REDD+.
Di dalam dokumen ini, secara umum digambarkan tata cara untuk mengatasi degradasi
dan deforestrasi hutan di Bumi Khatuliswa. Ada patokan dan pedoman bagaimana cara
implementasi REDD+ di Kalbar di dalam dokumen ini.
Kami berharap, lewat dokumen SRAP REDD+ Kalbar ini, upaya untuk menjaga
dan melindungi hutan bisa tercapai. Untuk mewujudkan itu semua, memang tidak
cukup hanya membuat dokumen, melainkan ada implementasi nyata di lapangan. Kami
berharap, semua pihak yang terkait dengan upaya deforestasi dan degradasi hutan di
Kalbar bisa menjadikan dokumen ini secara pedoman dan acuan.
Untuk mengimplementasikan SRAP REDD+ Kalbar butuh kerja sama dengan
semua pihak terkait. Tidak hanya kerja sama dengan pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota se-Kalbar, melainkan juga pemerintah pusat. Selain itu, Pemprov
Kalbar perlu bimbingan lebih lanjut dari pemerintah pusat untuk menerapkan apa yang
telah tertuang dalam dokumen ini.
Terima kasih atas perhatian dan dukungannya. Dokumen tidak ada artinya
apabila hanya dibaca, apalagi disimpan di dalam rak. Dokumen baru bisa menjadi
berharga dan bernilai apabila isi yang ada di dalamnya bisa diimplementasikan.
Pontianak, November 2013
Kepala BLHD Prov. Kalimantan Barat
Dr. Ir. H. Darmawan, M.Sc
v
KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT
NOMOR :
/BLHD/2013
TENTANG :
PENGESAHAN DOKUMEN STRATEGI RENCANA AKSI PROVINSI
PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTRASI DAN DEGRADASI HUTAN
(SRAP REDD+) PROVINSI KALIMANTAN BARAT
GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,
Menimbang
: a. bahwa hasil pertemuan CoP (Community of Practice) 13 di
Bali terkait perubahan iklim untuk mendorong kepada para
pihak dalam memulai kegiatan-kegiatan uji coba mekanisme
pengurangan emisi dari deforestrasi di negara-negara berkembang
serta memperhatikan hasil Konsultasi Nasional Region Kalimantan
terkait pengembangan naskah Strategi Nasional REDD di
Palangkaraya,14-15 Oktober 2010;
b. bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan
Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degration
(REDD+), mengamanatkan kepada seluruh provinsi untuk
membentuk Tim Penyusun Dokumen SRAP REDD+ provinsi;
c. bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah membentuk
Tim Penyusun Dokumen SRAP REDD+ Provinsi Kalimantan Barat
berdasarkan keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 437/
BLHD/2013;
vii
d. bahwa Tim Penyusun yang dibentuk telah melakukan penyusunan
Dokumen SRAP REDD+ Provinsi Kalimantan Barat yang telah
dibahas bersama para pihak yang berkepentingan, yang selanjutnya
dokumen tersebut harus disahkan oleh Gubernur;
e. berdasarkan pertimbangan sebagaimana huruf a, b, dan c di atas
perlu dilakukan pengesahan Dokumen SRAP REDD+ Provinsi
Kalimantan Barat dengan keputusan Gubernur.
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1956 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1106);
2. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan
United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai keanekaragaman hayati)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556);
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United
Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan
iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3557);
5. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4401);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa luas dan yang terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
viii
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
7. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3776);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4425);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4453);
10.Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4696);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
12.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011
tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
dan Peraturan Presiden Republik Indonesia;
13.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011
tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah kaca Nasional;
14.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2011
tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions
From Deforestation and Forest Degration (REDD+);
15.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2008
tentang Penyelenggraan Demonstration Activities Pengurangan
Emisi Karbon dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan;
16.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2009
tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan
Degradasi Hutan (REDD);
ix
17.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2009
tentang Tata cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan
dan/atau Penyimpanan karbon pada Hutan Produksi dan Hutan
Lindung;
18.Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 2008
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun
2008-2013 (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun
2008 Nomor 8).
19.Keputusan Gubernur Kalimantan Barat nomor 115/BLHD/2012
tentang Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja REDD+) di Provinsi
Kalimantan Barat.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
x
KESATU
: Mengesahkan Dokumen Strategi Rencana Aksi Provinsi Pengurangan
Emisi Dari Deforestrasi Dan Degradasi Hutan (SRAP REDD+)
Provinsi Kalimantan Barat yang telah disusun oleh Tim Penyusun dan
telah dibahas bersama oleh para pihak berkepentingan yang dapat
dijadikan pedoman dalam pengelolaan pengelolaan hutan lestari
melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, sebagaimana
tercantum pada lampiran keputusan ini;
KEDUA
: Dokumen sebagaimana dimaksud pada Diktum kesatu merupakan
pedoman yang bersifat dinamis, rasional, adaptif, saling melengkapi,
dan sebagai arahan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam
melaksanakan rencana aksi pengurangan deforestasi dan degradasi
hutan.
KETIGA
: Apabila dalam pelaksanaannya terdapat perubahan rencana aksi
kegiatan sehingga dokumen sebagaimana dimaksud pada Diktum
kesatu tidak sesuai lagi untuk dijadikan acuan pengurangan deforestasi
dan degradasi hutan, maka dapat dilakukan tinjauan kembali melalui
pembahasan dengan melibatkan pihak-pihak terkait guna mencari
bentuk rencana aksi yang sesuai dan dapat disepakati kembali dan
dituangkan dalam dokumen yang telah diperbaiki;
KEEMPAT
: Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Ditetapkan di Pada tanggal
Pontianak
13 Desember 2013
GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,
CORNELIS
Tembusan disampaikan kepada :
Yth. 1. Menteri Dalam Negeri RI di Jakarta.
2. Menteri Kehutanan RI di Jakarta.
3. Menteri Negara Lingkungan Hidup RI di Jakarta.
4. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
(UKP4)
5. Sekretaris Jenderal Kementerian kehutanan RI di Jakarta.
6. Direktur Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan RI di Jakarta.
7. Direktur Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan RI di Jakarta.
8. Direktur Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan RI di Jakarta.
9. Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak.
10. Kepala BAPPEDA Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak.
11. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak.
12. Kepala Inspektur Wilayah Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak.
13.Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalimantan Barat di
Pontianak.
xi
xii
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
RINGKASAN EKSEKUTIF
Ancaman deforestasi dan degradasi hutan makin nyata. Hal tersebut bisa
mengancam peningkatan emisi karbon. Bisa juga menimbulkan penurunan kemampuan
hutan untuk menyerap dan menyimpan karbon serta gas buang dari industri dan
transportasi akan terganggu. Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terluas ketiga di
dunia setelah Brazil dan Zaire perlu upaya untuk mencegah deforestasi dan degradasi
hutan. Indonesia sendiri telah berkomitmen pada dunia siap menurunkan emisi gas
26%. Itu dengan upaya sendiri. Apabila ada dukungan dari negara maju, penurunan bisa
meningkat menjadi 41% pada tahun 2020. Provinsi Kalimantan Barat juga menyatakan
siap menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Potensi kawasan hutan 14.732.098
hektar memiliki peluang besar untuk berkontribusi menurunkan gas emisi. Komitmen
kalbar siap berkontribusi sampai 7,8 % dari target nasional (pada tahun 2020, 552,3 juta
[BAU] – 253,1 juta [MIT] = 299,2/5 = 59,84 juta tCO2(eq) maka 59,84 juta/767 juta x
100%). Sedangkan untuk manajemen sequestrasi, kalbar berkomitmen menyumbang
sampai 13,3 % (hasil analisis SRAP REDD+ Kalbar 2013).
Strategi Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Kalimantan barat mengangkat visi
“ Menuju Kalimantan Barat Hijau untuk Indonesia dan Kesejahteraan masyarakat”
dengan misi mengefektifkan instansi, lembaga, dan organisasi yang berkaitan dengan
pengelolaan hutan dan lahan dalam pengurangan emisi, merencanakan dan menata
kegiatan yang berbasis hutan dan lahan dalam rangka pengurangan emisi, melaksanakan
peraturan/perundangan dan mendorong penegakan hokum di bidang pengelolaan hutan
dan penggunaan lahan guna pengurangan emisi. Dalam penyusunan strategi dan rencana
aksi telah dipetakan kompleksitas factor penyebab degradasi dan deforestasi hutan yang
terjadi di Kalbar yaitu pelepasan kawasan hutan, penebangan kayu, kebakaran hutan
dan lahan gambut, dan pinjam pakai kawasan.
Instrumen MRV REDD+ yang diterapkan di Kalbar meliputi semua aktivitas (1)
penurunan laju deforestasi; (2) penurunan laju degradasi hutan; (3) konservasi karbon;
dan (4) peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan hutan lestari dan pengayaan
simpanan karbon (missal perlindungan dan penanaman hutan). Prinsip MRV yang
digunakan: terbuka (Transparancy), taat azas (Consistency), dapat dibandingkan
(Comparability), teliti (Accuracy), lengkap (Completeness), mengacu MRV Nasional.
Kelembagaan REDD+ diusulkan ke Pemprov Kalbar dengan membentuk Badan
Pengelola REDD+ Kalbar. Tugas utama badan ini adalah mengkoordinasi kegiatan
secara tematik, termasuk penyelenggaraanrangkaian kegiatan pengukuran, pelaporan,
dan verivikasi, selanjutnya memastikan efektivitas pendanaan REDD+ serta secara
berkala melaporkan perkembangan program proyek/kegiatan di daerahnya kepada
lembaga REDD+ Nasional. BP REDD+ Kalbar inilah yang nantinya mendelegasikan apa
saja informasi, program, pendanaan dari BP REDD+ Nasional. BP REDD+ Kalbar juga
menjadi fasilitas untuk pembentukan lembaga serupa di tingkat Kabupaten/Kota.
xiii
Langkah langkah strategi untuk melindungi hak-hak masyarakat local dalam
implementasi REDD+ di Provinsi Kalimantan Barat yaitu dengan memberikan
informasi secara transparan, pelaksanaan dan pengawasan pada skala kecil komunitas
seperti Dusun dan Desa, melakukan kajian awal terkait pola dan mekanisme local
dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik, menyusun standar prinsip dan
criteria indicator perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan distribusi manfaat secara
partisipatif melalui proses konsultasi dan diskusi bersama masyarakat local, meminta
pendapat dan keterlibatan masyarakat pada proses-proses kesepakatan dan perubahan
kesepakatan tanpa paksaan pada setiap proses implementasi REDD+, menyusun dan
menetapkan standar operasional (SOP) semua pelaksanaan kegiatan yang dilakukan
dalam implementasi REDD+.
Pada akhirnya, dengan adanya dokumen SRAP REDD+ Kalbar diharapkan dapat
memberikan sumbangsih nyata mitigasi perubahan iklim dan penurunan gas emisi.
REDD+ bukan sekadar mengejar imbalan insentif karbon, jauh lebih penting adalah
demi kehidupan generasi mendatang, menyelematkan lingkungan dari segala kerusakan
hutan dan lahan yang bisa menimbulkan peningkatan gas emisi. Dalam posisi ini,
apabila SRAP REDD+ Kalbar bisa terwujud, bukan hanya untuk kesejahteraan rakyat
Kalbar semata, melainkan untuk kehidupan dunia global ini.
xiv
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
DAFTAR ISI
Nomor
Tubuh Utama
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Singkatan
Halaman
ii
iv
vi
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Dasar Hukum
1.3 Ruang Lingkup
1.4 Metodologi
I-1
I–6
I–7
I–8
BAB II PROFIL DAERAH DAN PERMASALAHAN EMISI GRK
2.1 Kondisi wilayah
2.1.1 Kondisi Perubahan Tutupan Lahan 2.1.2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Statusnya
2.2 Degradasi dan Deforestasi 2.2.1 Pelepasan Kawasan Hutan
2.2.2 Penebangan Kayu
2.2.3 Kebakaran Hutan dan Gambut
2.2.4 Pinjam Pakai Kawasan 2.3 Kompleksitas faktor penyebab degradasi dan deforestasi di Indonesia
II – 1
II – 3
II – 3
II – 5
II – 7
II – 8
II – 10
II – 12
II – 13
BAB III RENCANA NASIONAL PENGURANGAN EMISI DAN POSISI DAERAH
3.1 Strategi Nasional REDD+
III – 1
3.2 Posisi SRAP REDD+
III – 3
3.3 Kepentingan dan Posisi SRAP REDD+ dalam RAD GRK dan
Perencanaan Pembangunan III – 6
3.4 Kesiapan dan Peluang Kalbar dalam Implementasi REDD+
III – 11
BAB IV STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+KALBAR
4.1 Landasan Pikir Pengembangan SRAP REDD+ Kalbar
IV – 1
4.2 Metode Penetapan SRAP REDD+ Kalbar
IV – 3
4.2.1. Identifikasi isu utama
IV – 3
4.2.2. Identifikasi Sebab dan Akar Masalah
IV – 8
4.2.3. Penetapan Strategi dan Rencana Aksi
IV – 15
4.3 Strategi Pemenuhan Prasyarat Penerapan REDD+
IV – 15
4.4 Strategi Penguatan Kondisi Pemungkin Penerapan REDD+
IV – 20
4.5 Strategi Investasi Rendah Karbon Hutan
IV – 29
4.5.1. Program Perbaikan Tata Kelola Hutan Produksi
IV – 29
4.5.2. Program Perbaikan Tata Guna Lahan dan Perkebunan Kelapa Sawit IV – 30
4.5.3. Program Perbaikan dan Penguatan Tata Kelola Hutan IV – 31
4.5.4. Program Pencegahan Kebakaran hutan dan lahan Gambut
IV – 33
4.5.5. Program Efektifitas Peningkatan Pertanian Berkelanjutan IV – 33
4.5.6. Program Rehabilitasi Lahan Gambut Terdegradasi
IV – 34
4.5.7. Program Perbaikan Tata Guna Lahan dan Tata Kelola Pertambangan IV – 35
xv
4.6
4.7
4.8
4.9
Strategi Perhitungan, Pelaporan dan Verifikasi
Struktur Kelembagaan Pengelolaan Program
4.7.1. Fungsi Pengumpulan dana dan alokasi 4.7.2. Fungsi Pemantauan dan Evaluasi
4.7.3. Fungsi Kebijakan dan Perencanaan Tata Ruang
4.7.4. Fungsi Pelibatan masyarakat
4.7.5. Fungsi Dukung Sarana dan Prasarana
4.7.6. Fungsi Dukungan Sumber Penghidupan Berkelanjutan
Pendekatan pelaksanaan program
Kerangka Pengaman Sosial (Safeguard) dan Lingkungan
4.9.1. Penerapan Padiatapa
4.9.2.Memenuhi Prasyarat Kerangka Pengaman Sosial dan Lingkungan
BAB V PENGUKURAN, PELAPORAN DAN VERIFIKASI
5.1 Pengembangan Instrumen dan Kelembagaan MRV
5.2 Prosedur Pengukuran Emisi yang digunakan
5.3 Prosedur Menghadapi Verifikasi Emisi Karbon
54 Perhitungan MRV untuk BAU dan Mitigasi
5.4.1. Perhitungan MRV Untuk BAU
5.4.2. Perhitungan MRV untuk Mitigasi dan Manajemen Sequestrasi
IV – 35
IV – 36
IV – 38
IV – 39
IV – 39
IV – 40
IV – 40
IV – 41
IV – 41
IV – 42
IV – 42
IV – 43
V–1
V–4
V – 12
V – 13
V – 14
V – 15
BAB VI ARAH DAN PROGAM STRATEGI REDD + KALIMANTAN BARAT
6.1 Strategi Pengembangan Kelembagaan REDD+ dan Sinergi Kebijakan
VI – 1
6.2 Pengembangan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berkelanjutan Bagi
Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan
VI – 8
VI – 9
6.3 Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Hutan
6.4 Mengutamakan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Lokal Dalam Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan dan Distribusi Manfaat REDD+
VI – 9
6.5 Pengembangan Skema-Skema Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM)
VI – 10
BAB VII PENUTUP
LAMPIRAN
xvi
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
DAFTAR TABEL
Nomor
Tabel 1.1
Tabel 1.2
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 2.5
Tabel 2.6
Tabel 2.7
Tabel 2.8
Tabel 2.9
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
Tabel 5.7
Tabel 5.8
Tabel 5.9
Tabel
5.10
Tabel 5.11
Tubuh Utama
Perubahan Pandangan Mengenai Penyebab Deforestasi di Indonesia
Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan Barat
Luas masing-masing kabupaten/kota di Kalbar
Perubahan penutupan lahan dari tahun 2006 – 2011
Status fungsi kawasan di Kalimantan Barat
Laju deforestasi dan degradasi Hutan Kalbar dari tahun 2006 –
2011 (Hektar)
Rerata Laju Per Tahun Degradasi dan Deforestasi Hutan Menurut
Kabupaten/Kota Se-Kalbar (Ha/Tahun)
Pelepasan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Barat Tahun
2006-2011
Data produksi kayu bulat tahun 2008 – 2011
Luas kebakaran hutan dan gambut
Beberapa kasus rendahnya margin yang diterima produsen
Target penurunan emisi nasional
Target penurunan emisi dalam RAD GRK Provinsi Kalimantan
Barat
Pengelompokan isu-isu Utama Sektor Berbasis Lahan di Kalbar
Beberapa Sektor, isu, Sebab dan Akar Masalah Detorestasi dan
Degradasi di Kalimantan Barat
Matrik rencana aksi pemenuhan prasyarat SRAP REDD+Kalbar
Matrik Rencana Aksi Penguatan Kondisi Pemungkin SRAP
REDD+Kalbar
Sub-sistem MRV Provinsi Kalbar
Nilai Cadangan Karbon Per Tipe Tutupan Lahan Pool AGB (Above
Ground Biomass) Ton/Hektar
Matrik Emisi Gambut (Ton/Hektar)
Aksi Mitigasi Pada Masing-Masing Kegiatan
Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Penurunan Emisi (ton CO2 eq)
Pertumbuhan Riap dari Tahun ke Tahun dalam hubungannya
dengan sequestrasi CO2 (eq) TPTII C = 141,07 riap = 7,11 ton/ha
Pertumbuhan Riap dari Tahun ke Tahun dalam hubungannya
dengan sequestrasi CO2 (eq) TPTI C = 97,99 riap = 1,45 ton/ha
Sebaran Luas Kegiatan Mitigasi di Tiap-Tiap Kabupaten Sampai
Tahun 2020 (Hektar)
Luas Hutan Alam Yang Dipertahankan Dengan Management”
(Hektar)
Kontribusi Kabupaten Terhadap Penurunan Emisi GRK Provinsi
Kalbar
Pengaruh Kebijakan Moratorium (PIPIB 4) Terhadap Mitigasi
Landbase
Halaman
I–2
I–3
II – 1
II – 3
II – 4
II – 5
II – 6
II – 7
II – 8
II – 11
II – 14
III – 4
III – 4
IV – 4
IV – 9
IV – 17
IV – 21
V–3
V – 14
V – 14
V – 15
V – 17
V – 18
V – 18
V – 19
V – 20
V – 22
V – 23
xvii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Gambar 1.1
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Tubuh Utama
Halaman
Diagram Metodologi Perìyusunan SRAP REDD+ Kalbar
I – 10
Peta Administrasi Kalimantan Barat
II – 2
Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2006 dan 2011
II – 3
Simulasi Membedakan Posisi Degradasi dan Deforestasi
II – 5
Dalam Konteks REDD+
Gambar 2.4 Grafik Degradasi dan Deforestasi Masing-Masing Kabupaten/
II – 6
Kota di Kalbar (Hektar/Tahun)
Gambar 2.5 Peta Sebaran IUPHHK-HA di Kalimantan Barat
II – 9
Gambar 2.6 Peta Sebaran IUPHHK-HT di Kalimantan Barat
II – 10
Gambar 2.7 Peta Sebaran Hutan Rawa di Kalimantan Barat
II – 12
Gambar 2.8 Faktor penyebab degradasi dan deforestasi di Indonesia
II – 13
Faktor penyebab degradasi dan deforestasi di Indonesia
Gambar 3.1
Kerangka Strategi Nasional REDD+ dengan Lima Pilar Utama
III – 2
Strategi Program (Satgas REDD+ Indonesia, 2012
Gambar 3.2 Kepentingan, Posisi dan Peran SRAP REDD+ Dalam RAD- III – 7
GRK, Perencanaan Pembangunan Daerah dan Stranas REDD+
Gambar 3.3 Posisi SRAP REDD+ dalam Kerangka Perencanaan
III – 10
Pembangunan Daerah dan Implementasi RAD GRK Provinsi
Kalbar
Gambar 4.1
Hubungan antara Visi, Misi dan Tujuan dalarn rangka
IV – 2
Menetapkan Strategi dan Rencana Aksi SRAP REDD+Kalbar
Gambar 4.2 Klasifikasi Provinsi Berdasarkan Subjek dan Tekanan Atas
IV – 8
Kawasan
Gambar 4.3 Analisis Tulang Ikan (Fish Bond Analysis) Deforestasi dan
IV – 14
Degradasi Hutan di Provinsi Kalbar
Gambar 4.4 Struktur lembaga BP REDD+ Kalbar
IV – 37
Gambar 5.1
Metode Penghitungan Estimasi di Tingkat Bentang Lahan
V–4
Gambar 5.2 Pentahapan Umum Rencana Perhitungan Emisi
V–5
Gambar 5.3 Mekanisme Pelaporan Hasil Pemantauan dan Evaluasi Emisi
V – 10
Gambar 5.4 Metodologi Perhitungan Untuk MRV Kalbar Antara BAU dan
V – 13
Mitigasi
Gambar 5.5 BAU Land Base Carbon Stok
V – 15
Gambar 5.6 Hasil Mitigasi Baseline
V – 16
Gambar 5.7 Mitigasi Landbase + Management Periode I (2011-2015)
V – 20
Gambar 5.8 Mitigasi Landbase + Management Periode II (2016-2020)
V – 21
Gambar 5.9 Hasil Mitigasi Baseline Dengan Memasukkan Faktor
V – 21
“Manajemen” Dalam Perhitungan ABACUS
Gambar 5.10 Grafik Kontribusi Kabupaten Terhadap Penurunan Emisi GRK
V – 22
Provinsi Kalbar
xviii STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
DAFTAR SINGKATAN
AMDAL
: Analisi Mengenai Dampak Lingkungan
APL
: Areal Penggunaan Lain
ASF:
Amazonas Sustainable Foundation
BAU:
Business As Usual
BBM
: Bahan Bakar Minyak
BKSDA
: Badan Konservasi Sumber Daya Alam
BLH
: Badan Lingkungan Hidup
BPKH
: Balai Pemantapan Kawasan Hutan
BUMN
: Badan Usaha Milik Negara
CA
: Cagar Alam
CDM A/R : Clean Develoment Mechanism for Afforestation and Reforestation
CER:
Certified Emission Reduction
COP
: Conforence of the Parties
CSO:
Civil Society Organization
DAS
: Daerah Aliran Sungai
Disbun
: Dinas Perkebunan
FAO:
Food Agriculture Organization
FGD:
Focused Group Discussion
GIS:
Geographic Information System
GRK
: Gas Rumah Kaca
G to G
: Goverment to Goverment
HCFC-22 : Hidrofluorokarbon
HCVF
: High Conservation Value Forest
HHBK
: Hasil Hutan Bukan Kayu
HL
: Hutan Lindung
HLKP
: Hutan Lahan Kering Primer
HLKS
: Hutan Lahan Kering Sekunder
HMP
: Hutan Mangrove Primer
HMS
: Hutan Mangrove Sekunder
HP
: Hutan Produksi
HPK
: Hutan Produksi Konversi
HPT
: Hutan Produksi Terbatas
HKm
: Hutan Kemasyarakatan
HPH
: Hak Penguasaan Hutan
HRP
: Hutan Rawa Primer
HRS
: Hutan Rawa Sekunder
HT
: Hutan Tanaman
HTI
: Hutan Tanaman Industri
ILEM:
Intelligent Learning Environment Model
IPK
: Ijin Pemanfaatan Kayu
IPM
: Indeks Pembangunan Manusia
IPEM:
Integrated Power Electronic Module
KKI
: Komunitas Konservasi Indonesia
BAB I
xix
: Kajian Lingkungan Hidup Strategis
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
LULUCF : Land Use Land Use Change and Forestry
MK
: Mahkamah Konstitusi
MODEF:
Mouvement de défense des exploitants familiaux
MRV:
Measurement Reporting Verification
FOB
: Free On Board
NALEM:
Newfoundland and Labrador Econometric Model
NAPEM:
National Alliance for Photonics Education in Manufacturing
PADIATAPA : Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan
PES:
Payment for Environmental Service
PETI
: Pertambangan Emas Tanpa Izin
PHPL
: Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
PLK
: Pertanian Lahan Kering
PLKC
: Pertanian Lahan Kering Campur
POKJA
: Kelompok Kerja
PPHBD
: Perlindungan dan Pengamanan Hutan Berbasis Desa
PUP
: Petak Ukur Permanen
QA:
Quality Assurance
QC:
Quality Control
REDD+:
Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus
RHL
: Rehabilitasi Hutan dan Lahan
RL:
Reference Level
RPJPD
: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RPPLH
: Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
RTRW
: Rencana Tata Ruang Wilayah
SDH
: Sumber Daya Hutan
SDM
: Sumber Daya Manusia
SKAU
: Surat Keterangan Asal-Usul
SKPD
: Satuan Kerja Perangkat Daerah
SVLK
: Sistem Verifikasi Legal Kayu
TPA
: Tempat Pembuangan Akhir
WALHI
: Wahana Lingkungan Hidup
WUP
: Wilayah Usaha Pertambangan
WWF:
World Wildlife Fund
VCS:
Verified Carbon Standard
ZA
: Zwavelzure Ammoniak
KLHS
xx
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor Kehutanan dalam konteks perubahan iklim termasuk ke dalam sektor
LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) adalah salah satu sektor penting
yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Kehutanan
memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Sampai saat ini kontribusi sektor
kehutanan dalam emisi GRK cukup besar, yaitu sekitar 47,12 % (KLH, 2009). Besarnya
emisi ini, terutama dari deforestasi. Selain dari deforestasi, kontribusi GRK dari sektor
LULUCF berasal dari kebakaran lahan gambut dan lahan gambut yang diolah.Beberapa
faktor pemicu deforestasi dan degradasi yaitu penebangan liar, kebakaran hutan, dan
konversi lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan penutupan
lahan dengan cadangan karbon lebih rendah seperti untuk perkebunan dan pertanian,
pemekaran wilayah (kabupaten), pertambangan dan pemukiman.Sumber emisi sektor
kehutanan selain CO2 adalah N2O dan CH4. Gas-gas ini memiliki potensi pemanasan
global yang lebih besar dibandingkan dengan CO2.
Sektor kehutanan dan lahan gambut di Indonesia merupakan sektor memiliki
potensi besar untuk upaya reduksi emisi karbon. Hal ini mengingat kontribusi emisi
sektor ini 60% dari total emisi. Pengurangan emisi ini dilakukan melalui mekanisme
untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan serta lahan gambut, upaya
konservasi ekosistem, pengelolaan hutan secara lestari, peningkatan cadangan karbon.
Pada tataran internasional, mekanisme tersebut dikenal dengan nama Reducing
Emissions from Deforestation and Degradation Plus (REDD+) yang konsepnya diakui
dalam pertemuan antar pihak atau COP13 di Bali tahun 2007.
Menurut Ahmad Sumitro (2005) laju kerusakan hutan tropis dimulai dari
kerusakan ekosistem hutan (degradasi) dan penggundulan serta perombakan hutan
(deforestasi). Kehilangan total terjadi jika hutan alam dikonversi untuk penggunaan
lain (Perkebunan, Pertanian) atau sengaja dibakar, baik direncanakan ataupun tidak
dirancanakan. Kerugian ekologis dapat terjadi pada hutan yang mengalami degradasi
akibat ulah manusia antara lain pembalakan dan pengambilan hasil hutan lain yang
destruktif. Dengan demikian, mempertahankan keberadaan hutan (alam) dan menjaga
kualitas hutan alam tersebut dari berbagai gangguan menjadi tujuan yang paling
mendesak terutama dengan situasi belakangan ini.Tidak dapat dihindari lagi bahwa
krisis moneter telah memengaruhi kelangsungan hutan dan kekayaan ekosistem yang
dikandungnya.Gangguan atau penyebab rusaknya hutan tropis sudah banyak diteliti
oleh berbagai lembaga dengan kesimpulan yang berbeda-beda. Tabel berikut menyajikan
adanya perubahan pandangan mengenai penyebab deforestasi di Indonesia sejalan
dengan waktu, seperti disajikan pada tabel berikut :
BAB I
1
Tabel 1.1 Perubahan Pandangan Mengenai Penyebab Deforestasi di Indonesia
Jenis Penyebab
Penyebab yang
Pelaku
mendasari Deforestasi
Sumber
Petani Rakyat
Perkebunan
Sistem
Transmigran Transmigran dan Tanaman
Perladangan
Keras
spontan
Umum
Berpindah
Industri
Perkayuan
Pemerintah/ Perkembangan
Politik
Ekonomi
World Bank
1990
FAO 1990
WALHI 1990
Barbier et.al
1993
World Bank
1994
MOF 1995
Dampak
dilebihkan
Pertumbuhan kepadatan penduduk
dianggap penyebab paling penting
Dampak
dilebihkan
Dampak
dilebihkan
Dampak
dilebihkan
Ross 1996
Fraser 1996
Koalisi Penguasa
Kepadatan
Penduduk
Dampak
dilebihkan
Sumber : Occasional Paper CIFOR No. 9 (1) Tahun 1997
Ket : Petak yang diberi warna gelap menunjukkan bentuk pelaku/penyebab yang memegang peran
utama dalam deforstasi
Tabel di atas menunjukkan adanya pergeseran pendapat tentang penyebab
deforestasi. World Bank dan FAO mengatakan Penyebab utamanya adalah perladangan
berpindah, WALHI cenderung konsisten yaitu bahwa perusak hutan alam yaitu industri
perkayuan. Barbier berpendapat adanya korelasi negatif antara luasanya tutupan hutan
dengan kepadatan akibat pertambahan penduduk. Pertambahan jumlah penduduk,
ekonomi, industri dan tingkat kesejahteraan hidup akan membuat konsumsi hasil
hutan terutama kayu menjadi lebih tinggi sehingga menekan kemampuan hutan agar
pertumbuhan dapat mengikuti permintaan.
Keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia diharapkan tidak hanya
berujung pada manfaat berupa reduksi emisi karbon, akan tetapi juga peningkatan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maupun masyarakat di sekitar hutan
secara khusus dan keutuhan fungsi ekosistem. Hal ini ditandai oleh tingginya nilai
keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnnya. Kemudian, diharapkan menjadi
manfaat tambahan (co-benefit) dari implementasi REDD+. Dalam hal ini implementasi
REDD+ dipandang sebagai suatu kesempatan dalam rangka transisi menuju Ekonomi
Hijau yang rendah karbon.
Dengan luas hutan kurang lebih 9, 2 juta hektar dan lahan gambut 1,7 juta hektar,
emisi GRK di Kalimantan Barat (Kalbar) diperkirakan signifikan untuk dikelola. Sejalan
dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi GRK sebesar 26% secara
2
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
mandiri, dan menjadi sebesar 41% dengan bantuan negara lain, maka perlu disusun
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) sektor Kehutanan dan Lahan Gambut di
Kalbar.
Sektor kehutanan dan lahan gambut di Kalbar berperan penting bagi penyimpanan
karbon. Karena itu, apabila ada gangguan (disturbances) akan rentan menjadi sumber
emisi karbon. Luas hutan di Kalbar ditetapkan 9,2 juta hektar (SK Menteri Kehutanan
dan Perkebunan No. 259/2000). Rincian kawasan hutan menurut Surat Keputusan
tersebut disajikan pada Tabel berikut :
Tabel 1.2 Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan Barat
Status Kawasan
Cagar Alam
Taman Nasional
Taman Wisata Alam
Suaka Alam Daratan
Suaka Alam Perairan
Hutan Lindung
Hutan Produksi Terbatas
Hutan Produksi
Hutan Produksi Konversi
Jumlah
Luas (Ha)
153.225
1.252.895
29.310
22.215
187.885
2.307.045
2.445.985
2.265.800
514.350
9.178.760
Sumber : Peta penunjukkan kawasan hutan dan perairan provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000
Deforestasi dan degradasi hutan yang saat ini secara nasional masih berada pada
kisaran 700.000-800.000 hektar per tahun. Penyebabnya tidak hanya illegal logging
berlebihan, juga akibat tumpang tindih lahan serta konversi kawasan atau areal berhutan
ke sektor-sektor berbasis lahan. Mestinya, fungsi hutan dalam mempertahankan daya
dukung lingkungan, keanekaragaman hayati menjadi pertimbangan. Bukan untuk
mengukur pertumbuhan ekonomi berkelanjutan saja, melainkan menjadi jaminan
kualitas kehidupan masyarakat dan lingkup lokal dan nasional, tidak ketinggalan
komunitas global. Sebagai catatan, Indonesia memiliki lahan kritis mencapai hampir
seluas 60 juta hektare. Tentunya persoalan tersebut menjadi perhatian dalam
penyusunan SRAP REDD+ Kalbar.
Ancaman deforestasi dan degradasi hutan makin nyata. Hal tersebut bisa
mengancam peningkatan emisi karbon. Bisa juga menimbulkan penurunan kemampuan
hutan untuk menyerap dan menyimpan karbon serta gas buang dan industri dan
transportasi akan terganggu. Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terluas ketiga di
dunia setelah Brazil dan Zaire perlu upaya untuk mencegah deforestasi dan degradasi
hutan. Indonesia sendiri telah berkomitmen pada dunia siap menurunkan emisi gas
26%. Itu dengan upaya sendiri. Apabila ada dukungan dari negara lain, penurunan bisa
meningkat menjadi 41% pada tahun 2020.
Sektor kehutanan menjadi bagian terpenting dalam penurunan gas emisi. Secara
nasional penurunan emisi sektor kehutanan ditargetkan 14,0% - 35,8%. Landasan
menargetkan sebesar angka tersebut, pertama deforestasi di negara-negara berkembang
menyumbang hingga 20% dan emisi Karbon Dioksida (CO2) global. Kedua, karbon
BAB I
3
tersimpan di dalam ekosistem hutan (“4.5O0 Gt CO2) atau satu setengah kali lebih besar
dari pada yang ada di atmosfir (‘3.000 Gt CO2) (SRAP REDD+ Kaltim, 2013).
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Kemenpenas/ Bappenas) pasca COP 15 UNFCCC merumuskan
Rencana Aksi Nasionat Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) 2010-2020. Pada
level provinsi disusun juga Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK. Kebijakan tersebut bersifat
menyeluruh, seperti pengelolaan lahan gambut, penanganan limbah, pengembangan
program sektor kehutanan, pertanian, industri, transportasi, dan energi.
Rupanya, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4) melalui Badan Pengelola (BP) REDD+ menyusun Strategi
Nasional Pengurangan Emisi dan Deforestasi dan Degradasi Hutan (Stranas REDD+).
Untuk implementasinya bagi Kalbar dikenal Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+.
Adanya SRAP REDD+ Kalbar memberikan manfaat:
1. Memadukan program RAN GRK; Stranas REDD+ dengan program yang ada di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota berkaitan dengan sumber daya alam dalam
upaya pelestarian lingkungan dan pengurangan emisi;
2. Menjadi referensi bagi pembuat program di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di
Kalbar dalam menyusun program berkaitan dengan pengurangan emisi;
3. Mensinergikan RAN GRK, Stranas REDD+ dengan RAD GRK Kalbar dan RPJMD
Kalbar dengan visi “Mewujudkan Masyarakat Kalimantan Barat yang Beriman,
Sehat, Cerdas, Aman, Berbudaya dan Sejahtera”. Sedangkan salah satu misinya,
“Melaksanakan pengendalian dan pemanfaatan tata ruang dan tata guna wilayah
sesuai dengan peruntukan dan regulasi, guna menghindari kesenjangan wilayah
dan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan”.
Landasan utama tersebut menjadi rujukkan untuk untuk merumuskan SRAP
REDD+ Kalbar. Visi, misi, dan tujuan SRAP REDD+ Kalbar yang disusun tentunya
tidak keluar dari RPJMD Kalbar serta Stranas REDD+. Visi, misi, dan tujuan Stranas
REDD+ bertumpu pada pertama, sumber daya alam hutan dan lahan gambut sebagai
asetnasional. Kedua, pengelolaan berkelanjutan. Ketiga, untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Sedangkan misinya bertumpu, pertama pada pemantapan
fungsi. Kedua, penyempurnaan peraturan perundanganan penegakan hukum, Ketiga,
peningkatan kapasitas pengelolaan. Tujuannya Stranas REDD+ terbagi tiga kurun
waktu, yaitu Jangka Pendek (2013-2015), Jangka Menengah (2013- 2020), dan Jangka
Panjang (2013-2030).
Sedangkan untuk SRAP REDD+ Kalbar visinya, “Menuju Kalimantan Barat
Hijau untuk Indonesia dan Kesejahteraan Masyarakat”. Untuk misinya sebagai berikut:
1. Mengefektifkan instansi, lembaga, dan organisasi yang berkaitan dengan
pengelolaan hutan dan lahan dalam pengurangan emisi;
2. Merencanakan dan menata kegiatan yang berbasis hutan dan lahan dalam rangka
pengurangan emisi;
4
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
3. Melaksanakan peraturan/perundangan dan mendorong penègakan hukum di
bidang pengelolaan hutan dan penggunaan lahan guna pengurangan emisi;
Untuk tujuannya:
1. Jangka Pendek (2013-2016)
- Mengkoordinasikan antarlembaga pemerintah dari tingkat provinsi dan
kabupaten/kota serta lembaga atau organisasi yang berorientasi menjaga
lingkungan hidup untuk bersama-sama mendukung pencapaian komitmen
Indonesia dalam penurunan emisi 26% secara mandiri dan 41% bila ada
bantuan negara lain.
- Membentuk Badan Pengelola (BP) REDD+ Kalbar
- Menyusun dan merencanakan program kerja BP REDD+ Kalbar
- Mensosialisasikan program kerja BP REDD+ Kalbar
2. Jangka Menengah (2013-2020)
- Penataan dan pengelolaan tata ruang wilayah berbasis lahan dan gambut
- Implementasi program kerja BP REDD+ dalam rangka penurunan emisi
- Terlaksana pembangunan Kalbar rendah karbon dan memberikan
kontribusi terhadap target nasional dalam penurunan emisi
3. Jangka Panjang (2013-2030)
- Hutan dan lahan gambut yang berada di Provinsi Kalbar menjadi kawasan
rendah emisi (emiter), menyerap karbon maksimal (sequestration) dan
menyimpan karbon maksimal (net carbon sink) pada tahun 2030.
- Pembangunan berkelanjutan dengan fungsi dan jasa ekosistem hutan lestari
bagi peningkatan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat.
1.2. Dasar Hukum
Dasar Hukum dalarn rangka penyusunan SRAP REDD+ Kalbar sesuai dengan
hierarkinya adalah sebagai benikut:
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria
danPengelolaan Sumber Daya Alam jo. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan
RakyatSementara dan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik
IndonesiaTahun 1960 sampai dengan tahun 2002;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang
PeraturanDasarPokok Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor
104;Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekòsistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor S Tahun 1994 Tentang Pengesahan
Korivensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Keragaman Hayati;
BAB I
5
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1994 tentang PengesahanUnited
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC);
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
NegaraNomor (3888);
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pengelolaan
Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4286);
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 Tentang Pengesahan
Protocol Kyoto dalam UNFCCC;.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan;
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421);
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang
Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Tahun 2005 Nomor 108 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 126, Támbahan Lembaran Negara Nomor 4438);
14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang (Lembaran NegaraTahun 2007 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4725);
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-PuIau Kecil (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 84;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739);
16. Undang-Undang Republik Indonesia
Meteorologi,Klimatologi dan Geofisika;
Nomor
31
Tahun
2009
tentang
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Tahun 2009Nomor 140);
18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12. Tahun 2011 tentangPembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan Jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
60Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45
6
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Tahun2004 Tentang Perlindungan Hutan;
20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2005 tentang
Hibah(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara
Nomor577);
21. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentangPengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 140,Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4578);
22. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentangPembagian
Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsidan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor82, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4737);
23. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2008 tentangTahapan,
Tata Cara Penyusunan Pengendalian dan Evaluasi PelaksanaanPembangunan
Daerah;
24. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 tentangPenguatan
Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah;(26) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentangPengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlestarian Alam (LembaranNegara Tahuri
2012 Nomor 56; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5217;
25. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang
RencanaPembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014;(28)
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentangPenggunaan
Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah;
26. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun’2011 tentang RencanaAksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK);
27. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011 tentangInventarisasi
Nasional Gas Rumah Kaca;
28. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung;
29. lnstruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Pemberantasan Penebangan
Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah
Republik Indonesia;
30. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut;
31. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 2006
Tanggal 26 September 2006 Tentang Pemanfaatan Dan Peredaran Kayu BelianDalam
Wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
32. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun
Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.
1998
BAB I
7
33. Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2009 Tentang Prosedur Tetap
Mobilisasi Pengendalian Kebaran Hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat.
34. Surat Keputusan Gubernur No. 35 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Verifikasi Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa Di Provinsi Kalimantan
Barat.
35. Peraturan Gubernur Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Penurunan emisi Gas Rumah
kaca Provinsi Kalimantan Barat
36. Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri RI Nomor 660/ 95/ SJ/ 2012, Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 0005/ M.PPN/ 01/ 2012 dan Menteri
lingkungan Hidup RI Nomor 01/ MenLH/ 01/ 2012 perihal Penyusunan Rencana
Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) tanggal 11 Januari
2012.
1.3. Ruang Lingkup
1. Penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut
2. Pengoptimalan kadangan karbon melalui konservasi dan pengelolaan hutan,
rehabilitasi dan perbaiki kawasan hutan yang rusak.
3. Peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal, kelestarian
keanekaragaman hayati, dan produksi jasa ekosistem.
1.4. Metodologi
Dalam penyusunan dokumen SRAP REDD+ Kalbar ada beberapa tahapan yang
dilakukan. Berawal dari pedoman Stranas REDD+, dari dokumen itulah tim penyusun
mempelajari dan merencanakan penyusunan draf Dokumen SRAP REDD+ Kalbar.
Sebagai tahapan pertama dilakukan Kick Off penyusunan SRAP REDD+ Kalbar di Hotel
Mercure Pontianak, 4 April 2013. Pada tahapan perdana ini mengundang perwakilan
instansi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang berhubungan dengan lahan
dan gambut yang berkaitan erat dengan penurunan gas emisi. Tidak hanya itu,
juga mengundang lembaga atau organisasi swasta yang peduli terhadap kelestarian
lingkungan. Pihak UKP4 hadir untuk memberikan panduan dan cara menyusun
dokumen SRAP REDD+.
Setelah kick off, tim beberapa kali melakukan Focus Discussion Group (FGD)
dengan mengundang pakar lingkungan hidup, tata ruang, kehutanan, ahli gambut,
pencinta lingkungan, dan sebagainya. Berikutnya dilakukan konsinyuasi untuk
mendapatkan masuka dan saran dari berbagai pihak untuk penyempurnaan dokumen.
Untuk menguji apa yang telah disusun sementara, lalu digelar public hearing
dengan melibatkan para pihak yang mengerti dan memahami persoalan hutan, gambut,
emisi, tata ruang, hukum, dan praktisi lingkungan hidup. Itu dilakukan untuk lebih
8
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
memantapkan dokumen yang telah disusun. Dari masukkan dan saran yang didapatkan
selama public hearing, tim kemudian mengolah kembali dokumen untuk memasukkan
yang belum sempurna, dan membuang apa yang tidak perlu.
