Like, Share, Comment - Jakarta Biennale 2015

Transcription

Like, Share, Comment - Jakarta Biennale 2015
Diselenggarakan oleh Held by:
Atas dukungan Supported by:
Agung ‘Abe’ Natanael
Farid Rakun
JJ Rizal
Reza Mustar
Yuka Dian Narendra
Yusi Avianto Pareanom
Redaktur Editors:
Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari
Agung ‘Abe’ Natanael
Farid Rakun
JJ Rizal
Reza Mustar
Yuka Dian Narendra
Yusi Avianto Pareanom
BERKAS: Terbitan Berkala Jakarta Biennale
© Dewan Kesenian Jakarta, 2013
Redaktur Editors: Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari
Kontributor Contributors: Agung ‘Abe’ Natanael, Farid Rakun, JJ Rizal,
Reza Mustar, Yuka Dian Narendra, Yusi Avianto Pareanom
Penerjemah Translator: Miki Salman
Penerjemah cerita pendek Short story translator: Dewi Anggraeni
Desain Design
Cover photo: Agung ‘Abe’ Natanael
Diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta
sebagai pendukung acara Jakarta Biennale 2013: SIASAT
Cetakan pertama, November 2013, Jakarta, 1000 eksemplar.
Jakarta Biennale 2013: SIASAT
Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki
Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat, Indonesia
T: +62 21 319 37 639 / 316 27 80 / 398 99 634
F: +62 21 319 37 639
www.jakartabiennale.net
@jakartabiennale
jakartabiennale2013
jakartabiennale
Content
Pengantar
8
6
oleh by Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari
Jokowi dan Arsitektur Betawi 11
Jokowi and Betawi Architecture 19
esai oleh essay by JJ Rizal
Like, Share, Comment:
Kreativitas, Warga Kota, dan Perubahan Sosial
Like, Share, Comment:
Creativity, Citizen, and Social Change
esai oleh essay by Yuka Dian Narendra
Kartun oleh Cartoon by Reza Mustar
37
46
Fotografi oleh Photography by Agung ‘Abe’ Natanael
Surat Putus Kampungan 73
Kampung
surat oleh letter by Farid Rakun
27
59
81
Muslihat Musang Emas dan Elena 113
The Golden Fox Trickery and Elena 121
cerita pendek oleh a short story by Yusi Avianto Pareanom
128
130
Tentang Para Kontributor
About the Contributors
Tentang Para Redaktur
About the Editors
132
Jakarta Biennale 2013
134
Pengantar
6
Barangkali Jakarta memang kota telanjur. Hutan rimbun telanjur digantikan dengan
hutan beton, kawasan resapan air telanjur dijadikan ladang bisnis hasil kongsi, lalu singkat
kata: banjir merajalela. Atau, buruknya sistem transportasi umum selama puluhan tahun
membuat penggunaan kendaraan pribadi tak terbendung: macet pun melanda hampir di
setiap sudut kota. Dua itu saja, sudah cukup membuat foto macet dan banjir pantas dijadikan
gambar kartu pos atau brosur pariwisata ibukota, tanpa perlu repot mengubah slogan bahasa
Inggrisnya: Enjoy Jakarta.
Tanpa pernah terurai tuntas, peliknya problem yang itu-itu saja selama puluhan tahun
itu kemudian disiasati oleh warganya. Sebagian siasat warga itu dilakukan demi bertahan
hidup, sebagian demi memanfaatkan celah-celah dalam sistem yang gagal memberikan
kelayakan hidup bagi warga. Sebagian dianggap menimbun masalah baru, sebagian dianggap
sebagai solusi. Sebut saja secara acak: kemacetan luar biasa melahirkan ojek, kurangnya ruang
bermain anak melahirkan odong-odong, atau kurangnya ruang publik melahirkan komunitaskomunitas yang dipertemukan oleh media sosial. Segala persoalan menahun ibukota untuk
sementara diatasi dengan solusi yang juga sementara dari warga, yang akhirnya berlangsung
dalam jangka waktu lama sebagai praktik-praktik yang mapan dalam keseharian warga—
budaya baru.
Timbullah pertanyaan: apakah duo pemimpin Jakarta kita, Joko Widodo dan Basuki
Tjahaja Purnama, yang akrab disapa Jokowi dan Ahok, dalam misi mereka untuk
menyelesaikan persoalan kronis ibukota, akan mempertimbangkan sumbangsih siasat-siasat
warga, terutama yang telanjur membudaya?
Namun jika ada satu hal yang hal yang bisa ditekankan, itu adalah: pemerintah Jakarta
mesti kembali dilihat sebagai sebuah lembaga. Dengan demikian, warisan rezim Orde Baru
berupa kata “oknum” mesti dicermati kembali. Pada masa Orde Baru, seperti yang kita tahu,
kata “oknum” sengaja digunakan untuk menyelamatkan citra lembaga pemerintah yang tak
bisa mengontrol kelakuan buruk anggotanya. Pengertiannya: “oknum” adalah yang lain, bukan
bagian dari lembaga. Maka, yang selama bertahun-tahun membiarkan para pedagang kaki
lima berjualan di jalanan, pasar, maupun terminal, dan menarik pungli dari mereka, adalah
“oknum”, bukan pemerintah.
Melihat kembali pemerintah Jakarta sebagai sebuah lembaga berarti melihat bahwa
“oknum” adalah bagian dari perwujudan kelembagaan di tengah-tengah masyarakat. Sebagai
lembaga yang membiarkan dirinya “diwakili” oleh “oknum” selama bertahun-tahun hingga
menjadi sebuah ketelanjuran lain, pemerintah sama bersalahnya dengan semua pedagang
kaki lima yang dianggap mengganggu ketertiban umum itu. Maka, usaha menyingkirkan
“pengganggu ketertiban umum” demi alasan apa pun, perlu turut mempertimbangkan
kesalahan silam pemerintah tersebut. Apalagi, siapa pun tahu, mengusir pedagang kaki lima
dari sekitaran pasar jauh lebih mudah daripada, katakanlah, mengosongkan real estate maupun
membongkar superblok-superblok di tengah kota, atau vila-vila di Puncak yang diizinkan
oleh negara, yang keberadaannya jelas menyebabkan resapan air kota kian menipis dan banjir
di ibukota semakin sering. Semua ketelanjuran di kota ini perlu diselesaikan dengan terlebih
dulu mengurai banyak hal yang berkelindan. Demi tidak menghilangkan sepenuhnya, kalau
tidak bisa disebut menghargai, siasat-siasat yang hidup dan telanjur membudaya di keseharian
warga Jakarta dan turut membentuk identitasnya.
Dan apakah peran sebuah terbitan yang mendaku membicarakan Jakarta, dengan tema
Siasat, dari perhelatan Jakarta Biennale 2013 dengan tema yang sama? Ketika Jakarta
Biennale telah berkembang sebagai pembacaan berkelanjutan atas kota, maka buku ini
menawarkan dirinya sebagai sebuah catatan tentang kota; bahan tinjauan untuk melihat tanpa
tergesa, untuk tidak larut dalam siklus ketelanjuran tanpa henti. Di dalamnya, dimuat bahasan
persoalan kota dalam konteks luas kebudayaan, yang rencananya terbit setiap kali Jakarta
Biennale diadakan. Melibatkan kontributor yang mewakili semangat dan fokus Jakarta
Biennale, buku ini memosisikan diri sebagai media yang mewadahi gagasan-gagasan kritis
dalam pembacaan dan investigasi atas berbagai fenomena kota terkini.
Edisi perdana ini tampil ramping. Para kontributor mewakili ragam format karya
media cetak, yaitu esai, surat, cerita pendek, kartun, dan fotografi. Bersama-sama, mereka
memanfaatkan potensi media cetak, media yang memungkinkan informasi dihadirkan dan
diserap tanpa lepas dari bingkai dan latar yang utuh.
Akhir kata, selamat membaca.
Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari
7
8
Perhaps Jakarta is indeed a telanjur1 city. A jungle of trees is telanjur replaced by a jungle of
concrete. Catchment areas have telanjur-ly been turned into business fields, and the result:
widespread flooding. Or, bad public transportation system neglected for decades has led to an
explosion in private vehicle ownership, and the result: traffic jams choking all corners of the
city. Just those two are enough to make traffic jams and flooding as pictures on postcards or
the city’s tourism brochures, without the need to change the English slogan: Enjoy Jakarta.
Without unraveling, the difficult problems, the many telanjurs, have been coped with and
addressed by Jakarta’sresidents. Some such solutions are devised in order to survive, some to
exploit the gaps in a system that has failed to provide proper living for its residents. Some are
said to just bury old problems, while others are considered solutions. Just to name a few: the
incredible traffic jams have given rise to ojeks (the motor cycle taxis), the lack of playgrounds
have brought about the odong-odong, the street carousels-on-wheels, or the lack of public
spaces have created communities that were enabled by social media. All these chronic
problems of the capital city in the interim have been addressed by no-less interim solutions
from the people, which then last for a long time and become established practices in the
people’s daily lives—new cultures. Then the question arises: will the dear duo leadership of
Jokowi and Ahok, who have set out to resolve these problems, also consider the contributions
these public solutions have made to the city, especially those that have established themselves
in the city’s culture?
But, if there is one thing to be emphasized here, it would be: seeing the government of
Jakarta as an institution again. That way, the term oknum,2 a legacy of the New Order regime,
must be reconsidered. During the New Order, as we know, the term oknum was intentionally
used in order to save the image of government institutions which were incapable to control
bad behavior of its agents. The meaning: oknum is the other, not part of the institution. Then,
the ones who had for years allowed extortion from street vendors vending on the streets,
markets, terminals are oknum and not the government officials.
Seeing anew the government of Jakarta as an institution means that oknum is part of
the manifestation of the institution amidst society. As an institution which has let itself be
“represented” by the oknum for decades until it became another ketelanjuran, the government
The word ‘telanjur’ (adv, adj, n) has no equivalent in English. It refers to a condition where something has taken place
and nothing can be done anymore to undo the resulted situation. Ketelanjuran is also used to refer to the noun form.
2
“Oknum” refers to rogue elements.
1
is as culpable as all the street vendors considered to disrupt public order. So that efforts to get
rid off the “disrupters of public order” for any reason must also consider the past liabilities of
the government. Especially, anyone knows, evicting street vendors from around the markets is
so much easier than, say, evacuating real estates or tearing down the superblocks in the middle
of the city, or the villas in Puncak that have been allowed by the state, whose existence has
clearly reduced the water catchment area inevitably causing frequent floods in the city. All of
the ketelanjuran in this city must first be resolved by disentangling the many things that are
entangled. For the sake of not completely eliminating all, if not to say appreciate, the various
copings and solutions that exist and are ingrained in the daily culture of Jakartans, which
contributes to their identity.
And what is the role of a publication that claims to talk about Jakarta, under the theme
of Siasat, of this Jakarta Biennale 2013 festivity with the same theme? Since the Jakarta
Biennale has developed into a continuous reading of the city, this book presents itself as a
note; a material for review, to see without having to rush, and not be carried away in the cycle
of unending ketelanjuran. Inside are considerations about city problems within a wide context
of the culture; to be published each time the Jakarta Biennale occurs. Involving contributors
who represent the spirit and focus of the Jakarta Biennale, this book positions itself as a
media which accommodates critical ideas in the reading and investigation of the various city
phenomena today.
This first edition is quite slim. The contributors represent a variety of print media formats,
i.e. essays, a short story, a cartoon, and photography. Together they make use of the print
potential, a medium that allows information to be presented and absorbed without being cut
off from an intact frame and background.
Finally, enjoy your reading.
Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari
9
10
Jokowi dan Arsitektur Betawi
esai oleh
JJ Rizal
Bagaimanakah sebaiknya mendiskusikan niat Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo yang disampaikan dalam pertemuan dengan
para arsitek di Jakarta pada 22 Desember 2012 ihwal urgensi
pembangunan gedung dengan arsitektur Betawi di kota Jakarta?
Pada 27 Juni 2013, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) menyikapi
niat gubernur yang akrab disapa Jokowi itu dengan menggelar diskusi
“Identitas Kota Jakarta”. Jika menelaah pemberitaan, hasilnya adalah
kegamangan—kalau tidak dapat disebut kebingungan. “Lebih tepat
bila Jakarta tidak hanya menerapkan arsitektur khas Betawi, namun
juga arsitektur Nusantara,” kata arsitek Achmad Noerzaman. Jadi
tidak tepat arsitektur Betawi dipatenkan sebagai identitas Jakarta.
Tidak ada urgensinya juga. Pendapat ini diamini perwakilan Pemda
DKI Jakarta, Poernomo Singgih, “Sulit menginterpretasikan identitas
Jakarta dalam bangunan. Arsitektur Betawi itu kalau diatur dengan
sangat rigid akan mematikan kreatifitas.” Pada 11 November
2013, seminar serupa diadakan Suku Dinas Kebudayaan Kota
Administratif Jakarta Barat. Meskipun dihadiri perwakilan organisasi
budaya Betawi seperti di pertemuan IAI sebelumnya, pertemuan
itu tetap belum memberikan inspirasi nilai arsitektur Betawi.
Celakanya, berhembus berita Jokowi pun jadi ikut bimbang, tepatkah
menerapkan arsitektur Betawi pada kota Jakarta yang tidak hanya
milik orang Betawi?
Maka, berdengunglah kembali apa yang sering dinyatakan oleh
arsitek Eko Budihardjo pada 1980-an: betapa pentingnya menyikapi
ide tentang arsitektur yang beridentitas tradisi sebagai tantangan
untuk melakukan vernacular revival, dalam arti bukan melulu sekadar
sibuk mencerap wadah fisiknya, melainkan, yang lebih penting lagi,
justru falsafah, tata nilai, dan makna lambang-lambang tradisionalnya
yang tidak kasat mata. Seperti apa? Misalnya, yang menyangkut
tatakrama ruang atau peletakan massa bangunan dan komposisinya
yang terkait pada norma serta kepercayaan yang dianut orang Betawi.
Dengan kata lain, ide arsitektur Betawi seharusnya lebih merupakan
diskusi untuk menemukan sistem pengetahuan lokal (local knowledge
system) yang berakar pada kearifan lokal (local wisdom) dan pranata
Betawi dalam esai
ini mengacu kepada
masyarakat yang
membentuk kebudayaan
di wilayah yang secara
geografis lebih luas
daripada wilayah
administrasi DKI
Jakarta saat ini. Wilayah
tersebut meliputi Bekasi,
Sawangan, bahkan
sampai ke Gunung Putri
dan daerah pinggiran
Citarum. Keberadaan
kebudayaan Betawi
terbentuk melalui proses
sejarah yang panjang,
dari masa prasejarah
yang dibuktikan dengan
penemuan arkeologis di
sepanjang aliran sungai
Ciliwung, kemunculan
kekuatan agama
Islam dan Tionghoa,
kedatangan orang
Eropa, urbanisasi dan
penyerahan kedaulatan
Republik Indonesia
1949, lalu memuncak
pada masa pemerintahan
Jakarta oleh Gubernur
Ali Sadikin (19661977) di era rezim Orde
Baru, serta masa Jakarta
dikuasai kekuatan modal
pada 1980-an.
11
BERKAS
12
ilmiah (scientific institution) sebagai penunjangnya. Dengan memanfaatkan rekayasa mutakhir,
ide arsitektur Betawi itu dapat dijadikan siasat agar Jakarta keluar dari maut.
Mengapa maut? Sebab, semakin santer saja para pakar pengamat Jakarta bicara betapa
ibukota Republik Indonesia ini tengah berada dalam bahaya kehancuran ekologis akibat
krisis kawasan hijau, yang akibat nyata dan langganannya adalah banjir. Bahaya itu bisa saja
kita sandingkan dengan ancaman maut gempa bumi dan tsunami yang setiap saat bisa terjadi
di Kota Kobe dan kota-kota lain di Jepang. Tetapi jika ancaman itu membuat pemerintah
Jepang terpanggil untuk menggali kearifan arsitektur tradisional (folk architecture) yang lentur
terhadap gempa, mengapa ide arsitektur Betawi tidak juga dikembangkan untuk menangkal
banjir dan bencana ekologis lainnya? Bukankah sejarawan Restu Gunawan sudah pula meriset
tentang banjir sebagai bahaya maut paling tua di Jakarta? Dan ia menyimpulkan bahwa
pengendalian banjir Jakarta dengan cara struktural dan nonstruktural saja tidak cukup, harus
juga dikembangkan arsitektur Betawi di dalam permukiman yang berupa rumah panggung.
Adalah benar rumah panggung arsitektur Betawi merupakan kompromi terhadap alam
Jakarta, yang menurut istilah orang Betawi “kampungnye aer”, tetapi apakah itu saja siasat yang
diwariskan sistem pengetahuan lokal arsitektur Betawi?
Ada pantun dari khasanah dunia lama Betawi, terutama yang berada di Jakarta Selatan:
“Dari Kampung Limo ke Sawangan, jalannye adem matahari kealingan, bikin rumah bukan
permaenan, cuman tida kepanasan tida keembunan.” Seperti pada umumnya tradisi suku bangsa
di Indonesia, pantun tersebut menandaskan bahwa rumah buat orang Betawi memang bukan
sekadar wadah fisik. Tidak pula melulu ihwal bentuk atap, struktur, atau massa bangunan
saja, tetapi lebih-lebih suatu konsep ruang. Sedangkan konsep ruang itu berkait erat dengan
kekhasan dan prilaku orang Betawi.
Orang Betawi dibentuk oleh alam Jakarta yang lahir bersama banjir dari hujan tropis
5000 tahun lalu yang mengikis punggung pegunungan vulkanik Salak dan Gede. Air itu
membentuk sungai-sungai yang membawa tanah ke laut, lantas berangsur-angsur jadi dataran
endapan lebar yang landai dengan danau-danau, rawa-rawa, dan hutan tropis. Penemuan
arkeologis masyarakat purba di Jakarta, yang banyak berlokasi di tepian sungai, menjelaskan
bahwa orang Betawi adalah masyarakat sungai yang mengembangkan kemampuan bercocok
tanam. Mayoritas nama tempat di Jakarta yang identik dengan pohon bahkan hutan dan air—
Jatipadang, Utankayu, Kampung Rambutan, Pedurenan, Tanjungbarat, Telukgong, Rawagatel,
Pulomas—bukan saja pengingat masa lampau Jakarta, tetapi juga berkait erat dengan
kekhasan dan prilaku orang Betawi yang berpandangan bahwa alam menguasai manusia dan
manusia integral dengan alam.
Maka, ruang dalam arsitektur Betawi sebenarnya berperan untuk memenuhi fungsi-fungsi
manusia dalam alam serta tunduk pada hukum-hukumnya. Tak heran jika setiap individu
Betawi mempunyai berbagai kewajiban terhadap alam. Simbol ukiran yang disebut bebulan di
atas pintu masuk rumah Betawi menegaskan arti penting siklus alam yang harus diperhatikan
oleh manusia jika tidak ingin bahla atau celaka. Sebaliknya, jika manusia selaras dengan
alam maka, “Menang biji menang papan” alias mendapat keuntungan berganda. Alhasil ruang
terbuka di dalam konsep arsitektur Betawi menjadi subjek yang memiliki identitas sendiri,
bukan hanya sebagai pendukung dari objek rumah di tengahnya. Rumah adalah aset yang
dikelilingi aset-aset lain yang bahkan jauh lebih berharga daripada rumah itu sendiri secara
material maupun kultural. Kebun pribadi misalnya, mendominasi halaman rumah karena
pepohonan buah-buahan dan obat-obatan adalah aset paling berharga yang mengandung
nilai material sekaligus spiritual.
Jokowi dan Arsitektur Betawi esai oleh JJ Rizal
“Puhun gempyok tempat neduh, batang koat peranti begantung,”
begitu ungkapan khas petani buah Betawi. Artinya, kebun
bukan sekadar pelindung dari iklim, penjamin sirkulasi sekaligus
pemberi kualitas udara yang baik, serta penghasil buah-buahan
sebagai sumber pendapatan, melainkan juga suatu medium untuk
memahami bagaimana manusia merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan alam. Bahkan yang terakhir ini dikuatkan
dengan kepercayaan orang Betawi, “Orang mati itu tidak sama
dengan kedebongan pisang.” Maknanya, ruh seseorang tetap hadir di
lingkungan rumah keluarga tempat ia pernah hidup. Oleh karena
itu, orang Betawi mengutamakan mengubur jenazah keluarganya
di pekarangan rumahnya sendiri. Tidak aneh jika kemudian sering
terdengar patut-patut alias tatakrama Betawi: “Kencing jangan
sembarangan, puhunan ade penunggunye.” Ini boleh jadi ungkapan
gaibiyah Betawi, tetapi cobalah percaya bahwa pohon adalah ruang
leluhur, dan lingkungan pepohonan ini memberi jaminan ketenangan
sebab secara batiniah seseorang senantiasa mendapat perlindungan
leluhur yang berada tak pernah jauh. Betapa tipis batas ruang dalam
dengan ruang luar dalam arsitektur Betawi.
Dalam tata ruang rumah Betawi, apa pun jenisnya—gudang,
bapang/kebaya, joglo—ruang yang terbesar adalah dapur. Ini terkait
dengan pola konsumsi penghuninya yang dibentuk oleh alam
lingkungan yang menyediakan aneka kebutuhan makanan. Maka,
jika kita buka Kamus Bahasa Melayu Betawi nyatalah betapa banyak
istilah untuk kegiatan yang berkaitan dengan makan, mulai dari
dahar, gegares, sampai ngelebok, yang biasanya ditutup dengan cuci
mulut atau makan buah-buahan. Bahkan, di luar kegiatan makan
pagi, siang, dan malam dikenal juga aneka waktu untuk kegiatan
mengudap, seperti mindo, nyahi, ngegahwa. Makan pagi, siang, dan
malam menunya pun berbeda-beda. Ini dapat dilakukan karena
kebun di sekitar rumah adalah ruang bagi aneka jenis pohon
produktif, termasuk bumbu-bumbuan dan obat-obatan. Pohon obatobatan ini dalam arsitektur Betawi dijadikan pagar yang tidak kaku
dan tegar, sohor disebut pager puhun. Dari pager puhun berupa pohon
saga, sirih, teleng, lahirlah obat-obat khas untuk sariawan, demam,
atau batuk. Dari dapur dan kebun yang kaya itulah lahir pengetahuan
pengobatan, juga kuliner khas, seperti sayur kembang duren, sayur
sambel godog, nasi goreng kunyit daun mengkudu, sambel masak
goreng asem; juga aneka sambal, semisal sambal gandaria, sambal
limo, serta jenis-jenis asinan dan manisan.
Dengan demikian dapat dipahami ketika F. de Haan di dalam
bukunya yang tersohor Oud Batavia mengungkapkan bagaimana
ia menyaksikan ruang arsitektur Betawi. Arsiparis ini menyatakan,
banyak rumah di kampung-kampung di Batavia pada 1920-an
dikelilingi kebun dan halaman yang ditanami sayur serta buahbuahan. Keadaan ini tak banyak berubah pada 1970-an, manakala
13
Dahar adalah bahasa
tinggi Betawi yang berarti
“makan”. Kata gegares dan
ngelebok yang merupakan
bahasa rendah Betawi,
memiliki arti yang sama.
Mindo adalah bahasa
Betawi yang berarti
“menghabiskan sisa
makanan”. Sementara
nyahi berarti “minum
teh kala sore sambil
ditemani kudapan”, dan
ngegahwa berarti “minum
kopi dengan ditemani
kudapan”.
BERKAS
Bentuk rumah Betawi dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan struktur atapnya. “Rumah Gudang” memiliki denah
segi empat yang memanjang dari depan ke belakang dengan atap berbentuk pelana, maupun perisai. Sementara atap
pelana pada “Rumah Bapang/Kebaya” berbentuk pelana yang tidak penuh. Bagian tengah atap pelana pada Rumah
Bapang agak mematah dan melandai ke dua sisi luar rumah. Bentuk ketiga rumah Betawi adalah “Rumah Joglo”
yang berdenah empat persegi panjang beratap gaya gunung, atau joglo, di bagian tengahnya. Atap joglo merupakan
pengaruh arsitektur Jawa pada arsitektur rumah Betawi. Bedanya tidak seperti rumah joglo di Jawa Tengah, tiang-tiang
penopang struktur atap joglo pada arsitektur Betawi tak menjadi patokan langsung bagi pembagian ruang pada denah.
Rumah Gudang
Rumah Bapang
Rumah Joglo
14
Kebun Buah-buahan
Ilustrasi rumah-rumah Betawi di
antara berbagai pepohonan buahbuahan di perkampungan Betawi
di Condet.
Pola tapak rumah di Balekambang, Condet.
Sumber: Ismet B. Harun, Hisman Kartakusuma, Rachmat Ruchiyat, dan Umar Sudiarso,
Rumah Tradisional Betawi (Dinas Kebudayaan Pemda DKI Jakarta, 1991).
Jokowi dan Arsitektur Betawi esai oleh JJ Rizal
Lea Jelinek melakukan riset di daerah Kebon Kacang yang kemudian dibukukan menjadi
The Wheel of Fortune: The History of Poor Community in Jakarta. “Ibu Cia orang Betawi asli,
rumahnya yang berlantai tanah dikelililingi oleh kebun sayur, pohon buah-buahan dan ada
kolam ikan, kandang ayam juga kambing,” ungkap Jelinek. Ditambahkannya bahwa sebagian
hasil kebun itu dikonsumsi sendiri dengan para tetangga, lainnya dibungkus lantas dijual ke
Pasar Tanah Abang atau dijajakan keliling kampung.
