redd+ indonesia newsletter - United Nations in Indonesia
Transcription
redd+ indonesia newsletter - United Nations in Indonesia
United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia REDD+ INDONESIA NEWSLETTER Vol. 1 - No. 4 Desember 2014 Isi Hubungan antara Perubahan Iklim, Keanekaragaman Hayati Hutan, dan Pembangunan Berkelanjutan Braulio Ferreira De Souza Dias ........ 4 REDD+ Partnership Bertemu untuk Terakhir Kalinya Lima, Peru, 27-28 November 2014 ....... 6 UNFCCC CoP20 di Lima Peran sektor swasta dan mekanisme berbasis pasar dalam mendanai REDD+ ........ 8 Wawancara Bulan Ini Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim ........ 12 Riau Memprioritaskan Gambut: Presiden Jokowi Blusukan di Riau Presiden Joko Widodo mengunjungi Provinsi Riau ........ 15 WWF-Indonesia Mendorong REDD+ Yurisdiksi di Indonesia ........ 18 UNORCID (United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia) adalah ‘focal point’ Sistem PBB untuk REDD+ di Indonesia. Berdasarkan keuntungan kompetitif dan keahlian domain sembilan Entitas Sistem PBB (FAO, ILO, UNDP, UNEP, UNESCO, UNODC, UNOPS, UNU, dan WFP) serta banyak mitra masyarakat sipil, UNORCID memberikan informasi dan perangkat terkait kepada pengambil keputusan dan pemangku kepentingan di semua tingkat untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan REDD+ di Indonesia. UNORCID diresmikan pada tanggal 17 November 2011 oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, setelah penandatanganan Nota Kesepahaman antara Republik Indonesia dengan Sistem PBB pada bulan September 2011. Mitra Strategis Sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa: Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Penelitian dan Sektor Swasta: UNOR CID DARI DIREKTUR Tahun 2014 merupakan tahun penentu untuk REDD+ di Indonesia. Badan Pengelola REDD+, yang baru terbentuk pada bulan Januari tahun ini, memainkan peran pendorong dalam memperluas dan memperdalam program REDD+ Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan diterimanya program ini di seluruh Indonesia. Kegiatan-kegiatan UNORCID juga telah meluas – dan walaupun newsletter edisi ini merupakan newsletter bulanan kami yang keempat – kami berharap newsletter-newsletter yang telah kami publikasikan selama ini sudah memberikan bayangan kepada Anda tentang rentang dan ruang lingkup kerja kami. Hal ini diilustrasikan lebih lanjut dengan banyaknya kegiatan yang diselenggarakan oleh UNORCID di sela-sela Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties, COP) ke-20 United Nations Framework Convention on Climate Change, yang dirangkum dalam newsletter ini, dan yang informasinya tersedia di situs web kami. Melihat ke depan, sejumlah inisiatif terobosan yang menggembirakan akan segera berlangsung di tahun 2015, termasuk suatu Konferensi Tingkat Tinggi bagi para pemimpin usaha dari seluruh belahan dunia pada tanggal 9—10 Februari, di Jakarta, dengan topik ‘Tropical Landscapes: A Global Investment Opportunity’. Landasan telah diletakkan bagi UNORCID untuk meningkatkan dukungan sistem PBB bagi prerogatif-prerogatif utama program REDD+ nasional, dengan topik-topik yang berkisar dari ‘blue carbon’ sampai pengarusutamaan gender (PUG), dan dengan kelompok-kelompok yang meliputi para anggota parlemen nasional, anak-anak, dan pemuda-pemudi. Di tahun 2015, pemerintah yang baru di Indonesia akan lebih memperjelas prioritas dan posisinya, dan terdapat banyak alasan untuk merasa optimis bahwa prioritas dan posisi pemerintah akan sejalan dengan visi ‘pertumbuhan berkelanjutan yang berkeadilan’ yang diupayakan oleh program REDD+ Indonesia. Di tingkat internasional, dunia bergerak menuju konferensi perubahan iklim yang sangat penting (COP21/CMP11) di Paris 2015. Saya berharap newsletter-newsletter kami akan tetap menarik dan berharga bagi Anda dengan semakin dinamisnya konteks REDD+ di Indonesia, dan dengan meningkatnya pertaruhan yang terkait dengan kesepakatan global tentang mitigasi perubahan iklim di saat yang sama. Saya berharap pembaca akan mendapatkan semua yang terbaik di Tahun Baru. Satya S. Tripathi 3 D es em b er 2014 REDD+ Indonesia Newsletter Braulio Ferreira De Souza Dias Sekretaris Eksekutif - Konvensi Keanekaragaman Hayati Hubungan antara Perubahan Iklim, Keanekaragaman Hayati Hutan, dan Pembangunan Berkelanjutan Perubahan iklim dan keanekaragaman hayati terkait erat. Perubahan iklim semakin menjadi salah satu ancaman utama terhadap keanekaragaman hayati, dan kemungkinan akan menjadi salah satu pendorong hilangnya keanekaragaman hayati yang paling signifikan di akhir abad ini. Di saat yang sama, keanekaragaman hayati, dan ekosistem kesehatan memainkan peran utama dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan berkontribusi bagi penyerapan karbon jangka panjang, dan mengurangi dampak dari peristiwa ekstrem seperti kekeringan dan banjir. Karena konservasi, restorasi, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sangat penting untuk pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, kesehatan, dan aspek-aspek lainnya dari kesejahteraan manusia. Jika kita biarkan keanekaragaman hayati terus menurun, kita bukan hanya menurunkan kemampuan kita untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, kita juga akan menurunkan pemenuhan fungsi-fungsi yang sangat penting ini, dengan akibat merugikan yang dirasakan oleh semua pihak, dan terutama oleh penduduk termiskin dunia ini. global, termasuk berkontribusi bagi REDD+. Sejak asal mulanya, REDD+ telah meluas, tidak hanya mencakup kegiatan-kegiatan yang berfokus semata-mata pada penurunan emisi karbon, melainkan juga mencakup jasa lainnya yang melindungi lingkungan hidup. Dalam rangka memastikan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi deforestasi dan kontribusi-kontribusi bagi restorasi ekosistem telah dilakukan, dalam hal ini kita perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Deklarasi Hutan New York baru-baru ini, yang menargetkan pengurangan deforestasi hingga setengahnya pada tahun 2020 dan menghentikannya sama sekali pada tahun 2030, merupakan suatu contoh kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta yang merencanakan tujuan yang ambisius untuk mengatasi deforestasi dan mendorong restorasi lahan yang terdegradasi. Sektor swasta memainkan peran penting dalam mengurangi deforestasi – serta dalam berkontribusi bagi restorasi ekosistem. Namun demikian, pelaksanaan Deklarasi Hutan New York menghadapi sejumlah tantangan, terutama kurangnya perangkat praktik dan pedoman di banyak negara. Dikarenakan hubungan di antara ketiga sektor ini, pengelolaan hutan, lahan basah, hutan bakau, dan ekosistem lainnya dengan lebih baik dapat membantu menurunkan emisi gas rumah kaca. Ekosistem yang berbeda-beda yang ditandai dengan lebih banyak keanekaragaman hayati menjadi lebih tangguh, dan dapat lebih beradaptasi dengan perubahan iklim. Kabar baiknya adalah, terdapat kerangka kerja yang disepakati luas untuk mengatasi keanekaragaman hayati, yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Sebagai kerangka kerja keanekaragaman hayati yang menyeluruh, bukan hanya untuk konvensi-konvensi yang terkait dengan keanekaragaman hayati, melainkan untuk keseluruhan sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rencana Strategis Keanekaragaman Hayati 2011-2020 mencakup 20 Target Keanekaragaman Hayati Aichi yang ambisius, termasuk target-target yang terkait dengan konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, dan restorasi hutan. Agar pemanasan global berada di bawah 2 derajat, praktikpraktik yang ada sehubungan dengan pengelolaan hutan juga akan perlu diubah. Kita perlu mengurangi deforestasi sebanyak setidaknya 50% pada tahun 2030. Ini tidak akan mudah, karena sekitar 13 juta hektar hutan terus hilang tiap tahun dikarenakan pembukaan lahan dan degradasi, sehingga memberikan kontribusi hingga 20 persen pada emisi gas rumah kaca global tahunan. Sebagai bagian dari Target Keanekaragaman Hayati Aichi yang telah disepakati, Negara-negara Penanda Tangan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity, CBD) telah berkomitmen, pada tahun 2020, untuk bertransisi menuju produksi dan konsumsi sumber daya Restorasi ekosistem adalah salah satu elemen yang dapat mencapai berbagai tujuan kebijakan lokal, nasional, dan 4 D es em b er 2014 UNOR CID KOLOM TAMU alam dengan cara yang berkelanjutan (Target 4); setidaknya mengurangi laju deforestasi hingga setengahnya (Target 5); sangat mengurangi degradasi dan fragmentasi (Target 5); meningkatkan wilayah di bawah kehutanan berkelanjutan (Target 7); meningkatkan dan memperbaiki kawasan lindung (Target 11); mencegah kepunahan spesies dan meningkatkan status spesies-spesies tersebut (Target 12); mempertahankan keragaman genetik (Target 13); mengamankan ekosistem dan jasa yang esensial (Target 14); dan melaksanakan restorasi ekosistem pada setidaknya 15% lahan yang telah terdegradasi di Bumi ini, sehingga meningkatkan cadangan karbon (Target 15). diskusi-diskusi untuk agenda pembangunan pasca-2015 dan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutannya. Kemudian, dalam “Gangwon Declaration” yang diadopsi pada segmen tingkat tinggi COP 12, menteri-menteri yang hadir menyambut arti penting yang diberikan pada keanekaragaman hayati dalam dokumen hasil dari Kelompok Kerja Terbuka untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan menyerukan pemaduan dan pengarusutamaan lebih jauh keanekaragaman hayati dalam agenda pembangunan pasca-2015. Mereka juga meminta Para Pihak, pemerintah negara lain, organisasi internasional, dan para pemangku kepentingan untuk mengaitkan pelaksanaan agenda pembangunan pasca-2015 dengan proses relevan lainnya seperti proses Kerangka Kerja Bantuan Pembangunan PBB (UN Development Assistance Framework), Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Nasional (National Biodiversity Strategies and Action Plans), dan untuk memadukan pelaksanaan Rencana Strategis dan Target Keanekaragaman Hayati Aichi dengan pelaksanaan agenda pasca-2015. Hasil-hasil ini, bersama dengan banyak tujuan dan target dalam usulan Kelompok Kerja Terbuka Majelis Umum PBB untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yang mengusulkan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan, berfungsi untuk mencerminkan bahwa keanekaragaman hayati sangat penting bagi pembangunan berkelanjutan. Bahkan, disertakannya keanekaragaman hayati dan ekosistem secara khusus dalam tujuan 14 dan tujuan 15, serta di seluruh tujuan-tujuan lainnya merupakan pengakuan bahwa keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem merupakan dasar bagi kekayaan, kesehatan, dan kesejahteraan kita. REDD+ diakui berpotensi memberikan banyak manfaat untuk keanekaragaman hayati. Namun, jika keanekaragaman hayati tidak dipertimbangkan dengan tegas selama perencanaan dan pelaksanaan REDD+, dampak negatif dapat terjadi. Sejumlah Target Keanekaragaman Hayati Aichi, termasuk Target 5, 7, 11, 14, 15, dan 18 jelas terkait dengan