Usai perbaikan dokumen pasca public hearang, sebagai langkah terakhir, tim
menggelar konsultasi publik. Kegiatan ini lebih dimaksudkan untuk mendapatkan saran
dan masukkan dari instansi pemerintah terkait se-Kalbar serta penggiat lingkungan
hidup yang lebih purna. Bagaimanapun, dokumen SRAP REDD+ Kalbar begitu disahkan
akan menjadi pedoman utama bagi seluruh instansi pemerintah maupun swasta dalam
upaya menurunkan gas emisi. Untuk itu, dokumen harus bisa mengakomodir segala
saran, nasihat, masukkan, serta usulan dari berbagai pihak yang diundang. Harapan
terbesar, dokumen yang disusun dalam waktu cukup lama bisa dioperasionalkan atau
diimplementasikan dengan mudah oleh semua pihak.
Setelah konsultasi publik, tim tinggal melakukan analisis ulang dengan
memasukkan saran dan masukkan dari berbagai pihak lewat konsultasi publik itu.
Berikutnya adalah penyelesaian dokumen. Apabila dokumen sudah selesai, lalu
diserahkan ke pihak UKP4 untuk ditindaklanjuti.
Inputs RAD GRK
Dan Renbangda
Stranas dan
Peraturan
Kebijakan Nasional
1. Kick Off penyusunan SRAP
Arahan SRAP
REDD+
2. FGD
Dokumen dan
Peraturan
Kebijakan Provinsi
Draft Dokumen
SRAP REDD+
3. Konsinyuasi
5. Konsultasi Publik
Dokumen SRAP
REDD+
4. Public Hearing
Inputs
Implementasi
Program Parapihak
Gambar
1.1.
DiagramMetodologi
Metodologi Perìyusunan
Perìyusunan SRAP
Kalbar
Gambar
1.1.
Diagram
SRAPREDD+
REDD+
Kalbar
BAB I
9
10
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
BAB II
PROFIL DAERAH DAN
PERMASALAHAN EMISI GRK
2.1.
Kondisi Wilayah
Propinsi Kalimantan Barat (Kalbar) terletak di bagian barat Pulau Kalimantan
atau diantara garis 2o08” LU serta 3o05’ LS serta di antara 108o0’ BT 114o10’ BT pada peta
bumi. Berdasarkan letak geografis itu, Kalbar tepat dilalui oleh garis Khatulistiwa (garis
lintang 0o) tepatnya di atas Kota Pontianak. Kalbar juga salah satu daerah tropis dengan
suhu udara cukup tinggi serta diiringi kelembaban tinggi. Ciri-ciri spesifik lainnya adalah
wilayah Kalbar termasuk salah satu propinsi di Indonesia yang berbatasan langsung
dengan negara asing, yaitu dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Dengan
posisi ini, Kalbar kini merupakan satu-satunya propinsi di Indonesia yang secara resmi
telah mempunyai akses darat untuk masuk dan keluar dari negara asing.
Sebagian besar wilayah Kalbar merupakan daratan berdataran rendah dengan
luas sekitar 146.807 km2 atau 7.53 persen dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas Pulau
Jawa. Wilayah ini membentang lurus dari Utara ke Selatan sepanjang lebih dari 600 km
dan sekitar 850 km dari Barat ke Timur. Dilihat dari besarnya wilayah, Kalbar termasuk
provinsi terbesar ke empat di Indonesia. Pertama adalah Provinsi Papua (319.036 km2),
kedua Provinsi Kalimantan Timur (204.534 km2) dan ketiga adalah Provinsi Kalimantan
Tengah (153.564 km2). Batas lengkapnya, untuk bagian utara berbatasan langsung
dengan Sarawak Malaysia. Bagian selatan dengan Laut Jawa dan Kalimantan Tengah.
Bagian timur Kalimantan Tenga, dan bagian barat Laut Natuna dan Selat Karimata
Kalbar memiliki administrasi pemerintahan daerah berjumlah 14 kabupaten/
kota. ta. Kabupaten Ketapang adalah daerah terluas 31.240,74 km2 atau 21,28 persen.
Diikuti Kabupaten Kapuas Hulu 29.842 km2 atau 20.33 persen dan Kabupaten Sintang
21.635 km2 atau 14,74 persen. Lebih lengkap luas daerah masing-masing kabupaten/
kota di Kalbar sebagai berikut:
Tabel 2.1. Luas Kabupaten/kota di Kalbar
Luas
Kabupaten/kota
Kabupaten Sambas
Kabupaten Bengkayang
Kabupaten Landak
Kabupaten Pontianak
Kabupaten Sanggau
Kabupaten Ketapang
Kabupaten Sintang
Kabupaten Kapuas Hulu
Kabupaten Sekadau
Kabupaten Melawi
Luas (Ha)
6.394.70
5.397.30
9.909.10
1.276.90
12.857.70
31.240.74
21.635.00
29.842.00
5.444.30
10.644.00
Persentase terhadap
Luas Propinsi (%)
4,36
3,68
6,75
0,87
8,76
21,28
14,74
20,33
3,71
7,25
BAB II
11
Luas
Kabupaten/kota
Kabupaten Kayong Utara
Kabupaten Kubu Raya
Kota Pontianak
Kota Singkawang
Luas (Ha)
4.568.26
6.985.20
107.8
504
Persentase terhadap
Luas Propinsi (%)
3,11
4,75
0,07
0,34
Sumber: Kalimantan Barat dalam Angka 2011
Gambar 2.1 Peta Administrasi Kalimantan Barat
12
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
2.1.1. Kondisi Perubahan Tutupan Lahan
Data perubahan penutupan lahan kawasan hutan yang ada di Kalbar didasarkan pada
analisis GIS dari tahun 2006-2011 hasil citra satelit pengindraan jauh (balai planologi
kehutanan 2005 dan 2010) sebagai berikut:
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Tabel 2.2. Perubahan Penutupan Lahan dari Tahun 2006 - 2011
Tahun (Hektar)
PENUTUPAN LAHAN
2006
2011
Air
139,778.96
139,778.96
Bandara
64.30
64.30
Belukar Rawa
775,609.07
773,163.00
Hutan Lahan Kering Primer
2,302,994.15
2,299,181.93
Hutan Lahan Kering Sekunder
2,552,863.79
2,394,571.03
Hutan Mangrove Primer
34.25
34.25
Hutan Mangrove Sekunder
115,387.91
113,822.85
Hutan Rawa Primer
27,997.23
26,766.10
Hutan Rawa Sekunder
1,690,830.15
1,481,308.75
Hutan Tanaman
12,299.73
12,299.73
Perkebunan
429,126.92
799,266.87
Permukiman
38,277.79
38,277.79
Pertambangan
59,884.46
98,071.63
Pertanian Lahan Kering
228,833.62
230,109.62
Pertanian Lahan Kering Campur
5,122,073.48
5,086,358.28
Rawa
122,659.79
121,569.98
Sawah
198,082.10
202,470.88
Semak Belukar
590,542.92
484,915.78
Tambak
7,876.67
9,163.39
Tanah Terbuka
304,415.34
408,437.50
Transmigrasi
12,465.75
12,465.75
14,732,098.39
Grand Total
14,732,098.39
Sumber : Analisis Data Spasial tahun 2012
Gambar 2.2 Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2006 dan 2011
BAB II
13
2.1.2. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Statusnya
Berdasarkan fungsi kawasan, Kalbar dibagi dua fungsi kawasan, yaitu fungsi
kawasan lindung seluas 3.952.625 Ha atau 43,06%, dan fungsi kawasan budidaya seluas
5.226.135 Ha atau 59,94%. Secara rinci fungsi kawasan yang ada di Kalbar dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2.3.Status Fungsi Kawasan di Kalimantan Barat
No
A
B
Status Kawasan
Kawasan Lindung/Protected Area = 3.952.625 Ha
1. Hutan Cagar Alam/Natural Conservation
2. Hutan Taman Nasional/National Park
3. Hutan Wisata Alam/Nature Tourism Forest
4. Hutan Lindung/ Protected Forest
5. Suaka Alam Laut/Marine Conservation
- Daratan/Land
- Perairan/Waterworks
Kawasan Budidaya/Cultivated Area = 5.226.135 Ha
1. Hutan Produksi Terbatas/ Limited Production Forest
2. Hutan Produksi Biasa/ Common Production Forest
3. Hutan Produksi Konversi/ Convertible Production Forest
Jumlah
Luas (Ha)
153.275
1.252.895
29.310
2.307.045
22.215
187.885
2.445.985
2.265.800
514.350
9.178.760
Sumber: Kalimantan Barat dalam Angka 2011
Sampai dengan tahun 2011, kegiatan penataan batas kawasan hutan Kalbar telah
mencapai 14.428,03 km atau sekitar 74,13 % dari target panjang batas kawasan hutan
yang harus ditata batas, yaitu kurang lebih sepanjang 19.462,42 km.
Tipe-tipe hutan Kalbar didominansi tipe hutan Meranti (Dipterocarp) dataran
rendah, hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan hutan bakau. Total cadangan
karbon per hektar, baik Karbon bagian atas tanah (above ground Carbon pool) maupun
Karbon bawah tanah (belowground Carbon pool) yang terdapat pada hutan rawa gambut
dan hutan bakau lebih besar dibandingkan dengan hutan Meranti dan hutan rawa air
tawar.
Luas lahan gambut Kalbar kurang lebih 1,7 juta hektar (BPS Kalbar, 2007). Hasil
perhitungan spasial menurut citra Landsat, luas gambut di Kalbar diperkirakan hampir
2 juta hektar. Adanya perbedaan luas gambut tersebut kemungkinan kawasan rawa
riparian termasuk dalam perhitungan luas gambut menurut citra satelit. Sekitar 70%
penyebaran gambut tersebut dalam kawasan DAS Sungai Kapuas, dan sisanya berada
dalam kawasan DAS Sungai Sambas, DAS Pawan, DAS Mempawah, dan daerah aliran
sungai kecil lainnya.
14
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Penyebaran gambut dapat dibagi menjadi dua yaitu gambut pantai dan gambut
pedalaman. Sesuai dengan letak kabupaten dan kota, gambut pantai umumnya terletak
pada Kabupaten Ketapang, Kayong Utara, Kubu Raya, Kota Pontianak, Kabupaten
Pontianak, Kota Singkawang, Bengkayang, dan Sambas. Gambut pedalaman umumnya
terdapat di Kabupaten Sekadau, Melawi, Sintang dan Kapuas Hulu, serta sebagian di
Landak dan Bengkayang.
2.2. Degradasi dan Deforestasi
Laju deforestasi dan degradasi hutan dikalbar ditunjukkan dengan berbagai
macam sebab, implementasi kebijakan yang didorong dengan ketersediaan sumber
daya alam yang melimpah menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya degradasi
dan deforestasi hutan Kalbar. Untuk menyamakan persepsi mengenai deforestasi dan
degradasi digunakan pendekatan sebagaimana gambar berikut :
Gambar 2.3 Simulasi Membedakan Posisi Degradasi
dan Deforestasi Dalam Konteks REDD+
Data degradasi dan deforestasi di Kalbar akan menjadi fokus dalam menyusun
SRAP REDD+. Berdasarkan peta tutupan lahan tahun 2006 dan 2011 yang telah
ditetapkan sebagai dasar untuk penyusunan baseline, diperoleh hasil analisis bahwa
laju degradasi dan deforestasi hutan Kalimantan Barat adalah sebagaimana dilihat pada
tabel berikut :
BAB II
15
Tabel 2.4 Laju Degradasi dan Deforestasi Hutan Kalbar
dari Tahun 2006 - Tahun 2011 (Hektar)
NO
KAWASAN / KABUPATEN
A.
KAWASAN HUTAN
Bengkayang
Kapuas Hulu
Kayong Utara
Ketapang
Kota Singkawang
Kubu Raya
Landak
Melawi
Pontianak
Sambas
Sanggau
Sekadau
Sintang
NON KAWASAN HUTAN
Bengkayang
Kapuas Hulu
Kayong Utara
Ketapang
Kota Singkawang
Kubu Raya
Landak
Melawi
Pontianak
Sambas
Sanggau
Sekadau
Sintang
GRAND TOTAL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
B.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
DEGRADASI
PLANNED
UNPLANNED
15.137,24
32.011,70
1.187,56
1.095,06
3.193,30
6.778,01
166,21
818,88
7.498,44
3.154,83
97,75
697,36
2.443,42
72,41
2.062,67
342,25
1.932,75
105,67
610,18
326,66
2.956,40
339,77
3.104,82
96,10
112,46
1.111,50
6.844,47
30.735,63
13.581,67
2.737,36
1.861,16
1.964,53
1.301,68
281,12
325,06
5.752,91
1.730,43
158,60
3.747,11
3.599,45
3.609,47
326,97
691,19
154,02
680,67
321,88
4.093,28
974,42
5.805,45
787,16
25,30
1.372,53
2.015,54
45.872,87
45.593,37
TOTAL
47.148,94
2.282,62
9.971,31
985,09
10.653,28
97,75
3.140,77
2.135,08
2.275,00
715,85
3.283,05
3.444,60
208,55
7.955,98
44.317,30
4.598,51
3.266,21
606,18
7.483,34
158,60
7.346,55
3.936,44
845,21
1.002,55
5.067,70
6.592,62
25,30
3.388,07
91.466,23
DEFORESTASI
PLANNED
UNPLANNED
55.359,26
84.708,90
6.868,73
505,13
3.850,83
7.907,02
13.988,38
823,23
16.986,00
17.931,63
2.856,88
10.972,92
767,95
5.556,48
1.342,92
1.296,18
284,99
1.773,62
4.585,96
17.278,84
3.486,74
5.886,39
38,99
48,51
300,90
14.728,94
252.794,02
96.535,45
34.252,98
5.887,78
10.381,05
1.255,30
10.013,60
6.276,92
112.445,88
20.310,02
85,06
24.862,64
13.013,79
14.450,93
4.953,73
1.824,66
331,66
3.197,28
4.507,95
18.044,91
16.165,11
4.579,98
1.814,80
494,39
18.740,11
21.438,96
308.153,29
181.244,34
TOTAL
140.068,16
7.373,86
11.757,85
14.811,61
34.917,63
13.829,80
6.324,43
2.639,10
2.058,61
21.864,80
9.373,13
87,50
15.029,84
349.329,47
40.140,75
11.636,35
16.290,52
132.755,90
85,06
37.876,43
19.404,66
2.156,32
7.705,22
34.210,02
6.394,78
494,39
40.179,06
489.397,63
GRAND TOTAL
187.217,10
9.656,49
21.729,16
15.796,70
45.570,91
97,75
16.970,58
8.459,51
4.914,10
2.774,46
25.147,85
12.817,72
296,05
22.985,82
393.646,77
44.739,27
14.902,55
16.896,71
140.239,25
243,67
45.222,98
23.341,10
3.001,53
8.707,78
39.277,72
12.987,40
519,69
43.567,13
580.863,87
Sumber : Analisis Data Spasial Penapsiran Citra Landsat 2006 dan 2011
Selanjutnya berdasarkan penapsiran citra landsat dan tabel di atas, untuk
mengetahui laju degradasi dan deforestasi baik yang direncanakan maupun yang tidak
direncanakan per tahun untuk masing-masing Kabupaten/Kota se Kalimantan Barat
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.5 Rerata Laju Per Tahun Degradasi dan Deforestasi Hutan
Menurut Kabupaten/Kota Se-Kalbar (Ha/Tahun)
NO
KAWASAN / KABUPATEN
A.
KAWASAN HUTAN
Bengkayang
Kapuas Hulu
Kayong Utara
Ketapang
Kota Singkawang
Kubu Raya
Landak
Melawi
Pontianak
Sambas
Sanggau
Sekadau
Sintang
NON KAWASAN HUTAN
Bengkayang
Kapuas Hulu
Kayong Utara
Ketapang
Kota Singkawang
Kubu Raya
Landak
Melawi
Pontianak
Sambas
Sanggau
Sekadau
Sintang
GRAND TOTAL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
B.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
DEGRADASI
PLANNED
UNPLANNED
3.027,45
6.402,34
237,51
219,01
638,66
1.355,60
33,24
163,78
1.499,69
630,97
19,55
139,47
488,68
14,48
412,53
68,45
386,55
21,13
122,04
65,33
591,28
67,95
620,96
19,22
22,49
222,30
1.368,89
6.147,13
2.716,33
547,47
372,23
392,91
260,34
56,22
65,01
1.150,58
346,09
31,72
749,42
719,89
721,89
65,39
138,24
30,80
136,13
64,38
818,66
194,88
1.161,09
157,43
5,06
274,51
403,11
9.174,57
9.118,67
TOTAL
9.429,79
456,52
1.994,26
197,02
2.130,66
19,55
628,15
427,02
455,00
143,17
656,61
688,92
41,71
1.591,20
8.863,46
919,70
653,24
121,24
1.496,67
31,72
1.469,31
787,29
169,04
200,51
1.013,54
1.318,52
5,06
677,61
18.293,25
DEFORESTASI
PLANNED
UNPLANNED
11.071,85
16.941,78
1.373,75
101,03
770,17
1.581,40
2.797,68
164,65
3.397,20
3.586,33
571,38
2.194,58
153,59
1.111,30
268,58
259,24
57,00
354,72
917,19
3.455,77
697,35
1.177,28
7,80
9,70
60,18
2.945,79
50.558,80
19.307,09
6.850,60
1.177,56
2.076,21
251,06
2.002,72
1.255,38
22.489,18
4.062,00
17,01
4.972,53
2.602,76
2.890,19
990,75
364,93
66,33
639,46
901,59
3.608,98
3.233,02
916,00
362,96
98,88
3.748,02
4.287,79
61.630,66
36.248,87
TOTAL
28.013,63
1.474,77
2.351,57
2.962,32
6.983,53
2.765,96
1.264,89
527,82
411,72
4.372,96
1.874,63
17,50
3.005,97
69.865,89
8.028,15
2.327,27
3.258,10
26.551,18
17,01
7.575,29
3.880,93
431,26
1.541,04
6.842,00
1.278,96
98,88
8.035,81
97.879,53
Sumber : Analisis Data Spasial Penapsiran Citra Landsat 2006 dan 2011
16
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
GRAND TOTAL
37.443,42
1.931,30
4.345,83
3.159,34
9.114,18
19,55
3.394,12
1.691,90
982,82
554,89
5.029,57
2.563,54
59,21
4.597,16
78.729,35
8.947,85
2.980,51
3.379,34
28.047,85
48,73
9.044,60
4.668,22
600,31
1.741,56
7.855,54
2.597,48
103,94
8.713,43
116.172,77
Berdasarkan tabel 2.5 bahwa laju degradasi dan deforestasi pertahun di
Kalimantan Barat rata-rata mencapai angka 116.172,77 Hektar. Untuk lebih jelasnya
perincian degradasi dan deforestasi yang terjadi baik di dalam kawasan hutan maupun
diluar kawasan hutan disetiap Kabupaten/Kota dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.4 Grafik Degradasi dan Deforestasi Masing-Masing
Kabupaten/Kota di Kalbar (Hektar/Tahun)
Kabupaten yang menempati posisi degradasi tertinggi sampai terendah dalam
kawasan hutan berturut-turut adalah Kabupaten Ketapang, Kapuas Hulu, Sintang,
Sanggau, Sambas, Kubu Raya, Bengkayang, Melawi, Landak, Kayong Utara, Pontianak,
Sekadau dan Kota Singkawang. Sedangkan Deforestasi tertinggi dalam kawasan hutan
adalah Kabupaten Ketapang, Sambas, Sintang, Kayong Utara, Kubu Raya, Kapuas Hulu,
Sanggau, Bengkayang, Landak, Melawi, Pontianak, Sekadau, dan Kota Singkawang.
2.2.1 Pelepasan Kawasan Hutan
Menurut SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/2000, luas hutan
kawasan konversi (HPK) 514.350 Ha. Pada saat ini dapat diasumsikan bahwa kawasan
HPK telah menjadi hak badan-badan usaha dan akan dialihfungsikan. Selain itu,
sebagian kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) telah dialihfungsikan atau dalam
proses alih fungsi menjadi APL. Rencana tata ruang yang sedang disusun, kemungkinan
mengakomodasi permintaan alih fungsi kawasan hutan karena tingginya kebutuhan
untuk pembangunan ekonomi, terutama pada wilayah administrasi kabupaten hasil
pemekaran.
Perubahan status kawassan hutan berupa pengurangan luas kawasan hutan,
dilalui dengan proses pelepasan kawasan hutan. Pada prinsipnya pelepasan kawasan
hutan merupakan proses mengubah peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan
hutan untuk keperluan usaha non kehutanan tanpa menyediakan tanah pengganti. Dalam
hal ini, mekanisme pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada kawasan
Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK), yang memang secara ruang dicadangkan
BAB II
17
bagi pengembangan areal non kehutanan seperti transmigrasi, permukiman, pertanian,
dan perkebunan, dengan ketentuan pada wilayah provinsi yang dilepas kawasannya
masih tersisa lebih dari 30% setelah pelepasan kawasan HPK tersebut. Mekanisme
pelepasan kawasan hutan dikuatkan dengan surat keputusan dari Menteri Kehutanan.
Dalam kurun waktu tahun 2006-2011 kawasan hutan yang telah dilepas mencapai
292.985,20 ha terdiri dari 12 lokasi perusahaan yang tersebar di 4 kabupaten. Sebagian
besar pelepasan kawasan hutan berada di Kabupaten Ketapang, yaitu sebanyak 7 lokasi
perusahaan dengan luas total mencapai 217.219,00, yang mana seluruh pelepasan
kawasan hutan dalam kurun waktu 2006-2011 adalah perubahan kawasan HPK untuk
keperluan usaha perkebunan, sebagaimana tersebut pada tabel berikut :
Tabel 2.6 Pelepasan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 2006-2011
No.
A.
B.
C.
D.
Kabupaten/Nama Perusahaan
Kabupaten Sanggau
PT. Sumatera Jaya Agro
Kabupaten Ketapang
PT. Surya Mukti Perkasa
PT. Permata Sawit Mandiri
PT. Mustika Agung Sentosa
PT. Karya Makmur Langgeng
PT. Citra Sawit Cemerlang
PT. Mitra Karya Sentosa
PT. Bumi Sawit Sejahtera
Kabupaten Kubu Raya
PT. Pinang Witmas Abadi
Kabupaten Kayong Utara
PT. Jalin Vaneo
PT. Cipta Usaha Sejati
PT. Kayung Agro Lestari
GRAND TOTAL
Luas (Ha)
18.400,00
18.400,00
217.219,00
121.798,60
15.944,40
19.806,00
18.650,00
15.830,00
15.050,00
10.140,00
8.095,00
8.095,00
49.271,20
18.042,40
13.242,10
17.986,70
292.985,20
SK Pelepasan
No. 733/Menhut-II/2009
No. 369/Menhut-II/2007
No. 165/Menhut-II/2009
No. 63/Menhut-II/2009
No. 352/Menhut-II/2009
No. 667/Menhut-II/2009
No. 733/Menhut-II/2009
No. 852/Menhut-II/2009
No. 664/Menhut-II/2009
No. 265/Menhut-II/2008
No. 266/Menhut-II/2008
No. 643/Menhut-II/2009
Sumber : BPKH Wil. III (dengan modifikasi)
2.2.2 Penebangan Kayu
Penebangan kayu menyebabkan kehilangan karbon dari bagian atas dan bawah
tanaman. Jika terjadi pada hutan rawa gambut akan mempercepat emisi karbon dari
bahan organik tanah atau gambut. Penebangan kayu di Kalbar secara volume telah
sangat berkurang apabila dibandingkan dengan era tahun 1970 sampai 2000. Produksi
kayu bulat masih didominansi dari hutan alam dan hanya sebagian kecil berasal dari
hutan tanaman. Secara umum, ada kecenderungan tidak tercapainya target produksi
oleh perusahaan pemegang izin IUPHHK Hutan Alam.
Menurut BPKH Kalbar (2010), realisasi produksi dibandingkan dengan rencana
produksi hanya tercapai kurang dari 50%. Produksi kayu bulat tersebut sebagian besar
berasal dari Kabupaten Ketapang, Kubu Raya, Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu.
Realisasi produksi kayu cenderung lebih rendah dari rencana, dengan kisaran realisai
terendah sekitar 11.538 m3 tahun 2011 pada IPK Hutan Rakyat dan yang tertinggi
275.720 m3tahun 2011 pada Hutan Alam di Kalbar. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
18
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Tabel 2.7. Data Produksi Kayu Bulat Tahun 2008 – 2011
No
1
2
3
4
5
6
7
Sumber Produksi
Hutan Alam
Izin Pemanfaatan Kayu (IPK)
IPK Hutan Rakyat
Hutan tanaman Industri (HTI)
Penebangan kayu Belian
Izin SKAU
Kayu Gergaji
Jumlah
2008
284.398
9.436
5.247
452.000
350
26.076
1.735
781.250
Produksi (m3)
2009
2010
183.141
185.570
8.831
8.831
849
291.788
1.534
7.643
554
5.776
202.693
495.841
2011
275.720
785.696
11.538
237.353
8.062
1.320.379
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, 2012
Umumnya produksi kayu dari hutan alam oleh perusahaan untuk pasar ekspor.
Kebutuhan kayu untuk kebutuhan pasar lokal diketahui cukup tinggi, terutama untuk
bahan bangunan dan penguatan fondasi dalam pembangunan gedung, perumahan,
dan jalan. Tingginya permintaan kayu oleh pasar lokal memicu kegiatan penebangan
skala kecil yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, dan secara akumulatif
berdampak pada kehilangan karbon dari hutan dan gambut.
BAB II
19
Gambar 2.5 Peta Sebaran IUPHHK-HA di Kalimantan Barat
20
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Gambar 2.6 Peta Sebaran IUPHHK-HT di Kalimantan Barat
2.2.3 Kebakaran Hutan dan Gambut
Masalah kebakaran hutan dan gambut sering berulang di Kalbar, terutama
terjadi pada musim kering, mulai dari Juni sampai akhir Agustus. Kebakaran hutan
terluas terjadi pada tahun 1997/1998 ketika terjadi musim kemarau berasosiasi dengan
fenomena El Nino. Setelah kejadian El Nino tahun 1997, kebakaran hutan dan gambut
BAB II
21
selalu terjadi setiap tahun. Dampak kebakaran hutan dan gambut terhadap emisi karbon
sangat penting. Kebakaran secara langsung akan mengubah cadangan karbon menjadi
gas-gas rumah kaca. Pada musim kering, pembakaran lahan dapat tidak terkontrol, dan
menjadi ancaman bagi lahan-lahan perkebunanan kelapa sawit dan hutan tanaman
industri karena kemungkinan terjadi api liar akan membakar areal perkebunan dan HTI.
Berdasarkan data pemantauan titik api, pada tahun 2009 terdapat 9.788 buah
mencakup 14 kabupaten/kota di Kalbar. Sekitar 56% (4.948 titik api) merupakan
titik api pada kawasan hutan. Titik api terbanyak terdapat di Kabupaten Sambas (745
titikapi), 70% diantaranya berada di dalam kawasan hutan. Penyebab kebakaran hutan
dan gambut sangat kompleks. Sebagian penyebab adalah kegiatan masyarakat dalam
menyiapkan lahan dengan pembakaran, yaitu untuk membersihkan semak belukar dan
abu hasil pembakaran bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Penyebab lain adalah
perambahan hutan, yaitu pembakaran dilakukan untuk membuka hutan, kemudian
ditanami dengan tanaman pertanian (umumnya jagung dan karet) sebagai upaya untuk
mengklaim kepemilikan lahan. Pada kasus tertentu, api digunakan sebagai senjata untuk
menyelesaikan konflik atas kepemilikan lahan. Perlu juga dicatat bahwa kebakaran
hutan dan gambut terjadi pada kawasan Areal Penggunaan Lain (APL), dan kawasan
hutan baik hutan produksi maupun konservasi. Adapun luasan kebakaran hutan dan
gambut dapat disajikan pada tabel berikut:
Tabel 2.8 Luas Kebakaran Hutan dan Gambut
Luas Kebakaran (Ha)
2007
2008
2009
2010
Kubu Raya
69
447
428
105
Ketapang
5
10
642
0
Singkawang/Bengkayang
29
94
328
0
Sintang
496
0
848
46
Kapuas Hulu
39
0
0
0
Jumlah
637
550
2.246
151
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, 2012
Kabupaten
Rerata
262
164
113
347
10
896
Tabel 2.4 di atas hanya menggambarkan kebakaran hutan dan gambut yang
dicatat oleh Manggala Agni, Kementerian Kehutanan, pada beberapa daerah pengamatan.
Kebakaran gambut pada Kabupaten Kubu Raya dan Ketapang umumnya terjadi pada
lahan gambut terbuka yang dilakukan oleh petani untuk menyiapkan pertanian tebas
bakar secara musiman. Tidak tertutup kemungkinan lahan gambut yang berupa
semak belukar ikut terbakar karena kurangnya kontrol dalam membakar gambut yang
dilakukan oleh petani. Pada Kabupaten Bengkayang, Kapuas Hulu, dan Sintang, data
kebakaran berasal dari lahan gambut dan Kawasan Konservasi, seperti Taman Nasional
Danau Sentarum dan Taman Wisata Hutan Baning. Luas kebakaran hutan dan gambut
yang terjadi di Kalbar jauh lebih besar dari catatan Manggala Agni tersebut.
22
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Gambar 2.7 Peta Sebaran Hutan Rawa di Kalimantan Barat
2.2.4 Pinjam Pakai Kawasan
Untuk kepentingan pertambangan, sebagian kawasan hutan digunakan sebagai
areal pertambangan, atau biasa disebut pinjam pakai kawasan. Pinjam pakai kawasan
diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2008. BPKH Kalbar
(2010) melaporkan terdapat 11 perusahaan swasta mendapatkan izin pinjam pakai
kawasan, baik untuk pertambangan dan pembangunan prasarana.
BAB II
23
2.3. Kompleksitas Faktor Penyebab Degradasi dan Deforestasi
Gejala degradasi dan deforestasi yang sangat parah di Indonesia terjadi akibat
akmululasi dan komplikasi berbagai faktor penyebab baik dari luar atau pun dari dalam
kehutanan, sebagaimana dapat digambarkan pada pohon masalah sebagai berikut:
rendahnya akses
terhaap informasi
Tata kelembagaan
reforma agraris,
kejelasan hak
lahan, kearifan
Lemah inovasi pengembangan
industri yang dapat memberi
lebih banyak pendapatan dan
lapangan kerja
Beragam
penebangan liar
Menurunnya suplai kayu untuk
industri pengolahan
menurunnya ekonomi lokal
Rendahnya
pendidikan dan
keterampilan
Lemahnya
keberdayaan
Lemahnya atau keliru mengelola
pemasaran sehingga margin
pemasaran rendah yang diterima
negara produsun
Ekstraksi sumber daya hutan
yang berlebihan untuk lebih besar
memperoleh pendapatan dan
lapangan kerja
Pengelolaan hutan tidak lestari
menyebabkan degradasi dan
deforestasi dengan kecepatan
Lemahnya
kewirausahaan
Pasar intensif
dari barang dan
jasa konsumsi
asing
Iklan intensif
dari barang dan
jasa konsumsi
i
Meningkatnya konsumsi
butuh pendapatan lebih
besar
Rendahnya
kecepatan
rehabilitas dan
penanaman hutan
Ancaman berat bagi
kelangsungan ekonomi,
lingkungan, dan keamanan dunia
yang saling bergantung
Gambar 2.8 Faktor penyebab degradasi dan deforestasi di Indonesia
Terlihat dari gambar di atas, ada delapan faktor penyebab terjadinya degradasi
dan deforestasi di Indonesia. Delapan penyebab itu sebagai berikut:
1. Rendahnya akses masyarakat terutama di wilayah pelosok (hinterland) terhadap
informasi, baik secara kuantitas, kualitas, dan ketepatan waktu. Itu semua
merupakan modal yang sangat diperlukan untuk mampu mengajukan tawaran
yang benar. Secara kuantitas artinya jenis dan jumlah atau kelengkapan, secara
kualitas artinya kesahihan dan ketelitian. Sedangkan secara ketepatan waktu
artinya mendapat informasi pada waktu dan tempat yang tepat. Peluang untuk
meningkatkan akses informasi dari hari ke hari semakin terbuka dengan pesatnya
kemajuan teknologi informasi.
24
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
2. Rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan, baik dalam bidang yang umum
maupun yang khusus bidang kehutanan. Kebanyakan masih berpendidikan setaraf
sekolah dasar dengan keterampilan setaraf petani kecil tradisional. Kondisi yang
rendah ini paling sesuai diperankan pada pertanian tradisional dan kehutanan
skala kecil.
3. Lemahnya kewirausahaan, sebagai akibat terlalu lamanya masa penjajahan kolonial
Belanda yang mewariskan budaya feodal. Kebanyakan masyarakat merasa rendah
diri, merasa puas dan aman dengan hanya menjadi buruh, tidak banyak berharap
menjadi pelaku usaha (baik pemiliki maupun pengelola). Sikap dan perilaku seperti
itu telah sangat menghambat masyarakat untuk “menjadi tuan di negeri sendiri”.
Dari warisan budaya tersebut komplikasi berikutnya adalah suka memberi peluang
bagi masuknya agen-agen kekuatan usaha asing.
4. Rendahnya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan
pengusahaan hutan yang berkaitan dengan tatanan ideologi dan kelembagaan
kehutanan yang tidak menganggap keberadaan masyarakat sebagai sumber daya
yang dapat dipadukan, tetapi sebagai penghambat atau pengganggu. Masalah
yang berkaitan dengan hal itu kemudian adalah munculnya ketidakjelasan atau
kekaburan dalam berbagai hal, seperti hak-hak atas lahan, reforma, agraria, model
pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau kolaboratif, dan lain-lain.
5. Struktur dasar yang tidak sempurna, sering kali berupa dasar monpsonistik (lawan
dari mopolistik) dari produk hasil hutan. Dengan struktur pasar seperti itu telah
menjadikan terlalu kecilnya bagian dari margin perdagangan yang diterima oleh
pihak produsen, sehingga produsen tidak cukup berdaya untuk memelihara
kebelanjutan usahanya.
Tabel 2.9 Beberapa Kasus Rendahnya Margin yang Diterima Produsen
Tahun
1976
Kasus
Iuran hasil atau royalti sebesar US$ per m3 kayu bulat kepada pengusaha HPH
hanyalah seperempat dari nilai rente ekonomi yang semestinya
1980
Harga ekspor kayu lapis (plywood) hanyalah sepertiga dari harga kayu lapis di pasar
dunia.
2004
Harga sejenis papan partikel (particle board) FOB hanya seperempat dari harga
produk yang sama di gudang pelabuhan eropa.
Kecilnya bagian margin yang diterima menyebabkan produsen tidak hanya lemah
dalam menemukan inovasi dan mengembangkan industri hilir yang bernilai
lebih tinggi dan memberi lapangan kerja yang lebih besar, yang lebih buruk lagi
adalah terjadinya ekstrasi sumber daya dala bentuk bahan mentah yang semakin
berlebihan.
6. Iklan barang dan jasa konsumsi mewah dari luar negeri yang sangat intensif dan
menggoda, menumbuhkan budaya konsumerisme dan menimbulkan permintaan
yang lebih besar. Untuk menutup permintaan yang besar itu, maka ekstraksi
sumber daya dalam bentuk bahan mentah kembali menjadi jawaban dan itu berarti
melanggar batas kelestarian. Bisnis kehutanan dan sumber daya alam terbarukan
BAB II
25
lainnya berbeda dengan bisnis pada umumnya, yakni dibatasi oleh kecepatan
ekstraksi tertentu agar dapat lestari. Jika pemanfaatannya lebih besar dari kecepatan
ekstraksinya, maka akan menyebabkan kerusakahan bahkan kehancuran dalam
bentuk degradasi dan deforestasi.
7. Penebangan liar (illegal logging). Pengelolaan hutan yang tidak lestari di satu sisi
telah menurunkan kapasitas produksi kayu untuk memenuhi permintaan industri
yang justru bertambah besar, di sisi lain juga menurunkan kegiatan ekonomi lokal
secara keseluruhan. Kejadian di kedua sisi itu telah mendorong munculnya beragam
wujud penebangan liar yang semakin memperparah degradasi dan deforestasi.
8. Rendahnya kemajuan dan kecepatan rehabilitasi hutan dan pembangunan hutan
tanaman bukan disebabkan oleh rendahnya potensi modal untuk invetasi, tapi
masih terlalu menguntungkannya investasi pemanenan di hutan alam, bahkan
dengan adanya pembalakan liar, ketergantungan terhadap hutan alam itu semakin
sulit ditinggalkan. Kecuali dengan cara memberi kepercayaan kepada masyarakat
dan pengusaha lokal, rehabilitasi hutan dan pembangunan hutan tanaman tetapi
tidak cukup menarik bagi pengusaha besar kehutanan.
9. Faktor-faktor penyebab tersebut sangat nyata berkontribusi terhadap kerusakan
dan hilangnya hutan khususnya di Indonesia umumnya dan Kalbar khususnya.
Kerusakan dan kehilangan hutan tropika sangat besar diyakini tetapi menjadi
ancaman besar bagi keberlanjutan ekonomi, lingkungan bahkan keamanan dunia.
26
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
BAB III
RENCANA NASIONAL PENGURANGAN EMISI
DAN POSISI DAERAH
3.1. Strategi Nasional REDD+
Pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan politik terkait pelaksanaan
perjanjian iklim global dengan berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26%
dari skenario pembangunan Business as Usual (BAU) pada tahun 2020 dengan sumber
pendanaan mandiri. Persentase itu akan bertambah 41% jika mendapatkan sumber
pendanaan internasional. Indonesia berencana untuk memenuhi komitmen tersebut
seiring dengan usaha untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi 7% per tahun.
Dalam kerangka mewujudkan komitmen tersebut, pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Presiden No 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Peraturan Presiden No 71/2011 tentang Penyelenggaraan
Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Selanjutnya, skema REDD+ merupakan skema
yang akan diterapkan dalam mendukung pencapaian target penurunan emisi berbasis
lahan sebagaimana ditetapkan dalam RAN-GRK, khususnya dalam bidang kehutanan,
lahan gambut dan pertanian.
Pada bagian dokumen sebelumnya telah disinggung bahwa unsur utama dalam
upaya penurunan emisi adalah mengelola perubahan dari bidang atau sektor berbasis
penggunaan lahan, antara lain kehutanan, lahan gambut, perkebunan, pertanian pangan,
dan pertambangan dengan upaya pengembangan Strategi Nasional REDD+ (Stranas
REDD+) serta Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ Provinsi (SRAP). Stranas
REDD+ dan SRAP REDD+ dikaitkan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan, konservasi karbon, pemanfaatan hutan secara lestari dan peningkatan
cadangan karbon atau disebut dengan REDD+.
Maksud dari penyusunan Strategi Nasional REDD+ adalah: (1). Menyiapkan dan
melaksanakan sistem kelembagaan efektif; (2). Memberi dasar dan arahan bagi sistem
tata kelola dan peraturan yang terintegrasi; (3). Membangun proses dan pendekatan yang
sistematis dan terkonsolidasi bagi upaya-upaya penyelamatan hutan alam Indonesia
beserta isinya; dan (4). Memberikan acuan bagi pengembangan investasi dalam bidang
pemanfaatan lahan hutan dan lahan bergambut baik untuk komoditi kehutanan dan/
atau pertanian serta jasa lingkungan termasuk penyerapan dan pemeliharaan cadangan
karbon.
BAB III
27
Gambar 3.1 Kerangka Strategi Nasional REDD+
dengan Lima Pilar Utama Strategi Program (Satgas REDD+ Indonesia, 2012
Lima pilar strategi program utama Stranas REDD+, yakni kelembagaan dan
proses, kerangka hukum dan peraturan, program-program strategis, perubahan
paradigm dan budaya kerja; dan pelibatan para pihak. Kelima pilar itu diharapkan dapat
mencapai tujuan pelaksanaan REDD+:
1. Menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dari sektor penggunaan lahan dan perubahannya
serta kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry, LULUF)
2. Meningkatkan simpanan karbon
3. Meningkatkan kelestarian keanekaragaman hayati dan terpeliharanya jasa
lingkungan
4. Pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi
ekonomi hutan.
Kelima pilar tersebut saling terintegasi dalam upaya mencapai tujuan Stranas
REDD+. Implementasi pilar-pilar strategi secara utuh akan dijalankan pada akhir tahun
2012 sampai 2030 dan ditargetkan siap menjalankan pembayaran kinerja penurunan
emisi terverifikasi mulai pada tahun 2012.
Pada tataran sub-nasional di Kalbar, kelima pilar program dalam Stranas REDD
menjadi rujukan yang dijabarkan lebih terperinci dan operasional dalam Strategi dan
Aksi Provinsi REDD+ untuk implementasi REDD+ sesuai dengan karakteristik wilayah
dan permasalahan deforestasi dan degraradasi hutan Kalbar. Sesuai dengan amanat
Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011, maka provinsi diwajibkan untuk menyusun
28
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
RAD-GRK, maka perlu dipastikan konsistensi antara RAD GRK berbasis lahan dengan
SRAP untuk pelaksanaan REDD+.
Dalam jangka panjang SRAP REDD+ Kalbar dihubungkan dengan penciptaan
kondisi pemenuhan prasyarat dan penguatan kondisi pemungkin, serta pencarian
dan penyelesaian sumbat masalah yang menghambat keberhasilan penerapan skema
REDD+ (troubleshooting/debottlenecking). Secara bersamaan menetapkan kegiatan
pengembangan ekonomi berbasis sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan
penghidupan masyarakat yang berkelanjutan. Dalam jangka panjang, provinsi
mengembangkan pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada keseimbangan
pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dengan mempertimbangkan
pelestarian fungsi bentang alam (landskap) bagi daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup.
Pelaksanaan Stranas REDD+ dijalankan sesuai dengan tahap-tahap
perkembangan kesiapannya dan dipandu oleh Dokumen Rencana Aksi Nasional
untuk REDD+ dan Dokumen Rencana Bisnis Nasional untuk REDD+ yang dibangun
berdasarkan Dokumen Stranas REDD+. Ketiga dokumen ini menjadi menjadi acuan
dalam penyusunan Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Kalbar. SRAP REDD+
Kalbar akan menjadi pendukung utama dan menguatkan pelaksanaan RAD-GRK Kalbar
yang telah disusun dan ditetapkan oleh Peraturan Gubernur.
3.2. Posisi SRAP REDD+
Posisi REDD+ khususnya bidang berbasis lahan seperti kehutanan dan lahan
gambut menjadi strategis dalam pencapaian target penurunan emisi pada RAN GRK.
Hal ini mengingat diberikan porsi tanggung jawab penurunan emisi lebih besar
dibandingkan bidang lainnya. Dari total emisi Indonesia pada tahun 2020 sebesar
2,95 Giga ton C02e , maka 51,2 % atau 1,51 Giga ton C02e berasal dari emisi hutan dan
lahan gambut. Dalam kondisi Business As Usual dengan target penurunan emisi 26%
pada tahun 2012 - 2014, dari total target penurunan emisi dalam RAN-GRK sebesar
0,767 Giga ton C02e , maka 87,6% atau 0,672 Giga ton C02e target penurunan emisi
diharapkan dari sektor kehutanan dan lahan gambut. Lihat Tabel 3.1
Dalam RAD-GRK Kalbar, jumlah total target penurunan emisi dalam kondisi
business un usual pada tahun 2010 sampai 2020 sebesar 0,0624 Giga ton C02e,
diantaranya 0,04 Giga ton C02e atau 64,1% pada bidang kehutanan dan lahan gambut.
Pada Tabel 3.1, ditampilkan kondisi Business As-Usual bidang berbasis lahan
atau upaya REDD+ seperti kehutanan, gambut dan pertanian memiliki kontribusi
terbesar dalam target penurunan emisi yaitu 89,9 % diikuti bidang –bidang pengelolaan
limbah 8%; energi dan transportasi 5% dan industri 0,4%. Memperhatikan target/
rencana atau kontribusi yang diharapkan dalam penurunan dari sektor berbasis lahan
(REDD+) maka secara jelas dapat dilihat posisi strategis SRAP dengan upaya REDD+
dalam memberikan kontribusi penurunan emisi RAN-GRK.