Asep Suryana yang mempelajari sejarah petani buah-buahan Betawi di Pasar Minggu
secara tidak langsung menjelaskan bagaimana ruang arsitektur orang Betawi yang guyub
dengan alam itu mengilhami pemerintah kolonial menjalankan usul H. van Breen pada 1918
tentang perlunya membangun kawasan hijau di selatan Batavia sebagai siasat mencegah
banjir sekaligus sebagai penyedia pasokan buah-buahan di kota. Lebih jauh pada 1938, nilai
kawasan hijau perkotaan ini bukan saja dikuatkan tetapi juga diluaskan sebagai acuan bagi
kota-kota di Jawa melalui dokumen Toelichting op de “Stadsvormingsordonantie Stadsgemeenten
Java” (memorandum penjelasan tentang “Dekrit Perencanaan untuk Kota-kota di Jawa”).
Meski sempat surut pada zaman Jepang, fungsi arsitektur Betawi di Pasar Minggu
pada 1950-an dikuatkan kembali terkait rujukan Rencana Induk Jakarta. Walikota Sudiro
bersama ahli tatakota Kenneth Waits dari PBB menyusun rencana itu agar kebun pribadi
dapat menjadi kategori terbesar dalam upaya membuat sabuk hijau Jakarta demi mencegah
banjir, sekaligus menciptakan resapan dan penampungan air. Mobilisasi masif berhasil
meluaskan pertumbuhan rumah kebon di Pasar Minggu. Tidak aneh jika pada 1962, Bing
Slamet mendendangkan lagunya yang sohor: “Pepaya, mangga, pisang, jambu dibeli dari Pasar
Minggu”. Lagu ini bukan saja suatu dokumentasi zaman ketika buah lokal Jakarta jadi tuan
di rumah sendiri, tetapi juga zaman ketika pemerintah sukses mendorong partisipasi warga
secara besar-besaran untuk membuat lingkungan hijau yang produktif. Meskipun pada saat
yang bersamaan di tengah kota Sukarno sedang giat-giatnya melaksanakan mimpinya sebagai
arsitek dengan mengubah lingkungan arsitektur Betawi menjadi kawasan hijau kota, sebagai
dukungan simbolik terhadap upayanya membangun karakter bangsa melalui pendirian
monumen dan kompleks olahraga.
Di tengah kota Jakarta itu, Ali Sadikin, yang disebut sebagai kado perpisahan terbaik
Sukarno bagi Jakarta, memang sudah sukar melihat keberadaan arsitektur Betawi, tetapi di
selatan ia masih melihat hal itu. Terdorong sebagai Gubernur Jakarta yang tengah mencari
identitas budaya kotanya, ia pada pertengahan 1970-an menetapkan Condet—tidak
jauh dari Pasar Minggu—sebagai daerah cagar budaya Betawi. Sadikin bahkan membuat
ketetapan hukum terkait rumah-rumah berarsitektur Betawi di Condet dan pemanfaatan
lingkungan sekelilingnya. Dengan begitu ia memiliki jaminan yang lebih kuat bukan hanya
terkait pasokan buah-buahan, melainkan yang jauh lebih penting lagi terkait pemanfaatan
arsitektur Betawi sebagai benteng pemertahanan kawasan hijau di selatan kota dalam upaya
menanggulangi banjir dan menyaring pasokan air minum untuk Jakarta.
Namun, ketika Sadikin menengok Condet, daerah Pasar Minggu sesungguhnya tengah
berubah drastis lantaran perangsekan tentara Angkatan Darat. Setelah proyek Trikora
Sukarno selesai, mereka tidak meninggalkan wilayah itu sebagai area latihan perang, tetapi
malah membangun kompleks perumahan dan bahkan markas Yon Zipur. Pembangunan
itu ditambah lagi dengan adanya perumahan Departemen Pertanian dan kebun binatang,
sebelum akhirnya menjadi lahan spekulan karena difungsikan sebagai daerah permukiman
penyangga Jakarta pada akhir 1970-an, mengikuti perencanaan Jabotabek yang menekankan
saling ketergantungan antara Jakarta dengan daerah-daerah di sekitarnya. Hampir bersamaan,
Tommy dan Bambang, anak-anak Soeharto, ikut membuat kompleks perumahan dengan
15
BERKAS
16
fasilitas lapangan golf di daerah Sentul dan Hambalang, yang meliputi 11.000 hektar. Condet
pun menyusul mengalami hal yang sama. Tercatat pada 1991 di Condet tinggal bersisa
tujuh rumah arsitektur Betawi. Bagaimana hendak bertahan jika spekulan telah membuat
harga tanah meroket melampaui keuntungan yang bisa didapat dari bertani buah? Alihalih mendorong atau mensubsidi pemertahanan arsitektur Betawi dengan ruang hijaunya,
malahan rimbun pohon yang bernilai lingkungan hidup tinggi dituding sebagai sarang hewan
berbisa, hama tikus, dan nyamuk mematikan. Sebagai gantinya pemerintah mendorong
kecenderungan ke arah estetika kota dengan menyarankan pengadaan taman dengan tanaman
rumput dan bunga yang dipangkas rapi.
Demikianlah tekanan demografis yang semakin tinggi terhadap kawasan hijau dan
pertarungan antara penggunaan tanah untuk kebun buah-buahan dan perkotaan. Penyusutan
arsitektur Betawi berarti pula penyusutan zona hijau di bagian selatan Jakarta. Provitabilitas
ekonomi mendikte kawasan hijau berubah menjadi perumahan, bahkan hutan-hutan
pegunungan di selatan Pasar Minggu dan Condet tinggal berupa kapling besar tanah
kosong investasi yang menghilangkan kemampuan Jakarta untuk bertahan. Kota diperluas
nyaris tanpa bertujuan melestarikan kawasan hijau. Kota jasa berjaya ketimbang kota hijau
dan kata orang Betawi saat itulah “kampung pohon” dan “kampung air” telah diambil alih
manusia, menjadi kampung manusia. Bencana ekologi telah dimulai dari pinggir Jakarta dan
berdampak parah dari segi ekonomi, juga segi kesehatan masyarakat, fisik maupun mental.
Alhasil ketika master plan 1985–2005 mengungkap tentang rencana antisipasi banjir, maka
Gubernur Suprapto yang saat itu memimpin Jakarta (1982–1987) menyatakan, “Sungguh
berat menyelesaikan banjir dengan 6,5 juta jiwa penduduk Jakarta dan perkembangan
wilayahnya yang kacau serta semena-mena terhadap daerah hijau.” Demikianlah kualitas
lingkungan Jakarta merosot. Meskipun penurunan air tanah dan krisis air bersih serta banjir
telah membuat pemerintah mengarahkan perluasan kota ke arah timur dan barat sepanjang
pantai utara berdasar konsep Pantura, perluasan kota ke wilayah selatan tidak berhenti. Jakarta
kemudian tidak siap mengantisipasi dan beradaptasi terhadap fenomena pemanasan global
yang berdampak pada perubahan iklim, sehingga terjadi peningkatan curah hujan dan banjir
yang menghebat, seperti yang mulai ditunjukkan pada 1996 dan tahun-tahun berikutnya.
Sebaliknya, saat musim kemarau terjadi krisis air bersih. Siklus air telah rusak karena
kawasan hijau dikikis jalanan aspal beton dan bangunan raksasa yang rakus menyedot air
tanah. Akibatnya, intrusi air laut merusak keseimbangan hidrologis, menyebabkan permukaan
air tanah menurun dan mutu air tanah merosot. Jakarta tidak punya kemampuan melunakkan
suhu panas. Jakarta tidak mampu memperbaiki udaranya yang sangat kotor, tercemar, dan
mengganggu kesehatan. Sirkulasi udaranya buruk dan penuh debu. Pada 1999 Jakarta pun
dinisbatkan sebagai kota berkualitas udara terburuk ketiga di dunia. Penyakit infeksi saluran
pernapasan akut sejak itu menduduki 10 besar penyakit yang paling banyak diderita penghuni
Jakarta.
Sumber kekacauan itu tentu dapat dirunut pada kegagalan perencanaan Jakarta.
Pengembangan Jakarta mendurhakai konsep yang sudah digariskan dalam Toelichting 1938,
Outline Plan Jakarta 1957, dan Rencana Struktur Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 yang
menekankan pentingnya penanaman pohon-pohon dan perawatan pemandangan alamiah
Jakarta sebagai kawasan tropis yang hijau. Dalam konteks itu, arsitektur Betawi memainkan
peranan yang muncul dari pengalaman panjang masyarakat yang hidup di wilayah yang
lahir bersama banjir, yang mengembangkan sistem pengetahuan lokal untuk bertahan.
Arsitekturnya mengenalkan konsep panggung, tetapi untuk menanggulanggi banjir dan efek
pemanasan global serta perubahan iklim lainnya memang diperlukan langkah lebih jauh. Dan
Jokowi dan Arsitektur Betawi esai oleh JJ Rizal
itu telah dijawab dengan tata ruang cerdas untuk mengantisipasi,
beradaptasi dan memitigasi masalah lingkungan. Arsitektur Betawi,
seperti nama-nama tempat di wilayahnya yang identik dengan air
dan pohon itu, adalah pengingat masa lampau Jakarta sekaligus
inspirasi untuk membentuk masa depan Jakarta yang seharusnya
dibangun dengan orientasi ruang yang luas bagi air dan pohon,
sebuah arahan untuk menuju kota biru sekaligus kota hijau.
Itulah arti urgensi arsitektur Betawi. Jadi bukan sekadar ornamen
ragam hias lisplang gigi balang, langkan, atep bapang, atau gudang,
melainkan bagaimana dengan rekayasa mutakhir pemerintah kota
Jakarta beserta para arsitek mampu mengembangkan bangunan
ramah lingkungan yang kini sohor disebut green building itu, dengan
mencerap inspirasi dan kreativitas arsitektur Betawi. Inilah siasat
yang harus dilakukan, menghidupkan kembali arsitektur Betawi
yang bukan saja warisan sejarah, melainkan juga siasat pemertahanan
kawasan hijau, yang telah mati oleh orientasi provitabilitas ekonomi
dalam melihat ruang kota. Inilah tantangan supaya Jakarta selamat
dari bahaya kehancuran ekologis yang sedang mengancam akibat
krisis kawasan hijau. Mari, kita pinjam ungkapan yang lahir dari
arsitektur Betawi itu sendiri: “Jendela ngablak tengah hari bolong”,
jangan sia-siakan kesempatan sebelum semua tak tertolong.
Lisplang gigi balang
adalah ornamen hias
di pinggir atap rumah
Betawi.
Langkan adalah pagar
teras rumah Betawi.
17
18
Jokowi and Betawi Architecture
essay by
JJ Rizal
How shall we discuss the intentions of Jakarta Governor Joko
Widodo that he related during a meeting with architects in Jakarta
on December 22 regarding the urgency of constructing buildings
with Betawi architecture in Jakarta?
On 27 June 2013, the Indonesian Architects Association (IAI)
responded to the Governor’s intentions, affectionately called Jokowi,
by organizing a discussion titled “The Identity of Jakarta”. Judging
by the news, the results were ambivalent – if not to call it confused.
“It would be more proper if Jakarta does not just apply Betawi
traditional architecture, but also the architecture of Nusantara (the
Archipelago),” said Achmad Noerzaman. It is not right to ‘patent’
Betawi architecture as the identity of Jakarta. There is also no
urgency for it. This opinion was seconded by Poernomo Singgih,
the representative of the DKI Jakarta Government: “It is difficult
to interpret the identity of Jakarta into buildings. If you rigidly
regulate Betawi architecture it will kill creativity.” On 11 November
2013, a similar seminar was organized by the Cultural Bureau of
West Jakarta Administrative Municipality. Although attended by
representatives of Betawi cultural organizations, like the previous IAI
meeting, this meeting still could not come up with an inspiration
about Betawi architectural values. And, alas, we hear news that even
Jokowi himself is now in doubt. Would it be right to apply Betawi
architecture to Jakarta that does not belong only to the Betawi?
Thus we hear again the echoes of what architect Eko Budiharjo
questioned in 1980’s: how important it is to respond to ideas about
architecture that embody traditional identities as a challenge to do a
vernacular revival, in the sense that we are not only preoccupied by
merely recognizing its physical medium, but, more importantly so,
the philosophy, values, and the significance of traditional symbols
that are intangible. Like what? For example, those that deal with the
etiquette of space or placement of the building mass and composition
that pertain to norms and beliefs held by the Betawi. In other words,
the idea of Betawi architecture should be more of a discussion to
explore the local knowledge system that is rooted in local wisdom
Betawi in this essay refers
to the people who form
the culture in the region
that is geographically
wider than the current
administrative region
of DKI Jakarta. This
region includes Bekasi,
Sawangan, even to
Gunung Putri and the
banks of Citarum. The
presence of Betawi
culture is established
through a long historical
process, from prehistory
as evidenced by the
archaeological finds along
the Citarum river, the
appearance of Islam and
the Chinese, arrival of
Europeans, urbanization
and the international
recognition of the
Republic of Indonesia’s
sovereignty in 1949,
peaking with Governor
Ali Sadikin’s tenure
(1966-1977) during
the New Order regime,
and the time of Jakarta
controlled by the power
of capital in the 1980’s.
DKI Jakarta, or Daerah
Khusus Ibukota Jakarta
(Special Capital Region
of Jakarta), is the official
name of the capital city of
this country.
19
BERKAS
20
and scientific institution as its support. By applying contemporary ingenuity, the idea of
Betawi architecture can be used as a siasat, a solution, to avert Jakarta from demise.
A demise? Yes, because we hear, with ever more resounding alarm, experts and observers
of Jakarta speak of how this capital city is in danger of an impending ecological disaster, of
which floods that inundate this city with regularity are the most stark evidence. We may
just compare this danger with the constant threats of earthquake and tsunami that may
happen anytime in, say, Kobe or any other city in Japan. But if this threat moves the Japanese
government to delve into the wisdom of local folk architecture that is resilient to earthquakes,
why not develop the idea of Betawi architecture to prevent floods and other ecological
disasters? Was it not the historian Restu Gunawan whose research shows that floods have
always been the oldest historical danger in Jakarta? And he concluded that addressing
floods in Jakarta by structural and non-structural means would not be enough, that Betawi
architecture must be developed in residential areas in the form of houses on stilts. It is true
that Betawi houses on stilts are a compromise for Jakarta’s natural environment, which,
according to the Betawi was “kampungnye aer” (a watery village). But is that really the only
siasat that can be passed on by the local architectural knowledge of the Betawi?
There is this old rhyme from the Betawi olden days, especially those in South Jakarta:
“Dari Kampung Limo ke Sawangan, jalannye adem matahari kealingan, bikin rumah bukan
permaenan, cuman tida kepanasan tida keembunan.” (From Limo to Sawangan, the path is cool
covered from the sun, building a house is no playtime, not just keeping cool or staying dry.)
As is common in the tradition of the many peoples of Indonesia, this rhyme underscores that
for the Betawi the house is not just a physical medium. It is not always a matter of the shape
of the roof, structure, or the building mass only, but more so a concept of space. And the
concept of space is intimately related with the traits and habits of the Betawi.
The Betawi were shaped by the natural environment of Jakarta, a city born from the
floods that came with the tropical deluge 5000 years ago that eroded the volcanic soil of Salak
and Gede. That water then shaped the rivers that brought silt to the sea, and slowly became
the expansive alluvial plains with lakes, marshes and tropical forests. The archaeological
findings of ancient communities in Jakarta, many located along rivers, tell us that the Betawi
are riparian people who identify themselves with trees, even forests, and water. Look at the
placenames: Jatipadang (Teak Plains), Utankayu (Timber Forest), Kampung Rambutan
(Rambutan Village), Pedurenan (Durian Groves), Tanjungbarat (West Cape), Telukgong
(Gong Bay), Rawagatel (Itchy Marshes), Pulomas (Golden Island). They not only remind
us of Jakarta’s past, but they are closely associated with the qualities and habits of the Betawi
who see that nature controls humans and humans are an integral part of nature.
Hence, space in Betawi architecture actually plays a role to fulfil human functions in
nature and is subject to its laws. It is no wonder that every Betawi individual has a range of
obligations to nature. The symbol bebulan (moon) carved over the doors into a Betawi house
underscores the significance of the natural cycle that must be heeded by humans if they wish
to avoid disaster. Conversely, when humans are in harmony with nature, “Menang biji menang
papan” (win the move, win the board), meaning you gain multiple benefits. This means that
open space in the concept of Betawi architecture is a subject that has its own identity, not only
as a support of the house in the middle. The house is an asset surrounded by other assets that
are even more valuable than the house itself, both materially and culturally. A private garden,
for instance, dominates the front yard of the house because fruits and medicinal plants are
among the most valuable assets that embody both material and spiritual values.
Jokowi and Betawi Architecture essay by JJ Rizal
“Puhun gempyok tempat neduh, batang koat peranti begantung,”
(Gempyok tree a place to shelter, a strong trunk make strong
instruments), another Betawi rhyme popular among fruit farmers. The
garden does not just protect you from the elements, it ensures good
circulation and gives you good air, not to mention the fruits as the source
of livelihood, but also a medium to understand how humans are one
with nature. And this last notion is further strengthened by Betawi belief,
“Orang mati itu tidak sama dengan kedebongan pisang” (The dead are not
like your banana stalk). Spirits, they believe, endure in the environment
of the house where the person lived. That is why the Betawi make it a
priority to bury their family in their house yards. It is no coincidence that
we often hear about Betawi mannerism: “Kencing jangan sembarangan,
puhunan ade penunggunye” (Thou shalt not piss anywhere, the trees have
spirits). It may only be a Betawi superstition, but now try and imagine
that trees are a space for spirits, and these arboreta provide tranquility
because spiritually someone gets protection from the ancestors that are
never too far away. Now, there is only a slight difference between indoor
and outdoor space in Betawi architecture.
In the spatial arrangement of a Betawi house, whatever it is—
gudang, bapang/kebaya, joglo—the biggest room is always the kitchen.
This is related to the consumption pattern of its inhabitants that
is shaped by the natural environment that provides all the food
needs. Hence, when we open the Kamus Bahasa Melayu Betawi
(Melayu Betawi Dictionary), it becomes apparent how much of the
vernacular pertains to food, from dahar, gegares, to ngelebok, which
is then concluded with cuci mulut or eating fruits. Even, aside from
breakfast, lunch, and dinner, the Betawi also recognize a variety of
times for snacking, such as mindo, nyahi, ngegahwa. The breakfast,
lunch, and dinner menus are diverse as well. This is possible because
the garden around the house is a place for different types of productive
vegetation, including spices and medicinal plants. The medicial plants
in Betawi architecture are made as a flexible but strong fence, famously
called pager puhun. From pager puhun composed of plants like saga
(Adenanthera pavonina), sirih (Piper betle), teleng (Clitoria ternatea),
medicines for thrush, fevers, or coughs are derived. This rich kitchen
and garden gives birth to a rich body of knowledge on medicine, and
unique culinary treats like sayur kembang duren, sayur sambel godog, nasi
goreng kunyit daun mengkudu, sambel masak goreng asem; also a variety
of sambal, like sambal gandaria, sambal limo, and various types of sweet
and salted pickles.
Hence we can understand how F. de Hann describes the Betawi
architectural space in his famous book Oud Batavia. This archivist
said that many houses in the kampungs of Batavia in 1920’s were
surrounded by gardens and yards planted with vegetables and fruits.
This situation did not change much in the 1970’s, when Lea Jelinek
conducted research in Kebon Kacang and later turned it into a book,
21
Dahar is high Betawi
language for “to eat”.
Gegares and ngelebok are
the low Betawi words
with the same meaning.
Mindo is Betawi for
“finishing leftover food”.
Nyahi means “having tea
in the afternoon with
snacks”, and ngegahwa
means “having coffee
with snacks”.
BERKAS
The shape of the Betawi house can be distinguished based on the shape and the structure of its roof. The Rumah
Gudang has a rectangular footprint stretching from the front to the back with the roof in the shape of a saddle, or a
shield. While the saddle roof of a Rumah Bapang/Kebaya is shaped as an incomplete saddle. The middle part of the
saddle roof in a Rumah Bapang is a bit angled and slopes out to both sides of the house. The third shape of the Betawi
house is Rumah Joglo, which has a rectangular footprint with a mountain-shape roof (joglo) in the middle part. The joglo
roof is an influence from Javanese architecture on Betawi architecture. But unlike the joglo in Central Java, the pillars
that support the joglo roof in Betawi architecture do not determine the division of the space in the blueprint.
Rumah Gudang
Rumah Bapang
Rumah Joglo
22
Fruit Gardens
Illustration of Betawi houses
amidst fruit trees in Betawi
kampungs in Condet.
Floorprint of a house in Balekambang, Condet.
Source: Ismet B. Harun, Hisman Kartakusuma, Rachmat Ruchiyat, and Umar Sudiarso,
Rumah Tradisional Betawi (Dinas Kebudayaan Pemda DKI Jakarta, 1991).
Jokowi and Betawi Architecture essay by JJ Rizal
The Wheel of Fortune: The History of Poor Community in Jakarta. “Ibu Cia is a native Betawi, her
house with earthen floors is surrounded by vegetable gardens, fruit trees and there is a fish pond,
chicken coop and goats too,” said Jelinek. She added that some of the produce were for her own
consumption and shared with neighbors, while others are wrapped and then sold at Pasar Tanah
Abang or peddled around the village.
Asep Suryana, who studied the history of Betawi fruit vendors in Pasar Minggu, indirectly
explained how the architectural space of the Betawi that is one with nature inspired the colonial
government to apply the suggestion of H. van Breen in 1918 about the need to develop a green area
to the south of Batavia as a way to prevent floods as well as to supply fruits to the city. Furthermore,
in 1938, the value of urban green space was not only strengthened but also widened as a reference
for other cities in Java in the document Toelichting op de “Stadsvormingsordonantie Stadsgemeenten
Java” (an explanatory memorandum about “Planning Decree for Cities in Java”).
Although it abated during the Japanese occupation, the function of Betawi architecture in Pasar
Minggu in the 1950’s was reaffirmed in reference to the Jakarta Masterplan. Mayor Sudiro with
the urban planning expert Kenneth Waits from the UN designed the plan so that private gardens
can become the main category in the effort to create the Jakarta green belt to prevent floods, and to
create water catchment and storage. This massive mobilization succeeded in expanding the growth
of rumah kebon (garden houses) in Pasar Minggu. Hence we have the famous 1962 chacha sung
by the child star Bing Slamet: “Pepaya, mangga, pisang, jambu dibeli dari Pasar Minggu” (Papaya,
mango, banana, guava, bought in Pasar Minggu). This song does not just document the times
when local Jakarta fruits were masters of their own domain, but also the time when the government
successfully promoted the participation of its residents on a massive scale to create a productive
green environment. Although at the same time Soekarno was actively realising his dreams as
an architect downtown by transforming the Betawi architectural landscape into urban greenery,
making it a symbolic support for his efforts to build the nation’s character through the development
of a sports complex and monuments.
In the middle of Jakarta, for Ali Sadikin, considered by many to be Sukarno’s best parting gift
for Jakarta, it was difficult to find the presence of Betawi architecture, but in the south he was still
able to see it. As the Jakarta Governor in search of his city’s cultural identity, in the mid-1970’s he
established Condet—not far from Pasar Minggu—as a Betawi cultural reserve. Sadikin even passed
a bylaw regarding houses with Betawi architecture in Condet and the use of the surrounding areas.
That way he gained a stronger assurance, not only about the fruit supply, but more importantly
about the use of Betawi architecture as the fortress to preserve green space in the city’s south in the
effort to prevent floods and filter drinking water supply for Jakarta.
But when Sadikin inspected Condet, Pasar Minggu area was in the midst of a drastic change
thanks to landgrab by the Army. After Sukarno’s Trikora project concluded, they did not leave
the area as their war training grounds, but went on to build a housing complex and even the
headquarters of the Army Combat Engineers Battalion. On top of that, there was also housing
development for the Department of Agricultural and the zoo, before the speculators took over as it
was turned into a supporting residential zone for Jakarta in the late 1970’s, following the planning
for Jabotabek, that emphasizes the interdependence of Jakarta and its surrounding areas. At almost
the same time, Tommy and Bambang, the sons of Soeharto, partook in the housing developments
and golf facilities in Sentul and Hambalang covering 11,000 hectares. Condet too experienced the
same fate. Records show that by 1991 only seven Betawi houses remained in Condet. How can
one survive when land speculators cause the price of land to skyrocket beyond the profits that one
can gain from planting fruits? Rather than encouraging or subsidizing the preservation of Betawi
architecture with its green space, this greenery with its rich environmental value was accused as the
23
BERKAS
24
nest for all things poisonous, rats, and deadly mosquitos. In its place, the
government promotes urban aesthetics that proposes neatly manicured
grass lawns and flowery plants.