REDD+, yang memberikan pendekatan berbagai target bagi perencanaan dan pelaksanaan REDD+. Misalnya, keanekaragaman hayati dapat ditingkatkan melalui perencanaan hutan jangka panjang, analisis dan kegiatan pemantauan di bawah REDD+ yang mencakup peningkatan data spesies, penilaian kesenjangan ekologi, peningkatan konektivitas ekologi dan perluasan kawasan lindung. Peningkatan cadangan karbon seperti melalui peningkatan reforestasi dan reboisasi akan memberikan kontribusi terbesar bagi restorasi ekosistem. Namun, dengan cara ini, hubungan-hubungan yang digambarkan di atas perlu diatasi untuk menghindari dampak negatif. Agenda Global Terpadu Edisi keempat Global Biodiversity Outlook (GBO-4), yang diluncurkan pada COP 12, menyimpulkan bahwa nantinya, aksi-aksi untuk mencapai Target Aichi akan perlu dikoordinasikan, karena Target Aichi tidak dapat dicapai sendiri-sendiri secara terpisah. Laporan ini menekankan bahwa memenuhi Target Aichi juga akan berkontribusi bagi tujuan-tujuan pembangunan, ketahanan pangan, kesehatan dan keberlanjutan yang lebih luas, serta mengusulkan agar keanekaragaman hayati diarusutamakan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs/Sustainable Development Goals). Ekosistem yang sehat bertindak sebagai penyangga terhadap bahaya alam dan memberikan pendekatan yang berharga namun kurang dimanfaatkan untuk adaptasi perubahan iklim dan peningkatan ketangguhan alam. Sayangnya, REDD+ masih dipandang sebagai kegiatan mitigasi, tetapi ikrar yang dibuat baru-baru ini terhadap Green Climate Fund ketika KTT Iklim di New York pada bulan September 2014, yang akan mendanai baik kegiatan adaptasi maupun kegiatan mitigasi, merupakan hal yang menggembirakan. Beberapa keputusan kunci yang dibuat oleh Para Pihak pada pertemuan ke-12 Konferensi Para Pihak (COP 12) Konvensi Keanekaragaman Hayati yang baru ditutup, tentang keanekaragaman hayati, pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan merupakan isi dari Peta Jalan Pyeongchang untuk pencapaian Target Keanekaragaman Hayati Aichi, yang memperkuat anggapan bahwa keanekaragaman hayati merupakan bagian dari solusi terhadap tantangan-tantangan pembangunan berkelanjutan dan bahwa keanekaragaman hayati harus menjadi inti dari Masa depan yang kita inginkan berada dalam jangkauan kita. Namun, kita perlu mengamankan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati kita dengan cara yang berkelanjutan, yang memastikan bahwa berbagai sektor dan pemangku kepentingan memainkan peran mereka dan mendukung pencapaian tujuan dan target Rencana Strategi Keanekaragaman Hayati, dan memasukkannya ke dalam agenda pasca-2015 dan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan masa depan. 5 D es em b er 2014 REDD+ Indonesia Newsletter Pertemuan REDD+ Partnership – Lima, Peru, 27-28 November 2014 Perwakilan-perwakilan REDD+ Partnership dari 75 negara, di Palangka Raya, ibukota Provinsi Kalimantan Tengah - Indonesia, untuk Lokakarya dan Pertemuan REDD+ Partnership Global pada tanggal 8—11 Oktober 2013 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC/UN Framework Convention on Climate Change) telah mendorong Para Pihaknya untuk mengoordinasikan upaya-upaya mereka dalam menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Mengakui hal ini dan peran hutan yang sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim, negara-negara yang menghadiri International Conference on the Major Forest Basins pada bulan Maret 2010 menyepakati perlunya membentuk REDD+ Partnership, suatu platform global untuk memungkinkan aksi cepat yang efektif, transparan dan terkoordinasi untuk menurunkan emisi dari sektor penggunaan lahan dan kehutanan di negara-negara berkembang. REDD+ Partnership bertujuan, antara lain; untuk memfasilitasi transfer pengetahuan; peningkatan kapasitas; aksi mitigasi; serta pengembangan dan transfer teknologi. pada tanggal 8—11Oktober 2013. Lokakarya ini mencakup presentasi tentang pengalaman dan pembelajaran dari negara-negara mitra, organisasi-organisasi terkait, LSM, dan masyarakat sipil, serta kunjungan ke situs-situs setempat yang melaksanakan kegiatan-kegiatan REDD+. Pertemuan terakhir REDD+ Partnership diselenggarakan di Lima, Peru, pada tanggal 27-28 November 2014, beberapa hari sebelum dimulainya COP20 UNFCCC. Acara ini, diketuai oleh European Commission dan Panama, memberikan ruang untuk mengevaluasi kebutuhan peningkatan kapasitas untuk REDD+, dengan penekanan khusus pada pendanaan REDD+. Selama hari pertama, anggaran REDD+ Partnership dinilai; Voluntary REDD+ Database (VRD) menyajikan informasi terbaru tentang kegiatankegiatannya; Forest Trends memberikan presentasi tentang model-model untuk kemitraan antara pemerintah dengan swasta guna mendorong REDD+; dan informasi terbaru tentang kerja Green Climate Fund diberikan oleh Tao Wang, Direktur Bidang Mitigasi dan Adaptasi. Di hari berikutnya, Standing Committee on Finance, yang diwakili oleh anggotanya, Stefan Agne, berkonsultasi dengan para pakar REDD+; Leticia Guimaraes, Focal Point REDD+ untuk Kementerian Lingkungan Hidup Brasil, membagi pengalaman Brasil tentang penilaian tingkat emisi rujukan nasional, dan Satya Tripathi, Direktur UNORCID, serta Joy Hyvarinen, Direktur Eksekutif Foundation for International Environmental Law and Development (FIELD), memimpin diskusi tentang pendidikan dan informasi sebagai perangkat untuk mengarusutamakan REDD+. Selain memutuskan bahwa Lima akan menjadi pertemuan REDD+ Partnership yang terakhir, lokakarya dua hari ini ditutup dengan perenungan tentang VRD dan pengalokasian dana yang tersisa. REDD+ Partnership diluncurkan selama Konferensi Iklim dan Hutan Oslo, yang diselenggarakan di Norwegia pada bulan Mei 2010, dan sekitar USD 4 miliar dijanjikan untuk kesiapan dan pelaksanaan REDD+ selama tahun 2010—2012. Pada bulan Desember 2012, Para Pihak UNFCCC mengadopsi Dokumen Doha dan mengekspresikan niat mereka untuk memperluas amanat REDD+ Partnership selama tahun 2013 dan 2014. Program kerja untuk periode waktu tersebut terdiri dari lima komponen utama, yaitu: 1) memfasilitasi kegiatan-kegiatan kesiapan; 2) memfasilitasi kegiatankegiatan demonstrasi; 3) memfasilitasi tindakan berbasis hasil; 4) memfasilitasi peningkatan pendanaan dan tindakan; dan 5) mendorong transparansi dan komunikasi. Selama periode 1 Juli–31 Desember 2013, Indonesia dan Norwegia merupakan Ketua Bersama REDD+ Partnership dan sebagai bagian dari amanat mereka, menyelenggarakan pertemuan REDD+ Partnership di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 6 D es em b er 2014 UNOR CID GAMBARAN UMUM REDD+: INTERNASIONAL Global Landscapes Forum Salah satu acara utama untuk diskusi tentang REDD+, selama Konferensi Para Pihak ke-20 UNFCCC, adalah Global Landscapes Forum (GLF) pada tanggal 6—7 Desember yang dikoordinasi oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) bekerja sama dengan United Nations Environment Programme (UNEP), UN Food and Agriculture Organization (FAO), Kementerian Lingkungan Hidup (MINAM) dan Kementerian Pertanian (MINAGRI) Peru. Dengan tema “Sustainable landscapes for a new climate and development agenda – A vision beyond 2015”, GLF mempertemukan lebih dari 1.500 negosiator, pemimpin dunia, ilmuwan, masyarakat sipil dan pemimpin badan usaha, donor, praktisi, media massa dan pembuat kebijakan yang terlibat dalam sektor pertanian, kehutanan, dan sektor penggunaan lahan lainnya, untuk: (i) mempresentasikan dan memperdebatkan bukti dan pengalaman dalam menerapkan solusi-solusi lanskap terpadu; (ii) Memandu keputusan dan kebijakan tentang perubahan iklim, agenda pembangunan pasca-2015, dan inisiatif ekonomi hijau; dan (iii) Mengidentifikasi bidang penelitian prioritas dan pertanyaan serta kesenjangan kebijakan. Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Peru. Pada diskusi panel yang berjudul “Considering biodiversity in REDD+ planning and implementation: Country experiences and future options” yang diselenggarakan oleh Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Forest Carbon, Markets and Communities, Heru Prasetyo menggambarkan seberapa pentingnya keanekaragaman hayati bagi visi REDD+ Indonesia, inti pembicaraan yang juga ditekankannya pada COP12 Konvensi Keanekaragaman Hayati pada bulan Oktober 2014, di diskusi panel yang berjudul “Considering biodiversity in REDD+ planning and implementation: Country experiences and future options” yang diselenggarakan oleh Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Forest Carbon, Markets and Communities. Lanskap dan keanekaragaman hayati juga merupakan fokus utama dalam kontribusi Heru Prasetyo pada diskusi panel – juga merupakan bagian dari Global Landscapes Forum – yang berjudul “A new climate agenda? Moving forward with adaptation-based mitigation”, yang diselenggarakan oleh Program on Forests (PROFOR) World Bank pada tanggal 7 Desember. Forum ini merupakan tempat yang ideal untuk peluncuran sebuah buku yang disusun oleh World Agroforestry Centre (ICRAF) berjudul ‘Climate-Smart Landscapes: MultiFunctionality in Practice’. Satya Tripathi, Direktur UNORCID, memuji buku ini dalam intervensinya pada panel di acara peluncuran ini. Heru Prasetyo, Kepala Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+) berkontribusi dalam beberapa diskusi panel, termasuk “Enabling forest landscapes to score Sustainable Development Goals” bersama dengan Paula Caballerro, Direktur Senior Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam World Bank, Camilla Toulmin, Direktur IIED, Peter Holmgren, Direktur Jenderal CIFOR, dan Sonia Maria González Molina, Dirjen Penelitian dan Informasi Sebelumnya, pada tanggal 6 Desember 2014, CIFOR, UNEP, dan UNORCID bersama-sama menyelenggarakan makan siang tingkat tinggi yang berfokus pada kolaborasi Selatan—Selatan untuk REDD+. Mengingat terdapat alasan yang signifikan bagi negara-negara berhutan tropis untuk bekerja bersama-sama dalam mencapai REDD+, masingmasing negara harus membagi pembelajaran yang telah mereka dapatkan dalam berbagai aspek ‘Kesiapan REDD+’ agar negara-negara lainnya dapat menyusun rencana dengan efektif guna menghindari kemungkinan risiko dan mempercepat kemajuan menuju pelaksanaan. Oleh karena itu, makan siang tingkat tinggi, yang dimoderasi oleh Heru Prasetyo, mempertemukan antara lain: Juan Manuel Benites Ramos, Menteri Pertanian dan Irigasi Republik Peru; Ibrahim Thiaw, Deputi Direktur Eksekutif UNEP; Paula Caballerro, Direktur Jenderal CIFOR Peter Holmgren; Mark Burrows, Wakil Ketua Eksekutif & Direktur Pelaksana Credit Suisse Investment Bank untuk Asia Pasifik; Braulio Ferreira de Souza Dias, Sekretaris Eksekutif untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati; Dr. Tony Simons, Direktur Jenderal ICRAF; Dr. Eduardo RojasBriales Asisten Direktur Jenderal FAO; dan Nguyen Khac Hieu, Deputi Direktur Jenderal Heru Prasetyo menyampaikan presentasi pada acara yang berjudul “A new climate agenda? Moving forward with adaptation-based mitigation” bersama dengan Bianca Departemen Meteorologi, Hidrologi