BAB III
29
Tabel 3.1 Target Penurunan Emisi Nasional
Sumber: Perpres 61/2011 tentang RAN GRK
Sedangkan target penurunan emisi di Kalbar dalam kondisi Bussines As Usual
komulatif untuk semua sektor sampai dengan tahun 2020 adalah 568.496.242,92 Ton
CO2-eq. Sektor berbasis lahan menyumbang emisi 533.589.632,72 Ton CO2-eq atau
93,84 % dari total semua sektor.
Berdasarkan target nasional total emisi Bussines As Usual (BAU) adalah 2,950
Gton CO2-eq pada tahun 2020. Kalbar pada tahun 2020 berkontribusi 113.699.248,4
Ton CO2-eq atau 3,85 % dari target nasional. Sesuai dengan Peraturan Gubernur No.
27 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah penurunan emisi Gas Rumah Kaca Kalbar
dapat ditampilkan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Target Penurunan Emisi Dalam RAD GRK Kalbar
Sektor/Bidang
Kehutanan
dan Lahan
Gambut
30
Jumlah Penurunan Emisi
Rencana Aksi Mitigasi
Dari Baseline di Tahun 2020
Ton CO2-Eq
(26%)
533,6 Jt (BAU) - 309,96 Jt
Penambahan tutupan lahan, Pemantapan kawasan hutan melalui
(mitigasi) = 223,64 Jt/5=44,73 revisi RTRWP yang rigit dengan mempertahankan Kawasan
Jt
konservasi dan hutan lindung gambut, Pencegahan deforestasi
dan alih fungsi hutan gambut, Mencegah konversi hutan primer
44,73 jt/767jt x 100% = 5,83 % dan sekunder menjadi areal penggunaan lain, Rehabilitasi hutan
dan pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan HTI, HTR,
OBIT, HKM, Hutan Desa, RHL, KPHP, RE dan lain sebagainya,
Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan,
Pengendalian ilegal logging
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Sektor/Bidang
Jumlah Penurunan Emisi
Dari Baseline di Tahun 2020
Ton CO2-Eq
(26%)
Rencana Aksi Mitigasi
Mempertahankan tutupan lahan yang berupa hutan, Melakukan
perencanaan hutan yang baik, Pembatasan penggunaan lahan
untuk pemukiman, Rehabilitasi lahan, Pembangunan hutan kota,
Rehabilitasi lahan kritis/berpontesi kritis, Menjaga muka air tanah
pada areal gambut (50-60 cm).
Sektor
Pertanian dan
Peternakan
19,3 Jt (BAU)/5 = 3,86 Jt
18,9 Jt (mitigasi)/5 = 3,78 Jt
3,86 Jt – 3,78 Jt = 0,07 Jt
0,07 Jt/8 Jt x 100% = 8,75 %
Sektor
Industri
8,7 Jt (BAU)/5 = 1,74 Jt
0 Jt (Mitigasi) – 1,74 Jt = 0 Jt
Menanam kacangan penutup tanah yang terbaik, Melakukan
pemupukan yang tepat, Pengendalian hama dan penyakit yang
terintegrasi, Pengendalian bahaya kebakaran, Pemanfaatan
kotoran ternak untuk biogas, Pemamfaatan kotoran ternak untuk
kompos
Usulan Aksi Mitigasi Sektor Industri dapat dilakukan dengan
produksi bersih
Tidak berkontribusi
Sektor
Transportasi
2,48 Jt (BAU)/5 = 0,49 Jt
2,17 Jt (mitigasi) /5 = 0,43 Jt
0,49 Jt – 0,43 Jt = 0,06 Jt
0,06 Jt/38 Jt x 100% = 0,16 %
Sektor Energi
3,5 Jt (BAU)/5 = 0,7 Jt
24,7 Jt (mitigasi)/5 = 4,94 Jt
0,7 Jt – 4,94 Jt = -4,24 Jt
(menunjukkan tidak ada
emisi dari bahan bakar fosil)
Sektor Limbah
0,86 Jt (BAU)/5 = 0,172 Jt
0,183 Jt (mitigasi)/5 = 0,036 Jt
0,172 Jt – 0,036 Jt = 0,136 Jt
Split Penggunaan Kendaraan Pribadi Menjadi Angkutan Umum,
Smart/ Eco Driving
Unmotorized Priority, Usulan Aksi mitigasi lain pada sector
transportasi diantaranya adalah manajeman parkir, integrasi
tataruang dengan transportasi dan lain sebagainya
Penggunaan lampu LED untuk Rumah Tangga, Pengunaan Panel
Surya
Alternatif energy terbarukan
Sampah organic dibuat kompos, Penerapan prinsip reduce reuse
recycle (3R)
Green consumer, Waste to energy
0,136 Jt/48 jt x 100%= 0,28 %
Sumber : RAD GRK Provinsi Kalimantan Barat 2012
3.3. Kepentingan dan Posisi SRAP REDD+ Dalam RAD GRK
dan Perencanaan Pembangunan
Dalam RAN-GRK diusulkan rencana aksi mitigasi di lima bidang prioritas yakni
pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, serta pengelolaan
limbah. Guna mencapai target penurunan emisi di seluruh wilayah Indonesia,
diamanahkan dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 untuk seluruh provinsi
menyusun RAD-GRK yang ditetapkan dan dikoordinir pelaksanaannya oleh Gubernur.
Di sektor berbasis lahan (kehutanan, pertanian) serta wilayah berlahan gambut
yang relatif luas di Kalbar, posisi SRAP REDD+ sangat menentukan keberhasilan
BAB III
31
implementasi RAD GRK dalam pencapaian target penurunan emisi provinsi. SRAP
REDD+ Kalbar perlu dikembangkan. Apabila ditelaah, terdapat tiga aspek penting yang
dapat dikontribusikan kepada RAD GRK, RAN GRK serta Stranas REDD+, yakni:
1. Skenario mitigasi dari sektor/bidang pemanfaatan lahan (kehutanan, pertanian dan
lahan gambut) di daerah yang berpotensi menghasilkan emisi. Dengan pengelolaan
yang baik pada sektor-sektor berbasis lahan ini dapat menyerap dan menyimpan
karbon dan menghasilkan manfaat dampingan berupa kelestarian keanekaragaman
hayati, pemanfaatan ekonomi, dan pengurangan kemiskinan masyarakat sekitar
hutan. Perbaikan tata kelola sumber daya masyarakat, dan meningkatkan hak-hak
kelola masyarakat;
2. Usulan aksi mitigasi dari sektor/bidang pemanfaatan lahan, disesuaikan dengan
karakteristik serta kapasitas (sumberdaya manusia, finansial, dan sebagainya) di
daerah;
3. Implementasi aksi mitigasi, pengukuran, pelaporan dan verifikasi (Measurement,
Reporting and Verification/MRV) dari pelaksanaan mitigasi sektor-sektor berbasis
lahan.
Lihat Gambar 3.2 menyajikan kepentingan, posisi, dan peran SRAP REDD+
dalam RAD-GRK, perencanaan pembangunan daerah dan Stranas REDD+. Secara
keseluruhan SRAP REDD+ Kalbar dapat memberikan masukan tentang para pihak
(dinas, kelompok, pihak-pihak berkepentingan lainnya) yang perlu untuk dilibatkan
dalam perencanaan hingga implementasi dan MRV dari upaya mitigasi emisi dari
sektor-sektor berbasis lahan (kehutanan, pertanian, perkebunan dan lahan gambut).
Gambar 3.2 Kepentingan, Posisi dan Peran SRAP REDD+ Dalam RAD-GRK,
Perencanaan Pembangunan Daerah dan Stranas REDD+
32
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
SRAP REDD+ disusun pada tingkat provinsi. Dalam implementasinya melibatkan
seluruh pemerintahan kabupaten/kota atau pemangku kepentingan. Hal ini didasarkan
pada beberapa pertimbangan yaitu:
1. SRAP REDD+ adalah masukan kebijakan dalam Perencanaan Pembangunan.
Kegiatan pembangunan harus terintegrasi dari pusat hingga ke daerah sampai
kawasan perdesaan dengan masyarakatnya.
2. Wilayah administrasi provinsi memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam
pengelolaan sumber daya alam untuk didistribusi dan diberikan kepada daerah
otonom terendah tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007;
3. Setiap Kabupaten/Kota telah membentuk Satuan Kerja Perangka Daerah (SKPD)
sesuai kebutuhan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007;
4. Pemerintah Kabupaten/Kota lebih memahami ketimbang Pemerintah Provinsi
tentang karakteristik dan kapasitas daerah dalam rangka implementasi dan MRV
REDD+;
Program nasional tentang penanggulangan perubahan iklim didasarkan pada
beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan, yaitu UU Nomor 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU
Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Perpres Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca, dan Perpres Nomor 71 tahun 2011 tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca.
Peraturan tersebut mengamanatkan bahwa inventarisasi permasalahan
perubahan iklim serta pengembangan program-program penanggulangan untuk
diintegrasikan ke dalam Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah Nasional/
Daerah (RPJMN/D). Rencana Strategi REDD+ dikembangkan untuk menjadi acuan
utama pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan perubahan iklim dalam bidang
kehutanan, lahan gambut, dan pemanfaatan lahan.
Selain itu, UU Nomor 32 tahun 2009 memberikan perintah dan mandat kepada
Kepala Daerah untuk menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Propinsi (RPPLHP). Dokumen RPPLHP ini sangat strategis bagi perencanaan
pembangunan di daerah, sebab berbagai proses perencanaan pembangunan daerah
(RPJPD maupun RPJMD) harus mengacu kepada RPPLH ini. Secara lebih spesifik Pasal
10 ayat (5) UU Nomor 32 tahun 2009, menegaskan RPPLH Provinsi ini akan menjadi
dasar penyusunan dan dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi.
RPPLH Provinsi disusun dengan memperhatikan RPPLH Nasional, inventarisasi
tingkat pulau/kepulauan; dan inventarisasi tingkat ekoregion. Pelaksanaan RPPLH
Provinsi akan diatur dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi. RPPLH Provinsi
memuat rencana tentang: (a). pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
(b). pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; (c).
pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam;
dan (d). adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
BAB III
33
Dalam perencanaan pembangunan daerah, baik di tingkat Provinsi ataupun
di Kabupaten/Kota) dikenal Rencana Pembangunan jangka Panjang Daerah (RPJPD)
yang berjangka waktu 20 (dua puluh) tahun; Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) yang berdurasi 5 (lima) tahun; dan Rencana Kerja Pembangunan
Daerah (RKPD) yang merupakan rencana tahunan. Ditingkat Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) juga ada Rencana Strategis (Renstra) berdurasi 5 (lima) tahun serta
Rencana Kerja (Renja) berjangka waktu 1 (satu) tahun.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa kerangka perencanaan pembangunan
menempatkan Dokumen RPJMD pada posisi yang paling strategis, merupakan rujukan
bagi rencana tahunan atas penjabaran rencana jangka panjang, dan sekaligus menjadi
rujukan atau pedoman dari sektor/ bidang dalam merumuskan rencana strategis
pembangunan.
Pelaksanaan skema REDD+ tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh aturan
perundang-undangan, kebijakan dan kinerja dari seluruh sektor pembangunan berbasis
lahan. Strategi Nasional REDD+ dibangun berdasarkan pemahaman atas seluruh aturan
perundang-undangan sektor dan non sektor yang berimplikasi pada pengelolaan hutan
dan lahan, serta realitas tata kelola dan pengelolaan (governance and management)
hutan, lahan gambut dan keseluruhan pemanfaatan lahan di Indonesia.
Pelaksanaan REDD+ secara efektif, diperlukan penciptaan pemenuhan prasyarat atau pra-kondisi dan penguatan kondisi pemungkin yang menyangkut penataan
kembali sistem tata kelola dan sistem pengelolaan keseluruhan sektor pembangunan
berbasis penggunaan lahan. Sebagai acuan utama pemerintah dalam pelaksanaan
kebijakan perubahan iklim dalam bidang kehutanan dan pemanfaatan lahan, Strategi
Nasional REDD+ memuat mandat untuk melakukan perbaikan dan penyelarasan
seluruh aturan perundang-undangan dan sistem kelembagaan sektor dan non sektor
yang terkait dengan tata kelola dan pengelolaan hutan dan pemanfaatan lahan.
Dengan mempertimbangkan jangka waktu SRAP REDD+ yang relatif panjang
(hingga tahun 2030) memiliki tujuan antara, yaitu jangka pendek (2014) dan jangka
menengah (2020), maka posisi SRAP REDD+ menjadi sangat penting sebagai pedoman
dalam pengembangan rencana pembangunan lima tahunan, baik pada tingkat daerah
maupun SKPD.
Dalam konteks perubahan iklim dan khususnya pengurangan emisi juga ada
RAN/RAD GRK yang bersifat lebih luas (dari sisi sektor/bidang, maka dalam rangka
memelihara harmonisasi antar lembaga dan sekaligus pendekatan yang lebih sistimatis,
maka SRAP REDD+ Kalbar berfungsi memberi penguatan input terhadap pencapaian
target penurunan emisi. Gambaran posisi SRAP REDD+ yang dikembangkan di Provinsi
Kalbar seperti pada Gambar 3.3.
Proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah, dokumen SRAP REDD+
Kalbar perlu diintegrasikan dan diarusutamakan dalam proses formal pembangunan
daerah. Berbagai dokumen rencana pembangunan daerah tersebut merupakan
dokumen legal, mengikat dan memperoleh pendanaan secara rutin dari pemerintah.
Proses integrasi dan pengarusutamaan bisa dilakukan secara simultan dalam berbagai
34
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
sarana seperti penyusunan RPJMD, Konsultasi Publik RKPD, Musrenbang, reses, dan
dengar pendapat (hearing) dari para wakil rakyat daerah, dan penyusunan program CSR
(Corporate Social Responsibility/Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) dari berbagai
dunia usaha yang ada di daerah.
Perencanaan
Pembangunan
Provinsi
Kalbar
RPJP
2013-2028
RPJMD
2013-2018
RKPD
2013-2028
MITIGASI EMISI GRK
Perkebunan,
Kehutanan dan
Lahan Gambut
Pertanian,
Energi,
Transportasi
dan Industri
Pengolahan
Limbah
RENSTRA 2013-2018, 2018-2023, 2023-2028
MRV EMISI GRK
NASIONAL
RENJA 20132018
MRV EMISI GRK
KALBAR
MRV EMISI GRK
KALBAR
Gambar 3.3 Posisi SRAP REDD+ dalam Kerangka Perencanaan Pembangunan
Daerah dan Implementasi RAD GRK Provinsi Kalbar
Guna mendapatkan capaian hasil maksimal dan efektif, pelaksanaan SRAP REDD+
ini akan dilakukan penguatan fungsi-fungsi koordinasi tematik antar kementerian/
lembaga pemerintah dan antara pusat dengan daerah. Kemudian melakukan koordinasi
dalam pencarian sumber dan penyelesaian masalah (troubleshooting/ debottlenecking)
yang menyangkut kewenangan antar kementerian dan lembaga pada tataran pemerintah
pusat dan daerah yang terkait pelaksanaan program REDD+. Lalu, dibuka opsi bagi
adanya kelembagaan (baru) yang bisa menanganinya, meski kemungkinan bersifat
fungsional dan/atau bersifat sementara dan hanya memfasilitasi saja. Tentu hal ini
menimbulkan tambahan biaya dan membutuhkan sumber daya manusia handal.
Tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan informasi data dasar untuk mendukung
penerapan REDD+.
REN
Hal terpenting berkaitan dengan integrasi SRAP REDD+ sebagai tujuan
pembangunan di sektor lingkungan hidup (pro-environment) adalah jaminan bahwa
tujuan akhir dari pembangunan daerah untuk menurunkan kemiskinan (pro-poor),
penciptaan lapangan kerja (pro-job) melestarikan fungsi ekosistem dan lingkungan
hidup (pro-environment), serta mendukung pertumbuhan ekonomi daerah (progrowth) tetap tidak akan terganggu. Lebih jelasnya SRAP REDD+ Kalbar dalam empat
pilar pembangunan itu sebagai berikut:
1. Pro-Poor, upaya penurunan emisi program REDD+ akan mensejahterakan
masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut;
BAB III
35
2. Pro-Growth, program REDD+ akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan pendapatan terutama di daerah lahan hutan dan gambut;
3. Pro-environment, program REDD+ dirancang untuk melestarikan lingkungan
dengan upaya penurunan emisi dengan pencegahan aksi deforestasi dan degradasi
dari lahan hutan dan gambut;
4. Pro-Job, tidak hanya bisa menumbuhkan ekonomi, menjaga lingkungan,
mengurangi angka kemiskinan, program REDD+ dirancang untuk menyediakan
lapangan kerja. Masyarakat di sekitar hutan dan gambut diberikan lapangan kerja
agar tumbuh kesadaran untuk tidak melakukan kegiatan yang bisa menaikkan gas
emisi.
3.4. Kesiapan dan Peluang Implementasi REDD+
Menyongsong implementasi REDD+ di Kalbar, ada beberapa kesiapan atau pra
kondisi dan peluang yang dilakukan antara lain:
1. Adanya niat baik, komitmen, kemauan, dan komunikasi terbuka antara pemerintah
daerah, sektor swasta, masyarakat lokal dengan lembaga-lembaga non pemerintah
untuk berdialog terbuka dan bekerjasama dalam memersiapkan implementasi
skema REDD+;
2. Provinsi Kalbar sebagai bagian dari provinsi-provinsi berhutan di Indonesia secara
tegas telah diikutsertakan pada rencana nasional dalam mengawal isu pengurangan
emisi global. Selama beberapa tahun terakhir melalui satuan tugas Pokja REDD+,
Kalbar aktif juga pada forum Nasional di Aceh dan pada tahun 2009 bersama
Gubernur California USA dan beberapa Gubernur lainnya di Indonesia, Gubernur
Kalbar ikut menginisiasi berdirinya forum Internasional GCF (Governor’s Climate
and Forest) task for Indonesia.
3. Gubernur Kalbar ikut dalam pertemuan High Level Meeting di COP 15, Kopenhagen
Denmark bersama Presiden SBY. Kalbar mendukung komitmen Presiden RI untuk
menurunkan emisi GRK 26 % di bawah proyeksi GRK pada tahun 2020 berdasarkan
sekenario Bussines As Usual (BAU).
4. Provinsi Kalbar telah diberi kepercayaan dan dukungan oleh Pemerintah Pusat c.q
Satgas REDD+ Nasional/UKP4 sebagai salah satu provinsi percontohan dari 11
provinsi berhutan di Indonesia untuk mempersiapkan dan melaksanakan REDD+
di masa depan;
5. Adanya dukungan dan komitmen pemerintah provinsi terkait upaya mitigasi
perubahan iklim, seperti penyusunan dan penetapan RAD-GRK, pembentukan
Komisi Daerah REDD+, penyusunan strategi pembangunan kesejahteraan rendah
karbon;
6. Tersedianya contoh-contoh pengembangan dan hasil kerja di lapangan terkait
persiapan dan implementasi REDD+ yang sudah dan masih berjalan dan dapat
36
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
dijadikan model penerapan skema REDD+ di masa depan, seperti Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di Kapuas Hulu, Sintang dan Ketapang;
Kabupaten Konservasi di Kapuas Hulu; RIL (Redused Impact Logging) dan HCVF
(High Conservation Value Forest) di HPH/HTI; RSPO (Roundtable Sustainable
Palm Oil) di Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit; Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
di Kabupaten Sanggau, Sintang, Landak dan Kubu Raya; Hutan Kemasyarakatan
(HKM) melalui Social Forestry Development Project (SFDP-Germany); hutan desa
yang telah diusulkan di Kabupaten Ketapang, Kayong Utara, Sintang dan Kapuas
Hulu; kerja sama pengelolaan sumber daya hutan inisiatif trilateral yang melibatkan
Negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darusalam dalam program HoB ( Heart
of Borneo); program Low Emission Development (LED) IFACTS-USAID; JICA
melalui program Forest Fire Prevention dan IJ-REDD+; FLEGT Support Project
kerja sama Negara Eropa dan Indonesia meliputi Illegal Logging Respons Center;
WWF dan ITTO dalam bentuk Borneo Biodiversity Expedition Community Based
Transboundary Management Plan; FFI-IP Orang Hutan Protection and Monitoring
Unit bekerja sama dengan LSM Yayasan Palung dan Yayasan ASRI; Sylva Indonesia
Untan dengan Arboretum sebagai pusat Biodiversity dan ruang terbuka hijau
dijantung kota Pontianak; hutan adat/tembawang/hutan keramat/kawasan
perkuburan tersebar di kabupaten Sintang, Kapuas Hulu; agroforestri masyarakat,
kawasan restorasi ekosistem, kawasan Demonstratition Activities REDD+ tingkat
tapak;
7. Adanya peluang bagi masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan
hutan sebagai berperan serta pro-aktif serta penerima manfaat langsung maupun
tidak langsung dalam mekanisme implementasi REDD+;
8. Provinsi Kalbar telah membentuk Kelompok Komisi Daerah REDD+ melalui
Keputusan Gubernur SK No. 115/BLHD/2012 tentang pembentukan Kelompok
kerja pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (POKJA REDD+)
tanggal 18 Januari 2012. Tupoksinya;
a Menghimpun dan melakukan analisis terhadap data serta informasi berkaitan
dengan program REDD+ di Kalbar;
b Melakukan sosialisasi REDD+ dan komunikasi bersama semua pihak baik
yang ada dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup teknis
terkait kehutanan dan lingkungan hidup serta para pihak (swasta, LSM, dan
masyarakat) dan donor (nasional dan internasional) yang bergerak dalam
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta isu degradasi dan deforestrasi
hutan (REDD+) di Kalbar;
c Bersama-sama semua pihak di Kalbar baik Pemda, Kabupaten/Kota, pihak
swasta, LSM, masyarakat serta donor (nasional dan internasional) yang
bergerak dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta isu degradasi
dan deforestrasi hutan (REDD+) untuk mendukung komitmen Pemerintah
Indonesia dan target Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca hingga 26% pada Tahun 2020 ;
BAB III
37
d Melakukan telaah dan kajian dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
serta isu degradasi dan deforestrasi hutan (REDD+) bersama Pemerintah
Kabupaten/Kota, serta semua pihak (swasta, LSM, masyarakat serta donor
(nasional dan internasional) dalam membantu Pemerintah Kalbar dalam
menyusun dan memutakhiran data induk (baseline) yang bertautan dengan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta isu degradasi dan deforestrasi
hutan (REDD+) di lingkup Kalbar;
e Menjadi simpul komunikasi bersama Pemerintah Kalbar dalam mendukung
komitmen Pemerintah Indonesia dan target Rencana Aksi Nasional (RAN)
tentang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca hingga 26% pada Tahun 2020;
9. Adanya praktik-praktik dan dukungan tingkat local dalam pengelolaan sumber daya
alam hutan berbasis masyarakat atau CBFM/Community Based Forest Management
yang masih berlangsung saat ini dan berpotensi besar sebagai modal social untuk
penerapan REDD+ dalam konteks mitigasi perubahan iklim melalui penyimpanan
karbon hutan adapun bentuknya adalah sebagai berikut:
a. Hutan Adat
Istilah hutan adat di Kalbar agak berbeda, antara lain Hutan Rimba di
Desa Nanga Jelundung Kabupaten Sintang, Hutan Lindung/Lolong Kampong
di Desa Nanga Sungai Seria Kabupaten Sintang, Hutan Rimba di Desa Nanga
Siyai Kabupaten Sintang, Hutan Adat/Hutan Mancung dan Natai Rapit di Desa
Landau Garong Kabupaten Melawi, Gurung Bulai di Desa Lintah Kabupaten
Melawi, Kawasan Hutan Primer/Tuaan Henung, Tuaan Melung dan Tuaan
Busaang di Desa Datah Diaan Kabupaten Kapuas Hulu, Hutan Lindung Adat/
Toan Adat di Desa Labian Kabupaten Kapuas Hulu, Kampong Galao/Hutan
Cadangan Adat dan Kampong Embor Kerja/Hutan Produksi Adat di Desa
Manuai Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu.
Secara umum, hutan adat menurut pemahaman masyarakat adat dayat
setempat merupakan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat
secara terbatas. Apabila masyarakat ingin mengambil hasil hutan harus
mendapat persetujuan dari ketua adat dan atau aparat daerah. Masyarakat
dapat memanfaatkan kawasan ini untuk berburu, mencari bahan bangunan,
rotan, obat-obatan, akar, dan umbut. Hasil-hasil sumber daya alam berupa
kayu-kayu yang diambil dari hutan adat tidak boleh diperjualbelikan dan hanya
digunakan untuk kebutuhan warga setempat. Penebangan dan pengambilan
kayu dilakukan dalam kelompok atau tidak boleh dilakukan sendiri-sendiri.
Khusus untuk pohon tapang (pohon madu), tengkawang, durian, belian tidak
boleh ditebang. Kepemilikan pohon tengkawang, durian dan tapang tetap pada
pemilik pertama dan dapat diwariskan.
b. Tembawang
Tembawang merupakan kawasan kumpulan pohon buah-buahan baik
yang berasal dari bekas kampung yang telah ditinggalkan maupun lokasi yang
sengaja ditanam pohon buah-buahan. Kepemilikan tembawang dalam budaya
38
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
masyarakat adat dayak bisa secara kolektif berdasarkan garis keturunan maupun
perseorangan/keluarga. Pemanfaatan kawasan tembawang dilakukan secara
terbatas. Anggota masyarakat atau pemilik tembawang hanya diperbolehkan
mengambil buah-buahan, tanaman obat, madu, anggrek dengan tidak merusak
atau menebang pohon dan kelestarian kawasan tembawang bersangkutan.
Masyarakat setempat juga bebas berburu binatang liar di kawasan ini.
Penebangan pohon tengkawang, durian, tapang dan pohon-pohon tertentu
juga dilarang sehingga menjadikan kawasan tembawang tetap eksis. Kawasan
tembawang ini tidak boleh dikelola dijadikan ladang atau dibuka untuk
perkebunan. Perusakan terhadap kawasan ini akan dikenai sanksi adat “salah
basa”. Hasil studi yang dilakukan oleh EC-Indonesia FLEGT Support Project
(2008) memberikan gambaran keberadaan tembawang pada masyarakat adat
dayak, yaitu di Desa Menua Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu, yang terdapat
3 jenis tembawang atau Temawai menurut bahasa setempat, sebagai berikut:
- Temawai Rumah Panjae, yaitu perkampungan yang dihuni beberapa
tahun dan kemudian ditinggalkan dan berpindah ke tempat lainnya. Bekas
kawasan ini ditumbuhi jenis tanaman buah-buahan (durian, rambutan,
langsat, asam, pinang, cempedak, rambai, rotan, tengkawang, dan tanaman
bumbu-bumbuan lainnya).
- Temawai Dampa’ (sementara), yang merupakan lokasi bekas perkampungan
Rumah Panjae namun sifatnya sementara karena masyarakat pindah dari
perkampungan tersebut akibat suatu kejadian yang tidak mereka duga.
- Temawai Langkao Umai, yang merupakan tempat bekas mendirikan
pondok ladang. Disekitar pondok ladang biasanya ditanami tanaman sayursayuran, bumbu-bumbuan, pisang, dan lain-lain kadang-kadang lokasi ini
di ladangi kembali.
c. Hutan Keramat atau Kawasan Pekuburan
Hutan keramat merupakan lokasi yang dianggap angker yang dihuni
oleh hantu-hantu atau merupakan lokasi pekuburan tua. Jika lokasi keramat
diganggu maka menurut kepercayaan masyarakat adat, pelakunya maupun
warga kampung akan mendapat bala atau musibah. Beberapa istilah yang
digunakan untuk menyebut hutan keramat di dalam masyarakat adat dayak
Provinsi Kalimantan Barat antara lain adalah Tana Pana dan Tana Mali di
Desa Nanga Jelundung Kabupaten Sintang, Kawasan Rimba/Toan Samangat
di Desa Labian Kabupaten Kapuas Hulu, Kawasan Keramat/Pendam/Lolong
Mali di Desa Nanga Sungai Seria Kabupaten Sintang, Kampong Taroh di Desa
Menua Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu.
Secara ekologis, fungsi kawasan ini adalah sebagai sumber kekayaan plasma
nuftah dan keanekaragaman hayati, melindungi tanah dan air, menghasilkan
produk hutan non kayu seperti gaharu, rotan, akar-akaran, damar, buahbuahan, tanaman obat-obatan, kayu bangunan, binatang liar, sumber mata air,
bagian dari sistim budaya khususnya masyarakat hukum adat dan mengatur
iklim. Dengan demikian, masyarakat sangat berkepentingan untuk menjaga
BAB III
39
dan mempertahankannya. Kawasan ini hanya dapat dimanfaatkan oleh warga
dengan seizin pengurus adat dan aturan yang sudah disepakati. Di kawasan
hutan adat ini masyarakat tidak boleh menggarap, berladang, dan mengambil
kayu. Masyarakat boleh memasuki kawasan ini hanya untuk keperluan yang
berhubungan dengan adat kebiasaan.
d. Bawas tua, bawas muda (Tajak bio/jamis)
Merupakan lokasi persawahan dan pemukiman yang dikerjakan oleh
masyarakat adat. Kawasan Umai atau Huma di dalam kawasan ini terdiri dari
bawas tua atau bawas muda merupakan lahan ladang yang sedang diberakan
atau sedang didiamkan untuk menunggu siklus berladang, yang dapat berupa
danum dan tanah Kerapa atau ladang payak.
10. Adanya praktik sanksi adat terhadap pelanggaran di kawasan hutan untuk mengawal
dan memonitor (safeguard monitoring) dalam rangka memastikan jasa lingkungan
dan biodifersiti kawasan hutan adalah sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
masyarakat adat.
Sanksi-sanksi terhadap pelanggaran aturan adat dayak di Kalbar juga memiliki
persamaan antar kelompok masyarakat adat, diantaranya dengan menyerahkan
denda yang dapat berupa padi ataupun penyerahan benda lainnya. Sanksi yang
diberikan berbeda untuk setiap pelanggaran yang terjadi. Itu tergantung di daerah
mana pelanggaran itu terjadi. Semakin keramat atau semakin sakral kawasan hutan
tersebut, sanksi yang diberikan akan semakin berat. Beberapa bentuk sanksi yang
diberikan apabila terjadi pelanggaran di kawasan hutan adat di Kalbar antara lain
sebagai berikut:
a. Pelanggaran di Kawasan Hutan Adat
Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran dalam pengambilan kayu,
gaharu, rotan, anggrek, obat-obatan, keladi hutan dan segala kekayaan
yang terkandung di dalam kawasan hutan adat. Itu dilakukan oleh anggota
masyarakat lokal atau masyarakat luar desa tanpa izin dari Ketua Adat
(Penggawa) atau Kepala Desa. Perbuatan itu dianggap sebagai pencurian dan
dikenakan hukuman dua ulun. Satu ulun kira-kira setara dengan harga 1 gram
emas di pasaran. Sedangkan di sebagian masyarakat adat Kabupaten Kapuas
Hulu denda adat adalah Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
- Peralatan kerja disita. Barang-barang yang telah ditebang, diambil tidak
boleh dibawa pelaku dan disita menjadi milik desa.
- Pohon-pohon yang telah ditebang atau dirusak harus diganti dengan
sejumlah uang yang akan diperhitungkan sesuai harga pasaran. Perlatan
kerja akan dikembalikan kepada pemiliknya jika denda adat sudah dibayar.
- Di sebagian masyarakat adat Kabupaten Kapuas Hulu, para pekerja kayu
dilarang memakai atau mendatangkan pekerja dari luar. Jika melakukan
pelanggaran dikenai denda adat Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Pekerja
luar wajib diberhentikan seketika, juga dari denda adat yang terkumpul,
30% menjadi hak lembaga adat.
40
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
b. Pelanggaran di Kawasan Tembawang
Bentuk sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran adat yang ditetapkan
di kawasan tembawang adalah:
- Penebangan atau pembakaran pohon buah yang dilindungi seperti
tengkawang, tapang, durian dan pohon-pohon yang dianggap bernilai
ekonomis yang dilakukan oleh bukan pemilik dianggap sebagai perbuatan
perusakan milik orang lain. Pelakunya akan dikenai sanksi adat 6 (enam)
ulun dan 8 (delapan) ulun jika ada kuburan. Setiap pohon yang dirusak
akan dibayar sesuai dengan kondisinya yang dikaitkan dengan masa
produktif pohon yang bersangkutan. Sedangkan di sebagian masyarakat
adat Kabupaten Melawi, pelaku akan dikenai sanksi adat 40-60 real permas. Setiap pohon yang dirusak akan dibayar sesuai dengan kondisinya
yang dikaitkan dengan masa produktif pohon yang bersangkutan.
- Jika pelaku mempergunakan alat seperti parang, kampak, beliung atau
chain saw, alat-alat tersebut disita sebagai barang bukti.
- Buah atau pohon yang telah ditebang, tidak tidak boleh dibawa oleh pelaku
dan tetap menjadi hak si pemilik tembawang (gupung buah).
c. Pelanggaran di Kawasan Keramat
Sanksi-sanksi bagi para pelaku yang merusak kawasan keramat adalah
sebagai berikut:
- Pelaku di hukum 8 ulun atau setara dengan Rp 1.600.000 (satu juta enam
ratus ribu rupiah) sebagai perbuatan perusakan barang keramat atau
sebesar Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah) di sebagian masyarakat adat
Kabupaten Sintang.
- Pelaku diwajibkan mengadakan upacara adat “tolak bala” agar penduduk
terhindar dari mara bahaya karena kemarahan penghuni tempat keramat.
Menurut pengalaman penduduk setempat, jika seseorang merusak tempattempat keramat umurnya tidak panjang. Kematiannya dapat disebabkan
berbagai hal seperti sakit mendadak, jatuh, terluka atau dipatok oleh binatang
berbisa. Dari beberapa bentuk kesepakatan terhadap pengelolaan hutan di
masyarakat adat dayak di Kalbar dapat diketahui bahwa masyarakat adat
memiliki “kearifan tradisional” (indigenous wisdom), yang merupakan semua
bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat
kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia di dalam komunitas
ekologis. Hal ini dapat diartikan bahwa masyarakat adat tidak hanya berpusat
pada hubungan antar manusia dengan manusia, tetapi juga antara manusia
dengan alam. Melalui kearifan tradisional ini, masyarakat adat menerapkan
aturan adat dan larangan serta sanksi yang sudah ada sejak jaman leluhur
mereka dan mereka yakini sebagai pedoman untuk memanfaatkan sumberdaya
alam yang mereka miliki sehingga kehidupan mereka berjalan dengan damai
dan sejahtera. Seringkali larangan-larangan tersebut sulit untuk dijelaskan
secara ilmiah, tetapi karena sudah menjadi hal yang diwariskan mereka tetap
BAB III
41
patuh menjalankannya. Masyarakat hukum adat yang bermukim di sekitar
hutan memiliki pandangan bahwa hutan adalah bagian dari kehidupan mereka,
dimana manusia adalah merupan bagian dari alam dan alam selalu bertindak
jujur dan adil.
Persepsi masyarakat adat dayak di Kalbar terhadap hutan yang berada di
lingkungan mereka, berdasarkan hasil studi dari EC-Indonesia FLEGT Support
Project (2008), antara lain adalah:
- Keberadaan mereka di suatu wilayah bukanlah atas kemauan mereka sendiri
tetapi karena warisan dari leluhur. Itu membuat mereka merasa berhak
untuk mengelola sumberdaya alam yang ada di sekitar tempat tinggal.
- Mereka sangat tergantung terhadap hasil hutan kayu dan non kayu untuk
memenuhi kebutuhan primer, sandang, dan papan mereka, sehingga agar
kehidupan mereka tetap berlangsung baik mereka akan berusaha untuk
menjaga kelestarian hutan.
- Hutan merupakan kawasan religi dan budaya, juga tempat tinggal arwah
nenek moyang mereka. Apabila mereka merusak hutan adat, artinya
mereka juga merusak tempat tinggal arwah nenek moyang yang dipercaya
sebagai dewa pelindung mereka. Dengan adanya persepsi tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa sebenarnya keberadaan masyarakat adat pada
dasarnya bukan lah sebagai perusak hutan tetapi pemelihara hutan.
Secara tidak langsung, hukum adat yang sudah lama tumbuh di masyarakat
dayak memiliki peran penting menjaga lingkungan kawasan hutan. Sanksi
adat yang diterapkan memiliki pengaruh efektif bagi siapa saja untuk tidak
melakukan pengerusakkan hutan beserta isinya. Kearifan lokal tersebut
tentunya sangat menunjang untuk implementasi REDD+ di Kalbar.
42
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
BAB IV
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI
(SRAP) REDD+KALBAR
4.1. Landasan Pikir Pengembangan SRAP REDD+ Kalbar
SRAP REDD+ Kalbar menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pencapaian
visi “Mewujudkan Masyarakat Kalimantan Barat yang Beriman,Sehat,
Cerdas, Aman, Berbudaya dan Sejahtera”. Initertuang dalam Peraturan
Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah
Kalbar. Pencapaian visi tersebut dijabarkan pada misi kesepuluh RPJMDKalbar,
yaitu melaksanakan pengendalian dan pemanfaatan tata ruang dan tataguna wilayah
sesuai dengan peruntukan dan regulasi, gunamenghindari kesenjangan wilayah dan
terwujudnya pembangunanyang berkelanjutan.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Kalbardikembangkan
berdasarkan Visi, Misi dan Tujuan(Pendek, Menengah, dan Panjang) yang telah diuraikan
dalam bab sebelumnya. Visi SRAP REDD+Kalbar adalah“Menuju Kalimantan Barat
Hijau Untuk Indonesiadan Kesejahteraan Masyarakat”. Tata kelola Sumberdaya Hutan
dan Lahan di Kalbar yang Mampu Menyelaraskan Fungsi Lingkungan dan Manfaat
Ekonomi BagiKesejahteraan Masyarakat”.Substansi inti dan visi tersebut) diharapkan
dapat menyelaraskan sasaran yaitu fungsi lingkungan dan manfaat ekonomi yang pada
akhirnya menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Substansi inti tersebut tergambar dalam Misi SRAP REDD+ berkaitan dengan
aspek-aspek (1) Strukturdan fungsi kelembagaan pengelolaan hutan pada seluruh
tingkatan; (2) Perencanaan pembangunan berbasis sumberdaya hutan; (3) Peraturan
perundangan dan hukum bekaitan dengan pengelolaan hutan; serta (4) Kapasitas
pengelola sumberdaya hutan. Keempat substansi di atas sudahdijabarkan dalam Tujuan
SRAP REDD+ baik pendek 2013-2016, menengah 2013-2018 maupunpanjang 20132028 yang selanjutnya menjadi landasan penetapan strategi serta rencana aksi.
BAB IV
43
Gambar 4.1. Hubungan antara Visi, Misi dan Tujuan dalam rangka
Menetapkan Strategi dan Rencana Aksi SRAP REDD+Kalbar
Persoalan lahan (land base development) masalah serius yang setiap tahun mengalami
dinamika. Pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan sering berhadapan
dengan masyarakat terkait lahan tersebut. Untuk itu, pembangunan berbasis lahan
terkait visi dan misi di atas, perlu dirancang secara sistematis dan terprogram dengan
baik.
Beberapa kasus di Kalbar sering terjadi konflik antara masyarakat di sekitar
lahan dengan pihak yang ingin memanfaatkan lahan tersebut. Ada persepsi yang
sering ditemukan terkait masalah lahan tersebut. Pihak yang menggunakan lahan
(pemerintah, perusahaan) berpegang pada aturan (hukum positif) yang kadang tidak
diketahui secara merata oleh masyarakat sekitar lahan. Sementara masyarakat hanya
berpegang pada adat istiadat (hukum adat) yang juga tidak dipahami secara menyeluruh
oleh pemerintah maupun pihak perusahaan. Beda pemahaman ini sering menimbulkan
konflik di tengah masyarakat. Lahan yang kadang sudah dibebaskan saja (sah secara
hukum positif) sering muncul persoalan di kemudian hari. Persoalan lahan memang
harus clean (bersih) dulu ketika ingin memulai SRAP REDD+ Kalbar. Jika belum clean,
akan sangat sulit untuk mewujudkan SRAP REDD+ di tengah masyarakat. Justru akan
muncul banyak konflik. Apalagi program REDD+ ini lebih banyak bersifat top down
ketimbang buttom up. Walau demikian, sebuah upaya baru diketahui hasilnya apabila
sudah dilaksanakan. Sebuah rencana baru bisa ada hasilnya apabila seluruh program
bisa diimplementasikan.
Berangkat dari persoalan tersebut, SRAP REDD+ Kalbar langkah strategis yang
mesti dilakukan untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan di atas adalah sebagai berikut:
1. Sosialisasi intensif. Pendekatan dengan masyarakat di sekitar hutan dan lahan
mutlak dilakukan. Ajak masyarakat untuk untuk saling memahami apa sebenarnya
REDD+ tersebut, berikan penjelasan mengenai hak dan kewajiban mereka. Butuh
44
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
waktu lama untuk melakukan itu semua, tidak bisa dengan satu atau dua kali
pertemuan, melainkan harus intensif agar masyarakat benar-benar memahaminya.
2. Peningkatan Kapasitas. Mengajak masyarakat sekitar hutan dan lahan untuk
meningkatkan kapasitas mengenai REDD+. Perlu ada pelatihan-pelatihan terkait
implementasi REDD+. Dengan demikian, ketika program dilaksanakan, mereka
sudah mengetahui apa yang mesti dilakukan.
3. Sinkronisasi Status Lahan. Persoalan lahan sering bermasalah akibat data yang
dimiliki pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sering berbeda. Dalam hal ini
perlu dilakukan sinkronisasi data lahan dengan melibatkan masyarakat.
4. Peningkatan Kesejahteraan. Akhir dari REDD+ adalah kesejahteraan
masyarakat. Untuk apa program digarap berbiaya tinggi, kalau tidak memberikan
kesejahteraan masyarakat. Perlu dilakukan pengukuran tingkat kesejahteraan
masyarakat sebelum dan sesudah program REDD+ yang akan dilaksanakan.
Sebagai contoh, insentif yang akan diberikan kepada masyarakat atas jasa terhadap
pengurangan deforestasi dan degradasi hutan bisa memberikan kesejahteraan
untuk masyarakat.
4.2. Metode Penetapan SRAP REDD+ Kalbar
Setelah ke empat hal utama dan substansial di atas dirasakan bisa dijamin
untuk bisa diterapkan atau dilaksanakan, langkah berikutnya perlu merancang metode
untuk penerapan SRAP REDD+ Kalbar tersebut. Motede merupakan sebuah cara untuk
mencapai visi, misi, dan tujuan agar berjalan sesuai rencana dak tidak keluar dari apa
yang telah ditetapkan. Sebagai langkah pertama yang mesti dilakukan melakukan
identifikasi isu utama. Upaya ini dilakukan agar setiap persoalan atau masalah yang
akan muncul bisa diidentifikasi secara jelas.
Isu berkaitan dengan lingkungan hidup di Kalbar memang cukup banyak.
Dari isu mengenai kerusakan hutan dan lahan sampai isu untuk memperbaiki atau
memperbaiki apa yang telah rusak. Belum lagi persoalan konflik sering mengemuka
dan mendapat perhatian media. Sebagai contoh, isu pemberian izin areal perkebunan
kepala sawit. Pemerintah daerah yang memiliki instrumen berbagai persyaratan
sebelum izin dikeluarkan, dengan mudah mengeluarkan perizinan. Begitu izin keluar,
pihak yang mendapatkan izin mulai melaksanakan apa yang telah direncanakan.
Begitu mau melakukan penggarapan lahan, muncul persoalan masyarakat tidak terima.
Ternyata ada tumpang tindih lahan. Masyarakat memperlihatkan bukti lain soal
kepemilikan lahan. Kalau sudah demikian masalahnya, yang muncul adalah konflik.
Izin merupakan dokumen negara yang tidak mudah untuk dicabut atau dianulir. Sebab,
untuk mengeluarkan sebuah izin sudah melewati proses cermat, teliti, panjang, dan
mengeluarkan biaya.