Such is the increasing demographic pressure to green spaces and
the battle between land use for fruit gardens and urban-scape. The
shrinking of Betawi architecture also means the shrinking of green zones
in the south of Jakarta. Profitability dictates that green areas should be
turned into housing, even the hilly forests to the south of Pasar Minggu
and Condet are now big empty plots of land for investment that have
undermined the ability of Jakarta to sustain. The city has expanded nearly
without any vision to preserve green spaces. A service city is victorious
over a green city and, as the Betawi would say, that will be the time
when “kampung of trees” and “kampung of water” would be run over by
humans, and become a kampung of humans. Ecological disaster has crept
from the edges of Jakarta and has had a grave impact on the economy, as
well as public health, physical as well as mental aspects.
As a result, when the 1985-2005 master plan revealed the planning
for flood controls, then Governor Suprapto (1982-1987) stated, “It is
very difficult to solve floods with 6.5 million people in Jakarta and its
messy spatial growth that disregards the green space.” Thus, the quality
of Jakarta’s environment declined. Even though the drop in ground water
tables, potable water crisis and floods have led the government to direct
the expansion of the city to the east and west along the northern coast,
the southward expansion did not stop. Jakarta was not ready to anticipate
and adapt to the global warming phenomenon that has impacted the
climate, with increased deluge and floods, as was demonstrated in 1996
and the years that followed.
On the other hand, dry seasons brings about water crisis. The water
cycle has been damaged because the green areas have been chipped
away by asphalt and concrete and giant buildings that greedily suck
up the ground water. As a result, seawater intrusion has disrupted the
hydrological balance, caused land subsidence and a decline in water
quality. Jakarta does not have the power to alleviate the hot temperature.
Jakarta is incapable of fixing its dirty and polluted air that damages health.
Its air circulation is bad and dusty. In 1999 Jakarta was annointed as the
third worst city in the world in terms of air quality. Acute respiratory
illenesses have risen up in the ranking of 10 deadliest illnesses suffered by
Jakartans.
The source of this mess can be traced with certainty to the failure
of Jakarta’s planning. The development of Jakarta has been a treachery
to the concept that was enshrined in Toelichting 1938, Outline Plan
Jakarta 1957, and Spatial Structure Plan of DKI Jakarta 1985-2005, all
of which emphasized the importance of planting trees and preserving
the natural landscape of Jakarta as a green tropical city. In this context,
Betawi architecture plays a role that stems from the long experience of the
people who were born with the floods, who developed a system of local
knowledge to survive. Their architecture introduced the concept of stilted
Jabotabek: acronym for
Jakarta and its three
surrounding suburbs,
Bogor, Tangerang, and
Bekasi.
Jokowi and Betawi Architecture essay by JJ Rizal
houses, but addressing floods and other effects of global warming and
climate change require further steps. And that has actually been answered
by an intelligent spatial planning to anticipate, adapt and mitigate
environmental problems. Betawi architecture, like the placenames in
the city that identify themselves with water and trees, is a reminder of
Jakarta’s past as well as an inspiration to shape Jakarta’s future which
should be built with an orientation of a wide space for water and trees, a
direction towards a blue and, at the same time, a green city.
That is the true significance of the urgency of Betawi architecture.
It is not merely about the variety of decorative ornaments adorning
the lisplang gigi balang, langkan, bapang or gudang roof. It is how the
sophistication and ingenuity of the Jakarta city government and its band
of architects are able to develop environmentally-sound buildings, by
recognizing the inspiration and creativity of Betawi architecture. This
is the siasat that must be taken, by resuscitating the Betawi architecture,
which not only is an historical heritage, but a siasat to preserve green
spaces that have been killed by the economic orientation of profitability
in seeing the urban space. This is the challenge to salvage Jakarta from
the ongoing ecological destruction due to a crisis of green space. Let us
borrow another saying from Betawi architecture itself: “Jendela ngablak
tengah hari bolong”, jangan sia-siakan kesempatan sebelum semua tak
tertolong. (“Windows asunder and the sun is high”, let us not squander,
lest we be doomed to die.)
Lisplang gigi balang is
a decorative ornament
along the roof edges of a
Betawi house.
Langkan is the fence of
the Betawi house terrace.
25
26
Like, Share, Comment:
Kreativitas, Warga Kota, dan Perubahan Sosial
esai oleh
Yuka Dian Narendra
Suatu hari saya datang ke acara bertajuk Indonesia Community Network (ICN) 2013 di Jakarta
Convention Center. Acara yang diselenggarakan pada 28 September 2013 itu diikuti oleh
bermacam organisasi dan perkumpulan, dan dibuka oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
dan Menteri Komunikasi dan Informasi.1 Dalam bayangan saya, di sana saya akan menemukan
profil berbagai komunitas yang aktif dalam produksi kultural baru. Ternyata saya salah besar. Seperti
pameran produk industri pada umumnya, ajang tersebut hanya menampilkan produk dan kegiatan
spesifik yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Mulai dari kelompok pemilik golongan darah
yang dianggap langka, hingga kelompok pelindung satwa tertentu. Saya bingung dan mulai curiga.
Bisa jadi cara pandang saya selama ini salah. Jangan-jangan justru sayalah yang keliru karena selama
ini menganggap bahwa kelompok, organisasi, maupun klub peminat hal tertentu yang ada dalam
acara itu bukanlah komunitas. Oleh karena itu, mungkin, saya juga salah ketika memaknai produksi
kebudayaan yang ada dalam ajang itu sebagai semata komoditas alternatif dari industri besar. Atau,
saya juga salah karena berharap bahwa aktivitas dari komunitas ini akan memiliki efek bola salju
dan akan berubah menjadi gerakan sosial yang signifikan. Pada akhirnya telanjur berharap bahwa
negara telah mengubah cara pandangnya mengenai kebudayaan dan artefak-artefaknya ke dalam
konteks yang lebih luas daripada sekadar praktik ekonomi, adalah kesalahan terbesar saya.
Saya jadi teringat dengan sebuah acara bertajuk Social Media Festival kedua yang
diselenggarakan setahun sebelum ajang ICN 2013. Dalam festival itu, berbagai komunitas, klub,
organisasi, hingga kaum pemodal tumpah ruah menjadi satu. Terjadilah pertemuan berbagai pihak
yang diharapkan dapat memicu inisiatif dan inovasi baru seputar isu-isu kontemporer, dalam
kemasan jargon “kreatif.”
Saya sungguh terganggu dengan eksploitasi istilah “kreatif ” yang saya tengarai semakin
meluas gaungnya sejak Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dibentuk oleh
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009. Kreativitas menjadi kata kunci baru
bagi negara untuk menjelaskan munculnya ranah ekonomi baru yang tidak dapat mereka
jelaskan—dan juga kuasai. Menguasai arena investasi pasar modal mungkin lebih mudah bagi
negara dibandingkan menjelaskan bagaimana toko fesyen alternatif berhasil mengakumulasi
uang miliaran rupiah,2 atau bagaimana transaksi mainan dan barang-barang hobi secara online
Lebih jauh tentang kegiatan ini, lihat tautan: http://indonesiakreatif.net/events/pre-event-indonesia-communitynetwork-2013/.
2
Bagi saya tidak perlu data statistik untuk memahami ini. Pergilah ke Bandung dan hitung sendiri berapa banyak distro (toko fesyen independen) yang berserakan. Pergilah ke festival metal dan hitunglah berapa banyak kaos band metal
lokal yang diproduksi, baik asli maupun bajakan.
1
27
BERKAS
28
yang tidak kecil jumlahnya berjalan. Terlepas dari itu semua, tidak penting mempersoalkan
siapa yang mengeksploitasi idiom “kreatif ” dan “kreativitas.”3 Persoalan mendasarnya adalah
bagaimana penempatan konteks yang salah dari kreativitas hanya akan membuka ruang
selingkuh baru antara kelompok pemodal dengan berbagai inisiatif publik tersebut.
Saya melihat adanya kerancuan pengertian komunitas dan bagaimana relasinya dengan
kreativitas. Seolah “komunitas” dengan “kreativitas” adalah dua hal yang selalu terkait. Seolah
kegiatan ekonomi baru menjadi kreatif ketika digarap oleh “komunitas.” Kerancuan ini
menjadi persoalan ketika negara melegitimasinya melalui keputusan Presiden tentang industri
kreatif—berikut keempatbelas sektornya.4
Pertanyaan saya terhadap acara ICN 2013 itu: bagaimana hubungan keempatbelas sektor
ekonomi kreatif itu dengan komunitas? Saya jadi bertanya-tanya apakah misalnya komunitas
suatu merek motor, penggemar band, tokoh kartun, maupun pecinta binatang, dapat dianggap
sebagai komunitas yang melakukan produksi makna-makna baru dalam kebudayaan? Apakah
mereka hanyalah perkumpulan yang merayakan kesamaan-kesamaan baru secara kolektif ?
Atau mereka sebenarnya sedang mengonstruksi habitus yang baru melalui konsumsi budaya
populer?5
Dalam perspektif ilmu sosial, komunitas merupakan sekelompok manusia yang tinggal
dalam lingkungan tertentu, baik desa, kota, negara, maupun wilayah, dengan kesamaan latar
belakang identitas, baik ras, ideologi, dan agama.6 Warga Jakarta sejatinya adalah komunitas.
Sementara, manusia yang bergabung berdasarkan minat dan kepentingan adalah kelompok,
klub, atau apa pun itu. Meski di masa kini kebudayaan populer berhasil mereproduksi makna
komunitas sebagai subkultur dari kebudayaan dominan tertentu, komunitas tetap saja tidak
dapat dikategorikan sebagai sebuah organisasi yang memiliki struktur baku.
Sungguh, sebenarnya tidak ada yang salah dengan menjelmanya kelompok penggemar
menjadi komunitas. Ambil saja contoh geng pengendara skuter ekstrim, yang sering disebut
sebagai vespa tikus, atau vespa gembel. Geng motor ini telah melampaui geng pemilik
kendaraan bermotor roda dua merek Vespa. Mereka telah mampu mengapropriasi Vespa
ke dalam konteks baru yang khas “Dunia Ketiga”: dari simbol urbanitas modern yang
eksotik ciptaan Italia menjadi ekspresi estetik yang nyeleneh khas Indonesia.7 Terkadang
vespa-vespa tikus itu sudah tidak berbentuk Vespa lagi, melainkan seperti gubuk beroda
empat yang melaju dengan asap tebal. Maka jelaslah mana yang kelompok (penggemar atau
pemilik Vespa) dan mana yang komunitas (pengendara vespa tikus). Transformasi kelompok
penggemar menjadi komunitas memang bukanlah sesuatu yang mustahil. Setidaknya hal itu
3
Lihat Instruksi Presiden RI No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Dokumen dapat diunduh
dari: http://www.budpar.go.id/userfiles/file/7193_2610-Inpres6Tahun2009.pdf.
4
Lihat Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2009, ibid. Informasi yang saya temukan di sebuah situs
bertema Indonesia kreatif, yang turut mendukung kegiatan ekonomi kreatif berbasis komunitas, membuat saya
mempertanyakan apa relasi komunitas dengan kreativitas.
5
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 2002).
6
Lihat konsep Gemeinschaft dan Gesselschaft dalam Ferdinand Tönnies, Community and Society (terj. oleh Charles
Price Loomis) (East Lansing: Michigan State University Press, 1957).
7
Vespa didesain pertama kali oleh Corradino D’Ascanio pada 1946. Desainnya diharapkan dapat menjawab persoalan
mobilitas di ruang urban Italia. Lihat tautan berikut: http://www.concapeligna.it/famosi/d’ascanio/corradino_d_
ascanio.htm
Like, Share, Comment esai oleh Yuka Dian Narendra
merupakan hasil dari keinginan untuk mereproduksi subkultur yang dikonsumsi anggota
kelompok/komunitas tersebut. Reproduksi ini—walau semata sebuah praktik apropriasi—
tidak dapat dianggap sepi karena pada akhirnya dapat membangun jejaring produksi maknamakna kebudayaan baru. Katakanlah, dari ekspresi kebudayaan menjadi praktik subkultural
yang memberi posisi sosio-kultural bagi pelakunya. Praktik mengakali skuter butut bisa
berkembang menjadi artikulasi identitas—sebagai “anak Vespa bawah tanah”, dan pada
akhirnya berhasil merangkai jejaring ekonomi serta kekuatan modal di dalam jejaring sosial
tersebut, seperti terwujudnya bengkel modifikasi Vespa atau distro penjual produk lokal untuk
pengendara Vespa bawah tanah.
Contoh komunitas Vespa bawah tanah itu hanya salah satu fenomena dari bermacam praktik
serupa di berbagai bidang kebudayaan. Komunitas punk, metal dan hip-hop; komunitas seniman
grafiti, komunitas pemain cosplay dan anime, komunitas komik, dan lainnya. Jejaring ekonomi
komunitas itu mampu melayani diri dan komunitasnya sendiri tanpa perlu melibatkan kekuatan
modal yang lebih besar. Dalam kasus subkultur musik misalnya: band, album rekaman, merchandise,
perusahaan rekaman, distro yang berkaitan dengan subkultur band tersebut, festival dan konser
band-band sejenis, radio dan zine (yang bentuk keduanya kini diambil alih oleh situs web) sebagai
media promosi alternatif, juga musikus, pelaku media, penggemar, promotor acara dan lainlainnya—semua itu merupakan rangkaian produksi kultural yang saling terkait. Yang terpenting—
dan sering kali dilupakan oleh para pelaku industri besar yang ingin meniru pola produksi
subkultural—adalah runtuhnya batas antara pelaku (produsen) dengan penikmat (konsumen).
Dalam konteks ini, kreativitas memang merupakan kata kunci yang berimplikasi ekonomi. Namun
kata kunci tersebut tidak serta-merta dapat diglorifikasi sebagai jawaban jitu untuk menyiasati
keterpurukan ekonomi.
Dalam kelompok subkultural, kreativitas justru hanyalah sebuah metode untuk melakukan
praktik kultural yang mereka yakini. Pelaku subkultur—yang dalam kasus ini kemudian
disalahartikan oleh negara sebagai komunitas—biasanya adalah kelompok yang termarjinalkan
dalam peta kebudayaan. Merasa tidak menemukan tempat dalam narasi besar kebudayaan,
mereka lalu menciptakan sendiri kebudayaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Oleh
karena itu, menjadi masuk akal jika praktik semacam itu diidentifikasi sebagai subkultur:
posisinya selalu berada di bawah bayang-bayang kebudayaan dominan. Masuk akal pula
jika kelompok subkultur ini resisten terhadap segala sesuatu yang dinilai sebagai arus besar.
Kelompok masyarakat yang berada di luar itu lalu memaknai fenomena ini sebagai kreativitas,
semata karena jawaban alternatif yang ditawarkan oleh kelompok subkultural ini sering kali
melawan logika umum.
Semangat perlawanan terhadap narasi dominan—apakah itu nilai kebudayaan ataupun sistem
sosial—memungkinkan komunitas tertentu memberdayakan kreativitasnya sendiri dengan berbagai
muatan. Sekalipun kreativitas dapat dimaknai sebagai ruh yang membuat mereka tampak berdaya
menghadapi situasi tertentu—yang, mungkin, dalam pemahaman negara adalah krisis ekonomi—
kreativitas mereka hanyalah dorongan bermain yang metodologis untuk menyiasati keadaan.
Andaipun ada yang mereka glorifikasi, tidak lain itu adalah “sesuatu” yang mereka lawan, bukan
metode bersiasatnya. Glorifikasi kreativitas yang dilakukan negara melalui jargon ekonomi kreatif
menjadi absurd ketika kreativitas itu dianggap sebatas modus ekonomi alternatif, atau ekonomi yang
liyan. Seolah dengan menekuni bidang-bidang yang tidak umum, dengan terlibat dalam aktivitas
publik liyan, dengan meruntuhkan batas antara bersenang-senang di waktu senggang dengan
mencari uang, maka label kreatif layak disandang. Terlebih ketika media massa menampilkan
peristiwa-peristiwa seputar komunitas yang membuat para pelakunya tampak berbeda dari orang
kebanyakan alias tampak “keren.”
29
BERKAS
30
Semua itu menjadi semakin lengkap ketika para pelaku berbagai aktivitas akhir pekan turut
serta. Kini, tipisnya batasan antara komunitas yang sungguh melakukan produksi kultural dengan
kelompok peminat membuat keduanya semakin sulit dibedakan, seolah keduanya sama-sama
aktivitas yang kreatif dan layak dibubuhi label ekonomi kreatif. Padahal semua contoh saya
sebelumnya itu jelas berbeda dengan komunitas pemilik motor besar yang berkeliling kota di hari
Minggu, maupun komunitas berkebun atau komunitas bersepeda di akhir pekan. Kelompokkelompok antusias semacam itulah yang bergabung meramaikan acara bernama Social Media
Festival yang diadakan pada Oktober 2013. Mereka mencakup aktivis urban dan bahkan kelompok
dengan modus bisnis alternatif yang memang tidak dapat ditemukan dalam ranah ekonomi formal.
Bagaimana dengan gagasan Muhammad Yunus tentang ekonomi alternatif yang menjawab
persoalan esensial “Dunia Ketiga”?8 Sangat mungkin jika ia tinggal di Indonesia, ia akan terlibat
dalam berbagai aktivitas ekonomi kreatif. Laman situs internetnya akan terpampang di situs festival
media sosial besar yang disponsori oleh pemilik modal besar juga. Saya menyebut acara itu sebagai
penggorengan komunitas—katakanlah—kreatif, yang dapat dilihat sebagai upaya pemberangusan
potensi keterlibatan politik. Logikanya seperti ini.
Pertama, kekuatan dalam sektor ekonomi kreatif adalah demokratisasi, terutama melalui
teknologi media massa dan praktik-praktik kultural remeh-temeh. Melalui bantuan teknologi
digital masa kini, semua orang dapat melakukan produksi kulturalnya sendiri: dari membuat
film, karya seni rupa, album rekaman, maupun menjual merek fesyen buatan sendiri secara
online. Teknologi komunikasi digital masa kini mampu menghubungkan orang dari berbagai
pelosok dunia, apalagi orang dalam satu kota seperti Jakarta. Maka tidak sulit sebenarnya untuk
membangun konsensus bersama akan isu apa pun. Gejala signifikan dapat kita temui dalam kasus
“Cicak versus Buaya.”9 Dukungan satu juta suara berhasil diperoleh untuk Komisi Pemberantasan
Korupsi ketika negara mencoba membubarkannya. Kasus “Indonesia Unite” adalah contoh lain,
ketika seorang selebriti berhasil membangun opini publik untuk melawan terorisme dan gerakan
Islam transnasional.10 Kedua kasus tersebut menjadi mungkin berkat bantuan media sosial
seperti Facebook dan Twitter. Keduanya seperti menginspirasi semua orang bahwa pada hari ini
semua menjadi mungkin untuk dilakukan. Media sosial membuka akses bagi semua orang untuk
membangun opini dan bahkan menginisiasi terbentuknya konsensus atas isu tertentu.
Kedua, keadaan seperti itu menunjukkan keberhasilan demokratisasi melalui ruang media di
satu sisi. Namun di sisi lain, persoalan baru muncul. Aktivisme warga yang terjadi dan berebut
masuk ke dalam kesadaran publik melalui ruang media sosial kebanyakan berasal atau berpusat
di Jakarta—contoh kasus ruang kota yang gagal. Jakarta tidak memiliki ruang publik yang cukup
bagi warganya. Fragmentasi antarkotamadya bersinergi dengan buruknya transportasi publik dan
kemacetan luar biasa sehingga membatasi mobilitas warga. Belum lagi ketika alam melumpuhkan
8
Muhammad Yunus adalah seorang profesor bidang ekonomi dan bankir dari Bangladesh yang mendapatkan
Nobel Perdamaian pada 2006. Lihat autobiografinya berjudul Banker to the Poor: Micro-Lending and the Battle
Against World Poverty (New York: PublicAffairs, 2003). Lihat juga tautan berikut: http://www.businessweek.com/
stories/2005-12-25/nobel-winner-yunus-microcredit-missionary.
9
Salah satu laporan jurnalistik tentang “Cicak versus Buaya” dapat dilihat di situs Inside Indonesia melalui tautan
berikut: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/snatching-victory-3.
10
Indonesia Unite adalah gerakan nasionalisme kontemporer yang digagas oleh penyiar radio bernama Pandji
Pragiwaksono dan digerakkan melalui media sosial Twitter setelah meledaknya bom di J.W. Marriot dan Ritz
Carlton, Jakarta, 17 Juli 2009. Keberhasilan ciyapan Pandji Pragiwaksono membuatnya tampil sebagai nasionalis
muda yang lantas menginisiasi beragam kegiatan bertema kebangsaan. Ia lalu menulis buku Nasional.Is.Me (2010).
Lihat laman: http://pandji.com/indonesiaunite. Ketika esai ini dibuat, situs indonesiaunite.com tidak aktif lagi. Untuk
sumber lain, lihat laman Facebook https://www.facebook.com/indonesiaunite, dan: http://kompascom.kompasiana.
com/2009/07/27/kompascom-dukung-gerakan-indonesiaunite-647.html.
Like, Share, Comment esai oleh Yuka Dian Narendra
Jakarta dengan banjir. Situasi tersebut membuat warga Jakarta sama sekali tidak beruntung, apalagi
nyaman hidup. Kefrustrasian tinggal di kota semacam itu membuat warga Jakarta semakin jauh
dengan relasi sosial yang seharusnya berpeluang memberdayakan warga.
Sebagaimana kota lain, Jakarta adalah kota yang telanjur dihuni oleh manusia. Dalam
kondisi telanjur ini, Jakarta mau tidak mau harus memberi jaminan kehidupan bagi siapa
pun yang tinggal di dalamnya. Dan, belum selesai dengan berbagai persoalan pembangunan
infrastruktur dan tata kota—seperti macet dan banjir—Jakarta kini telah telanjur pula
dibangun sebagai pintu gerbang Indonesia menuju dunia internasional. Alhasil, Jakarta
memiliki potensi kultural yang penting. Secara politis Jakarta telah menjadi arena pertemuan
berbagai kebudayaan, baik dalam konteks lokal maupun global. Namun narasi ekonomi yang
dominan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat di Jakarta membuat arena pertemuan
budaya tersebut selalu berhadapan dengan logika kapitalisme.
Sebagai gambaran, mal telah menggantikan ruang-ruang publik di Jakarta. Menyiasati
kota yang telanjur tidak ramah, tidak humanis, dan bahkan kejam sudah menjadi bagian dari
keseharian masyarakat Jakarta. Kurangnya ruang publik membuat kita semua menganggap
lumrah pemandangan anak-anak kelas menengah yang bermain di mal mewah. Sementara
kita memaklumi anak-anak kelas bawah yang bermain dengan odong-odong, seperti kita
memaklumi jutaan sepeda motor memadati jalan raya ibukota karena gagalnya sistem
transportasi umum. Kita pun bergembira ketika perjalanan dari kantor ke rumah yang biasa
memakan waktu dua jam dapat kita tempuh dalam waktu empatpuluh lima menit saja.
Lantas apa hubungan semua itu dengan kreativitas? Harus diakui bahwa inisiatif yang
datang melalui media sosial memberi dampak positif bagi proses demokratisasi liyan, ketika
jalur aspirasi yang seharusnya ditempuh malah buntu. Akan tetapi kita tidak dapat berhenti
di situ. Persoalannya, inisiatif publik semacam itu seringkali meminjam logika dagang untuk
memosisikan dirinya sebagai alternatif narasi kebudayaan ketimbang berusaha menempuh
jalan yang berat, yaitu mengonstruksi habitus masyarakat Indonesia baru. Jejaring media
sosial memungkinkan inisiatif semacam itu merebut panggung politik dan mengganti narasi
dominan negara, namun apalah yang dapat dilakukan media sosial selain meraih like dan
follower sebanyak mungkin? Sementara, ketika semua itu belum tentu merepresentasikan
kondisi konkret masyarakat, data statistik menambah kesan besarnya dukungan. Dukungan
ini bukanlah representasi suara kolektif akan tetapi semata konversi dari pasar potensial
(konsumen). Tidakkah bagi kelompok pemodal, masyarakat hanyalah kuantifikasi pasar
potensial semata? Untuk itulah, dalam gerakan atau inisiatif publik macam ini, para pemodal
besar merasa perlu masuk dan membuat seolah keberadaan mereka menjamin keberhasilan
gerakan atau inisiatif tersebut.
Seolah bagai kebetulan, rangkaian kejadian ini berjalan seiring dengan inisiasi ekonomi
kreatif oleh negara. Berbagai macam inisiatif, gerakan, dan aktivisme warga melalui
komunitas maupun kelompok tadi lantas berada dalam ranah-ranah yang diinterpretasikan
negara sebagai upaya pembangunan jejaring ekonomi alternatif.11 Masuknya warga kota
ke dalam jejaring media sosial melalui komunitas dan kelompok-kelompok inisiatif itu
11
Mohon lihat kembali keempatbelas sektor ekonomi kreatif versi negara dalam Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009
tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
31
BERKAS
32
sesungguhnya merupakan sebuah penanda bahwa warga berupaya untuk terlibat aktif dalam
proses demokratisasi politik dan proses pembentukan kebudayaan.12 Namun hilangnya relasi
sosial yang kemudian seolah-olah tergantikan oleh keterhubungan via media sosial membuat
fenomena ini menggelembung, hingga muncul ilusi bahwa hal itu akan berdampak pada
lahirnya gerakan sosial besar. Dalam kasus Social Media Festival, ilusi tersebut diamplifikasi
oleh banyaknya kelompok warga dengan inisiatif serupa.13 Padahal bisa jadi yang tampil
hanya representasi dari gerakan/ aktivisme/ komunitas/ kelompok/ klub dalam bentuk
logo—hal yang tidak sulit untuk dibuat menjadi “ada” dengan bantuan teknologi masa kini.