dan Jagger, Pendiri dan Ketua Bianca Jagger Human Rights Foundation, Belete Tafere, Perubahan Iklim Kementerian Sumber Daya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ethiopia; dan Mark Burrows, Wakil Ketua Alam dan Lingkungan Hidup Vietnam. Eksekutif&Direktur Pelaksana, Asia Pasifik, Credit Suisse Investment Bank. 7 D es em b er 2014 REDD+ Indonesia Newsletter CoP20: Peran sektor swasta dan mekanisme berbasis pasar dalam mendanai REDD+ Pendanaan REDD+ sektor swasta Konferensi Para Pihak ke-20 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (CoP20 UNFCCC) yang diselenggarakan mulai tanggal 1 sampai tanggal 12 Desember 2014 di Peru, bertindak sebagai platform global untuk diskusi-diskusi tentang strategi menggalang pendanaan swasta untuk mewujudkan REDD+. Sejauh ini, program negara bilateral dan dana multilateral merupakan dua sumber dana utama untuk kegiatan-kegiatan REDD+, walaupun dana-dana ini umumnya telah mendukung terciptanya kondisi kelembagaan pemungkin untuk REDD+ (perubahan perundang-undangan, perancangan dan pelaksanaan MRV, proyek-proyek demonstrasi, dan lain-lain). Pendanaan-pendanaan ini memastikan segera dimulainya program-program REDD+, tetapi strategi yang kredibel untuk pendanaan jangka panjang tergantung pada partisipasi aktif sektor swasta, yang diharapkan akan menjadi sumber pendanaan terbesar untuk REDD+. Terdapat dua kategori utama sumber pendanaan swasta yang memungkinkan untuk REDD+. Kategori yang pertama mengacu pada pendanaan REDD+ langsung, di mana investasi swasta disalurkan ke kegiatan-kegiatan yang langsung menurunkan emisi, termasuk pasar karbon sukarela dan wajib. Kategori pendanaan swasta kedua meliputi investasi untuk sektorsektor yang mendorong deforestasi, seperti pertanian atau infrastruktur untuk mengubah praktik-praktik tidak berkelanjutan yang ada (pendanaan REDD+ tidak langsung). Paul Polman, CEO Unilever dan Ketua World Business Council for Sustainable Development, dan Cándido Mezúa-Salazar, Ketua Badan Koordinasi Masyarakat Adat Nasional Panama di Sesi pleno pembukaan tingkat tinggi: Landscapes for climate and development, Hari Kedua Global Landscapes Forum. Dalam pidato utamanya di acara yang berjudul “Landscapes for climate and development” pada Global Landscape Forum, Helen Clark mengatakan: “Sektor swasta harus menghapus deforestasi dari rantai pasokan mereka tanpa menundanunda lagi. Ini berarti memperluas komitmen keberlanjutan yang ada untuk mencakup berbagai komoditas, dan melibatkan lebih banyak perusahaan baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang”. Pendanaan REDD+ swasta tidak langsung Perwakilan-perwakilan sektor swasta mengulang pernyataan ini. CEO Unilever Paul Polman menyuarakan sudut pandang bahwa: “Bahkan, sebagian besar CEO merasa yakin atau sekarang tahu bahwa perusahaan mereka tidak dapat makmur di dunia perubahan iklim yang tidak terkendali, dan hal ini semakin jelas terlihat”. Polman mengatakan bahwa para pemimpin industri telah mengambil sikap aktif terhadap deforestasi, dan mengakui bahwa “biaya dari bersikap diam sebenarnya naik dengan cepat menjadi lebih besar daripada biaya dari melakukan tindakan”. Oleh karenanya, banyak perusahaan telah memperkenalkan sertifikasi minyak sawit dan sistem pelacakan untuk mencapai rantai pasokan yang transparan dan bebas deforestasi. Contoh keberhasilan keterlibatan sektor swasta dalam REDD+ - termasuk Althelia Fund dan kampanye ‘Stand for Trees’ Code REDD – diperlihatkan pada acara “Private Financing for REDD+: New Approaches in 2014”, yang diselenggarakan oleh U.S. Agency for International Development (USAID). Dalam pidato utama acara tersebut, Heru Prasetyo, Kepala Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+), menegaskan bahwa kemitraan efektif dengan sektor swasta merupakan komponen vital dari keseluruhan keberhasilan REDD+. Sektor swasta memiliki kapasitas yang dapat disumbangkan untuk upaya-upaya global mengurangi deforestasi: pertama, karena mereka berurusan langsung dengan komoditas yang menyebabkan deforestasi; dan kedua dikarenakan insentif keuangan yang dapat memberikan dorongan untuk meningkatkan investasi swasta bagi REDD+. Pendanaan REDD+ swasta langsung Pendanaan jangka menengah dan jangka panjang untuk membiayai proyek-proyek penurunan emisi di negara-negara berkembang yang sangat kurang membuat mekanisme berbasis pasar untuk mendanai REDD+ menjadi aspek inti wacana ini. Global Canopy Programme (GCP) dan Climate Administrator UNDP dan Ketua United Nations Development Group (UNDG) Helen Clark, sepakat dengan pendapat ini. 8 D es em b er 2014 UNOR CID REDD+ AND THE PRIVATE SECTOR Markets & Investment Association (CMIA) menyelenggarakan suatu acara yang berjudul “The Green Climate Fund and other tools for unlocking private sector finance for REDD+”. Green Climate Fund (GCF) dibentuk antara lain untuk menyalurkan pembayaran berbasis hasil ke negara-negara REDD+ dan dengan demikian, memastikan sistem pendanaan REDD+ yang berkredibilitas. Berbicara dalam acara ini, Heru Prasetyo menyoroti kontribusi GCF yang berpotensi penting dalam membentuk lanskap pendanaan iklim. Menciptakan kondisi untuk pendanaan REDD+ swasta langsung dibahas lebih lanjut selama resepsi “The Future of REDD+: Opportunities for Anchoring REDD+ in the Landscape Approach”, yang diselenggarakan oleh Conservation International. Heru Prasetyo mengatakan bahwa upaya berkesinambungan dibutuhkan untuk mendukung mekanisme pasar dan menghasilkan permintaan yang saat ini tidak ada untuk kredit REDD+. Pavan Sukhdev, Goodwill Ambassador UNEP, juga berbicara tentang modalitas pendanaan REDD+, yang dimasukkan ke dalam GCF dan mekanisme pendanaan lainnya. Ia menyerukan dibuatnya upaya bersama untuk mewujudkan pendanaan dan pelaksanaan program-program REDD+ dengan skala penuh pada tahun 2020. Indonesia dalam melaksanakan pendekatan yurisdiksi terhadap REDD+. Ia mengatakan bahwa hanya proyek-proyek holistik, yang menyentuh bukan hanya cadangan karbon, melainkan juga mengatasi mata pencaharian berkelanjutan dan tujuan-tujuan keanekaragaman hayati, yang harus didanai dalam REDD+. Langkah selanjutnya untuk melibatkan sektor swasta dalam REDD+ Diskusi-diskusi konstruktif tentang peran pendanaan swasta untuk REDD+ yang diselenggarakan pada CoP20 ini menunjukkan fakta bahwa pendanaan sektor swasta merupakan sumber pendanaan penting untuk REDD+, dan oleh karenanya, sangat penting bagi keberhasilan upaya-upaya global untuk mengurangi deforestasi dan mempertahankan kenaikan suhu dunia di bawah 2 derajat Celsius. Untuk memastikan bahwa keterlibatan sektor swasta terus mendapatkan momentum, Heru Prasetyo mengumumkan bahwa Indonesia sedang mempersiapkan KTT Sektor Swasta tentang Lanskap Tropis, yang dijadwalkan akan berlangsung pada tanggal 9—10 Februari 2015 di Jakarta. KTT ini akan mempertemukan para pemimpin badan usaha dari seluruh belahan dunia, organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan para pejabat pemerintah. Untuk mengakui pentingnya sektor publik dalam pembangunan berkelanjutan di masa depan, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, akan membuka KTT ini. Dialog terbuka akan mendorong semua pemangku kepentingan menemukan cara untuk membentuk kemitraan yang produktif antara pemerintah dengan sektor swasta untuk mencapai ekonomi hijau dan masa depan yang berkelanjutan bagi semua pihak. Diskusi terperinci tentang keterlibatan sektor swasta dalam REDD+ berlangsung di acara tambahan CoP20 berjudul “Scaling Up REDD+: Catalyzing jurisdictional leadership with new finance sources and mechanisms” yang diselenggarakan oleh Fauna & Flora International (FFI), Verified Carbon Standard (VCS), dan UNORCID. Tujuan dari acara ini adalah untuk berbicara tentang pendekatan yurisdiksi terhadap REDD+ dan pendanaan REDD+ dalam satu kerangka kerja, karena keberhasilan REDD+ bergantung pada pendanaan dan kondisi kelembagaan yang memungkinkan. Secara efektif memanfaatkan banyak sumber permintaan untuk pendanaan REDD+ langsung dalam rangka mengatasi kekurangan pendanaan yang terjadi saat ini di tingkat global untuk membiayai kegiatan-kegiatan REDD+, dan pentingnya pendanaan sektor swasta untuk keberhasilan REDD+, merupakan topik-topik diskusi ini. Pidato utama oleh Heru Prasetyo menekankan pada pengalaman Heru Presetyo menyampaikan pidato utama di acara US Center yang berjudul “Private Financing for REDD+: New approaches in 2015”. 9 D es em b er 2014 REDD+ Indonesia Newsletter Provinsi Aceh dan BP REDD+ Menandatangani Nota Kesepahaman Bersama daerah dalam rangka menyediakan kerangka hukum untuk pelaksanaan REDD+ di Aceh. Pentingnya Provinsi Aceh dalam konteks REDD+ di Indonesia Provinsi Aceh sangat penting bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan REDD+ secara efisien di Indonesia. Luas hutan Aceh adalah 55% dari luas daratan provinsi ini, dan mencakup beberapa dari hutan dataran rendah Sumatera yang semakin langka. Aceh memiliki tutupan hutan tersisa yang paling luas di Sumatera, di mana lahan hutan yang Gubernur Aceh Dr. H. Zaini Abdullah (kiri) dan Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo (kanan) luas — 40% dari hutan primer pulau ini dan menandatangani Nota Kesepahaman Bersama. 36% dari total tutupan hutannya sejak tahun 1990 — telah dibuka untuk perkebunan Pemerintah Aceh menandatangani Nota Kesepahaman kertas dan bubur kertas, perkebunan kelapa sawit, dan Bersama (NKB) dengan Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+) lahan pertanian. Selain itu, sebagian besar penduduk Aceh di Banda Aceh pada tanggal 17 November 2014, menjadikan bergantung pada sumber daya hutan dan jasa ekosistem Provinsi Aceh provinsi kedelapan yang menandatangani hutan untuk mata pencaharian mereka. Karena alasanNKB dengan BP REDD+, setelah Provinsi Jambi, Kalimantan alasan inilah, Aceh menjadi salah satu provinsi prioritas Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Sulawesi untuk pelaksanaan REDD+ secara luas di Indonesia. Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau. Sebelum menandatangani NKB dengan BP REDD+, banyak Setelah menandatangani NKB, Gubernur Aceh, Dr. H. Zaini proyek dibentuk, yang melibatkan masyarakat setempat dan Abdullah, menyatakan: “Pemerintah Aceh sangat mendukung didasarkan pada lembaga-lembaga provinsi. Di antaranya komitmen yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA), melalui BP REDD+ untuk mencapai target penurunan emisi pembentukan Komunitas Ranger – suatu kelompok yang di negeri ini. Bahkan sebelum komitmen ini, Aceh sudah dipimpin oleh perwakilan masyarakat yang bertugas untuk melaksanakan kebijakan moratorium penebangan sebagai menjaga dan mengawasi hutan – dan unit Pengamanan upaya untuk mengatasi deforestasi serta degradasi hutan Hutan (Pamhut) sebagai bagian dari sistem perlindungan dan lahan gambut. Dukungan Pemerintah Aceh untuk REDD+ hutan. Karena komunitas merupakan elemen yang kuat diperlihatkan melalui pembentukan satuan tugas REDD+ di dari masyarakat Aceh, Pemerintah Aceh menunjuk mereka Aceh, yang dapat langsung melaksanakan langkah-langkah sebagai agen utama inisiatif-inisiatif REDD+ Provinsi koordinasi dan pelaksanaan dengan melibatkan LSM, ini, sebagaimana ditunjukkan oleh Forum Daerah Aliran masyarakat adat, akademisi, dan pemangku kepentingan Sungai dan Asosiasi Mukim, forum-forum masyarakat lainnya.” yang dikhususkan untuk menjaga hutan dan yang didukung oleh berbagai LSM, seperti Proyek Hutan dan Lingkungan Tujuan utama NKB ini adalah untuk mempersiapkan, Hidup Aceh dari FFI (FFI-AFEP/FFI-Aceh Forest and melaksanakan, dan memantau program-program REDD+ di Environment Project), World Wildlife Fund Aceh (WWF Aceh), Aceh. NKB ini terutama bertujuan untuk mengembangkan dan Program Jasa Lingkungan dari USAID (ESP-USAID/ dan meningkatkan data dasar dan peta kadastral, Environmental Services Program-United States Agency membentuk dan memperkuat lembaga-lembaga di Aceh for International Development). Penandatanganan NKB untuk mengoordinasi dan mewujudkan inisiatif-inisiatif ini merepresentasikan peluang yang besar bagi Provinsi REDD+, mengarusutamakan Strategi dan Rencana Aksi Aceh, yang memperoleh dukungan yang cukup besar dari REDD+ Provinsi Aceh (SRAP), dan mengembangkan dan BP REDD+ dalam penegakan kebijakan-kebijakannya yang memperbaiki berbagai kebijakan dan peraturan di tingkat terkait dengan perlindungan hutan. 10 D es em b er 2014 UNOR CID GAMBARAN UMUM REDD+: NASIONAL Pemuda memimpin jalan dalam merancang Program Duta Muda Hijau Indonesia yang akan direkrut sebagai Duta Muda Hijau. Sesi tukar pikiran kolaboratif per kelompok terbukti memberikan hasil dan sangat dinikmati oleh peserta. Salah satu prioritas yang diidentifikasi oleh BP REDD+ untuk Fase kedua pelaksanaan ‘Surat Pernyataan Kehendak REDD+ antara Norwegia dengan Indonesia’ adalah Pendidikan Hijau. Untuk mendukung pencapaian prioritas ini, BP REDD+, UNORCID, dan Green School Bali menandatangani Nota Kesepahaman Bersama (NKB) pada tanggal 28 Agustus 2014 dengan dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memajukan ‘Sekolah Hijau untuk Pembangunan Berkelanjutan’. NKB tersebut menetapkan kerangka kerja sama untuk membina pertukaran pengetahuan, dan membagi pembelajaran dan praktik terbaik guna mendorong pendidikan hijau di seluruh Indonesia. Dalam konteks ini, BP REDD+ mencoba memotivasi, mendidik dan mendapatkan satu juta Duta Muda Hijau. Anak muda Indonesia merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan, baik di tingkat nasional maupun global. Generasi hijau di Indonesia akan mendorong transisi ekonomi hijau Indonesia, dan hal tersebut akan menyuntikkan cukup banyak momentum ke dalam agenda keberlanjutan global. Tujuan dari acara ini adalah untuk merancang bentuk dan isi Program Duta Muda Hijau untuk secara meyakinkan membingkai solusi antar-generasi terhadap pembangunan berkelanjutan. Pada tanggal 19 Desember 2014, lebih dari 35 perwakilan organisasi-organisasi muda berkumpul di Jakarta untuk berpartisipasi dalam diskusi kelompok fokus yang aktif tentang program Duta Muda Hijau, untuk membuat keputusan tentang pemilihan peserta Duta Muda Hijau, menetapkan kriteria pemilihan, dan menggali gagasan tentang bentuk program ini dalam hal keterlibatan pemangku kepentingan, tindakan yang akan diambil, dan strategi untuk merekrut peserta. Acara ini menampilkan presentasi-presentasi oleh Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+) dan UNORCID. Peserta yang hadir berpartisipasi dalam diskusi kolaboratif, strategis, dan terfokus tentang topik-topik seperti: Apa itu Duta Muda Hijau; Kualitas dan perilaku seperti apa yang harus dimiliki dan dicontohkan oleh seorang Duta Muda Hijau; Program Duta Muda Hijau apa yang harus dicapai di Indonesia; Bagaimana cara terbaik untuk mencapai angka Duta Muda Hijau yang ditargetkan; dan kegiatan-kegiatan perekrutan apa yang dapat dilaksanakan untuk mendapatkan satu juta Duta Muda Hijau sampai tahun 2017? KTT Sektor Swasta tentang “Tropical Landscapes: A Global Investment Opportunity” yang akan berlangsung di Jakarta, Indonesia pada tanggal 9—10 Februari 2015, akan memberikan perhatian pada potensi besar yang direpresentasikan oleh anak muda untuk pembangunan berkelanjutan. Konferensi ini dirancang untuk memungkinkan dan menghasilkan ruang bagi para pemimpin sektor usaha utama untuk menggali dan terlibat dalam peluang yang diberikan oleh transisi ekonomi hijau Indonesia. Karena berinvestasi dalam ekonomi hijau berarti berinvestasi dalam masa depan, keterlibatan anak muda Indonesia merupakan jaminan keberhasilan. Oleh karena itu, sesi anak muda akan menjadi bagian dari KTT ini untuk memberikan lebih banyak kepercayaan, visibilitas, dan kekuatan kepada anak muda dalam perjuangan melawan deforestasi dan perubahan iklim. Selama diskusi kelompok fokus tentang Program Duta Muda Hijau, yang diselenggarakan oleh UNORCID, perwakilanperwakilan dari organisasi-organisasi pemuda menjawab panggilan untuk mendiskusikan perancangan dan pelaksanaan Program Duta Muda Hijau serta pelaksanaan Sesi Muda pada KTT Sektor Swasta mendatang di Jakarta. Diskusi ini berharga karena memberikan ruang bagi anakanak muda untuk merancang dan menciptakan suatu program yang dapat mereka klaim sebagai milik mereka dan yang menarik bagi mereka dan anak-anak muda lainnya 11 D es em b er 2014 REDD+ Indonesia Newsletter Rachmat Witoelar, saat ini menjabat sebagai Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim. Ia memimpin Delegasi Indonesia pada Konferensi Para Pihak ke-20 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (CoP20 UNFCCC) yang berlangsung baru-baru ini di Peru. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dibentuk pada bulan Juli 2008 melalui Keputusan Presiden No. 46 Tahun 2008. DNPI dirancang untuk bertindak sebagai badan nasional untuk koordinasi kebijakan di antara badan-badan pemerintah nasional utama dalam masalah-masalah yang terkait dengan perubahan iklim. Dewan ini juga bertindak sebagai focal point nasional Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) untuk Indonesia dan Otoritas Nasional yang Ditunjuk untuk proyek-proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia sebagai Ketua, DNPI memiliki Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat sebagai wakil ketua. Keanggotaan DNPI terdiri dari Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Industri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala BAPPENAS, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perdagangan, Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Perhubungan, dan Menteri Kesehatan, serta Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Bapak punya karir yang sangat baik di pelayanan publik, memimpin narasi pembangunan di Indonesia dari garis depan selama berdekade-dekade lamanya. Ketika Bapak melihat ke belakang, apa yang Bapak lihat sebagai kontribusi Bapak yang paling penting bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia? yang memiliki semangat kepedulian yang sama untuk lingkungan – berkumpul, oleh karena itu ini adalah salah satu kontribusi saya yang paling diperhatikan bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Apa peran Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam menangani mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia? Peran DNPI adalah untuk melaksanakan enam tugas. Dalam hal ini, yang paling penting adalah koordinasi, yakni koordinasi anggota-anggota DNPI – atau Dewan Nasional Perubahan Iklim. Anggota-anggotanya adalah 17 Menteri dari kementerian lini dan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), jadi semuanya adalah 18 Menteri. Koordinasi efektif, terutama sehubungan dengan masalah kebijakan, di antara badan-badan pemerintah nasional utama ini dalam masalah-masalah yang terkait dengan perubahan iklim, penting agar sistem ini efektif secara holistik dan agar dapat beroperasi secara sinergis untuk membuat perubahan. Untuk menjawab pertanyaan ini saya memilih periode lima tahun ketika saya menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup dari tahun 2004 sampai tahun 2009. Ada inisiatifinisiatif yang lahir ketika saya menjabat sebagai Menteri yang mengubah cara kerja dari cara yang digunakan sebelumnya; sebelum melaksanakan perubahanperubahan tersebut, cara yang digunakan adalah cara business-as-usual. Ketika saya mengambil alih sebagai Menteri, saya mencoba membuat perbedaan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan mulai dari masyarakat sipil, sampai OMS dan LSM, dan tentu saja rekan-rekan saya, Menteri-menteri yang lain dari badan mereka masing-masing. Dengan menggunakan apa yang saya sebut soft-power, Kementerian Lingkungan Hidup memobilisasi dan mengumpulkan lebih dari 100 artis, pembicara, dan tenaga profesional yang ‘hijau’. Sebelum pertemuan tersebut, saya tidak ingat waktu ketika individu-individu dari berbagai latar belakang – Dalam peran Bapak sebagai Ketua Harian DNPI dan Ketua Delegasi Indonesia untuk CoP20, bagaimana Bapak memandang kemajuan yang dibuat di Lima menjelang berakhirnya perjanjian perubahan iklim yang mengikat di tingkat internasional di Paris tahun depan? Di Lima, walaupun saya masih berharap CoP ini bisa lebih baik dan lebih cepat, CoP ini merupakan posisi terbaik dari Hari 12 konferensi ini jika kita lihat kembali lima atau enam CoP sebelumnya, termasuk CoP13 Bali pada tahun 2007. Di Bali waktunya diperpanjang hampir tiga jam sampai hari berikutnya karena negosiasi-negosiasinya 12 D es em b er 2014 UNOR CID WAWANCARA BULAN INI sangat sulit. Di Lima, lebih baik. Kami berharap kita sudah memperoleh landasan yang kuat untuk Paris, karena tujuan dari konferensi di Lima adalah untuk menyusun naskah yang dapat digunakan sebagai dasar untuk perjanjian internasional yang mengikat tentang penurunan emisi pada tahun 2015. Sebagai bagian dari UU No. 32 Tahun 2009, Indonesia telah berkomitmen untuk mewajibkan semua Strategi, Kebijakan dan Rencana melibatkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Sejauh ini, masih ada rintangan dalam hal pelaksanaan aktualnya. Apa saja strategi jangka panjang untuk menggunakan KLHS dengan efektif, dan bagaimana Bapak melihat peran KLHS dalam kerangka pelaksanaan REDD+ di Indonesia? mana orang biasanya memiliki orangutan sebagai peliharaan, untuk mendorong perubahan. Saat itu, orangutan diperjualbelikan seharga 3.000 dollar. Ada satu deklarasi internasional tentang pelestarian spesies, dan berdasarkan deklarasi ini ada satu undang-undang tentang pelestarian spesies dan keanekaragaman hayati. Tantangan serupa juga terlihat di bagian lain dunia ini: di Afrika, orang berburu gading gajah dan kulit macan tutul. Presiden sebelumnya mengatakan bahwa pelestarian spesies dan keanekaragaman hayati penting bagi Indonesia, dan sangat penting juga untuk masuk ke tahap di mana semua orang menyadari peran kritis pelestarian spesies dan keanekaragaman hayati, bukan hanya untuk keberlangsungan hidup manusia, melainkan juga untuk kesejahteraan planet bumi. Sayalah yang