4.2.1. Identifikasi Isu Utama
Berikut ini sejumlah isu utama yang berhasil diidentifikasi. Bukan cuma
diidentifikasi melainkan berhasil juga dikelompok berdasarkan sektor-sektornya:
BAB IV
45
46
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
1
No
Kehutanan
Sektor
1,7,8,9
1,4,6,7,
8,9,10
Pelaku
Tidak Direncanakan
Direncanakan
kunci
1.Permukiman dan lahan garapan, Konflik 1,2,3,4,5, 1.Konversi Hutan Alam
6,7,8,9,10
Tenurial berdasarkan jumlah dan
dan lahan gambut di
sebaran desa terhadap kawasan hutan
hutan produksi menjadi
perlu dicermati karena sebagian besar
Perkebunan, pemukiman,
keberadaannya sudah ada sebelum
infrastruktur jalan,
NKRI. Berdasarkan BPS 2007 ada 1530
pertambangan dan
desa yang tersebar di dalam kawasan
pertanian (Food Estate,
hutan 119 desa (7,8%) ; di tepi kawasan
Transmigrasi, Tambak) (9
hutan 524 desa (34,3%); di luar kawasan
Kabupaten)
hutan 887 desa (57,9%). ( 12 Kabupaten)
2.Luas wilayah desa di sekitar kawasan
7,9,10 2.Pengambilan kayu alam
hutan mengcover 14,2 juta hektar.
untuk kebutuhan bahan
Diketahui rata-rata desa yang berada di
baku industri pulp, chip,
kawasan hutan memiliki wilayah yang
sawmill dan wood working
lebih luas dibandingkan dengan desa
(14 Kabupaten/kota)
yang berada di luar kawasan hutan yaitu
sekitar 17.967 Ha berbanding 7.687 Ha.
Dengan keterbatasan aksesibilitas satu
dengan yang lainnya. ( 12 Kabupaten)
3.Kebakaran hutan dan lahan yang
4,6,7,8,
terjadi akibat proses alami misalkan
9,10
pada waktu musim kemarau panjang
(El-Nino) terutama di lahan gambut
(KKR,KTP,KKU,STG,KH, Kab.PTK)
Isu Utama
3.Kurang berhasil efektivi1,4,9
tas pengelolaan kawasan
hutan lindung, hutan Konservasi, Taman Nasional,
Cagar Alam, Restorasi
Ekosistem, HTR, Hkm (9
Kabupaten)
4.Menurunnya status
1,2,3,4,5, 4.Illegal logging atau Perambahan
fungsi kawasan hutan (12 6,7,8,9,10
Hutan di kawasan hutan Produksi,
Kabupaten)
Konservasi, Hutan Lindung, Restorasi
Ekosistem oleh penduduk pendatang (12
Kabupaten)
2.Kurangnya keberhasilan penanaman dalam
reboisasi dan rehabilitasi
hutan dan lahan. (12 Kabupaten)
1.Pemberian IUPHHK-HA
dan HTI (Kab. STG, KH,
Melawi, KTP, KKR, SGU,
SKD, BKY)
Direncanakan
Pelaku
kunci
1,6,7,8,
9,10
Degradasi
Tabel 4.1. Pengelompokan isu-isu Utama Sektor Berbasis Lahan di Kalbar
Deforestasi
Pelaku
Pelaku
Tidak Direncanakan
kunci
kunci
1,2,3,
1.Perambahan
1,4,8, 9,10
5,6,7,
Hutan dan
8,9,10
illegal logging di
kawasan hutan
konservasi,
Hutan Lindung,
Taman Nasional,
Hutan Produksi
oleh penduduk
lokal. (9
8,9,10
Kabupaten)
BAB IV
47
Pertanian
Lahan Basah
(Gambut/
Mangrove)
Perkebunan
3
3
Sektor
2
No
2.Pemanfaatan lahan
berhutan untuk pertanian
tebas dan bakar (Slash
and Burn Agriculure) (12
Kabupaten)
1.Alih fungsi hutan bakau
untuk tambak udang dan
ikan (6 Kabupaten
1.Ekstensifikasi
Kemandirian Pangan
(Food Estate) (3
Kabupaten)
Direncanakan
1,2,3,4,
6,7,8
2,4,9,10
Pelaku
kunci
2,3,4,6,
7,8,9,10
Tidak Direncanakan
Degradasi
Pelaku
kunci
Isu Utama
1,2,3,
6,7,8
1,6,7,8
2.Pembuatan kanal di lahan
gambut oleh perusahaan
HTI dan Perkebunan Sawit.
(9 Kabupaten)
1. Konversi Lahan berhutan
ke perkebunan sawit skala
besar oleh pemilik HGU (12
Kabupaten)
2,4,6,7,
8,10
1.Pengembangan food
estate untuk swasembada
pangan dan perluasan
infrastruktur terkait MP3EI
(Master Plan Percepatan
Pembangunan Ekonomi
Indonesia Koridor
Kalimantan) (9 Kabupaten)
Direncanakan
2.Perambahan
Hutan oleh
masyarakat
pendatang (6
Kabupaten)
1.Konversi lahan
hutan untuk
perkebunan
kelapa sawit,
karet karet,
kopi, tebu dll
oleh masyarakat
lokal/ pendatang
(14 Kabupaten/
Kota)
1.Kebakaran
Lahan hutan
dan gambut (9
Kabupaten)
Deforestasi
Pelaku
Tidak Direncanakan
kunci
1,2,3,6,7,
8,9,10
4,6,7,8,
9,10
4,6,7,8,
9,10
Pelaku
kunci
48
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Pekerjaan
Umum
Tata Ruang
Lain-lain
6
7
8
Pelaku
kunci
1,3,4,5,
6,7,8
Keterangan:
1.
Kementrian kehutanan
2. Kementrian pertanian
3. Kementrian pekerjaan umum
4. Kementrian lingkungan hidup
5. Kementrian energi dan sumber daya mineral
6. Pemerintah provinsi
Transmigrasi
5
Direncanakan
Pertambangan Izin pinjam pakai
kawasan hutan untuk
pertambangan bauksit,
batu bara, kaolin, emas,
kuarsa (13 Kabupaten)
Sektor
4
No
7.
8.
9.
10.
Pemerintah kabupaten
Swasta
Penduduk lokal
Penduduk migran
Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) (12
Kabupaten)
Tidak Direncanakan
Degradasi
Pelaku
kunci
4,5,6,7,
8,9,10
Isu Utama
1. Pemekaran wilayah kabupaten/provinsi yang sudah
tercatat dalam PROLEGNAS (14 Kabupaten/Kota)
1,3,4,6,7,
1.Perubahan peruntukan/
alih fungsi hutan yang sah
melalui RTRWK/RTRWP
2.Pengembangan ekonomi wilayah budidaya
non kehutanan dalam
kawasan strategis nasional
perbatasan
6,7,9,10
6,7,9,10
1,3,4,6,
7,8,
1,2,3,4,5,
6,7,8,9,10
1. Pengembangan infrastruktur jalan di kawasan
perbatasan yang melewati
kawasan hutan (9 Kabupaten)
1. Konversi hutan yang dialokasikan untuk program
transmigrasi dan kawasan
terpadu mandiri (4 Kabupaten)
1. Ekspansi dan konversi
hutan untuk pertambangan bauksit, batu bara,
kaolin, emas, kuarsa (13
Kabupaten)
Direncanakan
Deforestasi
Pelaku
Tidak Direncanakan
kunci
1,3,4,5,
6,7,8
Pelaku
kunci
Berdasarkan identifikasi isu utama di atas, tingkat deforestasi dan degradasi
hutan di Kalbar terbilang tinggi. Lebih jelasnya bisa dilihat dalam quadran di bawah ini.
KORPORASI/PEMERINTAH
MASYARAKAT
Kalbar
Gambar 4.2. Klasifikasi Provinsi Berdasarkan Subjek dan Tekanan Atas Kawasan
4.2.2.Identifikasi Sebab dan Akar Masalah
Beberapa sektor dan isu-isunya yang menjadi penyebab serta akar
masalahterjadinya deforestasi dan degradasi hutandi Kalbar berhasil diidentifikasi.
Deforestasi dan degradasi hutan bukanlah persoalan baru, tetapi sudah dihadapi sejak
puluhan tahunlalu.Akan tetapi isu tersebut terus berlangsung hingga kini.
Sebagai contoh di Kabupaten Melawi Kalimantan Barat dengan ibukota Nanga
Pinoh, sebelum pemerintah melarang praktik ilegal logging (IL), praktik tersebut sangat
marak. Kota Nanga Pinoh sebelumnya sangat ramai. Aktivitas ekonomi ramai. Para
pendatang dari segala penjuru daerah di Kalbar banyak mendatangi kota tersebut. Siang
dan malam Kota Nanga Pinoh ramai dengan para pendatang yang banyak menjalankan
bisnis kayu batangan (log). Tingkat hunia hotel juga tinggi. Untuk saat itu, Kota Nanga
Pinoh menjadi hidup karena maraknya bisnis ilegal logging. Pada saat itu, isu kerusakan
hutan menjadi sangat kuat, namun sangat sulit dihentikan.
Ketika pemerintah mengetatkan ilegal logging, perlahan namun pasti praktik
ilegal logging menjadi terhenti. Banyak pelaku ilegal logging yang diproses secara
hukum. Banyak juga kayu ileggal logging yang disita oleh pihak kepolisian. Di satu sisi,
kerusukan hutan bisa ditekan. Namun, di sisi lain, aktivitas ekonomi yang awalnya
marak, menjadi melambat. Kota Nanga Pinoh untuk saat ini tidak seramai dulu. Sebuah
dilema yang patut untuk dipikirkan ketika REDD+ diimplementasikan.
Identifikasi sebab dan akar masalah dilakukan dalam upaya penghilangan
penyumbatan (debottlenecking). Strategi dan atau rencana aksi yang hanya berbasis
pada sebab, seringkali hanya menjawab kenampakannya (appearance) saja, bukan pada
BAB IV
49
substansi (substance). Akibatnya, solusi yang ditawarkan tidak tuntasmenyelesaikan
persoalan deforestasi dan degradasi hutan.Lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 4.2. Beberapa Sektor, Isu, Sebab dan Akar Masalah Deforestasi
dan Degradasi diKalimantan Barat
50
No
Isu
Sebab
Akar Masalah
(1)
(2)
(3)
(4)
1
Kehutanan
1.1
Penggunaan Kawasan
Hutan Untuk
Pemukiman dan Lahan
Garapan
a. Laju pertumbuhan penduduk
b. Kebutuhan tempat tinggal/rumah
c. Kebutuhan lahan garapan, kebutuhan
sandang pangan dan papan
a. Hak milik atas tanah dan hutan
belum tuntas bagi semua pihak
b. Pengawasan & Penegakan
hukum masih lemah
c. Open acess bagi sumberdaya
hutan
d. Tata ruang yang belum detail
dan belum operasional
1.2
Pengembangan
ekonomi wilayah
budidaya non
kehutanan
a. Ketergantungan masyarakat terhadap
impor bahan pangan dan sandang
b. Keterbatasan lahan pertanian
masyarakat
c. Keterbatasan kapasitas perencana
daerah meliputi informasi, SDM,
teknologi dan finansial
a. Paradigma pembangunan
berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi
b. Tata ruang yang belum detail
dan belum operasional
1.3
Pengembangan
ekonomi wilayah
budidaya non
kehutanan dalam
kawasan strategi
nasional perbatasan
a. Selama ini pembangunan di wilayah
perbatasan dengan Malaysia sangat jauh
tertinggal dalam segala aspek
b. Ego sektoral pemerintah pusat tanpa
mendengar aspirasi daerah otonom di
perbatasan
c. Keterbatasan kapasitas perencana
daerah menyangkut informasi, SDM,
teknologi dan finansial
a. Paradigm pembangunan
Nasional hanya terfokus pada
pulau Jawa
b. Kurangnya informasi, training
dan SDM yang visioner
c. Koordinasi antar kementrian
tidak berpihak kepada
masyarakat diperbatasan
1.4
Perambahan hutan di
kawasan konservasi,
kawasan lindung,
Taman Nasional dan
kawasan restorasi
ekosistem
a. Terbukanya Akses jalan/ transportasi
untuk kegiatan ekonomi
b. Kebijakan politik kepala daerah yang
mempromosikan kelapa sawit dan
atau hasil tambang sebagai komoditas
unggulan selain kayu
c. Permintaan global atas CPO, Kopi Bubuk
dan karet tinggi
d. Keterbatasan lahan untuk pertanian dan
permukiman
e. Belum terbangunnya kelembagaan
untuk lokasi alternative penanaman bagi
masyarakat
a. Tata ruang yang belum detail
dan belum operasional
b. Penegakan hukum yang masih
lemah
c. Hak atas tanah dan hutan yang
belum tuntas bagi semua pihak
d. Belum tersedianya lembaga
BLU (Pelayanan Keuangan)
e. Beleum tersedianya lembaga
resolusi konflik diluar hukum
posistif
1.5
Kebakaran hutan dan
lahan
a. Intruksi zero burning untuk aktifitas
penyiapan lahan HTI dan perkebunan
kelapa sawit tidak berhasil guna
b. Terjadinya musim kemarau panjang/elnino
a. Penegakan hukum yang lemah
b. Perusahaan ingin menekan
biaya operasional penyiapan
lahan
c. Kurangnya sosialisasi pada
tingkat tapak
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
No
Isu
Sebab
Akar Masalah
(1)
(2)
(3)
(4)
1.6
Illegal loging dan illegal
trading
a. Deman kayu yang didorong oleh pasar
b. Tingkat ekonomi masyarakat yang
rendah dan tidak ada pilihan sumber
penghidupan masyarakat
c. Penegakan hukum yang lemah
d. Ego sektoral
e. Vonis hukum yang ringan tidak memiliki
efek jera
f. Adanya mafia cukong kayu
a. Open acess sumber daya hutan
b. Hak atas tanah dan hutan yang
belum tuntas bagi semua pihak
c. Berkembangnya KKN dijajaran
opnum yudikatif
1.7
Reboesasi dan
rehabilitasi hutan dan
lahan
a. Dana DR tidak dialokasikan kembali ke
asaol sumber hutan yang sudah ditebang
b. Birokrasi perizinan yang rumit
c. Kawasan hutan tredegradasu berada
dalam wilayah konsesi
d. Jenis yang ditanam tidak unggul dan
tidak sesuai dengan tapak
a. Adanya peraturan PNBP untuk
DR sehingga sulit kembali ke
hutan
b. Kepastian kawasan/ tenurial
c. kelembagaan RHL yang lemah
dan kurang akuntabel
1.8
Eksploitasi berlebihan
dalam IUPHHK-HA dan
HTI
a. kurangnya komitmen pelaku usaha
terhadap PHPL
b. lemahnya pengawasan
c. penebangan diluar blok RKT
d. IHMB (Inventarisasi Hutan Berkala
Menyeluruh) tidak dilaksanakan
e. Biaya transaksi tinggi karena oknum
birokratnya bermental KKN
a. Antar Mereka lebih senang ber
KKN
b. Kontrak karya dan system
perizinan perlu direvisi akibat
wanprestasi
c. Pengawasan yang lemah
2
Pertanian
2.1
Konversi lahan
a. Keterbatasan lahan tak berhutan untuk
berhutan untuk
food estate
pertanian pangan (Food b. Alih fungsi lahan produktif untuk
Estate)
kepentingan sektor ekstraktif
a Kebijakan investasi skala besar
yang tidak terkontrol
b Posisi tawar masyarakat lokal
yang lemah
c Tata ruang yang belum
detail,belum operasional, dan
belum konsisten
2.2
Pertanian tebas bakar
a. Keterbatasan lahan tak berhutan untuk
pertanian tebas bakar
b. Perubahan social budaya di masyarakat,
baik internal (kelembagaan) maupun
akibat migrasi dan pertambahan
penduduk, dan lain-lain.
c. Rendahnya adopsi teknologi pertanian
tanpa bakar
a. Belum adanya kepastian hak
dan ruang kelola masyarakat
b. Kelembagaan resolusi konflik
belum terbangun
c. Pengembangan ekonomi
rakyat belum menjadi prioritas
kebijakan
3
Perkebunan
3.1
Ekspansi Sawit
a. Konversi hutan dan lahan produktif/
rentan menjadi lahan sawit
b. Tidak adanya batasan luasan perizinan
c. Kebijakan politik kepala daerah yang
mempromosikan kelapa sawit sebagai
komoditas unggulan
d. Permintaan sawit besar
e. Masyarakat acuh atau mendukung
perkebunan
f. Masyarakat tidak berdaya
a Inkonsisten perizinan dengan
kesesuaian lahan dan kawasan
yang dilindungi
b Open access terhadap hutan
c Hak atas tanah dan hutan yang
belum tuntas bagi semua pihak
d Korupsi perizinan
e Ekonomi masyarakat sekitar
yang rendah
BAB IV
51
52
No
Isu
Sebab
Akar Masalah
(1)
(2)
(3)
(4)
4
Pertambangan
4.1
Ekspansi KP/PKP2B
a Konversi hutan dan lahan produktif/
rentan menjadi tambang
b Tidak adanya batasan luasan perizinan
c Permintaan bahan tambang besar
d Tambang menjadi penopang ekonomi
nasional
e Masyarakat acuh atau mendukung
perkebunan
f Masyarakat tidak berdaya
a. Inkonsisten perizinan dengan
kesesuaian lahan dan kawasan
yang dilindungi
b. Open access terhadap hutan
c. Hak atas tanah dan hutan yang
belum tuntas bagi semua pihak
d. Korupsi perizinan
e. Ekonomi masyarakat sekitar
yang rendah
5
Transmigrasi
a Konversi hutan yang dialokasikan untuk
peruntukan non sektor kehutanan
b Keterbatasan kapasitas perencanaan
daerah meliputi informasi, SDM,
teknologi dan financial anggaran
a Belum diterapkan KLHS
program strategis
b Paradigm pembangunan
berorientasi pada
pertumbuhan
c Tata ruang yang belum detail
dan tidak operasional
d Penegakan hukum lemah
6
Pekerjaan umum
a Pembuatan infrastruktur jalan darat
melalui kawasan hutan
b Konversi lahan produktif/hutan untuk
pengembangan infrastruktur
c Migrasi dan pertambahan penduduk
d AMDAL (kawasan) belum diterapkan
secara komprehensif
a Belum diterapkan KLHS
program strategis
b Paradigm pembangunan
berorientasi pada
pertumbuhan
c Tata ruang yang belum detail
dan tidak operasional
d Penegakan hukum lemah
e Pembangunan hanya mengejar
peningkatan pertumbuhan
ekonomi
f Open access
7
Tata ruang
a Alih fungsi hutan yang sah melalui
RTRWP/Kabupaten
a Belum diterapkan KLHS
program strategis
b Paradigm pembangunan
berorientasi pada
pertumbuhan
c Tata ruang yang belum detail
dan tidak operasional
d Penegakan hukum lemah
8
Lain-lain
Pemekaran wilayah provinsi dan atau
kabupaten yang sudah tercatat dalam
prolegnas
a. Demi pemerataan
pembangunan dan
kesejahteraan.
b. Tata ruang yang belum detail
dan operasional
c. Tuntutan masyarakat
perbatasan
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Penetapan Strategi dan Rencana AksiDari hasil identifikasi akar masalah
dapat ditetapkan strategi dan rencana aksi yang diperlukan untuk menyelesaikan
akar masalah tersebut. Untuk pengembangan SRAP REDD+ Kalbardidasarkan pada
hasil konsultasi aktif yang menghasilkan input dan konfirmasi. Diharapkan dalam
implementasinya didukung oleh partisipasi aktif 14 kabupaten/kota se-Kalbar. Tidak
mungkin implementasi REDD+ hanya berdasarkan kemauan Pemprov. Kalbar. Bisa
terwujud nyata bila mendapatkan dukungan dari semua pemerintahan kabupaten/kota.
Dalam uraian selanjutnya di bawah ini akan dijelaskan secara lebih terperinci mengenai
Strategi dan Rencana Aksi REDD+ di Provinsi Kalbar.
Berdasarkan hasil identifikasi yang terangkum dalam Tabel 4.2, akar masalah
dari terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Kalbar sebagian besar lebih berorientasi
pada kelemahan tata kelola sumber daya hutan dan lahan gambut, kelembagaan dan
kebijakan, dari pada aspek-aspek teknis atau persoalan yang berkaitan dengan tugas
pokok dan fungsi (tupoksi) langsung dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Strategi dan Rencana Aksi dikembangkan agar dapat dinyatakan menjadi hal yang
tidak biasa (Bussines As Unusual). Hal inilah yang dalam bagian terdahulu disebut
sebagai pencarian dan penyelesaian sumber masalah atau pembuka sumbat masalah
(debottlenecking). Dapat diperkirakan, Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ akan
berisi banyak hal yang membutuhkan peran lembaga dan/atau pihak yang relatif lebih
independen dan professional, bukan bagian dari birokrasi pemerintahan atau bisa saja
tetap SKPD terkait dengan dengan kemauan serius untuk mentransformasi diri dengan
mengubah paradigma serta budaya kerja secara nyata.
Berikut ini penetapan strategi dan rencana aksi untuk sektor kehutanan dan
lahan gambut:
GAMBUT
Pembuatan Kanal
di lahan gambut
PERTANIANA
Pemanfaatan Lahan
Berhutan untuk
Kebakaran Lahan Gambut
Alih Fungsi Hutan
Mangrove untuk
Ekstensifikasi
kemandirian
KEHUTANAN
Luas Wilayah Desa
di sekitar Kawasan
Perambahan
Hutan/Ilegal
Konversi hutan alam
Konversi Lahan Berhutan dan Lahan Gambut Direncanakan
Penambangan Emas
Pengembangan Infrastruktur
Tanpa Izin (PETI)
Jalan di kawasan perbatasan
Konversi Lahan Hutan
Pengembangan
Untuk Perkebunan
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Ekonomi Wilayah
Untuk Pertambangan Bauksit
DEFORESTASI
DAN DEGRADASI
HUTAN DIRENCANAKAN/TIDAK
DIRENCANAKAN
/
Pemekaran
wilayah
LAIN-LAIN
PERKEBUNAN
PERTAMBANGAN
Gambar 4.3 Analisis Tulang Ikan (Fish Bond Analysis)
Deforestasi dan Degradasi Hutan di Provinsi Kalbar
BAB IV
53
Tabel 4.3. Penetapan Strategi dan Rencana Aksi Sektor Kehutanan dan Gambut
ISU
STRATEGI
Penggunaan kawasan
Rasionalisasi tata
hutan untuk pemukiman ruang/eclave
dan lahan garapan
-
-
-
Pengembangan
ekonomi wilayah
budidaya non kehutanan
dalam kawasan strategi
nasional perbatasan
Perambahan di kawasan
hutan, ilegal logging,
dan ilegal mining, serta
ekploitasi lahan gambut
Kebakaran Hutan dan
Lahan
54
Mengurangi
dampak sosial dan
lingkungan
-
-
RENCANA AKSI
Melaksanakan perubahan peruntukan
dengan di-encalve atau regrouping.
Pencacangan kawasan untuk PHBM
(hutan desa, HKM).
Percepatan dan perbaikan proses
pengukuran kawasan hutan dan lahan
gambut
Pelaksanaan KLHS
Pembangunan jalan paralel dan atau
pelabuhan laut di perbatasan memetong
kawasan hutan.
Penguatan ekonomi - Pengembangan jaminan berkelanjutan
lokal
usaha ekonomi lokal berbasis lahan hutan
dan gambut
- Pengembangan teknologi pendukung
yang berbasis kearifan lokal.
- Perlindungan pasa terhadap komoditas
pasar.
- Pembangunan aloevera centre di
kawasan gambut
Penguatan
- Meningkatkan kapasistas penyuluh/juru
kelembagaan
damai resolusi konflik tenurial
resolusi konflik
- Pembentukan dan pengembangan
tenurial
kelembanggaan juru runding/arbitrase
oleh para pihak
- Mengembangkan data satu atap, satu
- Harominisasi
data, satu peta (one plane one map)
data dan peta
- Pemanfaatan
- Pengembangan aksesibilitas transparansi
kawasan hutan
terhadap data dan informasi oleh para
pihak
- Pemanfaatan
lahan gambut
Kepastian hak
- Pemetaan partisipasi tingkat desa
tenurial
- Percepatan dan perbaikan proses
pengukuhan kawasan hutan dan gambut
Penyiapan sistem
- Diversifikasi sumber mata pencaharian/
pengaman sosial
pekerjaan ke sektor non kayu
safeguard
- Pengembangan kritria dan indikator
Padiatapa
Membangun
- Mengindentifikasi hotspot dan faktor
database kebakaran
penyebab kebakaran hutan dan lahan
dan pemadaman
gambut, serta identifikasi titik areal untuk
kebakaran serta
RHL
database RHL
- Membuat peta kebakaran dan peta RHL
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Membangun
kelembanggaan
kebakaran dan
penanaman
Eksploitasi berlebihan di - Moratorium
IUPHHK-HA dan HTI
perizinan/
kawasan gambut
(PIPIB)
- Penguatan
sistem PHPL dan
SPLK
- Membangun mekanisme keterlibatan
masyarakat dalam penanggulangan
kebakaran hutan dan gambut serta
penanganan RHL di DAS kritis
- Evaluasi perizinan IUPHHK - HA dan
IUPHHK – HTI
- Melaksanakan perbaikan tata kelola
IUPHHK – HA dan HTI
- Penguatan sistem PHPL dan SPLK
4.3. Strategi Pemenuhan Prasyarat Penerapan REDD
REDD+ sebagai sebuah mekanisme internasional yang akan diterapkan
di Indonesia. Ini memerlukan perhatian khusus pada beberapa hal yang menjadi
persyaratan penerapan REDD+. Persyaratan dilakukan agar REDD+ dapat berjalan
efektif, efisien, dan berkeadilan. Persyaratan tersebut bersumber, baik dari mekanisme
yang disepakati di tingkat internasional maupun dari kebijakan, situasi dan kondisi
internal yang telah disiapkan Pemerintah Indonesia.
Terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam penerapan REDD+,
yaitu pemenuhan prasyarat pelaksanaan REDD+ yang telah dibahas dalam pertemuanpertemuan resmi di tingkat internasional. Prasyarat atau perangkat pelaksaaan REDD+
yang harus disiapkan adalah:
1. Pembuatan peraturan terkait pelaksanaan REDD+
2. Pembangunan metodologi REDD+, termasuk di dalamnya penetapan Tingkat Emisi
Referensi (Reference Emission Level/REL) di REL/RL di tingkat sub-nasional,
serta sistem Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV), termasuk penanganan
pengalihan emisi (displacement of emission);
3. Kelembagaan dan mekanisme finansial termasuk di dalamnya mekanisme distribusi
dan insentif manfaat dari hasil pelaksanaan REDD+.
Strategi ini akan dilaksanakan secara lintas sektor guna mempersiapkan dan
membangun fondasi kebijakan dan kelembagaan REED+ di provinsi yang kokoh dan
memiliki kapabilitas dalam mengelola proses perencanaan dan mengkoordinasikan
pelaksanaan seluruh kegiatan REDD+ secara penuh lingkup provinsi.
Pengembangan, perubahan dan/atau penyempurnaan syarat yang harus dipenuhi
bidang/sektor berbasis lahan itu guna mencegah, menanggulangi mengendalikan sampai
menghentikan deforestasi dan degradasi hutan beserta dampak yang ditimbulkannya.
Itu semua sebagai Prasyarat (pre-requirements).
Lingkup SRAP REDD+ Kalbar untuk prasyarat cukup luas, mulai dari yang
bersifat kongkret seperti kelembagaan dan pendanaan, distribusi manfaat, pelibatan
para pihak, hingga pengembangan metodologi MRV. Meskipun sebagai prasyarat
penerapan REDD+, tidak berarti bahwa implementasi SRAP REDD+ berjangka pendek.
BAB IV
55
Beberapa rencana aksi dilakukan hingga jangka menengah atau bahkan jangka panjang
(2030), menyesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan, khususnya di setiap lokasi yang
berbeda. Pada umumnya SRAP Prasyarat tidak teridentifikasi secara sektoral pada saat
pembahasan isu utama, melainkan berlaku secara umum merujuk pada hasil dinamika
perundingan-perundingan iklim global dan Stranas REDD+ yang telah ditetapkan.
Strategi pemenuhan prasyarat penerapan REDD+ diuraikan secara lengkap
sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3. Matrik Rencana Aksi Pemenuhan Prasyarat SRAP REDD+ Kalbar
Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi
Indikator Kinerja
Pilar
Tata Waktu
Pendek Menengah Panjang
Lokasi
Instansi
Masih lemahnya kapasitas kelembagaan untuk
percepatan penanganan REDD+ daerah
Menguatkan peranan
Penguatan peranan dan
dan ruang lingkup tugas ruang lingkup tugas
Komisi REDD+ Kalbar
Komisi REDD+ Kalbar
pada tahun 2013
P1
Membentuk dan
Adanya lembaga REDD di
memfungsikan lembaga tingkat provinsi dengan
REDD+ Provinsi Kalbar
Peraturan Gubernur pada
tahun 2013
√
7
A,B,C,
D,E,F
Masih lemahnya kerangka hukum penerapan SRAP
REDD+ Kalbar
Memperkuat kerangka Penguatan kerangka
hukum dan pedoman
hukum dan pedoman
penerapan SRAP REDD+ penerapan REDD+ pada
tahun 2013
Mempercepat
pembentukan landasan
hukum dan pedoman
yang kuat untuk
pelaksanaan REDD+
P2
Tersedianya Peraturan
Gubernur tentang SRAP
REDD+ Kalbar pada
tahun 2013
A,B,C,
D,E,F
√
7
√
7
F,G
√
7
F,G
Belum tersedianya mekanisme pendanaan
berkelanjutan dan pembagian
manfaat dan insentif yang adil dalam implementasi
REDD+
56
Menyusun mekanisme
pendanaan
berkelanjutan dan
pembagian manfaat
dan
insentif
Tersedia mekanisme
pendananaan dan
pembagian manfaat pada
tahun 2014
Mengembangkan
skema penggalangan
sumber dana dan
melakukan upaya
penggalangan dana
secara progresif
Tersediannya skema
penggalanagan dana
SRAP REDD+ pada tahun
2014
P1
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi
Indikator Kinerja
Mengembangkan
formulasi dan
mekanisme pasar
karbon sukarela atau
pembayaran berbasis
kinerja
Adanya formulasi dan
mekanisme pasar karbon
sukarela dan pembayaran
berbasis kinerja pada
tahun 2013
Mengembangkan
skema investasi dan
distribusi dana dan
manfaat yang diterima
kepada para pemangku
kepentingan
Tersedianya skema
investasi dan distribusi
dana dan manfaat pada
tahun 2013
Membentuk dan
mengembangkan
metodologi MRV
Tersedianya metodologi
MRV yang kredibel,
lengkap, akurat, dapat
diperbandingkan pada
tahun 2014
Menyusun metodologi
MRV berbasis ilmiah
Adanya metodologi MRV
yang rasIonal dan terukur
pada tahun 2013
Menyusun petunjuk
pelaksanaan dan
petunjuk teknis
penetapan REL dan
sistem
MRV
Tersedianya dokumen
Juklak dan Juknis
penetapan REL dan
sistem MRV pada tahun
2013
Pengembangan jejaring
MRV
Terjaminnya kelancaran
koordinasi dan
komunikasi MRV
Mengembangkan dan
penerapan informasi
Satu Atap, Satu Data
dan Satu Peta untuk
perencanaan tata guna
lahan, keruangan dan
MRV REDD+
Tersedianya sistem dan
data spasial yang akurat,
lengkap dan kredibel
pada tahun 2014
Keterangan :
Tata waktu
Pendek : 2013-2018
Menengah : 2015-2030
Panjang : 2020-2030
Lokasi
0 : Pemerintah
Provinsi
1 : Kapuas Hulu
2 : Sintang
3 : Sekadau
4 : Melawi
5 : Sanggau
6 : Landak
7 : Pontianak
8 : Kota Pontianak
9 : Ketapang
Pilar
Tata Waktu
Pendek Menengah Panjang
Lokasi
Instansi
√
7
F,G
√
7,15
F,G
√
7,15
G,A,E,H,F
√
7,15
G,F,A,E
√
7,15
G,F
√
7
G
P1
10 : Kayong Utara
11 : Kubu Raya
12 : Kota Singkawang
13 : Bengkayang
14 : Sambas
15 : semua Kabupaten/
Kota
16 : Pemerintah Pusat
Instansi :
A : Bidang Kehutanan
B : Bidang Perkebunan
C : Bidang Pertambangan dan Energi
D : Bidang Pertanian
E : Lingkungan Hidup
F : Bidang Perencanaan
Pembangunan
G : Komisi Daerah/Lembaga REDD
H : Perguruan Tinggi
Pilar
P1 : Kelembagaan dan
Proses
P2 : Kerangka Hukum/
Peraturan
P3 : Program-Program
Strategis
P4 : Perubahan Budaya
Kerja dan Paradigma
P5 : Pelibatan Para Pihak
BAB IV
57
4.4. Strategi Penguatan Kondisi Pemungkin Penerapan REDD+
REDD+ pada dasarnya merupakan pendekatan kebijakan dan aksi yang dilakukan
melalui penanganan penyebab dari deforestasi dan degradasi hutan (deforestation
driver) serta kegiatan yang menghasilkan pengurangan emisi, peningkatan dan
stabilisasi stok karbon hutan. Tingkat keberhasilan intervensi kebijakan dan aksi
penanggulangan dari sumber asal emisi atau pemicu (driver) dari deforestasi dan
degradasi hutan dan dari sumber penyimpan karbon (sink) yang akan mencerminkan
tingkat kondisi pemungkin tercipta. Intervensi kebijakan dan aksi diperlukan untuk
menciptakan kondisi pemungkin penerapan REDD+
Sebagian pihak berpendapat bahwa prasyarat (pre-requirement) dan kondisi
pemungkin (enable condition) sama.Pra syarat kondisi pemungkin merupakan
penciptaan dan perbaikan berbagai aspek atau elemen di bidang/sektor berbasis
lahan dapat mempercepat, memperlancar implementasi berbagai upaya dalam rangka
mencegah, menghentikan menanggulangi dan mengendalikan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan.Dalam konteks REDD+ juga sebagai upaya peningkatan penyerapan
dan penyimpanan karbon. Kondisi pemungkin sudah berkaitan dengan sektor-sektor
pembangunan utama yang dipertimbangkan menjadi sumber deforestasi dan degradasi
hutan.
Kondisi pemungkin berkaitan dengan kebijakan atau peraturan dan perencanaan,
atau sumber-sumber rujukan untuk implementasi program sektor. Sebagian dari rujukan
tersebut menjadi sumber langsung atau tidak langsung terjadinya isu deforestasi dan
degradasi hutan.
Titik berat intervensi program terletak pada Strategi Penguatan Kondisi
Pemungkin. Strategi ini dilaksanakan secara lintas sektor guna menjawab penyelesaian
permasalahan-permasalahan yang menjadi akar masalah dari penyebab dan pendorong
terjadinya kegiatan perusakan hutan sebagai sumber emisi.Strategi penguatan kondisi
pemungkin penerapan REDD+ secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.4
58
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Tabel 4.4 Matrik rencana aksi penguatan kondisi pemungkin SRAP REDD+KALBAR
Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi
Indikator Kinerja
Pilar
Tata Waktu
Pendek Menengah Panjang
Lokasi
Instansi
1,2,4,9,10
A,G
16
A
1,2,4,9,10
A
1,2,5, 13,14
A,B,F,G
1,2,5, 13,14
F
Sektor kehutanan
I.1. Penggunaan kawasan hutan untuk pemukiman
dan lahan garapan
S.1 .Rasionalisasi tata
ruang/enclave
P2
A.1.Melaksanakan
perubahan peruntukan
dengan di enclave atau
regrouping
Adanya pergub/perbup
tentang hal tersebut
A.2.Pencadangan
Kawasan Untuk PHBM
(hutan desa, HKM)
Adanya penerbitan
kepmenhut baru tentang
pencadangan tersebut
√
A.3.percepatan dan perbaikan proses pengukuran kawasan hutan
Adanya pelibatan para
pihak dalam pengukuran
kawasan hutan
√
I.2. dan I.3 pengembangan ekonomi wilayah budidaya non kehutanan dan atau dalam kawasan strategi
nasional perbatasan
S.1. Mengurangi dampak
social dan lingkungan
Rekomendasi perbaikan
kebijakan
A.1. pelaksanaan KLHS
Pembangunan wilayah
budidaya non kehutanan
dan atau kawasan strategis nasional perbatasan
√
P3
√
√
A.2 . pembangunan jalan
parallel dan atau pelabuhan laut di perbatasan
memotong kawasan
hutan
√
√
√
I.4 dan I.6 Perambahan di kawasan hutan, illegal logging dan illegal reading
S.1. Penguatan ekonomi
lokal
P3
A.1.Pengembangan jaminan keberlanjutan usaha
ekonomi local berbasis
lahan dan hutan
Adanya Pergub dan
Perbub tentang jaminan
tersebut
A.2.Pengembangan
teknologi pendukung
yang berbasis kearifan
lokal
Diimplementasikan
teknologi tersebut oleh
komunitas
√
A.3.Perlindungan pasar
Adanya jaminan stabilitas
terhadap komoditas lokal pasar untuk komoditas
tersebut
S.2. Penguatan Kelembagaan Resolusi Konflik
Tenurial
1,2,3,4, A,B,D,F,G
5,6,7,9,
10,11,13, 14
√
√
√
√
√
√
15
G
15
G,A,B,D
P1
BAB IV
59
Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi
Indikator Kinerja
Pilar
A.1.Meningkatkan Kapa- Dilaksanakan training
sitas penyuluh/juru damai melalui NGO, akademisi
resolusi konflik tenurial
dan masyarakat adat
Pendek Menengah Panjang
√
Konflik menurun
A2.Pembentukan dan
pengembangan kelembagaan juru runding/arbitrase dengan menerapkan prinsip PADIATAPA
S.3.Harmonisasi data
dan peta pemanfaatan
kawasan hutan
Tata Waktu
√
Lokasi
Instansi
15
A,B,C,D,
E,F,G,H
15
A,B,C,D,
E,F,G,H
15
A
15
A,B,C,D,
E,F,G,H
√
P2
A.1.Mengembangkan
Adanya Pergub/Perbup
pusat data satu atap satu tentang peta kompredata satu peta (one plane hensif
one map)
√
A2.pengembangan
Adanya website dari
aksesibilitas transparansi institusi terkait
terhadap data dan informasi oleh para pihak
√
√
√
A.1.Pemetaan partisipatif Menurun jumlah kasus
tingkat desa
tumpang tindih dan konflik lahan
√
√
√
A,B,C,D,
1,2,3,4,
E,F
5,6,7,9,
10,11,13, 14
A.2.Percepatan dan perbaikan proses pengukuhan kawasan hutan
√
√
√
1,2,3,4,
5,6,7,9,
10,11,13,14
A
15
A,B,C,D,
E,F,G,H
15
A,B,C,D,
E,F,G,H
1,2,3,4,
5,6,7,9,
10,11,13,
14
A,B,D, E,F
S.4.Kepastian hak tenurial
P2
Adanya pelibatan para
pihak
S.5. Penyiapan system
pengaman social safeguard
P5
A.1.dipersifikasi sumber
Pengangguran berkurang
mata pencaharian/pekerjaan ke sektor non kayu
A.2.Pengembangan
criteria dan indicator
PADIATAPA
Tersosialisasinya secara
merata di masyarakat
√
√
√
I.5 dan I.7 Kebakaran Hutan dan Lahan
S.1.Membangun data
base kebakaran dan pemadam kebakaran serta
data base RHL
60
P4
A.1.Mengidentifikasi
hotspot dan factor penyebab kebakaran hutan
serta mengidentifikasi
titik areal untuk RHL
Adanya peta rawan kebakaran dan peta realisasi
RHL
A.2.membuat peta kebakaran dan peta RHL
Peta terintegrasi dengan
koordinat GPS di lapangan dan bias diakses di
Website
√
√
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
√
√
1,2,3,4, A,B,D, E,F
5,6,7,9,
10,11,13, 14
Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi
Indikator Kinerja
S.2.Membangun kelembagaan kebakaran dan
penanaman
A.1.membangun mekanisme keterlibatan
masyarakat dalam penanggulangan kebakaran
hutan dan penanganan
RHL di DAS kritis
Pilar
Tata Waktu
Pendek Menengah Panjang
Instansi
P1
Adanya partisipasi masyarakat terhadap isu anti
kebakaran hutan dan semangat menanam untuk
rehabilitasi hutan.
√
√
1,2,3,4, A,B,D, E,F
5,6,7,9,
10,11,13, 14
√
I.8. Eksploitasi berlebihan
di IUPHHK-HA dan HTI
S.1.Moratorium perizinan/
kawasan gambut (PIPIB)
1,2,3,4,
5,9,11
A
15
A,F
1,2,3,4,
5,6,7,9,
10,11,13, 14
A
15
A,F
1,2,3,4,
5,6,7,9,
10,11,13,
14
A,D,F
1,2,3,4,
5,6,7,9,
10,11,13,14
A,D,F
P2
A.1.Evaluasi perizinan
Penundaan izin baru di
IUPHHK-HA dan IUPHHK- kawasan gambut dan
HTI
dievaluasi setiap 6 bulan
√
A.2.Melaksanakan perbai- Tidak ada HPH/HTI yang
kan tata kelola IUPHHK- menunggak kewajiban
HA dan HTI
√
S.2.Penguatan system
PHPL dan SPLK
A.1.Penguatan system
PHPL dan SPLK
Lokasi
√
P4
Adanya peningkatan unit
management yang lulus
dalam rangka PHPL dan
SPLK
√
√
√
Sektor pertanian
I.1.Konversi lahan hutan
untuk food Estate dan
pertanian berladang
berpindah
S.1.Pemberdayaan ekonomi lokal
P3&
P2
A.1.Peluang agro forestry Adanya keterlibatan madan silvo forestry
syarakat desa one village
one product
A.2.Akses kredit modal
bagi petani
Perambahan kawasan
hutan menurun
√
√
√
√
√
1,2,3,4,
5,6,7,9,
10,11,13, 14
A
√
√
1,2,3,4,
5,6,7,9,
10,11,13,14
B
Sektor perkebunan
I.1. ekspansi perkebunan
kelapa sawit
S.1. Pemberdayaan ekonomi lokal
A.1.Penyediaan jaminan
permodalan lewat bank
dan pemasaran
P3
Adanya jaminan permodalan bagi masyarakat
BAB IV
61
Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi
Indikator Kinerja
Pilar
A.2.Perlindungan market Jaminan stabilitas harga
terhadap komoditas lokal pasar
S.2.Pengetatan mekanisme izin perkebunan
Tata Waktu
Pendek Menengah Panjang
Lokasi
Instansi
√
√
1,2,3,4,
5,6,7,9,
10,11,13,14
B
P2
A.1. Identifikasi dan
pengolahan HCVF dalam
AMDAL
Memperkuat aturan
AMDAL
√
√
1,2,3,4,
5,6,7,9,
10,11,13,14
B,E
A.2. Transparansi perizinan bupati melalui
website
Dapat diakses dengan
mudah
√
√
1,2,3,4,
5,6,7,9,
10,11,13,14
B,F
2,4,5,6,
9,10,11,
12,13,14
C
2,4,5,6,
9,10,11,
12,13,14
C
2,4,5,6,
9,10,11,
12,13,14
C,E
2,4,5,6,
9,10,11,
12,13,14
C
2,4,5,6,
9,10,11,
12,13,14
C,F,H
15
A,B,C,D,
E,F
15
A,B,C,D,
E,F
Pertambangan
I.1.Eskspansi Kuasa Pertambangan, baik Bauksit
S.1.perbaikan peraturan
terkait WUP
A.1.Adanya PADIATAPA
dalam WUP
P2,P5
Tereklusif dalam aturan
WUP
A.2.Perizinan yang efektif Dapat diakses dengan
dan transparan melalui
semua pihak
Website
A.3.Menintegrasikan
HCVF dalam AMDAL
√
Adanya revisi peraturan
criteria dan indicator
kesesuaian lahan pada
tahun 2012
S.2.pengembangan program CSR berkualitas
√
√
√
√
√
P3
A.1.CSR memberdayakan
masyarakat
Garis kemiskinan menurun
A.2.CSR untuk menunjang
infrastruktur ekonomi
rakyat dan pendidikan
generasi muda
Jalan tidak rusak akses
jalan tidak rusak dan
beasiswa dari tingkat SD
sampai S1
√
√
√
√
Pekerjaan umum dan tata ruang
I.6 dan I.7.RTRWP belum
disyahkan oleh kemenhut
S.1.memberikan penjelasan secara umum dan
alasan perubahan fungsi
terkait
P2
Mencapai permufakatan
terbaik untuk kepentingan publik
A.1.Pelaksanaan KLHS
Rekomendasi perbaikan
strategis dan mengurangi dampak social dan
lingkungan yang mungkin
terjadi
√
√
Sektor lainnya
62
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
√
√
√
Sektor – Isu – Strategi RencanaAksi
Indikator Kinerja
I.8.Pemekaran wilayah
provinsi dan atau kabupaten yang sudah terdaptar dalam PROLEGNAS
S.1.pemerataan pembangunan dan kesejatah
teraan
Pilar
Tata Waktu
Pendek Menengah Panjang
Lokasi
Instansi
1,2,5,9
F
1,2,5,9
F
P1 dan
P5
Masyarakat sejahtera
Adanya dukungan mayA.1.Membangun mekanisme keterlibatan ma- oritas masyarakat
syarakat dalam mensukseskan prihal tersebut
√
√
√
√
Keterangan :
Tata waktu
Pendek : 2013-2018
Menengah : 2015-2030
Panjang : 2020-2030
Lokasi
0 : Pemerintah Provinsi
1 : Kapuas Hulu
2 : Sintang
3 : Sekadau
4 : Melawi
5 : Sanggau
6 : Landak
7 : Pontianak
8 : Kota Pontianak
9 : Ketapang
10 : Kayong Utara
11 : Kubu Raya
12 : Kota Singkawang
13 : Bengkayang
14 : Sambas
15 : semua Kabupaten/Kota
16 : Pemerintah Pusat
Instansi :
A : Bidang Kehutanan
B : Bidang Perkebunan
C : Bidang Pertambangan
dan Energi
D : Bidang Pertanian
E : Lingkungan Hidup
F : Bidang Perencanaan
Pembangunan
G : Komisi Daerah/Lembaga
REDD
H : Perguruan Tinggi
Pilar
P1 : Kelembagaan dan
Proses
P2 : Kerangka Hukum/
Peraturan
P3 : Program-Program
Strategis
P4 : Perubahan Budaya
Kerja dan Paradigma
P5 : Pelibatan Para
Pihak
4.5. Strategi Investasi Rendah Karbon Hutan
Strategi Investasi Rendah Karbon Hutan bertujuan mengembangkan model
pengurangan emisi dan peningkatan stok karbon pada beberapa jenis pengelolaan
hutan, lahan non hutan dan lahan gambut di Kalbar, sesuai dengan skala sumber daya
yang tersedia.Tujuan penciptaan pijakan bagi upaya pengurangan emisi yang lebih
substansial dengan investasi lebih lanjut.