Ilusi yang muncul kemudian adalah besaran massa yang terkumpul dan akan bergerak dalam
payung besar “ekonomi kreatif ”. Lalu kita bakal terlalu sibuk menghitung besaran massa dan
dukungan pemodal besar, sehingga kita lupa akan kerancuan konsep komunitas, kelompok,
klub, organisasi, paguyuban, dan lain-lainnya.
Pada akhirnya, narasi dominan negara mengenai pertalian antara ekonomi kreatif
dengan komunitas bisa menggiring kita untuk berpikir gampangan. Ribuan orang berkebun
di lingkungan masing-masing pada setiap akhir pekan dapat membuat kita merasa bahwa
persoalan ruang hijau Jakarta, bahkan Indonesia, dapat selesai. Meski tidak ada yang salah
dengan gerakan macam ini, efek ketidakmampuan kita untuk mengategorikan berbagai
aktivitas kolektif warga berpeluang untuk membuat aktivisme warga yang bersifat politis
menjadi hedonisme semata. Tentu saja ini riskan. Mengapa?
Sekali lagi, kolektivitas warga kota (dan negara) yang terbangun melalui berbagai praktik
kultural kolektif ini—apalagi dengan dukungan jejaring media sosial—sebenarnya berpotensi
untuk memosisikan warga secara signifikan ketika mereka berhadapan dengan kekuasaan.
Dengan ini, warga sesungguhnya memiliki daya negosiasi politik yang kuat, dan dengan
sendirinya hal macam ini dapat mengancam hegemoni negara. Oleh karena itu, dalam
bayangan saya yang cukup paranoid, negara barangkali memang sengaja menggelontorkan isu
ekonomi kreatif dan merancukan makna komunitas dan kelompok. Praktik kultural warga
dikerdilkan ke dalam makna ekonomi semata, membuatnya menjadi semacam hype melalui
media sosial dan berbagai festival. Dengan demikian, akan sulit bagi komunitas yang telanjur
dianggap kreatif ini untuk mentransformasikan dirinya menjadi sebuah gerakan sosial yang
signifikan.
Sialnya, narasi macam ini mulai merebut mimbar politik warga. Warga mulai mengamini
cara berpolitik hedonistik ini. Buktinya, semakin banyak warga yang membuat komunitas
ini dan itu, mulai dari komunitas yang membayangkan dirinya sebagai ekstensi dari serial
komik Tintin, hingga komunitas yang bereksperimen dengan peninggalan budaya masa silam,
seperti aspirasi untuk membuat museum virtual maupun gerakan berhari Minggu di Museum
Nasional. Banyak warga Jakarta yang menikmati waktu senggang di Museum Fatahillah, akan
tetapi hanya untuk berfoto ria. Sementara narasi sejarah kota tetap hening tidak tersentuh dan
tidak sampai ke generasi berikutnya. Kesadaran historis warga belum tentu dapat terbentuk
sekalipun mereka menginap sebulan di Museum Fatahillah.
Lagi-lagi, ruang Jakarta dapat menjadi pihak yang paling bersalah. Kembali pada bahasan
ruang publik di atas, hilangnya ruang publik membuat warga Jakarta lupa akan interaksi
sosial yang sesungguhnya. Setelah warga lupa akan interaksi sosial itu, menjadi masuk akal
Merujuk pada Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis dan London:
The University of Minnesota Press, 1995).
13
Dari situs socmedfest.org, diakses 18 November 2013, pukul 21:30.
12
Like, Share, Comment esai oleh Yuka Dian Narendra
jika warga kehilangan kemampuan untuk mengorganisasi massa. Padahal, kemampuan
tersebut mutlak diperlukan untuk membangun gerakan sosial, apa pun gerakannya. Media
sosial menggantikan ini semua. Menggantikan ruang publik secara fisik dengan perjumpaan
dalam forum virtual. Menggantikan praktik organisasi massa melalui fitur-fitur piranti lunak.
Tidak lupa, idiom “kreatif ” yang bisa jadi telah bersemayam dalam benak setiap orang telah
menggantikan semangat perlawanan dan daya kritis warga menjadi sebatas “bersenangsenang” dan “menghasilkan” secara ekonomi. Asumsi demokratis yang ditawarkan media
sosial membuat pemodal besar dapat menelusup masuk, bukan karena kekuatan modal yang
dimilikinya, melainkan karena gagasan egalitarian dan demokratisasi. Ketika semua sudah
berada di dalam pusaran itu, jargon ekonomi kreatif negara terdengar seperti terompet
malaikat Isrāfīl yang meniupkan penanda akhir zaman. Begitu terompet itu ditiupkan,
hilanglah sudah daya negosiasi warga terhadap kuasa dominan.
Peluang warga untuk memaknai kotanya akan makin jauh terperosok ke dalam kegiatan
hedonistik semata jika gerakan sosial yang signifikan tidak pernah terwujud. Tanpa gerakan
sosial, warga kota akan tetap terkurung dalam narasi dominan kapitalisme: bahwa inisiatif
dan upaya kreatif warga kota untuk memaknai ruang hidupnya tidak akan mampu terwujud
tanpa uang. Sementara, masuknya kuasa modal ke dalam aktivisme warga—entah kebetulan
atau disengaja—justru menyemplungkan inisiatif warga ke dalam sebuah penggorengan
besar dan meruntuhkan semangat resistensi warga terhadap kota yang sedemikian terbentuk
oleh kekuasaan modal. Upaya warga menyiasati kota menjadi semata perayaan kolektif yang
berhenti hanya pada penggalangan massa. Kegiatan bersama yang dapat berfungsi sebagai
sarana bagi warga untuk belajar hidup berdampingan secara damai justru menjadi momen
pendataan riset pasar. Ketika hal ini terjadi, maka yang terbangun adalah sekat-sekat baru
yang berbasis pada logika ekonomi pasar dalam melihat manusia, yaitu kelompok masyarakat
yang berdaya beli. Dengan demikian, aktivisme warga tidak akan pernah berhasil menjadi
gerakan sosial yang berarti sehingga perubahan relasi warga dengan kuasa kota tidak akan
pernah terjadi.
Idealnya, warga, melalui aktivisme kolektif dan demokratisasi jejaring media sosial, belajar
untuk mengonstruksi (termasuk merekonstruksi dan mendekonstruksi) modal sosialnya
sendiri.14 Hal itu misalnya, dapat mewujud dalam praktik saling menjaga rumah dan harta
benda satu sama lain. Dalam skala yang lebih besar, warga dapat belajar untuk melindungi
kepentingan kelompok warga lainnya dengan alasan bahwa mereka saling membutuhkan.
Warga belajar menjadi mandiri. Namun patut diwaspadai pula, jika warga mampu mengatasi
segala persoalannya sendiri, maka negara memiliki alasan untuk melepas tanggung-jawabnya.
Ketika berkebun bersama keluarga di akhir pekan menjadi gaya hidup yang diminati
warga kota misalnya, hal itu dapat membuat negara berhenti berpikir bahwa sudah menjadi
kewajiban mereka untuk mewujudkan kota yang hijau dan bebas polusi kepada warganya.
Bila perlu, inisiatif warga untuk menanam tanaman dan menghijaukan Jakarta dimapankan
pemerintah kota dengan serangkaian kebijakan dan regulasi yang sistematis. Sementara
14
Lihat Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of the American Community (London: Simon & Schuster
Paperbacks, 2000), hlm. 19.
33
BERKAS
34
sejatinya, kota yang hijau dan bebas polusi seharusnya merupakan hak warga kota yang dapat
diperoleh secara alamiah.
Selain itu, gagasan perubahan sosial melalui berbagai aktivisme publik akan selalu dapat
digerus oleh penguasa modal, dengan cara membuat segalanya tampak spektakuler bagaikan
sebuah pertunjukan. Jargon ekonomi kreatif membuat semua aspirasi publik dapat terukur
oleh neraca dagang. Jika aspirasi tidak dapat memicu like, comment, dan share, maka hal itu
bisa dianggap gagal menemukan abstraksi ekonominya.
Warga memerlukan kesempatan untuk mengonstruksi habitus baru yang sesuai. Warga
perlu merebut kesempatan untuk membayangkan diri mereka sendiri dalam sebuah struktur
masyarakat yang mereka inginkan. Narasi ekonomi kreatif mengintervensi kesempatan
tersebut dengan iming-iming ekonomi yang menarik. Pemilik modal juga telanjur berpikir
bahwa Jakarta sama dengan Indonesia. Mereka menerapkan metode dan gagasan-gagasan
bisnis sehingga menjakartakan daerah lain di Indonesia. Bukan saya ingin membandingkan
mana yang lebih penting. Namun jika rakyat Indonesia dirasa perlu berkebun oleh sebagian
orang (silogisme aneh untuk negara yang katanya agraris), apakah tidak penting pula
kampanye merehabilitasi korban kekerasan 1965? Apakah terlibat dalam aktivisme leisure
bernuansa nasionalis berarti menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa? Jika “tidak takut
melawan terorisme” itu penting, bagaimana dengan gerakan deradikalisasi? Mengapa tidak
ada upaya kreatif gegap gempita yang serupa untuk menentang pelarangan pendirian rumah
ibadah? Atau tuntutan untuk bersikap tegas kepada negara tetangga yang ketahuan mematamatai kita?
Like, Share, Comment esai oleh Yuka Dian Narendra
35
36
Like, Share, Comment:
Creativity, Citizen, and Social Change
essay by
Yuka Dian Narendra
One day, I came to an event called Indonesia Community Network (ICN) organized at
the Jakarta Convention Center. The event, held on 28 September 2013, was attended by
various organizations and associations, and officially opened by the Minister of Tourism and
Creative Economy and the Minister of Communication and Information.1 I expected to find
the profiles of various communities actively participating in the production of new cultures.
Boy, was I wrong. Like the usual industrial product expositions, this event only displayed
products and specific activities that I had never heard of before. From a group of people with
rare blood types to groups of people protecting certain animal species. I was confused and
I became suspicious. Perhaps I had been seeing things wrongly. Or maybe it is I who was
wrong for considering thus far the groups, organizations, or hobby clubs in that event not as
communities. And, therefore, perhaps, I was also wrong to understand the cultural products
on offer at the expo as merely alternative commodities apart from those from big industries.
Or, I was also wrong for hoping that the activity of these communities could snowball into
a significant social movement. Hoping headlong that the state has changed its views about
culture and its artifacts into a wider context than mere economic practices was, ultimately, my
biggest mistake.
So now I recall another event titled Social Media Festival, the second one, held one year
prior to the ICN 2013 event. In that festival, a plethora of communities, clubs, organizations
and capital owners spilled into a hodgepodge; a meeting of parties hoped to spark new
initiatives and innovations around contemporary issues, under the package of the jargon
“creative”.
I am really vexed by the exploitation of the term “creative”, and I assume this has
spread wider since the Ministry of Tourism and Creative Economy was established by the
government of Susilo Bambang Yudhoyono in 2009. Creativity became the keyword for the
state to explain the economic domain that they were not able to explain—and also control. To
control the capital investment market arena is perhaps easier for the state than explaining how
an alternative fashion store can accumulate billions of rupiah,2 or how online toy and hobbyist
transactions occur involving huge amounts. Regardless of it all, it really is not that important
More on this activity, see: http://indonesiakreatif.net/events/pre-event-indonesia-community-network-2013.
I really do not need statistics to understand this. Just go to Bandung and estimate yourself the number of independent
fashion stores scattered all over the city. Go to metal festivals and calculate how many local band t-shirts produced,
both original and pirated.
1
2
37
BERKAS
38
to dispute who exploited the idiom “creative” and “creativity.”3 The fundamental problem here
is how the wrong contextual placement of creativity only presents a new opportunity for an
affair between capital owner groups and these various public initiatives.
I acknowledge that there is an ambiguity in the meaning of community and how it relates
to creativity. Are “community” and “creativity” two matters that are always related? Does an
economic activity only become creative when it is done by a “community”? This ambiguity
becomes a problem when the state legitimizes it through a presidential decision regarding
creative industry—along with its fourteen sectors.4
My question regarding the ICN 2013 event: what is the connection of the fourteen
creative economic sectors with community? I wonder, can, say, a certain bike-brand
community, a band fan club, or cartoon character, or animal lover community be considered a
community that produces new cultural meanings? Are they only an association celebrating a
certain new same-ness collectively? Or are they actually constructing a new habitus through
the consumption of popular culture?5
From the perspective of the social sciences, a community is a group of people who live in a
certain environment, can be a village, a city, a state, or a territory, with the same background of
identity, be it racial, ideological, or religious.6 The people of Jakarta are actually a community.
Whereas people who get together based on a hobby or an interest are a group, club, or
whatever it is. Even though these days popular culture succeeded in reconstructing the
meaning of community as subculture of a certain dominant culture, a community still cannot
be categorized as an organization having a fixed structure.
Really, there is in itself nothing wrong about turning a hobby group into a community. Take,
for instance, the extreme scooter rider gang, often referred to as the rat vespa, or the ragtag
vespa. This motorcycle gang has exceeded the gang of owners of Vespa-brand motorcycles.
They have managed to appropriate the Vespa into a new, characteristically “Third World”
context: from a symbol of an exotic Italian-made modern urbanity into an aesthetic
unabashed expression that is characteristically Indonesian.7 Sometimes these rat vespas do
not even resemble the Vespa anymore, but are more like a four-wheeled shack rolling with
thick smoke. So it is clear which one is a group (fans or owners of Vespa) and which one is a
community (riders of rat vespas). The transformation of a fan group into a community is not
anything impossible. At least this is a result of the desire to reproduce a subculture consumed
by members of the group/community. Such reproduction—even though merely a practice
of appropriation—cannot be dismissed because ultimately it can build a network which
could produce new culture meanings. Say, from a cultural expression becoming a subcultural
3
See Presidential Instruction No. 6 of 2009 regarding the Development of the Creative Economy. This document can
be downloaded from: http://www.budpar.go.id/userfiles/file/7193_2610-Inpres6Tahun2009.pdf.
4
See Presidential Instruction No. 6 of 2009, ibid. Information I found on a site with the theme creative Indonesia,
which also supported creative economic activities based on communities made me question the relation between
community and creativity.
5
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 2002).
6
See the concept of Gemeinschaft and Gesselschaft in Ferdinand Tönnies, Community and Society (translation by
Charles Price Loomis) (East Lansing: Michigan State University Press, 1957).
7
Vespa was first disigned by Corradino D’Ascanio in 1946. The design was intended to address the problem of mobility
in Italian cities. See the following link: http://www.concapeligna.it/famosi/d’ascanio/corradino_d_ascanio.htm
Like, Share, Comment essay by Yuka Dian Narendra
practice that affords a socio-cultural position for the actors. The practice of manipulating a
decrepit scooter can develop into an articulation of identity—as “underground Vespa kids”,
and ultimately succeed in weaving an economic network and capital strength into the social
network, such as the appearance of Vespa modification shops or clothing shops distributing
local products for underground Vespa riders.
The example of the underground Vespa community is but one of the phenomenon from
many similar practices in various cultural fields. The punk, metal and hip-hop communities;
the graffiti artist communities; cosplay and anime player communities; comic communities;
and others. The economic network of such communities is able to serve itself and its own
community without having to involve the power of bigger capital. In the cases of music
subcultures, for instance: bands, recording albums, merchandise, recording studios, the shops
related to the band subcultures, festivals and concerts of similar bands, radio and zines (which
has now been taken over by websites) as alternative promotion media, as well as musicians,
media actors, fans, event promoters and others—all are part of an interconnected chain of
cultural production. What is most important—and often times overlooked by the big industry
actors who wish to copy the subcultural modes of production—is the destruction of barriers
between the actors (producers) and users (consumers). In this context, creativity is indeed
the keyword that has economic implications. However, this keyword cannot just suddenly be
glorified as the remedy to address one’s economic maladies.
In subcultural groups, creativity is but only one method to conduct the cultural practice
that they believe in. The subculture’s actors—in this case misunderstood by the state as
communities—are usually marginalized groups on a cultural map. Feeling that they do not
belong in a grander cultural narrative, they then create their own culture that suits their needs.
It, therefore, makes sense that such practices are identified as subculture: their positions are
always under the shadows of the dominant culture. It also makes sense that the subculture
group is resistant towards everything seen as mainstream. Society groups that are outside
of them then understand this phenomena as creativity, only because the alternative answer
offered by these subcultural groups often times go against the common logic.
The spirit of resistance against the dominant narrative—whether it is a cultural value
or social system—allows certain communities to empower their own creativity with
various contents. Even though creativity can be understood as the spirit that makes them
appear empowered in facing certain situations—which, perhaps, in the eyes of the state is
an economic crisis—their creativity is only a methodological encouragement to address
a situation. If there is anything that they glorify, it is none other than “something” which
they resist, not the method of addressing it. The glorification of creativity that the state
is committing via the jargon of the creative economy becomes absurd when creativity is
considered merely an alternative economic modus, or economy of the other. As though by
choosing to engage in uncommon fields, by being involved in the public activity of the other,
by tearing down the barriers between having fun during spare time and by making money,
then one deserves to be labeled creative. Especially when mass media presents the events
around these communities by making the actors look different than the rest, in other words
“cool” or “hip”.
All of this is even more complete when the actors of various weekend activities take
part. Now, the thin line between communities who are really engaged in cultural production
and hobby groups make it ever more so difficult to distinguish the two, as though both
are creative activities and deserve the label creative economy. Whereas all of the examples
I have given above are clearly different from the big-bike motorcycle-owner community
39
BERKAS
40
who go on joyrides across the city on Sundays, or the weekend gardening community or
biking community. It is these enthusiastic groups that crowded the so-called Social Media
Festival held in October 2013. They include urban activists and even groups with alternative
business modes that indeed cannot be found in the domain of the formal economy. What
about the idea of Muhammad Yunus about the alternative economy being the answer to the
essential problem of the “Third World”?8 It is highly plausible that had he lived in Indonesia,
he would have been involved in various creative economy activities. His website would be
displayed on the website of the social media festival sponsored by owners of big capital. I call
these events a fudging of so-called creative communities, which can be seen as an effort to
eradicate the potential for political involvement. Here is the logic.
First, the strength in the creative economy sector is democratization, especially through
mass media technology and trivial cultural practices. With the help of current digital
technology, everybody can do their own cultural production; from making films, art, record
albums, or sell their own fashion labels online. Today’s digital communication technology
is able to connect people from different corners of the world, especially people in a city
like Jakarta. Then it is not difficult to build a consensus on whatever issue. We can find a
significant indication in the case of “Cicak versus Buaya.”9 The campaign succeeded to gather
one million supporters for the Corruption Eradication Commission when the state tried to
disband it. The case of “Indonesia Unite” is another example, when a celebrity succeeded to
build a public opinion to fight terrorism and transnational Islamic movements.10 Both cases
were made possible with the help of social media such as Facebook and Twitter. Social media
make us believe that today anything is possible. Social media open access for everyone to
build opinions and even initiate the formation of a consensus on a certain issue.
Second, on the one hand, such a situation illustrates the success of democratization
through the media space. But on the other, there is a new problem. Most community activism
that takes place and competes to receive public awareness through the social media space
originates from or is centered in Jakarta—a case in point, the failure of urban space. Jakarta
does not have sufficient public space for its residents. The fragmentation between its five
municipalities in synergy with bad public transportation and amazing traffic jams limits
the public’s mobility. Add to that nature, which can paralyze the city during floods. This
situation makes Jakartans wholly unfortunate, living in discomfort. The frustration of living
in such a city has put Jakartans further away from social relations that should have been the
opportunity to empower citizens.
8
Muhammad Yunus is a professor in economics and banker from Bangladesh who won the Nobel Peace Prize in
2006. See his autobigraphy entitled Banker to the Poor: Micro-Lending and the Battle Against World Poverty (New York:
PublicAffairs, 2003). See also the following link: http://www.businessweek.com/stories/2005-12-25/nobel-winneryunus-microcredit-missionary.
9
“Gecko versus Crocodile”. One of the journalistic reports regarding “Cicak versus Buaya” can be seen on Inside
Indonesia website through the following link: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/snatching-victory-3.
10
Indonesia Unite is a contemporary nationalist movement launched by a radio host named Pandji Pragiwaksono and
mobilized through Twitter social media after the bomb explosion at J.W. Marriot and Ritz Carlton Hotels, Jakarta, 17
July 2009. The success of Pandji Pragiwaksono tweets turned him into a young nationalist who then initiated a series
of activities with nationalist themes. He then wrote the book Nasional.Is.Me (2010). See the website: http://pandji.
com/indonesiaunite. When this essay was written, the site indonesiaunite.com was no longer active. For other sources,
see Facebook page https://www.facebook.com/indonesiaunite, and: http://kompascom.kompasiana.com/2009/07/27/
kompascom-dukung-gerakan-indonesiaunite-647.html.
Like, Share, Comment essay by Yuka Dian Narendra
Like other cities, Jakarta is a city that had headlong been populated. In such a ‘headlong’
condition, Jakarta, like it or not, must provide livelihood guarantees to anyone residing within
it. And, still not done with the many infrastructure and city planning issues—like traffic and
flooding—Jakarta has now been built, headlong, as the Indonesia’s gateway to the world. As a
result, Jakarta has an important cultural potential. Politically, Jakarta has become the meeting
arena of diverse cultures, both in the local and global context. However, the dominant
economic narrative in the many aspects of life in Jakarta confronts this meeting arena with
the logic of capitalism.
As an illustration, malls have replaced public spaces in Jakarta. Coping with a city that is
already unfriendly, not humanistic, and even cruel is part of the daily reality of Jakarta’s residents.
This lack of public space made us all accept as common the sight of middle-class kids playing
in posh malls. Meanwhile, we also accept as commonplace the sight of lower class kids enjoying
odong-odong,11 as we also accept the millions of motorcycles choking the city streets due to the
failure of our public transportation system. We are also all too happy when the trip home from
office that would normally take two hours can be covered in only forty-five minutes.
So what does all this have to do with creativity? We must admit that the initiatives
that have come by way of social media have had a positive impact on the democratization
process for the rest, when the channels of aspiration that would normally be used lead
nowhere. However, we cannot stop there. Problem is, such public initiatives often borrow
the logic of trade to position itself as an alternative cultural narrative rather than trying to
take the difficult path, namely, to construct a mode for a new Indonesian society. Social
media networks have enabled such initiatives to take over the political stage and supplant
the dominant narrative of the state, but what can social media do other than gain as many
likes and followers? In the meantime, when all this may not necessarily represent the concrete
conditions of society, statistical data add the impression of large support. This support is
not a representation of a collective voice but is merely a conversion of a potential market
(consumers) of industry and capitalism. Is it not true that for capital owners, the public is
merely a quantification of the potential market? For that reason, in such public movements
or initiatives, the big capital owners feel the need to be involved and create the impression as
though their presence will ensure the success of such movements or initiatives.
As though a coincidence, this string of events came about along with the initiation of creative
economics by the state. The various types of public initiatives, movements, and activism
through communities or groups suddenly find themselves to be in the midst of domains that
the state interprets as an effort to build a network of the creative economy.12 The entrance
of urban residents into social media networks through communities and initiative groups
actually signifies that people are trying to be actively involved in the process of political
democratization and the process of cultural formation.13 But the loss of social relations,
which are then replaced by connectedness via social media, blows up this phenomena, so
Improvised foot-driven street carousels.
Please revisit the fourteen creative economic sectors according to the state in the Presidential Instruction No. 6 of
2009 regarding Development of Creative Economy.
13
Referring to Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis dan London:
The University of Minnesota Press, 1995).
11
12
41
BERKAS
42
an illusion appears that this may lead to the birth of a big social movement. In the case of
the Social Media Festival, this illusion was amplified by the large number of groups with
similar initiatives.14 While it may just be that what appeared was only a representation of the
movement/activism/community/group/club as logos—something that can easily be turned
into “being” with the help of current technologies. The illusion that then appears is the size of
the masses that have gathered who will be moving under the giant umbrella of the “creative
economy”. Then we will all be too busy calculating the size of these masses and the support
of big capital, until we forget about the ambiguity of the concept of community, group, club,
organization, guild, and so forth.
In the end, the dominant narrative of the state about the ties between creative economy
and community can lead us to think simplistically. The thousands of people engage in
gardening in their own neighborhoods on weekends can make us feel that the problem of
green spaces in Jakarta, even Indonesia, can be resolved. Even though there is nothing wrong
with such a movement, the effect of our inability to categorize the various collective activities
of people may turn political community activism into mere hedonism. This is certainly risky.
Why so?