menyusun UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebelum UU ini, saya menemukan terdapat kekurangan dalam hal mekanisme perlindungan lingkungan hidup. Saya bangga dengan UU ini – saya mulai menyusunnya pada tahun 2004 dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan menyelesaikannya sebelum berakhirnya masa kerja saya pada tahun 2009. UU No. 32 Tahun 2009 adalah dasar dari moratorium penebangan liar, Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011. Namun, suatu UU masih kurang di Indonesia untuk dihubungkan dengan Keputusan Menteri. Terdapat banyak teknologi maju dan mahal tersedia untuk membantu mengatasi tantangan-tantangan ini, oleh karenanya Indonesia harus bekerja dengan komunitas internasional untuk memerangi tantangantantangan lingkungan. Peran teknologi sangat penting dalam memerangi perubahan iklim, dan teknologi terus berkembang maju. Bagi Indonesia, cara terbaik untuk mendapatkan teknologi ini adalah melalui kerja sama Selatan-Selatan, dari negaranegara seperti Brasil dan negara-negara di Benua Afrika, bukan dengan negaranegara maju karena negaranegara maju belum tentu menghadapi tantangan serupa. Indonesia sedang menghadapi beberapa tantangan lingkungan yang besar, mulai dari polusi udara dan air di Pulau Jawa, peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut yang berulang-ulang, masih terjadinya deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati yang penting di tingkat global. Menurut Bapak, bagaimana cara mengatasi tantangan-tantangan ini dalam beberapa tahun ke depan? (Kebijakan atau strategi apa, menurut Bapak, yang berpotensi membuat perubahan? Perubahan-perubahan apa yang perlu dilakukan dalam tata kelola dan insentif ekonomi untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dengan lebih baik?) Generasi muda memainkan peran kunci dalam menentukan masa depan bersama planet kita. Nasihat apa yang akan Bapak berikan kepada mereka, ketika mereka melaksanakan tanggung jawab ini? “Nasihat pertama saya untuk generasi muda, adalah bahwa mereka harus mencintai lingkungan sekitar mereka, dan nasihat kedua adalah sesuatu yang telah saya sebutkan sebelumnya, yakni manfaatkan apa yang disebut soft power.” Nasihat pertama saya kepada generasi muda, adalah mereka harus mencintai lingkungan sekitar mereka, dan nasihat kedua adalah sesuatu yang telah saya sebutkan sebelumnya, yakni manfaatkan apa yang disebut soft-power. Ada beberapa siswa yang saya bina–yang paling muda berumur enam tahun ketika saya bertemu dengannya–yang telah tekun bekerja untuk menjadikan masyarakat mereka lebih baik. Anak-anak muda ini melakukan apa yang mereka lakukan karena mereka mencintai lingkungan mereka, dan mereka membuat perubahan. Saya katakan kepada mereka, ini adalah tanah yang harus kau jaga, karena dalam beberapa dekade mendatang generasimulah yang akan menjadi pemilik dan penjaga planet Bumi. Ketika saya masih menjabat Menteri Lingkungan Hidup, volume ekspor orangutan tinggi karena orang memperdagangkannya; ada pasar dan permintaan untuk orangutan. Saya berbicara dengan banyak Menteri Lingkungan Hidup saat itu, terutama di Thailand di 13 D es em b er 2014 REDD+ Indonesia Newsletter Pusat Sarana Komunikasi Iklim, Kalimantan Tengah Para penyadap karet dan petani di Desa Buntoi, sebuah desa yang kaya budaya dan beragam hayati di Kabupaten Pulang Pisau - Kalimantan Tengah - nyaris tidak pernah membayangkan diri mereka sebagai pelopor perubahan iklim. Namun, Desa Buntoi sekarang adalah rumah bagi Pusat Sarana Komunikasi Iklim (PSKI) pertama di Indonesia yang diresmikan pada tanggal 3 September 2013. PSKI adalah Restono di luar PSKI di desa Buntoi, Kalimantan Tengah. hasil dari sebuah inisiatif yang diluncurkan setahun sebelumnya oleh Satuan Tugas REDD+ (Satgas REDD+), Pasifik di UNDP. Pada tahun 2014, lebih dari 1.000 aktivis dengan dukungan koordinasi dari UNORCID, pendanaan telah menggunakan fasilitas PSKI untuk berpartisipasi dari Pemerintah Norwegia di bawah Kemitraaan REDD+ dalam berbagai lokakarya dan sesi pelatihan. Indonesia-Norwegia. Dibangun oleh United Nations Office for Project Services (UNOPS), Pusat ini bertujuan Baru-baru ini, sebuah dewan pengelola baru PSKI telah untuk memberdayakan masyarakat dalam merintis ditunjuk oleh pemerintah kabupaten dan sebuah alokasi inisiatif-inisiatif pengelolaan hutan lestari, memerangi anggaran telah disetujui oleh DPRD setempat. Direktur pembalakan liar, serta melestarikan hutan dan lahan PSKI yang baru ditunjuk, Restono, mengungkapkan rencana basah organik yang ada. Hal ini dikonsepkan sebagai masa depan bagi PSKI, menekankan peran penting PSKI sebuah inisiatif berbagi pengetahuan bagi masyarakat dalam hal pelatihan dan pengelolaan informasi, penyediaan untuk meningkatkan kesadaran dan ketahanan mereka bimbingan bagi masyarakat, pengumpulan informasi terhadap perubahan iklim. dari semua pemangku kepentingan terkait, serta untuk pemantauan kebakaran hutan dan lahan. PSKI diharapkan Dari pemilihan lokasi - sebidang lahan yang disumbangkan akan terus digunakan tidak hanya oleh masyarakat oleh salah seorang penduduk Desa Buntoi – sampai ke setempat, tetapi juga oleh perwakilan pemerintah nasional desain dan konstruksi Pusat ini, telah mengonsultasikan dan provinsi, sektor swasta, universitas, dan lembaga dan melibatkan masyarakat pada setiap tahapan. Pusat internasional – menyediakan sebuah platform untuk ini sendiri mendemonstrasikan prinsip-prinsip bangunan memfasilitasi interaksi para pemangku kepentingan ini. yang berkelanjutan: menggunakan bambu sebagai bahan Pusat ini juga dimaksudkan untuk menjadi sebuah sumber utama bangunan yang berasal dari daerah setempat, pendapatan daerah serta menarik wisatawan domestik menampilkan sistem tadah hujan, dan beroperasi hanya dan internasional. dengan tenaga surya terbarukan. Dilengkapi dengan koneksi internet berkecepatan tinggi dan peralatan Yang terpenting, Restono menggarisbawahi dampak komunikasi ultra-modern, Pusat ini juga memiliki sebuah potensi dari sarana baru ini pada penduduk Desa Buntoi pusat pelatihan dan akomodasi perumahan untuk 32 khususnya, dan penduduk Kalimantan Tengah umumnya. peserta pelatihan. Harapan terkait dampak tersebut mencakup peningkatan kesediaan penduduk untuk menerapkan praktik-praktik Lebih dari 750 orang berasal dari sekitar 35 negara telah pengelolaan hutan dan pertanian yang berkelanjutan, mengunjungi sarana ini sejak peresmiannya pada tahun perolehan wawasan yang berharga tentang teknik-teknik 2013, termasuk Gubernur Kalimantan Tengah, Bupati di mitigasi perubahan iklim dan isu-isu lingkungan hidup, Kalimantan Tengah, Kepala BP REDD+, Menteri Lingkungan penurunan penggunaan praktik-praktik tidak berkelanjutan Hidup Swedia, Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Menteri seperti deforestasi dan penipisan keanekaragaman hayati, Lingkungan Hidup Norwegia, Duta Besar Norwegia untuk serta kesadaran lingkungan hidup yang lebih besar di Indonesia, dan Asisten Sekretaris Jenderal PBB - Asisten kalangan pemuda di dalam masyarakat. Administrator dan Direktur Badan Regional untuk Asia 14 D es em b er 2014 UNOR CID GAMBARAN UMUM REDD+: NASIONAL Memprioritaskan Gambut: Presiden Jokowi Blusukan di Riau Pada akhir bulan November, Presiden Joko Widodo mengunjungi Provinsi Riau di Pulau Sumatera untuk mengamati lokasi kebakaran hutan dan gambut, serta mengeksplorasi upaya-upaya pencegahan kebakaran setempat. Setiap tahunnya, kebakaran di Riau telah berdampak buruk di seluruh wilayah. Selain mendegradasi sebagian besar lahan dan menghancurkan ekosistem, kebakaran ini mengancam kesehatan manusia dari kabut asap yang berbahaya, berkontribusi pada hilangnya keanekaragaman hayati, dan menghasilkan salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia. Antara tahun 2000 dan 2005, kebakaran gambut adalah sumber emisi gas rumah kaca terbesar kedua di Indonesia, setelah pengalihan penggunaan lahan dan kehutanan. Khususnya mengenai kebakaran di Riau, gambut merupakan bagian terpenting. Lahan gambut, yang merupakan lebih dari 50% total luas lahan di Riau, dikeringkan untuk keperluan pertanian, menjadikannya kering dan sangat mudah terbakar karena kandungan karbonnya yang tinggi. Lebih parahnya lagi, kondisi iklim yang mendukung terjadinya kebakaran – khususnya curah hujan yang rendah selama musim kemarau – berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang rawan kebakaran. Proses ini telah menyebabkan peningkatan prevalensi kebakaran selama beberapa dekade terakhir dan terutama pada bulan Juni 2013, di mana kebakaran tersebut mengakibatkan krisis kabut asap di seluruh wilayah. Selama bulan ini, lebih dari 160.000 hektar lahan terbakar di Sumatera; dan lebih dari 84% dari lahan yang terbakar ini terletak di lahan gambut. Oleh karena itu, kunjungan Presiden Jokowi ke Riau secara jelas menunjukkan pentingnya peningkatan pengelolaan lahan gambut. Selama kunjungannya, yang disebut blusukan – sebuah istilah bahasa Jawa yang menggambarkan kunjungan mendadak ke masyarakat – Presiden juga menekankan pentingnya kemauan politik yang kuat dalam menangani kebakaran ini. Didampingi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan Pelaksana Tugas Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman, Presiden Jokowi juga menyerukan tindakan perlindungan lahan gambut yang lebih kuat, pengawasan perusahaan konsesi yang lebih ketat, dan penegakan hukum terhadap kebakaran ilegal yang lebih besar. Selain tindakan pemerintah, masyarakat juga memainkan peran penting dalam mengurangi kebakaran gambut. Selama kunjungan lapangan, Presiden Jokowi mengunjungi Desa Sungai Tohor di mana beliau menyaksikan pemblokiran sebuah kanal oleh masyarakat. Pengelolaan masyarakat lahan gambut yang lebih baik, khususnya memulihkan drainase dan meningkatkan permukaan air dengan pembendungan kanal, merupakan bagian integral dari menjaga lahan gambut tetap basah dan mengurangi kerentanan lahan gambut terhadap kebakaran. Upaya-upaya sedang dilakukan untuk mengatasi masalah kebakaran gambut di Riau melalui pengembangan sistem peringatan dini nasional. BP REDD+ Indonesia bersama mitranya, Institut Pertanian Bogor (IBP) dan Columbia University dengan dukungan koordinasi dari UNORCID, sedang mengembangkan sistem mitigasi risiko kebakaran antisipatif untuk menyediakan instansi pemerintah sebuah prakiraan musiman risiko kebakaran di tingkat provinsi, kabupaten, dan desa. Berdasarkan prakiraan iklim dan analisis kerentanan kebakaran - sebuah komponen penting dari sistem yang disesuaikan menurut lokasi Riau adalah integrasi dari dimensi sosial ekonomi dan biofisik gambut. Dengan pemahaman lanjutan terhadap risiko kebakaran di Riau, Presiden Jokowi dan pejabat pemerintah daerah akan dapat menargetkan kebijakan pengelolaan gambut ke daerah yang berisiko tinggi dan mencegah kebakaran sebelum terjadi. 