Pembelajaran yang menarik adalah Indonesia tampaknya tidak dapat memenuhi
proporsi target pengurangan emisinya secara signifikan dengan memperluas areal
penanaman pohon dalam kerangka reboisasi dan rehabilitasi lahan di kawasan hutan
ataupun di luar kawasan hutan. Besarnya upaya yang dituntut dan berbagai masalah
yang dijumpai dalammencapai target saat ini, target penanaman yang lebih sederhana,
tidak memberikan harapan baik bagi masa depan.Penanaman pohon merupakan bagian
inti dari strategi pengurangan emisi karbon.
LULUCF untuk mengurangi emisi di Kalbar dapat lebih dioptimalkan
pemanfaatannya untuk mencapai pengurangan emisi yang lebih besar dan berbiaya
murah. Beberapa peluang intervensi rendah karbon menawarkan sinergi yang potensial
antara pembangunan berkelanjutan, pengurangan kemiskinan dan mitigasi perubahan
iklim, dan harus diprioritaskan dalam program REDD+ di Kalbar..
BAB IV
63
Intervensi rendah karbon dari sektor LULUCF di Kalbar menawarkan beberapa
peluang dalam mencapai pengurangan emisi yang signifikan melalui mekanisme lain.
Besarnya kontribusi diindikasikan oleh besarnya pengurangan emisi yang dapat dicapai
dengan menghilangkan keberadaan sumber emisinya dengan : a). menghentikan
kebakaran lahan gambut, b) menghentikan pengeringan lahan gambut dan, c)
menghentikan deforestasi dan emisi dari perubahan pemanfaatan lahan dan kehutanan.
Di tingkat tapak, investasi rendah karbon akan memberikan penekanan pada
sektor utama yaitu sektor kehutanan (hutan produksi, hutan konservasi dan hutan
lindung) dan lahan gambut serta sektor penunjang (perkebunan dan pertanian,
pertambangan). Program penurunan emisi melalui pengurangan deforestasi dan
degradasi hutan dilaksanakan melalui intervensi pada pemanfaatan lahan pada areal
berhutan dan lahan gambut.
Program penurunan emisi akan dilaksanakan melalui perbaikan pengelolaan
hutan produksi dan Hutan Tanaman Industri dan lahan gambut. Sedangkan program
peningkatan stok karbon akan dilakukan konservasi hutan, restorasi ekosistem, dan
rehabilitasi hutan dan lahan serta lahan gambut yang terdegradasi.Strategi Investasi
Rendah Karbon Hutan akan mencakup program dan kegiatan indikatif sebagai berikut:
4.5.1. Program Perbaikan Tata Kelola Hutan Produksi
Kalbar akan membangun kerja sama dengan para pemegang IUPHHK- Hutan
Alam dan IUPHHK- Hutan Industri untuk menuju praktik pengelolaan kayu rendah
emisi, dan memberikan bantuan baik dari aspek hukum maupun aspek teknis.
Pengusahaan hutan alam akan menjadi target untuk memenuhi persyaratan sertifikasi
pemerintah dalam pengelolaan hutan lestari (SVLK) dan diharapkan dapat memperoleh
sertifikat Forest Stewardship Council (FSC) yang dilakukan atas inisiatif sendiri.
Pembentukan dan memfungsikan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model
Hutan Produksi untuk meningkatkan dan memperjelas peran dan tanggung-jawab
pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan
di tingkat tapak untuk lebih dapat mengendalikan deforestasi dan degadasi hutan.
Peluang dan sumber daya memungkinkan, areal hutan dan lahan gambut yang
mempunyai nilai konservasi tinggi akan didorong untuk dikelola secara lestari. Bukan
untuk tujuan produksi kayu dan penanaman hutan industri melainkan menjadi kawasan
dengan fungsi restorasi ekosistem dan fungsi perlindungan jasa lingkungan lainnya.
Kegiatan pengembangan Hutan Tanaman Industri akan diarahkan untuk lebih
mengoptimalkan areal hutan yang telah terdegradasi berat terutama pada areal areal
yang terbuka dan semak belukar serta perencanaan yang melindungi kawasan-kawasan
bernilai konservasi tinggi. Para pelaku hutan tanaman industri lebih didorong untuk
melakukan pembangunan hutan tanaman ramah lingkungan dan sosial antara lain
melalui pembukaan lahan tanpa bakar, pengolahan lahan yang dapat mengurangi resiko
erosi dan pemadatan tanah dan resolusi penyelesaian sengketa lahan dengan masyarakat
setempat.
64
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Untuk mendukung terlaksananya program ini, diperlukan kegiatan berikut:
1. Mengidentifikasi dan mendapatkan komitmen dari para pemegang izin konsesi
yang akan terlibat dalam visi “Menuju Kalimantan Barat Hijau Untuk Indonesia
Dan Kesejahteraan Masyarakat”.
2. Mengidentifikasi dan mendorong dikembangkannya kegiatan-kegiatan pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan produksi;
3. Memberikan dukungan teknis bagi upaya perolehan sertifikasi SVLK dan FSC;
4. Menggalang dukungan kebijakan dari pemerintah pusat bagi praktik-praktik RIL
dalam tata kelola hutan produksi;
5. Menggalang dukungan dan mendapatkan komitmen dari owner/pemilik izin
konsesi dan komitmen komitmen perubahan tata kelola di tingkat mitra produksi
bagi pelaksanaan praktik-praktik RIL dalam tata kelola hutan produksi ;
6. Membantu perolehan akses pendanaan yang lebih baik bagi para pemegang izin
konsesi yang berkomitmen memperbaiki tata kelolanya;
7. Mengkaji dan menginisiasi peluang bagi pengembangan kawasan dengan fungsi
restorasi ekosistem atau fungsi perlindungan lainnya.
4.5.2. Program Perbaikan Tata Guna Lahan dan Perkebunan Kelapa Sawit
Kalbar Hijau akan membantu memetakan lokasi-lokasi penanaman yang
paling sesuai bagi pengembangan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.
Kemudian akan dipadukan ke dalam keputusan rencana tata guna lahan. Kalbar Hijau
akan mendorong terbentuknya kesepakatan untuk relokasi perkebunan sawit dan
hutan tanaman industri dari lahan yang berhutan ke areal yang telah terdegradasi
pada kawasan Areal Penggunaan Lain non-hutan. Program ini akan dikembangkan
untuk meningkatkan efisiensi produksi kelapa sawit dan hutan tanaman industri,
mengurangi dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan, dan
meningkatkan manfaat bagi masyarakat.
Kalbar Hijau juga akan mendorong pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat
untuk membangun kesadaran dan mendukung pembangunan perkebunan sawit
dan hutan tanaman industri lestari. Untuk mendukung terlaksananya program ini,
diperlukan kegiatan-kegiatan utama berikut:
1. Melakukan kajian dan analisis atas potensi tata guna lahan yang paling sesuai secara
sosial ekologis bagi pengembangan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri;
2. Bekerja sama dengan pemegang izin HGU, IUPHHK- Hutan Tanaman Industri dan
pemerintah daerah untuk mengkaji kemungkinan klasifikasi ulang dan pengalihan
pengembangan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (land swap) ke
lahan kritis atau terdegradasi, khususnya bagi areal yang ijinnya belum disetujui
atau belum berproduksi; menghindari konversi hutan dan lahan gambut menjadi
hutan tanaman industri dan perkebunan swait
3. Memberikan dukungan teknis dan peningkatan kapasitas bagi para pengelola
kebun dalam upaya pemenuhan kriteria ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil)
dan RSPO (Round Table Sustaianable Palm Oil);
BAB IV
65
4. Mengembangkan kerjasama perusahaan kebun dengan berbagai pihak untuk
memperkecil dampak ekologis dari sistem produksi;
5. Mengembangkan forum atau ruang diskusi terkait isu kelapa sawit dan hutan
tanaman industri di tingkat provinsi.
4.5.3. Program Perbaikan dan Penguatan Tata Kelola Hutan
Pembalakan liar dan perambahan hutan untuk perluasan penanaman komoditas
komersial merupakan ancaman utama bagi kawasan hutan lindung, hutan restorasi dan
hutan Taman nasional. Kalbar Hijau akan mendorong terbangunnya rencana konservasi
hutan terpadu bagi semua area hutan lindung, yang bertujuan bagi peningkatan stok
karbon, konservasi keanekaragaman hayati, serta penyediaan jasa lingkungannya.
Upaya konservasi pada kawasan hutan indung termasuk upaya perlindungan bagi
kawasan dengan ekosistem khusus seperti ekosistem hutan gambut, hutan karst dan
hutan mangrove yang mempunyai nilai konservasi sosial, budaya, dan lingkungan yang
tinggi.
Kalbar hijau akan mendorong penyempurnaan peraturan maupun kebijakan di
tingkat kabupaten, provinsi dan nasional bagi upaya konservasi hutan lindung, hutan
desa, hutan Taman Nasional, Hutan Restorasi Ekosistem dan lahan gambut. Kalbar
hijau juga akan mengembangkan strategi dan langkah-langkah nyata bagi penjaminan
pendanaan berkelanjutan upaya konservasi hutan lindung, hutan desa, hutan taman
nasional dan hutan restorasi ekosistem dan lahan gambut.
Untuk mendukung terlaksananya program ini, diperlukan kegiatan berikut:
1. Perumusan dan pengembangan kerangka kerja kebijakan, hukum, dan kelembagaan
pengelolaan hutan lindung;
2. Pengembangan kegiatan-kegiatan pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan
karbon pada hutan lindung ;
3. Pengkajian kawasan hutan lindung dan lahan hutan rawa gambut terutama pada
kawasan dengan tingkat keanekaragam hayati, simpanan karbon dan nilai hidrologi
tinggi, serta mengidentifikasi wilayah yang mengalami keterancaman cukup besar;
4. Pemetaan pola intervensi, mitra, tanggung jawab pengelolaan, struktur insentif,
mekanisme hukum, sumber pendanaan dan jadwal pelaksanaan bagi penyusunan
rencana dan strategi konservasi terpadu kawasan hutan lindung;
5. Pemetaan program-program yang bisa dilakukan untuk pengurangan emisi dan
penambahan stok karbon pada kawasan hutan lindung;
6. Pengembangan model pengelolaan hutan lindung, hutan konservasi dalam KPHP,
KPHL, KPHK, dan RE model di Kalbar;
7. Optimalisasi upaya konservasi khususnya pada kawasan lindung dan kawasan hutan
lindung yang memiliki ekosistem rawa gambut, mangrove dan karst didalamnya;
8. Penyusunan strategi dan langkah-langkah nyata bagi upaya penjaminan pendanaan
yang berkelanjutan konservasi hutan lindung, taman nasional dan hutan restorasi
ekosistem;
66
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
9. Penetapan zonasi pengelolaan Taman Nasional, Hutan Lindung dan Hutan Restorasi
ekosistem yang sudah dijadikan kawasan budidaya dan pemukiman penduduk;
10. Penguatan pengendalian dan pengawasan kawasan hutan Taman Nasional, hutan
lindung dan hutan restorasi ekositem dengan mengembangkan pengelolaan
berbasis resort (resort-based management);
11. Perbaikan lahan terdeforestasi dan terdegradasi di Kawasan Taman Nasional,
Hutan Lindung, Hutan Restorasi Ekosistem dan hutan rawa gambut;
12. Peningkatan upaya konservasi di kawasan hutan dan gambut dengan cara
pembuatan kanal;
13. Sosialisasi terhadap hewan yang dilindungi agar tidak muncul konflik dengan
masyarakat sekitar hutan;
14. Integrasi rencana pembangunan daerah dengan pelestarian Taman Nasional, Hutan
Lindung dan Hutan Restorasi Ekositem;
15. Optimalisasi sistem pendeteksi kebakaran hutan dan peringatan dini kebakaran
hutan
16. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dan gambut terhadap bahaya kebakaran;
17. Supremasi hukum terhadap pelaku ilegal logging, perdagangan hewan yang
dilindungi.
18. Penanaman kembali hutan tanah mineral yang terdegradasi di daerah aliran sungai
yang paling kritis.
19. Mendorong penerapan model Padiatapa/FPIC sebagai kepastian pola kemitraan
dan akses terhadap keuntungan yang adil dan setara dalam implementasi REDD+.
4.5.4.Program Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Kebakaran gambut merupakan sumber utama emisi di Indonesia, khususnya
selama tahun-tahun El Niño. Kebakaran hutan sebagian besar bersumber dari kegiatan
manusia antropogenik dan dapat dikurangi dengan menindaklanjuti penyelesaian konflik
lahan lokal dan meningkatkan kemampuan di daerah untuk pengelolaan kebakaran
yang lebih baik Menghentikan kebakaran ini akan menurunkan emisi nasional sebesar
23–45%. . Meningkatkan investasi ini dan mempercepat peningkatan kemampuan lokal
dapat mewujudkan pengurangan emisi.
Menghentikan pengeringan lahan gambut juga akan berdampak pada mengurangi
tarjadinya kebakaran lahan gambut. Pada saat permukaan gambut menjadi kering,
menyusut dan menjadi padat dan mudah terbakar serta sulit dipadamkan apinya.
Pencegahan pembakaran hutan memiliki potensi terbesar untuk menurunkan
emisi. Penurunan emisi dapat dicapai melalui mengurangi emisi dari pembakaran
hutan dengan melarang pembakaran sebagai alat untuk persiapan lahan, menyediakan
teknologi yang tepat dan praktis (dan dimungkinkan pula insentif finansial) untuk
pembersihan lahan manual, mengembangkan sistem-sistem peringatan dini yang
sesuai berdasarkan status risiko kebakaran dan deteksi kebakaran berbasis lapangan,
memperkuat pasukan pemadam kebakaran, memastikan pelaksanaan yang kuat dan
BAB IV
67
denda yang besar untuk pelanggaran aturan, den membangun kesadaran publik akan
akibat-akibat ekonomi dan sosial dari kebakaran hutan di provinsi. Berikut ini kegiatan
untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut:
1. Optimasilisasi sistem pendeteksi kebakaran hutan dan lahan gambut. Kemudian,
optimalisasi sistem peringatan dini kebakaran dengan melibatkan masyarakat.
2. Peningkatan kemampuan dan kewaspadaan masyarakat setempat, khususnya di
lahan gambut dalam pencegahan dini kebakaran hutan;
3. Peningkatan penanganan kapasitas penanganan kebakaran hutan di tanah mineral
dan lahan gambut
4. Penetapan dan penegakan hukum peraturan daerah tentang larangan pembakaran
hutan dan lahan untuk masyarakat, perusahaan perkebunan, dan perusahaan
pertambangan.
4.5.5. Program Efektivitas Peningkatan Pertanian Berkelanjutan
Penurunan emisi yang disebabkan oleh deforestasi hutan dapat dicapai melalui
dua pendekatan berbeda. Pendekatan pertama adalah pendekatan REDD+. Pendekatan
ini menargetkan para pemilik lahan dan membayar mereka untuk tidak memulai kegiatan
ekonomi, seperti mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, perkebunan kopi,
perkebunan karet dan tanaman pertanian lainnya. Pendekatan ini memerlukan biaya
yang relatif tinggi, misalnya: sekitar Rp. 2,7 juta tCO2e yang terhindari dalam kasus
kelapa sawit.
Pendekatan kedua dengan mengurangi emisi dari deforestasi hutan melalui
alokasi lahan yang lebih efisien dan lestari. Sebagai contoh dengan menggunakan
lahan yang telah rusak dan bukan lahan hutan untuk lahan pertanian baru dan dengan
membatasi atau menghentikan ekspansi pertanian ke lahan gambut yang lebih dalam
lagi. Pendekatan ini juga akan menekankan peningkatan produktivitas pertanian pada
lahan-lahan yang ada melalui pelatihan para petani atas teknik-teknik intensifikasi
pertanian dan dengan melakukan diversifikasi terhadap pilihan tanaman. Sementara
kegiatan-kegiatan ini juga membutuhkan biaya, tetapi diasumsikan jauh lebih rendah
daripada membayar pemilik lahan atas penghasilan mereka yang tidak mereka
terima. Keuntungan lainnya adalah bahwa kegiatan-kegiatan ini akan membantu
mempertahankan atau meningkatkan pembangunan ekonomi di Kalbar.
Memastikan alokasi lahan merupakan tantangan tersendiri. Isu-isu bersifat
lintas yurisdiksi kepemilikan lahan dan perencanaan tata ruang. Peningkatan kolaborasi
antar pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota akan menjadi penting untuk
memperbaiki perencanaan tata ruang dan harus didukung oleh analisis teknis mendetil.
Informasi ini kemudian perlu dikonsolidasi menjadi satu sistem penetapan kepemilikan
lahan untuk mendaftar akta-akta dan wilayah-wilayah peta, dengan dukungan
pelibatan masyarakat yang kuat. Serupa dengan kasus pencegahan pembakaran,
potensi pengurangan teknis maksimum untuk menurunkan emisi yang disebabkan oleh
deforestasi hutan melalui penggunaan lahan yang lebih efektif dan alokasi lahan lebih
tinggi daripada estimasi potensi yang digunakan.
68
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Kegiatan-kegiatan utama:
1. Peningkatan kolaborasi antar pemerintah untuk memperbaiki perencanaan tata
ruang
2. Analisis teknis alokasi kesesuaian lahan dan menilai potensi manfaat ekonomi
penggunaan jenis-jenis lahan berbeda untuk kegiatan-kegiatan yang berbeda
3. Membangun sistem penetapan kepemilikan lahan untuk mendaftar akta-akta dan
wilayah-wilayah peta, dengan dukungan pelibatan masyarakat yang kuat
4. Pelatihan petani tentang teknik-teknik intensifikasi pertanian dan diversifikasi
tanaman
4.5.6.Program Rehabilitasi Lahan Gambut Terdegradasi
Mengurangi emisi lahan gambut melalui reboisasi dan rehabilitasi fungsi
hidrologi lahan gambut yang rusak harus dilakukan. Para pendukung kunci akan
menetapkan pedoman untuk proses-proses pembasahan kembali rawa gambut. Ini
dalam upaya penambatan kanal, mensponsori riset lokal terhadap manfaat dan biaya
proses-proses rehabilitasi gambut alternatif. Dengan potensi untuk menciptakan pusat
keungulan lokal, dan berkoordinasi dengan pemerintah nasional untuk memastikan
bahwa emisi gambut dimasukkan ke dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim
internasional. Pencegahan dan pengelolaan kebakaran efektif dan upaya-upaya untuk
mendorong proses-proses reboisasi harus melengkapi aksi-aksi tersebut supaya upaya
tersebut dapat berkelanjutan dalam jangka panjang.
Kegiatan-kegiatan utama:
1. Riset manfaat dan pembiayaan rehabilitasi lahan gambut;
2. Penetapan pedoman pembasahan kembali (peat reweting) dan konservasi hutan
rawa gambut;
3. Pelaksanaan pembasahan kembali (peat reweting) dan konservasi di lokasi lahan
hutan rawa gambut dengan penambatan kanal (canal blocking);
4. Mendorong keterlibatan Pemerintah Provinsi ke dalam negosiasi-negosiasi
perubahan iklim, agar emisi karbon lahan gambut dimasukan
4.5.7. Program Perbaikan Tata Guna Lahan dan Tata Kelola Pertambangan
Lokasi pertambangan umumnya terletak di lokasi terfokus dengan luasan areal
ekspoloitasi yang relatif kecil. Tetapi kawasan eksplorasi pertambangan dapat berlipat
ganda dari luasan eksploitasinya. Dengan menggunakan teknologi dan perencanaan
eksplorasi dan eksploitasi yang lebih baik sebenarnya dampak negatif pertambangan
dapat ditekan serendah mungkin dan sektor pertambangan dapat dilakukan dengan
rendah emisi.
BAB IV
69
Untuk mendukung terlaksananya program ini, diperlukan kegiatan-kegiatan
utama berikut:
1. Penetapan pengaturan daerah mengenai “Zona Larangan Pertambangan”dengan
menghindari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di kawasankawasan bernilai konservasi tinggi untuk keanekaragaman hayati, simpanan karbon
dan sumber penghidupan masyarakat;
2. Peningkatan reklamasi hutan bekas pertambangan melalui verifikasi lapangan di
area eks pertambangan dan penindakan hukum yang tegas dan konsiten terhadap
setiap pelaku pelanggaran yang terbukti melanggar ketentuan reklamasi areal bekas
pertambangan
3. Penyempurnaan peraturan daerah terkait pemberian izin kuasa pertambangan
di lahan hutan gambut lebih 3 meter, perlindungan lahan gambut di konsesi
pertambangan dan kewajiban reklamasi paska pertambangan.
4.6. Strategi Perhitungan, Pelaporan, dan Verifikasi
Aspek pengukuran, pelaporan dan pelaksanaan verifikasi berbagai upaya
pencegahan/ penanggulangan/pengendalian deforestasi dan degradasi hutan
serta peningkatan kemampuan penyerapan/peningkatan karbon (SRAP MRV/
measurement,reporting and verification). MRV menjadi penting karena akan
menentukan apakah upaya yang dilakukan dalam rangka mitigasi emisi akan dihargai
dengan insentif positif atau kompensasi.
Sistem MRV REDD+ yang akan diterapkan di Kalbar meliputi semua aktifitas MRV
yang terkait dengan (1) penurunan laju deforestasi; (2) penurunan laju degradasi hutan;
(3) konservasi karbon; dan (4) peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan hutan
lestari dan pengayaan simpanan karbon. Pengukuran dan pelaporan yang dilaksanakan
diharapkan mampu mendukung pelaksanaan dari strategi nasional REDD+ menuju
pencapaian standar internasional secara bertahap. Sistem MRV akan dimanfaatkan
pula untuk berperan sebagai pendeteksi dini perubahan hutan.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pembangunan kehutanan merupakan
sektor utama sebagai muara dari terjadinya emisi karbon. Sektor kehutanan mempunyai
posisi strategis dalam upaya penanganan emisi karbon – gas rumah kaca (GRK) di
Kalbar. Hasil kajian yang telah dilakukan juga mengindikasikan bahwa lahan gambut
dan LULUCF merupakan penyebab utama dari emisi karbon di Kalbar.
4.7. Struktur Kelembagaan Pengelolaan Program
Mencapai keberhasilan pertumbuhan ekonomi rendah karbon akan memerlukan
transformasibesar. Itu baik dalam pemerintahan maupun dalam masyarakat luas.
Dari sudut pandang kelembagaan, dukungan terhadap pertumbuhan rendah karbon
memerlukan pendekatan lintas sektor. Selain itu, adanya kepastian akses terhadap
70
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan program ambisius dan mendesak ini
juga penting untuk keberhasilan.
Provinsi Kalbar kembali dihadapkan tantangan prioritas penting dan sumber daya
yang terbatas, terutama, terbatasnya ketersediaan pemilik keahlian manajemen yang
diperlukan untuk melaksanakan perubahan. Banyak instansi pemerintah menghadapi
tantangan-tantangan termasuk perubahan iklim. Pemerintah kemudian membentuk
unit-unit baru seperti unit penurunan emisi melalui skema REDD+.Provinsi Kalbar
dalam kaitan ini akan membentuk Badan Pengelola REDD+ dengan kewenangan, ruang
lingkup tugas dan fungsi organisasi yang masih terbatas.
Badan Pengelola REDD+ Kalbar nantinya difungsikan untuk mengorganisasikan
perencanaan dan pelaksanaan Kalbar hijaudengan membentuk unit kerja baru
khusus dengan memberikan kewenangan, tanggung-jawab, fungsi dan tugasnya yang
diperluas. Peninjauan kembali terhadap unit-unit pelaksana dalam dan luar negeri
menyingkapkan beberapa pelajaran bagi Kalbar dalam mengembangkan mekanismemekanisme kelembagaannya sendiri untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan
strategi pertumbuhan rendah karbon.
Struktur pengelolaan program dirancang dengan memperhatikan kebijakan
nasional terkait REDD+. Diharapkan program itu dapat mendukung pelaksanaan
strategi pembangunan rendah emisi yang terkoordinasi dan efektif, tanggap atas
berbagai masukan dari kelompok-kelompok pemangku kepentingan, menjamin
transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana. Dalam jangka panjang mampu
membangun kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia tangguh serta pendanaan
berkelanjutan bagi pelaksanaan Kalbar hijau.
Petikan pelajaran-pelajaran internasional dan dalam negeri tentang
mengorganisir unit kerja khusus seperti Badan Pengelola REDD+ Kalbar adalah sebagai
berikut:
1. Harus memiliki hubungan langsung dan dengan mandat yang jelas dari
tingkatpemerintahan tertinggi di daerah (Gubernur);
2. Perlu melibatkan representatif dari berbagai tingkat pemerintahan;
3. Hubungan dan hak-hak pengambilan keputusan harus ditetapkan secara jelas yang
diatur dalam Peraturan Gubernur;
4. Segala pembiayaan dibebankan pada anggaran daerah, hibah, dan bantuan
internasional;
5. Mengembangkan manajemen kinerja yang tepat atas beberapa hasil prioritas.
Lembaga baru ini perlu menjalankan enam fungsi untuk mendukung
kesejahteraan rendah karbon sebagaimana tersaji pada Gambar 4.4. Fungsi-fungsi
unit kerja baru mencakup :
1. Pengumpulan Dana dan Alokasi; menarik pembiayaan internasional untuk
perjanjian REDD+, VER dan CDM dan mengelola dan mendistribusikan finansial
secara transparan, adil, dan efisien ;
BAB IV
71
2. Pemantauan dan Evaluasi: menetapkan garis dasar tingkat provinsi dan standar
yang tepat untuk pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV);
3. Kebijakan dan Perencanaan Tata Ruang: mengembangkan tanggapan pengaturan
untuk mendukung pengurangan karbon dan menciptakan peluang akan sumber
penghidupan yang berkelanjutan. Hal-hal ini mencakup optimisasi alokasi lahan
melalui perencanaan ruang dan penyelesaian perselisihan kepemilikan dan
pengelolaan lahan berhutan dan lahan gambut .
4. Pelibatan Masyarakat: mengembangkan proses-proses untuk melibatkan
masyarakat lokal, termasuk pembentukan dewan-dewan masyarakat lokal
untuk memberikan masukan strategi dan memastikan ijin yang bebas biaya dan
diinformasikan, mendorong perubahan perilaku menuju praktik-praktik yang
berkelanjutan dan membangun penyelenggaraan masyarakat lokal.
5. Dukungan Prasarana dan Sarana: mengembangkan prasarana teknologi dan
sistem. Misalnya: informasi pasar, suplai pemadam kebakaran, pendidikan,
kesehatan) dan prasarana keras misalnya: listrik, jalan untuk mendukung kegiatan
penurunan emisi dan sumber penghidupan yang berkelanjutan;
6. Mendukung sumber penghidupan yang berkelanjutan: mengembangkan strategistrategi untuk mendukung pertumbuhan dan menarik investasi untuk prioritasprioritas pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan.
GUBERNUR
BP REDD+ KALBAR
Pengumpulan
Dana dan
Alokasi
Pemantauan
dan evaluasi
Kebijakan dan
perencanaan
tata ruang
Pelibatan
Masyarakat
Sarana dan
Prasarana
Sumberdaya
Penghidupan
Berkelanjutan
Gambar 4.4 Struktur lembaga BP REDD+ Kalbar
4.7.1. Fungsi Pengumpulan Dana dan Alokasi
Tiga fungsi terkait finansial penting untuk keberhasilan strategi pertumbuhan
rendah karbon. Pertama, di samping anggaran pendapatan daerah, penting untuk
menarik pembiayaan internasional untuk menyokong inisiatif - inisiatif pengurangan
emisi di Kalbar. Kedua, model pembagian penghasilan harus ditetapkan agar dapat
mengalokasi dana ke berbagai unit kerja lain yang semuanya untuk implementasi
program REDD di lapangan.Ketiga, finansial harus dikelola dan didistribusikan secara
adil dan transparan
Pendanaan dari pasar-pasar karbon internasional akan memakan waktu terlalu
lama untuk membantu Kalbarmenurunkan emisi karbon sampai tahun 2030. Dalam
jangka waktu pendek, selain dari dana pendapatan daerah, pendanaan sementara bisa
72
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
dicarikan lewat Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia/Indonesian Climate Change
Trust Fund, Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan/Forest Carbon Partnership Facility
(FCPF), Program UN-REDD, kemungkinan instrumen pendanaan FREDDI (Fund for
REDD+ Indonesia) yang akan dibentuk atau program-program bilateral penting lainnya
untuk menyokong upaya-upaya Kalbar untuk menciptakan kesiapan REDD+.
Model pembagian penghasilan spesifik perlu disempurnakan dalam koordinasi
dengan berbagai pihak, termasuk Kementerian Keuangan dan Kementerian Kehutanan,
yang telah menguraikan beberapa pedoman untuk proyek-proyek REDD+. Dalam
menetapkan model pembagian finansial, beberapa prinsip perancangan penting harus
dipertimbangkan:
1. Adanya jaminan masyarakat lokal menerima insentif. Mengubah perilaku
masyarakat di sekitar hutan agar tidak melakukan pengerusakan bukan pekara
mudah. Perlu adanya skema pemberian insentif atas setiap upaya untuk mengurangi
emisi karbon.
2. Membangun fondasi sumber penghidupan berkelanjutan: Masyarakat di sekitar
hutan harus memiliki fondasi sumber penghasilan agar keberlangsungan hidup
mereka menjadi terjamin, seperti memanfaatkan sumber daya hutan untuk
peningkatan pendapatan.
3. Membuat struktur insentif dan kerangka kerja dengan melibatkan sektor swasta:
Pemberian insentif untuk masyarakat lokal di sekitar hutan merupakan perkara
sensitif. Untuk itu perlun dibuatkan struktur pemberian insentif yang jelas dan
transparan agar tidak menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Kemudian, dalam
kerangka kerja perlu melibatkan sektor swasta agar cepat dan efektif.
Sementara itu, pedoman untuk menarik, mengelola, dan mengolokasikan dana
yang didapat hendaknya;
-
-
-
-
-
Menjamin masyarakat lokal menerima insentif melalui pembayaran untuk skema
kinerja;
Insentif yang didapatkan benar-benar memberikan bukti nyata untuk kesejahteraan
masyarakat di sekitar hutan;
Pengelolaan dana harus transparan, penuh integritas, jelas, dan bertanggung jawab
agar menimbulkan kepercayaan masyarakat dan pihak pemberi dana;
Dalam pengambilan keputusan untuk penggunaan dana mengedepankan asa
musyawarah;
Membuat aturan dasar dalam pengalokasikan insentif untuk masyarakat;
4.7.2. Fungsi Pemantauan dan Evaluasi
Pada unit kerja ini sangat diperlukan penggunaan sistem MRV. Itu mencakup
menyempurnakan estimasi awal skenario emisi provinsi tanpa tindakan pengurangan
menetapkan angka-angka dasar, seperti angka penurunan deforestasi hutan untuk
menilai upaya-upaya penurunan emisi dan mengembangkan sistem-sistem untuk
memantau dampak. Penurunan angka deforestasi hutan yang dicapai merupakan dasar
bagi penggalangan atau pemberian insentif positif.
BAB IV
73
Dalam menurunkan biaya transaksi dan meningkatkan kemungkinan proyekproyek karbon menarik pembayaran pasar karbon internasional, pemerintah
menggunakan metodologi yang telah teruji secara independen dan menetapkan
pendekatan tingkat provinsi. Prinsip-prinsip pedoman untuk pemantauan dan evaluasi:
1. Penetapan metodologi biaya transaksi berbiaya rendah untuk proyek penurunan
emisi tingkat provinsi.
2. Pengembangan pendekatan-pendekatan pengukuran sesuai dengan kemampuan
secara bertahap.
4.7.3. Fungsi Kebijakan dan Perencanaan Tata Ruang
Berdasarkan data historis peningkatan tahunan, di tahun 2020, diperkirakan 1.2
juta hektar ditujukan khusus untuk produksi kelapa sawit di Kalbar. Sementara lebih
kurang 1.8 juta hektar menjadi lahan non-hutan. Alasan utama lahan-lahan ini tidak
digunakan untuk penanaman saat ini adalah isu-isu kepemilihan lahan dan sosial yang
tidak pasti di wilayah-wilayah ini. Isu kepemilikan lahan yang bersifat lintas yurisdiksi
dan perencanaan tata ruang, kolaborasi antara pemerintah nasional dan kabupaten/
kota menjadi penting. Di samping itu, setiap kolaborasi perlu didukung dengan analisis
teknis rinci yang dapat memberikan penilaian akurat alokasi lahan saat ini dan menilai
potensi manfaat ekonomi menggunakan jenis-jenis lahan untuk berbagai kegiatan untuk
menginformasikan perencanaan tata ruang.
Informasi ini kemudian perlu dikonsolidasi menjadi satu sistem pemberian hak
atas tanah untuk mendaftar akta dan wilayah peta. Meskipun teknologi merupakan hal
penting untuk proses ini, pengalaman di berbagai negara menegaskan bahwa pemberian
hak atas tanah dan perencanaan tata ruang campuran yang rumit, permasalahan
historis, sosial, ekonomi, juga politik. Dengan demikian penting untuk membangun
dukungan masyarakat yang erat untuk mendukung inisiatif. Setiap inisiatif dihubungkan
dengan pendekatan pelibatan masyarakat. Ini penting dalam upaya penyelesaian lahan,
mengembangkan kapasitas kelembagaan di tingkat lokal, menjamin proses dilakukan
secara adil dan transparan, dan secara jelas menyampaikan manfaat-manfaatnya ke
masyarakat lokal.
Instansi pemerintah yang mengurusi masalah Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (Amdal) juga perlu diperkuat dan diperluas. Dengan demikian bisa
memberikan pertimbangan yang cermat atas masalah-masalah lingkungan hidup
sebelum izin-izin dikeluarkan, dan diperluas agar mencakup fokus khusus pada emisi
karbon dan lahan gambut. Kajian Lingkungan Hidup Strategis perlu diterapkan dalam
proses perizinan pemanfaatan lahan yang berskala besar untuk menghentikan atau
mengurangi dampak lingkungan dan sosial. Prinsip-prinsip pedoman untuk kebijakan
dan perencanaan tata ruang:
1. Kajian Lingkungan Hidup Strategis diterapkan dalam proses perizinan yang
menggunaan skala luas, seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan batubara,
pembangunan infrastruktur fisik skala besar, hutan tanaman industri;
74
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
2. Peran Amdaldisempurnakan dan diperluas untuk memberikan analisis terhadap
masalah-masalah lingkungan hidup lebih cermat dan memasukkan fokus khusus
pada emisi karbon dan lahan gambut;
3. Melakukan koordinasi secara intensif kepada masyarakat lokal baik sebelum
maupun sesudah dalam perencanaan tata ruang dan pemberian hak atas tanah;
4. Penggunaan teknologi agar dapat menilai dengan tepat biaya dan manfaat ekonomi
dari keputusan-keputusan alokasi lahan;
5. Akses terhadap informasi pemberian hak atas tanah dipermudah.
4.7.4. Fungsi Pelibatan Masyarakat
Dalam setiap implementasi REDD+ di lapangan harus melibatkan masyarakat
lokal. Melibatkan masyarakat lokal merupakan hal utama dan tidak boleh diabaikan.
Apalagi kalau menyangkut pemberian izin lahan maupun dalam penataan ruang wilayah.
Prinsip-prinsip pedoman untuk pelibatan masyarakat:
1. Penerapan Free and Prior Informed Consent (FPIC) atau Padiatapa, yaitu
persetujuan dengan pemberitahuan awal dan bebas dari masyarakat lokal untuk
berperan serta dalam proyek-proyek penurunan emisi karbon berbasis lahan;
2. Penerapan PRISAI (Prinsip Kriteria Safaguard Indonesia) dalam kegiatankegiatan penurunan emisi berbasis lahan;
3. Lembaga desa diperkuat untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk terlibat
dan mengambil manfaat dari proyek-proyek penurunan emisi karbon.
4.7.5. Fungsi Dukungan Sarana dan Prasarana
Implementasi SRAP REDD+Kalbar mutlak harus didukung dengan penyediaan
sarana dan prasarana. Tanpa dukungan tersebut akan sangat sulit untuk diwujudkan.
Dalam hal ini, perlu ada kerja sama atau koordinasi antara unit kerja di BP REDD+
Kalbar dengan instansi pemerintah lainnya yang berhubungan dengan penyediaan
sarana dan prasarana. Misalnya, masalah listrik tentu melakukan upaya dukungan
dengan pihak PLN. Masalah jalan melakukan upaya dukungan dengan Dinas Pekerjaan
Umum, dan sebagainya. Melibatkan pihak swasta atau bantuan luar negeri juga sangat
dibutuhkan untuk penyediaan sarana dan prasarana REDD+. Namun, prinsip yang
harus diperhatikan di unit kerja ini adalah:
1. Masyarakat lokal dilibatkan dalam penyediaan sarana dan prasarana agar bisa
memberikan manfaat yang akurat;
2. Transparansi dan integritas dalam pengadaan prasarana melalui audit internal
dan eksternal, dan memperkenalkan mekanisme-mekanisme untuk menjamin
integritas para pejabat pengadaan; dan
3. Memasukkan rencana-rencana untuk memperbaiki layanan sosial penting.
BAB IV
75
4.7.6. Fungsi Dukungan Sumberdaya Penghidupan Berkelanjutan
Pembangunan ramah lingungan yang berkelanjutan (suistainable) menjadi hal
utama dalam hal ini. Setiap upaya yang dilakukan unit kerja ini harus berpikir bahwa
apapun yang dilakukan lokasi lahan hutan dan gambut harus berkelanjutan. Bila tidak
berkelanjutan, dikhawatirkan upaya yang telah dilakukan menjadi terputus. Untuk itu
diperlukan dukungan sumber daya penghidupan agar skema SRAP REDD+ Kalbar bisa
berkelanjutan dan bisa mencapai target penurunan gas emisi secara signifikan. Prinsip
utamanya:
1. Peningkatan sumber daya manusia bagi pelaksana SRAP REDD+ Kalbar agar
memahami secara mendalam prinsip-prinsip pembangaun berkelanjutan;
2. Peningkatan pengetahuan masyarakat lokal di sekitar lahan hutan dan gambut
mengenai pembangunan yang berkelanjutan agar skema REDD+ bisa dengan
mudah diimplementasikan.
4.8. Pendekatan Pelaksanaan Program
Untuk implementasi SRAP REDD+ Kalbar tidak bisa dilakukan dalam waktu
yang pendek. Sesuai dengan perencanaan telah diatur skema implementasi mulai dari
perencanaan jangan pendek, menengah, dan panjang. Dalam mewujudkan rencana
tersebut diperlukan tahapan-tahapan agar bisa dijalankan secara sistematis dan terukur.
Hal paling mendasar untuk implementasi skema tersebut adalah kesiapan dana.
Harus ada komitmen dana baik dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Itu kalau
penurunan emisi karbon dengan upaya sendiri. Kalau ada komitmen dana dari negara
luar, tentunya bisa menambah target penurunan gas emisi.
Tahapan I, Penyiapan Infrastuktur SRAP REDD+ Kalbar (2013-2016). Pada
tahapan ini upaya yang mesti dilakukan adalah sebagai berikut:
-
-
-
-
Mengkoordinasikan antarlembaga pemerintah dari tingkat provinsi dan kabupaten/
kota serta lembaga atau organisasi yang berorientasi menjaga lingkungan hidup
untuk bersama-sama mendukung pencapaian komitmen Indonesia dalam
penurunan emisi 26% secara mandiri dan 41% bila ada bantuan negara lain.
Membentuk Badan Pengelola (BP) REDD+ Kalbar
Menyusun dan merencanakan program kerja BP REDD+ Kalbar
Mensosialisasikan program kerja BP REDD+ Kalbar
Tahapan II, Implementasi Program SRAP REDD+ Kalbar (2013-2020). Pada
tahapan ini seluruh program kerja yang telah direncanakan dan disosialisasikan ke
masyarakat saatnya untuk diimplementasikan. Lebih jelasnya tahapan II ini hal yang
mesti dilakukan adalah sebagai berikut:
-
-
76
Penataan dan pengelolaan tata ruang wilayah berbasis lahan dan gambut
Implementasi program kerja BP REDD+ dalam rangka penurunan emisi
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
-
Terlaksana pembangunan Kalbar rendah karbon dan memberikan kontribusi
terhadap target nasional dalam penurunan emisi
Tahapan III, Evaluasi dan Pemaksimalan SRAP REDD+ Kalbar (2013-2030).
Pada tahapan ini dilakukan evaluasi secara menyeluruh setiap program SRAP REDD+
Kalbar untuk mengetahui apa dampak atau pengaruh bagi lingkungan dan masyarakat.