Once again, the collectivity of urban (and state) residents built from the various collective
cultural activities—especially with the support of social media networks—actually may have
the potential to position the people in a significant way when they are confronted with
authority. This way, people actually have a strong negotiating power, and inevitably this can
threaten the hegemony of the state. As such, in my rather paranoid imagination, the state
perhaps is intentionally trying to water down the issue of the creative economy and blur the
meaning of community and group. People’s cultural practices are dwarfed into an economic
meaning only, turning it into a kind of hype through social media and various festivals.
Thereby, it will be difficult for communities who are now considered creative to transform
themselves into a significant social movement.
What is damning, this narrative is beginning to take over the political stage of the people.
People begin to approve of such hedonistic political means. As proof, many more people now
create this and that community, from a community imagining itself as an extension to the
Tintin comic series, to communities experimenting with cultural heritage, such as aspirations
to create virtual museums or the movement to spend Sundays at the National Museum. Many
Jakartans spend their free time at the Fatahillah Museum, but merely for the pretty pictures.
Whereas the historical narrative of the city remains silent and untouched, not passed on to
the next generation. The historical awareness of the people may not form even though they
spend a month sleeping at the Fatahillah Museum.
Again, Jakarta’s space can be the most guilty party. Going back to the discussion of
public space above, the loss of public space makes Jakartans forget about the actual social
interaction. After people forgot about social interaction, it begins to make sense that people
have lost their ability to organize masses whereas this ability is absolutely needed to build
social movements, whatever the movement. Social media has replaced all of this. It replaced
the physical public space with meetings in virtual forums. It replaced the practice of mass
organizations with software features. Not to forget, the idiom “creative” that may have been
embedded in the minds of every person has replaced the spirit of resistance and critical
powers only as far as “having fun” and “being productive” economically. The democratic
14
From the site socmedfest.org, accessed on 18 November 2013, at 21:30.
Like, Share, Comment essay by Yuka Dian Narendra
assumption offered by social media allows big capital to sneak in, not because of the capital
powers possessed, but the egalitarian and democratization ideas. When everyone finds himself
in this spiral, the state’s creative economy jargon sounds like the horns of angel Raphael
signifying the end of times. As the horn is blown, the people’s bargaining powers against the
dominant powers evaporate.
The opportunity for people to understand their city will further slide into mere hedonistic
activities if a significant social movement never materializes. Without a social movement, city
residents will remain confined in the dominant narrative of capitalism: that the initiatives
and creative efforts of city residents to understand their living space will not be realized
without money. Meanwhile, the introduction of the power of capital into people’s activism—
unwittingly or otherwise—actually plunges the people’s initiatives into a giant frying pan and
destroys the spirit of resistance of people towards the city that has been shaped by the power
of capital. People’s efforts to cope with the city becomes only a collective celebration that
stops at mobilization of the masses. The common activity that can function as a means for
people to live together in peace becomes a moment for market research data collection. When
that happens, new barriers are established based on the logic of the market economy in seeing
humans, that is, a society with purchasing power. That way, public activism will never succeed
to become a meaningful social movement so that there will never be a change in the relation
of the public with the city.
Ideally, the public, through collective activism and democratization of the social media,
learns to construct (including reconstruct and deconstruct) their own social capital.15 That, for
example, can be realized in the practice of looking after each others’ houses and property. In a
larger scale, people can learn to protect the interests of other citizen groups because they need
each other. People learn to become independent. But we must be cautious, for when people
are now able to overcome their own problems, the state has a reason to waive its responsibility.
When gardening with the family during weekends becomes a lifestyle practiced by city
residents, for instance, that can cause the state to stop thinking that it is its responsible to the
people to realize a green city, free of pollution. If necessary, the people’s initiative to plant and
make Jakarta green shall be enshrined in a range of systematic policies and regulations by the
city government. Whereas ideally, a green city free of pollution should have been the right of
the people of the city that can be obtained naturally.
In addition to that, the idea of social change through various public activisms will always
be eroded by the controllers of capital, by making everything seem spectacular like a show.
The creative economy jargon makes all public aspirations measurable by trade scales. When
aspirations cannot trigger likes, comments, and shares they could be considered to have failed
finding economic abstractions.
People need the opportunity to construct a new proper habitat. People need to seize the
opportunity to imagine themselves in a social structure that they want. The creative economy
narrative intervenes that opportunity with the promise of an appealing economic reward.
Capital owners also have taken up the idea that Jakarta and Indonesia are the same. They
15
See Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of the American Community (London: Simon &
Schuster Paperbacks, 2000), p. 19.
43
BERKAS
apply the business methods and ideas that have ‘jakartanized’ other regions in Indonesia.
Not to compare which one is more important, but if the Indonesian people are seen to need
gardening by some others (a rather strange syllogism for a country thought to be agrarian), is
it also not important to campaign for the rehabilitation of the victims of 1965 violence? Does
involvement in leisurely activities with nationalistic nuances mean that the nation’s problems
are resolved? If “not afraid to fight terrorism” is important, what about a deradicalization
movement? Why is there no similar boisterous creative effort to resist the prohibition of
building houses of worship? Or the demands to act affirmatively towards a neighboring
country caught to be spying on us?
44
Like, Share, Comment essay by Yuka Dian Narendra
45
46
kartun oleh cartoon by
Reza Mustar
47
Socializing During Work
BERKAS
48
- Let’s use my credit card... we’ll get 10% discount... then you’ll just pay the pool to me...
- Right....
Reza Mustar
49
BERKAS
50
- I’m so pissed... I’m not going to Phuket this year
because I bought the promo ticket late. So it’s Bali again…
- Gosshhh... how boring....
- I know, right!!! I’m pissed!!
Reza Mustar
51
- Do it on a canvas… so it can be sold put in a gallery.
BERKAS
52
- How many?
- Just me... but can you put me near a plug?
Reza Mustar
53
BERKAS
54
Coffee by the date.
Reza Mustar
55
BERKAS
56
- Bro... turn the AC up a bit....
- Okay....
Reza Mustar
57
58
fotografi oleh photography by
Agung ‘Abe’ Natanael
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
Surat Putus Kampungan
surat oleh
Farid Rakun
73
74
Atik yang bohay (semoga masih boleh aku memanggilmu demikian),
Izinkan aku mengutip sepenggal dialog dari Burung-burung Manyar, karangan Romo
Mangun yang akhir-akhir ini semakin kamu gandrungi itu:
“Kalau Indonesia kelak merdeka, negara kita tidak akan kejam.”
“Mudah-mudahan, Tik.”
“Tidak boleh mudah-mudahan, Pap. Harus.”
Ketika kamu temukan dan, semoga, baca surat ini, kamu mungkin sedang berada di
pesawat balik ke Rotterdam. Sengaja hanya kutulis, lalu kuselipkan saja surat ini ke dalam
tasmu. Mending aku membayar lebih beberapa ratus dolar untuk menunda penerbanganku.
Sekian belas jam duduk di sampingmu dan mengalami lagi banjir air matamu, aku tak akan
mampu.
Aku minta maaf karena perbuatanku membuat perjalanan ke kampung halaman, yang
seharusnya jadi sebuah perjalanan produktif ini, berantakan. Tapi aku setuju, perpisahan ini
memang tak terelakkan lagi.
Memang semua bermula karena aku yang kelepasan ngomong Belanda, “Verrekt!”. Kamu
tentu belum lupa. Waktu itu aku mengumpat ke arah materi-materi pameran di bagian kanan
pintu masuk, di ruang pamer Erasmus Huis itu. Sabtu sore terakhir. Aku pikir kamu akan
tertawa, kemudian menghardik, “Ih, cabul! Manggil-manggil perek!” seperti biasanya. Ketika
malah tatapan kebencian yang kudapat, aku sadar bahwa yang kulupa adalah bagaimana
perjalanan kali ini sudah membuat kau berpihak kepada mereka.
Aku lupa bahwa dulu, sebelum kita bertemu di Delft, kamu memulai kariermu lewat
jalur “kemanusiaan” semacam ini. Ke Aceh, habis tsunami. Dan kamu memang mulai sering
mengungkit-ungkit tema penggusuran di Waduk Pluit atau Kali Ciliwung beberapa saat
terakhir, ketika kita masih di Rotterdam sebelum berangkat. Namun kupikir pergi sekolah ke
luar negeri sudah mengubahmu. Kupikir kau sudah lebih seperti aku.
Ya, aku, yang di atas kertas bergelar seorang ahli tata kota. Tapi latar belakang keluarga
tentara membuat aku ini pada dasarnya seorang serdadu, atau soldadu, dari kata soldei alias
upah. Kata kontemporernya: profesional, atau orang upahan untuk membela dan menyokong
kepentingan siapa pun yang mengupah. Bagiku, ekonomi harus ditempatkan di atas segalanya.
Kemanusiaan, atau kesejahteraan bangsa, tentu penting, tapi tidak semendesak kemakmuran
masing-masing kita sebagai orang ini. Kita harus bertanggung jawab penuh terhadap diri
75
BERKAS
76
sendiri, terlebih ketika tak ada memang yang mengurusi. Karena itulah materi pameran di
ruang pameran kanan itu tak sejalan denganku. Aku tak tahu saat itu bahwa perdebatan kita
akan berakhir begini, jadi izinkanlah aku membela diri dalam surat ini.
Maaf, sekali lagi, tapi emosiku tak terbendung melihat gambar-gambar yang kebanyakan
dibuat oleh arsitek-arsitek lokal itu. Jika memang kemiskinan adalah yang mereka perangi,
mengapa mereka mempertahankannya begitu rupa? Bahkan sampai mengajukan solusi
arsitektur demi mempertahankan permukiman kumuh! Bukan saja itu akan membuat kota
menjadi buruk rupa, tapi kekumuhan itu biang penyakit, termasuk penyakit sosial. Mereka
yang kumuh harus dibersihkan bukan hanya karena mereka tidak memperindah wajah kota,
tapi bahkan dari zaman Ali Sadikin pun seantero kota sudah menganggap mereka berpotensi
mengganggu ketertiban umum. Tak percaya? Cek saja buku catatan beliau yang diterbitkan
dengan judul Gita Jaya, yang terbit persis setahun sebelum aku lahir itu. Dengan logika
komando dari penguasa di atas, kaum sol-sepatu di bawah macam mereka itu harus terus kita
beri terapi kejut dan bentakan dari atas.
Masih sejalan dengan Ali Sadikin zaman itu, sekarang ini semua tingkat kepemimpinan,
dari DKI-nya Jokowi dan Ahok, sampai pusat lewat Kemenparekraf, masih berpendapat
sama. Terbukti lewat keterlibatan mereka dalam pameran “eksplorasi desain inovatif ” yang
digagas oleh kawan-kawan arsitek lokal yang pernah sekolah ke luar negeri, sehingga berbau
internasional ini. Buatku pameran ini adalah sebuah bukti bahwa kita semua, pemerintah dan
profesional, setuju bahwa kaum pinggiran kota ini masalah yang musti bukan saja dipecahkan,
tapi seharusnya diberantas! Tentu yang kita bunuh bukanlah manusianya, tapi kemiskinannya.
Bikin mereka kaya cukupan, sehingga bisa bayar, tak lagi colong listrik, air, dan sewa. Bikin
mereka masuk dan bekerja dalam sistem. Semua pihak senang. Beres, tokh?
Belum lagi kalau kita menyentuh arsitektur yang kawan-kawanmu itu hadirkan! Arsitektur
dengan wajah apalagi yang hadir lewat pendekatan mereka itu? Bahkan apakah itu Arsitektur?
Bagiku, karya mereka mencerminkan apa yang terjadi jika siapa pun tinggal di lingkungan yang
penuh koreng dan kudis. Tambal-sulam jugalah estetika yang bisa ia hadirkan.
Masih ingat kamu, bahwa ada dari mereka yang hanya bantu masyarakat bikin MCK!
Tak ada terobosan desain yang mereka tawarkan, boro-boro ngurusin tampilannya seperti apa.
Bikin sekolah-sekolah, sanggar-sanggar yang tak jelas juntrungannya. Aku bingung, dalam
otak mereka, siapa yang akan meng-hire mereka di masa depan bila mereka bawa contoh karya
macam itu? Mau ditaruh di mana muka Jakarta bila begini?
Sedih tak ayal menghampiriku bila mengingat sebenarnya kita datang ke pameran tersebut
untuk melihat salah satu project kita berdua, yang kita kerjakan bersama beberapa rekan asal
Belanda dan Swiss yang ter-display di sebelah kiri ruang pamer, langsung berseberangan dengan
para perancang kampungan tadi. Sedih, karena hal tersebut tak mungkin terjadi lagi. Seperti
banyak hubungan percintaanku sebelum kamu, kita itu tersatukan oleh hasrat dan keseriusan
profesional kita.
Setelah dengan bangga aku mematuti panel yang menunjukkan project kita yang berwarnawarni, di-render secara profesional, mengubah citra kampung yang kampungan menjadi hunian
layak huni, dan tentunya layak pamer, ada rasa pilu yang kurasakan ketika menengok mukamu
yang menatap panel yang sama dengan pandangan kosong. Seakan mempertanyakan alasan
awal mengapa kamu sudi melibatkan diri ke dalam project seperti ini.
Di titik itu seharusnya aku sadar bahwa hubungan ini sudah tak tertolong lagi. Tapi,
mengutip kamu yang mengutip Romo Mangun, yang kamu anggap “Bapak Arsitektur Modern
Indonesia” itu: “Yang seharusnya dan senyatanya itu kan masih dua soal yang belum tentu klop.”
Dasar Romo manyun.
Surat Putus Kampungan surat oleh Farid Rakun
Senasib dengan project kita, dengan pandangan kosong kamu seperti mempertanyakan
kesahihan materi-materi pameran yang terdiri dari karya-karya yang menurutku bertaraf
internasional, terkelompok di sebelah kiri ruang pameran.
“Kamu pikir pameran yang seperti punya pembagian kiri-kanan ini disengaja atau tidak?”
tanyaku saat itu mencoba mencairkan suasana, berharap kamu bisa bercanda dan tersenyum
lagi. Tapi kamu hanya diam, melengos, dan akhirnya bilang bahwa ternyata mental kita
masih mental jajahan dan pandanganku merupakan salah satu buktinya, ketika kita berdebat
setelahnya.
Tudinganmu itu tak bisa tidak menjajah pikiranku beberapa saat belakangan ini. Ya,
bagiku kamulah yang penjajah, bukan orang-orang asing itu!
Begini pendapatku: dunia sudah berubah. Kekuatan kapitalisme global sudah tak
terbendung membuat swasta jaya kapan-kapan dan di mana-mana. Kalau mau omong citra,
belalah semua citra selain citra kampung, yang memang tak pernah ramah pasar. Kecuali bila
itu dapat mendongkrak harga, semisal membuat singkong yang biasa laku cuma seribu jadi
lima kali lipat harganya semula, baru okelah kampung sebagai estetika itu kau hadirkan.
Gunakan saja kesempatan yang boleh jadi tak datang dua kali ini. Seperti yang kita
berdua tahu, bukan hanya perusahaan-perusahaan bangsa Belanda yang tertarik dengan
perkembangan kota dan bangsa Indonesia sekarang ini. Korporasi-korporasi asal Jerman,
Prancis, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, sampai negeri-negeri Skandinavia yang kaya itu
juga (belum menyebut negeri China, yang secara pribadi aku masih belum yakin bagaimana
harus menentukan sikap). Apa salahnya bekerja mendukung mereka? Bukankah dengan
minat bekerja di sini mereka sudah membuktikan dukungan mereka kepada kita?
Transnasional dong, Neng! Tidak zaman lagi mengurus jati diri dan bahasa citra, yang
katamu artinya “mementingkan kejujuran sikap dalam merancang.” Kuno itu, ah!
Jadi emosi aku membicarakan ini. Tapi lihatlah bagaimana sejarah manusia melakukan
perjuangan mereka lewat estetika. Kamu seharusnya belajar dari Romo-mu itu, yang
mewarnai kampung di Kali Code cuma biar kampung itu menjadi indah di mata para pejabat
yang ketika itu ingin menggusur mereka. Estetika tak pernah netral. Dia bukan perkara visual
semata, tapi lebih tentang survival. Untuk itulah gambar-citraan cantik harus rajin kita bikin
dan sebarkan, salah satunya melalui pameran ini walau terlebih sering lagi lewat media massa
serta reklame-reklame raksasa di seluruh penjuru kota. Seperti yang kita pelajari di universitas
dulu, gunakan dan pelajarilah trend gaya-gaya perancangan yang sedang laku. Fungsi juga,
gunakan saja! Kalau apartemen sedang laku, bikin apartemen, superblok, rancang superblok,
bahkan kampung, garap saja kampung itu. Hanya begitulah cara untuk laris, dikenal, dan
mendapat banyak pengakuan. Dan dengan begitu survive.
Mereka yang kau bela itu jelek (dan sepertinya bahkan para agen pembela mereka, geng
kananmu itu, amat ingin mempertahankan kejelekan mereka), sedangkan apa yang kami
tawarkan cantik. Baru. Menimbulkan hasrat. Bayangkan Manggarai yang tak lagi kumuh,
namun punya pencakar langit berkesan piramida terbalik, misalnya. Akankah warga kampung
di situ tetap gemar tawuran dengan kampung lain di seberang kali, ketika mereka bahkan tak
lagi hidup dalam kampung tapi disusun efektif secara vertikal, seperti banyak proposal yang
kita lihat di sini dan banyak lagi di pameran serupa yang pernah kita berdua ikuti? Tidakkah
ini bukan saja lebih livable bagi mereka,tapi yang terpenting juga buat kita?
Aku bangga dikategorikan bersama kawan-kawan perancang di bagian kiri pameran.
Memang mayoritas orang asing dimasukkan ke bagian ini, yang boleh jadi bermoyang
langsung para agresor yang selalu kita curigai. Tetapi sekarang, kita juga yang mengemisngemis agar mereka sudi kembali. Bila dulu kita sebut zaman agresi mereka sebagai zaman
77
BERKAS
78
dursetut, nah, sekarang terbukti kangen juga kita ini di-setut-setut mereka. Kita memang
pengemis mentalnya, sampai kadang malu punya kulit sawo matang ini.
Satu lagi hal yang harus kuluruskan: ingat ketika kamu memuji perubahan Kereta Api
Commuter Line yang baru tahun ini diberlakukan? Menurutmu perubahan ini cerdas dan
tepat guna. Tak ada pembangunan infrastruktur yang menyumbat aktivitas kota sehari-hari,
yang ada hanya strategi pengaturan ulang, dari peremajaan armada kereta, perubahan jumlah
bagi masing-masing kelas pelayanan, rebranding, sampai perjuangan subsidi bagi setiap
penumpang untuk menekan harga yang bisa jadi amat melonjak. “Lihat efek tiket kartu
langganan, satu pintu keluar-masuk yang terkontrol, dan keberpihakan kepada warga yang
tak mampu lewat subsidi: meningkatnya tingkat keamanan dan kenyamanan penumpang,
yang diikuti lonjakan angka penumpang. Bukankah itu suatu teladan yang patut kita contoh?”
ujarmu. Saat itu aku mengangguk setuju.
Namun, sejujurnya, anggukan itu hanyalah kemalasanku. Kemalasan untuk berdebat, dan
ketidakinginanku untuk memikirkan hal yang tak pernah kunikmati manfaatnya. Aku hampir
tak pernah naik kereta di Jakarta. Untuk mobilku, jalanan tetap (kalau tak tambah) macet, tak
berubah banyak. Tak banyak juga pembangunan yang ditawarkan pengembangan macam ini
bagi perancang seperti kita untuk berproyek, bukan?
Tapi buatku subsidi itu yang paling menuai pertanyaan: sampai kapan subsidi ini bisa
bertahan, dan lebih penting lagi siapa yang melihat dan menikmati? Lagi-lagi para cecunguk
yang kalah itu. Mereka itu jongos, jangan perlakukan mereka seperti ndoro yang patut dibela.
Mereka kalah persaingan, atau terkadang keduluan start, dan hidup memang tak pernah
ramah untuk yang kalah. Subsidi itu cuma obat bius sementara, ketika habis mereka akan
terbangun dengan derita yang lebih tak tertahankan.
Kamu itu seperti layaknya kereta api ini, agaknya resisten dengan perubahan. Kamu
percaya pada pembentukan kepribadian yang merdeka, dan perubahan akan mengalir seiring
kepribadian yang terbentuk tersebut. Menurutmu, dengan cara ini tak ada yang dipaksakan,
tidak perlu ada apa pun yang dikarbit. Sebuah cita-cita luhur yang demi pencapaiannya
kita tidak punya waktu. Andaikan aku ini seorang menteri, akan kupakai kuasaku demi
minteri para jelata ini. Akan kugalakkan pembangunan macam Transjakarta Busway, seperti
yang dilakukan oleh Sutiyoso (kuharap MRT dan Monorail yang sedang diperjuangkan
pemerintah kota sekarang mengambil jalur ini).
Melalui program-program ini dipraktikkan betul kekuatan terapi kejut pada ruang
terbangun kota untuk—meminjam kata-kata Abidin Kusno yang sama-sama sering kita
kutip—“menaklukkan perilaku, serta reka ulang imajinasi warga terhadap kotanya dengan
meninggalkan jejak yang amat terlihat.” Mereka juga menggunakan operasi membangun
secara maksimal, besar-besaran. Kehebohan media massa tak terbendung. Banyak lapangan
pekerjaan, walau sekejap, mereka hadirkan. Bukankah itu fungsi pembangunan bagi ekonomi?
Omong-omong pembangunan, sebagai profesional dan anak ABRI, tak bisa tidak aku
memang masih kagum pada mantan Presiden Soeharto, Bapak Pembangunan kita itu.
Mengangguk setuju aku setiap kulihat kaus atau stiker yang di atasnya terbubuhkan foto
beliau, yang makin banyak terlihat akhir-akhir ini. Decak kagumku tak tertahan ketika
kubaca kutipan kata-kata mutiara tambahan di sana: “Piye kabare, masih enak jamanku to?”
Ingin suatu ketika nanti, kalimat yang sama kusemburkan ke seorang mantan kekasih yang
mengajak rujuk. Mungkinkah ke kamu suatu saat nanti?
Aku bisa bayangkan mukamu sekarang ikutan Romo kegemaranmu itu: manyun.
Aku ini, berlawanan denganmu yang kereta, lebih mirip proyek Busway: lebih niat
memanfaatkan pembangunan sebagai motor ekonomi. Harus besar-besaran. Korban yang
Surat Putus Kampungan surat oleh Farid Rakun
tertelan memang warga nomor sekian itu beserta permukiman kumuh mereka. Mereka harus
pindah, dan menjadi bahan bakar tenaga kerja di kawasan-kawasan yang sudah ditentukan
agar roda ekonomi besar terus berjalan. Mereka inilah nanti yang di masa depan akan “kami
undang masuk menjadi kelas menengah baru yang harus terus tumbuh secara angka, dengan
syarat mereka harus menyesuaikan diri dengan norma dan bentuk lingkungan baru ini”
(lagi-lagi mengutip si Abidin Kusno). Dalam proses pemindahan yang “sukarela” (dibikin
sukar-sukar sampai rela) ini, bersamaan dengan perubahan sektor ekonomi informal ke
sebuah sistem hibrida yang punya sumbangan bagi sistem finansial global, adalah kesempatan
bagiku dan kawan-kawan arsitek untuk berproyek. Ikut sumbang ide, keahlian, dan tenaga
demi pembangunan. Mengikuti pola pikir dan pandang ini, aku percaya bahwa superblok,
beserta Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sebisa mungkin meniadakan campur tangan
pemerintah dalam pelaksanaan ekonomi global adalah jawabannya. Hidup pasar bebas.
Hidup pembangunan.
Terakhir, seperti niatan awal mengapa kutulis surat ini, aku mengucapkan selamat
tinggal dan semoga sukses bagimu. Aku bisa melihat alasan rencanamu untuk meninggalkan
Rotterdam, dan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat. Walau harus jujur, aku tak sepenuhnya
mengerti. Mengapa perjuangan harus kau lakukan dari dalam negeri yang karut-marut itu?
Bukankah banyak hal yang dapat kau lakukan malah ketika kau tak di Jakarta, tapi bersamaku
di Eropa?
Keputusan itu memang keputusan pribadimu, tapi kalau kau sudah tidak lagi tergiur
dengan masa depan praktik desain internasional yang mungkin bisa kita raih bersama, aku
memang sudah tidak bisa lagi meneruskan hubungan ini, dan berterima kasih bahwa kamulah
yang akhirnya cukup berani untuk menyebutkan kata “putus.”
Aku memang sakit hati dan tak bisa mengerti, tapi sebenarnya aku kagum dengan
kemampuanmu untuk melepas semua ambisi dan tiba-tiba memutuskan untuk mudik
selamanya ke negeri tercinta. Seperti ada panggilan kuat dari dasar hati yang tak pernah aku
alami atau pahami.
Karena paham hidup kita yang berseberangan inilah, untuk sekarang hanya doaku yang
bisa kusertakan, seperti Papinya si Atik di kutipan awal surat ini. Walau ini berarti kita akan
terus-menerus berada di pihak yang berlawanan, kudoakan semoga kau berhasil menggapai
cita-citamu yang baru. Tapi, sepertinya tidak boleh hanya semoga, Tik. Mungkin harus.