15 D es em b er 2014 REDD+ Indonesia Newsletter Survei GDP of the Poor di Jambi dan Sulawesi Tengah Survei rumah tangga di Jambi dan Sulawesi Tengah akan dilaksanakan pada awal tahun 2015 untuk menilai GDP of the Poor (Pendapatan Domestik Bruto Orang Miskin) sebagai bagian dari Forest Ecosystem Valuation Study (Studi Penilaian Ekosistem Hutan) yang dilaksanakan oleh UNEP dan UNORCID. Studi ini menggabungkan pendekatan pemodelan dari tingkat atas ke bawah melalui penggunaan sistem pemodelan dinamis, dengan survei dari tingkat bawah ke atas untuk lebih memahami nilai jasa ekosistem bagi mata pencaharian rumah tangga. Keduanya digabungkan untuk menghasilkan nilai jasa ekosistem baik dari segi maknanya bagi indikator Ekonomi Hijau seperti PDB bagi orang miskin, PDB Hijau dan Lapangan Kerja Hijau, maupun dari segi menilai makna keseluruhan jasa ekosistem hutan bagi keseluruhan perekonomian. Konsep GDP of the Poor muncul dari kebutuhan untuk menilai secara komprehensif asal dari pendapatan masyarakat miskin di pedesaan. Orang-orang ini bergantung pada ekosistem di sekitar mereka untuk pendapatan moneter mereka dan pendapatan non-tunai mereka. Indikator GDP of the Poor mengukur nilai pendapatan rumah tangga dari masyarakat pedesaan dan masyarakat yang bergantung pada hutan termasuk jasa ekosistem yang tidak terlihat – tetapi sangat penting dan berharga. Karena pendapatan rumah tangga berbasis Ekosistem Non-Tunai tidak ditangkap dan dinilai dalam perhitungan PDB konvensional, ini menyebabkan intervensi kebijakan yang menyesatkan dan perencanaan pembangunan yang kurang terinformasi. tidak ditangkap oleh perhitungan konvensional. Pendapatan rata-rata yang berasal dari ekosistem, baik tunai maupun non-tunai, adalah sebesar 76,38% dari total pendapatan dari seluruh rumah tangga yang dinilai di antara berbagai ekosistem di provinsi ini. Survei ini membandingkan Skenario Ekonomi Hijau, mempromosikan intervensi untuk Pengelolaan Hutan Lestari, ke Skenario Bisnis seperti Biasa, yang akan menunjukkan bahwa PDB konvensional serta PDB Hijau secara nyata menguntungkan untuk proyeksi tahun 2019 dan 2024, meskipun Bisnis seperti Biasa agak sedikit menguntungkan untuk tahun 2015. Survei di Jambi dan Sulawesi Tengah menjawab kebutuhan untuk benar-benar memahami ketergantungan masyarakat setempat pada jasa ekosistem dengan mengidentifikasikan desa-desa yang terletak di ekosistem utama dari provinsiprovinsi ini. Tutupan hutan menurun secara drastis di keduanya, sementara efek samping yang dihasilkan pada mata pencaharian pedesaan tidak diketahui. Sebuah contoh statistik yang kuat baik bagi rumah tangga yang dekat dengan hutan maupun yang jauh dari hutan memberikan wawasan dalam provinsi-provinsi yang sama yang saat ini berada di bawah pengawasan untuk Studi Penilaian Ekosistem Hutan. Di Jambi, sejumlah 576 rumah tangga akan disurvei, sementara wilayah studi untuk Sulawesi Tengah masih dipertimbangkan. Survei yang dilaksanakan di antara 119 rumah tangga di 16 desa di Kalimantan Tengah telah menunjukkan bahwa 51,43% dari pendapatan rumah tangga dari desadesa yang terletak di kawasan berhutan bergantung pada sumber-sumber non-tunai berbasis ekosistem yang 16 D es em b er 2014 UNOR CID MENUJU TRANSISI EKONOMI HIJAU Dana Iklim Hijau: Mekanisme pendanaan dan perkembangan terkini Dana Iklim Hijau (GCF/Green Climate Fund) didirikan pada sesi keenam belas dari Konferensi Para Pihak (CoP16) untuk Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), yang diadakan di Cancun, Meksiko, pada tahun 2010. Didirikan sebagai sebuah entitas yang mengoperasikan mekanisme keuangan UNFCCC, sesuai dengan Pasal 11 dari Konvensi ini. Dana ini diatur dan diawasi oleh sebuah Dewan yang menerima bimbingan CoP dan bertanggung jawab penuh atas keputusan pendanaan. ini, menyatakan bahwa kapitalisasi ini adalah sebuah “tanda membangun kepercayaan yang tidak diragukan lagi” di antara pemerintahan, dan Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif UNFCCC menggambarkannya sebagai “salah satu investasi paling bijaksana di abad 21”. Sumber daya yang dialokasikan untuk GCF akan berfungsi sebagai pengganda guna membuka aliran dana dari sektor swasta. Aliran investasi swasta penting untuk transisi ke masa Dana ini memainkan peran kunci dalam Green Climate Fund pledges (million USD) menyalurkan sumber daya 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 keuangan baru, tambahan, United States Japan United Kingdom memadai dan dapat Germany France diprediksi untuk negaraSweden Italy negara berkembang. Canada Norway Dengan mengejar Australia Spain sebuah pendekatan yang The Netherlands South Korea digerakkan oleh negara, Switzerland Finland Dana ini mempromosikan Denmark Belgium dan memperkuat manfaat Austria Mexico bersama lingkungan Luxembourg Peru hidup, sosial, ekonomi, Colombia Czech Republic dan pembangunan melalui New Zealand Panama keterlibatan efektif dari Monaco Indonesia lembaga dan pemangku Mongolia Liechtenstein kepentingan terkait. Dana ini – dapat diukur dan Gambar 1: Janji untuk Dana Iklim Hijau dari 27 negara yang berkontribusi. fleksibel – terus menerus dipandu oleh proses depan yang rendah emisi dan tahan iklim. Dana dialokasikan pemantauan dan evaluasi. Dalam konteks pembangunan pada keseimbangan 50 – 50 antara jendela adaptasi dan berkelanjutan, ini mendukung perubahan paradigma menuju mitigasi, taruhan utamanya adalah memastikan pendanaan jalur pembangunan rendah emisi dan tahan iklim dengan tidak akan meluap ke negara-negara berkembang yang lebih memberikan dukungan kepada negara-negara berkembang mampu dan tinggi emisi yang menyebabkan negara-negara untuk membatasi atau mengurangi emisi gas rumah kaca miskin, khususnya di wilayah Afrika, mengalami kekurangan mereka, dengan mempertimbangkan kebutuhan negaraakses. negara berkembang tersebut terutama yang rentan terhadap efek samping dari perubahan iklim. The First Pledging Conference (Konferensi Janji Pertama) dari GCF diadakan di Berlin, Jerman pada tanggal 20 November 2014 menghasilkan USD 9,3 miliar, yang merupakan jumlah terbesar yang dimobilisasi oleh masyarakat internasional untuk sebuah mekanisme pendanaan iklim terdedikasi dalam jangka waktu kurang dari lima bulan. Janji lebih lanjut dibuat baru-baru ini pada CoP20 di Lima, Peru mengumpulkan total janji kontribusi untuk Dana ini hingga ke jumlah yang setara dengan USD 10,2 miliar, memungkinkan GCF untuk memulai kegiatannya dalam mendukung Para Pihak negara berkembang dari Konvensi. Janji-janji sejauh ini telah dibuat oleh 27 negara, termasuk kontribusi dari enam negara berkembang: Kolombia, Indonesia, Korea, Meksiko, Mongolia, dan Panama (lihat Gambar 1 untuk janji oleh negara-negara). Hela Cheikhrouhou, Direktur Eksekutif Dana GCF dan REDD+ GCF telah mengembangkan rancangan model logika dan kerangka kerja pengukuran kinerja untuk ex-post (pengembalian aktual) pendanaan berbasis hasil REDD+, yang sesuai dengan kerangka kerja Warsawa tentang REDD+, yang dirancang selama CoP19 di Warsawa pada bulan November 2013. Kerangka kerja pembayaran berbasis hasil untuk REDD+ telah diakui sebagai dasar yang berguna untuk menginformasikan pekerjaan lebih lanjut pada GCF Results Management Framework (Kerangka Kerja Pengelolaan Hasil Dana Iklim Hijau). GCF memainkan peran kunci dalam mendorong badan pendanaan untuk menyalurkan pendanaan berbasis hasil yang memadai dan dapat diprediksi secara adil dan berimbang. Oleh karena itu, Dana ini merupakan instrumen utama untuk pendanaan inisiatif-inisiatif REDD+ yang meyakinkan. 17 D es em b er 2014 REDD+ Indonesia Newsletter Inisiatif WWF di Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Mahakam Ulu Aktif di Indonesia sejak tahun 1962, WWF-Indonesia mengelola proyekproyek konservasi di 28 lokasi yang tersebar di 17 provinsi. Misi utama WWF adalah mempertahankan keanekaragaman hayati dan meningkatkan keberlanjutan jejak manusia di lingkungan darat dan laut. Deforestasi dan degradasi hutan adalah isu-isu utama yang harus diatasi. WWF-Indonesia mendorong aksi melawan deforestasi dan degradasi hutan yang konsisten dengan Program Iklim Hutan (FCP) global WWF, yang bertujuan untuk menjamin tercapainya Nol Deforestasi (ZND). Strategi yang digunakan terletak pada penciptaan rencana aksi subnasional untuk mempromosikan pelaksanaan kebijakan di tingkat nasional dan internasional. Empat unsur utama membentuk tulang punggung strategi ini, yaitu: peningkatan target dan pendanaan REDD+; perluasan jangkauan program REDD+; kebangkitan pengembangan kapasitas; dan integrasi inisiatif-inisiatif REDD+ ke dalam agenda politik nasional dan internasional. Pendekatan Yurisdiksi pada REDD+: Politik Lokal, WWF, dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) Sejalan dengan prinsip-prinsip panduan REDD+ — mitigasi perubahan iklim, perlindungan keanekaragaman hayati, kerangka pengaman mata pencaharian, rasa hormat terhadap hak-hak masyarakat setempat dan masyarakat adat, serta pendanaan yang adil dan efektif — WWF beroperasi dalam kerjasama yang erat dengan para aktor lokal, nasional, dan internasional dalam rangka menyebarkan rekomendasi UNFCCC mengenai aksi melawan deforestasi dan degradasi hutan. Pendekatan REDD+ Yurisdiksi dan Bersarang (JNR/Jurisdictional and Nested REDD+) telah diakui oleh WWF untuk pemenuhan proyek-proyek konservasinya. Program-program percontohan dilaksanakan dalam rangka menetapkan sebuah jalur yang jelas untuk memverifikasi reduksi emisi terkait hutan dan bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri para pembuat kebijakan, pendonor, investor dalam REDD+, sementara berkontribusi bagi peningkatan kegiatan REDD+. Proyek Yurisdiksi Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Mahakam Ulu WWF-Indonesia telah mengembangkan proyek-proyek karbon hutan di bawah mekanisme REDD+. Sejumlah proyek percontohan telah dilaksanakan dengan tujuan untuk mendukung masyarakat adat setempat, perusahaan, dan pemangku kepentingan lainnya dalam mencapai pedoman REDD+ di Indonesia. Proyek WWF di Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Mahakam Ulu diluncurkan pada tahun 2010. Kedua kabupaten ini dipilih karena lokasi ekologi strategis mereka – di persimpangan taman nasional Kayan Mentarang dan Betung Kerihun serta di sepanjang Sungai Mahakam di Kalimantan Timur – dan karena tingginya pendorong deforestasi di wilayah tersebut. Dengan demikian, rencana aksi subnasional sementara dilaksanakan sesuai dengan Pendekatan Yurisdiksi untuk REDD+. Perspektif ini mengeksplorasi pengembangan kawasan konservasi masyarakat dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat di desa-desa terpencil di kedua kabupaten ini. Desa-desa ini bekerja bersama-sama – dan berhasil – melindungi dan mengamankan pengakuan pemerintah untuk penggunaan hutan secara tradisional. Banyak pemangku kepentingan mengambil bagian dalam program ini, termasuk Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kutai Barat, masyarakat setempat, perusahaan penebangan yang beroperasi secara legal – terutama Sumalindo Unit II – serta Badan Kerjasama Pembangunan Norwegia (NORAD), Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF), dan organisasi masyarakat sipil. Di antara prestasi penting adalah rencana aksi REDD+ yang dipimpin di tingkat kabupaten sebagai bagian dari program pembangunan hijau untuk Kabupaten Kutai Barat, termasuk identifikasi Kawasan Konservasi Masyarakat (CCA/Community Conservation Areas) oleh masyarakat setempat. Para penduduk desa telah diberdayakan untuk menempa perjanjian baru dengan perusahaan pemegang konsesi untuk memastikan akses yang berkelanjutan ke kawasan ini. Lima desa telah merancang peraturan untuk menilai dan memperoleh pengakuan pemerintah untuk CCA mereka sendiri. Mengingat keberhasilan proyek di Kutai Barat dan Mahakam Ulu, pendekatan serupa telah dikembangkan, terutama di Jayapura, Papua. Prestasi proyek percontohan Kutai Barat dan Mahakam Ulu berfungsi sebagai sebuah contoh bagaimana REDD+ bekerja di tingkat tapak. Proyek ini menunjukkan bahwa praktik-praktik penggunaan lahan yang lebih baik dapat diterima dan dilaksanakan oleh berbagai aktor yang terlibat. Program ini mampu menyediakan pemerintah nasional dan setempat dengan hasil-hasil nyata dalam hal implementasi proyek REDD+. Tujuan WWF adalah untuk meningkatkan model Kutai Barat untuk implementasi luas di seluruh Indonesia. Untuk informasi lebih lanjut tentang WWF-Indonesia, silakan kunjungi http://www.wwf.or.id/. 