Apalabila ada kekurangan tentunya dilakukan skema perbaikan. Apabila ada kemajuan
sesuai visi dan misi tentu harus dilakukan pemaksimalan program tersebut. Hal yang
ingin diwujudkan dari tahapan III adalah:
-
-
Hutan dan lahan gambut yang berada di Provinsi Kalbar menjadi kawasan rendah
emisi (emiter), menyerap carbon maksimal (sequestration) dan menyimpan karbon
maksimal (net carbon sink) pada tahun 2030.
Pembangunan berkelanjutan dengan fungsi dan jasa ekosistem hutan lestari bagi
peningkatan ekonomidaerah dan kesejahteraan masyarakat.
4.9. Kerangka Pengaman Sosial dan Lingkungan
4.9.1. Penerapan Padiatapa
Implementasi SRAP REDD+ Kalbar bisa mendapatkan kredibilitas lokal, harus
mengakui hak masyarakat adat dan lokal yang menggantungkan diri pada wilayah
hutan. Setiap program yang akan dilaksanakan mutlak harus melibatkan masyarakat
di sekitar hutan atau gambut. Hal ini untuk mencegah terjadinya konflik dan program
REDD+ bisa dilaksanakan sesuai skema yang telah ditentukan. Untuk itu, implementasi
program ini terlebih dahulu melewati Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa
Paksaan (Padiatapa).
Prinsip Padiatapa atau Free, Prior and Informed Consent (FPIC) merupakan
prasyarat yang harus dipenuhi dalam implementasi REDD+. Prinsip ini telah
dicantumkan dalam kesepakatan COP XVI UN-FCCC di Cancun, Mexico, Desember
2010 (Annex 1 dari Decision CP.16 Cancun Agreement). Pemerintah Indonesia juga telah
meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati yang mencantumkan prinsip Padiatapa.
Padiatapa dapat digambarkan sebagai pembentukan keadaan yang
memungkinkan masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk melaksanakan hak dasar
mereka. Ini guna merundingkan isi kebijakan program dan kegiatan yang dibawa oleh
pihak/orang luar yang berdampak langsung pada penghidupan atau kesejahteraan
mereka. Dalam hubungannya dengan REDD+, sebelum program diimplementasikan
melakukan proses Padiatapa di area tersebut. Dengan kata lain, tidak ada pemberian
ijin tanpa didahului dengan pelaksanaan Padiatapa.
FPIC sendiri adalah prinsip yang menegaskan adanya hak masyarakat adat
dan atau masyarakat lokal untuk menentukan bentuk kegiatan pada wilayah mereka.
Secara lebih rinci dapat dirumuskan sebagai hak masyarakat adat dan atau komunitas
lokal untuk mendapatkan informasi (Informed) sebelum (Prior) sebuah program
BAB IV
77
atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah adat atau kelola mereka.
Berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan (Free) menyatakan
setuju (consent) atau menolak. Dengan kata lain sebuah hak masyarakat adat dan atau
masyarakat lokal untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang
mereka perbolehkan, terlebih dahulu mendapatkan pengakuan dari masyarakat itu
sendiri.
Tujuan penerapan instrumen Padiatapa adalah sebagai berikut:
1. Adanya kepastian partisipasi masyarakat adat dan masyarakat lokal;
2. Adanya perlindungan hak-hak masyarakat adat serta masyarakat lokal;
3. Sebagai penentuan nasib sendiri, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam,
hak atas informasi, hak atas pembangunan dan hak atas pengetahuan lokalnya;
4. Sebagai pedoman mengenai prosedur dan mekanisme untuk mendapatkan
Padiatapa dari masyarakat adat;
5. Sebagai kepastian pola kemitraan dan akses terhadap keuntungan yang adil dan
setara dalam implementasi REDD+.
Tujuan Padiatapa di atas akan disulit diwujudkan apabila tidak ada keseriusan
dari kedua belah pihak. Untuk itu dalam penerapan Padiatapa harus diwujudkan secara
sungguh-sungguh prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, inklusivitas,
integritas, partisipasi, dan kebebasan. Dengan adanya prinsip tersebut, Padiatapa
akan sangat mudah diwujudkan.
4.9.2.Memenuhi Prasyarat Kerangka Pengaman Sosial dan Lingkungan
Program REDD+ adalah kesepakatan internasional mengenai mekanisme
insentif dari negara-negara yang mau menjaga kelestarian hutan dan lingkungan demi
mengurangi emisi karbon global. Agar bisa terlibat dalam skema REDD+ ini, negaranegara calon penerima insentif harus membangun lembaga REDD+ di tingkat nasional
dan sub nasional. Salah satu pilar dari kelembagaan REDD+ ini adalah tersedianya
instrumen pendanaan dan mekanisme pemantauan. Instrumen pendanaan REDD+,
selain harus memenuhi standar akuntabilitas dan transparansi, harus juga dipastikan
tidak akan mendatangkan dampak negatif dari sisi sosial dan lingkungan. Untuk
memenuhi prasyarat itu, instrumen pendanaan membutuhkan kerangka pengamanan
selanjutnya disebut dengan “safeguards” atau Kerangka Pengaman), agar REDD+ bisa
berjalan.
Kerangka Pengaman REDD+ dimajukan karena adanya berbagai kekuatiran
global muncul berkenaan dengan kemungkinan adanya dampak negatif kegiatan
REDD+. Dampak-dampak negatif seperti konversi hutan alam menjadi hutan tanaman
industry, perkebunan kelapa sawit atau bentuk pemanfaatan lainnya yang mempunyai
keanekaragaman hayati yang rendah dan mengarah kepada kerusakan ekosistem dan
kehilangan keanekaragaman hayati, hilangnya kawasan-kawasan tradisional yang
mengarah pada penggusuran masyarakat adat, hilangnya hak-hak masyarakat terhadap
78
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
lahan, wilayah dan sumberdaya, serta memunculkan terjadinya korupsi, nepotisme dan
kolusi baru dalam penerapan REDD+.
Kerangka Pengaman(Safeguards) merupakan upaya dini untuk memastikan
bahwa sebuah program mau pun proyek REDD+ ini tidak melawan atau menyimpang
dari tujuannya sendiri yaitu merugikan manusia dan lingkungan. Keberadaan safeguards
mencirikan tata kelola instrumen pendanaan REDD+ yang baik dan berstandar tinggi.
Bila berhasil diwujudkan, ini akan menjadi daya tarik yang kuat bagi pemberi donor dan
juga sektor swasta yang ingin berinvestasi pada kegiatan REDD+.
COP-16 UN-FCCC telah mengamanatkan kepada negara berkembang yang
akan melaksanakan REDD+ agar membangun sistem penyediaan informasi tentang
pelaksanaan ‘safeguards’ REDD+ yang tertuang pada Annex 1 Paragraph 2 decision
1/CP. 16. COP-16 mengamanatkan bahwa dalam aksi REDD+ setiap negara perlu
mendorong diterapkannya ‘Safeguards’ sebagai berikut :
a
b
c
d
e
f
g
Melengkapi atau konsisten dengan tujuan program kehutanan nasional, konvensi
dan kesepakatan internasional terkait;
Struktur tata-kelola hutan nasional yang transparan dan efektif, mempertimbangkan
peraturan-perundangan yang berlaku dan kedaulatan negara yang bersangkutan;
Menghormati pengetahuan dan hak ‘Indigenous Peoples’ dan masyarakat lokal,
dengan mempertimbangkan tanggung-jawab, kondisi dan hukum nasional, dan
mengingat bahwa Majelis Umum PBB telah mengadopsi Deklarasi Hak ‘Indigenous
Peoples’;
Partisipasi stakeholders secara penuh dan efektif, khususnya ‘Indigenous Peoples’
dan masyarakat lokal;
Konsisten dengan konservasi hutan alam dan keaneka-ragaman hayati, menjamin
bahwa aksi REDD+ tidak digunakan untuk mengkonversi hutan alam, tetapi
sebaliknya untuk memberikan insentif terhadap perlindungan dan konservasi hutan
alam dan jasa ekosistem, serta untuk meningkatkan manfaat sosial dan lingkungan
lainnya;
Aksi untuk menangani resiko-balik (reversals);
Aksi untuk mengurangi pengalihan emisi.
Rencana-rancana aksi yang tertuang dalam SRAP REDD+ Kalbar dalam
implementasinya nanti akan merujuk dan memenuhi prasyarat Kerangka Pengaman
Sosial dan Lingkungan. Sistem Kerangka Pengaman ini akan menjadi rujukan dalam
implementasi SRAP REDD+ Kalbar, apabila nantinya telah ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.Kerangka pengamanan sosialakan menjadi salah satu instrumen kerja yang
terintegrasi dalam instrumen pendanaan REDD+ dalam Lembaga REDD+ Nasional.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka SRAP REDD+ Kalbar dalam implementasi akan
memenuhi prinsip-prinsip yang telah tertuang dalam Kerangka Pengaman Sosial, yaitu :
a
b
Memastikan status hak atas tanah dan wilayah;
Melengkapi atau konsisten dengan target pengurangan emisi, konvensi dan
kesepakatan internasional terkait;
BAB IV
79
c
d
e
f
g
h
i
j
80
Memperbaiki tata kelola kehutanan;
Menghormati dan memberdayakan pengetahuan dan hak masyarakat adat dan
masyarakat lokal ;
Partisipasi para pemangku kepentingan secara penuh dan efektif dan
mempertimbangkan keadilan gender;
Memperkuat konservasi hutan alam, keanekaragaman hayati, jasa ekosistem ;
Aksi untuk menangani resiko-balik (reversals);
Aksi untuk mengurangi pengalihan emisi;
Manfaat REDD dibagi secara adil ke semua pemegang hak dan pemangku
kepentingan yang relevan;
Menjamin Informasi yang transparan, akuntabel dan terlembagakan;
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
BAB V
PENGUKURAN, PELAPORAN DAN VERIFIKASI
5.1. Pengembangan Instrumen dan Kelembagaan MRV
Ketika lembaga REDD+ sudah terbentuk, kemudian sudah dilakukan
implementasi program di lahan hutan dan gambut, ada satu instrumen yang mesti
dilakukan. Instrumen tersebut adalah MRV (Measurement, Reporting, Verification).
Program dari SRAP REDD+ Kalbar harus terukur, bisa dilaporkan, dan bisa diverikasi.
Semua itu untuk akuntabilitas atau pertanggungjawaban atas setiap program kerja yang
dilakukan. Dengan adanya instrumen tersebut akan menguatkan kepercayaan negaranegara pemberi dana.
Membangun sistem pengukuran (Measurement), yang dapat dilaporkan
(Reportable) dan dapat diverifikasi (Verifiable) adalah sebuah keharusan bagi
implementasi SRAP REDD+ Kalbar. Skema REDD+ adalah sebuah mekanisme insentif
positif atas pengelolaan hutan yang berkelanjutan dengan memberikan kompensasi
atas berkurangnya emisi yang terjadi dari penurunan laju deforestasi, degradasi hutan,
konservasi, pengelolaan hutan lestari dan pengayaan atau peningkatan cadangan karbon.
Dengan adanya sistem ini setiap pengurangan dan peningkatan stok karbon di
hutan dapat diukur secara akurat, dan dapat dijadikan dasar untuk memberikan imbalan
(reward) atas pencapaian kinerja penurunan emisi. Penerapan REDD+ di Provinsi
Kalbar akan meliputi kawasan yang luas, berbagai tipe tutupan lahan serta proses-proses
kompleks pertukaran informasi dari banyak pihak. Dengan demikian dibutuhkan suatu
sistem untuk mengetahui besarnya emisi dan serapannya.
Pemberdayaan pengembangan MRVmerupakan pilar yang penting dalam
kegiatan REDD+. Melalui proses ini efektivitas upaya dan efisiensi biaya pengurangan
emisi akan terukur secara kuantitatif, dan pembagian manfaat akan terlaksana secara
adil. Hasil dari proses MRV adalah dasar pembayaran atas output atau kinerja yang
akan dilakukan oleh lembaga pendanaan atau pembeli.
MRV merupakan rangkaian kegiatan untuk mengukur, melaporkan dan
melakukan verifikasi pencapaian penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari REDD+
secara berkala, sahih, akurat, terbandingkan, lengkap, konsisten dan transparan. Sistem
MRV merupakan garansi bagi komitmen negara-negara peratifikasi UN-FCCC, lembaga
pendanaan , investor keuangan atau pembeli (buyers) dalam implementasi REDD+.
Target dari sistem MRV ini adalah inventarisasi gas rumah kaca dari kegiatan REDD+
yang dilaporkan ke Sekretariat UNFCCC..
Instrumen MRV REDD+ yang akan diterapkan di Kalbar meliputi semua aktivitas
(1) penurunan laju deforestasi; (2) penurunan laju degradasi hutan; (3) konservasi
karbon; dan (4) peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan hutan lestari dan
pengayaan simpanan karbon (misal perlindungan dan penanaman hutan). Pengukuran
BAB V
81
dan pelaporan yang dilaksanakan diharapkan mampu mendukung pelaksanaan dari
Stranas REDD+ maupun SRAP REDD+ menuju pencapaian standar internasional secara
bertahap. Instrumen MRV akan dimanfaatkan pula untuk berperan sebagai pendeteksi
dini perubahan hutan. Instrumen MRV Kalbar , berdasarkan pelakunya direncanakan
akan dijalankan dengan dua mekanisme, yaitu mekanisme pengukuran-pelaporan dan
mekanisme verifikasi.
Mekanisme pengukuran pelaporan emisi dilakukan oleh lembaga tersendiri. Hal
yang diukur semua kegiatan yang menyebabkan pelepasan dan penyerapan gas rumah
kaca (GRK) di sektor kehutanan dan gambut. Sedangkan mekanisme verifikasi akan
dilaksanakan oleh lembaga penilai verifikasi independen mampu yang bersertifikat dan
diakui baik nasional maupun internasional.
Untuk menjamin standar kualitas, instrumen MRV Kalbar akan menggunakan
prinsip-prinsip dasar IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), sebagaimana
tercantum dalam Gambar 5.1. di bawah sedangkan penjelasan atas masing-masing
prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Terbuka (transparency): Informasi tersedia dengan mudah, terbuka dan mudah
di akses untuk keperluan kaji ulang (review and check and recheck) dan verifikasi.
Dokumentasi disusun dengan mudah, sehingga pihak yang tidak melaksanakan
inventarisasi dapat memahami bagaimana inventarisasi GRK dilaksanakan dan
dapat menilai apakah apakah metode yang digunakan memenuhi standar IPCC;
2. Taat azas (consistency): Inventarisasi dilakukan secara periodik. Perbedaan emisi
yang dihasilkan antar inventarisasi benar-benar menggambarkan perbedaan emisi
dalam periode bersangkutan, bukan disebabkan metode pengukuran yang berbeda.
Demikian pula halnya dengan pengukuran tren emisi, metode yang digunakan
bersifat konsisten.
3. Dapat diperbandingkan (comparability): metodologi yang digunakan bersifat
umum. Definisi , klassifikasi, tabel-tabel dan panduan mengacu pada ketentuan
IPCC dan harus dapat dipakai untuk menghasilkan produk yang sifatnya dapat
dibandingkan dan dapat direplikasi (replicable).
4. Teliti (accuracy): tingkat akurasi dan ketidakpastian (uncertainty) dari data harus
diketahui dan dinyatakan. Estimasi emisi sebisa mungkin tidak berlebihan dan
tidak kekurangan (over- dan under-estimate). Ketelitian data merupakan unsur
penting yang terkait dengan efektivitas penurunan emisi.
5. Lengkap (completeness): data, sumber data, metode sampling dan pengumpulan
data, analisa, asumsi, bersifat menuju kelengkapan sesuai Tier yang diacu.
Kelengkapan informasi ini mencakup cadangan karbon di semua komponen
ekosistem, baik yang di atas tanah (batang, ranting, daun) dan di bawah tanah
(akar), serta biomassa yang telah terurai sebagian atau seluruhnya (nekromassa,
serasah, gambut).
6. Secara strategis sistem MRV direncanakan mengacu kepada Sistem MRV Nasional
dan kebutuhan provinsi, kabupaten dan kota. Sistem MRV Provinsi Kalbar akan
dbagi menjadi 5 (lima) Sub-sistem berdasarkan cakupan, tujuan khusus, kegiatan
82
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
teknis, data, informasi dan analisa yang terlibat serta lembaga-lembaga khusus
yang terkait. Lihat Tabel 5.1 Dalam implementasinya sub-sub sistem ini saling
berhubungan satu dengan lainnya dan terintegrasi.
Tabel 5.1 Sub-sistem MRV Provinsi Kalbar
Sub-Sistem
Deskripsi Sub-Sistem
1. Sub-sistem Monitoring
Deforestasi
Merupakan bagian yang berkoordinasi dengan sub-sistem monitoring
deforestasi yang dikembangkan ditingkat Nasional. Hasil pemantauan
ditingkat daerah disampaikan ke nasional sebagai masukan. Hasil
pemantauan yang dilakukan ditingkat nasional dan disampaikan ke tingkat
provinsi, bersama dengan hasil pemantauan mandiri akan ditindaklanjuti
melalui pemeriksaan lapangan (ground thrusting) oleh tingkat provinsi
dan kabupaten.
2. Sub-Sistem monitoring
perubahan tutupan lahan
Sub-sistem ini juga merupakan bagian yang berkoordinasi dengan tingkat
nasional. Sub-sistem ini mebutuhkan kemampuan melakukan interpretasi
citra satelit, klasifikasi tutupan lahan, pengetahuan dan pemahaman local.
Hasil tersebut akan dimonitor dengan ground truthing.
3. Sub-sistem factor emisi
Sub sistem faktor emisi bertujuan untuk mengkompilasi dan menghitung
nilai-nilai karbon accounting yang meliputi cadangan karbon serta
sserapan CO2 pada berbagai tutupan lahan tingkat keakurasian nilai-nilai
yang selama ini yang digunakan sebagai factor-faktor emisi karbon. Nilainilai ini akan diperoleh, terutama dari dinas instansi yang terkait yaitu dinas
Kehutanan, perkebunan, dan pertambangan yang mempunyai kawasan
kelola yang luas.
4. Sub-sistem database
terrestrial dan spasial
Sub-sistem ini mendukung 3 sub-sistem lainnya melalui pengembangan
database karbon hutan dan potensi kehutanan, database persamaan
alometrik, dan database spasial dari semua tipe tutupan lahan
5. Sub-sistem Informasi
Safeguard
Sub-sistem informasi ini dibutuhkan agar program reduksi emisi dapat
berlangsung dan agar tujuan REDD+ tidak merugikan masyarakat yang
tinggal disekitar kawasan hutan. System ini akan memberikan masukan
informasi yang bersifat terkini (real time) kepada unit pengendali
pembangunan untuk dapat dilakukan pendampingan dan konsultasi
dengan unit manajemen (penanggung jawab kawasan) terkait terutama
untuk memperbaiki pengelolaan kawasan agar program penurunan emisi
dapat berhasil. Sistem ini akan menerapkan infrastruktur data spasial
daerah (IDSD) yang didukung IDSN di tingkat pusat
5.2. Prosedur Pengukuran Emisi yang Digunakan
Prosedur yang diterapkan untuk memperkirakan nilai emisi dilakukan dengan
menggabungkan informasi tentang besarnya aktivitas manusia yang terjadi (disebut
data kegiatan atau DA, activity data) dengan koefisien pengukur pelepasan/penyerapan
emisi per unit kegiatan (Faktor Emisi atau FE , Emission Factor). Pada REDD+, Data
Aktivitas didekati dengan luas perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi dalam satu
periode waktu dan dihitung dalam hektar. Faktor emisi yang digunakan adalah besarnya
pelepasan atau serapan emisi dari kawasan yang tersebut Secara umum persamaan
dasar perhitungan emisi seperti tertera pada Gambar 5.1.
BAB V
83
dengan menggabungkan informasi tentang besarnya aktivitas manusia yang terjadi
(disebut data kegiatan atau DA, activity data) dengan koefisien pengukur
pelepasan/penyerapan emisi per unit kegiatan (Faktor Emisi atau FE , Emission
Factor). Pada REDD+, Data Aktivitas didekati dengan luas perubahan
pemanfaatan lahan yang terjadi dalam satu periode waktu dan dihitung dalam
hektar. Faktor emisi yang digunakan adalah besarnya pelepasan atau serapan
emisi dari kawasan yang tersebut Secara umum persamaan dasar perhitungan
emisi seperti tertera pada Gambar 5.1.
EMISI
Perubahan
cadangan c pada
tingkat bentang
lahan ton c/th
=
DATA
AKTIFITAS
Data kuantitatif luas
perubahan
pemanfaatan lahan
x
FAKTOR
EMISI
Perubahan cadangan
C karena perubahan
pemanfaatan lahan,
ton/ha/th,
Gambar 5.1 Metode Penghitungan Estimasi di Tingkat Bentang Lahan
Gambar 5.1 Metode Penghitungan Estimasi di Tingkat Bentang
Pada Gambar 5.2. di Lahan
bawah ini akan ditampilkan tahapan-tahapan Rencana
Pada
Gambar
5.2.
di bawah
ini akan
ditampilkan
tahapan-tahapan
Rencana
Kegiatan untuk penghitungan Data
Aktifitas
dan
Faktor Emisi.
Pada masing-masing
Kegiatan untuk penghitungan Data Aktifitas dan Faktor Emisi. Pada masingtahapan
akan dibangun
sistem
Kontrol
Kualitas
(QualityBARAT
Control)
dan pada waktu
STRATEGI
RENCANA
AKSI
PROVINSI
masingDAN
tahapan
akan dibangun
sistem KALIMANTAN
Kontrol Kualitas
(Quality Control) dan
bersamaan
materimenyusun
untuk bahan
pemeriksaan
dalam Jaminan
Kualitas
padamenyusun
waktu bersamaan
materi untuk
bahan pemeriksaan
dalam Jaminan
(Quality Kualitas
Assurance).
(Quality Assurance).
Pengukuran emisi
Pengukuran terestrial
Pengukuran spasial
Pengukuran emisi
Teknik sampling
Pengukuran emisi
Bentuk dan ukuran plot
Pengukuran emisi
Variabel pengukuran
Pengukuran emisi
Persamaan alometrik
V–4
Penentuan uncertanty
Biomassa pertutupan lahan
Perhitungan emisi total
Penentuan uncertanty
Penentuan uncertainty
84
Gambar5.2
5.2Pentahapan
PentahapanUmum
Umum Rencana
Rencana Perhitungan
Gambar
PerhitunganEmisi
Emisi
Rincian penjelasan dari Pentahapan Umum yang disajikan dalam Gambar
penjelasan
dari
Pentahapan
Umum yang disajikan dalam Gambar 5.2
5.2 Rincian
di atas, adalah
sebagai
berikut
:
di atas,
adalah sebagai
: Provinsi
A. Penentuan
Databerikut
Aktivitas
1. Mengukur dinamika perubahan pemanfaatan lahan dengan menggunakan citra
A. Penentuan
Aktivitas
Provinsi
satelit yangData
diambil
pada awal
dan akhir periode. Citra satelit yang digunakan
adalah
citra
dengan
resolusi
yang
sampai lahan
resolusidengan
tinggi. menggunakan
Tipe-tipe
1. Mengukur dinamika perubahan sedang
pemanfaatan
pemanfaatan lahan dan luasnya diukur melalui analisis citra. Analisis
citra satelit yang diambil pada awal dan akhir periode. Citra satelit yang
dilakukan pada ke dua citra. Klasifikasi pemanfaatan lahan dari citra
digunakan dengan
adalah citra
dengan resolusi
yang sedang
sampai (supervised
resolusi tinggi.
dilakukan
menggunakan
klasifikasi
terbimbing
classification).
2.
TipeRENCANA
pemanfaatan
lahan
yang
digunakan
sesuai
STRATEGI DAN
AKSI PROVINSI
(SRAP)
REDD+
KALIMANTAN
BARATdengan Pedoman IPCC 2006
yaitu : Lahan Hutan (Forest Land), Lahan Kebun/Pangan (Cropland), Lahan
berrumput (Grassland), Lahan Basah (Wetlands), Pemukiman (Settlements)
dan Lahan lain yang tidak termasuk dalam kategori butir sebelumnya (Other
Land). Selain itu digunakan pula klasifikasi pemanfaatan lahan dari
Kementerian Kehutanan yang berjumlah 23 kelas dengan memperhatikan
Tipe-tipe pemanfaatan lahan dan luasnya diukur melalui analisis citra. Analisis
dilakukan pada ke dua citra. Klasifikasi pemanfaatan lahan dari citra dilakukan
dengan menggunakan klasifikasi terbimbing (supervised classification).
2. Tipe pemanfaatan lahan yang digunakan sesuai dengan Pedoman IPCC 2006
yaitu : Lahan Hutan (Forest Land), Lahan Kebun/Pangan (Cropland), Lahan
berrumput (Grassland), Lahan Basah (Wetlands), Pemukiman (Settlements)
dan Lahan lain yang tidak termasuk dalam kategori butir sebelumnya
(Other Land). Selain itu digunakan pula klasifikasi pemanfaatan lahan dari
Kementerian Kehutanan yang berjumlah 23 kelas dengan memperhatikan
Standar Nasional Indonesia (SNI 7645:2010) yang disusun berdasarkan sistem
klasifikasi UNFAO dimana kelas lahan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
bervegetasi dan tak bervegetasi.
Perubahan tipe Pemanfaatan Lahan diperoleh dengan teknik overlay
(tumpang susun) antara citra saat awal dan saat akhir suatu periode. Dari
matrik klasifikasi akan dapat diketahui besarnya luas tipe pemanfaatan lahan
yang berubah. Dari matrik ini, akan diperoleh beberapa perubahan yang tak
mungkin terjadi dalam satu periode waktu, misalnya Lahan Pertanian (Crop
Land) yang menjadi Hutan Primer dalam waktu 5 tahun.
3. Melakukan pemeriksaan lapangan (ground check) terhadap hasil klasifikasi
untuk mencari kesesuaian penafsiran citra dengan kondisi lapang. Perbedaan
penafsiran antara hasil interpretasi dengan kondisi lapang akan digunakan
sebagai nilai uncertainty kesesuaian lapang. Uncertainty dari ground check
akan digabungkan dengan nilai dari proses stratifikasi komputer.
4. Uncertainty dari proses stratifikasi computer dan dari kesesuaian lapang
digabungkan dengan teknik error propagation. Penentuan uncertainty
akan dilakukan dengan teknik Monte Carlo Simulation , sesuai dengan IPCC
Guidelines 2006 untuk Tier 2 dan Tier 3. Hasilnya akan digunakan sebagai
nilai uncertainty dari Data Aktifitas.
B. Proses Penentuan Faktor Emisi di tingkat Provinsi
1. Stratifikasi dan Penentuan Luas. Teknik untuk stratifikasi dan penentuan luas
adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam aspek teknis untuk memperoleh
Daya Aktivitas (activity data). Stratifikasi akan dilakukan berdasarkan
Klasifikasi tutupan lahan dari IPCC yang kemudian dirincikan dengan
Klassifikasi Kementerian Kehutanan dan SNI 7645:2010.
2. Penentuan aspek-aspek teknik sampling
a. Sampling biomassa dilakukan untuk setiap stratum dan tiap tipe karbon
pool. Pembuatan stratum dalam teknik sampling bertujuan agar variabel
yang diinginkan di dalam sebuah stratum kurang lebih seragam (Cochran,
1977) dan JOPP (2001). Berdasarkan hal ini maka distribusi plot-plot
sampel dalam sebuah stratum dapat dilakukan secara sistematik dengan
awal teracak (systematic random sampling with random start). Desain
BAB V
85
sistematik akan menjamin bahwa semua areal dalam stratum terwakili
dan teknis lapangan mudah dilakukan. Koordinat dari semua plot sampel
harus dicatat menggunakan koordinat global misalnya UTM (Universal
Transverse Mercator) yaitu format data lokasi tampilan pada GPS, peta
ataupun kompas.
b. Penentuan jumlah plot sampel dapat dilakukan berdasarkan nilai keragaman
variabel yang diinginkan (Snedecor and Cochran, 1971) yaitu biomassa dan
tingkat ketelitian yang ingin diperoleh. Keragaman biomassa dapat diperoleh
dari informasi survey lain atau melakukan survey awal dengan tujuan untuk
menghitung keragaman biomassa. Setelah jumlah plot diperoleh, maka
posisi plot kemudian disebarkan dalam bentuk kuadrat, atau dalam bentuk
jalur berplot pada tipe lahan kering dan bentuk lingkaran pada tipe lahan
basah seperti mangrove, rawa dan gambut (Boone, 2011).
c. Selanjutnya aspek-aspek teknik sampling yang diterapkan akan bersesuaian
dengan SNI Pengukuran Cadangan Karbon.
C. Penentuan Bentuk dan Ukuran Plot
1. Secara umum mengacu kepada IPCC, tentang LULUCF dan SNI 7724:2011.
Pada hutan alam bentuk plot adalah persegi panjang dan tersarang, dimana
pohon berukuran besar diukur pada plot yang besar sedang pohon yang
berukuran kecil diukur pada plot kecil. Contoh plot semacam ini digunakan
pada RACSA (Aini et el., 2010) atau pada Inventarisasi Hutan Menyeluruh
Berkala (Departemen Kehutanan, 2009) serta Manuri dkk, 2011. Hal ini penting
mengingat bahwa distribusi ukuran (diameter) di hutan alam berbentuk
J-terbalik. Contoh bentuk plot sampel yang dapat digunakan adalah bentuk
plot untuk pengukuran biomassa / karbon dari Kementerian Kehutanan.
Luas plot minimal di hutan alam adalah 0,2 Ha. Sedangkan ukuran plot yang
digunakan pada areal hutan sekunder akan berbeda tergantung jenis vegetasi
yang mendominasi suatu kawasan yaitu makin tinggi rataan tinggi pohon
maka luasan plot akan semakin besar (JOPP, 2001). Sedangkan pada lahan
basah luasan plot akan semakin besar manakala pada kawasan hutan tersebut
ditumbuhi vegetasi yang semakin jarang.
2. Untuk plot di hutan tanaman atau kebun , luas plot disesuaikan dengan ukuran/
umur tanaman. Makin tua tanaman, makin besar ukuran plot. Untuk hutan
tanaman yang berumur 5 tahun ke atas, luas plot minimal 0,09 ha (30 m x 30 m).
D. Penentuan Variabel yang Diukur (Biomassa, DOM, Tanah)
Pengukuran biomassa dalam plot dilakukan pada semua carbon pool yaitu
biomassa, bahan organik mati dan tanah (IPCC Vol.4, 2006). Variabel pohon yang
diukur dalam plot adalah diameter acuan (diameter pada ketinggian 1,3 m) dari atas
tanah dan identifikasi jenis. Variabel ini nantinya akan dikonversikan ke biomassa
melalui persamaan- persamaan alometri. Ukuran pohon mati berdiri maupun
rebah yang ada di dalam plot juga diukur dan tingkat pembusukannya di estimasi.
86
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Tumbuhan bawah yang ada dalam plot , sampel tanah dan juga serasah, langsung
ditimbang dan kemudian diambil sampel untuk pengukuran kandungan karbon di
laboratorium.
Kandungan biomassa bawah tanah dilakukan dengan menggunakan nilai
default atau pengukuran langsung kalau kondisinya memungkinkan. Dengan
perhitungan standar, dari pengukuran semua variabel ini diperoleh nilai kandungan
Carbon per plot yang kemudian dikonversikan ke biomassa per hektar. Contoh
teknis pengukuran biomasa untuk hutan Tropis dan berbagai tipe lahan baik primer
maupun sekunder disajikan Brown, 1997, JOPP, 2001, Hairiah, dkk, 2011. Selain itu
SNI 7724:2011 tentang Pengukuran dan penghitungan cadangan karbon dan SNI
tentang Pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground
based forest carbon accounting) serta penyusunan persamaan alometrik.
E. Pembuatan Persamaan Alometrik
Bersamaan dengan pembuatan plot sampel dalam inventarisasi dilakukan
pula pengukuran-pengukuran untuk membuat persamaan alometri. Pembentukan
persamaan-persamaan ini dilakukan untuk semua bio-ecoregion, mengingat
kondisi wilayah yang berbeda-beda.
Pengukuran dilakukan dengan destructive sampling, dengan tujuan untuk
mendapatkan data : jenis kayu, diameter acuan, tebal kulit, panjang kayu komersial
(merchantable length), tinggi total, volume tajuk, tinggi tunggak dan berat kayu/
satuan volume dan berat kulit/ satuan volume untuk setiap pohon sampel. Dari
pengukuran ini bisa dihitung biomassa pohon. Data diameter acuan kemudian
dihubungkan dengan biomassa untuk memperoleh persamaan alometrik biomassa.
Selain itu data volume individu kayu tebangan juga dihubungkan dengan biomassa
untuk memperoleh persamaan alometri volume komersil biomasa. Persamaan
alometri disusun untuk jenis atau kelompok jenis dengan karakter yang sama.
Contoh teknis penyusunan persamaan alometri disajikan dalam Diana dkk (2002),
Basuki dkk (2006), Manuri dkk (2011) dan secara nasional berdasarkan SNI
7725:2011 tentang Penyusunan Persamaan Alometrik untuk Penaksiran Cadangan
Karbon Hutan Berdasarkan Pengukuran Lapangan.
F. Perhitungan Biomassa/Karbon Stok
1. Tahapan berikutnya adalah menghitung biomassa plot berdasarkan data
jenis dan diameter dari inventarisasi dan persamaan alometri untuk jenis
yang bersangkutan. Biomassa plot ini kemudian dikonversikan sesuai ukuran
plot menjadi nilai biomassa per hektar. Dari nilai biomassa per hektar dapat
dicari nilai statistik rataan dan confidence intervalnya sesuai dengan tingkat
kepercayaan yang diinginkan. Biomassa total dapat diperoleh dengan perkalian
biomassa per hektar dengan luas stratum.
2. Untuk stratum yang tidak berubah, misalnya lahan hutan yang tetap menjadi
lahan hutan di periode akhir, ada serapan emisi akibat pertumbuhan vegetasi.
Hal ini berlaku untuk setiap stratum bervegetasi. Besarnya serapan ini dapat
BAB V
87
dihitung dari kandungan karbon yang diserap melalui proses fotosintesa
selama periode waktu yang ditentukan.
3. Citra satelit dapat digunakan untuk menghitung biomassa hutan dengan lebih
detail, kalau asumsi ada hubungan yang erat antara nilai spektral citra dengan
biomassa terpenuhi. Untuk itu diperlukan membangun sebuah persamaan
yang menggambarkan hubungan antara biomassa dengan nilai spektral citra.
Kalau hubungannya cukup kuat, maka model dapat digunakan untuk menduga
biomassa keseluruhan areal. Kalau hubungannya tidak kuat, maka nilai rataan
biomassa per hektar dari inventarisasi digunakan sebagai nilai rataan stratum.
G. Perhitungan Faktor Emisi
1. Ada dua metode untuk menghitung faktor emisi yaitu metode Stock Difference
dan metode Gain-Loss. Metode Stock Difference menghitung pelepasan/
serapan emisi berdasarkan cadangan karbon di tiap stratum pada saat awal
dan pada saat akhir kegiatan. Dengan demikian untuk metode ini diperlukan
dua kali pengukuran. Untuk mengetahui emisi, plot-plot sampel diukur ulang.
Desain pengukuran berulang ini dilakukan mengikuti metode Continuous
Forest Inventory (Loetsch, et al, 1973). Perbedaan biomassa menunjukkan
adanya emisi atau serapan. Besarnya emisi/ serapan dinyatakan dalam satuan
ton ha-1 karbon dan kemudian dikonversikan menjadi satuan ton ha-1 CO2 .
2. Metode Gain-Loss menghitung pelepasan/serapan emisi berdasarkan
perbedaan cadangan karbon ketika satu tipe lahan (di saat awal) berubah
menjadi tipe yang lain di saat akhir. Dengan demikian metode Gain-Loss
membutuhkan hanya sekali pengukuran cadangan karbon di tiap tipe
pemanfaatan lahan – sepanjang ada data citra pada awal dan akhir periode
3. Data dan informasi dari proses ini harus didokumentasikan dan disampaikan
ke Lembaga yang menangani MRV REDD+ di Provinsi. Data harus direkam
dalam bentuk digital, data ini dan semua proses harus dicantumkan dengan
jelas dalam dokumen pengantar.
4. Banyaknya kandungan karbon per satuan luas (dengan satuan ton/hektar) pada
masing-masing tipe tutupan lahan akan diambil dari data plot inventarisasi di
masing-masing stratum. Data yang digunakan adalah luas plot dan data pohon
berupa diameter dan jenis pohon. Data diameter pohon akan dihitung menjadi
kandungan karbon dengan persamaan alometri. Persamaan alometri dalam
hal ini adalah persamaan statistik yang dapat digunakan untuk mengestimasi
Biomassa (berat kering semua bagian pohon) berdasarkan diameter dan jenis
pohon. Nilai Carbon diestimasi sebagai 0,5 dari Biomassa.
H. Perhitungan Tingkat Emisi
1. Pelepasan/Serapan CO2 Provinsi Kalbar dihitung dengan menggunakan Tier
(Tingkat Kerincian) 1, Tier 2 atau Tier 3. Untuk mencapai ini, akan dicari
sebaran distribusi dari Data Aktifitas berdasarkan nilai rataan dan uncertainty
dan sebaran distribusi diperoleh dengan menggunakan Simulasi Monte Carlo.
88
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Hal yang sama diterapkan pula pada Faktor Emisi. Perkalian antara distribusi
Data Aktifitas dan Faktor Emisi akan menghasilkan sebuah sebaran distribusi
pelepasan/serapan emisi.
2. Emisi dihitung dengan memperhatikan prinsip konservatif yang secara
sederhana bermakna bahwa nilai estimasi tidak boleh terlalu besar (over
estimate), juga tidak boleh terlalu kecil (under estimate). Sebagai contoh nilai
estimasi serapan CO2 tidak boleh terlalu besar, tetapi nilai estimasi pelepasan
CO2 ke udara tidak boleh terlalu kecil. Kuantifikasi tidak boleh terlalu besar
menggunakan batas bawah estimasi dengan tingkat kepercayaan 95%, sedang
pernyataan tidak boleh terlalu kecil menggunakan batas atas estimasi dengan
tingkat kepercayaan 95%.
I. Penghitungan Pengitungan Reference Emission Level (REL)
Tingkat emisi referensi (reference emission level/REL) adalah basis untuk
mengukur pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam suatu batas
geografis dan periode waktu tertentu,ditetapkan berdasarkan data historis, dengan
memperhitungkan potensi emisi yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan di
masa mendatang.
REL merupakan jumlah emisi kotor yang dihasilkan oleh suatu daerah selama
kurung waktu tertentu yang menjadi referensi. REL merupakan bagian penting dari
sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi atau MRV (measuring, reporting and
verfication). Nilai REL menjadi dasar untuk dilakukan penilaian apakah terjadi
pengurangan emisi atau hal sebaliknya justru terjadi peningkatan emisi setelah
implementasi REDD+ sebagai aksi mitigasi. Karena itu metode yang digunakan
untuk menghitung REL harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan
dapat dilakukan pengujian atau verifikasi. Selain itu data input harus memiliki
validitas yang tinggi.
Untuk kondisi Indonesia, dengan pendekatan penerapan nasional-sub nasional,
maka terdapat 3 (tiga) metode penetapan REL/RL yang dapat digunakan yaitu :
a. Historical Emission seperti yang dilakukan oleh Santilli et al, 2005; Mollicone
et al, 2007; Strassburg et al, 2009. Penentuan emisi dari metode ini didasarkan
bahwa kejadian masa lalu akan bersfat statis kedepan sehingga sejarah emisi
dari masa lalu akan diekstrapolasi.
b. Adjusted Historical Emission. Penentuan REL pada metode ini bahwa emisi
masa lalu dapat digunakan untuk menetukan REL tetapi perlu dipertimbangkan
faktor-faktor yang mendrive kejadian emisi masa lalu seperti kepadatan
penduduk, kebutuhan lahan untuk pertumbuhan ekonomi dan sebagainya.
Metode ini telah digunakan oleh Amano et al., 2008).
c. Forward Looking. Penentuan REL pada metode ini didasarkan pada analisis
terhadap faktor yang sifatnya memperbesar kejadian deforestasi/kerusakan
hutan serta faktor yang berpotensi mengendalikan kejadian tersebut. Metode
ini menjadikan sejarah emisi tidak terlalu penting dketahui. Metode tersebut
telah digunakan antara lain, oleh Petrova et al. 2007.
BAB V
89
Ketiga metode ini memiliki satu kesamaan, yakni membutuhkan input tentang
data aktivitas dan faktor emisi dari masing masing aktivitas. Untuk mendapatkan
data aktivitas dilakukan dengan analisis tutupan lahan sedangkan data faktor emisi
diperleh dari hasil penelitian. Penentuan emisi dilakukan dengan pendekatan
perubahan stock karbon pada periode referensi. Bila terjadi peningkatan stock
karbon dari periode sebelumnya maka kategorinya adalah squentration, sebaliknya
bila terjadi pengurangan stock karbon maka dinyatakan sebagai emisi.
Nilai cadangan (stock) karbon merupakan nilai akumulasi dari cadangan
karbon dari keseluruhan data aktivitas, sedangkan cadangan karbon diperoleh
dari perkalian antara luasan akctivitas dengan faktor emisi. Penentuan aktviti data
dan perubahannya dilakukan melalui analisis perubahan tutupan lahan dengan
menggunakan analisis peta Citra Satelit. Secara umum kerangka konstruksi metode
perhitungan REL disajikan pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3. Mekanisme Pelaporan Hasil Pemantauan dan Evaluasi Emisi
Pemantauan dan evaluasi emisi hasil dari perhitungan emisi karbon yang
dimasukkan harus sama dengan sumber emisi karbon yang digunakan untuk
penetapan REL/RL. Pemantauan emisi karbon meliputi:
1. Pemantauan perubahan penutup lahan yang mengacu pada IPCC Guideline for
National Greenhouse Gas Inventories dan SNI 7645:2010, Klasifikasi Penutup
Lahan;
2. Pemantauan Perubahan Cadangan Karbon mengacu pada SNI 7724:2011,
Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon dan SNI 7725:2011,
Penyusunan Persamaan Alometrik untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan
berdasarkan pengukuran lapangan;
90
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
3. Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon mengacu pada IPCC Guideline for
National Greenhouse Gas Inventories;
4. Evaluasi Berkala dari Hasil Perhitungan Faktor Emisi Bersih (nett) mengacu
pada IPCC Guideline for National Greenhouse Gas Inventories.
Hasil-hasil estimasi emisi yang diperoleh dari inventarisasi Karbon harus
dilaporkan ke Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Provinsi Jambi , Lembaga
REDD+ Daerah serta Lembaga-lembaga terkait di tingkat Nasional. Laporan akan
menyajikan metodologi dan asumsi yang digunakan, pengumpulan data, penentuan
metode estimasi, data aktifitas, faktor emisi, estimasi nilai uncertainty, probability
density function dan parameter lain – tergantung Tier (tingkat kerincian yang
digunakan). Selain itu, pelaksana dan penanggung jawab setiap kegiatan akan
dimasukkan dalam laporan. Laporan inventarisasi juga menyajikan hasil-hasil
pelaksanaan kontrol kualitas, penjamin kualitas, penentuan kegiatan utama dan
penjelasan rinci tentang perhitungan emisi masing-masing bidang.
Satuan emisi yang digunakan dalam Laporan untuk menyatakan berat CO2
adalah Gg (Gigagram, ton). Untuk beberapa gas atau gabungan gas dinyatakan
dalam bentuk Gg CO2-equivalent. Beberapa variabel yang diukur membutuhkan
konversi, semua konversi ini dijelaskan sedetail mungkin. Untuk lingkup Kehutanan
dan Pemanfaatan Lahan , gas-gas yang dicari adalah CO2, CH4 , N2O , NOx dan CO.
Laporan disusun dengan memperhatikan prinsip kelengkapan. Untuk
menjamin prinsip ini tabel-tabel laporan akan mencantumkan semua Gas Rumah
Kaca yang masuk dalam lingkup Kehutanan. GRK yang tidak mempunyai nilai akan
dijelaskan dengan notasi-notasi sesuai dengan acuan dari IPCC. Notasi-notasi yang
digunakan adalah sebagai berikut:
a. NE (not estimated): Emisi dan atau serapan emisi terjadi tetapi tidak diukur;
b. IE (included elsewhere): Emisi dan atau serapan untuk aktifitas yang bersangkut
di estimasi tetapi tidak ditampilkan dalam kategori yang bersangkutan. Kategori
dimana emisi atau serapan disertakan, harus dijelaskan;
c. C (confidential information): Emisi dan atau serapan dihimpun dan disertakan
di tempat lain dalam inventarisasi, karena pelaporan secara terpisah akan
membuka informasi rahasia;
d. NA (Not applicable): aktifitas atau kategori ada tetapi emisi dan serapan
dianggap tidak pernah terjadi. Sel-sel pelaporan semacam ini biasanya
dikaburkan cetakannya;
e. NO (Not occurring): aktifitas atau prosesnya tidak ada dalam lokasi.
Pelaporan juga akan menyajikan data time series yang diperoleh dalam
inventarisasi tahunan, kalau data tersebut tersedia. Secara umum tabel-tabel
pelaporan inventarisasi terdiri dari:
1) Tabel-tabel ringkasan dan tabel ringkasan singkat. Tabel-tabel ini disusun
oleh pelaksana untuk menyajikan pelaporan menyeluruh untuk tahun
BAB V
91
2)
3)
4)
5)
yang bersangkutan. Ada dua kelompok tabel yaitu Tabel A berisi tabel-tabel
ringkasan, dan tabel B yang berisi tabel-tabel ringkasan singkat.
Tabel-tabel per bidang dan Tabel Background. Tabel-tabel bidang melaporkan
emisi atau serapan emisi, untuk semua aktifitas. Tabel background melaporkan
data aktifitas dan emisi terkait untuk memenuhi prinsip transparansi dan
informasi yang konsisten.
Tabel-tabel Antar Bidang (cross sectoral). Tabel-tabel ini berisi laporan tentang
emisi tidak langsung
Tabel-tabel berisi Trend Emisi per GRK. Tabel-tabel ini berisi dinamika emisi
dari tahun ke tahun selama periode proyek.
Tabel-tabel uncertainty dan tabel kategori kunci.
Untuk memudahkan penggabungan, tabel-tabel laporan ini mengikuti struktur
IPCC Guideline 2006, yaitu Format semua Tabel di atas tercantum pada IPCC
Guidelines 2006, Semua proses, variabel dan nilai-nilai yang digunakan dalam
estimasi (khususnya hal-hal yang menyangkut data aktifitas dan faktor-faktor
emisi, serta estimasi uncertainty) dicantumkan detail sehingga perhitungan dapat
direkonstruksi untuk keperluan verifikasi. Semua tabel laporan yang disusun juga
dicantumkan sebagai bagian tak terpisah dari Laporan.
Nilai estimasi yang diperoleh akan dibandingkan dengan nilai nasional dan
penjelasan jika terdapat perbedaan yang signifikan, kalau ada akan dijelaskan
penyebabnya. Nilai-nilai yang akan disertakan meliputi data aktifitas, factor emisi
dan referensi yang digunakan. Semua dokumen yang digunakan akan diarsipkan
untuk memudahkan pengujian ulang atau verifikasi. Pendokumentasian material
akan dibuatkan sistemnya, sehingga memudahkan akses bagi siapapun yang
berkepentingan.
5.3 Prosedur Menghadapi Verifikasi Emisi Karbon
Verifikasi adalah sekumpulan kegiatan dan berbagai prosedur yang dilakukan
sepanjang persiapan, pelaksanaan dan pelaporan inventarisasi untuk menggambarkan
level reliabilitas sebuah inventarisasi. Verifikasi dapat dilakukan dengan metode dan
data independen, termasuk diantaranya penggunaan nilai-nilai yang diperoleh dari
lembaga lain yang melakukan hal yang sama. Verifikasi dimaksudkan untuk mendukung
transparansi, konsistensi, dapat diperbandingkan, lengkap/menyeluruh, dan akurasi.
Kegiatan verifikasi akan dilakukan oleh pihak independen di luar Lembaga MR
(Pengukuran dan Pelaporan) dan dalam pelaksanaannya harus menyertakan pihak
pelaksana inventarisasi. Semua upaya untuk meningkatkan kualitas inventarisasi
seharusnya tercatat dan keberadaanya akan didokumentasikan Lembaga Pelaksana.
Materi yang disiapkan Lembaga Pelaksana meliputi penilaian menyeluruh tentang
kelengkapan dan kualitas inventarisasi dari sumber-sumber emisi GRK. Topik yang
dibahas meliputi: metode, nilai emisi yang diperoleh, asumsi tentang data aktifitas dan
faktor-faktor emisi.
92
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Persiapan tentang metode untuk keperluan verifikasi adalah jika metode tersebut
diulang, seharusnya mendapatkan hasil yang sama. Metode ini seharusnya akan
menghasilkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan hasil jika menggunakan metoda
lain. Nilai yang diperoleh juga akan dibandingkan dengan nilai emisi yang telah pernah
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
diukur di tempat lain atau di begara lain. Hasil perbandingan ini disiapkan sebagai
bahan menghadapi verifikasi. Dengan demikian semua proses pelaksanaan dan materi
harus disiapkan dengan terperinci. Hal-hal lain yang perlu disiapkan untuk menghadapi
Inventarisasi.,
2) adalah
Proses proses-proses
klasifikasi dan: bahan-bahan
dalam
analisis
citra
satelit
kegiatan
verifikasi
1) Perhitungan
statistik
dan
penarikan
untuk Data
Aktifitas.,
3) 3. Kesetaraan
estimasi
nilai-nilai
darianalisis
studi
kesimpulan
dalam
Inventarisasi.,
2) Prosesnilai
klasifikasi
dandengan
bahan-bahan
dalam
yang
relevan.
Kesetaraan
dengan
hasil-hasildengan
nasional
atau
citra
satelit
untuk4).
Data
Aktifitas., nilai
3) 3. estimasi
Kesetaraan
nilai estimasi
nilai-nilai
internasional
dari studi yang relevan. 4). Kesetaraan nilai estimasi dengan hasil-hasil nasional atau
internasional
5.4.
Perhitungan MRV untuk BAU dan Mitigasi
5.4. Perhitungan MRV untuk BAU dan Mitigasi
BAU
MITIGASI
Peta Penutupan Lahan
Peta Eksisting Perkebunan
Peta Penunjukan Kawasan
Peta Sebaran Gambut
Gambar 5.4
Metodologi
Perhitungan
Untuk MRV
Kalbar
Antara
BAUAntara
dan Mitigasi
Gambar
5.4
Metodologi
Perhitungan
Untuk
MRV
Kalbar
BAU
dan Mitigasi
Berdasarkan proses perhitungan sebagaimana pada gambar 5.4 menggunakan
input-input
seperti peta penutupan
lahan, peta eksisting
penunjukkan
Berdasarkan
proses perhitungan
sebagaimana
pada kawasan
gambar hutan
5.4
dan
sebaran
gambut
yang
diproses
melalui
serangkaian
analisis
penapsiran
citra
menggunakan input-input seperti peta penutupan lahan, peta eksisting
landsat
dengan memanfaatkan
softwere
Argis, Exel,
dan ABACUS.
Berdasarkan
peta
penunjukkan
kawasan hutan
dan sebaran
gambut
yang diproses
melalui
citra
tahun 2006analisis
dan 2011
kita memperoleh
BAU (Bussinis
Ussual) yang kemudian
serangkaian
penapsiran
citra landsat
dengan As
memanfaatkan
softwere
dengan
rencana
aksi dimana
semua
dimasukkan
Argis,intervensi
Exel, danprogram
ABACUS.
Berdasarkan
peta
citra parameter
tahun 2006
dan 2011dalam
kita
memperoleh BAU (Bussinis As Ussual) yang kemudian dengan intervensi
program rencana aksi dimana semua parameter dimasukkan dalam softwere
ABACUS yang dikembangkan oleh ITB dan ICRAF diperoleh kemudahan untuk
BAB V
menghitung net emisi komulatif, sequestrasi komulatif hingga tahun 2020.
Asumsi yang dipergunakan dalam proses perhitungan ini diantaranya
adalah sebagaimana dituangkan pada tabel berikut.
93
softwere ABACUS yang dikembangkan oleh ITB dan ICRAF diperoleh kemudahan untuk
menghitung net emisi komulatif, sequestrasi komulatif hingga tahun 2020.
Asumsi yang dipergunakan dalam proses perhitungan ini diantaranya adalah
sebagaimana dituangkan pada tabel berikut:
Tabel 5.2 Nilai Cadangan Karbon Per Tipe Tutupan Lahan Pool AGB
(Above Ground Biomass) Ton/Hektar
5.4.1. Perhitungan MRV Untuk BAU
Asumsi yang dibangun dalam pengolahan ABACUS terkait dengan pool carbon
BGB (Below Ground Biomass) sesuai dengan urutan perubahan tutupan lahan dapat
dilihat pada tabel berikut:
94
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Tabel 5.3 Matrik Emisi Gambut (Ton/Hektar)
BDR
BLR
HLKP
HLKS
HMP
HMS
HRP
HRS
HT
AIR
KBN
PMK
TBG
PLK
PLKC
RW
SWH
SMB
TBK
TT
TRN
BDR
9.5
9.5
16.0
19.0
22.5
32.0
9.5
16.0
3.0
9.5
22.5
BLR HLKP HLKS HMP HMS HRP HRS
19.0 9.5 19.0 25.5 28.5 32.0 41.5 19.0 25.5 9.5 12.5 19.0 9.5 32.0 -
HT AIR
25.5 16.0 25.5 32.0 35.0 38.5 48.0 25.5 32.0 16.0 19.0 25.5 38.5 -
KBN
28.5
19.0
28.5
35.0
38.0
41.5
51.0
28.5
35.0
19.0
22.0
28.5
41.5
PMK
32.0
22.5
32.0
38.5
41.5
45.0
54.5
32.0
38.5
22.5
25.5
32.0
45.0
TBG
41.5
32.0
41.5
48.0
51.0
54.5
64.0
41.5
48.0
32.0
35.0
41.5
32.0
54.5
PLK
19.0
9.5
19.0
25.5
28.5
32.0
41.5
19.0
25.5
9.5
12.5
19.0
9.5
32.0
PLKC
25.5
16.0
25.5
32.0
35.0
38.5
48.0
25.5
32.0
16.0
19.0
25.5
16.0
38.5
RW
9.5
9.5
16.0
19.0
22.5
32.0
9.5
16.0
3.0
9.5
22.5
SWH
12.5
3.0
12.5
19.0
22.0
25.5
35.0
12.5
19.0
3.0
6.0
12.5
3.0
25.5
SMB TBK
19.0 9.5 19.0 25.5 28.5 32.0 41.5 19.0 25.5 9.5 12.5 19.0 32.0 -
TT
-
TRN
32.0
22.5
32.0
38.5
41.5
45.0
54.5
32.0
38.5
22.5
25.5
32.0
22.5
45.0
Selanjutnya BAU Landbase Carbon stok dapat dilihat pada gambar 5.5 berikut
Gambar 5.5. BAU Land Base Carbon Stok
Grafik diatas menunjukkan BAU Landbase komulatif sampai dengan tahun 2020
adalah 552,29 juta tonCO2(eq). Ini berarti emisi BAU landbase Kalbar pada periode P2
( 2016-2020) per tahunnya pada akhir tahun 2020 adalah 110,45 juta tonCO2 (eq). Kita
ketahui rencana penurunan 26% emisi nasional sektor kehutanan dan lahan gambut
adalah 1,51 Giga ton CO2 (eq) pada tahun 2020 atau kontribusi Kalbar adalah sebesar
7,3% dari target Nasional tersebut.
5.4.2. Perhitungan MRV untuk Mitigasi
Berdasarkan pola ruang, Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) Revisi
4, Rencana Jangka Panjang Kehutanan, Rencana Makro Perkebunan, pembangunan
sektor berbasis lahan lainnya (pertambangan, pertanian, transmigrasi, PU, lahan basah
mangrove, pemekaran wilayah) merupakan faktor-faktor yang menentukan dalam
BAB V
95
adalah 552,29 juta tonCO2(eq). Ini berarti emisi BAU landbase Kalbar pada
periode P2 ( 2016-2020) per tahunnya pada akhir tahun 2020 adalah 110,45 juta
tonCO2 (eq). Kita ketahui rencana penurunan 26% emisi nasional sektor
kehutanan dan lahan gambut adalah 1,51 Giga ton CO2 (eq) pada tahun 2020 atau
kontribusi Kalbar adalah sebesar 7,3% dari target Nasional tersebut.
5.4.2. Perhitungan MRV untuk Mitigasi
Berdasarkan pola ruang, Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB)
Revisi 4, Rencana Jangka Panjang Kehutanan, Rencana Makro Perkebunan,
pembangunan
sektor
berbasis
lahanproses
lainnyaFocus
(pertambangan,
perhitungan untuk
mitigasi
Kalbar.
Dalam
diskusi penyusunan
rencana
pertanian,
transmigrasi,
PU,
lahan
basah
mangrove,
pemekaran
wilayah)
merupakan
faktoraksi Kalbar bahwa ada dua kegiatan inti aksi mitigasi yaitu kegiatan membangun Hutan
faktor yang menentukan dalam perhitungan untuk mitigasi Kalbar. Dalam proses
Tanaman Industri (HTI)
dan Kegiatan Perkebunan (kopi, kelapa sawit, karet, lada dan
Focus diskusi penyusunan rencana aksi Kalbar bahwa ada dua kegiatan inti aksi
lain sebagainya).
Adapun
rencana
mitigasi
masing-masing
Kabupaten/Kota
mitigasi
yaitu kegiatan
membangun
Hutantersebut
Tanaman Industri
(HTI) dan Kegiatan
dapat dilihat pada
tabel
berikut:
Perkebunan (kopi, kelapa sawit, karet, lada dan lain sebagainya). Adapun rencana
mitigasi tersebut masing-masing Kabupaten/Kota dapat dilihat pada tabel berikut.
5.4 Aksi Mitigasi Pada Masing-Masing Kegiatan
TabelTabel
5.4 Aksi
Mitigasi Pada Masing-Masing Kegiatan
KABUPATEN
Bengkayang
Kapuas Hulu
Kayong Utara
Ketapang
Kota Singkawang
Kubu Raya
Landak
Melawi
Pontianak
Sambas
Sanggau
Sekadau
Sintang
Grand Total
Forest Plantation
& Enhancement
Cultivation Crop
Development
10,077
306,322
429
38,313
54,971
77,750
9,862
114,922
57,326
55,991
47,591
38,007
5,130
162,305
29,013
93,673
17,502
4,245
23,907
119,877
60,887
74,843
725,962
676,980
Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar
V–15
Tabel diatas menunjukkan kegiatan mitigasi pada Hutan Tanaman sebesar
725.962 hektar sampai tahun 2020 sedangkan pada perkebunan sebesar 676.980 hektar
sampai tahun 2020. Hasil analisis proses ABACUS untuk hasil mitigasi baseline adalah
sebagai berikut:
Gambar 5.6 Hasil Mitigasi Baseline
96
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Gambar 5.6 dapat diasumsikan BAU landbase komulatif sebesar 552,29 juta
tonCO2(eq) pada tahun 2020 hasil mitigasi komulatif yang diperoleh sebesar 253,10
juta tonCO2 (eq) atau sebesar 54,17%. Ini bearti ditahun 2020 kemampuan mitigasi
Kalbar adalah 552,29-253,10=299,19/5 tahun = 59,84 juta ton CO2 (eq). Target Nasional
penurunan emisi pada 26% adalah 0,672 Giga tonCo2 (eq), Kalbar mampu berkontribusi
sebesar 59,84/672x100%= 8,9%. Adapun kontribusi masing-masing Kabupaten/Kota
terhadap penurunan emisi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.5 Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Penurunan Emisi (ton CO2 eq)
Forest Plantation Cultivation Crop Natural Forest
Grand Total
Development
& Enhancement
Management
KABUPATEN
Bengkayang
Kapuas Hulu
Kayong Utara
Ketapang
Kota Singkawang
Kubu Raya
Landak
Melawi
Pontianak
Sambas
Sanggau
Sekadau
Sintang
Grand Total
10,077
306,322
429
38,313
54,971
77,750
9,862
114,922
57,326
55,991
47,591
38,007
5,130
162,305
29,013
93,673
17,502
4,245
23,907
119,877
60,887
74,843
56,317
1,579,243
149,342
276,528
1,359
106,658
60,681
199,602
630
44,294
28,224
31,656
454,159
113,985
1,617,250
154,472
745,155
1,788
173,984
209,326
294,854
4,875
78,063
263,023
149,870
584,994
725,962
676,980
2,988,696
4,391,638
Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar
Tabel diatas dapat diasumsikan bahwa kontribusi mitigasi emisi terbesar yaitu
kabupaten ketapang dengan kontribusi sebesar 16,96%, kemudian selanjutnya berturutturut diikuti oleh kabupaten Kubu Raya, Sambas, Kapuas Hulu, Kayong Utara, Landak,
Bengkayang, Sintang, Pontianak, Melawi, Kota Singkawang, Sekadau, Kota Pontianak,
dan Kabupaten Sanggau.
Kontribusi mitigasi kehutanan memiliki prinsip untuk melestarikan hutan. Pada
prinsipnya dalam kehutanan emisi GRK menghitung kelas tutupan lahan. Kelas tutupan
lahan yang tidak berubah diasumsikan 0 emisi dan mitigasi, kegiatan dibidang kehutanan
seperti konservasi, tata batas, patroli, dan pamhut merupakan suatu strategi dan aksi
nyata dalam pengamanan hutan dari degradasi dan deforestasi baik yang direncanakan
maupun tidak direncanakan. Kondisi pernyataan terakhir pada prinsipnya merupakan
kegiatan melindungi dan mempertahankan existing tegakan hutan di lapangan. Ini
berarti dalam tahun berjalan dan jangka panjang meningkatkan pertumbuhan riap
sekaligus meningkatkan sequestrasi tonC/hektar.
Dari beberapa penelitian kita ketahui bahwa stok karbon pada berbagai tutupan
lahan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan riap tegakannya. Pada hutan alam logged
over (bekas tebangan) lebih dari 10 tahun, diperoleh informasi sebagai berikut:
BAB V
97
Tabel 5.6 Pertumbuhan Riap dari Tahun ke Tahun dalam hubungannya dengan
sequestrasi CO2 (eq) TPTII C = 141,07 riap = 7,11 ton/ha
Sumber : Hardiansyah 2011
Tabel 5.7 Pertumbuhan Riap dari Tahun ke Tahun dalam hubungannya dengan
sequestrasi CO2 (eq) TPTI C = 97,99 riap = 1,45 ton/ha
Sumber : Hardiansyah 2011
98
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Informasi di atas jika diterapkan ke dalam analisis pengolahan data softwere
ABACUS harus dipertimbangkan, karena kita ketahui saat ini sistem ABACUS hanya
menghitung dari sisi pool karbon yang ada tanpa mempertimbangkan faktor sequestrasi
dari pertumbuhan riap tegakan hutan yang dipertahankan sebagaimana di satu kabupaten
mengedepankan visi Kabupaten Konservasi di kawasan hutan Taman Nasional, Hutan
Lindung atau Cagar Alamnya.
Untuk mempertimbangkan kegiatan mitigasi yang lebih komprehensip disetiap
kabupaten/kota se-Kalbar dilakukan analisis tambahan yaitu kegiatan melindungi dan
mempertahankan existing tegakan hutan di lapangan. kegiatan dibidang kehutanan
seperti konservasi, tata batas, patroli, dan pamhut merupakan suatu strategi dan aksi
nyata dalam pengamanan hutan dari degradasi dan deforestasi. Kami mengistilahkannya
dengan Natural Forest “Management”. Sebaran kegiatan mitigasi tersebut selengkapnya
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5.8 Sebaran Luas Kegiatan Mitigasi di Tiap-Tiap Kabupaten
Sampai Tahun 2020 (Hektar)
KABUPATEN
Bengkayang
Kapuas Hulu
Kayong Utara
Ketapang
Kota Singkawang
Kubu Raya
Landak
Melawi
Pontianak
Sambas
Sanggau
Sekadau
Sintang
Grand Total
Forest Plantation
& Enhancement
Cultivation Crop
Development
Natural Forest
Management
Grand Total
10,077
306,322
429
38,313
54,971
77,750
9,862
114,922
57,326
55,991
47,591
38,007
5,130
162,305
29,013
93,673
17,502
4,245
23,907
119,877
60,887
74,843
56,317
1,579,243
149,342
276,528
1,359
106,658
60,681
199,602
630
44,294
28,224
31,656
454,159
113,985
1,617,250
154,472
745,155
1,788
173,984
209,326
294,854
4,875
78,063
263,023
149,870
584,994
725,962
676,980
2,988,696
4,391,638
Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar
Dari tabel tersebut terlihat bahwa selain kegiatan HTI dan perkebunan ada faktor
“management” yang dilakukan oleh masing-masing Kabupaten/Kota sebesar 2.988.696
Hektar. Untuk rincian luas hutan alam yang dipertahankan dengan “management”
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
BAB V
99
Tabel 5.9 Luas Hutan Alam Yang Dipertahankan Dengan Management” (Hektar)
LAND
KAWASAN HUTAN (Ha)
CA
HL
SAD
TN
COVER
HLKP
68,689.50 1,001,031.46
0.00
866,385.05
HLKS
9,525.50
637,742.41 15,805.97
80,924.80
HMS
0.00
60,704.82
770.52
75.49
HRP
0.00
3,225.68
0.00
0.00
HRS
13,849.11
118,327.18
0.00
88,028.89
TOTAL
92,064.12
1,821,031.55 16,576.48 1,035,414.23
Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar
Keterangan:
HLKP : Hutan Lahan Kering Primer
HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder
HMS : Hutan Mangrove Sekunder
HRP : Hutan Rawa Primer
HRS : Hutan Rawa Sekunder
TWA
0.00
22,468.11
356.67
0.00
784.55
23,609.33
TOTAL
(Ha)
1,936,106.01
766,466.80
61,907.49
3,225.68
220,989.74
2,988,695.71
CA : Cagar Alam
HL : Hutan Lindung
SAD : Suaka Alam Darat
TN : Taman Nasional
TWA : Taman Wisata Alam
Berdasarkan rencana aksi mitigasi landbase + “Management” dengan dibantu
oleh iterasi proses ABACUS diperoleh untuk masing-masing periode I (2011-2015) dan
periode II (2016-2020) adalah sebagaimana ditampilkan dalam dua gambar berikut ini
Gambar 5.7 Mitigasi Landbase + Management Periode I (2011-2015)
100
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Gambar 5.8 Mitigasi Landbase + Management Periode II (2016-2020)
Adapun output hasil mitigasi baseline dengan memasukkan faktor “manajemen”
dalam perhitungan ABACUS adalah sebagai berikut:
Gambar 5.9 Hasil Mitigasi Baseline Dengan Memasukkan Faktor
“Manajemen” Dalam Perhitungan ABACUS
Berdasarkan analisis ABACUS di atas bahwa Kalimantan Barat secara tekhnikal
dengan kemampuan sendiri mampu menurunkan emisinya hampir 92,4% ditahun
2020 dengan catatan kegiatan mitigasi melalui perlindungan dan mempertahankan
“Management” Bussines Un-ussual di kawasan Cagar Alam (CA), Hutan Lindung (HL),
Suaka Alam Darat (SAD), Taman Nasional (TN), dan Taman Wisata Alam (TWA).
BAB V
101
Adapun rekapitulasi kontribusi Kabupaten terhadap penurunan emisi GRK
Provinsi Kalbar dalam skenario BAU, Mitigasi, dan Mitigasi + “Management dapat
dilihat secara jelas pada tabel dan grafik berikut.
Tabel 5.10 Kontribusi Kabupaten Terhadap Penurunan Emisi GRK Provinsi Kalbar
MITIGASI
BAU
MITIGASI + MANAJEMEN
INIT
KAB
NET EMISI % NET EMISI NET EMISI % NET EMISI KONTRIBUSI NET EMISI % NET EMISI KONTRIBUSI
1 Bengkayang
BKY
32,638,858
5.91% 19,880,121
7.85%
2.31% 13,468,731
32.10%
3.47%
2 Kapuas Hulu
KHL
54,940,093
9.95% 28,245,462
11.16%
4.83% (29,609,069)
-70.58%
15.31%
3 Kayong Utara
KKU
30,630,621
4 Ketapang
KTP
144,240,289
NO
KABUPATEN
5,419,083
2.14%
4.56%
712,699
1.70%
5.42%
26.12% 50,549,273
5.55%
19.97%
16.96%
5,791,363
13.80%
25.07%
5 Kota Pontianak
PNK
90,217
0.02%
6 Kota Singkawang
SKW
1,131,803
0.20%
7 Kubu Raya
KKR
93,519,287
16.93% 19,143,838
7.56%
8 Landak
LDK
36,955,014
6.69% 22,701,590
8.97%
9 Melawi
MLW
11,081,789
2.01%
6,716,900
10 Pontianak
PTK
13,778,218
2.49%
6,645,408
11 Sambas
SBS
56,865,149
10.30% 25,984,635
12 Sanggau
SGU
28,760,819
5.21% 31,158,599
0.57%
373,970
0.00%
0.02%
0.15%
0.14%
0.00%
0.02%
251,090
-
0.60%
0.16%
13.47% 11,131,980
26.53%
14.92%
15.59%
5.51%
2.58%
6,539,868
2.65%
0.79%
(3,463,131)
-8.25%
2.63%
2.63%
1.29%
6,542,652
15.59%
1.31%
10.27%
5.59% 21,487,059
51.22%
6.41%
12.31%
-0.43% 10,911,629
26.01%
3.23%
13 Sekadau
SKD
3,151,000
2,581,302
1.02%
0.10%
(8,762,906)
-20.89%
2.16%
14 Sintang
STG
44,510,068
8.06% 33,704,304
13.32%
1.96%
6,951,922
16.57%
6.80%
KALBAR
KB
552,293,226
100.00% 253,104,486
100.00%
54.17% 41,953,886
100.00%
92.40%
Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar
Gambar 5.10 Grafik Kontribusi Kabupaten Terhadap Penurunan Emisi GRK Provinsi Kalbar
Berdasarkan tabel dan grafik tersebut diatas bahwa posisi Kabupaten Kapuas Hulu
sangat menarik perhatian kita karena mempunyai sequestrasi terbesar dibandingkan
kabupaten lainnya yaitu 29,61 juta ton CO2 (eq) ini menunjukkan keberhasilan sebagai
kabupaten konservasi yang mampu mempertahankan hutan alam (Taman Nasional dan
Hutan Lindung).
102
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
5.4.3. Pengaruh Kebijakan Moratorium (PIPIB 4) Terhadap Mitigasi
Landbase
Selanjutnya dengan memanfaatkan database yang sudah ada dan
mengintegrasikan rencana peta indikatif penundaan izin baru revisi ke-4 di wilayah
Kalimantan Barat diperoleh hasil sebagaimana dalam tabel berikut:
Tabel 5.11 Pengaruh Kebijakan Moratorium (PIPIB 4) Terhadap Mitigasi Landbase
Sumber : Hasil Perhitungan Tim Pokja RAD GRK Kalbar
Kebijakan moratorium sebagaimana tertuang pada peta PIPIB rev.4 tidak banyak
mempengaruhi terhadap rencana capaian penurunan emisi GRK melalui mitigasi
landbase. Dengan mengakomodir kebijakan moratorium, rencana mitigasi diperkirakan
dapat terealisir sebesar 99,51% terdiri dari pelestarian hutan 100%, pembangunan hutan
99,35%, dan pembangunan perkebunan 99,26%. Artinya bahwa pengaruh kebijakan
moratorium di kawasan hutan produksi berpengaruh hanya 0,65%. Sedangkan pada
kawasan APL perkebuanan pengaruh kebijakan moratorium berpengaruh hanya 0,74%.
BAB V
103
104
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
BAB VI
ARAH DAN PROGRAM STRATEGI REDD+
KALIMANTAN BARAT
Arah dan Program Strategi REDD + Kalbar disusun berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2011-2015 dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, dengan memperhatikan rancangan
RTRW Kalbar dan RPJM Nasional Tahun 2009-2014. Arah dan Program Strategi
REDD+ Kalbar dimaksudkan untuk dapat memberi pedoman bagi pelaku pembangunan
(Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Dunia Usaha dan Masyarakat)
dalam pelaksanaan proses pengurangan emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan.
Arah dan Program Strategi REDD + Kalbar juga sebagai pedoman dalam
penyusunan Rencana Strategis (Renstra) bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Provinsi. Ini supaya terwujud proses pembangunan yang bersinergi. Di samping itu,
Arah dan Program Strategi REDD+ Kalbar dimaksudkan juga sebagai pedoman bagi
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten/
Kota, dalam rangka mewujudkan pembangunan terpadu di lingkup Pemerintah Provinsi
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, lintas sektor dan wilayah.
Penyusunan Arah dan Program Strategi REDD + Kalbar didasarkan pada
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kawasan secara makro (bersifat
eksternal) maupun mikro wilayah (bersifat internal) berdasarkan isu-isu strategis yang
berhubungan dengan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Kerangka strategi
REDD + Kalbar dibangun untuk mencapai tujuan jangka panjang yang dijabarkan sebagai
berikut : (1) Menurunkan emisi GRK yang berasal dari sektor penggunaan lahan dan
perubahannya serta kehutanan (Land Use, Land Use Change, and Forestry/LULUCF);
(2) meningkatkan simpanan karbon ;(3) meningkatkan kelestarian keanekaragaman
hayati; dan (4) meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi ekonomi hutan. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka Program Strategi REDD + Propinsi Kalimantan Barat
menekankan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang tertuang dalam bentuk
kebijakan strategis pengelolaan sumber daya alam Kalbar.
Untuk mewujudkan kebijakan strategis tersebut dalam konteks REDD+
Kalbar, metode pendekatan yang direncanakan adalah (1) Pendekatan Kelembagaan,
(2) Pendekatan sosial budaya, (3) Pendekatan multipihak , (4) Pendekatan ekonomi.
Keempat pendekatan tersebut diimplementasikan dalam strategi sebagai berikut :
BAB VI
105
6.1. Strategi Pengembangan Kelembagaan REDD+ dan
Sinergi Kebijakan
6.1.1. Pengembangan Kelembagaan REDD+
Kelembagaan atau institusi merupakan salah satu komponen dan prasyarat
utama dalam implementasi REDD+. Sistem Kelembagaan REDD + dirancang dengan
mengutamakan asas-asas tata kelola yang baik, inklusif dengan memastikan partisipasi
dari para pemangku kepentingan, efisiensi serta akuntabilitas. Seluruh isu dan
permasalahan berkaitan dengan REDD+, sebenarnya merupakan bagian integral dari
tugas pokok dan fungsi beberapa satuan kerja pemerintah daerah yang telah ada. Karena
hal ini berkaitan dengan komitmen nasional dan kontribusi terhadap kepentingan
global, maka kegiatan berkenaan dengan REDD+ mencuat menjadi suatu urusan
yang memerlukan kewenangan dan tanggung jawab suatu lembaga tersendiri. Hal ini
diperlukan agar strategi yang telah dikembangkan dapat dilaksanakan dengan baik dan
keluar dari rutinitas pelaksanaan urusan sebagaimana biasa (business as usual, BAU).
Strategi pengembangan institusi pengelola REDD+ yang paling mendasar
adalah institusi apapun yang akan dikembangkan, kesemuanya harus bersifat ad hoc
(temporer) atau sementara saja sampai satu saat REDD+ menjadi bagian integral dari
tata kelola pemerintahan di setiap level. Namun demikian, dikaitkan dengan sistem
pemerintahan yang ada, maka kelembagaan REDD+ harus mempunyai status hukum
yang tetap dan mengikat, sehingga siapapun yang menjadi Kepala Daerah dan atau
Kepala Unit/Satuan Kerja/Lembaga REDD+ yang dibentuk, tidak akan ada perubahan
tugas pokok dan fungsi serta kewenangan maupun tanggung jawab lembaga. Sehingga,
secara bertahap dan konsisten strategi REDD+ dapat diimplementasikan dengan baik.
Untuk itu, status lembaga REDD+ yang dipandang sesuai adalah badan yang memiliki
kewenangan dan fungsi koordinasi dengan karakteristik jabatan-jabatan fungsional dan
struktur kelembagaan yang memerlukan tenaga profesional.
Pada tingkat nasional untuk mendukung implementasi REDD + ini dibentuk
tiga lembaga, yaitu Lembaga REDD+; Instrument Pendanaan REDD+, serta institusi
Koordinasi dan Sistem Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi REDD+ yang disebut
institusi MRV REDD+. Dengan demikian pada tingkat provinsi juga dapat membentuk
lembaga REDD+ untuk menyusun dan menjalankan SRAP yang diturunkan dari strategi
nasional REDD+. Untuk mengimplementasikan REDD+ di Kalbar diperlukan bentukbentuk kelembagaan sebagai berikut:
A. Kelembagaan REDD+ Propinsi
Diusulkan Lembaga REDD+ provinsi nantinya bernama Badan Pengelola
REDD+Kalbar. Kenapa pakai Badan Pengelola (BP), ini mengacu pada BP REDD+
yang ada di pusat. Tugas utama BP REDD+ Kalbar mengkoordinasikan kegiatan
secara tematik, termasuk (1) penyelengggaraan rangkaian kegiatan pengukuran,
pelaporan, dan verifikasi peneurunan emisi (2) memastikan efektivitas pendanaan
REDD+: dan (3) secara berkala melaporkan perkembangan program proyek/
kegitanan di daerahnya kepada lembaga REDD+ nasional.
106
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Kabupaten/kota juga dapat membentuk lembaga REDD+ untuk melakukan
koordinasi secara konsisten dan efisien dengan semua pemrakarsa kegiatan REDD+
di tingkat kabupaten, dan secara berkala melapor kepada tingkat Provinsi. Data
dan informasi mengenai perkembangan kegiatan proyek program REDD+ menjadi
landasan bagi data yang terdapat pada lembaga REDD+ di tingkat provinsi dan
nasional.
BP REDD+ Kalbar didirikan dengan instrumen hukum, melapor dan
bertanggung jawab secara langsung kepada Gubernur. Lembaga REDD+ provinsi
dipimpin oleh seorang Kepala Badan. Tugas utama badan pengelola ini:
-
-
Mengawasi dan mengendalikan percepatan perbaikan sistem tata kelola hutan
dan lahan bergambut yang memungkinkan penurunan deforstasi dan degradasi
hutan.
Memastikan pelayanan pembiayaan yang efektif dan distribusi manfaat yang
adil bagi pihak-pihak yang menjalankan program/proyek/kegiatan REDD+
sesuai dengan pemenuhan persyaratan integritas sistem pelaksanaan REDD+.
Mandat dari lembaga REDD+ dikembangkan untuk menjalankan fungsifungsi strategis serta dalam format koordinasi tematik dan koordinasi pengaruh
yang beroriantasi pada pengefektifan fungsi-fungsi operasional dan koordinasi
yang sudah ada diantara berbagai satuan perangkat dinas provinsi. Adapun mandat
lembaga tersebut meliputi:
-
Menyiapkan regulasi
-
Memfasilitasi pengembangan program REDD+
-
Mengendalikan percepatan perbaikan sistem tata kelola hutan dan lahan
gambut.
-
Memfasilitasi pengembangan kemampuan untuk memastikan distribusi
manfaat REDD+ yang adil
-
Mengendalikan tata niaga emisi karbon yang berasal dari skema REDD+
-
Memfasilitasi pembentukan institusi MRV REDD+, mengesahkan aturan
aturan terkait sistem pengukuran, pelaporan, verifikasi serta sertifikasi
penurunan emisi, pemeliharaan dan peningkatan cadangan karbon sera
mengawasi pelaksanaanya.
-
Memfasilitasi pembentukan instrumen pendanan REDD+ dan menetapkan
ketentuan berkaitan dengan pembayaran berbasis kinerja.
-
Memfasiltasi pengembangan instrumen Kerangka Pengaman (Safeguards),
pembangunan sistem informasi pelaksanaan safeguards untuk REDD+ (SIS
REDD+), pembentukan komite pengawas pelaksanaan Kerangka Pengaman
(Safeguard comitee), mengesahkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan
sistem integritas untuk bidang keuangan, sosial dan lingkungan hidup unutk
pelaksanaan proyek.
BAB VI
107
-
Mengefektifkan fungsi-fungsi koordinasi tematik antar perangkat satuan
dinas dan antar Provinsi ke Kabupaten, serta melakukan koordinasi dalam
pencarian sumber dan penyelesaian masalah yang menyangkut kewenangan
antar perangkat dinas terkait dengan pelaksanaan REDD+.
-
Melakukan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program antar sektor
dan instansi, dan atar provinsi dan kabupaten/kota. Terutama terkait dengan
penataan ruang dan perizinan pemanfaatan lahan.
-
Menyusun rencana dan melaksanakan koordinasi penegakan hukum untuk
perlindungan hutan dan lahan gambut, terutama tapi tidak terbatas pada halhal yang mencakup pemabalakan liar (illegal loging) pemanfaatan lahan dan
penggunaan api dalam pembukaan lahan.
-
Mendukung dan mengkoordinasikan dukungan bagi pelaksanaan implementasi
REDD+ di tingkat Kabupaten/kota, penyediaan prakondisi untuk pelaksanaan
REDD+.
-
Pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia dan
perangkat operasional penyelenggaran urusan REDD+. Kelembagaan REDD+
juga mendukung pelaksanaan program REDD+ di Kabupaten/kota yang punya
potensi besar dalam pelaksanaan program REDD+
-
Mengkordinasikan pelaksanaan Inpres No. 10 tahun 2011, tentang penundaan
pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola Hutan Alam Primer dan
lahan Gambut yang diterbitkan pada tanggal 20 Mei 2011.
-
Mengkoordinasikan upaya-upaya penyelesaian sistem insentif untuk
memastikan sinergi antar kebijakan/pogram pemerintah terkait pelaksanaan
REDD+. Lembaga REDD+ akan mengkoordinasikan poses peninjauan ulang
(Review) atau mengusulkan berbagai mekanisme transfer fskal dari pusat ke
daerah dan ke kabupaten.
-
Mengkoordinasikan pelaksanaan berbagai kewenangan yang akan dilimpahkan
kepada lembaga REDD+ provinsi sesuai dengan kesiapan kapasitasnya.
B. Instrumen Pendanaan
Pembentukan Instrumen Pendanaan REDD+ difasilitasi oleh BP REDD+.
Instrumen Pendanaan bekerja berdasarkan potensi dana yang berasal dari
berbagai sumber, potensi pengguna dan penggunaan yang beragam, dan tata
kelola yang multi-pihak. Instrumen keuangan khusus ini dibangun dengan
tujuan:
a. Mendukung pengembangan program/proyek/kegiatan REDD+ sesuai
dengan potensi reduksi emisi dari pengelolaan lahan berhutan dan/atau
bergambut;
b. Menyediakan mekanisme penyaluran dana yang kredibel secara internasional
bagi calon donor dan investor yang tertarik untuk mendorong dan/
atau mendapatkan manfaat dari program/proyek/kegiatan REDD+;
108
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
c. Mendorong efisiensi pemanfaatan dana dan keadilan distribusi manfaat
dari pengembangan program/proyek REDD+;
d. Memastikan kepatuhan atas pelaksanaan ketiga unsur kerangka pengaman
(safeguards) yaitu fiduciary, sosial dan lingkungan hidup.
Agar dapat menjalankan perannya sebagai lembaga pendanaan REDD+
yang efektif, Instrumen Pendanaan REDD+ mengemban mandat sebagai
berikut:
1. Mengelola dana REDD+ secara independen, professional, dan kredibel
di luar sistem keuangan pemerintah (APBN) berdasarkan standar
kerangka pengaman dan akuntabilitas yang diterima secara global. Untuk
dana publik yang berasal dari APBN atau pemerintah negara sahabat
kepada pemerintah RI (G to G), pengelolaannya dilakukan secara onbudget, off-treasury atau dicatat dalam APBN melalui mekanisme Dana
Perwalian.
2. Memobilisasi dana dari berbagai sumber publik dan swasta di dalam dan
luar negeri melalui fund raising secara sistematis, terprogram, dan
profesional. Pengembangan dana juga dapat memanfaatkan berbagai
instrumen pasar karbon, pasar komoditas, serta pasar uang dan
modal. Rencana mobilisasi dana pendukung kegiatan REDD+ melalui
pengembangan akses ke pasar karbon dan sumber-sumber pendanaan
lain dirumuskan dalam dokumen Rencana Bisnis yang mengacu pada
dokumen Strategi Nasional REDD+ ini.
3. Menyiapkan mekanisme pendanaan (penyaluran dana) untuk:
a. Mendukung pelaksanaan Strategi Nasional REDD+.
b. Mendukung kegiatan Lembaga REDD+ dalam menjalankan
koordinasi kegiatan REDD+ dan melaksanakan fungsi-fungsi yang
dimandatkan.
c. Pemberian input untuk pengembangan tapak kegiatan/proyek/
program REDD+ yang secara langsung dan tidak langsung menghasilkan
penurunan emisi GRK.
d. Membiayai investasi kegiatan penyiapan prakondisi (misalnya
penuntasan tata ruang, pelaksanaan SVLK di tingkat provinsi) atau
pembangunan infrastruktur (misalnya large scale canal blocking)
yang secara langsung berkontribusi pada usaha penurunan emisi dan/
atau pelaksanaan proyek REDD+.
e . Membayar kinerja Pemerintah Daerah/LSM/masyarakat
maupun kelompok lain atas capaian/output dalam menyiapkan
kondisi yang memungkinkan (enabling condition) tercapainya
hasil penurunan emisi di wilayah cakupan, baik untuk kegiatan
strategis maupun pembuatan kebijakan pendukung.
BAB VI
109
f. Membayar kinerja pelaksana kegiatan/proyek/program yang
sudah terdaftar atas hasil penurunan emisi yang sudah diverfikasi.
g. Pemberian insentif atas terpenuhinya suatu tingkat kepatuhan
tertentu terhadap kebijakan Pemerintah, misalnya tercapainya
pengesahan RTRW oleh DPR.
h. Mendukung program/kegiatan pengembangan kapasitas SDM
dan kelembagaan yang secara langsung mendukung kegiatan
REDD+.
i. Mengelola dana pendamping (matching fund) atas komitmen
investasi REDD+ yang dilakukan pemerintah daerah atau investor
swasta.
4. Memastikan adanya protokol fiduciary safeguards dan pelaksanaannya
pada tahap sebelum program/proyek REDD+ disetujui.
5. Memastikan pelaksanaan dan dipenuhinya persyaratan keseluruhan
kerangka pengaman, baik fiduciary, maupun sosial dan environmental
safeguards di tingkat program/proyek/kegiatan sebelum pencairan
dana.
6. Menyelaraskan aturan-aturan pelaksanaan pendanaan dan pembayaran
yang terkait dengan pengembangan aturan-aturan penyelenggaraan pasar
karbon.
Untuk menjaga kredibilitas Instrumen Pendanaan REDD+, dibangun
mekanisme pertanggungjawaban (accountability) yang memungkinkan
instrumen ini beroperasi secara transparan. Audit keuangan independen
oleh lembaga auditor terbaik dilakukan secara berkala. Laporan keuangan
Instrumen Pendanaan REDD+ dan laporan hasil audit disampaikan kepada
Lembaga REDD+ provinsi dan disebarluaskan kepada publik. Kepala Lembaga
REDD+ meneruskan laporan ini kepada Lembaga REDD + Nasional, untuk
keperluan akuntabilitas dana-dana yang berasal dari APBN dan/atau hibah
dicatat sebagai penerimaan Negara.