Kecup sayang untuk terakhir kali,
Teto-mu
Jakarta, 16 Juni 2013
79
BERKAS
Catatan Akhir
Pilihan kata dan gaya bahasa diambil, dan di beberapa tempat
diplesetkan, dari novel dan buku Y. B. Mangunwijaya, BurungBurung Manyar ( Jakarta: Djambatan, 2007), dan Wastu Citra:
Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektural Sendi-sendi Filsafatnya
Beserta Contoh-contoh/Latihan-latihan Praktis, cetakan kelima
( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013); juga dari buku
Abidin Kusno, Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta
Pasca-Suharto (Yogyakarta: Ombak, 2009), yang diterjemahkan ke
bahasa Indonesia oleh Lilawati Kurnia dan disunting oleh Manneke
Budiman.
80
Istilah “Verrekt” adalah ungkapan tak baku bahasa Belanda yang
artinya adalah “Keseleyolah kau!”, atau dalam bahasa Inggris saat
ini berarti “damned”. Kata “Verrekt” dalam “surat” ini mencontek
istilah yang digunakan oleh Romo Mangun dalam novelnya Burungburung Manyar, dan digunakan karena itu adalah slang Belanda,
biasa diucapkan pula oleh orang-orang yang Kebelanda-belandaan,
dan bunyinya dekat dengan umpatan “perek”. Arti kata “perek” yang
populer sejak 1980-an di Jakarta adalah “perempuan eksperimen” atau
perempuan yang bukan pelacur namun gemar bereksperimen secara
seksual dengan banyak lelaki.
“Dursetut” adalah istilah yang merujuk pada masa Agresi Militer
Belanda I dan II. Asalnya dari kata “doorstoot” yang arti harafiahnya
adalah “tohokan” atau “pukulan menerobos”. “Setut” adalah slang
zaman ini yang setara dengan kata “embat”, “hajar” atau “beri
pelajaran” dan bisa dipakai untuk menjelaskan: memukul, menghabisi,
menampar, menipu, mengerjai, sampai menyetubuhi.
Imajinasi untuk menggunakan slogan “Piye Kabare, Masih Enak
Jamanku To?” dipinjam dari Soeharto Song : DJ T4UMY & Mr
X-Katrok @xplusk. Tautan: http://bit.ly/1hvb8xx, terakhir diakses 31
Oktober 2013.
Soal penggusuran demi penciptaan sumber daya manusia bagi
Kawasan Ekonomi Khusus dapat dilihat dalam kajian Masterplan
Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI),
lewat laman-laman seperti http://bit.ly/16NYYIB dan http://bit.ly/
UXVXB3, terakhir diakses 31 Oktober 2013.
A Breakup Letter from Kampung
letter by
Farid Rakun
81
82
Yourhotness Atik (if you still allow me to call you so),
Allow me to quote a snippet from Romo Mangun’s Burungburung Manyar, whom you are crazy about these days:
“One day when Indonesia is free, our country will no longer be
loathsome.”
“Hopefully, Tik.”
“Not hopefully, Pap. It must.”
When you find and, hopefully, read this letter, you may already
be on your flight back to Rotterdam. I wrote this letter purposely
indeed, and slipped it into your bag. I’d rather lose several hundred
extra dollars and not take this flight. Sitting next to you on that long
flight and once again suffer your flood of tears, I don’t think I could
stand it.
I apologize for what I had done. Now the journey back home,
which should have been a productive trip, it is all messed up. But I
have to agree that this break up was inevitable anyways.
Yes, I started it all thanks to that Dutch gaffe of mine, “Verrekt!”
I’m sure it still rings fresh in your head. I scoffed at the stuff
exhibited to the right of the door in that Erasmus Huis exhibition
hall. That was last Saturday afternoon. I thought you would laugh,
and then chastise me, “How lewd! Calling perek!” as usual.
And when I found myself at the receiving end of that spiteful
look, I suddenly recognized, and it almost escaped me, how this trip
made you side with them.
I almost forgot that way back, before we met at Delft, you
embarked on your career on such a “humanitarian” path: Aceh, posttsunami. I should have seen this coming when you were nitpicking
on the evictions at Pluit Reservoir and Ciliwing Riverbanks as we
were leaving Rotterdam before coming here. But for a while there I
really thought that attending school abroad should have changed you.
I thought you had become like me.
Romo Mangun, or Father
Mangun, was born as
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929-1999). Born
in Ambarawa, Central
Java, he was known as
the Father of Modern
Architecture of Indonesia.
He studied theology
in Yogyakarta, and
architecture in Aachen
(Germany) and Aspen,
Colorado (US). His work
among the poor of Kali
Code, Yogyakarta, is forever remembered as one
of his greatest works, as
he received the Aga Khan
Award for Architecture
(1992) for helping people
build better housing and
a community center. He
also received the Ramon
Magsaysay Award (1996)
for his literary achievements, he wrote among
others outstanding novels
such as Hiu-hiu, Ido,
Homa and Burung-burung
Manyar, which is the
main reference for this
letter.
The word ‘verrekt’ is
a Dutch vernacular
meaning “Wrench your
ankle!”. In English today,
it’s similar to ‘damned’.
The word ‘verrekt’ in this
“letter” is taken from
Romo Mangun’s novel,
83
BERKAS
84
Yes, me, with an urban planning degree on paper. But my family’s
military background basically made me a serdadu, or soldadu, or “one
who is getting paid”. The word for it today: professional, who gets
paid to serve the interests of whoever pays. To me, economy must
be placed above all else. Humanity or people’s welfare are certainly
important, but not as pressing as individual prosperity to each of
us as humans. We must be fully responsible of our selves especially
when no one is there to care for us. That’s why that stuff exhibited on
the right wall was not agreeable to me. How could I have anticipated
that our debate would end up like this? So allow me to propose my
defense in this letter.
Sorry, again, but seeing the works of these local architects just
made me sick. If it is poverty that they hate, why do they want to
keep it so badly? Even coming up with architectural solutions to
preserve these slums! Not only do they make the city look ugly,
but slums also breed diseases, including those of the social kind,
that disrupt public order. They don’t belong in this city and they
must be cleaned! But you certainly can’t expect them to clean or
eradicate themselves. I’d go with the way Ali Sadikin did things: a
shock therapy from above! Command and control, like a venerated
commander to a good soldier.
And I’m in good company here. From the DKI of Jokowi and
Ahok, to the Minister of Tourism and Creative Economy, leadership
on all levels still thinks today the way Ali Sadikin did way back.
Just see how they all have been supportive of this exhibition of
“innovative design exploration” dreamed up by our colleagues who
have studied abroad, giving it international credibility. This exhibition
proves, to me, that all of us, government and professionals, agree
that the urban marginalized is not just a problem to be solved, but
a problem to be eradicated! No, we won’t eliminate the humans,
certainly, but we definitely should kill poverty. Let’s make them
better off by a bit so that they can pay—not steal—electricity, water,
and rent. Allow them to work within the system. Everyone’s happy.
All good, right?
Now, let’s take a look at the “architecture” of your friends!
What kind of architecture do they wish to manifest through their
approach? Is that even architecture? Do they even have an approach?
I suppose their works are only good to the extent that they provide a
glimpse to the kind of living that transpires in an environment full of
scabs, rashes and puss. And if that wasn’t their intention, then it’s a
patchup job, at best. A prime example of ragtag esthetics.
Remember that public toilet they helped build for the
communities? Not exactly a design breakthrough, and they don’t even
seem to care about its looks. Then there are schools, some obscure
activity centers, what for? I’m a bit confused, do they really think
someone would hire them with such a portfolio? Where do you put
Jakarta on the world map with that?
Burung-burung Manyar,
frequently uttered by
Indonesians who want
to be like the Dutch.
The ‘verrekt’ pronounciation is close to ‘perek’, an
Indonesian word which
is short for ‘perempuan
eksperimen’ or ‘experimental woman’; it refers
to a woman who likes to
sexually experiment with
many men.
Serdadu (Indonesian)
means soldier.
DKI, an acronym for
Daerah Khusus Ibukota
(Capital Special Region).
DKI Jakarta is the official
name of the capital city.
A Breakup Letter from Kampung letter by Farid Rakun
I am saddened to think that we actually came to the exhibition
to see our own project—yours and mine, which we built with our
colleagues from the Netherlands and Switzerland. Our work was
displayed on the left wall of the exhibition hall, opposite those
kampungan designers. I am sad because that will never happen again.
Like in my many relationships before you came, we were united by
our professional desire and gravitas.
I stood there, fixated at the panel on which our project was
displayed. I was proud. It was colorful, professionally rendered.
The kampung is now transformed into a proper place to live, which
certainly made it a proper work to exhibit. So it was painful for me to
see how you were staring at the same panel with such an empty look,
as if regretting that you took part in such a project at all.
I should have realized at that point that this relationship may be
doomed. But, to quote you quoting Romo Mangun, your ‘Father of
Modern Indonesian Architecture’: “What should be and what is are
two matters that may not necessarily coincide.” Damn you, Romo
manyun.
How fitting. You, with your blank look questioning the validity
of works that I think are unquestionably world class. “Do you think
it’s on purpose that the exhibition seems to be divided between left
and right?” I asked, in a vain attempt to break the ice, hoping that
you could loosen up a bit and smile once more. But you were icy,
with a smirk on your face. And then you ranted on that we have this
inferiority complex of the oppressed, that I am a living and breathing
proof of it, that I am this and this and that.
Frankly, now I feel oppressed with your incriminations. Yeah, to
me you are the oppressor, not those foreigners!
Here’s what I think: the world has changed. The forces of global
capitalism are unfettered and the private sector has been victorious
anytime and anywhere. If you want to speak of images, defend
anything but that kampung, which has never exactly been marketfriendly. Unless kampung can jack up the price, say, of your humble
singkong, so that it sells five times its original price of a thousand,
then bring on the esthetics of kampung all you want.
An opportunity may not come twice, and I think you should seize
it. We both know, it is not just Dutch companies who are interested
in the development of Indonesian cities these days. German, French,
Japanese, American, Canadian, those rich Scandinavians, not to
mention the Chinese, about whom I’m personally still undecided.
What’s wrong with us working to support them? Does it not say
something about their support for us that they want to do business
here?
Go transnational, neng! Enough with the never-ending identity
crisis. Too much talk about the language of images, which, you say,
“should put honesty above all else in design.” That’s so passe!
Manyun is a slank for
sulky expression. It is
pronounced almost
similarly with Mangun.
Neng (Sundanese) means
miss.
85
BERKAS
86
I’m getting fiery now. Look at how human history has struggled
by the ways of esthetics. Learn from your Romo. He painted a
kampung at Kali Code so that the place can look pretty in the eyes
of those officials, to whom eviction was the only option back then.
Esthetics is never neutral. It’s no longer just visual, it’s a matter of
survival. That’s why we need to work hard to create and spread pretty
pictures and imagery, including this exhibition, and even more so
through mass media and giant advertising banners all over the city.
Like the things we learned in universities. Use and study the latest,
best selling design trends. Function too, use that! When apartments
are selling, build apartments. When superblocks are all the rage, build
superblocks. Even kampung, work them kampungs. That’s the only
way to sell, to be known, and get a lot of recognition. That’s how we
survive.
Those whom you defend are ugly (and even the agents of those
defenders, your rightist gang, want to keep them ugly). What we
offer, on the other hand, is pretty. New. It rouses desires. Imagine
Manggarai no longer a slum. Let’s put a skyscraper there or, say, an
inverted pyramid. Will the kampung-folk there continue to brawl
with their perennial rivals across the river when they no longer even
live in a kampung, but are stacked vertically and effectively, like the
many proposals we have seen here and many more in other similar
exhibitions that we have attended? Isn’t this not only more livable for
them, but more importantly so, for us too?
I am proud to be bunched together with the designers on the
left in the exhibition. Yes, along with most foreigners whose direct
ancestors could just as well have been the very aggressors whom
our grandparents were always suspicious of. But now it’s us who are
begging for them to come back. Our opas and omas used to call their
agresi, when they returned to reclaim Indonesia after the Japanese
left, the dursetut era. You see how today we actually miss their setut.
Yes, we have that beggar mentality. That’s why we’re ashamed of
having this dark sawo skin.
I must rectify one more thing: remember when you praised the
changes to the Commuter Line Train this year? It was smart, you
thought, not to mention appropriate. There was no infrastructure
construction that would choke the day-to-day business of the city. It
was only a strategy of rearranging things, refurbishing the carriages,
tweaking the capacities of each service class, rebranding, even
fighting to secure subsidies to make prices, that may otherwise have
been too steep, affordable for any passenger.
“Look at the effect of the rail pass,” you exclaimed,“ one
controlled exit-entry gate, and taking sides with those who can’t
otherwise afford this facility without subsidy. Safety and comfort
have improved, and now a steep rise in the number of passengers. Is
this not an example to follow?” you said. I nodded in approval.
‘Dursetut’ is a word
originating from the era
of the Dutch Military
Agression I & II (1947
and 1948), from the
Dutch word ‘doorstoot’,
meaning ‘a knockout’ or ‘a
strike out’. ‘Setut’, cut out
from ‘dursetut’, is similar
to ‘get him’, ‘beat him’, or
give him a lesson’. It can
also be used to represent
‘to hit, bash, smack, trick,
dupe, and have sex with’.
A Breakup Letter from Kampung letter by Farid Rakun
But, frankly, I was just being lazy. I’m too lazy to spend the effort
thinking about something of which I won’t enjoy the benefits. I
almost never take the train in Jakarta. For my car, the roads are still
(if not more) congested. Nothing has changed much, and there isn’t
much that such development can offer designers like us in terms of
projects anyways, right?
But more than that, to me it is the subsidy that raises questions:
how long can these subsidies last? More importantly, who benefits
from it? Again, it is these losers. They are losers in the competition,
perhaps laggards at the start, and the world is never too kind to
losers. Subsidy is just a painkiller, and when it is over, they’re in for a
rude awakening.
And you know what? You’re like that train, a bit resistant to change.
You believe in the free formation of personality, and that change will
inevitably follow that changing personality. That way, you think,
nothing is being forced, nothing needs to be boosted. A noble dream
for which, unfortunately, we do not have the luxury of time. If I were
a minister (menteri), I will use my powers to smarten (minteri) these
underlings. I will push for developments like the Transjakarta Busway,
as Sutiyoso did (I hope that MRT and Monorail that the current city
government is fighting for will take this path).
These projects are the shock therapy that this city needs in
order to “conquer the behavior and reengineer the imagination of
the denizens of their city by leaving a very visible trace,” as Abidin
Kusno, whom both you and I like to quote, would say. Maximum
development operations on a massive scale. Mass media will just
love the sensationalism of it all. A lot of jobs, however briefly, will be
created. Isn’t that the purpose of development for the economy?
And speaking of development, as a professional and a soldier’s
son, I can’t help but admire former President Soeharto, our dear
Father of Development. I nod my head in approval each time I see a
t-shirt or a sticker with his photo, which we have been seeing more
and more as of late, and I would exclaim reading the added words of
wisdom there: “Piye kabare, wasn’t it good in my time?” How I’d love
to utter those very words to an ex-lover asking to come back. Could
she be you one day?
I can imagine your face looking like your favorite Romo: manyun.
I am the opposite of you, the train. I’m like the Busway: more
willing to use development as an economic motor. It must be massive,
and inevitably there will be victims: those at the bottom along with
their dirty slums. They must move, and there’s plenty of work for
them in designated regions so they can turn the big wheels of the
economy. In the future, they are the ones whom “we will invite
to enter the nouveau-middle class who must continue to grow in
absolute terms, provided that they adapt themselves to the new
norms and environment” (again, to quote Abidin Kusno). Within this
87
“Piye kabare?” ( Javanese)
means “Howdy?”
BERKAS
88
“voluntary” process of transfer (made ever so slightly more difficult to be worth fighting for),
as the informal economic sector transforms into a hybrid system that contributes to the global
financial system, I find my opportunity, with my architect friends, to do projects. We shall
contribute ideas, expertise, and labor for development. Consistent with this line of thought, I
believe that the superblock, along with its Special Economic Zone, is the answer. Life is a free
market. Long live development!
Lastly, as my original intentions in writing this letter, I wish you good bye and success. I
can see why you want to leave Rotterdam and return to Jakarta in the near future. Although I
must confess that I don’t fully understand. Why must you continue the fight from within the
domestic mess? Isn’t there much more that you can do when you are actually not in Jakarta,
but with me in Europe?
That decision is yours to make, of course, but if you are no longer enticed by the future of
international design practice, which we may just achieve together, I really cannot continue this
relationship, and I am thankful that it is you who finally dared to say the word “breakup.” Yes
I am hurt, a bit, and I can’t fully understand, but I am actually in awe of your ability to let go
of all the ambitions and suddenly decide to return home forever to your beloved country. As
though there is this great calling from the bottom of your heart that I can never have.
As our worldviews are too polarly opposite, for now I can only send you along my prayers.
Though this may mean that we will forever remain on the opposite banks, I pray that you can
achieve your dreams. Not just hopefully, Tik. Maybe you must.
Kissing you with affection for the last time,
Your Teto
Jakarta, 16 June 2013
A Breakup Letter from Kampung letter by Farid Rakun
End Notes
The vocabulary and style were chosen, and
in some places contorted, from books by Y.
B. Mangunwijaya: Burung-Burung Manyar
( Jakarta: Djambatan, 2007), and Wastu
Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk
Arsitektural Sendi-sendi Filsafatnya Beserta
Contoh-contoh/Latihan-latihan Praktis, fifth
edition ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2013); also a book by Abidin Kusno:
Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif:
Jakarta Pasca-Suharto (Yogyakarta: Ombak,
2009), translated into Indonesian by Lilawati
Kurnia and edited by Manneke Budiman.
The idea to use the slogan “Piye Kabare,
Masih Enak Jamanku To?” is borrowed from
Soeharto Song: DJ T4UMY & Mr X-Katrok
@xplusk. Link: http://bit.ly/1hvb8xx(last
accessed on 31 October 2013).
Regarding evictions for the purpose of
creating human resources for the Special
Economic Zone can be seen in the study
of the Masterplan for the Acceleration
of Expansion of Indonesian Economic
Development (MP3EI), through webpages
such as http://bit.ly/16NYYIB and http://
bit.ly/UXVXB3 (last accessed on 31 October
2013).
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
Muslihat Musang Emas dan Elena
cerita pendek oleh
Yusi Avianto Pareanom
“Kita punya peluang mendirikan agama baru, Don,” kataku kepada Donny, adik sepupuku.
“Kok bisa begitu, Mas?”
Kami berdua sedang ngopi di salah satu kedai di kompleks Kalibata City, tempat tinggal
Donny. Aku mengunjunginya dan kami mengobrol. Awalnya, seperti biasa, kami ngrasani
kerabat-kerabat kami yang lain sampai akhirnya obrolan berbelok.
113
Aku lalu bercerita tentang peruntungan seorang kawanku yang pengusaha. Kisah bermula
ketika ia jalan-jalan ke sebuah pasar di Beijing. Di sana ia melihat sepatu yang modelnya
menarik. Ia yakin sepatu macam itu bakal laku di Indonesia. Ia akhirnya memesan sepatu itu
dalam berbagai ukuran dan membayar di tempat.
Sebulan kemudian pesanannya tiba. Alangkah kagetnya ia ketika melihat sepatu yang
datang satu kontainer ternyata kiri semua. Segera ia menelepon si pedagang sepatu di Cina.
Jawaban yang ia terima sungguh membuatnya melongo. “Lho, yang kamu tunjuk di toko kan
memang sepatu kiri,” kata si pedagang sepatu.
Terpaksa ia memesan lagi, kali ini sepatu kanan dalam jumlah yang sama. Tak mungkin
ia menjual sepatu sebelah saja. Ia sadar posisi tawarnya lemah, di Cina banyak industri rumah
tangga yang bisa mengerjakan sepatu kiri semua berapa pun banyaknya tanpa harus rugi jika si
tertipu menolak memesan pasangannya.
“Hubungannya dengan agama baru?” tanya Donny.
“Begini, kalau uangku tak berseri, aku ingin membuat kekeliruan yang sama berulangulang. Aku ingin tahu sampai berapa lama si pedagang sepatu itu tahan mengirimkan sepatu
kiri semua. Aku ingin membeli rasa sungkannya. Jika sampai pemesanan yang ke-113 ia
tetap mengirimkan sepatu kiri, aku menyerah. Aku akan mendirikan agama baru dengan
menjadikannya sebagai tuhan. Ia yang tak punya takut niscaya tuhan belaka. Dan kau sebagai
fotografer bisa merekam berdirinya agama baru ini,” kataku.
Donny meringis. Ia tidak tertawa sebagaimana kawan-kawan yang lain yang mendengar
cerita itu.
“Cerita biasa, Mas.”
“Anjing, ini penipuan ajaib.”
“Kau belum dengar yang ini,” kata Donny.
Donny bercerita selama dua jam. Berikut kisahnya yang kususun ulang.
BERKAS
114
Bel apartemen Donny berbunyi tepat pada menit kedua lagu “We All Fall in Love Sometimes”
dari Elton John berputar. Lagu itu sudah Donny mainkan tiga kali pagi itu dan mungkin akan
ia putar lagi. Ia bukan penggemar berat diva Inggris itu—ya, baginya tak ada penyanyi Britania
yang lebih layak disebut diva ketimbang Sir Elton—tapi lagu pop itu pas betul dengan suasana
hatinya.
Yang datang adalah kurir yang mengantar pesanannya, seragam serdadu Jepang Perang
Dunia II. Ia membelinya dari butik khusus di Bandung. Tangannya mengelus-elus seragam
hijau pupus itu sebelum memasangkan tanda pangkat kapten. Seragam itu modalnya datang ke
acara pernikahan dua orang anggota New Jakarta Reenactment Community, kelompok yang
gemar berkumpul dan berlakon secara amatiran memerankan adegan dari berbagai masa.
Pasangan yang akan menikah itu meminta anggota yang lain datang mengenakan kostum
masa Perang Dunia II. Yang kostumnya paling heboh bakal diajak ikut bulan madu, begitu bunyi
pesan mereka dengan tambahan lima macam emoticon. Donny tahu mereka sedang bercanda.
Tapi, ia tahu juga bahwa teman-temannya yang lain tak akan melewatkan kesempatan
berdandan habis-habisan.
“Aku mau pakai seragam perwira Nazi,” kata Elena, ketika membaca pesan itu bersama
Donny di sebuah rumah kopi, “dan aku jamin lipstik merahku bakal tak ada yang mengalahkan
terangnya di pesta nanti.”
“Merah yang bagaimana?” tanya Donny.
“Seperti yang di poster film lama,” kata Elena.
Donny memaafkan Elena yang tak bisa atau tak mau merumuskan secara spesifik warna
merah gincu yang ia ingin pakai. Kepada orang lain ia akan mengejar dengan pertanyaan poster
film apa, film negara mana, lama di sini merujuk ke posternya atau filmnya, dan sebangsanya. Ia
punya kecenderungan seperti itu. Tapi, hatinya dari dulu lemah terhadap orang yang ia taksir,
dan keceketeran ini menjadi-jadi di hadapan Elena.
“Awas, jangan jadi pengecut pas datang ke kondangan nanti,” kata Elena.
“Maksudmu?”
“Jangan pakai baju yang biasa-biasa saja dengan alasan itu pakaian pegawai negeri tahun
segitu. Jangan cari gampangnya juga dengan pakai baju sobek-sobek terus bilang dirimu laskar
pejuang. Pokoknya mesti usaha.”
“Aduh.”
“Kau harus pakai busanamu sejak dari rumah. Jangan pakai di kamar mandi tempat resepsi.
Jangan pula coba-coba naik taksi atau bawa mobil sendiri seperti dulu. Nggak seru, tahu. Kau
tinggal di Kalibata City, kan? Naik KRL saja kalau angkot rerlalu repot.”
“Bakal dapat hadiah apa kalau aku berani?”
“Buktikan dulu, baru nanti kita bicara soal hadiah,” kata Elena.
Donny percaya bahwa Elena akan benar-benar muncul dengan seragam yang ia janjikan.
Mungkin sepasang pengantinnya akan berdandan lebih heboh lagi. Donny tak berani seperti itu,
mengenakan seragam prajurit Gestapo terlalu ekstrem. Ia pernah jengah setengah mati ketika
ada beberapa orang kulit putih memaki-maki temannya yang mengenakan seragam perwira SS
ketika mereka berkumpul di kawasan Kota.
Pilihan baju serdadu Jepang ia rasa aman dan cukup keren. Ia punya alasan lain yang
sedikit sentimentil. Dua puluh lima tahun yang lalu, ketika ia masih kanak-kanak, Donny
pernah begitu terpukau melihat kakaknya berlakon sebagai perwira Jepang yang kejam dalam
pementasan tujuh belasan di kampung mereka di Semarang. Jauh hari sebelum pentas, kakaknya
yang saat itu masih duduk di bangku SMA sudah berhasil memikat orang-orang kampung
yang menonton latihan dengan pengucapan makian bagero yang sangat meyakinkan. Latihan-
Muslihat Musang Emas dan Elena cerita pendek oleh Yusi Avianto Pareanom
latihannya lalu sangat ditunggu dan untuk setiap bagero yang keluar dari mulutnya penonton
bertepuk tangan. Mungkin karena antusiasme itu, pada malam pentas kakaknya akhirnya
melontarkan bagero lebih dari lima puluh kali untuk pertunjukan yang hanya tiga puluh menit.