18 D es em b er 2014 UNOR CID PROFIL MITRA STRATEGIS Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) masyarakat setempat Indonesia juga merupakan bagian dari tindakan inti WALHI. Majelis Umum WALHI merumuskan tujuan dan menetapkan sebuah program empat tahun (20122016) untuk memaksimalkan hasil dari komitmennya guna mencapai model pembangunan sosial yang berkelanjutan dan dapat ditiru. Sembilan bidang prioritas tindakan telah diidentifikasi, yaitu: pengelolaan sumber daya alam (makanan, air, energi, hutan, dan pertambangan); perencanaan tata ruang untuk mengamankan ruang masyarakat yang didedikasikan untuk mata pencaharian; perubahan iklim; tata kelola kelembagaan internal dan eksternal; perlindungan hakhak rakyat; pariwisata berkelanjutan; penanggulangan bencana; dan penghapusan konflik kepemilikan lahan dan konflik terkait pesisir, wilayah laut, dan pulau-pulau kecil. Program ini menggarisbawahi visi dan misi WALHI. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) adalah organisasi lingkungan hidup nirlaba mandiri terbesar di Indonesia. WALHI aktif di 27 provinsi di Indonesia. WALHI mengumpulkan 479 organisasi yang berkomitmen untuk secara aktif mempromosikan perubahan sosial – yaitu pengembangan gaya hidup dan mata pencaharian yang berkelanjutan melalui penguatan kedaulatan rakyat – pada tingkat lokal, nasional, dan internasional. Pada tingkat internasional, WALHI menjalankan kampanye melalui jaringan lingkungan hidup Friends of the Earth International (FoEI), yang menyediakan bagi WALHI penghubung berharga dengan 75 organisasi akar rumput anggota nasional di 70 negara yang berbeda. Jaringan ini memberikan WALHI lebih banyak visibilitas dan menyediakan dorongan untuk mengejar inisiatif-inisiatif sosial dan lingkungan hidupnya. Visi dan Misi Visi WALHI adalah menghadirkan ketertiban sosial, ekonomi dan politik yang adil dan demokratis yang dapat menjamin hak-hak rakyat untuk sumber mata pencaharian dan lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan. Misi forum ini adalah: 1.Mengembangkan potensi kekuatan dan ketahanan masyarakat, 2.Memulihkan mandat negara untuk menegakkan dan melindungi kedaulatan rakyat, 3.Mendekonstruksi tata kelola ekonomi kapitalis global yang menindas dan eksploitatif menuju ekonomi berbasis masyarakat, 4.Membangun alternatif tatanan ekonomi dunia yang baru, dan 5.Menghadirkan pengelolaan kebijakan sumber mata pencaharian rakyat yang adil dan berkelanjutan. Sejak tahun 1980, WALHI telah terlibat dalam mendorong pelestarian lingkungan hidup di Indonesia, menjadikan perlindungan hutan dan pengamanan keanekaragaman hayati sebagai isu-isu prioritas. Menghentikan deforestasi dan degradasi hutan, mempertahankan keanekaragaman hayati, dan mengadvokasi model pembangunan yang berkelanjutan merupakan tiga misi yang saling terkait yang mendefinisikan tulang punggung strategi Forum ini. WALHI bertujuan untuk mengatasi berbagai isu kritis, termasuk perlindungan hutan, pengawasan kegiatan pertambangan, pengelolaan air, mitigasi pendorong polusi, pengelolaan utang luar negeri dan globalisasi yang digerakkan oleh korporasi, pengamanan ruang pesisir dan kelautan, dukungan pembuatan kebijakan nasional dan reformasi hukum dalam domain lingkungan hidup dan sosial serta implementasi tata kelola yang kuat. Memastikan perwakilan hukum yang memadai bagi Untuk mencapai misi di atas, WALHI bergantung pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar. Oleh karena itu, WALHI mengadvokasi penghormatan hak asasi manusia; keadilan gender, antargenerasi, ekologis; demokrasi; persaudaraan sosial; anti-kekerasan; dan keragaman, sambil mengedepankan keterbukaan, kemandirian, profesionalisme, keberlanjutan, dan kesukarelaan, sebagai elemen inti dari suatu perilaku sosial teladan. Untuk informasi lebih lanjut kunjungi http://www.walhi. or.id/. 19 D es em b er 2014 REDD+ Indonesia Newsletter Indonesia di CoP20 di Lima, Peru Panelis dalam acara UN-REDD Programme“Looking Forward: REDD+ post 2015” (dari kiri ke kanan): Mario Boccucci, Kepala Sekretariat UNREDD Programme; Helen Clark, Administrator UNDP dan Ketua United Nations Development Group (UNDG); Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP dan Wakil Sekretaris Jenderal PBB; Prof. Ephraim Kamuntu, Menteri Air dan Lingkungan Hidup, Uganda; Maria Cristina Morales Palarea, Menteri Lingkungan Hidup, Paraguay; Per Fredrik Pharo, Direktur Hutan dan Iklim Internasional Norwegia; Vicky Tauli-Corpuz, Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat; dan Eduardo Rojas-Briales, Asisten Direktur Jenderal dan Kepala Departemen Kehutanan dari Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). Konferensi Para Pihak ke-20 Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (CoP20 UNFCCC) berlangsung di Lima, Peru antara 1 –12 Desember 2014. Salah satu tujuan utama konferensi ini adalah untuk menghasilkan sebuah rancangan naskah perjanjian internasional tentang reduksi emisi yang diantisipasi akan diumumkan pada CoP21 UNFCCC di Paris, Perancis. Terkait REDD+, khususnya, niat tersebut adalah untuk mengatasi isu-isu spesifik yang belum diselesaikan setelah rampungnya ‘buku aturan’ teknis REDD+ di CoP 19 tahun kemarin, dengan Kerangka Kerja Warsawa tentang REDD+. UNORCID berpartisipasi dalam CoP20 dengan pandangan untuk melanjutkan dan meningkatkan upayaupaya guna memperkuat dukungan sistem PBB bagi REDD+ baik di Indonesia maupun di dalam menghubungkan Indonesia dengan dunia. Sebuah tema besar untuk diskusi seputar REDD+ pada saat ini adalah kebutuhan untuk cara-cara mengomunikasikan tujuan dan maknanya secara paling efektif dan menarik. Pada tanggal 7 Desember, UNORCID, Code REDD+, BioREDD+, Rainforest Alliance, dan Global Canopy Programme, menyelenggarakan sebuah acara berjudul ‘Innovative Approaches to Communicating REDD+ (Pendekatan Inovatif untuk Mengomunikasikan REDD+)’. Setelah pidato kunci oleh Pavan Sukhdev, Goodwill Ambassador UNEP; Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ Indonesia, menjelaskan upayaupaya untuk melibatkan anak-anak dan pemuda Indonesia pada topik REDD+, khususnya berfokus pada programprogram Sekolah Hijau REDD+ dan Duta Muda Hijau. Beliau menyoroti isu-isu serupa di acara lain yang diselenggarakan bersama Earth Child Institute (ECI), UNORCID dan berbagai mitra lainnya yang berjudul ‘How does Article 6 contribute to the design and implementation of the 2015 climate change agreement? (Bagaimana Pasal 6 berkontribusi pada perancangan dan pelaksanaan perjanjian perubahan iklim 2015?)’. Menindaklanjuti acara ini, ECI dan UNORCID telah berkolaborasi dalam memproduksi sebuah artikel majalah UNFCCC Outreach yang menekankan hubungan antara anak-anak, pemuda, dan hutan. Sebuah kelompok lain yang keterlibatannya sama penting untuk keberhasilan REDD+ adalah wanita. Dalam sebuah wawancara dengan UNFCCC Climate Change Studio, Heru Prasetyo menjelaskan upayaupaya Indonesia untuk mengejar pengarusutamaan gender dalam REDD+; video ini ditampilkan pada Hari Gender (9 Desember) dan tersedia di situs web UNFCCC(http:// climatechange-tv.rtcc.org/2014/12/04/cop20-heru-prasetyominister-of-indonesia/). 20 D es em b er 2014 UNOR CID INISIATIF IKLIM INTERNASIONAL Inovasi adalah topik yang banyak dibahas tidak hanya terkait komunikasi REDD+. Berbicara pada acara One UN (Satu PBB), Satya Tripathi, Direktur UNORCID, menyoroti pentingnya “Data, Knowledge Management and Innovation (Data, Pengelolaan Pengetahuan dan Inovasi)”. Dua contoh yang disorot oleh beliau adalah sistem peringatan dini kebakaran berbasis iklim, dan studi Penilaian Ekosistem Hutan yang sedang berlangsung. Panelis lainnya mewakili berbagai badan PBB: UNFPA, UNIDO, IFAD, UNU, UNFCCC CTCN dan UK Natural Environment Research Council atas nama UNESCO. Berbagai topik terkait tata kelola REDD+ adalah fokus dari beberapa acara tambahan, banyak di antaranya berusaha menyoroti dan berbagi beragam pengalaman dari negara-negara, mengingat kemajuan substansial yang telah mereka buat dalam fase Kesiapan REDD+ mereka. Pendekatan Yurisdiksi, dan pengalaman sebelas provinsi prioritas Indonesia, adalah fokus dari kontribusi Heru Prasetyo untuk acara yang diselenggarakan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) dan mitra lainnya yang berjudul “REDD+ emerging: What we can learn from subnational initiatives (Munculnya REDD+: Apa yang dapat kita pelajari dari inisiatif subnasional)”. Dengan Pemantauan Hutan Berbasis Masyarakat (CBFM/Community Based Forest Monitoring) semakin terlihat sebagai sarana yang menjanjikan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dan masyarakat adat dalam sistem pemantauan hutan nasional dan REDD+, “CBFM Networking Reception and the Official Launch of the “Forest Compass” Website (Resepsi Jaringan CBFM dan Peluncuran Resmi Situs Web “Kompas Hutan”)” diselenggarakan bersama oleh Global Canopy Programme, UNORCID, WWF, the Institute for Global Environmental Strategies (IGES),dan Tebtebba. Acara ini melibatkan upaya interaktif dan kolaboratif untuk menampilkan, mengusulkan, dan membahas potensi pendekatan dalam meningkatkan penggunaan data masyarakat pada pelaporan REDD+ internasional dan nasional. UNORCID berkolaborasi lebih lanjut dengan Global Canopy Programme untuk menyelenggarakan acara peluncuran buku terbaru dalam seri kedua ‘Buku Kecil REDD+’, ‘’Little Book on Legal Frameworks for REDD+ (Buku Kecil Kerangka Hukum untuk REDD+)”. Presentasi disajikan oleh para ahli dari GIZ, Ludovino Lopes Lawyers, the Centre for International Environmental Law, serta Heru Prasetyo dan Satya Tripathi. Menggarisbawahi kebutuhan untuk menempatkan REDD+ di dalam kerangka kerja yang lebih luas dari pengelolaan lanskap berkelanjutan, Heru