C. Institusi Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (MRV)
MRV adalah rangkaian kegiatan pengukuran (measurement),
pelaporan (reporting) dan verifikasi (verification) capaian penurunan emisi,
pemeliharaan dan peningkatan cadangan GRK dari kegiatan/proyek/program
REDD secara berkala. Hasil dari proses MRV adalah dasar pembayaran atas
output/kinerja dari Instrumen Pendanaan REDD+ kepada pelaksana kegiatan/
proyek/program. Pembentukan Institusi MRV difasilitasi oleh Lembaga
REDD+. Institusi MRV dibangun untuk mengembangkan kebijakan, standar,
serta mekanisme kerja MRV yang sesuai dengan keputusan-keputusan UNFCCC
untuk disahkan oleh Lembaga REDD+, serta mengkordinasikan kegiatan MRV.
Institusi MRV beroperasi secara independen di bawah koordinasi Lembaga
REDD+.
110
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Tujuan sistem MRV REDD+ adalah mendukung pelaksanaan REDD+
melalui mekanisme pengukuran dan pelaporan kinerja penurunan emisi
GRK oleh pelaksana kegiatan/proyek/program, serta mekanisme verifikasi
independen yang sejalan dengan perkembangan metodologi dan modalitas
yang diputuskan UNFCCC. Dengan pendekatan ini, proses verifikasi
akan menghasilkan penurunan emisi tingkat nasional terverifikasi (verified
national-level emission reduction) dan penurunan emisi tingkat sub-nasional
yang terverifikasi (verified sub-national level emission reduction).
Untuk mengambil manfaat dari potensi perkembangan pasar karbon sukarela
(voluntary carbon market), mekanisme verifikasi oleh pihak ketiga independen
yang terakreditasi akan dikembangkan. Verifikasi oleh pihak ketiga yang independen
akan menghasilkan Penurunan Emisi Terverifikasi atau Verified Emission
Reduction (VER). Jika verifikasi dilakukan untuk tujuan sertifikasi oleh lembaga
sertifikasi emisi yang sudah terakreditasi, lembaga sertifikasi akan menerbitkan
Certified Emission Reduction (CER). Penurunan emisi terverifikasi baik pada
tingkat nasional maupun sub-nasional, serta VER/CER, adalah dasar pembayaran
kinerja bagi penerima manfaat finansial untuk kegiatan/proyek/program REDD+.
Untuk kelengkapan dan kapasitas lembaga, maka peningkatan perangkat,
fasilitas dan sumber daya manusia sangat krusial dan secara kronologis menduduki
otoritas utama dalam mendorong implementasi strategi REDD+ yang ada. Adanya
Pusat Pelatihan dan Laboratorium MRV REDD+ sebagai contoh, merupakan suatu
institusi kunci yang diperlukan lembaga REDD+ untuk berfungsi dengan baik.
Pusat Pelatihan ini sekaligus dapat menjadi pusat pengembangan IPTEK (REDD+
Center of Excellence) yang terakreditasi, sehingga layak memberikan pelatihan
berbagai level dan bersertifikat bagi para pemangku kepentingan dari dalam dan
luar daerah, misalnya bagi tenaga teknis lembaga finansial untuk menilai kelayakan
kredit (credible dalam arti bankable) industri kecil dan menengah yang mengolah
dan memasarkan produk hijau (green products); hasil pengelolaan sumber daya
hutan dan lahan. Dalam konteks ini juga, kemampuan dan kelayakan mengeluarkan
sertifikasi produk hijau juga harus menjadli bagian dari misi Badan REDD+ yang
terbentuk.
Contoh lain adalah integrasi Strategi REDD+ dan Strategi Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pernbangunan Ekonorni Indonesia (MP3EI) di mana
Kalimantan diarahkan sebagai pusat pengembangan karet dan sawit sebagai koridor
ekonomi Kalimantan, dan Kalbar termasuk kepada koridor itu, berarti berbagai
hal dapat dilakukana melalui Badan REDD+ untuk pencapaian tujuan secara
terpadu, misainya Center of Excellence teknologi Percepatan Perbenihan Tanaman
Perkebunan dan tanaman Industri berbasis masyarakat, hal mana selaras antara
strategi REDD+ dan strategi MP3EI.
Secara khusus selain Lembaga MRV, institusi lain yang perlu dikembangkan
adalah lembaga yang berkaitan dengan pengembangan dukungan teknis finansial
(al. untuk menangani insentif kredit, subsidi suku bunga, asuransi atas kerja, usaha
dan kesehatan) dan suatu Lembaga yang bersifat CSO (Civil Society Organization)
BAB VI
111
lembaga masyarakat madani. Untuk memadukan kebersamaan mencapai tujuan
keberadaan REDD+ di Kalbar. Bercermin dari Brasil, the Amazon Fund bekerja
sama dengan lembaga-lembaga lain seperti the institute for Conservation and
Sustainable Development of Amazonas, the Amazonas Sustainable Foundation
(ASF) maupun the Amazon Institute of People the Environment of Amazon dalam
mengurangi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan.
Membangun kemitraan merupakan hal yang sangat penting bagi strategi
pengembangan kelembagaan. Ini tidak sekadar menyangkut pendanaan, tetapi
kerja sama teknis bilateral dan unilateral, agar implementasi REDD+ di Kalbar
memberikan sumbangan berarti secara global sesuai dengan status sebagai salah
satu provinsi (pilot province) yang akan mengimpementasikan REDD+. Negaranegara sahabat yang berkenan membantu Kalbar dalam status ini dapat menjadi
bagian dari international advisory board terhadap lermbaga REDD+ yang
dibentuk, memberikan bantuan konsultan ahli dalam aktivitas implementasi
REDD+ seperti penguasaan Iptek, monitoring sumber daya hutan dan gambut,
riset dan pengembangan produk hijau, sertifikasi hijau dan pemasaran produk
barang dan jasa lingkungan ke negara atau asosiasi negaranya (misalnya pasar
Uni Eropa). Negara atau lembaga kerja sama internasional diperbolehkan untuk
memberikan bantuan teknis dan keuangan untuk bekerja sama dengan tim ahli
pendukung Lembaga REDD+. Dalam konteks yang lebih luas, kerja sama Kalbar
dengan pihak luar, untuk memberikan pembelajaran (lessons learnt) tentang apa
yang sedang berkembang dan dikembangkan agar dapat ditularkan pada provinsi
lain di Indonesia atau negara-negara bagian lain yang berminat.
6.1.2. Sinergi Kebijakan Dalam Mendukung Implementasi REDD+
Pada umumnya segala kebijakan REDD+ berorientasi kepada upaya-upaya
pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, penguatan stok karbon, pengembangan
kegiatan konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari; di mana
keseimbangan yang diharapkan adalah terjaganya pertumbuhan ekonomi, penciptaan
lapangan kerja, dan penurunan angka kemiskinan. Walaupun tampaknya ada
kontradiktif, tetapi keselarasan pertumbuhan ekonomi dan penurunan emisi karbon
hutan melalui implementasi REDD+ bukanlah sesuatu yang mustahil. Karena peta
jalan (roadmap) yang dikembangkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Propinsi (SRAP)
REDD+ didasarkan pada kajian pengalaman-pengalaman di Kabupaten/Kota baik yang
dilakukan pemerintah maupun oleh lemabaga non pemerintah LSM dan dalam berbagai
aspek yang diramu dan dipadukan dalam suatu strategi dan rencana aksi provinsi.
Berbagai regulasi pengelolaan sumber daya hutan yang tidak sinkron perlu
dikaji ulang dan dikonsultasikan kepada para pemangku kepentingan, baik para pelaku
usaha, masyarakat awam maupun akademisi dan peneliti. Sehingga diperoleh gambaran
komprehensif atas isu yang kelihatannya bertentangan dan saling melemahkan,
antara pendekatan konservasi dan perlindungan dengan pendekatan penggunaan
dan permanfaatan (usage and utilization). Ketidakharmonisan berbagai peraturan
telah dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk memuluskan perolehan perijinan dan
112
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
kegiatan eksploitasi sumber daya alam dalam bidang kehutanan, pertambangan dan
perkebunan. Proses kaji ulang regulasi dan ketaatan terhadap tatanan yang ada akan
membuka peluang untuk lahirnya ketentuan baru yang responsif dan agresif.
Untuk mengisi senggang waktu lahirnya ketentuan baru secara nasional,
pemerintah daerah dapat membuat peraturan gubernur (Pergub) atau peraturan daerah
(Perda) sebagai pedoman implementasi REDD + di lapangan. Untuk efektif dan untuk
mencegah keberlanjutan dampak dari kebijakan yang tidak harmonis, maka strategi
sinkronisasi kebijakan ini sangat berkaitan erat dengan strategi moratorium.
6.2. Pengembangan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Berkelanjutan Bagi Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan
Masyarakat memiliki ketergantungan dan saling keterikatan dengan kawasan
hutan. Di Kalbar terdapat 518 Desa dan 57,7% di antaranya berinteraksi langsung dengan
kawasan hutan, di mana hampir 90% mata pencaharian masyarakat adalah petani. Fakta
ini menunjukkan dukungan terhadap pengamanan dan perlindungan kawasan hutan
harus beriringan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Berdasarkan kajian potensi pengembangan hutan desa, terdapat dua bentuk
interaksi kegiatan ekonomi dengan kawasan hutan. Pertama, menjaga hutan. Praktikpraktik lokal menjaga daerah hulu air merupakan upaya menjamin ketersediaan air untuk
irigasi areal persawahan sekaligus upaya memastikan ketersediaan kebutuhan pangan
lokal. Kedua, memanfaatkan hutan. Memanfaatkan hasil hutan kayu untuk kebutuhan
lokal dan memanfaatkan hasil parak yang terdiri dari berbagai jenis komoditas, di mana
sebagian besar parak berada dalam kawasan hutan.
Implementasi REDD+ harus mengakomodir ketergantungan masyarakat
terhadap kawasan hutan dan menjaminkan pola-pola pemanfaatan berkelanjutan
berdasarkan pengetahuan lokal tetap berjalan. Kemudian, memberikan dukungan
terhadap pengembangan sumber-sumber mata pencaharian yang berorientasi pada
pengembangan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Pengembangan energi terbarukan
sebagai bagian jasa lingkungan, dukungan infrastruktur untuk menjamin ketersedian
air. Memastikan praktik-praktik pengelolaan parak tetap berjalan dengan memberikan
dukungan terhadap pengkayaan dan peningkatan kapasitas pengelolaan parak. Jika
implementasi REDD+ tidak memberikan kepastian pengelolaan sumber-sumber mata
pencaharian dan menawarkan alternatif pengembangan untuk penghidupan ekonomi
yang layak pada masyarakat lokal, REDD+ hanya akan menunda deforestasi dan
degradasi saja.
Agar kelola sumber daya alam sesuai dengan kearifan lokal masyarakat dan secara
berkelanjutan, perlu diatur tata guna lahan dalam tataran mikro atau desa. Masyarakat
Kalbar sebenarnya memiliki kearifan lokal dalam menetapkan pola keruangan wilayah
desanya. Namun, kearifan tersebut masih banyak yang belum terakomodir dalam desain
RTRW yang dibuat selama ini. Pelibatan masyarakat dalam proses tersebut masih belum
BAB VI
113
optimal. Untuk itu ke depan, perlu dibuat tata ruang secara detail di masing-masing
desa.
Penataan ruang berbasis desa ini menjadi prioritas dalam implementasi REDD+.
Karena akan menjadi basis bagi perbaikan tata kelola di masa yang akan datang. Dalam
penyusunan tata ruang di tingkat desa tersebut, masalah-masalah batas wilayah desa,
kecamatan dan kabupaten/kota serta propinsi menjadi prioritas yang perlu segera
diselesaikan untuk meminimalisir konflik. Pendekatan yang digunakan dalam penataan
ruang basis desa ini juga harus menyeimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi dan
ekologis dalam kerangka peraturan perundangan yang berlaku.
Hasil penataan ruang tingkat desa ini harus disinkronisasikan dengan pola tata
ruang di tingkat kecamatan, kabupaten/kota dan propinsi. Oleh karena itu, basis tata
ruang yang sudah didetailkan di tingkat desa dijadikan dasar sebagai pertimbangan kaji
ulang tata ruang.
Selain penataan ruang pada basis desa untuk menjamin keberlanjutan, juga
perlu diupaya percepatan pemulihan sumber daya alam yang telah rusak untuk
mengembalikan fungsi sosial, ekonomi dan ekologisnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Untuk memulihkan sumber daya alam terutama hutan dan lahan yang telah menurun
kualitasnya, diperlukan upaya-upaya percepatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)
pada hutan dan lahan kritis. Upaya yang dilakukan dapat berupa penanaman kembali
melalui reboisasi dan penghijauan, reklamasi, rehabilitasi mangrove, dan lain sebagainya
serta konservasi tanah dan air melalui pembangunan dam, embung, sumur resapan dan
lain sebagainya.
Upaya RHL harus dilaksanakan dengan basis DAS yang melibatkan peran
aktif masyarakat desa dalam kelembagaan-kelembagaan yang efektif. Kelembagaankelembagaan yang berperan dalam RHL seperti lembaga masyarakat yang mendapatkan
hak kelola hutan, kelompok-kelompok tani, organisasi pemuda, organisasi wanita, dan
lain sebagainya.
Terhadap perusahaan-perusahaan yang mendapatkan areal konsesi mengelola
hutan dan lahan, juga dilakukan kendali yang efektif untuk menjamin bahwa upaya
RHL dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mereka juga harus didorong
melakukan upaya-upaya RHL dan membantu masyarakat dalam pemulihan lingkungan
di sekitarnya.
6.3. Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Hutan
Pengelolaan sumber daya alam di Kalbar didasarkan pada kearifan lokal yang ada
dan berkembang di tengah masyarakat. Sebagai basis dalam pengelolaan, kearifan lokal
yang ada juga perlu didukung dengan kajian ilmiah yang komprehensif dan holistic. Hal
ini tentunya akan menjadi instrumen penguat bahwa kearifan lokal menjadi keunggulan
pengelolaan hutan di Kalbar.
Untuk mendapatkan basis pengelolaan hutan yang secara ilmiah
direkomendasikan dengan bertanggung jawab, perlu dilaksanakan berbagai penelitian
114
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan pengelolaan. Hasil-hasil penelitian
tersebut dapat dihubungkan satu dengan yang lainnya sehingga ada link and match
antara lembaga-lembaga penelitian, pemerintah dan masyarakat.
Penelitian dan Pengembangan ini juga diarahkan agar Kalbar mampu melahirkan
kebijakan-kebijakan yang lebih implementatif terutama terkait dengan praktik-praktik
kelola hutan hujan tropis yang lebih baik. Pemerintah Propinsi Kalbar perlu mendorong
ini sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam implementasi program dan
kegiatan yang terkait dengan implementasi REDD+.
6.4. Mengutamakan Jaminan Perlindungan Hak-Hak
Masyarakat Lokal Dalam Perencanaan, Pelaksanaan,
Pengawasan dan Distribusi Manfaat REDD+
Pengalaman menunjukan bahwa pengambilan keputusan dalam semua proses
kebijakan terkait lahan tampa memposisikan masyarakat sebagai subjek utama
cenderung memicu konflik yang tidak berkesudahan. Konflik batas kawasan hutan,
konflik horizontal (antar masyarakat ) dan vertikal (masyarakat dengan swasta dan
pemerintah ) terjadi karena kebijakan menyebabkan sumber-sumber mata pencaharian,
tempat hidup dan penghidupan masayarakat dikalahkan oleh kepentingan pemanfaatan
sumber daya alam ekploitatif. Sebaliknya pengalaman juga mengajarkan ketika
keputusan dan kebijakan pembangunan dilakukan dengan memposisikan masyarakat
sebagai aktor utama memberikan dampak keharmonisan karena semua pihak merasa
beruntung dan memperoleh manfaat secara proporsional.
Implementasi REDD+ di Provinsi Kalbar tidak ditujukan menjadi sumber konflik
baru bagi masyarakat, tetapi implementasi REDD+ dimaksudkan mampu memperkuat
pertanggungjawaban dalam pengelolaan untuk kelestarian hutan dan kesejahteraan
masyarakat. Implementasi REDD+ tidak hanya mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan, tetapi juga melindungi dan memberdayakan individu atau komunitas
yang berkaitan dengan REDD+.
Langkah-langkah untuk melaksakan strategi untuk melindungi hak-hak
masyarakat lokal dalam implementasi REDD+ di Provinsi Kalbar adalah:
1. Memberikan informasi secara transparan dan bertanggung jawab mulai dari
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pada skala kecil komunitas seperti
Dusun dan Desa
2. Melakukan kajian awal terkait pola dan mekanisme lokal dalam pengambilan
keputusan dan penyelesaian konflik
3. Menyusun standar, prinsip dan kriteria indikator perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan distribusi manfaat secara partisipatif melalui proses konsultasi
dan diskusi bersama masyarakat lokal
4. Meminta pendapat dan keterlibatan masyarakat pada proses-proses kesepakatan
dan perubahan kesepakatan tampa paksaan pada setiap proses implementasi REDD+
BAB VI
115
5. Menyusun dan menetapkan standar operasional (SOP) semua pelaksanaan kegiatan
yang dilakukan dalam implementasi REDD+
6.5. Pengembangan Skema-Skema Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM)
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan upaya
menjadikan masyarakat sebagai aktor utama di dalam pengelolaan sumber daya hutan
yang berkelanjutan dan berkeadilan. Menempatkan masyarakat pada posisi utama
merupakan keharusan yang tidak bisa ditunda di dalam pengelolaan sumber daya hutan
di Kalbar. Sebab, banyak praktik yang membuktikan ketika kawasan hutan dikelola oleh
masyarakat justru keberanjutannya bisa dibuktikan. Misal, berkembangnya konsep
parak, rimbo larangan, hutan Desa, rimbo ulayat dan lainnya yang terbukti tetap eksis
hingga saat ini. Berbagai kajian yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian
yang kredibel menyatakan bukti-bukti di berbagai belahan dunia menunjukkan sumber
daya hutan yang dikelola oleh masyarakat berada dalam status yang lebih baik dan lebih
lestari dibandingkan yang dikelola baik oleh swasta maupun oleh negara
Bagi masyarakat Kalbar, sumber daya hutan merupakan salah satu faktor
terpenting, hutan bagian dari sistem hidup dan kehidupan. Hutan sebagai penyedia
bahan-bahan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, obat-obatan, pendapatan
keluarga, hubungan religi, ketentraman dan lainnya. Hutan sebagai benteng untuk
melindungi dari bencana ekologi seperti banjir, galodo, longsor dan lainnya. Masyarakat
mengelola hutan agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya.
Pemerintah Kalbar berkomitmen mendorong pengelolaan sumber daya alam
berbasis desa. Di sektor kehutanan Pemerintah Daerah Kalbar sudah menyusun Peta
Jalan 250.000 - 500.000 Ha kawasan Hutan dikelola bersama masyarakat dari tahun
2012 - 2017. Dukungan untuk tercapainya target Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat,
pemerintah menyediakan pusat layanan melalui pembentukan Kelompok Kerja (Pokja)
Perhutanan Sosial yang difungsikan sebagai pusat data dan layanan fasilitasi dalam
pengelolaan hutan pengelolaan hutan bersama masyarakat.
Upaya pengelolaan hutan bersama masyarakat sebagai basis dalam implementasi
REDD+ di Kalbar dikembangkan dengan cara sebagai berikut:
1. Mendorong koordinasi dan konsolidasi aktor pendukung perluasan skema
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara sistemik di Propinsi
Kalbar.
2. Melakukan kajian potensi sosial dan potensi kawasan serta pengumpulan data di
tingkat Desa, kecamatan dan kabupaten.
3. Sosialisasi dan membangun kesepakatan bersama masyarakat terkait kelembagaan,
wilayah Desa dan mekanisme pengelolaan,
4. Melakukan pemetaan pertisipatif untuk kejelasan wilayah kelola sesuai dengan
perencanaan pada tingkat mikro
116
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
5. Memperkuat pusat data, layanan dan infrastruktur pemebrdayaan pengelolaan
hutan bersama masyarakat pada tingkat provinsi dan kabupaten
6. Koordinasi dan pengawalan proses usulan pencadangan areal kelola masyarakat di
tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional
7. Fasilitasi masyarakat dalam menyusun dan implementasi rencana kelola hutan dan
pengembangan sumber pendapatan
Berbagai upaya untuk menjalankan strategi pengelolaan hutan bersama masyarakat
sekaligus beriringan dengan upaya penguatan kapasitas masyarakat, pemerintah daerah
dan stakeholder terkait dalam memperkuat praktek dan implementasi di tingkat tapak
(grass root).
Disamping itu untuk areal-areal yang memang dijaga secara ketat dalam bentuk kawasan
konservasi dan lindung, perlu upaya-upaya yang konkret. Perlindungan terhadap arealareal yang secara adat dan Negara dilindungi telah dilakukan sesuai dengan kearifan
lokal yang dimiliki. Sebenarnya masyarakat Desa telah memiliki aturan tertulis dan
tidak tertulis terhadap pengelolaan kawasan dilindungi tersebut.
Namun u p a y a yang dilakukan tersebut perlu diperkuat dan diperluas. Pemerintah
Propinsi Kalbar telah mengembangkan implementasi Perlindungan dan Pengamanan
Hutan Berbasis Masyarakat (PPHBM). Dalam tataran konsep, PPHBM membentuk
kader-kader perlindungan hutan di masing-masing Desa. Namun dalam tataran
implementasi, operasionalisasi kader-kader tersebut masih belum optimal.
Penguatan kelembagaan kader-kader PPHBM ini perlu dipertegas kembali. Artinya
kelembagaan kader PPHBM ditetapkan sebagai salah satu instrumen yang penting
keberadaannya di tiap Desa dan mendapatkan dukungan penuh dari seluruh pihak
dalam peraturan dan kebijakan yang memadai.
BAB VI
117
118
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
BAB VII
PENUTUP
Untuk memastikan SRAP REDD+ dapat berjalan sesuai yang diharapkan,
diperlukan keseriusan pemerintah pusat maupun daerah. Kemudian, harus didukung
oleh masyarakat secara luas, pihak swasta, dan elemen lain yang peduli terhadap upaya
penurunan gas emisi. Tak ada artinya program dirancang melewati berbagai seminar,
lokakarya, diskusi intensif, kalau tidak mendapatkan respons luas dari masyarat
terutama di sekitar hutan dan lahan gambut. Namun, upaya untuk menurunkan gas
emisi sudah dicanangkan pemerintah. Tentunya tidak boleh surut ke belakang atau
pesimis menghadapi masyarakat. Semua pasti ada jalan keluarnya asal mau berbuat.
Program REDD+ harus membangkitkan keyakinan baru. Upaya konservasi hutan
kali ini akan berhasil. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan terbesar antara REDD+
dengan prakarsa konservasi sebelumnya. REDD+ yang digagas ini berlandaskan pada
imbalan berbasis kinerja. Lembaga donor internasional, dana atau pasar akan memberi
imbalan atas upaya nasional dan lokal berdasarkan hasil kinerja yang diraih dalam
menurunkan emisinya.
Pendekatan insentif positif berupa imbalan berbasis kinerja ini memberi
dorongan kepada Pemerintah Provinsi Kalbar untuk melaksanakan REDD+ secara
efektif dan efisien. Suatu keniscayaan REDD+ akan berhasil mengurangi emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan. Sektor gambut dan LULUCF (Land use, Land Use
Change, Forestry) sejauh ini adalah kontributor emisi terbesar terhadap emisi Kalbar.
Upaya serius pada sektor ini melalui penerapan skema REDD+ di Provinsi Kalbar
merupakan tindakan strategis. Disamping itu memberikan sumbangsih berarti dalam
upaya mitigasi perubahan iklim global dan Pemerintah Indonesia yang telah menjanjikan
pada masyarakat dunia untuk menurunkan emisi sebesar 26% - 41 % pada tahun 2020.
Sektor kehutanan dan lahan gambut diharapkan berkontribusi paling tidak sebesar 87%
dari total penurunan emisi Gas Rumah Kaca secara nasional.
Hal ini tidaklah mudah untuk dapat dipenuhi. Terlebih pada periode yang sama
setiap daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dituntut untuk dapat membiayai
aktivitas pembangunan ekonomi dengan kekuatan dan potensi yang dimilikinya sendiri.
Tidak dimungkiri daerah kaya sumber daya hutan dan sumber daya alam lainnya,
tentulah mengandalkan pada eksploitasi kekayaan sumber daya alam tersebut. Risiko
emisi karbon juga tidak mungkin terelakkan. Meskipun demikian Provinsi Kalbar telah
bertekad serta bersungguh-sungguh untuk memberikan kontribusi besar dan nyata
untuk segera mewujudkan penurunan emisi lewat SRAP REDD+.
Untuk implementasi SRAP REDD+ Kalbar pastilah tidak mudah. Akan ada
sejumlah kendala dan tantangan yang bakal dihadapi. Tantangan pertama sebelum itu
diimplementasikan adalah memberikan pemahaman kepada setiap pihak. Pengurangan
BAB VII
119
emisi yang menjadi ikon utama REDD+ itu merupakan upaya meningkatkan kapasitas
penyerapan dan penyimpanan karbon. Bukanlah semata-mata dikarenakan insentif
positif yang akan diterima dari pihak manapun, tetapi justru pada kepentingan
menghindarkan kehancuran lingkungan. REDD+ menjadi momentum paling tepat
untuk melakukan perbaikan atas kesalahan pengelolaan hutan, lahan, dan lahan gambut
selama ini.
REDD+ dirancang melewati berbagai kajian dan penelitian dari pakar lingkungan
hidup. Tidak ada yang salah dalam setiap programnya. Semuanya semata-mata ingin
menyelematkan lingkungan terutama hutan dan gambut dari kehancuran yang bisa
memicu meningkatnya gas emisi. Tentunya, REDD+ memberikan bisa memberikan
keuntungan dengan berbagai perspektif. Selaras dengan visi Gubernur Kalbar yang lebih
utama mengedepankan kesejahteraan masyarakat kemudian aspek lainnya. Berikut
adalah sisi social, budaya ekologi dan ekonomi :
1. Dari sisi sosial, SRAP REDD+ Kalbar hanya dapat diimplementasikan atas
partisipasi semua pihak meliputi lembaga-lembaga swadaya masyarakat, sektor
swasta, akademik serta tidak terkecuali masyarakat lokal dan masyarakat adat
di sekitar hutan. Program tersebut akan menguatkan tatanan sosial yang akan
memberikan rasa tanggung jawab bagi siapa saja untuk menjaga dan melestarikan
lingkungan dan ikut berpartisipasi menurunkan gas emisi.
2. Dari sisi budaya, program SRAP REDD+ Kalbar tidak akan mengusik budaya
masyarakat, justru sebaliknya semakin menguatkan. Masyarakat adat yang banyak
dibahas di bab sebelumnya membuktikan kearifan lokal sangat efektif untuk menjaga
hutan. Budaya turun-temurun tersebut menjadi alasan besar untuk memasukkan
sisi budaya memberikan manfaat besar bagi implementasi SRAP REDD+ Kalbar.
3. Dari sisi ekologi, implementasi SRAP REDD+ Kalbar secara nyata akan
memperlambat laju deforestasi dan degradasi hutan di provinsi/kabupaten/kota.
Itu berarti memberikan garansi lebih besar bagi upaya pelestarian potensi, fungsi
dan manfaat sumber daya alam. Lebih penting bisa melindungi ekologi yang ada di
dalam hutan maupun lahan gambut.
4. Dari sisi ekonomi, haruslah dipandang sebagai upaya menghindarkan eksploitasi
berlebihan atas sumber daya alam di Kalbar dan bisa memanfaatkan hasil hutan
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Komoditas hutan bernilai tinggi bila
dimanfaatkan dengan benar tanpa harus mengeksploitasi secara berlebihan bisa
mensejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Tantangan berikut mengenai political will (kemauan politik) Pemerintah
Provinsi Kalbar. Apakah SRAP REDD+ itu dipandang perlu atau sebaliknya. Jika itu
dipandang perlu, disarankan Pemprov. Kalbar membuat sebuah badan bagian dari
SKPD. Alasannya, pemerintah pusat sudah membuat Badan Pengelola REDD+. Supaya
sinergis dan memiliki efektivitas dan efisiensi, alangkah baiknya Pemprov. Kalbar juga
membuat Badan Pengelola REDD+ Kalbar.
120
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Harus diakui untuk membuat sebuah badan baru, memang tidak gampang.
Harus melewati serangkaian proses politik yang cukup panjang dan memakan waktu
dan biaya. Walau demikian, bukan berarti upaya untuk mengimplementasikan SRAP
REDD+ Kalbar tidak bisa tanpa badan yang baru. Tetap bisa dilakukan dengan cara
memberikan kewenangan ke badan yang berhubungan dengan lingkungan hidup seperti
Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD). BLHD bisa saja diberikan kewenangan penuh
untuk mengimplementasikan SRAP REDD+. Jika skema ini tidak banyak memerlukan
banyak waktu dan biaya. Namun, semuanya tergantung pada political will Pemprov.
Kalbar.
Dokumen SRAP REDD+ Kalbar hanya memungkinkan dilaksanakan, bilamana
daerah beserta para pihak yang terkait termasuk masyarakat di dalamnya memiliki
komitmen tinggi untuk mewujudkannya. Kemudian, harus konsisten dan siap
menghadapi konsekuensi yang timbul, termasuk dalam hal penyediaan dukungan
politik, administrasi dan keuangan. Begitu pula Pemerintah Pusat beserta seluruh
institusi yang terlibat dan berkepentingan harus terus memberikan dukungan nyatanya.
Beberapa rencana aksi dalam dokumen ini secara gampang menunjukkan bahwa
persoalan deforestasi dan degradasi hutan sebagian besar justru pemecahannya harus
dimulai dari tataran pemerintah pusat
Tantangan lainnya adalah pendekatan REDD+ juga harus menggairahkan dan
memadukan tindakan lintas instansi dan kelompok pemangku kepentingan. Barangkali
segi paling inovatif REDD+ dibandingkan dengan pendekatan masa lalu ialah bahwa
negara perlu melihat jauh ke depan dan mempertimbangkan seluruh kebijakan dan
lembaga yang mempengaruhi cadangan karbon hutan. Pendekatan REDD+ yang
terbatas pada sektor kehutanan saja tidak akan memadai. Apa pun mengenai penyebab
deforestasi dan degradasi menyimpulkan bahwa kebijakan dan tindakan REDD+ perlu
melampaui sektor kehutanan. Artinya, perencanaan, penganggaran, dan pengaturan
pembangunan lintas sektor harus dipadukan dengan cara yang belum pernah terjadi
sebelumnya.
7.1. Antisipasi dan Harapan
Memperhatikan SRAP REDD+ Kalbar dan tantangan yang besar dalam
implementasinya, maka dibutuhkan kesungguhan dan kreativitas dari lembaga utama
yang mengawalnya. Apabila Pemprov. Kalbar bisa merealisasikan terwujudnya Badan
Pengelola REDD+ Kalbar tentunya itu sebuah harapan besar. Artinya, Pemprov Kalbar
telah membuktikan keseriusannya untuk menurunkan gas rumah kaca dan mendukung
komitmen Pemerintah Pusat. Dala ini diperlukan profesionalitas atau sumber daya
manusia andal yang mengerti terhadap persoalan penurunan gas rumah kaca, lingkungan
hidup, dan sebagainya.
Melalui Badan Pengelola (BP) REDD+ Kalbar, upaya penurunan gas emisi
bisa dievaluasi, diaudit, dan diberikan rekomendasi. Setiap program yang akan
BAB VII
121
diimplementasikan lewat badan tersebut bisa dilakukan evaluasi secara regular, untuk
melihat apakah program itu memberikan hasil atau tidak. Itu kalau Kalbar memiliki BP
REDD+. Seandainya, tidak dibentuk BP REDD+ lalu dimasukkan ke bagian dari tugas
pokok dan fungsi (Tupoksi) BLHD, di dalamnya ada bagian yang khusus mengurusi
REDD+. Pada prinsipnya tidak ada masalah. Cuma, ketika itu di bawah BLHD,
peruntukkan anggaran tidak besar. Kalaupun ada sumbangan dari pihak ketiga, misalnya
bantuan dari luar negeri, akan melewati berbagai persyaratan yang rumit untuk bisa
langsung masuk ke BLHD. Semuanya tergantung political will Pemprov. Kalbar.
Mengingat dimensi ruang dan waktu dari dokumen SRAP REDD+ Kalbar ini
adalah masih relatif luas dan panjang, dikhawatirkan tidak operasional, BP REDD+
perlu mendorong dan memfasilitasi Pemeritahan Kabupaten/Kota membentuk badan
tersendiri atau menguatkan badan yang sudah ada. Dengan demikian SRAP REDD+
bisa dilakukan secara serempak dan massal.
Kolaborasi penurunan gas emisi tidak mungkin hanya satu provinsi saja,
misalnya Kalbar sendiri. Pemerintah Pusat harus melakukan kolaborasi dengan
seluruh pemerintah provinsi lain khususnya di Pulau Kalimantan untuk sama-sama
mengimplementasikan SRAP REDD+. Kalau hanya Kalbar sendirian, dikhawatirkan
muncul kebocoran kualitas emisi. Untung saja, Provinsi Kalimantan Tengah sudah
memulai program tersebut bahkan dijadikan pilot project. Kemudian, menyusul
Kalimantan Timur. Alangkah baiknya, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara juga
ikut bersama-sama untuk mewujudkan SRAP REDD+. Bila perlu kalau memang ada
kemampuan diplomasi, ikut mengajak Negara Bagian Sarawak Malaysia, Sabah, dan
Brunei Darussalam ikut terlibat dalam proyek SRAP REDD+ ini. Persoalannya, akibat
dari efek gas rumah kaca itu bukan hanya menimpa daerah yang memiliki kerusakan
hutan, melainkan berdampak luas pada dunia. Negara mana saja bisa terkena dampak
dari efek gas rumah kaca tersebut.
Pemerintah Provinsi Kalbar meyakini bahwa peluang keberhasilan saat ini dan
akan datang akan lebih besar dengan SRAP REDD+. Alasan utamanya:
Pertama, walaupun sebagian besar tindakan REDD+ hampir sama, ada unsurunsur yang sunguh-sungguh baru yaitu imbalan berbais kinerja. Imbalan internasional
dan nasional akan semakin dikaitkan dengan kinerja dan hasil yang terukur, sehingga
mengubah insentif bagi semua pemangku kepentingan dengan cara yang belum pernah
dicoba sebelumnya pada skala nasional maupun provinsi.
Kedua, sebagian masyarakat internasional telah menunjukkan kemauan kuat
untuk memberi imbalan kepada REDD+. Lebih banyak pendanaan kemungkinan berasal
dari sumber dana publik dan barangkali dari penjualan kredit REDD+ di pasar karbon
internasional, bergantung pada kesimpulan dari perjanjian UNFCCC dan keputusan
Uni Eropa dan setiap negara mengenai penyertaan kredit REDD+ sebagai penggantian
kerugian. Besarnya pembiayaan dapat mencukupi untuk memberi imbalan jerih payah
keseimbangan ekonomi politis pengelolaan hutan dari yang mendorong deforestasi dan
degradasi ke cara-cara lainnya yang mendukung pelestarian dan pemulihan hutan.
122
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Ketiga, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia yang menunjukkan
kemauan kuat untuk mengatasi masalah deforestasi dan degradasi hutan, dan untuk
memperlakukan REDD+ menjadi bagian pembangunan ekonomi berkarbon rendah.
Kecocokan antara “kesediaan masyarakat internasional untuk membayar” dan
“kesediaan nasional dan/ atau untuk menjalankan” ini sangat penting bagi keberhasilan
REDD+, baik di ajang perundingan maupun pelaksanaannya.
Keempat, banyak organisasi dan perorangan sedang mengamati REDD+, dan
mewaspadai kemungkinan dampak yang merugikan dalam hal keefektifan, efisiensi dan
kesetaraan dalam penerapan skema REDD+. Pelaku sektor swasta juga peka terhadap
risiko ini yang terkait dengan nama baik mereka atas keterlibatan dalam REDD+.
Perhatian yang lebih daripada sebelumnya ini seharusnya membantu membatasi salahurus dana REDD+ dan korupsi, dan memberi peringatan dini atas dampak merugikan
bagi masyarakat dan ekosistem alamiah yang rentan.
Berbagai bukti ilmiah menunjukan bahwa REDD+ memang dapat diwujudkan
di lembaga nasional/daerah, kebijakan dan kegiatan di tingkat tapak. Sekarang hanya
tinggal kemauan politik dari pemerintah daerah maupun pusat. Itupun juga sangat
tergantung pada bantuan internasional yang memang dijanjikan.
Pada akhirnya, dengan adanya dokumen SRAP REDD+ Kalbar diharapkan
dapat memberikan sumbangsih nyata mitigasi perubahan iklim dan penurunan
gas emisi. REDD+ bukan sekadar mengejar imbalan insentif, jauh lebih penting
adalah menyelematkan lingkungan dari segala kerusakan hutan dan lahan yang bisa
menimbulkan peningkatan gas emisi. Dalam posisi ini, apabila SRAP REDD+Kalbar
bisa terwujud, bukan hanya untuk rakyat Kalbar semata, melainkan untuk dunia ini.
BAB VII
123
124
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ KALIMANTAN BARAT
Lampiran
Lampiran 1
Tabel. 1. Kerjasama Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di Provinsi Kalimantan Barat
No
1
Instansi
Kerjasam/Kegiatan
Dep. Kehutanan, Dinas Social Forestry Development Program (SFDP) –
Kehutana, Provinsi & GTZ Jerman
Kabupaten
Forest Fire Prevention Project (JICA)
The Heart of Borneo Initiative
3
4
TN Gunung Palung
TN Betung Kerihun
Pemkab Kapuas Hulu
1990-2000
2006-2009
2006- sekarang
EC-Indonesia FLEGT Support Project
2006-2011
Germany Development Service (DED)
2010-2011
KPHP 29 realisasi model 3 unit(Kapuas Hulu,
Sintang, Ketapang), KPHL, KPHK.
2
Tahun
2010-sekarang
Forest Fire Prevention Project (JICA)
2001-1006
Uni Eropa - Illegal Logging Response Center
2003-2006
FFI-IP - Orangutan Protection and Monitoring
Unit LSM (Yayasan Palung, Yayasan ASRI)
2004-2006
Transboundary conservation (ITTO)
1994
ITTO Borneo Biodiversity Expedition
1997
Community Based Transboundary Management
Plan (ITTO-WWF)
2001 - 2005
Inisiasi DA REDD oleh Kemenhut dan Financial
Coorporation (KFW)
2009-sekarang
Inisiasi KPH dan Reference Emission Level - GIZ
Forclime II
2009-sekarang
Biodiversity & Community Development in HoB
– GIZ Forclime III
2009-sekarang
5
TN Danau Sentarum
UK-ITMFP Wetlands International LSM (WWF,
Dian Tama, Riak Bumi, Titian, PRCF, dll)
1992-1996
6
Pemkab Ketapang
Low Emission Development Program (LED)
IFACTS - USAID
2011
7
APHI, UGM, UNTAN, PT. TPTJ-Silin (Silvikultur Intensif)
Suka Jaya Makmur
8
Kab. KKR, Kapuas Hulu, Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran
kab. Sintang dan WWF
hutan dan lahan, pembentukan Masyarakat
Peduli Api di 4 desa di dalam dan sekitar TNDS,
introduksi persiapan lahan tanpa membakar di 4
kelompok petani perempuan di Kab Kubu Raya,
penguatan petani sawit swadaya, Restorasi di
koridor labian-leboyan, Taman Nasional Betung
Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum,
KSK Koridor, efektivitas pengelolaan taman
nasional (TNBK, TNDS, TNBBBR), KPH Model
Kapuas Hulu, Hutan Desa (Desa Rasau dan Jasa,
Kab Sintang),
2005
2011-sekarang
9
Kabupaten Kapuas Hulu P 56/2006 Pasal 3 ayat 2. Penataan zona
dan GIZ
taman nasional didasarkan pada potensi dan
fungsi kawasan dengan memperhatikan aspek
ekologi, sosial, ekonomi dan budaya.
2006 – sekarang
Penyamaan persepsi tentang (a) hak
masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan
dasar (b) pola pomanfaatan masyarakat dan
aturan lokal. Memfasilitasi penyusunan Perda
Masyarakat Adat (UU 41/1999 ps 67 ayat 2).
Memfasilitasi pengelolaan kolaboratif TN
bersama Pemda, masyarakat dan LSM / KSM.
Menghubungkan desa dengan pengelolaan
kawasan hutan produksi terdekat. Penguatan
kapasitas masyarakat (pendapatan,
kelembagaan konservasi, pendidikan
lingkungan hidup). Membangun metode
monitoring dengan indikator yang disepakati
bersama
10
IFAC - Ketapang, Kayong Lokakarya tahap Awal KLHS dan Pembangunan
Utara, Melawi, Sekadau rendah emisi (LEDS), Sustainable Livelihood
dan Sintang
Assessment,
2011-sekarang
USFS General & Programatic Training
(Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan)
11
BLHD dan Universitas Penyusunan RPPLH dan KLHS
Tanjungpura
2011
12
PT. Cipta Usaha Sejati dan Program HCVF (Higt Conservation Value
Universitas Tanjungpura Forest) Nilai Konservasi Tinggi
2013
13
Pemprov dan JICA
2013
IJ-REDD+ (Kab. Kubu Raya, Kab. Ketapang,
Kab. Kayong Utara)
Lampiran 2.
Presentasi Konsultasi Publik SRAP REDD+ Kalbar
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Peluang Dan Mekanisme Perdagangan
Karbon Hutan
BadanPusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat Jl. Sutan Syahrir No. 24/42
Pontianak 78116 Telp. (0561)735345 Fax. (0561) 732184, Email :bps6100@
bps.go.id
Bappeda Prov. Kalbar, 2010. Penyusunan Updating Neraca Sumber Daya Alam
Spasial Provinsi Kalimantan Barat.
--------, 2011.Kalimantan Barat DalamAngka 2009.
--------, 2011.Kalimantan Barat DalamAngka 2010.
--------, 2011.Kalimantan Barat DalamAngka 2011.
Draft 1 Revisi Tanggal 23 September 2010, Strategi Nasional REDD+.
Dishut Prov. Kalbar, 2008. Rencana Strategis Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan
Barat 2008 – 2013.
Disbun Prov. Kalbar, 2008. Rencana Strategis Dinas Perkebunan Provinsi
Kalimantan Barat 2008 – 2013.
Dudung Darusman, 2012. Kehutanan dan Keberlanjutan Indonesia. IPB Press.
Bogor.
Gusti Hardiansyah. 2011. Potensi Pemanfaatan Sistem TPTII Untuk Mendukung
Upaya Penurunan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)
Studi Kasus Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma di Kalimantan Tengah.
Disertasi S3 IPB. (Tidak Dipublikasikan).
Inpres Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Kepres Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Indrarto, G.B., Murharjanti, P., Khatarina, J., Pulungan, I., Ivalerina, F., Rahman,
J., Prana, M.N., Resosudarmo, I.A.P. dan Muharrom, E. 2013 Koteks REDD+
di Indonesia: Pemicu, Pelaku dan Lembaganya. Working Paper 105. CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Peraturan Di Bidang Perencanaan Kawasan Hutan, 2010. Direktorat Perencanaan
Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementrian
Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti, Blok I Lantai 2 Jalan Jenderal
Gatot Subroto Jakarta.
Sumitro Achmad. 2005. Ekonomi Sumber Daya Hutan. Debut Press. Jogjakarta
Susilo Arifin H, dkk. 2009. Analisisi Lanskap Agroforestry. Konsep, Metode, dan
Pengelolaan Agroforestry skala Lanskap dengan studi kasus Indonesia,
Filipina, Laos, Thailand, dan Vietnam. Bogor.
Strategi Nasional REDD+ Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia,
Juni 2012.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Implementasi REDD+ Kaltim
UN-REDD Programme. 2012. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan, dan REDD+ 2012
di Indonesia.
Yayasan Resourch Development Center. 2009. Peluang Pemanfaatan Potensi
Karbon Hutan Dalam Isu PerubahanIklim. Gedung Manggala Wanabhakti.
Jakarta
http://kalbar.bps.go.id/flippingbook/kalbar%20da%202012%20y/