Kakaknya itu sangat melindungi dirinya semasa ia kecil. Kakaknya meninggal dunia empat
bulan bulan yang lalu. Itulah alasannya memilih seragam serdadu Jepang. Ia membayangkan
seandainya kakaknya masih hidup kakaknya pasti senang bergabung dengan komunitas
pelakonan ulang dan bisa jadi bintang di sana.
Donny ikut komunitas pelakonan ulang karena Elena. Ia tidak diajak, tapi karena Elena
menyebut-nyebut tentang komunitas ini, ia bergabung supaya punya alasan untuk sering
bertemu. Jika saja Elena menyebut tentang Komunitas Penggemar Cobek dan Ulekan atau
Komunitas Perawat Gambar Umbul atau Sekte Penyembah Velvet Underground ia bakal
bergabung juga tanpa berpikir dua kali.
Ia bertemu Elena tiga bulan yang lalu pada malam amal komunitas pecinta hutan bakau—
para anggotanya, seperti anggota komunitas-komunitas lain, lebih senang menamai kelompok
mereka dengan bahasa Inggris: Mangrove Addicts.
Ia sebetulnya tidak terlalu peduli pada bakau. Tentu, ia suka jika bakau terjaga. Tapi, kalau
diminta benar-benar berkeringat untuk perbakauan, ia akan mlipir sebelum melarikan diri. Ia
bergabung dengan komunitas bakau dan juga dengan komunitas-komunitas lain sebelumnya
karena alasan tunggal: mencari teman kencan.
Semua berawal dari setahun yang lalu. Donny yang saat itu baru saja bercerai betah mengurung
diri di apartemennya. Beberapa pekerjaan yang nilainya besar ia tolak begitu saja. Tiga kawan
dekatnya—Herman, Kandar, dan Sinyo—jengkel. Mereka lalu mengajaknya ikut acara berbagai
komunitas di Jakarta.
“Untuk apa?” tanya Donny.
“Seru-seruanlah, Bung,” kata Kandar.
Jawaban itu menjengkelkan Donny. Tapi, ia akhirnya ikut juga karena ketiga temannya
tak berhenti mengajaknya. Baru pada acara ketiga Donny mafhum kalau teman-temannya itu
ternyata sedang berburu teman kencan. Donny tak bisa menahan tawa ketika Kandar bilang
bahwa kelompok mereka punya nama, Sarekat Muslihat Musang Emas.
“Dulu namanya Sarekat Jasa Khilaf, Bung. Tapi, Sarekat Muslihat Musang Emas lebih
nyeni,” kata Sinyo.
Menurut ketiga kawannya, perempuan-perempuan yang mereka temui bukan jenis
yang gampangan—sekalipun bisa khilaf tentunya—dan justru itu yang membuat perburuan
menarik.
Donny yang awalnya mencibir akhirnya tertantang. Bukan karena bakal ada imbalan
seks jika perburuan berhasil, melainkan karena perburuan—sukses atau tidak—ia yakini bisa
menghiburnya. Sebelumnya, ia banyak murung karena sulit menemui anak perempuannya
yang ikut mantan istrinya. Mantannya itu memusuhinya.
Kalau perburuan bisa berlanjut ke ranjang, ia akan bersyukur. Ia membutuhkan seks. Ia
tahu bahwa untuk urusan seks ia bisa memakai jasa perempuan penghibur tetapi ia tak suka
setelah pernah mencoba sekali. Ia tahu juga bahwa memuaskan diri sendiri adalah jalan keluar
yang mudah. Tapi, hari-hari itu, kalau ia melakukannya, hatinya malah sering nelangsa setelah
hajatnya selesai.
115
BERKAS
Sampai acara ketujuh yang ia ikuti, Donny belum beruntung. Ia menyalahkan dirinya
sendiri. Ia benar-benar gagu di tengah perempuan-perempuan yang bersikap sangat ramah
kepadanya sekalipun. Ketiga kawannya gemas.
“Don, mereka itu ngebet sama kamu lho,” kata Herman.
“Mosok?” tanya Donny.
“Kamu itu kan paling paling mbois di antara kita. Paling pintar bermulut manis pula,” kata
Herman.
“Itu dulu.”
Keberaniannya memulai percakapan dengan perempuan mengempis semenjak
perceraiannya. Mantan istrinya benar-benar berhasil merusak kepercayaan dirinya setelah
serangkaian pertengkaran buruk sebelum mereka bercerai. Yang paling melukai Donny adalah
ketika perempuan itu bilang tak pernah mencintainya karena ia memang tak layak dicintai.
116
Acara kedelapan yang ia ikuti adalah pertemuan para penggemar karya Haruki Murakami.
Donny mengenal nama Murakami, ia pernah menonton sebuah film yang diangkat dari novel
Murakami, tapi sebetulnyalah ia belum pernah membaca satu pun tulisannya. Ia ikut lagi-lagi
karena ketimbang bengong di rumah. Siapa nyana, Murakami mengubah peruntungannya—
secara tidak langsung.
Donny sedang duduk menunggu ketiga temannya selesai berhandai-handai setelah acara
ditutup ketika seorang perempuan yang Donny taksir berusia 20-an akhir duduk begitu saja di
sampingnya. Perempuan berkulit cerah itu mengeluarkan pil dari tasnya dan meminumnya.
Spontan, Donny bertanya, “Sakit, Mbak?”
“Ndak, ng... ini pil bulanan.”
“Sakit bulanan?”
“Bukan. Ini pil biar aman tiap bulan. Tahu sendirilah, Mas. Saya minum teratur pada jam
yang sama supaya ndak lupa. Kalau ngandelin pasangan pakai pengaman kok masih was-was.”
Perempuan itu kemudian berlalu setelah tersenyum. Donny bukan laki-laki dungu. Ia
tahu apa yang diminum perempuan itu, setidaknya demikian jika pengakuan itu benar. Donny
sempat memikirkan sekiranya perempuan itu melemparkan isyarat dan ia kurang sigap. Ia tak
terlalu menyesali jika benar demikian. Keterbukaan perempuan itu kepadanya, si orang asing,
menyadarkan dirinya bahwa ia masih punya harapan.
Insiden itu membuat Donny bisa rileks. Pada acara-acara berikutnya kefasihan lidahnya
sudah kembali. Dengan cepat ia beroleh kenalan baru perempuan. Dalam hati, Donny juga
membenarkan dengan malu-malu perkataan teman-temannya, bahwa parasnya memang oke.
Perkenalan-perkenalan itu ada yang berlanjut ke ranjang, ke pekerjaan, ke keduanya atau tidak
berlanjut sama sekali.
Donny tak terlalu risau. Ia menikmati yang bisa ia dapat. Ia tak pernah membanggakan
kepada teman-temannya jika yang ia kencani kebetulan seorang sosialita atau model yang
punya nama—dua kelompok yang selalu ada saja di komunitas mana pun. Teman-temannya
iri, tapi bagi Donny perempuan-perempuan itu teman kencan biasa, kebetulan saja nama
mereka dikenal banyak orang. Ia pernah berpacaran dengan model dan bintang film sebelum ia
menikah. Mantan istrinya juga salah seorang juara ajang Abang None Jakarta.
Donny masih akan terus nyaman dengan situasinya jika anggota Sarekat Muslihat Musang
Emas tidak mengundurkan diri satu per satu. Herman bertemu pacar di komunitas filateli,
Kandar mendapat pekerjaan baru di Myanmar, dan Sinyo—satu-satunya anggota yang bukan
lajang—terhinggapi ciut nyali setelah istrinya mulai curiga.
Muslihat Musang Emas dan Elena cerita pendek oleh Yusi Avianto Pareanom
Donny sempat berpikir untuk menyudahi saja ikut acara komunitas ini dan itu. Sarekat yang
anggotanya seorang saja jelas tak asyik. Terlebih, ia mulai terjangkit perasaan tak nyaman yang
sering ia dapatkan setelah kencan. Ia tak mengeluhkan seksnya, tapi ia merasa menjadi penipu
dan ia terganggu. Ia ingin hubungan yang lebih tulus dan serius.
Sebetulnya, Donny tak berminat datang ke malam amal komunitas bakau. Selain bukan
pecinta sejati bakau, minatnya juga sudah luntur gara-gara ketiga temannya absen. Tapi, salah
seorang pengurus komunitas itu, seorang laki-laki yang selalu tampak aleman, memintanya
membantu urusan dokumentasi. Donny bersedia karena yang memintanya pernah
memberinya orderan besar dan kebetulan juga ia sedang agak luang.
Hati Donny berdesir begitu melihat Elena yang malam itu mengenakan baju putih
longgar, celana jins biru, dan sepatu but kulit hitam. Ia tak pernah bertemu Elena pada acara
komunitas bakau sebelumnya. Di mata Donny, paduan busana sederhana itu terlihat sangat
serasi. Gawat, pikirnya, jangan-jangan ia jatuh hati pada pandangan pertama. Tapi, ia tak
berani bilang apa-apa. Kefasihan lidahnya yang sudah kembali dalam beberapa bulan terakhir
menghilang lagi malam itu. Bahkan, sebetulnyalah ia tak berani memotret Elena dari dekat. Ia
terlalu gugup.
Sepulangnya dari acara, Donny melihat-lihat lagi gambar Elena yang ia ambil. Ia
menaksir usia perempuan itu tiga puluhan awal, tak beda jauh darinya. Rahang Elena sedikit
tegas dan dadanya boleh dibilang rata, bukan tipe kesukaan Donny. Tapi, semalaman ia tak
bisa tidur memikirkan Elena.
Keesokan harinya, pada acara lanjutan di Cilincing, ia melihat Elena lagi. Elena yang pagi
itu mengenakan rok mini dan kaus oblong terlihat lebih kecil daripada malam sebelumnya.
Donny tak pernah tertarik kepada perempuan dengan perawakan sekecil itu sebelumnya. Tapi,
desir di hatinya menjadi.
Tanpa Donny duga, Elena datang mendekatinya. Donny melihat ada tonjolan di balik
kausnya. Tidak besar tetapi cukup menenteramkan hati Donny.
“Mas, lihat itu deh, besar sekali ya, kalau difoto lucu,” kata Elena, menunjuk sesuatu di atas
permukaan sungai. Tawanya terdengar merdu di telinga Donny.
Yang Elena tunjuk ternyata kotoran manusia yang ukurannya aduhai. Entah manusia
macam apa yang bisa mengeluarkan kotoran sedemikian pulen: besar, panjang, dan melengkung
seperti bulan sabit.
Donny kagum dan ikut tertawa. Ia memotretnya. Seandainya Elena memintanya
membungkus kotoran itu untuk kenang-kenangan, ia akan patuh.
Obrolan mereka pagi itu singkat, tapi Donny sudah girang bukan kepalang. Ia mendapatkan
nomor Elena. Sepanjang acara ia berkali-kali mencuri mengambil gambar Elena yang sepertinya
juga tahu dan tidak keberatan.
Namun, Donny girang kepagian. Hari yang menggembirakan itu berkelok.
“Kau suka kepada Elena?” tanya pengurus komunitas bakau yang meminta jasanya.
Donny menyeringai. “Kelihatan sekali, ya?”
“Hm, begini lho, Don...”
Si lelaki aleman itu bercerita kalau Elena terlahir sebagai Martin Manurung dan masih
menyandang nama itu. Elena memang sudah berganti kelamin delapan bulan sebelumnya, tapi
permohonan pergantian status hukumnya belum selesai.
117
BERKAS
118
“Kurasa kau perlu tahu, Don,” kata si lelaki aleman.
Sepulang dari Cilincing, Donny membeli sebotol wiski dan minum sendirian di
apartemennya. Ia ingin mabuk tetapi tak berhasil. Yang datang justru air matanya. Ia jengkel
setengah mati membayangkan mantan istrinya yang pasti akan menertawainya pol-polan jika
tahu situasinya. Ia juga belum sanggup membayangkan reaksi keluarga dan teman-temannya
jika ia ingin serius dengan Elena.
Selama sepekan Donny menyumpah-nyumpah sendiri. Sepekan berikutnya Donny
menyumpah-nyumpah lagi. Sepekan berikutnya lagi ia masih menyumpah-nyumpah, tapi
serapahnya mulai goyah. Rasa sukanya kepada Elena masih kuat. Semakin malah. Ia sempat
berpikir jangan-jangan Elena adalah tukang jampi-jampi. Dan, ia pun menyumpah-nyumpah
lagi karena alasan yang berbeda.
Ia lalu melakukan sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia pikir bakal lakukan saat akan
mendekati orang yang ia taksir, membuat daftar pros and cons seperti pemuda-pemudi unyu
yang pertama kali mengenal cinta. Ia menulis yang masuk ke dalam kantung cons terlebih
dahulu: hinaan mantan istri, ibu yang nelangsa jika tahu, ketidakpahaman kawan-kawan
dekat yang disarukan sebagai permakluman sehingga membuat semuanya lebih anjing lagi,
kotbah tak diundang dari siapa pun yang merasa kenal dengannya, kulit gelap, bodi kecil, dada
rata, vagina palsu. Donny berhenti di vagina palsu sekalipun masih banyak lagi yang terlintas
di kepalanya. Pros: poni, rajah lebah madu mungil di tangan kiri, suka, suka, suka.... Semenit
kemudian Donny merobek kertas berisikan daftar sialan itu.
Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia sudah jatuh hati. Ia pertama kali melihat
Elena sebagai perempuan. Dan, memang kenyataannya Elena seorang perempuan, bukan? Ia
meyakin-yakinkan dirinya lagi dengan pemikiran bahwa semua orang membawa sejarahnya
masing-masing. Memangnya siapa ia yang boleh menghakimi seseorang?
Ia pun mengontak Elena suatu siang dan mengajaknya makan bersama. Ia pura-pura
kebetulan sedang ada urusan di gedung kantor Elena berada. Ia sengaja ke sana dua jam
sebelumnya.
“Kautahu aku perempuan jadi-jadian, bukan?” tanya Elena siang itu.
“Jangan bilang begitu, ah.”
“Ih, kau baik ya,” ujar Elena.
“Kau tak perlu bercerita yang pribadi-pribadi.”
“Kau kawan baru. Aku tak ingin kautahu dari orang lain.”
Elena lalu bercerita bahwa ia merasa dirinya bukan lagi Martin sejak usia tiga belas tahun.
Ia baru berani mengenakan baju perempuan semasa kuliah setelah ayahnya meninggal. Ia
menjalani operasi di Bangkok setelah ibunya meninggal setahun lalu.
“Dulu waktu sekolah sempat pacaran dengan cewek? Eh, sori, jadi lancang,” kata Donny.
“Santai saja. Sama cewek sih sering, dan aku menikmati, setidaknya awalnya,” kata Elena.
“Kok?”
“Aku tidak happy dengan tubuhku. Dan, orang yang tidak bahagia sulit bikin orang lain senang.”
“Sudah pacaran dengan berapa laki-laki?”
Elena meninju bahu Donny. “Sialan, memangnya aku perempuan apaan?”
“Belum pernah?”
“Mau tahu saja.”
Donny tersenyum. Siang itu ia sempat berpikir bahwa ia mungkin akan menjadi laki-laki
pertama yang memasuki Elena. Ia pulang dengan rasa bungah. Namun, bukan harapan akan
Muslihat Musang Emas dan Elena cerita pendek oleh Yusi Avianto Pareanom
beroleh yang semacam itu yang membuat Donny ingin terus bertemu Elena. Ia merasa benarbenar nyambung dengan Elena yang bekerja sebagai penasihat keuangan itu. Wawasan Elena
luas dan diam-diam membikin Donny sedikit malu saat pura-pura paham omongan Elena.
Pada pertemuan berikutnya, Donny yakin bahwa ia memang sudah jatuh hati sejatuhjatuhnya. Elena selalu bisa membuatnya tertawa karena perkara remeh-temeh, serupa saat
perempuan itu menunjuk kotoran berukuran besar di Cilincing. Maka, Donny pun mencari-cari
alasan untuk bisa sering bertemu dengan Elena, termasuk ikut komunitas pelakonan ulang.
Hanya, sampai beberapa pertemuan selanjutnya, Donny masih belum berani menyampaikan
isi hatinya. Ia sedang menabung keberanian. Sebetulnya ia berharap dan tidak keberatan sama
sekali jika Elena yang bilang duluan. Sayangnya hal itu tak terjadi.
Donny akhirnya berketetapan akan menyatakan isi hatinya kepada Elena pada pesta pernikahan
yang akan ia hadiri dengan seragam serdadu Jepang itu. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi.
Ia tak peduli jika dunia menertawakannya—atau lebih tepatnya ia masih peduli tetapi akan
mencoba menabah-nabahkan diri. Seperti ungkapan klise, hati sudah bicara. Ia yakin Elena juga
suka kepadanya. Pesta pernikahan di Gedung Arsip Nasional malam itu meriah sekali. Sang pengantin laki-laki
berdandan ala Jenderal Douglas McArthur sementara si pengantin perempuan memilih bergaya
ala Winston Churcil.
Donny mencari-cari Elena. Setelah satu jam, baru ia melihat Elena masuk ruang pesta.
Benar, Elena mengenakan seragam perwira SS. Benar, lipstiknya merah menggairahkan seperti
dalam poster film lama. Donny ingin mencium perempuan itu saat itu juga. Elena melambaikan
tangan kepadanya. Bersama Elena datang seorang perempuan yang berdandan ala Marlene
Dietrich.
“Don, kenalkan ini Lisa, pacarku. Lisa, ini Donny, teman baruku yang baik yang sering
kuceritakan itu,” kata Elena.
Sekiranya Donny membawa pedang pendek sebagai pelengkap kostumnya, barangkali ia
akan menyobek perutnya malam itu juga di tempat pesta.
“Kapan memangnya pesta itu?” tanyaku.
“Dua hari yang lalu, Mas.”
Aku sebenarnya ingin mengajak Donny bicara tentang gender dan seksualitas. Tapi, saat
melihat wajahnya yang kusut aku tahu ia takkan berminat bicara soal itu. Aku mengacak-acak
rambutnya.
“Nasibmu kok cemerlang sekali, Don?”
“Matamu, Mas. Kepalaku pecah ini.”
“Malam ini tak cukup kopi, Don,” kataku.
Malam itu aku mentraktirnya minum di sebuah bar di Kemang. Setelah menenggak sloki
wiski keempatnya, Donny berkata, “Ketimbang bikin agama baru, bikin Komunitas Hati Remuk
Karena Sebab-sebab yang Tak Tertanggungkan saja, Mas.”
119
120
The Golden Fox Trickery and Elena
a short story by
Yusi Avianto Pareanom
“We have an opportunity to create a new religion, Don,” I said to Donny, my younger cousin.
“How is that, exactly?”
We were having coffee at one of the coffee shops in Kalibata City, an apartment complex
where Donny lived. I visited him and we had small talk. In the beginning, like always, we
gossiped about our relatives until the subject changed.
121
I told him a story about my friend, a businessman, who tried his luck. The story began when he
walked along a market in Beijing. There he saw a pair of shoes with an interesting style. He was
convinced that that kind of design would sell huge in Indonesia. So he ordered the shoe in every
size and paid right away.
A month later, his order arrived. He was shocked like hell seeing that the shoes in the container
were all left sides. He called the shoe seller in China right away. But the answer he got really made
him gape in astonishment. “But in the store, you only pointed at the left shoe,” said the shoe seller.
He had no choice but to make another order, this time, the right sides in exactly the same
amount. It was impossible, of course, to sell one-sided shoes only. He knew that his bargaining
position was weak, because in China, there are a great number of home industries which are able
to produce only left shoes no matter how many without having to feel a total loss if the cheated
refuses to order the other side.
“What’s new religion got to do with it?” Donny asked.
“Here, if I were richer than God, I would like to make the same mistake over and over
again. I just wanna know how long the shoe seller is willing to ship the left shoes. I want to
buy his sense of embarrasment. If until the 113th order he still sends the left shoes, I’ll give
up. I will create a new religion and make him god. Whoever has no fear must be god himself.
And you, as a photographer, can document the founding of this new religion,” I said.
Donny grinned. He did not laugh as my other friends did when they heard the story.
“It’s just an ordinary story.”
“Fuck you. This is one hell of a con game.”
“But you never heard this one,” Donny said.
Donny told a story for two hours. Here is the story which I have rearranged.
BERKAS
122
The bell in Donny’s apartment rang exactly at the second minute of Elton John’s “We All
Fall in Love Sometimes.” Donny had played that song already three times that morning, and
maybe he would play it again. He was not a fan of that English diva—yes, to him, there were
no British singers that were good enough to be called “diva” than Sir Elton himself—however,
the pop song fitted his mood.
It was a carrier who brought his order; a Japanese soldier uniform from the World War
II era. He bought it from a special boutique in Bandung. His hand stroked the grey-green
uniform before he embedded captain insignia on it. That uniform was his asset in order to
attend the wedding of two members of the New Jakarta Reenactment Community; a group
of people who liked to gather and reenact scenes from any era, amateurishly.
The couple who were getting married asked the other members to wear any costumes
from the World War II era. Whoever wears the most outrageous costume will be invited to our
honeymoon; that was their short message, added with five kinds of emoticons. Donny knew
they were only joking. But he also knew that his other friends wouldn’t throw away an
opportunity to dress all out.
“I want to wear the Nazi uniform,” said Elena when reading the short message with
Donny in a coffee shop, “and I assure you that no one at the party can beat the brightness of
my red lipstick.”
“How red, exactly?” Donny asked.
“Like in the old movie posters,” Elena answered.
Donny forgave Elena who could not or would not formulate specifically how red the
lipstick was she wanted to wear. To other people, he would bombard them wih questions such
as: What movie? Which country? Does ‘old’ here refer to the poster or the film? And so on.
He had that tendency. But he always had a soft spot for a woman he had a crush on, and that
weakness worsened in front of Elena.
“I warn you, don’t be a coward when you come to the wedding,” said Elena.
“What do you mean?”
“Don’t wear regular cloths and say that that is what government officers used to wear
in that era. And don’t seek the easy way out by wearing shabby cloths and say that you’re
reenacting a fighter. You must go all out.”
“Ouch.”
“You must already wear your costume before you leave your place. Don’t put it on in the
restroom at the reception hall. And don’t you dare to ride a taxi or bring your own car, like you
are used to do. It’s no fun, you know. You live in Kalibata City apartement, right? Then take
the train, instead, if it’s too difficult for you to ride on a shared taxi.”
“What will I get if I dare?”
“Prove it first, then we’ll talk about what you’ll get,” Elena said.
Donny believed that Elena would really come up with the uniform she promised. And the
wedded couple might be wearing more outrageous costumes. Donny had no guts to do such
thing, wearing a Gestapo uniform would be too extreme. He once felt embarassed to death
when a few white men cursed his friend who wore an SS uniform when they got together in
Kota area.
He felt rather secure and cool, too, by the Japanese soldier uniform he had chosen.
Besides, he had another reason which was a bit sentimental. Twenty five years ago, when he
was still a child, Donny was very impressed with his big brother who was acting as a ruthless
Japanese sodier in a drama as a part of 17th August festivities at their quarter in Semarang.
Even long before the performance, his brother, who was still a high school student at the
The Golden Fox Trickery and Elena a short story by Yusi Avianto Pareanom
time, successfully impressed the neighbors who watched him practicing when he said the
swearword bagero—idiot—very convincingly. The neighbors always waited for his practice and
they would clap their hands for every bagero that came out of his mouth. And maybe because
of that enthusiasm, on the night of the performance, his brother blasted the bagero more than
fifty times in a thirty minutes play.
His brother always protected him when he was little. His brother passed away four
months ago. And that was the reason why he chose the Japanese soldier uniform. He
imagined that if his brother had still been alive, he would have gladly joined the reenactment
community and became the star there.
Donny joined the reenactment community because of Elena. He was not invited, but Elena
mentioned this community frequently, so he joined in order to have a reason for them to meet
more often. Even if Elena mentioned about the Mortar and Pestle Fan Community or the
Picture Card Carer Community or the Velvet Underground Worshipper Sect, he would still
join without having to think twice.
He met Elena three months ago at a charity night hosted by a mangrove lovers
community—their members, just like any other community’s members, preferred to label
their group in English: Mangrove Addicts.
Actually, he did not really care about mangroves. Of course, he would like to have it
preserved. But if he were asked to sweat himself for the sake of mangroves, he would rather
sneak off before running away for good. As before, he joined the mangrove lovers community,
and other communities as well, for one reason only: looking for dates.
It began a year ago. Donny who was just divorced liked to lock himself up in his apartement.
He even rejected some projects which promised him huge money. His three close friends—
Herman, Kandar and Sinyo—felt irritated. Then they asked him to join various community
events in Jakarta.
“What for?” Donny asked.
“For fun, dude,” Kandar answered.
Donny was annoyed by the answer. But he eventually joined in because his three friends
would not stop inviting him. At the third event, Donny finally understood that his friends
were actually hunting for possible dates. Donny could not stop laughing when Kandar said
that their group has a name: the Golden Fox Trickery Guild.
“It used to be the Negligent Service Guild, dude. But Golden Fox Trickery Guild sounds
more artsy,” Sinyo said.
According to his three friends, the women they met were not the easy type—even though
they could be negligent, of course—and that made the hunting more interesting.
