ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Transcription
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Rakhmat Hidayat Editor: Sukmareni Reporter: Staf KKI Warsi Web Master: Askarinta Adi Distribusi: Aswandi Chaniago Daftar Isi / penulis SALAM RIMBA • Sengkarut kelola berbuah nestapa / Sukmareni.............................................................................................…....4 4 INTRODUKSI • Hutan Adat, Perjuangan yang Tak Kunjung Usai / Sukmareni...…..........................................……..........………....5 5 LAPORAN UTAMA • Dilema Hutan Adat Batu Kerbau / Herma Yulis................…...............................................................................…7 7 • Terjebak dan Dijebak Kemakmuran Sesaat / Herma Yulis....................................................................................10 10 • Hutan Adar Renah Alai dan Rantau Kremas / Sukmareni…...........................................…..................................12 12 • Hutan Adat Kerinci dan peluang Meluaskan PHBM / Sukmareni..........................................................................14 14 • Memulihkan Kedaulatan Kawasan Hutan / Herma Yulis........................................................................................15 15 FOKUS • RAN-GRK Sektor Gambut / Herma Yulis.…............................................................................................................18 18 • PHBM, Model Pembangunan Rendah Karbon Berbasis Masyarakat / Herma Yulis…...........................................20 20 • Manajemen Lahan Gambut dengan Konsep Pembangunan Rendah Karbon / Herma Yulis.................................23 23 GIS SPOT. • GOOGLE EARTH (1) / Sofyan Agus Salim....………….....….……..........................................................................25 25 DARI HULU KE HILIR...... • Menuju Kantor Ramah Lingkungan / Elviza Diana.......................................................……...................................26 26 • Mengembangkan Energi Alternatif dari Desa ke Desa / Elviza Diana…................................................................29 29 WAWANCARA • Bupati Tanjung Jabung Timur Zumi Zola Zulkifli / Herma Yulis............................……………...............................31 31 SUARA RIMBA • Nasib OR dalam BPJS / Kristiawan....……...........................................................................................................33 33 • The Orang Rimba Education Hero/ Sukmareni......................................................…............................................35 35 AKTUAL. • Harimau, Raja Kehilangan Hutan / Sukmareni.......................................................................................................38 38 • Stay alert on REDD+ (Bersiap untuk REDD+) / Emmy Primadona Than.......................…….......……...…….....39 39 • Mendulang Emas, Menuai Derita / Elviza Diana..........…………........................................................................41 41 MATAHATI • Menggagas Pembangunan yang Ramah Lingkungan / Herma Yulis....................................................................43 43 • Hidup di Negeri Rawan bencana / Hambali............. ............................................................................................45 45 KAJIAN • Potret FPIC ditengah Masyarakat Adat / Ilham Kurniawan.................................................................................48 48 • Menangkap Peluang PHBM / Elviza Diana........................................................................................................55 55 SELINGAN • Kisah Dua Penyiar Rimba / Elviza Diana..................................................................................................…........52 52 • Menjadi Pekerja NGO, Aktivis NGO dan Pemikir NGO adalah Pilihan / Emmy Primadona Than......................53 53 ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Dari Editor Salam Lestari P embaca setia Alam Sumatera, tanpa terasa Maret sudah menyambangi kita. Bagi kami setiap Maret ada sesuatu yang mengharu biru. Maret 14 tahun silam Yusak Adrian Hutapea sang pioner pendidikan rimba kembali kepangkuan yang kuasa, menyerah pada malaria yang menggerogoti tubuhnya. Tanpa terasa juga sudah 15 tahun Warsi menggeluti pendidikan alternatif untuk anak-anak rimba. Rentang waktu yang tidak singkat untuk sebuah keadilan bagi komunitas Orang Rimba. di Alam Sumatera ini, kami suguhkan tulisan mengenang 14 tahun kepergian Yusak, yang dihadiri oleh Ibunda Yusak, Ny Roosni, murid-murid Yusak ada Pengusai, Siomban, ada juga Bepak Pengusai, tetua orang rimba yang membantu Yusak merintis pendidikan di belantara Bukit Duabelas Jambi. Pada Laporan utama kali ini, kami juga menyambangi ruang anda dengan beragam cerita dan informasi seputar pengelolaan sumber daya alam dan kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Terkoyaknya kearifan lokal masyarakat oleh korporasi yang mengincar kawasan-kawasan yang diproteksi masyarakat, menjadi ulasan kami. Batu Kerbau yang semula sebagai penerima Kalpataru untuk penyelamat lingkungan kini terbelit konflik lahan karena kawasan yang mereka lindungi digerogoti korporasi dan menjadikannya areal perkebunan sawit. Foto Cover : Ny Roosni, Ibunda Yusak menyampaikan curahan hatinya terkait perjuangan sang putra. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi Desain dan Cetak: [email protected] Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail : [email protected] http://www.warsi.or.id http://alamsumatera.org. Di tempat lain, masyarakat masih terus berupaya untuk menjaga dan melindungi sumber air dan kawasan hutan mereka. Renah Alai dan Rantau Kremas di Merangin misalnya, meski berada di lingkup TNKS tidak menyurutkan langkah mereka untuk melindungi kawasan mereka dan memohonkan kepada bupati untuk melegalisasi hutan adat mereka. Dibagian lain Alam Sumatera ini kami menyajikan serangkaian informasi terkait pengelolaan kawasan gambut dan kegiatan-kegiatan Warsi untuk mendorong pembangunan rendah karbon. Pelibatan masyarakat dalam setiap perencanaan pengelolaan kawasan sudah harus dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha sesuai dengan konsep FPIC kami hadirkan ulasannya dalam edisi ini. Semoga analisis ini menjadi masukan bagi para pihak dalam pengambilan keputusan terutama dalam hal perubahan yang akan terjadi dengan kehadiran korporasi di sekitar masyarakat. Tak lupa juga kami suguhkan beraneka tulisan lainnya semoga pembaca setia Alam Sumatera tercukupi informasinya dan menjadikannya sebagai bahan untuk memperbaiki kondisi lingkungan dan sumberdaya kita dimasa depan. Selamat membaca! ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 SALAM RIMBA 4 INTRODUKSI Sengkarut Kelola Berbuah Nestapa A wal tahun Jambi dihadiahi banjir besar. Hujan yang merata mengguyur kabupaten dan kota telah menyebabkan sungai-sungai tak mampu lagi menampun luapan air dan kemudian merendam ribuan rumah, sekolah, tempat ibadah, areal persawahan serta perkebunan. Kerugian materialpun ditaksir milyaran rupiah. Tak lama berselang, kala luapan sungai surut panas terik mendera dan meningkatkan suhu hingga 34 derajat celcius. Berkisar hitungan hari, muncul kehebohan akibat harimau yang menyerang serta memangsa manusia. Fenomena-fonomena ini tentu menarik untuk diurai. Banjir bukanlah sekedar musibah seperti yang selama ini dikemukakan. Banjir bukanlah datang tiba-tiba tanpa aba-aba. Dia datang akibat dari kesemrautan pengelolaan sumber daya. Tangan-tangan serakah yang dilegalisasi penguasa telah mencabik-cabik keseimbangan alam hingga kemudian menyisakan bencana. Pun demikian dengan serangan harimau yang menyasar masyarakat. Kehadirannya harimau bukan tanpa sebab. Makhluk tertinggi dirantai makanan ini, terpaksa beralih menu pada manusia karena menu utamanya binatang di hutan hilang seiring dengan beralihnya hutan menjadi akasia dan sawit. Bencana dan konflik satwa ini sudah nyata sebagai isyarat alam atas ketidakseimbangan ekosistem. Padahal ketika keseimbangan ekosistem terjadi, alam mengatur kodratnya untuk nyaman dan ramah ditempati manusia. Namun apa daya kini keseimbangan itu hilang entah kemana. Kendati begitu, masih ada peluang untuk kita bersama membalik kondisi yang sudah ada. Masih ada jalan dan upaya untuk keseimbangan yang lebih ideal. Ini bisa dicapai kala ada kesepakatan dan kesepahaman semua untuk merubah diri, prilaku dan kebijakan yang ramah untuk kehidupan. Menghutankan kembali tanah-tanah yang gersang, menuntut pengusaha untuk mengalokasikan kawasan yang dikuasainya untuk kembali dijadikan hutan yang ramah untuk kehidupan satwa, yang mampu menyerap hujan yang turun ke bumi, merupakan langkah yang harus ditempuh saat ini. Disamping juga terus menghidupkan kembali azaz-azaz lokal, keraifan adat yang selama ini sebenarnya sudah sangat akrab dengan masyarakat. Dengan kearifannya masyarakat sudah menerapkan pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan. Hutan adat, hutan lindung desa, imbo pusako, rimbo larangan, rimbo parabukalo dan lubuk larangan merupakan sedikit dari kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumber daya alam mereka. Dengan pengelolaan yang dilakukan masyarakat ini terbukti ampuh untuk meciptakan hubungan yang harmonis antara alam dan manusia. Hanya saja, ketika pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada pengusaha yang berekal izin negara, pengeksploitasianpun tak terhindarkan dan berujung pada kerusakan sumber daya. Bukannya anti pengembangan ekonomi disektor ini, namun yang terpenting adalah tetap mengarahkan pembangunannya sebagai pembangunan yang tidak mengesploitasi sumber daya dengan memperhatikan keberlanjutan. Jangan lagi dengan dalih investor dan menggenjot pertumbuhan ekonomi, sumber daya seolah diobral. Hasilnya secara angka-angka benar memperlihatkan kemajuan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,8 persen pertahun diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Namun sangat perlu dicermati bahwa pemanfaatan sumber daya alam ini di satu sisi tidak akan mampu untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi. Ketika kerusakan lingkungan terjadi dampaknya dirasakan oleh masyarakat yang nota bene tak menikmati dari pengesksploitasian sumber daya alam. Kerugian harta benda bahkan nyawa ketika bencana melanda hanya dibalas dengan bantuan –bantuan ala kadarnya, itupun dengan embel-embel politik dibelakangnya. Ketika harimau marah dan memangsa manusia yang disalahkan satwanya tanpa mengevaluasi ruang satwa yang semakin terjepit. Sudah waktunya saat ini untuk menimbang kembali kebijakan yang sudah dilahirkan. Meninjau ulang perizinan-perizinan yang sudah dikeluarkan. Mengembalikan fungsi hutan dengan menghutankan kawasan menjadi penting untuk dilakukan. Minimal 30 persen provinsi harus hutan sebagai mana diamanatkan Undang-Undang Penataan Ruang . Bagi perusahaan yang wilayah konsesinya merupakan perlintasan satwa pada awalnya harus menyediakan koridor untuk kehidupan satwa dan terhubung dengan hutan alam yang masih tersisa. Pilihan ini harus diambil jika memang mau mengarah pada pembangunan hijau yang ramah dan bersahabat dengan masa depan dan anak cucu nanti. (Sukmareni) ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012 ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 PT Mugi Triman Internasional yang sudah memasang patok areal konsesninya, sebagian areal konsesi bersentuhan dengan kawasan kelola masyarakat Batu Kerbau. Foto Heri Doni/Dok KKI Warsi Hutan Adat, Perjuangan yang Tak Kunjung Usai E foria kebaggaan pada kawasan hutan adat yang meraih penghargaan Kaplataru kategori Penyelamat Lingkungan 2004 silam seolah hilang. Kehadiran PT Citra Sawit Harum yang mengantongi izin SK Bupati Nomor 282/Perek tahun 2007 tanggal 26 April 2007 seluas 10.500 ha, kemudian disusul Malaka Agro Pratama yang dilegalitas negara dengan adanya SK Menteri Kehutanan No. SK.570 /Menhut-II/2009 tanggal 28 September 2009 dan kemudian disusul dengan SK HTI Mugi Triman Internasional No. SK.419/ Menhut-II/2009 tanggal 13 Juli 2009, menyerempet hutan adat dan hutan lindung desa di desa Batu Kerbau. Tanpa sepengetahuan masyarakat, perusahaan-perusahaan ini melakukan land clearing termasuk dalam kawasan hutan adat dan hutan lindung desa. Kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumber daya alam, diobok-obok perusahaan. Hutan adat dan hutan lindung desa yang keberadaannya sudah di gagas sejak 1995, tidak diperhitungkan para pengusaha. Alat-alat berat terus saja menumbangkan dan meratakan tanah di kawasan ini. Masyarakat sejak mengetahui kawasan hutan adat dan hutan lindung mereka digusur, tentu melakukan perlawanan. Dari menegur para pekerja perusahaan untuk menghentikan aktifitasnya, hingga menggelar unjuk rasa dan menyurati pihak-pihak terkait untuk menghentikan aktifitas perusahaan. “Biar pun sejengkal lahan tidak akan kami serahkan. Meski harus sampai ke pusat tetap akan kami perjuangkan,” kata Datuk Muhammad Rasyid AK, tokoh masyarakat Batu Kerbau, sekaligus pelopor kehadiran Hutan Adat Batu Kerbau. Konflik lahan ini memanas sejak 2010 silam. Masyarakat yang sebelumnya tidak pernah tahu akan kehadiran perusahaan, tiba-tiba saja kawasan hutan adat yang rimbun bertumbangan. Upaya masyarakat untuk menghentikan aktifitas perusahaan tak berhasil. Dengan dalih sudah mengantongi izin lengkap, tetap saja perusahaan ini melanjutkan aktifitasnya. Kondisi ini sempat menimbulkan ketegangan. Di pihak lain perusahaan berusaha untuk mempengaruhi masyarakat dan ini sebagian sukses. Masyarakatpun terbelah, namun sejumlah punggawa desa masih kukuh untuk mempertahankan hutan adat dan hutan lindung desa. Kawasan kelola masyarakat di Batu Kerbau, sejak awal dibagi dua ketegori yaitu hutan adat dan hutan lindung desa. Hutan adat merupakan kawasan hutan yang dimanfaatkan masyarakat secara terbatas dan harus mendapat izin dari kelompok adatnya serta pemerintah desa. Sedangkan hutan lindung adalah kawasan yang tak bisa dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Kedua wilayah hutan ini juga menyimpan potensi wisata air terjun, goa-goa serta panorama yang indah. Sejak kasus penyerobotan lahan muncul, telah menyita terlalu banyak energi masyarakat. Namun sayangnya masih belum membuahkan hasil. Demo-demo yang dilakukan ke Bupati dan DPRD hingga audiensi dengan Kementrian Kehutanan akhir Januari lalu di Jakarta belum juga menemukan titik terang. Dengan alasan semua kewenangan ada di Mentri Kehutanan, masyarakat harus kembali bersabar, menuggu pada staf Kemenhut melapor pada sang mentri dan entah kapan respon mentri akan diterima masyarakat. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 5 6 INTRODUKSI Memperpanjang Konflik Lahan di Provinsi Jambi Kehadiran perusahaan yang seolah tiba-tiba, seharusnya sedari awal bisa dihindari jika dalam setiap langkah perizinan dilakukan dengan baik dan benar. Namun kenyataanya, dalam perizinan masyarakat malah tidak dilibatkan, dan saling lempar tanggung jawabpun tak terelakkan. Pada dialog dengan Kementrian Pemerintah Kabupaten Bungo menyerahkan persoalan hutan adat Batu Kerbau ke Kementrian Kehutanan, dengan alasan Menteri Kehutananlah yang sudah memberikan izin HTI. Namun dari kementrian kehutanan tidak begitu saja mengamini kesalahan mereka. Dalihnya, sebelum izin terbit semua langkah perizinan ada proses dari daerah yaitu berupa rekomendasi dan pertimbangan teknis dari pemerintah daerah. Kalau sudah begini masyarakat seolah dipingpong dan sulit untuk meraih yang sesungguhnya sudah hak mereka. Peliknya persoalan Batu Kerbau ini, hanya segelintir dari konflik lahan yang terjadi di Jambi. Sepanjang 2012, Warsi mencatat sebanyak 35 kasus lahan, berupa sengketa masyarakat dengan perusahaan. Dari kasus konflik lahan ini belum ada yang benar-benar tuntas penyelesaiannya. Namun disayangkan, pemerintah masih saja abai. Bibit koflik baru terus saja disemai. Di lokasi lain, tepatnya Merangin dan Sarolangun, proses perizinan HTI PT Hijau Artha Nusa (HAN) dan Gading Karya Makmur (GKM) masih bergulir. Padahal di lokasi yang dituju kedua perusahan HTI ini, merupakan hulu DAS Limun Sarolangun dan sebagian kawasannya sudah dikelola oleh masyarakat dengan skema hutan adat oleh 10 desa. Kearifan masyarakat yang mempertahankan hutan adat ini, diyakini akan tercabik-cabik begitu HTI ini beroperasi. Hutan adat di Limun ini yang merupakan perlindungan sumber air, dalam Rencana Strategi Sarolangun sudah di plot sebagai daerah hulu yang pemanfaatannya ditujukan untuk fungsi lindung. Namun entah bagaimana, tiba-tiba di kawasan ini sudah diajukan oleh HAN dan GKM untuk HTI dan yang pasti wilayah ini potensi kayu sangat tinggi. Dan ini tentunya dengan melihat wilayah di daerah hulu dan tutupan pohon yang rapat, tidak seharusnya diperuntukkan bagi HTI. Jika kedua perusahaan ini mendapatkan izin dari kementrian, maka konflik lahan akan kembali muncul di Sarolangun, memperpanjang daftar konflik lahan yang terjadi di Jambi. Dengan sudah banyaknya konflik lahan di Jambi, sudah seharusnya pemerintah mulai bercermin diri. Konflik lahan yang kini marak jika ditelusuri sebagian disebabkan karena ‘ketidakjujuran’ dalam menerapkan aturan. Jika masyarakat dilibatkan tentu masyarakat bisa menentukan bahwa mereka menerima atau tidak perusahaan yang akan hadir. Tentu penjelasan ini harus lengkap dengan konflik-konflik yang juga mungkin diterima masyarakat dengan kehadiran peru- LAPORAN UTAMA sahaan. Pandangan pemerintah untuk membuka ruang bagi investor dan adanya PAD yang akan diterima tentu juga seharusnya dikaji dengan biaya yang akan dikeluarkan akibat dari kerusakan lingkungan dan dampak yang akan diterima masyarakat. Komitmen Para Pihak Untuk Menyelamatkan Lingkungan Hutan adat yang dikelola oleh masyarakat secara luasan tentu tidak seberapa luas dibanding dengan areal HTI. Namun dilihat dari cita-cita awal untuk memproteksi kawasan ini memang sangat mulia. Seperti Batu Kerbau, desa ini dahulunya berada dikedamaian suasana perkampungan dipinggiran hutan. Namun diera 80-an menjadi hinggar bingar dengan kehadiran HPH. Penumbangan pohon-pohon oleh perusahaan yang dilegalisasi negara ini, menghancurkan sumber daya yang selama ini menopang kehidupan masyarakat. Wabah kolera yang merenggut banyak nyawa, hingga kemudian terserang hama yang menyebabkan sawahsawah tidak bisa ditanami dan terpaksa diberakan, adalah bagian sejarah yang pernah terjadi di desa ini . Pun juga kepunahan ikan-ikan di sungai yang dahulunya mendukung sumber protein masyarakat semakin sulit di dapatkan seiring dengan semakin keruh dan dangkalnya sungai. Aktifitas HPH yang dengan mudah memperdagangkan pohon-pohon, kemudian mengundang minat masyarakat untuk juga terlibat dalam membabat hutan, baik oleh oknum masyarakat Batu Kerbau dan juga masyarakat lain yang tertarik dengan pohon-pohon penghasil rupiah ini. Tokoh-tokoh adatpun resah dengan kondisi ini, perubahan lingkungan yang sudah nyata memberikan penyakit yang sebelumnya dan juga kekhawatiran para pemangku adat akan hilangnya sumber daya untuk generasi yang akan datang. Keinginan untuk memproteksi kawasan dengan bentuk hutan adat dan hutan lindung desapun di usulkan. Ketika ini sudah dilegalisasi dengan SK Bupati, tanpa sepengetahuan masyarakat di tahun-tahun berikutnya terbit izin yang dilegalisasi Mentri Kehutanan untuk HTI dan SK Bupati untuk sawit yang sebagian lahannya berada di dalam kawasan hutan adat. Kini kayu-katu dengan diameter lebih dari 60 cm dari hutan adat dan hutan lindung desa bertumbangan, dan lahan-lahan yang dahulunya bertutupan hutan rapat menjadi daerah terbuka. Sangat mengherankan jika di daerah hulu ini masih ditebangi ketika bencana ekologis terus menghantui negeri ini. Dan ini masih juga bakal terjadi jika izin HTI PT HAN dan GKM di Sarolangun dan Merangin dikeluarkan Mentri Kehutanan. Masih perlu dipertanyakan, dimanakan komitmen pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan dan berpihak pada masyarakat. (Sukmareni) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Perambahan hutan adat Batu Kerbau yang ditentang oleh masyarakat desa. Foto Heri Doni/Dok KKI Warsi Dilema Hutan Adat Batu Kerbau K ondisi hutan adat Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, saat ini sangat memprihatinkan. Ketika daerah lain sedang gencar mengurus izin hutan adat dan hutan desa kepada pemerintah, namun hutan adat Batu Kerbau yang sudah ada sejak lama justru sedang mengalami dilema. Hutan adat ini terancam punah oleh ancaman aktivitas sejumah perusahaan yang mengepung kawasan tersebut. Bahkan, di beberapa titik sudah ada yang diserobot oleh pihak perusahaan. Salah satu perusahaan, PT Citra Sawit Harum (CSH) diketahui menyerobot kawasan hutan lindung yang diperkirakan mencapai 20 hektare lebih. Pihak perusahaan melakukan pembukaan lahan tanpa melakukan koordinasi dengan masyarakat desa. Meski sudah mengantongi izin sebagai hutan lindung dari pemerintah, ternyata tidak bisa menjamin kawasan ini aman dan terhindar dari penyerobotan. Aksi penyerobotan itu spontan mengusik ketenangan masyarakat desa Batu Kerbau. Tak ingin mengulang sejarah kelam kasus eksploitasi hutan seperti yang dilakukan perusahaan HPH puluhan tahun silam, masyarakat akhirnya sepakat menolak aktivitas perusahaan di dalam kawasan hutan lindung tersebut. Namun sayangnya, aktivitas PT CSH berhasil dihentikan ketika perusahaan sudah melakukan land clearing di dalam kawasan hutan lindung itu. Meski untuk sementara aktivitas perusahaan terhenti, namun kondisi lahan sudah terlanjur rusak. Jika selama ini kawasan itu ditumbuhi hutan alam yang terjaga dengan baik, saat ini kondisinya menjadi terbalik. Puluhan hektare lahan yang masuk ke dalam areal hutan lindung Desa Batu Kerbau itu berubah menjadi hamparan lahan yang siap ditanami kelapa sawit oleh pihak perusahaan. Aktivitas land clearing yang dilakukan perusahaan juga membuat tapal batas hutan lindung menjadi semakin kabur. Batas-batas alam yang selama ini disepakati oleh masyarakat desa sudah tidak ditemukan lagi di lokasi semula. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 7 8 LAPORAN UTAMA Aktivitas pembukaan lahan itu langsung mendapat protes keras dari masyarakat Desa Batu Kerbau. Mereka tak rela hutan lindung yang susah payah mereka perjuangkan digusur menjadi areal perkebunan sawit. Beberapa kali perundingan digelar untuk mencari solusi kasus penyerobotan itu, namun belum memberikan kesepakatan final terkait penyelesaian sengketa antara pihak PT CSH dengan masyarakat Desa Batu Kerbau. Diperlukan niat baik dan keseriusan semua pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Hal itu mendesak dilakukan mengingat fungsinya sebagai kawasan lindung yang telah disyahkan oleh bupati kabupaten Bungo. Hutan Adat dan Hutan Lindung Batu Kerbau Desa Batu Kerbau berada di kaki pegunungan Bukit Barisan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) di sebelah barat. Sementara di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Batang Kibul, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin; sebelah utara dengan Desa Rantau Pandan, Kecamatan Rantau Pandan; dan sebelah timur dengan Desa Baru Pelepat. Desa ini berjarak sekitar 74 kilometer sebelah barat ibu kota Kabupaten Bungo. Di desa ini terdapat hutan adat dan hutan lindung yang disahkan oleh bupati Bungo. Hutan adat Batu Kerbau berhasil dikukuhkan melalui proses panjang dan melelahkan. Pengesahan itu dilakukan Bupati Bungo dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 1249 Tahun 2002 Tanggal 14 Juli 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau yang terdiri dari lima lokasi. Kelimanya adalah Hutan Lindung Batu Kerbau 776 hektar, Hutan Lindung Belukar Panjang 361 hektar, Hutan Adat Batu Kerbau 386 hektar, Hutan Adat Belukar Panjang 472 hektar, dan Hutan Adat Tebat 360 hektar. Penetapan hutan adat dan hutan lindung Desa Batu Kerbau memiliki latar belakang sejarah yang sangat panjang. Sejak 1981, kawasan hutan di desa ini menjadi areal hak pengusahaan hutan (HPH) yang dikelola oleh PT Mugi Triman dan PT Rimba Karya Indah. Kedua perusahaan itu sekarang sudah tutup. Ketika HPH beroperasi, warga desa tidak bisa lagi memanfaatkan hasil hutan non kayu yang ada di dalam kawasan itu. Padahal, hasil hutan non kayu tersebut sangat membantu meningkatkan penghasilan masyarakat selain mengandalkan dari sektor perkebunan karet. Selain itu, ketika musim kemarau air sungai di desa ini juga berubah kotor akibat beroperasinya alat berat milik perusahaan HPH di bagian hulu sungai. Sementara pada musim hujan, selain membuat air sungai keruh, terjadinya longsor dan banjir juga meresahkan warga. Bahkan, masyarakat mulai terserang wabah penyakit muntaber karena tingginya aktivitas peracunan ikan di bagian hulu sungai oleh para pekerja HPH pada masa itu. LAPORAN UTAMA Menyadari bahaya besar yang mengancam masyarakat desa ketika itu, salah seorang tokoh masyarakat Batu Kerbau, Datuk Rasyid berusaha mengajak warganya untuk mempertahankan kawasan hutan agar tidak lagi dibabat oleh perusahaan HPH. Ide cemerlang Datuk Rasyid itu disambut baik oleh masyarakat. Bahkan, selain berhasil mendapatkan izin hutan adat dan hutan lindung, masyarakat juga berhasil membentuk lubuk larangan dalam rangka mempertahankan ikan hingga bisa dinikmati oleh anak cucu mereka. Sehingga selain memiliki hutan adat dan hutan lindung, semua dusun di Desa Batu Kerbau juga memiliki Lubuk Larangan di Batang Pelepat dengan jenis ikan asli seperti semah, cupang hidung, barau, lampan, tapah, dan pangut. Lubuk larangan tersebut disepakati baru akan dibuka sekali setahun. Hasilnya kemudian digunakan untuk kepentingan masyarakat, seperti perbaikan masjid, jalan, dan kepentingan masyarakat lainnya. Tolak Penyerobotan Lahan Indahnya bersahabat dengan alam setelah penetapan hutan adat dan hutan lindung oleh Bupati Bungo, akhirnya terusik dengan adanya aksi penyerobotan hutan lindung yang dilakukan PT CSH. Meski beberapa kali dilakukan mediasi, namun masih terjadi tarik ulur yang tak berkesudahan. Masyarakat tetap menolak menyerahkan lahan mereka, sementara pihak perusahaan juga mengklaim bahwa lahan yang mereka garap masih di dalam peta izin lokasi lahan perkebunan yang mereka dapatkan. Meski sejumlah stakeholder di kabupaten Bungo dilibatkan untuk menyelesaikan persoalan ini, namun belum juga menemukan titik temu yang memuaskan bagi masyarakat. Sebagai tindak lanjut beberapa pertemuan yang digelar sebelumnya, Kamis (10/01), Pemkab Bungo kembali mengundang beberapa pihak terkait untuk melakukan pengecekan langsung ke lapangan. Pengecekan itu melibatkan Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo, BPN, pihak PT CSH, masyarakat Desa Batu Kerbau, dan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi. Setelah dilakukan pengecekan, memang disinyalir bahwa hutan lindung Desa Batu Kerbau sudah diserobot oleh PT CSH. Bahkan, sejumlah batas-batas yang terdiri dari tanaman pohon pinang dan dinding seng yang dibuat masyarakat juga sudah tertimbun akibat aktivitas land clearing yang dilakukan pihak perusahaan. Melihat kondisi itu, masyarakat Batu Kerbau bertekad akan terus mempertahankan hak mereka. Meski penyelesaian kasus itu harus sampai ke pemerintah pusat, mereka mengaku tidak akan pernah mundur. Masyarakat berkeras tidak mau menyerahkan tanah itu meski diberi iming-iming ganti rugi oleh pihak perusahaan. Masyarakat desa Batu Kerbau menggalang kekuatan guna menolak rencana perusahaan menguasai hutan lindung di desa mereka. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Land Clearing kawasan hulu yang berpotensi mengdatangkan bencana ekologis. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi Antusiasme masyarakat mempertahankan hak mereka terlihat ketika dilakukan peninjauan lokasi yang dimediasi oleh Pemerintah Kabupaten Bungo beberapa waktu lalu. Puluhan perwakilan masyarakat yang terdiri dari tokoh adat dan pemerintah desa Batu Kerbau hadir di lapangan. Terik matahari yang menyengat tak meruntuhkan semangat mereka. Masyarakat sempat bersitegang dengan pihak Pemkab dan PT CSH, terkait penentuan batas wilayah hutan lindung yang diserobot perusahaan. “Biar pun sejengkal lahan tidak akan kami serahkan. Meski harus sampai ke pusat tetap akan kami perjuangkan,” kata Datuk Rasyid di sela-sela peninjauan lokasi. Sementara perwakilan dari pihak BPN Bungo yang hadir saat pengecekan menawarkan solusi agar pihak perusahaan tidak melakukan aktivitas di kawasan yang disengketakan itu. Mereka boleh beraktivitas di bagian yang tidak masuk ke dalam kawasan sengketa. Koordinator Project TFCA Yulqari mengatakan, terjadinya penyerobotan lahan dalam kawasan hutan lindung Batu Kerbau oleh PT CSH diduga karena besarnya sumberdaya kayu yang ada di dalam kawasan itu. Sehingga kemudian timbul skenario besar dari pihak perusahaan untuk menguasai lahan di kawasan hutan lindung tersebut semaksimal mungkin, sekaligus mengambil kayu yang memang masih cukup tersedia. “Untuk itu, semua pihak perlu memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini,” ungkapnya. Sedangkan hasil pengecekan kondisi terkini pada kawasan hutan lindung tersebut setelah adanya penyerobotan, selain ditemukan pembukaan lahan ternyata ada juga pembukaan jalan baru pada dua titik. Satu titik sekitar 1.000 meter dan satu titik lagi sekitar 3.500 meter. Sementara di sepanjang jalan itu juga ditemui kayu bulat/log besar berukuran panjang. Hal itu semakin memperkuat dugaan masyarakat bahwa perusahaan selama ini memang telah mengincar kayu yang ada di lahan hutan lindung tersebut. Dari hasil pertemuan terakhir Rabu (23/01) yang difasilitasi oleh Pemkab Bungo, perusahaan setuju untuk mengembalikan lahan yang dibuka kepada masyarakat, melakukan reboisasi, membayar denda adat dengan seekor kerbau selemak semanis, dan tidak mengganti rugi kerugian dari kayu yang telah diambil, menurut taksiran masyarakat kerugian mencapai Rp 500 juta. Sebagai tindaklanjut penyelesaian persoalan itu, pada pertemuan berikutnya akan turun tim yang akan melakukan tapal batas di areal yang berkonflik tersebut. (Herma Yulis) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 9 LAPORAN UTAMA 10 Terjebak dan Dijebak Kemakmuran Sesaat Selain sering memicu konflik antara petani dengan perusahaan, pengembangan perkebunan kelapa sawit juga potensial menimbulkan pencemaran lingkungan, serta penurunan kualitas dan entitas air. Padahal, berkurangnya potensi air akan berdampak besar terhadap berbagai aktivitas masyarakat, termasuk untuk sektor pertanian. K ehadiran sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit menimbulkan perubahan besar bagi kawasan hutan di Provinsi Jambi. Hamparan hutan alam disulap menjadi lahan kelapa sawit. Bahkan, tak sedikit pula lahan milik masyarakat dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan dengan bermitra bersama pihak perusahaan. Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia melaju pesat sejak tahun 1970-an. Awalnya dilakukan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN), kemudian dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR) melalui pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat). PTPN juga mengembangkan kelapa sawit di Provinsi Jambi pada 1993/1994, melalui pola PIR. Langkah itu kemudian diikuti sejumlah perusahaan swasta yang turut melakukan investasi membuka perkebunan kelapa sawit di daerah ini. Saat ini luas lahan perkebunan sawit di Provinsi Jambi diperkirakan sudah mencapai 574.514 hektar. Pengembangan kelapa sawit memang sangat menggiurkan. Ia menawarkan kemakmuran yang menyilaukan bagi petani. Sehingga tak sedikit petani yang rela melepas lahan untuk dikelola oleh perusahaan. Namun sayangnya, ternyata banyak masyarakat yang terjebak dalam pola kemitraan yang ditawarkan perusahaan. Karena pada kenyataannya yang paling menikmati hasil dari pola kemitraan tersebut adalah pihak perusahaan. Sementara petani hanya sebagian kecil yang bisa merasakannya. Bahkan sejumlah konflik lahan antara petani dan pihak perusahaan belakangan semakin marak terjadi. Data dari Kementerian Pertanian menyebutkan produksi CPO nasional mencapai 20,8 juta ton pada 2010 dan meningkat menjadi 23.5 juta ton pada 2011. Selain itu, indutri sawit nasional juga menyumbang devisa bagi negara sebesar 19,7 miliar dolar AS pada 2011. Meski perkebunan kelapa sawit turut menyumbangkan devisa pada negara hingga triliunan rupiah dalam setahun, namun ia juga menyisakan banyak persoalan. Tidak saja persoalan kehancuran hutan dan pencemaran lingkungan, namun aktivitas perkebunan sawit juga telah memicu terjadinya konflik agraria yang sudah berkepanjangan. Akhirnya, petani bukannya menikmati kemakmuran, malah tak jarang petani yang terilit hutang pada perusahaan. Ini merupakan sebuah ironi. Mereka yang menyerahkan lahan, tapi mereka juga dinyatakan berhutang. Selain tak bisa menikmati tumpukan rupiah yang mereka impikan, lahan milik mereka pun raib. LAPORAN UTAMA Padahal, setiap warga negara berhak atas lingkungan yang baik dan sehat, sebagaiamana tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang mengatur tentang HAM. Hal itu tidak sesuai denga fakta yang terjadi di lapangan. Kebijakan alihfungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit mengakibatkan terjadinya pembabatan kawasan hutan secara besar sehingga akan berdampak pada lingkungan yang tidak sehat. Sawit, masih menjadi primadona sejumlah orang. Foto Heriyadi /Dok KKI Warsi Maraknya konflik lahan yang melibatkan masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit di Jambi mengalami peningkatan sejak adanya pola kemitraan Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Dalam pola KKPA ini petani menyerahkan lahan mereka agar dikelola oleh pihak perusahaan. Karena sebagai pihak yang tidak memiliki akses modal, tentu saja petani sangat tergiur dengan adanya pola kemitraan tersebut. Adanya pembukaan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar selalu akan memicu terciptanya lingkungan yang tidak sehat. Ia bisa memicu terjadinya kebakaran hutan, bencana banjir, kesulitan air bersih dan pencemaran air, penurunan tingkat kesuburan tanah, serta penurunan tingkat keanekaragaman hayati oleh kerusakan kawasan hutan. Pihak yang akan merasakan langsung dampak tersebut adalah masyarakat lokal yang selama ini tinggal di sekitar lokasi perkebunan kelapa sawit. Melihat kondisi seperti itu, maka sangat disayangkan ketika sebagian besar masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit melepaskan lahan mereka untuk dikonversi menjadi lahan sawit. Seringkali mereka melepaskan lahan setelah mendapat iming-iming dan propaganda bahwa perusahaan sawit dapat mensejahterakan masyarakat. Mereka terjebak dan dijebak dengan kemakmuran sesaat yang ditawarkan pihak perusahaan, sehingga melupakan dampak buruk akibat kehancuran ekosistem di belakang hari. Karena pembukaan lahan sawit dalam skala besar juga akan menimbulkan ancaman terhadap sumberdaya alam dan kearifan lokal. Dan yang tak kalah penting adalah hilangya penguasaan atas tanah adat. Ruang kelola masyarakat lokal atas lahan untuk kegiatan perladangan juga akan semakin menyempit. Sehingga tak sedikit yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok dan terpaksa menjadi buruh kasar di perusahaan perkebunan sawit yang berdiri di bekas tanah mereka sendiri. (Herma Yulis) Namun, mereka tidak menyadari bahwa dengan cara itu perusahaan dengan mudah memasang jebakan. Karena meski secara de facto petani merupakan pemilik lahan, namun secara de jure mereka tak memiliki bukti kepemilikan yang kuat. Selama ini, kepemilikan lahan petani cuma dibuktikan denga surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh kepala desa. Sementara SKT ini memiliki legalitas hukum yang sagat lemah. Bahkan, dalam sistem legal formal surat keterangan tanah ini tidak berlaku. Buktinya, meski memiliki SKT petani tidak bisa mengucurkan dana pinjaman dari bank. Nah, dalam pola kemitraan yang terjadi selama ini juga dicurigai adanya ketidakterbukaan dari pihak perusahaan. Padahal, pola kemitraan antara petani dengan perusahaan akan saling menguntungkan apabila dilakukan atas dasar kejujuran dan transparansi. Namun, harapan adanya kemitraan seperti itu jauh panggang dari api. Sehingga pihak petani sering dirugikan karena tidak adanya transparansi dari pihak perusahaan. Pola kemitraan yang tidak transparan ini telah memicu terjadinya sejumlah konflik lahan di Jambi. Antara lain konflik lahan antara masyarakat dengan PT Tunjuk Langit Sejahtera (TLS) di Batanghari, konflik lahan antara masyarakat dengan PT Asiatik Persada, konflik masyarakat dengan PT Wira Karya Sakti, dan sejumlah konflik lainnya. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 11 12 LAPORAN UTAMA LAPORAN UTAMA Hutan Adat Renah Alai dan Rantau Kremas 13 hingga iuranpun bisa disesuaikan dengan pemakaian. Dengan ini diharapkan terciptanya keadilan dan juga kontrol yang baik dalam pemanfaatan air. Disamping juga sungai-sungai ini sangat bermanfaat oleh masyarakat untuk mengairi sawah-sawah yang menjadi lumbung pangan dan penopang perekonomian keluarga. Hal mendasar lainnya, adalah untuk melindungi kawasan hutan masyarakat dari ekspansi penguasaan lahan oleh pihak luar. Sebagaimana diketahui di desa tetangga Renah Alai kini tengah berkutat dengan persoalan okupasi kawasan hutan hingga mencapai TNKS oleh penduduk dari luar. Kawasan yang diokupasi sudah mencapai 19 ribu ha. Kondisi ini sudah sering menimbulkan konflik yang hingga kini belum ada kejelasan penangananya. Mencegah konflik serupa masyarakat Renah Alai dan Rantau Kremas berupaya untuk memproteksi kawasan mereka. Perlindungan Sumber Air dan Pencegahan Konflik Lahan D esa Renah Alai dan Rantau Kremas di Kecamatan Jangkat Merangin terus berupaya untuk melindungi daerah tangkapan air yang menunjang kehidupan mereka. Kedua desa ini awalnya tergabung dalam satu desa, namun banjir bandang di tahun 1977 menyebabkan Renah Alai pindah ke daerah lebih ke hulu dan kemudian menjadi desa tersendiri. Ketika pemerintah menetapkan Taman Nasional Kerinci Seblat, kedua desa ini masuk dalam kawasan taman. Masyarakat pun protes dan akhirnya setelah melewati beberapa pertemuan dengan pengelola kawasan kedua desa ini dikeluarkan dari TNKS. Meski wilayah kedua desa ini tidak terlalu luas, karena sebagian besar masuk ke TNKS, namun pada kawasan yang masih mempunyai tutupan hutan bagus, masyarakat kedua desa ini terus berupaya untuk memproteksinya. Bencana-bencana ekologi masa lalu dan juga melihat tren pemanfaatan sumber daya alam di desa-desa sekitarnya masyarakat menginginkan kawasan desa yang bertutupan hutan baik, dikelola secara adat dan dilegalisasi oleh pemerintah. Untuk mewujudkan keinginan ini, kedua desa sudah mengusulkan kepada Bupati Merangin untuk pengukuhan hutan adat, yaitu Rantau Kremas seluas 120 ha yang terletak di dua tempat dengan luasan masingmasing 77 ha dan 43 ha, dan Renah Alai mengajukan di dua tempat yaitu Blok Sungai Mengkeruh seluas 297 ha dan Blok Kaki Masurai seluas 248 ha dengan total 545 ha. Pengajuan pengalolaan hutan dengan skema hutan adat ini, sebanarnya sudah dua kali diusulkan masyarakat yang pertama pada 1997, atau empat tahun pasca penetapan TNKS. Namun belum ada tanggapan dari Pemerintah Merangin atau pada saat itu bernama Sarko. Setelah lama diam, kini masyarakat kembali membuat usulan untuk pengakuan kawasan hutan adat ini. Kayu manis dan kopi adalah komoditas unggulan masyarakat Kerinci yang bisa dikembangkan di kawasan kelola masyarakat. Foto Dok. KKI Warsi. Dengan memanfaatkan aliran Sungai Gedang dan Batang Langkup mampu menggerakkan turbin yang berkapasitas 40 ribu watt yang menerangi 558 rumah di Renah Alai dan 30 ribu ribu watt di Rantau Kremas untuk 100 lebih rumah. Aktifitas masyarakat Renah Alai dan Rantau Kremas yang bergantung pada sumber daya alam. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi Terdapat lima alasan penting bagi masyarakat yang bisa ditempuh 4-5 jam berkendara dari Kota Bangko ini, untuk memproteksi kawasan mereka. Alasan utama adalah melindungi sumber air. Dengan posisi geografis yang berada diketinggian 900-1.400 mdl dan berada di pinggir hutan serta jauh dari ibukota kabupaten , desadesa ini tidak tersentuh jaringan listrik negara. Sejak ada proyek ICDP TNKS, di kedua desa ini dikembangkan Pembangkit Listrik tenaga Mikro Hidro (PLTMH). ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Untuk menggelola PLTMH ini masyarakat sudah memiliki aturan dan kelompok pengelola yang berjalan dengan baik. Bahkan kini di masing-masing rumah pelanggan juga sudah dipasang meteran listrik untuk memantau penggunaan listrik sehingga pembayaranpun berjalan adil sesuai dengan pemakaian. Dana iuran dari penggunaan listrik ini dimanfaatkan masyarakat untuk pemeliharaan mesin pembangkit serta pemeliharaan jaringan dan sisanya untuk kas desa. Keinginan ini bukan tanpa sebab, belakangan di kawasan antara Renah Alai dan Rantau Kremas, yaitu sekitar Danau Pauh sudah mulai di garap oleh para pendatang yang saat ini berjumlah sekitar 4 kk. Menurut pengamatan masyarakat, ini merupakan langkah awal untuk perambahan dan jika tidak ada status yang jelas untuk kawasan hutan di Renah Alai dan Rantau Kremas, maka bisa diprediksi okupasi ini bisa berlanjut hingga ke kawasan di kedua desa ini. Atas dasar-dasar ini masyarakat Renah Alai dan Rantau Kremas kembali mengajukan kepada Bupati Merangin untuk pengakuan kawasan hutan adat. Langkah-langkah yang sudah ditempuh masyarakat untuk legalisasi kawasan ini, diantaranya adalah penerbitan Surat Keterangan Pengelola Hutan Adat oleh pemerintah desa dan pemangku adat kepada Bupati Merangin. Di samping itu juga dipersiapkan data-data lain penunjang seperti peta kawasan dan profil desa. Dan yang paling penting adalah ‘pengawalan’ terhadap usulan ini supaya tidak bernasib sama dengan dua usulan sebelumnya (Sukmareni) Tak hanya listrik, sumber air juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih yang dialirkan ke rumah-rumah warga. Ke depan kelompok pengelola berencana untuk memasang meteran air seALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 LAPORAN UTAMA LAPORAN UTAMA 14 Hutan Adat Kerinci dan Peluang Meluaskan PHBM K erinci, kabupaten paling barat Provinsi Jambi mencatat sejarah baru dalam pengakuan hak kelola masyarakat. Kabupaten Kerinci yang sebagian besar wilayahnya termasuk dalam kawasan Taman Nasional Keinci Seblat ini, dalam penataan ruangnya mengakui keberadaan kawasan konservasi yang dikelola masyarakat dengan skema Hutan Hak Adat yang berada dalam kawasan penggunaan lain. Dalam Peraturan Daerah Kerinci No 24 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Kerinci 2012-2032 secara nyata disebutkan pengakuan hutan hak adat seluas 1.202 ha, yang berada di sembilan lokasi. Yaitu Hutan Adat Ulu Air Lempur Lekuk Limo Puluh Tumbi yang berada di Desa Lempur Kecamatan Gunung Raya, Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning berada di Desa Muara Air Dua Kecamatan Sitinjau Laut. Ada juga Hutan Adat Temedak berada di Desa Keluru Kecamatan Keliling Danau, Hutan Adat Kaki Bukit Lengeh berada di Desa Pungut Mudik Kecamatan Air Hangat Timur, Hutan Adat Bukit Tinggai berada di Desa Sungai Deras Kecamatan Air Hangat Timur. Kemudian Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang berada di Desa Air Terjun Kecamatan Siulak, Hutan Adat Bukit Sigi berada di Desa Tanjung Genting Kecamatan Gunung Kerinci. Ada juga Hutan Adat Kemantan berada di Desa Kemantan Kecamatan Air Hangat, serta Hutan Adat Bukit Teluh berada di Kecamatan Batang Merangin. Dengan pengembangan potensi PHBM ini, tentu juga penting untuk pengembangan ekonomi masyarakat sekitar dengan sumber daya yang mereka miliki. Sejalan dengan cita-cita pemerintah yang mengeluarkan Permenhut untuk penetapan hutan desa, mensejahterakan masyarakat dengan hutan menjadi pilihan kala selama ini masyarakat hanya menjadi penonton dalam pemanfaatan sumber daya mereka. Dengan pola PHBM di Kerinci, untuk kawasan yang berada di hutan produksi masyarakat bisa memanfaatkan untuk pengayaan perkayuan dan bisa melakukan pemanenan pada waktunya nanti. Tentu yang paling penting dari ini adalah mengembangkan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya mereka secara berkelanjutan dan berkeadilan. Sekaligus memberikan jaminan pengelolaan kawasan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk melindungi sumber air dan persediaan sumber daya bagi anak cucu kelak. Kekuatan adat dan kearifan lokal diharapkan menjadi payung dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini. Harapannya semangat ini terus diturunkan dari generasi ke generasi sehingga tumbuh kesepahaman dan keyakinan yang sama betapa pentingnya kawasan itu dipertahankan untuk kehidupan masyarakat sekitarnya. Walau diyakini bahwa mewariskan nilai-nilai adat ini juga bukanlah pekerjaan yang mudah. Mengingat kebutuhan di masa datang dan juga godaan pengembangan ekonomi sesaat yang di gembar gemborkan oleh seke-lompok orang. Pemanfaatan hasil hutan non kayu dan juga memperkaya hutan adat dengan berbagai pepohonan yang bernilai ekonomi tinggi menjadi pilihan untuk menjawab tantangan ini. (Sukmareni) Dengan adanya pengakuan kawasan hutan hak adat ini di Kerinci merupakan sebuah langkah maju dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat. Perda ini memperkuat posisi kawasan sehingga dalam masa perencanaan ruang untuk 20 tahun ke depan, kawasan hutan adat relatif aman dari pengalihfungsian kawasan. Pengamanan kawasan ini penting untuk dilakukan mengingat selama ini, Kerinci merupakan wilayah yang berada di hulu dan berada dipunggung Bukit Barisan sehingga menjadi rawan bencana ekologis. Namun dari itu perlindungan kawasan ini juga penting untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Terkait dengan ini, berdasarkan kajian yang dilakukan Warsi, Kerinci merupakan daerah yang berpotensi untuk mengembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, diantaranya berada di Desa Renah Kayu Embun, Desa Air Terjun dan Desa Tanjung Sam. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Kawasan hutan yang ditumbangkan untuk dialih fungsikan menjadi HTI. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi Memulihkan Kedaulatan Kawasan Hutan HTI, Sawit, dan Tambang: Pemicu Kerusakan Sumberdaya Alam I tingkat dunia hutan tropis Indonesia menempati posisi terbesar ketiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo. Selain itu, ia juga merupakan rumah bagi 12 persen mamalia dunia, 16 persen spesies reptil dan amfibi, serta 17 persen spesies burung. Bahkan, lebih dari 10.000 spesies pohon tercatat tumbuh di seluruh nusantara. Pada 2010 Food and Agriculture Organization (FAO) memerkirakan, tutupan hutan Indonesia berkurang hingga 24,1 juta hektar antara tahun 1990-2010. Penyebab terbesar adalah akibat terjadinya kebakaran lahan hutan dan semak belukar sebesar 9,756 juta hektar pada 1997-1998, yang sebagian besar terbakar karena El Nino 1997-1998. Selanjutnya, pada periode 19901996, laju deforestasi Indonesia, baik di kawasan hutan negara maupun di luar hutan negara seluas 1.870.000 hektar per tahun. Namun sayangnya, dari tahun ke tahun kawasan hutan terus mengalami kehancuran. Dan kerusakan tersebut akan menimbulkan dampak besar bagi semua penduduk di dunia. Jika tak segera dicegah, hal ini akan memunculkan persoalan baru yang lebih serius. Mulai dari ancaman perubahan iklim hingga bencana alam dalam berbagai bentuk yang kian sulit dikendalikan. Untuk kasus perubahan iklim belakangan ini sudah menjadi isu di tingkat dunia yang terus menghangat. Angka ini terus meningkat pada masa transisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis, dengan laju deforestasi tahun 1997-2000 meningkat menjadi 3.510.000 hektar per tahun. Laju deforestasi berkurang dari tahun 2001-2003 menjadi sekitar 1,08 juta hektar per tahun. Pada periode 2004-2006, laju deforestasi Indonesia terjaga cukup rendah, sekitar 1,17 juta hektar per tahun. Pada 2007-2009 laju deforestasi berada pada kisaran 0,83 juta hektar per tahun. Sementara pada 2009-2011, laju deforestasi berkurang hampir setengahnya menjadi 0,45 juta hektar per tahun. D Kayu manis, komoditi yang bisa dikembangkan di kawasan kelola masyarakat. Foto: Dok KKI Warsi ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 15 16 LAPORAN UTAMA Sementara Pulau Sumatera sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia kondisinya tak jauh berbeda. Pada tahun 2003 keseluruhan luas tutupan hutan di Sumatera hanya tersisa sekitar 15 juta hektar. Sedangkan ancaman terhadap kawasan hutan alam tersisa bahkan terus meningkat melalui konversi hutan alam menjadi peruntukan lainnya. Keluarnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih terkenal dengan nama Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang berlaku sejak 24 September 1960 menjadi pemicu pesatnya kerusakan hutan. Karena sejak itu, pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan diatur oleh negara. Hal itu secara tak langsung telah memutus hubungan erat masyarakat dengan hutan yang sudah terjalin sejak lama. Kondisi itu kemudian diperparah dengan keluarnya UU No. 1/ 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6/1968 tentang Penananam Modal dalam Negeri. Dengan adanya UU ini, pihak luar pun diberi kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan. Ketika itu pemerintah berdalih sedang melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi. Alhasil, sejak adanya UU tersebut pemerintah banyak mengeluarkan izin-izin usaha di bidang kehutanan dan perkebunan. Sedangkan masyarakat di sekitar hutan tidak dilibatkan oleh pemerintah pusat. Mereka hanya menjadi penonton ketika kawasan hutan di sekitar mereka dibabat oleh pihak perusahaan yang telah mengantongi izin. Menurut data Departemen Kehutanan (2008), pada periode 2003-2006 di Pulau Sumatera deforestasi di kawasan hutan mencapai 268.000 hektar per tahun. Angka ini adalah yang terbesar dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya.Pulau Sumatera bahkan berkontribusi sebesar 22,8 % terhadap deforestasi total di Indonesia (1,17 juta hektar per tahun). Sedangkan hutan primer Sumatera yang masih tersisa hanya sekitar 29%, padahal daerah ini membutuhkan tutupan hutan setidaknya 40 % untuk menyangga kehidupan dan melindungi pusat konsentrasi keanekaragaman hayati. Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan. Ketimpangan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang sudah berlangsung sejak lama menjadi salah satu pemicu kerusakan hutan yang sangat terlihat. Sementara pihak yang selalu diuntungkan dan menikmati kekayaan hasil hutan tersebut adalah para pemilik modal (investor) dan oknum penguasa. Para investor mengeruk keuntungan dengan mengeksploitasi hutan melalui banyak cara. Mulai dari pembukaan Hutan Tanaman Industri (HTI), pembangunan perkebunan kelapa sawit, hingga pembukaan areal untuk pertambangan. Kerusakan ini semakin parah karena tidak diimbangi dengan proses pemulihan. Sehingga keberadaan lahan kritis dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan Data Statistik Kehutanan Kementerian Kehutanan 2012, lahan kritis di Sumatera pada tahun 2011 sudah mencapai 10.138.995 hektar. Begitupula yang terjadi di Provinsi Jambi. Dari 5,2 juta hektar luas Jambi sudah dieksploitasi untuk berbagai peruntukan. Sebanyak 776.652 hektar untuk HTI, 72.095 hektar HPH aktif, 329.000 hektar untuk HPH tidak aktif dan statusnya dikembalikan ke negara, 574.514 hektar perkebunan kelapa sawit, dan sebanyak 434.646 hektar pertambangan. Pembukaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun 1970-an. Pada masa awal, pengembangannya dilakukan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN), kemudian dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR) melalui pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat). PTPN juga mengembangkan kelapa sawit di Provinsi Jambi pada 1993/1994, melalui pola PIR. Langkah itu kemudian diikuti sejumlah perusahaan swasta yang turut melakukan investasi membuka perkebunan kelapa sawit di daerah ini. Pertumbuhannya pun cukup pesat, sehingga luas lahan perkebunan sawit di Jambi saat ini mencapai 574.514 hektar. Meski perkebunan kelapa sawit juga memberikan sumbangan devisa hingga triliunan rupiah dalam setahun, namun ia juga menyisakan banyak persoalan. Tidak saja persoalan kehancuran hutan dan pencemaran lingkungan, namun aktivitas perkebunan sawit juga telah memicu terjadinya konflik agraria yang berkepanjangan. LAPORAN UTAMA perusahaan selalu mengulur waktu, dan pemerintah seolah tak memiliki kekuasaan untuk memaksa. Kegiatan alih fungsi hutan di Sumatera yang sebagian besar tidak diiringi dengan kajian terhadap persoalan ekologi patut disesalkan. Akibatnya, begitu hutan habis kemudian muncul persoalan baru berupa bencana ekologis. Salah satunya adalah persoala banjir yang beberapa tahun terakhir sering terjadi. Hal itu dikarenakan adanya pendangkalan di sungai-sungai sehingga tak lagi mampu menampung curahan air hujan. Kondisi ini sebenarnya disebabkan kawasan hutan di bagian hulu yang sudah terlanjur rusak. Selain banjir, isu perubahan iklim yang terjadi saat ini juga sudah sangat mengkhawatirkan. Kemudian ditambah lagi dengan bermunculannya konflik kepemilikan lahan antara masyarakat dengan perusahaan, konflik dengan transmigrasi dan konflik dengan satwa. Ini semua terjadi karena kesalahan pengelolaan hutan yang dilakukan secara top down. Sehingga kemudian terjadi pengkaplingan hutan yang akhirnya menimbulkan banyak persoalan. Dari segi biodiversity, Sumatera juga mengalami kerugian besar. Karena di hutan Sumatera hidup berbagai flora dan fauna seperti harimau, gajah, orangutan, badak Sumatera, mentok rimba, bunga raflesia, dan banyak lagi yang lainnya. Tak jauh berbeda dengan pembukaan kelapa sawit, sektor pertambangan juga menyisakan persoalan pelik. Terutama pertambangan batubara. Selama beberapa tahun terakhir, protes masyarakat terhadap perusahaan seringkali terjadi. Karena dampak aktifitas tambang ini sudah sangat meresahkan. Terutama dampak buruk dari pengangkutan hasil tambang batubara yang dibawa melintasi jalan umum. Hal itu memicu terjadinya sejumlah aksi pemblokiran jalan yang dilakukan oleh masyarakat. Persoalan reklamasi lokasi tambang juga menjadi sorotan bayak pihak. Selama ini, pihak perusahaan banyak yang tidak melakukan reklamasi bekas tambang. Begitu mereka selesai mengambil hasil tambang, perusahaan masih kubangan bekas pengambilan batubara yang dikhawatirkan suatu saat akan menimbulkan masalah baru. Namun demikian, pemerintah sepertinya tidak berkutik menghadapi para pengusaha batubara. Bahkan rencana moratorium yang gencar disuarakan pada tahun 2012 lalu, hingga kini masih belum diberlakukan. Begitupula dengan jalur khusus angkutan batubara. Pihak ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Untuk itu, sudah sepatutnya semua pihak memikirkan bagaimana upaya penyelamatan keanekaragaman hayati Sumatera tersebut sebelum terlambat. Sebenarnya, pemerintah Indonesia telah menetapkan 134 unit kawasan konservasi di Pulau Sumatera, dengan total luas keseluruhan 5.742.196,17 hektar dengan bagian terbesar berupa 11 unit Taman Nasional seluas 3.882.218,48 hektar. Hanya saja, dalam kebijakan itu terdapat kesenjangan keterwakilan ekologis di dalam kawasan konservasi Sumatera. Pasalnya, ada kawasan yang seharusnya menjadi kawasan konservasi namun kenyataan malah boleh dikonversi. Aksi penyelamatan bisa dengan melakukan perluasan atau penetapan kawasan konservasi baru dan pengelolaan hutan secara lestari. Barangkali, upaya penyelematan kawasan hutan di Sumatera bisa dilakukan dengan mengembalikan kedaulatan pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat setempat. Karena selama ini masyarakat memiliki kearifan lokal dalam menjaga lingkungan. Namun, hal itu terlupakan ketika pemerintah membagi-bagikan kawasan hutan untuk berbagai peruntukan. Melihat kondisi itu, maka mengembalikan kedaulatan pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat sekitar sepertinya sangat diperlukan. Karena praktek pengembangan kebun kelapa sawit, pembukaan tambang, dan pemberian izin-izin HTI, yang terjadi selama ini ternyata malah menjadi faktor utama kerusakan hutan dan lingkungan. Padahal, sejak dulu masyarakat lokal sudah terbukti bisa hidup berdampingan dengan hutan serta memberikan jaminan keberlangsungan dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam untuk kehidupan generasi yang akan datang. (Herma Yulis) Ekspansi perkebunan kepala sawit kurang memperhatikan keseimbangan ekosistem. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 17 19 cana Aksi Daerah (RAD) di berbagai sektor penghasil emisi gas rumah kaca. Adapun kegiatan RAN GRK ini mencakup bidang pertanian, kehutanan-lahan gambut, energi-transportasi, industri, dan pengelolaan limbah. Bagi Indonesia pengurangan emisi GRK merupakan sebuah keharusan. Pasalnya, Indonesia memiliki kawasan hutan dan lahan gambut yang sangat besar. Sementara potensi karbon yang terdapat pada lahan gambut jauh lebih besar dibandingkan dengan karbon pada tanah mineral. Perhitungannya, semakin tebal lapisan tanah gambut, maka akan semakin besar pula cadangan karbon yang tersedia. Bahkan, perbandingannya bisa mencapai 10 kali lipat dibandingkan dengan cadangan karbon pada tanah yang bukan gambut. Besarnya potensi karbon pada lahan gambut bisa menjadi peluang sekaligus ancaman. Laporan Hooijer et al, 2010, menyatakan bahwa emisi CO2 dari lahan gambut dan alih guna lahan hutan lebih dari setengah total emisi Indonesia. Ada banyak faktor yang dapat mengubah fungsi lahan gambut dari penyerap CO2 menjadi sumber emisi CO2. Antara lain berupa penebangan pohon-pohon, pengeringan lahan gambut, pembakaran lahan gambut, dan penambahan pupuk dan amelioran. Kayu alam dari lahan gambut di Tanjung Jabung Timur yang ditebang oleh perusahaan HTI. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi RAN-GRK Sektor Gambut P residen Susilo Bambang Yudhoyono saat berpidato di depan pemimpin negara G-20 pada pertemuan di Pittsburgh, Amerika Serikat, 25 September 2009 menyatakan komitmen bahwa Indonesia akan menurunkan emisi GRK sebanyak 26% pada tahun 2020 dari tingkat emisi berdasarkan Business as Usual (BAU). Namun, jika mendapat dukungan dari internasional, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK hingga 41%. Pernyataan ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam menurunkan emisi GRK. Buktinya, menyusul pernyataan yang disampaikan presiden tersebut tak lama kemudian diterbitkan Peraturan Presiden No- mor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Peraturan ini menjadi dokumen kerja yang berisi upayaupaya untuk menurunkan emisi Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas GRK di Indonesia. Perpres ini kemudian diikuti pula dengan penerbitan Rumah Kaca (GRK) Nasional. Dan dari semua sektor terkait dalam upaya penurunan emisi tersebut, sektor kehutanan mendapatkan porsi terbesar. Dengan adanya RAN GRK, masing-masing daerah di Indonesia, mulai dari lingkup Provinsi hingga Kabupaten diharuskan melakukan aksi daerah yang disebut Ren- ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Sementara McKinsey & Company menyebutkan bahwa gambut merupakan kontributor terbesar (85 persen) terhadap total emisi Jambi bersama sektor kehutanan. Jika tidak terdapat perubahan dalam cara pengelolaan pada sektor ini, emisi GRK Jambi diperkirakan akan meningkat hingga 30 persen pada tahun 2030. Sebaliknya, jika upaya konservasi lahan gambut dilakukan, diperkirakan berkontribusi sebesar 48 persen terhadap pengurangan emisi GRK Jambi. Menyikapi peningkatan emisi GRK yang kian meresahkan, pemerintah sudah melakukan berbagai langkah strategis. Untuk level nasional, Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden menyampaikan komitmen akan mengurangi emisi GRK hingga 26 persen pada tahun 2020. Untuk merealisasikan komitmen ini kemudian diterbitkan Rencana Aksi Nasional (RAN) GRK. Pada level Provinsi, Pemprov Jambi mengimplementasikannya dengan memunculkan konsep green eco- nomy. Hal itu tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jambi (RPJMD) 2011-2015, dimana dalam pembangunan Provinsi Jambi selain fokus pada pro growth, pro job, dan pro poor, juga meletakkan pro environment sebagai fokus pembangunan dengan konsep green economy. Selain itu, untuk mendukung langkah-langkah Pemerintah Pusat dalam penurunan emisi GRK, di Jambi telah ada Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD – GRK) Provinsi Jambi. Mengutip apa yang dikatakan Muhammad Farid, sekretaris kelompok kerja negosiasi internasional dewan nasional perubahan iklim, bahwa ada beberapa kebijakan yang akan dilakukan di sektor kehutanan dan lahan gambut. Yaitu menurunkan emisi GRK dengan sekaligus meningkatkan kenyamanan lingkungan, mencegah bencana, menyerap tenaga kerja, menambah pendapatan masyarakat dan Negara, pengelolaan sistem jaringan dan tata air, serta peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi pertanian pada lahan gambut dengan emisi serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal. Agar semua kebijakan itu bisa dilakukan juga sudah disusun strategi berupa peningkatkan penanaman untuk meningkatkan penyerapan GRK, penekanan laju deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK, melakukan perbaikan tata air (jaringan) dan blokblok pembagi, menstabilkan elevasi muka air pada jaringan; optimalisiasi sumberdaya lahan dan air secara optimal tanpa melakukan deforestasi, serta penerapan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian dengan emisi GRK serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal. Selain itu, pelaksanaan strategi RAN GRK di lahan gambut juga harus memperhatikan sejumlah arahan kegiatan. Misalnya, masyarakat harus memahami kenapa gambut tidak boleh dirusak, menjaga volume air di daerah gambut, mengontrol kebakaran, tidak melakukan konversi, dan bekerjsama dengan masyarakat untuk membuat program-program prioritas. Semua arahan ini harus dilakukan agar hasil yang diharapkan sebagaimana yang ingin dicapai oleh RAN GRK bisa terealisasi. (Herma Yulis) ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012 ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 20 21 PHBM, Model Pembangunan Rendah Karbon Berbasis Masyarakat P embangunan hutan dan kehutanan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan hasil hutan yang ramah lingkungan. Karena tak bisa dipungkiri, bahwa hutan menyimpan sumberdaya alam yang beragam dalam rangka mendorong kegiatan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Kondisi itu bahkan mendorong banyak pihak melakukan tekanan sosial ekonomi terhadap keberadaan kawasan hutan. Akibatnya, kerusakan hutan dan penurunan produktifitas hutan pun tak bisa dihindari. Untuk mengatasi kerusakan dan penurunan produktifitas hutan yang melejit pesat, dibutuhkan tata kelola hutan yang memilki keberpihakan pada masyarakat. Hal itu kemudian memunculkan model pengelolaan hutan yang dikenal dengan istilah pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Skema ini merupakan pola pengelolaan kawasan hutan dengan memosisikan masyarakat setempat sebagai aktor utama. Tujuannya tak lain sebagai langkah untuk menanggulangi kemiskinan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan dengan tetap mempertahankan kelestarian kawasan. Melalui skema PHBM masyarakat diajak terlibat langsung sebagai pengelola hutan dengan batas wilayah yang sudah sangat jelas. Dengan demikian, kedekatan masyarakat dengan hutan yang terjalin sejak lama bisa tetap terjaga. Begitu pula dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di sekitar kawasan hutan akan tetap langgeng seiring dengan adanya pemeliharaan hutan secara lestari. Yang tak kalah penting, melalui kegiatan PHBM masyarakat diberi pemahaman mendasar bahwa hutan sebenarnya lebih dari hanya sekedar tegakan pohon, namun hutan memilki peranan penting sebagai penyeimbang dalam kehidupan. Karena mulai dari kebutuhan bahan-bahan pangan, sandang, papan, dan aneka jenis obat-obatan banyak diperoleh dari dalam hutan. Di samping itu, ia juga berperan sebagai penahan bencana ekologis dan penyedia air untuk keberlangsungan hidup semua makhluk. Skema PHBM berbeda dengan praktek pengelolaan hutan secara sentralistik seperti yang terjadi selama ini. Dimana pengelolaan hutan secara sentralistik malah menyebabkan kerusakan hutan yang amat parah. Selain itu hasil eksploitasi hutan secara besar-besaran selama puluhan tahun hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja. Sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton yang tak berani bersuara. lagi-lagi keinginan ini butuh kesadaran dan komitmen dari semua pihak terkait. Tanpa adanya sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan pihak terkait lainnya, harapan untuk menyelamatkan hutan bakal menjadi mimpi yang sulit terwujud. PHBM di Lahan Gambut Kerusakan hutan dan lingkungan akibat pembangunan di masa lalu dalam beberapa tahun terakhir diatasi dengan memunculkan konsep pertumbuhan ekonomi yang sengaja dirancang untuk menurunkan emisi karbon yang dikenal dengan ekonomi rendah karbon. Karena sebagai salah satu negara berkembang yang diprediksi menjadi sepuluh ekonomi terbesar dunia pada 2025, maka tak bisa dihindari bahwa emisi karbon juga akan mengalami peningkatan drastis. Terutama dari sektor pertanian di kawasan hutan dan lahan gambut, transportasi, serta pembangkit energi. Selain itu, kasus illegal logging dan pembalakan liar juga marak dilakukan masyarakat karena mereka melihat adanya celah untuk mengeruk keuntungan besar seiring tingginya permintaan kayu untuk pabrik kertas. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang isu penyelamatan lingkungan membuat pembalakan liar tumbuh subur. Para pembalak tak menyadari bahwa kegiatan itu merupakan ancaman serius bagi kehidupan generasi di masa yang akan datang. Meski hal itu telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, namun pemerintah seperti tak punya kemampuan untuk mengatasi secara tuntas persoalan tersebut. Inilah sejumlah benang kusut pengelolaan hutan yang perlu diurai hingga tuntas. Apabila pemerintah dan pihak terkait lainnya tidak menempuh langkah tepat untuk menyelamatkan hutan, maka ancaman kerusakan yang terjadi akan semakin parah. Upaya menghentikan pesatnya laju degradasi dan deforestasi hutan memang membutuhkan keseriusan, mengingat ia telah berlangsung selama bertahun-tahun. Dibutuhkan tenaga ekstra dan kemauan keras dari semua pihak. Namun demikian, semua kemungkinan itu tidak akan bisa terwujud jika pemerintah dan masyarakat tidak memiliki kepedulian dan kesadaran terhadap upaya penyelamatan lingkungan. Di samping menuntut keseriusan pemerintah, pemeliharaan hutan juga membutuhkan kesadaran masyarakat agar bahu membahu melakukan pengelolaan hutan dengan bijak agar ia tetap lestari dan berguna untuk kehidupan. Dua unsur ini ibarat dua kepingan mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Pemerintah tak bisa berbuat banyak tanpa masyarakat, begitu pula sebaliknya, masyarakat juga ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Pengukuran kandungan karbon lahan gambut. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi bukan apa-apa tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Baik dukungan yang diberikan pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah. Apalagi selama ini angka kerusakan hutan yang terjadi di Pulau Sumatera masih terbilang sangat tinggi. Bahkan pada tahun 2003, luas tutupan hutan di Sumatera hanya tersisa sekitar 15 juta hektar. Kondisi itu tentu membuat kita tersentak, ternyata laju kerusakan hutan di Pulau Sumatera sudah begitu parah. Hal ini menyadarkan kita bahwa menyelamatkan kawasan hutan yang masih tersisa sangat mendesak dilakukan. Akan tetapi, Untuk itu, perbaikan tata kelola kehutanan memegang peran penting dalam upaya pengurangan emisi. Perlu juga diketahui bahwa sumber emisi karbon terbesar di Indonesia berasal dari kebakaran hutan dan lahan, deforestasi hutan, konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian, permukiman, serta berbagai kegiatan pembagunan lainnya. Menurut Agus Purnomo (2011), keberhasilan pemenuhan komitmen penurunan emisi sebesar 26 persen pada tahun 2020 bergantung pada kesuksesan upaya penegakan hukum untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, melindungi hutan dari pembalakan liar, menyelesaikan konflik penguasaan lahan hutan, dan menyelamatkan lahan gambut yang tersisa. Agar keinginan ini bisa terwujud, maka pengelolaan hutan berbasis masyarakat barangkali bisa menjadi salah satu model pembangunan rendah karbon berbasis masyarakat dalam rangka mengurangi emisi GRK. Karena dengan skema ini, selain lingkungan akan terjaga dengan baik, masyarakat juga akan memperoleh manfaat langsung dari aktvitas tersebut. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 22 23 Provinsi Jambi termasuk salah satu daerah yang sangat potensi menerapkan pembangunan ekonomi rendah karbon. Terutama di lokasi yang memiliki potensi lahan gambut cukup besar sebagai penyimpan stok karbon (carbon stock) seperti di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Bahkan, separuh lebih lahan gambut yang ada di Provinsi Jambi berada di kabupaten Tanjung Jabung Timur. Besarnya potensi lahan gambut di Kabupaten Tanjabtim semakin membuka peluang pengembangan PHBM sebagai model pembangunan rendah karbon berbasis masyarakat. Terkait hal itu, KKI Warsi bekerjasama dengan Pemkab setempat sudah melakukan pengusulan hutan desa untuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Jumlahnya pun cukup besar, yaitu mencapai seluas 19.000 hektar. Adapun rinciannya, hutan desa yang sudah diusulkan berada di Desa Sinar Wajo Kecamatan Mendahara Ulu seluas 5.000 hektar dan Kota Kandis Dendang Kecamatan Dendang seluas 6.000 hektar. Sementara hutan desa Sungai Beras Kecamatan Mendahara Ulu seluas 2.400 hektar masih dalam proses persiapan tata batas. Kemudian hutan desa Pematang Rahim, Kecamatan Mendahara Ulu seluas 2.600 hektar dan hutan desa Kelurahan Teluk Dawan, Kecamatan Muara Sabak Barat seluas 800 hektar saat ini masih dalam proses persiapan administrasi usulan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat berupa pengusulan hutan desa yang digulirkan Warsi ini dilakukan secara bertahap dengan beberapa bentuk kegiatan. Antara lain, pendokumentasian kearifan lokal, musyawarah di berbagai level, hingga pengusulan legalitas dan pengakuan kawasan ke pihak yang berwenang. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengelolaan kawasan sehingga memberikan nilai lebih untuk mendukung kehidupan masyarakat di sekitarnya. Karena sebelum bisa menjadi hutan desa, ada beberapa proses penting yang diperlukan. Yaitu adanya komitmen masyarakat untuk menjaga, melestarikan, mengelola secara arif kawasan hutan yang dimiliki yang akan didorong untuk dikelola melalui skema pemberdayaan masyarakat dalam bentuk Hutan Desa/ Nagari dan HKM; kesepakatan terhadap mekanisme pengelolaan hutan nagari mengacu pada sejarah adat dan bentuk pengelolaan yang sudah ada serta sudah dipraktekkan; kesepakatan mengenai aturan main yang akan dipakai dalam pengelolaan Hutan Desa/Nagari dan HKM mengacu pada aturan adat yang sudah ada; kesepa-katan tentang lokasi (batas) areal hutan yang disebut sebagai Hutan Desa/Nagari dan HKM; dan kesepakatan untuk membentuk kelembagaan sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masyarakat dimasing-masing Desa/Nagari. Manajemen Lahan Gambut Dengan Konsep Pembangunan Rendah Karbon Dalam pengembangan konsep PHBM, penguasaan lahan, distribusi, pemanfaatan dan pengusahaannya tidak terlepas dari adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Sementara proses kontrol dilakukan oleh pranata sosial dan budaya lokal. Dengan kata lain, pengembangan PHBM bukan untuk tujuan ekonomi semata, karena sistem ini secara tegas menekan bahwa aktor utamanya adalah rakyat yang berada pada komunitaskomunitas lokal. embangunan Indonesia ke depan harus sejalan dengan konsep pembangunan rendah karbon. Konsep pembangunan seperti ini sangat diperlukan dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang sudah sangat mengkhawatirkan. Hal itu bisa dilakukan dengan memperbaiki tata kelola kehutanan yang sangat berperan dalam upaya mengurangi emisi karbon. Seluruh aktifitas dalam pelaksanaan program PHBM menggunakan pendekatan dengan proses dan dinamika yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan pola pendekatan seperti itu, hasil yang didapat diharapkan tidak tertuju pada pencapaian fasilitas atau pelayanan tertentu saja, namun adanya suatu proses yang melibatkan seluruh warga desa dalam tindakan dan pengambilan keputusan. Karena itu juga akan memotivasi, serta memberikan rasa tanggungjawab dan ketrampilan kepada masyarakat desa dalam partisipasinya mendukung skema PHBM dalam rangka melakukan pembangunan ekonomi yang rendah karbon. Karena upaya pengurangan emisi karbon mengharuskan negara melarang penebangan hutan. Padahal, hutan Indonesia kemungkinan akan terus menjadi sasaran konversi. Adapun beberapa penyebabnya adalah pemekaran wilayah, kebutuhan pemukiman, dan peningkatan infrastruktur. Menurut Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan R Iman Santoso yang dipublikasikan di Jurnal Nasional, 23 Agustus 2011, pembangunan ekonomi rendah karbon melalui pengurangan emisi dapat dilakukan dengan empat cara. Di antaranya mengendalikan deforestasti dan degradasi, konservasi stok karbon yang ada di hutan, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan daya serap karbon. (Herma Yulis) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 P Selama ini kebakaran hutan, perusakan hutan, dan konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian atau permukiman, masih menjadi sumber emisi karbon terbesar di Indonesia. Sehingga keberhasilan pemerintah memenuhi komitmen penurunan emisi sebesar 26 persen pada 2020, bergantung pada kesuksesan mencegah pembakaran hutan dan lahan, menyelesaikan konflik penguasaan hutan, serta upaya penyelamatan lahan gambut yang masih tersisa. Di Provinsi Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim) termasuk daerah yang sangat potensial menerapkan pembangunan rendah karbon. Karena secara administratif Kabupaten Tanjabtim memiliki luas daratan sekitar 5.445 km2, luas perairan 4.061,7 km2, dengan panjang pantai 191 km atau 90,5% dari panjang pantai Provinsi Jambi. Dari luasan daratan tersebut, sekitar 65 % merupakan tanah gambut. Jumlah ini hampir setengah dari luasan total lahan gambut yang ada di Provinsi Jambi. Adapun luas lahan gambut di Provinsi Jambi sekitar 6.763 km2. Melihat tingginya potensi gambut di daerah ini, pemerintah daerah setempat dituntut memiliki keseriusan menerapkan manajeman lahan gambut dengan konsep pembangunan rendah karbon. Sebab, keberadaan lahan gambut bisa menjadi sebuah hambatan serius, karena ia sangat mudah terbakar dan menimbulkan emisi karbondioksida. Di sisi lain, keberadaan lahan gambut juga memberikan keuntungan karena ia bisa menyimpan karbon yang sangat besar. Hal itu terungkap dalam workshop bertema ‘peran strategis Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam implementasi pembangunan rendah karbon di Provinsi Jambi’, yang diadakan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi bekerjasama dengan Pemkab Tanjabtim, Kamis, 7 Februari 2012 lalu. Direktur Eksekutif KKI Warsi Rakhmat Hidayat mengatakan, selain memiliki kawasan gambut terluas di Provinsi Jambi, Kabupaten Tanjabtim juga memiliki potensi kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sehingga potensi pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat disini juga masih sangat besar. Namun, untuk menjaga lingkungan harus ada komitmen dari pemerintah daerah maupun provinsi. Jika sudah ada keseriusan dari para stakeholders tersebut, maka harapan mengimplementasikan pembangunan rendah karbon akan bisa dilakukan. HTI di lahan gambut, butuh solusi untuk menyelamatkan kawasan gambut di timur Provinsi Jambi. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 GIS SPOT 24 hingga workshop ini sangat penting. Dan harapan saya nanti ada langkah riil di lapangan dalam rangka menghadapi isu perubahan iklim ini,” kata bupati. “Dengan adanya dukungan pembangunan dan dukungan kebijakan nanti akan membantu pemkab Tanjabtim melakukan pembangunan rendah karbon,” katanya. Koordinator Project KKI Warsi Nelly Akbar mengatakan, implementasi pembangunan rendah karbon merupakan sebuah keharusan dalam upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Di level nasional, Pemerintah Republik Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK hingga 26 persen pada tahun 2020. Sehingga kemudian muncul Rencana Aksi Nasional (RAN) GRK, yang dilakukan oleh lima sektor utama yaitu kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, dan limbah. Guna mendukung langkah-langkah Pemerintah Pusat dalam penurunan emisi GRK, Jambi mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD–GRK) Provinsi Jambi. Sebagai kabupaten yang memiliki potensi gambut terbesar di Provinsi Jambi, Kabupaten Tanjabtim memiliki peranan penting dan strategis dalam upaya penurunan emisi GRK tersebut. “Berdasarkan pertimbangan itu, Warsi berinisiatif menggelar workshop membahas konsep pembangunan rendah karbon yang dihubungkan dengan upaya penurunan emisi GRK di Kabupaten Tanjabtim,” ungkapnya. Dalam sambutannya Bupati Tanjabtim Zumi Zola Zulkifli menyatakan, pihaknya sangat mendukung pelaksanaan workshop tentang konsep pembangunan rendah karbon di Kabupaten Tanjabtim. Sebab, isu pemanasan global akibat kerusakan lingkungan belakangan ini sudah menjadi isu dunia yang sangat mengkhawatirkan. Untuk itu, Tanjabtim akan berperan aktif dalam mengatasi persoalan tersebut. Apalagi Tanjabtim merupakan kawasan yang memiliki tanah gambut terbesar di Provinsi Jambi. “Kabupaten Tanjabtim memiliki potensi dan peran besar dalam menurunkan CO2 di Provinsi Jambi. Se- Dia menambahkan, untuk target penurunan emisi GRK di Tanjabtim, pihaknya akan menyesuaikan dengan target nasional dan target provinsi Jambi. Adapun langkah yang akan ditempuh adalah mempertahankan kawasan lindung dan kawasan hutan sebesar 45,5 persen dari luas wilayah, tidak mengeluarkan perizinan di kawasan lindung dan kawasan hutan, serta mengimbau masyarakat agar tidak mengalihfungsikan lahan pangan di daerah pasang surut menjadi lahan perkebunan. Dalam mengimplementasikan pembangunan rendah karbon, semua pihak perlu memahami bahwa konsep pengembangan lahan pertanian rendah emisi karbon juga perlu menjadi perhatian. Yaitu dengan memprioritaskan pengembangan lahan pertanian pada lahan mineral; melestarikan hutan gambut alami dan hutan primer; merehabilitasi lahan gambut terlantar menjadi areal konservasi, lahan pertanian atau HTI; memilih jenis tanaman yang toleran terhadap permukaan air tanah dangkal; dan melakukan perbaiki pengelolaan lahan pertanian eksisting di lahan gambut. Beberapa Peraturan dan Undang-undang mengenai pengelolaan lahan gambut tertuang dalam; Inpres Nomor 32/1990: Lahan gambut dengan kedalaman >3 m diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung, Kebijakan Deptan (1997): Pedum Pemanfaatan Lahan Gambut, Aspek Kedalaman & Komoditas, Permentan Nomor14/2009: Pedum Pengelolaan LG Untuk Perkebunan Kelapa Sawit, dan Perpres Nomor10/2011: “Jeda/Moratorium” Pembukaan Hutan Alam (Primer) dan Lahan Gambut. Dengan adanya beberapa peraturan dan undang-undang yang mengatur kebijakan pengelolaan lahan gambut tersebut akan semakin memperkuat upaya penerapan pembangunan rendah karbon di kawasan gambut seperti yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Karena semua kegiatan yang akan dilakukan memiliki legalitas hukum yang jelas. Sehingga upaya pembangunan rendah karbon yang dilakukan di daeerah ini diharapkan bisa membawa manfaat untuk penyelamatan lingkungan dan kehidupan. (Herma Yulis) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 GOOGLE EARTH (1) Aplikasi GIS Sederhana Bagi Orang Awam A nda pernah menonton film Enemy of The State, film yang diproduksi tahun 1998 ini dibintangi oleh Will Smith. Pada film ini di gambarkan teknologi Sistem Infomasi Geografi yang sangat canggih. Seluruh data terkoneksi dan dapat diakses dengan mudah. Ketika penulis pertama melihat film ini sangat terkagumkagum dengan hal itu, dan pada saat itu sangat sulit untuk membayangkan cara membuatnya serta dapat diakses dengan mudah oleh orang awam. Namun mimpi tahun 1998 itu sekarang sudah terwujud. Alat yang dapat membantu itu bernama Google Earth. Google Earth merupakan aplikasi dunia virtual yang dahulunya dinamai dengan Earth Viewer. Keyhole Inc sejak tahun 2001 telah menggagas ide tersebut, lalu tahun 2005 pihak Google mengakuisisinya. Lalu sebenarnya apa kegunaan dari aplikasi Google Earth ini ???. Banyak sekali manfaat yang bisa diambil dari aplikasi ini, misalnya kita akan bepergian ke suatu tempat yang belum pernah kita kunjungi. Maka aplikasi ini dapat dengan mudah membantu kita. Cukup mengetikkan lokasi yang ingin kita tuju, maka dengan cepat tempat itu tampil lengkap dengan foto-foto dan alternatif jalan yang dapat kita tempuh untuk menuju lokasi tersebut. Sebagai contoh kita coba mencari rute dari Bandara Sultan Thaha menuju Kantor Gubernur Jambi. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan. Dengan cara menekan link Get direction. Kemudian isikan Bandara Sultan Thaha di tempat awal dan isikan Kantor Gubernur Jambi di tempat tujuan. Maka Google Earth akan menampilkan Lokasi antara Bandara Sultan thaha dan Kantor Gubernur Jambi. Dari Google Earth kita mendapatkan informasi Jarak yang ditempuh adalah 11,6 Km atau sekitar 27 menit perjalanan. Selain jarak dan waktu tempuh juga terdapat informasi rute lengkap dengan petunjuk arah (belok kanan-kiri) beserta nama jalan yang kita lalui untuk menuju Kantor Gubernur Jambi. Untuk melihat secara detail lokasi yang kita tuju. Kita zoom tampilan Google Earth Menuju Kantor Gubernur Jambi. Maka akan terlihat secara detail Kantor Gubernur Jambi lengkap dengan tampilan Citra Satelit, jalan – jalan sekitar serta foto- foto Kantor Gubernur Jambi. Dengan memanfaatkan salah satu tool dari google earth ini maka dapat dengan mudah kita mengetahui lokasi yang akan kita tuju walaupun kita baru pertama kali pergi ketempat tersebut. (Sofyan Agus Salim) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 25 26 DARI HULU KE HILIR DARI HULU KE HILIR Menuju Kantor Ramah Lingkungan K antor, tentu saja identik dengan keteraturan dan kerapian. Tapi ini belum tentu satu paket dengan kenyamanan dan kesejukan. Kenyamanan suasana kantor sangat diperlukan karena ia akan menjadi rumah kedua, setelah hampir enam jam kita berutinitas di sana. Dan tentu saja setiap tindakan dan kebiasaan yang kita lakukan, dapat mengakibatkan kantor menjadi tidak nyaman lagi ditempati. Ruangan yang panas, sesak, gersang tak memungkinkan kita bisa memberikan kinerja yang baik. Padahal, untuk menciptakan kantor yang ramah lingkungan tidak berarti harus merogoh kocek yang banyak. Yang diperlukan adalah kreatifitas dan kemauan mengubah kebiasaan untuk lebih ramah lingkungan. Konsep kantor ramah lingkungan seperti yang diusung KKI Warsi barangkali bisa menjadi inspirasi. mengumpulkan daun-daun kering dari beberapa pohon yang ada di kantor, lalu membakar sampah-sampah tersebut. Namun sekarang sampah itu bisa dimasukkannya langsung dalam bak pengolahan dan ajaibnya akan keluar cairan pupuk dari pengolahan sampah itu. Siapapun akan merasakan suasana yang sejuk dan rindang, sejak pertama kali menginjakkan kaki di kantor KKI Warsi. Beralamat di JL. R. Inu Kertapati No 12 RT 10, Komp. DPRD, Kel. Pematang Sulur, Kecamatan, Telanaipura, Jambi. Sedikit jauh dari perkantoran lainnya. Ya, memang kantor ini didirikan di komplek perumahan. Namun jangan bayangkan kantor ini dibangun dengan luasan minimalis. Mata anda akan dimanjakan dengan pekarangan rumput yang cukup luas dengan pohon berderet yang menjadi pengganti pagar. Suasana itu menghilangkan kesan perumahan pada kantor KKI Warsi. Yang uniknya lagi, kantor ini dipisahkan menjadi dua bagian. Ada bangunan khas rumah meranjat berada di bagian depan, sementara di sisi belakang terdapat gedung tiga lantai. Bangunan dasar rumah meranjat dan gedung tiga lantai itu berdiri di lahan seluas 1000 meter persegi. Sebenarnya sampah dapat kita bedakan menjadi dua kelompok. Yaitu sampah organik dan non organik. Sampah organik, tergolong sampah yang gampang busuk. Contohnya adalah sampah sisa makanan, dedaunan dan masih banyak lagi. Sampah jenis ini sebenarnya masih bisa kita manfaatkan lagi. Bangunan tersebut dikelilingi ratusan lubang biopori dan pohon-pohon di sekeliling pekarangan. Tidak hanya itu, di pekarangan juga berdiri kokoh solar cell dan mesin pengolahan limbah sampah. Di sepanjang sudut ruangan dan pekarangan juga tersedia kotak sampah dua bagian yang bertuliskan sampah organik dan non organik. Kondisi kantor juga cukup terang, apalagi dengan deretan jendela kayu di ruangan meranjat yang berfungsi sebagai pengurangan lampu dan tidak perlu lagi menggunakan air conditioner (AC). Yuk, Mengolah Sampah Organik Sugiyem, perempuan setengah baya yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bersih-bersih di kantor KKI Warsi sekarang setiap paginya membuang sampah basah ke dalam sebuah bak pengolahan sampah yang terdapat di sekitar pekarangan kantor. Biasanya dia Tidak hanya daun-daun kering, Sugiyem juga memasukkan sampah-sampah organik yang sudah dipisahkan dengan sampah non organik. Dengan mesin pengolah sampah ini sampah-sampah tersebut bisa diolah menjadi pupuk cair. Sugiyem cukup menambahkan satu ember sampah organik ke dalam bak pengolahan ditambah dengan air secukupnya. Dengan cara itu ia akan mendapatkan setidaknya satu liter pupuk cair untuk tanaman yang ada di pekarangan kantor. Sampah organik pun terbagi dari sampah organik basah dan sampah organik kering. Yang dimaksud dengan sampah organik basah yaitu sampah yang mempunyai kadar kandungan air di dalamnya seperti sisa buah dan sayuran. Lalu apa yang dimaksud dengan sampah organik kering? Tentu saja terbalik dengan pengertian sampah organik basah di atas. Sampah ini tidak mempunyai kandungan air yang besar. Contohnya adalah sampah yang berasal dari dedaunan kering dan lain sebagainya. Sedangkan sampah non organik termasuk jenis sampah yang memerlukan waktu yang cukup lama dalam penguraiannnya. Sampah non organik kebanyakan berasal dari sumber daya alam, contohnya seperti plastik dan aluminium. Sampah non organik yang telihat nyata dalam rumah tangga bisa berupa botol plastik, tas plastik, kaleng dan lain sebagainya. Dan banyak sekali dampak negatif bagi alam yang disebabkan oleh sampah non organik ini, diantaranya menurunkan kualitas lingkungan dan juga menurunkan estetika lingkungan. Sampah yang berserakan dan bau akan menjadikan lingkungan tidak nyaman untuk ditempati. Pembuatan biopori di halaman kantor KKI Warsi. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi peneliti dan dosen di Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Lubang Resapan Biopori berupa sebuah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah. Lubang ini akan memicu munculnya biopori secara alami di dalam tanah. jir akibat meluapnya air hujan. Selain itu, teknologi ini juga mampu meningkatkan jumlah cadangan air bersih dalam tanah. (sumber: http://alamendah.wordpress. com/2009/10/14). Biopori sendiri adalah istilah untuk lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktifitas organisme yang terjadi di dalam tanah seperti oleh cacing, rayap, semut, dan perakaran tanaman. Biopori yang terbentuk akan terisi udara dan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah. Tahukah Anda, bahwa penggunaan listrik sangat berpengaruh pada penghematan energi bahan bakar minyak. Saat ini terdapat sekitar 23 persen dari total pembangkit listrik Indonesia yang menggunakan bahan bakar minyak. Lebih parahnya lagi pembangkit listrik berbahan bakar minyak ini menyedot 60 persen dari total bahan bakar yang diperlukan. Dan ini berarti juga semakin tinggi emisi karbon yang dihasilkan, lho! Biopori, Solusi Penangkal Banjir Prinsip kerja lubang peresapan biopori sangat sederhana. Lubang yang kita buat, kemudian diberi sampah organik yang akan memicu biota tanah seperti cacing dan semut dan akar tanaman untuk membuat ronggarongga di dalam tanah yang disebut biopori. Ronggarongga (biopori) ini menjadi saluran air untuk meresap kedalam tanah. Lubang resapan biopori atau biasa disebut “lubang biopori” merupakan metode alternatif untuk meningkatkan daya resap air hujan ke dalam tanah. Metode ini pertama kali dicetuskan oleh Dr. Kamir R. Brata, seorang Lubang resapan biopori adalah teknologi sederhana yang tepat guna dan ramah lingkungan. Lubang biopori ini mampu meningkatkan daya resap air hujan ke dalam tanah sehingga mampu mengurangi resiko ban- ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Hemat Energi Ala Solar Cell Sebagai upaya untuk menghemat energi, KKI Warsi sudah mulai menggalakkan penggunaan solar cell atau pembangkit listrik tenaga matahari. Salah satu upaya yang sedang dilakukan, yaitu terdapatnya satu instalasi solar panel telah dipasang di halaman kantor. Penggunaan solar cell ini sejak setahun yang lalu. Solar cell merupakan salah satu energi masa depan yang berkelanjutan. Bagaimana tidak, sumber energi ini memanfaatkan sinar matahari yang bisa didapatkan ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 27 DARI HULU KE HILIR 28 secara gratis. Solar panel adalah alat yang merubah sinar matahari menjadi listrik melalui proses aliran-aliran elektron negatif dan positif di dalam cell modul tersebut, karena perbedaan elektron. Hasil dari aliran elektronelektron akan menjadi listrik DC yang dapat langsung dimanfaatkan untuk mengisi battere/aki sesuai tegangan dan ampere yang diperlukan. seminar juga lebih efektif dan hemat jika menggunakan email. Bahkan untuk berbagi informasi, sudah digiatkan penggunaan milis-milis bersama. Ini memudahkan setiap individu di kantor untuk saling berbagi informasi yang kerahasiaannya tetap bisa terjaga untuk para anggota saja. yang tidak terlalu penting dan tidak butuh bukti fisik berupa print surat, cukup gunakan email. Mari Diet Kertas! Belum lagi untuk dokumen atau laporan bulanan tidak harus selalu dicetak, cukup dalam bentuk digital dan disimpan secara sitematis di komputer anda. Pengiriman laporan juga cukup via email saja. Jika memang anda benar-benar membutuhkan untuk me-ngeprint dokumen tersebut, maka anda bisa mencetak dokumen tersebut. Tidak semua dokumen perlu dicetak bukan? Cukup simpan saja file-nya di computer anda dan pastikan anda punya backupnya di tempat lain, misalnya di flash disc, disc atau external hard disc untuk jaga-jaga jika file di computer utama anda error. Dengan lebih sedikit penggunaan kertas, kantor akan lebih rapi dan keruwetan juga bisa ditekan. Ruang untuk penyimpanan kertas bisa digunakan untuk tujuan lain yang lebih produktif. Dengan berbagi secara digital, dokumen dan file bisa diakses oleh siapa saja yang diperbolehkan, tanpa mengenal waktu dan tempat. Setiap hari kita pasti menggunakan atau paling tidak berhubungan dengan kertas. Mungkin saja kita berniat memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian bumi. Namun, mengapa harus bersusah payah menekan penggunaan kertas? Itu menjadi pertanyaan yang terkadang terlintas saat kita harus melakukan aksi pengurangan penggunaan kertas. Perlu diketahui penggunaan kertas secara berlebihan akan membebani lingkungan karena berarti akan ada banyak pohon yang harus ditebang. Pertanyaan ini seringkali muncul, jika Anda bertekad untuk memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian bumi ini.Mengapa harus bersusah payah menekan penggunaan kertas? Betul bahwa kertas dengan mudah didapatkan sekarang. Tetapi menggunakan kertas secara berlebihan akan mempercepat laju deforestasi hutan, karena berarti akan ada lebih banyak pohon yang harus ditebang. Setiap 15 rim kertas ukuran A4 itu akan menebang 1 pohon. Setiap 7000 eks lempar koran yang kita baca setiap hari itu akan menghabiskan 10-17 pohon hutan. Dalam satu hari ada berapa jutaan lembar kertas yang dipakai oleh orang Indonesia, dan ini artinya ada jutaan pohon hutan yang ditebang untuk memenuhi kebutuhan itu. Dengan menghemat penggunaan kertas, karena kertas itu bahannya adalah dari kayu hutan. Sekitar 70% bahan kertas adalah menggunakan kayu dari hutan. Di kantor KKI Warsi gerakan penghematan kertas dilakukan dengan pemanfaatan kertas bekas untuk buku catatan atau memo, serta pengoptimalan penggunaan kertas secara dua sisi untuk print. Selain itu untuk penyimpanan file dan sistem backup bisa memanfaatkan mesin scanner. Di sini sudah digunakan untuk penyimpanan data backup yang diakses dalam bentuk digital. Untuk surat menyurat, biasanya staff kantor, cukup dengan menggunakan email. Undangan diskusi atau Selain beberapa gerakan di atas, kita harus terus mengembangkan tindakan-tindakan kecil yang bisa kita lakukan. Di antaranya, dengan mematikan peralatan listrik seperti lampu, televisi, komputer jika tidak digunakan. Jika setiap orang di masing-masing rumah melakukan hal yang serupa, bisa kita bayangkan sudah berapa besar kita menghemat energi listrik. Sebenarnya masih begitu banyak hal-hal teknis yang dapat kita lakukan untuk menghemat penggunaan listrik seperti atur AC sesuai kebutuhan. Yang paling penting adalah, segera bersikap ramah lakukan. Jangan berhenti hanya sekedar niat baik. Demikianlah langkah kecil yang sudah dikembangkan KKI Warsi, yang dekat dengan keseharian kita guna menghemat energi dan menyelamatkan bumi dari ketuaannya. Dan ketiga hal tersebut hanya bisa terjadi jika didukung dengan kesadaran diri. Sebagaimana dikatakan AA Gym, bahwa kiat mengubah bangsa dapat dimulai dari diri sendiri, dari yang paling kecil, dan dimulai dari saat ini. So, what are we waiting for? (Elviza Diana/ berbagai sumber) DARI HULU KE HILIR Pembangunan instalasi biogas di Napal Melintang Sarolangun. Foto Yusrita/Dok KKI Warsi Mengembangkan Energi Alternatif dari Desa ke Desa A bdul Mugis, berasal dari Kampung Mengkuang Kecil, Dusun Laman Panjang Kecamatan Batin Tiga Ulu, Kabupaten Bungo. Sudah tiga hari, Mugis mengikuti praktek lapangan instalasi biogas dalam upaya pengembangan energi terbarukan berbasis potensi lokal yang dilakukan KKI Warsi. Mengenakan celana dasar berwarna hitam dan baju kaos biru, dia tampak mencolok di antara peserta lainnya. Mugis juga antusias mengajukan berbagai pertanyaan. Sepertinya dia masih penasaran dengan materi-materi instalasi biogas yang dijelaskan. Padahal, sehari sebelumnya praktek serupa sudah diberikan di rumahnya, namun dia terus berusaha menggali informasi lebih banyak lagi terkait instalasi biogas tersebut. Ketertarikannya terhadap biogas bermula pada kerepotannya menyediakan kayu bakar untuk memasak. Setiap minggu, keluarganya membutuhkan paling sedikit 4 ambung kayu bakar (1 ambung berisi 30 kilo gram). Ini berarti ia menghabiskan sekitar 120 kilo gram kayu bakar dalam sebulan. Namun belakangan ini mencari kayu bakar semakin sulit. Kesulitan bapak tiga putri ini mencari kayu bakar seringkali memicu cekcok dengan istrinya. Bayangkan saja, untuk mendapatkan kayu bakar itu, dia harus berjalan 20 kilo meter dari rumahnya. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Jika harus membeli, satu ambung ia harus mengeluarkan uang seharga Rp 15.000 hingga Rp 20.000. Selain menggunakan kayu, Mugis juga pernah menggunakan minyak tanah dan gas. Namun lagi-lagi, dia harus merogoh kocek yang lebih besar. Jika menggunakan gas, dia minimal harus membeli dua tabung gas ukuran tiga kilo gram setiap bulan. Jika memilih menggunakan minyak tanah bahkan akan memakan biasa yang lebih besar. Dalam satu bulan Mugis harus merogoh isi kocek hingga Rp 600.000 untuk 60 liter minyak tanah. Menyulap Kotoran Sapi Kondisi ini menginspirasi Mugis belajar dari pengalaman Muhammad Razi (41), salah seorang warga di dusun tetangganya, Dusun Senamat Ulu. Razi adalah salah seorang pionir penggunaan instalasi biogas sederhana dari kotoran sapi. Sejak enam bulan lalu Razi sudah menggunakan biogas untuk keperluan memasak. Meski tidak memiliki sapi dan kerbau, tak menyurutkan keinginannnya untuk membuat biogas. Karena kotoran ternak sangat mudah didapat di Senamat Ulu. Sistem perternakan di daerah ini masih dengan sistem peternakan lepas. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 29 DARI HULU KE HILIR 30 Alhasil, kotoran hewan berceceran dimana-mana. Setiap sore ayah dua orang anak ini cukup membawa sebuah sekop dan bekas ember cat berkeliling desa untuk mengambil kotoran-kotoran hewan mamalia itu. Pada awalnya banyak sindiran dan cibiran dari para tetangga, namun ini sebanding dengan manfaat yang ia dapat. Selain gas untuk memasak, sisa kotoran yang sudah diambil gasnya (slurry) dapat dijadikan pupuk organik untuk kebun sayuran dan karet. “Dengan pupuk organik tersebut, terlihat perbedaan antara sayur-sayuran yang diberikan dan yang tidak. Tanaman dengan pupuk organik terlihat lebih subur,” ujarnya ketika meninjau kebun sayur miliknya. Teknik pengembangan biogas ini sudah ada sejak tahun 1970, tapi mulai berkembang di awal 2006. Namun selama ini instalasi biogas masih berupa denplot-denplot pemerintah. Hamdani Alwi, Specialist Kelembagaan KKI Warsi telah berupaya mengembangkan biogas ini sejak tahun 2005, namun dengan tipe dan volume yang berbeda. Kontruksi digester biogas yang ia kembangkan pada awalnya terbuat dari semen dengan volume berskala besar. Kepraktisan, merupakan satu-satunya kata kunci, yang membuat alumni Universitas Syiah Kuala ini berpikir memodifikasi pembuatan biogas menjadi mudah, murah dan mampu dilakukan masyarakat di pedesaan dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Setidaknya ia telah membuat lebih dari 100 buah instalasi biogas dengan tipe dan volume yang berbedabeda. Menurut Hamdani, masyarakat memang harus diberi pemahamam lebih banyak terkait biogas. Apalagi biogas bukan hanya sekedar energi alternatif tapi limbahnya dapat dijadikan pupuk. Kotoran ternak yang dibutuhkan juga tidak teralu besar. Dengan menyediakan kotoran ternak sebanyak 20 kilo gram untuk satu keluarga yang dibiarkan sampai 15-21 hari sudah bisa menghasilkan gas. Untuk pemakaian selanjutnya, hanya perlu menambahkan kotoran dengan penambahan air setengah hingga satu ember perhari. tiga Kabupaten di Provinsi Jambi. Praktek lapang ini berlangsung di lima desa di Kecamatan Bathin Tiga Ulu Kabupaten Muaro Bungo, satu desa di Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun, dan satu desa di Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari. Praktek lapang ini dilaksanakan dengan mengandalkan potensi lokal yang tersedia. Emmy Primadona, selaku koordinator kegiatan menyebutkan, kegiatan ini diharapkan bisa menambah pengetahuan masyarakat dalam memahami pemanfaatan energi alternatif yang ramah lingkungan sekaligus upaya strategis mitigasi perubahan iklim. “Biogas menjadi sebuah solusi dari kesulitan energi masyarakat, serta sebagai pemacu masyarakat untuk lebih memperhatikan lingkungan. Karena selama ini, kotoran sapi dan kerbau menyebabkan polusi udara, dan menimbulkan berbagai penyakit yang disebarkan lalat karena kotoran yang berserak. Dengan adanya pelatihan pembuatan instalasi biogas yang mudah, murah dan mampu dikerjakan masyarakat, kita berharap ada perubahan paradigma di tingkat masyarakat, khususnya pemilik ternak untuk mengandangkan hewan peliharaan mereka,” jelasnya. Ia menambahkan, berdasarkan laporan FAO 2006 bahwa sektor peternakan merupakan penghasil emisi gas rumah kaca yang besarnya kurang lebih 18 persen. Kotoran ternak merupakan penghasil gas metana (CH4) yang sama bahayanya dengan karbon dioksida. Molekul panas yang dihasilkan oleh gas metana menyebabkan berlubangnya lapisan ozon dan berkontribusi pada pemanasan global. Kegiatan praktek lapang ini juga dalam rangka mengajak peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya mitigasi perubahan iklim baik. Sebab dengan adanya stasiun biogas di rumah masyarakat akan mengurangi ketergantungan mereka pada hutan sebagai sumber bahan bakar, serta mengurangi jumlah gas metana yang dilepaskan ke udara. (Elviza Diana) Sementara pupuk organik sisa limbah biogas, kata Hamdani, mengandung mikroba-mikroba yang penting bagi tanah, sekaligus bersifat sebagai dekomposer yang dapat menjadi bakteri baik untuk menghancurkan bahan-bahan organik menjadi zat yang bisa diterima tanaman. Selain itu limbah biogas juga makan melancarkan sirkulasi oksigen dalam tanah, dan mengembalikan kesuburan tanah. Upaya Mitigasi Perubahan Iklim Guna mendorong pengembangan penggunaan energi terbarukan (green ekonomi) di tingkat komunitas, KKI Warsi menyelenggarakan praktek instalasi biogas di WAWANCARA Memasak menggunakan bahan bakar biogas. Foto Ham Alwi/Dok KKI Warsi. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Wawancara Bupati Tanjung Jabung Timur Zumi Zola Zulkifli Pemberian Sanksi Bagi Perusak Lingkungan I su pemanasan global terus bergulir dan mulai menerpa berbagai sektor kehidupan. Alih fungsi hutan menjadi salah satu faktor yang menjadi sumber pemanasan global. Terkait konteks ini, bagaimana Kabupaten Tanjung Jabung Timur mengelola kawasan dan kemana arah pembangunan Tanjabtim saat ini? Sesuai misi ke-7 RPJMP Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2011-2016, yaitu menata zonasi dan perlindungan terhadap kawasan konservasi, peninggalan budaya situs dan pengembangan budaya tradisional. Tujuannya adalah mewujudkan penataan zona dan melestarikan kawasan lindung, menjadikan situs budaya tradisional sebagai pusat penelitian budaya, serta wisata budaya dan warisan budaya. Sasarannya adalah kesadaran para stakeholders tentang pentingnya pelestarian alam dan lingkungan hidup, khususnya kawasan konservasi dan kawasan lindung. Adanya peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah daerah yang berkenaan dengan lingkungan hidup, serta adanya penghargaan kepada inisiator yang menjaga lingkungan hidup dan menerapkan sanksi secara konsisten terhadap perusak lingkungan hidup. Jika arah pembangunan mengarah pada green economy, apa yang akan menjadi fokus utama Tanjabtim dalam pengembangan pembangunan ini? Di dalam Perda No. 11 Tahun 2012 RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah dituangkan dalam kajian spasial bahwa kebijakan dan strategi penataan ruang ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 31 32 WAWANCARA wilayah kabupaten, di antaranya adalah menjaga kawasan lindung untuk kelestarian sumberdaya alam secara terpadu melalui pemanfaatan fungsi kawasan lindung. Kemudian mempertahankan kawasan lindung serta kawasan hutan seluas 45,5% dari luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur. berkontribusi sebesar 48 persen terhadap pengurangan emisi GRK Jambi. Sementara pemerintah Indonesia berkomitmen secara sukarela akan menurunkan emisi GRK 26 persen dengan usaha sendiri atau mencapai 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2020. Keberadaan lahan gambut merupakan hambatan (gambut mudah terbakar dan rawan pelepasan karbondioksida), sekaligus menjadi peluang (gambut merupakan cadangan karbon terbesar) untuk Tanjabtim. Bagaimana konsep pengelolaan gambut yang ideal dilakukan di Kabupaten Tanjab Timur di masa yang akan datang? Sebagai daerah dengan lahan gambut terluas di Provinsi Jambi, apakah Bapak memiliki target yang akan dicapai untuk penurunan emisi GRK di Tanjab Timur? Kurang lebih 70 persen wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan lahan basah (wetland) yakni gambut dan rawa, yang merupakan no renwable resources sehingga dalam pemanfaatan serta pengelolaannya harus sangat berhati-hati. Melalui Inpres No. 10 Tahun 2011 mengenai moratorium pemberian izin pada lahan gambut melalui peta indikatif, kebijakan sudah diterapkan sesuai dengan peraturan. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan sangat penting untuk mengontrol pembangunan rendah karbon dan pro poor. Menurut Bapak, bagaimana pola pelibatan masyarakat yang ideal dalam rangka mengelola sumberdaya lestari dan berkelanjutan? Peran aktif dari masyarakat itu pasti sangat penting. Karena kalau pemda saja yang menjaga itu saya rasa tidak memungkinkan. Dengan terlibatnya masyarakat ada rasa sense of belonging, rasa bertanggungjawab menjaga lingkungannya. Yang kita bicarakan bukan masalah lima tahun sepuluh tahun, tapi terus untuk generasi yang akan datang. Keterlibatan aktif masyarakat ini adalah ketika membuat kebijakan kita libatkan masyarakat, tokoh-tokoh masyarakatnya, tokoh-tokoh agamanya, orang yang sangat berperan di tengah masyarakat juga kita libatkan. Dan kemudian untuk inisiator yang berusaha menjaga lingkungan kita berikan penghargaan tentunya. Dan begitu juga sebaliknya, untuk yang melanggar ada punishment. Saya berharap dengan adanya pendekatan-pendekatan ini bisa menjadi solusi yang berkesinambungan dan menjadi sinergi antara pemda dan masyarakat. Lahan gambut dan sektor kehutanan menjadi kontributor terbesar (85 persen) terhadap total emisi Jambi. Jika tidak ada perubahan dalam cara pengelolaan sektor ini, emisi GRK Jambi diperkirakan akan meningkat mencapai 30 persen hingga tahun 2030. Sebaliknya, jika upaya konservasi lahan gambut dilakukan, diperkirakan SUARA RIMBA Ya. Kabupaten Tanjung Jabung Timur memliki lahan gambut katakanlah 50 persennya lahan gambut yang ada di Provinsi Jambi. Saya berharap kita jangan hanya bicara dalam betuk kabupaten saja, tapi harus secara keseluruhan, Provinsi dibicarakan. Ketika dunia begitu memperhatikan masalah gambut dan masalah karbon, saya rasa juga dari provinsi dan kabupaten bersama-sama. Kalau kita tidak cepat-cepat, ancamannya yang sama-sama kita ketahui bahwa sekitar 200 pulau yang akan tenggelam. Hal ini kan cukup besar. Untuk itu saya berharap kami dari kabupaten siap dan dari provinsi juga siap. Ya mudah-mudahan kita bisa bekerjasama. Kita sudah mempunyai perda RPJMD dan RTRW yang salah satu substansinya adalah mengandung kegiatan yang terkait dengan emisi GRK. Dalam jangka waktu berapa tahun target penurunan emisi GRK itu akan dicapai? Untuk penentuan target, kami dari kabupaten Tanjung Jabung Timur akan menyesuaikan dengan target nasional dan target Provinsi Jambi. Apa langkah yang akan dilakukan Pemerintah Tanjab Timur untuk melakukan penurunan emisi GRK? Kabupaten Tanjabtim memiliki potensi dan peran besar dalam menurunkan CO2 di Provinsi Jambi. Dan harapan saya nanti ada langkah riil di lapangan dalam rangka menghadapi isu perubahan iklim ini. Ada beberapa langkah yang akan ditempuh. Yaitu: mempertahakan kawasan lindung dan kawasan hutan sebesar 45,5 persen dari luas wilayah kabupaten sebagaimana diatur dalam Perda RTRW; tidak akan mengeluarkan perizinan yang termasuk dalam kawasan lindung dan kawasan hutan; mempertahankan luas kawasan tanaman pangan seluas 17 ribu hektar yang berfungsi sebagai penyerap emisi; dan mengimbau masyarakat untuk tidak mengalihfungsikan lahan pangan di daerah pasang surut menjadi lahan perkebunan. (Herma Yulis) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012 Pelayanan kesehatan Orang Rimba oleh fasilitator kesehatan KKI Warsi. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi. Nasib Orang Rimba dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial G una mewujudkan masyarakat sehat dan sejahtera, pemerintah terus berupaya untuk menghadirkan kebijakan dan aplikasinya. Salah satunya adalah pelayana kesehatan bagi masyarakat miskin dan rentan. Diawali dengan lahirnya UU No 40 Tahun 2004 tentang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diperkuat dengan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS), Pemerintah menjamin kesehatan setiap warga negara. BPJS dalam praktiknya dibagi menjadi jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan. Sampai disini, jelas kebijakan ini terlihat menguntungkan bagi masyarakat miskin. Direncanakan pada 1 Januari 2014 sistem jaminan social nasional sudah bisa berjalan. Namun rencana ini masih diragunkan, mengingat persiapan untuk pelaksanaanya masih terkendala dengan belum keluarnya petunjuk teknis pelaksanaan di tingkat lapangan. Dalam implementasi UU BPJS masih diperlukan tindak lanjut PP dan Perpres yang diperkirakan selesai pada akhir tahun 2013. Dengan adanya BPJS ini secara otomatis menghilangkan program yang selama ini di berikan oleh pemerintah pusat (Jamkesmas) dan pemerintah daerah (Jamkesda) ataupun kartu sehat di Pemda DKI. Sekarang ini terdapat 76,4 juta jiwa yang mendapatkan kartu Jamkesmas dan ribuan peserta Jamkesda (berbeda jumlah daerah yang satu dengan daerah yang lain tergantung dari kemampuan daerah untuk mengalokasikan dana kesehatan). Itupun masih belum termasuk dengan masyarakat miskin penghuni lapas rutan, penghuni panti panti sosial dan masyarkat korban bencana, gelandangan pengemis, anak terlantar, bayi baru lahir dari pasangan keluarga Jamkesmas, penderita thalasemia mayor dan peserta keluarga harapan (PKH) yang mendapat jaminan dari instansi tertentu. Dalam UU BPJS tersebut semua orang yang akan dijaminkan dan mendapat jaminan adalah mereka yang membayar iuran (premi) yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah. Kelompok masyarakat yang selama ini mendapat jaminan dari instansi tertentu atau non peserta Jamkesmas dan ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 33 34 SUARA RIMBA Jamkesda harus di dafarkan oleh pemerintah dan pembiayaanya juga akan di berikan oleh pemeritah. Lantas bagaimana dengan nasib Orang Rimba dalam jaminan ini? Orang Rimba jika merujuk kepada UndangUndang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin termasuk dalam kelompok masyarakat miskin yang wajib ditangani oleh pememrintah. Jika pelaksanaan Jaminan kesehatan nasional ini persyaratan pesertanya merujuk ke UU ini, akan ditemukan banyak kerumitan dalam pemberian jaminan kesehatan bagi Orang Rimba. Orang Rimba meski termasuk dalam kelompok masyarakat miskin, dalam program Jamkesda yang sudah digulirkan oleh pemerintah daerah, tidak semuanya tercover oleh jaminan ini. Selama ini hanya beberapa ratus Orang Rimba saja yang tercover jaminan kesehatan daerah ini, dari lebih dari 3.500 jiwa orang rimba di Provinsi Jambi. Orang Rimba yang diakomodir dalam Jamkesda ini, sebagian besar tidak memiliki kartu, akan tetapi berdasarkan kompromi Warsi dengan Dinas KEsehatan Kabupaten Setempat, bahwa semua Orang Rimba bisa dilayani. Hanya saja hal ini semakin sulit mengingat Dalam advokasi untuk kesehatan Orang Rimba sejak 2007 silam sudah ada Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) antara Warsi dan Pemerintah Kabupaten Sarolangun. Walau sudah ada MoU ini namun dalam pelaksanaannya, Orang Rimba masih belum maksimal memanfaatkannya dikarenakan keterbatasan kemampuan Orang Rimba mengakses layanan kese-hatan publik. Advokasi yang dilakukan Warsi, sejak 2010 telah ada beberapa kebijakan yang diberikan pemerintah daerah seperti Sarolangun, Bungo dan Merangin tentang jaminan kesehatan yang diberikan ke Orang Rimba. Kebijakan ini boleh dikatakan merupakan hasil dari komunikasi intensif yang dilakukan oleh Warsi ke instansi pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan kabupaten dan juga pusat layanan kesehatan baik di Puskesmas maupun rumah sakit. Ketiga kabupaten tersebut terdapat keputusan kepala daerah yang menerangkan bahwa setiap Orang Rimba yang membutuhkan perawatan rawat inap di puskesmas perawatan maupun rumah sakit daerah tidak dikenakan biaya sedikitpun. Meskipun untuk ke tingkat rujukan lanjutan di provinsi mereka harus mendapatkan surat keterangan dan jaminan dari instansi pemerintah tertentu. Dalam pendampingan yang dilakukan Warsi, terdapat banyak kasus kesehatan Orang Rimba yang membutuhkan rujukan perawatan ke tingkat provinsi. Karena belum adanya kebijakan di tingkat provinsi tentang jaminan kesehatan ini terdapat beberapa kasus tidak diberikan layanan kesehatan ketika tidak menunjukkan SUARA RIMBA jaminan dari instansi tertentu atau dapat dilayani apabila bersedia mengganti biaya perawatan. Ke depan kebijakan ini tidak akan berlaku lagi karena semuanya harus dapat dimasukkan dalam jaminan kesehatan (JK) yang dikelola oleh BPJS. Hingga kini kriteria penerima jaminan sosial nasional belum diputuskan pemerintah, sejumlah perdebatanpun masih berlangsung. Desakan untuk berpatokan pada kriteria masyarakat miskin yang diatur dalam UU no 13 tentang Penanganan fakir miskin kemungkinan akan digunakan. Namun pertanyaannya, jika kriteria ini yang akan dipakai, maka akan ada beberapa persoalan yang akan dihadapi. Diantaranya, bahwa peserta di data oleh masing-masing RT-RW dan kelurahan untuk kemudian diverifikasi instansi yang berwenang. Kenyataannya sejauh ini sebagian besar Orang Rimba tidak terintegrasi ke dalam satu pemerintahan desa, jadi sebagai pendduduk mana mereka akan dicantumkan. Meskipun petunjuk teknis ini sampai saat ini belum ada akan tetapi perlu di antisipasi adanya kerumitan yang akan di alami Orang Rimba ketika mendaftar sebagai peserta JK ini. Padahal menurut pengamatan Warsi, pada kurun waktu satu tahun terakhir ini saja, terjadi peningkatan kebutuhan rujukan layanan kesehatan bagi Orang Rimba. Fakor-faktor yang mempengaruhi peningkatan rujukan layanan ini akibat meningkatnya varian penyakit yang diderita kelompok Orang Rimba. Selain itu kemampuan dukun Orang Rimba untuk penyembuhan secara tradisional juga mengalami kemunduran akibat semakin sulitnya menemukan tanaman obat di dalam rimba yang terdegradasi. Kerentanan Orang Rimba pada penyakit juga disebabkan sejauh ini Orang Rimba belum mendapatkan imuniasi yang memadai untuk peningkatan daya tahan tubuh mereka. Melihat begitu kompleknya permasalahan kesehatan mendasar yang dihadapi Orang Rimba mau tidak mau, suka tidak suka Orang Rimba harus mendapatkan jaminan kesehatan dari BPJS ini. Keanggotaan Orang Rimba merupakan syarat utama agar mereka mendapatkan jaminan dari BPJS. Secara tegas UU No 24/2011mengharuskan bahwa setiap peserta wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. Harusnya dalam aturan ini ada tambahan untuk komunitas masyarakat seperti Orang Rimba. Sehingga meski secara administrasi mereka tidak terintegrasi dengan desa manapun, pemerintah dapat tetap memberikan jaminan kesehatan bagi mereka. Untuk itu diperlukan dukungan dari semua pihak agar Orang Rimba mampu mendapatkan hak mereka sebagai peserta BPJS. (Kristiawan) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Teater Tonggak memperagakan teatrikal perjuangan Yusak ketika mengajar di Bukitduabelas. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi Mengenang 14 Tahun Kepergian Yusak The Orang Rimba Education Hero A ir matanya menggantung dipelupuk, diciumnya lukisan sang putra yang sudah 14 tahun silam pergi meninggalkannya untuk selamanya. Haru, sedih namum ada kebanggaan di hati Roosni Hutapea, sang ibu yang telah melahirkan Yusak Adrian Hutapea pionir guru pendidikan Orang Rimba. Dalam kisahnya Roosni (75) sempat melarang Yusak putra kelimanya untuk bekerja di Warsi, ia meminta Yusak bekerja di kota dengan pekerjaan yang lebih mapan. Namun larangan sang mama, dijawab dengan bijak oleh Yusak. “Mama, kalau mama lihat sendiri orang rimba, melihat bagaimana mereka hidup, melihat bagaimana tanah-tanah mereka diambil pihak lain, saya yakin mama akan mendukung saya,” tutur Roosni menirukan ucapan Yusak kala itu. Sang mamapun akhirnya merestui putra kelimanya itu bekerja bersama Orang Rimba yang diawalinya pada 24 Januari 1998. Kala itu, Yusak sebagai antropolog lulusan Universitas Gajah Mada 1997, direkrut Warsi untuk mengembangkan pendidikan bersama anakanak rimba. Yusak bersemangat sekali menekuni pekerjaaannya, kelompok demi kelompok Orang Rimba ditemuinya. Bergaul akrab dengan Orang Rimba, Yusak melihat suatu kenyataan bahwa Orang Rimba kehilangan sumber daya mereka karena ketidaktahuan Orang Rimba pada huruf-huruf dan angka. Hanya disodori selembar kertas kemudian di diminta Orang Rimba membubuhkan jempolnya, seminggu berikutnya Orang Rimba sudah tergusur di tanahnya sendiri, rupanya cap jempol yang dibubuhi merupakan surat persetujuan Orang Rimba untuk pengalihan lahan mereka menjadi perkebunan sawit, HTI transmigrasi. Terlihat sekali ketidaktahuan Orang Rimba dimanfaatkan pihak lain, satu-satunya cara harus memberitahukan Orang Rimba tentang huruf dan angka. Kala itu Warsi belum menemukan metoda yang cocok untuk memulai pendidikan bersama anak-anak rimba. Adat dan budaya Orang Rimba yang unik menjadi kendala utama untuk pengenalan huruf dan angka pada Orang Rimba. Kala berdiskusi dengan rekan-rekan dan managemen Warsi ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 35 36 SUARA RIMBA SUARA RIMBA yang kala itu dipimpin Firdaus Jamal, timbul pertanyaan “Bagaimana caranya, bagaimana memulainya? itu pertanyaan kami waktu itu,”ujar Firdaus Jamal mengingat pertemuan kantor Warsi di Kota Bangko. Sedikit demi sedikit anak-anak rimba semakin tertarik untuk mengetahui huruf-huruf dan cara membacanya. Siomban yang juga bergabung dengan Yusak, menyebutkan kala itu, dia sangat tertarik untuk mengetahui pelajaran yang dibawa Yusak. “Kami sering dipalolo, jual getah sudah sekwintal tapi kato toke kurang, sen yang kami dapat sedikit, ini yang mendorong akeh untuk terus ikut pendidikan bersama Yusak,”ujar Siomban salah satu murid Yusak dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar. Yusak punya ide untuk belajar di Kali Code Yogyakarta. Yusak yang lama menempuh pendidikan di Yogya melihat ada sekolah untuk anak jalanan dan terlantar. Warsipun mendukung Yusak untuk belajar ke Yogya, selama satu bulan Yusak mempelajari seluk beluk pendidikan alternatif di Yogya. Sepulang dari Yogja, Yusak melakukan studi awal pilot projek pendidikan pada 15 Juni hingga 15 Juli 1998. Kemudian dilanjutkan pada 25 Juli hingga 2 Agustus 1998. Fokus studi dilakukan di daerah Makekal Hulu dan Makekal Hilir, Bukit Dua Belas Jambi. Untuk lebih memudahkan orang rimba melafalkan alphabet ini, Yusak kemudian merekam suaranya menggunakan tape recorder, kemudian diperdengarkan kembali pada Orang Rimba. Hal ini ternyata cukup ampuh dan mereka cukup cepat melafalkannya A sampai Z. Studi diawali di pinggir Sungai Pengelaworon dan Sungai Sako Rempon di Makekal Hulu. Orang Rimba di daerah ini dipimpin oleh Mangku Tuha dengan anggota kelompok 98 jiwa. Kemudian ia melanjutkan studi ke daerah Pangarukan yang saat itu dipimpin Menti Bepak Pengusai. Jumlah Orang Rimba disini hanya 22 jiwa. Yusak juga mengunjungi kelompok Tumenggung Mirak di Sungai Sako Talun yang memiliki anggota kelompok sebanyak 24 jiwa. Sedangkan di Makekal Hilir, ia mengunjungi kelompok Bedinding Besi, kelompok Nitip (Bepak Bepiun), dan kelompok Mensemah (Bepak Sijangkang). Ketiga kelompok ini memiliki jumlah anggota sebanyak 83 jiwa. Dari studi ini, dan mempelajari adat kebiasaan Orang Rimba Yusak berkesimpulan, bahwa pendidikan untuk Orang Rimba hanya fokus pada baca tulis dan hitung. Namun bukan perkara mudah untuk menenalkan angka dan huruf-huruf pada Orang Rimba. Dengan adat budaya yang menganut kebalikan dari masyarakat melayu, Orang Rimba menolak semua hal-hal yang berasal dari luar adat dan kebiasaan mereka, termasuk mengenal pendidikan. “Waktu itu, Tumenggung kami melarang untuk ado nang diajarko Yusak, tapi dio datang pado akeh, dio cakopkan ke akeh, apo perlunya belajor nang dimaksud mendiang (Yusak). Waktu itu akeh suruh budak-budak cubo ikut dulu, anak akeh Pengusai, ternong anak adik akeh, satu lagi Beseling, yang akeh suruh ikut pelajoron,”kenang Bepak Pengusai, tengganai Orang Rimba yang mendukung Yusak untuk pendidikan pertama di gelar di pinggir Sungai Pengelaworan. Kala mengajari ketiga murid ini, murid Yusak bertambah, ada Ngrip, Mendawai dan Ngetepi juga ikut bergabung. Anak-anak rimba ini diajarkan Yusak huruf demi huruf, angka demi angka. Dari catatan Yusak menuliskan memberikan pengajaran bagi Orang Rimba ternyata tidak mudah. Banyak huruf yang tidak diketahui dalam bahasa rimba, sehingga Orang Rimba sulit membacanya. Huruf-huruf seperti E, F, H, I, K, M, N, O, Q, V, W, X, Ibu kandung Yusak Adrian Hutapea, Roosni, memberikan testimoni pada acara In Memory of Yusak The Orang Rimba Education Hero. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi Y, Z, sangat susah mereka hafalkan bentuk hurufnya. Namun jika disuruh untuk meniru tulisan tersebut, mereka cukup cepat melakukannya. Selain itu kebiasaan mereka memakai bahasa orang rimba/cakap rimba juga membuat mereka sulit melafalkan beberapa huruf, yaitu F, R, V, W, X, Y, Z. Untuk mempermudah pengenalan huruf-huruf yang sama sekali belum diketahui Orang Rimba, Yusak mengaitkan bentuk huruf dengan alam sekitar, terutama yang ada dalam pikiran mereka. Misalnya, huruf A seperti sesudungon (rumah Orang Rimba yang beratapkan terpal), E seperti angka 3 terbalik, I seperti titian batang/kujur, J seperti mata pancing, K seperti ranting pohon, M seperti burung terbang, N seperti huruf M terpotong, O seperti tutup botol, T seperti tiang jemuran, W seperti kebalikan huruf M, X seperti palang, Y seperti ketapel/peci. Sisa huruf lainnya, Yusak meminta murid-muridnya untuk mengaitkan dengan benda yang ada disekitar mereka. Cara ini ternyata cukup membantu untuk mempercepat mereka dalam membaca dan menghafal huruf-huruf. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Dengan enam orang rimba yang mengikuti pendidikan yang di buat Yusak, tak langsung berjalan mulus. Dalam beberapa hari Mendawai dan Ngentepi sudah ada yang mengundurkan diri. Tanggal 29 Juli 1998 petang, Betatai (anak Tumenggung Mirak), Besangkil, dan Manggung, datang ke pondok belajar. Sebenarnya mereka dalam perjalanan menuju SPG Bungo Tanjung untuk belanja. Yusak sudah menjelaskan pada mereka kalau Tumenggung Mirak kurang setuju dengan program pendidikan ini, tetapi ketiga anak ini tetap ingin mengikuti pendidikan. Ternyata kedatangan mereka bertiga membuat Mendawai dan Ngentepi datang lagi ke pondok belajar, dan mereka semua ikut dalam kegiatan belajar. Tambahan murud ini, membuat Yusak senang, karena pesertanya bertambah banyak. Pada malam itu, Terenong, Pengusai, Beseling, dan Grip memamerkan kepandaiannya kepada Betatai, Besangkil, dan Manggung yang baru datang. Ternyata mereka tertarik dan ikut belajar walau cuma satu malam saja. Pada kesempatan pendidikan perdana ini, selain anakanak beberapa Orang Tua juga mulai ikut, terutama setelah sore hari. Mengajar Orang Rimba menurut Yusak, juga membuatnya kadang senyum sendiri, pasalnya Orang Rimba begitu besarnya mengerahkan energi untuk dapat menulis dan membaca. Keringat mereka bercucuran dengan deras, dan setiap kali mereka mencoba untuk membaca dan menulis. Setelah seminggu memberikan pendidikan ini, Yusak melihat kemajuan yang berarti pada orang rimba. Grip, Terenong, Pengusai, Besuling sudah dapat membaca dan menulis huruf A sampai Z. Mereka juga sudah mulai bisa mengeja beberapa kata, seperti I - bu; a - ke; a - ku, ba - pak; oi; au; ho - pi. Suatu gambaran atas puasnya mereka setelah pandai membaca dan menulis huruf A sampai Z adalah penuhnya dinding pondok dengan tulisan kapur mereka. Setelah sukses dengan pilot projeknya ini, Yusak dengan dukungan penuh staf Warsi lainnya, mulai mengembangkan pendidikan ke sejumlah kelompok lain. Yusak makin bersemangat, anak-anak rimbapun semakin akrab. Hingga pada pagi 25 Meret 1999, Yusak tidak enak badan. Bepak Pengusai yang kala itu mengantarkan Yusak ke tepi rimba untuk pualng ke Bangko. Bepak Pengusai masih ingat dengan baik kala guru rimba yang mereka cintai itu, diantarkannya ke SPG Bungo Tanjung. Menurut Bepak Pemusai kala itu, Yusak masih mengendarai motor trailnya keluar rimba, jalannya sangat buruk dan licin. Kala itu Bepak Pengusai memilih berjalan kaki di belakang Yusak. Namun dikejauhan didengarnya Yusak berteriak, bergegas dia menyusul sang guru, “Waktu itu ngeri naik motor, jalannya buruk, jalan logging licin, akeh hopi berani naik motor, mako akeh susul dari belakang, waktu kanti berteriak akeh kejar, ruponyo Bepak Guru salah jalan, akeh tunjukkan jalan ke SPG nang biaso kami lalui, hopi tau kenapo bisa salah jalan, padahal sudah sering jalan itu dilaluinya,”tutur Bepak Pengusai. Bepak Pengusai tak pernah menyangka hari itu adalah untuk terakhir kalinya ia melihat Yusak yang telah me-ngajarkan anak-anaknya baca tulis dan berhitung. Sore harinya, sesampai di kantor Bangko, Yusak masih sempat bercengkrama dengan sesama penghuni mess tempat mereka tinggal dan melepas lelah kala kembali dari lapangan. Demam yang dirasakannya dianggap demam biasa, tapi tanpa di sangka, sore itu langsung terjadi kepanikan kala Yusak kejang, dan tak lama berselang dalam perjalanan ke rumah sakit yang hanya berjarak 1 km dari mess Yusak menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kini empat belas tahun berlalu, Yusak mungkin sudah tenang di alam sana, melihat pendidikan anak rimba sudah berkembang pesat. Ibu Roosnipun sudah ikhlas dengan kepergian anaknya. Kali ini empat belas tahun kemudian air matanya jatuh lagi, bukan menyesali kepergian anaknya, namun rasa haru yang sangat membuncah, bangga dengan perjuangan sang putra yang sudah membuka jalan, meretas aksara bagi anakanak rimba di belantara. Yusak telah menemui takdirnya, sesuai dengan janjinya pada sang mama akan pulang pada tanggal 26 Maret 1999. “Ia benar-benar pulang, tetapi sudah di dalam peti, waktu saya menangis, kenapa.. kenapa… tapi kini saya bangga dititipkan anak seberani dan setekun Yusak, semoga yang dilakukannya terus membakar semangat kalian (Warsi) untuk melanjutkan perjuangannya, dan semoga orang rimba semakin baik kehidupannya,”ujar Rosni dengan suara bergetar. Yusak, engkau tak pernah pergi semangat dan perjuanganmu akan selalu ada di dalam jiwa dan semangat kami. (Sukmareni) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 37 AKTUAL 38 38 AKTUAL bar ditemui hamparan perkebunan sawit, lebih ke atas disambut dengan HTI. Sangat sulit bagi harimau untuk bertahan hidup di kondisi yang sudah tidak berhutan, dan akhirnya dia berjalan terus mencari hutan dan ketika bertemu dengan manusia kemudian diserangnya. Agaknya perlu direnungkan kembali, bahwa hutan tidak cuma sebagai habitat untuk harimau supaya mereka bisa hidup damai di dalamnya. Hutan merupakan penanda bagi keseimbangan ekosistem, ini yang paling penting. Bisa dilihat di Jambi, dua minggu yang lalu Jambi dilanda banjir hebat yang menyebabkan banyak korban tewas dan juga ribuan orang terdampak bencana tahunan ini. Banjir bukanlah bencana yang serta merta datang, bukan bencana yang datang begitu saja, namun bencana yang hadir akibat salah kelola sumber daya alam. Pembabatan hutan yang menyebabkan raja kehilangan wilayahnya, juga menyebabkan banjir di musim hujan, dan sudah pasti bisa diprediski pada empat bulan ke depan, kekeringan kemudian disusul kebakaran lahan akan terjadi. Petugas mengobati Harimau Sumatera di kebun binatang Taman Rimba, Jambi. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi Harimau, Raja Kehilangan Hutan S ejak awal Januari tahun ini, Jambi kembali dihebohkan dengan konflik harimau. Merujuk data BKSDA yang dipublikasikan media massa di Jambi awal Maret 2013, sejak awal tahun sudah ada 11 kasus konflik harimau dengan masyarakat, dengan satu korban tewas dan empat luka. Saat ini, diperkirakan posisi harimau semakin dekat ke Kota Jambi. Tentu saja, kehadiran harimau ini menakutkan. Raja hutan itu tidak diketahui keberadaannya. Jika diibaratkan dengan rajaraja pada umumnya yang kehilangan tahta, tentu sangat dimaklumi jika kemudian harimau bertindak anarki kepada yang bukan warga hutan, yang nota bene bagian dari yang telah menghilangkan kerajaannya. Manusia, sapi ayam, kambing yang bukan warga hutan diserang harimau untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan tidak mengurangi rasa duka untuk para korban harimau, sudah saatnya kita merenung untuk kehidupan yang lebih baik. Mengembalikan raja pada posisinya dan tidak merusak wilayah kerajaannya merupakan suatu yang harus dilakukan, supaya raja hutan dan manusia bisa hidup rukun tanpa saling serang. Jika melihat kasus yang terjadi belakangan ini, awal mula konflik harimau dengan manusia di PT WKS di Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar), ini artinya harimau berada di HTI (hutan monokultur), habitat yang sangat tidak cocok dengan harimau karena bisa dipastikan hutan tanaman tidak menyediakan makanan untuk harimau. Harimau terus bergerak ke lokasi HTI DAS masih di Tanjabbar, kemudian dia ke PT CKT perkebunan sawit di Dusun Mudo Merlung, Tanjabbar, kemudian ke Desa Awin Jaya Muara Jambi, terus ke Teluk Ketapang Pemayungan Kabupaten Batanghari, kemudian Pulau Betung Batanghari dan terakhir di Desa Baru Mestong Muara Jambi. Jika ditarik garis lurus, perjalanan harimau ini dari awal dia menampakkan diri hingga 3 Maret dia menampakkan diri di Mestong, artinya dia sudah menempuh jarak lebih dari 60 km. Sudah sejauh itu yang dilaluinya, si raja hutan ini belum juga bertemu dengan wilayah kekuasaannya, yang ditemukan HTI, sawit, kemudian kebun masyarakat dan perkampungan. Habitat harimau di Jambi memang sudah rusak parah. Sejauh mata memandang di Muara Jambi dan Tanjab- ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Bencana-bencana ekologis ini hadir sebagai akibat dari keserampangan manusia dalam mengelola sumber dayanya, eksploitasi yang berlebihan pada sumber daya alam inilah akibatnya. Untuk diketahui pemanfaatan sumber daya alam di Jambi, lebih dari 700 ribu ha dikuasai HTI, lebih dari 500 ribu ha perkebunan sawit, 300 ribu pertambangan, kemudian ada APL untuk hidup lebih dari 2 juta penduduk Jambi. Yang tersisa untuk habitat satwa yang merupakan hutan sebagai penyeimbang ekosistem dan pengendali bencana ekologis tidak lebih dari 1 juta ha. Kondisi ini menyebabkan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia semakin merosot, bencana dan koflik dengan satwa semakin tinggi. Uniknya lagi dari pemanfaatan sumber daya alam di Jambi, hanya sedikit yang dinikmati oleh masyarakat Jambi yang lebih dari 2 juta jiwa ini. Hanya orang-orang tertentu saja menikmati pengerukan sumber daya alam di Jambi. Namun dampak negatif dari pengelolaan sumber daya alam ini justru dirasakan oleh masyarakat luas. Banjir dan terakhir kemarahan si raja yang kehilangan tahtanya. ‘Kemarahan’ raja ini seharusnya menjadi penanda bagi manusia untuk menangkap sinyal-sinyal ketidak adilan dan kemarukan dalam eksploitasi sumber daya hanya untuk memperkaya segelintir manusia dan dipihak lain merugikan warga Jambi secara keseluruhan. Kini ketika korban serangan harimau berjatuhan, tim BKSDA yang kesusahan untuk menangkap sang raja. Pihakpihak yang yang telah menghilangkan rumah raja sama sekali tak turun andil untuk mengembalikan rumah sang raja, pun tak ada kepedulian mereka pada korban yang terus berjatuhan. Ironi sebuah negeri tengah dipertontonkan, dan sang raja datang untuk memberikan peringatannya. (Sukmareni) Kondisi Hutan Desa di Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi Stay Alert on REDD+ (Bersiap untuk REDD+) M ari bersiap untuk REDD+..! Implementasi REDD+ di Indonesia sudah mulai mengarahkan hal-hal yang kongkrit, dimana pada fase persiapan REDD+ akan disinergiskan dengan rencana pembangunan nasional dan sub nasional. Hal ini sangat disadari bersama oleh seluruh negara di dunia pada COP 18 di Qatar bulan Desember 2012 yang lalu, bahwa suksesnya REDD+ membutuhkan kebijakan nasional dibanding hanya menunggu dan mengandalkan pasar karbon internasional yang masih belum menampakkan kejelasannya. Selanjutnya bagaimana kebijakan nasional mampu mengakomodir isu perubahan iklim, untuk mencapai target nasional pengurangan emisi 26% dan 41% dan juga pada saat bersamaan harus mampu mencapai per- ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 39 39 40 AKTUAL tumbuhan ekonomi 7% pada 2020? Jawaban ini adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Tidak dipungkiri bahwa target ini sangat bombastis untuk dapat diwujudkan hingga 7 tahun mendatang. Tapi, untuk sekarang mungkin tidak perlu berbicara tentang angka, tetapi bagaimana secara substantif pemerintah mampu bekerja untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan effektif. Salah satunya adalah mensinergiskan pembangunan nasional dan daerah pada isu pembangunan rendah karbon dan green economy. Saat ini SATGAS UKP4, selaku agen persiapan REDD+ Nasional, sedang mengupayakan agar Rancangan Tatar Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) mampu mengakomodir dokumen SRAP (Strategi dan Rencana Aksi Provinsi) dan RAD GRK (Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca) di 11 provinsi percontohan di Indonesia. Dengan ini ke depan perencanaan pembangunan akan menyelaraskan sektor ekonomi dan konservasi. Namun, tentu sinergitas pembangunan dengan REDD+ belumlah cukup untuk menjamin bahwa REDD+ dapat sukses dijalankan oleh Indonesia. REDD+ bukanlah berarti mensterilkan hutan, dengan membiarkannya tumbuh subur dan lebat sehingga harus menutup pintu masuk atau mengeluarkan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada hutan. Akan tetapi kita mendorong yang sebaliknya. Pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan masyarakat secara lestari harus mendapat pengakuan dari pemerintah. Selama ini pemerintah memberikan hak pengelolaan hutan kepada swasta dengan sangat royalnya, namun sangat minim kepada masyarakat. Bahkan pada prakteknya justru masyarakat yang diuber-uber dan dipenjarakan atas penyebab kehancuran hutan. Padahal kalau dilihat secara penuh berapa banyak masyarakat menghancurkan hutan dibanding apa yang dilakukan oleh korporasi. Masyarakat yang tinggal disekitar hutan selama bertahun-tahun dan bahkan sebelum Indonesia merdeka tidak akan merusak hutan sebagai sumber penghidupannya dimasa kini dan nanti. Mereka tahu AKTUAL pasti, pembabatan hutan secara eksploitatif akan menyebabkan sawah mereka tidak akan terairi, bahkan mengakibatkan bencana bagi mereka. Oleh karena itu praktek pengelolaan hutan berdasarkan local wisdom telah lama dilakukan oleh masyarakat agar hutan lestari. Hal ini perlu dihargai oleh pemerintah dan projek REDD+. Perlu juga dipastikan bahwa mereka berhak mendapatkan kompensasi atas kerja kerasnya menjaga dan mengelola hutan secara lestari. Hal serupa juga didiskusikan pada pertemuan Asia REDD+ Working Group pada Januari 2013. Dimana negara-negara Asia yang terdiri dari perwakilan pemerintah dan organisasi mayarakat berbagi pengalaman implementasi REDD+ diberbagai negara di Asia. Beberapa rekomendasi dihasilkan bahwa 1. masyarakat pengelola hutan perlu diberikan wewenang mengelola dan menerima pembayaran (benefit sharing) atas usaha mereka mengelola hutan. 2. Masyarakat harus dilibatkan dalam penyusunan sistem pembagian manfaat (benefit sharing), untuk memastikan bahwa manfaat tersebut dapat dinikmati secara merata dan bermanfaat sesuai dengan kebutuhan lokal dan yang terakhir pemerintah harus menghargai usaha peranan masyarakat dalam menjaga dan mengelola hutan dengan memberikannya hak secara legal. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang mulai menggeliat di Indonesia memberikan peluang yang sangat besar bagi perhutanan Indonesia untuk mendapatkan manfaat ganda dari REDD+ bukan hanya sekedar karbon, namun juga peningkatan fungsi hidrologi dan ketersediaan air, pengurangan bahaya banjir, kontrol erosi, serta perlindungan biodiversity. Selain itu, hal yang juga sama pentingnya adalah pembangunan dan proteksi sumber daya alam harus diselaraskan dengan pertumbuhan ekonomi berbasis non lahan dan penyetaraan pembangunan hingga di pedesaan, yakni meliputi pembangunan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur penunjang lainnya. (Emmy Primadona Than) Hamparan Rimbo Puliah di Nagari Simanau, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Sungai Batanghari tercemar akibat penambangan emas tanpa izin. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi Mendulang Emas, Menuai Derita S iapa pun akan silau melihat kemilau butiran-butiran emas yang dengan mudah didapat dari dasar sungai. Tak tahan dengan godaan itu, membuat banyak orang berlomba-lomba mencari emas di Sungai Batanghari. Kegiatan penambangan emas tanpa izin ini juga dilirik sejumlah perusahaan tambang ilegal. Di Kabupaten Solok Selatan tambang emas di Sungai Batanghari Hulu kini menjadi persoalan yang menyandera para stakeholder di kawasan ini. Dari informasi yang didapatkan hingga kini terdapat lebih dari 700 ekskavator mengeruk sempadan sungai. Dipastikan sebagian besar merupakan tambang illegal dan berlindung di balik yang namanya tambang rakyat. Memprihatinkan ketika tambang ini, mengatas namakan tambang rakyat namun kenyantaannya yang melakukan penambangan merupakan pihak-pihak tertentu yang diyakini punya modal besar dan ditengarai dibekingi para penguasa dan aparatur negara. Tuding-tudingan siapa membekingi aktifitas ini sudah saling dilemparkan, statemen para penegak hukum siap menghentikan aktifitas juga sudah diperdengarkan dan aksi-aksi penuntut diilegalkannya tambang rakyat juga sudah dipertontonkan. Gubernur Sumatera Barat pun dibuat pening dengan persoalan penambangan emas tanpa izin ini. Pada suatu kesempatan Gubernur Sumbar Iwan Prayitno pernah menyebutkan bahwa pihaknya lebih berpihak pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat daripada memberikan izin untuk tambang. Menurut sang Gubernur tambang tidak memberikan hasil nyata untuk peningkatan perekonomian rakyat, karena tambang butuh modal besar dan jikapun tambang ada masyarakat hanya akan kembali menjadi buruh. Kenyataannya di lapangan tambang seperti yang terlihat di sepanjang sungai Batanghari hulu di Solok Selatan ratusan alat berat menggeruk sempadan sungai setiap hari, bahkan pohon-pohon yang berada di pinggir sungai sudah mulai bertumbangan. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena menimbulkan kerusakan lingkungan yang bisa dipastikan akan menimbulkan bencana ekologis kelak. Sekedar informasi, saat ini sedikitnya 7.000 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia bermasalah. Sehingga pemerintah pusat melarang pengeluaran izin baru hingga undang-undang baru diberlakukan. Dan tidak ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 41 42 AKTUAL tangung-tanggung moratorium penertiban izin baru ini juga meliputi wilayah pertambangan rakyat (WPR). Tidak hanya itu, pemerintah juga menegaskan bahwa lokasi wilayah tambang rakyat pun harus ditentukan dengan kajian-kajian konservasi. Niat baik pemerintah dalam penertiban ijin tambang tersebut ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Buktinya, tambang terus bermunculan dimana-mana dengan mengatasnamakan pertambangan rakyat. Padahal tumpukan rupiah yang didapat nyatanya bukan untuk rakyat. Namun yang nyata terlihat, rakyat mendapatkan sungai yang tercemar merkuri dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan tersebut. Lihat saja yang terjadi di Kabupaten Solok Selatan, pertambangan ilegal ini dilakukan di daerah sempadan hulu Sungai Batanghari. Padahal menurut aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahuni 2011, sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan. Ditetapkan juga garis sempadan untuk sungai dengan panjang melebihi 500 km, dimasukkan dalam kategori sungai besar harus lebih dari 1500 meter. Sungai Batanghari tergolong dalam Sungai Besar. Setidaknya, 1500 meter garis sempadan merupakan areal penyangga yang harus diperhatikan. Namun fakta yang terjadi, sempadan sungai dijadikan tempat tumpukan hasil penyaringan pengerukan material tambang. Pengerukan sungai dilakukan menggunakan alat ekskavator dan memakai kapal –kapal bermesin dompeng. Kondisi ini akhirnya menyebabkan terbentuknya deltadelta dan terjadi penyempitan aliran sepanjang sungai. Kegiatan ini berakibat pada penyempitan aliran sungai dan pendangkalan. Dan yang lebih fatal akan menjadi penyebab terjadinya banjir di daerah hulu sungai. Perlu diketahui, selama ini Sungai Batanghari dimanfaatkan lebih dari 3,2 juta penduduk di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan pasokan air bagi irigasi puluhan ribu ha lahan persawahan, perikanan, hingga sumber kebutuhan air minum. Sementara kegiatan penambangan emas yang dilakukan tidak lepas dari penggunaan merkuri. Kemanakah air bersih akan didapat, jika bagian hulu sungai telah tercemar. Dalam pertambangan, logam merkuri digunakan untuk membentuk amalgam. Contohnya dalam pertambangan emas, logam merkuri digunakan untuk mengikat dan memurnikan emas. Proses amalgamisasi akan menghasilkan dampak positif berupa emas yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran lingkungan oleh uap Hg. Sebanyak 10%-30% Hg yang digunakan dalam kegiatan tersebut akan terlepas/hilang ke lingkungan (Alpers et al, 2006). MATAHATI Pengaruh Hg pada kesehatan bergantung pada bentuk senyawanya. Salah satu senyawa yaitu merkuri yang merupakan bahan berbahaya dan bersifat karsinogen terhadap manusia. Merkuri merupakan neurotoksik yaitu racun terhadap sistem syaraf pusat (Central Nervous System- CNS) (WHO,1976;1990;2001). Efek dari Hg organik adalah pada gangguan syaraf, walaupun organ lain juga terlibat seperti sistem pencernaan, sistem pernapasan, hati, immunitas, kulit dan ginjal (Risher et al, 2002). Keracunan merkuri menimbulkan gangguan CNS seperti ataxia, pandangan menyempit, pendengaran menurun, neuropathy. Meski belum dipastikan berapa persentase kadar merkuri yang terkandung dalam air Sungai Batanghari tersebut, akan tetapi sangatlah mustahil daerah hulu Sungai Batanghari dengan ratusan dompeng tidak tercemar mercuri. Keracunan mercuri dalam kadar ringan saja bisa berpengaruh besar dalam sistem koordinasi otak. Akan menyebabkan kesemutan di bibir, lidah, jarijari, gemetar, hingga berimplikasi menjadi sakit kepala, pikun dan masalah kooordinasi gerak dan penglihatan. Merkuri ini tidak hanya meracuni tubuh kita dengan terpapar secara langsung. Merkuri bisa tertimbun di dalam tubuh ikan, dan binatang. Ikan yang hidup di dalam air yang tercemar akan berbahaya untuk dikonsumsi meski airnya sendiri dapat digunakan untuk mandi atau berenang. Apabila kita menelan merkuri lebih banyak daripada yang dapat dibuang oleh tubuh, merkuri dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Ikan adalah makanan sehat, kaya protein. Ikan seringkali disebut “makanan untuk otak” karena mengandung lemak yang baik untuk otak. Ikan menjadi bagian dari menu tradisional bagi banyak orang. Tetapi bila ikan ditangkap dari perairan yang tercemar buangan usaha pertambangan atau tempat pembuangan merkuri, ikan tersebut sangat mungkin mengidap kandungan merkuri yang membahayakan kesehatan. Data yang didapat dari ratusan tambang yang ada di Solok Selatan, hanya 35 tambang yang sudah memiliki IUP, dan ini termasuk dalam tambang bijih besi, tembaga, mangan, galena, serta beberapa jenis lainnya. Melihat kenyataan ini semoga saja perang melawan illegal mining (penambangan liar) di Solok Selatan bukan hanya sekedar polesan pemanis sebuah kebijakan saja. Sehingga masalah ini bisa dilihat tidak hanya dari kacamata keuntungan saja, namun dampak yang diakibatkan sungguh jauh lebih besar. Dan lagi-lagi rakyat juga yang akan menikmati derita bencana alam tak berujung. (Elviza Diana/ berbagai sumber) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Masyarakat Desa Butang Baru, Kecamatan Mandiangin sedang memanen kacang panjang. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi Menggagas Pembangunan yang Ramah Lingkungan I su perubahan iklim dan pemanasan global yang menjadi perbincangan hangat belakangan ini sebenarnya tak lepas dari kebijakan pembangunan yang dijalankan pemerintah selama ini. Yaitu pembangunan dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang (unbalance economy growth approach). Dimana semua sumberdaya dioptimalkan penggunaannya dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi pada sektor terpilih (leading sector). Terutama sejak rezim Orde Baru (Orba) mulai berkuasa. Pada waktu itu hutan menjadi penyelamat perekonomian nasional yang sedang mengalami masa krisis. Namun sayangnya, pengelolaan hutan yang diterapkan tidak diimbangi dengan cara yang tepat untuk mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat lokal, serta mengabaikan kelestarian hutan di masa yang akan datang. Akhirnya, eksploitasi hutan yang dilakukan secara masif justru memicu timbulnya persoalan serius yang sangat mengkhawatirkan. Dosen Magister Ekonomi Pembangunan Pascasarjana Universitas Jambi, M Surya Hidayat mengungkapkan, pembangunan ekonomi seperti ini cenderung berorientasi jangka pendek (short run oriented). Salah satu kebijakan yang populer dilakukan adalah melalui pendekatan pertumbuhan ekonomi berbasis sumberdaya alam (resources base economy growth approach). Kebijakan ini terbukti manjur mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah. Inidikator keberhasilannya adalah peningkatan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Namun demikian, kebijakan ini juga memiliki sisi negatif. Karena ia lebih banyak bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam, akhirnya malah memengaruhi kualitas lingkungan dan kualitas hidup masyarakat. Sebab ekonomi yang tumbuh pesat hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, khususnya pelaku ekonomi. Sementara sebagian besar masyarakat yang tidak terlibat tetap membayar biaya ekonomi yang sangat tinggi. Ini adalah dampak negatif memacu pertumbuhan ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 43 44 MATAHATI ekonomi yang berbasis pada eksploitasi alam namun tidak ramah lingkungan. Menurut Surya, fenomena kebijakan pembangunan seperti ini juga terjadi di Provinsi Jambi. Dia memberi ilustrasi, selama 3 tahun terakhir terjadi peningkatan nilai PDRB Provinsi Jambi secara signifikan. Pada tahun 2010 pertumbuhan nilai PDRB Jambi adalah sebesar 7,07% dan meningkat menjadi 7,68% pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 adalah sebesar 7,4%. Peningkatan nilai PDRB tersebut tidak terlepas dari meningkatnya nilai tambah yang dihasilkan dengan aktivitas eksploitasi sumberdaya subsektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, serta sektor industri barang dari kayu dan hasil hutan. Sedangkan dampak yang akan timbul dari kebijakan pembangunan tersebut selama ini tidak terpikirkan oleh banyak pihak. Sehingga kemudian terjadi peningkatan deforestasi lahan hutan seluas (2.148.950 Ha), peningkatan konversi lahan yang dilakukan untuk sektor perkebunan (1.254.764 Ha), dan pertambangan (502.209 Ha). Dengan kata lain, kebijakan memacu pertumbuhan ekonomi tersebut tanpa disadari justru membutuhkan biaya ekonomi yang sangat besar. Kerusakan lingkungan akibat salah kelola sumberdaya alam akan memicu terjadinya bencana lingkungan yang lebih besar. Dan yang menanggung beban ekonomi dari kerusakan lingkungan akibat kebijakan pembangunan tersebut adalah masyarakat banyak. Untuk itu, menggagas pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan sangat mendesak dilakukan. Konsep ini dilakukan melalui penghitungan pertumbuhan ekonomi dengan memasukkan nilai ekonomi yang hilang dari de- MATAHATI 45 gredasi kualitas lingkungan akibat kebijakan ekonomi. Yaitu menghitung pertumbuhan ekonomi suatu daerah tanpa mengesampingkan dampak kerusakan lingkungan yang terjadi ketika berupaya mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Namun demikian, bukan berarti proses pembangunan yang menggunakan pendekatan pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam (resources base economy growth approach) tidak dapat diterapkan lebih lanjut. Hanya saja, paradigma melakukan pertumbuhan PDRB sebagai sasaran pembangunan harus diluruskan. Sebab konsep pembangunan juga harus mempertimbangkan perhatian terhadap kelestarian alam untuk masa yang akan datang. Karena sebagai salah satu negara berkembang yang diprediksi menjadi sepuluh ekonomi terbesar dunia pada 2025, maka tak bisa dihindari bahwa kerusakan lingkungan juga akan mengalami peningkatan drastis. Terutama dari sektor pertanian di kawasan hutan dan lahan gambut, transportasi, serta pembangkit energi. Untuk itu, dalam membangun perekonomian, antara masyarakat dan ekosistem harus bisa berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan dengan memperhatikan aspek keberlanjutan, baik dari sisi ekologi maupun sosial. P e m b a n g u n a n jangan sampai hanya bisa memenuhi kebutuhan generasi sekarang sekaligus tidak mengesampingkan kebutuhan generasi yang akan datang. Inilah yang dimaksud dengan pembangunan yang berkelanjutan. Jika Pemerintah Provinsi Jambi memiliki komitmen menerapkan konsep pembangunan seperti ini, maka kesuksesan sebuah pembangunan akan dirasakan oleh gerasi sekarang hingga generasi yang akan datang. “Secara filosofis, inilah yang dikenal dengan istilah membangun tanpa merusak.” katanya. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Banjir menggenangi rumah warga di Sijenjang, Kecamatan Jambi Timur. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi Hidup di Negeri Rawan Bencana T Melihat kondisi pembangunan yang terjadi selama ini, maka melakukan perbaikan tata kelola lingkungan dalam upaya pembangunan harus segera dilakukan. Dengan demikian, percepatan peningkatan perekonomian daerah bisa didongkrak, namun kondisi lingkungan tetap akan terjaga dengan baik. (Herma Yulis) uhan sedang marah dan memberikan peringatan pada bangsa ini dengan bencana alam yang silih berganti. Itulah ucapan yang selalu kita dengar setiap terjadi peristiwa bencana. Rentetan bencana, mulai gempa hingga gulungan tsunami, tanah longsor hingga banjir bandang, bencana lumpur lapindo yang sampai saat ini tidak bisa dikendalikan, kebakaran hutan-lahan dan rumah dengan skala masif serta berbagai peristiwa bencana sosial lainnya melanda seluruh wilayah negeri hampir setiap hari. Dari rangkaian bencana itu, ratusan ribu korban jiwa melayang, ditambah dengan hancurnya sumber-sumber kehidupan, harta benda penduduk dan kerusakan infrastruktur bernilai triliyunan rupiah. Masyarakat memanfaatkan lahan kosong untuk menanam sayur-sayuran di Desa Butang Baru, Kecamatan Mandiangin. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi Menyikapi berbagai peristiwa bencana ini, sebagian kalangan beranggapan bencana sebagai peringatan atau azab dari Tuhan atas diri manusia yang makin menjauh dari Sang Pencipta. Sebagian lagi menyikapinya sebagai sebuah takdir yang harus dihadapi dengan pasrah. Namun ada juga sebagian kalangan yang menyikapi bencana alam sebagai bagian dari cara alam itu sendiri untuk menjaga keseimbangannya agar dapat dihuni oleh makhluk yang ada didalamnya. Apapun yang menjadi argumentasinya, bila bencana sudah datang, manusia tidak akan bisa menolaknya. Saat gempa dan tsunami datang, getaran bumi dan air bah tidak bisa dihentikan. Yang masih bisa dilakukan adalah mengurangi dampaknya, yakni menghidari daerah rentan bencana, membuat desain khusus bagi lingkungan maupun hunian yang aman bencana, mengusahakan sistem peringatan dini dan tanggap bencana yang efektif. Namun untuk dapat melakukan semua ini diperlukan kesiapan institusional yang efektif dan teknologi yang tepat untuk mencegah dan memulihkan rakyat dari dampak bencana. Termasuk didalamnya membangun institusi sosial ditingkat ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 46 MATAHATI rakyat yang telah terbukti efektif dan efisien menanganani kondisi ini. Untuk membangun institusi rakyat yang berdaulat dalam penanganan dan pengurangan resiko bencana membutuhkan keputusan politis dari elit penguasa. Tapi sayangnya dalam pembentukannya yang biasanya diputuskan oleh mereka yang tidak terkena bencana sehingga kerap kurang sensitif untuk melepaskan sebagian kewenangan tradisionalnya, baik secara materil maupun institusional. Paradigma yang berkembang di masyarakat bahwa ‘alam sedang murka” atau Tuhan Marah” cenderung menenggelamkan perbincangan tentang jenis-jenis bencana yang jelas-jelas adalah hasil tindakan manusia yang berdampak lebih luas dibandingkan bencana alam. Seperti kegagalan teknologi, gagal modrenisasi, epidemi dan wabah penyakit, teror dan konflik yang disebabkan oleh tarikan kepentingan politik partisan, politik ekonomi dari berbagai pihak di luar rakyat. Kepercayaan akan adanya “kemurkaan alam” juga membuat sebagian besar dari kita lupa menanyakan darimana munculnya ‘kemurkaan’ alam tersebut, yang akhir-akhir ini semakin murka dan meminta banyak korban. Ada juga kemurkaan alam yang memang alami seperti gempa, tsunami, erupsi gunung berapi namun jumlah korbannya bisa ditekan dengan penguatan institusi masyarakat dan kecanggihan teknologi informasi. Namun ada juga ragam kemurkaan alam yang memang secara terang-terangan disebabkan oleh kelakuan dan kerakusan manusia, seperti banjir, longsor, kekeringan dan penyakit yang sejatinya diciptakan oleh manusia sendiri. Sebagian besar rakyat, termasuk elite politik dan penguasa masih lemah dalam memahami jenis-jenis bencana. Umumnya masih benganggapan bencana disebabkan oleh ‘alam yang murka”, berakibat pada kurangnya pemahaman untuk menyusun langkah yang lebih komprehensif dan lebih sensitif pada kehidupan rakyat yang rentan terkena bencana. Kondisi ini tampak jelas terlihat dari ketidakseriusan pemerintah dalam menyusun langkah-langkah pengurangan resiko bencana di tingkat masyarakat. Semua elite penguasa dan politik sepakat jika negeri ini rawan bencana. Tapi tidak bersepakat dalam menyusun kebijakan dan langkah-langkah dalam mengurangi resiko bencana. Sebagai contoh betapa lemahnya kebijakan penanggulangan bencana di negeri ini dapat dilihat dari carut marutnya penanganan tanggap darurat pada setiap kejadian bencana. Mulai dari ketidakjelasan data korban, lambatnya evakuasi korban, carut marutnya distribusi bantuan, lambatnya penanganan paska bencana, serta memunculkan politik bantuan, korupsi dan menghancurkan kemandirian masyarakat yang dampaknya lebih dasyat dari peristiwa bencananya sendiri. MATAHATI Membangun Paradigma Baru Penanganan Bencana. Untuk mengurangi ancaman dan kerentanan terhadap bencana inilah saatnya dibutuhkan perspektif pengurangan resiko bencana di semua sektor pembangunan, termasuk di kalangan masyarakat. Kita harus membangun kesadaran baru bahwa setiap ancaman bencana sebagai sesuatu yang masih bisa dihindari dan dikendalikan dengan memindahkan calon korban dari tempat-tempat yang rentan terkena ancaman. Itu semua bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan kebencanaan yang lebih baik dimasyarakat, membangun rumah dan fasilitas publik yang tahan terhadap goncangan gempa, membangun sistem peringatan dini ditempat-tempat yang rawan bencana, menyiapkan jalur evakuasi yang baik, tiap desa memiliki data based peta ancaman bencana, walaupun bencana tidak dapat dihindari tetapi kita bisa mengurangi dampak yang akan ditimbulkan dari bencana tersebut. Semua menyadari jika negeri ini rawan bencana, tetapi sedikit sekali orang yang menyadari bahwa ancaman bencana tidak akan menjadi bencana jika setiap wilayah di negeri ini warganya dipersiapkan dengan pengetahuan dan ketrampilan untuk mengenal potensi ancaman, kerentanan dan kapasitas mereka dalam menghadapi bencana. Dalam membangun kesadaran warga dan penguasa dinegeri rawan bencana, perlu membangun ulang pengertian konsep “bencana” yang lebih berorientasi pada rakyat dan hubungannya dengan konsep bencana. Dari berbagai pemahaman baru yang berkembang dibanyak negara tentang kebencanaan terhadap konsep ancaman (hazard), resiko (risk), dan kerentanan (vulnerability). Ancaman bencana merupakan kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana, bisa berupa bahaya laten atau faktor resiko (risk) ekternal yang senantiasa mengancam manusia. Ancaman ini muncul karena aktifitas alam atau manusia, menyimpan daya rusak dan menimbulkan kerugian. Disebut bencana ketika terdapat komunitas manusia yang rentan terkena limpahan ancaman tersebut. Bencana hanya bisa terjadi bila terdapat masyarakat yang rentan terkena ancaman atau bahaya bencana atau ketika kerugian telah melebihi kemampuan masyarakat untuk menyerap, mengatasi dan memulihkan dirinya. Bencana buka fenomena alam semata, melainkan juga timbul karena perbuatan manusia. Bukan pula sesuatu yang serta merta terjadi ketika ‘alam murka’ akibat perbuatan manusia atau fenomena alam sendiri. Dia adalah proses pertemuan dua aspek, yaitu ada kelompok masyarakat yang rentan, misalnya mereka yang berdiam di wilayah cincin api, lereng gunung berapi dan bantaran sungai atau tinggal dibawah bukit terjal yang rentan longsor karena tak ada lagi tempat aman yang dapat mereka huni, dan atau karena tak menerima informasi tentang ancaman yang tengah mengintai mereka. Disisi lain ada, ada kondisi alam/ sosial yang memburuk karena berbagai sebab, seperti meluasnya eksploitasi hutan secara besaran-besaran, konflik perebutan sumber daya, kesenjangan sosial, dampak pemanasan global dan sebagainya. Sedangkan secara awam. bencana melihat manusia dan alam sebagai entitas yang terpisah, sehingga alam hanya dilihat sebagai sasaran dominan dan kendali manusia demi kenyamanan hidup dan realisasi diri mereka melalui praktik material yang dibentuk oleh pertukaran dan kendali pasar. Manusia juga cenderung menganggap alam sebagai sesuatu yang jahat, tidak beraturan ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Seorang siswa SD sedang melintasi banjir di Kumpeh, Kabupaten Muarojambi. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi berlawanan dengan manusia yang teratur dan beradab. Karena itu, penggagasnya menyarankan agar alam bisa dikendalikan demi mulusnya pembangunan dan kemajuan untuk dapat memenuhi hajat hidup manusia. Padahal, sudah banyak bukti menunjukkan bahwa justeru mengejar pertumbuhan ekonomi melalui eksploitasi alam secara berlebihan telah menempatkan manusia sebagai sasaran empuk ancaman bencana, misalnya dengan rusaknya sumberdaya hutan dan kohesi sosial masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, kerentanan mesti dilihat sebagai sebuah lapisan hirarkis yang terdiri dari tumpukan kelas masyarakat yang berada dalam jalur ancaman bencana pada derajat yang berbeda, baik dalam hal peluang terwujudnya ancaman tersebut atau dalam hal kemampuan kelompok-kelompok masyarakat menerima efek ancaman dan seberapa besar mereka bisa membantu kelas masyarakat lain untuk memulihkan diri setelah terkena bencana. Jika kita melihat kondisi di Indonesia, uraian di atas menyarankan bahwa rakyat yang termiskinkan, termarginalisasikan, ekologi yang rentan, dan kerja institusi yang lemah sangat berpotensi menjadi sasaran empuk ancaman bencana. Kita dapat melihat paska bencana gempa dan tsunami di Aceh, rakyat di negeri ini terus menerus disambangi bencana, korban pun terus bertambah sepertinya kita tidak pernah belajar dari bangsa lain yang telah mampu mengurangi ancaman dan ke-rentanan terhadap bencana dengan meningkatkan kapasitas, sehingga dampak bencana dapat dikurangi/dihindari. Jika kita semua mau, sebenarnya sebenarnya masih banyak yang bisa, dan harus dilakukan demi menghadapi kerja alam yang tak bisa dihentikan ini. Dan bukan bukan hanya berdiam diri dan pasrah menanti limpahan lumpur dan air bah dari atas bukit, atau hanya berdoa siang dan malam agar dapat terhindar dari amukan alam. Pemerintah (pusat-daerah), perguruan tinggi, organisasi sosial kemasyarakatan dan pihak-pihak yang peduli dengan kondisi negeri yang rawan bencana ini untuk duduk bersama menyusun paradigma dan kerangka kerja baru dalam pengurangan resiko bencana. Badan Penanggulangan Bencana terutama di daerah yang telah dibentuk, dapat merangkul semua pihak, tidak seperti saat ini yang lebih cenderung berkutat pada urusan dirinya sendiri dengan birokrasi yang kaku. Penguatan institusional Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Propinsi&Kabupaten) menjadi skala prioritas bagi pemerintah. Bukan hanya sekedar melengkapi kebutuhan prasarana dan sasaran, sumber daya manusia, alokasi pendanaan, organisasi dan manajemen, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menjadikan BPBD menjadi institusi profesional, transparan dan akuntable serta mampu menyusun konsep dan strategi aplikatif dan komprehensif dalam penanganan kebencanaan di daerah. Pemerintah Daerah harus berani melakukan refleksi atas kelemahan penanganan bencana yang terjadi saat ini. Kita semua tahu ada banyak kelemahan yang dilakukan, seperti distribusi bantuan yang tidak merata sebagai dampak dari lemahnya sistem pendataan, tidak cakapnya manajemen tanggap darurat serta lemahnya koordinasi di tingkat lapangan. Semua ini jika tidak diselesaikan dengan baik akan menjadi sumber ancaman bencana baru, selain bencana yang disebabkan oleh alam. (Hambali) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 47 KAJIAN 48 Suasana perkampungan Tanjung Alam, Kecamatan Jangkat, di pagi pagi. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi Potret FPIC di Tengah Masyarakat Adat L okalitas masyarakat adat merupakan kebenaran empiris negara kita karena negara ini lahir tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dan kebersatuan masyarakat adat. Sejarah membuktikan bahwa masyarakat adat sudah ada jauh sebelum republik ini didirikan. Begitu juga dalam perjalanan pendirian republik ini para founding father sudah membicarakan kepentingan masyarakat adat terutama ketika penyusunan konstitusi sebagai norma dasar negara kita. Akan tetapi pada perkembangannya lokalitas adat semakin memudar karena tidak adanya political will pemerintah dalam mengakui dan memperkuat keberadaan masyarakat adat. Disamping itu dalam hukum positif keberadaan masyarakat adat tidak dimasukkan sebagai penyangga hukum (hak) dasar sebagaimana disusun oleh para founding father. Padahal konstruksi masyarakat adat sudah dirumuskan ketika penyusunan konstitusi pertama, pasal 18 UUD 1945 menyatakan pemerintahan masyarakat adat sebagai pemerintah “bawahan” yang istimewa untuk menopang Pemerintahan Republik di Jakarta. Pada penjelasannya mengatakan “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen (daerah-daerah swapraja) dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.” Kebenarannya saat ini masyarakat adat dihadapkan pada kondisi dilematis terhadap pengakuan dan penguasaan tenurialnya serta dikepung ekspansi pencaplokan lahan yang berujung pada penggusuran masyarakat adat. Begitu juga beragam konflik dan pengambilan hak-hak masyarakat terhadap potensi yang sudah turun temurun dikelola tidak kunjung usai. Mereduksinya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat membuat para pemerhati masyarakat adat mengembangkan pola ataupun regulasi untuk menguatkan lokalitas masyarakat adat. Menguap ide Free and Prior Informed Consent (FPIC) yang dimaknai sebagai persetujuan bebas tanpa paksa yang didahu- ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 KAJIAN Orang Rimba sedang mengambil manau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi lui dengan informasi memadai tentang sebab dan akibat suatu proyek menjadi peluang dalam menguatkan masyarakat adat. tifikasi kepada perusahan perkebunan dan kehutanan yang menghargai keberadaan masyarakat adat melalui penerapan FPIC. FPIC dan HAM Jika kita kaitkan FPIC dengan doktrin tanggungjawab negara dalam Hak Asasi Manusia (HAM) terdapat empat fungsi pokok yang wajib dilakukan negara yaitu penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), pemenuhan (to fullfill) dan mengkampanyekan (to promote) penegakan hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya dalam setiap tindakan yang dilakukan pihak luar terhadap masyarakat adat. FPIC semula digunakan untuk melindungi kepentingan pasien di rumah sakit yang semestinya mengetahui setiap proses dan jenis pengobatan yang akan dilaluinya secara pribadi. Kemudian konsep ini dikembangkan sebagai standar perlakuan terhadap masyarakat adat oleh beberapa organisasi internasional. Konvensi ILO 169 tahun 1989 menjadi cikal bakal pentingnya persetujuan masyarakat adat atas pemindahan (relocation) masyarakat dari tanah leluhur mereka. Kemudian dalam United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 13 September 2007, konsep FPIC dilengkapi dalam sejumlah pasal, tidak terbatas pada soal relocation lagi. Konsep ini juga dikembangkan oleh lembaga internasional multipihak untuk memberikan pelabelan terhadap perusahaan yang memiliki performance baik dalam lapangan usahanya. Pada sektor kehutanan dikembangkan oleh Forest Stewart Council (FSC), di sektor perkebunan dikembangkan oleh Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO). Kedua lembaga ini memberikan ser- FPIC memuat empat komponen yang dapat menjadi pintu masuk penguatan masyarakat adat dan resolusi konflik tenurial. Pertama Free, berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan masyarakat tanpa ada unsur pemaksaan dalam merumuskan kesepakatan ataupun aturan. Kedua Prior, sebelum proyek atau kegiatan tertentu diizinkan pemerintah, terlebih dahulu harus mendapat izin dari masyarakat. Ketiga Informed, informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya; dan Keempat Consent, persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 49 KAJIAN 50 Orang Rimba di SPA hidup terlunta-lunta di tengah kebun sawit. Sebelum dialihfungsikan menjadi kebun sawit kawasa ini merupakan ruang jelajah mereka. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi KAJIAN Orang Rimba terusir dari hutan mereka dan terpaksa hidup di tengah kebun sawit milik perusahaan. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi Perlukah FPIC ? Nuansa FPIC dalam Masyarakat Adat Penulis menilai selama ini pemamfaatan SDA menempatkan posisi masyarakat adat sebagai penonton eksploitasi kekayaan alam yang diwariskan oleh leluhur mereka dulu. Bila kondisi ini dibiarkan, maka tesis bahwa sumberdaya alam merupakan kutukan bagi masyarakat pada kawasan sumberdaya alam tidak dapat dielakkan. Pengadopsian FPIC dalam kerangka hukum nasional dapat menjadi tawaran penguatan masyarakat adat dan dinamika internasional dan tradisi lokal menjadi konsideran yang cukup untuk melahirkan kebijakan yang lebih menghargai hak asasi masyarakat adat. Konsep FPIC sebenarnya bukanlah konsep asing pada masyarakat lokal di Indonesia. Ia mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat lokal dalam bentuk musyawarah untuk melakukan pemanfaatan aset yang dimiliki dengan pihak luar. Tetapi konsep lokal ini sering dilabrak oleh ketentuan nasional yang ramah terhadap korporasi. Penulis menilai perlunya adopsi FPIC dalam kerangka hukum nasional dikarenakan beberapa alasan yaitu: (a) untuk mencegah konflik antar masyarakat adat dengan pihak lain; (b) merupakan wujud penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas hak ulayatnya; dan (c) Menjaga keberlanjutan lingkungan sebab penguatan masyarakat yang berada pada kawasan sumberdaya alam, yang selama ini bercorak komunal, dapat menghadang kerusakan lingkungan dari ketamakan individu dan korporasi. Baru Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, mencoba mengadopsi pentingnya informasi, persetujuan dan pengutamaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sedangkan UU lainnya seperti UU Pokok Agraria, UU Petambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Sumberdaya Air lebih memilih menerapkan pengakuan bersyarat keberadaan masyarakat adat daripada membangun mekanisme yang aplikatif dan menghargai. Begitu juga pengakuan bersyarat masyarakat adat juga tertuang dalam Kepmen Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 (pasal 6) dan Keppres No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan (pasal 2 ayat 2 huruf F) sama-sama menegaskan bahwa kewenangan penyelesaian dan penetapan hak ulayat diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota melalui Perda. Berbicara ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 pengakuan masyarakat hukum adat perlu penulis bunyikan keberadaan Surat Edaran Mentri Kehutanan No. S.75/Menhut-II/2004, 12 maret 2004, tentang masalah hukum adat dan tuntutan kompensasi/ganti rugi oleh masyarakat hukum adat. SE a quo menyatakan jika terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat di kawasan HPH/IUPHHK maka perlu sebelumnya dilakukan penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh masyarakat di daerah bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat berdasarkan kriteria pada penjelasan pasal 67 ayat (3) UU Kehutanan. Jika hasil penelitian menyatakan ada masyarakat hukum adat maka Pemda dan DPRD menetapkannya melalui Perda Provinsi dan kemudian disampaikan kepada Kemnhut untuk dinilai apakah diterima atau tidaknya. Yang menjadi pertanyaan jika Perda itu ditolok Menhut bagaimana status masyarakat adat tersebut. Tentunya regulasi ini dapat melemahkan masyarakat adat, disamping proses yang panjang juga kental dengan nuansa politik baik itu dalam proses penyusunan Perdanya maupun ketika sampai di meja Mentri. Manipulasi pengakuan bersyarat keberadaan masyarakat adat, pada kenyataannya justru melanggengkan konflik agraria yang terjadi antara masyarakat adat, pemerintah dan korporasi. Tahun 2010 KPA mencatat terdapat 106 konflik agraria dengan tiga orang meninggal. Sepanjang tahun 2011 terdapat 163 konflik agraria di Indonesia dengan jumlah rakyat atau petani meninggal mencapai 22 orang. Sedangkan Januari-Juli 2012 terdapat 23 korban meninggal terkena tembakan. Begitu juga konflik agraria yang terjadi pada tahun 2011 melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektar. Dari 163 konflik agraria tahun 2010, rinciannya 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus di sektor infrastruktur, 8 kasus di sektor pertambangan, dan 1 kasus di wilayah tambak atau pesisir (Kompas.com). Sedangkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN), sampai tahun 2011 terdapat 14.337 sengketa pertanahan. Selain konflik antara warga dengan pihak pengusaha/penguasa maupun dengan aparat, juga terjadi konflik antar sesama warga (pendatang dengan penduduk asli, maupun warga yang pro dengan yang anti perkebunan). Munculnya skema FPIC menjadi peluang bagi penguatan masyarakat adat. Kedepannya kita harus mendorong skema FPIC diadopsi dalam hukum positif sehingga lokalitas dan pemenuhuan hak tenurial masyarakat adat dapat dipenuhi. (Ilham Kurniawan Dartias, Staf Hukum dan Analisis Kebijakan Hukum) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 51 SELINGAN 52 Lain lagi dengan Meranggai, meski sama-sama berasal dari kelompok Kedundung Muda dia beralasan menjadi penyiar adalah tempat untuk melatih keberanian dan lebih cerdas. Meranggai merasa diskriminasi yang ada selama ini terhadap Orang Rimba dikarenakan kebodohan bisa ditepis jika generasi mudanya banyak menimba ilmu pengetahuan. “Akeh ndok berani dan cerdas, dan bisa diskusi segalo macam. Hopi diloloi lagi,” ujar Meranggai. SELINGAN Kisah Dua Penyiar Rimba Meranggai merasakan, semenjak menjadi penyiar dia bisa mendapatkan informasi pengetahuan dari desadesa di luar. Setiap harinya Tembuku dan Meranggai bisa menghabiskan minimal tiga jam di depan meja siar. Beragam cerita yang mereka dapat, dan tentu saja banyak pengalaman dan ilmu memperkaya pemikirannya. Meranggai menyebutkan siaran yang paling disukainya, adalah Kabar Rimba. Kabar Rimba ini adalah rubrik khusus yang menceritakan kehidupan orang rimba, terkait dengan kesehariannya dan kebudayaan mereka. Biasanya kabar rimba juga diselingi dengan kabar Desa. Ini dilakukan agar terjadi pertukaran informasi antara Rimba dan Desa. Orang Rimba bisa menjadi penyiar, terutama jika mereka masih berstatus belum menikah. Namun akan menjadi sulit, jika perempuan rimba yang ingin menjadi penyiar. Ini dikarenakan, dalam aturan rimba sangat tabu jika perempuan berada di luar komunitasnya, apalagi bersama lawan jenis. “Kanti-kanti rimba semua merasa senang karena bisa mewakili mereka untuk menjadi penyiar. Kalau untuk bujang tidak ado larangan di aturan rimba, kecuali untuk perempuan menjadi penyiar baru bisa dilarang,” katanya Menjadi penyiar, bukan sekedar unjuk kebolehan bagi mereka. Mereka berharap dengan suara mereka mengudara, pesan-pesan ilmu pengetahuan akan tersampaikan kepada saudara-saudara mereka yang berada di ujung-ujung Taman Nasional Bukit Duabelas. (Elviza Diana) Secara adat, tidak ada aturan khusus dalam larangan T embuku dan Meranggai, dua pemuda rimba ini belajar menjadi penyiar lebih dari enam bulan lalu di Radio Benor FM. Kedua pemuda itu, hampir sama dengan pemuda rimba lainnya yang masih malu-malu untuk bercuap-cuap di depan mikrofon. Memutuskan menjadi penyiar, bukanlah perkara gampang bagi kedua pemuda rimba ini. Pasalnya selain belum memiliki kemampuan dalam dunia broad casting, Tembuku dan Meranggai juga masih malu untuk berkomunikasi dengan orang dari luar komunitas mereka. Memunculkan keberanian mereka menjadi langkah yang diambil demi sebuah misi mulia bagi pengetahuan Orang Rimba lainnya. Kini enam bulan berlalu, Tembuku dan Meranggai, tampaknya sudah mulai menikmati menjadi penyiar. Ketika ditanyakan alasannya menjadi penyiar, ternyata alasannya memiliki makna pengabdian yang luar biasa. Seperti yang dikatakan Tembuku, bahwa dia menjadi penyiar untuk membantu Orang Rimba lainnnya agar dapat mengetahui banyak informasi. Seperti yang diketahui, kemampuan untuk membaca bagi Orang Rimba sangatlah minim. Hampir sebagian besar belum bisa membaca, menulis dan berhitung. Sebagai salah satu kader pendidikan Orang Rimba, Tembuku melihat itu menjadi sebuah masalah untuk Orang Rimba dalam memperoleh informasi dari luar. Melalui radio, dia bisa menyampaikan informasi tersebut, dengan bahasa yang bisa dipahami teman-temannya. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Menjadi Pekerja NGO, Aktivis NGO dan Pemikir NGO adalah Pilihan B ertempat di Sebapo Institut, KKI WARSI mentraining 18 fasilitator desa guna meningkatkan kapasitas mereka agar menjadi fasilitator handal. Kegiatan ini dimulai dengan mempekenalkan visi WARSI yakni “konservasi bersama masyarakat”. Visi ini diharapkan mampu ditransformasikan secara utuh oleh fasilitator kepada berbagai pihak. Kegiatan berbentuk pelatihan ini diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan staf fasilitator baru dalam menjalankan tugas-tugas mereka dilapangan dan juga untuk menghilangkan kesenjangan kemampuan fasilitasi antara staf baru dan staf lama. Hal ini dirasakan oleh management WARSI, sehingga walaupun telah melakukan beberapa upaya untuk mengurangi kesenjangan tersebut, namun belum secara sistematis mampu mengurangainya. Berdasarkan hal tersebut, dirasa penting untuk melakukan pelatihan fasilitator secara intensif, terstruktur dan terprogram untuk menciptakan fasilitator tangguh dan handal yang mampu mendapampingi dan menginternalisasikan program WARSI bersama masyarakat dan sekaligus meningkatkan rasa percaya diri fasilitator. Training yang diaksanakan selama 5 hari berturut-turut ini dibuka secara resmi oleh sektretaris dewan anggota WARSI, Adam Azis. Dimulai dengan mengulas pekerjaan NGO adalah pekerjaan yang menuntut para pekerja bekerja dengan prinsip dan komitmen yang tinggi dalam menjalankan tanggung jawab. Adam Azis mengungkapkan penting sekali bagi staff WARSI untuk memikirkan tujuan hidupnya dimasa mendatang. “Apakah ingin menjadi pekerja NGO, aktivis NGO ataupun Pemikir NGO, semua menjadi pilihan anda,” sebutnya. Tembuku dan Meranggai, pemuda rimba yang menjadi penyiar radio komunitas. Foto: Andi Agustanis/dok. KKI Warsi Hal yang senada diungkapkan oleh Direktur Eksekutif WARSI, Rakhmat Hidayat. Dalam presentasinya Rakhmat menjelaskan bahwa optimalisasi diri dapat dilakukan dengan menspesialisasikan diri, sehingga potensi yang dimiliki bisa lebih tajam dan fokus. “Ada banyak hal yang bisa dipelajari di KKI WARSI, hal ini pun diakui oleh pihak luar dimana WARSI telah menjadi learning center atau contoh sukses dari konservasi bersama masyarakat. Dengan demikian, masing-masing staf harus paham isu besar KKI WARSI dengan tidak mengkotak-kotakkan diri berdasarkan program,”sebutnya. ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 53 SELINGAN 54 AKTUAL mereka merasa puas dengan hasil psikotes ringan tentang potensi diri ini. Mereka merasa lebih percaya diri dibanding sebelumnya, karna mereka sadar ada potensi untuk dikembangkan melalui pengembangan pengetahuan, spesifikasi dan interaksi. Pengenalan Teori Reseach Cepat. Peserta training fasilitator desa yang digelar Warsi di Sebapo Institut antusias mengikuti kegiatan. Foto: Emmy Primadona/dok. KKI Warsi Disadari bersama, berbagai program yang telah dan sedang berjalan pada dasarnya bermuara pada visi yang sama yakni konservasi bersama masyarakat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Motivasi dan Pengenalan Potensi Diri. Salah satu materi yang sangat dinikmati perserta adalah, pengenalan potensi diri sehingga secara tidak langsung memacu motivasi staf sehubungan dengan pekerjaan. Adalah teori Douglas Mc.Gregor seorang psikolog menemukan dua “”Kutub Ekstrem” tentang “sifat dasar manusia” yang dinanamakan teori X dan teori Y. Kedua teori ini menggabarkan bagaimana sikap seseorang terhadap diri dan komunitas di sekitarnya. Teori ini diujicobakan kepada staf oleh Hambali, selaku koordinataor pelatihan ini, melalui analisa study kasus seorang pemandu lapangan. Teori X lebih menjelaskan bahwa seseorang butuh tindakan tegas untuk menjadi disiplindan bertanggung jawab. Hal ini diperjelas dengan sikap yang sungkan mengambil keputusan, susah percaya diri, mementingkan diri sendiri, butuh pengawasan dan lebih dimotivasir oleh uang. Sebaliknya teori Y lebih mencerminkan seorang individu yang berkerja karena komitmen terhadap tujuan yang dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan sikap yang mampu mengembangkan diri sendiri tanpa tekanan dan mampu berkembang di berbagai macam kondisi. Mereka yang memiliki faktor Y yang besar bepotensi sebagai pemimpin dan pengambil keputusan. Hasil uji coba “Kutub Ekstrem” ini menunjukkan bahwa rata-rata peserta pelatihan mengarah pada ke kutub Y, dan angka menuju kutub Y sangat variatif, diharapkan dengan meningkatnya jam terbang sebagai fasilitator maka nilai kutub Y pada diri fasilitator dapat ditingkatkan. Setelah menyadari potensi diri yang dimiliki oleh masing-masing staf, pandangan peserta training fasilitator mengenai diri mereka sedikit jauh berubah. Perbincangan masing-masing peserta mengungkapkan bahwa Tidak hanya pengenalan diri, training ini juga mengajarkan staf bagaimana memahami konstalasi politik dan kepentingan di tengah masyarakat. Seperti yang dipaparkan oleh Rudi Syaf seperti yang dikutib di buku Tania Lee “The will to improve” adalah Niat baik serta rencana hebat untuk memakmuran kehidupan masyarakat bukan jaminan kemakmuran tersebut akan terwujud. “Masyarakat bukanlah ruang kosong yang mampu diisi dengan apa saja, sehingga adanya pergeseran output dari yang direncanakan menjadi satu hal yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, peranan fasilitator yang handal dan penggunaan strategi fasilitasi yang tepat adalah kunci utama keberhasilan tercapainya suatu program,” urai Rudi. Salah satu metode yang diperkenalkan untuk memahami kondisi atau dinamika yang terjadi di tengah masyarakat adalah dengan melakukan metode PRA (participatory Rural Appaisal) dan RRA (Rapid Rural Appraisail). Metode ini tidak hanya diperkenalkan secara teori namun juga dipraktekkan langsung oleh peserta. Dengan menguasai metode PRA dan RRAS, fasilitator akan mampu menganalisa kondisi disuatu komunitas dan mempersiapkan strategi fasilitasi yang tepat yang bisa diterapkan. Dalam pelaksanaannya training lima hari presentasi, analisa study kasus, dan diskusi interaktif adalah metode yang diterapkan secara berimbang selama proses pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran terasa begitu cepat dan menyenangkan. Disela-sela break, pertanyaan krisis sering kali muncul di kalangan staf. Rasa frustrasi yang dirasakan staf mengenalkan program konservasi bersama masyarakat yang sarat dengan perubahan, adalah hal yang lumrah seperti yang dikatakan oleh Rudi Syaf. Hal yang terpenting untuk menjadi fasilitator handal adalah tetap semangat dan konsisten dalam menyampaikan informasi. Karena bekerja bersama masyarakat bukanlah pemaksaan ideologi, tapi bagaimana mereka paham dan sadar dengan apa yang mereka lakukan setelah mendapatkan informasi yang cukup dari berbagai pihak. Secara umum pandangan peserta fasiliator mengenai pelatihan fasilitator ini sangatlah positif. “Ibarat baterai rasanya sudah fully charged” ujar Agus, salah satu peserta pelatihan. Mereka telah siap kembali berinteraksi dengan masyarakat dengan amunisi dan semangat baru. (Emmy Primadona Than) ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 Menangkap Peluang PHBM Warsi menggelar lokakarya pengelolaan hutan berbasis masyarakat, perkembangan dan peluang ke depannya di Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun. Foto: Yusrita/dok. KKI Warsi S ejak pagi, Bukhori ketua kelompok pengelola hutan adat Desa Temalang, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, sudah berangkat dari rumahnya menuju kantor camat. Namun perjalanan yang biasanya hanya memakan waktu satu hingga dua jam dari rumah itu, kini harus ditempuh menjadi empat jam. Ia pun terlambat mengikuti pertemuan yang akan dihadiri. Hal itu dikarenakan banjir yang melanda desanya, dan beberapa desa sekitar. Bukhori, adalah salah satu peserta perwakilan dari sepuluh desa di Kecamatan Limun yang mengikuti lokakarya terkait dengan perkembangan dan peluang pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Enam di antara sepuluh desa ini merupakan daerah penyangga Hutan Adat Bukit Bulan, yaitu Desa Lubuk Bedorong, Desa Napal Melintang, Desa Meribung, Desa Mersip, Desa Berkun dan Desa Temalang. Sementara empat desa lainnya berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Produksi Ketalo Singkut dan Hutan Lindung Bukit Tinjau Limun, yaitu Desa Suka Damai, Panca Karya, Demang dan Ranggo. Ada sekitar 30 orang peserta yang merupakan perwakilan setiap desa. Masing-masing terdiri dari kepala desa, ketua BPD dan ketua pengelola hutan adat. Meski telah memiliki hutan adat sejak penetapan kawasan Hutan Adat Bukit Bulan pada 2010 lalu, masyarakat mengaku masih belum merasakan manfaat yang cukup signifikan dari penetapan kawasan tersebut. Seperti yang diungkapkan Nasrul, ketua pengelola hutan adat Desa Berkun. Menurut dia, sejak ditetapkankannya kawasan Hutan Adat Bukit Bulan, belum ada program pemerintah disana yang kemudian berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Padahal, program-program pemerintah sebenarnya bukan satu-satunya tujuan yang akan dicapai dalam upaya penyelamatan hutan. Sebab, masyarakat Desa Temalang dan Napal Melintang sudah merasakan manfaat dari terjaganya hutan berupa kesediaan air di dae- rah hulu. Dengan tersedianya pasokan air mereka bisa merasakan sumber penerangan dari pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). PLTMH ini mulai berjalan sejak 2006 dengan daya sebesar 30 Kwh. PLTMH ini mampu menjadi satu-satunya sumber listrik untuk 67 kepala keluarga di Desa Temalang dan seratus kepala keluarga di Desa Napal Melintang. Dalam lokakarya tersebut, Rainal Daus, koordinator KKI Warsi menjelaskan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan peluang-peluang pemanfaatan yang dapat diperoleh oleh masyarakat. Dalam prakteknya, pengelolaan hutan berbasis masyarakat selalu melibatkan masyarakat setempat sebagai pengelola. Lembaga pengelola ini dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh masyarakat setempat, serta memiliki wilayah yang jelas.Pengelolaan hutan seperti ini melibatkan masyarakat sebagai aktor utama, sehingga masyarakat dituntut memiliki kearifan lokal dalam menjaga hutan sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian. Dengan adanya pengelolaan hutan berbasis masyarakat, diharapkan bisa menjadi sumber pendapatan untuk pembangunan desa dengan memperhatikan prinsip kelestarian hutan. Untuk itu lembaga pengelola yang dibentuk diharapkan mampu berperan sebagai pengontrol dalam mempertahankan kelestarian hutan. Seperti yang diatur dalam Undang-undang 41 Tahun 1999 pasal 15 (Kehutanan) dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 dalam pasal 84 menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pemberian akses dan peningkatan askes dan peningkatan kapasitas dalam pengelolaan hutan. Ini tentu akan membuka peluang bagi upaya-upaya pengembangan dan percepatan program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Konsep pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat merupakan salah satu bentuk pemikiran pengelolaan hutan dengan memadukan tujuan tercapainya kelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Elviza Diana) ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012 ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013 55 ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Similar documents
Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997
FWI dan GFW (2001) telah memetakan sebaran konflik kehutanan di Indonesia berdasarkan hasil survei terbatas tentang konflik sumber daya hutan1 . Beberapa penyebab umum konflik di sektor kehutanan b...
More information