Prasetyo memberikan presentasi dalam sebuah resepsi yang diselenggarakan oleh Conservation International pada topik “The Future of REDD+: Opportunities for Anchoring REDD+ in the Landscape Approach (Masa Depan REDD+: Peluang untuk Melandaskan REDD+ dalam Pendekatan Lanskap)”. Orientasi untuk masa depan serupa adalah fokus dari sebuah acara yang berjudul “Looking forward: REDD+ post 2015 (Melihat ke depan: REDD+ setelah 2015)”. Diselenggarakan oleh UNREDD Programme dan dimoderatori oleh Helen Clark, Administrator UNDP dan Ketua United Nations Development Group, acara ini menampilkan berbagai perspektif dari seluruh dunia. The Global Commission on the Economy and Environment (Komisi Global Ekonomi dan Lingkungan Hidup) menyelenggarakan sebuah acara untuk membahas implikasi dari ‘New Climate Economy Report (Laporan Ekonomi Iklim Baru)’-nya. Indonesia merupakan salah satu dari tujuh negara komisi untuk laporan ini, dan Heru Prasetyo mewakili Pemerintah Indonesia pada panel di acara ini yang berjudul “Building better cities, land use, and energy systems through a New Climate Economy (Membangun kota, penggunaan lahan, dan sistem energi yang lebih baik melalui Ekonomi Iklim Baru)“ bersama dengan Felipe Calderon, Mantan Presiden Meksiko dan Ketua Komisi Global Ekonomi dan Iklim; dan Lord Nicholas Stern, I.G. Patel Ketua Ekonomi dan Pemerintahan, London School of Economics, dan Ketua Bersama Komisi Global Ekonomi dan Iklim, selain panelis dari enam negara komisi lainnya yang adalah: Ed Davey, Sekretaris Negara Inggris untuk Energi dan Perubahan Iklim; Gabriel Vallejo, Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Kolombia; Åsa Romson, Wakil Perdana Menteri Swedia; Ato Kare Chawicha, Menteri Negara Sektor Lingkungan Hidup Ethiopia; dan Per Pharo, Direktur Inisiatif Iklim dan Hutan Internasional Pemerintah Norwegia. Pada tanggal 10 Desember, BP REDD+ menyelenggarakan sebuah acara makan malam tingkat tinggi yang berjudul “REDD+ in Indonesia: Forests at the Heart of a Green Economy (REDD+ di Indonesia: Hutan di Jantung Ekonomi Hijau)” di Hotel Sheraton, Lima. Makan malam ini mengumpulkan lebih dari 200 pemangku kepentingan REDD+ dengan tujuan berbagi visi Indonesia tentang REDD+ dan pengalaman Indonesia dengan REDD+; serta untuk menegaskan kemitraan yang telah begitu berharga dalam memungkinkan kemajuan yang cukup besar tersebut. Setelah pidato pembuka Heru Prasetyo, pidato disampaikan oleh Jose Antonio Galdames, Sekretaris Negara Lingkungan Hidup, Republik Honduras; Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP; Maria Helena Semedo, Deputi Direktur Jenderal FAO PBB; Pavan Sukhdev, Goodwill Ambassador UNEP; Andrew Mitchell, Direktur Eksekutif Global Canopy Programme; dan Satya Tripathi, Direktur UNORCID. 21 D es em b er 2014 REDD+ Indonesia Newsletter Sesi Ketiga Pleno Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES – Platform Antar pemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem) Bonn, Nordrhein-Westfalen, 12-17 Januari 2015 Sesi ketiga pleno Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) akan meninjau kemajuan yang dibuat pada program kerja yang diadopsi IPBES untuk 2014 – 2018, termasuk anggaran terkait dan pengaturan kelembagaan untuk pelaksanaannya. Selain itu, sesi ketiga pleno IPBES ini akan memilih anggota Panel Pakar Multidisiplin (MEP/the Multidisciplinary Expert Panel) berdasarkan nominasi yang diterima dari pemerintah. Acara ini akan didahului oleh konsultasi dan hari pemangku kepentingan pada tanggal 10-11 Januari 2015. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di http://www.ipbes.net/ Pertemuan kedua dari Intergovernmental Ad Hoc Expert Group on the International Arrangement on Forests (AHEG2) (Kelompok Ahli Ad Hoc Antar Pemerintah tentang Pengaturan Internasional tentang Hutan) New York, AS, 12-16 Januari 2015 Ad Hoc Expert Group to the UN Forum on Forests (UNFF) (Kelompok Ahli Ad Hoc untuk Forum PBB tentang Hutan) akan mengadakan pertemuan kedua-nya (AHEG2) untuk meninjau Pengaturan Internasional tentang Hutan (IAF/International Arrangement on Forests). Hasil yang diharapkan dari AHEG2 mencakup rekomendasi tentang IAF setelah 2015 berdasarkan masukan dari pemangku kepentingan dan tinjauan independen dari program kerja multi-tahun IAF. Untuk memudahkan pekerjaannya, AHEG2 akan mempertimbangkan masukan tentang masa depan IAF yang diberikan oleh Negara-Negara anggota dan pemangku kepentingan lainnya, sejauh masukan tersebut diterima sebelum 5 Desember 2014. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di http://www.un.org/esa/forests/adhoc.html Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia 2015 Davos-Klosters, Swiss 21-24 Januari 2015 Kompleksitas, kerapuhan, dan ketidakpastian berpotensi mengakhiri era integrasi ekonomi dan kemitraan internasional yang dimulai pada tahun 1989. Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia mempertemukan para pemimpin global dari seluruh bisnis, pemerintah, organisasi internasional, akademisi, dan masyarakat sipil di Davos untuk dialog strategis yang memetakan transformasi kunci yang membentuk kembali dunia. Perubahan iklim dan lingkungan hidup muncul dalam sejumlah dialog termasuk Climate entrepreneurship: Leading the Climate Charge (Kewirausahaan iklim: Memimpin Perubahan Iklim) (22/01) yang akan membahas bagaimana para pembuat kebijakan di sektor bisnis menggunakan teknologi iklim, harga karbon, dan rantai pasokan hijau untuk menata ulang perang terhadap perubahan iklim, Closing the climate Deal (Menutup kesepakatan iklim) (22/01) tentang bagaimana sebuah kesepakatan iklim global yang komprehensif dapat tercapai, dan Climate and Poverty: Making an Impact on Climate Change and Extreme Poverty (Iklim dan Kemiskinan: Membuat Dampak pada Perubahan Iklim dan Kemiskinan Ekstrim) (23/01) untuk membahas sumber daya dan komitmen yang dibutuhkan sekarang untuk mengatasi tantangan ganda perubahan iklim dan kemiskinan ekstrim. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di http://www.weforum.org/events/world-economic-forum-annual-meeting-2015 Seri Dialog UNORCID: Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam konteks implementasi REDD+ di Indonesia Papua Room, Lantai 7, Menara Thamrin Building, Jakarta, 28 Januari 2015 Sebagai salah satu negara dengan areal hutan yang paling luas di dunia, hutan Indonesia adalah penting tidak hanya untuk pembangunan ekonomi nasional dan mata pencaharian masyarakat setempat, tetapi juga untuk fungsi sistem lingkungan hidup global. Dengan latar belakang ini, pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat lokal sebagai badan pengelolaan permanen, sangatlah penting untuk mempromosikan tata kelola hutan dan mendukung upaya-upaya lokal menuju pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, mitigasi perubahan iklim (termasuk REDD+) dan adaptasi serta pelestarian keanekaragaman hayati. Acara seri dialog ini yang diselenggarakan bersama oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit GmbH (GIZ) dan UNORCID akan memberikan perkembangan terkini tentang kemajuan pengembangan KPH dan manfaatnya untuk membangun arsitektur REDD+ subnasional serta untuk berbagi informasi tentang pengalaman dan kegiatan terkini para pemangku kepentingan dalam mendukung pengembangan KPH di dalam kerangka kerja REDD+. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di http://www.unorcid.org/index.php/events-menu/upcoming-meetings/357-fmus 22 D es em b er 2014 UNOR CID PERTEMUAN DAN ACARA MENDATANG KTT Pembangunan Berkelanjutan Delhi ke-15: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan menangani perubahan iklim New Delhi, India, 5–7 Februari 2015 Sejak tahun 2001, The Energy and Resources Institute (TERI), menyelenggarakan KTT Pembangunan Berkelanjutan Delhi (DSDS/Delhi Sustainable Development Summit) tahunan, sebuah platform internasional untuk memfasilitasi pertukaran pengetahuan tentang semua aspek pembangunan berkelanjutan. Selama empat belas tahun terakhir, TERI telah muncul sebagai salah satu forum terkemuka tentang isu-isu terkait keberlanjutan global. Kegiatan unggulan TERI ini menyatukan berbagai Kepala Negara dan Pemerintahan, para pemimpin pemikiran, pembuat kebijakan, dan yang terbaik dari industri dan akademisi untuk membicarakan segudang isu. “Sustainable Development Goals and Dealing with Climate Change (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Menangani Perubahan Iklim)” telah diidentifikasi sebagai tema untuk edisi ke-15 dari KTT ini, yang akan berlangsung pada tanggal 5-7 Februari 2015. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di http://dsds.teriin.org/2015/ Ekonomi Opsi Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Kehutanan Virtual, 6-27 Februari 2015 The Food and Agriculture Organization of the UN (FAO)akan kembali mengadakan konferensi online untuk membahas biaya dan manfaat dari berbagai opsi mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan termasuk REDD+, bangunan hijau, dan promosi bioenergi. Konferensi ini akan diselenggarakan dengan dua tema: ‘climate change mitigation through forest management interventions (mitigasi perubahan iklim melalui intervensi pengelolaan hutan)’, dan ‘climate change mitigation through improved wood utilization (mitigasi perubahan iklim melalui peningkatan pemanfaatan kayu)’. Diskusi online ini akan berlangsung pada tanggal 6-27 Februari 2015. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di http://www.fao.org/forestry/cc-mitigation-economics/en/ KTT Sektor Swasta: “Tropical Landscapes: A Global Investment Opportunity (Lanskap Tropis: Sebuah Peluang Investasi Global)” Jakarta, Indonesia, 9-10 Februari 2015 Berinvestasi dalam ekonomi hijau, berarti berinvestasi di masa depan – yang melibatkan baik pemerintah maupun sektor swasta. Hal ini mengharuskan pemerintah untuk menciptakan lingkungan bisnis di mana peluang bisnis yang memungkinkan transisi ekonomi hijau yang kompetitif dibandingkan dengan yang konvensional. KTT sektor swasta ini akan diselenggarakan di Jakarta, Indonesia – dilaksanakan bersama oleh Pemerintah Indonesia dan Sistem PBB – dirancang untuk memungkinkan dan menghasilkan ruang bagi para pemimpin sektor bisnis utama dalam mengeksplorasi dan terlibat di peluang spektakuler yang ditawarkan oleh Transisi Ekonomi Hijau Indonesia. KTT ini diharapkan dapat memberikan masukan nyata bagi para pembuat kebijakan serta memberikan dorongan untuk inisiatif-inisiatif mitigasi perubahan iklim, terutama solusi yang paling cepat, tersedia, dan kuat. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di http://www.unorcid.org/index.php/events-menu/upcoming-meetings/313-private-sectorsummit 23 D es em b er 2014 REDD+ Indonesia Newsletter Dipublikasikan oleh United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia (UNORCID) Menara Thamrin Building, Lantai 5, Kav. 3, Jl. MH Thamrin PO Box 2338 Jakarta 10250 Indonesia Email: [email protected], Website: www.unorcid.org www.facebook.com/unorcidjakarta @UNORCID 24 D es em b er 2014