Donny, who sneered at them at first, eventually felt challenged. It was not because of
the sex, as a reward, if he succeeded, but because he was convinced that the hunting itself—
success or not—might entertain him. He was always in a gloomy mood for it was difficult for
him to see his daughter who lived with his ex-wife. His ex-wife despised him.
If the hunting proceeded to bed, he would be grateful. He needed sex. He knew that he
could use the help of a prostitute, but he did not like it after he tried it once. He also knew
that satisfying himself would be the easy way out. But those days, if he did it, he felt rather
miserable afterwards.
123
BERKAS
Donny still found no luck at the seventh event. He blamed himself. He became totally
speechless in front of women who were very friendly to him. His three friends were annoyed.
“Don, they want you,” Herman said.
“Really?” Donny asked.
“You’re the most badass among us. And you’re good at sweet-talking,” said Herman.
“I used to be.”
His courage to initiate a conversation with women shrank since the divorce. His ex-wife
had really destroyed his confidence after all the fights they had before the divorce. One thing
hurt him deeply was when she said she never loved him because he was not worth it to be
loved.
124
The eighth event he joined was the Haruki Murakami’s fan gathering. Donny knew Murakami,
having had watched a movie adapted from Murakami’s novel, but actually he had never read any
of his books. Once again, he joined rather than letting his mind went blank at home. Who would
guess that Murakami changed his luck—indirectly.
After the gathering event was over, Donny was sitting alone while waiting for his three friends
to finish socializing when a woman he figured being in her late twenties sat next to him. The fairskinned woman pulled out a pill from her purse and swallowed it.
Spontaneously, Donny asked, “Are you sick, Miss?”
“No, ehm... this is a monthly pill, sort of....”
“For monthly period?”
“No. This pill saves you every month. I bet you know what I mean. I drink it regularly at
exactly the same hour so I won’t forget. I still feel insecure if I must rely on my partner.”
She smiled, then walked away. Donny was not a stupid man. He knew what she just
swallowed, at least he knew it if she told him the truth. Donny thought whether she actually gave
him a sign he was not aware of. But even if he was not aware, he did not feel sorry. Her openness
to him, even though she’s a stranger, made him realize that he still had a chance.
That incident made Donny feel relaxed. At the next events, his sweet-tongue was back. He
quickly got new female acquaintances. Secretly and shyly, Donny confirmed his friends’ comment
about him; that he was good looking. The acquaintanceships proceeded to bed, to work, to both or
even nowhere.
Donny did not really care much. He enjoyed what he got. He never bragged in front of his
friends if his date turned out to be a socialite or a famous model—two types of people who always
appeared in any kind of community. His friends envied him, but for Donny, those women were
only regular dates who happened to be famous and known by many people. He used to date a
model and an actress before he got married. Even his ex-wife was a former Miss Jakarta.
Donny would still be feeling comfortable with his current condition if only the members of
the Golden Fox Trickery Guild had not stepped down one by one. Herman met his girlfriend in a
philately community; Kandar got a new job in Myanmar, and Sinyo—the only member who was
not a bachelor—shrivelled from fear after his wife started to be suspicious.
Donny thought to end his activity of joining various community events. A guild with only
one member was obviously no fun. Furthermore, he was often infected by a feeling of anxiety
after the dates. He did not complain about the sex, but he felt that he had become a fraud and
he was annoyed by it. He wanted a more serious, more sincere relationship.
The Golden Fox Trickery and Elena a short story by Yusi Avianto Pareanom
Actually, Donny did not want to come to the charity night of the mangrove lovers
community. Other than he was not a real mangrove addict, his interest had faded away because
his three friends did not show up. However, one of the community staff member, a man who
always looked gayish, asked Donny to help him with the event documentation. Donny said yes
because the man who asked him once gave him a big project, and also because he had a luxury
of time.
Donny’s heart fluttered when he saw Elena, who, that night, wore a loose white shirt, blue
jeans, and black boots. He never saw Elena in any of the mangrove lovers community events
before. In Donny’s eyes, the combination of that simple outfit really fitted her. Damn, he
thought; maybe he had a crush at first sight. But he did not dare to say anything. His sweettongue, which had been back within these past couple of months, disappeared again that night.
He actually did not dare to take Elena’s picture closely. He was too nervous.
After the event, Donny saw Elena’s pictures which he just took. He guessed that she was
in her early thirties, the same age with him. Elena’s jaw was a bit firm and her chest was rather
small; not Donny’s type. But he could not sleep because he was thinking of Elena all night.
The next day, in the proceeding event in Cilincing, he saw Elena again. That morning,
Elena, who wore a T-shirt and mini skirt, looked a little more petit than the night before.
Donny never felt attracted to petit women. But his heart fluttered more wildly.
“Hey, look! It’s so huge. It must be hilarious in a picture,” Elena said, pointing at something
on the river’s surface. Her laughter sounded melodious in Donny’s ears.
Elena was pointing at human waste, which size was remarkable. It was unthinkable the kind
of human who was able to produce such extraordinary waste: big, long and curvy like a crescent
moon.
Donny admired it and laughed too. He took a picture of it. If Elena had asked him to take
the human waste as a souvenir, he had done it right away.
That morning, they chatted only for a while, but Donny was very happy. He got Elena’s
number. During the event, he secretly took her picture over and over again, and Elena herself
seemed not to mind.
However, Donny felt too happy too soon. The happy day turned into another direction.
“You like Elena?” asked the mangrove lovers community staff member, who asked for his
help.
Donny grinned. “Is it obvious?”
“Ehm, there is something...”
The pretty guy told him that Elena was born as Martin Manurung and she actually still bore
that name. Elena did change her genital eight months ago, but her request for a change of legal
status was not granted yet.
“I think you need to know it, Don,” said the pretty guy.
On his way home from Cilincing, Donny bought a bottle of whiskey and drank alone in his
apartment. He wanted to get drunk, but he failed. He shed tears instead. He became very irritated
imagining his ex-wife who must roll on the floor laughing if she had known his current situation.
He, too, could not imagine his family’s and friends’ reaction if he wanted to get serious with Elena.
Donny cursed himself for a week. The next week, he still cursed himself. The week after,
he still cursed himself, but the curse was less severe for his crush towards Elena was still strong.
125
BERKAS
Stronger, instead. He once thought that Elena might be a witch. And, he cursed himself again
for a different reason.
He then did something he never thought he would do when trying to get closer to
someone he had a crush on; making pros and cons list like cute youngsters in love for the first
time. He put all possibilities in the “cons” list first: his ex-wife’s insults, his mother’s sadness
when she would find out; his friends’ who might not understand but will cover it up by trying
to look as if they understand and making everything even more shitty; unwelcomed preaching
from whomever knew him; tan skin, petit body, flat chast, fake vagina. Donny stopped at ‘fake
vagina’ although there were still many things running around his head. “Pros”: hair bangs,
small honey bee tattoo on her left hand, like her, like her, like her... . A minute later, Donny
tore the damn list.
He could not lie to himself. He was in love. The first time he saw Elena, he saw her as a
woman, and Elena was a woman, right? He convinced himself by thinking that people carried
their own history. And who was he to judge?
One day, he called Elena and asked her to have lunch together. He pretended as if he had
an errand in the building where Elena’s office was. He deliberately came to the building two
hours before their meeting.
126
“You know that I’m a bogus woman, right?” asked Elena that day.
“Hey, don’t say that.”
“You’re so kind,” said Elena.
“You don’t have to tell me private things.”
“You’re a new friend. I don’t want you to know this from other people.”
Elena then told him her story; how she felt that she was no longer Martin since she was
thirteen years old. She had a courage to wear women’s clothing when she was a university
student, after her father passed away. She had a genital surgery in Bangkok after her mother
passed away last year.
“Did you use to go out with girls when you’re still in school? Err, I’m sorry for being
pushy,” said Donny.
“Don’t worry. I frequently went out with girls, and I enjoyed it, at first, though,” said
Elena.
“Why is that?”
“I wasn’t happy with my body. And it’s difficult for an unhappy person to make another
person happy.”
“How many guys have you gone out with?”
Elena punched Donny’s shoulder. “How dare you, what kind of woman do you think I
am?”
“You never gone out with guys?”
“It’s my business.”
Donny smiled. That day, he thought that there might be a chance for him to be the first
men who entered Elena. He came home happily. But it was not that kind of expectation
which made Donny want to meet Elena more often. He felt that he could talk about anything
with Elena, who worked as a financial consultant. Secretly, Donny felt a little ashamed by
Elena’s deep insight when pretending to understand what she said.
At their next meeting, Donny was convinced that he had already fallen in love with her—
fallen very deeply. Elena always able to make him laugh with trivial things; just like when she
The Golden Fox Trickery and Elena a short story by Yusi Avianto Pareanom
was pointing at the enormous human waste in Cilincing. Donny then looked for a reason for
him to be able to meet Elena more often, including joining the reenactment community.
But until several next meetings, Donny still had no courage to tell her what he felt. He
was saving his courage. He actually hoped and did not mind at all if Elena was the first one
who would tell him. But it didn’t happen.
Donny then decided to tell her what his heart felt at the wedding he would attend by
wearing the Japanese soldier uniform. He was not able to wait any longer. He did not care
whether the world would laugh at him—to be more precisely, he would still care but he would
try to be resilient. Just like a cliche phrase; his heart had talked. He was sure that Elena also
liked him.
The wedding banquet in the National Archive Building was very merry. The groom was
dressed up as General Douglas McArthur while the bride was dressed up as Winston
Churchill.
Donny was looking for Elena. After an hour, he saw Elena entering the wedding hall. She
did wear an SS uniform. She did wear the seducing red lipstick like in the old movie posters.
Donny wanted to kiss that woman right away. Elena waved her hand at him. Together with
Elena, there was a woman who dressed up as Marlene Dietrich.
“Don, this is Lisa, my girlfriend. Lisa, this is Donny, my good-hearted new friend I always
talk to you about,” said Elena.
If only Donny had brought a dagger as a complimentary to his costume, he would have
slit his stomach in the wedding hall.
“When was it?” I asked.
“Two days ago.”
Actually I wanted to discuss about gender and sexuality with Donny. But seeing his
crumpled face, I knew he had no interest in talking about that stuff. I tousled his hair.
“How could your fate be so marvellous?”
“Fuck you. My head is blowing off here.”
“Coffee is not enough tonight, Don,” I said.
Tonight I treated him in a bar at Kemang. After swallowing his fourth shot of whiskey,
Donny said, “Rather than creating a new religion, we should create the Heartbroken for
Unbearable Reasons Community instead.”
127
Tentang Para Kontributor
Agung ‘Abe’ Natanael lahir di Jakarta, 1982.
Ia lulusan jurusan Jurnalistik, Institut
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP),
Jakarta. Pada 2001, ia turut mendirikan
Tanahijau, sebuah komunitas mahasiswa di
Jakarta yang bergiat di wilayah jurnalistik,
seni, dan budaya. Dua tahun kemudian ia
menjadi anggota Forum Lenteng. Beberapa
tahun terakhir ia bekerja sebagai fotografer.
Ia pernah menjadi reporter berita harian
di Media Kota News, Koran Jakarta, dan
kontributor foto untuk majalah Family
Doctors dan Bung!. Di sela kesibukannya, ia
menjadi pemateri untuk sejumlah lokakarya
fotografi. Karya-karya fotografinya, selain
berada dalam jurnal ini, juga menjadi sampul
bagi buklet dan katalog—tiga publikasi cetak
Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
128
Farid Rakun lahir di Jakarta, 1982. Ia
membutuhkan waktu lebih daripada 10
tahun untuk menuntaskan pendidikan
formalnya di jurusan Arsitektur di
Universitas Indonesia pada 2005 dan
meraih gelar master dalam bidang yang
sama dari Cranbrook Academy of Art
pada 2013. Tanpa pernah berkata tidak,
agar bisa mempertanyakan segala sesuatu,
ia merancang bangunan, mewujudkan
produk, instalasi, selain menulis serta
menyunting buku dan publikasi lain. Bekerja
dengan beragam lembaga pendidikan
dan kebudayaan—Universitas Indonesia,
Universitas Tarumanagara, Cranbrook
Academy of Art, University of Michigan,
Hongkong University, Goethe-Institut,
Institut Français Indonesia, ruangrupa, dan
RUJAK Center for Urban Studies—
ia percaya pada kebetulan yang produktif,
yang mungkin memang dampak dari praktik
kerjanya yang kolaboratif.
JJ Rizal lahir di Jakarta pada 1975. Sebagai
sejarawan, ia aktif menyikapi berbagai
persoalan di tengah masyarakat melalui
tulisan-tulisan di berbagai media cetak dan
sering dijadikan narasumber oleh beberapa
stasiun radio dan televisi. Ia adalah pendiri
sekaligus pemimpin Penerbit Komunitas
Bambu yang banyak menerbitkan bukubuku sejarah Indonesia.
Reza Mustar alias Azer lahir di Jakarta,
1983. Ia mulai menggambar sejak umur 4
tahun dengan menggunakan tembok kamar
kakeknya sebagai kanvas, sebelum akhirnya
kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual
Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 2001.
Ia pernah membuat panel-panel kartun
yang merespons kekikukan para penumpang
menaiki Transjakarta dan memajangnya
di enam halte Transjakarta Koridor I pada
2004, saat moda transportasi itu belum
setahun beroperasi di Jakarta. Setelah
lulus pada 2006, ia sempat beberapa kali
bekerja di media cetak yang meninggalkan
kenang-kenangan sebuah kartu pers yang
membuatnya selalu selamat dari tilang polisi
lalu lintas. Saat ini, sambil tetap membuat
komik strip, ia bekerja sebagai desainer grafis
dan ilustrator.
Yuka Dian Narendra lahir di Jakarta,
1972. Sekarang ia mengepalai Departemen
Kajian Kebudayaan Populer Indonesia di
C4Ad (Center for Arts & Design) Surya
Research and Education Center di Serpong,
Tangerang. Minat penelitiannya adalah hal
remeh-temeh dalam kebudayaan populer
Indonesia, terutama kajian tentang subkultur
musik metal. Kegemarannya terhadap
musik metal itulah yang membuat Kandidat
doktor bidang Cultural Studies dari Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini
memutuskan untuk menulis disertasi
subkultur metal Indonesia. Ia juga merekam
dan memproduksi sejumlah album kelompok
musik underground di studio rekaman kecil
di rumahnya.
Yusi Avianto Pareanom saat ini bekerja di
Penerbit Banana. Lulusan Teknik Geodesi
Universitas Gajah Mada ini pernah bekerja
sebagai wartawan majalah TEMPO. Selain
mengarang fiksi dan menulis nonfiksi, ia
juga menerjemahkan karya sastra asing ke
dalam bahasa Indonesia. Bukunya antara
lain adalah kumpulan cerita pendek Rumah
Kopi Singa Tertawa (Penerbit Banana, 2011).
Karyanya yang sebentar lagi terbit adalah
novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging
Sapi.
129
About the Contributors
130
Agung ‘Abe’ Natanael was born in Jakarta,
1982. He graduated from the Journalistic
Department of the Jakarta Institute of Social
and Political Sciences (IISIP). In 2001, he
co-founded Tanahijau, a student community
in Jakarta which is actively engaged in the
fields of journalism, art, and culture. Two
years later he became a member of Forum
Lenteng. For the last several years he has
been working as a photographer. He has
been a reporter for Media Kota News, Koran
Jakarta newspapers and photo contributor
for Family Doctors and Bung! magazines.
Amidst his busy schedule, he finds time to
teach in various photography workshops.
His photographic works, in addition to those
in this journal, can be found on the covers
of the booklet and catalogue—the three
publications of the Jakarta Biennale 2013:
SIASAT.
Farid Rakun was born in Jakarta, 1982.
A bachelor’s degree in architecture from
University of Indonesia in 2005, and a
masters in the same field in 2013 from
Cranbrook Academy of Art, it took him
more than ten years to complete his formal
education. Slow is indeed his deliberate
strategy to navigate this fast-paced, growthobsessed world. Saying no to nothing to be
able to question everything, he has designed
and built buildings, dreamed up products,
installations and committed interventions,
in addition to writing and editing books
and other publications. Having worked with
a diverse body of cultural and educational
collaborators—University of Indonesia,
Tarumanagara University, Cranbrook
Academy of Art, University of Michigan,
Hongkong University, Goethe-Insitut,
Institut Franćais Indonesia, ruangrupa, and
RUJAK Center for Urban Studies—he
solidly believes in productive coincidences,
that could just be an inexorable effect of the
collaborative nature of his practice.
JJ Rizal was born in Jakarta in 1975. As a
historian, he actively responds to the various
problems in society through his writings
in many print publications and has been a
resouce person for many radio and television
stations. He is the founder as well as director
of Penerbit Komunitas Bambu, a publishing
house that publishes books mainly on
Indonesian history.
Reza Mustar alias Azer was born in
Jakarta, 1983. He began drawing since
he was 4-years old using the walls of his
grandfather’s house as his canvass, before
finally attending the Communication
Design Department at the Jakarta Arts
Institute (IKJ) in 2001. He has drawn
cartoon panels by responding to the
awkwardness of Transjakarta busway
passengers and displaying his works in six
Corridor I Transjakarta bus stops in 2004,
at that time this mode of transportation
had been in operation barely one year. After
graduating in 2006, he has worked in several
print media which left him with a press card
as a souvenir, which has come to good use
to save him from police traffic fines. Today,
while still making comic strips, he works as a
graphic designer and an illustrator.
Yuka Dian Narendra was born in Jakarta
in 1972. He heads the Department of
Indonesian Popular Cultural Studies
in C4Ad (Center for Arts & Design),
Surya Research and Education Center in
Serpong, Tangerang. His research interest
is the trivialities in Indonesian popular
culture, especially the study of metal music
subculture. It was his interest in metal
that made this Cultural Studies doctoral
candidate from the Cultural Science Faculty
of the University of Indonesia decide to
write a dissertation on the Indonesian metal
subculture. He also records and produces
several albums for underground music
groups in his small home studio.
Yusi Avianto Pareanom currently works at
Penerbit Banana, a publishing house. He
is a graduate of the Geodesic Engineering
Faculty at Gadjah Mada University, and
previously worked as a journalist for
TEMPO magazine. Aside from dreaming
up fiction and writing non-fiction, he also
translates foreign literature into Indonesian.
His books include a collection of short
stories Rumah Kopi Singa Tertawa (Penerbit
Banana, 2011), and his soon-to-bepublished novel Raden Mandasia Si Pencuri
Daging Sapi.
131
Tentang Para Redaktur About the Editors
132
Ardi Yunanto lahir di Jakarta, 1980. Setelah
lulus dari jurusan Arsitektur di Institut
Teknologi Nasional di Malang, Jawa Timur, ia
kembali ke Jakarta, kota tempat ia dibesarkan,
pada 2003. Satu tahun kemudian ia bergabung
dengan ruangrupa, organisasi seni rupa
kontemporer, dan sejak 2007 menjadi pimpinan
redaksi untuk Karbonjournal.org, jurnal
terbitan ruangrupa tentang ruang publik dan
budaya urban. Tiga buku yang dikerjakannya
bersama sejumlah rekan adalah Stiker Kota
(2009), Gerilya Urban (2010), dan Publik dan
Reklame di Ruang Kota Jakarta (2013). Selama
2011–2012, ia menjadi pemimpin redaksi
untuk majalah Bung!, proyek majalah empat
edisi tentang kehidupan pria yang diterbitkan
oleh ruangrupa. Dalam Jakarta Biennale 2013:
SIASAT ini, ia berlaku sebagai Koordinator
Publikasi yang mengurus penerbitan buklet,
katalog, dan jurnal.
Ardi Yunanto was born in Jakarta, 1980.
After graduating as an architect from
Institut Teknologi Nasional in Malang,
East Java, he returned to Jakarta, the city
where he grew up, in 2003. A year later
he joined ruangrupa, a contemporary art
organization, and since 2007 he is the
editor of Karbonjournal.org, a journal
published by ruangrupa on public space
and urban culture. With his colleagues
he has produced three books: Stiker Kota
(2009), Gerilya Urban (2010), and Publik
dan Reklame di Ruang Kota Jakarta (2013).
For 2011 and 2012, he was the editor of
Bung! magazine, a four-edition project
about men’s life published by ruangrupa.
For the Jakarta Biennale 2013: SIASAT, he
is the Publication Coordinator in charge of
publishing the event’s booklet, catalogue,
and journal.
Ninus D. Andarnuswari lahir di Salatiga,
1981. Gelar sarjananya diperoleh dari
jurusan Sastra Prancis Universitas Indonesia
pada 2005. Ia pernah bekerja sebagai anggota
redaksi di Kepustakaan Populer Gramedia
dan PlotPloint Publishing, serta terlibat
dalam penerbitan beragam buku, baik fiksi
maupun nonfiksi. Pada 2010 dan 2011 ia
juga berperan sebagai asisten penyelenggara
Anugerah Sastra Khatulistiwa. Saat ini ia
bekerja sebagai penyunting, penerjemah, dan
penulis independen. Dalam tim publikasi
Jakarta Biennale 2013: SIASAT ini, ia
menjadi salah satu penulis dan editor yang
mengurus penerbitan katalog dan jurnal.
Ninus D. Andarnuswari was born in
Salatiga, 1981. She obtained her degree
from the French Literature Department at
the University of Indonesia in 2005. She
worked as an editor at Kepustakaan Populer
Gramedia and PlotPoint Publishing, and
she has been involved in the publication of
a variety of books, both fiction and nonfiction. In 2010 and 2011, she also worked
as the assistant organizer of the Khatulistiwa
Literary Award. Currently, she works as an
independent editor, translator, and writer. In
the publication team of the Jakarta Biennale
2013: SIASAT, she is one of the writers and
editors supporting the publication of the
catalogue and the journal.
133
Jakarta Biennale 2013: SIASAT
134
Jakarta Biennale adalah perhelatan seni
rupa kontemporer berskala internasional
yang diselenggarakan setiap dua tahun
sekali, didukung sepenuhnya oleh Dewan
Kesenian Jakarta dan Dinas Pariwisata
& Kebudayaan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta. Awalnya biennale diadakan
untuk membaca perkembangan seni lukis
Indonesia, namun seiring zaman, biennale
diselenggarakan sebagai pembacaan
berkelanjutan atas kota. Biennale melihat
dan memaknai kembali “kota” sebagai
wilayah yang dinamis dan terus bergerak
melalui praktik seni rupa kontemporer.
Biennale juga berperan untuk membaca
kecenderungan ekspresi kontemporer serta
pencapaian artistik yang terkait dengan
perkembangan isu, sosial, politik dan budaya
terkini.
Pada 2013, Jakarta Biennale mencapai
penyelenggaraan yang ke-15, dan hadir
dengan mengusung tema SIASAT.
Sepanjang Oktober–November 2013,
Jakarta Biennale menampilkan beragam
karya seni rupa kontemporer dari seniman
Indonesia dan mancanegara bersama
proyek-proyek artistik yang secara langsung
melibatkan peran penting warga kota,
komunitas, lembaga budaya, serta kelompok
seniman dan aktivis. BERKAS diterbitkan
untuk membahas persoalan seputar tema
yang diusung Jakarta Biennale dalam
lingkup luas kebudayaan.
The Jakarta Biennale is a contemporary
international art event held every two years,
fully supported by the Jakarta Arts Council
and the Jakarta City Government – Tourism
and Culture Department. Initially this
biennale was held as an attempt to chart
the development of Indonesian paintings.
With the passage of time, it evolved into a
continuous reading of the city. The Biennale
continues to see and reinterpret “the city”
as a place in constant motion through
contemporary art practices. The Biennale
aims to discern the contemporary artistic
tendencies and expressions that pertain to
current social, political, and culturel issues.
In 2013, the Jakarta Biennale is held for
the fifteenth time, presenting the theme
SIASAT. Throughout October–November
2013, the Jakarta Biennale presents various
contemporary works of art from Indonesian
and international artists involving artistic
projects, importantly, the role of the city’s
residents, communities, cultural institutions,
as well as artist groups and activists. This
book, BERKAS, is published to address
the issues around the chosen theme of the
Jakarta Biennale in a wider cultural scope.
Rekanan Ruang Pamer Exhibition Space Partners:
Rekanan Budaya Cultural Partners:
Rekanan Komunitas Community Partners:
Sponsor:
Rekanan Media Media Partners:
SEBAGAI bagian dari perhelatan Jakarta Biennale 2013,
BERKAS diterbitkan untuk membahas persoalanpersoalan kota dalam konteks kebudayaan seputar
tema yang diusung Jakarta Biennale.
Pada 2013, tema Jakarta Biennale adalah SIASAT.
BERKAS terbit setiap kali perhelatan seni rupa
kontemporer berskala internasional ini diadakan.
Edisi perdana terbitan ini menampilkan karya lima
kontributor dalam beragam format karya media cetak,
yaitu esai, surat, kartun, dan fotografi.
AS PART of the Jakarta Biennale 2013, BERKAS,
or folder, is published to discuss urban issues in
the cultural context around the theme raised by
the Jakarta Biennale 2013: SIASAT. BERKAS
is published every time this contemporary
international art event is organized. This is the
inaugural edition which presents five works of
Indonesian contributors in various formats, namely,
essays, a letter, a cartoon, and photography.
Redaktur Editors: Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari